KONSEP BELAJAR DALAM PENDIDIKAN NON FORMAL/PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH OLEH : MULYOTO I. PENDAHULUAN Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan non formal dan pendidikan informal (pasal 13 ayat 1). Sebelum itu sistem pendidikan nasional diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Di sini ditegaskan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Ada pergantian nama untuk menunjuk ide yang sama, yaitu nama pendidikan luar sekolah diganti dengan pendidikan non formal. Dalam literatur terdapat banyak istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk ide yang pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah. Oleh sebab itu, pergantian nama dalam kedua Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dialog tidak menimbulkan masalah. Selanjutnya dalam pasal 1 ayat 11 UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pasal 1 ayat 12 UU No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa jalur pendidikan formal identik dengan jalur pendidikan sekolah, sedangkan jalur pendidikan non formal identik dengan pendidikan luar sekolah. Dalam praktek kedua jalur dilaksanakan secara sinergis dalam kerangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Seolah ada spesifikasi sasaran yang berbeda diantara dua jalur pendidikan tersebut. Pendidikan sekolah/formal yang terstruktur dan berjenjang diperuntukan bagi anak-anak muda usia sekolah memasuki pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Konon pendidikan sekolah sering dilihat sebagai alat seleksi (instrument of selection) dan berfungsi sebagai agen yang menempatkan tenaga kerja (man power) sesuai dengan posisinya. Sementara itu pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah lebih diperuntukan bagi anak-anak usia sekolah yang “berada di luar sekolah” serta orang dewasa yang telah memiliki tugas kehidupan. Pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah menghadapi sasaran dan tugas berbeda dan karena itu keduanya memiliki karakter berbeda. Namun demikian keduanya tetap memanfaatkan konsep belajar dalam melaksanakan tugas masing-masing. Dari sini timbul pertanyaan : Bagaimana konsep belajar di sekolah? Bagaimana konsep belajar dalam pendidikan luar sekolah? Bagaimana orientasi belajar di sekolah? Bagaimana orientasi belajar dalam pendidikan
luar sekolah? Apakah sama konsep belajar di sekolah dengan pendidikan di luar sekolah? Pertanyaan-pertanyaan ini masih saja bisa diperbanyak, namun focus kali ini hanya ingin mengetengahkan tentang konsep belajar dalam pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah. II. DUA KARAKTER BERBEDA Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, informal, dan non formal atau jalur pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pendidikan in formal dipandang sebagai bagian sistem pendidikan nasional, namun pelaksanaannya diserahkan kepada keluarga/masyarakat. Oleh sebab itu praktis diskusi kita hanya terkait dengan pendidikan sekolah/formal dan pendidikan luar sekolah/pendidikan non formal. 1. Pendidikan sekolah/formal Menurut catatan, sekolah muncul sebagai respon perkembangan kebijakan yang menempatkan defusi dan adopsi teknologi sebagai cara pembangunan bagi negara-negara berkembang. Pada saat ini sekolah berfungsi sebagai agen perkembangan teknologi untuk mencapai modernisasi (Merriam dan Cummingham 1989:86). Sementara itu Evans (1981:28) mencirikan bahwa pendidikan formal itu berada dalam institusi sekolah, ada tingkatan kelas berdasar usia anak muda (age graded classes ofyouth), diikat kurikulum ketat, oleh guru-guru yang bersertifikat dan dengan metode yang standar. Ciri yang lain Knowles (1979:27) sebelum abad ke 20 hanya ada satu teori belajar, yaitu pedagogy yang digunakan untuk mengajar anak dan orang dewasa. Pada saat itu juga telah berdiri sekolah untuk mengajar anak menjadi pendeta dengan strategi belajar yang kemudian bernama pedagogy yang berarti seni dan pengetahuan mengajar anak. Lama kelamaan timbul pemikiran strategi belajar untuk orang dewasa. Sanapiah Faisal (1981:51) dan Soelaiman Yoesoep (1992:93) menyebutkan pendidikan formal lebih akademis, jangka panjang, mengutamakan ijasah, berjenjang secara ketat. Ciri ini berbeda dengan pendidikan non formal. Perbedaan ciri-ciri akan membuat perbedaan dalam konsep belajar bagi masing-masing jenis pendidikan. 2. Pendidikan non formal/Pendidikan luar sekolah Dalam kepustakaan terdapat banyak istilah untuk menyebut ide pendidikan non formal istilah-istilah lain misalnya Adult Education, Foundamental Education, Social Education, Out of School Education, Mass Education, Continuing Education, Recerent Education, dst. Dari segi historis pendidikan non formal timbul untuk merespon masalah hidup dan kehidupan yang lebih luas. John R. Rachel misalnya dengan menggunakan istilah Continuing Education, digunakan untuk sosialisasi dengan lingkungan, perubahan sosial, penataan sosial, mengatur demokrasi, perbaikan etnik, perbaikan
