NASKAH PUBLIKASI EFEKTIFITAS FUNGSI BIMBINGAN KONSELING DAN PERILAKU DELINKUEN PADA SISWA YANG PERNAH DAN BELUM PERNAH IKUT KONSELING DI BIMBINGAN KONSELING SEKOLAH
Oleh : DEWI RINAWATI 01 320 170
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006
NASKAH PUBLIKASI
EFEKTIFITAS FUNGSI BIMBINGAN KONSELING DAN PERILAKU DELINKUEN PADA SISWA YANG PERNAH DAN BELUM PERNAH IKUT KONSELING DI BIMBINGAN KONSELING SEKOLAH
Telah disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
Rina Mulyati, S.Psi,.M.si.
PENGANTAR
Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi yang dapat menimbulkan krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang yang dalam kondisi tertentu akan menjadi perilaku yang menggangu (Ekowarni, 1993). Kondisi tersebut, bila disertai oleh lingkungan yang kurang kondusif dan kepribadian yang negatif dapat menjadi pemicu timbulnya perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat bahkan melanggar hukum. Oleh karena itu pada masa pencarian nilai-nilai hidup inilah sanggat dibutuhkan perhatian dan bimbingan dari para pendidik secara bersungguh-sungguh. Indonesia sekarang ini, bentuk perilaku delinkuen banyak dilakukan oleh remaja dengan rentang usia 13 sampai 18 tahun, dan pada umumnya remaja pada usia ini sedang berada di lembaga pendidikan (sekolah). Dan salah satu faktor penyebab munculnya perilaku delinkuen adalah sekolah, yang seharusnya fungsi sekolah adalah membimbing dan mengarahkan siswanya baik itu secara kognitif maupun moral. Hal ini sangat bertentangan dengan fungsi pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2/1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1 ayat 1 : Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya dimasa yang akan datang. Beberapa faktor yang menyebabkan kenakalan remaja diantaranya disorganisasi familial, struktur keluarga yang berantakan, lingkungan keluarga yang buruk, tradisi delinkuen di daerah-daerah yang rawan, kondisi sekolah yang
kurang menguntungkan sehingga banyak terdapat kasus cepat putus sekolah, konstitusi jasmaniah dan rohaniah yang lemah, defek mental dan beberapa jenis gangguan kejiwaan yang merangsang para remaja menjadi delinkuen (Kartono, 2005). Kasus perkelahian, atau yang sering disebut tawuran sering terjadi diantara pelajar, bahkan bukan hanya antara pelajar SMU tapi juga sudah melanda kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja (Kedaulatan Rakyat, 2005). Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Dari data tersebut terlihat peningkatan perkelahian pelajar. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus (Tambunan, 2001). Berdasarkan asumsi di atas, bimbingan konseling yang merupakan salah satu lembaga yang berperan dalam membantu menyelesaikan dan menangani masalah siswa memiliki tangung jawab yang cukup berat. Peran bimbingan konseling dalam dunia pendidikan memiliki arti penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan siswa, hal ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan di sekolah-sekolah baik itu SLTP maupun SMA menunjukan adanya pengaruh positif antara bimbingan konseling dengan kesejahteraan serta prestasi belajar pada siswa (Walgito, 1980).
Damon (Santrock, 2003) percaya bahwa agar guru dan orang tua dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap perkembangan moral remaja, mereka perlu mempraktekkan hubungan yang saling menghargai dengan para remaja. Remaja membutuhkan bimbingan, namun supaya bimbingan tersebut dapat diberikan, remaja harus memiliki hubungan yang produktif dan inisiatif serta reaksi mereka harus dihargai. Adanya dasar pemikiran diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara efektifitas fungsi bimbingan konseling dengan perilaku delinkuen pada siswa yang pernah dan belum pernah ikut konseling di bimbingan konseling sekolah. Mencermati ketertarikan antara efektifitas fungsi bimbingan konseling dengan perilaku delinkuen pada siswa yang pernah dan belum pernah ikut konseling di bimbingan konseling sekolah, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut hubungan antara efektifitas fungsi bimbingan konseling dengan perilaku delinkuen pada siswa yang pernah dan belum pernah ikut konseling di bimbingan konseling sekolah. Tujuan dari penelitian ini ada dua yaitu : yang pertama tujuan primer untuk mengetahui hubungan antara perilaku delinkuen dengan fungsi bimbingan konseling, yang kedua tujuan sekunder untuk mengetahui sejauh mana fungsi bimbingan konseling dalam menjalankan fungsinya pada siswa yang pernah dan belum pernah mengikuti bimbingan konseling sekolah. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan mutu pendidikan khususnya dalam bidang bimbingan konseling agar mampu meningkatkan peran, fungsi dan kualitasnya dalam membimbing siswanya menuju arah yang lebih baik.
Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk lebih meningkatkan fungsi dan peranan bimbingan konseling agar lebih efektif sehingga mampu mencegah dan mengurangi tingkat kenakalan siswa.
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perilaku Delinkuen. Gunarsa (1986), mengatakan bahwa kenakalan remaja adalah kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur 13-17 tahun dan belum menikah. Kenakalan anak-anak dibawah 13 tahun merupakan kenakalan yang wajar sedangkan kenakalan yang dilakukan diatas usia 18 tahun adalah kejahatan. Sehingga remaja delinkuen adalah mereka yang melanggar pidana pada usia 13 sampai 18 tahun (Soekamto, 1982). Sementara itu Kartono (2005), menyatakan bahwa perilaku delinkuen adalah perilaku jahat atau dursila. Kejahatan atau kenakalan anak-anak muda merupakan gejolak sakit atau patologis secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial sehingga mengembangkan perilaku menyimpang. Secara singkat Koeswara (1988), juga mengungkapkan delinkuensi sebagai penyimpangan tingkah laku dari normanorma yang berlaku dalam suatu masyarakat, termasuk tingkah laku dari normanorma yang berlaku dalam suatu masyarakat, termasuk tingkah laku agresif. Thorn Burg (1982), menyatakan bahwa delinkuen merupakan konflik normatif antara remaja dan masyarakatnya. Menurutnya perilaku delinkuen adalah perilaku yang melanggar norma masyarakat yang mungkin didorong oleh norma dari peer group. Seiring dengan meluasnya lingkungan sosialisasi remaja dari lingkungan keluarga masuk kekelompok sebaya atau lingkungan masyarakat
secara umum akan berdampak pada meningkatnya variasi perilaku yang ditanamkan. Nilai-nilai yang diperoleh remaja dalam keluarga diharapkan mampu membentengi keputusan-keputusan yang diambil oleh remaja. Dengan demikian remaja akan terhindar dari perilaku-perilaku nakal yang akan dijumpai diluar lingkungan keluarganya. Tim proyek juvenile delinquency fakultas hukum Universitas Padjajaran (Elvida, 1995) merumuskan delinkuensi sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan seorang anak dan dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku disuatu Negara oleh masyarakat dirasakan dan ditafsirkan sebagai perbuatan tercela. Perbedaan kognitif anak dan remaja berbeda dengan orang dewasa. Hal ini akan berpengaruh pada sanksi yang akan diterima jika perilaku yang melanggar hukum ini dilakukan oleh remaja. Kenakalan yang dilakukan oleh remaja masih dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang belum stabil sehingga hanya memerlukan pembinaan secara berkelanjutan tanpa sanksi hukum. Mengacu pada beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku delinkuen adalah bentuk penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh remaja usia 13-18 tahun sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dianggap bertentangan dengan ketentuan hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. B. Faktor – faktor Penyebab Kecenderungan Perilaku Delinkuen. Faktor-faktor penyebab kecenderungan perilaku delinkuen : 1. Faktor Individu. Conger (1973), menyatakan bahwa kepribadian seseorang memegang peranan penting sebagai penyebab timbulnya kenakalan remaja. Sementara itu Ia dalam penelitiannya membandingkan remaja menjadi dua yakni remaja
