EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SERTA KADAR AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI PERAH
RAFID SOLTA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Rafid Solta D152110041
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN RAFID SOLTA. Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan DWIERRA EVVYERNIE. Aflatoksin merupakan senyawa toksik yang dihasilkan terutama oleh kapang Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin B1 yang termakan hewan ruminansia akan diekresikan pada produk susu yang dihasilkan, bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1 yang dieksresikan ke dalam susu dipegaruhi oleh banyaknya aflatoksin B1 yang terkontaminasi didalam sumber pakan. Pemanfaatan probiotik bakteri asam laktat (BAL) sebagai penanggulangan cemaran aflatoksin secara in vitro dan in vivo pada unggas sangat efektif dilakukan, tetapi kajian penggunaan probiotik dalam menurunkan kadar aflatoksin M1 belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek penggunaan probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1, memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah yang dihasilkan. Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap yaitu: 1) Metode pembuatan probiotik BAL, 2) Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik dan probiotik enkapsulasi. Metode pembuatan probiotik BAL terdiri dari 2 tahap yaitu a) Enkapsulasi; b) Non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik diamati melalui total koloni yang tumbuh dan daya simpan probiotik selama 0, 2 dan 4 minggu. Bakteri asam laktat yang digunakan merupakan campuran dari bahan Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, dan Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). Data yang diperoleh dianalisisi secara deskriptif. Pada kajian in vivo digunakan 9 ekor sapi perah laktasi ke-1, ke2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari 3 ekor mendapatkan perlakuan kontrol, probiotik dan probiotik enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan konsentrat. Pemberian probiotik pada pakan konsentrat diberikan berdasarkan komsumsi pakan perhari dan cfu/g (colony forming units). Masing-masing perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi ditambahkan 108 cfu/g. Peubah yang diamati yaitu : a) produksi dan kualitas susu ; b) kadar aflatoksin M1 pada susu. Data produksi susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) dan Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah dianalisis secara deskriptif. Hasil perhitungan total koloni bakteri probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi masing-masing yaitu 1.3 x 109 (cfu/g) dan 0.63 x 109 (cfu/g). Hasil penelitian in vivo menunjukan bahwa penambahan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Penambahan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak mempengaruhi kadar lemak, protein, SNF, laktosa dan BK susu namun masih memenuhi standar SNI. Sapi perah yang diberikan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi mampu menurunkan kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah samapai LOD (limit of detection) 0,025 ppb. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan probiotik dan probiotik enkapsulasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
produksi dan kualitas susu yang dihasilkan, namun menurunkan kadar aflatoksin M1 pada susu. Kata kunci :
Aflatoksin M1, Bakteri Asam Laktat, Enkapsulasi, Probiotik, Susu Sapi.
SUMMARY RAFID SOLTA. The Effectivity of Probioties Utilization in Production, Quality and Aflatoxin M1 Level of Milk. Supervised by SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN and DWIERRA EVVYERNIE.
Aflatoxins are toxic compounds produced by Aspergillus flavus and A. parasiticus. The aflatoxins M1 in the milk are affected by the amount of aflatoxin B1. The utilization of lactic acid bacteria probiotic (LAB) in poultry was effectively to reduce the aflatoxin, but the use of probiotics for reducing the aflatoxin M1 levels have not been widely reprorted. The aims of this study was to determine the feeding effect of diets containing probiotics for aflatoxin M1 level, production and milk quality. The study comprised two phases, namely :1) The preparation of lactic acid bacteria probiotic (in vitro), 2) In vivo phase that using encapsulated and nonencapsulated probiotics in lactating dairy cows. The probiotic of lactic acid bacteria was consisted of encapsulation and non-encapsulated. That probiotics quality were determined by total colony and storability test at room temperature for 0, 2 and 4 weeks. The lactic acid bacteria used combination of Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707 and Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03). The in vivo test used 9 dairy cows on 1 th, 2nd and 5th lactation phase. Each lactating phase used 3 cows and fed the diet without probiotic (R0), diet containing 109 cfu/g capsulation probiotic (R1) and diet containing 108 cfu/g encapsulation pribiotic (R3).The parameters measured were milk production, milk quality and aflatoxin M1 levels. ANCOVA test was used to analyze the milk production. Milk quality was analized by Analysis of Variance. Aflatoxin M1 level was presented in descriptive form. The results of non-encapsulation and encapsulation probiotic colonies were 1.3 x 109 (cfu / g) and 0.63 x 109 (cfu / g). The results of in vivo test showed that the addition non-encapsulation and encapsulation probiotic did not affect milk production, milk quality, protein content, fat content, lactose, and SNF. Dairy cows were given non-encapsulation and encapsulation probiotic reduced aflatoxin M1 levels in milk until the limit of detection (0.025 ppb). The conclusion of this study was the use non-encapsulation and encapsulation probiotic did not significantly effect milk production and quality but can reduced the concentration of aflatoxin M1 in milk of dairy cow.
Keywords: Aflatoxin M1,encapsulation, dairy cow, lactic acid bacteria, probiotics
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PROBIOTIK TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SERTA KADAR AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI PERAH
RAFID SOLTA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Penguji luar komisi : Prof Dr Ir Toto Toharmat, MAgr Sc
Judul Tesis
Nama NIM
: Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah : Rafid Solta : D152110041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Suryahadi, DEA Ketua
Prof Dr Ir Komang G Wiryawan
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc
Anggota
Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Nutrisi dan Pakan
Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat meyelsaikan karya ilmiah yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi dan Kualitas serta Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah” dengan baik dan tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr Ir Suryahadi, DEA. Bapak Prof Dr Ir Komang G Wiryawan dan Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc, selaku komisi pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, memberikan petunjuk, bimbingan serta arahan pada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Kepada Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat, MagrSc sebagai penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan Beasiswa dalam masa penyelesaian studi pendidikan di Institut Pertanian Bogor, serta bantuan dana dari (Collaboration Research and International Publication). Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Sijunjung. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di Peternakan Sapi Perah miliknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda H. Jumadar, BE dan Ibunda Hj. Dastati, saudara-saudaraku tercinta (Uda Rachmad A K, S.Pd, Rizki, Afdal, Ramdica, Ilham, Eska, dan Dava) serta abang Adi yang selalu memotivasiku dan keluargaku di Bekasi atas do’a, kasih sayang dan dorongan baik moral, materi maupun spiritual. Kepada teman-teman INP 2011, terima kasih atas kerja sama selama ini dan semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa ditulis satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna, meskipun demikian penulis berharap semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat.
