EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK TERENKAPSULASI TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH
BUDI WARDIMAN
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Pemberian Probiotik Terenkapsulasi terhadap Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Budi Wardiman NIM D24100048
ABSTRAK BUDI WARDIMAN. Efektivitas Pemberian Probiotik Terenkapsulasi terhadap Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah. Dibimbing oleh SURYAHADI dan SRI SUHARTI. Rendahnya produksi susu nasional menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan susu dalam negeri. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh suplementasi probiotik Bakteri Asam Laktat (BAL) dan MR4 terenkapsulasi terhadap produksi, kualitas serta kadar aflatoksin M1 susu. Kultur BAL yang digunakan adalah Lactobacillus acidophyllus, Bifidobacterium longum dan Streptococcus thermophylus, sedangkan MR4 berasal dari mikroba rumen sapi perah yang mampu mendegradasi aflatoksin. Penelitian ini menggunakan sapi perah FH sebanyak 10 ekor yang dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kontrol dan pemberian probiotik 0.2% bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik dengan teknik enkapsulasi mampu meningkatkan viabilitas sel bakteri selama masa freeze drying. Selain itu, pemberian probiotik mampu meningkatkan produksi susu secara signifikan sebesar 29.21% serta mempengaruhi secara nyata kadar lemak susu sebesar 9.62%, sedangkan densitas, solid, laktosa dan protein tidak dipengaruhi secara statistik, namun terjadi peningkatan berturut-turut sebesar 1.18%, 1.57%, 1.21% dibandingkan kontrol. Efek pemberian probiotik terhadap kadar aflatoksin M1 susu sapi perah menunjukkan hasil di bawah LOD (<0.025 ppb) sehingga tidak terdeteksi. Kata kunci: aflatoksin, enkapsulasi, probiotik, suplemen
ABSTRACT BUDI WARDIMAN. The Effect of Encapsulated Probiotics Suplementation on Milk Yield and Quality of Dairy Cow. Supervised by SURYAHADI and SRI SUHARTI. The high demand of milk is not-fulfilled by the ability of farmers to produce quality milk. The objectives of this research were to examine the effect of encapsulated probiotic supplementation on yield, quality and level of M1 aflatoksin contamination of dairy cow. This research used three species of lactic acid bacteria, i.e Lactobacillus acidophyllus, Bifidobacterium longum, dan Streptococcus thermophylus, such as rumen microbe (MR4) which have ability to degrade M1 aflatoxin. Sodium alginate, lactose, canola oil, Hi-maize and lechitin were used as a coating. Ten cows of Friesien Holland were divided into two treatment groups i.e control and probiotic supplementation 0.2% dry matter. The result showed that encapsulation improved microbe viability during freezedrying processing. The addition of probiotic significant increased (P<0.05) milk production up to 29.21% and improved the quality of milk fat up to 9.62%. The density, lactose, solid and protein were similar among treatments. Keywords: aflatoksin, encapsulation, probiotics, supplementation
EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK TERENKAPSULASI TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI PERAH
BUDI WARDIMAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Efektivitas Pemberian Probiotik Terenkapsulasi terhadap Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah Nama : Budi Wardiman NIM : D24100048
Disetujui oleh
Dr Ir Suryahadi DEA Pembimbing I
Dr Sri Suharti, S.Pt. M.Si. Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Panca Dewi M.H.K.S, Msi Ketua Departemen
Tanggal Lulus: (
)
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeleseaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Efekitivitas Pemberian Probiotik Terenkapsulasi terhadap Produksi dan Kualitas Susu Sapi Perah.” Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh suplementasi probiotik terenkapsulasi terhadap produksi, kualitas serta pernurunan kadar aflatoksin pada susu dapi perah. Dewasa ini, kebutuhan masyarakan akan pangan yang bernilai gizi tinggi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu pangan yang berasal dari peternakan adalah susu. Produksi susu di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan susu dalam negeri, sehingga ketergantungan terhadap susu impor masih terbilang tinggi. Hal ini disebabkan karena ketersediaan hijauan pakan ternak yang berkualitas baik, sulit didapatkan terutama pada musim kemarau. Selain itu, banyaknya cemaran seperti aflatoksin pada pakan juga mengakibatkan menurunnya produksi dan kualitas susu. Aflatoksin ini juga dapat meninggalkan residu metabolit pada produk ternak, seperti daging, telur dan susu. Pangan yang tercemar aflatoksin ini dapat menimbulkan berbagai macam penyakit pada manusia. Sehingga dibutuhkan suplemen makanan yang dapat meningkatkan kinerja rumen dan usus, yaitu probiotik. Probiotik juga mampu menghambat penyerapan aflatoksi di dalam usus. Akan tetapi di lapangan probiotik ini memiliki kekurangan, yaitu tidak tahan terhadap daya simpan. Dalam meningkatkan daya viabilitas bakteri probiotik perlu adanya suatu teknik yang dikenal dengan istilah mikroenkapsulasi. Pengujian probiotik ini dilakukan dengan mencampurkan probiotik pada pakan yang diuji secara in vivo. Penulis menyadari penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca secara umumnya.
