Vol ume1 5Nomor2S e pt e mbe rTahun2 01 4
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN Diterbitkan oleh DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA Penanggung Jawab Ketua Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Editor Eksekutif Fuad Gani, M.A Staf Editor Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, M.A Y.Sumaryanto, Dip. Lib, M.Hum. Indira Irawati, M. A. Purwanto Putra, M. Hum. Dewan Redaksi Dr. Laksmi, M.A Dr. Zulfikar Zen, S.S, M.A. Utami Budi Rahayu Hariyadi, M.Lib. M,Si. Taufik Asmiyanto, M.Si. Nina Mayesti, M.Hum. Sekretariat dan Administrasi Cempaka Putri Andiani Denada Annisa Fitri Faisal Hazami Alamat Sekretariat Gedung VII Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Tel/Fax. (021)7872353 email:
[email protected] ISSN 1411 - 0253
Redaksi menerima tulisan ilmiah bidang informasi, perpustakaan dan kearsipan. Tulisan akan dimuat dengan pertimbangan yang didasarkan pada keaslian dan relevansinya dengan ilmu informasi, perspustakaan dan kearsipan.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan Volume 15 Nomor 2 September Tahun 2014 ini dapat kembali diterbitkan. Artikel pertama ditulis oleh Siti Soleha dengan judul Penyusutan Arsip Rekam Medis : Studi
Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta yang membahas mengenai kegiatan
penyusutan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta. Adapun arsip rekam medis yang terakhir kali dipindahkanadalah arsip tahun 2004. Arsip rekam medis tahun2005 hingga saat ini belum mengalami prosespenyusutan dan masih disimpan di Sub UnitRekam Medis. Oleh karena itu, banyak arsiprekam medis yang terpaksa harus ditumpuk dikardus-kardus akibat sudah tidak ada RoolO’Pack yang dapat menampung lagi. Sehinggafenomena tersebut menarik untuk diteliti.Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Rumah Sakit Haji Jakarta belum mempunyai Jadwal Retensi Arsip (JRA) dan kegiatan pemusnahan arsip rekam medis sejak Rumah Sakit Haji Jakarta berdiri. Arsip sebagai salah satu informasi terekam memiliki fungsi yang sangat penting untuk menunjang proses kegiatan instansi. Setiap kegiatan memerlukan data atau informasi, salah satu sumber informasi itu adalah arsip. Tidak dapat dipungkiri, dalam era globalisasi ini setiap kegiatan instansi, baik instansi pemerintah, instansi swasta dan pendidikan tidak akan berjalan tanpa data dan informasi. Penjelasan terebut ditulis olehYossua Hot dibawah bimbingan dan arahan Nina Mayesti, M.Hum dengan judul Implementasi Jadwal Retensi Arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi implementasi Jadwal Retensi Arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga tercapainya pengelolaan arsip yang efektif dan efisien. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Informasi yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan unit-unit pengelola kearsipan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil penelitian mengungkapkan fakta di lapangan bahwa implementasi Jadwal Retensi Arsip ini belum dilaksanakan secara merata dikarenakan masih ada unit-unit kearsipan yang belum melakukan penyusutan. Kurangnya kesadaran pimpinan yang menyebabkan permasalahan ini timbul. Jadwal Retensi Arsip dibuat tanpa diberikan fasilitas seperti sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan kearsipan dan Sumber Daya Manusia masih ada yang tidak mengerti kearsipan atau tidak berlatar pendidikan kearsipan sehingga menyebabkan lambat dalam implementasi. Berikutnya artikel ketiga berjudul Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok yang ditulis Risqa Tri Oktaviani membahas i
mengenai pendapat anak terhadap rubrik Ensiklobobo di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa keberadaan rubrik Ensiklobobo sebagai salah satu bacaan anak yang terdapat di majalah Bobo, memiliki kesamaan pelayanan seperti yang dilakukan oleh perpustakaan, yaitu pelayanan jasa rujukan, atau disebut juga dengan quasi layanan rujukan. Majalah Bobo sebagai sebuah sumber informasi tercetak, memiliki sebuah rubrik yang pelayanannya serupa dengan jasa informasi rujukan di perpustakaan. Rubrik terkait bernama Ensiklobobo. Artikel keempat berjudul Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerangyang ditulis oleh Vilianty Rizki Utami di bawah bimbingan dan arahan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec.Penelitian ini membahas tentang proses temu kembali arsip vital di Kantor Arsip Daerah (KAD) Kota Tangerang sebagai upaya untuk meningkatkan temu kembali arsip vital di KAD, khususnya arsip vital Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tujuannya adalah untuk mengetahui proses temu kembali arsip vital IMB, penyebab tidak ditemukannya arsip vital IMB di KAD Kota Tangerang serta hubungan KAD dengan lembaga pencipta arsip vital tersebut. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode penelitian studi kasus. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kurangnya advokasi arsip, kurangnya keamanan akses arsip, arsip vital yang tidak lengkap saat diserahkan dari lembaga pencipta dan tidak dibuatnya daftar pencarian arsip vital yang belum diserahkan oleh lembaga pencipta, merupakan penyebab tidak ditemukannya arsip vital IMB di KAD pada saat pencarian oleh pengguna. Artikel kelima berjudul Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton : Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon ditulis oleh Permadi Heru Prayogo, S.Hum., dibawahbimbingan dan arahan Dr. Tamara Adriani SusetyoSalim, S.S, M.A.Penelitian ini membahas tentang budaya kontrol lingkungan di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman dengan membandingkan keadaan ruang penyimpanan pada Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Ditemukan dalam penelitian ini bahwa kontrol lingkungan dalam penyimpanan naskah masih belum dilakukan dengan baik. Budaya keraton adalah salah satu latar belakang atas tindakan penyimpanan naskah di dalam keraton. Kearifan lokal menjadi salah satu bentuk tindakan yang dilakukan dalam menjaga ruang penyimpanan. Tindakan yang dilakukan antara lain berbentuk peng-ukup-an, hal tersebut dilakukan untuk menciptakan ruangan yang bebas dari serangga. Kendala-kendala yang menjadi penghambat kegiatan pemeliharaan ruang juga disebabkan oleh budaya keraton. ii
Eka Widya Ningrum, S.Hum dibawah bimbingan dan arahan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec. menulis artikel berjudul Pemanfaatan Arsip Sebagai Sumber Daya Pengetahuan Bagi Masyarakat di Pusat Arsip Pura Pakualaman Yogyakarta. Sebagai artikel keenam, tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pemanfaatan arsip di Pura Pakualaman ditinjau dari segi pengelolaan kearsipannya dan identifikasi sosialisasi terhadap arsip tersebut sebagai sumber daya pengetahuan bagi masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pusat Arsip Pura Pakualaman telah mengupayakan pendekatan kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi arsip yang dilakukan seperti penerbitan naskah sumber arsip, pameran, dan seminar pendidikan. Namun, masyarakat masih jarang memanfaatkan arsip sebagai sumber daya pengetahuan mereka. Hal ini dikarenakan publikasi arsip masih jarang dilakukan; minimnya informasi mengenai pusat arsip; dan arsip belum diolah seluruhnya. Selanjutnya ada artikel berjudul Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka, yang ditulis oleh Wiwit Ratnasari, S.Hum. di bawah bimbingan dan arahan Arie Nugraha, S.Hum., M.TI. Artikel ini membahas tentang arsitektur informasi pada situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode observasi dan wawancara terhadap informan terkait dengan pengembangan Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Analisis pada perpustakaan digital didasarkan pada empat komponen dasar dalam arsitektur informasi yaitu, sistem organisasi, sistem pelabelan, sistem navigasi dan sistem pencarian. Hasil penelitian menyatakan bahwa situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka belum memenuhi prinsip-prinsip dalam komponen dasar arsitektur informasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan kepada pihak perpustakaan untuk meningkatkan dan mengembangkan arsitektur informasi pada perpustakaan digital sehingga memberikan kemudahan-kemudahan akses informasi bagi penggunanya. Sebagai artikel kedelapan sekaligus yang terakhir dimuat dalam edisi ini yaitu berjudul Kajian Terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik yang di tulis oleh Yohanes Sumaryanto, Laksmi, dan Yasintus T. Runesi membahas mengenai perspektif multikultural yang dimiliki perpustakaan umum dalam layanan publiknya. Relasi multikultural adalah satu kondisi manusiawi (la conditione humain) dan kondisi yang harus ada (conditione sine qua non) dalam suatu negara yang multietnis dan multiagama. Salah satu sarana merajut perilaku multikulturalistik adalah melalui perpustakaan sebagai sumber pengetahuan. Tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan iii
sebagai satu sistem informasi yang berada di bawah kendali suatu struktur politik yang lebih besar dalam suatu mayoritas tidak menjadi sarana penyadaran sikap multikultur, sebaliknya menjadi suatu tempat penanaman ideologi golongan tertentu saja. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan investigasi terhadap perspektif multikultural yang dimiliki Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta, sebagai perpustakaan umum, dalam layanan publiknya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan focus group discussions dalam memeroleh data. Penelitian ini menemukan pentingnya peran perpustakaan melalui layanan, program dan para pustakawannya memerkenalkan layanan berspektif multikultural dan meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap isu multikultural melalui perluasan wawasan dan peningkatan pemahaman
dalam rangka merajut kebersamaan dalam Negara yang multietnis dan
multiagama seperti Indonesia. Kedelapan tulisan tersebut disajikan secara lebih lengkap dalam Jurnal Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan Volume 15 Nomor 2 September Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Semoga pengetahuan, penerapan, dan penelitian yang telah disampaikan dapat bermanfaat untuk pengembangan dan kemajuan bidang informasi, perpustakaan, dan kearsipan.