Bogor, September 2013
Rafid Solta
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian 2. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Pembuatan Probiotik Materi Analisis Data Peubah yang Diamati Metode Efek Penggunaan Probiotik Secara In-vivo Materi Analisis Data Peubah yang Diamati Metode 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi) Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi pada Suhu Ruang. Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kadar Aflatoksin M1 4. SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1 3 4 4 4 5 5 5 7 7 8 8 8
10 11 12 12 13 14 16 17 21
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat Rataan jumlah koloni BAL starter awal Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang Rataan produksi susu terkoreksi lemak 4% (kg/hari) Rataan kualitas susu sapi perah Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
8 10 11 12 13 14
DAFTAR GAMBAR 1 Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi 2 Proses enkapsulasi probiotik
6 6
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Analisis coovarian produksi susu Analisis produksi susu 4 % FCM Analisis ragam kadar lemak susu Analisis ragam kadar protein susu Analisis ragam kadar laktosa susu Analisis ragam bahan kering tanpa lemak Analisis ragam bahan kering susu
21 21 22 22 23 23 24
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Rafid Solta dilahirkan di Sijunjung, pada tanggal 11 Januari 1990 dan merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara dari Bapak H Jumadar, BE dan Ibu Hj Dastati. Penulis adalah putra kedua dari tujuh laki-laki bersaudara. Pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan di SDN 29 Muaro Gambok Sijunjung. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di MTsN Sijunjung dan menyelesaikannya pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan ke MAN Palangki Sijunjung dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas melalui jalur PMDK dan lulus pada tahun 2011. Pada bulan Agustus tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mendapat Beasiswa Unggulan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Penulis juga memperoleh bantuan dana penelitian Collaboration Research and International Publication.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani yang sangat penting. Susu sebagai sumber gizi berupa protein hewani besar manfaatnya bagi manusia terutama bayi dan anak-anak. Jaminan kualitas dan keamanan produk hewani perlu diperhatikan, sehingga kemungkinan cemaran bahan biologi maupun kimia yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia dapat diminimalisir (Winarno 1996). Manajemen pemeliharaan dan pakan yang tidak sesuai dengan pemberiannya, dapat berdampak pada cemaran aflatoksin pada produk ternak yang dihasilkan. Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006), juga dihasilkan oleh beberapa jamur lain misalnya A.nomius (Kurtzman et al. 1987), A.pseudotamarii (Ito et al. 2011), A.ochraceoroseus, Aspergillus SRCC148, Emericelle astellata, dan Emericella sp sies SRCC 2520 (Cary et al. 2005). Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah, jagung, dan hasil olahannya, serta pakan ternak. Hewan ternak yang mengonsumsi pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Hal tersebut menjadi salah satu sumber paparan aflatoksin pada manusia. Pencemaran aflatoksin di Indonesia sering timbul pada masa penyimpanan bahan pangan atau pakan. Toteja (2006) menyatakan bahwa kondisi iklim dan manipulasi pakan mengakibatkan kontaminasi aflatoksin. Kondisi penyimpanan yang tidak baik merupakan faktor penting terhadap variasi kontaminasi aflatoksin. Ada empat macam aflatoksin yang dikenal sering mengkontaminasi bahan pangan, khususnya serelia yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Aflatoksin B1 yang termakan oleh hewan ruminansia akan diekresikan terutama pada produk susu yang dihasilkan, bentuk hidroksilasinya yaitu aflatoksin M1. Aflatoksin M1 yang dieksresikan ke dalam susu sangat bervariasi antar ternak (meskipun dari satu peternakan yang sama), dari hari ke hari dan waktu pemerahan yang ya satu ke waktu pemerahan yang lain (Kiermeier et al. 1975;1977). International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan karsinogenisitas aflatoksin M1 dalam grup B2 (IARC 1993) dan dilaporkan kurang berbahaya bila dibandingkan aflatoksin B1. Aspergillus flavus optimum menghasilkan toksin pada kadar air bahan 1530%, kondisi 25-300C, dengan kelembaban 85% atau aktivitas air sebesar 0,85 (Reddy dan Waliyar 2000). Kendala yang dihadapi dalam keamanan pangan terhadap aflatoksin M1 pada susu yakni memiliki sifat yang stabil terhadap proses pemanasan, pasteurisasi dan proses penyimpanan (Stoloff et al.1975). Oleh karena itu aflatoksin M1 pada susu merupakan ancaman yang dihadapi oleh anakanak yang masih rentan dibandingkan orang dewasa. Abdul Razzaq et al. (2004) membuktikan bahwa adanya hubungan antara tingkat kontaminasi aflatoksin M1 yang terdeteksi pada air susu ibu yang mengakibatkan kurangya berat bayi yang dilahirkan Organ hati memiliki peran dalam biotransformasi aflatoksin, bahan toksin yang masuk ke tubuh akan mengalami proses biotransformasi dengan mengubah
sifat toksik yang semula larut lemak menjadi yang mudah larut air hingga mudah dikeluarkan dari tubuh. Proses ini terjadi pada retikulum endoplasmatik dengan bantuan enzim sitokrom P-450 dan sitosol. Bahri et al. (1994) menyatakan pakan sapi perah yang terkontaminasi aflatoksin B1 menghasilkan residu aflatoksin M1 dari 0,04-0,17 ppb. Carvajal et al. (2003) dalam penelitian diperoleh sebanyak 40% produk susu di Meksiko terkontaminasi aflatoksin M1 dengan kadar ≥ 0,05 (ppb) dan 10% ≤ 0,005 ppb. Hasil ini menunjukan bahwa aflatoksin M1 tidak rusak selama proses produksi karena aflatoksin akan rusak pada suhu 270 0C (Beuchat 2000). Produk olahan susu juga mengandung aflatoksin M1 seperti keju (40-60%), krim (10%), butter (2%). Residu aflatoksin M1 yang terdapat dalam olahan susu erat kaitanya dengan kasein susu (Lopez et al. 2001) Aflatoksin tidak memberikan efek keracunan secara akut, melainkan secara kronis dapat menimbulkan kelainan pada organ hati dan juga produk olahanya seperti daging dan susu. Hal ini dipengaruhi oleh penyimpanan makanan dalam waktu yang cukup lama dan cara yang tidak benar, menyebabkan kerusakan pada bahan makanan tersebut oleh mikroorganisme dan jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin. Tingkat konsentrasi residu maksimum yang diperbolehkan untuk aflatoksin M1 dalam susu maupun produk olahannya di beberapa Negara sebesar 0,5 μg/L (FDA, Amerika) dan 0,05 μg/L (negara-negara Uni Eropa). Sedangkan untuk Indonesia adalah 1 μg/L atau 1 ppb (SNI 2001). Upaya penanggulangan cemaran aflatoksin pada pakan dan keracunan aflatoksin pada ternak telah banyak dilakukan diantaranya adalah dengan mendegradasi aflatoksin pada bahan pakan secara ekstraksi dengan bentonite, sinar UV, bakteri, jamur dan ganggang (Ceigler et al. 1966 dan Rustom 1997). Beberapa mikroorganisme dilaporkan pula dapat mengurangi cemaran aflatoksin baik secara in vitro maupun in vivo (Pierides et al. 2000 ; Kankaankaa et al. 2000), salah satunya adalah bakteri asam laktat (Lactobaccillus spp). Lactobaccillus spp termasuk golongan bakteri