Bogor, Desember 2014 Budi Wardiman
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE
2
Lokasi dan waktu penelitian
2
Alat dan bahan
2
Prosedur penelitian
Error! Bookmark not defined.2
Prosedur pengukuran HASIL DAN PEMBAHASAN
5 6
Efek freezdrying terhadap viabiltas bakteri probiotik enkapsulasi dan nonenkapsulasi 6 Pengaruh probiotik enkapsulasi terhadap produksi susu sapi perah
8
Pengaruh suplementasi probiotik terhadap kualitas susu
9
Pengaruh suplementasi probiotik terhadap kadar aflatoksin M1 SIMPULAN DAN SARAN
10 10
Simpulan
10
Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
11
LAMPIRAN
13
RIWAYAT HIDUP
17
DAFTAR TABEL 1 Viabilitas probiotik BAL, MR4 dan MR2 terenkapsulasi dan nonenkapsulasi selama masa freezdrying 6 2 Rataan dan simpangan baku produksi 4% FCM (Kg) dan kualitas Susu sapi perah 9
DAFTAR GAMBAR 4 1 Alur proses enkapsulasi bakteri MR2 dan MR4 2 Kondisi sel bakteri terenkapsulasi 4 3 Rataan produksi harian susu 4% FCM selama 20 hari setelah masa adaptasi pada kontrol dan perlakuan 8
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hasil perhitungan lemak susu secara statistik Rataan dan simpangan baku kadar lemak Hasil perhitungan produksi susu secara statistik Rataan dan simpangan baku kadar solid Hasil perhitungan kadar solid secara statistik Hasil perhitungan kadar density secara statistik Rataan dan simpangan baku kadar density Rataan dan simpangan baku kadar laktosa Hasil perhitungan kadar laktosa secara statistik Rataan dan simpangan baku kadar protein Hasil perhitungan kadar protein secara statistik
13 13 13 14 14 14 15 15 15 15 16
PENDAHULUAN Konsumsi susu nasional terbilang sangat rendah bila dibandingkan dengan negara negara berkembang lainnya, yaitu hanya 8 Liter kapita-1tahun-1 itu pun sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu. Konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura rata-rata mencapai 30 Liter kapita-1tahun-1, sedangkan negara- negara Eropa sudah mencapai 100 Liter kapita-1tahun-1. Produksi susu dalam negeri hanya berkisar 3,29% pada tahun 2014. Ini artinya sekitar 80% kebutuhan susu dipenuhi oleh impor. Produksi rata-rata sapi di Indonesia hanya sekitar 10-12 Liter ekor1 hari-1 (Kementan, 2014).. Ketidakmampuan peternak didalam memenuhi kebutuhan susu dalam negeri ini disebabkan karena belum optimalnya usaha peternak di dalam meningkatkan produktivitas sapi perah di Indonesia. Selain itu, rendahnya kualitas pakan serta kurangnya ketersediaan rumput juga ditengarai sebagai akar dari permasalahan ini. Selain itu permasalahan lain adalah banyaknya ditemukan cemaran kapang dan aflatoksin pada pakan. Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah, jagung, dan hasil olahannya, serta pakan ternak (Tajik et al. 2007). Hewan ternak yang mengonsumsi pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk ternak seperti susu yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti kelesuan, radang hati, dan kematian (Siregar 1986).Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan suplemen makanan yaitu probiotik. Terdapat bukti mengenai manfaat dari probiotik dalam memperbaiki kesehatan, produktivitas, dan kualitas susu sapi perah. Keuntungan dalam mengkonsumsi bakteri probiotik menurut Wahyudi dan Samsundari (2008) antara lain: meningkatkan pertumbuhan inang, memperbaiki penggunaan nutrisi makanan, meningkatkan kesehatan. Selain itu, pemberian probiotik sebagai suplemen makanan mampu menurunkan kadar aflatoksin pada susu, karena mampu mengikat aflatoksin dan menghambat penyerapannya di usus (Simanjuntak 2005). Sebagian besar probiotik yang digunakan tergolong bakteri termasuk dalam spesies Lactobaccillus spp Bifidobacterium spp dan Streptococcus thermophillus. Mikroba rumen juga memiliki potensi untuk dijadikan probiotik. Mikroba rumen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan isolat mikroba yang diseleksi dari rumen sapi perah yang memiliki kemampuan dalam mendegradasi aflatoksin (Sisrieni, 2013). Salah satu kendala yang dihadapi dalam penggunaan probiotik dilapangan adalah masa simpan. Probiotik mudah rusak bila disimpan pada ruangan terbuka. Mikroba rumen merupakan bakteri anaerob yang tidak memungkinkan untuk disimpan dalam keadaan terbuka karena akan menyebabkan mikroba mati. Sehingga, perlu digunakan teknologi yang mampu melindungi probiotik dari lingkungan ekstrem dan mampu melewati rumen, yaitu dengan teknik enkapsulasi. Enkapsulasi probiotik telah banyak dilakukan untuk meningkatkan ketahanan atau viabilitas sel probiotik selama proses pembuatan produk dan penyimpanan (Capela et al. 2006), serta meningkatkan ketahanan selama dalam jalur pencernaan (pH rendah dan cairan empedu) (Picot dan Lacroix 2004). Prinsip dari enkapsulasi adalah bahan pengkapsul yang digunakan mampu meliputi permukaan inti bakteri sehingga bakteri lebih tahan terhadap lingkungan dan kekurangan nutrisi. Bahan pengkapsul yang digunakan biasanya berbentuk polisakarida yang diekstrak dari rumput laut seperti natrium alginate (Rokka dan Rantamaki 2010). Keunggulan dari natrium alginat ini
adalah perubahannya menjadi hydrogel dengan 95% molekul air di dalamnya yang merupakan syarat penting dalam menjebak senyawa. Ketika natrium alginat bertemu dengan kation divalent seperti Ca+2 menghasilkan pembentukan gel dimana residu G dari alginat yang mengikat ion Ca+2 (Wang et al., 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efektivitas pemberian probiotik BAL dan Mikroba Rumen yang terenkapsulasi dalam meningkatkan kualitas, produksi serta penurunan kadar aflatoksin susu sapi perah.
