PUSTAHA Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi ISSN: 1858 – 1447 Penanggung Jawab Ketua Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Pemimpin Umum A. Ridwan Siregar Pemimpin Redaksi Jonner Hasugian Sekretaris Himma Dewiyana Lubis Redaksi Ahli A. Ridwan Siregar (USU) Badollahi Mustafa (IPB) Belling Siregar (UNIMED) Ninis Agustini Damayani (UNPAD) Siti Sumarningsih (UI) Redaksi Pelaksana Jonner Hasugian Zaslina Zainuddin Zurni Zahara Samosir Irawati A. Kahar Sirkulasi Laila Hadri Mucklis Alamat Redaksi/Penerbit Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara Jl. Universitas 19, Kampus USU, Medan, 20155 Tel.: 061-8223581 Fax: 061-8213108 Situs Web: dspi.usu.ac.id/pustaha-jurnal E-mail:
[email protected]
Pengantar dari Redaksi
Horas...
PUSTAHA Pada bulan Desember 2008 ini, Jurnal PUSTAHA kembali hadir di hadapan pembaca dengan menyajikan enam artikel ilmiah. Edisi ini merupakan volume keempat, nomor dua dari penerbitan jurnal PUSTAHA tahun 2008. Dalam edisi ini kami menyajikan lima tulisan dengan tema yang beragam, akan tetapi tetap konsisten dalam ruang lingkup Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jonner Hasugian memunculkan isu mengenai literasi informasi dengan judul artikel Urgensi Literasi Informasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi, Zaslina Zainuddin menulis artikel berupa hasil penelitian dengan judul Hubungan Intensi Pro-Sosial Pustakawan dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumatera Utara, demikian halnya Zurni Zahara Samosir menulis tentang Faktor Penyebab Stres Kerja Pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Sedangkan Himma Dewiyana menulis artikel dengan judul Uji Ketergunaan Antarmuka Situs Web Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Hotlan Siahaan menulis judul artikel Costumer Relationship Management (CRM) sebagai Sarana Meraih Image Positif untuk Perpustakaan, serta Ishak dengan judul artikel Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi. Para pembaca yang budiman, sebagaimana telah kami sampaikan pada edisi sebelumnya bahwa sudah menjadi harapan dan tekad kami untuk menyajikan tulisan-tulisan yang bernas dan seimbang pada sejumlah kajian di bidang perpustakaan dan informasi pada edisi selanjutnya. Untuk itu, Redaksi Jurnal PUSTAHA mengundang para akademisi dan pemerhati bidang perpustakaan dan informasi untuk menyumbangkan hasil penelitian, gagasan dan pemikirannya melalui jurnal ini. Akhir kata, saran dan kritik pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan jurnal ini, baik dari segi tampilan maupun muatan. Selamat membaca.
Redaksi
ii
Daftar Isi PUSTAHA Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi Volume 4, No. 2, Desember 2008 ISSN: 1858 – 1447
Susunan Redaksi
i
Pengantar dari Redaksi
ii
Daftar Isi
iii
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Urgensi Literasi Informasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Jonner Hasugian
34
Hubungan Intensi Pro-Sosial Pustakawan dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumatera Utara Zaslina Zainuddin dan Rahmat Hidayat
45
Faktor Penyebab Stres Kerja Pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Zurni Zahara Samosir dan Iin Syahfitri
60
Uji Ketergunaan Antarmuka Situs Web Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Himma Dewiyana
70
Costumer Relationship Management (CRM) sebagai Sarana Meraih Image Positif untuk Perpustakaan Hotlan Siahaan
80
Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi Ishak
87
Petunjuk untuk Penulis
94
iii
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Urgensi Literasi Informasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Jonner Hasugian Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Abstract Information literacy is knowing when and why some one need information, where to find it, and how to evaluate, use and communicate it in an ethical manner. To be information literate, a person must be able to recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate and use effectively the needed information. The International Bureau of Education (the International Comission on Education for the 21 st Century), UNESCO recommended curriculum based in competency with four pillars: learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be. Information literacy has an important role for achieving them. Keywords: information literacy, curriculum based in competency 1. Pendahuluan Dewasa ini berbagai lembaga pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi ada yang mulai, sedang, dan telah membangun program literasi informasi. Literasi informasi yang merupakan terjemahan dari information literacy dalam pengertian ringkas diartikan sebagai keberaksaraan informasi atau kemelekan informasi. Penguasaan literasi informasi dipandang sangat penting dalam proses pembelajaran sehingga menjadi bagian dari program pendidikan. Dalam lingkup yang lebih luas, bahwa program literasi informasi sebenarnya adalah program pemberdayaan masyarakat khususnya dalam bidang informasi. Literasi informasi berhubungan erat dengan tugas pokok pelayanan perpustakaan. Dalam perkembangannya, para pustakawan terutama pustakawan pada perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, umumnya memandang keterampilan yang hendak dikembangkan dalam program literasi informasi adalah berupa keterampilan yang tidak mengundang permasalahan (non-problematis). Artinya, bahwa kemampuan seseorang untuk mencari dan menemukan informasi adalah berupa serangkaian keterampilan yang dipindahkan dari pustakawan kepada pengguna untuk tujuan memudahkan pelayanan dan agar tidak merepotkan pustakawan. Selanjutnya, setelah
seorang siswa atau mahasiswa memperoleh keterampilan itu, ia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta pada gilirannya menambah motivasi untuk belajar. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, programprogram pelatihan literasi informasi diperluas menjadi pelatihan tentang dunia teks pada umumnya yaitu bagaimana cara yang efektif dan efisien untuk mencari dan menemukan dokumen dari perpustakaan, selanjutnya ditambah dengan penumbuhan budaya digital agar mampu dan terbiasa melakukan akses terhadap berbagai sumber daya informasi elektronik. Akses terhadap sumberdaya informasi elektronik saat ini sudah menjadi keharusan mengingat volume informasi dalam format elektronik yang tersedia saat ini diperkirakan jauh melebihi informasi yang tersedia dalam format tercetak. Akibatnya, proses pembelajaran harus memanfaatkan informasi dalam format elektronik. Keterampilan mencari dan menemukan informasi menjadi faktor pendukung dan semacam fasilitas untuk belajar secara lebih efektif dan efisien. Seseorang yang sudah melek informasi dianggap akan mampu menjelajahi lautan dan belantara informasi yang semakin lama semakin luas dan rumit, baik yang menggunakan sumber-sumber tercetak maupun yang elektronik. Program penguasaan literasi informasi dianggap dapat menciptakan keberaksaraan yang berbasis keterampilan Halaman 34
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
(skills-based literacy). Termasuk di dalam keterampilan ini adalah kemampuan mencari informasi, memilih sumber informasi secara cerdas, menilai dan memilah-milah sumber informasi, menggunakan serta menyajikan informasi secara etis (Webber dan Johnston, 2000). Literasi informasi sebagai kemampuan mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif bukanlah merupakan kemampuan atau keterampilan baru yang muncul sebagai tuntutan dari era informasi. Kebutuhan akan penguasaan kemampuan ini telah muncul sejak puluhan tahun lalu, yang berubah hanyalah jumlah dan bentuk dari informasi yang tersedia serta cara untuk mengakses dan mendapatkannya. Lima puluh tahun yang lalu sumber informasi yang tersedia pada umumnya didominasi media tercetak seperti buku, surat kabar, jurnal, dan terbitan pemerintah. Akan tetapi pada saat ini sumber informasi telah tersedia dalam bentuk yang lebih beragam seperti CD-ROM, pangkalan data terpasang, internet, dan lain sebagainya. Walaupun kebutuhan untuk mencari, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif telah ada sejak lama, tetapi kemampuan yang dibutuhkan pada saat ini terus berkembang menjadi lebih kompleks sejalan dengan kemajuan jaman dan perkembangan teknologi yang digunakan. Perkembangan teknologi informasi yang digunakan untuk menghendel pengelolaan informasi telah menunjukkan dan menandai realita bahwa semakin pentingnya penguasaan literasi informasi. Sejak munculnya teknologi informasi, produksi informasi telah meningkat dengan sangat tajam dan diperkirakan akan terus meningkat melampaui persentase produksi sebelumnya. Literasi informasi menjadi sangat penting di era informasi sekarang ini karena para individu dihadapkan dengan beragam pilihan informasi yang tersedia. Teknologi informasi membuat informasi menjadi begitu mudah diakses dan digunakan, tetapi kecepatan dan kemudahan memperoleh informasi hanya akan diperoleh jika pencari informasi memiliki kompetensi dalam literasi informasi. Penguasaan kompetensi literasi informasi tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa yang masih mengikuti perkuliahan tetapi juga bermanfaat di dunia kerja mereka nantinya. Halaman 35
Pentingnya penguasaan kompetensi literasi informasi disadari oleh sebahagian besar pengelola pendidikan tingggi, akan tetapi mungkin masih banyak juga yang belum menyadarinya. Bagi lembaga perguruan tinggi yang sudah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, maka penguasaan literasi informasi menjadi kompetensi yang sangat penting dimiliki baik mahasiswa maupun dosen. Perguruan tingggi yang telah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi haruslah tanggap dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya, sehingga wajib untuk membekali dosen dan mahasiswanya dengan kompetensi literasi informasi. Penguasaan literasi informasi tidak hanya bertujuan untuk menjadikan mahasiswa sebagai individu yang information literate, yang mampu menyelesaikan tugas-tugas akademisnya dengan baik, tetapi juga untuk membekali mereka dengan pemahaman yang mendalam tentang literasi informasi karena merekalah nantinya yang akan menularkan dan mengajarkan kompetensi ini ke lingkungan kerjanya. Tulisan ini mencoba menguraikan pemahaman tentang konsep literasi informasi, modelnya dan urgensinya dalam kurikulum berbasis kompetensi pada perguruan tinggi. 2. Literasi Informasi Definisi tentang literasi informasi sangat banyak dan terus berkembang sesuai kondisi waktu dan perkembangaan lapangan. Dalam rumusan yang sederhana literasi informasi adalah kemampuan mencari, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif. Hakekat dari literasi informasi adalah seperangkat keterampilan yang diperlukan untuk mencari, menelusur, menganalisis, dan memanfaatkan informasi (Bundy, 2001). Mencari informasi dapat dilakukan ke perpustakaan, toko buku, pusatpusat informasi, di Internet dan sebagainya. Menelusur adalah upaya untuk menemukan kembali informasi yang yang telah disimpan. Jika ke pepustakaan diperlukan alat penelusuran yaitu katalog, sedangkan untuk mencari informasi ke Internet diperlukan search engine. Dalam konteks perpustakaan dan informasi, literasi informasi selalu dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan secara benar sejumlah informasi yang tersedia baik di dalam
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
perpustakaan maupun yang berada di luar gedung perpustakaan. Konsep literasi informasi sebenarnya telah diartikan dan dilakukan dalam berbagai cara sejak awal tahun tujuh puluhan. Semula istilah yang sering digunakan adalah seperti study skills, research skills, dan library skills dan cenderung digunakan dalam konteks kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, literasi informasi merukan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan/atau pembelajaran. Sedangkan dalam lingkungan kerja sering digunakan istilah information competencies dan information proficiencies. Akan tetapi, apapun istilah yang digunakan, bahwa berbagai istilah tersebut tetap merujuk kepada kemampuan mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Kalaupun istilah yang digunakan untuk menyatakan kemampuan ini berbeda-beda, hal itu tergantung kepada lingkungannya. Sebagai contoh, sampai dengan pada tahun 1980-an istilah literasi informasi belum begitu dikenal di Indonesia, istilah yang dikenal adalah keterampilan perpustakaan (library skill) karena pada masa itu penggunaan sumberdaya informasi elektronik khususnya internet masih langka. Akan tetapi setelah akhir tahun 1990an penggunaan sumberdaya informasi elektronik khususnya internet di perguruan tinggi sudah membudaya sehingga istilah literasi informasi semakin populer. Terdapat kaitan antara ketersediaan sumberdaya informasi elektronik dengan penggunaan istilah literasi informasi. Dari sisi pandang perpustakaan bahwa pada sejumlah negara yang tingkat pemerataan fasilitas internetnya sudah merata, maka tingkat literasi informasi penduduknya cenderung merata dan khusus pada perguruan tingggi pelatihan literasi informasi melalui user education telah dapat dilakukan dalam berbagai format dengan memanfaatkan fasilitas internet. Work Group on Information Literacy dari California State University, mendefinisikan literasi informasi sebagai kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dalam berbagai format. Untuk dapat melakukannya maka perncari informasi harus mampu menunjukkan sejumlah keahlian dalam suatu proses yang terpadu, yaitu: a) Menyatakan pertanyaan, permasalahan, atau isu penelitian.
b) Menentukan informasi yang dibutuhkan untuk pertanyaan, permasalahan, atau isu penelitian. c) Mengetahui tempat/letak dan menemukan informasi yang relevan. d) Mengorganisasikan informasi. e) Menganalisa dan mengevaluasi informasi f) Mensintesa informasi. g) Mengkomunikasikan dengan menggunakan berbagai jenis teknologi informasi. h) Menggunakan perangkat teknologi untuk memperoleh informasi. i) Memahami etika, hukum, dan isu-isu sosial politik yang terkait dengan informasi dan teknologi informasi. j) Menggunakan, mengevaluasi, dan bersifat kritis terhadap informasi yang diterima dari media massa. k) Menghargai bahwa keahlian yang diperoleh dari kompetensi informasi memungkinkan untuk belajar seumur hidup (California State University, 2002). Dari berbagai definisi tentang literasi informasi yang telah dikembangkan oleh berbagai institusi pendidikan, organisasi profesional dan individual, pada umumnya memiliki kesamaan dengan definisi yang ditawarkan dalam Final Report of the American Library Association (ALA). Dinyatakan bahwa literasi informasi adalah serangkaian kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara efektif. Literasi informasi adalah serangkaian kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menyadari kapan informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, menggunakan, dan mengkomunikasikan informasi secara efektif. Istilah informasi tidak terbatas hanya dalam bentuk tercetak akan tetapi juga dalam format yang lain. 3. Literasi Informasi dan Dunia Perguruan Tinggi Ketersediaan sumberdaya informasi merupakan faktor penting dalam dunia perguruan tinggi. Pernyataan klasik menyatakan bahwa perpustakaan sebagai pusat tersediaanya berbagai sumberdaya informasi disebut sebagai jantungnya perguruan tinggi. Akan tetapi bila kemampuan untuk memanfaatkan sumberdaya Halaman 36
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
tersebut tidak dimiliki maka sumberdaya tersebut akan menjadi sesuatu yang tidak berdaya. Untuk itulah literasi informasi menjadi sesuatu yang sangat urgen. Urgensi literasi informasi tidak hanya untuk mahasiswa melainkan untuk seluruh sivitas akademika termasuk dosen, laboran, dan staf lainnya. Literasi informasi pada dunia perguruan tinggi dianggap sebagai serangkaian keterampilan yang bersifat generik dan dapat diterapkan di segala bidang ilmu. Pustakawan dan penyelenggara pendidikan memberikan program-program dasar bagi para mahasiswa baru dengan harapan mereka akan dapat mengembangkan diri lebih lanjut di sepanjang masa belajar mereka. Program-program literasi informasi di perguruan tinggi pada umumnya berdasarkan pandangan untuk keterampilan mencari, menemukan, dan menggunakan informasi. Keterampilan seperti itu disebut keterampilan teknis. Dari sudut pandang pendidikan, pada umumnya program literasi informasi memakai prinsip-prinsip yang menekankan pada perubahan keadaan mental dan pikiran. Pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah pendekatan Cartes (Cartesian approach) yaitu pendidikan yang berdasarkan pandangan bahwa proses belajar dianggap berhasil jika ada perubahan keadaan mental misalnya dari bodoh menjadi pintar. Munculnya beragam pilihan informasi yang tersedia baik itu tercetak, elektronik, image, spatial, suara, visual, maupun yang bersifat numerikal membuat literasi informasi menjadi semakin penting di era informasi seperti sekarang ini. Permasalahan yang terjadi bukanlah tidak tersedianya informasi yang cukup, tetapi karena begitu banyaknya informasi yang tesedia dalam berbagai format sehingga menimbulkan pertanyaan tentang keaslian, kesahihan, dan kebenarannya. Selain itu, masalah lain yang muncul dalam berinteraksi dengan informasi adalah waktu yang tidak pernah cukup dan sulit mengetahui informasi apa saja yang tersedia. Healy (2002) mengungkapkan bahwa ada dua masalah utama dalam informasi yaitu bagaimana memiliki waktu yang cukup untuk mengaksesnya dan bagaimana mengetahui informasi apa yang tersedia saat ini. Boyer (1997) menyatakan bahwa memberdayakan peran informasi merupakan Halaman 37
tujuan penting dari pendidikan. Ia menyatakan, informasi merupakan sumber yang sangat berharga. Pendidikan harus dapat memberdayakan semua orang untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Memang disadari bahwa untuk merubah informasi menjadi pengetahuan bukanlah perkerjaan yang mudah. Proses pembejaran sangat berpengaruh untuk merubah informasi menjadi pengetahuan. Pengaruh proses itu akan semakin kuat bila didukung oleh kompetensi literasi informasi yang baik. Manfaat kompetensi literasi informasi dalam dunia perguruan tinggi adalah: a) Menyediakan metode yang telah teruji untuk dapat memandu mahasiswa kepada berbagai sumber informasi yang terus berkembang. Sekarang ini individu berhadapan dengan informasi yang beragam dan berlimpah. Informasi tersedia melalui perpustakan, sumber-sumber komunitas, organisasi khusus, media, dan internet. b) Mendukung usaha nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Lingkungan belajar yang proaktif mensyaratkan setiap mahasiswa memiliki kompetensi literasi informasi. Dengan keahlian informasi tersebut maka mahasiswa akan selalu dapat mengikuti perkembangan bidang ilmu yang dipelajarinya. c) Menyediakan perangkat tambahan untuk memperkuat isi perkuliahan. Dengan kompetensi literasi informasi yang dimilikinya, maka mahasiswa dapat mencari bahan-bahan yang berhubungan dengan perkuliahan sehingga dapat menunjang isi perkuliahan tersebut. d) Meningkatkan pembelajaran seumur hidup. Meningkatkan pembelajaran seumur hidup adalah misi utama dari institusi pendidikan tinggi. Dengan memastikan bahwa setiap individu memiliki kemampuan intelektual dalam berpikir secara kritis yang ditunjang dengan kompetensi informasi yang dimilikinya maka individu dapat melakukan pembelajaran seumur hidup secara mandiri (California State University 2001). Selain bermanfaat dalam dunia pendidikan, literasi informasi menjadi penting untuk dikuasai berdasarkan fakta-fakta yang ditemui
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
pada dunia kerja. Beberapa fakta yang menunjukkan pentingnya kompetensi informasi dalam dunia kerja antara lain: jumlah informasi yang diperoleh individu dalam sehari sangat banyak, kantor-kantor menghasilkan informasi dalam bentuk dokumen yang sangat banyak per tahun, pubkilkasi dunia terus meningkat dan pada umumnya setiap pekerja selalu meluangkan waktu untuk membaca. Dengan demikian literasi informasi juga sangat penting untuk dunia kerja.
informasi untuk pendidikan tinggi menyediakan kerangka kerja untuk mengidentifikasikan individu yang memiliki kompetensi informasi. Dalam kompetensi ini, ada lima standar dan dua puluh indikator performance. Standar berfokus pada kebutuhan mahasiswa di pendidikan tinggi. Standar ini juga menampilkan daftar hasil untuk menilai perkembangan kompetensi informasi mahasiswa. Dalam standar kompetensi literasi informasi dari ACRL, seseorang disebut information literate jika mampu:
4. Standar Kompetensi Literasi untuk Pendidikan Tinggi
(1) Menentukan sifat dan cakupan informasi yang dibutuhkan a. Mendefinisikan kebutuhan informasi. b. Mengidentifikasi beragam jenis dan format dari sumber-sumber nformasi yang potensial. c. Mempertimbangkan biaya dan manfaat dari pencarian informasi yang dibutuhkan. d. Mengevaluasi kembali sifat dan cakupan informasi yang dibutuhkan.
