EKOLOGI POLITIK PERTAMBANGAN DI KOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA
LA ODE RUSYAMIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 La Ode Rusyamin NIM P052090051
RINGKASAN LA ODE RUSYAMIN. Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan SOERYO ADIWIBOWO Pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau memberikan izin kuasa pertambangan kepada pihak korporasi untuk melakukan kegiatan ekplorasi. Hal ini ditandai dengan surat keputusan walikota Baubau No 5451/6211/EUD/2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di Kecamatan Sorawolio. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel tersebut menjadi pemicu terjadinya konflik Pertambangan di Kota Baubau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fakta dikonstruksi berdasarkan subyek tineliti dengan menggunakan paradigma kritis dan konstruktivisme. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau secara tradisonal (era kesultanan, 1511-1960) untuk tanah Turakia; penggunaannya dialokasikan sebagai pemukiman, tanah ome; dialokasikan untuk perkebunan, tanah katampai, di alokasikan untuk perkebunan dan hutan serta tanah kaombo penggunaanya sebagai hutan yang tidak diperbolehkan untuk digunakan kecuali untuk kepentingan bersama. Penguasaan keempat klasifikasi tanah tersebut yaitu sebagai common property kecuali tanah katampai sebagai private property (milik Wa Ode Wau untuk di lokasi studi). Pada era Soeharto terjadi perubahan (melalui legitimasi hukum positif) dan pada era otonomi daerah terjadi perubahan alokasi ruang dari pemukiman, kebun menjadi tambang (jalan tambang dan terminal khusus), penguasaannya berubah dari private property menjadi private ownership. Sementara penggunaan dari hutan produksi terbatas pada era Soeharto dialokasikan sebagian untuk tambang dan penguasaanya menjadi private ownership. Aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau yaitu kesultanan, pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, pemerintah Kota Baubau, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Baubau, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban, pihak swasta (PT BIS), Masyarakat Kota Baubau mahasiswa dan LSM. Bundle of power yang terbentuk yaitu terjadi aliansi antara pemerintah, DPRD Kota Baubau dan PT BIS, kemudian aliansi antara masyarakat pro tambang, mahasiswa pro tambang dan PT BIS serta aliansi masyarakat kontra tambang, mahasiswa kontra tambang dan LSM. Penyebab utama terjadinya konflik pertambangan di Kota Baubau yaitu ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Pemberian izin tersebut melahirkan terjadinya kontroversi kebijakan tentang RTRW, izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas, izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan. Akibat dari kebijakan tersebut maka terjadi perubahan penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau dan pencemaran lingkungan. Sementara bentuk konfrontasi yang terjadi akibat pemberian izin
tersebut adalah aksi demonstrasi dan pernyataan pers. Pada tahapan krisis, konflik yang terjadi yaitu pengrusakan rumah dan teror. Kata kunci : Aktor dan Jaring Kuasa Antar Aktor, Ekologi Politik, Konflik dan Sumberdaya Alam.
SUMMMARY LA ODE RUSYAMIN. Political Ecology of Mining in Baubau South East Sulawesi province. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and SOERYO ADIWIBOWO. In 2007 the government of Baubau gave mining rights permission to the corporation to conduct exploration activities. It was marked by the mayor's decree of Baubau No. 5451/6211/EUD/2007 about empowerment mining exploration rights of PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) in Sorawolio District. The exploration and exploitation activities of the nickel mine became a trigger of the mining conflict in Baubau. This research used a qualitative approach in which facts were constructed based on the subjects studied by using the critical paradigm and constructivism. These results indicated that the map control of natural resources in Baubau, traditionally (the sultanate era, 1511-1960) for Turakia land; allocated as residential, ome land; allocated for plantation, katampai land; allocated for plantations and forests and kaombo land its use as a forest which was not allowed to be used except for the common good. The mastery of the four land classifications were as common property except katampai land as private property (owned by Wa Ode Wau for the study area). In the Suharto era there was a change (via the legitimacy of positive law) and in the era of regional autonomy changed the allocation of residential space, the garden became mine (mine roads and special terminals), its control changed from private property to private ownership. While the use of a limited production forest in the Soeharto era in part allocated to mine and its governance be private ownership. The actors involved in the use and control of natural resources in the Baubau of the Sultanate, the Central Government, the Government of the province of South East Sulawesi town of Baubau, Governments, Regional House of representatives (DPRD) Of Baubau, apparatus of State security and public order, private parties (PT BIS), society Of Baubau, students and NGOs. Bundle of power occurred which formed an alliance between Government, DPRD Baubau Town and PT BIS, then the Alliance between the community pro mines, mining and PT pro student BUS as well as the Community Alliance counter mine counter mine, students and NGOs. The main cause of occurrence of conflicts of mining in the town of Baubau, namely when the Government town of Baubau give licences (IUP) exploration (formerly mining exploration of the power of permission) to PT buses. The granting of such permission policy controversy about the onset of childbirth RTRW, permit loan limited production forest area usage, environmental permits and building permits. The result of the policy changes the use and control of natural resources in the city of Baubau and environmental pollution. While the form of showdown that occurred as a result of the granting of such permits is the action demonstration and press statement on the stages of the crisis, a conflict that is the destruction of homes and of terror. Keywords: Actors and bundle of power, conflict, natural resources and political ecology.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EKOLOGI POLITIK PERTAMBANGAN DI KOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA
LA ODE RUSYAMIN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperolah gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji Luar Tertutup: Dr.Ir. Rilus A.Kingseng, MA
Judul Tesis
: Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama
: La Ode Rusyamin
NIM
: P052090051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr Ketua
Dr.Ir.Soeryo Adiwibowo,MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,MS
Dr.Ir.Dahrul Syah,M.Sc.Agr
Tanggal ujian: 15 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Agung, karena atas limpahan rakhmat dan karunia-Nya penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister. Kajian yang dipilih dalam penelitian ini yaitu “EKOLOGI POLITIK PERTAMBANGAN DI KOTA BAUBAU PROVINSI SULAWESI TENGGARA”. Berkenaan dengan penyusunan tesis ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memantau dan mengingatkan sejauh mana perkembangan studi dengan waktu masa studi yang akan berakhir. Kemudian bapak Dr.Ir.Soeryo Adiwibowo,MS selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan kesabarannya memandu dan menfokuskan hasil kajian. 2. Prof.Dr.Ir.Cecep Kusmana,M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB dan para staf pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. 3. Dr.Ir. Rilus A.Kingseng, MA selaku penguji luar komisi 4. Anakku tersayang “Wa Ode Callysta Salsabila” engkau hadir dikala sang ayah sedang berjuang untuk menyelesaikan studi dan dikala tidak sedikit orang mengharapkan perubahan di kampung kita tercinta. Sang istri tercinta yang tetap mendampingi diujung penyelesaian studi ini. 5. Kedua orang tuaku tercinta (Papa dan Mama) rasa hormatku dan terima kasih tak terhingga kepada yang selalu memberikan dukungan doa dan menjadi motivasi tersendiri bagi penulis untuk tetap berjuang dan menempuh pendidikan dan menjadi cita-cita bersama. 6. Adik-adik kandungku tersayang (La Ode Munawar, ST, La Ode Ahmad Mustari, S.Ik dan Wa Ode Nasra, A.Md) dan adik-adik sepupuku yang ikut ke Bogor untuk menempuh pendidikan (Arfa,Wahyu, Dian, Ulis, Safrin) kalian merupakan pendorong semangat dalam penyelesaian studi ini. 7. Dr Muhammad Rasman Munafi (Kepala Bagian Sumberdaya Alam Kota Baubau), La Ode Abdul Monianse, La Ode Munafi,M.Si, La Ode Hamuri (Anggota DPRD Kota Baubau) dan La Ode Yasin Mazadu (Wakil Ketua DPRD Kota Baubau) yang telah membantu memberikan data dan informasi terkait dengan penelitian yang penulis lakukan serta beberapa informan lainnya yang tak dapat saya sebutkan satu persatu. 8. Kawan-kawanku seperjuangan PSL 2009 (Musahidin, Mursalin, Risnandar, Eno, Novit, Afdal, dll) serta teman-teman yang selama ini berjuang bersama untuk memenuhi kebutuhan subsisten (Andre, Irfan, aan, Arman, Mukmin, Bau, Edy, Awang, Ruli, Astri) yang terus menyemangati penulis untuk menyelesaikan studi ini. 9. Abang-abangku (Rusman Prasetya, S.Pi, M.Si; La Ode Untung Karma S.Pi; Muhammad Yusuf, S.Si, M.Si; Dr Sofyan Sjaf, S.Pt, M.Si; Muhammad Karim S.Pi, M.Si; La Ode Agus Salim, SH, MH; Muhammad Syarief Nur STP dan Supasman Emu, S.Pi, M.Si) yang selalu memberikan masukan dan kritik membangun dalam penyelesaian studi ini.
10. Kawan-kawan seperjuangan di Kota Baubau (Endang, Jafar, Bung Erwin Usman, Aha, Rahman, Muliadi, Asmin, Yadi, Fajar, Bojes, Eko, Iryadi, Sakiudin, Masrun, Erwin) yang ikut membantu memberikan informasi dalam penelitian ini. 11. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga karya sederhana ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Agustus 2013 Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I.
i iii iii
PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian
1 1 4 5
II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Ekologi Politik Teori Akses dan Property Teori Konflik Kerangka Pemikiran
6 6 8 10 11
III. METODOLOGI PENELITIAN Metode Pendekatan dan Teknik Penelitian Cara Pengolahan dan Analisis Data Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian
13 13 15 17 17
IV. PROFIL WILAYAH MASYARAKAT LINGKAR TAMBANG PERTAMBANGAN NIKEL DI KOTA BAUBAU 20 Kondisi Geografis 20 Kondisi Demografis 21 Sistem Ekonomi 22 23 Sumberdaya Lokal V. SEJARAH PENGUASAAN SUMBERDAYA ALAM Tanah Turakia Tanah Ome Tanah Katampai Tanah Kaombo Ikhtisar
25 25 26 27 28 29
VI. AKTOR YANG TERLIBAT Kesultanan Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Pemerintah Kota Baubau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Baubau Aparat Negara Bidang Keamanan dan Ketertiban Pihak Swasta (PT BIS) Masyarakat Kota Baubau
30 30 31 32 32 36 38 39 40
i
Mahasiswa Lembaga Swadaya Masyarakat Bentuk Bundle of Powers dan web of powers Ikhtisar
42 42 43 47
VII.ANALISIS KONFLIK Pra Konflik Konfrontasi Krisis Akibat Pasca Konflik Ikhtisar
50 51 59 62 63 64 64
VIII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
65 65 65
DAFTAR PUSTAKA
67
RIWAYAT HIDUP
69
ii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 6.1. Tabel 6.2.
Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik,hak dan tugas-tugasnya Keterkaitan topik masalah penelitian, pendekatan dan tujuan penggunaanny Deskripsi tahapan penelitian Jumlah desa/kelurahan dan luas wilayah kecamatan Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan serta rasio jenis kelamin di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea Jumlah kepala Keluarga (KK) dan kepadatan penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea Keadaan penduduk berdasarkan kelompok usia penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea Jumlah pasar, Toko, Kios/Warung di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea Tanggapan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terhadap persoalan PT BIS Tanggapan beberapa anggota DPRD Kota Baubau terkait persoalan PT BIS
9 16 18 20 21 22 22 23 33 37
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Ekologi Politik Pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian Gambar 4.1. Peta Sebaran Pemukiman Penduduk di Lokasi Studi Gambar 7.1. Lahan yang telah dibebaskan oleh PT BIS Gambar 7.2. Kondisi Banjir di Lokasi persawahan masyarakat Kelurahan Waliabuku Kecamatan Bungi Gambar 7.3. Rumah Masyarakat Pro Tambang yang Dirusak oleh Masyarakat Kontra Tambang
12 18 32 57 59 63
iii
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pada mulanya Kota Baubau adalah pusat kerajaan atau Kesultanan Buton yang pernah berjaya sejak abad ke-13 hingga abad ke-20. Wilayah kekuasaannya meliputi pulau Buton dan beberapa pulau yang ada di sekitarnya, antara lain pulau Muna, Kabaena, Wawonii, gugusan kepulauan Tukang Besi (Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko) dan pulau-pulau lainnya di sekitar pulau Buton, yakni Siompu, Kadatuang, Mangkassar, dan Talaga1. Masa kesultanan tersebut berakhir pada tahun 19602 sebagai akibat dari proses “democratieseering” yang dilakukan oleh pemerintah pusat saat itu. Pada awal tahun 1951, dilaksanakan “democratieseering” yaitu proses untuk mewujudkan demokratisasi di bekas daerah-daerah kerajaan (swapraja). Hal ini ditandai dengan berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan berganti kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1952 Kota Baubau menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara3. Pada tahun 1959 Kabupaten Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi 4 (empat) Kabupaten yaitu Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka. Ketika dilakukan pemekaran tersebut Kota Baubau berubah menjadi ibukota Kabupaten Buton. Kemudian pada tahun 1964 dibentuklah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964. Selama kurang lebih 42 tahun Kota Baubau menjadi ibukota Kabupaten Buton maka pada tanggal 3 November 1981 Kota Baubau ditetapkan sebagai Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1981. Pada tanggal 17 Oktober tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 13 tahun 2001 Baubau mekar dari kabupaten Buton menjadi daerah otonom baru. Daerah Kota Baubau awalnya terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Wolio, Betoambari, Sorawolio dan Kecamatan Bungi. Sejak tahun 2006 Baubau mengalami pemekaran wilayah menjadi 6 (enam) kecamatan dan menjadi 7 (tujuh) kecamatan diakhir tahun 2008 dengan luas wilayah 221 km2. Ketujuh kecamatan tersebut adalah Kecamatan Betoambari, Murhum, Wolio, Kokalukuna, Sorawolio, Bungi dan Kecamatan Lea-Lea (Baubau dalam Angka, 2012). Setelah kota Baubau ditetapkan sebagai daerah otonom baru, dalam sistem disentralisasi sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah maka memungkinkan pemerintah daerah mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) dan lingkungannya. Kondisi ini ikut mendorong pemerintah Kota Baubau melakukan ekspansi pengelolaan sumberdaya alam berbasis tambang (ekstraktif).
1
2 3
Wilayah bekas kesultanan tersebut kini telah mekar menjadi wilayah beberapa daerah tingkat II yakni Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Muna. Kesultanan Buton terakhir yaitu sultan ke 38 Tercatat bahwa ada lima orang Bupati Sulawesi Tenggara yang berkedudukan di Baubau saat itu yakni Achmad Marzuki Daeng Marala (asal Sulawesi Selatan), R. Pusadan (asal Sulawesi Utara),Abdul Pattaropoera (asal Sulawesi Tengah), Muh Amin Daeng Soero (asal Sulawesi Selatan) dan La Ode Manarfa (asal Sulawesi Tenggara/anak sultan ke-38)
1
Pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau memberikan kuasa pertambangan kepada pihak korporasi untuk melakukan kegiatan ekplorasi sumberdaya nikel. Hal ini ditandai dengan Surat Keputusan Walikota Baubau No 5451/6211/EUD/2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di Kecamatan Sorawolio. Keputusan pemerintah daerah tersebut merupakan pilihan politik dalam mengelola sumberdaya alam. Adapun yang menjadi alasan pemerintah daerah yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai pembangunan di daerah. Pemanfaatan sumberdaya nikel oleh pihak swasta merupakan bentuk ketidakadilan pemerintah Kota Baubau terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan lokasi sumberdaya nikel yang akan dieksploitasi tersebut bagi masyarakat merupakan sumber mata air dan dilindungi oleh masyarakat. Kondisi ini memicu terjadinya konflik pertambangan di Kota Baubau yang melibatkan komunitas (masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Mahasiswa), pemerintah daerah dan korporasi. Beberapa isu pengelolaan sumberdaya alam yang memicu konflik tersebut antara lain: Pertama; Isu lingkungan atau persoalan hidrologi4. Bagi masyarakat lingkar tambang5 sumberdaya dilokasi tambang (nikel) tersebut merupakan hajat hidup mereka karena merupakan sumber mata air. Sehingga dengan adanya kegiatan PT BIS dalam melakukan kegiatan eksplorasi ataupun eksploitasi akan menimbulkan dampak terhadap terjadinya banjir dan kekeringan. Hal ini seperti disampaikan oleh DYM Ketua Forum Badan Keswadayaan Masyarakat (FBKM) yang disitir melalui media massa (Radar Buton, Kamis, 7 Februari 2008) bahwa : “....Sebelum kawasan hutan dijadikan lokasi pertambangan kondisi alam sudah tidak bersahabat. Dimusin penghujan, jika hujan sehari akan terjadi banjir dan disaat kemarau, panas seminggu, sebagian areal persawahan akan mengering. “Apalagi kawasan jika kawasan hutan yang ada itu dijadikan areal pertambangan jelas akan menimbulkan bencana besar”. Kemudian diareal pertambangan terdapat dua hulu sungai yang menjadi tumpuan para petani....” Kedua; Persoalan regulasi, kegiatan eksplorasi tambang nikel PT BIS seharusnya belum dapat dilakukan karena belum mendaptkan izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana yang dipersyaratan dalam Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Kemudian berkaitan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota 4
5
Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi,terjadinya peredaran dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisiknya dan reaksi dengan lingkungannya termasuk hubunganya dengan makhluk hidup (International Glossary of Hidrology,1974 dalam Seyhan.E, 1990). Istilah hidrologi hutan dalam penelitian karena isu yang terjadi terkait materi konflik yang terjadi di lokasi studi salah satunya adalah banjir. Hal ini berkaitan dengan prinsip hidrologi atau perlakuan hutan terhadap prilaku hidrologi. Seyhan.E, (1990) menyatakan bahwa untuk menghubungkan perlakukan hutan terhadap prilaku hidrologi maka hal-hal umum yang terjadi dan diterima bersama yaitu (1) penggunaan vegetasi penutup hutan akan meningkatkan produksi air/ water yield, (2) tumbuhnya vegetasi penutup hutan akan menurunkan produksi air, (3). Di beberapa tempat akar-akar tanaman mengambil air tanah sedangkan penghilangan vegetasi penutup akan menurunkan evapotraspirasi dan akibatnya akan meningkatkan debit aliran sungai, (4). Evaporasi dari tanah yang gundul dan serasah akan meningkat setelah penghilangan vegetasi penutup hutan, dan (5) penghilangan hutan meningkatkan kisaran antara aliran sungai yang tinggi dan yang rendah, akibatnya meningkatkan aliran yang maksimum. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat lingkar tambang disini adalah masyarakat yang pemukimannya berada di sekitar lokasi tambang dan memilik pengaruh kuat terhadap potensi dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan yaitu masyarakat di kecamatan Sorawolio, kecamatan Bungi ,Kecamatan Lealea dan kecamatan Kokalukuna.
2
Baubau tahun 2003-20012 (Perda No 2 Tahun 2004) bahwa lokasi pertambangan nikel PT BIS peruntukannya sebagai kawasan pertanian, perkebunan dan kehutanan. Sehingga lokasi pertambangan nikel PT BIS tidak sesuai dengan RTRW tahun 2003-2012. Selain hal tersebut persoalan regulasi terkait dengan AMDAL, bahwa komunitas memahami kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh PT BIS belum memiliki dokumen AMDAL. Ketiga; persoalan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan, masyarakat sekitar lokasi pertambangan nikel (Kecamatan Sorawolio) memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan subsistennya yaitu melalui pencarian rotan dan pengambilan madu dari lebah. Hal ini menjadi salah isu dengan hadirnya pertambangan nikel di Kota Baubau. Perubahan kewenangan yang memicu konflik serta kekuasaan atas sumberdaya alam menjadi faktor penting dalam perubahan-perubahan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam konteks ini, keinginan untuk mengelola pertambangan nikel yang dikelola oleh swasta di Kota Baubau melahirkan kebijakan tentang perubahan peruntukan kawasan. Perubahan tersebut yaitu dari kawasan yang peruntukannya pertanian, perkebunan dan kehutanan dalam RTRW 2003-2012 (Perda No 2 tahun 2004), kemudian ditambahkan sebagai kawasan pertambangan dalam RTRW 2012-2030 (Perda No 1 tahun 2012). Hal ini memicu terjadinya konflik pada aras hulu sedangkan pembebasan lahan untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus6 merupakan materi konflik agraria terjadi pada aras hilir. Dari berbagai isu yang telah dituliskan di atas seperti yang dikatakan oleh Bryant dan Bailey (1997) bahwa masalah lingkungan terutama di negara dunia ketiga adalah gambaran bagaimana lingkungan dibentuk dan berubah pada skala berbeda dalam hubungannya dengan masalah-masalah fisik maupun hubungan antar aktor. Aktor-aktor yang terlibat mulai dari tingkat lokal, pusat sampai internasional, yaitu negara, kelompok akar rumput, bisnis, lembaga multilateral maupun LSM/NGO. Masing-masing aktor memberikan kontribusi, dampak dan penyelesaian untuk masalah lingkungan secara berbeda. Artinya, dampak masalah lingkungan terutama di tingkat lokal mempunyai pengaruh baik pada negara maupun kelompok akar rumput, yaitu negara kehilangan potensi sumber pendapatan dan kelompok akar rumput selain kehilangan sumber pendapatan, kehilangan produk hutan juga kehilangan cara hidupnya dalam berinteraksi dengan sumberdaya alamnya. Sementara Eckersley (1992) menyatakan bahwa, pertama masalah lingkungan ini bukan hanya sebagai terjadinya degradasi lingkungan saja tetapi, masalah lingkungan sebagai suatu krisis partisipasi (berkaitan dengan isu partisipasi warga dan keadilan sosial); kedua, masalah lingkungan sebagai suatu krisis kehidupan (keterbatasan pertumbuhan dan meningkatnya kejadian degradasi lingkungan); dan ketiga, masalah lingkungan sebagai suatu krisis budaya dan karakter serta kesempatan untuk emansipasi (alienasi, kehilangan makna, secara 6
Terminal khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan yaitu terminal yang terletak di luar daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya. Sementara Terminal untuk kepentingan sendiri adalah terminal yang terletak di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.
3
bersamaan terjadi kesejahteraan dan kemiskinan yang luar biasa, kerusakan budaya, meningkatnya monokultur urban yang secara serentak mengurangi keragaman budaya). Dalam konteks penelitian ini maka menarik untuk ditelaah lebih jauh terkait dengan ekologi politik, kekuasaan dan konflik pertambangan nikel di Kota Baubau. Hal inilah alasan sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan. Perumusan Masalah Konflik pertambangan di Kota Baubau muncul akibat ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya nikel di lokasi pertambangan. Ketidakadilan ini hadir ketika pemerintah daerah memberikan izin kuasa pertambangan eksplorasi kepada PT BIS. Melalui surat keputusan walikota Baubau No 5451/6211/EUD/2007 tentang pemberian kuasa pertambangan eksplorasi PT BIS di Kecamatan Sorawolio. Berkaitan dengan regulasi, pada tahun 2007 PT BIS seharusnya belum dapat melakukan kegiatan eksplorasi. Hal ini disebabkan karena PT BIS belum mendapatkan rekomendasi persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel didalam kawasan hutan produksi terbatas dari Kementerian Kehutanan. Kemudian lokasi pertambangan nikel PT BIS disinyalir tidak sesuai dengan RTRW Kota Baubau tahun 2003-2012 (Perda No 2 tahun 2004). Implikasi dari hal tersebut, melahirkan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh komunitas (mahasiswa,LSM dan masyarakat). Kemudian untuk dapat melakukan kegiatan ekspor sumberdaya nikel maka PT BIS memerlukan lahan untuk membangun jalan menuju terminal khusus. Kegiatan pembebasan lahan inilah menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Hal ini merealitas dalam bentuk konflik horisontal antar masyarakat. Reaksi yang terjadi akibat kegiatan pembebasan lahan tersebut yaitu aksi demonstrasi baik pro maupun kontra, penyegelan kantor lurah serta pelemparan rumah masyarakat yang pro terhadap tambang serta teror. Keputusan pemerintah daerah tersebut di atas merupakan pilihan politik dalam mengelola sumberdaya alam. Bagi pemerintah daerah pemanfaatan sumberdaya nikel tersebut sebagai salah satu sumber pendapatan daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk membiayai pembangunan di daerah. Sementara bagi sebagian komunitas, dengan adanya kegiatan pertambangan tersebut akan minimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan yaitu banjir dan kekeringan. Konflik pertambangan di Kota Baubau sebagaimana telah diuraikan diatas hadir akibat bentuk ketidakadilan ketika pemerintah daerah memaksakan untuk memanfaatakan potensi sumberdaya nikel yang ada. Dimana bagi masyarakat lokasi tersebut merupakan sumber mata air penduduk. Kemudian beberapa isu lain yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara lain (1) hadirnya pihak swasta dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam (pertambangan nikel) atau pemicu terjadinya konflik, (2) persoalan regulasi, terkait dengan RTRW, pinjam pakai kawasan hutan dan AMDAL, (3) Pencemaran lingkungan atau persoalan hidrologi, terkait dengan wacana banjir dan kekeringan akibat kegiatan ekplorasi dan operasi produksi pertambangan nikel (4) persoalan pembebasan lahan, terkait dengan pro dan kontra oleh komunitas dan (5) persoalan akses terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat (petani) rotan dan madu lebah. Untuk
4
itu penting dilihat bagaimana penyebab terjadinya konflik tersebut dalam perspektif ekologi politik. Namun untuk menelusuri dan memahami penyebab terjadinya konflik dan aktor yang terlibat dalam konflik pertambangan di Kota Baubau, beberapa point pertanyaan berikut perlu terungkap dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana sejarah penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam (SDA) di Kota Baubau? 2. Siapa saja aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau dan bagaimana relasi kekuasaan yang dibangun oleh aktor tersebut serta apa yang menjadi latar belakang penyebab timbulnya konflik pertambangan di Kota Baubau serta ? Tujuan Penelitian Berangkat dari rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian tentang ekologi politik pertambangan di Kota Baubau ini yaitu : 1. Mengetahui sejarah penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. 2. Mengetahui aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau dan relasi kekuasaanya serta menganalisis konflik pertambangan nikel yang terjadi di Kota Baubau.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Seperti diketahui bahwa di kalangan akademis sedikitnya terdapat tiga perspektif yang berbeda dalam melihat permasalahan SDA dan Lingkungan, yaitu; Pertama, Teori konflik sumberdaya alam, yang menjelaskan secara teoretis terjadinya konflik sosial yang di bingkai persoalan sumberdaya alam; Kedua, perspektif agraria yang menjelaskan hubungan kepemilikan dan penguasaan SDA; Ketiga, perspektif environmental scarcity (kelangkaan) sumberdaya alam sebagai penyebab kerusakan lingkungan (khususnya yang terbarukan (renewable resources) dan sangat terkait dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi; Keempat, perspektif ekologi politik, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik berdasarkan dimensi kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal, nasional, global, kesejarahan, gender, dan peran aktor (Peluso dan Watts 2001 dalam Zainuddin, 2012). Kaitannya dengan penelitian maka perspektif yang digunakan sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti yaitu menggunakan perspektif ekologi politik.