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2013 di Laboratorium Biokimia dan Mikrobiologi Nutrisi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fapet, Laboratorium Mikrobiologi Pangan L1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Southeast Asia Food and Agriculture Science and Technology Center (SEAFAST), Institut Pertanian Bogor, serta Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah (KUNAK). Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan antara lain erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, timbangan analitik, inkubator, autoclave, refrigerator, vortex, freezer -4oC, gas CO2, tabung schoot, pipet mikro, erlenmeyer, tabung seperator, spektrofotometer, laminar airflow, magnetic stirrer, lactoscan dan freezedryer. Bahan yang digunakan antara lain Brain Heart Infunsion (BHI), glukosa, cellebiosa, silosa, pati, cystein-HCl, agar bacto, resazurin, hemin, alkohol 75%, MgSO4.7H2O, gliserol 80%, deMann Rogossa Sharp Broth (MRSB), K2HPO4, NaCl, KH2PO4, CaCl2, cystein.HCl.H2O, Na2CO3, larutan NaCl 1%, larutan HCl 1%, larutan NaOH, gas CO2. Bahan penyalut yang digunakan dalam proses mikroenkapsulasi, antara lain susu skim, sodium alginat, laktosa, Hi-maize, kultur, canola oil, CaCl2 0.1 M, lecitin, larutan salin dan gliserol. Bakteri kandidat probiotik yang digunakan adalah 1) dua jenis isolat mikroba rumen yang mampu mendegradasi aflatoksin dalam rumen, yaitu MR2 dan MR4 (Dwi 2014), dan 2) Kultur murni Bakteri Asam Laktat (BAL) yang diperoleh dari UGM Yogyakarta yaitu L. acidophyllus, B. longum dan S. thermophylus. Prosedur Penelitian Enkapsulasi Probiotik BAL (Dewanti dan Hariyadi et al. 2001; Carvalho et al. 2004) Proses enkapsulasi BAL dilakukan dalam kondisi aerob dan steril. Semua alat dan larutan yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu dengan autoclave 121oC selama 15 menit. Sebelum dilakukan pengeringan beku dilakukan produksi biomassa sel bakteri asam laktat. Kultur diaktivasi dengan menggunakan media MRSB. Ketiga bakteri yang telah diaktivasi pada MRSB, diinokulasikan pada media susu yang telah disterilisasi. Media ini terbuat dari 12% susu skim di dalam 1 liter aquades (Dewanti dan Hariyadi et al. 2001). Prinsip pengkapsulan adalah sodium alginate menyelimuti permukaan bakteri dan melindungi bakteri dari kerusakan sel akibat pengaruh lingkungan ekstrem, seperti suhu, kontaminasi, kekurangan nutrisi dan lain-lain. Dalam proses pengeringan beku (freezedrying), mula-mula dilakukan dengan menambahkan bahan pelindung berupa sodium alginate dan laktosa pada biomassa sel. Perbandingan bahan yang dikapsul dengan bahan enkapsulasi yang digunakan adalah sebesar 3:7 (b/b) (Lian et al. 2002). Selanjutnya disimpan dalam freezer -4 0C hingga membeku (Cavaralho et al. 2003). Tahap terakhir dalam proses enkapsulasi adalah freezedrying. Tahapan ini untuk
menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam bentuk bubuk. Freezedrying adalah proses pembekuan yang disusul dengan pengeringan. Proses sublimasi yang terjadi pada freezedrying yaitu perubahan dari bentuk es dalam bahan yang beku langsung menjadi uap air tanpa mengalami proses pencairan. Freezedrying memiliki keuntungan karena daya rehidrasi yang tinggi dan volume bahan tidak berubah. Enkapsulasi Probiotik Mikroba Rumen (Krasaekopt et al. 2003) Enkapsulasi mikroba rumen menggunakan metode Krasaekopt (2003) dengan teknik emulsi. Teknik emulsi dilakukan dengan mensuspensikan sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai atau minyak kanola, kemudian dihomogenisasi dalam bentuk water in oil (w/o). Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi. Sel bakteri yang terenkapsulasi akan berada pada larutan inti dan terbungkus di dalam alginate yang diperkokoh dengan penambahan CaCl2. Kondisi sel mikroba yang terenkapsulasi dapat dilihat pada Gambar 2. MR2 dan MR4 merupakan bakteri anaerob, sehingga untuk menjaga agar bakteri dalam keadaan anaerob dibutuhkan aliran gas CO2 hingga enkapsulasi selesai.. Larutan dan alat yang digunakan disterilisasi dengan menggunakan autoclave. Sebanyak 2% alginat, 2% Hi-maize dan 250 ml kulture bakteri yang telah disegarkan pada media MRSB, dilarutkan dalam 500 ml aquades. Larutan tersebut dicampurkan ke dalam 200 ml minyak kanola yang dicampurkan 0.2 ml lecitin. Larutan dihomogenkan dengan magnetic stirrer selama 20 menit hingga teremulsi dan berbentuk seperti cream. Kemudian 200 ml CaCl2 0.1 M ditambahkan secara perlahan melalui dinding gelas untuk memisahkan air dan minyak. Larutan didiamkan selama 30 menit hingga air dan minyak berpisah secara sempurna. Hasil mikroenkapsulasi akan mengendap pada bagian bawah gelas dan pemisahan dilakukan dengan menggunakan tabung seperator. Sebanyak 0,9% larutan saline dan 5% gliserol dihomogenkan dengan hasil mikroenkapsulasi yang diperoleh. Kemudian disimpan pada freezer -4oC hingga membeku. Tahap terakhir dalam proses mikroenkapsulasi adalah freezdrying. Alur proses produksi probiotik MR4 dan MR2 dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis Efek Freezedrying terhadap Viabilitas Bakteri Probiotik Uji ini dilakukan untuk mengamati daya tahan probiotik selama proses freezdrying dengan membandingkan populasi bakteri probiotik terenkapsulasi dan nonenkapsulasi pada saat sebelum dan setelah pengeringan beku. Uji viabilitas probiotik menggunakan metode hitungan cawan dengan pengenceran terbesar pada 105-107 secara duplo. Koloni yang dihitung berada dalam kisaran 25-250 koloni. Jumlah koloni dihitung dengan rumus sebagai berikut: N= N N1 N2