pendapatan, mengatur urbanisasi, penyesuaian dalam pekerjaan, peningkatan SDM, persamaan gender, peningkatan status, mengatasi masalah-masalah sosial (Merriam dan Cummingham 1989:3-9). Hal Beder dengan istilah Adult education, digunakan untuk merangsang perubahan masyarakat, memelihara dan membantu tatanan social, meningkatkan produksi dan memantapkan perkembangan individu (Merriam dan Cummingkam 1989:39). Masih banyak lagi contohcontoh fungsi pendidikan non formal yang ternyata memiliki sasaran dan jenis lebih beragam. Hal yang ingin dikemukakan ialah bahwa pendidikan non formal jangkauan luas, beragam tetapi lebih focus kepada sasaran orang dewasa dan terkait dengan kebutuhan hidup yang nyata. Beberapa cirri pendidikan non formal (Sanapiah Faisal 1981:51) dan (Soelaiman Yoesoef 1992:73) tidak ada jenjang, jangka pendek, sebagai respon kebutuhan mendesak, praktis dan tidak mengutamakan kredentials. Selain ciri-ciri di atas masih terdapat ciri lain seperti : berjalan terus menerus, mementingkan pengalaman, komunikasi dua arah, berpusat pada warga belajar (student centeral), memanfaatkan kajian ilmu sosial dan psikologi serta menggunakan pendekatan andragogi. Pentingnya andragogi dalam pendidikan non formal seperti disarankan oleh Maslow (Darkenwald dan Merriam 1982:47) bahwa belajar itu melibatkan perasaan kejiwaan, guru harus membantu mengembangkan potensi warga dan andragogi sebagai seni dan pengetahuan untuk mencapai tujuan. Sedangkan Merriam dan Cummingham (1989:183) menilai penerapan andragogi dalam belajar orang dewasa merupakan kemajuan yang baik karena sesuai perkembangan orang dewasa. III. DARI PENDIDIKAN SEKOLAH KE PENDIDIKAN SEPANJANG HAYAT Pemikiran pendidikan selalu berkembang, E Vans (1981:12) menyatakan secara historis usaha-usaha pendidikan nampak dalam perspektif amat luas, terbagi dalam 3 fase. Fase pertama sebagian besar umat manusia didominasi oleh pendidikan non school dalam kehidupannya. Fase kedua relative lebih singkat, kehidupan didominasi oleh pendidikan formal (schools). Fase ketiga sebagai awal masa depan kehidupan umat manusia, didominasi oleh perpaduan (partner ship) antara non education dengan school education. Perpaduan kedua pendidikan ini diadopsi oleh UNESCO sebagai life long education. Dalam life long education termuat konsep pendidikan yang lebih luas. Pendidikan memberikan layanan kepada seluruh tingkat usia, dengan bahan belajar bermacam-macam serta metode berbeda-beda. Dalam konsep ini pendidikan bisa terjadi kapan saja, dimana saja, belajar sendiri, belajar bersama, belajar dengan guru. Bagaimana bentuk perpaduan pendidikan formal dan non formal? Ada 3 kemungkinan (Evans 1981:19-21), pertama
sebagai suplemen maksudnya pendidikan non formal melengkapi pendidikan formal. Kedua sebagai komplemen yaitu memberikan tambahan belajar saat siswa masih belajar di sekolah. Ketiga sebagai replacement (pengganti) di sini pendidikan non formal dapat berfungsi sebagai pengganti pendidikan formal. Pergeseran/perluasan konsep pendidikan ini juga ditegaskan oleh Darken Wald dan Merriam (1982:2), dewasa ini pemikiran luas tentang pendidikan terbuka luas oleh sekolah dan para perencana telah mengusulkan konsep life long learning. Sementara itu Delargy (Merriam dan Cummingham 1989 : 294- 295) menyatakan komisi mutu pendidikan negara fokus terhadap tujuan untuk pembelajaran masyarakat (learning society). Semua anggota masyarakat memperoleh kesempatan untuk memperluas pikiran, mengembangkan kapasitas lewat belajar karena belajar akan membuat perubahan. Jadi jelas telah terjadi perluasan konsep pendidikan dari schooling (pendidikan sekolah) yang lebih sempit ke konsep life long education yang lebih luas. Mengapa terjadi perluasan konsep pendidikan? Ada 3 alasan dasar (Evans 1981:17-25) 1. Para praktisi pendidikan orang dewasa berharap agar ada kelompokkelompok pendidikan non formal yang mampu menambahi formal atau bahkan dapat merger. 