E-jurnal Agroindustri Indonesia Penanggung Jawab Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian Ketua Dewan Editor Dr. Eng. Taufik Djatna, STP, MSi Dewan Editor Prof. Dr. Ing. Suprihatin Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, MSc Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi Dr. Ir. Aji Hermawan, MM Dr. Ir. Hartisari Hardjomidjojo, DEA Editor Pelaksana Dr. Endang Warsiki, STP, MT Dr. Ir. Mohammad Yani, Meng Ir. Erlisa Anggaraeni, MSc Ir. M. Arief Darmawan, MT Sekertariat Angga yuhistira Artyanto, STP, MSi Anis Anisa Adnan, STP Teguh Adi Setia, Amd
Kata Pengantar Optimasi Produksi Biodisel Dari Biji Jarak Pagar Melalui Transesterifikasi In Situ Menggunakan Metode Respon Permukaan Ika Amalia Kartika dan Yuyun Pujiastuti Model Pemilihan Tingkat Teknologi, Sumber Pembiayaan Dan Kelembagaan Usaha Dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Nagari Dengan Proses Jejaring Analitik Nofialdi, Irawadi Jamaran, Syafrida Manuwoto, Marimin, Yandra Arkeman dan Sapta Raharja Pembuatan Label/Film Indikator Warna Dengan Pewarna Alami Dan Sintetis Endang Warsiki dan Citra Dewi Wahyono Putri Evaluasi Layanan Pelanggan Berbasis Quality Function Deployment (Qfd) Studi Kasus: Pt. Mitra Nasional Kualitas, Jakarta Hasti Purnasari, Taufik Djatna dan Hartrisari Hardjomidjojo Pengaruh Waktu Reaksi Dan Rasio Heksan/Total Pelarut Terhadap Rendemen Dan Kualitas Biodiesel Pada Proses Transesterifikasi In Situ Biji Jarak Pagar Fitriyana Ayu Aprilyanti dan Ika Amalia Kartika Prediksi Perbaikan Layanan Menggunakan Metode Analisis Bertahan (Survival Analysis) Taufik Djatna, Hartrisari Hardjomidjojo, dan Tanti Meylani Karakterisasi Kondisi Operasi dan Optimasi Preoses Pengolahan Air Limbah Industri Pangan Lintang Zulqaida Fitrahani, Nastiti Siswi Indrasti dan Suprihatin Penggunaan Selulosa Mikrobial Dari Nata De Cassava Dan Sabut Kelapa Sebagai Pensubstitusi Selulosa Kayu Dalam Pembuatan Kertas Khaswar Syamsu, Renny Puspitasari dan Han Roliadi
KATA PENGANTAR Kemajuan penelitian di bidang agro-industri secara umum berada dalam tiga domain bidang keilmuan, yaitu teknik sistem industri, teknik proses dan bioproses serta teknik dan manajemen lingkungan industri. Ketiga bidang bahasan ini diharapkan menyediakan keuntungan lebih bagi semua pihak terkait (stakeholders). Pada penerbitan ke dua ini e-JAII menyajikan 9 artikel yang telah melalui proses lengkap penyaringan baku jurnal ilmiah bereview. Kesembilan artikel ini mewakili domain keilmuan yang menjadi ciri konsep agro-industri sejak lebih dari 30 tahun lalu di Institut Pertanian Bogor. Cakupan yang cukup luas pada terbitan kali ini dimulai dengan paper tentang optimasi produksi biodiesel. Pembahasan bio energi menjadi salah satu trend yang banyak dibahas dalam bidang agro-industri sebagaimana juga kekhasan bahasan agro-industri dari sisi kultural juga dapat diikuti pada paper kedua tentang pemodelan pemilihan teknologi tepat guna, kali ini berasal dari luar IPB, yaitu dari Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Satu paper unik tentangbahan pengemasan juga disertakan dalam kompilasi e-JAII ini. Selanjutnya dua paper tentang CRM dan strategi penguatan layanan konsumen dapat diikuti dengan perhitungan dan hasil yang menarik untuk diikuti. Sebagai penutup dua paper tentang pengolahan limbah industri dan penggunaan mikroba dalam usaha mengembangkan kertas dari bahan alternatif. . Mengingat frekuensi penerbitan yang relatif pendek, ke depan kami harapkan lebih banyak paper yang bisa kami terima untuk direview dan diterbitkan. Atas nama dewan redaksi, kami menyampai terimkasih banyak pada semua anggota tim redaksi atas waktu, kerja sama, kesungguhan dan semangat hingga terbitan kedua ini dapat terlaksana.
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 68 - 74 ISSN: 2252 - 3324
Available online at : http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
OPTIMASI PRODUKSI BIODIESEL DARI BIJI JARAK PAGAR MELALUI TRANSESTERIFIKASI IN SITU MENGGUNAKAN METODE RESPON PERMUKAAN OPTIMIZATION OF BIODIESEL PRODUCTION FROM JATROPHA SEEDS BY IN SITU TRANSESTERIFICATION USING RESPONSE SURFACE METHOD Ika Amalia Kartika dan Yuyun Pujiastuti Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Kotak Pos 220, Bogor 16680, Indonesia. Email:
[email protected]
ABSTRACT Energy consumption increases when human activity increases. Today, the energy supply is mainly focused on fossil fuel which its availability is limited and the price increases continuelly. There is thus a need to develop the alternative energy such as biodiesel. The objective of this study is to determine the optimum process conditions to produce biodiesel from jatropha seeds by in situ transesterification using respon surface method (RSM). The variable of process conditions used was reaction time (A) (45, 50 and 55oC) and hexane to total solvent ratio (B) (1/6, 2/6 and 3/6), while the respon (y) observed included biodiesel yield, acid value, saponification value, viscosity and ash content. Reaction time, stirring speed and KOH concentration were respectively fixed at 3 h, 500 rpm and 0,075 mpl/L methanol. Regression analysis showed that first order polynomial equation, y = 74,98 + 1,20 A – 2,71 B (R2 = 89,87%) was significant to optimize the influence of reaction temperature and hexane to solvent ratio on biodiesel yield. The influence of hexane to solvent ratio on biodiesel yield was more significant then that reaction temperature. Biodiesel yield increased as hexane to solvent ratio decreased. The influence of variable A and B on biodiesel quality, especially saponification value and viscosity, was significant. Highest biodiesel yield (78,60%) was obtained under process conditions of 55 oC reaction temperature and 1/6 hexane to solvent ratio. Biodiesel quality under such process conditions was acid value of 0,66 mg KOH/g, saponification value of 195 mg KOH/g, ash content of 0,0% and viscosity of 3,70 cSt. Keyword: biodiesel, transesterification in situ, jatropha, response surface method ABSTRAK Semakin tingginya aktivitas manusia mengakibatkan kebutuhan akan energi terus mengalami peningkatan. Suplai energi utama terfokus pada bahan bakar fosil, dimana bahan bakar fosil tersebut terus mengalami kelangkaan dan harganya terus meningkat. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah biodiesel. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi proses yang optimum dalam memproduksi biodiesel dari biji jarak pagar melalui transesterifikasi in situ menggunakan metode respon permukaan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari suhu reaksi (A) (45, 50 dan 55 oC) dan rasio heksan/total pelarut (B) (1/6, 2/6 dan 3/6), sedangkan respon (y) yang diamati meliputi rendemen biodiesel, bilangan asam, bilangan penyabunan, viskositas, dan kadar abu. Waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan konsentrasi KOH ditetapkan masing-masing pada 3 jam, 500 rpm dan 0,075 mol/L metanol. Berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan polinomial orde 1, y = 74,98 + 1,20 A – 2,71 B (R2 = 89,87%), signifikan untuk mengoptimasi pengaruh suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen biodiesel. Variabel rasio heksan/total pelarut berpengaruh lebih signifikan terhadap rendemen biodiesel. Semakin rendah rasio heksan/total pelarut, rendemen biodiesel semakin meningkat. Pengaruh variabel A dan B terhadap kualitas biodiesel, khususnya bilangan penyabunan dan viskositas adalah signifikan. Rendemen biodiesel tertinggi (78,60%) dihasilkan dari kondisi operasi pada suhu reaksi 55oC dan rasio heksan/total pelarut 1/6. Pada kondisi operasi tersebut, mutu biodiesel yang dihasilkan mempunyai bilangan asam 0,66 mg KOH/g, bilangan penyabunan 195 mg KOH/g, kadar abu 0,0%, dan viskositas 3,70 cSt. Kata kunci: biodiesel, transesterifikasi in situ, jarak pagar, metode respon permukaan PENDAHULUAN Saat ini kebutuhan akan energi terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan aktivitas manusia, baik dalam kegiatan industri maupun rumah tangga. Suplai energi utama saat ini hanya terfokus pada sumber energi fosil, dimana sumber energi ini tingkat ketersediaannya terus mengalami penurunan. Tingkat
konsumsi energi dunia meningkat sebesar 70% dari tahun 2000 sampai 2030, sedangkan cadangan sumber energi fosil dunia terus mengalami penurunan, 40 tahun untuk minyak bumi, 60 tahun untuk gas alam, dan 200 tahun untuk batu bara. Sumber energi yang berasal dari fosil saat ini hanya mampu menyumbang 87,7% dari kebutuhan energi total (Qian et. al., 2008).
Vol. 2, 2012 Bahan bakar fosil selain mengalami permasalahan dengan tingkat ketersediaannya, hasil pembakaran dari bahan bakar seperti NOx, SOx, hidrokarbon, dan komponen karsinogenik lainnya dapat meningkatkan efek rumah kaca dan berdampak pada global warming (National Biodiesel Board, 2010). Oleh karena itu, perlu dikembangkan sumber energi alternatif yang alami, dapat diperbaharui, ramah lingkungan, dan mudah dibudidayakan. Saat ini banyak penelitian yang mengembangkan sumber energi terbarukan atau yang sering disebut dengan biofuel, salah satunya yang sering digaungkan adalah biodiesel (Nurcholis, 2007). Banyak tanaman yang dapat dikembangkan sebagai bahan baku untuk biodiesel, diantaranya kelapa sawit (Kalam, 2002), biji kedelai (Haas et al., 2004), biji bunga matahari (Georgogianni et al., 2008), rice bran (Ozgul-Yucel dan Turkay, 2003), biji kapas (Qian et al., 2008) dan jarak pagar (Achten et al., 2008). Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.). memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku untuk biodiesel karena tanaman ini mudah dibudidayakan, tidak memerlukan lahan yang subur, dan biaya yang mahal (Achten et al., 2008). Minyak yang terkandung dalam biji jarak pagar tidak dapat dikonsumsi karena mengandung racun forbol ester (Gubitz et al., 1999). Pemakaian jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel akan menghindarkan terjadinya konflik antara pemanfaatannya sebagai bahan pangan dan biodiesel. Terdapat banyak metode atau pilihan proses yang dapat diterapkan untuk memproduksi biodiesel dari minyak nabati. Menurut Haas et al. (2004), proses produksi minyak secara konvensional membebani 70% dari total biaya proses produksi biodiesel. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan menerapkan transesterifikasi in situ. Transesterifikasi in situ menjadi pilihan proses yang tepat dalam pembuatan biodiesel karena mampu menurunkan biaya produksi dengan mengeliminasi tahapan ekstraksi dan pemurnian minyak. Mekanisme transesterifikasi in situ yaitu terjadi kontak langsung antara bahan baku sumber minyak dengan pelarut dan katalis (Georgogianni et al, 2008). Transesterifikasi in situ ini memanfaatkan trigliserida yang berasal dari bahan baku sumber minyak tanpa perlu mengekstrak dan memurnikannya terlebih dahulu (Qian et al., 2008). Penelitian tentang transesterifikasi in situ biji jarak pagar telah banyak dikembangkan (Shuit et al., 2010; Utami, 2010; Yulianingtyas, 2011; Fajarani, 2011; Amalia Kartika et al., 2011 a,b). Penelitianpenelitian tersebut telah memberikan hasil yang memuaskan. Penambahan co-solvent heksan telah meningkatkan performa proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar. Demikian halnya dengan kondisi proses suhu reaksi, berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kinerja proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi terhadap kedua parameter tersebut untuk mendapatkan kondisi optimum dari kedua parameter tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi proses yang optimum dalam memproduksi biodiesel dari biji jarak pagar melalui transesterifikasi in
Optimasi Produksi Biodiesel 69 situ menggunakan metode respon permukaan (RSM). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari suhu reaksi (A) (45, 50 dan 55oC) dan rasio heksan/total pelarut (B) (1/6, 2/6 dan 3/6), sedangkan respon yang diamati meliputi rendemen biodiesel, bilangan asam, bilangan penyabunan, viskositas, dan kadar abu. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Pada penelitian ini, bahan utama yang digunakan adalah buah jarak pagar yang diperoleh dari PT. Jedo, Tangerang. Bahan kimia yang digunakan adalah metanol, heksan, etanol, indikator phenolphthalein, indikator mensel, KOH, HCl, NaOH, H2SO4, CuSO4, dan Na2SO4. Alat yang digunakan adalah reaktor dengan kapasitas 10 liter yang dilengkapi dengan pemanas, pengaduk, kondensor dan termometer, blender, pendingin tegak, rotary evaporator, penyaring, labu pemisah, viskosimeter Ostwald, cawan porselen, oven, buret, desikator, labu Kjeldhal, Soxhlet apparatus, timbangan, cawan alumunium, cawan porselen, autoklaf, tanur, dan peralatan gelas. Metode Karakterisasi bahan baku Persiapan bahan baku dilakukan dengan cara mengupas buah jarak pagar kering untuk memisahkan biji dari cangkangnya. Biji jarak pagar dikarakterisasi kadar air (AOAC 1995, 950.46), kadar lemak (SNI 012891-1992), kadar serat (SNI 01-2891-1992), kadar abu (AOAC 1995, 923.03), dan kadar protein (AOAC 1995, 991.20) serta kadar karbohidratnya (by difference). Optimasi produksi biodiesel melalui transesterifikasi in situ Biji jarak pagar yang telah dikarakterisasi, selanjutnya dikeringkan pada suhu 60-70oC selama 2448 jam untuk mendapatkan kadar air biji jarak < 2%. Proses transesterifikasi in situ biji jarak dilakukan dengan menggunakan reaktor berukuran 10 L yang dilengkapi dengan pemanas, kondensor, pengaduk, dan termometer. Kondisi operasi divariasikan pada suhu reaksi 45, 50 dan 55oC dan rasio heksan/total pelarut 1/6, 2/6 dan 3/6. Biji jarak pagar (kadar air < 2%) diperkecil ukurannya dengan menggunakan blender untuk mendapatkan ukuran partikel ± 20 mesh. KOHmetanolik dengan konsentrasi KOH 0,075 mol/L metanol dibuat dengan melarutkan KOH dalam metanol sampai KOH terlarut seluruhnya. Biji jarak kering yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam larutan reaktan dengan rasio heksan/total pelarut sesuai perlakuan. Kondisi proses suhu reaksi divariasikan sesuai perlakuan, sedangkan kecepatan pengadukan dan waktu reaksi ditetapkan pada 500 rpm dan 3 jam. Setelah waktu reaksi tercapai campuran dibiarkan semalam untuk menurunkan suhu dan mengendapkan padatan. Campuran selanjutnya disaring untuk memisahkan filtrat dari padatan. Filtrat dievaporasi menggunakan evaporator untuk menguapkan heksan dan metanol. Filtrat kemudian ditempatkan dalam labu pemisah dan
70 Amalia Kartika I Et Al.
E-JAII
didiamkan selama beberapa jam untuk memisahkan biodiesel dan gliserol. Gliserol berada di bagian bawah dan berwujud semi padat, sedangkan biodiesel berada di bagian atas. Biodiesel kemudian dicuci dengan akuades sampai pHnya netral dan dipanaskan pada suhu 105oC selama 1 jam untuk menguapkan air sisa pencucian. Biodiesel selanjutnya didinginkan dan ditimbang untuk mengetahui bobotnya. Rendemen biodiesel dihitung berdasarkan persamaan:
Biodiesel yang dihasilkan kemudian dianalisis mutunya yang meliputi bilangan asam (SNI 04-71822006), bilangan penyabunan (SNI 04-7182-2006), viskositas (SNI 04-7182-2006), dan kadar abu (AOAC 1995, 950.46). Rancangan Percobaan Penelitian ini dirancang menggunakan “Least Squares Desaign”. Data-data yang dihasilkan digunakan untuk memodelkan pengaruh variabelvariabel kondisi proses suhu reaksi (A) dan rasio heksan/total pelarut (B) terhadap respon (y) yang meliputi rendemen biodiesel, bilangan asam, bilangan penyabunan, viskositas dan kadar abu. Jumlah level sebanyak 3 dan faktor sebanyak 2 digunakan untuk menentukan kondisi proses optimum. Level “coded” dan “uncoded” dari variabel-variabel kondisi proses tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Variabel dan level yang digunakan untuk “Least Square Desaign” dalam proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar Variabel Simbol Level
Suhu Reaksi Rasio Heksan/Total Pelarut
A B
-1
0
+1
45 1/6
50 2/6
55 3/6
Untuk level -1 dan +1, penelitian ini dilakukan sebanyak 2 ulangan, sedangkan untuk level central (0) penelitian dilakukan sebanyak 5 ulangan. Data-data yang dihasilkan selanjutnya dianalisis regresi respon permukaannya menggunakan persamaan polinomial orde satu sebagai berikut: y= βo + β1x1 + β2x2 dimana y adalah respon (rendemen biodiesel, bilangan asam, bilangan penyabunan, viskositas dan kadar abu); x1 dan x2 adalah variabel “uncoded”; dan βo, β1 dan β2 masingmasing adalah konstanta titik potong dan koefisien linier untuk x1 dan x2. Analisis regresi dan analisis keragaman (ANOVA α = 0,05) dilakukan menggunakan Desaign Expert software.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bahan Baku Karakterisasi bahan baku bertujuan untuk mengetahui kualitas bahan baku yang akan digunakan untuk proses produksi biodiesel. Hasil karakterisasi bahan baku (Tabel 2) menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air yang lebih tinggi (± 2%) dan kadar lemak yang lebih rendah (± 6%) dibandingkan dengan hasil penelitianpenelitian sebelumnya (Utami, 2010; Fajarani, 2011; Yulianingtyas, 2011), sedangkan kadar serat bahan yang digunakan pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian Fajarani (2011) dan Yulianingtyas (2011), tetapi lebih tinggi dari penelitian Utami (2010). Perbedaan ini dipengaruhi oleh varietas, umur panen, kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman jarak pagar dan penanganan pasca panennya (Achten et al., 2008). Tabel 2. Karakteristik biji jarak pagar No Parameter Nilai (% b/b) 1 2 3 4 5 6
Kadar Air Kadar Lemak Kadar Serat Kadar Abu Kadar Protein Kadar Karbohidrat
8,04 30,39 29,94 4,85 17,77 9,01
Kadar air bahan sangat dipengaruhi oleh daerah asal dan penanganan pasca panennya. Daerah dengan kelembaban tinggi cenderung menghasilkan jarak pagar dengan kadar air yang tinggi pula. Selain itu, kondisi lingkungan pada saat penyimpanan sangat mempengaruhi terjadinya perubahan kadar air bahan. Peningkatan RH penyimpanan di atas RH ruangan menyebabkan peningkatan kadar air bahan dibandingkan kadar air awalnya, sebaliknya penyimpanan di bawah RH ruangan akan menurunkan kadar air bahan (Warsiki et al., 2007). Bahan dengan kadar air tinggi perlu dikeringkan untuk mengurangi kandungan airnya karena air dapat menghambat reaksi transesterifikasi in situ. Penurunan kadar air akan meningkatkan rendemen biodiesel yang dihasilkan dan menurunkan jumlah katalis yang dipakai selama proses (Qian et al., 2008). Kadar air yang tinggi dapat menurunkan keefektifan katalis dan menghidrolisis trigliserida menjadi asam-asam lemak bebas sehingga proses konversi trigliserida menjadi biodiesel semakin rendah. Menurut Goff et al. (2004), minyak dengan kadar air kurang dari 0,1% dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90%. Penurunan kadar air dalam bahan baku dari 8,7% menjadi 1,9% dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam metanol dari 92,2% menjadi 99,7% dan meningkatkan konversi transesterifikasi dari 80% menjadi 98% pada proses transesterifikasi in situ biji kapas dengan metanol dan katalis NaOH. Kadar lemak merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi rendemen. Pemberian nutrisi dan kondisi lahan pada masa tanam jarak pagar dan waktu pemanenan sangat mempengaruhi kualitas biji yang dihasilkan. Cara penaman dan kondisi lahan
Vol. 2, 2012
Optimasi Produksi Biodiesel 71
yang baik serta waktu pemanenan yang tepat akan menghasilkan biji dengan kualitas yang baik. Semakin tinggi kadar lemak pada bahan maka rendemen biodiesel yang dihasilkan semakin tinggi karena semakin banyak minyak yang dapat dikonversi menjadi metil ester (Achten et al., 2008). Kadar serat merupakan komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terkandung dalam biji jarak pagar. Kadar serat dipengaruhi oleh komposisi kulit biji dan kernel biji yang ada dalam biji jarak pagar (Ketaren, 2008). Bahan yang memilik kadar serat tinggi memiliki daging buah yang kecil. Secara tidak langsung, kadar serat pada suatu bahan akan mempengaruhi besar atau kecilnya kadar lemak. Optimasi Proses Produksi Biodiesel melalui Transesterifikasi In situ Pada penelitian ini, rendemen biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 71-79%. Hasil analisis keragaman (ANOVA α = 0,05) dan analisis regresi menggunakan metode respon permukaan (Tabel 3) menunjukkan bahwa persamaan polinomial orde pertama, y = 74,98 + 1,20 A – 2,71 B (R2 = 89,87%), signifikan untuk mengoptimasi pengaruh variabelvariabel suhu reaksi (A) dan rasio heksan/total pelarut (B) terhadap rendemen biodiesel (y). Pengaruh variabel rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen biodiesel lebih signifikan (P < 0,05) dibandingkan variabel suhu reaksi. Hasil uji lack of fit dan curvature menunjukkan bahwa interaksi dan kuadratik variabel-variabel tersebut (A2 dan B2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen biodiesel. Hal ini memperjelas bahwa persamaan orde pertama cocok untuk memprediksi pengaruh variabel-variabel A dan B terhadap y. Gambar 1 menunjukkan hubungan antara variabel-variabel suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen biodiesel. Semakin tinggi suhu reaksi dan semakin rendah rasio heksan/total pelarut yang digunakan untuk proses transesterifikasi in situ biji jarak, rendemen biodiesel yang dihasilkan pun semakin tinggi. Dengan demikian, rendemen biodiesel tertinggi (78,60%) diperoleh dari kondisi proses suhu reaksi 55oC dan rasio heksan/total pelarut 1/6. Tabel 3. ANOVA untuk respon rendemen biodiesel Source Model A B Curvature Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
* signifikan
Sum of Squares 33,47 4,13 29,33 2,16 3,77 0,050
DF 2 1 1 1 3 1
Mean Square 16,73 4,13 29,33 2,16 1,26 0,050
3,72
2
1,86
39,40
6
F Value 13,31 3,29 23,33 1,72
Prob > F 0,0322* 0,1675 0,0169* 0,2813
0,027
0,8847
Gambar 1. Respon permukaan pengaruh suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen biodiesel Suhu diperlukan untuk mencapai kondisi reaksi. Suhu diyakini mampu menurunkan energi aktivasi, yaitu energi yang digunakan untuk memulai reaksi (Knothe et al., 2006). Semakin tinggi suhu, semakin banyak energi yang dapat digunakan reaktan untuk mencapai energi aktivasi. Energi ini didapat dari tumbukan-tumbukan molekul reaktan yang semakin intensif. Energi kinetik dari molekul-molekul reaktan meningkat dan menyebabkan peningkatan kecepatan transfer massa antara reaktan dan katalis. Pemanasan menyebabkan molekul-molekul minyak terdispersi dan terdistribusi ke dalam molekul-molekul metanol dan bereaksi sehingga memutuskan ikatan gliserida membentuk metil ester (Noureddini dan Zhu, 1997). Heksan merupakan pelarut non polar (Ketaren, 2008). Penggunaannya sebagai co-solvent dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah minyak yang dapat diekstrak dari bahan. Dengan semakin banyaknya minyak yang dapat diekstrak diharapkan minyak yang dapat dikonversi menjadi metil ester pun meningkat. Namun demikian, pada penelitian ini rasio heksan/total pelarut memiliki pengaruh negatif terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Untuk waktu reaksi selama 3 jam, minyak yang diekstrak cukup tinggi, tetapi waktu reaksi tersebut belum cukup untuk mengkonversi seluruh minyak yang terekstrak menjadi metil ester (biodiesel). Kualitas biodiesel yang dihasilkan dari penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ memiliki kualitas yang sesuai dengan standar (SNI 04-7182-2006) kecuali untuk viskositas biodiesel yang dihasilkan dari perlakuan kondisi proses rasio heksan/total pelarut 3/6.
72 Amalia Kartika I Et Al.
E-JAII
Tabel 4. Kualitas biodiesel pada berbagai kondisi proses Kondisi Proses BA BP Vis. KA Rasio Suhu (mg (mg (cSt) (%) heksan reaksi KOH/ KOH/ /total (0C) g) g) pelarut 1/6 45 0,16 193 3,68 0 1/6 55 0,66 195 3,70 0 3/6 45 0,33 190 10,76 0 3/6 55 0,50 189 12,64 0 2/6 50 0,28 195 3,61 0 BA, Bilangan Asam; BP, Bilangan Penyabunan; Vis., Viskositas; KA, Kadar Abu. Bilangan asam biodiesel pada penelitian ini berkisar antara 0,16-0,66 mg KOH/g. Hasil analisis keragaman (ANOVA α = 0,05) dan analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan polinomial orde pertama, y = 0,41 + 0,17 A + 2,50 x 10 -3 B (R2 = 77,48%), tidak signifikan untuk mengoptimasi pengaruh variabel-variabel suhu reaksi (A) dan rasio heksan/total pelarut (B) terhadap bilangan asam (y). Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang masih tersisa setelah proses transesterifikasi. Bilangan asam dapat digunakan untuk mengetahui tingkat korosifitas biodiesel yang dihasilkan (Knothe, 2006). Semakin kecil bilangan asam, biodiesel memiliki kualitas yang baik karena tingkat korosifitasnya juga akan semakin kecil. Bilangan asam maksimal untuk biodiesel adalah 0,8 mg KOH/g (SNI 04-7182-2006). Pada penelitian ini, bilangan penyabunan biodiesel berkisar antara 189-195 mg KOH/g. Hasil analisis keragaman (ANOVA α = 0,05) dan analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan polinomial orde pertama, y =191,75 + 0,25 A – 2,25 B (R2 = 87,54%), signifikan untuk mengoptimasi pengaruh variabelvariabel suhu reaksi (A) dan rasio heksan/total pelarut (B) terhadap bilangan penyabunan (y). Pengaruh variabel rasio heksan/total pelarut terhadap bilangan penyabunan lebih signifikan (P < 0,05) dibandingkan variabel suhu reaksi. Gambar 2 menunjukkan hubungan antara variabel-variabel suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap bilangan penyabunan biodiesel. Semakin rendah rasio heksan/total pelarut yang digunakan untuk proses transesterifikasi in situ biji jarak, bilangan penyabunan semakin tinggi dan kualitas biodiesel pun semakin baik. Dengan demikian. Bilangan penyabunan tertinggi diperoleh dari kondisi proses suhu reaksi 55oC dan rasio heksan/total pelarut 1/6.
Gambar 2. Respon permukaan pengaruh suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap bilangan penyabunan Bilangan penyabunan dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat kemurnian biodiesel (Knothe, 2006). Semakin tinggi bobot molekul dari trigliserida yang diuji maka bilangan penyabunannya pun akan semakin rendah. Bilangan penyabunan yang rendah menunjukkan bahwa proses konversi dari trigliserida menjadi metil ester tidak berjalan dengan sempurna. Adanya tri-, di-, dan monogliserida sisa proses transesterifikasi yang tidak dapat dikonversi menyebabkan bobot molekul minyak menjadi tinggi (Freedman et al., 1986). Viskositas biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 3-13 cSt. Hasil analisis keragaman (ANOVA α = 0,05) dan analisis regresi menunjukkan bahwa persamaan polinomial orde pertama, y = 7,70 + 0,48 A – 4 B (R2 = 98,66%), signifikan untuk mengoptimasi pengaruh variabelvariabel suhu reaksi (A) dan rasio heksan/total pelarut (B) terhadap viskositas (y). Pengaruh variabel rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen biodiesel lebih signifikan (P < 0,05) dibandingkan variabel suhu reaksi. Gambar 3 menunjukkan hubungan antara variabel-variabel suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap viskositas. Semakin rendah rasio heksan/total pelarut yang digunakan untuk proses transesterifikasi in situ biji jarak, viskositas biodiesel yang dihasilkan semakin rendah dan kualitas semakin baik. Dengan demikian, viskositas terendah diperoleh dari kondisi proses rasio heksan/total pelarut 1/6.
Vol. 2, 2012
Optimasi Produksi Biodiesel 73 biodiesel, bilangan penyabunan dan viskositas biodiesel. Pengaruh variabel rasio heksan/total pelarut lebih signifikan dibandingkan variabel suhu reaksi. Semakin rendah rasio heksan/total pelarut, rendemen dan bilangan penyabunan biodiesel semakin tinggi, sedangkan viskositas semakin rendah. Dengan demikian, kondisi proses yang optimum untuk transesterifikasi in situ biji jarak pagar diperoleh dari perlakuan suhu reaksi 55oC dan rasio heksan/total pelarut 1/6 dengan rendemen biodiesel tertinggi 78,60%, bilangan asam 0,66 mg KOH/g, bilangan penyabunan 195 mg KOH/g, viskositas 3,70 cSt, dan kadar abu 0%.