yang nakal dan tidak nakal. Elfida & Trinovita (1995), menemukan bahwa para remaja non delinkuen memiliki kontrol diri yang lebih tinggi dibandingkan remaja delinkuen, lebih mampu mengarahkan energi emosi pada hal hal yang bermanfaat dan secara sosial dapat diterima. Lebih mampu mengendalikan diri dan menyesuaikan diri dengan aturan sosial, cenderung memiliki kontrol yang kuat terhadap emosi dan perilakunya. Sementara itu Fifts & Hammer (Dusek, 1977), menyatakan bahwa umumnya kenakalan merupakan sebab dari konsep diri yang miskin, mereka memandang dirinya negatif dan merasa mereka tidak dapat menyenangkan orang lain. 2. Faktor Keluarga. Simanjuntak (1984), menyatakan bahwa timbulnya kenakalan karena hilangnya atau berkurangnya fungsi keluarga sebagai pendidik / pembentuk keperibadian anak dan tempat berlindung serta fungsi pengawasan. Selain itu ada juga faktor lain seperti disharmonisasi keluarga (Quasi broken home), pendidikan yang salah dari orang tua, dan anak yang ditolak (Rejected child). 3. Faktor Sekolah. Dusek (1977), menyatakan bahwa sekolah mempunyai dua peran antara lain sebagai mekanisme fomal yaitu mentransmisikan ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai bekal bagi anak untuk hidup bermasyarakat dan sebagai mekanisme informal yaitu lebih banyak berhubungan dengan kehidupan psikis disekolah seperti rasa persaudaraan, hubungan dengan teman sekelas, hubungan dengan teman sekolah dan teman sebaya. Lebih lanjut dalam UU pokok pendidikan No2/1989 dijelaskan bahwa tanggung jawab pendidikan ada dipundak orang tua, sekolah, dan masyarakat.
Proses
pendidikan
yang
kurang
menguntungkan
bagi
perkembangan anak kerap kali memberikan pengaruh langsung maupun tidak
langsung
terhadap
timbulnya
kenakalan
remaja
Sudarsono
(Paratidarmanastiti, 1991). Untuk hal ini guru memegang peranan penting dalam tugas mengajar, kondisi sekolah yang tidak baik, sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai, serta kuantitas dan kualitas tenaga guru dan non guru yang kurang. Lokasi sekolah di daerah rawan dapat mengganggu proses belajar mengajar yang pada gilirannya dapat memberi peluang pada anak didik untuk berperilaku menyimpang (Hawari 1997). Untuk lingkungan teman sebaya (khususnya saat berada di sekolah) para remaja cenderung mengikuti perbuatan kelompok seperti mencontek, membolos, melawan guru, tawuran dll tanpa memperdulikan perasaan mereka sendiri akan akibatnya. Hal ini dodorong oleh keingginan kuat untuk diterima di kelompoknya. 4. Faktor Masyarakat. Kurniawan (Akhmad, 1999), menyatakan bahwa mobilisasi sosial yang tinggi dan informasi yang diterima dari media masa menyebabkan masuknya norma dan nilai baru pada remaja dan biasanya remaja selalu menjadi pihak pertama dari adanya mobilisasi sosial tersebut. Mengacu pada uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor kecenderungan perilaku delinkuen dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu faktor internal yang meliputi kepribadian individu, fisik/cacat yang dibawa sejak lahir, genetika. Faktor eksternal yang meliputi keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan teman bergaul.
C. Aspek – aspek Perilaku Delinkuen. Aspek-aspek kecenderungan delinkuen. Jensen (Sarwono, 2000) dalam penelitiannya mengungkapkan aspekaspek delinkuen remaja atau perilaku delinkuen sebagai berikut : a. Perilaku delinkuen remaja yang menimbulkan korban materi seperti, pengerusakan, pencurian, pemerasan, perampasan, pencopetan. b. Perilaku delinkuen remaja yang menimbulkan korban fisik seperti pemerkosaan, perkelahian, perampokan, pembunuhan. c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak lain seperti pelacuran, penyalahgunaan obat, sex bebas. d. Perilaku delinkuen remaja yang melawan status misalnya mengingkari status sebagai anak, minggat, membantah orang tua, membolos, mengingkari status sebagai pelajar. D. Ciri – ciri Anak Delinkuen. Menurut para ahli anak-anak delinkuen memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan anak-anak non delinkuen, yaitu berbeda dalam: a. Perbedaan struktur intelektual. Pada umumnya intelligensi mereka tidak berbeda dari rata-rata. Penelitian yang dilakukan di Indoneaia menunjukan bahwa kebanyakan dari jumlah anak-anak delinkuen yang diteliti mempunyai skor inteligensi dibawah normal (69,59 %) dan sebagian kecil mempunyai skor yang tinggi (6,9 %) (Haditono, 2001).