Literasi informasi diperlukan untuk meningkatkan kualitas diri dalam rangka belajar seumur hidup. Ketika seseorang bermaksud meningkatkan taraf hidupnya, maka dia memerlukan sesuatu yang lebih dari dirinya yaitu perkembangan diri, baik ketrampilan, pendidikan atau kinerja yang lebih baik. Proses untuk menjadi lebih adalah sesuatu yang dapat dicapai melalui proses belajar. Kemampuan untuk dapat belajar secara mandiri akan membuat proses yang dilalui lebih mudah dengan berbekal kemampuan literasi informasi. Ketrampilan baru hanya dapat diperoleh dengan menjalani proses belajar. Dalam proses belajar itupun memerlukan informasi yang tepat dan benar. Bagi mahasiswa, kemampuan ini akan menentukan banyaknya informasi yang dapat diserap, dan lebih dari itu mahasiswa makin mampu menyelesaikan masalah secara kritis, logis, dan tidak mudah diperdaya oleh informasi yang diterimanya tanpa evaluasi. Untuk itu diperlukan standar kompetensi literasi informasi yang perlu dipahami agar tidak larut diperdaya informasi. Rumusan tentang standar kompetensi literasi informasi untuk pendidikan tinggi pernah dilakukan oleh Association of College & Research Libraries Standards Committee dan hasilnya juga diakui oleh Tlie Board of Directors of the Association of College and Research Libraries (ACRL) dan pada sauatu pertemuan yang diselenggarakan oleh American Library Asociation di San Antonio, Texas (Association of College and Research Libraries, 2000). ACRL meminta pengesahaan pengumuman standar ini dari para profesional dan asosiasi akreditasi di perguruan tinggi. Standar kompetensi literasi
(2) Mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien a. Menyeleksi metode pencarian atau sistem temu kembali informasi yang paling tepat untuk mencari informasi yang dibutuhkan. b. Membangun dan menerapkan strategi penelusuran yang efektif. c. Menemukan kembali informasi secara on-line atau secara pribadi menggunakan beragam metode. d. Mengubah strategi penelusuran jika perlu. e. Mengutip, mencatat, dan mengolah informasi dan sumber-sumbernya. (3) Mengevaluasi informasi dan sumbersumbernya secara kritis a. Meringkas ide utama yang dapat dikutip dari informasi yang terkumpul. b. Mengeluarkan dan menggunakan kriteria awal untuk mengevalusi informasi dan sumber-sumbernya. c. Mengumpulkan ide-ide utama untuk membangun konsep baru. d. Membandingkan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu untuk menentukan nilai tambahnya, kontradiksi, atau karakteristik unik lainnya dari informasi. Halaman 38
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
e. Menentukan apakah pengetahuan baru memiliki dampak terhadap sistem nilai seseorang dan menentukan cara untuk menyatukan perbedaan-perbedaan. f. Membuktikan kebenaran dari pemahaman dan interpretasi informasi melalui diskusi dengan individu lain, para ahli, dan/atau praktisi. g. Menentukan apakah query (pertanyaan) awal perlu direvisi (4) Menggunakan informasi untuk menyelesaikan tujuan tertentu a. Menggunakan informasi baru dan yang terdahulu untuk perencanaan dan penciptaan hasil yang istimewa atau performa. b. Merevisi proses pengembangan untuk hasil atau performa. c. Mengkomunikasikan hasil atau performa secara efektif kepada orang lain. (5) Memahami aspek ekonomi, hukum, dan sosial yang berkaitan dengan penggunaan informasi a. Memahami isu-isu ekonomi, hukum dan aspek sosial ekonomi seputar informasi dan teknologi informasi. b. Mengikuti peraturan/hukum serta kebijakan institusi dan etika yang berhubungan dengan akses dan penggunaan sumber-sumber informasi. c. Menghargai penggunaan sumber-sumber informasi dalam mengkomunikasikan produk atau performa. 5. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Literasi Informasi Literasi informasi membentuk dasar bagi pembelajaran seumur hidup. Hal ini berlaku umum bagi semua disiplin, bagi semua lingkungan belajar, dan bagi semua tingkatan pendidikan. Dengan literasi informasi, mahasiswa dapat menguasai isi materi dan memperluas penelitian, mengarahkan diri sendiri, serta memiliki kontrol yang lebih besar terhadap proses pembelajaran. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah model kurikulum yang disarankan oleh the International Bureau of Education (the Halaman 39
International Comission on Education for the 21 st Century), UNESCO yang terkenal dengan empat pilar pendidikan berdasarkan tujuan belajar yaitu: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Untuk pendidikan tinggi di Indonesia penyusunannya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 yang menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Dalam Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu". KBK adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofis, kekuatan, dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu. Implementasi KBK di perguruan Tinggi adalah memperlakukan kelima kelompok mata kuliah tersebut sebagai kelompok kompetensi, sehingga setiap matakuliah menjabarkan kompetensi yang dikembangkan matakuliah tersebut dan setiap mata kuliah memiliki matriks kompetensi. Setelah itu dapat dikembangkan matriks yang menggambarkan sumbangan setiap matakuliah terhadap kelima kategori kompetensi.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Para ahli di bidang pendidikan menyadari bahwa bagian yang sangat penting dari pendidikan yang menerapkan kurikulum berbasis kompetensi adalah terletak pada kemampuan mahasiswa untuk dapat menemukan informasi bagi dirinya sendiri. Jika mahasiswa lulus dari perguruan tinggi tanpa mampu menemukan, mensintesa, dan mengevaluasi informasi, maka mereka tidak akan memiliki keahlian yang diperlukan untuk bertahan dalam bidang apapun. Lebih jauh lagi, walaupun mahasiswa dapat mengingat materi yang diajarkan dengan hampir sempurna, namun karena tingkat perubahan suatu pengetahuan terjadi dengan begitu cepat dari apa yang dipelajari pada saat ini khususnya pada bidangbidang tertentu sehingga pengetahuan tersebut tidak akan akurat dan relevan lagi beberapa tahun yang akan datang. Untuk itu, kemampuan literasi informasi sangat diperlukan untuk membantu memperbaharui pengetahuan kita sendiri. Dalam komunitas informasi pada saat ini, hasil yang paling penting dalam proses pembelajaran bagi semua mahasiswa adalah kemampuan mereka untuk dapat berfungsi sebagai pembelajar seumur hidup yang mandiri. Hal yang paling mendasar untuk tujuan tersebut adalah literasi informasi. Urgensi dari literasi informasi pada perguruan tinggi adalah, mahasiswa diharapkan dapat melakukan pembelajaran mandiri, oleh karena itu mereka harus memiliki kemampuan yang baik dalam mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan. Proses pembelajaran untuk menjadi melek informasi atau information literate diintegrasikan dengan proses pembelajaran. Pada dunia pendidikan tinggi program literasi informasi kemudian dikaitkan dengan konsep belajar learning how to learn yaitu belajar bagaimana cara untuk belajar (Kapitzke, 2003). Pengertian belajar bagaimana cara untuk belajar adalah mengajarkan cara belajar yang mengarahkan dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan memperluas materi secara mandiri melalui diskusi, observasi, studi literatur dan studi dokumentasi (metode inquiry) dan cara belajar yang dapat menumbuhkan dan memupuk motivasi internal peserta didik untuk belajar lebih jauh dan lebih dalam. Dengan konsep tersebut maka peserta didik akan menjadi aktif belajar untuk
menggali dan mencari informasi dari berbagai sumber termasuk salah satunya di perpustakaan. Oleh karena itu pembekalan literasi informasi menjadi sangat urgen. Literasi informasi sebagai kemampuan menggali dan menemukan informasi serta mengolah informasi untuk kemudian digunakan dalam pengambilan keputusan atau kesimpulan menjadi sangat penting bagi mahasiswa. Literasi informasi dibutuhkan dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi yang mensyaratkan peserta didik untuk memanfaatkan pelbagai sumber informasi yang tersedia dalam pelbagai format. Ada dua hal yang membuat perlunya literasi informasi, yaitu kebutuhan akan kemampuan belajar terusmenerus serta mandiri agar seseorang dapat hidup sukses dalam masyarakat informasi, dan secara khusus, penerapan kurikulum berbasis kompetensi di sekolah dan perguruan tinggi. 6. Implementasi Model Literasi Informasi Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk memahami kebutuhan informasi, mencari dan menentukan informasi yang dibutuhkan, membangun atau menyusun informasi yang baru secara etis dan mempresentasikan/menyajikan kepada audiens yang tepat. Individu yang memiliki kemampuan itu adalah orang literat informasi yaitu mereka yang mampu belajar secara mandiri sepanjang hidupnya. Untuk memiliki kemampuan tersebut ada beberapa langkah yang harus dikuasai. Pada dasarnya ada banyak model literasi informasi. Dalam setiap model literasi disusun langkah-langkah atau prosedur untuk melaksankannya. Langkahlangkah tersebut disusun sebagai suatu model yang disebut model literasi informasi. Ada dua model literasi yang sering digunakan yaitu The Big6 dan Empowering8. The Big6 adalah model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B. Eisenberg dan Robert E. Berkowitz pada tahun 1987 (Gunawan, 2008). Menurut model ini literasi informasi terdiri dari enam keterampilan dan dua belas langkah, dimana setiap keterampilan
Halaman 40
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
terdiri dari dua langkah. Adapun keenam keterampilan tersebut adalah seperti berikut: 6 Keterampilan 1. Perumusan Masalah 2. Strategi Pencarian Informasi 3. Lokasi dan Akses
4. Pemanfaatan Informasi 5. Sintesis
6. Evaluasi
12 Langkah 1.1. Merumuskan masalah 1.2. Mengidentifikasi yang diperlukan 2.1. Menentukan sumber 2.2. Memilih sumber terbaik 3.1. Mengalokasi sumber secara intelektual dan fisik 3.2. Menemukan informasi di dalam sumber-sumber tersebut 4.1. Membaca, mendengar, meraba dsb 4.2. Mengekstraksi informasi yang relevan 5.1. Mengorganisasikan informasi dari pelbagai sumber 5.2. Mempresentasikan informasi tersebut 6.1. Mengevaluasi hasil (efektivitas) 6.2. Mengevaluasi proses (efisiensi)
Untuk memperoleh keterampilan literasi seperti disebut di atas, kepada mahasiswa perlu diberikan latihan literasi informasi. Berikut contoh implementasi untuk melakukan 6 langkah di atas. Misalnya kepada beberapa orang mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan diberi tugas untuk memahami konsep perpustakaan digital. Sesuai model literasi The Big6 tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: Langkah 1: Perumusan Masalah Setelah mendapat tugas seperti disebut di atas, maka langkah pertama adalah memahami masalah tugas secara keseluruhan dengan cara: (a) Brainstorming dengan kelompok untuk memastikan bentuk, isi, kebutuhan untuk menyelesaikan tugas. Cara ini digunakan untuk menggali, mempertajam, dan mengembangkan gagasan dan penemuan masalah. Brainstorming dapat dilakukan melalui visualisasi pemikiran kita dan mengajukan pertanyaan. Gunakan pertanyaan 5W1H (what, when, who, why, where, dan how) untuk memperjelas area topik tugas dan memperjelas tugas (b) Clustering dapat digunakan untuk membuat hubungan dari bagian-bagian topik Halaman 41
sehingga tampak relasinya dengan menggunakan bagan dan garis, atau menggunakan gambar sketsa. (c) Freewriting adalah menulis bebas tentang apa saja yang berkaitan dengan topik atau tugas. Gunakan freewriting untuk menyatakan atau menggambarkan proyek secara tulisan. Hasil dari proses di atas adalah pernyataan atau penjabaran dari tugas yang menjadi rumusan masalah. Rumusan masalah diperoleh setelah diidentifikasi melalui berbagai cara. Langkah 2: Strategi Pencarian Informasi Setelah mampu menyatakan dan menjabarkan masalah dalam tugas, langkah berikutnya adalah menentukan kebutuhan untuk menjawab masalah. Untuk itu diperlukan strategi pencarian informasi untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas/ proyek tersebut. Ada dua langkah penting yang perlu dilakukan yaitu menentukan sumber dan memilih sumber terbaik. Untuk itu perlu dipahami bahwa tersedia beragam sumber informasi yang dapat digunakan, baik lokasi maupun bentuk informasinya. Sumber informasi disini dapat disajikan berupa gambar, citra, foto, teks, diagram, audio, audio-video, hasil wawancara, laporan, email, spasial dan sebagainya. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa sumber informasi dapat terbagi dalam tiga jenis yaitu: a. sumber informasi primer: informasi yang diperoleh dari asal informasi tanpa interpretasi, evaluasi dan perubahan dari pihak ke dua. Contoh: hasil wawancara, hasil survey, penemuan, kumpulan data mentah, artikel jurnal, surat-surat, karya seni. b. sumber information sekunder: hasil tulisan tentang suatu kejadian, penemuan dan lainnya seperti: buku teks, ensiklopedia, komentari, artikel majalah,dsb. c. sumber informasi tertier: kumpulan informasi yang digunakan untuk menelusuri suatu sumber informasi, biasanya berisi deskripsi dari sumber informasi. Contoh: abstrak, index, bibliografi, direktori, petunjuk dari suatu literatur. Untuk masing-masing sumber informasi tersebut, ada yang tersedia dalam format cetak maupun format elektronik. Misalnya artikel jurnal ada yang tersedia dalam bentuk elektronik
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
dalam elektronik database dan jurnal tercetak yang diletakkan di perpustakaan. Buku teks dapat berupa buku tercetak atau e-book (electronic book). Buku elektronik banyak tersedia graris di internet dan dapat dicari menggunakan mesin pencari atau search engine. Berbekal pemahaman terhadap tugas yang diperoleh, sehingga kita dapat menentukan sumber informasi yang digunakan untuk menyelesaikan tugas tersebut, sehingga dapat diperinci kebutuhan misalnya: (a) kebutuhan isi: apa informasi yang akan disajikan, untuk siapa, sedalam/sejauh mana isi, visualisasi, teks, pembagian sub topik, alur isi (dan seterusnya); (b) kebutuhan bentuk penyajian: poster, artikel, buku, brosur dan (c) kebutuhan format: tercetak atau elektronik. Setelah itu, tentukan jenis dan format sumber informasi apa yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas/proyek. Langkah 3: Lokasi dan Akses Informasi Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu mengalokasi sumber secara intelektual dan fisik dan bagaimana menemukan informasi di dalam sumber-sumber tersebut. Untuk melakukan hal ini perlu diketahui alat-lat pencarian sumber informasi. Alat pencarian sumber informasi adalah alat yang digunakan untuk mendapatkan sumber informasi. Contoh: alat lokasi menggunakan OPAC (Online Public Access Catalog) dari Perpustakaan tertentu, misal katalog online Perpustakaan USU pada www.library.usu.ac.id. Search engine, directory, meta search, Internet Google, Yahoo, Altavista, Google Directory, Google Image, dan mungkin spasial atau lokasi dari sejumlah Electronic Database yang diakses online seperti WEST LAW, PROQUEST, EBSCO, EEE, ACE dan sebagainya. Dalam menggunakan alat pencarian di atas hal yang perlu diperhatikan adalah: (a) Query berupa istilah atau kata-kata penting yang mewakili sumber informasi. Query biasanya berupa istilah atau kata atau suatu frase. Hindari menggunakan kata yang berupa stop words seperti: dan, oleh, karena, yang, mana, kapan, saya, dia, kamu, dengan, which, that, why, before, will, is, am, are, dan sebagainya. (b) Bahasa query, gunakan bahasa quey yang tepat dengan alatnya. Bahasa Inggris akan menghasilkan pencarian (recall) yang lebih banyak pada search engine jika
dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indoensia. Akan tetapi untuk katalog perpustakaan lokal cukup dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat digunakan pada search engine, misalnya Google, untuk mendapatkan informasi dalam Bahasa Indonesia. Untuk hal ini, dapat digunakan Google versi Bahasa Indonesia (http://www.google.co.id/) (c) Penggunaan Operator Boolean untuk membangun Query. Pada semua alat pencarian di atas, operator Boolean dapat digunakan untuk merangkai dua atau lebih kata/istilah penelusuan guna membantu mendapatkan sumber informasi yang tepat dengan kebutuhan. Operator yang digunakan dalam pencarian adalah AND, OR, dan NOT. Operator AND untuk menggabungkan dua atau lebih istilah yang digunakan dalam query. Operator OR untuk mencari semua sumber informasi yang mengandung salah satu kata kunci atau keduanya. Operator NOT untuk mendapatkan sumber informasi tanpa istilah yang disebut kemudian. Penggunaan operator biasanya disesuaikan dengan aturan pada search engine. Masing-masing search engine menggunakan simbol tertentu untuk mewakili ketiga operator tersebut. Beberapa search engine memiliki standar yang berbeda. Ada search engine yang langsung menggunakan operator AND untuk semua kata kunci yang dimasukkan oleh pengguna, kecuali pengguna menggunakan operator lain. Search engine menggunakan operator OR untuk standar pencarian, kecuali pengguna menentukan lain. Langkah 4: Pemanfaatan Informasi Dengan tersedianya sumber informasi yang mendukung penyelesaian masalah, langkah berikutnya adalah memanfaatkan informasi. Tahapan yang akan dilakukan dalam hal ini adalah membaca atau mendengar informasi yang ditemukan dan mengekstraksi informasi yang relevan tersebut. Hal ini berarti: menentukan bagian informasi yang akan digunakan, memilah-milah data yang akan dipakai untuk memahami konsep perpustakaan digital seperti yang disebut dalam masalah, dan melakukan evaluasi sumber informasi yang diperoleh.
Halaman 42
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Langkah 5: Sintesis Ada dua tahapan kegiatan yang perlu dilakukan dalam langkah sintesis ini yaitu mengorganisasikan informasi dari pelbagai sumber dan mempresentasikan informasi tersebut. Langkah sintesis adalah kegiatan membandingkan, mengelola, menyusun, dan menggabungkan informasi yang diperoleh untuk dapat membangun suatu produk informasi. Informasi-informasi yang diperoleh dari sumber informasi berhak cipta seperti buku, periodikal, citra digital dan data mentah harus diberi pengakuan dengan mematuhi ketentuan atau cara mengutip suatu informasi. Informasi yang diperoleh dari hasil pencarian dapat digunakan untuk menghasilkan suatu karya yang baru. Karya baru tersebut tentunya menjadi produk informasi yang baru. Produk informasi yang dibangun berdasarkan informasi yang didapat dari sumber informasi lain atau produk informasi lain, milik orang lain yang harus diakui dengan mencantumkannya dalam kutipan dan/atau dalam bibliografi karya baru tersebut. Pengakuan terhadap karya orang lain yang informasinya memberi kontribusi atau dasar pada produk informasi yang dibangun sangat penting dilakukan oleh setiap orang yang memproduksi karya tulis. Pada proses sintesis ini, informasiinformasi yang dikumpulkan dipadukan, dianalisis dan kemudian dibentuk menjadi produk informasi yang baru. Produk informasi baru yang telah selesai dibangun, atau karya baru yang dihasilkan, selanjutnya dipresentasikan. Presentasi adalah menyajikan produk informasi baru kepada pembaca atau audiens yang dituju. Berbagai cara untuk menyajikan produk informasi misalnya melalui publikasi tercetak: buku, artikel jurnal, proceeding, laporan, brosur dan sebagainya; melalui publikasi online/elektronik pada website atau mailing list dan sebagainya. Masing-masing cara menyajikan atau mempresentasikan tentu memiliki kode etik dan aturannya. Langkah 6: Evaluasi Makna evaluasi dalam langkah ini adalah mengevaluasi hasil penemuan dan pemanfaatan informasi dengan maksud untuk mengetahui apakah informasi yang diperoleh berdaya guna atau tidak (efektivitas). Evaluasi juga bermakna untuk menilai seluruh proses yang dilakukan Halaman 43
dalam rangka pemecahan masalah dan proses pencarian informasi. Maksud dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah seluruh proses telah berlangsung sesuai dengan yang diharapkan (efisiensi) atau belum untuk selanjutnya dapat diperbaiki. Model literasi empowering 8 menggunakan pendekatan pemecahan masalah yang berupa resource-based learning yaitu suatu kemampuan untuk belajar berdasarkan sumber datanya. Model literasi ini dihasilkan dari dua workshop yaitu di Kolombo tahun 2004 dan di PatialaIndia tahun 2005. Menurut model ini, literasi informasi terdiri dari kemampuan untuk: (1) Mengindentifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber (2) Mengeksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik (3) Menyeleksi dan merekam informasi yang relevan dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai (4) Mengorganisasi, mengevaluasi, dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi (5) Menciptakan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, mengedit dan membuat daftar pustaka ataupun menghasilkan karya baru (6) Mempresentasi, menyebarkan atau menyampaikan informasi yang dihasilkan (7) Menilai output, berdasarkan masukan dari orang lain (8) Menerapkan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan menggunakan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi. Perbedaan antara The Big6 dan Empowring 8 terletak pada kemampuan kelima yaitu sintesis di The Big6 menjadi organisasi, penciptaan dan presentasi pada Empowring 8. Selanjutnya kemampuan ke 8 yaitu penerapan tidak terdapat pada The Big6. 7. Penutup Kurikulum berbasis kompetensi bertujuan untuk menciptakan sejumlah kemampuan atau
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
kompetensi dalam rangka pembelajaran seumur hidup. Pembentukan kompetensi memerlukan ketersediaan informasi yang bermakna. Informasi akan terus mengalir, membanjir, tiada henti dan habis-habisnya, dan menawarkan berbagai macam pilihan. Kelimpahruahan informasi ini menuntut keterampilan mengelola, mencermati, dan menyaring secara efisien. Berbeda dengan informasi dari perpustakaan, informasi dari dunia maya mempunyai ketersediaan yang melampaui batas ruang dan waktu. Informasi yang bersumber dari perpustakaan cenderung diterima sebagai informasi yang andal karena sumber informasinya dianggap dipercaya. Akan tetapi, dari dunia maya, segala macam informasi membaur dari yang masih mentah, dalam proses diolah sampai yang sudah matang, oleh karena itu keotentikan, kesahihan (validity) dan keandalannya patut dipertanyakan. Perlu seperangkat kemampuan atau kompetensi untuk mengelola dan memanfaatkan informasi secara efektif yaitu kemampuan literasi informasi. Bibliografi Association of College and Research Libraries. Information Literacy Competency Standards for Higher Educatioa 2000. Chicago: Association of College and Research Libraries. http://www.ala.org/ content/NavigationMenu/ACRL/Standard and Guidelines/Information Literacy Competency Standardsfor Higher Education.htm.; diakses 1 November 2005 Boyer, Ernest L. 1997. New Technologies and the Public Interest. Selected Speeches 1979-1995. Princeton, N.J.: Carnegie Foundation for the Advancement of Teaching. pp. 137-142.
Bundy, A. 2001. For a Clever Country: information literacy diffusion in the 21st century.
California State University. 2002. Information Competence Assessment Phase Two Summary Report. http://www.csupomona.edu/ kkdunn/Icassess/phase2summary.htm. diakses 1 November 2004 California State University. 2001. "Information Competence Initiative." http://www.calstate.edu./LS/infocomp.sht ml.; diakses 1 November 2004 Gunawan, Agustin Wydia. 2008. Tujuh Langkah Literasi Informasi: knowledge management. Jakarta: Universitas Atma Jaya. Healy, Leigh Watson. 2002. "The Voice of the User: Where Students and Faculty Go for Information." http://www.educause.edu/ir/libran7/pow erpoint/EDU0248c.pps.; Hepworth, Mark. "A Study of Undergraduate Information Literacy and Skills: the inclusion of Information Literacy and Skills in the Undergraduate Curriculum." www.ifla.org/IV/ifla65/papers/107-124e. htm-42k-; diakses 6 Maret 2005 diakses 1 Maret 2005 Kapitzke, C. 2003. Information Literacy: a review and poststructuralist critique. Australian Journal of Language an Literacy, Vol. 26 No. 1, hal. 53-66. Webber dan Johnston, B. 2000. Conception of Information Literacy: new perspective and implications. Journal of Information Science, Vol.26 N0.6, hal. 381-387.
Halaman 44
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Hubungan Intensi Pro-Sosial Pustakawan dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (Baperasda) Provinsi Sumatera Utara Zaslina Zainuddin dan Rahmat Hidayat Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Abstract The objective of this research is to investigate the correlation between the librarians’ pro-social intention and user satisfaction of Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) North Sumatera Provine, located at Jl. Brigjen Katamso No. 45K Medan. The population of this research is the entire user that registered as member of BAPERASDA North Sumatera Provine until April 2008, namely 2.950. The samples taken are 352 people from all of this population by using Slovin formula. Data of this research are collected through quesionaires, observation, interviews and documentation studies. The data analysis that used the descriptive analysis is supported by the survey method, the hypothesis is tested by using correlation technic of product moment from Pearson with 95% convidence interval (α = 5%). The research result show that there are positive relation and significant between pro-social intention and user satisfaction of Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) North Sumatera Provine, with correlation value is 0,95. The determination coefficient is 0,90. This case to show that pro-social intention and user satisfaction of Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) North Sumatera Provine 90%, where 10% can not be explained in this research. Keywords: pro-social intention, user satisfaction, librarian 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) adalah Lembaga Pemerintahan Daerah yang bertugas membantu Gubernur dalam pengembangan, pembinaan, pendayagunaan, pelayanan, penyelenggaraan, dan pengolahan perpustakaan dan kearsipan daerah. Untuk melaksanakan tugas tersebut, BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara mempunyai fungsi: 1. Pembinaan, pengembangan, dan pendayagunaan semua jenis perpustakaan dan arsip di Provinsi Sumatera; 2. Perumusan kebijakan teknis dalam pembinaan perpustakaan dan arsip di Provinsi Sumatera Utara; 3. Pelaksanaan pelayanan perpustakaan dan arsip;
Halaman 45
4. Pelaksanaan penyusunan Bibliografi Daerah, Katalog Induk Daerah, Bahan Rujukan berupa Indeks, Bibliografi Subyek, Abstrak, dan Literatur Sekunder lainnya; 5. Pengadaan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pelestarian dan penyajian bahan pustaka karya cetak dan karya rekam; 6. Pelaksanaan kerjasama dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, serta pembinaan Sumber Daya Manusia di bidang perpustakaan dan arsip dengan instansi terkait; 7. Pelaksanaan kerjasama di bidang perpustakaan, dokumentasi, informasi serta kearsipan dengan lembaga atau instansi lain; 8. Pelaksanaan tugas-tugas ketatausahaan. (Perda Prov. SUMUT No. 10 Tahun 2002). Kita semua tahu bahwa faktor utama dalam kegiatan perpustakaan adalah pengguna. Kegiatan yang dimulai dari collecting, processing, distributing, dan preserving dilakukan semata-mata untuk memberikan kepuasan pada pengguna, yaitu mendapatkan
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
apa yang diharapkan dari kunjungannya ke perpustakaan. Diakui banyak masalah dihadapi dalam melayani pengguna yang disebabkan oleh beragamnya karakter pengguna dan bervariasinya kebutuhan dan cara pemenuhannya. Dengan demikian pustakawan harus pandai-pandai dalam berinteraksi dengan pengguna agar dapat memberi apa yang diharapkan, sehingga dapat membangunkan dan mengembangkan image yang diinginkan. Cara pustakawan memberikan layanan melalui komunikasi baik verbal maupun nonverbal akan berpengaruh pada kepuasan pengguna. Sebagai contoh pengguna tetap senang walau tidak memperoleh informasi yang dibutuhkannya tapi tetap dilayani dengan ramah dan cerdas. Hal ini akan meninggalkan kesan positif sebagai cikal bakal image positif. Sebaliknya wajah bersungut-sungut, kata-kata yang diucapkan dengan nada kesal yang ditampilkan dalam pelayanan akan menghancurkan image perpustakaan semegah apapun termasuk pustakawannya. Melihat gambaran ini ternyata tidak mudah menjadi pustakawan yang handal, selain harus menguasai dasar ilmunya yaitu ilmu informasi dan perpustakaan, juga dituntut untuk memiliki berbagai keterampilan, dan salah satunya adalah intensi pro-sosial pustakawan. Intensi pro-sosial terbentuk melalui pengalaman berinteraksi dengan objek. Sebagai pustakawan, kita dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan pengguna yang kerapkali bukan sebatas barang berupa buku, tapi juga jasa layanan berupa kenyamanan dalam memperoleh kebutuhannya. Kepuasan pengguna dapat terpenuhi melalui kualitas produk (misalnya jasa penelusuran, jasa rujukan, jasa bibliografi, jasa ketersediaan informasi, harga informasi) dan kesesuaian persepsi pengguna terhadap perpustakaan. Persepsi tersebut dapat terbentuk oleh tingkat pengetahuan, pengalaman, serta kebutuhan pengguna terhadap jasa perpustakaan yang tersedia. Mewujudkan kepuasan pengguna bukanlah hal yang mudah dilakukan karena kepuasan pengguna sulit diukur dan memerlukan perhatian yang khusus. Upaya perbaikan atau penyempurnaan terhadap faktor-faktor intensi pro-sosial pustakawan akan dapat membantu memberikan kepuasan dan nilai tambah serta membawa citra baik bagi perpustakaan. Penolakan terhadap salah satu faktor tersebut
merupakan indikasi tidak adanya kepuasan pada pengguna perpustakaan. Berarti pustakawan harus memberikan pelayanan yang berkualitas yang merupakan kunci dari kepuasan pengguna. Pustakawan memberikan penekanan pada pelayanan, maka yang harus dipuaskan perpustakaan adalah kebutuhan dan keinginan masyarakat pengguna perpustakaan. Untuk memenuhi kepuasan pengguna jasa perpustakaan, kemampuan personal pustakawan sangat penting dikelola dengan baik. Hal ini disebabkan kemampuan personal dapat memberikan kontribusi terhadap kepuasan pengguna perpustakaan. Kemudian agar pustakawan dapat betul-betul melaksanakan tugasnya sebagai profesional kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia maka pustakawan perlu memiliki sikap sebagai berikut: 1. Komitmen untuk mengembangkan diri dalam bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi 2. Komitmen untuk membuat eksperimen dan inovatif 3. Komitmen untuk menggunakan hal-hal baru untuk menunjang tugas profesi 4. Komitmen untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan agama, ras, golongan maupun aliran politik 5. Komitmen untuk mematuhi kode etik pustakawan. Selain itu karena pustakawan adalah pelayan masyarakat yang setiap hari berhadapan dengan berbagai lapisan masyarakat, maka pustakawan perlu memiliki sifat-sifat: 1. Ramah 2. Pandai bergaul 3. Berpenampilan menarik 4. Suka menolong orang lain Sejak berdirinya sampai sekarang Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara selalu berusaha menambah jumlah tenaga pengelola perpustakaan. Yang menjadi permasalahan saat ini apakah pengelolaan pustakawan yang ada saat ini sudah sesuai dengan yang diinginkan oleh pengguna perpustakaan. Karena salah satu unsur atau indikator yang dapat mendorong Halaman 46
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
pengguna rajin berkunjung ke perpustakaan adalah faktor layanan yang diberikan oleh petugas perpustakaan (pustakawan) terhadap pengunjung. Menyadari akan pentingnya mengetahui kriteria pustakawan yang diinginkan oleh pengguna maka penulis mencoba meneliti permasalahan tersebut, dan apakah ciri pustakawan yang menjadi idaman pengguna pada BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara?
berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang terhadap sesuatu hal, sikap (attitude) nya pada hal itu, serta dengan perilaku ini sendiri sebagai perwujudan nyata dari intensinya”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa selain berhubungan dengan sikap dan perilaku, intensi juga berhubungan dengan keyakinan seseorang terhadap objek perbuatannya. Keyakinan ini juga berhubungan dengan sikap, dan pada akhirnya juga berhubungan dengan perilaku. Keyakinan menjadi dasar sikap seseorang terhadap suatu perilaku.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditentukan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian sebagai berikut: “Bagaimanakah hubungan antara intensi prososial pustakawan dengan kepuasan pengguna pada BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara?
Dari defenisi intensi di atas dapat dipahami bahwa pengetahuan terhadap objek tertentu akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap objek tertentu.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara intensi prososial pustakawan dengan kepuasan pengguna pada BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara. 2. Kajian Teoretis 2.1 Konsep Intensi Prososial 2.1.1 Pengertian Intensi Pengertian intensi (intention) berasal dari kata to intent dan diartikan sebagai usaha yang disadari untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah didefinisikan secara jelas (Drever, dalam Sjafrudin, 1995: 8). Intensi adalah usaha, niat atau hasrat untuk melakukan suatu tindakan yang berlandaskan sasaran yang jelas. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975: 292) intensi adalah “niat yang ada pada diri individu untuk melakukan perilaku. Intensi merupakan prediktor yang terbaik untuk terjadinya perilaku, dan intensi juga merupakan fungsi dari keyakinan seseorang yang sudah pasti dan kemudian dikaitkan dengan perilakunya”. Definisi intensi secara sederhana dapat disimpulkan sebagai niat yang dimiliki seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Ancok dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003: 120) menyatakan bahwa “pada dasarnya intensi Halaman 47
2.1.2 Faktor-Faktor Dasar Intensi Intensi merupakan predisposisi yang sifatnya spesifik dan mengarah pada terwujudnya perilaku yang spesifik pula. Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003: 123), menyatakan kekhususan tersebut melibatkan empat elemen yang membatasinya yaitu: 1. Behavior, yaitu perilaku spesifik (khusus) yang nantinya akan diwujudkan secara nyata. 2. Target objek, yaitu sasaran yang akan dituju oleh perilaku. Elemen ini dapat dibedakan atas: particular object (misalnya nama); a class of object (misalnya jabatan atau kedudukan); dan any object, yaitu orang pada umumnya. 3. Situation, yaitu dalam situasi bagaimana perilaku itu diwujudkan. Dalam hal ini situasi dapat diartikan sebagai lokasi atau situasi suasana. 4. Time, yaitu menyangkut kapan suatu perilaku akan diwujudkan. Waktu ini dibagi atas: periode waktu yang telah tertentu, dan periode waktu yang tak dibatasi. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa intensi merupakan perilaku yang bersifat spesifik (khusus), dalam arti sebagai keyakinan seseorang tentang sejauhmana taraf kesulitan/ kemudahan untuk mewujudkan perilaku dalam situasi serta adanya periode waktu dalam memformulasikan niat untuk menampilkan perilaku tertentu.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
2.1.3 Pengertian Perilaku Pro-sosial Baron dan Byrne (2004: 356), menyatakan bahwa “perilaku pro-sosial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya”. William dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003: 177), “membatasi perilaku pro-sosial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku pro-sosial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain”. Pengertian tersebut menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan kesejahteraan fisik maupun psikis. Lebih jauh lagi, Brigham dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003: 177) menyatakan bahwa “perilaku prososial mempunyai maksud untuk menolong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial”. Dengan demikian perilaku pro-sosial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Perilaku pro-sosial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis yang memberi keuntungan pada orang lain atau dirinya sendiri. 2.1.4 Faktor-Faktor Dasar Perilaku Prososial Menurut Staub dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003: 178) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak pro-sosial, yaitu: 1. Situasional (Situation) Faktor situasional ialah faktor-faktor lainnya yang juga dipergunakan untuk mengubah
pendirian manusia dan mempertahankan atau memperkuat suatu perubahan tertentu. Disebut “situasional” karena harus dilakukan pada situasi dan kondisi yang tepat. Faktor situasional akan menentukan individu untuk memberi pertolongan atau ketika menyaksikan situasi darurat atau samar-samar (stimulus). Individu yang memiliki ciri-ciri berorientasi prestasi dan asertif serta berusaha keras untuk kompeten cenderung lebih prososial dan relatif konsisten derajat perilaku prososialnya dalam berbagai situasi. Lingkungan atau situasi dimana pertolongan itu diperlukan dapat memiliki efek memperkuat persepsi tentang tindakan apa yang cocok yang seharusnya dilakukan. Dervin dan Nilan dalam Hasugian (2004) menyatakan “kebutuhan informasi sebagai suatu kondisi atau situasi yang muncul ketika dalam diri seseorang terjadi kekosongan. Dalam kondisi seperti itu, seseorang tidak mempunyai cukup pengetahuan atau konsepsi yang sesuai/ cocok untuk melakukan pekerjaan, menyelesaikan masalah, atau memecahkan ketidak pastian”. Makna penting beberapa faktor situasional, yang meliputi munculnya: a. Daya tarik fisik. Yaitu: dimensi yang digunakan untuk merujuk secara khusus pada keingingan seseorang untuk mendekati orang lain, karena daya tarik fisik adalah sumber informasi yang tampak dan dengan cepat mudah didapat. b. Kemampuan (ability). Yaitu: keandalan dari seseorang untuk memberikan ganjaran (keuntungan) atau konsekuensi positif yang telah dijanjikan secara akurat dan dapat diandalkan. Mereka akan membantu kita dalam menyelesaikan masalah, memberikan nasehat, membantu kita menafsirkan kejadian-kejadian yang ada dan sebagainya. c. Pengetahuan. Yaitu: keandalan seseorang untuk memberikan ganjaran (keuntungan) yang sesuai dan terpercaya. d. Perasaan/mood yang positif (positive emotional arousal). Yaitu: seseorang akan lebih suka memberikan pertolongan pada orang lain, bila kehadirannya berbarengan dengan Halaman 48
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
munculnya perasaan positif. Demikan pula orang yang mengalami suasana hati yang gembira akan lebih suka menolong. Sedangkan dalam suasana hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan pertolongan. Sebab suasana hati (mood) dapat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk membantu orang lain. 2. Nilai-nilai pribadi dan norma (Personal Values and Norms) Yaitu adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti: a. Tanggung jawab. Yaitu: kemauan atau kesiapan seseorang untuk memberikan ganjaran berupa jasa yang dibutuhkan orang lain. b. Kedekatan (proximity). Yaitu: meliputi kemudahan dalam pendekatan pada setiap kontak yang terjadi dengan orang lain. Dalam hal ini dimana adanya suatu hubungan yang sering dilakukan. c. Keadilan. Yaitu: kesediaan seseorang untuk membantu orang lain serta memberikan ganjaran yang tepat sesuai kebutuhan orang lain. Dimensi ini menekankan pada sikap yang cepat dan tepat dalam pertanyaan, keluhan, dan masalah orang lain. d. Kebenaran. Yaitu: dimensi yang menekankan kemampuan seseorang untuk menyampaikan kepastian dan membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri orang lain. 3. Empati (Empathy) Yaitu kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Jadi prasyarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran. Individu yang memiliki empati akan lebih menunjukkan perilaku menolong. Orang-orang yang skornya tinggi pada orientasi empati terhadap orang lain menunjukkan lebih simpati dalam melakukan hubungan dan komunikasi yang baik serta menaruh perhatian pada orang lain yang sedang Halaman 49
dalam kesusahan/kesulitan. Terdapat beberapa bentuk empati yang terjadi seperti: a. Komunikasi. Yaitu: kemampuan seseorang untuk memberikan informasi kepada orang lain dalam bahasa yang dapat mereka pahami serta selalu mendengarkan saran dan keluhan orang. b. Perhatian pribadi. Yaitu: kemampuan seseorang dalam memperlakukan orang lain sebagai individu-individu yang spesial. c. Memahami kebutuhan. Yaitu: usaha untuk memahami kebutuhan orang lain. d. Simpati. Yaitu: adanya keinginan untuk memahami pihak lain dan berkerja sama. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendasari terjadinya perilaku pro-sosial dilatarbelakangi adanya situasi (situation), nilai-nilai pribadi dan norma (personal values and norms), dan empati (empathy). Dengan demikian, faktor-faktor tersebut berpotensi menunjukkan perilaku prososial. Dengan demikian intensi pro-sosial merupakan niat atau hasrat dari seorang pustakawan untuk melakukan tindakan yang cenderung lebih menguntungkan orang lain sesuai dengan norma sosial yang berlaku dan berkomitmen untuk membantu masyarakat pengguna perpustakaan. 2.2 Kepuasan Pelanggan 2.2.1 Pengertian Kepuasan Pelanggan Dalam kegiatan yang dilakukan perpustakaan pada akhirnya akan bermuara pada nilai yang akan diberikan oleh pengguna mengenai kepuasan yang dirasakan. Nilai didefinisikan sebagai pengkajian menyeluruh manfaat dari suatu kualitas produk, yang didasarkan pada persepsi pengguna atas apa yang telah diterima oleh pengguna dan yang telah diberikan pustakawan. Menurut Yamit (2005: 78) menyatakan “kepuasan pelanggan adalah evaluasi purna beli atau hasil evaluasi setelah membandingkan apa yang dirasakan dengan harapannya”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan adalah hasil yang dirasakan
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
atas penggunaan produk dan jasa, sama atau melebihi harapan. Kotler (2003: 61) mendefinisikan kepuasan “sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang dialami setelah membandingkan antara persepsi kinerja atau hasil suatu produk dengan harapan-harapannya”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Barnes (2003: 64) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan sebenarnya merupakan tanggapan yang diberikan oleh pelanggan (customer) atas terpenuhinya kebutuhan, sehingga memperoleh kenyamanan. Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa kepuasan adalah tanggapan pelanggan atas terpenuhinya kebutuhan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian terhadap suatu bentuk keistimewaan dari suatu barang/jasa ataupun barang/jasa itu sendiri, dapat memberikan suatu tingkat kenyamanan yang berhubungan dengan pemenuhan suatu kebutuhan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang sesuai dengan harapan, atau pemenuhan kebutuhan yang dapat melebihi harapan pelanggan. Kepuasan pengguna tidak hanya memberikan kepada pengguna, apa yang kita perkirakan disukai oleh pengguna. Ini berarti kita harus memberikan kepada mereka apa yang sebenarnya mereka inginkan, kapan, dan cara mereka memperolehnya. 2.2.2 Faktor-Faktor Kepuasan Pelanggan Kunci utama yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, adalah interaksi antara pengguna/ perpustakaan dengan pengguna yang mempunyai kualitas rangsangan terhadap perasaan nyaman, yang dirasakan oleh pengguna. Menurut Kotler dalam Lupiyoadi (2001: 158) menyatakan bahwa untuk menentukan tingkat kepuasan pelanggan, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan, yaitu: 1. Kualitas produk Pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas.
2. Kualitas pelayanan Pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan. 3. Emosional Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial atau self-esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu. 4. Harga Produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang relatif tinggi kepada pelanggannya. 5. Biaya Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa unsurunsur yang menjadi kepuasan pelanggan adalah kualitas produk, kualitas pelayanan, emosional, harga, dan biaya. Implikasi dari faktor kepuasan pelanggan inilah menjadi kunci keberhasilan dalam kepuasan pelanggan yang terletak pada pengetahuan penuh mengenai kebutuhan, harapan, dan sikap para pelanggan. Selain itu, terletak pada kesediaan untuk memperhatikan kepuasan pelanggan sebagai bagian dari bauran pemasaran, sehingga inovasi jasa atau standar yang lebih tinggi diciptakan, di uji, dan diterapkan. Menurut Sutardji dan Sri (2006: 33) faktor-faktor yang dianalisis dan dianggap dominan mempengaruhi kepuasan pengguna perpustakaan adalah: 1. Sistem layanan, yaitu sistem layanan tertutup untuk pengguna eksternal (mahasiswa), artinya pengguna tidak dapat langsung ke ruang koleksi; untuk mengakses informasi disediakan alat bantu penelusuran informasi seperti kartu katalog, bibliografi, indeks, dan daftar tambahan koleksi. 2. Biaya, yaitu satuan rupiah yang dibebankan kepada pengguna perpustakaan terhadap jasa yang diberikan perpustakaan, seperti Halaman 50
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
keanggotaan, jasa kesiagaan informasi, jasa penelusuran informasi, dan jasa layanan fotokopi. 3. Kemudahan memperoleh informasi, yaitu sarana yang diberikan dan disediakan perpustakaan untuk menemukan dan memperoleh informasi (bahan pustaka) yang dibutuhkan pengguna. 4. Kecepatan memperoleh informasi, yaitu waktu yang dibutuhkan pengguna untuk menemukan dan memperoleh informasi (bahan pustaka), baik melalui alat bantu penelusuran maupun langsung dari petugas perpustakaan. 5. Pelayanan pemberian informasi, yaitu segala sesuatu yang diberikan dan disediakan oleh perpustakaan yang dapat memberikan kenyamanan kepada pengguna. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna perpustakaan ialah sistem layanan perpustakaan, biaya, kemudahan memperoleh informasi, kecepatan memperoleh informasi, dan pelayanan pemberikan informasi kepada pengguna perpustakaan. Implikasi dari aspek-aspek kepuasan pengguna perpustakaan inilah yang menjadi standar pelayanan yang ditetapkan sesuai keinginan dan harapan pengguna sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan harapan pengguna. Sedangkan menurut Samosir (2005: 30) terdapat beberapa faktor yang dianggap dominan mempengaruhi kepuasan pengguna perpustakaan, yaitu: 1. Penggunaan perpustakaan secara berulangulang. 2. Menginformasikan kepada pengguna lain untuk menggunakan jasa perpustakaan. 3. Informasi yang dibutuhkan terpenuhi oleh perpustakaan. Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pengguna perpustakaan ialah adanya hubungan timbal balik (reciprocal) antara kebutuhan dengan harapan pengguna sehingga dengan terpenuhinya kebutuhan dan harapan inilah terjadi keinginan pengguna untuk berkunjung ke perpustakaan secara berulangulang dan bersedia menginformasikan kepada pengguna lainnya. Halaman 51
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian survey. Sumber data utama yang digunakan adalah responden. Responden penelitian ini adalah pengguna yang terdaftar sebagai anggota BAPERASDA sampai dengan bulan April 2008 yaitu berjumlah 2.950 orang. Dengan teknik accidental sampling ditetapkan sampel penelitian sejumlah 352 responden. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini kuesioner atau angket, selain itu penulis juga melakukan observasi, interview dan menggunakan data dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan ditarik kesimpulan berkenaan dengan aspek-aspek yang diteliti berdasarkan besaran persentase. 4. Hasil dan Pembahasan 4.1 Penentuan Korelasi 4.1.1 Perhitungan Korelasi Hasil korelasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Dari hasil perhitungan korelasi di atas diperoleh koefisien korelasi atau r hitung sebesar 0,953 (0,95). Perhitungan hasil korelasi yang mendekati +1, ini artinya bahwa antara variabel Intensi Pro-sosial Pustakawan (X) dengan variabel Kepuasan Pengguna (Y) pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara memiliki hubungan yang kuat sekali dengan nilai korelasi 0,95. Berdasarkan perhitungan hasil korelasi dengan nilai 0,95, ini artinya bahwa setiap kenaikan skor atau nilai 0,95 pada variabel X akan diikuti dengan kenaikan skor atau nilai 0,95 pada variabel Y. Sebaliknya, jika variabel X mengalami penurunan nilai sebesar 0,95 maka akan diikuti juga dengan penurunan nilai 0,95 pada variabel Y.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
4.1.2 Pengujian Hipotesis Berdasarkan analisis hasil korelasi maka selanjutnya penulis melakukan pengujian hipotesis, yaitu dengan cara membandingkan nilai r hitung dengan r tabel pada tingkat kepercayaan 95% atau α 0,05 maka diperoleh nilai r tabel untuk n = 352 sebesar 0,098. Karena nilai r hitung ≥ r tabel (0,95 ≥ 0,098) maka hipotesis H0 ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Intensi Prososial Pustakawan dengan Kepuasan Pengguna pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. 4.1.3 Uji Koefisien Determinasi Setelah dilakukan uji hipotesis seperti uraian di atas, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji determinasi yaitu dengan cara mengkuadratkan nilai r hitung, yaitu r hitung 0,952 = 0,90 atau 90%. Hal ini menunjukkan bahwa varian dari variabel Intensi Pro-sosial dapat menjelaskan Kepuasan Pengguna sebesar 90%, sedangkan sisanya sebesar 10% adalah dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terungkap dalam penelitian ini. 4.2 Analisis Deskriptif 4.2.1 Intensi Pro-sosial Pustakawan 4.2.1.1 Situasional A. Daya Tarik Fisik Daya tarik fisik dalam konteks penelitian ini adalah penampilan personal seorang pustakawan. Dengan demikian apapun yang dikenakan pustakawan dan bagaimana dia membawakan diri ketika berinteraksi dengan pengguna akan menggambarkan bagaimana perpustakaannya. Data menunjukkan bahwa 156 responden (44,3%) menyatakan bahwa sangat setuju pustakawan berpenampilan rapi dalam menjalankan tugasnya, 193 (54,8%) menyatakan setuju, 2 (0,6%) menyatakan tidak setuju, dan 1 (0,3%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Sesuai dengan kriteria interpretasi di atas, responden yang menyatakan setuju pustakawan berpenampilan rapi dalam menjalankan tugasnya berjumlah 349 responden (99,1%). Hal ini dikarenakan oleh penampilan yang rapi, sopan, dan keserasian seragam pustakawan akan
menggambarkan bagaimana perpustakaannya dianggap setuju dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju pustakawan berpenampilan rapi dalam menjalankan tugasnya berjumlah 3 responden (0,9%). B. Kemampuan Kemampuan dalam konteks penelitian ini adalah adanya suatu keterampilan yang dimiliki dan dibutuhkan dari pustakawan agar dalam memberikan dan menyajikan informasi kepada pengguna dapat dilaksanakan dengan optimal. Data menunjukkan bahwa 104 (29,5%) responden menyatakan bahwa sangat setuju pustakawan memliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya, 218 (61,9%) menyatakan setuju, 28 (8%) responden menyatakan tidak setuju, dan 2 (0,6%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju pustakawan memiliki kemampuan dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya berjumlah 322 responden (91,4%). Hal ini dikarenakan agar dalam memberikan jasa kepada pengguna dapat dilaksanakan dengan optimal dianggap setuju dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju pustakawan memiliki kemampuan dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya berjumlah 30 responden (8,6%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan setuju pustakawan memiliki kemampuan dan kecakapan dalam menjalankan tugasnya. C. Pengetahuan Pengetahuan dalam konteks penelitian ini adalah upaya untuk melakukan kinerja perpustakaan secara optimal dalam memberikan pelayanan yang benar pada saat pertama. Dalam hal ini pengetahuan pustakawan tentang lokasi koleksi dalam ruang koleksi perpustakaan yang akan mereka berikan kepada pengguna dapat ditawarkan pada kondisi dan situasi yang sesuai, seperti melakukan pendekatan kepada para pengguna yang menggunakan jasa perpustakaan. Data menunjukkan bahwa 83 responden (23,6%) menyatakan bahwa sangat setuju akan pengetahuan pustakawan dalam melaksanakan Halaman 52
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
tugasnya, 223 (63,4%) menyatakan setuju, 44 responden (12,5%) menyatakan tidak setuju, dan 2 (0,5%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap pengetahuan pustakawan dalam melaksanakan tugasnya berjumlah 306 responden (87%). Hal ini dikarenakan oleh pengetahuan pustakawan terpercaya dalam melaksanakan tugasnya dianggap setuju dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju terhadap pengetahuan pustakawan menjalankan tugasnya berjumlah 46 responden (13%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan setuju terhadap pengetahuan pustakawan dalam menjalankan tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada pengguna di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. D. Perasaan Hati/Mood Perasaan hati/mood dalam konteks penelitian ini adalah upaya dalam memberikan pelayanan kepada pengguna sangat berkaitan dengan kepuasan pengguna. Dalam hal ini pustakawan harus bisa menyelaraskan tugas dengan kebutuhan pengguna perpustakaan. Oleh karena itu indikator perasaan hati/mood digunakan dalam mengukur kepuasan pengguna. Data menunjukkan bahwa 124 responden (35,2%) menyatakan bahwa pustakawan sangat membantu pengguna perpustakaan dalam mencari informasi, 184 (52,3%) menyatakan membantu, 42 responden (11,9%) menyatakan tidak membantu, dan 2 (0,6%) yang menyatakan sangat tidak membantu pengguna dalam mencari informasi. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan kesedian pustakawan yang selalu membantu pengguna perpustakaan berjumlah 308 responden (87,5%). Hal ini dikarenakan oleh pustakawan di BAPERASDA selalu membantu dalam mencari informasi yang dibutuhkan diangap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang menyatakan pustakawan sangat tidak membantu berjumlah 44 responden (12,5%).