Teori Ekologi Politik Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam seringkali menimbulkan ketimpangan dalam hal akses terhadap sumberdaya dan melahirkan ketimpangan ekonomi masyarakat, hadirnya pencemaran lingkungan (bio-fisik) dan persoalan kebijakan (oleh negara). Hal ini merupakan potret pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya nikel di kota Baubau yang kemudian melahirkan aktor dalam membentuk konflik sumberdaya nikel di kota Baubau. Dinamika tersebut diatas dapat dilihat dalam perspektif ekologi politik seperti apa yang dikatakan oleh Dharmawan (2007) bahwa pada ekologi politik dipertemukan dua sub-ruang yang saling dikontestasi sesamanya yaitu ruang konflik (sebagai ruang dimana proses produksi dan reproduksi kebijakan dan keputusan politik yang melibatkan beragam kepentingan dilangsungkan) dan ruang kekuasaan (sebagai ruang dimana para pemegang otoritas kebijakan menjalankan keputusan/kebijakan yang telah ditetapkan diruang konflik). Kemudian Bryant dan Bailei (1997) menyatakan bahwa dalam ekologi politik menjelaskan perubahan lingkungan dan konflik di dunia ketiga terutama masalah lingkungan (misalnya erosi tanah), konsep (pembangunan berkelanjutan), karakteristik sosio-ekonomi (yaitu kelas), aktor (yaitu negara) dan wilayah. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang bagaimana pendekatan aktor dalam perspektif ekologi politik maka penting untuk diulas tentang sejarah perkembangan ekologi politik itu sendiri. Secara historis perkembangan ekologi politik dimulai dari antropologi budaya kesosiologi lingkungan, dari sosiologi lingkungan ke ekologi politik. Pada akhir abad 20, investasi teoritik mengkombinasikan sosiologi, antropologi dan ekologi menghasilkan karyawan baru social dan ekologi (the dinamics of human-environment interaction) sebagai perluasan studi ekologi manusia. Pada kajian sosial ekologi ditelaah lebih lanjut masalah-masalah sosial dan hukum secara societal dinamics yang terjadi sebagai konsekuensi perubahan ekologi disuatu wilayah. Pada taraf lebih lanjut metamorfosa human ecology menghasilkan cabang ilmu baru sociology oh human ecology (Miklin dan Paston dalam Dharmawan, 2007). Penggunaan istilah ekologi politik mulai dipublikasikan di kalangan akademisi pada akhir tahun 1960-an dan tahun 1970-an sebagai respon atas penggunaan lahan dari tinjauan ekonomi dan sebagai reaksi atas proses politik dalam memanfaatkan 6
lingkungan (Peet dan Watts, 1996). Kemudian mengalami perkembangan yang pesat sebagai sebuah pendekatan baru terhadap interaksi manusia dan lingkungan dalam perkembangan wacana pada tahun 1990-an. Merujuk pada Blaikie dan Brookfield (1987) yang mencoba menggabungkan ekologi politik dengan keprihatinan ekologi yang didefinisikan secara luas sebagai ekonomi politik dunia ketiga, seperti dikatakannya: “combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together, this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land~based resources, and also within classes and groups within society it self. Dari kutipan tersebut diatas, Blaikie dan Brookfield (1987) dengan ekologi politik ingin melihat interelasi antara dampak ekologis dan relasi kekuasaan sosial ekonomi. Relasi kekuasaan di sini termasuk masalah perebutan lingkungan, yakni penggunaan lahan dan praktik pengaturan yang dominan dalam wilayah tersebut. Sementara Peet dan Watts (1996) mendefinisikan ekologi politik sebagai: …“a confluence between ecologically rooted social science and the principle of political economy”. Sementara menurut Dharmawan (2007) secara politis, muculnya bidang ilmu ekologi politik tidak terlepas dari menguatnya perspektif kritis‐alternatif yang sengaja digaungkan oleh kekuatan‐kekuatan gerakan sosial berhaluan struturalisme‐keras pro‐lingkungan. Lebih lanjut Dharmawan (2007) mengemukakan bahwa mereka mendesak masyarakat dunia untuk berpaling dari perspektif mainstream pembangunanisme‐modernisme yang telah dianggap gagal dalam memelihara kelestarian alam karena pendekatan yang diambilnya sangat mengabaikan eksistensi lokal, destruktif dan eksploitatif. Oleh kelompok ini, arus utama modernisme‐developmentalisme yang diintroduksikan melalui “logika rasionalisme kapitalisme Barat” dipandang sebagai proses transplantasi ide‐ide modernitas Euro‐Amerikanisme yang telah terbukti membawa kegagalan pemihakan pada lingkungan di kawasan sedang berkembang. Pada titik inilah analisis ekologi politik menjadi terasa sangat dinamik dan berbeda secara signifikan dengan apa yang ditawarkan oleh analisis ekologi manusia serta sosiologi ekologi manusia (sosiologi lingkungan) yang relatif lebih statis. Nuansa dinamis tersebut terutama ditandai oleh masuknya dua domain penting dalam analisis ekologi politik, yaitu: (1) relasi kekuasaan politik, (2) analisis konflik ekologi. Berangkat dari pemahaman tentang lahirnya teori ekologi politik tersebut diatas maka Bryant dan Bailey (1997) mendefinisikan ekologi politik sebagai "penyelidikan ke dalam sumber politik, kondisi dan konsekuensi dari perubahan lingkungan yang menimpa pada proses kesenjangan sosial-ekonomi dan proses politik”. Dengan mengambil persoalan politik, ekologi politik mengeksplorasi bagaimana perubahan lingkungan yang ada dalam hubungan politik dan ekonomi serta bagaimana cara perubahan tersebut mempengaruhi hubungan yang terjadi. Selanjutnya, dengan memeriksa perubahan lingkungan politik, ekologi politik mengakui bahwa lingkungan dan pembangunan, kekayaan dan kemiskinan, sangat terkait erat (Bryant dan Bailey, 1997). Kaitannya dengan penelitian ini peneliti ingin melihat aktor yang terlibat dalam membentuk konflik sumberdaya nikel di kota Baubau, jika dilihat dalam terminologi ekologi politik kaitannya dengan aktor seperti yang dikatakan (Bryant
7
dan Bailey, 1997) dalam ekologi politik dunia ke III, ketika aktor mengimplementasikan perjuangannya selalu berusaha untuk mengendalikan lingkungannya dan akan menghasilkan aktor-aktor yang lebih kuat sebut saja swasta dengan kepentingan bisnis yang dikedepankan. Sehingga penting untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dari kepentingan aktor tersebut dan memahami bagaimana aktor tersebut saling berinteraksi dalam kepetingannya untuk mengendalikan lingkungan. Kemudian lebih lanjut (Bryant dan Bailey, 1997) menyatakan bahwa pendekatan aktor untuk memahami hubungan lingkungan (sumberdaya) dan manusia di dunia ke-III yang perlu dilakukan adalah pertama menganalisis peran dan kepentingan dari para aktor terpilih dalam perubahan lingkungan di negara ke-III, kita mampu menempatkan temuan empiris dari penelitian pada level lokal dalam perpektif teoritis dan komparatif, kedua dengan mengintegrasikan pandangan teoritis dan komparatis pada peran dan kepentingan aktor yang berbeda, kita berusaha untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang motivasi, kepentingan dan tindakan dari para aktor, ketiga dengan menekankan pada peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan di dunia ke III, kita mengulang kembali pentingnya politik dalam ekologi politik. Terdapat dua hal penting dalam setiap pemahaman mengenai politik yaitu (1) suatu apresiasi bahwa politik adalah tentang interaksi antar aktor akan persoalan sumberdaya lingkungan (atau lainnya); (2) Suatu pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki kekuatan untuk bertindak demi kepentingannya. Teori Akses dan Property Ribot and Peluso (2003) mendefenisikan akses sebagai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things) dalam hal ini Peluso menterjemahkan akses sebagai “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”). Akses dalam definisi Peluso ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (“a bundle of rights”). Sehingga bila dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya termasuk relasi properti. Sementara kekuasaan, menurut Ribot and Peluso (2003) terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. Implikasi dari definisi Peluso ini bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Ribot and Peluso, 2003). Kaitannya dengan penelitian ini seperti yang diungkapkan Kuswijayanti (2007) yang meneliti tentang konservasi sumberdaya alam di taman nasional gunung merapi : analisis ekologi politik, bahwa analisis akses digunakan untuk
8
menganalisa konflik terhadap sumberdaya tertentu [Nikel]. untuk memperoleh pemahaman mengenai bagaimana konflik bisa menjadi sarana antar aktor yang berbeda-beda dalam memperoleh keuntungan atau kehilangan sumberdaya baik yang tangible maupun intangible. Analisis akses juga dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu atau tidak mampu memperoleh, memelihara atau mengendalikan akses sumberdaya atau dinamika mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya. Berangkat dari pemahaman tersebut diatas Ribot and Peluso (2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa kemampuan untuk mengelola sumberdaya dalam menyelesaikan hambatan-hambatan pada persoalan spesifik baik itu secara politik, ekonomi serta budaya dapat dilihat dalam bentuk atau pola yang disebut “structural and relational mechanisms of access”. Kaitannya dengan hal tersebut maka dalam konteks penguasaan sumberdaya alam Hanna et al. (1996) membagi 4 tipe hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, yaitu (1) hak kepemilikan pribadi (private property regime); (2) hak kepemilikan bersama (common property regime); (3) hak milik negara (state property regime); dan tanpa hak milik (open acces regime). Karateristik dari masing-masing tipe rezim/penguasaan tersebut berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan dan hak pemilik serta tugas-tugas pemilik disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya. Tipe Penguasaan Pemilik Hak Milik Kewajiban Pemilik Individu Penggunaan secara sosial, Penghindaran secara Hak Milik kendali/kontrol akses sosial tidak dapat Pribadi diterima Kolektif Pengaturan bukan Pemeliharaan; Hak milik pemilik/ menghambat tingkat bersama penggunaan Warga Menentukan aturan Memelihara tujuan Hak milik negara sosial secara objektif Negara Tidak Menangkap Tidak ada Tanpa hak ada Milik Sumber : Hanna et al. (1996) Sementara itu Ostrom and Schhlager (1992) mengelompokkan setiap individu atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam menjadi lima kelompok, yaitu sebagai berikut : 1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diizinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners). 2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumber daya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.
9
4. 5.
Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.
Teori Konflik Konflik sumberdaya nikel merupakan cerminan pengelolaan pertambangan yang muncul akibat perbedaan pendapat dikalangan pemangku kepentingan baik itu pemerintah, perusahaan maupun masyarakat. Kondisi ini tak jarang, pertambangan selalu menawarkan manfaat yang potensial bagi masyarakat ataupun atas nama kepentingan negara baik itu dalam hal perekrutan tenaga kerja, pendapatan negara maupun sebagai investasi bagi masyarakat dipedesaan. Namun demikian, hal tersebut selalu dibarengi dengan isu seputar hak atas tanah, akses sumberdaya, distribusi kekayaan (kesenjangan ekonomi) hingga pencemaran lingkungan. Kesemua isu tersebut merujuk dalam bentuk konflik pada masyarakat lingkar tambang yang kemudian memunculkan kerentanan sosial pada komunitas lokal. Fisher et al. (2001) menguraikan bahwa untuk membantu dalam memahami cara-cara memahami konflik salah satunya melalui teori Kebutuhan (Fisher et al. 2001) yaitu konflik yang terjadi antara komunitas masyarakat lokal dan pemerintah terjadi karena kebutuhan masyarakat lokal yang tidak memperoleh tempat sebagaimana harapan dan persepsi mereka tentang hak milik dan hak untuk berkehidupan, pada lahan dan tempat yang mereka pahami sebagai tanah leluhur yang harus mereka peroleh, dan pertahankan, sedangkan dalam konsepsi pemerintah, masyarakat adat dapat mengancam keutuhan kawasan konservasi. Akibat dari dua kebutuhan yang bertentangan tersebut menciptakan kondisi dan situasi konflik yang menempatkan masyarakat adat dalam sub ordinasi kekuasaan dan kesewenangan yang menciptakan kemiskinan. Kemudian untuk lebih memahami dan mendalami konflik yang terjadi, Fisher et al. (2001) memperkenalkan beberapa alat bantu unntuk menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini adalah: (1). Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain. (2). Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. (3). Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal
10
diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. (4). Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian. (5). Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik. Dari kerangka teoritik yang dikemukakan oleh Fisher et.al (2001) di atas, menegaskan kepada kita bahwa sebenarnya dua hal yang penting dalam memahami terjadinya suatu konflik yaitu adanya kebutuhan dan hambatan. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tapi melalui serangkaian tahapan proses, mulai dari pra konflik, konfrontasi, krisis, akibat, sampai kepada pasca konflik. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini mencoba melihat sejarah penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam dilokasi studi. Sehingga dengan mengetahui sejarah tersebut perubahan hak properti sumberdaya alam dapat diuraikan. Kemudian penyebab yang melatar belakangi terjadinya konflik pertambangan nikel di Kota Baubau serta aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Setelah aktor-aktor tersebut diketahui maka langkah selanjutnya adalah mengetahui bagaiman aktor-aktrot tersebut membangun jejaring diantara mereka. Hal ini seperti yang dikatakan (Bryant dan Bailey, 1997) dalam ekologi politik dunia ke III aktor ketika mengimplementasikan perjuangannya selalu berusaha untuk mengendalikan lingkungannya dan akan menghasilkan aktor-aktor yang lebih kuat sebut saja Swasta dengan kepentingan bisnis yang dikedepankan. Sehingga penting untuk mengapresiasi pengaruh yang lebih luas dari kepentingan aktor tersebut dan memahami bagaimana aktor tersebut saling berinteraksi dalam kepetingannya untuk mengendalikan lingkungan. Kaitannya dengan ekologi politik pertambangan di Kota Baubau dalam penelitian ini, keberadaan sumber daya alam [nikel] di Kota Baubau yang telah dikelola (pemanfaatannya) oleh pihak swasta/corporation (lihat hal-1) menjadi arena aktor (Pemerintah,Swasta,LSM dan Civil Society) dan jejaring aktor dalam membentuk konflik sumberdaya [nikel]. Untuk menguak potret konflik sumberdaya nikel tersebut dapat dilihat dari pola akses terhadap sumberdaya alam. Artinya bahwa konflik sumberdaya nikel lahir dapat dilihat dari akses oleh aktor terhadap sumberdaya nikel yang melahirkan kesenjangan ekonomi antar aktor dan persoalan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam memberi sumbangsi signifikan misalnya dikeluarkannya IUP Eksplorasi oleh pemerintah daerah tentunya hal ini erat kaitannya dengan basis legitimasi pemerintah yang ditinjau dari sisi konstitusi (legal formal). Berangkat dari posisi tersebut kemudian studi ini mencoba untuk memahami bagaimana ekologi politik pertambangan di Kota Baubau?. Untuk itu berikut akan disajikan kerangka pemikiran dari penelitian ini (Gambar 2.1).
11
Perubahan hak properti SDA Perubahan akses SDA (Bundle of power)
Perubahan relasi kekuasaan antar aktor Konflik Pertambangan
Gambar 2. 1. Kerangka pemikiran penelitian ekologi politik pertambangan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara
12
III.
METODOLOGI PENELITIAN
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konflik pertambangan nikel yang terjadi di Kota Baubau terjadi akibat pertentangan antar aktor dan terjadi secara vertikal yang kemudian berakibat pada konflik horizontal antar komunitas masyarakat. Pada tataran vertikal konflik terjadi antara pemerintah, korporasi (PT BIS) dan komunitas (masyarakat, LSM dan mahasiswa). Masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu masyarakat lingkar tambang yang berada di Kecamatan Sorawolio, Bungi dan Lea-Lea. Dari ketiga kecamatan tersebut, untuk Kelurahan Waliabuku Kecamatan Bungi, Kelurahan Lowu-Lowu dan Kelurahan Kolese Kecamatan Lea-Lea konfliknya mengemuka (manifest) dan untuk kelurahan-kelurahan lainnya konflik yang tebentuk adalah later (tersembunyi). Sementara pada wilayah horizontal konflik terjadi antara masyarakat itu sendiri yaitu terjadi di kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Lea-Lea. Kepentingan aktor yang berkonflik terjadi pada dua kepentingan yaitu kepentingan ekonomi dan lingkungan (konservasi) sehingga posisi aktor dalam konflik pertambangan nikel ini hadir dalam dua kepetingan tersebut. Hal ini ada yang memposisikan diri pada aktor karena kepentingan konservasi dan pada kepetingan ekonomi, aktor merepresantasikan diri sebagai kelompok dominan (konservasi) dalam melakukan aksi-aksi terhadap persoalan pertambangan nikel dengan jargon “menolak keberadaan tambang” dan hal tersebut hanya merupakan bagian dari kepentingan aktor demi kepentingan ekonominya dan gerakan tersebut dilakukan sesuai dengan kebutuhan aktor (dua kelas). Pada kelompok masyarakat posisi tersebut tidak hadir dalam dua sisi namun dalam bentuk pro dan kontra. Dengan melihat dinamika yang terjadi terhadap anatomi konflik pertambangan nikel di Kota Baubau maka yang terlihat betapa komunitas menjadi objek tawar-menawar oleh kekuatan eksternal dan hal tersebut membelenggu nilai-nilai yang sesungguhanya ada pada komunitas tersebut baik itu dari sisi kearifan lokal oleh masyarakat maupun pada wilayah idealisme oleh kelompok mahasiswa dan LSM. Berangkat dari hal tersebut maka mengantarkan peneliti untuk mengkaji sesungguhnya penyebab terjadinya konflik tersebut seperti apa dan siapa saja aktor-aktor yang bermain pada konflik yang terjadi dan dalam mengkajinya memerlukan metodologi (kumpulan cara). Metode Dalam melakukan kerja-kerja penelitian tentunya memerlukan paradigma sebagai bentuk dasar filosofis untuk mengantarkan atau memandu seorang peneliti. Moleong (2010) menyatakan bahwa penelitian pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran dan usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti maupun para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma, menurut Bogdan dan Biklen (1982) bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dalam penelitian. Sementara Ritzer dan Goodman (2003) mengemukakan bahwa Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mesti diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas
13
dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan isntrumen yang ada didalamnya. Berangkat dari hal tersebut maka paradigma penelitian akan berimplikasi pada pilihan metodologi dan teori apa yang digunakan dalam suatu penelitian. Terkait dengan hal tersebut Guba dan Lincoln dalam Denzin and Lincoln (2009) menyatakan bahwa empat paradigma yang saat ini sedang bersaing atau hingga belakangan ini telah bersaing agar bisa diterima sebagai paradigama pilihan dalam memantapkan dan membimbing jalanya penelitian, terutama penelitian kualitatif yakni positivisme, postpositivisme, teori kritis berikut posisi ideologi terkait dan konstruktivisme. Berdasar pada rumusan masalah dan tujuan penelitian seperti telah diungkapkan sebelumnya, maka paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma teori kritis dan teori konstruktivisme. Untuk mengungkap masalah penyebab konflik pertambangan nikel di kota Baubau dan aktor-aktor yang terlibat serta memetakan jejaring kuasa diatara aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut menggunakan paradigma teori kritis (subjectivism). Sementara untuk memotret bagaimana peta penguasaan sumberdaya alam dan bagaimana aktor memahami kepentingannya terhadap pertambangan nikel serta jalan keluar dari opsi-opsi penyelesaian menurut aktor menggunakan paradigma konstruktivisme (Interpretivism). Kemudian lebih lanjut dikatakan oleh Guba & Lincoln seperti dikutip dalam Denzin dan Lincoln (2009) bahwa dalam teori kritis ontologinya yaitu realisme historis, epistemologinya yaitu transaksional dan subjektivis dan metodologinya bersifat dialogis dan dialektis. Comstock (1980) dalam Zainudin (2012) menyatakan bahwa penggunaan paradigma kritis dalam penelitian sosial, dimulai dari adanya masalah-masalah sosial nyata yang dialami oleh sekelompok individu, kelompok-kelompok atau kelas-kelas yang tertindas dan teralienasi dari prosesproses sosial yang sedang tumbuh dan berkembang. Melihat permasalahan tersebut, ilmuwan sosial tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat demi mengejar obyektivitas ilmu semata tetapi harus menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial dan harus menjawab masalah- masalah tersebut dengan mengajak masyarakat untuk kritis melalui aksi-aksi sosial agar mereka yang tertindas mampu melepaskan diri dari belenggu struktur yang menindas. Oleh karena itu implementasi secara praksis dari paradigma ini adalah menjalin hubungan intern subjektif antara peneliti dan tineliti untuk bersama-sama menyusun program aksi untuk merubah kondisi-kondisi sosial yang menindas. Secara analitis penelitian kritis harus dapat menciptakan hubungan dinamis antar subyek dalam situasi sosial. Riset kritis harus melakukan kritik ideologi berdasarkan perbandingan antara struktur sosial buatan dengan struktur sosial nyata. Dalam konteks komunitas, untuk membangun kesadaran kritis terutama pada kelompok masyarakat dan mahasiswa pelu dilakukan dengan kehati-hatian, mengingat sejak tahun 2007 hingga sekarang pertambangan nikel di kota Baubau telah hadir menjadi pertarungan kepentingan aktor. Hal ini terlihat sejak tahun 2009 gerakan perlawanan “mahasiswa” terhadap keberadaan tambang diawali dengan gerakan yang masif. Gerakan tersebut terbaca pada saat beberapa mahasiswa telah dipekerjakan dalam korporasi tersebut. Selain itu beberapa
14
individu yang diangkap kritis mulai dilemahkan sehingga aksi-aksi yang dilakukanpun jadi bergeser pada kepentingan ekonomi. Kemudian pada aras masyarakat, pihak korporasi mulai berhasil menarik kelompok masyarakat untuk dipekerjakan sebagai tenaga kerja dan menyelesaikan masalah pembebasan lahan. Untuk beberapa masyarakat yang masih bertahan untuk tidak dilepaskan tanahnya kepada kepentingan korporasi, kelompok masyarakat inilah yang sampai saat ini menunjukkan perlawanan akan tetapi karena kekuasaan pemerintah yang dominan menjadikan posisi mereka tidak berani menunjukkan perlawanan. Selain menggunakan paradigma kritis tersebut diatas dalam penelitian ini juga menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba & Lincoln dalam Denzin and Lincoln (2009) menyatakan bahwa dalam paradigma konstruktifis ontologinya relativis yaitu bisa dipahami dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindra yang didasarkan secara sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi tersebut. Epistemologinya yaitu transaksional dan subjektivis, dimana peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” tercipta secara literal seiring dengan berjalannya proses penelitian. Metodologinya yaitu hermeneutis dan dialektis, artinya sifat variabel dan personal dari konstruksi sosial menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan diantara peneliti dengan para responden. Lenggono dalam Zainuddin (2012) mengatakan bahwa penelitian dengan pendekatan konstruktivisme dapat memotret realitas sosial, tidak hanya realitas obyektif yang berada di luar orang yang diteliti tetapi juga realitas subyektif di dalam diri orang yang diteliti yang menyangkut kehendak dan kesadaranya. Hal ini penting dilakukan karena kedua realitas ini memiliki hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi, dan untuk mencapai hal tersebut, maka peneliti harus melakukan dua hal; Pertama, berjumpa dengan pribadi tineliti, bertanya dan mendapatkan jawaban. Kedua, dengan sungguh-sungguh mau memahami (verstehen) realitas tersebut. Pendekatan dan Teknik Penelitian Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana fakta dikonstruksi berdasarkan subyek tineliti. Denzin dan Lincoln (1994) dalam Sitorus (1998) menyatakan bahwa istilah kualitatif menunjuk pada suatu penekanan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak teruji atau terukur (jika sepenuhnya diukur) secara ketat dari segi kuantitatif, jumlah, intensitas ataupun frekuensi. Peneliti-peneliti kualitatif memberi penekanan pada sifat bentukan sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan apa yang dikajinya serta kendala-kendala situasional yang menyertai penelitian. Sementara pendekatan atau strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dan studi historis. Seperti yang diungkapkan oleh Sitorus (1998) bahwa studi kasus merupakan suatu strategi penelitian multi metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara dan analisis dokumen sementara studi historis merupakan penafsiran atas dokumen sejarah dan catatan-catatan tertulis dari dan tentang masa lampau, meliputi buku harian,
15
surat-surat, koran, data sensus, literatur populer lainnya dan dokumen kebudayaan budaya. Adapun kasus terpilih terkait dengan topik penelitian yaitu pemaknaan aktor terhadap konflik pertambangan nikel di Kota Baubau (PT BIS) mulai dari penyabab terjadinya konflik, aktor-aktor yang terlibat dalam kasus yang menyebabkan konflik tersebut dan jejaring kuasa diantara aktor-aktor yang terlibat. Untuk studi historis lebih dikhususkan pada peta penguasaan sumberdaya alam, dalam hal ini penguasaan tanah dilokasi penelitian dan makna sumberdaya alam (hutan). Penelusuran dokumen lebih diarahkan pada dokumen-dokumen yang terkait dengan materi konflik pertambangan nikel seperti dokumen AMDAL, surat-surat keputusan Walikota, Guburnur, Kementerian Kehutanan dan Perhubungan, Laporan Hasil Komunitas Intelejen Daerah (KOMINDA), Naskah Akademik RTRW Kota Baubau 2004-2012 dan 2012-2030 dan Undang-Undang, serta Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah terkait dengan fokus kajian. Selain itu dilakukan penelusuran terhadap hasil-hasil rekomendasi DPRD Kota Baubau (risalah rapat) terkait dengan persoalan PT BIS serta pernyataan sikap tertulis oleh komunitas terhadap persoalan tambang tersebut serta penelusuran dokumen terkait sejarah kepemilikan tanah dan pengelolaan sumberdaya alam di lokasi studi. Kemudian data-data terkait dengan informasi lokasi penelitian baik itu monografi desa, kecamatan dalam angka, kabupaten dalam angka dan dikomparasikan dengan data podes. Untuk mengetahui keterkaitan antara topik masalah penelitian, pendekatan dan tujuan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Dari pendekatan tersebut diatas maka diharapkan terkumpulnya dua jenis kelompok data yaitu data primer dan data sekunder. Untuk data sekunder diperoleh melalui kajian laporan, arsip-arsip, surat kabar dan laporan statistik kabupaten/ kecamatan/ desa serta dokumen-dokumen pihak swasta yang diteliti. Sementara data primer diperoleh melalui: (1). Wawancara mendalam, untuk menggali informasi sedalam-dalamnya terhadap infroman-informan kunci yang didapatkan dari proses observasi dan rekomendasi dari informan sebelumnya pada tingkatan masyarakat lokal, LSM, mahasiswa, pemerintah daerah, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban serta pihak swasta. Wawancara mendalam pada tokoh-tokoh lokal baik itu sekitar desa lingkar tambang ataupun tokoh lokal diluar desa tersebut. (2). Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussions) di gunakan untuk menggali informasi terkait tematik tertentu yang peneliti anggap perlu dilakukan pendalaman selama melakukan wawancara mendalam. Tabel 3.1 Keterkaitan topik masalah penelitian, pendekatan dan Tujuan Penggunaannya. Topik masalah penelitian Sejarah penggunaan dan penguasaan Sumbedaya
Pendekatan Penelusuran dokumen, analisis dokumen, dan wawancara
Tujuan Mengetahui sejarah penggunaan dan penguasaan SDA di lokasi penelitian. Mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya alam (hutan) di lokasi penelitian yang saat ini menjadi lokasi 16
Topik Pendekatan masalah penelitian Alam (SDA) mendalam Aktor yang wawancara terlibat mendalam
Analisis Konflik
Penelusuran dokumen, analisis dokumen dan wawancara mendalam serta FGD
Tujuan pertambangan nikel Mengetahui dan memahami aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA Mengetahui peran dan kepentingan aktor terhadap penggunaan dan penguasaan SDA Mengetahui bentuk bundle of power diantara aktoraktor yang terlibat Terungkapnya faktor-faktor menyebabakn konflik pertambangan di lokasi penelitian Mengetahui tanggapan tineliti terhadap konflik pertambangan di lokasi penelitian
Cara Pengolahan dan Analisis data Data yang terkumpul, dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian lapangan. Data yang ada tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan tabulasi data, sedangkan teknik menganalisanya adalah dengan menggunakan analisa data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus dan Agusta (2006), analisis data kualitatif meliputi: a) Reduksi data adalah poroses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformai data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. b) Penyajian Data adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c) Kesimpulan adalah proses menemukan makna data, bertujuan memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Adapun proses analisis data mengacu pada teori akses Ribot dan Peluso (2003), Teori Kepemilikan Hak (property right) Ostrom dan Schlager (1992) dan teori aktor dari Bryant and Beiley (1997). Untuk alat bantu menganalisis konflik menggunakan Fisher et al. (2001). Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara dan sebagai studi kasus penelitian yaitu konflik pertambangan nikel PT BIS. Studi kasus ini didasarkan karena untuk Kota Baubau pengelolaan sumberdaya alam ekstraktif sampai saat ini yang melakukan kegiatan yaitu PT BIS, ini menjadi salah satu potret pertambangan khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara dan dapat saja terjadi pada daerah-daerah lain diluar Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk memperoleh gambaran informasi yang detail maka penelitian ini dilakukan pada dua wilayah kajian, pertama diwilayah administrasi Kota Baubau secara Umum dan kedua di daerah lingkar tambang yaitu Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi dan Kecamatan Lea-Lea. Adapun lokasi penelitian tesebut disajikan pada Gambar 3.1.