asam laktat dan memiliki potensi yang tinggi sebagai produk probiotik (Davis dan Gasson 1981; Muriana dan Klaenhammer 1987). El-Nezami et al. (1998) menemukan bahwa bakteri gram positif (lima strain Lactobacillus spp dan strain Propionibacterium spp) lebih efisien dalam menghilangkan aflatoksin dari media cair, dibandingkan dengan gram negatif E. coli. Probiotik didefinisikan sebagai kultur bakteri tunggal atau campuran yang dikonsumsi oleh ternak atau manusia, sehingga memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inangnya. Sebagian besar probiotik yang digunakan sebagai bahan additive adalah tergolong bakteri termasuk dalam spesies Lactobaccillus spp (Lactobaccillus achidophillus dan Bifidobacterium spp (Bifidobacterium longum), di samping itu terdapat juga bakteri Streptococcus thermophillus. Terdapat beberapa bukti mengenai manfaat dari bakteri asam laktat yang sangat efisien dalam menurunkan kadar aflatoksin dan juga mampu memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah. Selama penyimpanan dan dalam saluran pencernaan ternak viabilitas probiotik mengalami kendala seperti H2O2, keberadaan pH yang rendah, kondisi anaerob, garam empedu dan juga dipengaruhi oleh kompetisi bakteri. Melihat beberapa kendala yang dihadapi solusi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan perlindungan probiotik dengan cara enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan proses pembentukan kapsul yang menyelubungi probiotik dengan
tujuan melindunginya dari pengaruh lingkungan yang ekstrim (Widodo et al. 2003). Metode enkapsulasi dengan menggunakan sodium alginat dan laktosa dengan tujuan melindungi bakteri dari kondisi asam pada cairan rumen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan alginat dapat melindungi sel dengan meningkatnya ketahanan bakteri dibawah kondisi yang berbeda dibanding tanpa enkapsulasi (Anal dan Singh 2007). Enkapsulasi probiotik biasa digunakan polimer yang lembut dan tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007). Polimer yang digunakan biasanya berbentuk polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan ; kasein, whey, skim, gelatin, (Rokka dan Rantamaki 2010). Dalam penelitian ini dikaji sejauh mana probiotik (Lactobaccillus achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus), dapat dimanfaatkan dalam menanggulangi bahaya cemaran aflatoksin M1 pada susu sapi perah dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu sesuai standar.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek penggunaan probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1, serta mampu memperbaiki produksi dan kualitas susu sapi perah yang dihasilkan
MATERI DAN METODE Penelitian ini terdiri dari 2 (dua) tahap. Tahap pertama adalah membandingkan 2 cara pembuatan probiotik bakteri asam laktat yaitu, a) Probiotik enkapsulasi; b) Probiotik non enkapsulasi. Mutu kedua probiotik dilihat melalui total koloni dan daya simpan probiotik selama 0,2 dan 4 minggu; 2) Kajian in vivo tentang penggunaan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi dilihat melalui a) Efek pobiotik terhadap produksi dan kualitas susu; b) Efek probiotik dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
Waktu dan Tempat Penelitian tahap pertama dilakukan selama tiga bulan dari bulan November sampai dengan Januari 2013. Kultur murni diperoleh dari UGM Yogyakarta yaitu (Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03) dan dilanjutkan pembiakan kultur di PAU IPB; Enkapsulasi probiotik di Laboratorium Mikrobiologi, Seafast IPB; Pengujian total bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Penelitian tehap kedua dilakukan selama 16 hari, masing-masing terdiri dari 10 hari pertama diberikan pakan adaptasi yang ditambahkan probiotik, dan 6 hari berikutnya dilakukan pengambilan sampel susu. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2013. Percobaan in vivo ini dilakukan di peternakan sapi perah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Lembang adalah salah satu sentra peternakan sapi perah di Indonesia dengan topografi berbukit-bukit, ketinggian ±1247 m dpl, kisaran suhu udara harian antara ± 18 – 27 0C dan kelembaban relatif ± 80,5%. Peternakan sapi perah yang digunakan sebagai lokasi penelitian memiliki manajemen pakan dan pemerahan yang baik. Susu yang diperoleh dianalisis di Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta, Laboratorium Perah FapetIPB.
Pembuatan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi dilakukan Melalui Pengujian Total Bakteri
Materi Bahan yang digunakan dalam pembuatan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi adalah kultur murni bakteri (Lactobaccillus achidophillus FNCC 0051, Bifidobacterium longum ATCC 15707, Streptococcus thermophillus FNCC 1-9 03), de Mann Rogosa Sharpe Broth (MRSB), de Mann Rogosa Sharpe Agar (MRSA), susu skim, NaCl, sodium alginate, laktosa, CaCl2. Alat yang digunakan adalah laminar flow, inkubator, tabung reaksi, mikropipet,
vorteks, lemari es, erlenmeyer, ose, pembakar bunsen, mikroskop, obyek glass, cawan petri, autoclav, frezze drayer, timbangan analitik. Analisis Data Data total koloni bakteri asam laktat pada starter awal, dan total koloni probiotik pada penyimpanan selama 0,2 dan 4 minggu disajikan secara deskriptif. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati yaitu total koloni bakteri probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi pada starter awal. Total koloni bakteri probiotik yang disimpan pada suhu ruang selama 0, 2 dan 4 minggu.
Metode Pembuatan Kultur Induk dan Kultur kerja (Dewanti-Hariyadi et al. 2001) Kultur murni yang digunakan adalah (Lactobaccillus achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus pada MRSB. Susu skim 20% dimasukkan kedalam 1 L aquades dan di autoclav pada suhu 90 0 C selama 15-30 menit, dan kemudian didinginkan hingga suhu 43 0 C, ditambahkan 1,5 ml masing-masing kultur murni bakteri ke dalam 2 L susu skim steril dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 hari. Kultur induk siap digunakan untuk membuat kultur kerja. Pembuatan probiotik enkapsulasi menggunakan metode Carvalho et al. (2004), dengan menambahkan bahan penyalut sodium alginate dan laktosa. Kultur kerja siap digunakan sebagai probiotik pada pakan ternak dan sebelum probiotik diberikan terlebih dahulu di frezze drayer. Apabila tidak langsung digunakan, kultur kerja dapat disimpan dalam refrigerator.
Proses Enkapsulasi Probiotik dan Frezze Drayer (Carvalho et al. 2004) Biopolimer yang digunakan untuk enkapsulasi bakteri probiotik adalah alginat. Penggunaan alginat sebagai bahan pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik (Kailasapthy 2002). Probiotik dienkapsulasi dengan laktosa dan sodium alginate 10 %. Perbandingan bahan yang dikapsul dengan bahan enkapsulasi yang digunakan adalah sebesar 3:7 (b/b) (Lian et al. 2002). Setelah probiotik dikapsul dengan bahan enkapsulasi kemudian di freeze dried. Freeze dried adalah proses pembekuan yang disusul dengan pengeringan. Proses sublimasi yang terjadi pada freeze draying yaitu perubahan dari bentuk es dalam bahan yang beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses
pencairan. Freeze draying memiliki keuntungan karena daya rehidrasi yang tinggi dan volume bahan tidak berubah.