2. Para perencana pendidikan melihat sistem pendidikan sekolah melemah kontribusinya terhadap pembangunan. Philipcomb menyatakan di negara berkembang sekolah formal tidak dapat memberikan kepuasan dan segera menekankan perluasan pendidikan. 3. Para kritikus pendidikan formal seperti Ivan Illich dan Freire memandang sekolah sebagai bentuk penindasan, kurang memberikan kebebasan, mengabdi kepentingan penindas dan mencetak kelompokkelompok sub ardinal, dsb. Sementara itu Everest (Merriam Cummingham 1989 : 85-87) sekolah sebagai agen transfer teknologi dalam negara berkembang tidak mampu memberikan harapan tinggi dan bahkan mengecewakan karena hanya dinikmati oleh kaum elit. Oleh sebab itu education for national building menjadi keharusan bagi negara baru merdeka. Disamping alasan di atas, demokratisasi, perkembangan tantangan demografi, perkembangan ilmu dan teknologi, tantangan politik, laju informasi, krisis pada pola kehidupan dan hubungan juga dapat menyebabkan perluasan konsep pendidikan. IV. DUA MODEL TEORI BELAJAR Pada tahun 1970 (Knowles 1979:15) dua ahli Psikologi perkembangan yaitu Hayme W Reese dan Willis F. Overten menghadirkan cara untuk memahami teori belajar dalam bentuk lebih luas. Model yang sangat umum yaitu berdasarkan atas pandangan metafisik (metaphysical system) yang mengkaji ciri dasar manusia secara natural (alami). Ada dua pandangan yaitu berdasar ilmu sosial dan ilmu fisik. Pandangan ilmu sosial yang disebut Organisme World View dan pandangan yang ilmu fisik disebut Mechanistic World View. Berdasarkan dua pandangan ini teori
belajar dibagi dalam dua kelompok besar yaitu Theories based on Organism Model dan Theories Based on Mechanical Model. (Knowles 1979:17-26). 1. Theories Based on Mechanichal Model. Teori ini menganggap alam semesta sebagai mesin yang tersusun dari potongan-potongan (pieses) yang memiliki ciri masing-masing dan bergerak in spatio-temporal field. Potongan-potongan itu sebagai partikel elementer yang berhubungan satu sama lain dan membentuk realita dengan fenomena yang kompleks. Ilmuwan pertama Edward Thomolike mengadakan studi belajar binatang. Ia memahami bahwa pelajar adalah organism yang kosong dan merespon rangsangan lebih banyak atau lebih sedikit' secara acak dan otomatis. Teori belajar yang dikemukakan adalah Stimulus-Respon (S-R). Dalam teori ini diyakini tingkah laku murid dapat dibentuk melalui stimulus. Tingkah laku dapat diatur, diarahkan, dimanipulasi sesuai kehendak guru melalui stimulus yang dikendalikan sedemikian rupa. Jadi belajar itu process simple connection of respon to stimuli (hubungan elementer antara rangsangan dengan reaksi, sebagaimana terjadi dalam dunia mesin). Tokoh-tokoh lain termasuk teori ini seperti Skinner dengan teori Operaut Conditioning yang mengatakan tingkah laku dapat dikendalikan melalui pengontrolan. Hull dengan Systematic Behavior Theory, Pavlo dengan Classical Conditioning Theory, Guthrie dengan Contiguous Theory, dan Hull dengan Systematic Behavior Theory. Sebutan lain yang sering digunakan untuk menunjuk teori belajar S-R adalah behaviorist/connectionist theory, association or stimulusresponse theory. Dalam kelompok ini belajar dipandang sebagai proses untuk merubah tingkah laku sesuai yang dikehendaki melalui pengaturan stimulus/rangsangan-rangsangan. Dalam keadaan seperti ini murid diposisikan sebagai organism pasif (reactive and adaptive man) dan belajar tidak terjadi jika tidak ada rangsangan. 2. Theoris based in or organism model Teori ini berbeda dengan teori based on mechanical model. John Dewey (Knowles 1979 : 21) mengajukan perlawanan, sebagai seorang filsuf pendidikan ia menekankan pentingnya peranan minat (interest), usaha dan motivasi dalam mengatasi persoalan hidup. Teorinya bernama functionalism dan jika diterapkan di sekolah menjadi konsep progressive education. Hilgard dan Bower menilai teori ini ideal karena merupakan perwujudan pertumbuhan kearah kemandirian/kebebasan dengan control sendiri melalui interaksi dengan lingkungan sesuai tingkat perkembangan. Pada dasamya teori based in or organism model berpandangan bahwa belajar bukan simple connection S-R, tetapi complex connection S-R. Belajar adalah proses in sight learning, maksudnya individu merespon rangsangan dari luar dengan pengetahuan/pengalaman yang telah tersusun dalam dirinya. Jadi respon individu tidak dianggap otomatis, tetapi ada kekuatan dari dalam sehingga lebih kompleks.