Halaman 53
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan setuju terhadap kesedian pustakawan yang selalu membantu dan memberikan pelayanan kepada pengguna di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. 4.2.1.2 Nilai-Nilai Pribadi dan Norma A. Tanggung Jawab Tanggung jawab dalam konteks penelitian ini adalah kesediaan pustakawan sebagai penyedia jasa untuk membantu pengguna serta memberikan pelayanan yang tepat sesuai kebutuhan pengguna Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA). Data menunjukkan bahwa 79 responden (22,4%) menyatakan bahwa pustakawan sangat memenuhi tanggung jawabnya dalam menjalankan pelayanan yang dijanjikan, 194 (55,1%) menyatakan memenuhi, 77 responden (21,9%) menyatakan tidak memenuhi, dan 2 (0,6%) yang menyatakan sangat tidak memenuhi tanggung jawabnya dalam menjalankan pelayanan yang dijanjikan. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan pustakawan bertanggung jawab dalam menjalankan tugastugasnya berjumlah 273 responden (77,5%). Hal ini dikarenakan oleh pustakawan selalu memenuhi pelayanan yang dijanjikan dianggap sudah memenuhi keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak memenuhi terhadap peran dan tanggung jawab pustakawan berjumlah 79 responden (22,5%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan setuju terhadap tanggung jawab pustakawan yang selalu memenuhi pelayanan yang dijanjikan kepada pengguna di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. B. Kedekatan Kedekatan dalam konteks penelitian ini adalah meliputi kemudahan dalam melakukan pendekatan pada setiap kontak yang terjadi antara pustakawan dengan pengguna badan perpustakaan dan arsip daerah (BAPERASDA). Dalam ini dimana adanya suatu hubungan yang sering dilakukan pihak pustakawan dengan
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
pengguna dalam memberikan informasi yang mereka tawarkan, dengan harapan pengguna dapat mengetahuinya dengan jelas. Dari 352 responden, 87 responden (24,7%) menyatakan sangat setuju kedekatan pustakawan ketika berhubungan dengan pengguna, 224 (63,6%) menyatakan setuju, 40 responden (11,4%) menyatakan tidak setuju, dan 1 (0,3%) yang menyatakan sangat tidak setuju pustakawan memiliki kedekatan dengan pengguna. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap kedekatan pustakawan dengan pengguna perpustakaan berjumlah 311 responden (88,3%). Hal ini dikarenakan oleh pengguna merasa aman ketika berhubungan dengan pustakawan dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju akan kedekatan pustakawan dengan pengguna perpustakaan berjumlah 41 responden (11,7%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan setuju terhadap kedekatan dan rasa aman ketika berhubungan dengan pustakawan dalam menjalankan tugasnya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. C. Keadilan Keadilan dalam konteks penelitian ini adalah perlunya suatu kemampuan pustakawan untuk dapat membaca jalan pikiran pengguna dalam mengharapkan informasi yang dibutuhkan, sehingga pengguna merasakan suatu perhatian yang serius dari pustakawan akan harapan yang mereka butuhkan. Dimensi ini menekankan pada sikap dari pustakawan yang penuh perhatian, cepat, dan tepat dalam menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan dan masalah pengguna Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BEPERASDA). Data menunjukkan bahwa 45 responden (12,8%) menyatakan sangat setuju pustakawan bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada pengguna, 192 (54,6%) menyatakan setuju, 99 responden (28,1%) menyatakan tidak setuju, dan 16 (4,5%) yang menyatakan sangat tidak setuju.
Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap pustakawan memiliki nilai keadilan dalam memberikan pelayanan kepada pengguna berjumlah 237 responden (67,4%). Hal ini dikarenakan oleh kesibukan pustakawan tidak mengurangi layanan yang cepat dan segera dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju terhadap pustakawan bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada pengguna berjumlah 115 responden (32,6%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap kesibukan pustakawan tidak mengurangi pelayanan yang dijanjikan kepada pengguna di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. D. Kebenaran Kebenaran dalam konteks penelitian ini adalah dimensi yang menekankan kemampuan pustakawan untuk membangkitkan rasa percaya dan keyakinan diri pengguna bahwa pustakawannya mampu memenuhi kebutuhan penggunanya. Dari 352 responden, 57 responden (16,2%) menyatakan sangat setuju pustakawan memiliki nilai kebenaran dalam memberikan pelayanan kepada pengguna, 154 (43,8%) menyatakan setuju, 129 responden (36,6%) menyatakan tidak setuju, dan 12 (3,4%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap pustakawan harus memiliki nilai kebenaran dalam memberikan pelayanan kepada pengguna berjumlah 211 responden (60%). Hal ini dikarenakan oleh pustakawan tidak pernah membuat kesalahan terhadap pelayanannya dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju terhadap pustakawan memiliki nilai kebenaran dalam menjalankan tugasnya berjumlah 141 responden (40%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap pustakawan yang tidak pernah membuat kesalahan kepada pengguna saat Halaman 54
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
menjalankan tugasnya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. 4.2.1.3 Empati A. Komunikasi Secara terus menerus memberikan informasi kepada pengguna dalam bahasa dan penggunaan kata yang jelas sehingga para pengguna dapat dengan mudah mengerti serta disamping itu pustakawan hendaknya dapat secara cepat dan tanggap dalam menyikapi keluhan yang dilakukan pengguna Badan Perpustakan dan Arsip Daerah (BAPERASDA). Dari 352 responden, 51 responden (14,5%) menyatakan pustakawan harus memiliki komunikasi yang baik dan lancar kepada pengguna, 247 (70,2%) menyatakan lancar, 53 responden (15,1%) menyatakan tidak lancar, dan 1 (0,2%) yang menyatakan sangat tidak lancar. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan pustakawan harus memiliki komunikasi yang baik dan lancar dalam memberikan pelayanan kepada pengguna berjumlah 298 responden (84,7%). Hal ini dikarenakan oleh para pengguna dapat dengan mudah mengerti dianggap sudah sesuai dengan keinginan bagi pengguna. Sedangkan responden menyatakan komunikasi yang sangat tidak lancar berjumlah 54 responden (15,3%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap komunikasi pustakawan dengan pengguna dapat berjalan dengan baik dan lancar pada saat menjalankan tugasnya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. B. Perhatian Pribadi Dalam melayani pengguna, perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi merupakan upaya dalam memahami keinginan pengguna. Di mana suatu perpustakaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pengguna. Dari 352 responden, 45 responden (12,8%) menyatakan sangat setuju pustakawan memberikan perhatian yang baik kepada pengguna, 219 (62,2%) menyatakan setuju, 87 responden (24,7%) menyatakan tidak setuju, dan 1 (0,3%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Halaman 55
Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap pustakawan memberikan perhatian yang baik dan dalam memberikan pelayanan kepada pengguna berjumlah 264 responden (75%). Hal ini dikarenakan oleh perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi merupakan upaya dalam memahami keinginan pengguna dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju berjumlah 88 responden (25%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap pustakawan memberikan perhatian yang baik dengan pengguna pada saat menjalankan tugasnya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. C. Memahami Kebutuhan Memahami kebutuhan pengguna adalah upaya untuk memahami kebutuhan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pengguna. Data menunjukkan bahwa 36 responden (10,2%) menyatakan sangat setuju pustakawan paham akan kebuhan pengguna, 185 (52,6%) menyatakan setuju, 125 responden (35,5%) menyatakan tidak setuju, dan 6 (1,7%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap pustakawan memahami kebutuhan pengguna dalam memberikan pelayanan berjumlah 221 responden (62,8%). Hal ini dikarenakan oleh upaya untuk memahami kebutuhan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pengguna dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju berjumlah 131 responden (37,2%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap pustakawan paham akan kebutuhan pengguna pada saat menjalankan tugasnya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
D. Simpati Simpati dalam konteks penelitian ini adalah adanya suatu keinginan dan upaya dari pustakawan untuk memahami pengguna yang berkunjung ke Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara.
Data menunjukkan bahwa 115 responden (32,7%) menyatakan sangat bersedia menggunakan perpustakaan secara berulangulang, 228 (64,8%) menyatakan bersedia, 9 responden (2,5%) menyatakan tidak bersedia untuk menggunakan perpustakaan secara berulang-ulang.
Data menunjukkan bahwa 49 responden (14%) menyatakan sangat setuju pustakawan bersikap simpati saat memberikan pelayanan, 220 (62,5%) menyatakan setuju, 79 responden (22,4%) menyatakan tidak setuju, dan 4 (1,1%) yang menyatakan sangat tidak setuju.
Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan bersedia untuk menggunakan kembali jasa perpustakaan secara berulang-ulang berjumlah 343 responden (97,5%). Hal ini dikarenakan oleh keinginan untuk menggunakan perpustakaan secara berulang-ulang sebagai akibat dari kepuasan ini adalah keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak bersedia untuk menggunakan perpustakaan secara berulang-ulang berjumlah 9 responden (2,5%).
Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju terhadap pustakawan bersikap simpati pada saat memberikan pelayanan yang dijanjikan kepada pengguna dalam berjumlah 269 responden (76,5%). Hal ini dikarenakan oleh adanya suatu keinginan dari pustakawan untuk memahami pengguna perpustakaan dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju berjumlah 83 responden (23,5%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap pustakawan bersikap simpati kepada pengguna pada saat menjalankan tugasnya di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. 4.2.2 Kepuasan Pengguna Kepuasan pengguna merupakan tujuan yang harus dicapai dalam memberikan pelayanan. Oleh karena itu variabel kepuasan pengguna diukur berdasarkan indikator penggunaan perpustakaan secara berulang-ulang, menginformasikan kepada pengguna lain, dan terpenuhinya harapan pengguna. 4.2.2.1 Penggunaan Perpustakaan Secara Berulang-ulang Penggunaan perpustakaan secara berulang-ulang dalam konteks penelitian ini adalah bahwa pengguna yang terpuaskan cenderung akan menjadi loyal. Pengguna yang puas akan mempunyai kecenderungan untuk menggunakan jasa perpustakaan. Keinginan untuk menggunakan perpustakaan secara berulangulang sebagai akibat dari kepuasan ini adalah keinginan untuk mengulang pengalaman yang baik.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju untuk menggunakan kembali jasa perpustakaan secara berulang-ulang di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. 4.2.2.2 Menginformasikan Kepada Pengguna Lain Menginformasikan kepada pengguna lain dalam konteks penelitian ini adalah bahwa kepuasan merupakan faktor yang akan mendorong adanya komunikasi dari mulut ke mulut yang bersifat positif. Bentuk komunikasi dari mulut ke mulut yang disampaikan oleh orang yang puas ini bisa berbentuk rekomendasi kepada calon pengguna lain dan mengatakan hal-hal yang baik tentang penyedia jasa dimana pengguna puas menggunakan jasa perpustakaan. Dari 352 responden, 107 responden (30,4%) menyatakan sangat setuju bersedia menginformasikan kepada pengguna lain, 217 (61,6%) menyatakan setuju, 28 responden (8%) menyatakan tidak setuju untuk menginformasikan kepada pengguna lain untuk menggunakan jasa perpustakaan. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan setuju untuk menginformasikan kepada pengguna lain untuk Halaman 56
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
menggunakan jasa perpustakaan berjumlah 324 responden (92%). Hal ini karenakan oleh pengguna yang puas menggunakan jasa perpustakaan dianggap sudah sesuai dengan pengguna. Sedangkan responden yang sangat tidak setuju untuk bersedia menginformasikan kepada pengguna lain untuk menggunakan jasa perpustakaan berjumlah 28 responden (8%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju untuk bersedia menginformasikan atau mempromoikan kepada pengguna lain untuk menggunakan jasa perpustakaan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara. 4.2.2.3 Terpenuhinya Harapan Pengguna Faktor terakhir dari efek kepuasan pengguna terhadap perilaku adalah pengguna yang puas cenderung untuk mempertimbangkan penyedia jasa dalam hal ini perpustakaan dan pustakawannya yang mampu memuaskan sebagai pertimbangan pertama jika ingin menggunakan jasa perpustakaan kembali. Dari 352 responden, 55 responden (15,6%) menyatakan sangat terpenuhi bahwa informasi yang didapatkan dari pustakawan, 220 (62,5%) menyatakan terpenuhi, 74 responden (21%) menyatakan tidak tepenuhi, dan 3 (0,9%) menyatakan sangat tidak terpenuhi bahwa informasi yang diperoleh dari pustakawan. Sesuai dengan kriteria interpretasi data di atas, responden yang menyatakan bahwa harapan akan informasi yang diperoleh dari pustakawan terpenuhi berjumlah 275 responden (78,1%). Hal ini dikarenakan oleh pengguna yang puas cenderung untuk mempertimbangkan penyedia jasa yang mampu memuaskan sebagai pertimbangan pertama jika ingin menggunakan jasa perpustakaan dianggap sudah sesuai dengan keinginan pengguna. Sedangkan responden yang menyatakan harapan pengguna tidak terpenuhi berjumlah 77 responden (21,9%). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju terpenuhinya harapan pengguna di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara.
Halaman 57
5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Intensi pro-sosial pustakawan di BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara sangat berpengaruh pada kepuasan pengguna. 2. Terdapat hubungan yang kuat sekali antara intensi pro-sosial pustakawan dengan kepuasan pengguna pada BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara. 3. Kekuatan hubungan antara intensi prososial pustakawan dengan kepuasan pengguna adalah sebesar 90% selebihnya 10% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. 5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis mengajukan beberapa saran kepada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BAPERASDA) Provinsi Sumatera Utara yaitu: 1. Intensi pro-sosial pustakawan diketahui memiliki hubungan yang kuat terhadap kepuasan pengguna, maka pihak pustakawan pada BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara diharapkan memperhatikan setiap kepentingan penggunanya. 2. Sebaiknya pihak perpustakaan perlu memilih dan menunjuk pustakawan yang ramah dan tentunya memiliki kemampuan dalam melayani pengguna perpustakaan serta memahami karakteristik pengguna yang berkunjung ke BAPERASDA Provinsi Sumatera Utara. 3. Adanya penelitian lanjutan yang berkenaan dengan hal ini. Rujukan Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Barnes, James G. 2003. Secrets of Customer Relationship Management. Alih bahasa Andreas Winardi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Baron, Robert A dan Donn Byrne. 2004. Psikologi Sosial. Alih bahasa Ratna Djuwita. Ed. 10, Jil.1. Jakarta: Erlangga. Damayani, Ninis Agustini, 2005. Interpersonal Skill dalam Pelayanan Perputakaan. Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi. Volume 1, No. 1, Juni 2005: 30. Dayakisni, Tri dan Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Ed. 2, Cet. 2. Malang: UMM Press. Dervin dan Nilan. 2004. Situational Theory of Publics. Alih bahasa Jonner Hasugian. Medan: USUPress. Fishbein dan Ajzen, 1975. Belief, Attitude, Intentions and Behavior: an introduction to theory and research. California: Addison-Wesley Publishing Company, Inc. Hendrawan, Dian. 2006. Analisis Statistik dengan Program SPSS. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara. Hermawan, Rachman dan Zulfikar Zen. 2006. Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto. Irianto, H. Agus. 2004. Statistik: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Cet. 1. Jakarta: Kencana. Kotler, Philip. 2003. Marketing Management. New Jersey: Prentice Hall. Kuhlthau, Carol Collier. 2004. Information Search Process. . (12/19/2008) Lupiyoadi, Rambat. 2001. Manajemen Pemasaran Jasa: Teori dan Praktek. Jakarta: Salemba Empat. Perpustakaan Nasional RI. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Umum. Jakarta. Perpustakaan Nasional RI. Perpustakaan Nasional RI. Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara. 2006. Surat Keputusan MENPAN No. 132 Tahun 2002 Tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Jakarta. Perpustakaan Nasional RI.
Samosir, Zurni Zahara. 2004. Konsep Dasar Ilmu Perpustakaan. <www.usu.ac.id/id/files/cv2/sastra/zaha ra_zurni.pdf>.(4/19/2008) Samosir, Zurni Zahara. 2005. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Mahasiswa Menggunakan Perpustakaan USU. Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi. Volume 1, No. 1, Juni 2005: 30. Sears David O; Jonathan L Freedman; dan l. Anne peplau. 1991. Psikologi Sosial. Alih bahasa Michael Adryanto dan Savitri Soekrisno. Ed. 5, Jil. 1. Jakarta: Erlangga. _______. 1991. Psikologi Sosial. Alih bahasa Michael Adryanto. Ed. 5, Jil. 2. Jakarta: Erlangga. Siregar, A. Ridwan, 2004. Perpustakaan: Energi Pembangunan Bangsa. Medan: USU Repository. Sjahriah-Pamuntjak, Rusina. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan. Ed. Rev, Cet. 5. Jakarta: Djambatan. Soeatminah, 1992. Perpustakaan, Kepustakawanan dan Pustakawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Subagyo, Pangestu. 2004. Statistik Terapan. Yogyakarta: BPFE. Sugiyono, 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. _______. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Sulistyo-Basuki. 1993. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sulistyo-Basuki, dkk. 2006. Perpustakaan Dan Informasi Dalam Konteks Budaya. Jakarta: Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi FIB UI. Supranto, J. 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan: Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: Rineka Cipta. Sutardji dan Sri Ismi Maulidyah. 2006. Analisis Beberapa Faktor Yang Berpengaruh Pada Kepuasan Pengguna Perpustakaan: Studi kasus di Perpustakaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Jurnal Perpustakaan Pertanian Vol. 15, Nomor 2, 2006: 33-34.
Halaman 58
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Sutarno, 2003. Perpustakaan dan Masyarakat. Ed. 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tjiptono, Fandy. 2001. Strategi Pemasaran.Yogyakarta: Andi. Tjiptono, Fandy dan Diana, Anastasia. 2003. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Tjiptono, Fandi dan Gregorius Candra. 2005. Service, Quality, and Satisfaction. Yogyakarta: Andi. Trihendradi, Cornelius. 2004. Langkah Mudah Memecahkan Kasus Statistik: Deskriptif, Parametrik, dan NonParametrik dengan SPSS 12. Ed. 1: Yogyakarta: Andi.
Halaman 59
Ulidarma, Netty. 2005. Tingkat Kepuasan Pengguna terhadap Fasilitas Layanan Sirkulasi Perpustakaan Akper Kesdam I/Bukit Barisan Medan. Skripsi. Medan: Fakultas Sastra. Tidak dipulikasikan. Umar, Husein. 1999. Riset Strategi Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yamit, Zulian. 2005. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Ed. 1, Cet. 4. Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. Yoeti, Oka A. 2003. Costumer Service Cara Efektif Memuaskan Pelanggan. Cet. 3. Jakarta: Pradnya Paramita.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Faktor Penyebab Stres Kerja Pustakawan pada Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Zurni Zahara Samosir dan Iin Syahfitri Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Abstract The purpose of this research was to investigate the factors of work stress on librarians. The result of this research indicated the factor of works stress on librarians in USU Library is inexpediency between the main salary and the outside salary subsidy with job. Until occasionally make physical fatigue, and saturated feeling as well as society appreciation about librarian profession. Keywords: work stress, librarians 1. Pendahuluan Pustakawan yang dalam kesehariannya selain memberikan pelayanan kepada pengguna, juga melakukan pekerjaan administratif dan pekerjaan rutin, seperti penyeleksian bahan pustaka, pengolahan bahan pustaka, serta perawatan bahan pustaka. Bekerja melayani pengguna dengan beragam jenis kebutuhan dan pertanyaan yang mereka ajukan membutuhkan banyak energi dan harus bersifat sabar serta dapat memahami apa yang mereka inginkan. Keseluruhan pekerjaan tersebut merupakan beban kerja yang berat bagi pustakawan. Jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut mengalami stres kerja. (Rini, 2002: 1) Pemicu stres (stressor) di dunia perpustakaan perguruan tinggi antara lain adalah renumerasi yang rendah, beban kerja yang berat, lemahnya manajemen dan sistem pengawasan, rendahnya apresiasi masyarakat pengguna terhadap profesi pustakawan, serta kurang jelasnya jenjang karir pustakawan (Caputto, 1991). Pemilihan pustakawan pada Perpustakaan USU sebagai objek penelitian didasarkan atas pengamatan awal yang dilakukan penulis bahwa banyaknya jumlah pengguna yang harus dilayani, jam kerja yang panjang, serta tingkat kesulitan pekerjaan yang harus ditangani, sangat potensial menjadi pemicu timbulnya stres kerja pustakawan. Selain itu, beberapa pustakawan pada Perpustakaan USU kadang-kadang
menunjukkan gejala-gejala timbulnya stres kerja, antara lain lekas marah, kebosanan kerja, menunda dan menghindari pekerjaan, serta menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan teman. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor apa sajakah yang menyebabkan timbulnya stres kerja dan faktor manakah yang paling dominan menjadi pemicu timbulnya stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU? Sedang tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya stres kerja pustakawan dan faktor yang paling dominan menjadi pemicu timbulnya stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU. 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Pustakawan Pustakawan adalah tenaga kerja yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dan merupakan tenaga profesional, sebagaimana dinyatakan oleh: Sulistyo-Basuki (1991 : 159), ”Pustakawan adalah tenaga profesional yang dalam kehidupannya sehari-hari berkecimpung dalam dunia buku”. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (2002 : 1211), ”Pustakawan adalah orang yang berkecimpung di bidang perpustakaan atau ahli perpustakaan”. Berdasarkan keputusan MENPAN Nomor: 132/KEP/M.PAN/12/2002 (2006: 3) bahwa:
Halaman 60
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
1) Pustakawan adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi, dan informasi instansi pemerintah atau unit tertentu lainnya. 2) Pustakawan tingkat terampil adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendahrendahnya Diploma II Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi atau Diploma bidang lain yang disetarakan. 3) Pustakawan tingkat ahli adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendahrendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi, dan Informasi atau sarjana bidang lain yang disetarakan. Menurut kode etik pustakawan pada buku Kiprah Pustakawan (Harahap, 1998: 1) bahwa: Pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu pengetahuan, dokumentasi, dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan. 2.2.