b. Perbedaan fisik dan psikis. Anak-anak delinkuen memiliki kepekaan moral yang rendah serta memiliki perbedaan ciri karakteristik jasmaniah sejak lahir jika dibanding dengan anak-anak normal Lombroso (Kartono, 2005). Bentuk tubuh mereka lebih mesomorphs yaitu relatif berotot, kekar, dan pada umumnya bersifat lebih agresif. Sarjana lain menemukan fungsi fisiologis dan neurologist yang khas pada anak-anak delikuen antara lain : yang pertama, mereka kurang merespon pada stimulus-stimulus yang menimbulkan rasa sakit. Yang kedua, menunjukan ketidakmatangan jasmaniah tertentu Stafford Clarck (Kartono, 2005) Ostrow (Kartono, 2005), melaporkan adanya indikasi gangguan neurologis. Gangguan berupa kerusakan jasmaniah yang merupakan akibat dari buruknya faktor lingkungan anak-anak. c. Perbedaan karakteristik individual. Anak-anak delinkuen mempunyai kepribadian khusus yang menyimpang seperti yang diungkapkan oleh Siegman (Kartono, 2005), yaitu : 1. Hampir semua remaja pada tipe ini hanya berorientasi pada masa sekarang, bersenang-senang dan puas pada hari ini. Mereka tidak mampu mempersiapkan bekal hidup, dan membuat rencana bagi masa depannya. 2. Kebanyakan dari mereka memiliki ganguan secara emosional.
3. Mereka kurang tersosialisasi dalam masyarakat normal, sehingga tidak mampu mengenal norma-norma kesusilaan dan kurang bertanggung jawab. 4. Pada umumnya mereka menyukai tantangan. 5. Mereka kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri, hal ini disebabkan
mereka
memang
tidak
pernah
dituntut
untuk
melakukan itu. 6. Mereka senang melakukan kegiatan tanpa pikir yang merangsang kejantanan, walaupun mereka menyadari bahaya yang ada didalamnya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa anak delinkuen memiliki ciri-ciri seperti struktur intelektual, fisik dan psikis yang cenderung agresif, serta karakteristik individual yang cepat puas dengan keadaan dan kurang mampu untuk merencanakan masa depannya. E. Pengertian Bimbingan Konseling. Bimbingan sendiri merupakan proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding),
kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance),
kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan
dirinya
(self
relatization)
sesuai
dengan
potensi
dan
kemampuannya (Djumhur & Surya, 1980). Bimbingan konseling adalah bantuan yang diberikan pada siswa dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan (Prayitno, 1997).