17
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan selama 4 (empat) bulan, dimana waktu tersebut sudah termasuk identifikasi lokasi untuk menentukan masalah penelitian yang akan dikaji dan dilaksanakan untuk kebutuhan proposal penelitian yaitu dilakukan pada bulan Januari tahun 2013. Kemudian setelah penelitian pendahuluan selasai, peneliti melakukan ujian proposal (Kolokium). Kemudian peneliti melanjutkan kembali penelitian lapang selama 3 bulan terhitung sejak tanggal 12 Maret-25 Mei tahun 2013. Adapun tahapan penelitian yang dilakukan yaitu meliputi tahapan pendahuluan, persiapan, pelaksanaan, analisis dan penulisan laporan, serta pertanggungjawaban hasil penelitian. Tahapan penelitian tersebut disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Deskripsi tahapan penelitian No
Tahapan
1
Pendahuluan
2
Persiapan
Uraian (a) Melakukan kunjungan ke beberapa komunitas (b) Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi (secara umum). (c) Pengumpulan data sekunder terkait dengan profil lokasi penelitian (a) Melakukan penelusuran dan mengumpulkan referensi yang sesuai dengan tematik penelitian; (b) Mempersiapkan administratif penelitian; (c) Menghubungi informan penelitian
18
No
Tahapan
3
Pelaksanaan
4
Analisis Laporan
7
dan
Uraian (d) Melakukan identifikasi aktor kepentingan terkait dengan konflik pertambangan nikel di Kota Baubau (a) Pengumpulan data sekunder sebagai kelengkapan penelitian (b) Pengumpulan data primer (wawancan mendalam terstruktur dan tidak terstruktur) (c) Focus Group Discussion (FGD)7 (d) Diskusi partisipatif dengan informan penelitian. Penulisan (a) Mengidentifikasi temuan berdasarkan topik masalah penelitian (b) Melakukan analisis berdasarkan temuan penelitian (c) Penulisan hasil penelitian
FGD dilakukan hanya pada kelompok komunitas yaitu perwakilan akademisi, mahasiswa dan masyarakat dikediaman AG (39) dosen salah satu perguruan tinggi di Kota Baubau (24 Maret 2013) sementara untuk komunitas masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, Aparat negara bidang keamanan dan ketertiban tidak dapat dilaksanakan karena kondisi sosial ketika melakukan penelitian sedang menghadapi hiruk pikuk pergantiang kepemimpinan Walikota dan kondisi masyarakat yang belum bisa dikumpulkan karena pertimbangan keamanan karena suhu konflik horizontal akibat pembebasan lahan oleh pihak korporasi kepada masyarakat saat penelitian masih memanas (pada wilayah kritis dalam eskalasi konfliknya)
19
IV.
PROFIL WILAYAH MASYARAKAT LINGKAR TAMBANG PERTAMBANGAN NIKEL DI KOTA BAUBAU
Bab ini berupaya menjelaskan bagaimana profil lingkungan atau kondisi eksisting wilayah di sekitar kawasan pertambangan. Hal ini perlu dijelaskan karena ada beberapa hal yang ingin dicapai. Pertama, membantu peneliti untuk melihat sejauh mana pengaruh yang mungkin ditimbulkan terhadap wilayah sekitar baik secara sosial maupun ekologis. Kedua, membantu peneliti dalam menjelaskan potensi dan eskalasi konflik yang mungkin timbul akibat keberadaan dari aktivitas pertambangan. Untuk memudahkan dalam menjelaskan situasi lingkungan kawasan sekitar tambang maka penjelasannya dibagi dalam beberapa aspek yaitu kondisi geografis, kondisi demografis, sistem ekonomi, organisasi dan kelembagaan dan sumberdaya lokal. Secara administratif sesuai dengan rencana kawasan pertambangan yang tertuang dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau (Perda No 1 tahun 2012), Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BIS mencakup dua kecamatan yakni Kecamatan Sorawolio dan Kecamatan Bungi. Namun dalam menjelaskan pengaruh keberadaan dari aktivitas pertambangan tidak dapat dibatasi oleh wilayah administratif. Hal ini disebabkan karena faktor ekologi merupakan suatu sistem yang tidak dipengaruhi oleh batasan adminitrasi suatu wilayah, namun sebaliknya batas wilayah administrasi terkadang menggunakan elemen lingkungan sebagai batas wilayah administrasi seperti sungai dan lain-lain. Selain itu, aktivitas sosial tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi. Mobilitas sosial sering kali menembus batas administrasi baik karena motif ekonomi, politik atau motif lainnya. Guna untuk memfokuskan kajian terhadap lokasi penelitian, penjelasan tentang lingkungan kawasan sekitar tambang tersebut mesti merujuk pada suatu tempat atau wilayah yang jelas. Tempat atau wilayah itu ditentukan berdasarkan kedekatan wilayah ekologis dan sosial masyarakat. Untuk itu, setidaknya ada empat kecamatan yaitu Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea. Kondisi Geografis Secara administrasi, lokasi penelitian meliputi 4 kecamatan yang ada di Kota Bau-Bau yaitu Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna, dan Kecamatan Lea-Lea. Jumlah kelurahan dan luas wilayah masing-masing kecamatan disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Jumlah desa/kelurahan dan luas wilayah kecamatan Kecamatan Sorawolio Bungi Kokalukuna Lea-Lea
Jumlah Desa/Kelurahan 4 5 6 5
Luas (Km2) 83,25 47,71 9,44 28,93
Sumber: Kota Bau-Bau Dalam Angka (BPS, 2011)
Kondisi topografi wilayah penelitian terdiri dari sebagian besar daerah pesisir (Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea) dan daerah perbukitan
20
(Kecamatan Bungi dan Kecamatan Sorawolio). Secara geografis, batas-batas wilayah ke-4 kecamatan tersebut yaitu sebagai berikut: a. Batas wilayah Kecamatan Sorawolio yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sampolawa dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Wolio. b. Batas wilayah Kecamatan Bungi yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lea-lea, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kapuntori, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Sorawolio dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton. c. Batas wilayah Kecamatan Kokalukuna yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sorawolio,sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Wolio dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton. d. Batas wilayah Kecamatan Lea-lea yaitu sebelah utara berbatasan dengan Selat Buton, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bungi, sebelah selatan dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton. Kecamatan Sorawolio dan Kecamatan Bungi yang terletak di bagian utara Kota Bau-Bau merupakan wilayah pertanian yang subur. Secara umum, kondisi iklim di Kota Bau-Bau sama dengan daerah lain di sekitarnya yang mempunyai 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan suhu udara berkisar 20°C33°C. Tabel 4.2 Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan serta rasio jenis kelamin di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea. Kecamatan Sorawolio Bungi Kokalukuna Lea-Lea Jumlah
Jumlah Penduduk (jiwa) Laki-laki 3.557 3.510 8.297 3.223 18.587
Perempuan 3.656 3.586 8.439 3.407 19.088
Rasio jenis Kelamin 99.8 97.9 98.3 94.6
Sumber: Kecamatan Sorawolio, Bungi, Kokalukuna dan Lea-Lea dalam Angka (BPS, 2012)
Kondisi Demografis Jumlah penduduk sekitar kawasan pertambangan PT BIS di Kota Baubau adalah Kecamatan Sorawolio 7.122 jiwa dimana penduduk perempuan 3.656 jiwa dan laki-laki 3.557 jiwa, Kecamatan Bungi 7.096 jiwa dimana penduduk perempuan 3.568 jiwa dan laki-laki 3.510 jiwa, Kecamatan Kokalukuna 16.736 jiwa dimana jumlah penduduk perempuan adalah 8.439 jiwa dan laki-laki adalah 8.297, dan Kecamatan Lea-Lea 6.630 jiwa dimana jumlah penduduk perempuan sebesar 3.407 jiwa dan laki-laki berjumlah 3.223. Dari jumalah tersebut dapat diketahui rasio jenis kelamin masing-masing kecamatan adalah Kecamatan Sorawolio 99,80, Kecamatan Bungi 97,9, Kecamatan Kokalukuna 98,3 dan Kecamatan Lea-Lea 94,60.
21
Keadaan demografis dari jumlah kepala keluarga (KK) kecamatan Sorawolio sebanyak 1.381 KK, Kecamatan Bungi sebanyak 1.496, Kecamatan Kokalukuna sebanyak 3.497 dan Kecamatan Lea-Lea 1.516. Jumlah total kepala keluarga dari keempat kecamatan tersebut adalah 7.890 KK. Dari sisi kepadatan penduduk (jiwa/km2) masing Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea adalah 86, 194, 1.773 dan 229. Tabel 4.3. Jumlah kepala Keluarga (KK) dan kepadatan penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea. Kecamatan
Jumlah Kepala Keluarga
Kepadatan Penduduk
1381 1496 3497 1516
86 194 1773 229
Sorawolio Bungi Kokalukuna Lea-Lea Jumlah
7890
Sumber: Kecamatan Sorawolio, Bungi, Kokalukuna dan Lea-Lea dalam Angka (BPS, 2012)
Usia merupakan faktor penentuan jumlah tenaga kerja. Di wilayah Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea dibagi menjadi tiga kelompok umur dimana usia 15-60 tahun adalah usia produktif dalam ketenagakerjaan sedangkan kelompok usia yang lain adalah tidak produktif. Kelompok usia tersebut adalah 0-14 tahun (tidak produktif), 15-59 tahun (usia produktif) dan < 60 (usia tidak produktif). Peta sebaran penduduk di lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 4.1 Tabel 4.4. Keadaan penduduk berdasarkan kelompok usia penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea. Golongan Umur (tahun) 0 -14 15 – 59 < 60
Kec. Sorawolio 2933 3794 395
Kec. Bungi
Kec. Kokalukuna
Kec. Lea-Lea
2536 4102 458
5953 9838 945
2558 3599 473
Sumber: Kecamatan Sorawolio, Bungi, Kokalukuna dan Lea-Lea dalam Angka (BPS, 2012)
Sistem Ekonomi Menurut data Badan Pusat Statistik bahwa lapangan pekerjaan utama penduduk Kota Baubau terlihat bahwa pada umumnya bekerja pada 3 sektor utama yaitu sektor Perdagangan, pertanian dan jasa-jasa. Sektor jasa-jasa mampu menyerap 29.17 % tenaga kerja, sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 18.42 %, sedangkan sektor Perdagangan menyerap 27.14 %. Sementara sektor lainnya hanya menyerap di bawah 10 % tenaga kerja, dan yang terkecil adalah sektor pertambangan yaitu sebesar 0.33 %. Sedangkan penduduk yang bekerja di lihat dari tingkat pendidikannya terbesar adalah tamatan SLTA umum sebesar 14.852 orang atau sekitar 26.31 %, sementara itu SLTA kejuruan yang mempunyai keahlian khusus persentasenya paling rendah yaitu 9.44 % yang mengindikasikan masih rendahnya minat bersekolah di sekolah menengah kejuruan (SMK). 22
Mata pencaharian penduduk Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea adalah mayoritas petani. Hal ini dikarenakan pada kecamatan tersebut merupakan pusat lahan dan kegiatan pertanian. Kecamatan Sorawolio merupakan wilayah yang paling sedikit jumlah penduduknya disebabkan wilayah ini merupakan wilayah hunian penduduk yang berbasis pertanian dan perkebunan. Kemudian wilayah Kecamatan Bungi merupakan wilayah pertanian yang menjadi buffer stock ( penyangga stock ) bahan pangan bagi penduduk Kota Baubau. Areal pertanian/persawahan dan peternakan di wilayah ini digerakkan oleh etnis Jawa, Bali, Bugis, Toraja dan relatif sedikit penduduk asli etnis Buton. Sementara itu Kecamatan Lea-Lea adalah kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut sehingga mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan petani budidaya rumput laut. Padi sawah dengan irigasi teknis merupakan komoditi utama yang memiliki luasan lahan terbesar di kecamatan-kecamatan tersebut. Kecamatan Sorawolio dengan luas panen 133 ha dengan produksi 425.60 ton, Kecamatan Bungi seluas 2.257 ha dengan produksi 11.510,70 ton serta kecamatan Lea-Lea seluas 126 ha dengan produksi 428.40 ton. Infrastruktur atau sarana perekonomian di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea mayoritas berupa Warung/kios. Sarana pasar rakyat juga ada namun tidak aktif setiap hari namun terdapat pada semua desa. Tabel 4.5 Jumlah pasar, Toko, Kios/Warung di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea. Kecamatan Sorawolio Bungi Kokalukuna Lea-Lea
Pasar Umum 1 0 2 3
toko 1 -
Kios/warung 88 122 93
Sumber: Kecamatan dalam angka, 2011
Sumberdaya Lokal Sumberdaya alam Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea adalah empat dari 7 kecamatan di Baubau yang masih memiliki kondisi alam yang masih cukup baik dan memiliki daya dukung lingkungan cukup baik. Kecamatan sorawolio memiliki topografi yang berbukitbukit serta memiliki luas yaitu 83,25 Km², jumlah penduduk tahun 2009 6.941 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 2,44 % dan kepadatan penduduk 83. Sorawolio bukan merupakan daerah pesisir/tepi pantai,dengan topografi yang dilalui sungai/kali, yakni Kelurahan Kaisabu Baru, Kelurahan Karya Baru,Kelurahan Bugi dan Kelurahan Gonda Baru. Kecamatan Bungi memiliki luas yaitu 47,71 Km² atau 21,59% dari luas Kota Bau – Bau dengan jumlah penduduk menurut BPS tahun 2009 adalah 6369 jiwa dan padatan penduduk 133. Terdiri dari 5 Kelurahan, 17 rukun warga serta 44 rukun tetangga. Di Kecamatan Bungi terdapat daerah pesisir/tepi pantai yakni Kelurahan Tampuna serta beberapa daerah yang dilalui sungai/kali, yakni Kelurahan Ngkari - Ngkari, Kampeonaho serta Kelurahan Waliabuku. 23
Kecamatan Kokalukuna memiliki luas yaitu 9,44 Km² atau 4,27% dari luas kota Baubau dengan jumlah penduduk tahun 2009 16.122 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,56 % serta memiliki kepadatanpenduduk 1.707 km/jiwa. Terdiri dari 6 Kelurahan 23 rukun warga serta 61 rukun tetangga, Kecamatan Kokalukuna termasuk daerah pesisir/tepi pantai yang meliputi Kelurahan Kadolomoko,Waruruma, Lakologou, Liwuto dan Kelurahan Sukanayo serta beberapa daerah yang dilalui sungai/kali, yakni Kelurahan Kadolomoko,Waruruma, Lakologou serta Kelurahan Kadolo. Kecamatan Lea - Lea memiliki luas yaitu 28,93 Km² atau 13,09% dari luas Kota Baubau yang terdiri dari kelurahan, 15 rukun warga serta 34 rukun tetangga,Kecamatan Lea - Lea merupakan daerah pesisir / tepi pantai kecuali kelurahan Kantalai. Jumlah penduduk tahun 2009 mencapai 7.123 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,44 % dengan kepadatan penduduk 246 jiwa/km. Sumberdaya manusia. Mayoritas penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea adalah etnis Buton walaupun ada pula etnis pendatang. Etnis pendatang tersebut antara lain Bugis dan Bali. Hadirnya etnis Bali di Kota Baubau karena adanya program transmigrasi tahun 1970-an dan mereka terkonsentrasi di Kecamatan Bungi. Tingkat kekerabatan dan kerjasama (asosiasi) masyarakat di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea masih sangat erat. Hal ini ditandai dengan masih aktifnya berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan secara rutin baik itu kerja bakti misalnya perbaikan jalan desa dan rumah ibadah, pertemuan tingkat desa dan kecamatan serta tidak adanya konflik horizontal yang terjadi. Pola interaksi antara etnis pribumi maupun pendatang sangat harmonis baik itu hubungan ekonomi, politik ataupun interaksi sosial lainnya. Bahkan antara etnis pribumi dan pendatang telah terjadi hubungan pernikahan. Mayoritas dari penduduk di Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea adalah beragama Islam. Di Kecamatan Bungi pemeluk agama hindu cukup tinggi karena konsentrasi pemukiman etnis Bali berada di kecamatan tersebut. Pola kehidupan dan tradisi etnis Bali di Kota Baubau menunjukkan kesamaan dengan etnis di Bali. Hal ini dapat terlihat dari bentuk arsitektur dan upacara adat. Masyarakat Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Bungi, Kecamatan Kokalukuna dan Kecamatan Lea-Lea didominasi oleh etnis Buton karena itu tradisi adat Buton masih terjaga baik. Setiap desa memiliki perangkat adat yang telah dijalankan dan dipertahankan sejak masa kesultanan Buton. Tradisi adat yang turun-temurun masih terpelihara dengan baik seperti pesta adat Mata’a (pesta panen), pernikahan, serta peringatan hari besar Islam sangat bercorak tradisi Buton. Selain lembaga dan perangkat adat, lembaga-lembaga formal lainnya juga masih tetap berjalan. Lembaga formal tersebut diantaranya Badan Perwakilan Desa (BPD), Kelompok Tani, Kelompok Nelayan, Dasa Wisma dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Lembaga-lembaga tersebut merupakan arahan langsung dari pemerintah Kota Baubau.
24
V.
SEJARAH PENGGUNAAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA ALAM
Kota Baubau dalam sejarahnya merupakan pusat kesultanan Buton. Untuk itu, dalam menguraikan penguasaan sumberdaya alam pada bagian ini akan diulas tentang deskripsi masyarakat “orang Buton”8 terhadap sumberdaya alamnya. Pemaknaan sumberdaya alam yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu hubungan orang Buton dengan tanahnya. Zahari (1977) menyatakan bahwa rakyat mempunyai hak penuh di dalam kerajaan untuk berkebun maupun tempat untuk membangun rumah atas petunjuk serta izin dari syarat kampungnya. Sementara MNF (44)9 mengatakan bahwa: “ ... Pada prinsipnya semua tanah dalam wilayah kedaulatan kesultanan buton itu merupakan milik negara atau hak negara kesultanan ketika itu kecuali tanah katampai merupakan hak milik pribadi atas pemberian kesultanan....”. Dalam konteks tersebut maka yang akan diulas pada bagian ini yaitu sejarah penggunaan dan penguasaan tanah. Hal ini untuk menggambarkan perubahanperubahan struktur agraria di lokasi penelitian baik itu secara hukum maupun secara sosial budaya. Sumberdaya agraria yang dimaksud yaitu merujuk pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Mengutip seperti yang dikatakan oleh Tjondronegoro (2008) bahwa dalam pasal 2 UUPA tersebut tidak hanya bidang tanah, tetapi juga segala kekayaan yang tumbuh di atas permukaan maupun yang terkandung dibawah permukaan; dengan perkataan lain hutan dan pertambangan adalah kekayaan bumi yang dimiliki bangsa Indonesia dan hanya hak mengelolanya saja yang diberikan kepada negara c.q pemerintah. Karena itulah, bumi tidak bisa diperjualbelikan atau disewakan tanpa persetujuan bangsa. Berangkat dari hal tersebut, maka pada era kesultanan (1511-1960) seperti yang disampaikan oleh RFT (54)10, MNF (44)11 dan Zahari, 1977)12 bahwa masyarakat Kota Baubau (orang Buton) mengenal 4 (Empat) jenis klasifikasi penggunaan dan penguasaan lahan secara tradisional yaitu tanah Turakia, tanah Ome, tanah Katampai dan tanah Kaombo. Tanah Turakia Tanah turakia merupakan tanah pemberian dari kesultanan yang dialokasikan untuk pemukiman penduduk (termasuk lokasi pemakaman didalamnya) secara kolektif. Tanah tersebut secara secara turun temurun digunakan oleh garis keturunan yang mendiami lebih awal pada tanah tersebut. Jika ditinggalkan oleh yang mendiami lebih awal maka tanah ini dapat berpindah tangan kepada pihak lain dengan persetujuan syarat (aturan) kadie. Semua kadie13 (wilayah) kesultanan 8
Penyebutan “orang Buton” disini karena semua yang mendiami wilayah bekas kesultanan buton tidak terkecuali Baubau yang saat ini menjadi satu administrasi pemerintahan sendiri secara genetika menyebut dirinya sebagai orang Buton (secara etnis merupakan suku Buton) 9 Catatan harian. Sejarah Penggunaan dan Penguasaan SDA. MNF (44). Budayawan Kota Baubau, yang saat ini menjadi anggota DPRD Kota Baubau (2009-2014) 10 Catatan harian. Sejarah Penggunaan dan Penguasaan SDA RFT (54) 11 Catatan harian. Sejarah Penggunaan dan Penguasaan SDA MNF (44). Budayawan Kota Baubau, yang saat ini menjadi anggota DPRD Kota Baubau (2009-2014) 12 Bahan tertulis dari La Adi Ma Faoke dan La Hude Ma Aadi 13 Kadie merupakan daerah setingkat propinsi, pemerintah wilayah kadie masuk kedalam satu kesatuan wilayah dengan pemerintahan kesultanan Buton. Pemerintahan kadie, juga diatur khusus melalui undang-
25
memiliki turakia masing-masing. Hak penguasaannya merupakan milik kesultanan (kingdom state property) yang diatur berdasarkan hukum adat kesultanan (Undang-undang Martabat Tujuh14) dan penguasaan oleh masyarakat sebagai hak pakai/garap. Tanah turakia mulai terjadi perubahan penggunaan sebagaimana pada era kesultanan (1511-1960) yaitu terjadi pada era Soekarno (1961-1965) dimana sebagian lahan dialokasikan untuk pemukiman dan sebagian untuk perkebunan. Penguasaanya sebagai state property. Pada era Soeharto (1965-1998) sebagian penggunaanya dialokasikan untuk hutan produksi dan hutan lindung, penguasaannya sebagai hak milik negara (state property)15. Kemudian sebagian untuk pemukiman warga dan penguasaanya sebagai hak milik pribadi (private properti right). Perubahan ini dipengaruhi ketika negara mengeluarkan kebijakan tentang kehutanan (UU No 5 tahun 1967) dan legitimasi negara dalam memberikan sertifikasi tanah sebagai hak milik pribadi (1972 untuk di lokasi studi). Sejak adanya legitimasi oleh negara inilah sehingga tanah turakia tidak ada lagi di lokasi studi kecuali di kawasan keraton (common property) yang bukan merupakan lokasi studi. Pada era otonomi daerah (1999-2013), ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan eksplorasi (dahulu kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS, maka PT BIS melakukan pembelian (transfers) lahan kepada masyarakat. Hal inilah sehingga penggunaan dan penguasaan lahan masyarakat terjadi perubahaan. Tepatnya pada tahun 2007 sebagian lahan pemukiman masyarakat (Kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio) dialokasikan untuk jalan tambang menuju lokasi pertambangan (eksplorasi dan eksploitasi). Kemudian pada tahun 2012 sebagian lahan pemukiman masyarakat (Kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Lea-Lea) penggunaannya untuk jalan tambang PT BIS (transportasi menuju terminal khusus). Penguasaanya sebagai hak milik swasta (private ownership). Tanah Ome Tanah ome merupakan tanah yang penggunaanya untuk perkebunan, setelah sekian kali panen kawasan tersebut ditinggalkan oleh pemakainya. Tanaman yang diperbolehkan untuk ditanam pada lahan ini yaitu tanaman jangka pendek (musiman). Pada waktu tertentu dalam siklus perladangan tanah ome dapat dibuka kembali untuk kegiatan perkebunan oleh masyarakat yang pernah berkebun di lokasi ome tersebut. Sebaliknya, bagi masyarakat yang belum pernah berkebun di lokasi ome tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan Izin dari masyarakat sebelumnya yang pernah (terakhir) berkebun di lokasi ome tersebut atas persetujuan syarat (aturan) kadie. Hak penguasaannya tanah milik kesultanan (kingdom state property) dan penguasaan masyarakat dengan hak pakai/garap.
undang yang di sebut dengan Syarana Kadie (Hasimin.AM, 2009). Kesultanan Buton membagi wilayah kadienya menjadi 72 kadie. 14 Undang-undang ini dibuat pada tahun 1610 pada masa kesultanan La Elangi atau gelar kesultanan : Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615) 15 Tanah turakia yang dijadikan sebagai hutan produksi dan hutan lindung ini karena masyarakat yang mendiaminya ketika itu telah meninggalkan lahan tersebut dan membangun pemukiman baru. Namun bagi masyarakat tetap dianggap sebagai turakia (bekas pemukiman penduduk).