Salam Redaksi
iv
DAFTAR ISI
1
Penyusutan Arsip Rekam Medis: Studi Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta Siti Soleha
10
Implementasi Jadwal Retensi Arsip Di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Yossua Hot, Nina Mayesti
20
Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok Risqa Tri Oktaviani
29
Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang Vilianty Rizki Utami, Anon Mirmani
37
Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton : Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon Permadi Heru Prayogo, Tamara Adriani Susetyo-Salim
47
Pemanfaatan Arsip Sebagai Sumber Daya Pengetahuan Bagi Masyarakat di Pusat Arsip Pura Pakualaman Yogyakarta Eka Widya Ningrum, Anon Mirmani
56
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka Wiwit Ratnasari, Arie Nugraha
71
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
v
Siti Soleha, S.Hum
PENYUSUTAN ARSIP REKAM MEDIS : STUDI KASUS RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA Siti Soleha, S.Hum Program Studi Ilmu Perputakaan,Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, 16424
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai kegiatan penyusutan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui serta menganalisis proses penyusutan arsip rekam medis dan kendala yang dihadapi Rumah Sakit Haji Jakarta. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif berbentuk studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Rumah Sakit Haji Jakarta belum mempunyai Jadwal Retensi Arsip (JRA) dan kegiatan pemusnahan arsip rekam medis sejak Rumah Sakit Haji Jakarta berdiri. Oleh karena itu, penggunaan JRA di Rumah Sakit Haji Jakarta sangat disarankan dalam kegiatan penyusutan agar kegiatan penyusutan dapat berjalan dengan baik. Selain itu, juga meningkatkan peran arsiparis dalam kegiatan penyusutan rekam medis serta meningkatkan pemahaman pegawai mengenai penyusutan arsip rekam medis. Kata kunci : Penyusutan, Rekam Medis, Jadwal Retensi Arsip
ABSTRACT This research conducts an in-depth analysis of themedical recordsdisposal activity in Rumah Sakit Haji Jakarta. The purpose of this research is to identify and analyze the disposition process of medical record archivesand the obstacles faced by Rumah Sakit Haji Jakarta. The method usedin this researchis descriptive method in form of case study by using qualitative approach. The result of this research shows that at Rumah Sakit Haji Jakarta does not have Archive Retention Schedule (Jadwal Retensi Arsip -JRA) and the diminishing process of the medical record archives has not been done. Based on these results, it is suggested that Rumah Sakit Haji Jakarta should use JRA for their disposal activity, improve the role of archivists in the medical record disposal process, and improve the employees understanding related to the medical record archives disposal process. In addition, the hospital has to provide profer facilities for the disposal process of medical record archives disposal. Keywords :Disposal, Medical Record,Archive RetentionSchedule
PENDAHULUAN Hidup sehat merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut dengan jelas disebutkan dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28 H poin satu, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Salah satu pelayanan kesehatan