Menurut SK Mendikbud No. 025/O/1995 bimbingan dan konseling merupakan pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku. Peraturan Pemerintah No 29/1990 Tentang bimbingan di tingkat sekolah menengah umum. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan pada siswa dalam
rangka
upaya
menemukan
pribadi,
mengenal
lingkungan,
dan
merencanakan masa depan yang dilakukan oleh guru pembimbing. Mengacu pada definisi-definisi diatas, yang disebut dengan bimbingan konseling adalah usaha memberikan bantuan secara terus menerus dan sistematis pada peserta didik, yang dapat dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok dengan tujuan mengarahkan siswa atau peserta didik agar mampu merencanakan, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan untuk masa depan dirinya. Bimbingan dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan kemampuan khusus dalam bidangnya dan dilakukan sesuai dengan normanorma yang berlaku. F. Fungsi Bimbingan Konseling. Menurut Juantika, 2005 kurikulum bimbingan konseling yang berkembang saat ini adalah bimbingan konseling perkembangan, yang memiliki beberapa fungsi diantaranya :
a. Edukatif. Titik berat kepedulian bimbingan konseling terletak pada pencegahan dan pengembangan, bukan pada korektif atau terapeutik, walaupun hal itu tetap ada dalam kepedulian bimbingan konseling perkembangan. b. Development. Titik sentral tujuan bimbingan konseling terletak pada perkembangan optimal dan strategi, dengan upaya pokok memberikan kemudahan perkembangan
bagi
individu
melalui
perekayasaan
lingkungan
perkembangan. c. Outreach. Target populasi layanan bimbingan konseling tidak terbatas kepada individu bermasalah dan dilakukan secara individual tetapi meliputi ragam dimensi (masalah, target intervensi, setting, metode, lama waktu layanan) dalam rentang yang cukup lebar. Tehnik yang digunakan dalam bimbingan konseling
perkembangan
adalah
pembelajaran,
pertukaran
informasi,
bermain peran, tutorial, dan konseling. Carlon (Santrock, 2003) menyatakan, dilihat dari fungsi bimbingan konseling di mana masa remaja menunjukan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan konseling yang lebih menitikberatkan pada perkembangan moral remaja. Sementara itu berkaitan dengan moral remaja terdapat beberapa pendekatan yang dapat digolongkan menjadi dua. Seperti diungkapkan oleh Benninga (Santrock, 2003), yaitu :
1. Pendidikan moral secara langsung (Direct Moral Education). Memberikan penekanan pada nilai dan juga sifat karakter selama jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat tersebut kedalam kurikulum. Sebagai contoh, diskusi kelas, bermain peran, dan lain-lain. 2. Pendidikan moral secara tidak langsung (Indirect Moral Education). Mendorong remaja untuk menentukan nilai mereka sendiri dan nilai orang lain serta membantu mereka menentukan perspektif moral yang akan mendukung nilai-nilai tersebut yang mencakup : a. Klarifikasi nilai. (Values Clarification). adalah pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang fokusnya adalah membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk dicari. Pemberian klarifikasi nilai, kepada para siswa diwujudkan dalam bentuk pertanyaan atau masalah dan diharapakan untuk memberi solusi, baik secara individual maupun kelompok. Diskusi ini bertujuan untuk menolong siswa menemukan nilai mereka sendiri dan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang lain. b. Pendidikan moral kognitif (Cognitive Moral Education). adalah
pendekatan
moral
secara
tidak
langsung
yang
menekankan agar remaja mengambil nilai-nilai seperti demokrasi dan keadilan selama penalaran moral mereka terbentuk. Sebagai contoh, siswa diberi kesempatan untuk dibentuk melalui perhatian mereka terhadap
lingkungan
sekitar
sehingga
mereka
mampu
belajar
menerapkan prinsip mengenai kerja sama, rasa percaya, dan mandiri.
Mengacu pada definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi bimbingan konseling meliputi : edukatif , development, dan outreach yang lebih menekankan pada perkembangan moral remaja baik itu secara kognitif maupun secara moral. G. Tujuan Bimbingan Konseling. Tujuan bimbingan konseling menurut Ahmadi (1977), diantaranya adalah : -
Membantu para siswa untuk mengembangkan pemahaman diri sendiri sesuai dengan kecakapan minat pribadi, hasil belajar serta kesempatan yang ada.
-
Membantu siswa untuk mengembangkan motif dalam belajar sehingga tercapai kemampuan belajar yang berarti.
-
Memberi dorongan didalam pengarahan diri, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, keterlibatan dalam proses pendidikan.