Gambar 1. Produk probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi
Isolat bakteri
Penambahan skim milk 5 % (w/w)
Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
Penambahan sodium alginat dan laktosa sebanyak 10% (w/w)
Inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam
freeze- drayer (-90 s/d -1300 C)
Pembilasan dengan CaCl2 sebanyak 5% (w/w)
Kapsulasi Gambar 2.Proses enkapsulasi probiotik (Carvalho et al. 2004)
Penghitungan Total Koloni Bakteri Analisis pertumbuhan BAL dengan metode hitungan cawan (BAM 2001). Sebanyak 1 ml kultur dipipet ke dalam pengenceran berseri hingga diperoleh pengenceran terbesar 106-108 dan dipindahkan kedalam cawan secara duplo. Metode pencawanan yang digunakan adalah metode agar tuang (pour plate) dengan MRSA sebanyak 12-15 ml. MRSA dituang ke dalam cawan petri berisi kultur dan diratakan dengan cara memutar cawan lalu dibiarkan membeku. Setelah membeku, cawan diinkubasikan dengan posisi terbalik pada suhu 370C selama 48 jam. Koloni yang dihitung berada dalam kisaran 25 – 250 koloni. Jumlah koloni dicatat dan dihitung dengan rumusan sebagai berikut: N = Σ C / [ ( 1 x n1) + ( 0.1 x n2) ] x d N ΣC n1 n2 d
: Jumlah koloni (CFU) per gram probiotik : Total seluruh koloni yang dapat dihitung : Total koloni dari pengenceran pertama yang dihitung : Total koloni dari pengenceran kedua yang dihitung : Nilai pengenceran dari penghitungan pertama yang digunakan
Uji Daya Simpan Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi Pada Suhu Ruang Uji daya simpan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi di suhu ruang 300C selama 0, 2 dan 4 minggu. Probiotik yang disimpan pada erlemeyer di suhu ruang, diamati setiap penyimpanan 0, 2 dan 4 minggu, dengan melihat pertumbuhan bakteri asam laktat menggunakan metode hitungan cawan (BAM 2001). Efek Penggunaan Probiotik terhadap Produksi, Kualitas dan Penurunan Kadar Aflatoksin M1 Pada Susu Sapi Perah
Materi 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah makanan konsentrat (Mako) Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU), rumput, probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi, larutan standar aflatoksin M1, methanol, aquabidest, acetonitril, ammonium asetat, susu sapi perah. Alat yang digunakan adalah pita ukur, gelas ukur, timbangan, seppak C18, turbovab evaporator, LC-MS/MS. Komposisi nutrien pakan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. 2. Ternak yang digunakan adalah ternak sapi perah Fries Holland (FH), terdiri dari sembilan ekor sapi perah laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5, masingmasing laktasi terdiri dari dari 3 ekor.
Tabel 1. Komposisi nutrisi hijauan dan konsentrat Analisis Pakan Abu (%) Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Lemak Kasar (%) BETN (%) TDN (%) Kalsium (Ca) (%)
Mako 12.50 18.89 11.68 7.34 63.59 73,85 0.85
Hijauan* 11.70 10.20 34.20 1.60 42.30 51.00 a 0.51 a
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNPAD (2013); (*) kandungan nutrisi rumput gajah yang dikutip dari a Rukmana (2005); ( ) kandungan nutrisi rumput gajah TDN dan Ca dikutip dari Hartadi et al. 1997
Analisis Data Data produksi susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis covarian (ANCOVA). Kualitas susu yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analyis of Variance) berdasarkan Stell dan Torrie (1993). Data yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah disajikan secara deskriptif.
Peubah yang Diamati Pada penelitian in vivo terdapat beberapa parameter yang diukur diantaranya produksi susu, kualitas susu (protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, bahan kering susu, dan laktosa) serta kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah.
Metode Kajian in vivo pada ternak sapi perah digunakan sembilan ekor sapi perah laktasi ke-1, ke-2 dan ke-5. Masing masing laktasi terdiri dari tiga ekor yang mendapatkan perlakuan kontrol, probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi yang dicampurkan ke dalam pakan konsentrat. Pemberian probiotik pada pakan konsentrat berdasarkan konsumsi pakan perhari dan masing-masing perlakuan probiotik ditambahkan sebanyak 109 cfu/g, dan probiotik enkapsulasi ditambahkan 108 cfu/g. Pemberian pakan diberikan 2 kali sehari yakni pagi dan sore, dan air minum diberikan secara ad libitum. Probiotik dicampurkan dalam pakan sapi perah pada pagi hari sebelum pakan diberikan ke ternak.
Produksi Susu Pengukuran produksi susu dilakukan untuk melihat pengaruh perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi setiap hari selama penelitian. Susu diperah pagi hari pada pukul 03.30 WIB dan sore hari pukul 14.30 WIB dan diukur dengan gelas ukur dan dicatat. Untuk menghilangkan faktor lemak, produksi yang diperoleh dikoreksi dengan 4 % FCM (fat corrected milk) rumus : metode Gaines yang telah disitir oleh (Wickes 1983).
Produksi Susu 4 FCM = (0.4 x PS) + (15 x PS x % L) Keterangan : PS = Produksi susu (kg/hari) L = % Kadar lemak susu
Pengujian Kualitas Air Susu Pengujian kualitas air susu bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi terhadap kualitas air susu. Pengujian yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, bahan kering tanpa lemak, bahan kering susu, dan laktosa.
Pengujian Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah Pengujian kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah bertujuan untuk melihat efektivitas probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah. Pengujian dilakukan menggunakan metode (AOAC 2000). Sebelum susu sapi perah dianalisa dengan LC-MS/MS, dilakukan pembuatan kurva standar aflatoksin M1 yaitu : 0,025 ppb, 0,05 ppb, 0,1 ppb, 0,25 ppb, 1 ppb, dan 2 ppb. Susu yang telah disimpan beku, dicairkan pada suhu ruang, kemudian sampel atau blanko dipipet sebanyak 5 ml ke dalam seppak C18 yang telah dikondisioning dengan menggunakan 3 ml methanol, 3 ml aquabidest. Kemudian seppak dicuci dengan 2 ml aquabidest, dan dielusi dengan 3 ml methanol:acetonitril (1:1), seppak dikeringkan dengan menggunakan turbovab evaporator pada suhu 40oC selama 60 menit. Kemudian seppak dilarutkan kembali dengan fase gerak (methanol:10 mM ammonium asetat (60:40) dan 30 µl di injeksi ke LC-MS/MS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Total Koloni Bakteri Asam Laktat (Probiotik Enkapsulasi dan Probiotik Non Enkapsulasi)
Probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi yang terdapat dalam penelitian merupakan kultur murni BAL yang terdiri dari (Lactobaccillus achidophillus, Bifidobacterium longum, Streptococcus thermophillus). Jumlah koloni dari probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi masing-masing yaitu, probiotik enkapsulasi (1.3 x 109) cfu/g dan probiotik non enkapsulasi (0.63 x 109) cfu/g. Rataan jumlah koloni BAL pada probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan jumlah koloni bakteri asam laktat starter awal Perlakuan
Jumlah koloni BAL (cfu/g)
Probiotik Enkapsulasi Probiotik Non Enkapsulasi
0.63 x 109 1.3 x 109
Ket: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB (2013).