(
) (
)
xd
: Jumlah koloni (cfu g-1) Total koloni pada cawan yang dapat dihitung : cawan dari pengenceran pertama : cawan dari pengenceran kedua
Sel Bakteri
Alginate, Hi-Maize
Proses Pemisahan air dan minyak
Campur Canola Oil + Lecitin
CaCl2
Gambar 1. Alur proses enkapsulasi bakteri MR2 dan MR4 (Krasaekopt 2003) Alginat Sel
Gambar 2. Kondisi sel bakteri terenkapsulasi Efek Pemberian Probiotik Enkapsulasi terhadap Produksi, Kualitas dan Kadar Aflatoksin M1 pada Susu Sapi Perah Percobaan in vivo dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah (KUNAK) di Kecamatan Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini Permukaan inti menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 ekor sapi perah jenis FH yang ditempatkan secara acak. Pengelompokan dilakukan berdasarkan produksi susu. Sapi tersebut dibagi ke dalam 5 kelompok sebagai ulangan. Ada dua jenis perlakuan, yaitu: R1 = Kontrol tanpa diberi probiotik enkapsulasi; R2= Pemberian probiotik terenkapsulasi dengan masing masing perlakuan diberikan 0.2% BK dengan rumus BK (Kg ekor-1 hari-1) sebagai berikut: Kebutuhan BK pakan
Pemberian probiotik dilakukan dalam dua periode. Periode pertama adalah tahap adapatasi selama 10 hari dan periode kedua adalah pengukuran peubah selama 20 hari. Perbandingan rumput dan konsentrat adalah 70 : 30 sedangkan air minum diberikan secara ad libitum. Rumput yang diberikan adalah rumput gajah atau limbah sayuran, sedangkan konsentrat yang diberikan adalah ampas tahu dan konsentrat lokal. Prosedur Pengukuran Pengukuran Produksi Susu Pengukuran produksi susu dilakukan untuk mengamati pengaruh pemberian probiotik enkapsulasi terhadap produksi susu sapi perah. Pengukuran Produksi dilakukan setiap hari, yaitu pagi dan sore hari. Pada pagi hari, pemerahan dilakukan pada pukul 05.30 dan 15.30 pada sore hari. Alat yang digunakan untuk mengukur produksi susu adalah gelas ukur. Data produksi yang diperoleh dikonversi menjadi 4% FCM dengan rumus : metode Gaines yang telah disitir oleh (Wickes 1983). 4% FCM = (0.4 x Kg Produksi Susu + (15 x % lemak susu x Kg Produksi susu). Analisis Kualitas Susu Pengujian kualitas air susu bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi probiotik enkapsulasi terhadap kualitas air susu. Analisis kualitas ini dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan menggunakan lactoscan Tipe S_L. Kualitas yang diuji berupa kandungan lemak, densitas, solid, protein dan laktosa. Penetapan Kadar Aflatoksin Susu Pengujian kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah bertujuan untuk mengamati efektivitas probiotik enkapsulasi dalam mengurangi kadar aflatoksin M1 pada susu sapi perah. Pengujian dilakukan menggunakan metode AOAC (2005) dengan Limit of Detection (LOD). Kadar aflatoksin susu dianalisis pada kondisi UPLC. Sebelum susu dianalisa kadar aflatoksinnya, dilakukan pembuatan kurva standar aflatoksin M1 terlebih yaitu : 0.01 ppb, 0.05 ppb, 0.1 ppb, 0.5 ppb dan 1 ppb. Susu yang telah dibekukan dicairkan pada suhu ruang. Sebanyak 5 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam seppak C18 yang telah dikondisikan dengan menggunakan masing-masing 3 ml aquabidest dan methanol. Kemudian seppak dicuci dengan menggunakan 2 ml aquabidest dan dielusi dengan menggunakan 3 ml Methanol : Acctonitril (1:1). Seppak dikeringkan dengan menggunakan turbovab evaporator dengan suhu 400C selama 60 menit. Kemudian seppak dilarutkan dengan fase gerak (Methanol: 10mM Ammonium Acetat 60:40) dan diinjeksi 30 ke UPLC. Hasil yang keluar dalam bentuk grafik. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Jakarta. Analisis Data Data produksi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANCOVA (Analysis of Covariance), sedangkan data kualitas menggunakan ANOVA (Analysis of Variance). Data yang berbeda nyata di uji lanjut menggunakan uji jarak duncan. Kadar aflatoksin susu disajikan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Efek Freezedrying terhadap Viabilitas Bakteri Probiotik Enkapsulasi dan Nonenkapsulasi Pengaruh enkapsulasi terhadap uji viabilitas sel selama masa pengeringan beku diukur dengan membandingkan jumlah total bakteri probiotik enkapsulasi dengan nonenkapsulasi sebelum dan setelah pengeringan beku. Perubahan jumlah bakteri setelah pengeringan beku ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1. Viabilitas probiotik BAL, MR4 dan MR2 terenkapsulasi dan nonenkapsulasi selama masa freezedrying Total Bakteri Probiotik
BAL MR2 MR4
Enkapsulasi Sebelum Setelah Freezedrying Freezedrying (CFU ml-1) (CFUg-1) 8 2.8 × 10 5.0 × 108 23 × 106 8.5 × 106 8 9.3 × 10 1.0 × 108
Nonenkapsulasi Sebelum Setelah Freezedrying Freezedrying (CFU ml-1) (CFUg-1) 8 3.8 × 10 0.28 × 108 530 × 106 8.5 × 106 8 4.2 × 10 3.3 × 108