Faktor Penyebab Pustakawan
Stres
Kerja
Menurut Cooper yang dikutip oleh Towner (2002 : 19) menyatakan bahwa, “Stres adalah tekanan yang terlalu besar bagi kita”. Ditambahkan Berry (2004 : 528), “Stress: a physiological response of the body to environmental of personal demands”. Sedang Rice (1987 : 20) menyatakan bahwa: Stress is used in three distinct ways: 1) Stress is used to refer to an event or to any environmental stimulus that causes a person to feel tense or aroused. In this sense, stress is something external to the person. 2) Stress is used to refer to a subjective response to what is going on. In this sense, stress is the internal mental state of tension or arousal. It is the interpretive, emotive, defensive, and coping proces occurring inside the person. Such processes may promote positive growth or produce mental Halaman 61
strain. Strain has been defined as the wear and tear that are due to resisting the pressure. 3) Stress is viewed as the physical reaction of the body to demand or damaging instructions. Berkaitan dengan proses reaksi fisik dari tubuh terhadap tuntutan ataupun gangguan yang memicu timbulnya stres, Davis (1995 : 2-3) mengutip pernyataaan Seyle, seorang peneliti pertama tentang stres, yang telah menguji secara pasti apa yang terjadi di dalam tubuh pada saat respon melawan atau melarikan diri. Seyle menentukan bahwa: Setiap masalah, khayalan atau kenyataan dapat menyebabkan korteks serebri (bagian berfikir dari otak) mengirim tanda bahaya ke hipotalamus (tempat utama pemberi respon stres, terletak pada otak tengah). Hipotalamus kemudian menstimulasi sistem saraf simpatis untuk membuat serangkaian perubahan pada tubuh. Denyut jantung, curah jantung, tekanan darah semua meninggi. Tubuh berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin karena darah dialirkan dari anggota gerak dan sistem pencernaan ke otot besar yang akan membantu untuk melawan atau lari. Diagfagma dan dubur terkunci. Pupil dilatasi untuk mempertajam penglihatan dan pendengaran menjadi lebih tajam. Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa saat mengalami stres, tubuh menimbulkan reaksi yakni terjadinya perubahan mekanisme sistem kerja saraf sehingga terjadi hal-hal seperti peningkatan denyut jantung, berkeringat, tangan dan kaki menjadi dingin, susah buang air besar, dan lain-lain. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya stres kerja pustakawan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyo-Basuki (2006 : 67-68) mengutip pernyataan Caputto (1991) yang mengidentifikasikan bahwa: Pemicu stres (stressor) di dunia perpustakaan perguruan tinggi antara lain adalah renumerasi yang rendah, beban kerja yang berat, lemahnya manajemen dan sistem pengawasan, rendahnya apresiasi masyarakat pengguna terhadap profesi pustakawan, serta kurang jelasnya jenjang karir pustakawan. Selain itu hal lain yang juga merupakan faktor penyebab timbulnya stres kerja pustakawan
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
adalah teknologi informasi. Sulityo-Basuki (2006 : 68-69) menyatakan bahwa: Stressor yang menghantui para pustakawan dalam satu dekade ini adalah penetrasi teknologi informasi ke berbagai kegiatan in-griya perpustakaan yang tidak diimbangi dengan program pelatihan dan peningkatan kemampuan mengelola teknologi informasi sehingga menimbulkan technostress. 2.2.1. Renumerasi yang Rendah Berkaitan dengan penghasilan pustakawan, Sulistyo-Basuki (1991 : 189) menyatakan bahwa: Karyawan harus diberi insentif atas usaha dan pekerjaannya yang baik. Sudah tentu, untuk imbalan ini, gaji pada pegawai perpustakaan harus sama dengan gaji karyawan lain pada badan induk, selama kualifikasinya sama. Keadaan ini tidak selalu berlaku bagi banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Gaji pustakawan yang bekerja pada pemerintah relatif lebih kecil dibandingkan dengan rekannya yang bekerja di kantor swasta, walaupun kualifikasiya sama. Pendapat serupa yang juga menyatakan bahwa gaji pustakawan relatif lebih kecil dibandingkan dengan profesi lainnya dinyatakan oleh Aziz (2006 : 48) yakni: Tunjangan jabatan fungsional pustakawan relatif lebih kecil dibandingkan dengan jabatan fungsional bidang lain dan jabatan struktural. Dengan tunjangan dan jabatan yang relatif kecil ini, tidak memberi motivasi orang-orang menjadi pustakawan, sedangkan bagi pustakawan sendiri tidak lagi tertarik untuk terus duduk dalam jabatan tersebut. 2.2.2. Beban Kerja yang Berat Beban kerja dikategorikan dalam 2 (dua) kelompok, yakni beban kerja kualitatif dan beban kerja kuantitatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Quick (1984 : 26-27) yang menyatakan bahwa: Work over load may be manifested in one of two ways. The first is quantitative over load resulting from the employee being assigned too many task or insufficient time to accomplish the assigned tasks. The second is qualitative in nature. This occurs when the employee does not feel that he possesses the required skills, knowledge, abilities, or competencies to do the job.
Sehubungan dengan beban kerja kuantitatif dan beban kerja kualitatif, Sulistyo-Basuki (2006 : 66-67) berpendapat bahwa: Beban kerja pustakawan perguruan tinggi secara kuantitatif meliputi jam kerja yang panjang karena banyaknya jumlah individu yang harus dilayani, dan menyebabkan tanggung jawab ekstra yang harus dipikul. Sedangkan contoh beban kerja dari aspek kualitatif adalah tingkat kesulitan pekerjaan yang harus ditangani. Beban kerja kuantitatif dan kualitatif ini masih ditambah dengan pekerjaan rutin serta pekerjaan administratif lainnya, yang kesemuanya melampaui kapasitas dan kemampuan pustakawan. 2.2.3. Lemahnya Manajemen dan Sistem Pengawasan Hilman dalam Manullang (2002 : 3) menyatakan bahwa manajemen adalah: ”Fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan bersama”. Berkaitan dengan lemahnya proses manajemen yang menjadi pemicu timbulnya stres kerja, Rice (1992) dalam Rini (2002 : 6) menyatakan bahwa: Sebuah penelitian yang menarik tentang stres kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di suatu organisasi mengalami stres kerja karena konflik peran. Mereka mengalami stres kerja karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Greenberg yang telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu faktor penyebab stres kerja adalah peran dalam organisasi yakni: ketidakjelasan peran, konflik peran, pertanggungjawaban untuk sesama anggota dan konflik organisasi. Konflik dalam peran juga dapat diakibatkan oleh tuntutan yang berbeda dalam pekerjaannya. Perbedaan antara tuntutan kerja dengan ciri-ciri pribadi dan kecakapan yang dimilikinya. Atau dapat dikatakan stres kerja itu muncul bila pekerja tidak mengetahui hasil yang diharapkan dari pekerjaan yang dilakukan. Jika pengertian tentang pengawasan tersebut di atas dikaitkan dengan lemahnya sistem pengawasan di perpustakaan, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Halaman 62
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
lemahnya sistem pengawasan di perpustakaan adalah tidak tercapainya tujuan perpustakaan akibat kurangnya koreksi dan penilaian dari kepala perpustakaan terhadap cara kerja bawahannya. 2.2.4. Rendahnya Apresiasi Masyarakat Pengguna terhadap Profesi Pustakawan Berbagai persepsi masyarakat tentang steriotipe pustakawan sering kali bersifat negatif. Masyarakat sering kali mendeskripsikan pustakawan sebagai sosok yang pendiam, kurang menarik, suka membantah, akrab dengan bukubuku usang dan debu. In 1980s, the populer game show Family Fued surveyed 100 people for the top typical characteristic of librarians. The top three responses were: 1)Quiet, 2) Mean/stern, and 3) Single/unmarried (Bagshaw, 2003 : 120). Disamping hal tersebut di atas, (Sulistyo-Basuki, 2006 : 63) juga menyatakan bahwa: Pustakawan seringkali menerima umpan balik yang negatif dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan sehingga pustakawan sulit mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Seandainya mereka dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab masyarakat menganggap bahwa hal tersebut lumrah dan memang seharusnya seperti itu. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi masyarakat terhadap profesi pustakawan sangatlah rendah. Masyarakat sering mengaitkan pustakawan sebagai sosok yang kurang menarik dan menyenangkan. Disamping itu, masyarakat belum menyadari sepenuhnya bahwa seorang pustakawan sangat berperan sebagai salah satu media penyebar ilmu pengetahuan dan informasi. 2.2.5. Jenjang Karir Pustakawan Pengetahuan, keahlian, pengalaman kerja, dan pelatihan merupakan modal pokok yang diperlukan oleh tiap individu dalam upaya memperoleh peningkatan karir.
Halaman 63
Gibson (1997 : 316) menyatakan bahwa, ”Karir adalah ide untuk terus begerak ke atas dalam garis pekerjaan yang dipilih seseorang. Bergerak ke atas artinya memperoleh gaji yang lebih besar, tanggung jawab yang semakin berat, status, prestise, dan kekuasaan”. Berbagai alternatif karir bertujuan untuk memberikan motivasi kepada karyawan agar mampu menggali potensi yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Sobri (2004 : 37) yang menyatakan bahwa ada beberapa masalah yang menghambat pustakawan dalam peningkatan karir pustakawan dalam mencapai jabatan fungsional pustakawan, adapun masalahnya meliputi: 1) Mutu/kualitas SDM yang merupakan prioritas dalam segala bidang terutama bidang pelayanan publik. 2) Yang memerlukan perhatian dan kepedulian serius adalah lemahnya disiplin dan etika pustakawan. 3) Diharapkan pustakawan dapat melaksanakan tugas secara profesional, kompeten, dan berkualitas serta dapat memenuhi tuntutan masyarakat. Faktor yang menghambat pengembangan karir pustakawan adalah: 1) Masih rendahnya mutu/kualitas pustakawan 2) Lemahnya disiplin dan etika pustakawan 3) Pustakawan tidak memiliki kesempatan lagi untuk naik jabatan 4) Pustakawan mengalami kesulitan dalam mencapai target yang dibutuhkan sebagai syarat kenaikan jabatan. 3. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pustakawan yang bekerja di lingkungan Perpustakaan USU sampai dengan Maret 2007 yaitu berjumlah 35 orang. Oleh karena jumlah populasi kurang dari 100 maka seluruh populasi dijadikan sampel atau total sampel. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian adalah: Observasi, Kuesioner, dan Studi kepustakaan dan dokumentasi.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Untuk menghitung persentase jawaban yang diberikan responden digunakan rumus sebagai berikut: P=
F x 100% n
Keterangan: P = Persentase F = Jumlah jawaban yang diperoleh n = Jumlah responden (Hadi, 2001 : 421) 4. Hasil dan Pembahasan Bab ini akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan yang datanya diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada responden penelitian di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU). 4.1. Renumerasi Untuk mengetahui apakah pendapatan/ penghasilan merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja pustakawan pada perpustakaan USU, dapat dilihat dari hasil jawaban responden tentang gaji pokok dan tunjangan di luar gaji pokok. 4.1.1. Gaji Pokok Untuk mengetahui sesuai atau tidak gaji yang diterima pustakawan dengan tuntutan pekerjaan yang ia lakukan, data menunjukkan bahwa 12 responden (34,29%) yang memberi jawaban bahwa gaji yang diterima sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang dilakukan, sedangkan 16 responden (45,71%) menyatakan kurang sesuai, dan 7 responden (20%) menyatakan tidak sesuai. Dapat disimpulkan bahwa hampir setengah pustakawan pada Perpustakaan USU merasa bahwa gaji yang mereka terima kurang sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Tuntutan pekerjaan yang banyak seharusnya diimbangi dengan penyesuaian besarnya gaji pokok. Namun, ketetapan gaji pokok PNS tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun termasuk oleh pustakawan. Disamping itu tidak sedikit pustakawan yang merasa bahwa gaji yang mereka terima sudah sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan. 4.1.2. Tunjangan di Luar Gaji Pokok Untuk mengetahui sesuai atau tidak tunjangan di luar gaji pokok yang diterima pustakawan
dengan tuntutan pekerjaan yang ia lakukan, data menunjukkan bahwa 13 responden (37,15%) memberi jawaban bahwa tunjangan di luar gaji pokok yang mereka terima sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan, 16 responden (45,71%) menyatakan kurang sesuai, dan 6 responden menyatakan tidak sesuai. Data di atas menggambarkan bahwa hampir setengah pustakawan pada Perpustakaan USU merasa bahwa tunjangan di luar gaji pokok yang mereka terima kurang sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan. 4.2. Beban Kerja Untuk mengetahui apakah beban merupakan faktor penyebab stres pustakawan pada Perpustakaan USU, dilihat dari hasil jawaban responden tuntutan kerja, waktu kerja, cara pemanfaatan waktu istirahat, kelelahan lesu, emosi, serta jenuh.
kerja kerja dapat pada kerja, fisik,
4.2.1. Tuntutan Kerja Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU merasa memiliki terlalu banyak tuntutan pekerjaan, data menunjukkan bahwa 6 responden (17,14%) memberi jawaban bahwa tuntutan pekerjaan yang mereka lakukan terlalu banyak, yang menjawab kadang-kadang 23 responden (65,72%), dan menjawab tidak 6 responden (17, 14%). Berdasarkan uraian data tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakaan USU merasa bahwa tuntutan pekerjaan mereka kadangkadang terlalu banyak. Hal seperti ini menandakan bahwa hanya pada waktu tertentu saja pustakawan melakukan banyak pekerjaan. Misalnya pada divisi pengadaan dan pengatalogan memiliki banyak pekerjaan saat harus mengolah buku-buku yang baru diterima oleh pihak perpustakaan. Selain itu divisi lain yang langsung melayani pengguna yakni sirkulasi, referensi dan layanan digital memiliki banyak pekerjaan saat jam-jam sibuk dimana pengguna ramai berkunjung ke perpustakaan. 4.2.2. Waktu Kerja Untuk mengetahui apakah waktu yang telah ditetapkan cukup untuk menyelesaikan pekerjaan pustakawan, data menunjukkan bahwa 33 Halaman 64
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
responden (94,28%) menjawab bahwa waktu yang telah ditetapkan cukup untuk menyelesaikan pekerjaan, 1 responden (2,86%) menjawab kurang, dan 1 responden (2,86%) menjawab tidak cukup. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya pustakawan pada Perpustakaan USU merasa waktu yang telah ditetapkan cukup untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Dengan kata lain, pustakawan pada Perpustakaan USU mampu menyelesaikan pekerjaan mereka tepat pada waktunya. 4.2.3. Cara Kerja Untuk mengetahui apakah pustakawan pada perpustakaan USU bekerja terlalu keras atau tidak dalam menyelesaikan pekerjaannya data menunjukkan 8 responden (22,86%) menjawab bahwa mereka bekerja terlalu keras dalam menyelesaikan pekerjan mereka, yang menjawab kadang-kadang 19 responden (54,28%), sedangkan yang menjawab tidak 8 responden (22,86%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakaan USU kadang-kadang bekerja terlalu keras dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. 4.2.4. Pemanfaatan Waktu Istirahat Untuk mengetahui apakah waktu istirahat juga dimanfaatkan pustakawan pada Perpustakaan USU untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, data menunjukkan bahwa 8 responden (22,86%) menjawab bahwa mereka juga memanfaatkan waktu istirahat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, yang menjawab kadang-kadang 18 responden (51,43%), yang menjawab tidak pernah 9 responden (25,71%). Data tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakan USU kadangkadang menggunakan waktu istirahat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Penggunaan waktu istirahat yang kadang-kadang dimanfaatkan oleh pustakawan untuk menyelesaikan pekerjaan, dapat berakibat buruk bagi kesehatan pustakawan. Saat istirahat harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh siapapun termasuk oleh pustakawan, agar semangat kerja kembali dimilikinya setelah sebelumnya bekerja keras.
Halaman 65
4.2.5. Kelelahan Fisik Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU merasakan kelelahan fisik atau tidak sehabis bekerja, data menunjukkan bahwa 8 responden (22,86%) menjawab bahwa mereka merasakan kelelahan fisik yang amat sangat sehabis bekerja, yang menjawab kadangkadang 23 responden (65,71%), yang menjawab tidak pernah 4 responden (11,43%). Uraian data tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakan USU kadangkadang merasakan kelelahan fisik yang amat sangat sehabis bekerja. 4.2.6. Lesu Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU merasa lesu ketika bangun pagi karena mereka harus kembali bekerja di perpustakaan, data menunjukkan bahwa 6 responden (17,14%) menjawab bahwa mereka merasa lesu ketika bangun pagi karena mereka harus kembali bekerja di perpustakaan, yang menjawab kadang-kadang 17 responden (48,57%), yang menjawab tidak pernah 12 responden (34,29%). Data tersebut menggambarkan bahwa hampir setengah pustakawan pada Perpustakan USU kadangkadang merasa lesu ketika bangun pagi karena harus kembali bekerja di perpustakaan. Banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan, banyaknya jumlah pengguna yang harus dilayani, serta kebosanan kerja, menyebabkan pustakawan merasa lesu ketika bangun pagi karena harus kembali bekerja di perpustakaan. 4.2.7. Emosi Untuk mengetahui apakah emosi pustakawan pada Perpustakaan USU meningkat ketika sedang bekerja, data menunjukkan bahwa 3 responden (8,57%) menjawab bahwa emosi mereka meningkat ketika sedang bekerja, yang menjawab kadang-kadang 20 responden (57,14%), yang menjawab tidak pernah 12 responden (34,29%). Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakan USU kadang-kadang mengalami peningkatan emosi ketika sedang bekerja.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
4.2.8. Jenuh Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU merasa jenuh dengan pekerjaan mereka saat ini, data menunjukkan bahwa 5 responden (14,29%) menjawab mereka jenuh dengan pekerjaan mereka saat ini, yang menjawab kadang-kadang 17 responden (48,57%), yang menjawab tidak pernah 13 responden (37,14%). Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa hampir setengah pustakawan pada Perpustakaan USU kadangkadang merasa jenuh dengan pekerjaan mereka saat ini. Kejenuhan yang dialami oleh pustakawan diakibatkan oleh pekerjaan yang terlalu banyak, atau mereka merasa kalau pekerjaan yang saat ini mereka lakukan tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan keahlian mereka. 4.3. Apresiasi Masyarakat Apresiasi masyarakat yang rendah terhadap profesi pustakawan merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja pustakawan. Untuk mengetahui sejauh mana apresiasi masyarakat terhadap pustakawan dapat diketahui dari penghargaan masyarakat, pengaruh pustakawan, serta reaksi pengguna. 4.3.1. Penghargaan Masyarakat Untuk mengetahui apakah masyarakat menghargai atau tidak profesi pustakawan, data menunjukkan bahwa 10 responden (28,57%) menjawab bahwa masyarakat menghargai profesi mereka sebagai pustakawan, yang menjawab kadang-kadang 19 responden, yang menjawab tidak pernah 6 responden (17,14%). Data tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakaan USU merasa bahwa masyarakat kurang menghargai profesi mereka sebagai pustakawan. Masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap profesi pustakawan disebabkan oleh masih kurangnya wawasan masyarakat akan peranan penting pustakawan bagi dunia pendidikan, yakni sebagai media perantara untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat masih mendeskripsikan pustakawan sebagai sosok yang kurang menarik dan pekekerjaan yang
dilakukan oleh pustakawan tidak membutuhkan keahlian dan pendidikan khusus. 4.3.2. Pengaruh Pustakawan Untuk mengetahui apakah responden merasa telah memberikan pengaruh positif terhadap masyarakat dengan berprofesi sebagai pustakawan data menunjukkan bahwa 21 responden (60%) menjawab telah memberikan pengaruh positif dengan berprofesi sebagai pustakawan, 10 responden (28,57%) menjawab kadang-kadang, 4 responden (11,43%) menjawab tidak pernah. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pustakawan pada Perpustakaan USU merasa telah memberikan pengaruh positif terhadap orang lain dengan berprofesi sebagai pustakawan. 4.3.3. Reaksi Pengguna Untuk mengetahui apakah pustakawan disalahkan atau tidak oleh pengguna jika pengguna mengalami kesulitan dalam mencari informasi di perpustakaan, data menunjukkan bahwa 5 responden (14,29%) menjawab pengguna menyalahkan mereka ketika mengalami kesulitan dalam mencari informasi di perpustakaan, yang menjawab kadang-kadang 14 responden (40%), yang menjawab tidak pernah 16 responden (45,71%). Dapat disimpulkan bahwa hampir setengah pustakawan pada Perpustakaan USU tidak pernah disalahkan oleh pengguna jika mereka mengalami kesulitan dalam mencari informasi di perpustakaan. Namun, tidak sedikit dari pustakawan yang kadang-kadang disalahkan oleh pengguna jika mereka mengalami kesulitan dalam mencari informasi di perpustakaan. Hal ini kemungkinan terjadi karena kurangnya komunikasi antara pengguna dengan pustakawan, atau pengguna tidak dapat menemukan koleksi yang mereka cari padahal koleksi tersebut tertera di katalog. 4.4. Karir Terhambatnya peningkatan karir merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja. Untuk mengetahui sejauh mana karir berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU, dapat dilihat dari jawaban tentang kesempatan peningkatan karir, jenjang karir, pemahaman persyaratan peningkatan karir, kemampuan memenuhi persyaratan peningkatan karir. Halaman 66
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
4.4.1. Kesempatan Peningkatan Karir Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU merasa pesimis atau tidak atas kesempatan peningkatan karir mereka, data menunjukkan bahwa 14 responden (40%) menjawab bahwa mereka pesimis atas kesempatan peningkatan karir mereka, yang menyatakan kadang-kadang 6 responden (17,14%), yang menyatakan tidak pernah 15 responden (42,86%). Uraian data tersebut menggambarkan bahwa hampir setengah pustakawan pada Perpustakaan USU tidak pernah merasa pesimis atas peningkatan karir mereka. Rasa optimis yang dimiliki oleh pustakawan pada Perpustakaan USU menunjukkan bahwa mereka memiliki kualitas dan potensi diri untuk mengembangkan karir demi pencapaian taraf hidup yang lebih baik.
Berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh MENPAN sebagai syarat kenaikan jabatan pustakawan telah jelas dipaparkan dalam buku pedoman Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. 4.4.4. Kemampuan Memenuhi Persyaratan Peningkatan Karir Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU memiliki kemampuan atau tidak dalam memenuhi persyaratan peningkatan jenjang karir pustakawan, data menunjukkan bahwa 31 responden (88,57%), menjawab mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk peningkatan jenjang karir, sedangkan yang menjawab kurang mampu sebanyak 4 responden (11,43%). Dapat disimpulkan bahwa pada umumnya pustakawan pada Perpustakaan USU mampu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk peningkatan jenjang karir.
4.4.2. Jenjang Karir Untuk mengetahui apakah jenjang karir pustakawan pada Perpustakaan USU lebih rendah atau tidak daripada yang seharusnya, data menunjukkan bahwa 11 responden (31,43%) menjawab bahwa karir mereka lebih rendah daripada yang seharusnya, sedangkan 24 responden (68,57%) menjawab tidak. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar jenjang karir pustakawan pada Perpustakaan USU tidak lebih rendah daripada yang seharusnya. Atau dengan kata lain pustakawan pada Perpustakaan USU merasa telah memiliki posisi yang sesuai dengan kemampuan mereka saat ini. 4.4.3. Pemahaman Persyaratan Peningkatan Karir Untuk mengetahui apakah pustakawan pada Perpustakaan USU memahami atau tidak persyaratan yang dibutuhkan untuk peningkatan jenjang karir, data menunjukkan bahwa 31 responden (88,57%), menjawab memahami persyaratan yang dibutuhkan untuk peningkatan jenjang karir, sedangkan yang menjawab kurang memahami sebanyak 4 responden (11,43%). Data tersebut menggambarkan bahwa pada umumnya pustakawan pada Perpustakaan USU memahami persyaratan yang dibutuhkan untuk peningkatan jenjang karir.