Jumlah koloni probiotik non enkpasulasi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah koloni probiotik enkapsulasi hal ini disebabkan karena proses pengenceran dari penambahan bahan-bahan lain dalam proses enkapsulasi. Proses pengadukan dan pencampuran bahan penyalut pada probiotik menyebabkan masuknya oksigen ke dalam campuran bahan penyalut. Dengan adanya oksigen dalam bahan penyalut dapat memberikan efek racun bagi BAL yang bersifat anaerob. Pengaruh keberadaan oksigen terhadap organisme anaerob dapat menyebabkan peningkatan potensial reduksi oksidasi sehingga dapat mengganggu proses transfer elektron pada respirasi anaerob (Jay 1996). Enkapsulasi bertujuan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari kultur dan membantu melindungi sel bakteri dari lingkungan yang merugikan sehingga mampu mengurangi sel bakteri yang mati. Tamime et al. (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan probiotik enkapsulasi bertujuan dalam mengurangi kehilangan dan kerusakan sel bakteri, menstabilkan sel, dan menjaga viabilitas dan stabilitas sel sehingga sel tetap tinggi selama proses produksi. Lebih lanjut (Widodo et al. 2003) mengemukakan bahwa enkapsulasi bakteri probiotik dapat memberikan perlindungan bakteri probiotik dari pengaruh lingkungan yang ekstrim. Bahan enkapsulasi probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sodium alginate dan laktosa. Sodium alginate merupakan bahan polimer alami yang tidak beracun dan harganya murah (Sultana et al. 2000). Keuntungan penggunaan sodium alginate (membrane alginate) memberikan pengaruh difusi nutrisi dan metabolisme yang baik dalam mempertahankan pertumbuhan sel
(Reyed 2007), sedangkan penggunaan laktosa sebagai campuran bahan penyalut merupakan sumber energi bagi starter karena BAL membutuhkan laktosa sebagai nutrisi untuk mempertahankan kehidupannya (Rahman 2009). Capela et al. (2006) dalam penelitianya menggunakan alginat sebanyak 3 % dan CaCl2 0,1 M pada 200 rpm dalam melakukan enkapsulasi terhadap Lactobaccillus achidophillus dan Lactobaccillus Casei. Proses enkapsulasi dapat meningkatkan viabilitas probiotik pada yoghurt selama pengeringan beku dan penyimpanan selama enam bulan pada suhu 4 dan 210C. Hasil enkapsulasi probiotik berbentuk granul dengan warna putih kekuningan, berbentuk bulat memiliki diameter ± 0,5 cm. Bentuk bulat yang dihasilakan dalam proses enkapsulasi disebabkan pada saat penetesan ke dalam CaCl2. Warna yang dihasilkan adalah warna yang berasal dari sodium alginate yang berwarna putih kekuningan (Fardiaz 1991).
Uji Daya Simpan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Pada Suhu Ruang
Perubahan pupulasi probiotik yang dikapsul dan non enkapsulasi selama penyimpanan disajikan pada Tabel 3. Viabilitas probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 0,2 dan 4 minggu mengalami penurunan, masing - masing probiotik enkapsulasi dari 2.2x109 - 0.93x109 cfu/g, dan probiotik non enkapsulasi dari 1.1x109 - 0.76x109 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya aktivitas bakteri asam laktat (BAL) selama proses penyimpanan. Menurut Widiowati dan Misgiyarta (2007), selama proses penyimpanan bakteri asam laktat mengubah gula dalam susu (laktosa) hingga menghasilkan energi dan asam laktat. Menurut Fardiaz (1998), kematian bakteri disebabkan karena nutrien di dalam medium dan energi cadangan sel telah habis. Tabel 3.Uji daya simpan probiotik pada suhu ruang Daya Simpan Probiotik (Minggu) 0 2 4
Probiotik (cfu/g) Enkapsulasi
Non Enkapsulasi
2.2x109 1.9x109 0.93x109
1.1x109 1.1x109 0.76x109
Keterangan: Hasil analisis dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB 2013.
Periode penyimpanan yang lama akan menghasilkan total BAL yang rendah baik probiotik enkapsulasi maupun probiotik non enkapsulasi, hal ini disebabkan oleh berkurangnya kandungan nutrisi produk selama penyimpanan karena proses fermentasi terus berlangsung. Kestabilan bakteri asam laktat (BAL) pada probiotik enkapsulasi menurun pada minggu ke-2 sebesar 13.63 % dan pada minggu ke-4 sebesar 51.05 %, lain halnya dengan probiotik non enkapsulasi tetap stabil pada minggu ke-2 dan mengalami penurunan pada minggu ke-4 sebesar
30.90 %. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thalib et al. (2001a;2001) populasi mikroba non enkapsulasi mengalami penurunan 30 % dari populasi awal sedangkan, mikroba yang dienkapsulasi relatif stabil. Winugroho dan Mariyati (2001) melaporkan Bioplus yang disimpan dalam suhu ruang, maka populasi mikroorganisme di dalamnya berkurang hingga 50%. Total koloni yang dihasilkan selama penyimpanan mengalami penurunan, Meskipun demikian jumlah populasi akhir dari bakteri probiotik masih memenuhi syarat yang dibutuhkan yang mana jumlah populasi bakteri probiotik pada produk yaitu sebesar 107 cfu/g. International Dairy Federation merekomendasikan, bakteri akan aktif dan berkembang minimal memiliki 10 7 cfu/g (Sultana et al., 2000).