Berdasarkan Tabel 1, pada probiotik enkapsulasi populasi bakteri probiotik BAL mengalami peningkatan setelah mengalami freezedrying sebesar 78.57%. Peningkatan ini disebabkan sebagai akibat proses pengeringan, sehingga populasi bakteri lebih terkonsentrasi. Sementara untuk mikroba rumen, freezedrying pada enkapsulasi menurunkan jumlah populasi bakteri. Pada MR2, jumlah populasi bakteri mengalami penurunan sebesar 63.04%, sedangkan MR4 menurun sampai 89.25%. Hal ini sesuai dengan dugaan semula bahwa freezedrying memberikan efek negatif terhadap mikroba rumen yang terenkapsulasi. Penurunan ketahanan selama masa freezdrying disebabkan karena mikroba rumen yang merupakan bakteri anaerob yang sangat rentan terhadap lingkungan terbuka. Selain itu, disebabkan oleh adanya proses pembekuan dan pengeringan. Proses pembekuan menyebabkan sel kehilangan kestabilannya, sehingga mudah rusak selama masa pengeringan. Penyebab utama kerusakan sel bakteri akibat pengeringan kemungkinan disebabkan karena shock osmotic dengan kerusakan membran dan perpindahan ikatan hydrogen yang berpengaruh terhadap sifat-sifat makromolekul hidrofolik dalam sel (Ray, 1993). Pada proses nonenkapsulasi, freezedrying menyebabkan populasi bakteri BAL mengalami penurunan sebesar 92.63 %. Demikian halnya dengan MR2 dan MR4. MR2 mengalami penurunan sebesar 98.40%, sedangkan MR4 menurun hingga 21.43%. Hal ini menandakan bahwa probiotik nonenkapsulasi tidak memiliki kemampuan dalam mempertahankan populasi bakteri, baik pada BAL, MR2 maupun MR4. Viabilitas sel BAL terenkapsulasi selama masa freezedrying lebih baik dibandingkan BAL nonenkapsulasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses freezdrying tidak menurunkan viabilitas sel probiotik BAL enkapsulasi dan penambahan bahan pelindung meningkatkan daya hidup sel selama proses freezdrying. Sementara itu
viabilitas MR2 terenkapsulasi mengalami penurunan yang lebih kecil dibandingkan MR2 nonenkapsulasi, sedangkan MR4 terenkapsulasi mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan MR4 nonenkapsulasi. Dari hasil di atas, dapat diketahui bahwa BAL memiliki viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan MR2 dan MR4. Hal ini menandakan bahwa teknik enkapsulasi probiotik BAL lebih efektif dibandingkan MR2 dan MR4. MR2 dan MR4 merupakan bakteri anaerob yang sangat sensitif dan mudah rusak ketika bersentuhan dengan oksigen. Proses freezedrying pada MR2 dan MR4 mampu mempengaruhi ketahanan dan menurunkan jumlah sel bakteri. Berdasarkan hasil penelitian Tamime (2005), pemanfaatan probiotik enkapsulasi bertujuan untuk mengurangi kehilangan dan kerusakan sel bakteri, menstabilkan sel, dan menjaga viabilitas dan stabilitas sel sehingga sel tetap tinggi selama proses produksi. Enkapsulasi menekankan pada aspek peningkatan viabilitas sel dalam produk dan saluran pencernaan, serta untuk meningkatkan sifat sensorik produk (Mortazavian et al. 2007). Sifat membran atau kapsul dari bahan penyalut harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan probiotik terenkapsulasi pada suatu produk. Membran dirancang untuk melindungi sel dan dapat melepaskan sel dengan laju pelepasan yang terkontrol pada kondisi yang spesifik serta memungkinkan terjadinya difusi molekul yang berukuran kecil (sel, metabolit dan substrat) melintasi membran (Vidyalakshmi et al. 2009). Bahan penyalut untuk Probiotik BAL dalam penelitian ini menggunakan sodium alginate dan laktosa. Keuntungan dari penggunaan Sodium alginate adalah bahan ini memiliki sifat mudah di degradasi dan diserap. Selain itu, Reyed (2007) menyatakan bahwa sodium aginat memberikan pengaruh difusi nutrien dan metabolisme yang baik dalam mempertahankan pertumbuhan sel, sedangkan penggunaan laktosa berfungsi sebagai sumber energi dan nutrisi bagi sel untuk mempertahankan kehidupannya (Rahman 2009). Hasil penelitian yang dilakukan Leslie et al. (1995) menunjukkan bahwa gula dapat meningkatkan ketahanan mikroba terhadap freezedrying karena kemampuannya menurunkan suhu pada fase transisi membran dan melindungi struktur protein dalam keadaan kering. Pengaruh Probiotik enkapsulasi terhadap Produksi Susu Sapi Perah Produksi susu harian menunjukkan bahwa pemberian probiotik menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan sapi yang tidak diberi probiotik (Gambar 2). Pengaruh penambahan probiotik BAL dan MR4 pada pakan sapi perah terhadap produktivitas susu sapi perah Fristian Holstein berdasarkan 4% FCM disajikan pada Table 2. Suplementasi probiotik BAL dan MR4 memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap produksi susu sapi perah, artinya sapi yang disuplemen probiotik memiliki rataan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa persentase peningkatan produksi susu adalah sebesar 29.93%. Sehingga, pemberian probiotik mampu memberikan efek positif terhadap produktivitas susu sapi perah. Peningkatan produksi ini disebabkan karena probiotik mampu memperbaiki penyerapan nutrien, menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan menciptakan keseimbangan mikroflora. Schrezenmeir dan deVerse pada tahun 2001 mendefinisikan probiotik sebagai sebuah produk yang mengandungi mikroorganisme yang diketahui jenisnya dan dalam jumlah viable serta memberi manfaat kepada kesehatan konsumen dengan mengubah
mikroflora (dengan implantasi atau kolonisasi) dalam kompartemen dari penderita. Efek kesehatan yang menguntungkan dalam sistem intestinal host. Menurut pendapat Asmarasari et al. (2010), peningkatan produksi karena penambahan probiotik memberi efek stimulasi pada bakteri rumen yang berpengaruh pada peningkatan perombakan asam laktat sehingga mengakibatkan stabilisasi pH rumen, peningkatan penggunaan amonia untuk sintesis protein oleh mikroba, peningkatan populasi mikroba yang memberi pengaruh pada peningkatan kecernaan serat, peningkatan konsumsi pakan dan suplay substrat ke usus halus sehingga meningkatkan produksi susu. Bakteri asam laktat dengan aktivitas probiotiknya berperan penting dalam mengatur ekosistem saluran pencernaan.