26
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Zahari (1977) menyatakan bahwa kalau seseorang pindah ke kampung lain jelasnya diluar dari kadienya16, baik sendiri maupun secara kelompok untuk berkebun maka kepada mereka itu diwajibkan untuk membayar sewa tanah kepada syarat dari kadie tempatnya membuka kebun dengan perimbangan hasil yang diperolehnya 1 : 12 artinya tiap 120 biji jagung maka sewa tanahnya10 biji. Namun kalau mereka itu pindah dan menjadi warga dari kadie itu maka tidak diwajibkan lagi untuk membayar sewa tanah. Bagi kaum bangsawan (kaomu dan walaka)17 dapat membuka tanah perkebunan di kadie dengan tidak dikenakan sewa tanah tetapi juga harus melalui persetujuan dari syarat kampung. Apabila tanah perkebunan ditinggalkan oleh kedua kaum tersebut yang dikarena hukum adat, maka tanah beserta isinya kembali menjadi milik dari kadie. Bekas pemiliknya dapat mengambil hasilnya apabila berada kembali dalam kadie itu. Untuk suku “laporo”18 tanah perkebunan diberikan kesempatan dimana saja di dalam kerajaan tetapi harus dengan sepengetahuan dan petunjuk dari syarat kadie Pada era kesultanan (1511-1960) sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa tanah ome merupakan tanah yang dialokasikan untuk perkebunan dengan penguasaan kingdom state property. Pada era Soekarno (1945-1965) penggunaan lahan tersebut terjadi perubahan yaitu sebagian dialokasikan untuk perkebunan dan sebagaian dialokasikan untuk pemukiman warga serta sebagian lagi yang sudah tidak digunakan menjadi hutan. penguasaannya sebagai hak milik negara (state property). Kemudian pada era Soeharto (1965-1998), Penggunaan lahan tersebut terjadi perubahan yaitu sebagian untuk hutan produksi dan hutan lindung yang penguasanya sebagai hak milik negara (state property) yang dilegitimasi melalui hukum positif. Sebagian penggunaannya menjadi perkebunan dan pertanian masyarakat yang penguasaanya sebagai hak milik pribadi (private property right) dan telah dilegitimasi oleh pemerintah melalui sertifikasi tanah. ). Sejak legitimasi oleh negara tersebut, tanah ome tidak ada lagi di lokasi studi. Pada era otonomi daerah (1999-2013) ditandai dengan masuknya pihak swasta untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya alam (bahan tambang nikel). Hal ini mengakibatkan sebagian kebun (ome) masyarakat (Kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio dan masyarakat Kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Lea-Lea) terjadi perubahaan penggunaan yaitu sebagai jalan tambang baik itu menuju lokasi pertambangan (jalan masuk) maupun jalan menuju terminal khusus dan digunakan sebagai terminal khusus. Pengusaaan tanah tersebut menjadi hak milik swasta (private ownership) Tanah Katampai Tanah katampai merupakan tanah hak milik pribadi ( private property right) yang diberikan oleh sultan kepada tokoh-tokoh tertentu karena dinilai berjasa bagi
16
Kadie merupakan daerah setingkat propinsi, pemerintah wilayah kadie masuk kedalam satu kesatuan wilayah dengan pemerintahan kesultanan Buton. Pemerintahan kadie, juga diatur khusus melalui undangundang yang di sebut dengan Syarana Kadie (Hasimin.AM, 2009). Kesultanan Buton membagi wilayah kadienya menjadi 72 kadie yaitu 2 kadie didalam pusat kesultanan dan 70 kadie diluar pusat pemerintahan kesultanan. 17 Kaomu dan Walaka yaitu kelompok bangsawan Buton 18 Laporo merupakan masyarakat biasa dalam kesultanan buton (diluar kaomu dan walaka)
27
negara (kesultanan)19. Dalam sejarah kesultanan Buton terdapat 5 (lima) orang yang mendapatkan tanah katampai yaitu Abdullah20, Wa Ode Wau21, La Garuda22, La Mbalao23, dan La Saompula24. Setelah ke 5 orang yang mendapatkan tanah katampai meninggal maka tanah tersebut dimiliki oleh hak warisnya (keturunan). Ketika pemilik tersebut meninggal maka diserahkan kepada hak warisnya (keturunannya). Masyarakat di lokasi studi ketika itu, dialokasikan untuk perkebunan dan penguasaannya sebagai hak pakai. Penggunaan lahan tersebut terjadi perubahan pada era Soekarno (1961-1965) yaitu sebagian dialokasikan untuk kebun dan sebagian untuk hutan. Penguasaan lahan tersebut pada era ini sebagian sebagai state property (untuk hutan) dan sebagian private property (untuk perkebunan). Pada era Soeharto (1965-1998), terjadi perubahan penggunaan yaitu sebagian dialokasikan untuk perkebunan (penguasaaanya private property) dan sebagian untuk hutan produksi dan hutan lindung (penguasanya sebagai state property right). Semua penguasaan tersebut telah dilegitimasi oleh negara dan sejak proses legitimasi tersebutlah tanah katampai sudah tidak ada di lokasi studi, namun beberapa yang merupakan turunan dari pemilik tanah katampai (Wa Ode Wau) masih menganggap bahwa di lokasi pertambangan merupakan katampai Wa Ode Wau. Pada era otonomi daerah (1999-2013) penggunaan lahan yang dialokasikan untuk hutan produksi pada era Soeharto oleh pemerintah daerah sebagian dialokasikan untuk tambang dan penguasaanya sebagai hak milik swasta (private ownership). Tanah Kaombo Tanah kaombo merupakan sebuah kawasan hutan yang tidak boleh diganggu (keramat), termasuk sumberdaya yang ada dalam hutan tersebut. Penggunaan sumberdaya yang ada dalam wilayah kaombo dilakukan hanya mendukung untuk 19
20
21
22
23
24
Dalam sejarah kesultanan buton (1542-1960) yang mendapatkan tanah katampai (hak milik pribadi pemberian sultan) yaitu sebanyak 5 (lima) orang yaitu Abdullah, Wa Ode Wau, La Garuda, La Mbalao, dan La Saompula. Diokasi penelitian merupakan katampai Wa Ode Wau (dimasa itu). Katampai Wa Ode Wau : diberikan tanah dengan hak katampai karena jasa serta pengorbanannya atas harta bendanya guna untuk kepentingan di dalam pembuatan benteng keraton Buton. Pembuatan benteng keraton buton dibangun pada masa sultan ke 6 (enam) yaitu La Buke atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Gafurul Waduudu (1632-1645) (Zahari, 1977). Katampai mojina kalau Abdullah : diberikan karena jasanya mengalahkan musuh kerajaan melalui kekuatan ilmu kebathinan yang dimilikinya dan dapat mengobati putra Sultan Dayanu Iksanuddin dari penyakitnya dimasa kanak-kanak yang menurut riwayat orang-orang tua telih meninggal, tetapi dihidupkan kembali melalui benang. Pemberian tanah kepada Abdullah berlangsung pada masa kesultanan La Elangi atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Dayanu Iksanuddin (sultan ke 4, 1578-1615) (Zahari, 1977). Katampai Wa Ode Wau : diberikan tanah dengan hak katampai karena jasa serta pengorbanannya atas harta bendanya guna untuk kepentingan di dalam pembuatan benteng keraton Buton. Pembuatan benteng keraton buton dibangun pada masa sultan ke 6 (enam) yaitu La Buke atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Gafurul Waduudu (1632-1645) (Zahari, 1977). Katampai Bontona Laompo La Garuda : diberikan sibidang tanah karena jasanya menyelamatkan kerjaan dari serangan bajak laut di daerah Daonawajo yang mendapat serangan dari bajak laut dan membawa banyak korban serta kerugian dari penduduk. Pemberian tanah ini berlangsung pada masa kesultanan La Awu atau nama gelar kesultanan Sultan Malik Sirullah (sultan ke 9,1654-1664) (Zahari, 1977). Katampai Bontona Gundu-Gundu Mancuana La Mbalao : diberikan tanah kerena jasanya dengan keberaniannya mengalahkan musuh kerajaan sehingga terjaminlah ketentraman dalam kesultanan. Pemberian tanah kepada La Mbalao berlangsung pada masa kesultanan La Tumpamana atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Zainuddin (sultan ke 12, 1680-1689) (Zahari, 1977). Katampai Bontogena Wantiro La Saompula : diberikan tanah karena jasanya pada masa kesultanan La Umati atau nama gelar kesultanan Sultan Liyaauddin Ismail (sultan ke 13, 1689-1697) (Zahari, 1977).
28
kepentingan-kepentingan kolektif berdasarkan kesepakatan para tetua adat yaitu untuk kepentingan bersama misalnya untuk pembangunan mesjid atau tempat pertemuan (baruga). Setiap kadie memiliki kaombo masing-masing yang dipelihara oleh syarat (aturan) kadie. Penguasaan tanah kaombo merupakan tanah milik kesultanan (Kingdom state property). Tanah tersebut pada era Soekarno (1945-1965) tidak terjadi perubahan penggunaan dan penguasaan (seperti halnya pada era kesultanan). Ketika era Soeharto (1965-1998) terjadi perubahaan penggunaan lahan yaitu dialokasikan untuk hutan produksi dan hutan lindung. Namun bagi masyarakat sekitar masih menganggap lokasi tersebut merupakan tanah kaombo yang tidak diperbolehkan untuk diganggu. Penguasanya telah dilegitimasi oleh negara sebagai hak milik negara (state property right). Pada era Otonomi Daerah lahan tersebut sebagian oleh pemerintah daerah dialokasikan sebagai tambang sehingga penguasaannya sebagian menjadi hak milik swasta (private ownership). Kemudian pada era otonomi daerah (1999-2013) penggunaan hutan produksi pada era Soeharto oleh pemerintah daerah dialokasikan untuk tambang dan penguasaanya menjadi hak milik swasta (private ownership). Ikhtisar Pemaknaan sumberdaya alam yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu hubungan orang Buton dengan tanahnya (kepemilikan hak atas tanah). Pada era kesultanan (1511-1960) terdapat 4 (empat) jenis pemanfaatan dan penguasaan tanah oleh masyarakat yaitu pertama ; tanah turakia, pemanfaatanya dialokasikan untuk pemukiman penduduk dan kak penguasaannya merupakan milik kesultanan (kingdom state property), kedua ; tanah ome, merupakan tanah bekas perkebunan (dialokasikan untuk perkebunan) dan penguasaanya sebagai kingdom state property, ketiga; tanah katampai, merupakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada seseorang (tokoh) yang dianggap berjasa pada kesultanan (dialokasikan untuk pemukiman dan perkebunan) dan pengusaannya sebagai hak milik pribadi (private property right), dan keempat; tanah kaombo, merupakan tanah yang pemanfaatannya dilakukan secara kolektif/bersama untuk kepentingan bersama dan penguasaannya sebagai kingdom state property. Dari kesemua jenis tanah tersebut diatas kemudian mengalami pergeseran pemanfaatan dan penguasaan ketika legitimasi negara akan sumberdaya alam mulai berlaku. Pada era Soekarno (1960-1965) menjadi benih terjadinya klaim penguasaan atas tanah dari hak pakai milik kesultanan menjadi hak milik pribadi oleh masyarakat dari keempat jenis tanah tersebut. Kemudian pada era Soeharto (1965-1998) tepatnya pada tahun 1967 merupakan awal legitimasi negara terhadap tanah yang tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat baik itu bekas pemukiman (turakia), perkebunan (ome), katampai maupun kaombo untuk ditetapkan sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Akibat pergeseran pemanfaatan dan penguasaan tersebut sehingga pada era otonomi daerah (1999-2013) pemerintah daerah Kota Baubau mengalokasikan kawasan hutan produksi sebagai kawasan pertambangan dengan penguasaan lahan menjadi milik swasta (private ownership). Hal ini dilakukan untuk melegitimasi Surat Keputusan Walikota tentang Kuasa Eksplorasi yang diberikan kepada pihak swasta untuk melakukan eksplorasi Nikel. Dikawasan pertambangan tersebut bagi komunitas dianggap sebagai hutan kaombo.
29
VI.
AKTOR YANG TERLIBAT
Untuk memahami aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam (SDA) di Kota Baubau, langkah awal yang dilihat adalah siapa saja aktor yang memiliki ruang akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya alam serta relasi kekuasaan yang dibangun antar aktor tersebut. Kaitannya dengan hal ini maka dalam menguraikan aktor-aktor yang terlibat tersebut merujuk pada Bryant dan Bailey (1997) bahwa dalam pendekatan aktor yang akan dianalisis yaitu (1) peran dan kepentingan aktor terhadap penggunaan dan penguasaan SDA (2) mengkomparasikan peran dan kepentingan aktor yang berbeda tentang motivasi dan tindakan para aktor dan (3) menekankan pada peran dan interaksi aktor dalam konflik sumberdaya alam. Adapun aktor-aktor yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam di Kota Baubau yaitu sebagai berikut: Kesultanan Pada era kesultanan aktor yang berperan dalam penggunaan dan penguasaan SDA yaitu kesultanan Buton. Peran dan kepentingan kesultanan dengan otoritas/kewenangan yang dimililki dalam penggunaan dan penguasaan lahan tersebut maka pihak kesultanan memberikan lahan kepada masyarakat yang penggunaanya dialokasikan untuk pemukiman, perkebunan dan wilayah konservasi/hutan (kaombo). Penguasaanya menjadi milik kesultanan (kingdom state property) (sebagaimana telah diuraikan dalam Bab V). Pemberian lahan tersebut oleh pihak kesultanan melalui masing-masing perangkat kadie25. Motivasi dan tindakan kesultanan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam tersebut yaitu untuk keberlangsungan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan subsisten. Selain itu pihak kesultanan memberikan lahan kepada masyarakat yang dianggap berjasa bagi pemerintahan kesultanan (tanah katampai). Penguasaanya atas izin kesultanan menjadi hak milik pribadi (private property) masyarakat tersebut. Hal ini merupakan bentuk reward atas jasa yang telah dilakukan oleh masyarakat tersebut terhadap kesultanan. Pada era ini penggunaan SDA tersebut tidak dialokasikan untuk tambang. Untuk dapat mengontrol penggunaan dan penguasaan lahan tersebut maka pihak kesultanan membangun aliansi dengan perangkat kadie (syara’ kadie). Perangkat kadielah yang melakukan pengawasan terhadap penguasaan dan penggunaan lahan oleh masyarakat. Kemudian jika terjadi perselisihan antar masyarakat dalam kadie tersebut maka proses interaksi untuk dapat menyelesaikannya yaitu dilakukan oleh perangkat kadie. Namun jika terjadi sengketa penguasaan dan penggunaan lahan antar kadie maka melalui otoritas/kewenangannya pihak kesultanan melalui tunggu-tunggu26 untuk berinteraksi dengan pihak kadie dalam menyelesaikannya. Pada era Soekarno peran kesultanan masih tetap berlangsung hingga tahun 1960 karena secara politik kekuasaan pemerintahan Swapraja Buton ketika itu 25
26
Yang dimaksud dengan syarat kadie adalah aturan yang berlaku di masing-masing kadie. Adapun yang menjalankan pemerintahan kadie yaitu yaitu Bonto, Parabela, Pangalasa, Wati, Kaosa, Akanamia, Tunggu-Tunggu dan Parabela Ogena (Zahari, 1974). Tunggu-tunggu merupakan jabatan pemerintahan pusat kesultanan setingkat menteri.
30
masing ditangan sultan. Sehingga kesultanan berperan dalam penggunaan dan penguasaan SDA sebagaimana pada era kesultanan. Kemudian pada era Soeharto peran kesultanan dalam penguasaan dan penggunaan sumberdaya alam sudah tidak ada kerena kesultanan Buton berakhir pada tahun 1960 tersebut. Selanjutnya Pada era otonomi daerah tepatnya pada tahun 2011 Kesultanan Buton mulai dibentuk kembali namun kesultanan tidak berperan dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. Pemerintah Pusat Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Kesultanan Buton berakhir pada tahun 1960 sehingga pada era Kesultanan, pemerintah pusat (1945-1960) belum berperan dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. Kemudian pada era Soekarno peran pemerintah pusat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau yaitu melalui penggunaan lahan yang dialokasikan menjadi hutan yang penguasaanya menjadi milik negara (State property). Hal ini dilakukan melalui kebijakan negara yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dan UndangUndang tentang kehutanan tahun 1965. Namun pada era ini di lokasi studi pemerintah pusat belum mengalokasikan penggunaan lahan untuk tambang. Pada era Soeharto peran dan kepentingan pemerintah pusat dominan terhadap penggunaan dan penguasaan SDA. Penggunaan lahan oleh masyarakat dialokasikan untuk pemukiman dan perkebunan pada era ini dilegitimasi oleh pemerintah pusat melalui sertifikasi tanah (dilokasi studi tahun 1972). Kemudian sebagian kebun masyarakat yang sudah tidak dimanfaatkan dilegitimasi oleh pemerintah pusat dialokasikan menjadi hutan dan menjadi hak milik negara (state property). Namun pada era ini pemerintah pusat tidak mengalokasikan penggunaan SDA untuk tambang. Pada era otonomi daerah peran pemerintah pusat dalam penggunaan dan penguasaan SDA tidak dominan. Pada era ini pemerintah Kota Baubau mengalokasikan penggunaan lahan untuk tambang (nikel) dan memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi (dahulu kuasa pertambangan eksplorasi) dan IUP Operasi Produksi kepada pihak swasta (PT BIS), penguasaanya sebagai hak milik swasta (private ownership). Hal inilah sehingga pemerintah pusat berperan terkait dengan perizinan yang menjadi tupoksi pemerintah pusat. Melalui kementerian Kehutanan berperan dalam mengeluarkan persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel di dalam kawasan hutan produksi terbatas kepada PT BIS (17 Maret 2008) dan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk operasi produksi bijih nikel dan sarana penunjang lainnya pada kawasan hutan produksi terbatas kepada PT BIS (15 maret 2012). Kemudian melalui kementerian perhubungan berperan dalam mengelarkan izin terminal khusus bagi PT BIS dan melaui kementerian Energi Sumberdaya dan Mineral (ESDM) berperan dalam mengeluarkan Izin ekspor, clean and clear dan beberapa perizinan lainnya yang relevan dengan rencana kegiatan penambangan PT BIS tersebut.
31
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara pada era Kesultanan, era Soekarno dan era Soeharto tidak memiliki peran dalam penguasaan dan penggunaan SDA di Kota Baubau. Sementara pada era otonomi daerah peran pemerintah provinsi yaitu memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat terkait dengan perizinan. Pada masa kepemimpinan ALZ (Periode 2003-2008) memberikan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan kepada PT BIS untuk melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan nikel yang ditujukan kepada kementerian kehutanan (30 November 2007). Kemudian pada masa kepemimpinan NA (Periode 2008-2013 dan 2013-2018) memberikan rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan/terminal khusus kepada PT BIS (27 April 2012). Pemerintah Kota Baubau Pemerintah Kota Baubau pada era Kesultanan, era Soekarno dan era Soeharto tidak memilik peran dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. Sementara pada era otonomi daerah, dimana kekuasaan untuk mengalokasikan dan menetapkan status penguasaan SDA terletak pada pemerintah daerah. Hal inilah sehingga sebagian penggunaan lahan pada era Soeharto yang dialokasikan sebagai hutan produksi oleh pemerintah Kota Baubau dialokasikan sebagai tambang (nikel) dan penguasaanya menjadi hak milik swasta. Dalam menguraikan peran pemerintah daerah pada era otonomi daerah terkait dengan penggunaan dan penguasaan SDA ini akan diuraikan berdasarkan kepemimpinan Walikota sejak penggunaan SDA dialokasikan sebagai tambang. Masa Kepemimpinan AMT (Periode 2003-2008 dan 2008-2013) Pemerintah Kota Baubau dibawah kepemimpinan AMT berperan dalam pemberian izin terkait dengan kebutuhan PT BIS. Izin-izin tersebut adalah IUP Ekplorasi, IUP Eksploitasi, izin lingkungan, izin prinsip terminal khusus dan memberikan rekomendasi terkait pinjam pakai kawasan hutan produksi. Kepentingan pemerintah Kota Baubau yaitu terlaksananya kegiatan eksploitasi tambang yang dilakukan oleh PT BIS. Untuk itu maka pada kepemimpinan AMT melakukan pengawalan kebijakan melalui pengejawantahan tugas masing-masing Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait. Bentuk pengawalan yang dilakukan adalah mempertahankan keberadaan PT BIS untuk dapat melakukan pemanfaatan sumberdaya nikel. Baik itu dilakukan dalam pertemuan resmi dengan DPRD melalui logika pembenaran keberadaan PT BIS terkait dengan kebijakan dan perizinan maupun ketika pertemuan dengan masyarakat. Berikut akan disajikan tanggapan beberapa SKPD terkait dengan persoalan PT BIS.
32
Tabel 6.1 Tanggapan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terhadap persoalan PT BIS SKPD
Tanggapan terhadap persoalan PT BIS
Asisten I Setda Kota
Secara umum untuk legalitas beroperasi PT BIS telah ada, baik yang dikeluarkan oleh kepala daerah maupun kementerian ESDM, kementerian kehutanan maupun kementerian perhubungan RI27. Adapun tanggapannya adalah sebagai berikut28 : Masalah legalitas perusahaan sudah jelas, sudah ada AMDALnya dan sudah ada persetujuan peningkatan izin eksplorasi menjadi izin operasi produksi Untuk PT BIS sudah ada AMDALnya dan sangat berperan dalam hal pengawasan karena didalamya ada kewajibankewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan Apakah sudah sesuai dengan RTRW yang ada, kalau belum ada, maka tidak boleh dilakukan. Dalam program nasional perencanaan dibagi menjadi 5 kawasan dan salah satunya Provinsi Sulawesi Tenggara masuk zona 5 yaitu percepatan pembangunan dibidang pertanian, perikanan dan pertambangan yang ada didalamnya. Namun hal-hal lainnya tidak harus berbenturan dengan aturan yang lebih tinggi Mengenai izin alih fungsi hutan menjadi kewenangan kementerian kehutanan dan izin prinsip kewenangan pemerintah daerah yang merupakan bagian dasar acuan dalam rangka proses tahapan berikutnya. Dalam izin prinsip ada terdapat tahapan konstruksi didalamnya. Ada akses ke pertambangan menuju pelabuhan. Untuk itu, dibutuhkan satu areal untuk tempat stock hasil tambang. Untuk akses jalan dari tambang ke pelabuhan tidak menutup kemungkinan melewati kawasan hutan lindung, hutan produksi atau hutan produksi terbatas. Hal ini ada izinnya tersendiri. Akses jalan adalah kewajiban perusahaan bukan kewajiban pemerintah Untuk pengadaan tanah, ada regulasi yang mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Sebenarnya untuk tanah disana walaupun untuk kepentingan masyarakat namun kami memberi harga diatas harga NJOP jadi tidak merugikan masyarakat. Persiapan sudah 3 hektar lahan yang mereka (PT BIS) untuk persiapan pelabuhan dan itu anggarannya dari perusahaan. Pertambangan di Kecamatan Sorawolio masih sebagai cadangan nasional. Di lokasi tambang terdapat 2 sungai dan sungai tersebut mengairi sawah di Kelurahan Ngkaring-Ngkaring dan Bungi. Ada juga mata air untuk masyarakat Kelurahan Liabuku dan sekitarnya. Pada Perda kita Pasal 68, disebutkan bahwa tentang kawasan wilayah peruntukkan lain29, dibagi 3 (tiga) yaitu wilayah pertambangan cadangan nasional, wilayah usaha pertambangan
Asisten II Setda Kota
Dinas Tata Kota dan Bangunan
27 28
29
Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan RFT (54) yaitu Asisten I Sekretariat Daerah Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT. Disampaikan oleh (FTD) saat rapat kerja DPRD Kota Baubau bersama pemerintah Daerah dengan agenda pembahasan permasalahan PT BIS (Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). FTD adalah Asisten I Sekretariat Daerah Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT. Yang dimaksud peruntukan lain disini dalam perda No 1 tahun 2012 salah satunya adalah kawasan pertambangan.
33
SKPD
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Dinas Pertambangan
Subag Tata Hukum Perundangan, Dinas Perhungan Dinas Pekerjaan Umum
30
31
32 33
34 35 36
Tanggapan terhadap persoalan PT BIS dan usaha pertambangan rakyat. Potensi pertambangan yang ada dilokasi tersebut adalah biji nikel, biji besi dan mangan. Untuk cadangan nasional itu kewenangan pusat. Kewenangan daerah hanya dipertambangan rakyat30. AMDAL didalamnya berisi tentang kajian lingkungan dan juga termasuk kajian masalah bidang yang dimaksud yaitu pertambangan. Selain itu juga terdapat materi solusi ketika suatu kegiatan usaha melahirkan dampak negatif. Terkait PT BIS, untuk kegiatan eksplorasi sudah ada AMDALnya31. Hutan tempat eksplorasi nikel tidak masuk kawasan hutan lindung tetapi terletak pada hutan produksi terbatas. Dalam RTRW 2004 lokasi pertambangan masuk dalam BWK (Bagian wilayah Kota) VI yaitu kegiatan pertanian, perkebunan, kehutanan dan lainnya. (kata lainya dapat difahami kegiatan pertambangan. Kemudian dalam RTRW 2012 (revisi 2004) di lokasi pertambangan sudah menjadi kawasan pertambangan32. Sebenarnya untuk solusinya telah ada dalam izin usaha pertambangan, disitu terdapat ada hak dan kewajiban pemilik IUP. Itulah yang menjadi pegangan kita karena ada kewajiban perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak. Surat-surat yang dimiliki oleh perusahaan sudah sesuai dengan prosedur33. Didalam ketentuan amdal diatur tentang pasca tambang, dimana ketika tambang ditutup maka daerah pertambangan akan direklamasi dan dilakukan penghijauan kembali34 Izin untuk pembuatan jalan tidak ada rekomendasi dari dinas perhubungan karena tidak ada regulasi tentang itu. Kami hanya memberikan rekomendasi di jembatan Lakologou35, itupun hanya masalah ketinggian jembatan36 Terkait pembangunan jalan untuk pertambangan kemungkinan ada dua tahapan, jalan untuk operasional eksplorasi dan akses untuk tahap eksploitasi. Eksplorasi berada dalam lingkup tambang itu sendiri dan semuanya sudah ada ketentuan-ketentuannya. Untuk eksploitasi (produksi), jalan akan menghubungkan kawasan pertambangan dan pelabuhan. Jalan tersebut akan dirancang sehingga dapat bersinergis
Disampaikan oleh (ARH) saat rapat kerja DPRD Kota Baubau bersama pemerintah daerah dengan agenda pembahasan permasalahan PT BIS (Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). SNR adalah Kepada dinas Tata Ruang dan Bangunan pada masa kepemimpinan AMT. Disampaikan oleh (MGF) saat rapat kerja DPRD Kota Baubau bersama pemerintah Daerah dengan agenda pembahasan permasalahan PT BIS (Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). MGS adalah Kepada Bapedalda Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan SE (50), yaitu kepala dinas pertambangan Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT. Disampaikan oleh (SE) saat rapat kerja DPRD Kota Baubau bersama pemerintah daerah dengan agenda pembahasan permasalahan PT BIS (Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 3 Januari 2013). SE adalah Kepala Dinas Pertambangan Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT Disampaikan oleh (KBK), Radar Buton, 6 Februari 2008, KBK adalah Kepada Bagian Hukum Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT. Lakologou yaitu nama Kelurahan yang terletak di Kecamatan Kokalukuna Pelabuhan yang dimaksud adalah terminal khusus PT BIS.