Gambar 3. Respon Permukaan Pengaruh Suhu Reaksi dan Rasio Heksan/Total Pelarut terhadap Viskositas Viskositas berkaitan dengan aliran bahan bakar (biodiesel) ketika melewati pipa saluran dan injektor. Viskositas yang tinggi akan menyulitkan injeksi, atomisasi, dan penyebaran bahan bakar. Menurut SNI 04-7182-2006, viskositas yang memenuhi syarat adalah 2,3-6 cSt. Viskositas yang terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya kebocoran sehingga daya pembakarannya akan berkurang, jika viskositas terlalu tinggi dapat menyulitkan aliran bahan dan menyebabkan daya pembakaran menurun (Knothe, 2006). Kadar abu digunakan untuk menunjukkan besar/kecilnya kandungan mineral anorganik pada bahan. Mineral tersebut meliputi garam organik (asam malat, oksalat, asetat, pektat, dll) dan garam anorganisk (phospat, klorida, karbonat, sulfur nitrat, dan logam alkali) (Winarno, 1992). Pada biodiesel, kadar abu menunjukkan besarnya derajat buang hasil pembakaran. Semakin tingginya kadar abu maka kualitasnya semakin buruk karena akan menimbulkan kerak yang banyak pada mesin, sehingga mesin menjadi cepat rusak atau aus (Knothe, 2006). Kadar abu yang disarankan adalah kurang dari 0,05%. Pada penelitian ini, biodiesel yang dihasilkan memiliki kadar abu 0%. Perlakuan rasio heksan/total pelarut sebesar 3/6 pada proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar telah menghasilkan kualitas biodiesel yang lebih rendah dibandingkan perlakuan 2/6 dan 1/6. Penggunaan heksan dalam jumlah tinggi dapat meningkatkan jumlah minyak yang terekstrak tetapi pada waktu reaksi yang digunakan pada penelitian ini (3 jam), minyak belum terkonversi seluruhnya menjadi metil ester. Hal ini mengakibatkan viskositas biodiesel yang dihasilkan menjadi tinggi dan bilangan penyabunan rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian transesterifikasi in situ biji jarak pagar menunjukkan bahwa persamaan orde pertama signifikan untuk mengoptimasi pengaruh variabel-variabel suhu reaksi dan rasio heksan/total pelarut terhadap rendemen
Saran Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis menggunakan metode respon permukaan orde kedua dengan cara menambah jumlah taraf variabelnya ( ). UCAPAN TERIMAKASIH Disampaikan terimakasih kepada PT Rajawali Nusantara Indonesia, khususnya PT PG Rajawali II Unit PG Subang yang telah membantu menyediakan data dan masukan untuk penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Acthen WMJ, Verchot L, Franken YJ, Mathijs E, Singh VP, Aerts R, Muys B. 2008. Jatropha biodiesel production and use. Biomassa Bioenergi 32: 1063-1084. Kartika I A, Yuliani S, Ariono D, Sugiarto. 2011a. Transesterifikasi in situ biji jarak pagar: pengaruh kadar air dan ukuran partikel bahan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel. Agritech Vol. 31 (3); 242-249. Kartika I A, Yani M, Hermawan D. 2011b. Transesterifikasi in situ biji jarak pagar: pengaruh jenis pereaksi, kecepatan pengadukan, dan suhu reaksi terhadap rendemen dan kualitas biodiesel. J. Tek. Ind. Pert. 21 (I); 24-23. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Analitycal Chemistry. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. Fajarani AN. 2011. Transformasi Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) menjadi Biodiesel melalui Transesterifikasi In Situ [Skripsi]. Bogor : Teknologi Industri Pertanian, FATETA-IPB. Freedman B, Butterfield RO, Pryde EH. 1986. Transesterification kinetics of soybean oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 63: 1375-1380. Georgogianni KG, Kontominas MG, Pomonis PJ, Avlonitis D, Gergis V. 2008. Conventional and in situ transesterification of sunflower seed oil for the production of biodiesel. Fuel Processing Technology 89: 503-509. Gubitz GM, Mittelbach M, Trabi M. 1999. Exploitation of the tropical oil seed plant Jatropha curcas L. Bioresource Technology 67: 73-82. Goff JR, McFadgen BG, Chague´-Goff C. 2004. Sedimentary differences between the 2002 Easter
74 Amalia Kartika I Et Al. storm and the 15th Century Okoropunga tsunami, southeastern North Island, New Zealand. Mar. Geol. 204; 235 – 250. Haas MJ, Karen MS, William NM, Thomas AF. 2004. In situ alkaline transesterification : An effective method for the production of fatty acid esters from vegetable oils. J Am Oil Chem Soc 81: 8389. Kalam MA, Masjuki HH. 2002. Biodiesel from palm oil: An analysis of its properties and potential. Biomass and Bioenergy 23:471-479. Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Knothe, G. 2006. Analyzing biodiesel: standards and other methods. J Am Oil Chem Soc 83: 823-833. Montgomery DC. 2001. Desaign Analysis of Experiments. Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc. National Biodiesel Board. 2010. Biodiesel Emissions. Retrived from: http://www.biodiesel.org/pdf_files/fuelfactsheets /emissions.pdf. [15 Juni 2012]. Nurcholis M, Sumarsih S. 2007. Jarak Pagar dan Pembuatan Biodiesel. Yogyakarta. Kanisius. Noureddini H, Zhu. 1997. Kinetics of transesterification of soybean oil. J Am Oil Chem Soc 74:14571463. Ozgul-Yucel S, Turkay S. 2003. FA monoalkylester from rice bran oil by in situ transesterification. J Am Oil Chem Soc 81: 81-84 Qian J, Fei W, Sen L, Zhi Y. 2008. In situ alkaline transesterification of cotton seed oil for production of biodiesel and non toxic cotton seed meal. Bioresource Technology 99: 9009-9012. Shuit SH, Lee KT, Kamaruddin AH, Yusup S. 2010. Reactive extraction and in situ esterification of Jatropha curcas L. seeds for the production of biodiesel. Fuel 89: 527-30. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-2891-1992. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional (BSN). [SNI] Standar Nasional Indonesia 04-7182-2006. 2006. Biodiesel. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional (BSN). Utami SW. 2010. Kajian Proses Produksi Biodiesel Melalui Transesterifikasi In Situ Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) pada Berbagai Kondisi Operasi [Skripsi]. Bogor : Teknologi Industri Pertanian, FATETA-IPB. Warsiki E, Sumangat D, Rismawati W. 2007. Pengaruh Bahan dan Kondisi Pengemasan terhadap Mutu Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas Linn). Dalam: Konferensi Jarak Pagar-Menuju Bisnis Jarak Pagar yang Feasible. Bogor, 19 Juni 2007, PP 231-238 Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia: Jakarta Yulianingtyas P. 2011. Kajian Proses Produksi Biodiesel melalui Transesterifikasi In Situ Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Skala
E-JAII Pilot [Skripsi]. Bogor : Teknologi Industri Pertanian, FATETA-IPB.
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 75 - 81 ISSN: 2252 - 3324
Available online at : http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
MODEL PEMILIHAN TINGKAT TEKNOLOGI, SUMBER PEMBIAYAAN DAN KELEMBAGAAN USAHA DALAM PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS NAGARI DENGAN PROSES JEJARING ANALITIK A MODEL FOR TECHNOLOGICAL LEVEL, FINANCIAL SUPPORT AND INSTITUTIONAL RESOURCE NDETERMINATION IN NAGARI BASED AGROINDUSTRIAL DEVELOPMENT USING ANALYTICAL NETWORK PROCESS (ANP) Nofialdi1), Irawadi Jamaran2), Syafrida Manuwoto3), Marimin2), Yandra Arkeman2) dan Sapta Raharja2). 1)
Progran Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Kampus Universitas Andalas, Limau Manis Padang. Email:
[email protected]
2)
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor 3) Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT The objective of this research was to determine a technology level, financial and institutional resources in agroindustrial development based on nagariconcept in West Sumatra. This model was built using Analytical Network Process (ANP). The selection result of technology level shows the priority of technology level requirement. The fulfilled requirements for the selection are the efforts to transform the current technologies to a more appropriate technology (teknologi tepatguna). The result shows, that effective financial supports are in form of co-operative and governmental sources. The chosen agroindustrial institution is in form of cooperative and the collaboration between cooperative the and investors. Keywords: a technology level, financial and institutional resources, analytical network process, agroindustry of nagari
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prioritas alternatif tingkat teknologi, sumber pembiayaan, dan kelembagaan usaha agroindustri dalam pengembangan agroindustri berbasis nagari. Penentuan alternatif melalui proses jejaring analitik. Berdasarkan proses jejaring analitik pilihan tingkat teknologi adalah peningkatan teknologi lokal ke teknologi tepat guna, pilihan pembiayaan berasal dari koperasi dan pemerintah, serta pilihan kelembagaan usaha berupa koperasi dan kemitraan koperasi dengan investor. Kata kunci : tingkat teknologi, sumber pembiayaan, kelembagaan usaha, proses jejaring analitik agroindustri nagari
PENDAHULUAN Pengembangan agroindustri nagari di Sumatera Barat dipandang sebagai suatu permasalahan yang kompleks dengan struktur permasalahan yang belum ada perlu dukungan bagi keberhasilan pengembangan agroindustri nagari dilakukan melalui analisis dan perencanaan pengembangan strategis dengan pendekatan soft systems dimana struktur belum diketahui dan usaha memahami struktur permasalahan yang sebenarnya.
Pengembangan agroindustri nagari adalah pengembangan agroindustri yang mampu mengoptimalkan modal sosial bersama sumberdaya lainnya dengan memperhatikan permintaan pasar, keterkaitan global dan kondisi lokal nagari untuk menciptakan komoditas dan agroindustri yang berdaya saing yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat nagari (Abna 2007). Melakukan investasi di nagari sangat terkait dengan tingkat teknologi yang akan digunakan. Saat ini pengolahan produk pertanian masih
76 Nofialdi, Irawadi Jamaran at al
menerapkan teknologi tradisional. Terdapat berbagai macam pilihan tingkat teknologi yang bisa dikembangkan di nagari dan keberhasilannya sangat dipengaruhi aspek-aspek lingkungan di dalam dan di luar nagari. Kesalahan pemilihan tingkat teknologi akan menimbulkan kerugian usaha, penolakan oleh masyarakat dan pemerintah. Modal merupakan sumberdaya yang langka untuk investasi di nagari saat ini. Investor dan perbankan tidak berani membiayai investasi karena lahan ulayat tidak bisa diterima sebagai jaminan usaha (milik bersama) karena tidak ada sertifikatnya. Kelembagaan usaha menentukan keberhasilan pengelolaan kegiatan investasi di nagari. Menurut Abna (2007) bahwa pembangunan nagari saat ini dengan bantuan teknologi, permodalan yang diberikan pada masyarakat telah mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, namum belum memberikan keuntungan yang maksimal kepada produsen. Kurang menguntungkannya teknologi tersebut karena lebih banyak berbentuk peralatan dan prosedur kerja saja, tanpa memperkenalkan teknologi institusi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat teknologi, sumber pembiayaan dan kelembagaan usaha untuk pengembangan agroindustri nagari.
E-JAII
untuk menstrukturkan dan menganalisis keputusan yang mempunyai hubungan yang kompleks diantara level keputusan dan atributnya. ANP dapat menangkap permasalahan yang kompleks, permasalahan dengan dependence (terkait) dan feedback (umpan balik) dengan cluster (kelompok) dan hubungan diantara kelompok-kelompok dalam pemilihan alternatif dengan pendekatan supermatrik (Saaty and Vargas2006; Sadeghi, Rashidzadeh, Soukhakian, 2012). Dengan umpan balik alternatif-alternatif dapat terkait atau dibuat hubungan dengan kriteria dalam bentuk suatu hirarki, juga terkait pada masing-masing kriteria yang lainnya. Selain itu pada masing-masing kriteria dapat terkait dengan alternatif-alternatif satu sama lainnya dengan baik. Dengan umpan balik dapat dilakukan perbaikan penilaian prioritas untuk memperoleh prediksi yang lebih akurat. ANP dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu : (1) hirarki kontrol atau jaringan dari kriteria dan sub kriteria yang mengontrol interaksi dalam sistem, (2) jaringan yang mempengaruhi antara elemen dan kelompok. Berbagai jaringan dari kriteria ke kriteria dan supermatrik yang sedikit dipengaruhi diperhitungkan untuk masing-masing kontrol kriteria.
METODOLOGI Kerangka Pemikiran Pengembangan agroindustry merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai tambah komoditas unggulan nagari. Selama ini banyak rencana investasi agribisnis dan agroindustry serta beberapa kebijakan pemerintah di Sumatera Barat yang tidak terealisasi karena adanya kendalakendala struktural, permasalahan lahan ulayat dan kondisi social buday amasayarakat Minangkabau. Hal ini disebabkan karena tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat dan sering berbenturan dengan system social budaya masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu diperlukan suatu alternative pendekatan dan strategi pengembangan yang dapat diterima, sesuai dengan nilai-nilai social budaya Minangkabau, mampu memberdayakan, menumbuhkan partisipasi, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Rekayasa Model Proses jejaring analitik atau Analitycal Network Process (ANP) adalah suatu teori umum pengukuran relatif yang dipergunakan untuk memperoleh skala perbandingan prioritas gabungan skala perbandingan individu-individu dengan memperhatikan pengaruh-pengaruh berbagai elemen-elemen yang saling mempengaruhi. ANP merupakan pengembangan proses hirarki analitik
Gambar 1. Berbagai jenis cluster dan hubungan pada jajaring (Saaty and Vargas, 2006) Supermatrik adalah matrik dua dimensi dari elemen dengan elemen. Vektor prioritas perbandingan berpasangan ditempatkan pada kolom yang cocok dari supermatrik. Supermatrik dibangun dengan cara penjumlahan masing-masing kolom responden sampai sejumlah set perbandingan. Akhirnya, masing-masing pada supermatrik diberi bobot dengan prioritas dari kontrol kriteria dan hasilnya dianalisis dengan penjumlahan untuk semua kriteria kontrol. Secara
Vol. 1. 2012
Model Pemilihan Tingkat Teknologi 77
umum tahapan ANP meliputi : (1) kontruksi model dan permasalahan, (2) perbandingan berpasangan matrik level-level komponen yang saling ketergantungan, (3) formasi supermatrik, dan (4) pemilihan alternatif terbaik . Mulai
- Input Kriteria (Aspek dan elemen aspek) - Input Alternatif
Penentuan Hubungan Kriteria (Aspek dan elemen aspek)
Input Pembobotan Perbandingan Terhadap Kriteri (Aspek dan elemen aspek) dengan Alternatif
Penentuan Hubungan Kriteria (Aspek dan elemen aspek)
Bobot setiap Kriteria (Aspek dan elemen aspek) Urutan Bobot dari Alternatif
Gambar3.
Jejaring pengambilan keputusan penentuan pemasok (Sadeghi, Rashidzadeh and Soukhakian, 2012)
Selesai
Gambar 2.
Model pengambilan keputusan dengan proses jejaringanalitik.
Langkah-langkah pada aplikasi ANP adalah : (1) membuat konstruksi model dengan kontrol hierarki yang terdiri dari aspek-aspek yang dipertimbangkan dan alternatif pilihan yang akan diambil, (2) menentukan elemen-elemen dari kontrol hierarki, (3) membuat hubungan antar elemen dengan alternatif pilihan dan antar elemen pada aspek dan aspek lainnya, (4) melakukan perbandingan berpasangan pada masing-masing hubungan yang telah terbentuk, (5) mengecek konsistensi perbandingan berpasangan, dan (6) menghitung nilai masing-masing prioritas dengan supermatrik. Proses dan tahapannya penentuan pilihan dengan ANP dapat dilihat Gambar 1. Sadeghi, Rashidzadeh and Soukhakian (2012) untuk menentukan pemasok counter gas menggunakan proses jejaring analitik dengan menbuat kriteria yang dikelompokkan menjadi tiga kategori (cluster) berupa (1) kriteria komersial (harga, jaminan pengiriman, kekuatan ekonomi), (2) kriteria komersial dan teknis (jaminan kualitas, hubungan jangka panjang, kualitas manajemen dan pengalaman) dan (3) kriteria teknis (peralatan teknis, personal teknis, kekuatan keuangan, kepuasan, standar dan kualitas teknis, tingkat audit) .
ANP dipergunakan untuk model penentuan tingkat teknologi, sumber pembiayaan dan kelembagaan usaha. Aplikasi ANP dilakukan dengan Superdecisions 1.2.0 (Saaty,Vargas, 2006). Model ini membutuhkan masukan kriteria kontrol, kriteria yang merupakan aspek, elemen-elemen aspek serta alternatif pilihan. Kriteria kontrol merupakan kriteria yang menjadi rujukan dalam penentuan pendapat untuk setiap hubungan dan umpat balik. Pemilihan Tingkat Teknologi di Nagari Melakukan investasi di nagari sangat terkait dengan tingkat teknologi yang akan digunakan. Terdapat berbagai macam pilihan tingkat teknologi yang bisa dikembangkan di nagari dan keberhasilannya sangat dipengaruhi aspek-aspek lingkungan di dalam dan di luar nagari. Kesalahan pemilihan tingkat teknologi akan menimbulkan kerugian usaha, penolakan oleh masyarakat dan pemerintah. Alternatif teknologi yang tersedia untuk diimplementasikan di nagari (untuk pertanian dan agroindustri) bervariasi mulai teknologi tradisional dengan skala kecil sampai kepada teknologi maju dengan skala yang besar, serta ada teknologi yang padat karya sampai padat modal. Teknologi yang akan dipilih dapat mengubah skala usaha, keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar, batasan produk, dan persaingan serta menciptakan subsitusi produk. Aspek-aspek yang penting
78 Nofialdi, Irawadi Jamaran at al
diperhatikan dalam penilaian penetapan teknologi adalah : aspek teknis (lahan, agroklimat, ekosistem, input, budidaya, pasca panen, pengangkutan, transportasi), aspek finansial dan ekonomi, aspek manajemen dan organisasi, aspek sosial dan lingkungan. Hasil identifikasi lapangan dan wawancara pakar disimpulkan bahwa aspek-aspek yang diperhatikan dalam pemilihan tingkat teknologi di nagari adalah : aspek biofisik, aspek ekonomi, aspek nagari dan aspek sumberdaya manusia. Elemen-elemen dari aspek biofisik adalah ketersediaan bahan baku, sarana dan prasarana, lahan ulayat dan kelestarian lingkungan; dari aspek nagari adalah filsafat adat, keterlibatan dan keterwakilan, keseriusan dan pemahaman, sosialisasi; dari aspek ekonomi adalah pasar dan pemasaran, kelayakan usaha dan pendanaan; dan dari aspek sumberdaya manusia adalah jumlah, keahlian, etika dan kewirausahaan. Pilihan tingkat teknologi adalah: teknologi lokal saat ini, meningkatkan ke teknologi tepat guna, membangun teknologi tepat guna atau membangun teknologi maju/modern. Pada Gambar 4 dapat dilihat struktur aspek-aspek, elemen-elemen aspek dan keterkaitan pemilihan tingkat teknologi nagari.
Gambar 4.
Struktur aspek-aspek, elemenelemen aspek dan keterkaitan pemilihan tingkat teknologi nagari
Aspek biofisik mencakup suatu kelayakan secara fisik, teknis dan biologis. 1. Ketersediaan bahan baku. Kemampuan suatu nagari dan daerah sekitarnya untuk menyediakan bahan baku untuk agroindustri nagari. 2. Sarana dan Prasarana. Ketersediaan fasiltas jalan, air bersih, jaringan listrik dan telekomunikasi. 3. Lahan ulayat. Ketersediaan lahan ulayat yang bisa dipakai atau dipergunakan untuk budidaya dan pengembangan agroindustri nagari.
E-JAII
Keadaan lahan, dan kecocokan agroklimat dari lokasi lahan ulayat. 4. Kelestarian lingkungan. Pengaruh pengembangan agroindustri terhadap lingkungan dan kemungkinan penanganan yang akan dilakukan untuk pengembangan agroindustri nagari. Aspek ekonomi mencakup suatu kelayakan secara ekonomi baik lokal (nagari) dan regional. 1. Pasar dan pemasaran. Teknologi harus diarahkan untuk dapat memenuhi permintaan pasar (jumlah dan mutu), memperhatikan fluktuasi harga, kapasitas produksi dan biaya transportasi. 2. Kelayakan usaha. Kemampuan kegiatan usaha untuk menghasilkan keuntungan secara finansial. 3. Pendanaan. Kemungkinan tersediaan pendanaan untuk usaha, keuntungan usaha dan kenyamanan dalam penggunaan dana. Tabel 1.
Nilai peringkat aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan teknologi nagari
Alternatif Teknologi Bobot Peringkat A. AspekBiofisik 0.17 4 B. AspekEkonomi 0.39 1 C. AspekNagari 0.24 2 D. Aspek SDM 0.20 3 Keterangan : peringkat 1,2,3,4 adalah urutan mulai yang paling tinggi Aspek nagari mempertimbangkan kemungkinan dilakukan pengembangan agroindustri di nagari, tidak bertentangan atau merusak tatanan modal sosial nagari yang telah ada serta mampu untuk memperkuat modal sosial nagari. 1. Filsafat adat. Aturan, norma dan kebiasaankebiasaan yang berlaku pada masyarakat nagari. Adat pada suatu nagari bisa saja berbeda dengan nagari lainnya. 2. Keterlibatan, keterwakilan. Keterlibatan semua pihak terkait dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan yang akan dikembangkan. Terwakilinya institusi lokal (kaum dan suku) dalam kegiatan agroindustri tersebut. 3. Keseriusan. Agroindustri yang dikembangkan berdasarkan kajian kelayakan yang menguntungkan secara finansial, ekonomi, sosial dan lingkungan. Pelaksanaan dilakukan dengan profesional dan budi. 4. Pemahaman, sosialisasi. Agroindustri yang dikembangkan harus dilakukan sosialisasi sehingga menimbulkan pemahaman yang utuh oleh masyarakat nagari dan dapat dinilai keseriusannya.
Vol. 1. 2012
Tabel 2.
Model Pemilihan Tingkat Teknologi 79
Nilai peringkat elemen-elemen pada aspek yang mempengaruhi pemilihan teknologi nagari
Aspek-Aspek dan Elemen-Elemen A. Aspek Biofisik 1. Ketersediaan bahan baku 2. Sarana dan Prasarana 3. Lahan ulayat 4. Kelestarian Lingkungan B. Aspek Ekonomi 1. Pasar dan pemasaran 2. Kelayakan usaha 3. Pendanaan C. Aspek Nagari 1. Filsafat adat 2. Keterlibatan, keterwakilan 3. Keseriusan 4. Pemahaman, sosialisasi D. Aspek SDM 1. Jumlah 2. Keahlian 3. Etika 4. Kewirausahaan
Tabel 3.
Hasil analisis ANP alternatif tingkat teknologi di nagari.
Alternatif Teknologi
Bobot
Peringkat
1. Teknologi lokal saat Ini
0.19
4
2. Tingkatkan lokal ke teknologi tepat guna
0.31
1
3. Bangun teknologi tepat guna
0.28
2
4. Bangun teknologi maju/modern
0.22
3
Bobot
Peringkat
0.26 0.24 0.21 0.28
2 3 4 1
0.45 0.32 0.23
1 2 3
0.31 0.21 0.22 0.25
1 4 3 2
Pilihan teknologi terbaik yang akan dikembangkan di nagari adalah meningkatkan teknologi lokal saat ini ke teknologi tepat guna.
0.12 0.25 0.30 0.31
4 3 2 1
Sumber Pembiayaan di Nagari
Keterangan : peringkat 1,2,3,…, n adalah urutan mulai yang paling tinggi
Aspek sumberdaya manusia adalah kesiapan sumberdaya manusia nagari dalam pengembangan agroindustri. 1. Jumlah. Pengembangan agroindustri mampu membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat nagari. 2. Keahlian. Tingkat kemampuan sumberdaya manusia nagari, perlu diperhatikan peningkatkan kemampuan sumberdaya manusia nagari dengan pendidikan, pelatihan dan magang. 3. Etika. Kemampuan menjalankan usaha secara bisnis dengan keseriusan dan kejujuran dengan manajemen budi. 4. Kewirausahaan. Semangat kewirausaha yang ada dimanfaatkan dan ditingkatkan serta dipadukan dengan prinsip-prinsip bisnis untuk menciptakan pengusaha nagari yang tangguh. Berdasar analisis ANP menunjukkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi pemilihan teknologi adalah aspek ekonomi 0.39 (pasar dan pemasaran 0.45, kelayakan usaha 0.32, pendanaan 0.23); peringkat kedua aspek nagari 0.24 (filsafat adat 0.31, pemahaman dan sosialisasi 0.25, keseriusan 0.22 dan keterlibatan dan keterwakilan 0.21); peringkat ketiga aspek sumberdaya manusia 0.20 (kewirausahaan 0.31, etika 0.30, keahlian 0.25 dan jumlah tenaga kerja 0.12), peringkat ke empat aspek biofisik 0.17 (kelestarian lingkungan 0.28, ketersediaan bahan baku 0.26, sarana dan prasarana 0.24 dan lahan ulayat 0.21). Pada Tabel 2 dapat dilihat nilai peringkat aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan teknologi nagari dan pada Tabel 3 dapat dilihat nilai peringkat elemenelemen pada aspek yang mempengaruhi pemilihan teknologi nagari.
Keterangan : peringkat 1,2,3,4 adalah urutan mulai yang paling tinggi
Ada beberapa alternatif pendanaan yang mungkin didapatkan oleh masyarakat nagari yang mempunyai usaha yang layak, selain dana sendiri dan keluarga, juga tersedia dana dari lembaga keuangan (koperasi dan perbankan), dari investor (keluarga atau masyarakat lainnya), juga dana bergulir dari pemerintah. Hasil identifikasi lapangan dan wawancara pakar menyatakan kriteria yang diperhatikan dalam penentuan sumber pembiayaan adalah : 1. Kemungkinan pendanaan. Tersedianya sumber dana yang bisa dipergunakan untuk membiayai investasi agroindustri di nagari. 2. Keuntungan usaha. Kemampuan usaha yang dibiayai untuk menghasilkan pendapatan untuk mengembalikan dana yang dipinjamkan dan menghasilkan keuntungan usaha. 3. Kenyamanan pengunaan dana. Keleluasaan untuk mengelola atau mempergunakan pinjaman tersebut untuk investasi agroindustri di nagari. Waktu pengembalian. Batas waktu pinjaman yang diberikan dan sistem pembayaran pinjaman.
Gambar 5. Struktur aspek-aspek, elemen-elemen aspek dan keterkaitan pemilihan sumber pendanaan
80 Nofialdi, Irawadi Jamaran at al
E-JAII
Analisis pemilihan kelembagaan ini juga mempertimbangkan faktor-faktor : 1. Bahan baku. Kemampuan suatu nagari dan daerah sekitarnya untuk menyediakan bahan baku untuk agroindustri nagari. 2. Pasar. Permintaan pasar (jumlah dan mutu) dan harga serta daerah pemasaran produk. 3. Teknologi nagari. Ketersediaan dan kemampuan untuk pengembangan teknologi di nagari. 4. Filsafat adat Minangkabau. Aturan, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masayarakat nagari. 5. Sumberdaya manusia. Ketersediaan tenaga kerja untuk pengembangan agaroindustri. Hasil analisis ANP memperlihatkan prioritas pertama sumber pendanaan adalah dari koperasi dan diikuti oleh pendanaan dari pemerintah. Tabel 4.
Gambar 6.
Hasil agregat alternatif sumber pendanaan di nagari. Bobot
Peringkat
1. Dana Pribadi (Sendiri, Keluarga)
Alternatif Teknologi
0.17
3
2. Investor kerabat (perantau)
0.14
4
3. Investor lainnya
0.13
6
4. Koperasi
0.22
1
5. Perbankan
0.13
5
6. Pemerintah
0.21
2
Keterangan : peringkat 1,2,3,4,5,6 adalah urutan mulai yang paling tinggi
Kelembagaan Usaha di Nagari Untuk memperkuat posisi tawar dari produsen komoditas di nagari diperlukan suatu lembaga yang dapat menghimpun petani, peternak dan pengolah dalam suatu kelembagaan usaha, sehingga mampu bersaing. Kelembagaan usaha yang menjadi alternatif adalah : usaha perorangan, kelompok, koperasi, kemitraan investor dan perorangan, kemitraan investor dan kelompok atau kemitraan investor dan koperasi. Hasil identifikasi lapangan dan wawancara pakar menyatakan kriteria yang diperhatikan dalam penentuan bentuk kelembagaan usaha nagari adalah : mempertimbangkan : 1. Kemungkinan pendirian. Kemungkinan untuk membentuk suatu lembaga yang akan mengelola usaha agroindustri nagari, terkait dengan keinginan masyarakat untuk mendirikan dan menjalan lembaga tersebut. 2. Keuntungan usaha. Kemampuan untuk mengelola usaha yang didirikan dan menghasilkan keuntungan. 3. Keberlanjutan usaha. Kemampuan usaha yang didirikan untuk dikelola secara menguntungkan dari waktu ke waktu dan mempu menyesuaikan dengan lingkungan bisnisnya.
Struktur aspek-aspek, elemen-elemen aspek dan keterkaitan pemilihan kelembagaan
Analisis pemilihan kelembagaan ini mempertimbangkan faktor-faktor : 1. Bahan baku. Kemampuan suatu nagari dan daerah sekitarnya untuk menyediakan bahan baku untuk agroindustri nagari. 2. Pasar. Permintaan pasar (jumlah dan mutu) dan harga serta daerah pemasaran produk. 3. Permodalan. Tersedia sumber pendanaan untuk investasi dan pembiayaan kelembagaan usaha agroindustri. 4. Teknologi nagari. Ketersediaan dan kemampuan untuk pengembangan teknologi di nagari. 5. Filsafat adat Minangkabau. Aturan, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masayarakat nagari. 6. Sumberdaya manusia. Ketersediaan tenaga kerja untuk pengembangan agaroindustri. Menurut Ikatrinasari at al (2009), kriteria pemilihan kelembagaan untuk agropolitan berupa : kriteria biaya kelembagaan, pendidikan dan pelatihan, pemodalan, ekologi, sarana prasarana, hukum dan politik, pemasaran dan distribusi, pengetahuan dan teknologi. Alternatif kelembagaan terdiri dari lima alternatif pola kelembagaan yaitu sistem pasar, sistem kontrak, aliansi strategis, koperasi dan integrasi vertikal. Pola kelembagaan di kawasan agropolitan dengan prioritas tertinggi adalah integrasi vertikal.
Vol. 1. 2012
Model Pemilihan Tingkat Teknologi 81
Tabel 5.
Hasil agregat alternatif bentuk kelembagaan usaha di nagari.
Alternatif Kemitraan
Bobot
Peringkat
1. Usaha perorangan
0.06
6
2. Usaha kelompok
0.12
5
3. Usaha koperasi
0.30
1
4. Kemitraan perorangan dengan investor
0.12
4
5. Kemitraan kelompok dengan investor
0.15
3
6. Kemitraan koperasi dengan investor
0.25
2
Keterangan : peringkat 1,2,3,4,5,6 adalah urutan mulai yang paling tinggi
Hasil analisis ANP memperlihatkan prioritas pertama kelembagaan usaha di nagari adalah : usaha koperasi, diikuti oleh kelembagaan kemitraan koperasi dengan investor . Menurur Erwin (2011) bahwa lahan ulayat potensial untuk dimanfaatkan untuk investasi di nagari dan bentuk kerja sama yang diinginkan masyarakat antara pemilik investor dengan pemilik ulayat adalah pola kerjasama dengan sistem bagi hasil.