Produksi (kg hari-1)
20 15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
Hari
Gambar 4. Rataan Produksi harian susu 4% FCM selama 20 hari setelah masa adaptasi. ──▲── Kontrol, ──■── Perlakuan Aktivitas probiotik terbagi atas 3 spektrum, yaitu nutrisi, fisiologi dan efek antimikroba. Aspek nutrisi berupa penyediaan enzim untuk membantu metabolisme komponen makanan (laktase), sintesis beberapa vitamin (K, folat, piridoksin, pantotenat, biotin dan riboflavin) dan menghilangkan racun metabolit komponen makanan di dalam usus. Aspek fisiologi meliputi kemampuan menjaga keseimbangan komposisi mikroflora usus dan menstimulasi sistem kekebalan usus. Efek antimikroba yang dimiliki oleh probiotik yaitu kemampuannya untuk memperbaiki ketahanan terhadap bakteri pathogen (Naidu dan Clemens. 2000). Pengaruh Suplementasi Probiotik terhadap Kualitas Susu Pemberian probiotik terenkapsulasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kualitas susu. Secara statistik, suplementasi probiotik pada pakan sapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan rataan persentase lemak, densitas, solid, laktosa maupun protein. Namun, terjadi perbaikan nilai rataan pada komponen tersebut. Persentase peningkatan densitas adalah 9.26%, 1.18%, solid 1.57%, laktosa 1.21% sedangkan pemberian probiotik tidak mempengaruhi kandungan protein susu. Semakin meningkatnya rataan kadar lemak susu, maka semakin tinggi pula harga susu tersebut. Hal ini tentunya memberikan efek positif secara ekonomi terhadap peternak.
Kualitas susu yang dihasilkan sapi merupakan gambaran dari kualitas pakan yang diberikan. Semakin baik pakan yang diberikan semakin baik pula kualitas susu yang diproduksi sapi. Pemberian probiotik diharapkan mampu meningkatkan kualitas pakan dan efektivitas penyerapannya di dalam saluran pencernaan. Penentuan harga susu di KUNAK bergantung pada kualitas susu yang dihasilkan, terutama kadar lemak susu. Hasil pengukuran kualitas susu disajikan pada Table 2. Tabel 2. Perbedaan produksi dan kualitas susu sapi perah yang diberi ransum dengan dan tanpa suplementasi probiotik Parameter
Perlakuan
Kontrol
Probiotik
10.96 ± 1.63a
14.24 ± 2.78b
Solid(%)
7.50 ± 0.65
7.62 ± 0.59
Laktosa(%)
4.14 ± 0.36
4.19 ± 0.34
Protein(%)
2.83 ± 0.44
2.82 ± 0.22
Lemak(%)
3.46 ± 0.88
3.79 ± 1.09
1026.56±2.74
1026.87±1.95
Produksi (Kg hari-1)
Densitas (kgm-3) a
Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf (P < 0.05)
Peningkatan rataan kualitas susu ini disebabkan karena adanya peningkatan aktivitas bakteri pada saluran pencernaan. Widiawati dan Winugroho (2007) menyatakan bahwa pemberian probiotik (Bioplus, S. cerevisiae dan C. utilis) mampu meningkatkan kadar lemak dari 2.92 menjadi 3.03%, tetapi probiotik S. cerevisiae tidak dapat mempengaruhi kandungan protein susu maupun laktosa (Nikkhah et al. 2004). Sidik (2003) manyatakan, bahwa faktor jumlah dan kualitas pakan, bulan laktasi, fase laktasi dan bangsa sapi perah mempengaruhi produksi susu sapi perah. Pengaruh Suplementasi Probiotik terhadap Kadar Aflatoksin M1 Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek pemberian probiotik terhadap kadar aflatoksin M1 susu sapi perah tidak terdeteksi, karena berada di bawah LOD yaitu 0.025 ppb. Hal ini disebabkan karena pakan yang digunakan tidak tercemar aflatoksin B1 pada level yang sangat tinggi. Pada level yang rendah, aflatoksin dapat didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga residu metabolit aflatoksin B1 yaitu aflatoksin M1 disekresikan dalam jumlah yang relatif kecil. Beberapa mikroorganisme diketahui mampu mengurangi cemaran aflatoksin secara in vitro (Pierides et al. 2000; Kankaanpaa et al. 2000), diantaranya adalah bakteri asam laktat (Lactobacillus spp) dan mikroba rumen yang diketahui mampu mendegradasi aflatoksin di rumen sehingga memungkinkan untuk dijadikan sebagai probiotik (Suryahadi et al. 2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002). Kecepatan pembentukan Aflatoksin menjadi berkurang akibat cekaman pada substrat pertumbuhannya akibat akumulasi produk metabolit dari bakteri asam laktat (Chiou
et al. 2002). Bakteri asam laktat kemungkinan mempunyai kemampuan untuk menurunkan kadar Aflatoksin yang terbentuk dengan suatu mekanisme enzimatik tertentu, walaupun untuk membuktikan hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Batas konsentrasi residu maksimum untuk aflatoksin M1 dalam susu atau produk yang dihasilkan dari susu sebesar 1 μgL-1 atau 1 ppb (Indonesia), 0.5 μgL-1 (FDA, Amerika) dan 0.05 μgL-1 (Negara Uni Eropa).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Teknik enkapsulasi mampu mempertahankan viabilitas BAL dan bakteri anaerobik MR4. Pada MR4, enkapsulasi akan lebih baik jika tidak disertai proses freezedrying. Penggunaan kombinasi probiotik BAL dan MR4 dapat meningkatkan produksi susu sapi perah sebesar 29.93%, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas susu. Kemampuan probiotik majemuk tersebut dalam mengurangi kadar aflatoksin dalam susu belum terdeteksi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mengidentifikasi karakteristik isolat mikroba MR2 dan MR4. Selain itu untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan dengan menggunakan level pemberian untuk mengetahui kadar pemberian probiotik optimal.