-
Membantu
siswa
untuk
memperoleh
kepuasan
pribadi
dalam
penyesuaian diri secara maksimal terhadap masyarakat. -
Membantu para siswa untuk hidup didalam kehidupan yang seimbang dalam berbagai aspek fisik, mental, dan sosial. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan bimbingan
konseling adalah, membantu siswa mengembangkan pemahaman diri baik itu secara fisik, mental, dan sosial sehingga nantinya mampu menempatkan dan mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuannya. H. Efektifitas Fungsi Bimbingan Konseling. Efektifitas dapat diartikan sebagai sejauh mana sebuah bimbingan mampu dilaksanakan dan dapat dilihat hasilnya secara positif. Efektifitas itu sendiri dapat dilihat dari penilaian program bimbingan yang merupakan usaha
untuk menilai sejauh mana pelaksanaan program itu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam keseluruhan kegiatan layanan bimbingan konseling penilaian diperlukan untuk memperoleh umpan balik terhadap keefektifan layanan bimbingan yang telah dilaksanakan. Dengan informasi ini dapat diketahui derajat keberhasilan kegiatan layanan bimbingan (Juantika,2005).
I. Hipotesis Penelitian. Berdasarkan kesimpulan tinjauan pustaka diatas,hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah (1) Ada hubungan negatif antara efektifitas fungsi bimbingan konseling dengan perilaku delinkuen pada siswa di mana semakin tinggi efektifitas fungsi bimbingan konseling maka akan semakin rendah perilaku delinkuen siswa (2) Ada perbedaan efektivitas fungsi bimbingan konseling pada siswa yang pernah berkonsultasi dan belum pernah berkonsultasi dengan bimbingan konseling sekolah.
METODE PENELITIAN A. Variabel Penelitian. a. Variabel Bebas
: Fungsi Bimbingan Konseling.
b. Variabel Bebas
: Keikutsertaan Siswa dalam Konsultasi.
c. Variabel Tergantung
: Perilaku Delinkuen.
B. Subjek Penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan dengan rentang usia 16 – 18 tahun aktif sebagai siswa sekolah menengah umum baik itu yang pernah dan belum pernah mengikuti bimbingan konseling, di mana secara formal sekolah tersebut memiliki lembaga bimbingan konseling.
C. Alat Pengumpulan Data. a. Skala Fungsi Bimbingan Konseling. Fungsi Bimbingan konseling adalah seberapa efektif bantuan yang diberikan kepada peserta didik oleh lembaga bimbingan konseling dalam mengarahkan
siswa
atau
peserta
didik
agar
mampu
merencanakan,
mempertimbangkan, dan mengambil keputusan untuk masa depan mereka. Efektif
tidaknya
fungsi
bimbingan
konseling
akan
diungkap
dengan
menggunakan Skala efektifitas fungsi bimbingan konseling yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada 3 fungsi bimbingan konseling yang dikemukakan oleh Juantika (2005), yaitu fungsi edukatif, development, dan outreach. Validitas dan reliabilitas skala akan dihitung dengan menggunakan program komputer SPSS 12,00 (Santoso, 2003). Uji validitas aitem menunjukan dari 37 aitem yang diujicobakan terdapat 30 aitem yang valid dan 7 aitem yang dinyatakan gugur dengan koefisien validitas bergerak dari 0,333 sampai 0,712 dan koefisien reliabilitas sebesar 0,938. b. Skala Perilaku Delinkuen. Perilaku delinkuen adalah tinggi rendahnya penyimpangan perilaku remaja yang menimbulkan korban materi, korban fisik, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban dipihak lain serta pengingkaran status. Tinggi rendahnya perilaku delinkuen akan diungkap dengan menggunakan skala perilaku delikuen yang mengacu pada teori Jensen (Sarwono, 2000). Uji validitas menunjukan dari 100 aitem yang diuji cobakan terdapat 55 aitem yang valid dan 45 aitem yang gugur. Koefisien validitas bergerak antara 0,307 hingga 0,828 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,958.