Efek Penggunaan Probiotik secara in vivo terhadap Produksi, Kualitas Susu dan Penurunan Kadar Aflatoksin M1 Pada Sapi Perah
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Produksi Susu Hasil percobaan in vivo dengan tujuan melihat pengaruh penambahan probiotik dan probiotik enkapsulasi pada pakan sapi perah terhadap produksi susu disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Produksi susu terkoreksi lemak 4 % dari ternak yang mendapat perlakuan probiotik (kg/hari)
Perlakuan
Kontrol
Probiotik Enkapsulasi
Probiotik Non Enkapsulasi
Produksi Susu Awal
13.89 17.79 15.70 11.60 15.97 17.89 7.94 17.00 11.05
Produksi Susu Akhir
4 % FCM 15.57 ±15.79 19.72 15.94 12.27 ±15.15 16.67 19.42 8.59 ±12.00 17.28 11.68
Delta Produksi Susu
±17.08
1.28
±16.12
0.97
±12.52
0.52
Produksi susu terkoreksi lemak merupakan produksi susu yang dilihat dari kondisi energi yang terkandung didalam air susu. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa rataan produksi susu sapi perah terkoreksi lemak 4% yang diberikan perlakuan probiotik non enkapsulasi dan probiotik enkapsulasi tidak nyata mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Produksi susu awal yang
diberi perlakuan probiotik enkapsulasi berkisar ± 15.79 (kg/hari), probiotik non enkapsulasi ± 15.15 (kg/hari), lain halnya dengan perlakuan kontrol produksi susu berkisar ± 15.79 (kg/hari). Rataan produksi susu akhir setelah mendapat perlakuan probiotik enkapsulasi berkisar ± 17.08 (kg/hari), probiotik non enkapsulasi ± 16.12 (kg/hari), dan perlakuan kontrol produksi susu berkisar ± 12.52 (kg/hari). Produksi susu biasanya cukup tinggi setelah enam minggu masa laktasi hingga mencapai produksi maksimum, setelah itu terjadi penurunan produksi secara bertahap sampai akhir masa laktasi. Delta produksi susu menunjukkan atau menggambarkan efek pemberian probiotik terlihat bahwa produksi susu sapi yang mendapat perlakuan probiotik enkapsulasi adalah 0.97 (kg/hari), dan yang mendapat perlakuan probiotik non enkapsulasi berkisar 0.52 (kg/hari), sedangkan tanpa perlakuan probiotik adalah 0.97 (kg/hari). Menurut Blakely dan Bade (1994), penurunan produksi susu setelah mencapai puncak laktasi kira-kira 6% setiap bulannya. Produksi susu total untuk setiap periode laktasi bervariasi, pada umumnya puncak produksi dicapai pada umur 6-7 tahun atau pada laktasi ketiga dan keempat. Dalam penelitian ini produksi susu sapi yang diukur pada bulan ke 6 dan berada pada masa laktasi 1, 2 dan 5. Masa laktasi merupakan masa sapi sedang menghasilkan air susu antara waktu melahirkan hingga masa kering. Persentase air susu terlihat rendah diawal bulan laktasi pertama dan secara berangsur-angsur akan meningkat pada pertengahan dan akan mengalami penurunan sampai akhir laktasi. Faktor lain yang mempengaruhi produksi susu sapi perah diantaranya adalah suhu dan kelembaban udara karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas pada tubuh ternak.
Efek Penggunaan Probiotik Terhadap Kualitas Susu Kualitas susu digambarkan oleh komponen yang terkandung seperti BKTL, lemak, protein, laktosa, BK. Hasil pengujian kualitas susu dari sapi – sapi yang mendaptkan perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Kualitas susu sapi perah Peubah BKTL % Lemak % Protein % Laktosa % BK %
Probiotik Kontrol 8.64±0.35 3.91±0.69 3.81±0.14 4.09±0.17 12.55±0.43
Enkapsulasi 8.88±0.68 3.91±0.35 3.91±0.35 4.21±0.21 13.06±0.38
Non Enkapsulasi 8.99±0.38 3.81±0.29 3.96±0.29 4.26±0.32 12.79±0.47
Keterangan: Hasil analisis Laboratorium Perah Fapet-IPB (2013).
SNI 7.8 3.0 2.8 -
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi tidak nyata pengaruhnya (P>0,05) terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Sidik (2003) manyatakan, bahwa faktor jumlah dan kualitas pakan, bulan laktasi, fase laktasi dan bangsa sapi perah mempengaruhi produksi susu sapi perah. Namun demikian kisaran kualitas susu tidak berbeda jauh seperti yang direkomendasikan oleh SNI (2011), yaitu kadar lemak minimum 3.0 %, bahan kering tanpa lemak (BKTL) minimum 7.8 %, dan kadar protein minimum 2.8 %. Menurut Widiawati dan Winugroho (2007) manyatakan bahwa pemberian probiotik (Bioplus, S. cerevisiae dan C. utilis) mampu meningkatkan kadar lemak dari 2,92 menjadi 3,03%. Rataan kualitas susu sapi perah yang mendapat perlakuan kontrol, dan juga probiotik sama-sama berada diatas SNI (Standar Nasional Indonesia). Hal ini juga dipengaruhi oleh pemberian pakan yang sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu, dan produksi susu (Sudono et al. 2003). Kebutuhan sapi perah akan pakan memiliki hubungan erat dengan kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi, dan produksi air susu. Dalam penelitian ini yang berbeda adalah masa laktasi sapi yakni berada pada masa laktasi pertama, kedua, dan kelima sehingga mempengaruhi terhadap kualitas susu yang dihasilkan.
Efek Penggunaan Probiotik dan Probiotik Enkapsulasi Terhadap Kadar Aflatoksin M1
Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur Aspergillus flavus dan A.parasiticus (Wrather dan Sweet 2006). Aflatoksin selain dapat menyebabkan penyakit juga dapat mengakibatkan kematian jika bahan makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (Cast 1999). Pakan ternak yang terkontaminasi aflatoksin dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi oleh ternak. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan mengganti pakan yang sudah terkontaminasi aflatoksin dengan pakan yang baru. Aflatoksin M1 dan aflatoksin M2 diisolasi pertama kali dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Pakan yang terkontaminasi aflatoksin tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium. Tabel 6. Kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah Masa Laktasi
Kontrol
1 2 3
0,061 0,050 0,054
Probiotik Enkapsulasi Non Enkapsulasi 0,027 0,031 <0,025 <0,025 <0,025 <0,025
Keterangan; LOD (limit of detection) 0,025 ppb: hasil analisis Laboratotium Kesehatan Daerah Jakarta (2013).
Pada penelitian ini digunakan probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi untuk menurunkan kadar aflatoksin M1 (AFM1) pada susu sapi perah. Seperti terlihat pada Tabel 6, konsentrasi aflatoksin M1 pada kelompok perlakuan yang diberi probiotik non enkapsulasi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Bahkan pada pemberian probiotik enkapsulasi dapat menurunkan residu AFM1 sampai pada level tidak terdeteksi (<0,025 ppb). Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa bakteri asam laktat yang terkandung dalam probiotik enkapsulasi dan probiotik non enkapsulasi mempunyai potensi untuk menurunkan residu AFM1 dibandingkan dengan kontrol. Beberapa mikroorganaisme dilaporkan pula mampu mengurangi cemaran aflatoksin baik secara in vitro maupun in vivo (Pierides et al. 2000; Kankaankaa et al. 2000), salah satu diantaranya adalah bakteri asam laktat (Lactobacillus spp). Aflatoksin M1 yang tercemar pada media cair dapat dikurangi dengan pemanfaatan beberapa strain bakteri asam laktat seperti Lactobacillus acidophilus, Lactobaccillus gasseri, Lactobaccillus rhamnosus, Lactobaccillus lactis (ElNezami et al. 1998). Proses pengikatan aflatoksin oleh bakteri belum diketahui pasti, tapi secara in vitro molekul aflatoksin diperkirakan akan terikat pada permukaan komponen sel bakteri dan menurunkan perlekatan bakteri pada sel epithel usus (Kankaapaa et al. 2000). Hasil analisa aflatoksin M1 pada susu sapi yang dihasilkan berada dibawah SNI. Batas konsentrasi residu maksimum untuk aflatoksin M1 dalam susu atau produk yang dihasilkan dari susu sebesar 1 µg/L atau 1 ppb (Indonesia), 0,5 µg/L (FDA, Amerika) dan 0,05 µg/L (Negara Uni Eropa). Dampak dari residu aflatoksin perlu diperhatikan secara biologis walaupun berada dibawah standar yang ditetapkan. Hal ini disebabkan aflatoksin memiliki sifat hepatotoksik dan hepatokarsinogenik dan juga berbahaya bagi manusia, oleh karena itu adanya aflatoksin yang tercemar pada produk dan makanan ternak tetap harus diwaspadai agar cemaran aflatoksin pada produk hasil olahan dapat diturunkan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Efektivitas probiotik tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi susu yang dihasilkan, dan mempengaruhi terhadap kualitas susu yang melebihi batas minimum SNI 2011. Kadar aflatoksin M1 terlihat mengalami penurunan setelah diberikan probiotik. Probiotik enkapsulasi lebih stabil selama penyimpanan 4 minggu.