DAFTAR PUSTAKA Abdulrazzaq YM, Osman Y, Yousif ZM, Trad O. 2004. Morbidity in neonates of mothers who have ingested aflatoxins. Ann Trop Paediatr. 24(2): 145 – 151. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis. Australia (USA): AOAC International. Carvalho AS, Silva J, Ho P, Teixeira P, Malcata FX, Gibbs P. 2004. Relevant factors for the preparation of freeze-dried lactic acid bacteria. Int Dairy J. 14: 835–847. Chiou CH, Miller M, Wilson DL, Trail F, Linz JE. 2002. Chromosomal Location Plays a role in regultion of aflatoxin gene expression in Aspergillus parasiticus. App Environ Microbiol. 68(1): 306 -315. Dewanti-Hariyadi R, Andjaya N, Suliantari, Nuraida L. 2001. Teknologi Fermentasi. Penuntun Praktikum. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor (ID): IPB. IARC. 1993. IARC Monographs on the evaluation of carcinogenic risks to human. Vol. 56. Some naturally occurring substances: food items and constituents, heterocyclic aromatic amines and mycotoxins. International Agency for Research on Cancer. Lione. Kankaanpaa P, Tuomola E, El-Nezami H, Ahokas J, Salminen SJ. 2000. Binding of aflatoxin B1 alters the adhesion properties of Lactobacillus rhamnosus strain GG in a caco-2 model. J Food Prot. 63 (3):412-414. Krasaekoopt W, Bhandari, Deeth. 2003. Evaluation of encapsulation techniques of probiotics for yoghurt [ulasan]. Int Dairy J. 13: 3–13. Lian WC, Hsio HC, Chou CC. 2002. Survival of Bifidobacterium longum after spray drying. Int J Food Microbiol. 74:79-86. Leslie SB, Israeli E, Lighthart B, Crowe JH, Crowe LM. 1995. Trehalose and Sucrose protect both membranes and proteins in intact bacteria during drying. J Appl Environ Microbial. 61: 3592-3597. Makfoeld D. 1993. Mikotoksin Pangan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Mortazavian A, Razavi SH, Ehsani MR, Sohrabvandi. 2007. Principle and methods of microencapsulation of probiotic microorganisms. Iran J Bioethanol. 5(1): 1-18. Nikkhah, A, Bonadaki, Zali. 2004. Effect of feeding yeast Saccharomyses cerevisiae on productive performance of lactating Holstein dairy cow. Iranian J Agric Sci. 35 (1): 53–60. Pierides MH, El-Nezami K, Peltonen S, Salminen, Ahokas J. 2000. Ability of dairy strains of lactic acid bacteria to bind aflatoxin M1 in a food model. J Food Prot. 63(5):645 – 650. Rahman. 2009. Karakteristik mikrobiologis kultur starter kering kefir dengan sinbiotik terenkapsulasi dalam bentuk granul. [Skripsi] Di dalam: Rukmana R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul. Yogyakarta (ID): Kanisius. Ray B. 1993. Sublethal injury, bacteriocins and food microbiology. ASM News. 59: 258291 Reyed M. 2007. Novel hybrid entrapment approach for probiotik cultures and its aplication during lyophilization. Internet J Biol Anthropol. 3(2): [Hal tidak diketahui]. Rokka S, Rantamaki P. 2010. Protecting probiotic bacteria by microencapsulation: Challenges for industrial applications. Eur Food Res Technol. 231: 1-12. Schrezenmeir, J. dan de Vrese, M., 2001. Probiotics, prebiotics, and synbiotics Approaching a definition. Am J Clin Nutr. 73: 361S–364S.
Simanjuntak R. 2005. Dekontaminasi aflatoksin B1 melalui peningkatan oleh bakteri asam laktat [Tesis]. Ilmu dan Teknologi Pangan. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Sidik R. 2003. Estimasi kebutuhan net energi laktasi sapi perah produktif yang diberi pakan komplit vetunair. Media Kedokteran Hewan. 19 (3): 135-138. Sisriyeni D. 2013. Isolasi bakteri yang mampu mendegradasi aflatoksin di rumen [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suryahadi, Wiryawan KG, Evvyernie D, Pantaya D, Sisriyeni D. 2012. Penggunaan probiotik sebagai agen detoksifikasi mikotoksin pada ruminansia. Makalah Seminar Hasil-Hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor. LPPM IPB Bogor. Tajik H, Rohani SMR, Moradi M. 2007. Detection of aflatoxin M1 in raw and commercial pasteurized milk in Urmia, Iran. J BioSci. 10(22): 4103-4107. Tamime AY, Saarela M, Sondergaard AK, Mistry VV, Shah NP. 2005. Production and maintenance of viability of probiotic micro-organismn in dairy products. Didalam: Tamime AY, editor. Probiotic Dairy Products. Oxford (OXF): Blackwell Publishing Ltd. hlm 39-63. Paranthaman R, Vidyalakshmi S, Murugesh, Singaravadivel K. 2009. Optimization of various culture media for tannase production in submerged fermentation by Aspergillus flavus. Adv Biol Res. 3(1-2): 34-39 Wahyudi A, Samsundari S. 2008. Bugar dengan Susu Fermentasi Rahasia Hidup Sehat Panjang Umur. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang Press. Wickes RB. 1983. Feeding experiment with dairy catlle. In. Dairy Catlle Research Techniques. Edited by Termouth-Queensland of Primary Industries. Australia (AU). Widiawati, Y, Winugroho M. 2007. Pengaruh pemberian konsentrat fermentasi dan probiotik terhadap produksi susu sapi perah di Pondok Rangon. Prosiding Seminar Sapi Perah. 2006. Yu J, Bhatnagar D, Ehrlich. 2002. Aflatoxin biosynthesis. Rev Iberoam Mycol 19: 191-200.
LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil perhitungan lemak susu secara satatistik Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan kelompok Galat Total Total terkoreksi
Jumlah Kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F
Sig.