34
SKPD
Tanggapan terhadap persoalan PT BIS dengan jalan kota atau jalan lingkar yang menghubungkan Kecamatan Bungi dan Kecamatan Sorawolio37. Terkait pinjam pakai kawasan hutan, disana tetap dijadikan kawasan hutan, namun kita pinjam pakaikan untuk kegiatan pertambangan38.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Sumber : Hasil studi lapang (diolah dari berbagai sumber)
Masa Kepemimpinan AST (Periode 2013-2018) : Masa kepemimpin AST saat penelitian ini dilakukan baru berjalan 3 (Tiga) bulan. Terkait dengan penggunaan dan penguasaan sumberdaya nikel oleh PT BIS yang telah mendapatkan izin sejak masa kepemimpinan AMT maka secara politik, AST bersama wakilnya (MSM) pada saat kampanye pemilihan walikota (28 Oktober 2012) menandatangai kontrak politik melalui pernyataan sikap masyarakat kontra tambang terkait dengan permasalahan PT BIS. Salah satu butir dari pernyataan sikap tersebut yaitu “akan menolak segala macam aktivitas yang akan merusak lingkungan dan memutus mata rantai sumber penghidupan masyarakat Lowu-lowu dan Kolesa termaksud/keberadaan jalur transportasi, stockpile dan pengapalan tambang nikel yang dilakukan PT BIS yang dirasakan sangat mengganggu sistem kehidupan dan penghidupan masyarakat di Kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese”. Berangkat dari hal tersebut diatas maka pemerintah daerah (kepemimpinan AST) membentuk tim melalui surat keputusan Walikota Baubau No 34 tahun 2013 tanggal 18 Februari tahun 2013 tentang pembentukan tim pengkajian dan penyelesaian masalah pelaksanaan eksploitasi tambang Nikel PT BIS di wilayah Kota Baubau. Terkait dengan pembentukan tim tersebut ALD (46)39 menyampaikan bahwa: “...Tim itu hanya mengawal, mengawasi jalan dan pertambangan sana serta tidak menganalisis dari awal persoalan PT BIS. Siapa mau bubarkan itu barang! Artinya tidak bisa dianalisis dari awal, kalau merunut kembali sudah pasti dihentikan. Kenapa? karena ada banyak sebenarnya persoalan (perizinan, jalan dan lain-lain). Pertimbangannya harus banyak karena salah tanda tangan kita sudah berhadapan dengan jurang ini. Makanya saya sampaikan kepada tim kalau kita cintai pak wali kita harus selamatkan bersama karena jangan sampai kita mengajukan surat kepada beliau kemudian ditanda tangan ternyata itu menjebak...” Lebih lanjut ALD (46)40 menyatakan bahwa: “...Jadi saya lihat ini kalau tidak melalui jalan tambang yang saat ini sudah dibebaskan namun ada kendala, maka akan melewati jalan Kabupaten Buton, rencananya begitu tapi tidak lewat jalan raya, kalau lewat jalan raya berbahaya lagi, 37 38 39
40
Disampaikan oleh (SNR), yaitu kepala dinas pekerjaan umum Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT, Disampaikan oleh (BHP), yaitu kepala dinas pertanian dan kehutanan Kota Baubau pada masa kepemimpinan AMT. Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan ALD (46), yaitu sebagai sekretaris Dinas Tata Ruang dan Bangunan pada masa pemerintahan AST dan merupakan salah satu anggota tim pengkajian dan penyelesaian masalah pelaksanaan eksploitasi tambang Nikel PT BIS di wilayah Kota Baubau yang dibentuk oleh Walikota Baubau (kepemimpinan AST) Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan ALD (46), yaitu sebagai sekretaris Dinas Tata Ruang dan Bangunan pada masa pemerintahan AST dan merupakan salah satu anggota tim yang dibentuk oleh Walikota Baubau (kepemimpinan AST)
35
yang akan dilawan itu Kota Baubau. Makanya waktu kita rapat ada bahasa itu, saya bilang begini. Bukan kita tidak mau tapi jangan sampai kita paksakan....” Berangkat dari uraian diatas maka rekomendasi yang dihasilkan dari tim yang dibentuk pada masa kepemimpinan AST yaitu sebagaimana disampaikan oleh RSM (40)41 bahwa: “...Hasil dari tim teknis diserahkan kepada dinas pertambangan secara teknis terkait dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan IUP atas produksinya dan di payungi dengan pembinaannya langsung di tingkat muspida. Kalau regulasi sampai sekarang belum ada yang didorong apakah misalnya ada surat yang di keluarkan untuk evaluasi KP (kuasa pertambangan) atau IUP (Izin Usaha Pertambangan). Kalau nanti hak dan kewajiban di evaluasi ini tentu butuh waktu untuk mengumpulkan bahan pembahasan. Sehingga yang tepat jangan dulu di putuskan apakah berhenti sementara ataupun lanjut, makanya pengawasan di sektor ini di pacu dengan tetap memperhatikan hak dan kewajiban PT BIS....”.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Baubau Pada era Kesultanan, era Soekarno dan era Soerhato Kota Baubau belum menjadi daerah otonom (sebagaimana telah diuraikan dalam Bab I) sehingga dalam pembahasan tentang DPRD tidak dapat diuraikan pada era tersebut. Sementara pada era otonomi daerah peran DPRD dalam penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam yaitu ikut menyepakati rancangan Peraturan Daerah (Perda) RTRW yang diajukan oleh pemerintah daerah (kepemimpinan AMT) untuk dijadikan Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Baubau tahun 20122030. Perda tersebut telah mengalokasikan penggunaan lahan untuk tambang di Kota Baubau, termasuk lokasi pertambangan nikel PT BIS. Selain itu peran DPRD Kota Baubau secara kelembagaan yaitu mengeluarkan beberapa rekomendasi hasil rapat terkait dengan pertambangan nikel PT BIS, yaitu sebagai berikut : (1). Kamis, 12 Juli 2012. Rapat kerja gabungan komisi DPRD Kota Baubau bersama pemerintah dengan agenda aspirasi masyarakat Kecamatan Lea-Lea terkait pengelolaan Tambang oleh PT BIS dan PLTU42. Adapun yang menjadi rekomendasinya adalah: “Berdasarkan saran dan masukan seluruh peserta rapat maka dicapai kesepakatan bahwa seluruh aktivitas pertambangan PT BIS dan pembangunan PLTU dikecamatan Lea-Lea dihentikan, sampai seluruh persyaratan administrasi dilengkapi. (2). Kamis, 3 Januari 2013. Rapat Kerja DPRD Kota Baubau bersama pemerintah dengan agenda permasalahan PT BIS. Hasil kesimpulan rapatnya adalah: a. Dewan dan pemerintah Kota Baubau akan melakukan konsultasi ke pemerintah pusat (kementrian terkait) untuk membahas legalitass PT BIS dalam mengelola pertambangan di Kota Baubau.
41
42
Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan RSM (40), yaitu kepala bagian sumberdaya alam Kota Baubau pada masa pemerintahan AST dan merupakan sekretaris tim pengkajian dan penyelesaian masalah pelaksanaan eksploitasi tambang Nikel PT BIS di wilayah Kota Baubau yang dibentuk oleh Walikota Baubau (kepemimpinan AST)
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang terletak di Kecamatan Lea-Lea (bagian dari lokasi studi) bukan merupakan bahan kajian dalam penelitian ini
36
b. Dewan merekomendasikan kepada pemerintah agar menghentikan kegiatan PT BIS sementara waktu sambil menunggu hasil konsultasi yang dilakukan oleh Dewan dan Pemerintah Kota Baubau (3). Kamis, 7 Februari 2013. Rapat paripurna DPRD Kota Baubau dengan agenda penentuan sikap terhadap masalah pertambangan PT BIS. Adapun kesimpulan rapat tersebut adalah: a. Dewan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pemerintah terkait seluruh kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT BIS. b. Dewan mengawal dan mengawasi pemerintah dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh PT BIS. c. Segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT BIS dan pemerintah, Dewan menyerahkan permasalahan tersebut kepada pihak penegak hukum. Sementara secara individu anggota DPRD Kota Baubau memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap kegiatan pertambangan Nikel PT BIS. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.2 berikut: Tabel 6.2 Tanggapan beberapa anggota DPRD Kota Baubau terkait persoalan PT BIS. Anggota DPRD MNS
TFR
HSD
ADL
Tanggapan terhadap persoalan PT BIS Kami memandang bahwa didaerah sana (lokasi pertambangan dan jalan tambang) sangat baik untuk bidang pertanian dan memiliki dampak ekonomi yang cukup baik dibanding dengan membuka wilayah pertambangan43 RTRW merupakan dasar penggunaan wilayah di Kota Baubau. Bilamana perusahaan tersebut melanggar RTRW maka dapat dihentikan. Setahu kami kawasan Buso (Bungi Sorawolio) merupakan kawasan cadangan tambang nasional yang dieksploitasi bila potensi mineral nasional telah habis dan dalam RTRW kita tidak mengakomodir pembangunan pelabuhan dan jalan menuju pelabuhan tambang44. Kita tidak pungkiri bahwa di daerah ini ada potensi tambang. Namun dalam RTRW kami menyepakati bahwa digunakan sebagai cadangan nasional yang digunakan bila negara dalam keadaan perang. Dengan adanya kegiatan pertambangan ini suplai air di Kota Baubau akan terganggu. Kami yang tergabung dalam fraksi PPNS menolak pertambangan ini45. Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan padat teknologi dimana peralatan teknologi memiliki peranan 70 % dan 30 % peranan manusia (20 % tenaga ahli dan 10 % tenaga buruh). Penyerapan tenaga kerja masyarakat Kota Baubau jangan sampai hanya dijadikan sebagai tenaga kerja buruh46.
43
Disampaikan oleh (MNS) saat rapat menerima aspirasi masyarakat dari aliansi masyarakat Lea-Lea Bersatu Kota Baubau (Risalah Rapat. Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). MNS adalah anggota DPRD Kota Baubau Periode 2009-2014 44 Disampaikan oleh (TFR) saat rapat menerima aspirasi masyarakat dari aliansi masyarakat Lea-Lea Bersatu Kota Baubau (Risalah Rapat. Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). TFR adalah anggota DPRD Kota Baubau Periode 2009-2014 45 Disampaikan oleh (HSD) saat rapat menerima aspirasi masyarakat dari aliansi masyarakat Lea-Lea Bersatu Kota Baubau (Risalah Rapat. Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). TFR adalah anggota DPRD Kota Baubau Periode 2009-2014 46 Disampaikan oleh (HSD) saat menerima aspirasi dari aliansi masyarakat Lea-Lea Pro Tambang Sejahtera (Risalah Rapat. Sekretariat DPRD Kota Baubau, Kamis 12 Juli 2012). ATD adalah Anggota DPRD Kota Baubau periode 2009-2014.
37
Anggota DPRD HMR
Tanggapan terhadap persoalan PT BIS
Dalam Perda No 2 tahun 2004 tidak ada peruntukan untuk daerah tambang dilokasi itu (PT BIS). Hal itu yang kita protes waktu itu (2007) karena dalam hal pembuatan jalan saja (eksplorasi), belum keluar surat izin dari kementerian kehutanan jalannya sudah dibuat sebesar itu. Jadi pemerintah tidak mengikuti arahan dewan dan jalan sendiri47. YSM Mumpung sekarang dia (lokasi pertambangan) masih bertabrakan dengan aturan-aturan yang lain misalkan RTRW kita. Kondisi riil sosial masyarakat kita disana masih ada pertanian. Kalau saya bersepakat “jangan dululah kita ganggu itu” karena dia akan merusak yang lain48 Sumber : Hasil studi lapang (diolah dari berbagai sumber)
Aparat Negara Bidang Keamanan dan Ketertiban Pada era Kesultanan, era Soekarno dan era Soeharto terkait dengan penggunaan dan penguasaan SDA, Aparat Negara Bidang Keamanan dan Ketertiban (ANBKK) tidak memiliki peran. Hal ini dikarenakan pada era tersebut belum ada penggunaan lahan yang dialokasikan untuk tambang di lokasi studi. Pada era otonomi daerah, peran yang dilakukan oleh ANBKK dalam penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh PT BIS yaitu melakukan mediasi antara pihak korporasi (PT BIS) dengan masyarakat yang kontra terhadap tambang. Kemudian peran lain yaitu ketika terjadi aksi-aksi yang dilakukan oleh komunitas parlemen jalanan (aktivis mahasiswa). Hal ini oleh pihak ANBKK memiliki kecenderungan secara politik untuk menetralisir gerakan (aksi-aksi) yang dilakukan oleh mahasiswa yaitu: Pertama, melalui pendekatan administrasi (perizinan aksi), secara aturan sebelum melakukan aksi demonstrasi maka surat pemberitahuan aksi terlebih dahulu disampaikan 3 hari sebelumnya. Sehingga Surat Tanda Terima Pemberitahuan Aksi (STTP) oleh pihak aparat negara bidang keamanan dan ketertiban bisa mengeluarkan STTP tersebut. Hal ini seperti yang disampaikan oleh EK (30)49 bahwa : “... Saya punya pengalaman saat melakukan aksi tentang PT BIS terhadap sikap ANBKK (oknum cokelat) terhadap saya atau lembaga yang kami bawa untuk aksi. Surat pemberitahuan, saya sampaikan 1 (satu) hari sebelum aksi sehingga STTP kami tidak dapatkan. Namun waktu yang bersamaan saya bersama teman yang juga memasukkan surat pemberitahuan aksi dengan isu yang berbeda yaitu tentang kampus, STTPnya dikeluarkan. Walaupun hal itu hanya sehari sementara saya tidak dikeluarkan. Kemudian juga sound-sound di Kota Baubau ketika ada informasi aksi maka pihak manajemen atau yang memiliki sound sudah dihubungi oleh pihak ANBKK (oknum cokelat) untuk tidak dikelaurkan soundnya.....” Kedua, melalui pendekatan lobi kepada kelompok-kelompok gerakan untuk tidak melakukan aksi. Modus operandi yang dilakukan oleh oknum ANBKK yaitu dengan memasang beberapa informan pada individu-individu kelompok gerakan (mahasiswa) yang memiliki kapasitas dan pengaruh terhadap kelompoknya 47 48 49
Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan HMR (40), yaitu anggota DPRD Kota Baubau periode 2009-2014 dan mantan wakil ketua DPRD Kota Baubau Periode 2004-2009 Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan YSM (40), yaitu wakil ketua DPRD Kota Baubau periode 2009-2014 dan mantan Ketua Komisi B DPRD Kota Baubau periode 2004-2009. Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan EK (30), yaitu adalah mantan presiden mahasiswa STAI Baubau.
38
masing-masing50. Kemudian kepentingan ANBKK (oknum) terhadap pertambangan adalah terlibat dalam paket- paket pekerjaan konstruksi seperti pekerjaan mess karyawan. Kaitannya dengan hal ini SR (38)51 mengatakan bahwa: “...Pihak aparat negara bidang keamanan dan ketertiban (hijau) itu ada kontraktor, hanya mengamankan jangan sampai ada masyarakat yang lalu lalang....” Selain itu, ANBKK (hijau) terlibat melakukan pengamanan ketika terjadi ”chaost” antar masyarakat kontra tambang dengan pro tambang. Bagi komunitas bukan merupakan tupoksi ANBKK (hijau). Pada konteks ini YSM (40)52 mengatakan bahwa : “....Reaksi berlebihan yang dilakukan siapapun tanpa menyebut institusi, reaksi yang berlebihan dari institusi manapun itu saya anggap bagian dari konspirasi. Kalau kita berbicara pengamanan ada ANBKK (Coklat) kenapa harus ada ANBKK (Hijau) disana (lokasi pelemparan rumah warga di Kelurahan Lowu-Lowu) ketika terjadi chaost....” Pihak Swasta (PT BIS) Pada era Kesultanan, era Soekarno dan era Soeharto belum ada pihak swasta yang berperan dalam penggunaan dan penguasaan SDA di lokasi studi. Namun pada era otonomi daerah pihak swasta (PT BIS) memiliki peran yang kuat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. Hal ini terlihat ketika PT BIS mengantongi izin IUP eksplorasi dan perizinan lainnya terkait dengan pemanfaatan sumberdaya nikel tersebut. Bagi PT BIS kehadiran dalam melakukan investasi tujuannya yaitu termanfaatkannya potensi sumberdaya nikel, menyediakan lapangan kerja bagi penduduk lokal, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar lokasi proyek dan memacu pertumbuhan ekonomi regional dengan meningkatnya pendapatan asli daerah dan PDRB53. Dari tujuan tersebut maka kepentingan ekonomi terlihat lebih dominan dibanding kepentingan konservasi. Terkait hal ini, RSM (40)54 mengatakan bahwa : “... Secara sederhananya memang selalu ada benturan antara kepentingan konservasi dan ekonomi, kemudian saat ini saya lihat peningkatan pendapatan daerah sektor tambang jadi trend di Sulawesi tenggara, tak terkecuali di Kota Baubau, ini pilihan instan pemerintah. Karena cara berpikirnya peningkatan pendapatan saja maka efek dari kegiatan tambang itu biasanya suka dipinggkirkan 50
51 52 53 54
EK (30) (Wawancara mendalam) “.... Pernah ketika kami rapat konsolidasi untuk melakukan aksi tentang PT BIS setelah konsolidasi tersebut pihak aparat negara bidang keamanan dan ketertiban (oknum cokelat) sudah mengetahui akan ada aksi. Dari situ saya penasaranlah kenapa bisa terjadi, maka saya bentuk tim investigasi tentang kenapa hal itu (informasi aksi) cepat sekali bocor. Dari hasi investigasi itu, saya dapatkan dari teman polisi (tidak usah disebutkan namanya) bahwa pihak aparat negara bidang keamanan dan ketertiban (oknum cokelat) membentuk tim 11 dalam mengawal gerakan-gerakan terkait dengan PT BIS. Kagentnya saya ternyata nama-nama tersebut merupakan teman-teman dekat saya juga yang sempat ikut rapat konsolidasi saat itu, mereka itu tim 11 yaitu RND, L.AD, ERN, FYD, RR dan yang 5 nya itu saya lupa. Kemudian Aparat negara bidang keamanan dan ketertiban (oknum cokelat) juga ini kadangkadang menjadi pemicu konflik dimasyarakat atau membuat peta konflik misalnya menangkap secara paksa dan mengacam....” Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan SR (38), yaitu tokoh masyarakat Kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio. Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan YSM (40), Saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Baubau. Tujuan tersebut disitir dari Dokumen ANDAL, 2008 Catatan harian aktor yang terlibat. Wawancara mendalam dengan RSM (40) yaitu dosen Universitas Dayanu Ikhsanuddin.
39
dan bagi perusahaanpun memiliki logika yang sama efek dari kegiatan yang dikesampingkan...” Peran lain yang dilakukan oleh PT BIS untuk dapat melanggengkan eksistensinya dalam pemanfaatan sumberdaya nikel di Kota Baubau yaitu pertama melalui pendekatan tenaga kerja. Artinya bahwa yang dijadikan sebagai tenaga kerja baik itu dari pihak masyarakat, kelompok gerakan yaitu mereka yang memang memiliki nilai pengaruh pada komunitas dia berada55. Kedua, melakukan kerja sama dengan pihak ANBKK melalui beberapa paket pekerjaan dilokasi tambang misalnya dalam pembuatan mess. Ketiga, pihak PT BIS aktif dalam membantu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kemahasiswaan maupun masyarakat (secara umum). Pada tataran mahasiswa pihak perusahaan ikut membantu pendanaan dalam suksesi-suksesi pada kelembagaan mahasiswa termasuk adanya beasiswa pendidikan. Hal ini dilakukan perusahaan karena merupakan komitmen mereka terhadap kegiatan kemahasiswaan dan sebagai upaya untuk mendukung kepentingan perusahaan yang kerap terjadi penolakan yang dilakukan oleh kelompok kekuatan pembaharu (mahasiswa). Kemudian pada kelompok masyarakat juga dilakukan hal yang sama melalui pembagian baju adat bagi tokoh-tokoh adat di kecamatan Sorawolio, pembuatan jamban dan bentuk-bentuk bantuan lainnya. Dalam hal bantuan-bantuan tersebut oleh perusahaan disebut sebagai program ComDev (Community Development) Keempat, Melakukan kerjasama dengan pemerintah (masa kepemimpin AMT) sehingga terkait dengan perizinan tidak ada kendala oleh pihak perusahaan. Kelima, peran perusahaan juga dengan menjadikan materi (uang) sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi ataupun gerakan-gerakan terkait dengan penolakan terhadap penambangan nikel, artinya ketika ada gerakan maka sedapat mungkin didekati dengan materi untuk mendiamkan atau gerakan yang dilakukan tidak dilanjutkan. Keenam, Pihak PT BIS juga membangun aliansi melalui tenaga kerja yang telah direkrut atau pegiat dalam melakukan aksi demonstrasi.
Masyarakat Kota Baubau Pada era Kesultanan, era Soekarno dan era Soeharto peran masyarakat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di lokasi studi yaitu memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan subsisten. Kemudian pada era otonomi daerah dengan dialokasikannya penggunaan lahan oleh pemerintah daerah sebagai tambang dan penguasaannya menjadi hak milik swasta. Hal ini mengakibatkan terjadinya pro dan kontra terhadap tambang di kalangan masyarakat Kota Baubau56. Dalam penelitian ini masing-masing kelompok tersebut (pro dan kontra) merupakan bagian dari aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau. Masyarakat Kontra Tambang Kepentingan masyarakat kontra tambang terhadap penggunaan lahan yang dialokasikan untuk tambang oleh pemerintah Kota Baubau yaitu mempertahankan 55
56
Pendekatan tenaga kerja ini seperti diungkapkan oleh END bahwa “....pihak perusahaan mempekerjakan para aktivis-aktivis yang awalnya ikut menolak keberadaan tambang, disana itu saat ini ada teman-teman yang dulu bergerak tahun 2007 saat ini sudah bekerja disana misal TMR saat itu sama-sama turun...”.
Yang dimaksud dengan masyarakat Kota Baubau dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Sorawolio, Kecamatan Lea-Lea dan Kecamatan Bungi
40
lokasi tersebut sebagai wilayah konservasi. Di lokasi pertambangan Nikel PT BIS merupakan sumber mata air bagi masyarakat Kota Baubau. Kemudian bagi masyarakat adat lokasi tersebut merupakan wilayah kaombo yang tidak dapat diganggu (wilayah konservasi). Adanya eksploitasi pertambangan nikel PT BIS akan menyebabkan terjadinya banjir dan potensi kekeringan yang implikasinya akan merugikan petani disekitar lingkar tambang. Selain itu pembebasan lahan yang dilakukan oleh PT BIS untuk kepentingan jalan tambang menuju terminal khusus, bagi masyarakat akan berpotensi menimbulkan pencemaran udara. Selain itu akan mengganggu proses belajar siswa karena jalur yang akan dilewati oleh PT BIS (jalan tambang) dalam pengakutan bahan tambang nikel melintasi salah satu SLTP di Kecamatan LeaLea. Masyarakat Pro Tambang Masyarakat pro tambang ini sebagian merupakan masyarakat yang menolak keberadaan PT BIS sejak pada tahun 2007 namun saat ini telah direkrut sebagai tenaga kerja oleh PT BIS. Untuk itu kepentingan masyarakat pro tambang terhadap pihak swasta yaitu dapat direkrut sebagai tenaga kerja pada PT BIS. Kemudian membebaskan (menjual) sebagian lahannya kepada PT BIS untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus. Hal ini dilakukan karena selaian kepentingan ekonomi bagi masyarakat pro tambang berpandangan bahwa PT BIS telah memenuhi kewajibannya secara administrasi dan tidak ada alasan untuk menolaknya . Selain itu peran yang dilakukan oleh masyarakat pro tambang yaitu melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pihak PT BIS dalam mengelola Sumberdaya nikel. Hal ini seperti disampaikan oleh RSTM57 bahwa: “...Kami telah melakukan rapat-rapat mulai dari tingkat lingkungan RT-RW hingga kelurahan dan membawa aspirasi kepada pemerintah daerah bahwa tambang ini akan memberikan manfaat kesejahteraan dan manfaat perkembangan kota Baubau. Untuk itu pemerintah diharapkan untuk mengatur dan mengawasi pengelolaan tambang sehingga memberikan kesejahteraan bagi daerah...” Terkait dengan isu tentang pencemaran lingkungan bagi masyarakat pro tambang hal tersebut belum terbukti dilapangan sehingga PT BIS perlu diberi kesempatan untuk menjalankan usahanya yang kemudian dapat dievaluasi apakah akan merusak lingkungan atau tidak. Hal ini seperti dikatakan oleh RST (42)58 salah seorang masyarakat pro tambang bahwa : “...Kita tahu bahwa setiap kegiatan pasti ada dampaknya tapi marilah kita beri kesempatan kepada perusahaan untuk beroperasi, kita juga belum lihat ini dampaknya seperti apa”, kalau dampak positif kita sudah rasakan sudah banyak bekerja di perusahaan. Jadi kita berikan kesempatan dulu, kalo memang betul menimbulkan dampak maka kita tutup sama-sama...”
57
58
Disampaikan oleh RSTM. Anggota Aliansi masyarakat kecamatan Lea-Lea Pro Tambang Sejahtera, kepada DPRD Kota Baubau pada saat melakukan penyampaian aspirasi Selasa 10 Juli 2012 (sekretariat DPRD Kota Baubau) Catatan Harian Identifikasi Aktor. Wawancara dengan RST (40) yaitu masyarakat kelurahan Lowu-Lowu yang pro terhadap tambang dan saat ini telah bekerja di perusahaan tambangan tersebut (PT BIS)
41
Mahasiswa Pada era Kesultanan, Soekarno dan Soeharto peran mahasiswa dalam penggunaan dan penguasaan SDA alam tidak ada karena pada era tersebut belum ada alokasi penggunaan lahan untuk tambang di lokasi studi. Kemudian pada era otonomi dengan adanya penggunaan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk tambang dengan penguasaannya sebagai hak milik swasta (PT BIS) maka kepentingan mahasiswa yaitu mempertahankan penggunaan lahan sebagai hutan karena dilokasi PT BIS tersebut merupakan sumber mata air bagi masyarakat Kota Baubau. Selain itu dengan adanya kegiatan eksploitasi SDA tersebut oleh PT BIS akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Berangkat dari kepentingan tersebut maka peran yang dilakukan oleh mahasiswa adalah mengkritisi kebijakan pemerintah melalui aksi demonstrasi. Kelompok mahasiswa inilah yang menjadi penggerak awal yang mengkritisi kebijakan pemerintah kota Baubau terkait dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya nikel di Kota Baubau. Hal ini dimulai sejak tahun 2007 hingga saat ini (2013). Dalam melakukan aksi demonstrasi tersebut kelompok mahasiswa membuat organ-organ taktis dalam bentuk forum, aliansi, organisasi paguyuban dimana mahasiswa tersebut bermukim, hingga lembaga-lembaga internal kampus seperti Badan Eksutif Mahasiswa (BEM) dan Mahasiswa Pecinta Alam. Kemudian Organisasi eksteral kampus juga ikut andil dalam pergerakan menyikapi pertambangan nikel tersebut seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Elemende. Dalam perjalannya apa yang menjadi semangat awal demi keadilan dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam sebagai ruang konservasi terpolarisasi oleh kepentingan swasta ataupun pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini kelompok mahasiswa menjadi 2 kelompok yaitu pertama, mahasiswa kontra tambang, didefenisikan sebagai kelompok mahasiswa yang dalam perjalanan konflik ini tidak berorientasi terhadap kepentingan ekonomi terhadap pihak swasta ataupun pemerintah akan tetapi lebih pada kepentingan konservasi. Kedua, kelompok mahasiswa pro tambang yaitu kelompok mahasiswa yang mengedepankan kepentingan ekonomi (individu dan kelompok) dan namun tetap berbingkai dalam ranah aksinya menyuarakan aspirasi masyarakat. Kelompok ini sudah terjaring dalam kepentingan pihak swasta baik itu sebagai tenaga kerja maupun sebagai kelompok maya (informan) untuk menginformasikan rencana gerakan mahasiswa yang akan melakukan aksi demonstrasi. Kelompok mahasiswa pro tambang ini tidak tampak dalam bentuk lembaga kemahasiswaan namun secara individu terpencar diberbagai organisasi mahasiswa baik itu organisasi formal kampus maupun eksternal kampus. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pada era Kesultanan, Soekarno dan Soeharto LSM tidak berperan dalam penggunaan dan penguasaan SDA di lokasi studi karena pada era ini alokasi penggunaan lahan untuk tambang belum ada. Kemudian pada era otonomi daerah peran LSM sejak adanya pihak swasta (PT BIS) melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Sumberdaya nikel yaitu dalam bentuk advokasi masyarakat terkait dengan dampak yang ditimbulkan akibat dari perubahan penggunaan dan penguasaan lahan tersebut.