KESIMPULAN Berdasarkan perumusan model analytical network model hasil penelitiananalisis diperoleh kesimpulan pada pengembangan agroindustry berbasis nagari diperlukan : 1. Pilihan ke teknologi tepat guna 2. Pembiayaan berasal dari koperasi dan pemerintah 3. Kelembagaan usaha berupa koperasi dan kemitraan koperasi dengan investor
DAFTAR PUSTAKA Abna B. 2007.Pengeloalaan Hutan Oleh PT. Badan Usaha Nagari Di Minangkabau Berbasis Masyarakat Adat. Dalam Potret Pengelolaan Hutan di Nagari. Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dan Perkumpulan Qbar. Padang. Erwin. 2011. Pemanfaatan Tanah Ulayat yang Menguntungkan Masyarakat. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 24, Nomor 2 Hal: 98-108 Ikatrinasari ZF, Maarif S, Sa’id EG, Bantacut T, Munandar A. 2009. Model Pemilihan Kelembagaan Agropolitan Berbasis Agroindustri Dengan Analytical Network Process. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 19(3), 130137 Saaty TL. Vargas LG.2006. Decision Making With The Analytic Network Process; Economic,
Political, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunities, Costs and Risks. Springer Science+Business Media, LLC Sadeghi M, Rashidzadeh MA, Soukhakian MA. 2012. Using Analytic Network Process in a GroupDecision-Making for Supplier Selection.Informatica Vol. 23, No. 4, 621– 643
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 82 - 87 ISSN: 2252 - 3324
Available online at :
http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
PEMBUATAN LABEL/FILM INDIKATOR WARNA DENGAN PEWARNA ALAMI DAN SINTETIS (Colored Label Indicator Using Natural And Synthetic Dye) Endang Warsiki dan Citra Dewi Wahyono Putri 1)
Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATEFA - IPB Gedung FATETA Lt 2 Kampus IPB Darmaga PO Box 220 Darmaga, Bogor 16002
ABSTRAK The development of colored label indicator is increasingly necessary to ensure food safety with a rapid method to evaluating historical real-time of the freshness of the product. The objective of this research is to design labels/film color indicator with natural and synthetic dyes. In this study, the label/film indicators was made of chitosan as a film base and natural dyes of rosella flower, bit fruit and red spinach leaf extract as dyes. This indicator label sware compared with labels made of synthetic dyes. Evaluation the performance of the label in color changes during storage as visual looking was tested The results showed that natural dyes are very sensitive to temperature, thus it is not appropriate if in the film making, it involves a process that uses high temperatures. Unfortunately, in general, chitosan film typically used a temperature of 70oC to disolve and homogenize the flour of chitosan. Furthermore, natural dyes are also sensitive to acid. As a result, the addition of acetate acid in the chitosan film is undesirable on the filming. Process synthetic dyes provide constant color film. The changing of color in the films with synthetic dyes can be occured due to changes in pH. Therefore, this film/label is very suitable to be applied for products which is decreased in pH if it is deterioration, such as fruits or dairy product. Keywords : Film/label, color indicator, chitosan, natural dye, synthetic dye
ABSTRACT Pengembangan film/label indikator warna makin diperlukan untuk menjamin keamanan pangan dengan metode yang cepat dalam rangka mengevaluasi historical real-time kesegaran produk. Tujuan penelitian ini adalah merancang pembuatan label/film indikator warna dengan bahan pewarna alami dan sintetik. Pada penelitian ini label/film indikator dibuat dari kitosan dangan bahan pewarna alami dari ekstrak bunga rosela, buah bit dan daun bayam merah. Selanjutnya label indikator ini akan dibandingkan dengan label berbahan pewarna sintetik. Kinerja label diujikan dengan melihat perubahan warna film selama penyimpanan yang dilihat secera visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pewarna alami sangat sensitif terhadap suhu, sehingga tidak sesuai jika dalam pembuatan film melibatkan proses yang menggunakan asam dan suhu tinggi. Secara umum pembuatan film kitosan biasanya menggunakan suhu 70oC untuk melarutkan dan menghomogenkan tepung kitosan. Pewarna alami juga sensitif terhadap asam. Pewarna sintetik memberikan warna yang konstan pada film. Perubahan warna film indikator dengan pewarna sintetik dapat terjadi karena perubahan pH. Oleh karena itu, film/label ini sangat sesuai untuk diaplikasikan pada produk-produk yang mengalami penurunan pH jika produk tersebut ditengarai rusak, seperti buah-buahan dan produk pangan berbasis susu. Kata kunci : Film/label, indikator warna, kitosan, pewarna alami, pewarna sintetik
PENDAHULUAN Teknologi kemasan kini telah banyak mengalami perkembangan pesat. Temuan dan inovasi dari penelitian terbaru telah menemukan kemasan aktif dan kemasan cerdas. Kemasan aktif adalah kemasan yang dapat mengubah kondisi
makanan yang dikemas menjadi kondisi tertentu yang ditujukan untuk memperpanjang umur simpan atau untuk meningkatkan keselamatan atau sifat-sifat sensori, dengan tetap menjaga kualitas makanan yang dikemas. Sedangkan kemasan cerdas adalah kemasan yang mampu memantau kondisi makanan dalam kemasan dan memberikan informasi kualitas makanan kemasan
Vol. 1. 2012.
tersebut selama transportasi dan penyimpanan (Ahvenainen et al., 2003). Penelitian tentang pengembangan kemasan cerdas dalam bentuk label/film dengan sensor warna untuk identifikasi kemunduran mutu suatu komoditi atau produk telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sebagai contoh, pembuatan kemasan cerdas dengan penambahan pewarna bromthymol blue sebagai indikator warna untuk mendeteksi kemunduran mutu pada filet ikan (Hasnedi, 2009). Indikator warna juga telah digunakan untuk memantau fermentasi dan umur simpan kimchi (Hong dan Park, 2000). Lebih lanjut Hariklia et al., (2008) telah mengembangkan detektor mikroba untuk memonitor kualitas produk daging yang disimpan pada suhu dingin. Kitosan adalah material yang paling menarik untuk dibuat film. Selain edible dan biodegradable, bahan ini dipilih karena film yang dihasilkan memiliki kualitas baik, kuat, elastik dan fleksibel (Buttler et al., 1996). Kitosan juga banyak dipakai sebagai bahan coating, karena dapat diproduksi pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Oleh karenanya bahan ini sangat cocok untuk melapisi dan melindungi buah atau sayur dari kerusakan mekanis (benturan, gesekan), biologis (mikroorganisme) dan kimia (kontaminan). Pengembangan label/film berbahan dasar kitosan dengan penambahan pewarna, baik alami maupun sintetik sebagai sensor penentu kemunduran mutu produk akan dilakukan dalam penelitian ini. Seperti diketahui bahwa pewarna alami dapat diekstrak dari berbagai sumber alam. Zat pewarna tersebut biasanya adalah antosianin. Zat ini berperan dalam pemberian warna terhadap bunga atau bagian tanaman lain dari mulai merah, biru sampai ke ungu termasuk juga kuning dan tidak berwarna (seluruh warna kecuali hijau). Hanum (2000) mengemukan suhu dan paparan cahaya matahari dapat menurunkan stabilitas warna dari anthosianin selama penyimpanan. Perubahan warna antosianin karena pengaruh lingkungan seperti suhu dan pH inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai indikator warna pada label/film kemasan cerdas. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan kemasan menggunakan kitosan sebagai bahan dasar pembuat film, serta mempelajari respon warna film sebagai indikator warna karena perubahan pH dan suhu. BAHAN DAN METODA Bahan Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam yaitu bahan pewarna dan bahan untuk membuat
Pembuatan Label/Film Idikator Warna
83
film/kemasan. Bahan pewarna adalah ekstrak bunga rosela, buah bit dan daun bayam merah. Bahan untuk pembuatan matrik film sekaligus pembawa bahan pewarna adalah kitosan. Pewarna sintetik yang dipilih adalah pewarna makanan red cherry (CL 16255). Metode Formulasi film kitosan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama ditujukan untuk memperoleh formulasi pembuatan film yang sesuai. Pada tahap ini, jumlah kitosan yang digunakan untuk membuat film ditentukan sebesar 2, 2.5, 3, 3.5, dan 4 gram (b/v) per 100 mL pelarut. Kitosan kemudian dilarutkan dalam 70 ml larutan asam asetat 1% dan dipanaskan pada suhu 40oC hingga membentuk larutan film. Kemudian 30 mL aquades dan 1 mL gliserol sebagai pemalstis (Warsiki et al., 2011), ditambahkan kedalam larutan film dengan terus diaduk sampai homogen. Pembuatan lembaran film dilakukan dengan cara menuang larutan diatas media plat kaca berukuran 20 cm × 20 cm dan diratakan dengan sudip kaca. Film dikeringkan di dalam oven dengan suhu 50oC selama 24 jam. Formulasi terbaik film dipilih berdasarkan kemudahan pelepasan film dari cetakan, kecukupan ketebalan dan kelenturan film sebagai label. Hasil terbaik dari tahap ini akan digunakan untuk penelitian pada tahap selanjutnya. Pembuatan label/film indikator warna Pada tahap kedua dilakukan penambahan bahan pewarna alami dan sintetik pada formulasi film kitosan terbaik untuk menghasilkan film/label indikator warna. Sebanyak 100 g bahan pewarna (bunga rosela, buah bit dan daun bayam merah) dihancurkan menggunakan blender dengan tambahan 30 mL air, kemudian disaring menggunakan kain saring untuk mendapatkan ekstrak warna. Pewarna sintetik juga diuji cobakan pada penelitian ini, sebanyak 1 mL pewarna cherry (CL 16255) dilarutkan dalam 29 mL air. Larutan pewarna ini kemudian dicampurkan dengan kitosan untuk membuat film/label indikator warna. Film indikator terbaik adalah film dengan warnaan yang merata dan stabil. Kinerja film/label diuji dengan melihat perubahan warna film karena pengaruh perubahan suhu dan pH. Diagram alir pembuatan film/label indikator warna dapat dilihat pada Gambar 1.
84 Endang Warsiki dan Citra Dewi W. P
sebagai bahan tambahan pangan. Menurut Knorr (1982) bahwa pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1-2% (v/v). Sifat film yang dihasilkan dari berbagai jumlah kitosan dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Start / Mulai Asam asetat (70 mL) Pelarutan
Pengadukani
Pemanasan 40oC selama 60 menit Gliserol (1 mL)
EJAII
Bahan pewarna (30 mL)
Larutan film
Pendinginan
Penuangan di plat kaca
Pengeringan 50oC selama 24 jam
Pelepasan film dari cetakan
Stop
Gambar1. Pembuatan film/label indikator warna HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi film kitosan
Kitosan dipilih sebagai bahan dasar pembuat film indikator karena kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik (Hoaglan dan Parris, 1996). Untuk melarutkan kitosan, pelarut yang digunakan yaitu asam asetat, disebabkan karena kitosan akan larut pada asam dan asam asetat merupakan pelarut yang baik untuk pembuatan film kitosan. Selain itu asam asetat, pada konsentrasi tertentu juga aman
Tabel 3. Kemudahan pelepasan film, kecupan ketebalan dan kelenturan film kitosan dari berbagai formulasi ForBerat Sifat film yang mulasi kitosan (g) dihasilkan 1 2 Tipis, sulit dikikis dari media plat kaca, dan mudah pecah 2 2.5 Tipis, cukup sulit dikikis dari plat kaca, dan mudah pecah 3 3 Agak tebal dan cukup mudah dikikis dari plat kaca 4 3.5 Cukup tebal, lentur, mudah dikikis dari plat kaca, dan tidak mudah pecah 5 4 Tebal, mudah dikis dari plat kaca, kaku dan mudah pecah Dari penelitian ini jumlah kitosan terbaik untuk membuat lembaran film yaitu sebesar 3.5 g dalam 100 mL pelarut. Berbagai penelitian dilakukan dalam pembuatan film berbahan dasar kitosan. Wardhani (2008) dan Warsiki et al., (2012) menggunakan 3 gram kitosan yang dilarutkan dalam asam asetat 1% (v/v) dan dengan penambahan gliserol sebanyak 0.5 mL (Wardani, 2008) dan 1 mL (Warsiki et al., 2011) menghasilkan film yang cukup elastis dan kuat. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa 3 g kitosan menghasilkan film dengan sifat yang cukup baik, namun kitosan sebanyak 3.5 g menghasilkan film dengan sifat yang lebih baik dibandingkan dengan film yang dihasilkan dari 3 g kitosan. Oleh karena itu, formulasi 4 dipilih untuk pembuatan film/label indikator warna Dalam pembuatan film berbahan dasar kitosan digunakan pemlastis, yaitu gliserol. Gliserol memiliki keunggulan karena titik didih yang tinggi sehingga tidak ada gliserol yang menguap dalam proses, dibandingkan dengan dietilena glikol monoetil eter (DEGMENT), etilena glikol (ET), dietilena glikol (DEG), trietilena glikol (TEG), dan tetraetilena glikol. Hal ini didukung dengan interaksi gliserol sangat kompatibel dengan film hidrofilik seperti kitosan dan akan menghasilkan film yang lebih fleksibel, halus, dan tidak rapuh (Noureddini et al. 1998). Menurut Warsiki et al. (2011) penambahan
Vol. 1. 2012.
Pembuatan Label/Film Idikator Warna
gliserol sebagai plasticizer sebanyak 1 mL per 100 mL larutan menghasilkan film yang lebih halus dan lentur, dibandingkan penambahan gliserol sebagai plasticizer sebanyak 0.5 ml dan 0.8 ml. 3.1.
Pembuatan label/film indikator warna dengan pewarna alami
Berdasarkan formulasi terbaik hasil penelitian tahap pertama (fomulasi 4) dilakukan penambahan bahan pewarna untuk menghasilkan film/label indikator warna. Pemilihan pewarna yang sesuai dilakukan dengan memilih pewarna alami yang diperoleh dari ekstrak rosela, buah bit, dan bayam merah, serta pewarna makanan sintetik berwarna red cherry. Ekstrak rosela menghasilkan larutan berwarna merah darah, ekstrak buah bit menghasilkan larutan berwarna merah keunguan, dan ekstrak bayam merah menghasilkan larutan berwarna merah kecokelatan. Sedangkan pewarna sintetik menghasilkan larutan berwarna merah buah cherry. Masing-masing pewarna tersebut dicampurkan dengan larutan film. Hasil pencampuran anatra masing-masing pewarna dengan larutan film dapat dilihat pada Gambar 2.
85
Pewarna yang terbuat dari ekstrak rosela ketika dicampurkan dengan larutan film memberikan respon perubahan warna yang begitu cepat. Pada awalnya campuran berwarna merah darah, namun dalam hitungan menit warna berubah menjadi merah kecoklatan, yang kemudian menjadi coklat secara konsisten. Sehingga ketika dijadikan lembaran film menghasilkan film yang berwarna coklat muda (Gambar 3).
(a)
(b)
(c)
(a)
(b)
Gambar 3. Perubahan warna dari pewar-na rosela dalam larutan pada: (a) menit ke-0; (b) menit ke-5; dan (c) menit ke-10 Pewarna film dengan ekstrak buah bit dan bayam merah menghasilkan film yang berwarna hijau (Gambar 4).
(c)
(d)
Gambar 2. Larutan film kitosan dengan pewarna (a) rosella; (b) buah bit; (c) bayam merah; (d) pewarna makanan sintetik
(a)
(b)
Gambar 4. Film indikator dengan pewar-na: (a) buah bit; dan (b) bayam merah
86 Endang Warsiki dan Citra Dewi W. P
Film ini kemudian diuji dengan menggunakan larutan asam dan larutan basa untuk mengetahui visual respon perubahan indikator warna. Hasil uji menunjukkan bahwa film tersebut tidak memberikan respon perubahan warna (Gambar 5). Oleh karena itu, pewarna dari ekstrak buah bit dan ekstrak bayam merah tidak sesuai untuk pewarna indikator.
EJAII
Pembuatan label/film indikator warna dengan pewarna sintetik Selanjutnya, pembuatan film indikator warna dengan pewarna makanan sintetik red cherry (CL 16255). Kelebihan pewarna makanan sintetik dibandingkan dengan pewarna alami yaitu dapat menghasilkan warna yang lebih kuat dan stabil, walaupun dalam penggunaannya hanya dalam jumlah sedikit. Warna yang dihasilkan oleh pewarna sintetik akan tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan (Sihombing, 1987). Selain itu pewarna makanan sintetik memiliki keunggulan yaitu lebih mudah larut dalam air, lebih stabil terhadap pengaruhpengaruh fisika dan kimia (Sutrisno, 1987). Pewarna makanan sintetik yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Respon film : (a) kontrol; (b) kondisi asam; (c) kondisi basa Perubahan warna dari pewarna rosela terjadi sangat cepat ketika pewarna tersebut dicampurkan dengan larutan film. Hal ini dimungkinkan karena larutan asam akan mendegradasi warna tersebut. Seperti diketahui film kitosan menggunakan asam asetat 1% sebagai pelarut. Menurut Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (2006), beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan pewarna, diantaranya adalah pH, suhu, cahaya, oksigen, asam askorbat, gula dan produk turunannya, sulfurdioksida, dan metal. Begitu pula yang terjadi pada pewarna dari ekstrak buah bit dan bayam merah, pewarna yang terkandung di dalam buah bit dan bayam merah terdegradasi oleh asam yang cukup rendah. Suhu pengeringan film yang cukup tinggi juga sangat berpengaruh terhadap kestabilan warna indikator. Suhu tinggi dapat mendegradasi warna alami dari warna cerah menjadi pudar seperti yang terjadi pada pembuatan film indikator dengan pewarna ekstrak buah bit dan bayam merah yang berwarna merah sebelum dikeringkan dan menjadi hijau setelah dioven selama 24 jam pada suhu 50oC.
Gambar 6. Pewarna makanan sintetik berwarna red cherry CL 16255 Film indikator dengan pewarna sintetik menghasilkan warna yang cerah dan konsisten, serta kondisi film yang baik seperti pada Gambar 7.
(a)
(a)
(b) Gambar 7. (a) Larutan film dengan pewarna sintetik; (b) lembaran indikator
Vol. 1. 2012.
Pembuatan Label/Film Idikator Warna
Film indikator ini kemudian diuji dengan menggunakan larutan asam dan basa untuk melihat secara visual respon perubahan warnanya. Ketika label/film dimasukkan ke dalam larutan asam, terlihat memberikan respon perubahan warna yang semula berwarna merah cerah berubah menjadi pudar, begitu pula jika film dicelupkan ke dalam larutan basa. Pada pelarut basa, film indikator yang semula berwarna merah cerah berubah menjadi merah pudar. Hasil ini membuktikan pewarna makanan sintetik dapat dipilih sebagai pewarna indikator untuk film dalam penelitian ini. Dengan demikian terlihat bahwa pewarna sintetik sangat menjanjikan untuk dapat digunakan sebagai bahan pewarna film indikator untuk produk pangan yang penurunan mutunya ditunjukkan dengan kenaikan atau penurunan pH. Perubahan warna secara visual dari film dengan penambahan pewarna makanan sintetik dalam larutan asam dan basa, dapat dilihat pada Gambar 8.
87
Pewarna alami dari ekstrak bunga rosela, buah bit dan bayam merah sangat sensitif terhadap larutan asam dan panas yang umumnya terjadi pada pembuatan film kitosan. b. Label/film indikator dengan pewarna makanan sintetik akan mengalami perubahan warna dari merah cerah ke merah pudah ketika dicelupkan atau bersentuhan dengan baik larutan asam maupun basa Label/film indikator warna dengan pewarna sintetik sangat prospektif untuk mendeteksi penurunan mutu produk pangan yang ditunjukkan dengan perubahan pH produk. Saran Perlu dilakukan kajian lain yaitu : (i) kajian tentang teknik pembuatan film/label indikator warna dengan pewarna alami yang tidak melibatkan pelarutan asam dan pemanasan suhu tinggi; dan (ii) kajian mengenai aplikasi film indikator yang dihasilkan dari penelitian ini untuk mendeteksi kerusakan produk yang ditunjukkan dengan pernurunan atau kenaikan pH. DAFTAR PUSTAKA
(a)
(b)
(c) Gambar 8. Perubahan warna film indikator: (a) kontrol; (b) kondisi basa; (c) kondisi asam KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Film kitosan yang terbuat dari 3.5 g (b/v) kitosan memiliki sifat yang cukup tebal, lentur, mudah dikikis dari plat kaca, dan tidak mudah pecah.
Ahvenainen, R. 2003. Active and intelligent packaging. Dalam : Ahvenainen, R (ed). Novel Food Packaging Techniques. Abington : Woodhead Publishing, pp 5-21 Butler, B.L., P.J. Vergano, R.F. Testin, J.M. Bunn, dan J.L. Wiles. 1996. Mechanical and Barrier Properties of Edible Chitosan Films as Affected by Composition and Storage. J. Food Science 61 (5) : 953-955 BPOM. 2003. Bahan Tambahan Pangan. Direktorat SPKP, Deputi III. Jakarta. Hal; 9 Hanum, T. 2000 Ekstraksi dan Stabilitas Zat Pewarna Alam dari Katul Beras Ketan Hitam (Oryza sativa glutinosa). Buletin Teknologi dan Industri Pangan XI (1) : 17 – 23. Hasnedi, Yogi. 2009. Pengembangan kemasan cerdas (Smart Packaging) dengan sensor berbahan dasar chitosan asetat, polivinil alcohol, dan pewarna indicator bromothymol Blue sebagai pendeteksi kebusukan fillet ikan nila. Skripsi. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor Hoagland, P. D. dan N. Paris. 1996. Chitosan/ Pectin Laminated Films. J. Agric. Food Chem. 44 : 1915-1919. Knorr D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. Journal of Food Science 48:36-41. Noureddini, H.S., W.R. Dailey, dan B.A. Hunt. 1998. Production of glycerol ether from
88 Endang Warsiki dan Citra Dewi W. P crude glycerol – the by-product of biodiesel production [papers]. Chemical and Biomolecular Engineering Research and Publication. Wardhani, S. K. 2008. Efikasi Kemasan Antimikroba Berbahan Kitosan [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Warsiki, E. Sianturi, D. dan Sunarti, T.C. 2012. Evaluasi Sifat Fisis Mekanis dan Permeabilitas Kemasan Berbahan Kitosan. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 21 (3) : 139-145. Sihombing, G. 1987. Aspek Racun Pewarna makanan Sintetik. Unit Penelitian Gizi Diponegoro. Bahan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan. Jakarta. Sutrisno, A.D. 1987. Pembuatan dan Peningkatan Kualitas Zat Warna merah Alami yang Dihasilkan oleh Monacus pupureus. Jurusan Teknologi makanan, Fakultas Teknik, Universitas pasundan. Bandung.
EJAII
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 88 - 94 ISSN: 2252 - 3324
Available online at :
http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
EVALUASI LAYANAN PELANGGAN BERBASIS QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) STUDI KASUS: PT. MITRA NASIONAL KUALITAS, JAKARTA CUSTOMER SERVICE EVALUATION BASED ON QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD) (CASE STUDY: MITRA NASIONAL KUALITAS,Ltd.,JAKARTA) Hasti Purnasari*, Taufik Djatna dan Hartrisari Hardjomidjojo Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University Kampus IPB Darmaga, PO. Box 122, Bogor 16002 Email:
[email protected]
ABSTRACT Facing the problem of market condition dan competition shifting, lack of sufficient information about customers’ needs dan firm competencies are challenges to business organizations. Customers have requirements that they do not reveal dan causing the firm’s failure of meeting the customers’ satisfaction. Therefore, firms need to manage their relationship toward customer, so as to gain a better customer insight by implementing the Customer Relationship Management approach. This research is aiming at evaluating service quality to meet customer’s satisfaction dan planning an improvement for service quality based on customers’ judgment at Mitra Nasional Kualitas Jakarta, Ltd using Quality Function Deployment concept. The voice of customers is identified using questionnaire dan translated into service requirements by building a House of Quality matrix. In the end, evaluation results show that these service attributes: suitableness of limit order dan special discount for loyal customer got improvement proportion point as 1.7 dan indicate these service attribute have not met the customers’ satisfaction yet. The service recovery can be done by improving the quality of staffs’ service attitude, performance of office staff dan distribution staff dan goodness of information flow as well. Keywords: CRM, house of quality, QFD, service quality, voice of customers.
ABSTRAK Pergeseran pola persaingan dan kondisi pasar saat ini menjadi suatu tantangan bagi perusahaan dengan adanya keterbatasan informasi mengenai kebutuhan pelanggan dan kompetensi utama perusahaan. Pelanggan saat ini memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tidak dinyatakan secara eksplisit dan menyebabkan kegagalan perusahaan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini menuntut perusahaan untuk mengelola hubungannya dengan pelanggan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan pelanggan. Salah satu cara yang dapat diterapkan adalah dengan pendekatan Customer Relationship Management. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas layanan pelanggan dan menyusun rencana perbaikan layanan berdasarkan pada penilaian kinerja layanan menurut pelanggan dengan metode quality function deployment. Suara konsumen diidentifikasi melalui kuesioner dan ditranslasikan kedalam kebutuhan layanan menggunakan matriks rumah kualitas (House of Quality). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa atribut-atribut layanan berikut: batas minimum pemesanan dan diskon khusus bagi pelanggan setia memperoleh nilai rasio pengembangan sebesar 1.7 yang mengindikasikan bahwa layanan tersebut belum memenuhi harapan pelanggan. Hal tersebut menjadi dasar diperlukannya upaya perbaikan terhadap aribut-atribut layanan melalui peningkatan sikap layanan staf, peningkatan kinerjastaf dan bagian distribusi serta melalui perbaikan atau kelancaran aliran informasi. Kata kunci: CRM, rumah kualitas, QFD, kualitas layanan, suara pelanggan
PENDAHULUAN Kondisi persaingan di pasar, terutama untuk produk pangan saat ini telah banyak mengalami perubahan, pergeseran dan perkembangan baik dari sisi produsen maupun dari konsumen.Konsumen kini memiliki kebutuhan yang bukan hanya mengenai fitur dan kualitas produk yang dikonsumsinya, namun lebih jauh, konsumen memiliki pengharapan atas pelayanan yang memuaskan, namun seringkali kebutuhan tersebut tidak disampaikan. Hal tersebut
menyebabkan perusahaan tidak mampu untuk memenuhinya, padahal bila produsen dapat memahami kebutuhan tersebut dan mengimplementasikannya dengan baik, kepuasan pelanggan pun dapat meningkat dan secara tidak langsung akan meningkatkan hasil penjualan serta keuntungan perusahaan. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan melakukan pengelolaan hubungan pelanggan (customer relationship management atau CRM).
Vol. 1. 2012
Pelanggan adalah seseorang yang menjadi terbiasa untuk membeli produk dari suatu produsen, dimana kebiasaan tersebut terbentuk melalui pembelian dan interaksi yang sering selama periode waktu tertentu(Griffin, 2005).CRM merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan hubungan pelanggan dengan perusahaan.Pengelolaan hubungan tersebut berfokus pada upaya untuk mempertahankan pelanggan yang menguntungkan (profitable customers) daripada mencari pelanggan baru. Hal ini dikarenakan oleh biaya pencarian pelanggan baru (customer acquisition) tersebut cukup besar, sehingga pelanggan yang telah diperoleh tersebut perlu dijaga dan dipertahankan (customer retention) dengan pengelolaan hubungan pelanggan(Payne, 2005). Peningkatan customer retention sebesar 1% menurut (Gupta et al., 2004)mampu meningkatkan nilai perusahaan sebesar 5%, karena konsumensecara psikologis merasa „dekat‟ dengan perusahaan tersebut akibat pelayanan yang dilakukan secara personal. Kedekatan yang terbentuk membuat konsumen terstimulasi untuk melakukan transasksi secara berulang dan tidak berpikir untuk beralih pada produsen lain sehingga, penjualan pun meningkat dan nilai (value) perusahaan pun menjadi lebih besar. Salah satu alat yang dapat dikembangkan dalam melakukan pengelolaan hubungan pelangan adalah dengan Quality Function Deployment (QFD). Nama QFD mencerminkan tujuan metode ini yang sebenarnya yakni memberi kepuasan pada pelanggan (quality) melalui penerjemahan kebutuhan pelanggan menjadi sebuah perencanaan dan memastikan bahwa seluruh unit dalam organisasi (function) bekerja secara terpadu untuk memecah pekerjaan mereka secara sistematis menjadi detail yang lebih baik dan semakin baik sehingga dapat terkuantifikasi dan terkendali (deployment)(Mazur, 1993). QFD berguna untuk mengeksplorasi harapan dan kebutuhan konsumen yang eksplisit maupun implisit serta menghubungkannya dengan kemampuan perusahaan untuk memenuhinya(Francheschini, 2002).Menurut (Sarkis dan Liles (1995), QFD merupakan alat analisa yang digunakan untuk meyakinkan secara sistematik bahwa pengembangan fitur produk, karakteristik serta spesifikasi termasuk pabrikasi dan proses yang dibutuhkan, sejalan dengan permintaan atau suara konsumen. Penggunaan QFD pada aspek layanan di PT. Mitra Nasional Kualitas, Jakarta bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan layanan pelanggan telah dilakukan dan memberikan infromasi mengenai hal apa yang harus ditingkatkan untuk dapat memenuhi harapan pelanggan mengenai layanan yang mereka inginkan. Metode ini membantu perusahaan untuk berfokus pada perbaikan dan peningkatan pelayanan yang memberikan manfaat
Evaluasi Layanan Transaksi Pelanggan Berbasis QFD
89
terbesar (baik untuk segi penjualan maupun untuk peningkatan citraperusahaan) dan menghindarkan kemungkinan usaha perbaikan pada hal yang telah menjadi keunggulan perusahaan itu sendiri atau pada hal yang tidak diinginkan oleh pelanggan. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi literatur untuk menentukan aspek-aspek layanan yang selayaknya ada dalam suatu perusahaan serta melakukan pencarian dasar-dasar teori untuk metode yang digunakan.Tahapan berikutnya adalah mengidentifikasi tujuan dan kompetensi utama perusahaan yang dilakukan dengan wawancara terhadap pegawai PT. Mitra Nasional Kualitas, Jakarta.Tujuan perusahaan yang telah teridentifikasi kemudian ditentukan prioritasnya menggunakan perbdaningan berpasangan (pairwise comparison).Tujuan kemudian dihubungkan dengan kompetensi utama perusahaan sehingga diketahui kompetensi yang paling berpengaruh dalam upaya pencapaian tujuan tersebut. Pengumpulan data berupa suara konsumen dilakukan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada pelanggan pasar tradisional menggunakan metode convenience sampling atau sampling yang dipermudah.Kuesioner dibagi menjadi dua bagian.Bagian pertama untuk identifikasi penilaian tingkat kepentingan suatu aspek layanan.Bagian kedua berupa pertanyaan untuk mengidentifikasi penilaian kinerja layanan pelanggan yang telah diterapkan PT. Mitra Nasional Kualitas, Jakarta. Data yang diperoleh dari kuesioner digunakan sebagai dasar dalam melakukan evaluasi dan menyusun rencana perbaikan layanan di PT. Mitra Nasional Kualitas. Kerangka kerja penelitian lengkap dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini: Penyusunan rencana perbaikan layanan dilakukan meggunakan metode QFD melalui pengembangan matriks rumah kualitas.Struktur dasar dari rumah kualitas dapat dilihat pada Gambar 2.
90 Hasti Purnasari, Taufik Djatna, Hartrisari Hardjomidjojo
Mulai
Data primer dan sekunder dari perusahaan
Literatur
Membuat kuesioner
Kuesioner
Melakukan sampling dan wawancara pelanggan
Menganalisis data
Menyusun laporan
E-JAII
perencanaan kualitas dan evaluasi daya saing berdasarkan penilaian konsumen mengenai sejauh mana pelayanan atau produk dari perusahaan mampu memenuhi kepuasan konsumen dibdaning dengan produk atau layanan dari pesaing. (3) Ceiling: matriks karakteristik kualitas yang berfungsi sebagai informasi mengenai cara perusahaan untuk merancang pelayanannya berdasarkan suara konsumen. (4) Room: merupakan gambaran mengenai derajat keterkaitan antara permintaan konsumen dengan pelayanan yang perlu dikembangkan. (5) Basement: menunjukkan evaluasi biaya dan teknis, termasuk tngkat kepentingan pengembangan pelayanan, target pengambilan keputusan, serta penilaian teknis dan daya saing. Hasil dari evaluasi ini akan digunakan untuk menentukan aspek teknis yang akan menjadi prioritas dalam pengembangan dan perbaikan. Analisis ini mampu mengubah informasi “apa yang dibutuhkan pelanggan” menjadi “bagaimana perusahaan melakukannya”(Li Na, 2011). Perhitungan dari HoQ dilakukan dengan formula sebagai berikut: ⁄
………………………………(1)
Laporan
………………………………(2) Selesai
(
…(3)
)
⁄∑
Gambar 1. Kerangka kerja penelitian ∑ ( 5. Roof Interrelationship 2. Ceiling Product design req. 1.Leftwall Customer Req (WHATs)
(HOWs)
..…………………(4) ⁄∑
)
….…(5)
HASIL DAN PEMBAHASAN
3. Room
4. Right wall
Relationship Matrix
Competitive Evaluation
6. Basement (HOWs)
Target Values &Important Gambar 2. Komposisi rumah kualitas Weights Keterangan: (1)Left wall :kebutuhan atau kebutuhan konsumen yang menjadi masukan dalam matriks. (2)Right wall:
Evaluasi Pelayanan Pelanggan Pelanggan pasar tradisional yang menjadi target perbaikan layanan ini diidentifikasi kebutuhan dan harapannya akan pelayanan yang mereka terima (demdaned quality). Kebutuhan tersebut meliputi beberapa aspek,yakni: tidak adanya kesalahan pihak perusahaan dalam melaksanakan tugas dan pelayanan (reliability), pekerja dan staf yang kompeten, santun dan meyakinkan dalam melaksanakan tanggung Tabel 1. Penilaian tingkat kepentingan dan kinerja layanan
Vol. 1. 2012
Evaluasi Layanan Transaksi Pelanggan Berbasis QFD
Skor Tingkat Kepentingan
Skor Penilaian Kinerja
Ketepatan waktu pengiriman
5
4
Kecepatan tanggapan atas pemesanan
5
4
Kesesuaian jenis produk yang dikirim dengan yang dipesan Variabel assurance
5
4
Kualitas barang ketika sampai di tujuan
5
4
Kemudahan pengembalian barang dengan spek menyimpang Kenyamanan bertransaksi
5
4
5
4
Staf yang kompeten dan sarana distribusi yang berfungsi dengan baik Variabel tangible
4
4
Penampilan dan kesopanan sales dan tim distribusi Ketersediaan stok barang
5
4
5
4
Pendataan profil pelanggan
4
4
Batas minimum pemesanan
4
3
Sambutan operator
4
4
Call center pelayanan keluhan
4
4
Pelayanan informasi produk
4
4
Kesediaan staf untuk membantu bila terjadi masalah dalam pemesanan dan pengiriman Variabel responsiveness
4
3
Pemesanan produk yang cepat dan mudah Kecepatan dan ketepatan penanggapan keluhan Pelayanan informasi produk baru
4
4
5
4
4
4
Diskon khusus bagi pelanggan setia
4
3
TOTAL
85
74
Variabel Pengukuran Variabel reliability
Variabel empathy
jawabnya (assurance), fasilitas-fasilitas fisik yang memadai (tangible), kepedulian pekerja dan staf kepada pelanggan (empathy) serta daya tanggap pekerja terhadap permasalahan yang dialami pelanggan terkait dengan sistem pelayanan yang diberikan (responsiveness). Aspek-aspek tersebut perlu ditranslasikan menjadi atribut-atribut kualitas untuk memudahkan pengukuran kepuasan (atau ketidakpuasan) pelanggan. (Han dan Leong, 2000). Berdasarkan hasil pengisian kuesioner yang ditampilkan dalam Tabel 1, aspek layanan dari variabel reliability dan assurance dinilai “ sangat penting” oleh pelanggan dengan rataan penilaian pada skor 5. Variabel tangible, empathy dan responsiveness dinilai “penting” oleh pelanggan dengan skor penilaian Likert 4.Selanjutnya untuk hasil penilaian kinerja layanan, beberapa aspek memiliki selisih atau gap dengan penilaian tingkat
91
kepentingannya.Aspek-aspek tersebut adalah seluruh aspek layanan dari variabel reliabilitydan assurancekecuali kompetensi staf dan sarana distribusi.Aspek layanan lainnya yang meimiliki selisih penilaian adalah penampilan dan kesopanan sales dan tim distribusi, ketersediaan stok barang, batas minimum pemesanan, kesediaan staf dalam membantu mengatasi masalah pelanggan, penanggapan keluhan yang cepat dan tepat serta diskon khusus bagi pelanggan setia.Selisih atau gap ini merupakan indikasi perlunya dilakukan perbaikan atau pengembangan pada aspek-aspek layanan yang terkait untuk dapat memenuhi ekspektasi pelanggan.Seringkali, pelanggan yang tidak puas tidak menyampaikan keluhannya kepada perusahaan, namun mereka lebih sering menceritakannya kepada orang-orang yang mereka kenal dan menghasilkan suatu pernyataan yang tidak baik (bad word of mouth) (Lovelock dan Wirtz, 2004). Pelanggan tersebut dapat dengan mudah dipuaskan bila perusahaan memberikan hal-hal yang pelanggan inginkan dan menyampaikan pelayanan dengan cara yang membuat mereka merasa penting dan dihargai (Han dan Leong, 2000). Selain itu, perbaikan kualitas layanan –dalam hal ini kepada pelanggan eksternal dibatasi oleh kualitas layanan kepada pelanggan internal atau staf kantor. Dalam beberapa kasus, kegagalan penyampaian layanan kepada pelanggan eksternal diakibatkan oleh kesalahan sistem administrasi, informasi dan kebijakan di dalam perusahaan (Johnston dan Clark, 2008). Penyusunan Rencana Perbaikan Layanan Matriks rumah kualitas disusun untuk menghubungkan kemampuan teknis perusahaan dengan setiap aspek layanan yang diharapkan pelanggan. Matriks ini menggambarkan korelasi suatu aspek layanan dengan aspek-aspek teknis yang ada. Penyusunan matriks akan membantu dan mengarahkan langkah perbaikan sistem layanan di perusahaan berdasarkan nilai korelasi yang muncul pada bagian dasar dari matriks rumah kualitas tersebut. Matriks rumah kualitas yang lengkap dapat dilihat pada Gambar 3. Kolom demdaned quality diisi berdasarkan suara konsumen yang teridentifikasi sesuai dengan Tabel 1.Hasil pengumpulan data dari kuesioner mengenai tingkat kepuasan pelanggan beserta penilaian kepetingan suatu aspek layanan dimasukkan ke dalam tabel perencanaan kualitas di bagian paling kanan.Setiap aspek layanan ditargetkan mencapai poin tertinggi yaitu 5. Nilai rasio perbaikan merupakan perbdaningan antara nilai target dengan poin penilaian kinerja layanan di perusahaan.