Halaman 67
Pada umumnya pustakawan pada Perpustakaan USU memiliki dasar pendidikan perpustakaan, sehingga sudah sewajarnya mereka mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagai syarat kenaikan jabatan pustakawan. 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan penulis, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU meliputi renumerasi, beban kerja, serta apresiasi masyarakat terhadap profesi pustakawan 2. Jenjang karir bukan merupakan faktor penyebab stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU. 3. Faktor penyebab stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU dari segi renumerasi adalah kurang sesuainya gaji pokok dan tunjangan di luar gaji pokok yang diterima pustakawan jika dibandingkan dengan banyaknya tuntutan pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
4. Faktor penyebab stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU dari segi beban kerja adalah tuntutan pekerjaan yang kadang-kadang terlalu banyak, sehingga pustakawan harus bekerja keras, dan kadang-kadang harus memanfaatkan waktu istirahat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. 5. Kejenuhan secara fisik dan secara emosional juga dialami oleh pustakawan pada perpustakaan USU. Kejenuhan secara fisik yakni pustakawan kadang-kadang merasakan kelelahan fisik yang amat sangat sehabis bekerja. Dalam melakukan pekerjaan, pustakawan pada Perpustakaan USU kadang-kadang juga mengalami peningkatan emosi. Selain itu pustakawan pada Perpustakaan USU kadang-kadang juga merasa jenuh dengan pekerjaan mereka saat ini. Keseluruhan hal tersebut menunjukkan bahwa pustakawan pada Perpustakaan USU mengalami stres kerja. 6. Faktor penyebab stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU dari segi apresiasi masyarakat adalah masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap profesi pustakawan. Pustakawan sangat ingin profesi mereka dihargai oleh masyarakat, namun apa yang mereka rasakan justru sebaliknya, yakni hanya segelintir orang yang menghargai profesi mereka sebagai pustakawan. 7. Faktor yang paling dominan menjadi pemicu timbulnya stres kerja pustakawan pada Perpustakaan USU adalah beban kerja. 8. Pustakawan pada Perpustakaan USU merupakan orang-orang yang memiliki kualifikasi kerja baik. Hal ini ditandai dengan kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan dalam meningkatkan jenjang karir. Selain itu pustakawan pada Perpustakaan USU juga mampu beradaptasi dengan penerapan teknologi informasi di perpustakaan. 5.2. Saran Dari kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis ingin mengajukan beberapa saran yakni Perpustakaan USU sebaiknya melakukan evaluasi terhadap hasil kerja pustakawan minimal 1 kali dalam 6 bulan (persemester), agar
dapat diketahui persoalan-persoalan apa saja yang dihadapi oleh pustakawan yang dapat menjadi penyebab timbulnya stres kerja, sehingga penyebab tersebut dapat dicegah. Rujukan Arikunto, Suharsimi. 2002. “Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek”. Edisi Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta. Aziz, Afrizal. 2006. “Pustakawan sebagai Tenaga Profesional di Bidang Perpustakaan, Informasi, dan Dokumentasi”. Jurnal Kepustakawanan dan Masyarakat Membaca. Vol. 22(1) Januari-Juni 2006: 39-49. Bagshaw, Mari C. 2003. “Expectations of Librarians in the 21st Century”. London: Grenwood Press. Berry, Lilly M. 2004. “Psychology at Work: An Introducion to Industrial and Organizational Psychology”. Boston: McGraw-Hill Book. Cooper, Cary L and Smith, Michael J. 1985. “Job Stress and Blue Collar Work”. Chichester: John Wiley & Sons. Corsini, Raymond J. 2002. “The Dictionary of Psychologi”. New York: BrunnerRoutledge. Davis, Martha; Eshelman, Elizabeth Robbins and McKay, Matthew. 1995. Alih Bahasa: Achir Yani S. “Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres”. Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Departemen Pendidikan Nasional RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2004. ”Perpustakaan Perguruan Tinggi: Buku Pedoman”. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Greenberg, Jerold S. 2002. ”Comprehensive Stress Management”. Boston: McGrawHill Book. Manullang, M. 2002. “Dasar-dasar Manajemen”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 1994. “Pedoman Umum Perpustakaan Perguruan Tinggi”. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Quick, James C. And Quick, Jonathan D. 1984. “Organizational Stress and Preventive Management”. New York: McGraw-Hill Book. Halaman 68
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Rice, Phillip L. 1987. ”Stress and Health”. California: Brooks/Cole Publishing. Rini, Jacinta F. 2002. “Stres Kerja”. <www.epsikologi.com/masalah/stres.htm> (27/02/2007).
Halaman 69
Sobri,
Halim. 2004. ”Pembinaan Karier Pustakawan dalam Jabatan Fungsional”. Jurnal Kepustakawanan dan Masyarakat Membaca. Vol. 20(1) Januari-Juni 2006: 35-43.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Uji Ketergunaan Antarmuka Situs Web Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Himma Dewiyana Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Abstract Digital libraries must reach out to users from all walks of life, serving information needs at all levels. To do this, they must attain high standards of usability over an extremely broad audience. This paper details the evolution of one important web sites University of North Sumatra Library component as it has grown in functionality and usefulness over several years of use by a live, unrestricted community. Central to its evolution have been user studies, analysis of use patterns, and formative usability evaluation. Usability testing measures the usability, or ease of use (specifying searches, terminology, effectivenes, efficiency, consistency), languages, of a spesific object or set of object where as general human computer interaction. Keywords: human computer interaction, usability testing, user interface, digital library Pendahuluan Luasnya informasi yang tersedia serta peningkatannya yang berlangsung terus, penyedia informasi harus tetap dapat menyediakan informasi secara konstan dan berkesinambungan dengan memanfaatkan bantuan teknologi informasi untuk penyebaran, penelusuran, dan akses informasi. Penyebaran informasi bisa dilakukan dengan meningkatkan akses (improve knowledge access) dan transfer pengetahuan dengan menggunakan media, salah satunya membangun situs web. Hal ini dapat dimungkinkan oleh kecanggihan dan keterjangkauan Internet sebagai jalan raya informasi global, yang terbuka untuk semua orang. Keberhasilan penyebaran dan temu kembali informasi yang dimuat di situs web ditentukan dari bagaimana seorang perancang mendisain antar muka situs, yaitu jembatan yang mempertemukan pengguna dengan informasi. Menurut Casson (2001), salah satu masalah yang dihadapi dalam pengembangan perpustakaan digital adalah berkaitan dengan antarmuka. Antarmuka perpustakaan digital menjadi jembatan yang menghubungkan kebutuhan informasi pengguna dengan sumber-sumber dan layanan yang ada di perpustakaan. Oleh sebab itu pengembangan antar muka untuk situs web perpustakaan harus melibatkan pengguna secara
aktif sejak perencanaan sampai evaluasi. Salah satu cara mengevaluasi antarmuka dikenal dengan nama uji ketergunaan atau usability testing. Uji ketergunaan adalah mengukur kemudahan digunakan, kemudahan dipelajari, efisiensi dan kepuasan. Badre (2002:229) memberikan definisi usability testing atau uji ketergunaan sebagai berikut, “Usability testing has traditionally meant testing for efficiency, ease of learning, and the ability to remember how to perform interactive tasks without difficulty or errors.” Dengan perkataan lain, uji ketergunaan adalah mengukur efisiensi, kemudahan dipelajari, dan kemampuan untuk mengingat bagaimana berinteraksi tanpa kesulitan atau kesalahan. Selanjutnya dikatakan, uji ketergunaan dilakukan untuk mengukur bagaimana pengguna menggunakan sistem dan masalah-masalah yang ditemuinya. Definisi ini sama seperti yang dinyatakan ISO standard 9241 (1999), yaitu uji ketergunaan berkaitan dengan efektivitas, efisiensi, dan kepuasan pengguna tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam lingkungan-lingkungan tertentu (Dix, Finlay, Abowd, & Beale, 1992:192). Dengan demikian dapat disimpulkan uji ketergunaan penting dilakukan untuk mendapatkan antarmuka yang sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan pengguna dalam menggunakan sistem. Halaman 70
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Clairmont (1998) memberikan definisi uji ketergunaan formal sebagai, “the observation and analysis of user behavior while user suseaproductor product prototype to achieve a goal”. Sedangkan Covey (2002) memberikan definisi sebagai berikut: “a structured, exploratory observation of clearly defined aspects of the behavior of an individual performing one or more design at ad tasks. The purpose of the protocol is to gather in - depth insight into the behavior and experience of a person using a particular tool or product.” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode uji ketergunaan formal tidak lain adalah mengamati penggunaan sistem atau prototipenya oleh pengguna, dengan cara memberikan tugas yang telah dibuat oleh peneliti. Penggunaan atau interaksi tersebut diterjemahkan dalam bentuk komentar-komentar (kritik, saran, pujian, keluhan, pertanyaan, gerak tubuh, mimik, dan sebagainya) yang diungkapkan pengguna (sering disebut dengan user, subject, atau participant) sewaktu menggunakan sistem atau prototipenya dalam melakukan tanya jawab dengan peneliti atau orang yang melakukan pengamatan (sering disebut dengan observer). Terdapat berbagai metode untuk melakukan uji ketergunaan. Salah satunya adalah uji ketergunaan formal (formal usability testing). Uji ketergunaan formal pada antarmuka Perpustakaan USU dilakukan untuk mengetahui ketergunaan situs web Perpustakaan USU, mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemui pengguna sewaktu menggunakan situs web Perpustakaan USU, dan mengetahui perubahanperubahan yang harus dilakukan pada situs web Perpustakaan USU. Sedang Kriteria ketergunaan yang diujikan meliputi kemudahan digunakan, kemudahan dipelajari (langkah-langkah, istilah yang digunakan, kecepatan sistem, waktu, dan konsistensi), kesalahan, dan bahasa yang sebaiknya digunakan pada situs web Perpustakaan USU Metode Penelitian Masing-masing perpustakaan digital memungkinkan pengguna untuk mengakses sumber-sumber informasi digital dari seluruh belahan dunia. Seperti halnya dengan
Halaman 71
perpustakaan tradisional, setiap pengguna akan melihat perpustakaan digital sesuai dengan persepsi dan kebutuhan masing-masing. Pengguna yang terpilih sebagai responden dipilih dengan memperhatikan latar belakang, keaktifan, pengetahuan, keterampilan, dan frekuensi penggunaan Internet dan situs web Perpustakaan USU. Uji ketergunaan formal dilakukan kepada 3 jenis responden yaitu mahasiswa, staf dan dosen. Dari tiap jenis responden tersebut ditetapkan responden yang awam dan terampil dalam menggunakan komputer dan Internet (lihat Tabel 1). Tabel – 1. Karakteristik Responden Responden Responden 1 Responden 2 & 6 Responden 3 & 5 Responden 4
Situs web Perpustakaan USU Sudah pernah Belum pernah Sudah pernah Belum pernah
Komp & Internet Terampil Terampil Awam Awam
Periode pengumpulan data dilakukan pada bulan November 2008. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan merekam setiap tindakan yang dilakukan responden untuk menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan setiap menu dan sub menu di situs web Perpustakaan USU yang harus dikerjakan oleh masing-masing responden. Hal ini secara otomatis dilakukan oleh perangkat lunak Camstudio yang di-instal pada komputer yang digunakan untuk melakukan pengujian. Kedua, melakukan wawancara mendalam dengan merekam setiap komentar yang diberikan oleh responden. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tape recorder. Analisis dilakukan sesuai dengan kriteria ketergunaan yang diujikan meliputi: (1) kemudahan digunakan, (2) kemudahan dipelajari (langkah-langkah, istilah yang digunakan, kecepatan sistem, waktu, dan konsistensi), (3) kesalahan, dan (4) bahasa yang sebaiknya digunakan pada situs web Perpustakaan USU. Di bawah ini adalah gambar antarmuka halaman pertama Perpustakaan USU (http://library.usu. ac.id).
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Gambar – 1: Antarmuka Halaman Depan Perpustakaan USU HASIL DAN PEMBAHASAN
ditetapkan.
Berikut adalah hasil pengumpulan data dan pembahasan tentang tingkat ketergunaan situs web Perpustakaan USU, masalah-masalah yang ditemui pengguna sewaktu menggunakan situs web Perpustakaan USU, dan perubahanperubahan yang harus dilakukan pada situs web Perpustakaan USU.
A. Mudah Digunakan Untuk mengukur kemudahan penggunaan menumenu yang terdapat di situs web Perpustakaan USU dilihat dari soal-soal yang dikerjakan dengan benar oleh seluruh responden dan langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Dari 20 soal yang diberikan kepada setiap responden, 18 soal dapat dikerjakan dengan benar oleh seluruh responden, ke-18 soal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Ketergunaan Perpustakaan USU Berikut ini akan diuraikan hal-hal berkaitan dengan aspek-aspek ketergunaan yang telah
1) Berita-berita terbaru di perpustakaan (News) 2) Pencarian buku menggunakan USU Library Catalog (OPAC)
Gambar – 2: Menu OPAC Perpustakaan USU Halaman 72
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
3) Pencarian dengan menggunakan Basic search
Gambar – 3: Fasilitas Pencarian dengan Menggunakan Basic search 4) Pencarian dengan menggunakan Advanced search
Gambar – 4: Fasilitas Pencarian dengan Menggunakan Advanced search 5) Scientific Journal (e-Journal)
Gambar – 5: E-journal yang Dilanggan Perpustakaan USU 6) USU Repository
Gambar – 6: Fasilitas Pencarian dan Kategori pada Menu USU Repository Halaman 73
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
7) Masukan kepada perpustakaan (feedback), sub menu Contact Us
Gambar – 7: Menu Contact Us 8) Hours
Gambar – 8: Menu Jam Buku Layanan Perpustakaan 9) Maps
Gambar – 9: Denah Ruangan Perpustakaan Halaman 74
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
10) Webcam
Gambar – 10: Fasilitas Webcam 11) Photo Gallery
Gambar – 11: Photo Gallery 12) Archives
Gambar – 12: Arsip Berita Perpustakaan
Halaman 75
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
13) E-mail
Gambar – 13: Fasilitas E-mail 14) Other Libraries
Gambar – 14: Link ke Perpustakaan Lain 15) Melakukan login. Form Login
Gambar – 15: Fasilitas Login 16) Other Resources
Halaman 76
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
17) ADB-WB 18) American Corner Sedangkan 2 (dua) soal lainnya tidak dapat diselesaikan dengan benar oleh seluruh responden. Dua soal tersebut adalah 1) membuat review buku, dan 2) menu Membership yaitu sub menu Berkas Unduhan.
B. Mudah Dipelajari Untuk mengukur kemudahan dipelajari menumenu yang terdapat di situs web Perpustakaan USU dilihat dari aspek-aspek berikut ini: - Langkah-langkah - Istilah yang digunakan, - Kecepatan, - Waktu, dan - Konsistensi. Secara rinci penjelasan mengenai masing-masing aspek di atas dapat disimak pada uraian berikut ini. 1) Langkah-langkah Langkah-langkah yang dilakukan oleh seluruh responden terhadap 12 menu yang dikerjakan dengan benar adalah sama yaitu dengan mengklik menu yang dimaksudkan. Sedangkan menumenu lain tidak berhasil langsung dikerjakan dengan benar oleh beberapa responden. 2) Istilah yang digunakan Dari keseluruhan istilah yang terdapat di situs web Perpustakaan USU yang digunakan sebagai nama menu, submenu, tajuk halaman menu, baris isian, keterangan, dan lain-lain, hanya terdapat 4 istilah yang tidak dapat dimengerti oleh para responden. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan bahasa beberapa yang Halaman 77
tidak dapat dipahami dana atau belum pernah diketahui oleh para responden. Istilah-istilah tersebut adalah: (1) WB/ADB (2) USU Repository (3) Other Resources (4) Berkas Unduhan 3) Kecepatan sistem Dari komentar yang diberikan, seluruh responden menyatakan kecepatan Perpustakaan USU sudah cukup dalam memberikan respons kepada setiap perintah yang diberikan. 4) Waktu Waktu yang dibutuhkan oleh masing-masing responden untuk menyelesaikan tiap soal yang diberikan sangat bervariasi. Pada soal-soal yang berhasil dikerjakan dengan benar oleh seluruh responden perbedaan waktu yang dibutuhkan tidak terpaut terlalu jauh. Perbedaan waktu terlihat antara pengguna awam dan terampil. Dimana pengguna awam membutuhkan lebih banyak waktu. Sedangkan pada soal-soal lainnya, dimana tidak seluruh responden dapat mengerjakan dengan benar, juga terlihat perbedaan waktu yang mencolok antara pengguna awam dan terampil.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
5) Konsistensi Hanya terdapat satu ketidak-konsistenan yang ditemukan responden yaitu pada menu About sub menu Archives tertulis Acives. C. Kesalahan pada Sistem Pada waktu pengujian, beberapa responden menemui kesalahan yang dilakukan oleh system (situs web Perpustakaan USU), yaitu pada saat melakukan login. Masing-masing responden memberikan komentar yang berbeda-beda dari para responden. Komentar yang diberikan mulai dari yang bias menerima sampai yang merasa kesal dan penasaran dengan terjadinya kesalahan tersebut. D. Bahasa yang Digunakan Untuk meningkatkan akses ke situs web Perpustakaan USU, 4 (empat) orang responden memberikan komentar untuk membuat dalam dua bahasa yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sedangkan dua lainnya mengusulkan menggunakan bahasa Indonesia saja dengan alasan nasionalisme yaitu lebih baik menggunakan bahasa bangsa sendiri. 2. Masalah-Masalah yang Perpustakaan USU
Terdapat
di
Pada waktu dilakukan pengujian, responden menemui beberapa masalah di Perpustakaan USU. a. Istilah Masalah utama yang ditemui para responden berkaitan dengan istilah. Hal ini tidak hanya ditemui oleh responden awam, tetapi juga oleh responden terampil. Terdapat 4 istilah yaitu: WB/ADB, USU Repository, Other Resources, dan Berkas Unduhan b. Cara penggunaan Beberapa responden menyelesaikan soal dengan cara lain yang diketahuinya. Namun hal ini tidak mencapai tujuan yang diinginkan. - Responden 2 tidak dapat menyelesaikan soal yang berkaitan dengan uploading dikarenakan tidak terbiasa dengan cara yang ditetapkan Perpustakaan USU. - Responden 4 menyimpan berkas unduhan tidak dengan meng-klik Save yang ada di bawah menu melainkan melalui cara penyimpanan di browser (Internet Explorer).