kepada masyarakat dilakukan oleh rumah sakit. Rumah sakit sebagai institusi yang bergerak di bidang pelayanan masyarakat menghasilkan arsip dari setiap kegiatan administrasi yang dilakukan. Arsip yang dimiliki oleh rumah sakit harus dikelola agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Menurut Amsyah (1998:7), kantor-kantor yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat
1
Penyusutan Arsip Rekam Medis: Studi Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta
diharapkan mempunyai file yang dapat berjalan efektif dan efisien. Kalau tidak, pelayanan masyarakat yang diberikan niscaya akan lamban dan tidak memuaskan. Sehingga, untuk mengantisipasi agar pelayanan agar tidak lamban dan memuaskan, diperlukan pengelolaan yang baik terhadap arsip. Pengelolaan arsip atau lebih dikenal dengan sebutan record management merupakan sesuatu yang penting bagi suatu institusi. Salah satu arsip yang dihasilkan rumah sakit adalah arsip rekam medis (medical record). Sebagai lembaga profesional, rumah sakit harus menjunjung tinggi prinsip transparasi dan pertanggungjawaban (accountability) sebagai bentuk penerapan Good Governance yang baik. Akuntabilitas merupakan suatu prinsip bahwa seseorang, organisasi, maupun komunitas perlu mempertanggungjawabkan tindakan mereka terhadap pihak lain (Kennedy, 1998). Arsip rekam medis merupakan bagian dari bukti pertanggung jawaban rumah sakit atas pelayanannya. Oleh karena itu, pengelolaan arsip rekam medis di rumah sakit harus sesuai dengan ketentuan, petunjuk, dan pedoman kearsipan. Pengelolaan arsip rekam medis yang baik seharusnya juga dilakukan di Rumah Sakit Haji Jakarta. Penyusutan arsip menjadi aspek yang perlu diperhatikan karena jika penambahan arsip rekam medis yang terus meningkat tidak diimbangi dengan penyusutan yang baik akan mengakibatkan penumpukan arsip dan mengganggu aktivitas kerja sebagaimana dikatakan Wursanto (1991:208) bahwa penyusutan merupakan salah satu sarana untuk mengatasi masalah bertumpuknya atau bertimbunnya arsip-arsip yang tidak mempunyai nilai guna lagi. Penyusutan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta juga perlu diperhatikan mengingat Rumah Sakit Haji Jakarta terus mengalami pertambahan pasien. Pertambahan kuantitas arsip rekam medis harus diimbagi dengan pengelolaan arsip rekam medis yang baik dari mulai penciptaan hingga penyusutan.Jika tidak, akan terjadi penumpukan arsip seperti yang terjadi saat ini di gudang penyimpanan arsip rekam medis inaktif Rumah Sakit Haji Jakarta. Akibat sudah tidak melakukan pemindahan arsip 2
rekam medis ke Unit Kesekretariatan lagi untuk dimusnahkan.
Masalah Penelitian Arsip rekam medis yang terakhir kali dipindahkan adalah arsip tahun 2004. Arsip rekam medis tahun 2005 hingga saat ini belum mengalami proses penyusutan dan masih disimpan di Sub Unit Rekam Medis. Oleh karena itu, banyak arsip rekam medis yang terpaksa harus ditumpuk di kardus-kardus akibat sudah tidak ada Rool O’Pack yang dapat menampung lagi. Sehingga, fenomena tersebut menarik untuk diteliti.
Tujuan Penelitian Peneliti meneliti lebih lanjut mengenai proses penyusutan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta untuk mencari tahu mengapa sampai terjadi penumpukan arsip rekam medis inaktif yang seharusnya telah dipindahkan ke Unit Kesekretariatan untuk dimusnahkan. Penelitian ini akan meneliti lebih lanjut tentang proses penyusutan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta dan kendala yang dihadapai Rumah Sakit Haji Jakarta dalam melakukan kegiatan penyusutan arsip rekam medis.