42
Adapun LSM yang terlibat yaitu Lembaga Bantuan Hukum Baubau (LBH Baubau), LBH Buton Raya, Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tenggara (JATAM Sultra) dan Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara (WALHI Sultra). Untuk menguraikan masing-masing LSM tersebut dalam konflik pertambangan di Kota Baubau dijelaskan sebagai berikut : Pada tahun 2007 hingga 2008 LBH Baubau ikut aktif dalam gerakan anti tambang, serta bersama-sama mahasiswa dan masyarakat membangun aliansi untuk menolak keberadaan tambang nikel di Kota Baubau. Hal ini dilakukan karena bagi LBH Baubau berpendapat bahwa kegiatan pertambangan nikel akan menimbulkan dampak terhadap kerusakan ekologi hutan. Selain itu kegiatan yang ketika itu masih melakukan eksplorasi, bagi LBH Baubau hal tersebut melanggar Undang-undang Kehutanan. Sehingga pada prakteknya ketika dilakukan kegiatan eksplorasi pada tahun 2007 dan pembukaan jalan merupakan praktek ilegaloging yang ditampilkan oleh pihak korporasi (PT BIS). Hal ini seperti yang disampaikan oleh END (33)59 bahwa : “... Pada tahun 2007, kami melakukan observasi lapang dan kami menemukan sudah ada kegiatan eksplorasi dan pembabatan hutan untuk jalan. Pohon-pohonpun sudah banyak ditumbangkan, Lalu yang menjadi pertanyaan kami ketika dikemanakan kayu-kayu hasil tebangan tersebut.Ini merupakan kegiatan ilegaloging yang dibiarkan oleh pemerintah karena PT BIS saat itu belum mempunyai izin dari kementerian kehutanan...” Sementara untuk LBH Buton Raya, Jatam dan Walhi Sultra melakukan advokasi terhadap penyimpangan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak korporasi. Kemudian penyimpangan-penyimpangan tersebut pada tahun 2012, JATAM Sultra melaporkan pihak korporasi (PT BIS) dan pemerintah daerah kepada POLDA Sultra. Laporan tersebut terkait tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan PT BIS. Adapun pelanggaran yang dilakukan tersebut menurut lembaga ini adalah berkaitan dengan izin pinjam pakai kawasan yang belum dimiliki oleh PT BIS. Selain itu praktek ilegalloging juga menjadi bagian dari laporan yang dilakukan oleh JATAM Sultra. Bentuk Bundle of Power Setelah mengetahui aktor yang terlibat dengan peran dan kepentingannya masing-masing dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau maka terbentuk jaring kekuasaan (bundle of power) diantara aktor-aktor tersebut. Adapun bentuk bundle of power dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau yaitu sebagai berikut: Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan PT BIS : Aliansi Negara dan Pasar Sebagai alat negara, pemerintah memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan siapa saja yang diperbolehkan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Pada era otonomi memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk memberikan izin usaha pertambangan kepada pihak swasta (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya). Terkait dengan hal tersebut Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Aparat Negara Bidang Keamanan dan 59
Catatan harian Identifikasi Aktor END (33) yaitu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Baubau periode 2004-2008.
43
Ketertiban (ANBKK) melakukan aliansi dengan PT BIS. Wujud aliansi yang dilakukan yaitu melalui transaksi peran sehingga membentuk bundle of power. Pemerintah Kota Baubau (Kepemimpinan AMT) memainkan perannya untuk dapat mengakomodasi kepentingan PT BIS dalam melakukan kegiatan eksplorasi tambang nikel melalui transaksi pemberian izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu Kuasa Pertambangan (KP) eksplorasi) pada tahun 2007. Kondisi ini dipaksakan oleh pemerintah Kota Baubau walaupun melanggar Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi produk pemerintah daerah sendiri. Perda tersebut yaitu tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau (Perda No 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Baubau tahun 2003-2012). Dimana tidak ada alokasi ruang untuk tambang didaerah lokasi PT BIS dalam Perda tersebut. Transaksi lain yang juga dilakukan oleh pemerintah Kota Baubau (Kepemimpinan AMT) yaitu dengan memberikan rekomendasi kepada PT BIS agar mendapatkan izin penggunaan kawasan hutan produksi pada kementerian kehutanan kepada pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Terlepas PT BIS telah melakukan kegiatan eksplorasi sebelum izin tersebut dikeluarkan oleh kementerian Kehutanan. Artinya bahwa PT BIS seharusnya belum dapat melakukan kegiatan eksplorasi nikel. Berkaitan dengan hal tersebut sehingga pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada masa Kepemimpinan ALZ (Periode 2003-2008) memberikan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan kepada PT BIS untuk melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan nikel yang ditujukan kepada kementerian kehutanan (30 November 2007). Kemudian memberikan izin lingkungan (dahulu Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan) kepada PT BIS. Meskipun Amdal pertambangan PT BIS (tahun 2008) maupun amdal jalan tambang dan terminal khusus (tahun 2012) pelaksanaan penyusunan dokumen AMDALnya dilakukan ketika PT BIS telah melakukan kegiatan konstruksi dan hal ini tidak sesuai dengan kaidah dalam penyusunan dokumen AMDAL yang seharusnya dilakukan pada tahap pra konstruksi. Selain itu pemerintah Kota Baubau (kepemimpinan AMT) memberikan IUP Operasi Produksi agar PT BIS dapat melakukan kegiatan eksploitasi tambang nikel. Untuk melegitimasi kesesuaian lokasi pertambangan nikel PT BIS dengan tata ruang Kota Baubau maka melalui Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Baubau tahun 2012-2030 (pengganti Perda No 2 tahun 2004) pemerintah Kota Baubau (kepemimpinan AMT) mengalokasikan kawasan pertambangan dalam pola pemanfaatan ruang di Kota Baubau yang didalamnya terdapat lokasi pertambangan nikel PT BIS. Untuk mendukung aktivitas pertambangan PT BIS terkait dengan rencana pembangunan terminal khusus dan jalan tambang menuju terminal khusus, maka pemerintah Kota Baubau (kepemimpinan AMT) memberikan rekomendasi izin prinsip penetapan lokasi terminal khusus tersebut. Kemudian melalui pemerintah kecamatan dan pemerintah desa ikut membantu PT BIS dalam kegiatan pembebasan lahan masyarakat yang akan dialokasikan untuk jalan tambang dalam bentuk mediasi pemilik lahan dengan pihak PT BIS. Dimana pembebasan lahan masyarakat inilah menjadi sumber konflik pertambangan nikel (sebagaimana telah diuraikan dalam Bab VI). Terkait dengan penetepan lokasi terminal khusus PT BIS ini maka pemerintah provinsi (kepemimpinan NA) ikut berperan dalam memberikan rekomendasi penetapan lokasi terminal khusus kepada kementerian perhubungan. Berangkat dari rekomendasi pemerintah provinsi tersebut maka pemerintah pusat
44
melalui kementerian perhubungan berperan dalam mengelarkan izin terminal khusus bagi PT BIS. Kemudian kementerian ESDM berperan dalam mengeluarkan Izin ekspor, clean and clear dan beberapa perizinan lainnya yang relevan dengan rencana kegiatan penambangan PT BIS. Sementara kementerian kehutanan mengeluarkan persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel di dalam kawasan hutan produksi terbatas kepada PT BIS (17 Maret 2008) dan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk operasi produksi bijih nikel dan sarana penunjang lainnya pada kawasan hutan produksi terbatas PT BIS (15 maret 2012). Selanjutnya untuk memuluskan langkah PT BIS untuk dapat melakukan kegiatan eksploitasi tambang nikel pemerintah Kota Baubau (kepemimpinan AMT) selain dukungan administrasi (sebagaimana telah diuraikan diatas) juga memainkan peran dalam bentuk dukungan politik melalui parlemen (DPRD Kota Baubau). Hal ini dikarenakan fraksi-fraksi pendukung pemerintah60 dominan di DPRD Kota Baubau sehingga ikut mendorong mulusnya kebijakan pemerintah terkait dengan kegiatan penambangan PT BIS. Dalam konteks ini HMR (42)61 mengatakan bahwa: “......Begini didewan itu ada namanya fraksi pemerintah, fraksi-fraksi ini yang membela pemerintah. Mau seburuk atau sejahat apapun walikotanya tetap mereka akan bela dan seperti inilah proses politik....” Bentuk aliansi yang dilakukan oleh DPRD Kota Baubau terhadap PT BIS melalui pemerintah Kota Baubau (Kepemimpinan AMT) yaitu ketika pembahasan rancangan Perda tentang RTRW Kota Baubau tahun 2012-2030 bahwa DPRD menyepakati rancangan tersebut menjadi Perda No 1 tahun 2012 seperti telah diuraikan sebelumnya. Dikarenakan proses kepemimpinan AMT pada pemerintah Kota Baubau telah berakhir dan secara politik telah diganti oleh AST (periode 2013-2018). Terkait dengan eksploitasi tambang nikel yang dilakukan oleh PT BIS pemerintah daerah (kepemimpinan AST) ikut mendorong proses percepatan beroperasinya PT BIS. Hal ini seperti disampaikan oleh RSM (40)62 bahwa; “... Prinsipnya pemerintah ingin berjalan cepat tanpa mengorbankan kepentingan masyararakat secara umum. Hanya saja sekarang yang dihadapi hari ini adalah penyelesaian masalah jalan tambangnya. Hal itu mempengaruhi kebijakan pemerintah hari ini, artinya dilevel masyarakat menginginkan A, pemerintah dengan permohonan dari pengusaha tambang (PT BIS) menginginkan B atau barangkali sama-sama A tapi metode penyelesaianya masih belum ketemu, inilah yang dibangun komunikasinya..”. Selain itu Aparat Negara Bidang Keamanan dan Ketertiban (ANBKK) terjadi aliansi dengan PT BIS dengan bentuk transaksi yaitu melalui pemberian paket kegiatan konstruksi oleh PT BIS kepada ANBKK (oknum) dan sebagian ANBKK diperbantukan sebagai aparat keamanan di lokasi tambang. Selain itu kepentingan 60
61 62
Pemerintah ketika Kepemimpinan AMT (fraksi PPP, Amanat Bulan Bintang dan fraksi Pejuang Pekerja Nasionalis Sejahtera) dalam perjalanannya fraksi pendukung pemerintah tersebut pecah yaitu ketika PBB tidak masuk dalam kualisi tersebut. Kemudian berkaitan dengan penambangan nikel kerap politisi PDIP meneriakan aspirasi masyarakat tersebut sedangkan pemerintahan saat ini (kepemimpinan AST) didukung oleh Partai PAN dan PBB. HMR (42) saat ini (2008-2013) sebagai Anggota DPRD Kota Baubau dari partai Golkar dan pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Baubau Periode 2003-2008 Catatan harian Analisis konflik RSM (40). RSM adalah kepala bagian sumberdaya alam pada masa pemerintahan AST
45
PT BIS dalam membangun aliansi dengan ANBKK tersebut adalah untuk meredam aksi demonstrasi yang menolak keberadaan tambang. Sehingga ketika terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa kontra tambang maka pihak ANBKK tidak memberikan izin aksi tersebut (sebagaimana telah diuraikan pada sub Bab Aktor yang terlibat). Selain itu bantuan keamanan oleh ANBKK kepada PT BIS yaitu ketika terjadi benturan (chaost) antara masyarakat pro tambang dan masyarakat kontra tambang, seperti pelemparan rumah oleh pihak kontra tambang terhadap masyarakat pro tambang. Masyarakat Pro Tambang, Mahasiswa Pro Tambang dan PT BIS Setelah PT BIS mengantongi IUP Operasi Produksi maka langkah yang dilakukannya adalah melakukan kegiatan eksploitasi bahan tambang nikel. Hingga penelitian ini dilakukan PT BIS belum melakukan pengangkutan hasil eksploitasi nikel menuju terminal khusus yang selanjutnya akan di ekspor. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat belum melepaskan lahannya untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus. Selain itu masyarakat yang tidak melepaskan lahannya tersebut melakukan perlawanan dengan beraliansi dengan mahasiswa kontra tambang. Kemudian kerap terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa kontra tambang baik itu secara kelembagaan mahasiswa maupun melalui aliansi dengan masyarakat kontra tambang. Berkaitan dengan hal tersebut maka PT BIS membangun aliansi dengan masyarakat pro tambang dan mahasiswa pro tambang. Kepentingan PT BIS terhadap masyarakat pro tambang yaitu sebagai bentuk legitimasi dalam mencounter isu penolakan terhadap tambang. Artinya bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak hanya kontra terhadap keberadaan tambang nikel PT BIS namun ada kelompok yang pro terhadap PT BIS. Hal yang dilakukan oleh PT BIS terhadap masyarakat pro tambang ini adalah melalui perekrutan tenaga kerja dan melalui kegiatan-kegiatan Community Development (ComDev) dalam bentuk charity seperti pembagian baju adat, pembuatan jamban dan bantuan dalam materi (uang tunai). Kemudian terhadap mahasiswa pro tambang kepentingannya adalah untuk menekan agar tidak terjadinya aksi demonstrasi atau sebagai penghubung ketika terjadi gerakan mahasiswa kontra tambang. Untuk itu pihak PT BIS aktif dalam membantu kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dalam bentuk bantuan dana baik itu secara kelembagaan maupun secara individu. Selain itu pelibatan beberapa mantan aktivis mahasiswa yang awalnya menolak keberadaan PT BIS ikut dipekerjakan dalam manajemen PT BIS. Bentuk transaksi yang dilakukan oleh masyarakat pro tambang terhadap PT BIS yaitu terbangunnya opini publik bahwa terdapat kelompok masyarakat yang pro terhadap PT BIS. Selain itu masyarakat pro tambang juga ikut melakukan aksi demonstrasi untuk menyuarakan pentingnya keberadaan PT BIS dalam melakukan eksploitasi sumberdaya nikel memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Sementara peran yang dilakukan oleh mahasiswa pro tambang yaitu agar tidak melakukan aksi demonstrasi untuk menolak keberadaan PT BIS. Hal ini dilakukan dengan cara menghalangi ketika ada kelompok mahasiswa yang akan melakukan aksi demonstrasi. Bentuknya yaitu dengan cara mempengaruhi wacana diberbagai organ-organ taktis yang dibentuk oleh mahasiswa, dimana dalam organ taktis
46
tersebut beberapa aktivis mahasiswa terdapat mahasiswa yang pro terhadap tambang. Masyarakat Kontra Tambang, Mahasiswa Kontra Tambang dan LSM Ketika pemerintah Kota Baubau mengalokasikan penggunaan lahan untuk tambang yang penguasaanya menjadi milik PT BIS. Untuk itu masyarakat kontra tambang, mahasiswa kontra tambang dan LSM membangun aliansi untuk melawan kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini dikarenakan dengan adanya perubahan penggunaan lahan tersebut maka lahan yang selama merupakan sumber mata air masyarakat akan terganggu dan akan terjadi banjir, kekeringan dan pencemaran udara. Berangkat dari hal tersebut maka masyarakat kontra tambang tidak melepaskan (menjual) lahannya kepada pihak PT BIS untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus. Akibatnya PT BIS tidak dapat melakukan pemuatan bahan tambang nikel menuju lokasi terminal khusus karena jalan tambang untuk menghubungkan lokasi pertambangan dengan terminal khusus kurang lebih 1 km milik masyarakat kontra tambang tersebut. Selain itu masyarakat kontra tambang ikut bersama mahasiswa kontra tambang untuk melakukan aksi demonstrasi untuk menolak keberadaan PT BIS. Sementara peran yang dilakukan oleh mahasiswa kontra tambang selain melakukan aksi demonstrasi yaitu ikut mendampingi masyarakat kontra tambang ketika terjadi hearing dengan pemerintah atau DPRD dan mengkaji bersama persoalan tambang yang dihadapi. Kemudian peran LSM yaitu melalui pendampingan masyarakat ketika terjadi perselisihan dan harus diselesaikan secara hukum. Selain itu LSM juga melakukan pressure kepada PT BIS dan pemerintah Kota Baubau dengan cara melaporkan bentuk pelanggaran yang terjadi kepada Polda Sulawesi Tenggara. Ikhtisar Aktor-aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan SDA di Kota Baubau yaitu Kesultanan Buton, pemerintah, DPRD, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban, pihak swasta (PT BIS), Masyarakat pro tambang, masyarakat kontra tambang, mahasiswa dan LSM. Adapun bentuk bundle of power yang terjadi yaitu sebagai berikut: Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Aparat Negara Bidang Keamanan dan Ketertiban dan PT BIS Pemerintah Pusat melalui kementerian kehutanan yang berperan dalam mengeluarkan persetujuan izin kegiatan eksplorasi bahan galian nikel di dalam kawasan hutan produksi terbatas kepada PT BIS (17 Maret 2008), dan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk operasi produksi bijih nikel dan sarana penunjang lainnya pada kawasan hutan produksi terbatas PT BIS (15 maret 2012). Kemudian peran kementerian perhubungan dalam kapasitasnya untuk mengelarkan Izin terminal khusus bagi PT BIS dan kementerian ESDM yang berperan dalam mengeluarkan Izin ekspor, clean and clear dan beberapa perizinan lainnya yang relevan dengan rencana kegiatan penambangan PT BIS. Kemudian pemerintah Provinsi pada masa kepemimpinan ALZ (Periode 2003-2008) memberikan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan kepada PT BIS untuk
47
melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan nikel yang ditujukan kepada kementerian kehutanan (30 November 2007) dan pada masa kepemipinan NA (Periode 2008-2013 dan 2013-2018) memberikan rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan/terminal khusus kepada PT BIS (27 April 2012). Sementara untuk Pemerintah Kota Baubau, pada masa kepemimpinan AMT berperan aktif dalam hal administrasi terkait dengan kebutuhan pihak korporasi (PT BIS). Misalnya pemberian izin, rekomendasi pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas dan prosedural AMDAL yang menjadi kontroversi (sebagaimana telah diuraikan diatas). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Baubau berperan dalam mengeluarkan reomendasi terkait dengan persoalan PT BIS yaitu sebagai berikut : (a) Dewan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak pemerintah terkait seluruh kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh PT BIS. (b) Dewan mengawal dan mengawasi pemerintah dan segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh PT BIS. (c) Segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT BIS dan pemerintah, Dewan menyerahkan permasalahan tersebut kepada pihak penegak hukum. Ketika terjadi aksi demonstrasi, keributan dan hal-hal lain terkait dengan kriminalitas maka pihak ANBKK akan hadir untuk menegakan aturan, menjaga keamanan dan ketertiban dalam lingkungan masyarakat. Kemudian posisi ANBKK sebagai mediator antara pihak korporasi (PT BIS) dengan masyarakat kontra tambang. Selain hal tersebut menurut masyarakat bahwa terdapat oknum ANBKK dalam pengamanan di lokasi tambang dan ada beberapa oknum tersebut mendapatkan paket kegiatan konstruksi yang dilakukan oleh PT BIS. Peran lain yang dilakukan oleh ANBKK dalam konflik pertambangan ini menurut mahasiswa yaitu ketika melakukan aksi-aksi terkait dengan penambangan nikel, maka pihak aparat negara bidang keamanan dan ketertiban memiliki kecenderungan secara politik untuk menetralisir gerakan (aksi-aksi) yang timbul. Masyarakat Pro Tambang, Mahasiswa Pro Tambang dan PT BIS Masyarakat pro tambang hadir ketika pihak swasta (PT BIS) telah melakukan perekrutan tenaga kerja dan telah melakukan pembebasan lahan kepada masyarakat terutama masyarakat di Kecamatan Bungi, Kokalukuna dan Lea-Lea (tahun 2012). Sementara untuk masyarakat di kecamatan Sorawolio masyarakat yang pro terhadap tambang yaitu masyarakat yang ikut dalam kegiatan eksplorasi ketika itu (tahun 2007 s/d sekarang). Sementara transaksi yang dilakukan oleh mahasiswa pro tambang yaitu melalui peredeman isu agar tidak terjadi aksi demonstrasi kepada PT BIS. Masyarakat Kontra Tambang, Mahasiswa Kontra Tambang dan LSM Dalam menyikapi persoalan pertambangan nikel di Kota Baubau mahasiswa membangun aliansi sesama organ mahasiswa dan membangun aliansi dengan LSM dan masyarakat untuk menolak keberadaan pihak swasta dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumbedaya nikel. Kemudian posisi LSM sejak terjadinya konflik pertambangan nikel di Kota Baubau, yaitu pada tahun 2007 hingga 2008 LBH Baubau ikut aktif dalam gerakan anti tambang, serta bersamasama mahasiswa dan masyarakat membangun aliansi untuk menolak keberadaan tambang nikel di Kota Baubau. Sementara untuk LBH Buton Raya, Jatam dan
48
Walhi Sultra melakukan advokasi terhadap penyimpangan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak korporasi. Kemudian penyimpanganpenyimpangan tersebut pada tahun 2012, JATAM Sultra melaporkan pihak korporasi (PT BIS) dan pemerintah daerah kepada POLDA Sultra
49
VII.
ANALISIS KONFLIK
Undang-undang No 32 tahun 200463 membuka ruang kekuasaan pemerintah daerah untuk mengelola potensi sumberdaya alam. Hidayat et al. (2011) mengatakan seiring dengan digulirkannya Undang-undang No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang memberikan “kewenangan” kepada daerah untuk mengurus daerahnya sendiri, maka pemerintah daerah dirangsang memacu kemampuannya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya. Implementasi dari kebijakan otonomi daerah tersebut, maka pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau mengelurkan Izin usaha pertambangan eksplorasi (dahulu kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Hal ini merujuk pada Undang-Undang No 11 Tahun 196764 (saat ini telah di ganti menjadi UU No 4 tahun 2009) dan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/200065. Pada tanggal 23 Mei tahun 2007 PT BIS mengantongi izin kuasa pertambangan eksplorasi yang dikeluarkan oleh Walikota Baubau (nomor 545/621/EUD/2007). Kemudian pada tanggal 23 Mei tahun 2009 izin PT BIS diberikan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) melalui surat keputusan Walikota Baubau No 545/76.a/ASDA/2009 seluas 1.796 hektar. Berkaitan dengan hal tersebut Salim (2010) mengatakan bahwa pola penambangan yang menyusutkan sumber alam tambang telah merenggut kekayaan alam warisan generasi mendatang untuk distribusi dengan bekas galian 63
64
65
Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi daerah pada pasal 10 ayat 2 bahwa Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian terkait pengelolaan sumberdaya alam dalam pasal 17 ayat 2 dalam UU tersebut menegaskan bahwa hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; b. Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan c. Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang ini menjadi rujukan pemerintah daerah Kota Baubau untuk memberikan izin kuasa pertambangan kepada pihak swasta karena pada tahun 2007 UU tersebut belum direvisi menjadi UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam UU ini pada bab VI Cara dan syarat-syarat bagaimana memperoleh kuasa pertambangan yaitu dijelaskan sebagai berikut : Pasal 17 : (1). Permintaan untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada Menteri. (2). Dengan Keputusan Menteri diatur cara mengajukan permintaan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini begitu pula syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peminat, apabila belum ditentukan dalam Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 15 ayat (2). pasal 18 : Permintaan kuasa pertambangan hanya dipertimbangkan oleh Menteri setelah peminta membuktikan kesanggupan dan kemampuannya terhadap usaha pertambangan yang akan dijalankan. pasal 19 : Dengan mengajukan permintaan kuasa pertambangan, maka peminta dengan sendirinya menyatakan telah memiliki domisili pada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di dalam Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Tentang pedoman teknis penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang pertambangan umum bahwa pemerintah daerah (Bupati/Walikota) dapat mengeluarkan KP Eksplorasi ataupun KP Eksploitasi. Lihat Lampiran 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1453.K/29/MEM/2000 tentang Persyaratan Permohonan Perizinan untuk KP Eksplorasi (baru) dan Lampiran II tentang Prosedur Permohonan KP Pada Wilayah Kewenangan Bupati/Walikota.