D. Hasil Penelitian. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu dilaksanakan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas yang dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 12,00. Uji Hipotesis. Untuk uji hipotesis digunakan teknik analisa produck moment dari pearson dan uji-t. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,470 dengan p = 0,000, hal ini menunjukan ada hubungan yang sangat signifikan antara efektifitas fungsi bimbingan konseling dengan perilaku delinkuen pada siswa yang pernah dan belum pernah ikut di bimbingan konseling sekolah. Artinya semakin efektif fungsi bimbingan konseling maka akan semakin rendah tingkat perilaku delinkuen pada siswa yang pernah berkonsultasi dengan bimbingan
konseling
dan
akan
mencegah
siswa
yang
belum
pernah
berkonsultasi dengan bimbingan konseling untuk berperilaku delinkuen. Berdasarkan uji-t terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang pernah konseling dan belum pernah konseling, dimana siswa yang belum pernah konseling lebih tinggi daripada yang sudah pernah konseling. Hal ini terlihat dengan hasil mean sebesar 135,58. Peran atau sumbangan efektif fungsi bimbingan konseling terhadap perilaku delinkuen pada siswa yang pernah dan belum pernah mengikuti bimbingan konseling sebesar 22,1 % yang ditujukan oleh nilai koefisien determinan sebesar 0,221.
E. Analisis Tambahan. Analisis data tambahan didapatkan hasil sebagai berikut: (1) Ada perbedaan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam menilai efektivitas fungsi bimbingan konseling untuk aspek edukasi dengan skor laki-laki lebih lebih tinggi dengan mean 40,40. (2) Ada perbedaan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam menilai efektivitas fungsi bimbingan konseling untuk aspek development dimana laki-laki memperoleh hasil lebih tinggi pada mean 49,54. (3) Ada perbedaan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam menilai efektivitas fungsi bimbingan konseling untuk aspek outreach dimana laki-laki lebih tinggi dengan mean 46,78. (4) Ada perbedaan antara siswa yang pernah konsultasi dengan yang belum pernah dalam menilai efektivitas fungsi bimbingan konseling untuk aspek edukasi, dimana siswa yang pernah konseling lebih tinggi dengan mean 34,15. (5) Ada perbedaan antara siswa yang pernah konsultasi dengan yang belum pernah dalam menilai efektivitas fungsi bimbingan konseling untuk aspek development, dimana siswa yang pernah konsultasi lebih tinggi dengan mean 44,18. (6) Ada perbedaan antara siswa yang pernah konsultasi dengan yang belum pernah dalam menilai efektivitas fungsi bimbingan konseling untuk aspek outreach, dimana siswa yang pernah konsultasi lebih tinggi dengan mean 42,36. (7) Ada perbedaan yang sangat signifikan tingkat delinkuen antara subyek laki-laki dan perempuan (t = 18,709; p = 0,000), dimana tingkat delikuensi laki-laki lebih tinggi dengan mean 241,99.
(8) Ada perbedaan tingkat delinkuen yang sangat signifikan pada siswa yang pernah dan belum pernah konseling (t = 3, 487; p = 0,001), di mana siswa yang belum pernah konsultasi lebih tinggi dengan mean 247,39.
PENUTUP A. Kesimpulan Hasil penelitian ini bisa disimpulkan dalam beberapa poin, yaitu: -
Tingkat efektivitas fungsi bimbingan konseling di sekolah terkait erat dengan tingkat perilaku delinkuen di mana semakin tingi efektifitas fungsi bimbingan konseling maka semakin rendah kecenderungan responden penelitian untuk memunculkan perilaku delinkuen.
-
Efektifitas fungsi Bimbingan Konseling berperan sebesar 22,1% untuk menurunkan munculnya perilaku delinkuen pada siswa
-
Siswa yang pernah ikut konsultasi menilai positif dengan adanya bimbingan konseling, sedangkan siswa yang belum pernah konseling menilai negative dengan adanya bimbingan konseling.
-
Ada perbedaan fungsi bimbingan konseling pada aspek edukasi di tinjau dari jenis kelamin dimana skor laki-laki lebih tinggi.
-
Ada
perbedaan
fungsi
bimbingan
konseling
pada
aspek
development ditinjau dari jenis kelamin, dimana laki-laki lebih tinggi -
Ada perbedaan fungsi bimbingan konseling pada aspek outreach ditinjau dari jenis kelamin, dimana laki-laki lebih tinggi.