.480(a)
5
.096
.281
.902
131.116 .279 .201 1.367 132.963
1 1 4 4 10
131.116 .279 .050 .342
383.757 .816 .147
.000 .417 .955
1.846
9
Lampiran 2. Rataan dan simpangan baku kadar lemak susu Kelompok
1 2 3 4 5 rataan
Perlakuan Kontrol 3.83 ± 1.01 3.03 ±0,74 4.03 ± 0,66 3.47 ± 0,79 2.91 ± 0,60 3.46 ± 0,88
Probiotik 3.78 ± 0,98 4.33 ±0,76 3.39 ± 0,78 3.44 ± 0,58 4.00 ± 1.77 3.79 ± 1.09
Lampiran 3. Hasil perhitungan produksi susu secara statistik Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan kelompok Galat Total Total terkoreksi
Jumlah Kuadrat 31.745(a) 1587.348 26.863 4.882 5.008 1624.101 36.753
Derajat bebas 5 1 1 4 4 10 9
Kuadrat F tengah 6.349 5.071 1587.35 1267.76 26.863 21.455 1.22 0.975 1.252
Sig. 0.07 0 0.01 0.51
Lampiran 4. Rataan dan simpangan baku kadar solid Perlakuan
Kelompok
Kontrol 7.45 ± 0.36 7.32 ± 0.62 7.97 ± 0.66 7.59 ± 0.71 7.18 ± 0.57 7.50 ± 0.65
1 2 3 4 5 rataan
Probiotik 8.02 ± 0.41 7.60 ± 0.60 7.21 ± 0.64 7.73 ± 0.52 7.49 ± 0.48 7.62 ± 0.59
Lampiran 5. Hasil perhitungan kadar solid secara statistik Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan kelompok Galat Total Total terkoreksi
Jumlah Kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F
Sig.
.231(a)
5
0.046
0.353
0.858
571.385 0.032 0.199 0.525 572.141 0.756
1 1 4 4 10 9
571.385 4356.229 0.032 0.248 0.05 0.379 0.131
0 0.645 0.815
Lampiran 6. Hasil perhitungan kadar density secara statistik Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan kelompok Galat Total Total terkoreksi
Jumlah Kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F
Sig.
3.731(a)
5
0.746
0.609
0.703
7135.844 0.234 3.496 4.904 7144.478
1 1 4 4 10
7135.84 0.234 0.874 1.226
5820.59 0.191 0.713
0 0.685 0.624
8.634
9
Lampiran 7 Rataan dan simpangan baku kadar density Perlakuan
Kelompok
Kontrol 26.20 ± 1,48 26.29 ± 2,34 27.91 ± 2,28 27.12 ± 2,78 25.28 ± 3.80 26.56 ± 2,74
1 2 3 4 5 rataan
Probiotik 28.28 ± 1.13 26.51 ± 2,04 25.72 ± 1.71 27.61 ± 1.94 26.21 ± 1.75 26.87± 1.95
Lampiran 8. Rataan dan simpangan baku kadar laktosa Perlakuan
Kelompok
Kontrol 4.11 ± 0.20 4.02 ± 0.36 4.40 ± 0,36 4.19 ± 0,39 3.96 ± 0.31 4.14 ± 0,36
1 2 3 4 5 rataan
Probiotik 4.37 ± 0.19 4.22 ± 0.34 3.95 ± 0.45 4.27 ± 0.29 4.12 ± 0.26 4.19 ± 0.34
Lampiran 9. Hasil perhitungan kadar laktosa secara statistik Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan kelompok Galat Total Total terkoreksi
Jumlah Kuadrat 3.731(a) 7135.844 0.234 3.496 4.904 7144.478 8.634
Derajat bebas 5 1 1 4 4 10 9
Kuadrat F tengah 0.746 0.609 7135.84 5820.59 0.234 0.191 0.874 0.713 1.226
Lampiran 10. Rataan dan simpangan baku kadar protein Kelompok 1 2 3 4 5 rataan
Perlakuan Kontrol 2.76 ± 0.14 2.70 ± 0.23 2.95 ± 0,24 2.81 ± 0,26 2.91 ± 0.88 2.83 ± 0,44
Probiotik 2.96 ± 0.15 2.83 ± 0.23 2.67 ± 0.24 2.86 ± 0.19 2.77 ± 0.18 2.82 ± 0.22
Sig. 0.703 0 0.685 0.624
Lampiran 11. Hasil perhitungan kadar protein secara statistik Sumber keragaman Model terkoreksi Intercept Perlakuan kelompok Galat Total Total terkoreksi
Jumlah Kuadrat .011(a) 79.637 0 0.011 0.079 79.726 0.089
Derajat Kuadrat F bebas tengah 5 0.002 0.11 1 79.637 4055.861 1 0 0.008 4 0.003 0.136 4 0.02 10 9
Sig. 0.984 0 0.932 0.961
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1992 di Bulukumba tepatnya di daerah paling selatan Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan bahagia Bapak Safaruddin dan Ibu Sitti Wartatiah. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDN 196 Tritiro di desa Kalumpang pada tahun 1998 sampai 2004, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP N 1 Bontotiro pada tahun 2004-2007. Pada 2007-2010, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Benteng Selayar dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010 di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Semasa kuliah, Penulis juga aktif dalam berbagai organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM D) Fakultas Peternakan IPB, sebagai staff pada periode 2011-2012 dan 2012-2013 dan organisasi Forum Aktivitas Mahasiswa Muslim (FAMM Al-an’am) Fakultas Peternakan IPB sebagai ketua divisi pada periode 2012-2013. Penulis pernah mengikuti magang di Koperasi Susu Lembang Bandung pada tahun 2012. Penulis juga pernah meraih prestasi dalam ajang penulisan karya tulis di Aisc-Taiwan pada tahun 2013 dan HISAS di Hokkaido Jepang pada tahun 2014. Selain itu, penulis pernah menjalani program pertukaran pelajar di Mie University, Jepang selama 6 bulan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Suryahadi DEA dan Dr. Sri Suharti, S.Pt. M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberi banyak saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat Studi Hewan Tropika (CENTRAS) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB yang telah memberikan bimbingan, wadah serta dukungan selama menjalani penelitian ini. Terima kasih juga kepada Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan dana melalui dana BOPTN. Selain itu, tidak lupa pula ucapan terima kasih kepada teknisi laboratorium Mikrobiologi Pangan L1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, SEAFAST dan KUNAK. Ungkapan terima kasih kepada Tetta, mama, kak Etty dan kak Mizwar atas segala doa, kerja keras, dukungan dan kasih sayangnya.