92 Hasti Purnasari, Taufik Djatna, Hartrisari Hardjomidjojo
Hasilnya, setiap aspek layanan memiliki rasio perbaikan lebih dari 1 (nilai rasio 1.3–1.7) yang artinya belum ada aspek layanan yang memenuhi target yang ditetapkan.Beberapa aspek layanan dengan rasio perbaikan paling besar (dengan nilai 1.7) adalah jumlah minimum pemesanan dan diskon khusus bagi pelanggan setia.Aspek-aspek dengan nilai rasio perbaikan 1.7 tersebut memiliki penilaian tingkat kepentingan pada skala penting, sehingga perusahaan perlu memprioritaskan perbaikan dan pengembangan pada aspek-aspek layanan tersebut. Langkah selanjutnya dalam pengembangan matriks rumah kualitas adalah membangun matriks hubungan untuk mentranslasikan bobot dari demdaned quality menjadi bobot aspek teknis.Matriks hubungan ini menggunakan simbol-simbol angka untuk menunjukkan derajat keterkaitannya.Berdasarkan pengembangan matriks hubungan, dapat diketahui bahwa aspek kemudahan pengembalian barang berkorelasi kuat dengan kinerja staf dan bagian distribusi, kelancaran aliran informasi serta kehdanalan sarana distribusi dan transportasi. Alasan atas tingkat korelasi ini adalah, kelancaran informasi akan memperjelas spesifikasi jenis pesanan produk sehingga kesalahan pengiriman dapat dikurangi atau dihilangkan. Apabila kesalahan terlanjur terjadi, dengan aliran informasi yang lancar maka, pihak perusahaan akan segera mengetahui permasalahan tersebut dan mengatasinya dengan mengirmkan barang yang sesuai. Kecepatan dan kelancaran pengiriman ini sangat dipengaruhi oleh kinerja staf dan bagian distribusi yang terkait serta alat atau sarana transportasi yang digunakan. Aspek layanan batas minimum pemesanan berkorelasi kuat dengan aspek teknis keterkinian database pelanggan dan keteraturan data keuangan dan transaksi.Alasannya adalah batas minimum pemesanan data dikustomisasi berdasarkan karakteristik pelanggan yang dapat dilihat pada database yang up to date dan pola pembeliannya yang terekam dalam data transaksi. Selanjutnya untuk aspek teknis penyediaan call center, beberapa aspek teknis hanya berkorelasi cukup kuat yang diwakili dengan angka 3 ada matriks hubungan. Call center ini merupakan fasilitas yang belum disediakan oleh perusahaan namun pelanggan menganggapnya penting untuk mereka. Belum ada aspek teknis yang mampu dilakukan perusahaan untuk menunjang mengembangan fasiitas ini, sehingga tidak ada aspek teknis yang menunjukkan korelasi dengan nilai 5 pada matriks hubungan. Aspek layanan berikutnya adalah penanggapan keluhan pelanggan yang dilakukan dengan cepat dan tepat.Aspek layanan tersebut berkorelasi kuat dengan sikap layanan operator,
E-JAII
kelancaran aliran informasi dan keterkinian database pelanggan.Operator yang berhubungan langsung dengan pelanggan, dalam hal ini adalah sales representative.Operator yang peduli dengan permasalahan yang dihadapi oleh pelanggan akan mengusahakan untuk secepatnya mengatasi masalah tersebut dengan baik. Penyelesaian masalah juga dapat lebih efektif dan efisien bila informasi tersampaikan dengan baik kepada pihak yang bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah tersebut. Hasil yang diperoleh dari penyusunan matriks tersebut adalah kinerja staf kantor dan staf pada bagian distribusi merupakan aspek teknis yang memiliki bobot relatif paling besar yaitu 19.1% dan berarti bahwa fungsi atau aspek teknis ini memiliki danil yang paling besar (sebesar 19%) dalam usaha perbaikan dan pengembangan kualitas pelayanan di PT. Mitra Nasional Kualitas. Aspek teknis kedua yang juga memiliki bobot relatif besar adalah kelancaran aliran informasi dengan bobot relatif sebesar 14.3%.dan diikuti aspek teknis sikap layanan operator dengan skor bobot relatif sebesar 13.9%.Semakin tinggi nilai bobot relatif dan bobot absolut aspek teknis menunjukkan semakin besar derajat kritis aspek teknis tersebut (Deros, 2009). Arah Perbaikan Layanan Layanan kepada pelanggan perlu diperbaiki guna memperoleh hubungan yang baik dengan pelanggan. Hubungan yang hanya berfokus pada keuntungan tanpa mempertimbangkan pelayanan kepada pelanggan tidak akan memberikan keuntungan kepada perusahaan dalam jangka waktu yang panjang(Pezeskhi, 2009).Kebutuhan-kebutuhan pelanggan yang belum terpenuhi sekaligus cara memenuhinya dapat diketahui dengan mengacu pada suara konsumen dan bantuan matriks rumah kualitas. Hasilnya adalah, perbaikan sistem layanan lebih cenderung padapengelolaan kinerja staf kantor dan dsitribusi untuk mencegah terjadinya kesalahan pengiriman barang. Hal yang menjadikan sebuah organisasi atau perusahaan berhasil dalam memberikan kesenangan kepada pelanggan terletak pada staf nya, mulai dari staf level puncak sampai dengan level paling bawah.Staf inilah yang memerankan fungsi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, menyederhanakan prosedur untuk pelanggan, mengembangkan loyalitas pelanggan serta mengatur bisnis yang terpisah dari pesaing (Han dan Leong, 2000).Demikian pula dengan aliran informasi yang berpengaruh cukup besar terhadap upaya pencegahan terjadinya kesalahan tersebut.
Kinerja staf dan bagian distribusi
Kelancaran aliran informasi
Kehdanalan sarana distribusi dan transportasi
Keterkinian database pelanggan
Keteraturan data keuangan dan transaksi
Efisiensi sistem pengiriman dan distribusi
Tingkat kepentingan (d)
Kinerja layanan saat ini (u)
Target (t)
Rasio Perbaikan (p)
5 3 1
0 3 1
0 5 0
3 5 3
5 5 5
5 1 0
0 3 0
0 1 0
5 5 3
5 5 5
4 4 4
5 5 5
1.3 1.3 1.3
1 0 0 0
1 3 3 5
0 3 3 3
5 5 3 5
0 5 1 1
5 5 0 1
0 0 3 0
0 1 5 0
5 3 0 0
5 5 5 4
4 4 4 4
5 5 5 5
1.3 1.3 1.3 1.3
0 5 0 3
5 0 0 0
3 0 1 0
5 5 1 0
0 3 1 0
3 5 0 0
0 3 5 5
0 3 3 5
0 3 0 0
5 5 4 4
4 4 4 3
5 5 5 5
1.3 1.3 1.3 1.7
0 0 0
0 3 1
5 3 5
3 3 5
0 0 3
0 0 0
0 0 0
0 0 0
0 0 0
4 4 4
4 4 4
5 5 5
1.3 1.3 1.3
0
3
3
3
0
1
0
0
0
4
4
5
1.3
3
3
3
3
5
1
3
1
1
4
4
5
1.3
0 0 0 99 0.065 9
3 1 0 159 0.105 5
5 5 1 211 0.139 3
3 3 0 289 0.191 1
5 5 3 217 0.143 2
1 1 0 141 0.093 6
5 5 5 162 0.107 4
1 0 5 111 0.073 8
0 0 0 124 0.082 7
5 4 4
4 4 3
5 5 5
1.3 1.3 1.7
Ketepatan perencanaan persediaan barang Variabel reliability Barang dikirim tepat waktu Pemesanan produk ditanggapi dengan cepat Jenis barang yang dikirim sesuai dengan pesanan Variabel assurance Kualitas barang ketika sampai di tujuan terjamin Barang tidak sesuai, mudah untuk dikembalikan Transaksi yang aman dan nyaman Kinerja staf dan sarana distribusi yang profesional Variabel tangible Sales dan tim distribusi yang sopan dan berpenampilan rapi Barang yang dipesan selalu ada Pendataan profil pelanggan dilakukan dengan baik Batas minimum pemesanan Variabel empathy Operator melayani dengan antusias dan bersahabat Tersedianya call center pelayanan keluhan Staf mengetahui informasi setiap produk dengan baik Kesediaan staf dalam membantu mengatasi masalah sulit dan mendesak Variabel responsiveness Proses pemesanan produk dapat dilakukan dengan cepat dan mudah Keluhan ditanggapi dengan cepat dan tepat Staf menginformasikan produk baru secara proaktif Diskon khusus bagi pelanggan setia Absolute weight (at) Relative weight (rt) Ranking
93
Sikap layanan operator
Evaluasi Layanan Transaksi Pelanggan Berbasis QFD
Profesionalitas pegawai/staf
Vol. 1. 2012
Gambar 3. Matriks rumah kualitas Dengan mengelola dan memperbaiki aspekaspek yang telah disebutkan, maka perusahaan diharapkan mampu memberikan penanggapan yang cepat dan tepat setiap kali pelanggan merasa mengalami ketidaksesuaian antara harapan dengan pelayanan yang diterima dalam interaksinya dengan perusahaan.Selain itu, perusahaan juga perlu mengelola sikap operator utnuk dapat memberikan informasi dan layanan yang terbaik kepada
pelanggan.Hal ini menjadi penting, mengingat bahwa operator inilah yang paling banyak berinteraksi dengan pelanggan.
94 Hasti Purnasari, Taufik Djatna, Hartrisari Hardjomidjojo
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pada hasil pengembangan matriks rumah kualitas dan metode QFD, dapat disimpulkan bahwa: 1. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa aspek layanan yang dianggap “penting” oleh pelanggan seperti minimum pemesanan dan diskon khusus bagi pelanggan setia hanya dinilai “cukup baik” dengan nilai rasio pengembangan sebesar 1.7. 2. Perbaikan layanan untuk aspek yang disebutkan dapat dilakukan dengan memperbaiki sikap pelayanan operator, mengelola aliran informasi dan memperbaiki kinerja staf dan bagian distribusi untuk dapat mengelola hubungan pelanggan serta memenuhi ekspektasinya
Saran Penelitian ini perlu dilengkapi dengan melakukan segmentasi yang lebih spesifik terhadap pelanggan golongan pasar tradisional baik dengan berdasar pada pola transaksi maupun dengan nilai (value) pembelian yang mereka lakukan.Pengukuran tingkat kepuasan dan langkah perbaikan dapat pula dilakukan dengan metode fuzzy untuk mengetahui tingkat perbaikan dengan mempertimbangkan budget dan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.Selain itu, langkah perbaikan dapat dibuat secara sistematis dengan mendistribusikan pekerjaan kepada setiap departemen yang bersangkutan dengan aspek-aspek yang menjadi fokus utama dalam upaya perbaikan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Deros, M. B., et al 2009. Application of Quality Function Deployment to Study Critical Service Quality Characteristics dan Performance Measures. European Journal of Scientific Research, Vol. 33 No.3, 398410. Francheschini, F. 2002. Advanced Quality Function Deployment. Florida: St. Lucie Press LLC. Griffin, J. 2005. Customer Loyalty: How to Earn It, How to Keep It, Jakarta, Erlangga. Gupta, S., Lehmann, D. R. & Stuart, J. A. 2004. Valuing Customer. Journal of Marketing Research, 41 (1), 7-18. Han, F. & Leong, D. 2000. Productivity dan Service Quality, Singapore, Prentice Hall. Johnston, R. & Clark, G. 2008. Service Operations Management, Hampshire, Prentice Hall.
E-JAII
Li Na, S. X., Wei Yang,Zeng Ming 2011. Decision Making Model Based on QFD Method for Power Utility Service Improvement. System Engineering Procedia 4. Lovelock, C. & Wirtz, J. 2004. Services Marketing: People, Technology, Strategy, USA, Prentice Hall. Mazur, G. H. 1993. QFD for Service Industries From Voice of Customer to Task Deployment. The Fifth Symposium on Quality Function Deployment, Michigan. Payne, A. 2005. Hdanbook of CRM: Achieving Excellence in Customer Management. Great Britain: Elsevier Ltd. Pezeskhi, V. 2009. Three Dimensional Modelling of Customer Satisfaction, Retention dan Loyalty for Measuring Quality of Service. PhD, Brunel University. Sarkis, J. & Liles, H. D. 1995. Using IDEF dan QFD to Develop an Organizational Decision Support Methodology for Strategic Justification of Computer-Integrated Technologies. International Journal of Project Management, Vol. 13.
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 95 - 100 ISSN: 2252 - 3324
Available online at:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
PENGARUH WAKTU REAKSI DAN RASIO HEKSAN/TOTAL PELARUT TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS BIODIESEL PADA PROSES TRANSESTERIFIKASI IN SITU BIJI JARAK PAGAR THE INFLUENCE OF REACTION TIME AND HEXANE TO TOTAL SOLVENT RATIO ON BIODIESEL YIELD AND QUALITY OF IN SITU TRANSESTERIFICATION OF JATROPHA SEED Fitriyana Ayu Aprilyanti dan Ika Amalia Kartika* Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB Kampus IPB Dramaga P.O. Box 220 Bogor 16002 *e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The increasing of human demand about diesel fuel that was not balanced with the appropriate of petroleum production caused global crisis of energy. Under these conditions, biodiesel is a promising alternative fuel to replace petroleum-based diesel. Jatropha curcas L. can be used as an alternative energy resource because it contains 30-40% oils. Jatropha curcas L. is a plant that can be easily growned in Indonesia, so it is prospective as raw material for biodiesel. The purpose of this study was to determine the influence of reaction time and hexane to total solvent ratio on biodiesel yield and quality produced by in situ transesterification of jatropha seeds. The used raw material was grounded jatropha seeds with moisture content of < 2% and ± 20 mesh size. The operating conditions of hexane to total solvent ratio and reaction time were varied at 1/6, 2/6, 3/6 and 3, 4, 5 h, respectively. KOH concentration, reaction temperature and stirring speed were fixed at 0.075 mol/L methanol, 55oC and 300 rpm. The analysis of biodiesel quality included acid value, viscosity, ash content and saponification value. The results were analyzed with Response Surface Method (RSM). The produced biodiesel yield was 71%-81%. The highest yield (80.67%) and the best quality of biodiesel were obtained under operation condition of the 5 h reaction time and 1/6 hexane to total solvent ratio (acid value of 0.31 mg KOH/g, saponification value of 193.97 mg KOH/g, viscosity of 3.45 cSt, and ash content of 0%). Respon surface analysis of hexane to total solvent ratio and reaction time variables to respon of biodiesel yield resulted first order equation, Y = 63.00– 4.14(A) + 3.81(B), with R2= 95.56%. The variable of reaction time (B) had significant influence on biodiesel yield. Respon surface analysis of operating condition variables to respon of biodiesel quality showed the variable of hexane to solvent ratio (A) and reaction time (B) had significant influence on acid value and viscosity, especially. Keywords: biodiesel, jatropha, in situ transesterification, reaction time, solvent ratio
ABSTRAK Eksploitasi minyak bumi menyebabkan krisis bahan bakar minyak (BBM) di dunia karena minyak bumi merupakan energi yang tidak terbarukan. Dengan kondisi tersebut, biodiesel yang berasal dari minyak nabati merupakan energi alternatif yang menjanjikan untuk menggantikan minyak bumi. Biji jarak pagar merupakan salah satu tanaman yang dapat menjadi bahan baku sumber energi alternatif karena kandungan minyaknya yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30-40%. Jarak pagar merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan di Indonesia sehingga prospektif untuk dijadikan biodiesel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu reaksi dan rasio heksan/total pelarut pada transesterifikasi in situ biji jarak pagar terhadap rendemen dan mutu biodiesel yang dihasilkan. Bahan yang digunakan adalah biji jarak pagar dengan kadar air < 2% dan ukuran ± 20 mesh. Kondisi operasi divariasikan pada rasio heksan/total pelarut sebesar 1/6, 2/6 dan 3/6, dan waktu reaksi selama 3, 4 dan 5 jam. Konsentrasi KOH, suhu reaksi dan kecepatan pengadukan ditetapkan pada 0.075 mol/L metanol, 55oC dan 300 rpm. Parameter mutu biodiesel yang dianalisis meliputi bilangan asam, viskositas, kadar abu dan bilangan penyabunan. Hasil penelitian dianalisis menggunakan Response Surface Method (RSM). Rendemen biodiesel berkisar antara 71%-81%. Rendemen biodiesel tertinggi (80.67%) diperoleh dari perlakuan waktu reaksi selama 5 jam dan rasio heksan/total pelarut sebesar 1/6. Mutu biodiesel terbaik juga diperoleh dari perlakuan waktu reaksi selama 5 jam dan rasio heksan/total pelarut sebesar 1/6 dengan bilangan asam 0.31 mg KOH/g, bilangan penyabunan 193.97 mg KOH/g, viskositas 3.45 cSt, dan kadar abu sebesar 0%. Hasil analisis respon permukaan variabel rasio heksan/total pelarut dan waktu reaksi terhadap respon rendemen biodiesel menghasilkan persamaan orde 1, Y = 63.00– 4.14(A) + 3.81(B), dengan R2= 95.56%. Variabel waktu reaksi (B) berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen biodiesel. Hasil analisis respon permukaan variabel A dan B terhadap mutu biodiesel menunjukkan bahwa rasio heksan/total pelarut berpengaruh secara signifikan hanya terhadap bilangan asam dan viskositas. Kata kunci :biodiesel, jarak pagar, transesterifikasi in situ, waktu reaksi, rasio pelarut.
96 Amalia Kartika. I et al. PENDAHULUAN Indonesia termasuk salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia. Akan tetapi, sampai saat ini Indonesia masih mengimpor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) baik untuk sektor transportasi maupun energi. Tingkat konsumsi BBM Indonesia mencapai 457 juta barel/tahun (Ian, 2011),sedangkan produksinya hanya mencapai 265 juta barel/tahun (ESDM, 2011). Dampak dari krisis minyak bumi tersebut adalah tidak terpenuhinya kebutuhan BBM dalam negeri dan terganggunya perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif bahan bakar lain terutama dari bahan yang terbarukan. Salah satunya adalah biodiesel. Beberapa tanaman potensial sebagai bahan baku biodiesel, seperti biji kapas (Qian et al., 2008), kelapa sawit (Hayyan, 2011), biji bunga matahari (Porte et al., 2010), kedelai (Xie dan Huang, 2006), biji jarak pagar (Shuit et al., 2010), dan lain-lain. Jarak pagar merupakan tanaman yang sangat potensial sebagai bahan baku biodiesel dikarenakan beberapa keunggulan yang dimilikinya. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh di lahan-lahan marginal (kurang subur). Selain itu, tanaman ini merupakan tanaman non pangan karena mengandung racun phorbol ester dan cursin (Gubitz et al., 1999), sehingga isu kontroversi antara perbaharuan energi dan ketahanan pangan dapat dihindari. Teknologi proses produksi biodiesel konvensional terdiri dari beberapa tahapan, yaitu ekstraksi minyak dari biji, pemurnian minyak, dan transesterifikasi untuk mengubah minyak menjadi biodiesel. Teknologi ini memiliki tahapan proses yang sangat panjang, membutuhkan waktu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tinggi (Shuit et al., 2010). Saat ini telah dikembangkan cara memproduksi biodiesel dengan efisiensi tinggi, biaya murah, serta rendemen yang tinggi yaitu melalui proses transesterifikasi in situ (Ozgul-Yucel dan Turkey, 2002; Haas et al., 2004; Qian et al., 2008; Shuit et al., 2010). Proses transesterifikasi in situ ini merupakan proses produksi biodiesel yang lebih sederhana dengan mengeleminasi proses ekstraksi dan pemurnian minyak sehingga prosesnya lebih singkat. Proses produksi biodiesel dari biji jarak pagar melalui transesterifikasi in situ telah dikembangkan oleh beberapa peneliti (Shuit et al., 2010; Utami, 2010; Yulianingtyas, 2011; Fajarani, 2011; Amalia Kartika et al., 2011a,b), dan telah memberikan hasil yang memuaskan. Penggunaan heksan sebagai co-solvent memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen dan mutu biodiesel. Kondisi proses waktu reaksi juga berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen dan mutu biodiesel. Pada penelitian ini pengaruh rasio heksan/total pelarut dan waktu reaksi dipelajari lebih lanjut untuk meningkatkan rendemen dan mutu biodiesel, khususnya pada kondisi proses dengan suhu reaksi yang lebih tinggi (55oC) dan kecepatan pengadukan yang lebih rendah (300 rpm) dari penelitian sebelumnya (Yulianingtyas, 2011; Fajarani, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu reaksi dan rasio heksan/total pelarut
E-JAII terhadap rendemen dan mutu biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar. Kondisi operasi divariasikan pada waktu reaksi 3, 4 dan 5 jam dan rasio heksan/total pelarut 1/6, 2/6 dan 3/6. Parameter yang dianalisis meliputi rendemen biodiesel, bilangan asam, viskositas, kadar abu dan bilangan penyabunan. METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar yang diperoleh dari PT. JEDO Indonesia, Tangerang. Bahan kimia yang digunakan meliputi KOH, metanol, heksan, akuades, HCl, indikator PP, indikator mensel, etanol, H2SO4, CuSO4, dan Na2SO4. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini meliputi tangki reaktor 10 L yang dilengkapi dengan pengaduk, pemanas, pendingin, blender, labu pemisah, oven, evaporator, pompa vakum, kertas saring, dan peralatan gelas. Metode Karakterisasi bahan baku Bahan baku dipersiapkan dengan mengupas buah jarak kering untuk memisahkan kulit buah dari biji. Biji jarak pagar selanjutnya dikarakterisasi dengan menganalisis kadar air (AOAC 1995, 950.46), kadar abu (AOAC 1995, 923.03), kadar lemak (SNI 01-28911992), kadar protein (AOAC 1995, 991.20) dan kadar serat kasar (SNI 01-2891-1992). Produksi biodiesel melalui transesterifikasi in situ pada berbagai kondisi proses Proses transesterifikasi in situ dilakukan menggunakan reaktor dengan volume 10 L. Katalis yang digunakan adalah KOH dengan konsentrasi 0.075 mol/L metanol. Sebelum proses produksi dilakukan, biji jarak pagar dikeringkan pada suhu 60-70oC selama 2448 jam untuk mendapatkan kadar air < 2%. Biji jarak kering dihaluskan (± 20 mesh), dan kemudian dimasukkan ke dalam larutan reaktan dengan rasio heksan/total pelarut divariasikan pada 1/6, 2/6 dan 3/6. Kondisi proses waktu reaksi divariasikan pada 3, 4 dan 5 jam, sedangkan kecepatan pengadukan dan suhu reaksi ditetapkan pada 300 rpm dan 55oC. Setelah proses transesterifikasi in situ selesai, campuran dibiarkan selama semalam untuk menurunkan suhu dan mengendapkan padatan. Selanjutnya, campuran disaring untuk memisahkan filtrat dari padatan (ampas). Filtrat dievaporasi menggunakan evaporator untuk menguapkan heksan dan metanol. Filtrat kemudian ditempatkan dalam labu pemisah dan didiamkan selama beberapa jam untuk memisahkan biodiesel dari gliserol. Lapisan gliserol berada di bagian bawah dan berwujud semi padat, sedangkan biodiesel berada di bagian atas. Biodiesel kemudian dicuci dengan akuades sampai netral. Biodiesel dipanaskan pada suhu 105oC selama 1 jam untuk menguapkan air dari sisa pencucian. Biodiesel selanjutnya didinginkan dan ditimbang untuk mengetahui bobotnya. Rendemen biodiesel dihitung berdasarkan persamaan berikut:
Vol. 1, 2012
Pengaruh Waktu Reaksi Dan Rasio Bahan/Pelarut Terhadap Rendemen dan Kualitas Biodiesel 97
bobot biodiesel x 100% Rendemen (%) = bobot minyak dalam biji jarak pagar Mutu biodiesel dikarakterisasi dengan menganalisis viskositas (SNI 04-7182-2006), bilangan asam (SNI 047182-2006), kadar abu (AOAC 1995, 950.46) dan bilangan penyabunan (SNI 04-7182-2006). Rancangan Percobaan Penelitian ini dirancang menggunakan Least Square Design. Data yang dihasilkan digunakan untuk memodelkan pengaruh variabel-variabel kondisi proses rasio heksan/total pelarut (A) dan waktu reaksi (B) terhadap respon (Y), yang meliputi rendemen biodiesel, bilangan asam, bilangan penyabunan, viskositas dan kadar abu. Jumlah level sebanyak 3 dan faktor sebanyak 2 digunakan untuk menentukan kondisi proses terbaik. Level coded dan uncoded dari variabel-variabel kondisi proses disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Variabel dan level yang digunakan untuk Least Square Design dalam proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar Level Variabel Simbol -1 0 +1 Rasio heksan/total A 1/6 2/6 3/6 pelarut Waktu reaksi (jam) B 3 4 5 Untuk level -1 dan +1, penelitian dilakukan sebanyak 2 ulangan, sedangkan untuk level central (0) penelitian dilakukan sebanyak 5 ulangan. Data-data yang dihasilkan selanjutnya dianalisis regresi respon permukaannya menggunakan persamaan polinomial orde satu sebagai berikut: Y = β0 + β1x1 + β2x2 dimana Y adalah respon (rendemen biodiesel, bilangan asam, bilangan penyabunan, viskositas dan kadar abu); x1 dan x2 adalah variabel uncoded; dan β0, β1 dan β2 masing-masing adalah konstanta titik potong dan koefisien linier untuk x1 dan x2 (Montgomery, 2001). Analisis regresi dan analisis keragaman (ANOVA pada α = 0.05) dilakukan menggunakan Design Expert Software. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bahan Baku Hasil karakterisasi bahan baku (Tabel 2) menunjukkan bahwa biji jarak pagar yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar minyak yang cukup tinggi. Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (kadar minyak > 35%) (Fajarani, 2011; Yulianingtyas, 2011), kadar minyak biji jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan varietas tanaman, umur panen, tempat tumbuh tanaman dan kualitas bibit. Pada penelitian Fajarani (2011) dan Yulianingtyas (2011), biji jarak pagar yang digunakan adalah biji jarak pagar varietas Lampung IP-3 yang didapat dari Balitri
Sukabumi dan berkualitas unggul. Biji jarak pagar yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PT. JEDO Indonesia yang memiliki kualitas lebih rendah daripada biji yang berasal dari Balitri. Tabel 2. Hasil karakterisasi bahan baku Parameter Uji Nilai (% b/b) Kadar air 8.03 Kadar minyak 30.39 Kadar serat 29.95 Kadar abu 4.85 Kadar protein 17.77 Kadar air biji jarak pagar yang digunakan pada penelitian ini cukup tinggi. Oleh karena itu, sebelum dilakukan proses transesterifikasi in situ, biji jarak pagar dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 60-70oC selama 24-48 jam untuk mendapatkan kadar air < 2%. Semakin rendah kadar air bahan, minyak lebih mudah larut dalam pelarut, sehingga tingkat ekstraksi minyak pun semakin tinggi. Kandungan air yang tinggi pada bahan akan menyebabkan saponifikasi ester sehingga akan mempengaruhi efisiensi proses transesterifikasi (Amalia Kartika et al., 2011a). Produksi Biodiesel Melalui Transesterifikasi In Situ Biji Jarak Pagar Pada Berbagai Kondisi Proses Pada penelitian ini, rendemen biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 71-81%. Rendemen biodiesel tertinggi (80.67%) diperoleh dari perlakuan rasio heksan/total pelarut 1/6 dan waktu reaksi 5 jam, sedangkan rendemen biodiesel terendah (71.69%) diperoleh dari perlakuan rasio heksan/total pelarut 3/6 dan waktu reaksi 3 jam. Hasil analisis keragaman (ANOVA α = 0.05) menggunakan metode respon permukaan (Tabel 3) menunjukkan bahwa variabel waktu reaksi (B) berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen biodiesel (Y) yang dihasilkan, sedangkan variabel rasio heksan/total pelarut (A) tidak berpengaruh secara signifikan. Interaksi variabel A dan B juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Lack of Fit yang tinggi (P > 0.05). Tabel 3. ANOVA untuk respon rendemen biodiesel Source Model A B Curvature Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total
SS 59.85 1.86 57.99 13.97 2.78 1.78 1.00 76.60
DF MS 2 29.93 1 1.86 1 57.99 1 13.97 4 0.69 1 1.78 3 0.33 7
F 43.07 2.68 83.46 20.10
P 0.0020* 0.1769 0.0008* 0.0110*
5.36
0.1035
*signifikan Hasil analisis regresi persamaan polinomial orde 1 yang dihasilkan adalah Y= 63.00–4.14A+3.81B (R2 = 95.56%). Hubungan antara rendemen biodiesel dengan variabel-variabel A dan B (Gambar 1) menunjukkan bahwa pada kisaran waktu reaksi yang diamati (3-5 jam) rendemen biodiesel meningkat seiring dengan peningkatan waktu reaksi. Hal ini teramati untuk
98 Amalia Kartika. I et al.
E-JAII
seluruh variabel rasio heksan/total pelarut. Waktu reaksi (A) berpengaruh secara signifikan tehadap viskositas yang lebih lama pada proses transesterifikasi biodiesel (Y), sedangkan variabel waktu reaksi (B) tidak memfasilitasi molekul-molekul reaktan bertumbukan berpengaruh secara signifikan. Interaksi variabel A dan lebih lama sehingga konversi trigliserida menjadi metil B berpengaruh secara signifikan pada viskositas ester pun dapat ditingkatkan seiring dengan peningkatan biodiesel. waktu reaksi (Ozgul-Yucel dan Turkay 2002). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Tabel 4. Kualitas biodiesel yang dihasilkan pada Yulianingtyas (2011), mengenai produksi biodiesel dari berbagai kondisi proses Rasio Waktu Viskositas Bilangan Bilangan Kadar biji jarak pagar pada skala pilot dengan kondisi operasi heksan/ reaksi (cSt) asam Penyabunan abu waktu reaksi selama 4 jam, kecepatan pengadukan total (jam) (mg KOH/g) (mg KOH/g) (%) sebesar 600 rpm, dan rasio metanol/heksan/bahan pelarut sebesar 3:3:1 dengan suhu reaksi 40oC menghasilkan 1/6 3 3.54 0.46 193.05 0 1/6 5 3.45 0.28 193.97 0 rendemen sebesar 86.14%. Pada penelitian ini rendemen 3/6 3 10.05 0.84 190.84 0 biodiesel tertinggi (80.67%) yang dihasilkan lebih 3/6 5 11.07 0.82 193.90 0 rendah dari penelitian sebelumnya (86.14%), dengan 2/6 4 3.56 0.36 194.23 Trace waktu reaksi selama 5 jam, kecepatan pengadukan 300 (<0.05) rpm dan rasio heksan/total pelarut sebesar 1/6. Hal tersebut terjadi karena kualitas bahan baku yang Dari hasil analisis regresi persamaan polinomial digunakan dalam penelitian ini lebih rendah dengan orde 1 yang dihasilkan adalah Y = -1.87+22.36A+0.39B kualitas bahan baku yang digunakan pada penelitian (R2 = 98.62%). Hubungan antara viskositas biodiesel sebelumnya. Akan tetapi, pada penelitian ini rendemen dengan variabel-variabel A dan B (Gambar 2) tertinggi dihasilkan pada perbandingan heksan/metanol menunjukkan bahwa pada kisaran rasio heksan/total terkecil yaitu 1/6. Keuntungan dari hal ini adalah jumlah pelarut yang diamati (1/6-3/6) viskositas biodiesel heksan yang digunakan rendah sehingga dapat meningkat seiring dengan peningkatan rasio Plot menghemat biaya produksi mengingat harga DESIGN-EXPERT heksan heksan/total pelarut. Hal ini teramati untuk seluruh lebih mahal daripada harga metanol. Selain itu, heksan viskositas (cSt) variabel waktu reaksi. yang bersifat toksik dapat mencemari lingkungan X = jika A: heksan/total pelarut DESIGN-EXPERT Plot penggunaannya berlebihan, sehingga penggunaannya Y = B: waktu (jam) rendemen (%) harus dikurangi. 11.27
X = A: heksan/total pelarut Y = B: waktu (jam)
9.23
81.34
(cSt) Viskositas viskositas (cSt)
7.19
rendemen (%)
Rendemen (%)
79.09 76.85 74.60 72.36
5.15 3.11
5.00 0.50
4.50
0.42 4.00
5.00 0.50
4.50
0.42 4.00
B: waktu (jam)
waktu reaksi (jam) Gambar
1.