Malcolm Knowles dkk (2005:29) teori in sight learning dibangun berdasarkan teori/psikologi gestalt dan termasuk rumpun teori medan {field theory). Psikologi Gestalf menolak bahwa belajar adalah proses simple conecsi S-R, tetapi menekankan peran pengalaman siswa terhadap respon yang terjadi sebagai pribadi, siswa akan mereaksi rangsangan secara keseluruhan tidak sebagian demi sebagian. Belajar terjadi jika ada pengertian (in sight) yang muncul setelah beberapa saat memahami, mengerti kejelasan, mengerti hubungan dan mengerti maknanya. Sementara itu field theories (teori medan) menegaskan bahwa sejumlah kekuatan, rangsangan, kejadian akan mempengaruhi belajar (Malcalin Knowles dkk 2005 : 29). Perkembangan selanjutnya (Malcolm Knowles dkk 2005 : 30) field theory diberi label phenomenological psychology, perceptual psychology, humanistic psychology dan cognitive psychology. Bila kita cermati ketiga label ini mengindikasikan bahwa belajar itu : a. Proses internal, melibatkan perasaan, kesadaran pikiran, pengenalan dalam diri {self initiation) melalui indera secata akumulatif. Hal ini terjadi karena person dipandang sebagai organism aktif selalu mencari kepuasan lebih baik. Jadi kesadaran (in sight) dan self directing learning adalah sentral dalam belajar. b. Belajar harus meaning full (penuh makna) terkait dengan persoalan hidup nyata dan pervasiveness (mudah menyebar) menyebabkan perbedaan tingkah laku, sikap siswa, dalam kerangka mewujudkan jati diri (self actualization). c. Kegiatan belajar dipengaruhi (determine) oleh pola-pola atau kekuatan, rangsangan oleh kejadian/ peristiwa. Beberapa tokoh yang terlibat dalam teori belajar ini misalnya Wertheiner, Koffka, Kohler (gestelf), Kurt lewin (teori medan), Picget (teori kognitif), Card Regers (Psychology humanistic), Combs dan Snygg (Phenomenological Psychology). V. IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR Teori belajar based on mechanical and model' sering digunakan dalam pendidikan anak di sekolah, sementara itu hari belajar based on an arganistic model digunakan dalam pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah yang sebagian besar sasarannya orang dewasa. Sebelum perang dunia kedua muncul pendidikan sekolah dengan menggunakan pendekatan pedagogi. Namun setelah perang dunia kedua ada penemuan unik yang karakter orang dewasa dalam belajar. Semenjak itulah muncul dan berkembang usaha ke arah teori belajar orang dewasa yang berbeda dengan anak. Pendidikan non formal/pendidikan luar sekolah hadir untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi anak usia sekolah yang berada di luar sekolah dan bagi orang dewasa untuk mengatasi masalah hidup yang dihadapinya. Pendidikan non formal memiliki sasaran dan kebutuhan
belajar yang beraneka ragam. Pendidikan berjalan sepanjang hayat dengan cara yang beragam. Dalam kondisi seperti ini konsep belajar based on an organistic model dipandang mampu mewadahi kebutuhan belajar. Mengapa? karena dapat memberikan suasana kondusif bagi sebuah perkembangan pribadi yang ideal. Teori-teori belajar gestalt, teori penomenologi, teori medan, teori fungsionalis, teori perceptual behavior dan teori humanisme membuktikan bahwa belajar adalah proses internal, independent, self derecting, demokrasi dan humanis. Dalam pendidikan non formal konsep belajar memiliki arti lebih luas. Keluasan ini seperti dalam kutipan-kutipan berikut. Napitupulu, (1981:4) belajar adalah “mengalami” menjelajahi alam sekitar dengan aktif dan kreatif untuk menemukan “sabda alam” untuk dipikirkan, dikembangkan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sendiri dan masyarakat. Paulo Freire, (1969:25) dengan teori belajar praxis menegaskan bahwa dalam belajar terkandung pengertian reflection and action. Belajar diawali