50
tambang yang ternganga. Kemudian penambangan perlu membabat hutan lebat untuk eksplorasi dan kemudian diratakan untuk keperluan eksploitasi membuka jalan dan lahan pemukiman pekerja. Tanah galian yang tidak terpakai ditimbun, dibuang ke sungai atau laut. Profil lanskap alami berubah total, gunung diratakan, alur sungai dan garis pantai di ubah. Lebih lanjut Salim (2010) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan acap kali mengabaikan masyarakat adat dan tidak melibatkannya ikut bekerja karena mereka dianggap tidak punya keterampilan, keahlian dan kemampuan kerja tambang. Selama berlangsung penambangan, tumbuh kota pemukiman dalam kantong enclave ditengah hutan belantara. Banyak daerah tidak mengakui hak ulayat masyarakat adat atas tanah karena hutan dianggap milik negara. Masyarakat adat sulit menerima keadaan ini sehingga potensi konflik membara dalam hati dan perusahaan pertambangan terjepit maka banyak masyarakat adat lokal berlaku ungkapan, “pertambangan lebih banyak bawa derita ketimbang sejahtera. Maemunah (2012) mengatakan bahwa beberapa penyebab mendasar lahirnya konflik pertambangan kita yaitu pertama, salah urus terhadap pengelolaan bahan tambang yang hanya dipandang sebagai komoditas penghasil devisa dan PAD semata sehingga seluruh upaya diarahkan untuk bagaimana mengeluarkan izin sebanyak-banyaknya dan melakukan pengerukan sebesar-besarnya sehingga terjadi konflik antara masyarakat dengan lingkungan sekitar. Kedua, pengingkaran hak rakyat atas penguasaan dan pengelolaan tanah dan ketiga, daya rusak sektor pertambangan yang tak mampu dikelola oleh perusahaan dan negara. Berangkat dari ilustrasi tersebut diatas maka dalam menganalisis konflik pertambangan di Kota Baubau akan dilakukan melalui penahapan konflik. Hal ini merujuk pada analisis konflik yang diperkenalkan oleh Fisher et al. (2001) bahwasanya konflik berubah setiap saat melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Adapun tahapan konflik yang dimaksud adalah pra konflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pasca konflik. Tahapan tersebut akan diuraikan sebagai berikut: Pra Konflik Diawali ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS pada tanggal 23 Mei tahun 2007. Pemberian IUP tersebut membentuk kontroversi kebijakan dan memicu terjadinya perubahan penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam (SDA). Hal ini menimbulkan ketidasesuaian sasaran antara masyarakat, mahasiswa dan LSM dengan pemerintah terhadap penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam tersebut sehingga timbul konflik pertambangan. Penyebab Utama: Kebijakan dan Perizinan Peran pemerintah daerah dalam otonomi daerah (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya) mendorong pemerintah Kota Baubau mengelola sumberdaya nikel dengan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan kepada pihak swasta (PT BIS). Kebijakan pemerintah tersebut melahirkan kontroversi dikalangan DPRD, LSM, akademisi dan Mahasiswa. Kontroversi yang dimaksud adalah mengenai
51
kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas, izin lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Baubau Dalam RTRW Kota Baubau tahun 2004-2012 (Perda No 2 tahun 2004), dalam pengembangan Kota Baubau sampai tahun 2012 tidak ada alokasi ruang untuk pertambangan66. Akibat ditemukannya cadangan nikel maka ruang di Kota Baubau oleh pemerintah daerah dialokasikan untuk pertambangan. Menurut DPRD67, LSM68 , Akademisi69 dan mahasiswa70 izin yang dikeluarkan Walikota Baubau melanggar Perda No 2 tahun 2004. Namun menurut pemerintah daerah Kota Baubau tidak ada pelanggaran terhadap Perda tersebut karena terdapat kalimat peruntukan lainnya (pada peruntukan budidaya) dalam Perda tersebut dan
66
67
68
69
70
Perda No 2 tahun 2004 tentang RTRW dijadikan rujukan untuk melihat kesesuain lokasi pertambangan nikel PT BIS dengan RTRW karena izin lokasi tersebut seperti telah dijelaskan dalam uraian-uraian sebelumnya diterbitkan oleh pemerintah daerah Kota Baubau pada tahun 2007 dan pada tahun 2012 perda tersebut telah direvisi menjadi Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Baubau tahun 2011-2030. Pada pasal 7 ayat 2 dalam perda tersebut diuraikan bahwa Pengembangan Kota Baubau sampai tahun 2012 diarahkan kepada : a. Bagian Wilayah Kota (BWK). I meliputi seluruh kawasan pusat kegiatan perkotaan dengan fungsi utama meliputi perkantoran swasta,pusat perdagangan grosir skala regional/kota dan pelayanan jasa berpusat di Kelurahan Wale. b. BWK Il adalah merupakan kawasan yang berfungsi mendukung perdagangan grosir dan perdagangan eceran berpusat di Kelurahan Wameo c. BWK III adalah merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat pendidikan tinggi dan pusat pemerintahan kota yang berpusat di kelurahan katobengke d. BWK IV adalah merupakan kawasan yang berfungsi sebagai pusat pemukiman kota, industri pengolahan dan pergudangan yang berpusat di kelurahan Waruruma e. BWK V adalah merupakan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan pertanian tanaman pangan, perikanan, perdagangan hasil pertanian dan pengembangan permukiman kota yaitu di kelurahan Liabuku f. BWK VI adalah merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama sebagai kawasan pertanian hortikultara, perkebunan dan kehutanan yang dipusatkan dikelurahan Gonda Baru (Kaisabu) Catatan harian Analisiss Konflik. Wawancara dengan AMN (43) Anggota DPRD Kota Baubau periode 2009-2014. “..Sangat disayangkan jika pemerintah membangun investasi diatas pelanggaran, keinginan besar ini juga berlawanan dengan perda RTRW kita. Karena perda RTRW 2004 tidak disebutkan daerah Sorawolio untuk kawasan pertambangan..”. “....Ada tindakan pidana kehutanan dan pelanggaran RTRW Kota Baubau yang sengaja dilakukan oleh PT BIS dan dibiarkan oleh pemerintah kota Baubau serta aparat penegak hukum. Padahal, soal PT BIS ini sudah sejak tahun 2008 diprotes warga di wilayah Kecamatan Bungi dan Sorawolio, termasuk aktifitas lingkungan....” (http://www.walhi.or.id/index.php/id/ruang-media/siaran-pers/1171-merambah-hutan-tambang-nikel-ptbis-di-kota-baubau-illegal.html (di Unduh 27/12/2012 pukul 04.20.14) Catatan harian Analisiss Konflik. Wawancara dengan AGS (39) Dosen Fakultas Hukum Universitas Dayanu Iksanudin. “...Sesungguhnya sudah ada kesalahan dalam terbitnya KP Eksplorasi PT BIS karena tidak sesuai dengan peruntukan kawasannya dimana dalam RTRW Kota Baubau dalam perda No 2 tahun 2004 tidak ada disana menyebutkan kawasan pertambangan yang ada adalah hanya kawasan pertanian dan perkebunan, bahwa kemudian dalam perda No 1 tahun 2012 menyebutkan ada kawasan pertambangan itu berlaku saat diperdakan namun pola ruang sebelum itu merujuk pada RTRW 2004, inilah yang disebut dengan hukum tidak berlaku surut dan pemerintah telah melawan hukum yang menjadi produknya sendiri...” Catatan harian Analisiss Konflik. Wawancara dengan YMR (24) Mantan Presiden Mahasiswa Unidayan dan tokoh pemuda di kec Lea Lea. “....Sebenarnya kami tetap menolak keberadaan tambang tersebut, dasar pertama kita menolak, kita juga melihat regulasi, melihat UU, kemudian melihat peraturan daerah, memang di kawasan blok Bungi Sorawolio kalau kita merujuk RTRW Kota Baubau tahun 2012 itu memang masuk kawasan pertambangan, kalau pemerintah dan PT BIS mau merujuk di situ, kalau seandainya mereka mau merujuk 2004 sama sekali tidak ada kawasan pertambangan disana wilayah budidaya pertanian...”
52
hal ini dapat dialokasikan sebagai pertambangan71. Dalam Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW 2012-2030 penggunaan ruang untuk pertambangan masuk dalam Perda tersebut72. Hal ini terlegitimasi atau legal karena disetujui oleh DPRD Kota Baubau. Berangkat dari hal tersebut maka proses untuk melegitimasi pertambangan telah mendapatkan alokasi ruang dalam Perda No 1 tahun 2012. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Produksi Terbatas Lokasi pertambangan PT BIS merupakan kawasan hutan produksi terbatas. Sehingga diwajibkan untuk mendapatkan izin pinjam pakai kawasan dari kementerian Kehutanan. Hal ini sebagaimana dipersyaratkan dalam UndangUndang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan73. Pada tahun 2007 pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (seperti telah diuraikan diatas) sehingga atas dasar izin tersebut maka PT BIS melakukan kegiatan ekplorasi (penyelidikan), yang sekaligus bersamaan dengan kegiatan pembangunan jalan tambang menuju lokasi kegiatan eksplorasi dan pembangunan mess karyawan. Hal ini seperti disampaikan oleh SR (38)74 bahwa : “...Yang pertamanya tahun 2006, itu tim pertama sebanyak 7 orang sekitar bulan-bulan 4. Waktu itu masih survei awal dan belum menggali hanya mengetahui hamparan dan mengetahui luasanya kemudian katanya bermohon kepada pemerintah daerah bahwa didaerah ini ada tambang nikel. Kemudian berikutnya tahun 2007 sudah melakukan tespit dengan menggunakan bor manual yang namanya auger dengan kedalaman 25 meter waktu itu baru 10 lobang kemudian berhentinya itu sudah tahun 2008....” Kemudian lebih lanjut DN (30)75 menyampaikan bahwa : “...Pada akhir tahun tahun 2007, untuk menfinalkan itu maka kami pergilah kelokasi tambang itu di bukit sorawolio sana. Sampai disana ternyata sudah ada penyapuan lahan, pembukaan jalan sekitar 40 meter itu dan yang saya catat itu hari ada 30 anak sungai yang putus....” 71
72
73
74 75
Catatan harian Analisis konflik. Wawancara dengan SE (50) Mantan Kepala Dinas Pertambangan Kota Baubau. “...Di Lokasi tambang itu sudah sesuai dengan RTRW karena dalam RTRW 2004 disitu ada dan lain-lain pada pemanfaatan ruang dalam kawasan budidaya,silahakan dilihat RTRW 2004 ada itu kemudian lebih jelas dalam RTRW Revisi tahun 2012..” Pasal 49 ayat (2) bahwa rencana pola ruang terdiri atas (a) kawasan lindung ; dan (b) kawasan budidaya. Pasal 58 bahwa kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (2) huruf b meliputi kawasan a) kawasan perumahan; (b). kawasan perdagangan dan jasa; (c). kawasan perkantoran; (d). kawasan industri; (e). kawasan pariwisata; (f). kawasan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH); (g). kawasan ruang evakuasi bencana; (h). kawasan peruntukan ruang bagi kegiatan sektor informal; (i). kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan (j). kawasan peruntukan lainnya. Pasal 68 ayat 1 Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf j meliputi: (a) kawasan pertanian; (b) kawasan pertambangan; (c) kawasan pelayanan umum; dan (d) kawasan pertahanan dan keamanan negara. Pasal 68 ayat 3. Kawasan potensi pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbagi atas: (a). Wilayah pencadangan negara (WPN) mineral dan logam; (b). Wilayah usaha pertambangan (WUP) mineral bukan logam; (c). Wilayah pertambangan rakyat (WPR) ; (d). Penetapan kawasan pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) huruf a, b dan c dilaksanakan secara terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 38. Ayat 3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Catatan harian Analisis konflik. SR (38), Masyarakat (kelurahan kaisabu kecamatan Sorawolio) yang ikut dalam kegiatan eksplorasi. Catatan harian Analisis konflik. DN (30). Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Dayanu Iksanuddin (UNIDAYAN) dan saat ini sebagai staf pemerintah daerah Kota Baubau
53
Terlepas PT BIS telah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas untuk kegiatan eksplorasi (30 November tahun 2007) namun menurut DPRD, LSM dan Mahasiswa76 bahwa PT BIS telah melanggar UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Hal ini karena kegiatan yang dilakukan oleh PT BIS pada tahun 2007 (sebelum mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas) merupakan proses illegal logging. Sementara menurut pemerintah daerah dan PT BIS bahwa kegiatan eksplorasi yang dilakukan telah mendapatkan izin dari kementerian kehutanan. Hal ini melahirkan kontroversi kebijakan terkait dengan izin pinjam pakai kawasan hutan tersebut. Setelah PT BIS mendapatkan izin pinjam pakai kawasan dari kementerian kehutanan (17 Maret 2008), pada tanggal 21 April tahun 2008 PT BIS mengajukan surat permohonan perpanjangan kuasa pertambangan eksplorasi nikel. Pada tanggal 23 Mei tahun 2008 melalui surat keputusan Walikota Baubau No 545/70/EUD/2008 maka PT BIS diberikan kuasa pertambangan eksplorasi. Kemudian pada tanggal 23 Mei tahun 2009 izin PT BIS dari kuasa pertambangan eksplorasi ditingkatkan menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) melalui surat keputusan Walikota Baubau No 545/76.a/ASDA/2009 seluas 1.796 hektar. Sementara berkaitan dengan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan operasi produksi, pada tanggal 15 Maret tahun 2012 PT BIS telah mengantongi izin tersebut melalui surat dari kementerian kehutanan No S.145/MenhutVII/2012 tentang izin prinsip penggunaan kawasan hutan untuk operasi bijih nikel dan sarana penunjang lainnya pada kawasan hutan produksi terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut AMS (43)77 menyampaikan bahwa : “....Berbicara pertambangan juga menyangkut masalah kehutanan, Izin pinjam pakai kawasan hutan nanti ada di tahun 2012 berarti semua pembongkaran hutan sebelum tahun 2012 itu illegal logging...” Izin Lingkungan Salah satu prasyarat yang harus dimiliki oleh PT BIS diwajibkan untuk memiliki dokumen AMDAL (dahulu UU No 23 tahun 1997 dan saat ini UU No 32 tahun 2009). Kartodihardjo (2007) menyatakan bahwa apabila tolok ukur keberhasilah kebijakan lingkungan diambil diujungnya, yaitu daya dukung lingkungan hidup dapat dipertahankan, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan lingkungan hidup tersebut sejauh ini tidak berjalan. Terlalu banyak contoh kondisi yang demikian itu dan kinipun telah dirasakan pula oleh masyarakat bagaimana banjir, longsor, kekeringan terus menerus terjadi dihampir seluruh wilayah Indonesia. Berkaitan dengan proses AMDAL yang telah disetujui namun dalam proses penyusunanya sudah dilakukan kegiatan konstruksi, menarik untuk dilihat ketika 76
77
Catatan harian Penyebab Konflik. RHN (27) Mantan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan saat ini sebagai pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Baubau. “...PT BIS sudah melakukan kegiatan sebelum mendapatkan izin dari kementerian kehutanan, ini berarti kegiatan yang dilakukan saat membuka jalan dan menebang pohon merupakan tindakan yang ilegal, jadi disini pemerintah harus tegas juga jangan masyarakat saja yang disangka melakukan illegaloging, hanya mengambil satu batang saja untuk kebutuhan rumah sudah ditangkap aparat, ini sudah berpuluh-puluh meter membuat jalan tindakannya dibiarkan begitu saja....” AM (43) Anggota DPRD Kota Baubau periode 2009-2014. Pernyataan saat rapat gabungan komisi DPRD bersama pemerintah Kota Baubau tanggal 6 Februari 2012 (Laporan Kominda/Komunitas Intelejen Daerah terhadap permasalahan penambangan nikel PT BIS tahun 2012-2013) .
54
Hariadi Kartodihardjo pada tanggal 16 Maret 2004 hadir sebagai saksi ahli dalam sidang Perdata di Pengadilan Negeri Bandah Aceh yang mempersoalkan status Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan jalan yang menghubungkan lautan Hindia, Gayo Alas, Selat Malaka ( Ladia Galaska) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dimana AMDAL tersebut telah disahkan oleh Gubernur NAD Juni 2003 dan menurut penggunggat WALHI tidak diposisikan sebagai bagian dari perencanaan pembangunan Ladia Galaska, karena pembangunan jalan tersebut telah dilakukan sebelumnya. Hasil dari persidangan tersebut hakim ketua menyimpulkan bahwa AMDAL Ladia Galaska tidak layak digunakan (Kartodihardjo, 2007). Lebih lanjut Kartodihardjo (2007) menyampaikan bahwa Posisi AMDAL yang tidak dijadikan dasar perencanaan kegiatan pembangunan memang bukan barang baru. Kepala PPLH, IPB, mengatakan: “..Ya... inilah Indonesia. Lebih 90 % AMDAL dilakukan setelah konstruksi pembangunan, tetapi tidak adayang pernah mendapat sanksi Merujuk pada Kartodihardjo diatas, bahwa pada tahun 2008 Amdal pertambangan nikel PT BIS telah disetujui oleh pemerintah Kota Baubau. Namun realitasnya menurut Mahasiswa, LSM78 dan masyarakat pada bulan Oktober tahun 2007 di lokasi kegiatan eksplorasi telah dilakukan pembangunan jalan dan mess karyawan. Kemudian lokasi tersebut tidak sesuai dengan RTRW Kota Baubau tahun 2004 (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya). Terkait hal ini merujuk pada PP No 27 tahun 1999 pasal 16 ayat 479 (salah satu rujukan penyusunan dokumen AMDAL ketika itu) bahwa instansi yang bertanggung jawab wajib 78
79
Catatan harian Penyebab Konflik END (33) yaitu Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Baubau periode 2004-2008.. “Sekitar bulan 8 tahun 2007, kami bersama-sama beberapa anggota DPRD turun di dilokasi dan kami temukan sudah dibuka jalan dibagian Karyabaru menuju lokasi tambang yang lebarnya 25 meter dan itu menjadi hal kami persoalkan lagi karena sudah membuka jalan kemudian telah dilakukan pemboran sedalam 25 meter untuk kegiatan eksplorasi itu” Saat ini PP tersebut telah diganti menjadi PP No 27 tahun 2012 tentang izin lingkungan Pasal 14 (1) Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan Analisiss dampak lingkungan hidup disusun oleh pemrakarsa. (2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pasal 15. (1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan ketentuan : a. Di tingkat pusat : kepada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melalui komisi penilai pusat; b. Di tingkat daerah : kepada Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I. (2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka acuan pembuatan Analisiss dampak lingkungan hidup. Pasal 16 (1). Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama dengan pemrakarsa untuk menyepakati ruang lingkup kajian Analisiss dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan. (2). Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (3) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima kerangka acuan dimaksud. (4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.
55
menolak Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungtan terletan (KA-ANDAL) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan RTRW dan/atau rencana tata ruang kawasan. Kemudian pada tahun 2012 sebagian telah dilakukan kegiatan pembangunan jalan tambang dan terminal khusus. Kontraversi kebijakan Amdal Tambang, Amdal Jalan tambang dan terminal khusus yaitu ketika pemerintah Kota Baubau menyetujui Amdal tersebut ketika kegiatan konstruksi oleh PT BIS telah dilakukan. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Persoalan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi bagian yang dikritisi oleh DPRD Kota Baubau ketika pembahasan tentang persoalan PT BIS. Menurut DPRD (anggota) PT BIS telah mendirikan bangunan seperti mess karyawan namun belum memiliki IMB. Hal ini menyalahi Perda No 1 tahun 2009 tentang izin mendirikan bangungan.Sementra pemerintah daerah melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah Dinas Tata Kota dan Bangunan tidak akan mengeluarkan satu izin apapun karena kawasan yang diminta belum memungkinkan untuk diberikan IMBnya. Hal ini terkait dengan ketidaksesuain lokasi dengan RTRW (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya). Akibat 1 : Perubahan Penggunaan dan Penguasaan Sumberdaya Alam Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa pemberian IUP kepada PT BIS menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan yang awalnya dialokasikan sebagai hutan produksi terbatas menjadi tambang. Penguasaanyapun ikut berubah dari hak milik negara (state property) menjadi hak milik swasta (private ownership). Kemudian perubahan penggunaan dan penguasaan lahan tersebut mengakibatkan pihak swasta (PT BIS) harus melakukan pembelian (transfers) lahan masyarakat untuk kebutuhan jalan tambang dan terminal khusus. Berkaitan dengan proses pembelian (transfers) lahan tersebut maka akan terjadi perubahan penggunaan lahan masyarakat yang awalnya dialokasikan untuk pemukiman dan perkebunan menjadi jalan tambang. Penguasaanya dari hak milik pribadi (private property right) menjadi hak milik swasta (private ownership).
a. Jalan menuju lokasi pertambangan (kebun b. Lokasi terminal khusus PT BIS (kebun masyarakat Kelurahan Kaisabu Kecamatan masyrakat Kecamatan Lea-Lea) Sorawolio)
56
c. Jalan menuju terminal Khusus (Lahan d. Jalan menuju terminal khusus (kebun persawahan warga yang telah dibebaskan) masyarakat yang telah dibebaskan)
Gambar 7.1. Lahan yang telah dibebaskan oleh PT BIS (Sumber : Foto Lapang, Mei 2013)
Perubahan penggunaan dan penguasaan lahan tersebut tersebut diatas mengakibatkan hilangnya akses masyarakat (petani rotan) terhadap sumberdaya hutan di lokasi pertambangan nikel PT BIS. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat lingkar tambang (Kelurahan Waliabuku Kecamatan Bungi dan Kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio) memanfaatkan sumberdaya hutan dengan cara mencari rotan untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Sebelum adanya kegiatan pertambangan, masyarakat masih mendapatkan keuntungan atau manfaat dari sumberdaya hutan (akses masyarakat terhadap sumberdaya tinggi). Hal ini dikarenakan masyarakat masih dapat mengkases sumberdaya hutan di lokasi pertambangan. Ketika pemerintah Kota Baubau mengalokasikan lahan tersebut sebagai tambang maka posisi masyarakat (para pencari rotan) yang akan memanfaatkan sumberdaya hutan (rotan) yang ada di lokasi pertambangan di larang masuk (exclude) dalam lokasi pertambangan tersebut. Artinya bahwa akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan bergeser karena telah dilakukan kegiatan eksplorasi dan operasi produksi pertambangan nikel PT BIS (akses masyarakat terhadap sumberdaya rendah). Kaitannya dengan hal ini KS (40)80 mengungkapkan bahwa “Sampai saat ini kami masih mencari rotan di hutan, dan saat ini kami sudah tidak masuk lagi di lokasi pertambangan tersebut, jangankan masuk disitu, lewat pintu gerbangnya saja kami sudah di marahi aparat yang berjaga disitu” Akibat 2 : Pencemaran Lingkungan Lahan yang dialokasikan oleh pemerintah Kota Baubau sebagai tambang menurut masyarakat81 dan beberapa anggota DPRD82 lokasi tersebut dipahami 80 81
82
Catatan harian Penyebab Konflik .KS (40) masyarakat pencari rotan yang tinggal di kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio. Catatan harian Penyebab Konflik. PRB (47) merupakan tokoh adat (Parabela) masyarakat Kelurahan Gonda Baru Kecamatan Sorawolio. “kalau dilokasi nikel itukan “kaombo”, kalau sekarang itu ya kawasan, kawasan hutan tutupan begitu yang harus dilindungi dan tidak boleh diolah sembarangan” Catatan harian. Sejarah penguasaan SDA MNF (44) : Budayawan Kota Baubau, yang saat ini menjadi anggota DPRD Kota Baubau (2009-2014). “....Sumberdaya hutan itu sama saja dengan spirit ketika pada zaman kesultanan yang juga sebenarnya menjadi sprit negara kita untuk digunakan dengan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Misalnya di Kecamatan Sorawolio, itu oleh masyarakat ditetapkan sebagai zona kaombo karena memang daerah resapan, cadangan kayu dan lain sebagainya untuk mendukung kepentingan kolektif yang lebih besar. Kemudian ada larangan melakukan ekploitasi itu karena untuk kemaslahatan yang lebih besar....” Kemudian disampaikan oleh YSM (40). Wakil Ketua DPRD Kota Baubau (2009-2014) bahwa “...Sederhana saja kita berpikir kenapa orang tua kita dulu itu untuk kawasan hutan di situ itu “kaombo”
57
sebagai kaombo yang harus dilindungi karena merupakan sumber mata air bagi masyarakat Kota Baubau. Baik itu untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk kebutuhan irigasi pertanian masyarakat. Hal ini seperti disampaikan oleh WR (59)83 bahwa: ”...Kami di Ngkaring-ngkaring ini 99% memanfaatkan lahan pertanian (sawah), sehingga hutan itu merupakan salah satu sumber pupuk yang cukup untuk lahan pertanian tersebut utamanya air di sumberdaya hutan tersebut. untuk itu bagaimana kita menjaga air untuk lahan pertanian ini yang kami khawatirkan sumber daya air ini kurang dan pengelolaannya itu kami masyarakat wajib, pemerintah juga wajib untuk menjaga keberlangsungan lahan pertanian ini...”. Kemudian disampaikan oleh YSM (40) 84 bahwa: “...Saya punya pandangan bahwa “hutan kita harus lestari” karena ada lebih dari 1.200 persawahaan yg ada dibawah butuh air dan hutan penyangga kita. Ada 1.730 lebih masyarakat kota bau-bau yg butuh air dari hutan penyangga tersebut. Ada kurang lebih 300.000 masyarakat kita yang melakukan aktivitas di Kota Baubau pada siang hari itu butuh oksigen yang sebenarnya dari hutan sana (lokasi pertambangan)...”. Untuk itu jika dilakukan eksploitasi tambang nikel (open pit mining) maka akan menyebabkan terjadinya penggundulan hutan. Hal ini disebabkan karena lokasi tambang tersebut berada diwilayah pegunungan (hulu). Akibatnya, pada musim hujan akan menyebakan terjadinya banjir dan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan. Kekeringan dan banjir tersebut akan menimbulkan gagal panen tanaman padi masyarakat sebagaimana nampak pada gambar 6.3. Kartodihardjo et al. (2006) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem hutan memberikan dampak amat besar pada ketersediaan sumberdaya air (walaupun bukan merupakan satusatunya faktor). Kehilangan tutupan hutan berpotensi mengganggu siklus hidroorologis yang pada gilirannya membuat pasokan dan prilaku air menjadi tidak menentu. Hal ini tercermin dari air melimpah dimusim hujan hingga terjadi banjir serta kelangkaan air dimusim kemarau yang menimbulkan kekeringan sawah dan kelangkaan pasokan air untuk berbagai kebutuhan.
83 84
tebang 1 batang pohon kau mati kualat. Kalau sekarang dijustifikasikan kearifan lokal itu kedalam undang-undang “Tebang 1 batang pohon kau dipenjara...”. Catatan harian Penyebab Konflik. WR (59) merupakan tokoh adat (ketua) masyarakat Bali yang berada di kelurahan Ngkaring-ngkaring Kecamatan Bungi Catatan harian Analisis konflik. Wawancara dengan YSM (40) Saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Baubau.