B: waktu (jam) waktu
reaksi (jam)
0.33 3.50
0.25
A: heksan/total pelarut
3.00
0.17
rasio heksan/total pelarut
Respon permukaan pengaruh rasio heksan/total pelarut dan waktu reaksi terhadap rendemen biodiesel
Kualitas biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Viskositas biodiesel yang dihasilkan berkisar antara 3-12 cSt. Viskositas biodiesel terbaik (3.45 cSt) diperoleh dari perlakuan rasio heksan/total pelarut 1/6 dan waktu reaksi 5 jam. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa variabel rasio heksan/total pelarut
Gambar
2.
0.34 3.50
0.25 3.00
0.17
A: heksan/total pelarut
rasio heksan/total pelarut
Respon permukaan pengaruh rasio heksan/total pelarut dan waktu reaksi terhadap viskositas biodiesel
Pada penelitian ini, biodiesel yang dihasilkan dari perlakuan rasio heksan/total pelarut 3/6 memiliki viskositas lebih besar dari pada standar untuk biodiesel (maksimal 6 cSt, SNI 04-7182-2006). Semakin tinggi jumlah heksan yang digunakan pada proses transesterifikasi in situ, jumlah minyak yang dapat terekstrak pun semakin tinggi. Namun demikian, waktu reaksi yang digunakan pada penelitian ini (3-5 jam) tidak cukup untuk mengkonversi seluruh minyak yang terekstrak menjadi metil ester. Viskositas biodiesel
Vol. 1, 2012
Pengaruh Waktu Reaksi Dan Rasio Bahan/Pelarut Terhadap Rendemen dan Kualitas Biodiesel 99
dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak bereaksi dengan metanol (Knothe, 2006). Viskositas akan meningkat seiring dengan semakin panjang rantai karbon dan semakin rendah jumlah ikatan rangkapnya. Viskositas biodiesel diartikan sebagai ukuran ketahanan bahan bakar untuk mengalir (Van Gerpen, 2005). Viskositas berpengaruh pada penetrasi pola semprotan pada ruang pembakaran. Viskositas biodiesel yang akan digunakan sebagai bahan bakar diesel harus rendah karena viskositas yang tinggi akan menyulitkan injeksi bahan bakar ke dalam ruang bakar sehingga dapat menyebabkan kebocoran. Bilangan asam biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0.3-0.9 mg KOH/g. Bilangan asam terbaik (0.31 mg KOH/g) diperoleh dari perlakuan rasio heksan/total pelarut 1/6 dan waku reaksi 5 jam. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa variabel rasio heksan/total pelarut (A) berpengaruh secara signifikan terhadap bilangan asam biodiesel (Y), sedangkan variabel waktu reaksi (B) tidak berpengaruh secara signifikan. Interaksi variabel A dan B juga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bilangan asam DESIGN-EXPERT Plot biodiesel yang dihasilkan. bil.asam (mg KOH/g) X = A: heksan/total pelarut Y = B: waktu (jam)
bil.asam (mg KOH/g)
Bilangan asam (mg KOH/g)
0.88 0.74 0.60 0.46 0.32
haruslah serendah mungkin, karena kandungan asam yang tinggi dalam bahan bakar dapat menyebabkan korosi dan kerusakan pada mesin-mesin diesel (Knothe, 2006). Bilangan penyabunan biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 190-194 mg KOH/g. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa variabel rasio heksan/total pelarut dan variabel waktu reaksi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap bilangan penyabunan biodiesel. Bilangan penyabunan menunjukkan kemurnian suatu biodiesel. Semakin rendah bilangan penyabunan biodiesel, maka kemurnian biodiesel semakin rendah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh masih adanya kandungan tri-, di- dan monogliserida dalam biodiesel. Keberadaan senyawa-senyawa tersebut akan menyebabkan bobot molekul biodiesel semakin tinggi. Minyak yang mempunyai bobot molekul rendah, akan mempunyai bilangan penyabunan yang tinggi (Ketaren, 2008). Kadar abu biodiesel yang dihasilkan dari seluruh perlakuan pada penelitian ini adalah 0%, kecuali pada perlakuan rasio heksan/total pelarut 2/6 dan waktu reaksi 4 jam. Akan tetapi, pada perlakuan tersebut kadar abu yang diperoleh sangat rendah (< 0.05%). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa variabel rasio heksan/total pelarut dan variabel waktu reaksi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar abu biodiesel. Kadar abu menunjukkan adanya senyawa organologam maupun mineral yang terdapat pada bahan. Semakin rendah kadar abu biodiesel, maka mutu biodiesel semakin baik. Tingginya kadar abu dalam biodiesel yang akan diaplikasikan sebagai bahan bakar diesel dapat menyebabkan karat karena senyawa organologam tersebut akan mengendap pada mesin dan mengikis unit-unit injektor pada motor (Amalia Kartika et al., 2011c).
5.00
KESIMPULAN DAN SARAN
0.50 4.50 0.42 4.00
B: waktu waktu(jam) reaksi (jam)
0.34 3.50
0.25
A: heksan/total pelarut
3.00
0.17
rasio heksan/total pelarut
Gambar 3. Respon permukaan rasio heksan/total pelarutdan waktu reaksi terhadap bilangan asam biodiesel. Dari hasil analisis regresi, persamaan polinomial orde 1 yang dihasilkan adalah Y= 0.33+1.39A-0.05B(R2 = 92.95%). Hubungan antara bilangan asam biodiesel dengan variabel-variabel A dan B (Gambar 3) menunjukkan bahwa pada kisaran rasio heksan/total pelarut yang diamati (1/6-3/6) bilangan asam biodiesel meningkat seiring dengan peningkatan rasio heksan/total pelarut. Hal ini teramati untuk seluruh variabel waktu reaksi. Bilangan asam menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang tersisa di dalam biodiesel yang dihasilkan. Asam lemak bebas bersifat korosif. Bilangan asam biodiesel yang akan diaplikasikan sebagai bahan bakar
Kesimpulan Pengaruh kondisi proses rasio heksan/total pelarut dan waktu reaksi terhadap rendemen biodiesel adalah signifikan. Pengaruh waktu reaksi terhadap rendemen biodiesel lebih signifikan daripada rasio heksan/total pelarut. Pengaruh kondisi proses rasio heksan/total pelarut dan waktu terhadap kualitas biodiesel hanya signifikan pada viskositas dan bilangan asam biodiesel. Rendemen biodiesel tertinggi (80.67%) dan kualitas biodiesel terbaik (bilangan asam 0.31 mg KOH/g, bilangan penyabunan 193.97 mg KOH/g, viskositas 3.45 cSt, dan kadar abu 0%) diperoleh dari perlakuan rasio heksan/total pelarut 1/6 dan waktu reaksi 5 jam. Saran Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meningkatkan waktu reaksi, dan melakukan analisis regresi menggunakan persamaan polinomial orde kedua.
100 Amalia Kartika. I et al. DAFTAR PUSTAKA Amalia Kartika I, Yuliani S, Ariono D, Sugiarto. 2011a. Transesterifikasi in situ biji jarak: Pengaruh kadar air dan ukuran partikel bahan terhadap rendemen dan kualitas biodiesel. Jurnal Agritech 3: 242-249. Amalia Kartika I, Yani M, Hermawan D. 2011b. Transesterifikasi in situ biji jarak pagar: Pengaruh jenis pereaksi, kecepatan pengadukan dan suhu reaksi tehadap rendemen dan kualitas biodiesel. J. Tek. Ind. Pert. 21: 24-33. Amalia Kartika I, Fathiyah S, Desrial, Purwanto YA. 2011c. Pemurnian minyak nyamplung dan aplikasinya sebagai bahan bakar nabati.J. Tek. Ind. Pert. 20: 122-129. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Analitycal Chemistry. Washington DC: Associaton of Official Analitycal Chemist. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Uji Makanan dan Minuman. SNI 01-2891-1992. Badan Standarisasi Nasional.2006. Biodiesel. SNI 04-7183-2006. ESDM. 2011. Produksi Minyak Bumi per Tahun. www.dtwh2. esdm.go.id. [31 Agustus 2012]. Fajarani AN. 2011. Transformasi Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Menjadi Biodiesel Melalui Transesterifikasi In Situ. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Gubitz GM, Mittelbach M, Trabi M. 1999. Exploitation of the tropical oil seed plant Jatropha curcas L. Bioresource Technology 67: 73-82. Haas MJ, Karen MS, William NM, ThomasAF. 2004. In situ alkaline transesterfication: An effective method of the production of fatty acid esters from vegetable oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 81: 83-89. Hayyan A, Mjalli FS, Hashim MA, Hayyan M, Alnashef IM, AlZahrani AM, Al-Saadi AA. 2011. Ethanesulfonic acid-based esterification of industrial acidic crude palm oil for biodiesel production. Bioresource Technology 102: 9564-9570. Ian. 2011. Stok Dalam Negeri Mengkhawatirkan, Indonesia Bukan Lagi Negara Minyak. http://www.rimanews.com/read/ 20110531/29983/stok-dalam-negeri-mengkhawatirkanindonesia-bukan-lagi-negara-minyak. [2 Agustus 2012]. Ketaren S. 2008. Pengantar Teknlogi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Knothe G. 2006. Analyzing biodiesel: Standards and other methods. J. Am. Oil Chem. Soc. 83:823-833. Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experiments. 5th edition. Singapura: John Wiley and Sons Inc. Ozgul-Yucel S, Turkay S. 2002. Variables affecting the yields of methyl ester derived from in situ transesterification of rice bran oil. J. Am. Oil Chem. Soc. 79:611-614. Porte AF, Schneider, RCS, Kaercher JA, Klamt RA, Scmatz WL, Silva WLT, Filho WAS. 2010. Sunflower biodiesel production and application in family farms in Brazil. Fuel 89: 3718-3724. Qian JF, Wang F, Liu S, Yun Z. 2008. In situ alkaline transesterification of cottonseed oil for production of biodiesel and nontoxic cottonseed meal. Bioresource Technology 99: 9009-9012. Shuit SH, Lee KT, Kamaruddin AH, Yusup S. 2010. Reactive extraction and in situ transesterification of Jatropha curcas L. seeds for the production of biodiesel. Fuel 89: 527-530. Utami SW. 2010. Kajian Proses Produksi Biodiesel Melalui Transesterifikasi In Situ Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Berbagai Kondisi Operasi [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Van Gerpen J. 2005. The Basic of Diesel Engines and Diesel Fuels. Dalam: Knothe G, Van Gerpen J dan Krahl J. (eds). The Biodiesel Handbook. United States of America: Am. Oil Chem. Soc. Press. Xie WL, Huang XM. 2006. Synthesis of biodiesel from soybean oil using heterogeneous KF/ZnO catalyst. Catal.Lett. 107: 53-59. Yulianingtyas P. 2011. Kajian Proses Produksi Biodiesel Melalui Transesterifikasi In Situ Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Skala Pilot [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
E-JAII
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 101 - 109 ISSN: 2252 - 3324
Available online at : http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
PREDIKSI PERBAIKAN LAYANAN MENGGUNAKAN METODE ANALISIS BERTAHAN (SURVIVAL ANALYSIS) (STUDI KASUS PT. MITRA NASIONAL KUALITAS JAKARTA) PREDICTION OF SERVICE RECOVERY WITH SURVIVAL ANALYSIS (CASE STUDY: MITRA NASIONAL KUALITAS JAKARTA, LTD) Taufik Djatna, Hartrisari Hardjomidjojo, dan Tanti Meylani* Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. *e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Keeping customer satisfaction is important to keep customer loyalty which can be done by implementing Customer Relationship Management (CRM). CRM has main objective to increase customer retention through increase customer satisfaction. Giving the appropriate service can gain customer satisfaction. The appropriate service given based on customer’s assesment on service variabel importance rate. In addition, service evaluation was done by implementing survival analysis method, to got information about the decline of customer satisfaction based on customer retention. The objectives of this research were to assess service variables important to customer. Then, prediction was needed to build a service recovery based on survival analysis component which were retention curve, hazard curve dan survival curve. The research in Mitra Nasional Kualitas, Ltd Jakarta, resulted in customer assess on reliability and assuranceattributes from service variable wasvery important. The decline of retention rate and survival rate and also the incline of hazard rate indicate that the firm need to do service recovery. Keywords: Customer Relationship Management, Survival Analysis, Service Variable ABSTRAK Menjaga kepuasan pelanggan penting untuk menjaga loyalitas pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan implementasi Manajemen Hubungan Pelanggan. Manajemen Hubungan Pelanggan memiliki tujuan utama meningkatkan retensi pelanggan dengan meningkatkan kepuasan pelanggan. Memberikan pelayanan yang tepat dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan. Pelayanan yang tepat diberikan berdasarkan penilaian tingkat kepentingan variabel layanan oleh pelanggan. Selain itu, evaluasi layanan dilakukan dengan menggunakan metode analisis bertahan sehingga diketahui menurunnnya kepuasan pelanggan berdasarkan menurunnya retensi pelanggan. Tujuan dari penelitian ini yang pertama untuk menilai variabel layanan yang dianggap penting oleh pelanggan. Kedua, untuk memprediksi perlunya perbaikan layanan berdasarkan komponen metode analisis bertahan yaitu retention curve,hazard curve dan survival curve. Studi kasus pada PT. Mitra Nasional Kualitas Jakarta menghasilkan pelanggan menilai variabel layanan kehandalan dan jaminan merupakan variabel layanan yang sangat penting. Retention rate dan survival rate menurun serta hazard rate meningkat menunjukkan perusahaan perlu melakukan perbaikan layanan. Kata kunci : Manajemen Hubungan Pelanggan, Metode Analisis Bertahan, Variabel Layanan PENDAHULUAN Pelanggan adalah aset yang penting bagi sebuah perusahaan. Suatu bisnis tidak mungkin bertahan tanpa pelanggan yang puas dan tetap setia. Hal ini yang menyebabkan suatu perusahaan perlu merencanakan dan menggunakan strategi yang jelas untuk menangani pelanggan (Tsiptsis dan Chorianopoulos, 2009). Strategi untuk membangun hubungan dengan pelanggan menggunakan manajemen hubungan pelanggan (Customer Relationship Management) atau biasa disebut CRM. Pelayanan yang tepat kepada setiap pelanggan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan terhadap perusahaan berdasarkan atas evaluasi pelanggan terhadap pelayanan yang telah
diberikan oleh perusahaan. Pelanggan yang puas dapat meningkatkan tingkat bertahannya pelanggan dengan perusahaan atau disebut retensi pelanggan. Retensi pelanggan memiliki dampak yang signifikan bagi perusahaan. Peningkatan retensi dapat meningkatkan nilai perusahaan sebesar 5% (Gupta et al., 2004). Gambar 1 menunjukkan atribut dari kualitas layanan dapat meningkatkan loyalitas pelanggan melalui kepusanan pelanggan dan retensi pelanggan. Atribut kualitas layanan terdiri dari lima variabel layanan yaitu reliability (kehandalan), assurance (jaminan), tangibles (keberwujudan), empathy (empati) danresponsiveness (daya tanggap) (Wang dan Shieh, 2006)
102 Taufik Djatna, Hartisari Hardjomidjojo dan Tanti Melani
Atribut kualitas layanan
Kepuasan pelanggan
Retensi pelanggan
Loyalitas pelanggan
Gambar 1. Model perilaku pelanggan(Pezeskhi, 2009)
Berdasarkan model perilaku pelanggan ini, layanan yang dilakukan PT. Mitra Nasional Kualitas perlu disesuaikan dengan penilaian kebutuhan dari pelanggan. Setiap pelanggan harus didengar suaranya melalui survei yang perlu dilakukan sehingga meningkatkan loyalitas pelanggan. Survei dilakukan dengan menilai atribut-atribut pelayanan yang mewakili kelima variabel layanan. Berdasarkan hasil survei, dapat diketahui variabel layanan dan atribut pelayanan yang dinilai penting oleh pelanggan. Atribut pelayanan yang dianggap penting bagi pelanggan dapat terus ditingkatkan oleh perusahaan dengan tetap menjaga atribut pelayanan lainnya. Fokus peningkatkan pelayanan dapat memudahkan perusahaan dalam upaya peningkatan loyalitas pelanggan. Kebutuhan pelanggan dapat berubah-ubah sesuai keadaan pasar yang terus berubah. Layanan yang diberikan perusahaan perlu terus diperbaiki agar dapat sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Hal ini menyebabkan perlu dievaluasi pelayanan yang telah dilakukan dengan memprediksi kapan perlu dilakukan perbaikan layanan. Prediksi kapan perusahaan perlu khawatir dan memperbaiki layanan dapat dilakukan dengan metode analisis bertahan (Survival Analysis). Survival Analysis memberi informasi kapan mulai perlu mengkhawatirkan pelanggan melakukan hal yang penting seperti mengakhiri hubungan dengan perusahaaan (Berry dan Linoff, 2004). Penerapan metode ini,PT. Mitra Nasional Kualitasperlu mempunyai survival data dari produk. Survival data merupakan data tingkat bertahannya produk dipesan oleh pelanggan. Data ini kemudian dapat dianalisis menjadi komponen-komponen hasil analisis dari survival analysis. Komponen-komponen hasil analisis ini diantaranya retention curve, hazard curve dan survival curve yang kemudian digunakan sebagai parameter prediksi perlu dilakukan perbaikan layanan oleh PT. Mitra Nasional Kualitas kepada pelanggan-pelanggannya. Pengetahuan mengenai layanan yang diinginkan oleh pelanggan dapat mempermudah PT. Mitra Nasional Kualitas untuk menjaga loyalitas pelanggan. Selain itu, pengetahuan mengenai prediksi perlunya dilakukan perbaikan layanan dapat membuat PT. Mitra Nasional Kualitas mengetahui kapan perlu khawatir dengan pelanggan. Pelayanan yang baik dan perbaikan layanan yang tepat dapat menjaga pelanggan tetap setia pada perusahaan kemudian dapat menjaga eksistensi produk di pasaran sehingga tentunya dapat menjaga eksistensi PT. Mitra Nasional Kualitas di pasar frozen food. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai variabel layanan yang dianggap penting oleh
E-JAII pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas Jakarta. dan memprediksi perbaikan layanan berdasar komponen survival analysis yaitu retention curve, hazard curve dan survival curve. METODOLOGI Metode Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan menggunakan sampel pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas untuk area Jabodetabek dan Banten. Sampel yang digunakan berbeda untuk penilainan variabel layanan dan prediksi perbaikan layanan. Teknik penarikan sampel yang dilakukan untuk penilaian variabel layanan adalah teknik sampel bertujuan (purposive sampling), sehingga anggota dalam populasi merupakan sampel yang diambil karena memiliki tujuan tertentu. Penggunaan purposive sampling dapat diterapkan dalam bidang teknik, sehingga jumlah sampel dapat ditetapkan tanpa menggunakan statistik (Wasson, 2006). Sampel yang digunakan berjumlah 18 pelanggan. Pelanggan ini merupakan pelanggan yang dapat mengisi kuesioner penilaian variabel dan dari pihak perusahaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan pelanggan lain. Sampel yang digunakan dalam metode survival analysis merupakan seluruh pelanggan area Jabodetabek dan Banten yang berjumlah 64 pelanggan. Pelanggan ini merupakan pelanggan perantara yang menghubungkan perusahaan dengan pelanggan retail atau penjual eceran. Pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas biasa disebut dengan distributor. Rancangan pengambilan sampel dirumuskan sebagai berikut.
Keterangan : x = sampel pelanggan yang dianalisis menggunakan survival analysis y = sampel pelanggan yang digunakan untuk penilaian variabel layanan = seluruh pelanggan area Jabodetabek dan Banten
Penilaian Variabel Layanan Penilaian ditentukan berdasarkan selangselang nilai dengan rumus batas selang sebagai berikut.
Keterangan: Xib = skorterbesar yang mungkindiperolehdenganasumsisemuaresponde nmemberikanjawaban “sangatpenting”. Xik = skorterkecil yang mungkindiperolehdenganasumsisemuaresponde nmemberikanjawaban “tidakpenting”. Berdasarkanrumus di atasmaka, besarnyarentanguntuksetiapkelas yang ditelitiadalah:
Vol. 2. 2012 Pembagiankelasuntuktingkatkepentinganpadapeneliti aniniadalah: 1) 18 – 32,3 = TidakPenting 2) 32,4 – 46,7 = Kurangpenting 3) 46,8 – 61,3 = CukupPenting 4) 61,2 – 75,5 = Penting 5) 75,6 – 90 = SangatPenting
PrediksiPerbaikanLayanan
103
perusahaan. Kelima distributor ini dirangking berdasarkan nilai yang dimiliki. Pelanggan tersebut kemudian dianalisis kebutuhannya akan variabel layanan sehingga dapat diketahui perbaikan layanan untuk kelima pelanggan tersebut.. Tahapan penelitian ini secara lengkap disajikan pada Gambar 2. Mulai
Survival Analysis Komponen analisis yang dibutuhkan diantaranya retention curve, hazard curve dan survival curve. Tahapan pembuatan untuk komponenkomponen tersebut yaitu : 1. Retention curve Retention curve dapat dibuat dengan mengitung nilai % retensi terlebih dahulu. Nilai % retensiditetapkan dengan rumus sebagai berikut.
2.
3.
Grafik ini memiliki aksis x yaitu waktu dan aksis y yaitu % retensi Hazard curve Hazard curve dapat dibuat dengan mengitung nilai probability hazard terlebih dahulu. Nilaiprobability hazard ditetapkan dengan rumus sebagai berikut. Grafik ini memiliki aksis x yaitu waktu dan aksis y yaitu probability hazard Survival curve Survival curve dapat dibuat dengan mengitung nilai probability survival terlebih dahulu. Nilai probability survival ditetapkan dengan rumus sebagai berikut.
Data pemesanan tiap produk Menentukan tingkat bertahan produk dipesan oleh pelanggan
Survival Data Analisis menggunakan survival analysis untuk semua pelanggan Retention curve
Survival Curve
Menentukan tingkat retensi pelanggan
Menghitung tingkat bertahan tiap waktu
Hazard curve
Menghitung hazard tiap waktu
Survival rate Retention rate Memprediksi perlu dilakukan perbaikan
Pelanggan paling bernilai (5besar)
Prediksi perlunya perbaikan layanan Menentukan perbaikan layanan
Hazard rate Variabel layanan yang dianggap penting
Perbaikan layanan sesuai variabel layanan yang penting untuk pelanggan paling bernilai Selesai
Gambar 2. Tahapan penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Grafik ini memiliki aksis x yaitu waktu dan aksis y yaitu probability survival Prediksi perlunya perbaikan layanan didasarkan hasil analisis komponen survival analysis yaituretention curve, hazard curvedan survival curve. Retention curve dapat diketahui tingkat bertahan pelanggan pada perusahaan dilihat dari retention rate yang terjadi. Semakin menurun retention rate maka perbaikan layanan perlu dilakukan. Hazard curve dapat diketahui resiko perginya pelanggan dilihat dari hazard rate yang terjadi. Semakin meningkat hazard rate maka perbaikan layanan dibutuhkan. Survival curve dapat diketahui kemungkinan pelanggan bertahan pada perusahaan dilihat dari survival rate yang terjadi. Semakin menurun survival rate maka perbaikan layanan perlu dilakukan. Penentuan Nilai Pelanggan Penentuan nilai pelanggan berdasarkan % proporsi tiap pelanggan dengan rumus sebagai berikut. Lima pelanggan (distributor) yang memiliki persentase proporsi terbesar dianggap sebagai pelanggan yang memiliki nilai paling tinggi bagi
CRM (Customer Relationship Management) adalah strategi untuk membangun, mengelola, dan memperkuat hubungan dengan pelanggan setia dan tahan lama. Tujuan dari CRM adalah menyampaikan pesan yang tepat ke pelanggan yang tepat. CRM memiliki dua tujuan utama(Tsiptsis dan Chorianopoulos, 2009): 1. Retensi pelanggan melalui kepuasan pelanggan. 2. Pembangunan pelanggan melalui wawasan pelanggan CRM sudah selayaknya diterapkan pada perusahaan sehingga diperoleh keuntungan tangible dan intangible. Keuntungan tangible dalam implementasi diantaranya(Tourniaire, 2003) : 1. Pengurangan biaya (cost saving) Penerapan teknologi pada CRM dapat mempermudah dalam menjangkau, menjual dan melayani pelanggan 2. Kepuasan dan loyalitas pelanggan (customer satisfaction dan loyalty) 3. Perapan CRM yang baik dapat mempermudah dalam melakukan bisnis dengan pelanggan 4. Peningkatan keuntungan (increased profits) Hal ini dapt didapt karena kedua manfaat diatas
104 Taufik Djatna, Hartisari Hardjomidjojo dan Tanti Melani 5. Peningkatan pertangungjawaban internal (increased internal accountability) Penerapan CRM mempermudah dalam penelusuran data 6. Kepuasan pegawai (employee satisfaction) Penerapan CRM membuat suara pegawai lebih didengar untuk lebih mempermudah dalam mengetahui kebutuhan pelanggan 7. Kecerdasan bisnis yang lebih baik (better business intelligence) Penerapan CRM membuat perusahaan lebih mudah mengenali pelanggan sehingga strategi bisnis dapat dirancang dengan baik Penilaian Variabel Layanan Kelima dimensi kualitas pelayanan pertama kali diidentifikasikan melalui model yang dikembangkan oleh para peneliti dari Texas University AdanM dan kemudian dikuatkan dalam penelitian oleh Forum Coorporation. Dalam membdaningkan harapan pelanggan akan kualitas pelayanan dengan pengalaman mereka yang sebenarnya, studi kasus tersebut mengidentifikasikan lima dimensi pelayanan yang paling penting bagi pembeli(Griffin, 2005) : 1. Kehandalan (realibility) : kemampuan untuk memberikan apa yang telah dijanjikan secara handal dan tepat. 2. Jaminan (assurance) : pengetahuan dan sopan santun para pegawai dan kemampuan mereka untuk mengesankan kepercayaan dan keyakinan 3. Keberwujudan (tangible) : fasilitas fisik dan perlengkapan dan penampilan personil 4. Empati (emphaty) : tingkat kepedulian dan perhatian individual yang diberikan kepada pelanggan 5. Daya tanggap (responsiveness) : keinginan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat Penilaian variabel layanan dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner yang dilakukan oleh beberapa pelanggan PT Mitra Nasional Kualitas, aspek layanan dari variabel kehandalan dan variabel jaminandinilai sangat penting oleh pelanggan dengan skor penilaian 5 (sangat penting). Hal ini menunjukkan pelanggan menginginkan setiap aspek layanan ini dilakukan dengan sangat baik terhadap pelanggan. Variabel kehandalandiwakili oleh atribut layanan ketepatan dalam waktu pengiriman, kecepatan tanggapan atas pemesanan serta kesesuaian jenis produk yang dikirim dengan yang dipesan. Ketiga atribut layanan tersebut dinilai sangat penting bagi pelanggan.
E-JAII Variabel jaminan diwakili oleh atribut layanan diantaranya kualitas barang ketika sampai di tujuan, kemudahan pengembalian barang dengan spesifikasi menyimpang, kenyamanan bertransaksi serta kinerja staf dan sarana distribusi. Atribut layanan kinerja staf dan sarana mendapat nilai penting sedangkan atribut layanan lainnya mendapat nilai sangat penting. Secara keseluruhan varibel layanan jaminandianggap pelanggan menjadi layanan yang sangat penting. Pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas menilai variabel layanan keberwujudan, empatidan daya tanggapmenjadi variabel layanan yang diangap penting. Meskipun tidak sepenting variabel kehandalandan jaminan, ketiga varibel layanan ini penting untuk tetap dijaga oleh perusahaan agar pelanggan merasa puas atas pelayanan yang diberikan kepadanya. Survival Analysis Service recovery (perbaikan layanan) harus dilakukan tepat waktu sehingga meningkatkan retensi dan loyalitas pelanggan (Cook, 2008). Prediksi waktu perbaikan layanan menggunakan metode survival analysis. Survival analysis adalah salah satu metode statistik yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah dan kapan suatu kejadian (event) menarik terjadi (Guo, 2010). Analisis bertahan (survival analysis) harus terdiri dari konsep kunci analisis problem yang disebut censoring. Hal pokok dari proses censoringyaitu keaadaan saat dimiliki beberapa informasi tentang waktu bertahan individu, tetapi tidak diketahui tepatnya waktu bertahan (Kleinbaum dan Klein, 2005). Konsep survival analysis dikenal beberapa istilah diantaranya survival data, waktu awal, waktu kegagalan dan data tersensor (Lee dan Wang, 2003). Survival data dibuat berdasarkan tingkat bertahannya produk dipesan oleh pelanggan. Waktu awal yaitu waktu awal pelanggan memesan pada rentang data yang dteliti sedangkan waktu kegagalan adalah waktu pelanggan tidak memesan dalam satu bulan. Sensor dilakukan pada akhir data yang dilteliti atau right censoring. Right censoring (sensor kanan) terjadi dikarenakan objek pengamatan belum mengalami kegagalan hingga akhir periode penelitian, sedangkan waktu awal dari objek pengamatan dapat diamati secara penuh(Lee dan Wang, 2003). Sensor ini dipilih karena pada akhir data yang diteliti, masih ada pelanggan yang tidak mengalami waktu kegagalan.