c. Ketidaktahuan responden pada penggunaan menu tertentu Masalah lainnya adalah beberapa responden belum pernah menggunakan menu tertentu. - Semua Responden belum pernah menggunakan e-mail kepada pustakawan (Contact Us). - Responden 2 dan Responden 6 belum pernah menu Other Resources. d. Letak menu Posisi sub menu berkas unduhan yang berada di bawah menu membership menimbulkan kesulitan kepada responden 5 untuk menyelesaikan soal yang berkaitan dengan menu tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uji ketergunaan pada antar muka situs web Perpustakaan USU dapat disimpulkan sesuai kriteria ketergunaan yang diujikan meliputi kemudahan digunakan, kemudahan dipelajari (langkah-langkah, istilah, kecepatan sistem, waktu, dan konsistensi), kesalahan, dan bahasa yang digunakan pada situs web Perpustakaan USU menunjukkan dari 20 soal yang diberikan kepada setiap responden, 18 soal dapat dikerjakan dengan benar, artinya 18 menu pada antarmuka situs web Perpustakaan USU dapat digunakan dengan mudah, dan 2 (dua) sebaliknya. Demikian pula dengan penggunaan istilah dan bahasa. Melalui tes ini juga dapat diketahui masalah lainnya dan usulan yang diberikan oleh para responden. Berikut ini usulan perbaikan yang disampaikan oleh para responden: a. Usulan perubahan yang berkaitan dengan menu-menu yang terdapat di Perpustakaan USU. Pada dasarnya usulan yang banyak disampaikan adalah memberikan keterangan pada tiap-tiap menu. Rincian usulan perubahan situs web Perpustakaan adalah sebagai berikut: (1) Sub Menu Berkas Unduhan dapat dijadikan menu sendiri (2) Usulan pembelian buku baru (3) Pencarian buku di perpustakaan lain (4) Profil pengguna (5) Pemesanan buku (reservasi buku atau booking) (6) Statistik Halaman 78
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
b. Meningkatkan kecepatan Perpustakaan USU dalam memberikan respons. c. Meningkatkan konsistensi pada menumenu yang terdapat di Perpustakaan USU. d. Memberikan pilihan bahasa Inggris, selain bahasa Indonesia yang telah digunakan Perpustakaan USU. DAFTAR PUSTAKA Badre, A. N. (2002). Shaping Web usability: interaction design in context. Boston: Addison-Wesley. Barnard, J. (1999, Juli). Web Accesible Library Resources for Emerging Virtual Libraries. The Journal of Library Services for Distance Education, II (1). Borgholm , T., & Madsen, K. H. (1999, Mei). Cooperative usability practices. Communications of the ACM, 4 2 (5), 9197. Casson, Rob et al. (2001). The Miami University Digital Library: a whitepaper. <www.dis.lib.muohio.edu/documents/dlib -whitepaper-v2.pdf>. 15 November 2005 Clairmont, Michelle et al. (1998). Testing for usability in the design of a new information gateway. Paper presented at Living the Future 2, Tucson, Arizona, April 1998. 03 Maret 2001
Halaman 79
Covey, D. T. (2002). Usage and usability assessment: library practices and concerns., . 6 September 2002 Dickstein, R., & Mills, V. (2002). Usability testing at the University of Arizona Library: how to letthe users in on the design. Information Technology and Libraries, 144-151, September. Dix, A. J., Finlay, J. E., Abowd, G. D., & Beale, R. (1992). Human-Computer Interaction (2nd ed.). Harlow, England: Prentice Hall. France , Robert K. et al (1992). Use and usability in a digital library search system. 08 Agustus 2008. Greunen, D. v., & Wesson, J. (1999). Formal usability testing: informing design. . March 12, 2003 International Standard Organization (ISO) 9241, Ergonomic requirements for office workwith visual displayterminals, Part II: Guidance on usability. (1997). Geneva, Switzerland: International Standards Organization. Park, S. (2000). Usability, user preferences, effectiveness, and user behaviors when searching individual and integrated fulltext databases: implications for digital libraries. Journal of the American Society for Information Science, 51(5), 456-468.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Costumer Relationship Management (CRM) sebagai Sarana Meraih Image Positif untuk Perpustakaan Hotlan Siahaan Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Universitas Sumatera Utara Abstract Customer Relationship Management in the library was means in an effort to give the best service for customers. The CRM strategy approach in the library was a process of modifying the customer, but also was aimed to more strengthen the association between the library and his customer. Applied the concept of the CRM activity could gain the positive image for the library. The creation of an agency image (Corporate the image) that was good in the eyes of public or his public often will benefit, because will bring ”citra” that was similar to all the service products and the service that were produced, and will become a special pride for his official (the employee relation) also will cause sense of belonging towards their place agency worked. Keywords: library management, service for customers Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memegang peranan penting dalam distribusi informasi dan memicu terjadi ledakan informasi. Teknologi informasi dan komunikasi ikut andil dalam ledakan informasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi membawa perubahan dalam masyarakat saat ini. Perubahan itu meliputi perubahan sikap masyarakat dalam interaksi sosial sehari-hari atau perubahan yang terjadi pada pranata sosial yang ada di masyarakat saat ini. Perpustakaan merupakan sebuah pranata sosial yang penting untuk menstimuli aktivitas intelektual, spiritual, serta kultural masyarakat tanpa dibatasi oleh berbagai persyaratan, misalnya oleh tingkat pendidikan, oleh usia, jenis kelamin, agama dan kepercayaan serta status sosial masyarakat. Perpustakaan bukan saja berfungsi sebagai tempat mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan hiburan namun lebih luas dari itu juga berfungsi sebagai tempat melaksanakan pendidikan luar sekolah, dimana masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan proses belajar mandiri dalam pembentukan pribadi, mendapatkan keterampilan, mengenal berbagai macam perkembangan sosial, politik, kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Masyarakat diharapkan mendapatkan manfaat seluas-luasnya
untuk menggali potensi mereka melalui berbagai macam bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan. Melalui perpustakaan, masyarakat dapat memberdayakan diri mereka sendiri dengan memperoleh berbagai infomasi yang sesuai dengan kebutuhan profesi dan bidang tugas masing-masing; yang pada akhirnya bermuara pada tumbuhnya masyarakat yang terinformasi dengan baik, berkualitas, dan demokratis. Walaupun perpustakaan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, tetapi sampai sekarang ini, citra atau image perpustakaan masih belum seperti yang kita harapkan. Padahal telah kita ketahui bersama, bahwa citra perpustakaan sangat penting dan esensial, karena suksesnya layanan perpustakaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang salah satunya akan dipengaruhi oleh citra yang positif. Perlu diketahui juga, bahwa citra suatu organisasi atau lembaga adalah fragile commodity (komoditas yang rapuh/mudah pecah). Citra adalah konsepsi mental yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok yang mengembangkan sikap mendasar atau pandangan suatu kelompok. Pada dasarnya citra yang positif merupakan tujuan pokok sebuah organisasi atau lembaga. Terciptanya suatu citra lembaga (Corporate image) yang baik di mata khalayak atau Halaman 80
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
publiknya akan banyak menguntungkan, karena akan membawa ”citra” yang serupa kepada semua produk layanan dan jasa yang dihasilkan, dan akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi pegawainya (employee relation) juga akan menimbulkan sense of belonging terhadap lembaga tempat mereka bekerja. Berbagai upaya banyak dilakukan oleh lembaga untuk membentuk citra positif dari suatu lembaga atau organisasi, misalnya dengan membentuk CSR (Corporate Social Responsibility), melakukan promosi dengan gencar, menayangkan berbagai iklan baik di media cetak maupun elektronik dengan cara yang kreatif dan juga melalui CRM (Customer Relationship Management). Di sini membahas lebih dalam tentang peningkatan citra lembaga (perpustakaan) melalui CRM (Customer Relationship Management). Penekanan pada CRM ini dipilih sebagai alternatif solusi untuk mengelola hubungan pelanggan karena adanya berbagai perkembangan lingkungan strategis perpustakaan yaitu: - Adanya pergeseran paradigma baru dari transactional marketing ke relationship marketing - Adanya transisi perkembangan struktur organisasi lembaga dari yang semula berorientasi pada fungsi menjadi berorientasi pada proses - Adanya pemahaman bahwasanya pendekatan-pendekatan secara proaktif, relatif lebih baik dibandingkan secara reaktif - Pemanfaatan kapabilitas teknologi informasi dalam memaksimalkan nilai pelanggan - Adanya keyakinan bahwa pelanggan bukan hanya sebagai mitra lembaga namun juga merupakan aset lembaga. Konsep-Konsep •
Pengertian CRM (Customer Relationship Managament) CRM merupakan akronim atau singkatan yang paling populer di kalangan orang-orang sales dan marketing. Kalau dibahasa Indonesiakan kirakira berarti manajemen hubungan pelanggan. Telaah perkatanya adalah sebagai berikut: pelanggan atau customer, artinya adalah seseorang yang berulang kali atau teratur melakukan pembelian kepada seorang pedagang. Jadi pelanggan adalah orangnya. Hubungan atau relationship, adalah bentuk komunikasi dua arah
Halaman 81
antara pembeli dan penjual. Manajemen artinya pengelolaan. Jadi defenisi di atas kalau digabungkan kira-kira menjadi pengelolaan hubungan dua arah antara suatu perusahaan dengan orang yang menjadi pelanggan di perusahaan tersebut. Menurut Dyche, Jill (2002 : 4) “CRM (Customer Relationship Managament) is the infrastructure that enables the delineation of and increase in customer value, and the correct means by which to motivate valuable customers to remain loyal--indeed, to buy again”. Sedangkan menurut Temporal and Trott (2001) menjelaskan bahwa CRM adalah kolaborasi dengan setiap konsumen untuk menciptakan situasi win-win dengan meningkatkan nilai kehidupan pelanggan setiap harinya agar menjadi loyal. Pengertian CRM adalah manajemen hubungan pelanggan yaitu suatu jenis manajemen yang secara khusus membahas teori mengenai penanganan hubungan antara perusahaan dengan pelanggannya dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan di mata pelanggannya. CRM melingkupi semua aspek yang berhubungan dengan calon pelanggan dan pelanggan saat ini. Lebih lanjut Customer Relationship Management adalah strategi tingkat korporasi yang berfokus pada pembangunan dan pemeliharaan hubungan dengan pelanggan, jadi CRM lebih menekankan pada pendekatan holistik terhadap falsafah organisasi yang menekankan hubungan yang erat dengan pelanggan. • Pengertian Citra atau Image Menurut Wiliam Golden yang dikutip oleh Roose De Verue 1992:3 (dalam Sutoyo, Agus 2006 : 46) menyatakan bahwa citra adalah keseluruhan kesan yang diciptakan oleh organisasi kepada publiknya melalui berbagai produk, berbagai kebijaksanaan, berbagai akativitas dan berbagai usaha periklanan. Sedangkan menurut Bill Canton yang dikutip oleh Sukatendel (dalam Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto, 2003 : 111) mengatakan bahwa citra adalah “image: the impression, the feeling, the conception which the public has of a company; a concioussly created created impression of an object, person or organization” (Citra adalah kesan, perasaan, gambaran diri publik terhadap perusahaan; kesan yang dengan
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi). Berkaitan dengan berbagai pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa, kesadaran, pengertian dan dukungan dari public tidak akan timbul dengan sendirinya. Pihak perpustakaan harus berusaha membangun dan memelihara citra atau kesan yang baik di mata publikya sekaligus juga harus menumbuhkan kepercayaan bahwa perpustakaan merupakan suatu unit kerja yang penting, yang dapat dan mampu menunjang aktivitas lembaga melalui layanan informasi yang disediakan oleh perpustakaan. (Komariah, Neneng: 2008). Untuk menumbuhkan citra perpustakaan yang positif di mata pengguna, maka perpustakan harus terus mempercantik diri, tak hanya mengembangkan kemampuan (skill) Sumber Daya Manusianya, menambah koleksi bacaan dan menata ruang supaya lebih nyaman, tapi juga melengkapi fasilitas layanan dan memberikan proses layanan yang baik, sehingga lebih memberi kemudahan kepada pembaca dalam mengakses informasi, termasuk dengan mengadopsi teknologi informasi (TI). Jadi disamping kualitas koleksi, kualitas layanan tetap menjadi sesuatu yang sangat penting. Khususnya lagi dalam menghadapi pelanggan yang membutuhkan. Pelayanan yang bermutu tinggi, dalam artian mampu memberi keselarasan terhadap kebutuhan pelanggan, jelas akan sangat berbeda dan menuntut pemenuhan yang juga tremendous (dahsyat). • Fungsi Citra atau Image Menurut Nina W Syam 1986:9 (dalam Sutoyo, Agus, 2006:47) Citra atau image adalah merupakan individuasi produk, yang dapat memberikan karakteristik yang khas bagi produk atau lembaga di antara produk atau keuntungan sejenis. Selain itu fungsi citra untuk menarik perhatian, karena selain unik, mudah diingat enak dilihat, nikmat untuk direnungkan dan dihayalkan. Oleh karena itu, perlulah diciptakan dan dibentuk suatu citra positif perpustakaan. Bagaimanapun citra yang baik akan membuat kehadiran perpustakaan lebih memiliki nilai guna, lebih diperhatikan dan yang jelas perpustakaan mampu menempatkan dirinya pada tempat yang sesuai dengan fungsinya, untuk
mendukung lembaga dengan menyediakan berbagai informasi dan pengetahuan yang dibutuhkan. Implementasi CRM di Perpustakaan Berkaitan dengan berbagai konsep di atas, dan juga alasan yang melatarbelakangi penerapan CRM di Perpustakaan, maka bagaimana menerapkan CRM di perpustakaan. Sebelum membahas implementasi CRM di perpustakaan, perlulah kita menyimak apa yang dinamakan dengan target CRM. Menurut Kalakota dan Robinson (2001), target CRM ada 3 yaitu: 1) Mendapatkan pelanggan baru (Acquire), pelanggan baru didapatkan dengan memberikan kemudahan pengaksesan informasi, inovasi baru dan pelayanan yang menarik. 2) Meningkatkan hubungan dengan pelanggan yang telah ada (Enhance), perusahaan berusaha menjalin hubungan dengan pelanggan melalui pemberian layanan yang baik terhadap pelanggannya (customer service). Penerapan cross selling dan up selling pada tahap kedua dapat meningkatkan pendapatan perusahaan dan mengurangi biaya untuk memperoleh pelanggan (reduce cost). 3) Mempertahankan pelanggan (Retain), tahap ini merupakan usaha mendapatkan loyalitas pelanggan dengan mendengarkan pelanggan dan berusaha memenuhi keinginan pelanggan. Berkaitan dengan target CRM di atas, maka untuk mengimplementasikan sebuah strategi CRM di perpustakaan, diperlukan paling tidak tiga faktor kunci yaitu: 1) Orang-orang yang profesional (orang-orang dengan kualifikasi yang memadai). Yang dimaksud di sini, adalah tenaga yang profesional tidak saja mengerti cara menggunakan teknologi (untuk CRM), tetapi juga mempunyai kemampuan yang tangguh, proporsional dan smart (knowledge), mempunyai keterampilan (skill), sikap (attitude), semangat (spirit) bekerja, disiplin, tahu menghargai waktu, menjaga kepercayaan, kredibilitas, tepat janji, jujur, dapat bekerja sama (team work), komunikatif, berkoordinasi, ramah tamah (friendly), efisien dan ekonomis.
Halaman 82
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Berkaitan dengan hal ini, maka perpustakaan diharapkan dapat membuat sebuah team CRM, dengan orang-orang yang memiliki kualifikasi seperti di atas. Team itulah yang akan mengevaluasi berbagai kebijakan, produk-produk layanan yang ada, etika layanan, prosedur layanan, teknologi informasi yang di gunakan. Yang nantinya akan membuat strategi CRM. Strategi tersebut juga harus dikomunikasikan pada semua lini yang ada di perpustakaan, agar dalam pelaksanaannya dapat dipahami semua pihak. 2) Proses yang didesain dengan baik. Lembaga atau organisasi yang melaksanakan CRM harus sudah mengetahui tujuan dan tuntutan pelanggan yang diinginkan, melalui evaluasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil evaluasi itulah team CRM membuat strategi baru untuk membuat prosedur proses yang baik, yang mana proses (bisa produk layanan baru ataupun produk layanan lama, tetapi di perbaharui prosedurnya menjadi sebuah prosedur/produk yang memuaskan semua pihak) baru ini harus dapat diketahui maksud, tujuan dan manfaatnya, baik oleh petugas layanan, pihak manajemen perpustakaan ataupun oleh para pengguna/ pelanggan perpustakaan. 3) Teknologi yang memadai (leading-edge technology). Dengan adanya teknologi komputerisasi (information technology), maka penerapan CRM menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan berbagai data pelanggan, berbagai karakteristik dan perilaku pelanggan bisa disimpan dalam suatu database, sehingga tim CRM dapat dengan mudah mengevaluasi berbagai produk layanan dan prosedur layanan yang ada. Karena bagaimanapun program CRM adalah suatu program yang terus menerus, hubungan dan kepuasan pelanggan harus terus dipelihara. Maka pemilihan dan aplikasi teknologi informasi yang tepat akan dapat membantu mempercepat proses, memperluas layanan, memperbanyak koleksi, khususnya yang berbentuk elektronik dan digital, memperluas akses informasi, dan sebagainya. Penerapan teknologi informasi secara langsung dan Halaman 83
tidak langsung dapat meningkatkan citra, kredibilitas dan kinerja sebuah perpustakaan apabila penerapannya benar dan tepat. Berkaitan dengan berbagai uraian di atas, maka untuk memudahkan proses analisis penerapan CRM di perpustakaan, kami membaginya dalam dua (2) sisi pembahasan, yaitu dari sisi internal dan sisi eksternal perpustakaan. 1. Sisi Internal: meliputi proses komunikasi internal perpustakaan, Sumber Daya Manusia, berbagai produk jasa layanan dan evaluasi kinerja organisasi. • Proses Komunikasi Internal Perpustakaan - Proses Komunikasi internal perpustakaan merupakan kegiatan yang penting dalam suatu organisasi dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Komunikasi internal ini dimaksudkan untuk menghubungkan antara kebutuhan organisasi akan suatu perubahan di satu pihak dan kebutuhan karyawan akan keamanan. Komunikasi internal adalah proses dua arah yang mencakup mendengarkan dan mengatakan. Informasi yang dikomunikasikan dalam komunikasi internal ini, menyangkut berbagai tujuan yaitu: - tujuan rasional: karyawan memahami tujuan lembaga dan apa yang harus mereka lakukan - Tujuan emosional: karyawan merasa dilibatkan - Tindakan yang diinginkan: karyawan memahami bahwa perilaku mereka mempengaruhi tujuan lembaga Pertukaran informasi dalam suatu komunikasi internal lembaga yang dilakukan secara terus menerus dan benar akan dapat menciptakan perilaku yang benar dari semua pihak yang terlibat dalam suatu organisasi atau lembaga. Hal ini dikarenakan, dalam komunikasi internal dapat mengkomunikasikan pesan secara: - Top down (pesan manajemen) - Bottom up (masukan, bukan hanya pesanpesan karyawan namun segala sesuatu yang menyangkut karyawan) - Menyamping (melewati semua fungsi atau bagian, yang mempersatukan sebuah organisasi menjadi satu tim)
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Bila semua itu berjalan dengan baik, maka semua orang akan berani mengatakan pendapat mereka tentang informasi yang mereka terima, juga mereka harapkan dan orang akan melihat bahwa apa yang mereka katakan benar-benar diperhatikan. • Sumber Daya Manusia Faktor manusia dalam manajemen merupakan unsur yang utama dan pertama. Karena segala sesuatunya bermula dari manusia dan berakhir pula pada manusia. Keahlian, kemampuan, kekuatan, pengalaman dan potensi yang berupa sumber daya manusia itu harus dipergunakan dan dimanfaatkan secara maksimal dalam penyelenggaraan perpustakaan. Pada sisi lain, pimpinan perpustakaan harus memperhatikan unsur-unsur yang bersifat kemanusiaan, baik secara fisik maupun psikis seperti keterbatasan, kelemahan, kejenuhan perlunya diperhatikan faktor kesejahteraan, penghargaan, dan kesempatan untuk berkembang. Semua itu harus berjalan seimbang dan berkesinambungan. Apabila pimpinan perpustakaan dapat mengelola sumber daya manusia dengan sebaik-baiknya niscaya akan menjadi salah satu kekuatan yang penting. Salah satu usaha yang dapat menunjukkan perhatian terhadap kemajuan atau kepentingan karyawan, diantaranya mengadakan upgrading atau memberikan kesempatan pada karyawan untuk mengikuti pendidikan ataupun pelatihan lainnya. Bagaimanapun, pendidikan dan pelatihan ini, secara psikologis dapat menaikkan martabat mereka. • Jasa Layanan Jasa layanan merupakan kegiatan yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan sekaligus merupakan barometer keberhasilan penyelenggaraan perpustakaan. Oleh karena itu dari meja layanan akan dikembangkan gambaran dan citra perpustakaan, sehingga seluruh kegiatan perpustakaan akan diarahkan dan terfokus kepada bagaimana memberikan layanan yang baik sebagaimana dikehendaki oleh masyarakat pemakai. Layanan yang baik adalah yang dapat memberikan rasa senang dan puas kepada pemakai. Kegiatan jasa layanan harus dilihat secara holistik, tidak hanya melihat hasilnya saja tetapi juga harus memperhatikan proses pemberian jasa layanan itu sendiri.
Bentuk nyata layanan diwujudkan dalam bentuk: ¾ Layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan/yang dikehendaki masyarakat pemakai. ¾ Berlangsung cepat dan tepat sasaran. ¾ Menarik dan menyenangkan. ¾ Menimbulkan rasa simpati. ¾ Mengundang rasa ingin kembali. ¾ Ramah tamah. ¾ Mengembangkan hal-hal yang baru/inovatif. ¾ Bersifat informatif, membimbing dan mengarahkan tetapi tidak bersifat menggurui. ¾ Mampu menumbuhkan rasa percaya bagi pemakai dan bersifat mandiri. • Evaluasi Kinerja Organisasi Dengan adanya evaluasi yang benar-benar objective terhadap kinerja organisasi yang terus menerus akan diketahui kekurangan dan keberhasilan yang telah dicapai. Dengan mencermati kekurangan tersebut akan dapat diperbaiki langkah-langkah yang selama ini dianggap menghambat perjalanan organisasi. Dalam evaluasi ini, tidak akan dicari ”kambing hitam” tetapi benar-benar akan dicari kesalahan prosedur, kelemahan prosedur, kelemahan fasilitas yang ada, dan juga kelemahan ataupun kekurangan yang lain. Dari evaluasi ini, team CRM dapat membuat strategi CRM, yang tepat, sehingga dapat memperbaiki berbagai kelemahan yang ada. 2. Sisi Eksternal meliputi komunikasi dengan pelanggan, performance, penyelenggarakan tugas • Komunikasi dengan Pelanggan Komunikasi dengan pelanggan bertujuan untuk mengeratkan hubungan dengan orang-orang di luar lembaga atau instansi hingga terbentuklah opini publik yang favorable terhadap lembaga tersebut. Bagi suatu lembaga hubungan dengan publik di luar lembaga itu merupakan suatu keharusan di dalam usaha-usaha untuk: a. Menambah langganan b. Memperkenalkan jasa layanan c. Mencari modal dan hubungan d. Memecahkan persoalan atau kesulitankesulitan yang sedang dihadapi Misalnya mengenal pelanggan lebih dekat seperti memberikan senyum, menyapa (dengan memanggil nama), menawarkan bantuan seperti ”apa yang bisa saya bantu”, memberikan reward Halaman 84
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
kepada pelanggan seperti merchandise kepada pelanggan yang paling rajin datang ke perpustakaan atau yang paling sering meminjam buku. Perhatian yang besar terhadap kepentingan pelanggan dan bertindak sesuai dengan kepentingan mereka akan membangkitkan simpati dan kepercayaan pelanggan terhadap lembaga itu. Karena bagaimanapun sikap pelanggan kepada petugas layanan biasanya dibentuk oleh pengalaman-pengalaman mereka, misalnya dengan memperhatikan sikap, tindak tanduk, kebiasaan, cara-cara melayani, dan sebagainya. Yang penting juga diperhatikan di sini, adalah setiap ada upaya atau perubahan dalam setiap produk layanan ataupun perubahan prosedur yang ada, harus dikomunikasikan kepada pelanggan atau customer. Hal ini harus dilakukan agar para pelanggan mengetahui adanya produk layanan ataupun prosedur layanan yang baru. Terlebih-lebih jika produk, atau prosedur tersebut merupakan hasil masukan, dari pelanggan, karena jika mereka mengetahui perubahan itu merupakan masukan dari mereka, tentunya mereka akan merasa senang, karena merasa apa yang mereka katakan diperhatikan oleh pihak perpustakaan • Performance Penilaian eksternal pelanggan terhadap suatu lembaga bukan saja menganai pelayanannya, kegiatan-kegiatannya, tetapi juga mengenai keseluruhan mengenai lembaga itu. Jadi, gedung, letak, kebersihan, fasilitas dan lain-lain yang nampak yang dapat dilihat oleh pelanggan pada lembaga itu akan memberi kesan kepada mereka dan membentuk opininya yang kemudian menentukan sikapnya terhadap lembaga tersebut. Penampilan dari petugas-pun, tentunya akan membuat penilaian tersendiri. Oleh karena itu, penampilan petugas, terutama yang berada di frontline tentunya akan membawa dampak pada penilaian perpustakaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, petugas yang ramah, bersikap suka menolong, cerdas dan tanggap pada kebutuhan pelanggan, dan berpenampilan rapi sangat diperlukan untuk meningkatkan performance perpustakaan • Dalam menyelenggarakan tugas, fungsi serta berbagai program kegiatan perpustakaan, sejak pengadaan koleksi bahan pustaka, mengisi perabot dan perlengkapan, dan melayani pengunjung atau melayanai pemakai, tentunya
Halaman 85
perpustakaan tidak dapat bekerja sendiri, melainkan perlu menjalin mitra kerja dengan pihak lain. Oleh karena itu, perlu menjalin hubungan yang baik dengan mitra kerja atau stakeholder. Kerja sama ini perlu senantiasa dijalin, karena bagaimanapun suksesnya layanan di perpustaaan akan menguntungkan setiap pihak, dan setiap pihak juga sama-sama memperoleh nilai tambah atau manfaat dan keuntungan atas terjalinnya mitra kerja dan jaringan tersebut. Kesimpulan Customer Relationship Management merupakan salah satu alternatif solusi untuk meningkatkan citra perpustakaan dengan cara mengelola hubungan dengan pelanggan. CRM adalah salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh perpustakaan untuk mendapatkan citra yang positif melalui usaha manajemen hubungan pelanggan. Manajemen hubungan pelanggan meliputi akuisisi atau menambah pelanggan baru, mempertahankan dan mengembangkan pelanggan (lama). Dengan demikian untuk mengembangkan dan menerapkan CRM diperlukan rangkaian proses yang memungkinkan dilakukannya analisis pelanggan, sehingga dapat mengenali pelanggan secara individual, dan tujuan CRM berupa mempertahankan atau membentuk loyalitas pelanggan lama, maupun menarik pelanggan baru dan menciptakan citra yang baik bagi perpustakaan dapat tercapai. Kunci utama dari solusi CRM adalah perubahan strategi. Perubahan strategi ini meluputi sistem kerja, teknologi informasi, budaya kerja, dan peningkatan kemampuan SDM menjadi sangat penting untuk menunjang keberhasilan penerapan CRM. Selain itu komunikasi yang terjalin dengan baik, antara perpustakan dengan pelanggan juga komunikasi internal perpustakaan (baik dari atas maupun dari bawah, juga lintas fungsi/komunikasi kesamping) sangat mendukung tercapainya penerapan CRM di perpustakaan. Sehingga pegawai perpustakaan akan berkontribusi pada lembaga. Dengan perspektif yang lebih luas, dan paradigma yang baru, diharapkan lebih inovatif, lebih kreatif, lebih professional dan dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan pelanggan.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Daftar Pustaka Abdurrachman, Oemi. 2001. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Citra Aditya Bakti. Agustiyadi, M. Tri. Pentingnya CRM (Customer Relationship Management) untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Dapat diakses di http://triyagus.multiply.com/jurnal/item/14 3/pentingnya_CRM_Customer_Relations hip_Management_Untuk_Meningkatkan_ Loyalitas_Pelanggan Arif. Muhtosim. 2006. Pemasaran Jasa & Kualitas Pelayanan: Bagaimana Mengelola Kualitas Pelayanan agara Memuaskan Pelanggan. Malang: Bayumedia Publishing. Danardatu, Aloysius Heru. 2003. Pengenalan Customer Relationship Management (CRM). Dapat diakses dari http://id.shvoong.com/social-sciences/ business-management/marketing/ 1644388-customer-relationshipmarketing/
Dyche. Jill. 2002. The CRM Handbook: A Business Guide to Customer Relationship Management. Boston: Addison-Wesley. Gosney, John W dan Thomas P. Boehm. 2001. Customer Relationship Management Essentials. New Dehli: Prentice-Hall of India. Gregory, Anne (ed). 2004. Public Relations dalam Praktik: seri praktik PR. Jakarta: Erlangga. Komariah, Neneng. 2008. Kegiatan Publik Relations di Perpustakaan Perguruan Tinggi; disampaikan pada acara dialog interaktif: Penerapan Konsep Publik Relatins pada Perpustakaan. UIN SUSKA: Riau 27 Maret 2008) Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto. 2002. Dasar-Dasar Public Relations. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sutarno NS. 2006. Manajemen Perpustakaan: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Sagung Seto. Wikipedia. Manajemen Hubungan Pelanggan. Dapat diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/manajemen_h ubungan_pelanggan.
Halaman 86
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi Ishak Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Universitas Sumatera Utara Abstract This paper will explain briefly about the library's based management information technology. The use of information technology in the purposeful library to increase work efficiency and the quality of the service to the user (right information, right user and right now). The discussion scope in this paper among them concerning the understanding of the library and information technology, the change in the library's paradigm, the function of the application of information technology in the library, the evaluation of the requirement for the library's information technology, library and librarian competence in the application of information technology, and the application of the based system of the library's information technology. Keywords: information technology, library competence, librarian Pendahuluan Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat tentang pengelolaan perpustakaan berbasis teknologi informasi. Penggunaan teknologi informasi di perpustakaan bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pekerjaan dan kualitas pelayanan pada pengguna (right information, right user dan right now). Cakupan bahasan dalam makalah ini diantaranya mengenai pengertian perpustakaan dan teknologi informasi, perubahan paradigma perpustakaan, fungsi penerapan teknologi informasi di perpustakaan, evaluasi kebutuhan teknologi informasi perpustakaan, kompetensi perpustakan dan pustakawan dalam penerapan teknologi informasi, dan aplikasi sistem informasi perpustakaan berbasis teknologi informasi. Perpustakaan dan Teknologi Informasi a. Perpustakaan Perkembangan perpustakaan pada era masyarakat informasi dewasa ini telah dimanfaatkan sebagai salah satu pusat informasi, sumber ilmu pengetahuan, penelitian, rekreasi dan pelestarian khasanah ilmu pengetahuan. Peran perpustakaan telah berkembang menjadi pusat komunitas, artinya masyarakat dapat berkumpul di perpustakaan dalam rangka pengembangan pengetahuan dan budaya melalui berbagai aktifitas keilmuan dan sosial.