Saran Pemberian probiotik untuk menurunkan kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah dapat diberikan pada pakan ternak yang tercemar aflatoksin B1. Pemanfaatan probiotik dalam pakan sapi perah perlu diuji dengen level pemberian yang berbeda sehingga tujuan produksi dan kualitas yang baik dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Abdulrazzaq YM, Osman Y, Yousif ZM, Trad O. 2004. Morbidity in neonates of mothers who have ingested aflatoxins. Ann Trop Paediatr. 24(2): 145 – 151. Anal AK, Singh H. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics for industrial application and targeted delivery. J. Food Sci. Technol. 18 : 240251. AOAC. 2000. Aflatoxins M1 and M2 in fluid milk. Liquid Chromatographic Method. 49.3.06. Natural Toxins. AOAC Official Method 982.16. 26th E. Chapter 49. p. 40. Bahri S, Ohim, Maryam R. 1994. Residu aflatoksin M1 pada air susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan aflatoksin B1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia 1 dan Temu Ilmiah. Bogor, 21−24 Juli 1994. hlm. 269−275. BAM. 2001. Bacteriological Analytical Manual, Chapter 7. Campylobacter. http://www.cfan.fda.gov/~ebam/bam.html [22 September 2011]. Beuchat LR. 2000. Peanut microbiology: a focus on aflatoxin. A paper presented at the Training- Workshop on Control of Aflatoxin in Raw Peanuts Through Proper Sorting. July 31 to August 1,2000. Food Development Center, FTI Complex, Taguig, Metro Manila. Blakely J, Bade DH. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Capela P, Hay TKC, Shah NP. 2006. Effect of cryoprotectants, prebiotics and microencapsulation on survival of probiotic organisms in yoghurt and freeze-dried yoghurt. Food Res. Int., 39: 203-211. Carvajal M, Bolanos A, Rojo F, Mendez I. 2003. Aflatoxin M1 in pasteurized and ultrapasteurized milk with different fat content in Mexico. J Food Protect 66: 1885-1892. Carvalho AS, Silva J, Ho P, Teixeira P, Malcata FX, Gibbs P. 2004. Relevant factors for the preparation of freeze-dried lactic acid bacteria. Int. Dairy J 14:835–847. Cary JW, Klich MA, Beltz SB. 2005. Characterization of aflatoxinproducing fungi outside of Aspergillus section Flavi. Mycologia 97 (2): 425-432. CAST (Council for Agricultural Science and Technology). 1999. Mycotoxineconomic and health risk. Task Force Report No. 116. CAST. Ames. Iowa. Ceigler A, Lillehoj B, Peterson RE, Hall HH. 1996. Microbia l detoxication of aflatoxin. Appl. Microbial. 14:934-939. Davis FL, Gasson. 1981. Reviews of the progress of dairy science: Genetics of lactic acid bacteria. Journal of Diary Review 48:363-376. Dewanti-Hariyadi R. Andjaya N, Suliantari dan Nuraida L. 2001. Teknologi Fermentasi: Penuntun Praktikum. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. El-Nezami H, Kankaanpaa P, Saminen S, Ahoras J, 1998. Physico-chemical alterations enhance the ability of dairy strains of lactic acid bacteria to remove aflatoxin from contaminated media. J. Food Prot. 61 :466-468.
Fardiaz S. 1998. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Hartadi HS, Reksohadiprojo, Tillman DA. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. IARC, 1993. IARC Monographs on the evaluation of carcinogenic risks to human. Vol. 56. Some naturally occurring substances: food items and constituents, heterocyclic aromatic amines and mycotoxins. International Agency for Research on Cancer, Lione. Ito Y, Peterson SW, Wicklaw DT, Goto T, 2001. Aspergillus pseudotamarii, a new aflatoxin producing sp. Mycology Research, No.105, pp. 233-239. Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. 4th Edition. Van Nostrand Company, New York. Kailasapathy K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: Technology and potential applications. Current Issues in Intestinal Microbiology, 3, 39–48. Kankaanpaa P, Tuomola E, El-Nezami H, Ahokas J, Salminen SJ. 2000. Binding of aflatoxin B1 alters the adhesion properties of Lactobacillus rhamnosus strain GG in a caco-2 model. J. Food Prot. 63 (3):412-414. Kiermeier F, Weiss G, Behnringer G, Miller M, Ranfft K, 1977. On the presence and the content of aflatoxin M1 in milk shipped to a dairy plant. Z. Lebensmitt.- Unters.-Forsch. 163:171-174 (in German). Kurtzman CP, Horn BW, Hesseltine CW. 1987. Aspergillus nomius, a new aflatoxin-producing species related to Aspergillus flavus and Aspergillus tamarii. Antonie van Leeuwenhoek 53 (3):147-158. Lian WC, Hsio HC, Chou CC. 2002. Survival of Bifidobacterium longum after spray drying. Int J Food Microbiol 74:79-86. Lopez C, Ramos L, Ramadan S, Bulacio L, Perez J. 2001. Distribution of aflatoxin M1 in cheese obtained from milk artificially contaminated. International Journal of Food Microbiology, No. 64, pp. (211–215). Muriana PM, Klaenhammer TR. 1987. Conjugal transfer of plasmid encended determinants for bacteriocin production and immunity in Lactobacillus acidophillus 88. Aplied and Enviromental Microbiology 53: 552-560. Pierides MH, El-Nezami K, Peltonen S, Salminen, Ahokas J, 2000. Ability of dairy strains of lactic acid bacteria to bind aflatoxin M1 in a food model. J Food Prot. 63(5):645 – 650. Rahman. 2009. Karakteristik Mikrobiologis Kultur Starter Kering Kefir dengan Sinbiotik Terenkapsulasi dalam Bentuk Granul. Skripsi. Institut Pertanian Bogor Rukmana R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Reddy SV, Waliyar F. 2000. Properties of Aflatoxin and It Producing Fungi. Aflatoxin. Int. Crops Res. Inst. for the Semi-Arid Tropics. Reyed M. Reyed. 2007. Novel hybrid entrapment approach for probiotik cultures and its aplication during lyophilization. The internet journal of biological anrthropologyTM ISSN: 1937-8289. Bangalore, India. Rokka S, Rantamaki P. 2010. Protecting probiotic bacteria by microencapsulation: Challenges for industrial applications. Eur. Food Res. Technol. 231: 1-12. Ruiqian L, Qian Y, Thanaboripat D, Thansukon P. 2004. Biocontrol of Aspergillus flavus and aflatoxin production. KMITL Sci J 4, 1685–2044.