Vol. 2. 2012
PrediksiPerbaikanLayanan
105
Feb-12
Mar-12
Jan-12
Dec-11
Oct-11
Nov-11
Sep-11
Aug-11
Jul-11
Jun-11
May-11
Apr-11
Retensi
Tabel 1. Tingkat kepentingan variabel layanan Variabel Pengukuran Total Penilaian Penilaian Variabel kehandalan Ketepatan waktu pengiriman 79 Sangat Penting Kecepatan tanggapan atas pemesanan 80 Sangat Penting Kesesuaian jenis produk yang dikirim dengan yang dipesan 81 Sangat Penting Penilaian variabel 80 Sangat Penting Variabel jaminan Kualitas barang ketika sampai di tujuan 78 Sangat Penting Kemudahan pengembalian barang dengan spek menyimpang 76 Penting Kenyamanan bertransaksi 78 Sangat Penting Staf yang kompeten dan sarana distribusi yang berfungsi dengan baik 73 Penting Penilaian variabel 76,25 Sangat Penting Variabel keberwujudan Penampilan dan kesopanan sales dan tim distribusi 77 Sangat Penting Ketersediaan stok barang 79 Sangat Penting Pendataan profil pelanggan 75 Penting Batas minimum pemesanan 69 Penting Penilaian variabel 75 Penting Variabel empati Sambutan operator 72 Penting Call center pelayanan keluhan 75 Penting Pelayanan informasi produk 71 Penting Kesediaan staf untuk membantu bila terjadi masalah dalam pemesanan 75 Penting dan pengiriman Penilaian variabel 73,25 Penting Variabel daya tanggap Pemesanan produk yang cepat dan mudah 75 Penting Kecepatan dan ketepatan penanggapan keluhan 80 Sangat Penting Pelayanan informasi produk baru 71 Penting Diskon khusus bagi pelanggan setia 66 Penting Penilaian variabel 73 Penting pada bulan April 2011 pelanggan yang memesan berjumlah 11 pelanggan dan terus bertambah Retensi Pelanggan (Customer Retention) Retention adalah kemampuan perusahaan hingga bulan Maret 2012 yang berjumlah 64 untuk menjaga pelanggan dengan menawarkan pelanggan. Jumlah pelanggan ini sesuai dengan produk atau jasa (Dyché, 2001). Ukuran kuantitatif jumlah pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas dari retensi dapat menjadi awal yang baik untuk Jakarta area Jabodetabekban yang disajikan pada proses memahami retensi pelanggan (Ahmad dan Lampiran 1. Hal ini menunjukkan seluruh Buttle, 2001).Retention curve dapat digunakan pelanggan sudah memulai memesan kembali pada untuk menghitung retensi pelanggan pada suatu bulan Maret 2012. Meskipun retensi pelanggan bisnis. Retention curve menunjukkan proporsi menurun, PT. Mitra Nasional Kualitas Jakarta pelanggan yang bertahan pada periode tertentu sudah dapat mengembalikan pelanggan untuk (Berry dan Linoff, 2004). Grafik ini merupakan kembali memesan sehingga perusahaan perlu grafik kumulatif dan selalu dimulai dengan 100 menerapkan strategi-strategi pelayanan agar retensi persen. pelanggan terus meningkat. Retention Curve dari bulan April 2011-Maret 2012 120.0% disajikan pada Gambar 3. Asumsi 100% retensi 100.0% 80.0% berlaku untuk tiap grafik ini sehingga pada bulan 60.0% y = -0.0009x + 36.329 April 2011 retensi pelanggan 100% dan terlihat R² = 0.9009 40.0% retensi pelanggan menurun dengan kecepatan 20.0% 0,0009 atau 0,09% tiap bulannya. 0.0% Retensi pelanggan menurun tiap waktu sehingga diperlukan strategi perbaikan untuk meningkatkan retensi pelanggan kembali. Retensi Waktu pelanggan hingga Maret 2012 sebesar 70,3% yang menunjukkan 45 pelanggan dari 64 pelanggan masih bertahan untuk memesan pada bulan ini. Gambar 3. Retention curve dari bulan April Perhitungan retensi pelanggan pada selang waktu 2011Maret ini disajikan pada Tabel 2. Tabel ini menunjukkan
106 Taufik Djatna, Hartisari Hardjomidjojo dan Tanti Melani
dari total pelanggan pada bulan tersebut sebanyak 49 pelanggan. Probability Survival Komponen analisis selanjutnya yang dibuat yaitu survival curve. Grafik ini menunjukkan tingkat bertahannya pelanggan terhadap suatu produk. Nilainya berupa nilai peluang bertahan yang berkisar 0% sampai 100%. Nilai dari peluang ini disebut probability survival. Sederhananya nilai probability survival sama dengan 1-probability hazard (Berry dan Linoff, 2004). Grafik ini dapat menunjukkan tingkat bertahannya pelanggan untuk memesan. Analisis lanjut dilakukan pada bulan April 2011 hingga Maret 2012 yang digambarkan pada survival curve (Gambar 5). Probability survival menurun sebesar 0,0003 atau 0,3% tiap waktunya sehingga sesuai dengan probability hazard yang meningkat 0,03% tiap waktunya. Hal ini menunjukkan PT. Mitra Nasional Kualitas Jakarta perlu melakukan strategi untuk meningkatkan probability survival dan retensi pelanggan serta menurunkan probability hazard Perhitungan probability hazard pada selang bulan April 2011 sampai bulan Maret 2012 disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan tabel diketahui pada bulan Maret 2012 (akhir data yang diteliti) pelanggan yang bertahan sebesar 91,8% yaitu sebanyak 39 pelanggan memesan dari total pelanggan pada bulan tersebut sebanyak 49 pelanggan
Mar-12
Jan-12
Feb-12
Dec-11
Oct-11
Nov-11
Sep-11
Aug-11
y = -0.0003x + 12.163 R² = 0.3854 Apr-11
Gambar 4. Hazard curve dari bulan April 2011Maret 2012 Perhitungan probability hazard pada selang waktu ini disajikan pada Tabel 3. Berdasrkan tabel diketahui pada bulan Maret 2012 (akhir data yang diteliti) hazard terjadi sebesar 8,2% yaitu sebanyak 4 pelanggan tidak memesan
Jul-11
Waktu
Jun-11
y = 0.0003x - 11.163 R² = 0.3854
102.0% 100.0% 98.0% 96.0% 94.0% 92.0% 90.0% 88.0% 86.0% 84.0% 82.0% 80.0% May-11
Probability Survival
Probability hazard
Probability Hazard Retention curve pertama kali dianalisis karena mudah untuk dipahami. Untuk melanjutkan ide awal dari retensi pelanggan diperhitungkan probability hazard . Probability hazard merupakan probabilitas atau peluang dimana pelanggan pergi sebelum t+1 (Berry dan Linoff, 2004). Artinya dalam suatu selang sebelum t bertambah menjadi t+1, dapat dihitung kemungkinan terjadi hazard. Tidak seperti retention curve yang kumulatif. probability hazard menghitung peluang terjadinya hazard tiap satuan waktu atau t ke t+1. Nilai peluang tertinggi yaitu 100% dan nilai terendah yaitu 0%.Hazard ini sendiri diartikan sebagai kejadian dimana pelanggan berhenti memesan dalam kurun waktu satu bulan. Hazard pada bulan April 2011 sampai bulan Maret 2012 kemudian dianalisis dan menghasilkan hazard curve pada Gambar 4. Berdasarkan grafik ini terlihat probability hazard terjadi dibeberapa bulan yaitu Juli 2011, Agustus 2011, Nopember 2011, Desember 2011, Januari 2012 Februari 2012 dan Maret 2012. Probability hazard meningkat sebesar 0,0003 atau 0,03% tiap waktunya sehingga sesuai dengan retensi pelanggan, PT. Mitra Nasional Kualitas perlu untuk menetapkan strategi untuk meningkatkan retensi pelanggan dan mengurangi hazard pelanggan berhenti memesan 14.0% 12.0% 10.0% 8.0% 6.0% 4.0% 2.0% 0.0%
E-JAII
Waktu
Gambar 5. Survival curve untuk bulan April 2011– Bulan Maret 2012
Tabel 2. Perhitungan retensi pelanggan untuk Bulan April 2011 - Maret 2012 Bulan
Apr-11
Mei-11
Jun-11
Jul-11
Agu-11
Sep-11
Okt-11
Nov-11
Des-11
Jan-11
Feb-11
Mar-11
0
11
15
16
17
17
18
20
18
20
34
39
0
0
0
2
1
0
0
1
3
2
6
4
11
4
3
2
0
1
3
1
4
20
9
6
Retensi Pelanggan
11
15
18
18
17
18
21
21
22
40
43
45
Jumlah Pelanggan
11
15
18
20
20
21
24
25
29
49
58
64
% Retention
100,0%
100,0%
100,0%
90,0%
85,0%
85,7%
87,5%
84,0%
75,9%
81,6%
74,1%
70,3%
Jumlah Pelanggan Memesan Jumlah Pelanggan Tidak Memesan Jumlah Pelanggan Mulai Memesan
Vol. 2. 2012
PrediksiPerbaikanLayanan
107
Tabel 3. Perhitungan probability hazard untuk Bulan April 2011 - Maret 2012 Bulan Jumlah PelangganMemesan Jumlah PelangganTidak Memesan Jumlah Pelanggan Mulai Memesan Jumlah Pelanggan Tiap Bulan
Apr-11
Mei-11
Jun-11
Jul-11
Agust11
Sep-11
Okt-11
Nop-11
Des-11
Jan-12
Feb-12
Mar-12
0
11
15
16
17
17
18
20
18
20
34
39
0
0
0
2
1
0
0
1
3
2
6
4
11
4
3
2
0
1
3
1
4
20
9
6
11
15
18
20
18
18
21
22
25
42
49
49
Probability Hazard
0,0%
0,0%
0,0%
10,0%
5,6%
0,0%
0,0%
4,5%
12,0%
4,8%
12,2%
8,2%
Tabel 4. Perhitungan probability survivaluntuk Bulan April 2011 - Maret 2012 Bulan Jumlah Pelanggan Memesan Jumlah Pelanggan Tidak Memesan Jumlah Pelanggan Mulai Memesan Jumlah Pelanggan Tiap Bulan Probability survival
Apr-11
Mei-11
Jun-11
Jul-11
Agust11
Sep-11
Okt-11
Nop-11
Des-11
Jan-12
Feb-12
Mar-12
0
11
15
16
17
17
18
20
18
20
34
39
0
0
0
2
1
0
0
1
3
2
6
4
11
4
3
2
0
1
3
1
4
20
9
6
11
15
18
20
18
18
21
22
25
42
49
49
100,0%
100,0%
100,0%
90,0%
94,4%
100,0%
100,0%
95,5%
88,0%
95,2%
87,8%
91,8%
Perbaikan Layanan Mengingat pentingnya retensi pelanggan, perusahaan menggunakan berbagai mekanisme untuk mengurangi churning. Upaya ini dapat dikelompokkan menjadi tiga bidang utama: meningkatkan kualitas pelayanan, menargetkan intervensi untuk mencegah churning, dan program loyalitas (Kamakura dan Mela, 2005). Perbaikan layanan dilakukan untuk menjaga retensi pelanggan terhadap perusahaan sehingga loyalitas dan retensi pelanggan dapat terus terjaga. Service recovery (perbaikan layanan) harus dilakukan tepat waktu sehingga meningkatkan retensi dan loyalitas Menurun
Meningkat
Meningkat
Perbaikan layanan perlu dilakukan
-
Menurun
-
Perbaikan layanan tidak perlu dilakukan
pelanggan (Cook, 2008). Hal ini sesuai dengan konsep perbaikan layanan yang terlihat pada Gambar 6. Perbaikan layanan yang dilakukan kepada pelanggan berdasarkan variabel-variabel layanan diantaranya kehandalan, jaminan, keberwujudan, empati dan daya tanggap. Right first time
Service recovery
Customer Satisfacti on
Customer retention dan loyalty
Gambar 6. Konsep perbaikan layanan (Cook, 2008)
Tabel 5. Hasil analisis komponen survival analysis pada bulan April 2011 – Maret 2012.
Hasil Analisis Retention rate Survival rate Hazard rate
Nilai Menurun Menurun Meningkat
Penilaian 0,09% 0,03% 0,03%
Hasil analisis dari komponen survival analysis dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel ini menujukkan retensi dan tingkat bertahan pelanggan dengan perusahaan menurun dengan kecepatan yang berbeda-beda yaitu masing-masing 0,09% dan 0,03%. Hal ini disebabkan nilai retensi merupakan nilai kumulatif sehingga setiap churning pelanggan dlakukan akumulasi untuk waktu kedepannya. Tingkat perginya pelanggan (hazard rate) memiliki nilai yang sama dengan nilai tingkat bertahannya pelanggan. Hal ini sesuai bahwa nilai probability survival adalah nilai 1-probability hazard. Nilai probability hazard meningkat sebesar menurunnya probability survival sehingga nilai kecepatan dari kedua nilai ini sama. Rencana perbaikan layanan didasarkan dari hasil analisis komponen survival analysis yaitu retention curve, hazard curve dan survival curve. Berdasarkan hasil analisis ketiga komponen tersebut pada pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas didapat hasil analisis pada Tabel 5. Perusahaan perlu melakukan perbaikan layanan lebih lanjut dengan memperhatikan variabel-varibel layanan yang dianggap penting oleh pelanggan. Penilaian variabel layanan yang dianggap penting oleh pelanggan dilakukan pada 18 pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas. Pelanggan ini merupakan bagian dari 64 pelanggan yang dianalisis menggunakan survival analysis.
108 Taufik Djatna, Hartisari Hardjomidjojo dan Tanti Melani
Penilaian terhadap variabel layanan yaitu kehandalan, jaminan, keberwujudan, empati dan daya tanggap oleh 18 pelanggan perlu diketahui sehingga perbaikan layanan yang penting dapat dilakukan. Penilaian dan karakteristik pelangganpelanggan ini dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa sampel 18 pelanggan menilai variabel layanan dengan tingkat yang berbeda-beda namun masih dalam skala penting hingga sangat penting. Setiap variabel layanan yang dianggap penting perlu dilakukan perbaikan layanan dengan tetap menjaga variabel layanan lainnya. Hal ini akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan merupakan konsep yang penting untuk menjaga hubungan dengan pelanggan. Pelanggan yang puas akan pelayanan yang diberikan oleh perusahaan akan menjaga hubungannya terus dengan perusahaan dan tentunya akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari CRM yaitu
E-JAII
meningkatkan retensi pelanggan berdasarkan kepuasan pelanggan (Tsiptsis dan Chorianopoulos, 2009). Retensi pelanggan sangat penting untuk dijaga terutama pelanggan yang memiliki nilai yang tinggi. Hal ini disebabkan pelanggan tersebut merupakan pelanggan yang memberikan keuntungan paling tinggi daripada pelanggan lainnya. Pelanggan yang bernilai dapat dilihat dengan mengetahui proporsi pemesanan pelanggan terhadap total penjualan perusahaan untuk tiap bulannya. Presentase proporsi pemesanan tiap bulannya dirangking menjadi lima besar pelanggan dengan persentase proporsi terbesar. Kelima pelanggan tersebut diurutkan dari nilai terbesar yaitu pelanggan area Jakarta Pusat (pelanggan 7), pelanggan areaTangerang (pelanggan 15), pelanggan area Depok (pelanggan 6), dan dua pelanggan area Jakarta Utara (pelanggan 11 dan pelanggan 12)
Tabel 6. Penilaian variabel layanan dan karakteristik dari sampel 18 pelanggan Rata-Rata Skor Penilaian Variabel Layanan Pelanggan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Karakteristik Pelanggan
Kehandalan
Jaminan
Keberwujudan
Empati
Daya Tanggap
Area
4 5 5 4 4 4 4 4 5 5 5 5 5 5 4 4 4 5
4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 4 4 4 5 4 4
4 4 5 5 4 4 4 3 4 5 5 5 4 4 4 5 4 5
4 4 4 4 4 4 4 4 5 4 5 5 4 4 4 4 4 4
4 5 4 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 5 4 4 4 4
Bekasi Bogor Bogor Bogor Bogor Depok Jakarta Pusat Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Utara Jakarta Utara Jakarta Utara Karawang Tangerang Tangerang Tangerang Tangerang Tangerang
Keterangan : 1 = Tidak penting
2 = Kurang penting 3 = Cukup penting
Pelanggan Jakarta Pusat menilai variabel daya tanggap menjadi variabel sangat penting untuk dijaga sedangkan variabel lain penting. Pelanggan ini memiliki proporsi 14,4% dalam ratarata penjualan Minaku tiap bulannya. Nilai ini paling tinggi daripada nilai pelanggan lainnya. Pelanggan area Tangerang menilai kelima variabel layanan penting untuk dijaga, pelanggan ini merupakan pelangggan dengan proporsi 9,3% dalam rata-rata penjualan Minaku tiap bulannya. Pelanggan area Depok menilai kelima variabel layanan penting untuk selalu dijaga performanya oleh perusahaan. Pelanggan ini merupakan yang memiliki proporsi 4,1% dalam rata-rata penjualan
Rata-Rata Pemesanan Tiap Bulan (Kg) 400 407 192 165 90 1.021 3.583 265 476 167 870 907 157 528 2.328 377 176 193
Proporsi RataRata Pemesanan Tiap Bulan 1,6% 1,6% 0,8% 0,7% 0,4% 4,1% 14,4% 1,1% 1,9% 0,7% 3,5% 3,6% 0,6% 2,1% 9,3% 1,5% 0,7% 0,8%
4 = Penting5 = Sangat penting
Minaku tiap bulannya. Pelanggan Jakarta Utara yaitu pelanggan 11 dan pelanggan 12 menilai variabel daya tanggap penting sedangkan variabel layanan lainnya sangat penting. Kedua pelanggan ini memiliki proporsi masing-masing 3,5% dan 3,6% dalam rata-rata penjualan Minaku tiap bulannya. Perusahaan perlu menjaga kepuasan kelima pelanggan yang mempunyai nilai tinggi tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga layanan yang dibutuhkan oleh tiap pelanggan. Kepuasan pelanggan yang terjaga dapat menjaga nilai pelanggan bahkan meningkatkan nilai pelanggan tersebut bagi perusahaan. Nilai pelanggan ini
Vol. 2. 2012
berimplikasi terhadap keuntungan bagi perusahaan. Pelanggan yang masih memiliki nilai yang rendah perlu ditingkatkan nilainya dengan melakukan pendekatan lebih lanjut penyebab pelanggan membeli dengan tingkat pembelian rendah. Beberapa program dapat diterapkan seperti pemberian insentif dan bantuan promosi kepada pelanggan agar penjualan produk dapat terus meningkat. Perbedaan kebutuhan pelanggan akan pelayanan perlu diperhatikan oleh perusahaan. Perbaikan layanan akan meningkatkan retensi pelanggan sehingga keuntungan perusahaan akan meningkat dan kepercayaan pelanggan terhadap produk Minaku akan terus terjaga. Tentunya dalam perbaikan dan peningkatan pelayanan ini, perusahaan membutuhkan biaya lebih. Namun biaya yang dikeluarkan ini merupakan investasi bagi perusahaan. Investasi perusahaan dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan didasarkan pada asumsi bahwa mereka meningkatkan retensi pelanggan (Kamakura dan Mela, 2005). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kepuasan pelanggan dapat meningkatkan loyalitas pelanggan terhadap perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, perusahaan perlu mengetahui variabel-variabel layanan yang diinginkan oleh pelanggan. Sampel pelanggan PT. Mitra Nasional Kualitas menilai variabel layanan kehandalandengan total penilaian 80 sedangkan jaminan mendapat 76,25. Sesuai skala penilaian yang telah ditentukan, kehandalandan jaminandinilai sangat penting sehingga pelanggan menginginkan atribut layanan pada variabel ini dilakukan dengan baik. Hasil analisis dari retention curve, hazard curve dan survival curve dapat digunakan menjadi parameter prediksi perlu dilakukan perbaikan layanan. Retention rate dan survival rate menurun masing-masing sebesar 0,09% dan 0,03% serta hazard rate meningkat sebesar 0,03% pada selang waktubulan April 2011 hingga Maret 2012 Berdasarkan analisis ketiga komponen tersebut, sangat perlu dilakukan perbaikan layanan untuk meningkatkan retensi pelanggan untuk waktu kedepannya.
Saran Perusahaan perlu meningkatkan kepuasan pelanggan terutama pelanggan yang memiliki nilai yang tinggi.Pelanggan yang masih memiliki nilai yang rendah perlu ditingkatkan nilainya dengan melakukan pendekatan lebih lanjut. Beberapa program dapat diterapkan seperti pemberian
PrediksiPerbaikanLayanan
109
insentif dan bantuan promosi kepada pelanggan agar penjualan produk dapat terus meningkat. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R. dan Buttle, F. 2001. Customer Retention: A Potentially Potent Marketing Management Strategy. Journal of Strategic Marketing, 9, 29-45. Berry, M. J. A. dan Linoff, G. S. 2004. Data Mining Techniques For Marketing, Sales, dan Customer Relationship Management Second Edition, Indianapolis, Wiley Publishing, Inc. Cook, S. 2008. Customer Care Excellence How to Create an Effective Customer Focus 5th Edition, London, Kogan Page. Dyché, J. 2001. CRM Hdanbook, The: A Business Guide to Customer Relationship Management, Addison Wesley. Griffin, J. 2005. Customer Loyalty Menumbuhkan dan Mempertahankan Kesetiaan Pelanggan, Jakarta, Erlangga. Guo, S. 2010. Survival Analysis, Oxford University Press. Gupta, S., Lehmann, D. R. dan Stuart, J. A. 2004. Valuing Customer. Journal of Marketing Research, XLI, 7-18. Kamakura, W. dan Mela, C. F. 2005. Choice Models dan Customer Relationship Management. Marketing Letters, 16:3/4, 279-291. Kleinbaum, D. G. dan Klein, M. 2005. Survival Analysis A Self-Learning Text Second Edition, New York, Spinger. Lee, E. T. dan Wang, J. W. 2003. Statistical Methods for Survival Data Analysis Third Edition, New Jersey, John Wiley dan Sons, Inc. Pezeskhi, V. 2009. Three Dimensional Modelling of Customer Satisfaction, Retention dan Loyalty for Measuring Quality of Service. PhD, Brunel University. Tourniaire, F. 2003. Just Enough CRM, Upper Saddle River, Prentice Hall PTR. Tsiptsis, K. dan Chorianopoulos, A. 2009. Data Mining Techniques in CRM Inside Customer Segmentation, United Kingdom, A John Wiley dan Sons, Ltd., Publication. Wang, I.-M. dan Shieh, C.-J. 2006. The Relationship Between Service Quality dan Customer Satisfaction : The Example of CJU Library. Journal of Information dan Optimization Sciences, 27 (1), 193-209. Wasson, C. S. 2006. System Analysis, Design dan Development. Concept, Principles dan Practices, Canada, Wiley-Interscience.
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Agustus 2012 Vol. 1 No. 2, p 110 - 117 ISSN: 2252 - 3324
Available online at :
http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
KARAKTERISASI KONDISI OPERASI DAN OPTIMASI PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PANGAN CHARACTERIZATION OF OPERATING CONDITIONS AND PROCESS OPTIMIZATION OF A FOOD INDUSTRIAL WASTEWATER TREATMENT PLANT Lintang Zulqaida Fitrahani*, Nastiti Siswi Indrasti, dan Suprihatin, Department of Agro-Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia *Email:
[email protected] atau
[email protected]
ABSTRACT Increased production in companies will result in the increase the load of the existing wastewater treatment plant. To anticipate the future increase in the COD load, it is in need to characterize dan optimizize the existing wastewater treatment plant. Objectives of this research were characterization of operating conditions, measurement of performance as well as optimization of a food wastewater treatment plant to increase the effluent quality and minimize cost of operating cost.This study was conducted in a food industry in Jakarta. Characterization of the physical installations performed against all operation units that include the unit process physical, biological, and chemical processes. Performance evaluation was carried out using secondary and primary data covering NH4+, phosphate, nitrate, TSS, turbidity, temperature, pH, COD, MLSS, and DO. It was indentified that the biological stage was need to be optimizd especially in the nutrient addition. Almost all units there are differences between condition actual and design that lead to lower efficiencies. It was identified that the optimum nutrition added on Monday was 7 kg/day of urea, 26 kg/day of phosphate as well as 8 kg/day of nutrition liquid. The optimum nutrition added on Thursday was 32 kg/day urea, 45 kg/day phosphate and 8 kg/day nutrition liquid. By implementen these recommendations it can be expected a cost saving by 50%. Keywords: food industry, nutrient addition, operating conditions, performance optimization
ABSTRAK Peningkatan produksi pada industri pangan telah menyebabkan terjadinya peningkatan beban polutan air limbah yang dihasilkan, yang ditandai dengan peningkatan debit dan konsentrasi parameter kritis air limbah. Hal ini berakibat fasilitas pengolahan air limbah yang ada tidak bekerja secara optimum. Tujuan penelitian ini adalah karakterisasi kondisi operasi, pengukuran kinerja proses, serta optimasi proses IPAL (instalasi pengolahan air limbah) yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas efluen dan meminimasi biaya operasi. Karakterisasi fisik instalasi dilakukan terhadap semua unit yang meliputi unit proses fisika, biologi, dan kimia. Pengukuran kinerja dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan data primer terhadap NH4+, fosfat, nitrat, TSS, kekeruhan, suhu, pH, COD, MLSS, dan DO. Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja IPAL yaitu dengan melakukan optimasi proses biologi dengan cara pengkajian ulang terhadap pemberian nutrisi. Hampir semua unit terdapat perbedaan antara kondisi aktual dan desain sehingga memiliki efisiensi yang rendah. Rekomendasi terbaik perhitungan nutrisi untuk hari Senin adalah urea 7 kg/hari, fosfat 26 kg/hari serta nutrisi liquid 8 kg/hari. Rekomendasi terbaik perhitungan nutrisi untuk hari Kamis adalah rekomendasi yang menghasilkan biaya paling rendah yaitu urea 32 kg/hari, fosfat 45 kg/hari serta nutrisi liquid 8 kg/hari. Implementasi dari rekomendasi tersebut dapat diperoleh penghematan biaya sebesar 50%. Kata kunci: industri pangan, penambahan nutrient, kondisi operasi, optimasi kinerja
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan industri, kontribusi pencemaran oleh industri mengalami peningkatan secara tajam. Di pulau Jawa, industri berkontribusi secara signifikan pada pencemaran, terutama di daerah perkotaan. Beberapa parameter pencemaran air telah melampaui baku mutu yang
ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini memicu meningkatnya perhatian masyarakat dan pemerintah pada pencemaran lingkungan. Industri, termasuk industri pangan, saat ini dituntut untuk mengolah air limbah yang dihasilkan hingga memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke lingkungan.
Vol. 2. 2012
Pengolahan air limbah industri pangan umumnya dilakukan dengan menggunakan sistem lumpur aktif, karena sistem ini telah terbukti efektif untuk mengolah air limbah dengan kandungan utama bahan organik. Menurut Kristanto (2002), teknologi lumpur aktif mampu menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga 91%, COD (chemical oxygen demand) 62%, dan BOD5 (biochemical oxygen demand) 97%. Beban bahan organik (COD, BOD) air limbah yang makin besar menyebabkan penurunan kemampuan degradasi IPAL (instalasi pengolahan air limbah) yang ada, sehingga tingkat efisiensi pengolahan mengalami penurunan. Untuk mengantisipasi peningkatan beban bahan organik air limbah di masa yang akan datang, maka perlu dilakukan karakterisasi kondisi operasi dan optimasi proses pengolahan air limbah sehingga diperoleh tingkat efisiensi pengolahan yang tinggi. Teknik optimasi yang dapat diterapkan pada suatu pengolahan limbah industri bersifat spesifik dan sangat tergantung pada karakteristik air limbah dan teknologi yang diterapkan. Pemberian nutrisi ini kadang-kadang perlu dilakukan karena komposisi air limbah tidak seimbang komposisinya. Penambahan nutrisi ini merupakan salah satu komponen biaya utama operasional. Oleh karena itu, salah satu cara untuk melakukan proses optimasi IPAL pada industri pangan adalah dengan cara melakukan optimasi dosis nutrisi karena nutrisi sering menjadi komponen biaya terbesar dalam pengolahan air limbah industri pangan. Optimasi dosis nutrisi ini berpotensi dapat menghemat biaya pengolahan air limbah pada tingkat degradasi bahan organik yang diinginkan guna mencapai target kualitas efluen sesuai baku mutu yang telah ditetapkan. Penelitian ini menyajikan hasil karakterisasi fisik dan kondisi operasi serta pengukuran kinerja suatu IPAL industri pangan, serta optimasi proses IPAL yang dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas efluen dan meminimasi biaya operasi. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2012 hingga bulan Mei 2012. Penelitian dilakukan pada IPAL PT. X Indonesia, yaitu industri pengolahan berbagai jenis makanan dan minuman, seperti kecap dan minuman tetrapax. Analisis laboratorium di Laboratorium Teknik Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa bagian, yaitu persiapan bahan dan alat, karakterisasi fisik dan kondisi operasi IPAL, identifikasi kebutuhan perbaikan fisik dan kondisi operasi, penentuan
Karakterisasi Kondisi Operasi Dan Optimasi
111
kinerja IPAL, optimasi IPAL, pengolahan dan analisis data. Karakterisasi fisik dan kondisi operasi dilakukan sebagai tahapan awal dalam penelitian, dengan melakukan observasi terhadap seluruh unitunit IPAL sehingga diketahui karakterisasi fisik dan kondisi operasi (Gambar 1).
Persiapan alat dan bahan Pengamatan terhadap unit-unit IPAL Karakterisasi fisik unit-unit IPAL (volume, debit, bentuk , dan kondisi fisik lainnya ) Karakterisasi kondisi operasi pada unit-unit IPAL (COD, pH, TSS, Suhu dan kondisi operasi lainnya ) Pengolahan data dengan membandingkan nilai aktual karakterisasi fisik dan kondisi operasi dengan desain Hasil karakterisasi fisik dan kondisi operasi Gambar 1. Karakterisasi kondisi operasi IPAL Penentuan kinerja IPAL dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap data primer dan data sekunder. Tahapan ini merupakan tahapan penelitian setelah karakterisasi fisik dan kondisi operasi. Pada tahap ini kinerja dari IPAL dapat diketahui berdasarkan parameter yang telah diamati (Gambar 2). Optimasi IPAL merupakan tahapan akhir dari penelitian. Setelah dilakukan karakterisasi fisik dan kondisi operasi dilakukan identifikasi terhadap permasalahan dan potensi perbaikan IPAL. Tahapan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3. Karakterisasi kondisi operasi meliputi jenis operasi, dimensi, kondisi operasi serta parameter kinerja yang mendukung pelaksanaan penelitian optimasi proses pengolahan IPAL, khususnya untuk proses biologis. Untuk melakukan optimasi proses biologis khususnya optimasi dosis nutrisi terlebih dahulu dilakukan uji karakteristik limbah untuk mengetahui kandungan NH4+, fosfat, nitrat, TSS, kekeruhan, suhu, pH, COD, MLSS. Setelah diketahui kandungan senyawa organik dan lainlainya kemudian dilakukan perhitungan kebutuhan dosis nutrisi sampai menghasilkan efektivitas yang optimal untuk penurunan kandungan bahan organiknya.