dengan melihat peristiwa, memikirkan, merenungkan, dan melaksanakan aksi mengatasi persoalan hidup. Carl Rogers menyebut belajar sebagai process of becoming person (proses menjadikan manusia) dan Maslow menyatakan belajar untuk mencapai akterceliasi diri (Sodiq A. Kuntoro, 1985:10). Keluasan konsep belajar dalam pendidikan non formal juga dinyatakan oleh Marcie Boucouvalas dan Yudy Arin Krupp (Merriam dan Celuningkam, 1989:183) the concept of change seems integral to conceptualization of adult learning that range change in behavior to change in internal couscious kess (konsep belajar sama dengan perubahan yaitu perubahan tingkah laku ke perubahan kesadaran). Malcolm Knowles dkk (2005:13) beberapa ahli menyatakan belajar terkait pertumbuhan (growth), perkembangan kompetensi (development of competencies) dan pemupukan potensi (fulpillment of potential). Sebenarnya pemikiran tentang belajar orang dewasa berawal dari sebuah penyelidikan secara instuitif dan analisis pengalaman dan terpusat pada bagaimana orang dewasa belajar. Hasilnya dipublikasikan oleh Eduard C Lindeman sebagai berikut (Malcolm Knourles dkk (2005:37-38) sebagai berikut: 1. Pendekatan belajar orang dewasa harus melalui rute kehidupan/masalah hidup bukan berdasar mata pelajaran. 2. Kurikulum dibangun berdasar kebutuhan dan minat bukan berdasar atau mengikuti kurikulum yang sudah ada seperti dalam pendidikan konvensional. 3. Belajar orang dewasa dimulai dari situ dari khusus disekitarnya yang terkait dengan tugas-tugasnya, keluarga, masyarakat dan seterusnya. Jika perlu pengajaran pengetahuan (subject matter) diaplikasikan kedalam tugas atau lapangan. 4. Guru dan buku-buku bersifat sekunder, bukan penentu/penggerak belajar. Guru harus memberikan cara belajar bagi siswa. 5. Belajar orang dewasa mementingkan pengalaman. 6. Kehidupan adalah pendidikan, namun sebagian besar belajar berupa
belajar kejadian dan pengetahuan. 7. Peristiwa hidup adalah bacaan utama (text booknya) belajar orang
dewasa. 8. Mengajar yang otoriter, sistem ujian yang menghalangi berfikir mumi, pembelajaran yang kaku semua ini tidak ada tempatnya dalam belajar orang dewasa. 9. Dalam belajar, orang dewasa biasanya tidak banyak berbicara (not aracles) namun ia menyimpan pikiran segar dan penuh semangat. Ia akan menggali pengalaman untuk menghadapi situasi baru, sebelum berdiskusi dengan guru. Inilah cara pemikiran belajar orang dewasa yang selanjutnya lahir pendekatan belajar orang dewasa yang disebut Andragogi. DAFTAR BACAAN Evan David, R (1981) The Planning of Non Formal Education, New York : Unesco International Institude for Educational Planning. Darkenwald, Gardon G & Marriam, Sharam B, (1982) Adult Education, Foundations of Practice. New York : Hoper & Row Publisher. Freire, P. (1985). Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta : LP3ES. Knowles, Malcolm, S. (1979). The Adul Leaner, a Neglected Species. Houston, London, Paris, Tokyo : Gulf Publishing Company Book Devision. Knowles, Malcolm, S, Holton, Elwood. E, & Swason, R.A. (2005) The Adult Leaner, The Definitive Classic In Adult Education and Human Resources Development. Amsterdam, Boston. Heidelberg, London, New York, Oxford, Paris, San Diego, San Francisco, Singapore, Sydney, Tokyo : Elsevier Butterworth Heinemann. Napitupulu. (1981). Eksistensi dan Peran Pendidikan Non Formal Selama ini dalam Usaha Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Makalah. Jakarta : Dirjen Dikluspara. Samapiah Faisal. (1981). Pendidikan Luar Sekolah dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional. Surabaya : Usaha Nasional. Soelaeman Yoesoep. (1986). Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara. Sodiq A. Kuntoro. (1985). Dimensi Manusia dalam Pemikiran Pendidikan, Yogyakarta: Nur Cahya.