-
Ada perbedaan fungsi bimbingan konseling edukasi berdasarkan pernah dan belum pernah konseling, dimana siswa yang pernah konseling lebih tinggi dengan mean 34,15.
-
Ada
perbedaan
fungsi
bimbingan
konseling
development
berdasarkan pernah dan tidak pernah dimana siswa yang pernah konsultasi lebih tinggi dengan mean 44,18. -
Ada perbedaan fungsi bimbingan konseling outreach dimana siswa yang pernah bimbingan lebih tinggi dengan mean 43,36.
B. Saran
1. Bagi subjek penelitian. Bagi para siswa-siswi SMU PIRI I dapat memanfaatkan fungsi layanan bimbingan konseling untuk membantu memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari maupun dalam masalah belajar. 2. Bagi lembaga bimbingan konseling. Lembaga bimbingan konseling lebih memahami tugasnya sebagai konselor siswa dan memperbanyak pengetahuan mengenai bimbingan konseling serta permasalahan yang sering dihadapi remaja terutama pada fungsi edukatif dan development. Hal ini dikarenakan reputasi serta kredibilitas bimbingan konseling mempengaruhi keefektifan fungsi layanan bimbingan konseling. 3. Bagi peneliti selanjutnya. Bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama diharapkan mempertimbangkan variabel lain yang dapat mencegah dan menguranggi perilaku delinkuen pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad. 1999. Hubungan Antara Persepsi Peran Ibu Dalam Keluarga Dengan Kecenderungan Berperilaku Delinkuen pada Remaja di SMU N 7 Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2004. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bimo, W. 1980. Bimbingan & Penyuluhan di Sekolah. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Conger, J. J. 1977. Adolesence & Youth : Psychological Development in a Changing World. New York : Harper & Row. Dusek, J. B. 1977. Adolesencent Development & Behavior. Chicago : Science Research Associate, Inc. Djumhur, I. & Surya. 1980. Bimbingan & Penyuluhan di Sekolah. Bandung : C.V Ilmu. Departermen Pendidikan & Kebudayaan. 1989. UU No.2/1989. Sistem Pendidikan Nasional. Ekowarni, E. 1993. Kenakalan Remaja : Suatu Tinjauan Psikologi. Buletin Psikologi. 2, 24-27. Elfida, D. 1995. Hubungan Antara Kemampuan Mengontrol Diri dan Kemampuan Berperilaku Delinkuen Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Gunarsa & Gunarsa. 1986. Psikologi Praktis : Anak, Remaja, & Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Keluarga.
Haditono, R.S. 2001. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Hawari, D. 1997. Al Quran. Ilmu Kesehatan & Kedokteran Jiwa. Yogyakarta. Dhana Bhakti Wakaf. Juantika & Sudianto. 2005. Manajemen Bimbingan Konseling di SMA. Kurikulum 2004. Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana Indonesia. Kartono. K. 2005. Patologi Sosial 2 : Kenakalan Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Kedaulatan Rakyat. Minggu 24 April 2005. Remaja, Masa – masa Penuh Krisis. Koeswara. 1988. Agresi Manusia. Bandung : PT Eresco. Mudjiran. 1999. Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Layanan Bimbingan Konseling dan Sikap Siswa Terhadap Layanan Bimbingan Konseling Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas 2 SMUN Kediri. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Paratidarmanistiti, L. 1991. Perkembanagn Moral Remaja Delinkuen & Non Delinkuen. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Prayitno. 1997. Seri Pemandu Pelayanan Bimbingan & Konseling. Jakarta : PT. Ikrar Mandiri Abadi. Santrock, J.W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga. Santoso, S. 2003. Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo. Sarwono, S. W, 2000. Psikologi Remaja. Jakarta. Grafindo Persada. Simandjuntak, B. 1984. Latar Percetakan Offset Aumni.
Belakang
Kenakalan
Remaja.
Tambunan, R. http:/www. E-psikologi.com/remaja. 09/06/2005.
Bandung:
Thornburg, H.D. 1982. Development in Adolescence. California : Brook/Cole Publishing Company.