58
Gambar 7.2. Kondisi Banjir di Lokasi persawahan masyarakat Kelurahan Waliabuku Kecamatan Bungi Kemudian ketika aktivitas bongkar muat bahan material tambang menuju terminal dengan adanya perubahan penggunaan lahan tersebut bagi masyarakat akan menimbulkan dampat terhadap pencemaran lingkungan yaitu debu. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh SML (44)85 bahwa “....Jadi menurut saya kalaupun ini jalur pertambangan dipaksakan, berarti daerah ini sudah jelas akan menjadi daerah kumuh. Proses kerjanya mereka itu (PT BIS) mulai jam 08.00-12.00, kemudian jam 12.00-13.00 itu istrahat. Setelah itu mulai lagi jam 13.00 – 17.00. itu kita harus mengepel 2-3 kali sehari, karena itu debu-debu menumpuk disini, yang seperti ini menyebabkan pencemaran debu...” Konfrontasi Dalam analisis pentahapan konflik fishel et al. (2001) menyatakan bahwa pada tahap konfrontasi konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Berangkat dari hal tersebut maka ketika PT BIS melakukan kegiatan ekplorasi nikel dan pembangunan jalan untuk kegiatan eksplorasi pada pada tahun 2007, maka mahasiswa dan masyarakat melakukan observasi lapang di lokasi pertambangan PT BIS. Hasil observasi tersebut menjadi rujukan mahasiswa dan masyarakat untuk melakukan aksi demonstrasi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh RHN (27)86 bahwa: “....Kegiatan eksplorasi tambang nikel PT BIS kami mengetahuinya ketika ada laporan dari warga (kelurahan Waliabuku) yaitu DYM (mahasiswa unidayan asal Kelurahan. Waliabuku) kepada HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan saat itu saya masih sebagai pengurus cabang. Laporan tersebut kami tindaklanjuti dengan melakukan observasi lapang pada bulan Oktober tahun 2008. Saat itu kami dari HMI berjumlah 4 orang yaitu saya sendiri, HMD, KSD dan JML dan ditemani beberapa warga diantaranya yaitu DY dan UG. Hasil observasi inilah yang kami jadikan bahan untuk melakukan aksi untuk menolak kegiatan eksplorasi PT BIS...”87 85 86 87
Catatan harian Analisis konflik .SM (40) tokoh masyarakat kelurahan Lowu-lowu kecamatan Lea-Lea dan juga memilik sawah di Lokasi rencana pembangan jalan tambang tersebut Catatan harian Sumber Konflik. RHN (27) Mantan Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan saat ini sebagai pengurus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Baubau. Informasi yang sama juga disampaikan oleh FD (35) yang merupakan salah seorang aktivis perempuan dan saat ini sebagai direktur Aliansi Perempuan Anti Kekerasan (APAK) mengatakan bahwa “Kegiatan eksplorasi Tambang Nikel PT BIS Kami mengetahuinya dari salah seorang teman (YN) anak sospol Unidayan yang kebetulan tinggal di sekitar lokasi tambang tersebut yaitu kelurahan kaisabu pada akhir tahun 2007 bahwa kenapa ini sudah ada yang aktif kerja di tambang ini padahal informasinya tidak ada, sosialisasnya juga tidak ada, sudahmi kami sepakat untuk mengecek ke lokasi kegiatan eksplorasi tersebut. Ternyata di lokasi sudah ada pembukaan jalan dan yang dipersoalkan itu sebenarnya permasalahan lingkunganya”
59
Berikut akan diuraikan aksi demonstrasi dan pernyataan mahasiswa dan LSM yang dilakukan sejak tahun 2007 hingga tahun 2012, yaitu sebagai berikut : (1). Oktober 200788, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Baubau melakukan aksi dengan materi aksi yaitu terkait dengan ketegasan pemerintah Kota Baubau untuk mempublikasikan tentang keberadaan tambang nikel di Kota Baubau dan menolak keberadaan tambang nikel. (2). Tahun 200889, Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan (HMI, BEM UNIDAYAN, BEM STAI, BEM UMB, LBH) melakukan aksi dengan jargon yang digunakan adalah “Tambang Nikel Buso : Rahmat atau Bencana” (3). 3 Juli 201290, Aksi dilakukan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Lowu-Lowu Kolese (HIPMALKO). Bahwa jalan tambang yang yang akan dilewati mobil pengangkut material Nikel menuju penampungan akan dicemari udara dan akan menimbulkan penyakit. Selain itu pembukaan pelabuhan akan mengancam mata pencaharian warga sebagai petani agar-agar (nelayan) (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013) (4). 11 Juli 201291, Aksi dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa Peduli Sosial Kota Baubau. Mendesak walikota Baubau untuk mencabut Izin usaha pertambangan PT BIS karena tidak menjawab kebutuhan dasar masyarakat kota Baubau dalam hal penyerapan tenaga kerja bahkan hanya akan merusak lingkungan hidup terlebih lagi tidak memiliki AMDAL. Selain itu meminta masyarakat kota Baubau untuk mengevaluasi kinerja DPRD Kota Baubau, Polres Baubau dan Pemerintah Kota Baubau karena ada indikasi konspirasi yang terstruktur antara PT BIS, pemerintah Kota Baubau dan DPRD Kota Baubau dalam rangka meloloskan kepentingan PT BIS untuk beroperasi (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013). (5). 7 November 201292, Aksi dilakukan oleh Gerakan Peduli Kerakyatan (gabungan HMI Cabang Baubau, BEM STAI, BEM AMIK dan Mahasiswa Pecinta Lingkungan (MAPALI) Giri Jaya Unidayan). Menolak dan mencabut Izin pertambangan PT BIS yang dikeluarkan oleh Walikota Baubau karena
88 89 90 91 92
Kemudian DN (30). Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Dayanu Iksanuddin (UNIDAYAN menuturkan bahwa Ide-ide awal tentang kegiatan eksplorasi PT BIS pada akhir tahun tahun 2007, informasi dan data-datanya berasal dari teman-teman senior-senior di HMI, awalnya kami tidak mengetahui apa itu istilah eksplorasi buta alam juga tentang hal tersebut kami miskin informasi yang kami dengar ini bahwa di lokasi tersebut air sudah mau kering, hutan dirambah berapa puluh hektar itulah isu yang disampaikan sama kami dan memunculkan kegelisahan juga to, sehingga untuk menfinalkan itu maka kami pergilah kelokasi tambang itu di bukit sorawolio sana. Sampai disana ternyata sudah ada penyapuan lahan, pembukaan jalan sekitar 40 meter itu dan yang saya catat itu hari ada 30 anak sungai yang putus. Isu awalnya itu adalah isu lingkungan yaitu air bahwa diperkirakan sekitar 10 tahun air akan habis dan terjadi kekeringan. Dari situlah maka kami adakan demonstrasi besar-besaran BEM se Kota Baubau untuk menolak keberadaan PT BIS”. Catatan harian Identifikasi Aktor. Wawancara dengan RHN (27) saat ini kami melakukan aksi dalam seminggu 2 kali. Catatan harian Identifikasi Aktor. Wawancara dengan RHN (27) Aksi dipimpin oleh MSH (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013). Aksi dilakukan di tugu kirap Baubau, kantor PT BIS dan kantor DPRD Kota Baubau dan aksi tersebut dipimpin MP (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013). Masa aksi star dari Kampus STAI Baubau menuju Kampus Unidayan dan melanjutkan ke kantor DPRD Kota Baubau. Aksi tersebut dipimpin oleh EK (Ketua Bidang PPD HMI Cabang Baubau dan Presiden Mahasiswa STAI)
60
kehadiran PT BIS di Kecamatan Bungi dan Sorawolio (Buso) sangat merugikan masyarakat Kota Baubau pada umumnya dan Buso merupakan daerah penampung air bagi masyarakat Kota Baubau (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013) (6). 13 dan 19 November 2012, Aksi dilakukan oleh Gerakan Peduli Kerakyatan (gabungan BEM STAI, BEM AMIK dan Mahasiswa Pecinta Lingkungan (MAPALI) Giri Jaya Unidayan). Menolak dan mencabut Izin pertambangan PT BIS yang dikeluarkan oleh Walikota Baubau karena PT BIS telah merusak lingkungan dalam hal ini hutan. (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013) Selain mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi sejak tahun 2012 masyarakat kontra tambang dengan aliansi yang dibangun (sebagaiman telah diuraikan pada Bab VI) sejak tahun 2012 hingga dilakukannya penelitian ini aksi yang dilakukan aliansi tersebut yaitu sebagai berikut : (1). Selasa, 10 Juli 201293, Pernyatan sikap yang disampaikan diantaranya yaitu pertama, mendesak pimpinan DPRD Kota Baubau untuk segera mengehentikan segala aktivitas pertambangan di Kecamatan Lea-Lea, Bungi dan Sorawolio; kedua, mendesak walikota Baubau untuk dengan segera mencabut Izin Usaha Pertambangan PT BIS (Sekretariat DPRD Kota Baubau, Risalah Rapat, 2012) (2). Kamis,12 Juli 201294, Dalam aksi ini dilakukan sebagai bentuk pressure kepada DPRD Kota Baubau yang pada hari tersebut sedang melakukan rapat kerja gabungan komisi DPRD Kota Baubau bersama pemerintah dengan agenda menindaklanjuti aspirasi masyarakat kecamatan Lea-Lea terkait pengelolaan tambang oleh PT BIS dan pembangunan PLTU95.
93
94
95
Aksi dilakukan di kantor DPRD Kota Baubau dan sebagai koordinator aksi yaitu SKM (masyarakat LowuLowu), RCK (Masyarakat Kolese) dan MHD (masyarakat Palabusa) dan yang bertindak sebagai jenderal lapangan yaitu MTA (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013). Aksi dilakukan di kantor DPRD Kota Baubau yang dipimpin oleh MSR dengan jumlah massa sekitar 150 orang. Massa aksi bertolak dari titik star di lapangan sepak bola Kelurahan Lowu-Lowu, Kecamatan LeaLea sekitar 15 Km dari Pusat Kota Baubau. Massa menggunakan 9 kenderaan roda 4 terdiri dari 5 buah mikrolet, 4 buah pick up dan sekitar 60 buah kenderaan roda 2. (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013). Terkait dengan PLTU bukan merupakan kajian dalam penelitian ini. Dalam orasinya massa menuntut penghentian aktivitas tambang PT BIS dan penghetian pembangunan PLTU dikecamatan Lea-Lea dan mosi tidak percaya kepada Walikota Baubau AT dan Lurah Kolese SZ. Massa yang berorasi kemudian ditemui oleh ketua DPRD Kota Buabau HS dan menyampaikan bahwa DPRD tengah menggelar rapat kerja dengan pemerintah Kota Baubau membahas legalitas aktivitas tambang dan PLTU di Kecamatan Lea-Lea.Ketua DPRD kemudian mempersilahkan 5 orang perwakilan massa untuk mengikuti rapat tersebut. Rapat kerja DPRD dan pemkot Baubau tersebut menghasilkan kesimpulan : “ DPRD Kota baubau merekomendasikan penghentian aktivitas tambang nikel PT BIS dan penghentian pembangunan PLTU sampai menunggu kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan dalam peraturan”. Kesimpulan rapat disambut oleh massa aliansi dan ditutup dengan orasi masing-masing oleh MSR (mahasiswa Unidayan Baubau, asal Lowivu-Lowu), DLT (mantan presiden Mahasiswa Unhalu Kendari 2008-2009, dan asal Lowu-Lowu) dan YMR (mantan Presiden Mahasiswa Unidayan Baubau dan asal Lowu-Lowu) dengan substansi bahwa perjuangan masyarakat Lea-Lea telah berhasil menekan DPRD Kota Baubau megeluarkan rekomendasi pengehentian total aktivitas tambang Nikel PT BIS dan penghentian pembangunan PLTU (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013).
61
(3). Selasa, 27 November 201296,Aksi ini dilakukan untuk menyikapi aktivitas pertambangan PT BIS dengan menyampaikan kekecewaan atas tidak berpihaknya DPRD Kota Baubau serta kurangnya pengawasan terhadap PT BIS di kawasan Bungi Sorawolio. Bahwa sampai dengan hari ini PT BIS masih melakukan pekerjaan dan sangat meresahkan masyarakat sekitar dan karyawan PT BIS sampai sekarang terus melakukan pembujukan kepada masyarakat agar mau menjual tanahnya kepada PT BIS (Badan Kesbangpol Kota Baubau, Laporan Kominda/Komunitas Intelijen Daerah,2013). (4). Rabu, 16 Januari 201397,Aksi dilakukan untuk menolak aktivitas penambangan PT BIS di Kecamatan Lea-Lea. (5). Selasa, 4 Februari 201398. Dalam aksi tersebut disampaikan bahwa menolak keberadaan PT BIS di Kecamatan Lea-Lea serta menyoroti tindakan aparat kepolisian pada saat membubarkan dan menahan 6 orang warga yang melakukan tindakan anarkis pengrusakan rumah pada tanggal 30 Januari 2013 (malam) serta meninjau keberadaan TNI di Lowu-Lowu yang meresahkan warga sekitar99. Dalam melakukan aksi demonstrasi sejak tahun 2012 ketika terjadi pro dan kontra terhadap PT BIS dalam memanfaatkan sumberdaya nikel maka pihak masyarakat pro tambang membangun aliansi untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah daerah dan DPRD Kota Baubau. Adapun aliansi yang dibangun tersebut yaitu pertama, Aliansi “Lea-Lea Pro Tambang Sejahtera” dalam gerakannya melakukan penyampian aspirasi kepada DPRD Kota Baubau pada tanggal 10 Juli 2012. Kedua Aliansi “Masyarakat Kecamatan Bungi, Sorawolio dan Lea-Lea Pro Tambang” yang melakukan aksi unjuk rasa pada tanggal 17 Desember 2012 dikantor DPRD Kota Baubau100. Dalam aksi tersebut perwakilan masa pro tambang yang disampaikan oleh NRD101 bahwa: “....Keberadaan tambang yang ada dikecamatan Bungi dan kecamatan Sorawolio pada dasarnya memerlukan beberapa pengkajian yang berimbas pada masyarakat itu sendiri. Dimana salah satunya bisa membawa peningkatan PAD Kota Baubau.Kami sepenuhnya menyadari bahwa kehadiran tambang tentunya akan membawa dampak, baik itu dampak yang positif maupun negatif. Oleh sebab itu kami masyarakat 3 (Tiga) kecamatan ini sangat membutuhkan pekerjaan dan ini dapat dijawab oleh kehadiran tambang PT BIS...” Krisis Pada tahap krisis sebagaimana disampaikan oleh fisher et al. (2001) bahwa tahapan ini merupakan puncak konflik, dimana ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Pada tahapan ini komunikasi normal diantara dua pihak
96
Aksi dilakukan di kantor DPRD Kota Baubau yang dipimpin oleh YMR Aksi dilakukan di kantor DPRD Kota Baubau yang dipimpin oleh MSR Aksi dilakukan di kantor Walikota Baubau yang dipimpin oleh MSR. Massa aksi start dari Kelurahan Lowu-Lowu dengan menggunakan 16 Buah Roda 4 dan 40 sepeda Motor. 99 Aksi ini kemudian pemerintah kota Baubau (kepempinan AST) menjawabnya dengan membentuk tim (lihat uraian pada point C). 100 Jumlah masa yang saat itu aksi sebanyak 80 orang (Laporan Kominda,2012 s/d 2013, Kesbangpol Kota Baubau dipimpin oleh NRD). 101 Mantan anggota DPRD Kota Baubau dan saat ini telah bekerja atau sedang membantu beberapa kegiatan PT BIS seperti pembagian baju adat di kecamatan Sorawolio seperti halnya yang disampaikan oleh SR (38) pembagian baju adat itu di dibagikan oleh pak NRD, dia mengatasnamkan perwakilan perusahaan. 97 98
62
kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. Dari penuturan tersebut diatas maka dalam konflik pertambangan di Kota Baubau pada tahapan krisis ini yang terjadi yaitu teror dan pengrusakan rumah warga yang pro terhadap tambang. Tahapan ini terjadi pada bulan Juli tahun 2012 hingga saat ini (Mei 2013) kembali terjadi puncak konflik pertambangan nikel.
Gambar 7.3. Rumah masyarakat pro tambang yang dirusak oleh masyarakat kontra tambang. (Sumber : Foto Lapang, Mei 2013) Bentuk teror ini terjadi ketika mahasiswa melakukan aksi demonstrasi maka yang menjadi koordinator lapangan dari aksi tersebut akan diteror. Baik itu melalui telepon dari pihak yang tidak diketahui maupun akan dipanggil oleh perangkat keras yang berpihak kepada pihak PT BIS. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh EK (30) bahwa: “..Saya setelah melakukan aksi atau baru rencana mau aksi tentang PT BIS handphone saya sudah berdering atau di SMS ancaman untuk tidak melakukan aksi. Pernah juga saya dipanggil oleh seseorang perangkat keras, memang ini penyampaianya baik-baik agar tidak melakukan aksi tapikan ini perangkat keras..” Sementara pengrusakan rumah warga terjadi akibat akumulasi kekesalan masyarakat terhadap warga yang dilempar rumahnya tersebut. Hal ini karena menurut masyarakat kontra tambang bahwa warga yang dilempar rumahnya tersebut memfasilitasi PT BIS dan pemerintah kecamatan serta membujuk masyarakat untuk menjual lahannya kepada PT BIS untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus. Akibat dari pengrusakan rumah tersebut beberapa masyarakat masuk tahanan di polresta Kota Baubau. Akibat Pada tahapan ini mulai dilakukan mediasi antara pihak-pihak yang berkonflik dengan pihak PT BIS. Namun dalam mediasi tersebut yang dilibatkan adalah masyarakat kontra tambang dan PT BIS. Hasil mediasi tersebut tidak mendapatkan kesimpulan karena disatu sisi masyarakat yang hadir dalam mediasi tersebut tidak melepaskan lahannya untuk dibeli oleh pihak PT BIS untuk kebutuhan jalan tambang menuju terminal khusus dengan alasan sebagaiaman telah diuraikan pada bab VI. Hal ini menurut PT BIS seperti yang disampaikan oleh SMR bahwa: “...Memang sudah pernah dimediasi oleh kepolisian tapi tidak ada titik temu, kami juga dari pihak perusahaan tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan maksud melakukan kegiatan penambangan nikel ini...”
63
Berangkat dari hal tersebut maka tahapan konflik pertambangan yang terjadi yaitu masih pada tahap krisis. Pasca Konflik Pada tahap pasca konflik sebagaimana yang disampaikan oleh Fisher et al. (2001) bahwa situasi konflik telah diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik. Namun kondisi ini belum terjadi dalam konflik pertambangan di Kota Baubau Ikhtisar Pada tahap pra konflik diawali ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Pemberian IUP tersebut membentuk terjadinya kontroversi kebijakan. Adapun kontroversi tersebut yaitu terkait dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWI, dimana menurut mahasiswa dan LSM pemberian IUP eksplorasi PT BIS oleh pemerintah Kota Baubau tidak sesuai dengan RTRW (Perda No 2 tahun 2004) karena dalam RTRW tersebut tidak ada alokasi ruang untuk tambang di Kota Baubau. Selain itu kontroversi perizinan yang terjadi yaitu ketika PT BIS melakukan kegiatan eksplorasi dan belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas untuk kegiatan penyelidikan. Namun pemerintah Kota Baubau tetap memberikan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan tersebut yang ditujukan kepada gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara. Kemudian pemberian IUP Eksplorasi tersebut memicu terjadinya perubahan penggunaan dan penguasaan Sumberdaya Alam (SDA). Akibatnya menimbulkan hilangnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan di lokasi pertambangan. Ilustrasi tersebut diatas sehingga menimbulkan ketidasesuaian sasaran antara masyarakat, mahasiswa dan LSM dengan pemerintah terhadap penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam tersebut sehingga timbul konflik pertambangan Pada tahapan konfrontasi mulai terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, LSM dan masyarakat untuk menolak keberadaan tambang nikel PT BIS. Sementara pada tahap krisis yang terjadi adalah pengrusakan rumah dan teror. Pada tahap akibat dan pasca konflik belum terjadi dalam konflik pertambangan di Kota Baubau.
64
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada Bab V sampai dengan VII dan merujuk pada pertanyaan dan tujuan penelitian (Bab I) maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sejarah penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau secara tradisonal (era Kesultanan, 1511-1960) mengenal empat klasifikasi penggunaan dan penguasaan lahan yaitu pertama tanah Turakia yang penggunaannya dialokasikan sebagai pemukiman dan penguasaanya hak milik kesultanan (kingdom state property). Kedua tanah Ome yang penggunaanya dialokasikan untuk perkebunan dan penguasaanya hak milik kesultanan (kingdom state property). Ketiga tanah Katampai penggunaannya dialokasikan sebagai perkebunan dan hutan yang penguasaanya hak milik pribadi (private property) atas pemberian sultan. Keempat tanah Kaombo penggunaanya sebagai hutan yang tidak diperbolehkan untuk digunakan kecuali untuk kepentingan bersama dan penguasaan sebagai hak milik kesultanan (kingdom state property). Pada era Soekarno (1960-1965) menjadi benih terjadinya klaim penguasaan atas tanah dari hak pakai milik kesultanan menjadi hak milik pribadi oleh masyarakat dari keempat jenis tanah tersebut. Kemudian pada era Soeharto (1965-1998) tepatnya pada tahun 1967 merupakan awal legitimasi negara terhadap tanah yang tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat baik itu bekas pemukiman (turakia), perkebunan (ome), katampai maupun kaombo untuk ditetapkan sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Kemudian pada era otonomi daera (1999-2013) pemerintah daerah Kota Baubau mengalokasikan kawasan hutan produksi sebagai kawasan pertambangan dengan penguasaan lahan menjadi milik swasta (private ownership). 2. Aktor yang terlibat dalam penggunaan dan penguasaan sumberdaya alam di Kota Baubau yaitu kesultanan, pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, pemerintah Kota Baubau, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Kota Baubau, aparat negara bidang keamanan dan ketertiban, pihak swasta (PT BIS), Masyarakat Kota Baubau mahasiswa dan LSM. 3. Bundle of power yang terbentuk yaitu terjadi aliansi antara pemerintah, DPRD Kota Baubau dan PT BIS, kemudian aliansi antara masyarakat pro tambang, mahasiswa pro tambang dan PT BIS serta aliansi masyarakat kontra tambang, mahasiswa kontra tambang dan LSM. 4. Penyebab utama terjadinya konflik SDA yaitu diawali ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi (dahulu izin kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS. Hal ini mengakibatkan terjadinya kontroversi kebijakan. Kemudian bentuk konfrontasi yang terjadi adalah aksi demonstrasi dan pernyataan pers. Sementara bentuk puncak konflik yang terjadi yaitu pengrusakan rumah dan teror. Saran Atas uraian yang disajikan pada bab V s.d. VII, serta kesimpulan di atas, maka yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah Kota Baubau perlu merumuskan pengelolaan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal “kaombo” dan perlu dituangkan dalam bentuk Perda tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
65
2. Berkaitan dengan kontroversi kebijakan dan perizinan yang terjadi maka perlu dilakukan tinjauan secara hukum oleh pihak berwewenang sehingga memiliki kepastian hukum. 3. Pola ComDev yang dilakukan oleh PT BIS tidak berorientasi charity namum lebih pada pendekatan program pemberdayaan masyarakat pada aras lokal. 4. Perlu dilakukan rembuk bersama antar semua aktor untuk mempertemukan persepsi pengetahuan aktor tentang materi konflik pertambangan yang terjadi. 5. Penelitian tentang daya dukung lingkungan di lokasi studi penting untuk dilakukan. 6. Pemerintah daerah perlu merumuskan kelembagaan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di Kota Baubau
66
DAFTAR PUSTAKA Badan Kesbangpol. 2013. Laporan Komunitas Intelejen Daerah (Kominda) terhadap Permasalahan Penambangan Nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di Kecamatan Lea-Lea Kota Baubau. Tahun 2012 s/d 2013. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Baubau, Baubau [BPS]. 2012. Baubau Dalam Angka,2012 [BPS]. 2012. Bungi Dalam Angka ,2012 [BPS]. 2012. Kokalukuna Dalam Angka ,2012 [BPS]. 2012. Lea-Lea Dalam Angka ,2012 Bryant RL dan Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. Routledge. London. Denzin and Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative Research. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. DPRD, 2012. Risalah Rapat Kerja Gabungan Komisi DPRD Kota Baubau Bersama Pemerintah Daerah dengan Agenda Menindaklanjuti Aspirasi Masyrakat Kecamatan Lea-Lea Terkait Pengelolaan Tambang oleh PT BIS dan Pembangunan PLTU. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau. ----------2012. Risalah DPRD Kota Baubau Menerima Aspirasi dari Aliansi Masyarakat Lea-Lea Bersatu Kota Baubau. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau. -----------2012. Risalah DPRD Kota Baubau Menerima Aspirasi dari Aliansi Masyarakat Kecamatan Lea-Lea Pro Tambang Sejahtera. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau -----------2013. Risalah Rapat Kerja DPRD Kota Baubau Bersama Pemerintah Daerah dengan Agenda Pembahasan Permasalahan PT BIS. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau -----------2013. Risalah Rapat Paripurna DPRD Kota Baubau dengan Agenda Penentuan Sikap terhadap Masalah Pertambangan PT BIS. Sekretariat DPRD Kota Baubau. Baubau Eckersley. R. 1992. Environmentalism and political Theory: toward an Ecpcentric Approach. Albany : state University of New York Press. New York Fisher.S,J.et,al.2001.Mengelola Konflik : Keterampilan dan strategi untuk bertindak.The British Council,Indonesia.Jakarta. Hanna. SS, C Folke, KG Maler (editor).1996. Right To Nature : Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment.Island Press. Washinton DC.USA. Hasimin.MA. 2009. Pengaruh Nilai-Nilai Tasawuf dalam Tata Negara Adat : Studi Konstitusi Murtabat Tujuh Kesultanan Buton [Tesis]. Universitas Islam Indonesia. Yogykarta. Hidayat H, et al.. 2011. Politik Ekologi Pengelolaan Taman Nasional Era Otda. LIPI Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta 67
http://www.walhi.or.id/index.php/id/ruang-media/siaran-pers/1171-merambah hutan-tambang-nikel-pt-bis-di-kota-baubau-illegal.html (di Unduh 27/12/2012 pukul 04.20.14) Kartodiharjo.H . 2007. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam : Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. KEHATI. Jakarta. Kartodiharjo. H dan Jhamtani. H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. PT Equinox Publishing Indonesia. Jakarta. Kuswijayanti E.R.2007. Konservasi Sumberdaya Alam Di Taman Nasional Gunung Merapi :Analisis Ekologi Politik. [Tesis].Bogor.Institut Pertanian Bogor Maelong.J.L Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.Bandung Maemunah.S.2012. Negara Tambang dan Masyarakat Adat (Perspektif HAM dalam Pengelolaan Pertambangan yang Berbasis Lingkungan dan Kearifan Lokal). Instrans Publishing.Malang Radar Buton, Rabu 6 Februari 2008 Radar Buton, Kamis, 7 Februari 2008 Ribot JC dan Peluso NL. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 : 2. Ritzer dan Goodman, 2003. Teori Sosiologi Modern (Edisi keenam), Kencana Pernada Group, Jakarta Salim E. 2010. Ratusan Bangsa Merusaka : Satu Bumi. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta Schubart, 2005. “Political Ecology in Development Research: An Introductory Overview and Annotated Bibliography“. http://www.nccrnorthsouth.unibe.ch Seyhan.E. 1990. Dasar-Dasar Hidrologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tjondronegoro S.M.P. 2008. Negara Agraris Ingkari Agraria : Pembangunan Desa dan Kemisikinan di Indonesia. Yayasan Akatiga. Bandung Zahari. A.M. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton I). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta ----------------. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton II). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Zainuddin.S. 2012. Berebut Otoritas : Antara Kilau Emas versus Konservasi (Studi Kasus Penambangan Emas Tradisional Pada Komunitas Masyarakat “Adat”Kaili di Tahura Poboya Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah). [Disertasi].Bogor.Institut Pertanian Bogor. ----------------. 2012. Kontestasi dan Konflik Memperebutkan Emas di Poboya. Jurnal Sodality:Sosiologi pedesaan.Bogor.
68
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan dari keluarga yang sederhana di sebuah kampung di Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton yang dikenal dengan Kampung Masiri pada tanggal 20 Februari 1982. Dilahirkan dari pasangan orang tua La Ode Basri S.Pd seorang guru Sekolah Dasar yang saat ini mengemban amanah sebagai Kepala Sekolah SD Negeri Majapahit Kecamatan Batauga Kabupaten Buton dan Wa Ode Nuriani sebagai ibu rumah tangga. Penulis merupakan anak pertama dari 4 bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasarnya di SDN 2 Bola Kecamatan Batauga hingga kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Kemudian menamatkan SD di Sekolah Dasar Negeri 7 Laompo Kecamatan Batauga Kabupaten Buton karena mengikuti sang ayah yang pindah disekolah tersebut. Lalu lanjut Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kecamatan Batauga Kabupaten Buton. Kemudian pada tahun 2001 berhasil menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Baubau. Pada tahun yang sama yakni 2001, penulis memutuskan untuk meninggalkan tanah Buton dan merantau menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program diploma III jurusan Analisis Lingkungan hingga tahun 2004 melalui jalur USMI. Pada tahun yang sama (2004) langsung melanjutkan pendidikannya (Strata 1) pada program ekstensi di Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (UI) dan lulus pada tahun 2006. Kemudian pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian bogor.
69