Rukmana R. 2005. Rumput Unggul Hijauan Makanan Ternak. Penerbit Kanisius. Yogjakarta. Rustom IYS. 1997. Aflatoxin in food and feed :occurrence, legislation and inactivation by physical methods . Food Chem. 59:57-67. Sidik R. 2003. Estimasi Kebutuhan Net Energi Laktasi Sapi Perah Produktif Yang Diberi Pakan Komplit Vetunair. Media Kedokteran Hewan. Vol.19, No.3. Universitas Airlangga. Surabaya. P 135-138. SNI. 2001. Standar Nasional Indonesia. Batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal hewan. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. hlm. 7. SNI. 2011. Standar Nasional Indonesia. Persyarataan mutu susu segar. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Hlm 8. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika (Pendekatan Biometrik) Penerjemah B. Sumantri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stoloff L, Trucksess M, Hardin N, Francis OJ, Hayes JR, Polan CE, Campbell TC. 1975. Stability of aflatoxin M in milk. J Dairy Sci. 58(12): 1789 – 1793. Sudjatmogo. 1998. Pengaruh Superevolusi dan Kuantitas Pakan Meningkatkan Produksi Susu dan Daya Tahan Hidup Anak Domba sampai Umur Sapih. Disertasi. Program Pascasarjana. Institu Pertanian Bogor. Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta : Agromedia Pustaka. Sultana KG, Godward N, Reynolds R, Arumugaswamy P, Peiris, Kailasapathy K, 2000. Encapsulation of probiotic bacteria withalginate-starch and evaluation of survival in simulated gastro intestinal condition and in yoghurt. Int. J. Food Microbiol. 62:47–55. Tamime AY, Saarela M, Sondergaard AK, Mistry VV, Shah NP. 2005. Production and maintenance of viability of probiotic micro-organismn in dairy products. Didalam: Tamime AY, editor. Probiotic Dairy Products. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.hlm 39-63. Thalib A, Bestari J, Widiawati Y, Hamid H, Suherman D. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cema dan ekosistem rumen sapi . JITV 5 : 1-6. Toteja GS, Mukherjee A, Diwakar S, Singh P, Saxena BN. 2006. Aflatoxin B1 contamination in wheat grain samples collected from different geographical regions of India: A multicenter study. J. Food Protect., 69: 1463-1467. Wickes RB. 1983. Feeding experiment with dairy catlle. In. Dairy Catlle Reaserch Techniques. Edited by Termouth-Queensland of Primary Industries, Australia. Widiawati Y, Winugroho M. 2007. Pengaruh pemberian konsentrat fermentasi dan probiotik terhadap produksi susu sapi perah di Pondok Rangon. Prosiding Seminar Sapii Perah. 2006. (in press). Widodo, Soeparno E, Wahyuni, 2003. Bioenkapsulasi probiotik (Lactobacillus casei) dengan pollard dan tepung terigu serta pengaruhnya terhadap viabilitas dan laju pengasaman. J.Tek. dan Industri Pangan 14:98-106.
Widowati S, Misgiyarta. 2007. Efektifitas Bakteri Asam Laktat (BAL) dalam Pembuatan Produk Fermentasi Berbasis Protein/Susu Nabati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.Jakarta. Winarno FG. 1996. Peranan undang-undang pangan dalam usaha melindrmgi konsumen. Kumpulan Makalah Peranan Pengawasan Mutu untuk Peningkatan dan Pengendalian Produk Pangan dalam Menyongsong UU Pangan dan Pasar Bebas. Jakarta, November 1996. Winugroho M, Mariyati S. 2001. Konsistensi keefektifan bioplus serat selama masa simpan pada suhu ruang. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Bogor, 17-18 Sept . 2001 . Puslitbang Peternakan, Bogor. him. 214-218. Wrather JA, Sweet LE. 2006. Aflatoxin in Corn. Jefferson City: Delta Research Center. Missouri Agricultural Experiment Station. MU College of Agriculture, Food and Natural Resource.
LAMPIRAN Lapiran 1 Analisis covarian produksi susu Dependent Variable:PSA Jumlah Derajat Kuadrat Sumber Kuadrat type II Bebas Tengah a Corrected Model 73.915 3 24.638 Intercept .001 1 .001 RPS5H 53.248 1 53.248 Perlakuan .263 2 .132 Error 2.085 5 .417 Total 1925.000 9 Corrected Total 76.000 8 a. R Squared = ,973 (Adjusted R Squared = ,956)
F
Sig.
59.072 .002 127.667 .315
.000 .964 .000 .743
F
Sig.
Lampiran 2 Analisis produksi susu 4 % FCM Produksi Susu terkoreksi 4% FCM Between-Subjects Factors N Perlakuan
1
3
2
3
3
3 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:prodsusu Source Corrected Model Intercept Ulangan Perlakuan Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares
Df
Mean Square
a
57.008 375.174 5.245 51.762
3 1 1 2
19.003 375.174 5.245 25.881
34.986
5
6.997
2174.699
9
91.994
8
a. R Squared = ,620 (Adjusted R Squared = ,392)
2.716 53.618 .750 3.699
.155 .001 .426 .103
Lampiran 3 Analisis ragam kadar lemak susu Sumber Between Groups Within Groups Total
Jumlah Kuadrat .620 .977 1.597
Derajat Bebas 2 6 8
Kuadrat Tengah .310 .163
F
Sig.
1.905
.229
Duncan
perlakuan N 1 3 3 3 2 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Subset for alpha = 0.05 1 3.6167 4.0433 4.2467 .114
Lampiran 4 Analisis ragam kadar protein susu
Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Between Groups
.046
2
.023
.496
.632
Within Groups
.279
6
.047
Total
.325
8
Duncan
PERLAKUAN 2
N
Subset for alpha = 0.05 1
3
3.8133
1
3
3.8767
3
3
3.9867
Sig.
.377
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 5 Analisis ragam kadar laktosa susu
Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Between Groups
.049
2
.024
.427
.671
Within Groups
.344
6
.057
Total
.393
8
Duncan Subset for alpha = 0.05 1 4.1000 4.1767 4.2800 .407
PERLAKUAN N 2 3 1 3 3 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 6 Analisis ragam bahan kering tanpa lemak Sumber Between Groups Within Groups Total
Jumlah Kuadrat .234 1.582 1.816
Derajat Bebas 2 6 8
Kuadrat Tengah
F
Sig.
.117 .264
.444
.661
Duncan
PERLAKUAN 2 1 3
N 3 3 3
Subset for alpha = 0.05 1 8.6467 8.8133 9.0400
Sig.
.399
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Lampiran 7 Analisis ragam bahan kering susu
Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F
Sig.
Between Groups
.678
2
.339
2.493
.163
Within Groups
.816
6
.136
Total
1.493
8
Duncan
PERLAKUAN N 1 3 2 3 3 3 Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Subset for alpha = 0.05 1 12.4300 12.8933 13.0833 .081