Halaman 87
Prinsipnya perpustakan memiliki tiga kegiatan pokok yaitu, mengumpulkan semua informasi yang berkaitan dengan kebutuhan pengguna (to collect), melestarikan, memelihara dan merawat seluruh koleksi perpustakaan (to preserve), dan menyediakan bahan perpustakaan agar dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pengguna (to make available). (Encyclopedia Americana, 1991) Saat ini masyarakat pengguna perpustakaan menghendaki perpustakaan menjadi right information, right user dan right now. Artinya perpustakaan dituntut untuk memberikan layanan informasi yang tepat, pada pengguna yang tepat dan waktu yang cepat. Hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila perpustakaan dapat menghadirkan dan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dalam pengelolaan perpustakaan. b. Teknologi Informasi Teknologi Informasi (TI) dilihat dari kata penyusunnya adalah teknologi dan informasi. Secara mudahnya TI adalah hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari pengirim ke penerima sehingga pengiriman informasi akan lebih cepat, lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya. Pengertian lain dari TI adalah pemanfaatan hardware dan software
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
yang digunakan untuk penyimpanan (store), penemuan kembali (retrieve), dan memanfaatkan (use) informasi.(Wikipedia). Pada awal sejarah, manusia bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi. Bahasa memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang lain. Setelah itu teknologi penyampaian informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan informasi bisa lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepada orang lain. Selain itu informasi yang ada akan bertahan lebih lama. Beberapa gambar peninggalan jaman purba masih ada sampai sekarang sehingga manusia
sekarang dapat memahami informasi yang ingin disampaikan pembuatnya. Ditemukannya alfabet dan angka arabik memudahkan cara penyampaian informasi yang lebih efisien dari cara yang sebelumnya. Suatu gambar yang mewakili suatu peristiwa dibuat dengan kombinasi alfabet, atau dengan penulisan angka, seperti MCMXLIII diganti dengan 1943. Teknologi dengan alfabet ini memudahkan dalam penulisan informasi itu. Kemudian, teknologi percetakan memungkinkan pengiriman informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik seperti radio, tv, komputer mengakibatkan informasi menjadi lebih cepat tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan. (Wikipedia).
Perubahan Paradigma dari Perpustakaan Tradisional ke Perpustakaan Digital Paradigm shift Traditional Library Library Building => Virtual – Design, size, location of the Library library building (You go to the library => The – Other than warehousing library library comes to you) materials, library building has other important societal functions
Digital Library – Electronic resources, hardware, software, telecommunications
Ownership => Access
– “Annual subscriptions” for access – Document delivery, print on demand, pay per view, etc. – “just in time”
– “Buy and own” books and journals, etc Just In Case => Just In Time – 80% of books and journals, etc. “purchased and owned” have never been used – Buy and own – “just in case” Unlimited Use => Pre-Defined – “Buy and own” books and Limited Use journals, etc. for unlimited use by any users One At A Time => Many At A – One book or journal can be read Time by one user at a time – One user can read one book or journal at a time Take Your Time => Don’t Waste – Users wait for weeks or months My Time! for the library to purchase books or journals or through ILL – Users spend hours or days going through printed pages to find and compile information needed Isolation => Cooperation – Do everything by myself and for myself
– Number of simultaneous logons (concurrent users) – 12 month subscriptions – By registered users only – One database can be accessed by many users at the same time – One user can access many databases or journals at the same time – Users want the information right now
– Cooperation to eliminate unnecessary duplication of efforts – Cooperation to increase resources through sharing
Sumber: Andrew H, Wang, 2003 OCLC Asia Pacific
Halaman 88
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Penerapan TI di Perpustakaan
•
Penerapan TI di perpustakaan bersamaan dengan perkembangan budaya manusia itu sendiri. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari tahapan evolusi format dokumen yang menjadi koleksi perpustakaan, antara lain dimulai dari bahan cetak (paper material), microfilm, CDROM/DVD, Komputer, Internet, Wireless, sampai format web. Perkembangan ini menjadikan “Great Technology Great Library”
•
Penerapan TI di perpustakaan dapat difungsikan dalam berbagai bentuk, antara lain: a. Sebagai Sistem Manajemen Perpustakaan Bidang pekerjaan yang dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen perpustakaan adalah pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, sirkulasi, keanggotaan, statistik dan lain sebagainya. Fungsi ini sering diistilahkan sebagai bentuk Automasi Perpustakaan. b. Sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan, dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital. Bentuk penerapan TI ini sedring dikenal dengan Perpustakaan digital (digital library) Kedua fungsi penerapan TI tersebut dapat dilakukan secara terpisah atau dilakukan secara terintegrasi dalam sistem informasi perpustakaan. Kondisi ini tergantung dari kemampuan software yang digunakan, sumber daya manusia dan infrastruktur peralatan teknologi informasi yang digunakan. Faktor pendukung pemanfaatan TI di perpustakaan antara lain: • kemudahan dalam mendapatkan produk TI • harga semakin terjangkau • tuntutan layanan masyarakat (right information, right user dan right now) Keuntungan pemanfaatan TI diperpustakaan antara lain: • mempermudah dan mengefisiensikan pekerjaan pengelolaan perpustakaan • memberikan layanan yang lebih baik pada pengguna
Halaman 89
meningkatkan citra perpustakaan dan pustakawan mengembangkan infrastruktur regional, nasional dan global
Evaluasi Kebutuhan TI di Perpustakaan Evaluasi kebutuhan TI diperlukan sebagai upaya kesiapan perpustakaan dalam mengoptimalkan penerapan TI dalam sistem informasi perpustakaan. Sehingga penerapan TI di perpustakaan bukan sekedar gengsi tetapi sebuah strategi. Beberapa contoh pertanyaan berikut dapat membantu untuk evaluasi kebutuhan TI di perpustakaan. • Apakah perpustakaan memerlukan TI? o MengapaTI diperlukan? o Siapa yang membutuhkan? o Bagaimana TI akan diterapkan? o Bagaimana keahlian SDM? • Bagaimana kondisi perpustakaan saat ini? o Apa koleksi perpustakaan yang dimiliki? o Siapa yang akan memanfaatkan? o Bagaimana, darimana, dan kapan pengguna mengakses o Proses apa yang membutuhkan TI? • Bagaimana pengembangan sistem informasi perpustakaan? o Membangun dari awal (scratch)? o Modifikasi software (opensource)? o Pembelian software (outsource)? Kegagalan penerapan TI di perustakaan yang umumnya terjadi antara lain: • Target yang tidak jelas atau tidak tahu cara mencapainya. • Team work yang lemah, saling curiga, kurang motivasi. • Pemimpin yang tidak punya visi, tidak mampu mengarahkan dan mendorong. • SDM yang tidak ditingkatkan kemampuannya, tidak tahu manfaat dari perkerjaannya. • Tidak mau belajar, evaluasi, benchmarking baik internal maupun terhadap dunia luar. Kompetensi Perpustakaan dan Pustakawan dalam Penerapan TI Perkembangan TI telah banyak mengubah karakter sosial pemakainya. Perubahan dalam
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
kebutuhan informasi, dalam berinteraksi dengan orang lain, dalam berkompetisi, dan lain-lain. Kebutuhan pembelajaran juga tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang serius melulu. Membaca komik pun bisa dianggap sebagai suatu pembelajaran. Pada akhirnya semua itu berujung pada tuntutan pemakai agar perpustakaan tidak hanya sekedar tempat mencari buku atau membaca majalah, tetapi menjadi one-stop station. Suatu lingkungan dimana pemakai bisa: • Berinteraksi dengan orang lain. • Mencari informasi yang dibutuhkan. • Berbagi pengetahuan • Merasa termotivasi untuk melakukan inovasi dan kreatifitas. Perpustakaan dan pustakawan saat ini dituntut mampu berubah mengikuti perubahan sosial pemakainya. Untuk mengantisipasi tuntutan tersebut perpustakaan dan pustakawan seharusnya memiliki kompetensi. 1) Kompetensi Perpustakaan a) Infrastruktur Teknologi Informasi Pemanfaatan TI saat ini menjadi kewajiban hampir dibanyak perpustakaan. TI membantu perpustakaan memperbaiki kualitas dan jenis layanan. Minimal saat ini sebuah perpustakaan harus mempunyai: o Jaringan lokal (Local Area Network) o Akses Internet. Minimal memiliki akses internet untuk pustakawan agar mudah mengakses informasi eksternal perpustakaan. o Komputer untuk pustakawan dan pemakai perpustakaan. b) Content Content adalah semua dokumen, aplikasi, dan layanan yang akan “disajikan” kepada pemakai perpustakaan. Dokumen seperti buku, majalah, jurnal, prospektus, laporan keuangan, dan berbagai bentuk media lain baik tercetak maupun elektronik. Aplikasi adalah sistem yang dirancang dengan tujuan tertentu. Misalnya: aplikasi administrasi perpustakaan, aplikasi untuk menyimpan artikel yang didownload dari internet, aplikasi administrasi majalah, dan aplikasi perpustakaan digital. Layanan termasuk Layanan peminjaman buku, layanan pinjam antar perpustakaan, layanan pemberitahuan buku baru via e-mail, dan lain-lain.
c) Sumberdaya Manusia (SDM) SDM merupakan faktor penting bagi perpustakaan dalam memberikan layanan berbasis TI. Detail kompetensi yang penting seorang pustakawan akan dibahas dalam Kompetensi Pustakawan. d) Pemakai Perpustakaan pun butuh pemakai. Percuma saja semua layanan dibuat bila tidak ada yang menggunakan. Perpustakaan harus memiliki profil pemakai potensialnya. Siapa target pemakainya? Bagaimana image perpustakaan dimata mereka? Bagaimana positioning perpustakaan selama ini? Apa saja kebutuhan mereka? Bagaimana pola pembelajarannya? Survei pemakai semacam segmentasi psikografis bisa membantu perpustakaan melihat pola pembelajaran pemakai potesialnya berdasarkan Nilai dan gaya hidup yang dianut (VALS/Value And Life Style). Dengan pengetahuan yang mendalam tentang pemakai, maka perpustakaan bisa melakukan aktifitas promosi dan memberikan layanan yang tepat bagi pemakai. 2) Kompetensi Pustakawan a) Skill Manajemen Informasi 1. Pencarian Informasi (Information Seeking) • Mendefinisikan kebutuhan informasi. Yaitu: mengidentifikasikan kebutuhan pemakai, mengenali beragan jenis penggunaan informasi oleh pemakai, menempatkan informasi yang dibutuhkan dalam suatu kerangka referensi (Who, what, when, where, how, why), menghubungkan informasi yang dibutuhkan dengan domain pengetahuan, dan mendefinisikan masalah informasi menggunakan beragam skill tanya jawab. • Melakukan penelusuran. Yaitu: mempunyai skill dasar penelusuran informasi, kemampuan navigasi sistem dan sumberdaya elektronis, dan pengetahuan dasar tentang beragam sumber informasi yang tidak tersedia bentuk elektronis seperti bentuk cetak, orang (people and colleagues), dan lain-lain. Mengetahui sumber-sumber inforHalaman 90
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
•
masi baik eksternal maupun internal, mengetahui sumber mana saja yang dapat diandalkan dan memberikan nilai tambah. Memformulasikan strategi penelusuran. mensyaratkan pengetahuan yang mendasar dan komperhensif yang sumberdaya informasi yang tepat termasuk strukturnya. Skill tentang suatu subjek juga perlu. Kemampuan lain yang dibutuhkan: mampu mendiskusikan ide-ide untuk mencari berbagai masukan, memilih alat penelusuran, mengidentifikasi kata kunci, konsep, tajuk subyek, deksriptor, dan mengindentifikasi kriteria untuk meng-evaluasi sumber informasi.
2. Penggunaan Informasi (Information Use) Evaluasi infomasi yang didapat. Yaitu: menentukan otoritatif, kebaruan, dan kehandalan, relevansi, kualitas. Menilai informasi yang didapat. Yaitu: melihat secara cepat ide utama dan katakunci, membedakan antara fakta, opini, propaganda, sudut pandang dan bias, melihat kesalahan dalam logika. Akan lebih baik bila pustakawan juga punya skill dalam melakukan Framing Analysis yang akan sangat bergunakan melihat beragam sudut pandang media. Mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber berbeda. Yaitu: klasifikasi informasi, mengenali hubungan antar konsep, mengidentifikasi konflik dan kesamaan berbagai sumber. Memilah informasi. Yaitu: kemampuan memilah dan membuang informasi yang dianggap tidak perlu. Interpretasi informasi. Yaitu: meringkas dan identifikasi detail informasi yang relevan, organisasi dan analisa informasi, membandingkan dengan sumber permasalahan yang ingin dipecahkan dan menggambar sebuah kesimpulan atau konklusi. Halaman 91
3. Penciptaan Informasi. Output dari pembuatan informasi adalah produk yang bisa membantu pemakai dalam mengambil keputusan. Format yang digunakan bisa beragam tergantung preferensi pemakai. Dalam membuat informasi, skill yang penting adalah: Kemas Ulang Informasi (Information Repackaging). Dalam melakukan Kemas Ulang Informasi, hal-hal penting yang harus diperhatikan: • menentukan tujuan kemas ulang informasi • menentukan isi yang dianggap penting (key content) • memilih format yang tepat (tertulis, oral, visual) tergantung audiens dan tujuan • mengerti implikasi legal dari suatu proses kemas ulang informasi • menyediakan panduan, dokumentasi dan referensi. 4. Organisasi Informasi. Salah satu misi pustakawan adalah pemakai memanfaatkan informasi. Beberapa skill yang membantu pustakawan agar pemakai mudah dalam mencari dan menggunakan informasi adalah: • Melakukan abstraksi (abstracting). Kemampuan untuk menulis ringkasan sesuatu yang membuat pembaca bisa menangkap dengan jelas relevansi dan pentingnya informasi yang ingin disampaikan. • Melakukan peng-indeks-an (indexing). Menggunakan sistem klasifikasi atau taksonomi (tesaurus, tajuk subyek) yang ada. • Melakukan retensi atau review 5. Penyebaran Informasi. Yaitu: Kemampuan menyampaikan dan mempromosikan (marketing) ideide secara jelas dalam berbagai bentuk (tertulis, oral, presentasi). Mendengar dan meng-evaluasi opini dan informasi dari orang lain. Menggunakan berbagai perangkat TI yang punya unsur interaktifitas tinggi seperti Portal yang memudahkan berbagi informasi.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
Memfasilitasi berbagai bentuk forum berbagi informasi (sharing knowledge forum) antar pemakai
b) Skill Interpersonal Skill personal pustakawan yang berguna dalam berhubungan dengan pemakai dan sesama rekan kerja: • Kemampuan berkomunikasi dengan efektif dan bisa mempengaruhi orang lain. Mampu memberikan presentasi dengan jelas, komunikasi tertulis, dengan ejaan, struktur dan isi yang jelas. Berkomunikasi dengan interaktif dan mampu memberikan pandangan dari beragam perspektif. • Kemampuan mendengar. Mampu mendengarkan dan mendiskusikan pendapat orang lain dari beragam sudut pandang dan bisa mendapatkan ide dari pendapat orang lain. Serta mampu memberikan komentar yang konstruktif. • Mampu memberikan feedback yang baik bagi beragam situasi yang dihadapi orang lain. • Mampu mengatasi konflik dengan memberikan respon yang tepat dalam beragam situasi. Bisa memberikan alasan bila tidak setuju terhadap sesuatu, memahami posisi dan kepentingan dalam sebuah konflik dan bisa menghasil win-win solutions. • Menggunakan mekanisme formal dan informal dalam menjaga hubungan baik dengan sesama staf maupun pemakai perpustakaan. Seperti membuat Focus Group Discussion, kuesioner, dan analisa komplain. • Mampu membangun tim dan memotivasi orang lain. Seperti: menghargai kontribusi individu. • Kemampuan untuk belajar mandiri (self-learning skill) • Mau melakukan suatu inisiatif tanpa harus disuruh (self-initiation) • Kemampuan untuk bekerjasama dalam sebuah tim. • Cerdas dan mampu melakukan sesuatu terfokus. • Punya jiwa Entrepreneurship.
c) Skill Teknologi Informasi Kemampuan untuk menggunakan berbagai perangkat Teknologi informasi untuk membantu semua proses kerja. Beberapa skill TI yang diperlukan: • Desain Database dan Manajemen Database • Data Warehousing • Penerbitan elektronik • Perangkat keras • Arsitektur Informasi • Sumber Informasi Elektronik • Integrasi Informasi • Desain Intranet/Extranet • Aplikasi perangkat lunak • Pemrogaman • Workflow/Alur Kerja • Pemrosesan Teks (Text Processing) • Metadata • Perangkat lunak untuk manajemen informasi (Information Management tools) d) Skill Manajemen • Administrasi. Mampu membuat sistem administrasi yang baik bagi berbagai kegiatan yang dilakukan. • Memahami proses kegiatan sebuah perpustakaan dan kegiatan lain yang terkait. • Manajemen Perubahan. Mampu mengatur berbagai kemungkinan yang bisa timbul dari suatu perubahan. • Melakukan koordinasi dengan bagian lain yang terkait. • Kepemimpinan. Mempunyai karakter kepemimpinan yang menonjol. • Pengukuran. Mampu melakukan pengukuran terhadap kinerja dan dampaknya terhadap layanan perpustakaan. • Manajemen sumber daya manusia. • Manajemen proyek. mampu memimpin dan mengatur sebuah proyek. • Relationship Management. Mampu menjaga hubungan baik dengan sesama pustakawan dan pemakai perpustakaan. • Team Building. Mampu membangun tim kerja yang kompak dan bisa mencapai tujuan yang telah ditentukan. • Manajemen waktu.
Halaman 92
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4, No. 2, Desember 2008
•
•
Pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia. Mampu menganalisa skill yang dibutuhkan dan memberikan pelatihan yang diperlukan. Mampu melakukan perencanaanperencanaan strategis dan implementasinya.
Daftar Pustaka Bidin, Sharipah Hanon. 2006. Identifying core competencies for KM at OUM: the library perspective. EG2KM Conference. Branin, Joseph J. 2007. Core competencies for subject librarians in the 21st century research library. China: Capital Normal University Library. Daryono. 2008. Meningkatkan kualitas layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi. (http://daryono.staff.uns.ac.id)
Halaman 93
Fahmi, Ismail. 2002. Toolkit membangun perpustakaan berbasis teknologi informasi. Jakarta: Library Expo 2002. Merati, G. Widiadnyana. 2008. Perpustakan dalam era teknologi informasi. Institut Teknologi Bandung. Osif, Bonnie A. 2008. W(h)ither libraries?. The Future of libraries, Part I. Library administration and Management, Winter 2008. p. 49-54 Stratigus, Anthe. 2003. Library of the future. Online. Jan/Feb 2003. p. 74-76 Wan, Gang dan Zao Liu. 2008. Content-based information retrieval and digital libraries. Information Technology and Libraries. March 2008: p. 41-47 Wang, Andrew H. 2003. The Impact of information technology on library operations in the past three decades and what to anticipate for the future. CALA Mid-West Annual Report
Petunjuk untuk Penulis PUSTAHA: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi terbit dua kali setahun yaitu pada bulan Juni dan Desember. Redaksi Pustaha menerima artikel baik yang berupa hasil penelitian maupun studi literatur yang orisinal yang relevan dengan bidang perpustakaan dan informasi. Pustaha juga menerima artikel berupa laporan kasus, penyegar ilmu perpustakaan dan informasi, dan ceramah ilmiah lainnya dalam konteks perpustakaan dan informasi. Artikel Penelitian: berisi artikel mengenai hasil penelitian dalam bidang perpustakaan dan informasi. Format penulisannya terdiri dari: Pendahuluan: berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Tinjauan Pustaka: berisi kajian teoretis dan atau landasan teori yang relevan dengan topik yang diteliti. Metode: berisi metode atau cara dan prosedur yang digunakan untuk melakukan penelitian. Hasil: dapat disajikan dalam bentuk deskripsi teks, dan data dapat disajikan pada tabel, gambar atau grafik. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel, gambar, dan atau grafik, tetapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel, gambar, dan atau grafik sebelumnya. Diskusi: berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Pembahasan tentang hasil penelitian dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab sebelumnya. Kesimpulan dan Saran: berisi kesimpulan penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Saran yang dikemukakan harus mengacu kepada kesimpulan yang ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil. Studi Literatur: merupakan article review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu perpustakaan dan informasi yang mutakhir. Format tulisan terdiri atas Pendahuluan, Pembahasan dan Kesimpulan. Laporan Kasus: berisi artikel tentang kasus pada perpustakaan tertentu yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan kepada kalangan perpustakaan lainnya. Format tulisan terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan, dan Kesimpulan. Penyegar Ilmu Perpustakaan dan Informasi: berisi artikel yang membahas berbagai hal dan atau topik, baik topik yang lama maupun yang baru akan tetapi masih bersifat mutakhir yang dipandang perlu untuk disebarluaskan. Format tulisan disesuaikan dengan kebutuhan. Ceramah: berisi tulisan atau laporan yang menyangkut bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang pernah disampaikan pada pertemuan tertentu akan tetapi dipandang perlu untuk disebarluaskan. Format tulisan disesuaikan dengan kebutuhan. Petunjuk Umum Artikel yang dikirim ke Redaksi Pustaha adalah artikel yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, redaksi tidak menerima artikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Bila artikel itu berupa karyasama dari beberapa penulis, maka penulis utama harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui artikel tersebut. Semua artikel yang dikirimkan kepada Redaksi Pustaha akan dibahas oleh para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peer-review) dan Redaksi Pustaha. Artikel yang perlu mendapat perbaikan format atau isinya akan dikembalikan kepada penulis untuk diperbaiki. Penulisan Artikel Artikel, termasuk tabel, gambar, dan daftar pustaka, harus diketik dua spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm, dengan jumlah halaman maksimum 20 halaman. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan naskah asli dalam bentuk cetak dan berkas elektroniknya (disket) kepada Redaksi
Halaman 94
Pustaha. Tuliskan nama berkas dan program yang digunakan pada label disket. Artikel cetak dan berkas elektronik yang dikirim kepada Redaksi Pustaha tidak akan dikembalikan kepada penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul artikel, nama setiap penulis artikel disertai dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimil dan alamat e-mail. Judul sebaiknya singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Dianjurkan agar jumlah penulis artikel dibatasi maksimal sampai dengan 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk artikel yang berbahasa Indonesia dibuat dalam bahasa Inggris dan artikel yang ditulis dalam bahasa Inggris dibuat dalam bahasa Indonesia. Abstrak ditulis dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah kata maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami aspek penting tanpa harus membaca seluruh artikel. Teks Artikel Teks artikel disusun menurut subjudul atau subbab yang sesuai format penulisan sebagaimana diuraikan di atas. Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik. Untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik dua spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Judul tabel dituliskan di atas tabel. Setiap kolom diberi subjudul atau uraian singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Gambar dan atau Grafik Gambar dan atau grafik harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks. Judul gambar dan atau grafik ditulis di bawah gambar dan atau grafik. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan yang ditetapkan oleh Modern Language Association (MLA). Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga orang penulis pertama diikuti oleh kata et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi maksimal sampai dengan 30 judul. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi. Artikel dikirimkan kepada: Pemimpin Redaksi PUSTAHA: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara Jl. Universitas 19, Kampus USU, Medan, 20155, Indonesia Tel: 061-8223581, Fax: 061-8213108 Situs Web: dspi.usu.ac.id/pustaha-jurnal E-mail: [email protected]
Halaman 95