112 L. Z. Fitrahani, N. S. Indrasti dan Suprihatin
E-JAII
Pengambilan sampel limbah pada inlet, aerasi, biologi serta outlet Analisa laboratorium : Pengujian NH4 , Fosfat, Nitrat, TSS, Kekeruhan, Suhu, pH, COD, MLSS, F/M +
Data primer penelitian Pengolahan data sekunder perusahaan : COD, BOD, Suhu, TSS, Amonia, pH, SV, DO, Minyak dan Lemak, Senyawa Aktif Biru Metilen, KMnO4, dan DO Evaluasi kinerja dengan pengolahan data primer dan sekunder yang dibandingkan dengan baku mutu Analisis kinerja IPAL Gambar 2. Prosedur penentuan kinerja IPAL
Persiapan alat dan bahan Pengamatan terhadap hasil karakterisasi fisik dan kondisi operasi serta kinerja IPAL Evaluasi potensi perbaikan kinerja Modifikasi kondisi operasi dan pengukuran kinerja serta optimasi proses) Analisa data Penentuan kondisi optimum IPAL Gambar 3. Prosedur optimasi IPAL
HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber dan Karakteristik Air Limbah Air limbah yang dihasilkan di PT. X Indonesia terdiri atas tiga jenis, yaitu: 1. Limbah hasil produksi yang berasal dari limbah hasil proses produksi seperti limbah hasil pengepresan pada kecap yang banyak mengandung nitrogen, dan bahan organik (Devi dan Dahiya, 2008). 2. Limbah domestik yang berasal dari kamar mandi dan kantin. 3. Limbah konsentrat yang mempunyai konsentrasi partikel terlarut lebih tinggi misalnya pada air limbah dari kegiatan analisis laboratorium, penelitian dan pengembangan, air limbah dari kegiatan pembuatan varian baru. Limbah konsentrat yang dimaksudkan adalah limbah pekat dengan TSS tinggi sehingga kandungan COD juga tinggi. Apabila dimasukkan ke dalam unit pengolahan limbah yang ada akan menyebabkan gangguan pada proses IPAL. Limbah separator mempunyai COD sekitar 200.000 mg/L. Limbah konsentrat ini sulit untuk ditangani sehingga membutuhkan proses yang kompleks sehingga membutuhkan biaya yang tinggi. Hasil pengujian air limbah terhadap karakteristik inlet dan outlet PT. X Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1, mencakup kandungan nitrat, fosfat, COD, TSS, dan kekeruhan sampel yang diambil pada hari Kamis daripada hari Senin. Nilai parameter suhu tidak ada perbedaan secara signifikan antara inlet dan outlet, sedangkan nilai pH mengalami peningkatan mendekati normal. Nilai pH dan suhu air limbah yang diukur pada Senin tidak berbeda secara signifikan daripada air limbah yang diambil pada hari Kamis. Perbandingan nilai beberapa parameter inlet, outlet, dan baku mutu aku air limbah industri Jakarta sesuai Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengujian karakteristik air limbah (Periode 23 Februari – 29 Maret 2012) Limbah Inlet No
Parameter
Satuan
1 2 3 4 5 6 7
Nitrat Fosfat COD TSS Kekeruhan pH Suhu
mg/L mg/L mg/L mg/L FTU o C
Limbah Outlet
Senin
Kamis
Senin
Kamis
14,43 2,48 3.190 693 472 4,00-4,50 35,7
18,83 2,81 5.746 706 713 3,91-4,01 34,6
1,66 0,41 68 3 25 6,40 34,9
1,67 1,34 112 6 35 6,92 33,7
Baku mutu (Kep Gub DKI No. 582/1995) 100 100 6–9 -
Vol. 2. 2012
Karakterisasi Kondisi Operasi Dan Optimasi
Pada reaktor dilakukan pengukuran parameter MLSS, DO, dan SV saat aerasi berlangsung. Kandungan MLSS yang tinggi ini berkaitan dengan jumlah biomassa. MLSS yang tinggi menunjukkan adanya jumlah mikroorganisme pada lumpur aktif yang tinggi, yang mampu memperbanyak diri dengan memanfaatkan bahan organik dan nutrisi yang terdapat pada limbah. SV (Sludge volume) diukur selama 60 menit sehingga disebut SV 60. Nilai rataan hasil pengujian terhadap parameter tersebut disajikan pada Tabel 2. Parameter SV 60 ini dipengaruhi oleh keadaan lumpur aktif. Selama pengamatan keadaan SV 60 pada hari Senin dan Kamis tidak jauh berbeda yakni 95%. SV bernilai 95% menandakan kemampuan pengendapan lumpur adalah sebesar 5% dari 1000 ml sampel. Kemampuan pengendapan lumpur ini sangat rendah. Kondisi lumpur selama pengamatan sama yang ditunjukkan dengan nilai SV hari Senin dan Kamis yang tidak jauh berbeda. Nilai MLSS pada hari Kamis lebih tinggi daripada hari Senin. Hal ini dipengaruhi oleh beban limbah pada hari tersebut. Beban limbah hari Kamis lebih besar daripada hari Senin. Dengan beban limbah yang besar maka kandungan bahan organik juga besar. Tabel 2. Hasil pengujian karakteristik air limbah aerasi Parameter
Satuan
MLSS DO SV.60
mg/L mg/L %
Hari Senin 7070 3,70 95,50
Kamis 9532 4,38 95,25
Karakterisasi Fisik dan Kondisi Operasi IPAL Pengolahan Fisika Pra-pengendapan berfungsi sebagai alat pemisahan zat padat atau partikel-partikel yang ukurannya besar dengan menggunakan sekat. Di dalam pra-pengendapan ini didesain untuk menurunkan kandungan TSS sampai kurang dari 300 mg/L sehingga efisiensi dari pengolahan secara fisik ini dalam penurunan TSS khususnya adalah 70%. Berdasarkan hasil pengujian TSS terhadap air limbah yang telah melewati pra-pengendapan memperlihatkan bahwa TSS lebih dari 30 mg/L bahkan ada yang mencapai 1000 mg/L. Hal ini menandakan bahwa efisiensi operasi prapengendapan rendah dan tidak sesuai dengan desain. Tanki pengendapan (clarifier) yang ada berukuran 82 m3 sebagai unit untuk memisahkan dan mengurangi padatan dan partikulat dalam air
113
(Nelson and Pade 2007). Efisiensi penurunan padatan terlarut didesain sebesar adalah 30 -70%. Hasil limbah yang keluar dari tanki pengendapan ini diharapkan mengandung TSS kurang dari 200 mg/L. Berdasarkan data hasil pengujian dapat dilihat bahwa TSS yang terkandung dalam air limbah masih tinggi, yaitu antara 200 – 1.320 mg/L. Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan pembersihan pada kemiringan (slope) dasar tanki pengendapan dan meningkatkan waktu pengendapan. Tanki ekualisasi (balance tank) sebagai bak penyeimbang (tanki aliran rata-rata) dan untuk menghomogenkan air limbah yang masuk untuk memudahkan proses pengolahan selanjutnya. Laju aliran aktual tanki ekualisasi lebih besar dari flow desain sebelumnya sehingga terjadi kelebihan beban (overload). Agar tidak menganggu proses pengolahan limbah, masalah ini perlu diatasi dengan peningkatan kapasitas dari tanki ekualisasi sehingga dapat menangani lebih banyak limbah yang dihasilkan. Penambahan polimer dilakukan apabila TSS yang terukur pada Tanki ekualisasi lebih besar dari 1.000 mg/L. Apabila produksi yang dilakukan adalah minuman sari kacang hijau dan susu kedelai maka sering kali dalam tanki ekualisasi terdapat busa. Hal ini menggangu dalam pengolahan sehingga dilakukan penambahan anti-busa (antifoam). DAF (Dissolved Air Floatation) Tank pada IPAL telah mengalami perubahan fungsi dari flotasi menjadi bak sedimentasi. Filter pasir (sand filter) tidak difungsikan karena dianggap tidak perlu. Pengolahan Secara Biologis Proses pengolahan secara biologis pada PT. X dilakukan dengan CSAS (Cyclic Sequencing Aerobic System). Proses CSAS ini terdapat tiga proses utama yakni aerasi, pengendapan (sedimentasi) dan pembuangan efluen (effluent draw). Efisiensi penyisihan COD secara aktual sekitar 95%. Waktu tinggal hidraulik (HRT/hydrolic retention time) merupakan salah satu parameter di dalam proses ini. HRT adalah waktu rata-rata air limbah di dalam sistem tersebut, dan untuk proses lumpur aktif nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Tchobanoglous et al., 2003). HRT dirancang pada 1,78 hari sedangkan HRT secara aktual adalah satu hari. Hal ini menandakan bahwa waktu tinggal air limbah lebih cepat daripada desain, sehingga pendegradasian bahan organik kurang efektif. MLSS (Mixed-liqour suspended solids) adalah padatan tersuspensi di dalam tanki aerasi sistem lumpur aktif sebagai lumpur campuran. MLSS didesain pada 4.500 – 5.500 mg/L tetapi MLSS yang terukur secara aktual lebih dari 5.500
114 L. Z. Fitrahani, N. S. Indrasti dan Suprihatin
mg/L. Hal ini menandakan bahwa lumpur yang ada terlalu banyak sehingga tidak dapat mengendap secara efektif. Kandungan MLSS yang terlalu berlebihan ini dapat dicegah dengan jadwal pembuangan lumpur yang baik. DO (dissolved oxygen) menunjukkan keberadaan oksigen di dalam air. DO yang terukur adalah 1,61 – 4,55 mg/L sedangkan DO rancangan adalah 2-3 mg/L. DO yang rendah menyebabkan pertumbuhan bakteri berfilamen, DO yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kondisi bulking yang serius (Guo et al., 2010). Pengolahan Kimia
BOD (mg/l)
Pengolahan limbah secara kimia dalam PT. X dilakukan dengan cara tankikoagulasi dan flokulasi. Proses koagulasi dilakukan di dalam tanki koagulasi dengan volume 8,4 m3 dengan penambahan PAC densitas 1,22 – 1,26 g/mL. PAC ditambahkan dengan laju 12 mL/detik. PAC menghasilkan proses koagulasi-flokulasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan tawas (Al2(SO4)3) dalam beberapa kasus pengolahan air baku dari air sungai (Yang et al., 2010). Koagulasi ini bertujuan untuk menghilangkan partikel di dalam air limbah yang berwujud koloid maupun tersuspensi. Pada proses flokulasi dilakukan di tanki bervolume 3 m3 80 70 60 50 40 30 20 10 0
E-JAII
dengan flokulan berupa polimer dengan debit 20 mL/detik. Polimer yang digunakan mempunyai dosis 1,5 g/L. Karakteristik Air limbah BOD Nilai BOD air limbah PT. X Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4. Meningkatnya beban hidrolik menyebabkan mobilisasi partikel organik dan mengurangi waktu retensi sehingga mengakibatkan nilai BOD yang fluktuatif (Karathanasis et al., 2003). Hal ini juga menunjukkan bahwa proses pendegradasian bahan organik belum berlangsung secara maksimum. Nilai BOD yang dihasilkan telah di bawah baku mutu yang ditetapkan. Pada periode bulan Oktober 2010 - September 2011 perusahaan mengacu baku mutu BOD 75 mg/L (Kep Gub DKI No. 582/1995). Sedangkan periode selanjutnya perusahaan mengacu pada baku mutu BOD 50 mg/L (Kep Gub DKI No. 122/2005). Kinerja IPAL tergolong baik karena nilai BOD outlet berada di bawah standar baku mutu yang berlaku, tidak stabil karena nilainya masih fluktuatif.
BOD
Baku Mutu Lama
Baku Mutu Baru
Waktu Sampling
Gambar 4. Fluktuasi nilai BOD outlet periode Oktober 2010 – April 2012 COD Berdasarkan pengamatan COD bulan Maret 2012 didapatkan hasil COD dengan kisaran 1.401 – 9.549 mg/L pada balance tank (Gambar 5). Terjadi penurunan nilai COD selama proses sehingga dihasilkan nilai COD pada aerasi adalah 185 – 687 mg/L dan pada akhir proses biologi adalah 140 – 373 mg/L. Kisaran nilai COD outlet adalah 60 – 213 mg/L. Penurunan kadar COD selama proses aerasi sekitar 86,29 - 96,64%. Nilai penyisihan bahan organik ini cukup tinggi dalam pendegradasian bahan organik. Namun, efisiensi
proses biologi ini dapat ditingkatkan lagi. Penyisihan bahan organik selama proses awal hingga akhir memiliki efisiensi sebesar 95,65% 98,41%. Efisiensi ini cukup besar sehingga proses pengolahan limbah dapat dikatakan efektif. Namun, apabila dilihat dari nilai COD outlet dengan dibandingkan dengan baku mutu masih terdapat nilai yang jauh melampaui baku mutu air limbah Jakarta yang diterapkan. Baku mutu yang berlaku sekarang adalah 80 mg/L. Proses pengolahan limbah harus ditingkatkan efisiensinya agar nilai COD yang dihasilkan di bawah baku mutu. Walaupun hasil pengujian penurunan COD tinggi
Karakterisasi Kondisi Operasi Dan Optimasi
namun hasil akhir COD dalam limbah outlet ini masih cenderung berada di atas baku mutu atau mendekati baku mutu yang diterapkan.
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
COD (mg/l)
Inlet Aerasi Biologi (outlet)
Waktu Sampling
Gambar 5. Nilai COD Bulan Maret 2012 TSS
TSS (mg/l)
Hasil pengujian TSS dapat dilihat pada Gambar 6. Air limbah di dalam tanki ekualisasi memiliki nilai TSS cukup tinggi karena air limbah hanya mengalami proses fisik dan pencampuran di bak ekualisasi. Nilai TSS ini menurun setelah proses biologis (aerasi) berlangsung. Pengurangan TSS dapat dicapai 54% setelah aktivitas aerobik mesofilik pada lumpur aktif (Tyagi and Lo, 2012). Pengurangan TSS setelah proses biologis adalah lebih besar 62%. Kisaran nilai TSS pada akhir proses biologis adalah 30 – 558 mg/L. Nilai TSS pada tanggal 27 Februari mengalami kenaikan setelah proses biologis. Hal ini disebabkan oleh kondisi lumpur yang susah mengendap sehingga terbawa setelah proses aerasi berlangsung. Efisiensi penyisihan TSS dalam pengolahan IPAL PT. X Indonesia adalah kurang dari 99%. Penyisihan TSS sebagian besar karena perlakuan fisik dan proses filtrasi dan umumnya tidak berpengaruh dengan aktivitas metabolik mikroba kecuali mungkin jika sebagian besar dari beban TSS organik (Karathanasis et al., 2003). Limbah yang dikeluarkan oleh PT. X Indonesia telah memenuhi persyaratan baku mutu sesuai Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 122 tahun 2005 sebesar 30 mg/L. 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Inlet
8
14
1
7
4
1
3
13
Biologi (outlet) Outlet 3 akhir
Waktu Sampling
Gambar 6. Nilai TSS Bulan Maret 2012
115
Amonium Hasil pengujian amonium rata-rata disajikan pada Gambar 7. Selama proses aerobik terjadi oksidasi NH4+ menjadi NO2- dan NO3- sehingga kandungan amonium berkurang. Pada aerasi terjadi peningkatan nilai amonium yang disebabkan oleh masuknya limbah domestik dalam kolam aerasi tersebut. Limbah domestik yang masuk memiliki kandungan amonia yang tinggi. Setelah proses aerasi juga terjadi penurunan nilai amonium karena terjadi proses nitrifikasi. Penurunan penyisihan amonium ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang tidak mendapat suplai oksigen dan makanan yang mencukupi (Widayat et al., 2010). Efisiensi penyisihan nitrogen dapat dilakukan dengan mengendalikan DO (Guo et al., 2010). Kinerja IPAL cukup baik karena amonium outlet berada di bawah baku mutu 10 mg/L.
Amonium (mg/l)
Vol. 2. 2012
7 6 5 4 3 2 1 0
4.871
6.2688
Inlet
Aerasi
3.346
3.3038
Biologi (outlet)
Outlet akhir
Tempat Sampling
Gambar 7. Nilai rataan amonium inlet, aerasi, biologis (outlet) dan outlet IPAL MLSS Nilai MLSS dan beban limbah disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan data MLSS dan beban limbah COD dapat dilihat bahwa semakin besar beban COD maka semakin besar nilai MLSS. MLSS yang tinggi ini menandakan pembentukan bakteri dengan ditandai juga dengan perubahan warna suspensi menjadi lebih pekat (Romli et al., 2004). Peningkatan beban limbah dari 420 kg COD/hari hingga 1.440 kg COD/hari menghasilkan peningkatan MLSS dari 4.626 mg/L hingga 9.477 mg/L. Sedangkan beban limbah yang lebih tinggi
Tabel 3. Nilai MLSS dan beban organik air limbah Tanggal 23/02/2012 (kamis) 27/02/2010 (Senin) 05/03/2012 (Senin) 08/03/2012 (Kamis) 12/03/2012 (Senin) 15/03/2012 (Kamis) 19/03/2012 (Senin) 21/03/2012 (Rabu)
MLSS (mg/L) 13.684 6.539 10.878 8.174 6.238 6.793 4.626 9.477
Beban organik (kg COD/hari) 1.500 1.414 1.008 1.315 420 1.440
dari 1.440 kg COD/hari MLSS yang dihasilkan rendah yaitu 6.539 mg/L. Hal ini dijelaskan bahwa
116 L. Z. Fitrahani, N. S. Indrasti dan Suprihatin
F/M Hasil pengukuran F/M dan SV 60 disajikan pada Tabel 4. Rasio F/M fluktuatif dan berada jauh melebihi standar dengan rata–rata 1,99 kg COD/kg MLSS.hari. F/M IPAL tergolong sangat tinggi, yang mendidikasikan beban sistem sangat berat. Tingginya ratio F/M ini menyebabkan sistem kelebihan makanan yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat penyisihan bahan organik. Nilai F/M yang tinggi juga memicu masalah biomassa kamba (bulking). Tabel 4. Hasil pengujian nilai F/M Tanggal 27/02/2010 (Senin) 05/03/2012 (Senin) 08/03/2012 (Kamis) 12/03/2012 (Senin) 15/03/2012 (Kamis) 19/03/2012 (Senin) 21/03/2012 (Rabu) Rata-rata
Nilai F/M (kg COD/kg MLSS.hari) 3,59 1,23 2,76 2,35 2,77 1,23 1,87 1,99
SV (%) 95 94 95 96 96 97 96 96
Fosfat Konsentrasi fosfat hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 8. Konsentrasi fosfat ini meningkat pada proses aerasi. Kenaikan nilai fosfat saat aerasi antara 0,5 mg/L – 6,5 mg/L. Penyisihan fosfat dilakukan pada kondisi aerobik dengan terjadinya pemanfaatan ortofosfat untuk sintesis sel dan disimpan untuk kebutuhan di masa mendatang, bersamaan dengan penyisihan senyawa organik. Proses aerobik mampu menurunkan kandungan fosfat pada air limbah sekitar 10 - 30% (Tchobanoglous et al., 2003). Namun, berdasarkan data proses aerasi ini meningkatkan kandungan fosfat sampai 400%. Hal ini karena diduga terjadi kelebihan penambahan nutrisi dan adanya penambahan senyawa fosfor dari limbah domestik. Selama proses aerobik terjadi penurunan kandungan fosfat. Hal ini disebabkan pada kondisi aerobik terjadi pemanfaatan ortofosfat untuk sintesis sel dan disimpan untuk kebutuhan di masa mendatang, bersamaan dengan penyisihan senyawa organik. Kandungan fosfat yang tinggi dalam badan air menyebabkan pertumbuhan makroalga, fitoplankton, zooplankton, dan koloni bakteri. Hal ini menyebabkan eutrofikasi yang diikuti oleh pertumbuhan alga (Steicke et al., 2006). Hasil akhir
fosfat masih berada di atas 0,05 mg/L yakni batas adanya pertumbuhan ganggang (alga). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Fosfat (mg/l)
apabila beban limbah terlalu tinggi terjadi dispersi lumpur yang tidak dapat terendapkan sehingga banyak massa sel yang terbuang bersama-sama efluen. Kondisi ini diperlihatkan dengan tingginya padatan tersuspensi di dalam efluen. Kinerja IPAL kurang baik karena nilai MLSS berada di atas nilai yang diinginkan oleh PT. X Indonesia.
E-JAII
Inlet Aerasi Biologi (outlet) Outlet akhir
Waktu Sampling
Gambar 8. Perubahan kandungan nilai fosfat air limbah bulan Maret 2012 Perhitungan Dosis Nutrisi Masalah yang teridentifikasi dalam pengolahan air limbah adalah penggunaan nutrisi saat pengolahan biologis yang belum optimal. Hal ini dilihat pada nilai F/M, SV, dan MLSS yang sangat tinggi. Fluktuasi nilai fosfat yang telah diuji juga menandakan pemberian nutrisi kurang tepat. Hal ini dapat menyebabkan kondisi biomassa kamba (bulking sludge). Kondisi ini mengindikasi adanya defisiensi nutrisi. Masalah dosis nutrisi menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan tinggi serta pendegradasian senyawa organik dalam air limbah kurang sempurna. Komposisi ideal untuk proses anerobik adalah COD:N:P = 200:5:1. Dengan mengetahui komposisi air limbah yang ada, maka dosis optimum penambahan nutrisi dapat diperkirakan. Tabel 5 menunjukkan kebutuhan nutrisi pada hari Senin. Berdasasrkan pada nilai rata-rata COD:N:P, maka penambahan unsur hara adalah sebagai berikut: urea 7,02 kg/hari, fosfat 26,33 kg/hari serta nutrisi cair 8 kg/hari. Dosis nutrisi yang direkomendasikan pada hari Kamis agar biaya minimum adalah sebagai berikut: urea 32,10 kg/hari, fosfat 45 kg/hari serta nutrisi cair 8 kg/hari (Tabel 6). Rekomendasi ini berdasarkan perhitungan dengan rata-rata kandungan N dan P yang terkandung di dalam air limbah dan dengan asumsi perusahaan tetap ingin menggunakan nutrisi cair. Tabel 5. Rekomendasi dosis nutrisi untuk Hari Senin No 1 2 3 4 5 6
Urea (kg/Hari) 2,35 15,65 26,23 52,83 7,02 34,22
NPK (kg/Hari) 13,04 13,04 13,04 13,04 26,33 26,33
Nutrisi (kg/Hari) 4 8 8
Biaya (Rp) 168.335,110.835,411.720,296.725,348.912,236.912,-
Vol. 2. 2012
Karakterisasi Kondisi Operasi Dan Optimasi
117
Tabel 6. Rekomendasi Perhitungan Kebutuhan Nutrisi Hari Kamis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Urea (kg/Hari) 22,96 9,67 49,57 39,50 26,20 66,10 32,10 18,80 58,70
NPK (kg/Hari) 38 38 38 52,1 52,1 52,1 45 45 45
Nutrisi (kg/Hari) 8 12 8 12 8 12
Bulan
Biaya (Rp) 457.820,515.325,342.825,575.873,633.378,460.878,520.975,578.480,405.980,-
Tabel 7 memperlihatkan biaya yang digunakan untuk proses biologis. Penurunan total biaya nutrisi berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan. Penurunan total biaya sekitar 50% dari total biaya pada bulan Januari 2012. Pada tabel tersebut dapat dilihat perbandingan antara biaya urea, NPK, dan nutriri yang digunakan tiap bulannya.
Tabel 7. Biaya Proses Biologis Biaya NPK Biaya Urea Biaya Nutrisi (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/bulan)
Des '11 700.000 Jan '12 875.000 Rekomendasi 2.776.660 Sumber : PT. X Indonesia
700.000 875.000 3.490.140
KESIMPULAN Kondisi operasi aktual unit proses berbeda dengan kondisi operasi yang direncanakan (desain). Tanki ekualisasi (balance tank) dalam keadaan kelebihan beban (overload), sedangkan tanki flotasi (DAF tank) dan filter pasir (sand filter) tidak difungsikan. IPAL mempunyai kinerja yang baik untuk parameter pH, suhu, nitrat, TSS, kekeruhan, minyak dan lemak, senyawa aktif biru metilen, amonium, KMnO4; sedangkan kinerja yang kurang baik mencakup eliminasi BOD, fosfat, dan COD. Berdasarkan hasil penelitian ini direkomendasikan penambahan nutrisi untuk hari Senin adalah urea 7 kg/hari, fosfat 26 kg/hari serta nutrisi cair sebesar 8 kg/hari, sedangkan penambahan nutrisi untuk hari Kamis adalah urea 32 kg/hari, fosfat 45 kg/hari serta nutrisi cair sebesar 8 kg/hari. Dengan mengimplementasikan rekomendasi ini diharapkan dapat diperoleh penghematan biaya hingga 50%. DAFTAR PUSTAKA Devi, R. & Dahiya, R. 2008. COD and BOD removal from domestic wastewater generated in desentralised sectors. Bioresource Technology, 99, 344-349. Guo, J.-H., Peng, Y.-Z., Peng, C.-Y., Wang, S.-Y., Chen, Y., Huang, H.-J. & Sun, Z.-R. 2010. Energy saving achieved by limited filamentous bulking sludge under low dissolved oxygen. Bioresource Technology, 101, 1120–1126. Karathanasis, A. D., Potter, C. L. & Coyne, M. S. 2003. Vegetation effects on fecal bacteria, BOD, and suspended solid removal in constructed wetlands treating domestic
19.065.000 27.900.000 6.944.000
Total Biaya (Rp/bulan) 20.465.000 29.650.000 13.210.800
wastewater. Ecological Engineering 20, 157-169. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri, Andi Offset, Yogyakarta. Nelson, R. L. & Pade, J. S. 2007. Aquaponic equipment the clarifier.Aquaponics Aquaponic Journal 4th Quarter. Romli, M., Suprihatin & Sulinda, D. 2004. Penentuan nilai parameter kinetika lumpur aktif untuk pengolahan air lindi sampah (leachate). J.Tek.Ind. Pert, Vol 14(2), 5666. Steicke, C. R., Jegatheesan, V. & Zeng, C. 2006. Recirculating aquaculture systems [Online]. http://www.eolss.net/SampleChapters/C07/ E6-144-18.pdf. [Accessed 27 Juni 2012]. Tchobanoglous, G.. 2003. Wastewater Engineering: Treatment and Reuse. 4th ed, Singapore, McGraw-Hill.Inc. Tyagi, V. K. & Lo, S.-L. 2012. Enhancement in mesophilic aerobic digestion of waste activated sludge by chemically assited thermal pretreatment method. Bioresource Technology 119, 106-113. Widayat, W., Suprihatin & Herlambang, A. 2010. Penyisihan amoniak dalam upaya meningkatkan kualitas air baku PDAMIPA Bojong Renged dengan proses biofiltrasi menggunakan plastik tipe sarang tawon. JAI, 6 (1), 64-76. Yang, Z., Gao, B. & Yue, Q. 2010. Coagulation performance and residual aluminium speciation of Al2(SO4)3 and polyaluminium chloride (PAC) in Yellow River Water Treatment. Chemical Engineering Journal, 165, 122-132.
E-Jurnal Agroindustri Indonesia Oktober 2012 Vol. 1 No. 2, p 118 - 124 ISSN: 2252 - 3324
Available online at:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/e-jaii/index
PENGGUNAAN SELULOSA MIKROBIAL DARI NATA DE CASSAVA DAN SABUT KELAPA SEBAGAI PENSUBSTITUSI SELULOSA KAYU DALAM PEMBUATAN KERTAS THE USE OF MICROBIAL CELLULOSE FROM NATA DE CASSAVA AND COCONUT HUSK AS WOOD CELLULOSE SUBSTITUTE FOR PAPER MAKING PROCESS Khaswar Syamsu1), Renny Puspitasari1), Han Roliadi2) 1)----
Departement of Agroindustry, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone/ fax: 62 251862 5088, 62 251862 1974 2) Forest Product Research, Development and Forest Engineering Center. Jln. Gunug Batu No. 5. PO. Box. 182, Bogor, West Java, Indonesia. Phone/fax : 62 251863 3318, 62 251863 3413
ABSTRACT Currently, the majority of the world’s pulp and paper is manufactured from raw materials, either wood from industrial forest plantations or natural forests. The rate deforestation in Indonesia increases by 2% per year. The study was conducted to combine microbial cellulose of nata de cassava and coconut husk to reduce the use of wood cellulose in manufacturing pulp and paper. Two factors of experiment are the addition of additives and a combination of microbial cellulose and pulp of coconut husk (100:0, 75:25, 50:50 and 25:75). The yields of microbial cellulose and of coconut-husk pulp were consecutively (dry basis) 80.03% and 39.72%. Physical and strength properties of paper varied, i.e. water content (7.22-10.46%), grammage/basis weight (53.72-68.56 g/m2), tensile index (0.003-0.029 kNm/g), tear index (2.58-16.59 mNm2/g), brightness (8.1535.1%), printing opacity (45.99-97.08%), and Cobb size60 (46.79-168.17 g/m2 for the smooth/upper surface; and 28.22-183.92 g/m2 for the rough/lower surface). The result of the analysis assuming the conversion of biomass to paper made with 50% pulp of nata de cassava and 50% pulp of coconut husk indicated that the expansion of production of 200 ha can substitute 8,808,356.438 trees per year. With the ammount of this saving trees, 1,233,169.901ton CO2 from the air can be absorbed each year. Keywords: Nata de cassava, coconut fiber, paper, biomass conversion analysis ABSTRAK Saat ini, sebagian besar pulp dan kertas dunia dibuat dari bahan baku kayu, baik dari hutan tanaman industri maupun hutan alam. Laju deforestasi hutan di Indonesia meningkat 2% per tahun. Penelitian ini dilakukan dengan mengkombinasikan selulosa mikrobial dari nata de cassava dan sabut kelapa untuk mengurangi penggunaan selulosa kayu pada pembuatan pulp dan kertas. Dua faktor yang digunakan pada percobaan ini adalah penambahan aditif dan kombinasi selulosa mikrobial dan pulp dari sabut kelapa (100:0, 75:25, 50:50 dan 25:75). Rendemen selulosa mikrobial dan sabut kelapa adalah 80,03% (basis kering) dan 39,27%. Hasil uji fisik dan kekuatan yang dilakukan antara lain kadar air kertas (7,22%-10,46%), gramatur (53,72-68,56 g/m2), indeks tarik (0033-0,0293 kNm/g), indeks sobek (2,58-16,59 mNm2/g), derajat putih (8,15 35,1%), dan opasitas cetak (45,99-97,08) dan nilai Cobb60 (46.79-168.17 g/m2 untuk permukaan halus dan 28.22183.92 g/m2 untuk permukaan kasar). Hasil analisis konversi biomassa dengan asumsi untuk kertas yang dibuat dengan pulp 50% nata de cassava dan 50% pulp dari sabut kelapa menunjukkan bahwa dengan perluasan produksi 200 ha dapat menggantikan 8,808,356.438 pohon per tahun. Oleh karena itu, total CO2 yang dapat dihemat penyerapannya sebanyak 1,233,169.901 ton per tahun. Kata kunci: nata de cassava, sabut kelapa, kertas, analisis konversi biomassa PENDAHULUAN Kertas merupakan produk hasil dari pemanfaatan selulosa sebagai bahan bakunya. Kertas pada jaman dahulu dikenal sebagai lapisan tebal yang dibuat dari lembaran screen halus dari suspensi serat. Namun, kertas di jaman sekarang tidak hanya terdiri dari serat saja, melainkan mengandung bahanbahan tambahan lain (Syafii, 2000). Saat ini, mayoritas pulp dan kertas dunia diproduksi dengan
bahan baku kayu, baik yang berasal dari hutan tanaman hutan industri maupun dari hutan alam. Hal ini sungguh ironi mengingat isu global warming yang kini tengah menjadi masalah global. Menurut data dari State of The World’s Forests 2007 yang dikeluarkan oleh The UN Food and Agriculture Organization (FAO), angka deforestasi Indonesia selama periode 2000-2005 adalah 1.8 juta hektar/tahun dengan laju deforestasi sebesar 2% per tahun. Laju deforestasi ini diperkirakan akan
Vol 1. 2012
Penggunaan selulosa dari Nata De Cassava dalam pembuatan kertas
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan terhadap kayu dan produk-produk berbahan kayu, termasuk pulp dan kertas sehingga perlu dilakukan pencarian sumber baru untuk dijadikan bahan baku pembuatan pulp dan kertas. Situs resmi The UN Food and Agriculture Organization (FAO), http://faostat.fao.org, menunjukkan potensi sabut kelapa Indonesia mencapai 10,500,000 ton per tahun. Jumlah tersebut sangatlah besar apalagi pemanfaatannya selama ini masih untuk coco fiber, bahan baku keset, tali dan produk sederhana lainnya. Oleh karena itu sabut kelapa masih bisa digali potensinya untuk berbagai kegunaan yang lain lagi. Menurut Tejano (1985), sabut kelapa mengandung selulosa 19.26-23.87%, lignin 29.33-31.64%, hemiselulosa 8.15-8.50%, serta pektin, tanin dan bahan lain sebanyak 14.25-14.85%. Oleh karena sabut kelapa merupakan bahan yang berlignoselulosa tinggi, maka berpotensi menjadi bahan baku pembuatan pulp dan kertas. Sumber selulosa lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti pulp kertas adalah selulosa mikrobial. Salah satu contoh selulosa mikrobial adalah nata de cassava. Menurut Suryani et al. (2000), selulosa mikrobial memiliki keunggulan antara lain tingkat kemurnian yang lebih tinggi dibanding selulosa kayu, sifatnya yang sangat hidrofilik, sifat fisik mekanik yang tinggi, baik dalam keadaan basah maupun kering, berbentuk anyaman halus yang unik dan kuat serta diproduksi dari berbagai macam substrat yang murah. Sifat-sifat unggul ini membuat selulsa mikrobial cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas. Produktifitas selulosa mikrobial relatif lebih tinggi dibandingkan selulosa kayu. Hal ini bisa ditunjukkan dari laju pemanenan selulosa mikrobial yang hanya membutuhkan waktu 8 hari (Misgiyarta, 2011) dibandingkan dengan selulosa kayu yang membutuhkan waktu panen sekitar 4-6 tahun (Hardiyanti, 2010) METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembaran nata de cassava, NaOH, tapioka, alum, kaolin, aquades dan sabut kelapa. Sedangkan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah niagara beater, oven, gelas ukur, timbangan, mesin pencetak kertas, alat pencampur dilusi, mistar ukur, kain saring, gunting, papper tensile strenght tester, elemendorf tearing tester, photovoltmeter, dan COBB tester. Pelaksanaan Penelitian Tahapan-tahapan yang dilakukan yaitu: 1. Purifikasi Selulosa Mikrobial (Krystynowicz, et al., 2005). Sebelum dibuat pulp nata de cassava dimurnikan terlebih dahulu dengan pemasakan
119
selama 20 menit menggunakan larutan NaOH 1% (b/v) pada suhu 60oC. 2. Pemasakan Pulp Sabut Kelapa (Modifikasi Gullichsen, et al., 2000) Proses yang digunakan adalah semi kimia dengan soda pulping. Bahan kimia yang digunakan sebagai larutan pemasak adalah larutan NaOH 10% (b/v) pada suhu 100oC dengan lama pemasakan 3 jam. 3. Pulp Kombinasi selulosa Mikrobial dan Sabut Kelapa (Modifikasi Casey 1980 dan Smook 1994) Sejumlah bobot dari kedua pulp diambil sebagian sebagai sampel untuk ditentukan kadar airnya agar dapat menentukan rendemen hasil pemasakan kemudian dihomogenisasi dengan pengadukan. Kombinasi perlakuan yang digunakan adalah kombinasi nata de cassava dan sabut kelapa 100:0, 75:25, 50:50 dan 25:75. 4. Pembentukan Lembaran (Casey, 1980, SNI 140489-2003 dan TAPPI Test Methode Standards, 2012) Pembentukan lembaran diawali dengan penimbangan pulp, penguraian serat, serta dilakukan penambahan alum 2 %, kaolin 5% dan tapioka 2,5 % untuk perlakuan dengan penambahan aditif. Setelah itu, buburan ini dicetak menggunakan mesin pencetak kertas dan dikeringkan. 5. Pengujian sifat fisik dan kekuatan kertas Uji yang dilakukan yaitu penentuan rendemen pulp, kadar air kertas, gramatur, indeks tarik, indeks sobek, derajat putih kertas, opasitas cetak dan daya serap air. Selain itu juga dilakukan analisis konversi biomassa. 6. Perhitungan Analisis Konversi Biomassa Analisis ini diawali dengan menghitung jumlah serat selulosa mikrobial nata de cassava dan sabut kelapa per ha. Presentase serat diperoleh berdasarkan rendemen hasil penelitian ini. Setelah itu, dihitung banyaknya pulp yang dapat dihasilkan. Lalu dibandingkan dengan pulp dari kayu yang umum digunakan dalam industri pulp yang ada di Indonesia yaitu pulp kayu Acacia mangium. Jumlah kayu Acacia mangium yang dibutuhkan dapat dihitung dengan membagi jumlah pulp kayu dengan rendemen pulp kayu. Setelah jumlah kayu diketahui maka dapat diketahui luasan Acacia mangium yang dapat dihemat per tahun dengan terlebih dahulu mengetahui riap dan berat jenis kayu. Setelah dilakukan analisis biomassa maka dilanjutkan dengan analisis penyerapan CO2. Formulasi yang digunakan dalam penelitian ini dibuat berdasarkan beberapa ketentuan seperti yang terdapat pada Tabel 1. Ketentuan ini di
Khaswar syamsu. Et al
dasarkan pada beberapa penelitian terdahulu dan hasil pengamatan pada bahan baku ini (selulosa mikrobial dan sabut kelapa). Tabel 1. Asumsi dalam pembuatan kertas Parameter Nilai Diameter kertas yang akan dibuat 21,7 cm Luas kertas 369,65 cm2 Bobot kertas 2,22 g Konsistensi yang diharapkan 1,57 % Jumlah tambahan air yang 8,159.88 ml dikehendaki Gramatur kertas yang diinginkan 60 g/m3 Kadar air pulp selulosa mikrobial 89,48 % Kadar air pulp sabut kelapa 68,41 % Jumlah serat dalam campuran 632,22 g Target jumlah kertas yang dibuat 60 lembar Pengambilan suspensi per 10 1,382.18 ml lembar Kaolin 5% (basis kering kertas) Alum 2% (basis kering kertas) Tapioka 2,5% (basis kering kertas) HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Pulp Rendemen diperoleh dari perbandingan bobot pulp yang dihasilkan dengan jumlah bobot awal bahan sebelum dilakukan penggilingan (basis kering oven). Pulp yang digunakan dalam penelitian ini adalah pulp selulosa mikrobial dari nata de cassava dan pulp sabut kelapa. Pulp selulosa mikrobial (nata de cassava) merupakan hasil metabolisme dari mikroorganisme Acetobacter xylinum dengan menggunakan substrat yang berasal dari limbah cair pembuatan tapioka. Selama penelitian ini, dilakukan tiga kali pembuatan pulp dan diperoleh rendemen yang berbeda-beda yaitu 78.55%, 75.41%, dan 86.13%. Rata-rata rendemen dari tiga kali pembuatan pulp ini adalah 80.03%. Pembuatan pulp sabut kelapa dilakukan sebanyak dua kali dan diperoleh rendemen yang berbeda yaitu 37.76% dan 40.79% sehingga rata-rata rendemen pulp ini adalah 39.27%. Rendemen pulp sabut kelapa ini lebih rendah dari rendemen pulp selulosa mikrobial dan pulp semikimia dengan bahan baku kayu, yaitu 60-75%. Diduga ini karena struktur anatominya yang berbeda. Menurut Fengel dan Weneger (1984), tanaman kelapa merupakan tanaman kelas monokotil dengan demikian dalam sabut kelapa secara anatomi terdapat bahan bukan serat, yaitu sel parenkim dalam bentuk aerenchyma dan fiber-vascular bundle yang mudah hancur oleh bahan kimia, termasuk NaOH dalam pengolahannya menjadi pulp. Pulp nata de cassava dan sabut kelapa yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 1.
EJAII
Gambar 1. Pulp nata de cassava (kiri) dan pulp sabut kelapa (kanan) Gramatur Kertas Gramatur kertas merupakan bobot kertas per satuan luas yang dinyatakan dalam g/m2. Gramatur ini akan berpengaruh pada nilai pengukuran indeks tarik dan indeks sobek. Pada pembuatan kertas ini, gramatur target yang diinginkan adalah 60 g/m2. Kertas yang dihasilkan dari beberapa formulasi antara nata de cassava dan sabut kelapa dapat dilihat pada gambar 3. Gramatur yang dihasilkan antara 53.72 sampai 68.56 g/m2 (basis kering oven). Pengaruh perbedaan komposisi antara pulp nata de cassava dan pulp dari sabut kelapa terhadap gramatur kering oven kertas dapat dilihat pada gambar 2. Gramatur yang dihasilkan tidak terlalu jauh dari gramatur target yang ditetapkan. Menurut perbandingan SNI 7274-2008, kertas ini sesuai untuk kertas cetak jenis A (50-100 g/m2) dan menurut SNI 7273-2008, kertas ini sesuai untuk kertas koran (45-60 g/m2). Gramatur tertinggi dihasilkan oleh formulasi pulp nata de cassava 100% dengan penambahan aditif sedangkan gramatur terendah dihasilkan oleh kertas dengan jumlah pulp sabut kelapa yang lebih banyak yaitu 75%. kontrol aditif
70 Gramatur (g/m2)
120
65
60 55 50 45 25:75
50:50
75:25
100:0
Proporsi antara pulp nata de cassava dan sabut kelapa
Gambar 2. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap gramatur kertas Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa pada taraf nyata 5% penambahan komponen aditif, kombinasi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa maupun interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap gramatur yang dimiliki oleh kertas. Gramatur yang dihasilkan cenderung meningkat
Penggunaan selulosa dari Nata De Cassava dalam pembuatan kertas
seiring bertambahnya jumlah pulp nata de casava dalam kertas. Penggunaan aditif cenderung meningkatkan gramatur terutama pada kertas dengan proporsi sabut kelapa lebih banyak. Hal ini dikarenakan bahan aditif yang ditambahkan tersebut ikut menambah berat kertas dan gramaturnya. Adanya perekat dari tapioka membuat ikatan antar seratnya menjadi semakin kuat, sehingga jumlah serat dalam lembaran kertas akan semakin banyak. Hal ini akan membuat gramatur kertas menjadi bertambah.
121
2006 ada beberapa kertas yang masih memenuhi syarat yaitu 6-9 %. kontrol 10 Kadar air (%)
Vol 1. 2012
aditif
9 8 7 6 25:75
50:50
75:25
100:0
Proporsi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa
Gambar 4. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap kadar air kertas Indeks Tarik Kertas
Kadar Air Kertas Dari hasil analisis ragam yang dilakukan pada taraf 5%, penambahan komponen aditif tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air yang dimiliki oleh kertas. Begitu pula dengan kombinasi antara pulp nata de cassava dan sabut kelapa dan kombinasi antara faktor penambahan aditif dan kombinasi anatara kedua pulp. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap kadar air kertas dapat dilihat pada gambar 4. Umumnya, kadar air kertas yang diberi tambahan bahan aditif lebih rendah. Hal ini di duga karena bahan-bahan aditif yang ditambahkan ini mengisi celah antar serat sehingga memperkecil kemungkinan masuknya air kedalam celah-celah tersebut, khususnya akibat adanya tapioka yang berfungsi sebagai sizing. Tapioka dapat menghalangi akses terhadap gugus OH bebas pada selulosa mikrobial yang jumlahnya lebih banyak yang akan berikatan dengan hidrogen membentuk air. Demikian pula sabut kelapa yang memiliki sifat mudah menyerap air akibat adanya sel gabus yang dikandungnya bisa membuat kadar air kertas yang dihasilkan cenderung tinggi. Pada kertas dengan kandungan pulp nata de cassava 100%, ronggarongga antar seratnya semakin rapat sehingga jumlah gugus OH bebas menjadi sedikit, akibatnya kadar air yang dimiliki oleh kertas menjadi lebih rendah. Kadar air kertas yang dihasilkan berkisar antara 7.21893 sampai 10.45643%. Nilai ini apabila dibandingkan dengan kertas multiguna berdasarkan SNI 6601-2011 jauh lebih besar (3.5-5.5 %). Namun, untuk kertas medium menurut SNI 14-0094-
kontrol
0.025 Indeks tarik (kNm/g)
Gambar 3. Kertas dengan formulasi nata de cassava : sabut kelapa 25:75 (A), 50:50 (B), 75:25 (C), dan 100:0 (D)
Nilai indeks tarik yang dihasilkan berkisar antara 0.0033476 – 0.0293795 kNm/g. Nilai indeks tarik tertinggi yang dihasilkan ini masih lebih besar dari indeks tarik Acacia mangium yaitu 0.02568 kNm/g (Romadona, 2001) dan jerami untuk nilai terendahnya 0.02688 kNm/g (Ibnusantosa, 1987). Menurut Krystynowicz et al. (2005) selulosa mikrobial memiliki indeks kristalinitas yang tinggi (diatas 60%) dan derajat polimerisasi yang berbeda, biasanya antara 2,000-6,000, namun dalam beberapa penelitian derajat polimerisasinya bisa mencapai hingga 16,000-20,000 dimana derajat polimerisasi polimer dari tanaman berkisar antara 13,000-14,000. Tingginya indeks kristalinitas inilah yang membuat ketahanan tarik kertas dengan bahan selulosa mikrobial sangat tinggi. Selain itu, ukuran serat yang dimilikinya pun pendek sehingga membuat ikatan antar serat semakin kuat sehingga ketahanan tariknya ikut meningkat. Lain halnya dengan serat selulosa mikrobial yang kuat, sabut kelapa mempunyai serat yang rapuh sehingga indeks tarik yang dihasilkannya pun rendah. Diduga hal ini diakibatkan oleh seratnya yang bersifat amorfus dan kandungan ligninnya yang tinggi menyebabkan serat lebih kaku. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap indeks tarik kertas dapat dilihat pada gambar 5. aditif
0.02 0.015 0.01
0.005 0 25:75
50:50
75:25
100:0
Proporsi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa
Gambar 5. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap indeks tarik kertas
122
Khaswar syamsu. Et al
EJAII
Umumnya kertas yang ditambah aditif memiliki indeks tarik yang lebih tinggi. Sebab adanya penambahan tapioka dapat memberikan efek perekat terhadap jalinan serat yang terbentuk. Hasil analisis ragam yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pada taraf 5%, penambahan komponen aditif dan kombinasi antara pulp nata de cassava dan sabut kelapa memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks tarik kertas yang dimiliki, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks tarik yang dimiliki oleh kertas. Berdasarkan uji lanjut LSD dan Duncan yang dilakukan, kombinasi perlakuan pulp nata de cassava dan sabut kelapa 100:0 memberikan pengaruh terhadap indeks tarik kertas yang berbeda nyata pada taraf 5% dengan kombinasi perlakuan 25:75, namun kedua kombinasi pulp tersebut tidak berbeda nyata dengan kombinasi 50:50 dan 75:25.
Dari hasil analisis ragam yang dilakukan, diketahui bahwa penambahan komponen aditif tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks sobek yang dimiliki oleh kertas. Begitu pula interaksi antara faktor penambahan aditif dengan kombinasi pulp. Namun, kombinasi antara pulp nata de cassava dan sabut kelapa yang digunakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks sobek yang dimiliki oleh kertas dalam taraf nyata 5%. Setelah di uji lanjut dengan metode LSD dan Duncan, hasilnya menunjukkan bahwa kombinasi pulp nata de cassava dan sabut kelapa 100:0 memberikan pengaruh terhadap indeks sobek kertas yang berbeda nyata pada taraf 5% dengan pulp 25:75, 50:50 dan 75:25. Namun, antar ketiga kombinasi 25:75, 50:50 dan 75:25 tersebut tidak menghasilkan perbedaan nyata.
Indeks Sobek Kertas
Nilai daya serap air (Cobb60) pada permukaan kasar yang dihasilkan berkisar antara 28.220-183.917 g/m2 sedangkan untuk permukaan yang halus nilainya berkisar antara 46.798-168,171 g/m2. Gambar 7 yang menunjukkan pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap kemampuan daya serap air kertas, semakin banyak kandungan selulosa mikrobial yang terdapat dalam kertas semakin rendah nilai daya serap air yang dihasilkan. Kombinasi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa 25:75 memiliki kemampuan daya serap paling tinggi dibandingkan dengan kombinasi lainnya. Menurut penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Subiyanto et al. (2003), serbuk sabut kelapa mempunyai kemampuan untuk menyerap air sebesar 510% dan minyak sebesar 390% dari massa bahan penyerap dikarenakan mengandung sejumlah porsi tertentu jaringan sel-sel gabus. Kertas yang mengandung pulp selulosa mikrobial lebih banyak cenderung lebih rendah daya serap airnya karena jalinan antar serat yang membentuk kertas sangat rapat sehingga sulit dipenetrasi oleh air. Pada saat pembentukan lembaran, akibat adanya gaya gravitasi aliran air ke bawah, suspensi larutan yang terdiri dari komponen serat akan mengumpul pada bagian saringan alat pembentuk lembaran sehingga permukaannya menjadi kasar. Sedangkan pada sisi lainnya nantinya akan menempel pada alat cetak kertas sehingga permukaannya menjadi licin. Oleh karena itu, kerapatan bahan lebih padat pada bagian kasar daripada bagian licin. Hal ini bisa memungkinkan daya serap air menurun terutama pada komposisi kertas yang kandungan pulp nata de cassava lebih banyak. Dari hasil analisis ragam, penambahan komponen aditif dan permukaan sisi kertas yang diuji tidak memberikan pengaruh yang nyata
Nilai indeks sobek yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 2.5840 sampai 16.5987 mN m2/g. Indeks sobek yang dihasilkan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan indeks sobek Acacia mangium dengan nilai 2.24-4.7 mN m2/g (Romadona, 2001), jerami 3.94-5.38 mN m2/g dan bagas 5.88 mN m2/g (Ibnusantosa, 1987). Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap indeks sobek kertas ini dapat dilihat pada gambar 6. Nilai indeks sobek yang dihasilkan ini cenderung meningkat seiring meningkatnya komposisi pulp nata de cassava yang ditambahkan. Menurut Krystynowisch dan Bielecki (2005), selulosa mikrobial mempunyai beberapa keunggulan antara lain derajat kristalinitasnya tinggi, mempunyai kerapatan 300-900 kg/m3 dan elastis. Keunggulan ini membuat indeks sobek dari kertas yang mengandung pulp selulosa mikrobial dari nata de cassava relatif tinggi dibandingkan dengan kertas yang mengandung pulp sabut kelapa lebih banyak. Serat sabut kelapa mempunyai bilangan Runkel kelas III sehingga kertas yang dihasilkan lebih kaku. Indeks sobek (mN m2/g)
aditif kontrol
15 10 5 0 25:75
50:50
75:25
100:0
Proporsi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa
Gambar 6. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap indeks sobek kertas
Daya Serap Air
Penggunaan selulosa dari Nata De Cassava dalam pembuatan kertas
terhadap kemampuan daya serap air pada taraf 5%. Kombinasi antara pulp selulosa mikrobial dan pulp sabut kelapa memberikan pengaruh nyata terhadap kemampuan daya serap air di kedua sisi kertas. Setelah diuji lanjut dengan menggunakan metode LSD dan Duncan, diketahui bahwa kombinasi pulp nata de cassava dan sabut kelapa 100:0 berbeda nyata dengan kombinasi 25:75 dan 50:50 tetapi tidak berbeda nyata dengan kombinasi 75:25. Sedangkan untuk kombinasi 25:75 berbeda nyata dengan ketiga kombinasi yang lain. Hal yang sama terjadi juga dengan kertas yang memiliki kombinasi 50:50 untuk pulp nata de cassava dan sabut kelapa.
Nilai Cobb60 (g/m2)
200
aditif licin aditif kasar kontrol licin kontrol kasar
150 100 50 0
25:75 50:50 75:25 100:0 Proporsi pulp nata de cassava dengan pulp sabut kelapa
Gambar 7. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap kemampuan daya serap air kertas Derajat Putih Kertas Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai derajat putih kertas yang dihasilkan berkisar antara 8.15 sampai 35.1%, dimana derajat putih terendah dihasilkan oleh kertas dengan kombinasi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa 25:75. Sedangkan nilai derajat putih kertas tertinggi dihasilkan oleh kertas dengan komposisi 100% nata de cassava. Hal ini diduga disebabkan karena serat sabut kelapa merupakan bahan berlignoselulosa yang mengandung lignin 39,50% (Tyas, 2000). Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap nilai derajat putih kertas ini dapat dilihat pada gambar 8. Derajat putih kertas yang dihasilkan umumnya cenderung meningkat dengan bertambahnya kandungan selulosa mikrobial dalam kertas tersebut. Adanya penambahan komponen aditif juga dapat meningkatkan derajat putih kertas sebab kaolin dapat meningkatkan derajat putih kertas (Casey, 1980). Namun dari hasil analisis ragam yang dilakukan, penambahan aditif, kombinasi antara pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa serta interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih yang dimiliki oleh kertas pada taraf 5%. Nilai derajat putih yang dihasilkan ini cenderung lebih rendah apabila dibandingkan dengan derajat putih kertas dari pulp Eucalyptus sp.
123
dan P. merkusii tanpa proses pemutihan yaitu sebesar 29.89% dan 24,13% (Sitorus, 1989). Namun nilai ini lebih kecil dari derajat putih kertas dengan kombinasi pulp nata de cassava 100% dengan tambahan aditif. Apabila dibandingkan dengan standar untuk derajat putih kertas bond sesuai dengan SNI 2185-2010 yang nilai minimumnya 80 dan untuk derajat putih kertas multiguna sesuai SNI 6601-2010 yang nilai minimumnya 85, nilai derajat putih kertas yang dihasilkan jauh lebih rendah sebab kertas yang dibuat tidak mengalami proses pemutihan. nilai derajat putih (%)
Vol 1. 2012
kontrol aditif
25 20 15 10
5 0 25:75
50:50
75:25
100:0
Proporsi pulp nata de cassava dan sabut kelapa
Gambar 8. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap derajat putih kertas Opasitas Cetak Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai opasitas cetak kertas yang dihasilkan berkisar antara 45,99 sampai 97,08 dimana nilai terendah dihasilkan oleh kertas dengan kombinasi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa 100:0 tanpa aditif dan nilai tertinggi dihasilkan oleh kertas dengan kombinasi pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa 25:75 dengan penambahan aditif. Nilai opasitas cetak cenderung menurun dengan bertambahnya komposisi nata de cassava pada kertas. Kadar selulosa yang tinggi pada pulp nata de cassava menyebabkan sifat transparansi pada kertas meningkat sehingga opasitas cetak yang dimiliki oleh kertas menurun. Sedangkan pada pulp sabut kelapa, kadar ligninnya masih tinggi sehingga menyebabkan opasitas cetak yang dimiliki oleh kertas dengan komposisi pulp sabut kelapa lebih banyak menjadi lebih tinggi. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap nilai opasitas cetak kertas ini dapat dilihat pada gambar 9. Nilai opasitas cetak yang dihasilkan, apabila dibandingkan dengan SNI 2185-2010 yang disyaratkan untuk kertas bond yaitu minimal 80, sebagian sudah memenuhi syarat. Begitu pula persyaratan sebagai kertas multi guna sesuai dengan SNI 6601-2010 (minimal 85), kertas koran sesuai dengan SNI 7273-2008 (minimal 85), kertas cetak A sesuai dengan SNI 7274-2008 (80-96), dan kertas cetak B sesuai dengan SNI 7273-2008 (minimal 90).
124
Khaswar syamsu. Et al
EJAII
kontrol
nilai opasitas cetak
aditif
100 80 60
memberikan pengaruh terhadap opasitas cetak yang berbeda nyata pada taraf 5% dengan kombinasi pulp 25:75, 50:50 dan 75:25. Namun antar ketiga kombinasi pulp 25:75, 50:50 dan 75:25 tidak menghasilkan perbedaan yang nyata. Analisis konversi biomassa
40 20 0 25:75
50:50
75:25
100:0
proporsi pulp nata de cassava dan sabut kelapa
Gambar 9. Pengaruh komposisi pulp nata de cassava dan sabut kelapa serta penambahan aditif terhadap opasitas cetak kertas Dari hasil analisis ragam yang telah dilakukan, diketahui bahwa kombinasi antara pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa memberikan pengaruh yang nyata terhadap opasitas cetak yang dimiliki kertas dalam taraf 5%. Setelah di uji lanjut menggunakan uji LSD dan Duncan, hasilnya menunjukkan bahwa bahwa kombinasi antara pulp nata de cassava dan pulp sabut kelapa 100:0
Analisis konversi biomassa digunakan untuk menghitung seberapa besar peranan penggunaan sabut kelapa dan selulosa mikrobial dari nata de cassava dalam menghemat bahan baku kertas berupa kayu. Analisis ini dimulai dengan menghitung jumlah selulosa mikrobial dan sabut kelapa yang dihasilkan per hektar per tahunnya dengan luas masing-masing 100 ha. Perhitungan ini berdasarkan pada rendemen pulp yang didapat pada penelitian ini. Setelah itu, dihitung jumlah pulp Acacia mangium yang dapat dihemat dengan asumsi substitusi yang dilakukan adalah 50% selulosa mikrobial dan 50% sabut kelapa. Kemudian dapat diketahui berapa jumlah pohon yang dapat dihemat dan jumlah CO2 yang dapat diserap. Hasil analisis konversi biomassa dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisi konversi biomassa Analisa Hasil Selulosa mikrobial setelah perluasan lahan produksi 109,928.571 ton/ thn Pulp selulosa mikrobial 43,987.918 ton/ thn Sabut kelapa setelah perluasan lahan 92.08815 ton/ thn Pulp sabut kelapa 46.044 ton/ thn Pulp selulosa kayu yang dapat dihemat 44,033.962 ton/ thn Massa kayu Acacia mangium yang dihemat 82,429.730 ton/ thn Areal Acacia mangium yang dihemat 5,283.975 ha/ thn Jumlah Acacia mangium yang dihemat 8,808,356.438 pohon/ thn Jumlah penyerapan CO2 1,233,169.901 ton CO2/ thn
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Selulosa mikrobial dari nata de cassava dapat dikombinasikan dengan sabut kelapa untuk dijadikan sebagai bahan baku kertas. Rendemen pulp selulosa mikrobial dari nata de cassava dan sabut kelapa dalam penelitian ini adalah 80.03% dan 39.27%. Hasil pengujian yang telah dilakukan memberikan hasil nilai gramatur kertas 53.72-68.56 g/m2, nilai kadar air 7.22-10.46%, nilai indeks tarik kertas 0.0033 – 0.0293 kNm/g, nilai indeks sobek kertas 2.58-16.59 mN m2/g, nilai daya serap air untuk sisi kasar berkisar 28.22-183.92 g/m2 dan nilai daya serap air untuk sisi halusnya 46.79-168.17 g/m2. Nilai derajat putih kertas yang dihasilkan berkisar antara 8.15-35.1% sedangkan untuk opasitas cetak kertas yang dihasilkan, nilainya berkisar 45.99-97.08. Hasil analisis ragam pada taraf 5% menunjukkan bahwa penambahan komponen aditif
tidak berpengaruh nyata terhadap semua uji yang dilakukan. Kombinasi pulp yang digunakan berpengaruh nyata terhadap opasitas cetak kertas, indeks sobek, indeks tarik dan daya serap air. Hasil analisis konversi biomassa dengan asumsi kertas yang dibuat dengan 50% pulp nata de cassava dan 50% pulp sabut kelapa menunjukkan bahwa dengan perluasan lahan produksi masing-masing 100 hektar, dapat dihasilkan 43,987.918 ton pulp selulosa mikrobial/tahun dan 46.044 ton pulp sabut kelapa/tahun sehingga bobot Acacia mangium yang bisa dihemat sebanyak 82,429.730, dan areal Acacia mangium yang dihemat seluas 5,283.975 hektar/tahun. Jumlah ini setara dengan jumlah Acacia mangium yang dihemat sebanyak 8,808,356.438 pohon/ tahun. Jumlah penyerapan CO2 pun dapat ditingkatkan hingga 1,233,169.901 ton CO2/ tahun. Penghematan ini akan sangat berarti untuk mengurangi laju deforestasi hutan dan pemanasan global di dunia ini.
Vol 1. 2012
Penggunaan selulosa dari Nata De Cassava dalam pembuatan kertas
Saran 1. Untuk peningkatan kualitas kertas perlu dibuat alat pencetak kertas yang cocok untuk selulosa mikrobial yang dilengkapi dengan pompa vacum dan saringan yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran serat dari kombinasi pulp ini. 2. Dilakukan tahap pengeringan dengan alat pengering untuk menghindari hasil kertas yang kurang baik akibat lamanya proses pengeringan dan tahap penyempurnaan untuk memperbaiki kehalusan kertas, menyeragamkan ketebalan kertas dan menghaluskan noda dengan calendering. 3. Apabila ingin membuat kertas dengan warna putih bisa dilakukan proses bleaching yang disesuaikan dengan jenis kertas yang ingin dihasilkan. 4. Untuk memperbaiki permukaan fisik kertas dapat diberi bahan sizing yang bisa berasal dari lilin, resin maupun pati alami. 5. Perlu dilakukan penghitungan analisis kelayakan usaha pembuatan kertas agar dapat diaplikasikan pada industri. DAFTAR PUSTAKA Casey J.P. 1980. Pulp and Paper. Chemistry and Chemical Technology vol. 1. 3rd ed. New York: Interscience Publisher Inc. Fengel D, Wegerner G. 1984. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, reaksi-reaksi, Penerjemah: Sastrohamidjojo. Editor: Prawirohatmodjo. Gajah mada University Press. Yogyakarta. Gullichsen, J., Paulapuro, dan C. J. Fogeholm. 2000. Papermaking Science and Technology, Book 6A, Chemical Pulping. Finish Paper Engineers Association and TAPPI. Finland. Hardiyanti Siti Sartika. 2010. Kajian Penggunaan Selulosa Mikrobial Sebagai Bahan Baku Pembuatan Kertas. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://faostat.fao.org. Diakses pada Desember 2011 Ibnusantosa, G. 1987. Pulp untuk Kertas. Lembaga Penelitian Selulosa, Bandung. Krystynowicz A, Bieclecki S, Turkiwiez M, Kalinowska H. 2005. Bacterial Cellulosa Polisacharide and polyamides in the food industry. Willey-VCH, Weinheim.
125
Misgiyarta. 2011. Produksi Nata de Cassava dengan Substrat Limbah Cair Tapioka. http://pascapanen.litbang.deptan.go.id. [19 februari 2012]. Romadona, R. 2001. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dengan Bahan Kimia Terhadap Pelunakan Kayu Acacia mangium dalam Pembuatan Pulp Putih Secara Mekanis. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus Charles. 1989. Pengaruh Daur Ulang Kertas Terhadap Sifat Fisik Kertas yang Dihasilkan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Smook Gary A. 1994. Handbook for Pulp & Paper Technologiest Second Ed. Canada: Friesen Printers. SNI (Standard Nasional Indonesia) 14-0094-2006. Persyaratan Mutu Kertas Medium. Departemen Perindustrian, Jakarta. SNI (Standard Nasional Indonesia) 2185-2010. Persyaratan Mutu Kertas Bond. Departemen Perindustrian, Jakarta. SNI (Standard Nasional Indonesia) 6601-2011. Persyaratan Mutu Kertas Multiguna. Departemen Perindustrian, Jakarta. SNI (Standard Nasional Indonesia) 7273-2008. Persyaratan Mutu Kertas Cetak B. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. SNI (Standard Nasional Indonesia) 7274-2008. Persyaratan Mutu Kertas Cetak A. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Subiyanto, B., Saragih, R., dan Husein, E. 2003. Pemanfaatan Serbuk Sabut Kelapa Sebagai Bahan Penyerap Air dan Oli Berupa Panel Papan Partikel. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, Vol.1. No.1. Hlm 26-34. Suryani Ani, Darwis Aziz, Syamsu Khaswar, Yarni Desi. 2000. Proses Produksi dan pemurnian Selulosa Mikrobial untuk Membran Mikrofiltrasi. IND Paten 0 000 619 S. Syafii W. 2000. Sifat Pulp Daun Kayu Lebar dengan Proses Organosolv. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 10 (2): 54-55. Tejano. 1985. State of Art of Coconut Coir Dust and Husk Utilization General overview). Philippine Journal of Coconut Studies, Filipina. 10(2): 36-41. Tyas S.I.S. 2000. Studi Netralisasi Limbah Serbuk Sabut Kelapa (Cocoapeat) sebagai media Tanam. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.