Tinjauan Literatur Penyusutan Arsip Penyusutan merupakan tahapan terakhir dalam daur hidup suatu arsip. Menurut Barthos (1989:8), penyusutan arsip adalah proses kegiatan penyiangan arsip/berkas untuk memisahkan arsip aktif dari inaktif serta menyingkirkan arsip-arsip yang tidak berguna berdasarkan Jadwal Retensi Arsip. Suraja (2006:145) mendefinisikan Jadwal Retensi Arsip adalah suatu daftar yang memuat informasi ketentuan waktu lamanya arsip disimpan. Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan, Jadwal Retensi Arsip yang selanjutnya disingkat JRA adalah daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip. Menurut Smith (2002:148) pada tahap
Siti Soleha, S.Hum penyusutan, keputusan yang dibuat adalah (1) memusnahkan rekod, (2) menyimpan rekod secara permanen atau (3) memindahkan rekod ke penyimpanan inaktif.
pertanggungjawaban Nasional tetapi sudah tidak diperlukan untuk penyelenggaraan administrasi sehari-hari kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
a. Pemindahan Arsip Pemindahan arsip (transferring) menurut Wursanto (1991:216)adalah kegiatan memindahkan arsip-arsip dari arsip aktif kepada arsip tak aktif (inaktif) karena tidak atau jarang sekali dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari. Menurut Smith (2002:149) terdapat dua metode pemindahan rekod yaitu : a. Metode pemindahan terus menerus/berulang-ulang b. Metode pemindahan berkala Menurut Suraja (2006:195) persiapan yang perlu diselenggarakan adalah : a. Menyiapkan peralatan seperti folder, boks, dan lain-lain b. Membuat daftar arsip-arsip yang akan dipindahkan c. Mempersiapkan berita acara pemindahan arsip
Manajemen Arsip Rekam Medis Penyusutan Rekam Medis Menurut Depkes RI (1997), penyusutan arsip adalah suatu kegiatan pengurangan arsip dari rak penyimpanan dengan cara : a. Memindahkan berkas rekam medis inaktif dari rak aktif ke rak inaktif b. Memikrofilmisasi berkas rekam medis inaktif c. Memusnahkan berkas rekam medis yang telah dimikrofilmkan
b. Pemusnahan Arsip Pemusnahan merupakan kegiatan akhir dari rangkaian proses penyusutan. Menurut Barthos (1989:8) pemusnahan arsip adalah proses kegiatan penghancuran arsip yang tidak diperlukan lagi baik oleh instansi yang bersangkutan maupun oleh Arsip Nasional. Pemusnahan arsip dapat dilakukan dengan beberapa cara. Menurut Suraja (2006:196) memusnahkan arsip dapat dilakukan dengan cara dirobek, dibakar, dicacah, dilebur atau dihancurkan dengan mesin penghancur kertas atau dengan memakai bahan kimia. Menurut Barthos (1990:123) pemusnahan harus dilaksanakan dengan ketentuan berikut : 1. Membuat daftar arsip-arsip yang akan dimusnahkan 2. Diketahui oleh pejabat yang berwenang 3. Pemusnahan dilakukan dengan berita acara pemusnahan c. Penyerahan Arsip Menurut Laksmi dkk (2008:220) penyerahan arsip adalah menyerahkan arsip bernilai sekunder/bernilai guna sebagai bahan
Pemusnahan Rekam Medis Menurut Depkes RI (1997) pemusnahan adalah suatu proses kegiatan penghancuran secara fisik arsip rekam medis yang telah berakhir fungsi dan nilai gunanya rendah. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik No. HK.00.06.1.5.01160 Tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Rekam Medis dan Pemusnahan Arsip Rekam Medis di Rumah Sakit, tata cara pemusnahan berkas rekam medis inaktif adalah pembuatan tim pemusnah, membuat daftar pertelaan, dan membuat berita acara pemusnahan. Penilaian Arsip Rekam Medis Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik tahun 1995 No. Hk. 00.06.1.501160, disebutkan bahwa tata cara penilaian berkas rekam medis yang akan dimusnahkan dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Berkas rekam medis yang dinilai adalah yang telah 2 tahun inaktif b. Indikator yang digunakan untuk menilai berkas rekam medis inaktif : 1) Seringnya rekam medis digunakan untuk pendidikan dan penelitian 2) Nilai guna primer, mencakup: administrasi, hukum, keuangan, dan iptek 3) Nilai guna sekunder, mencakup: pembuktian dan sejarah c. Lembar rekam medis yang dipilah adalah ringkasan masuk dan keluar, resume, lembar operasi, lembar identifikasi bayi lahir hidup, lembar persetujuan dan lembar kematian
3
Penyusutan Arsip Rekam Medis: Studi Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta
d. Berkas rekam medis tertentu disimpan di ruang berkas rekam medis inaktif e. Lembar rekam medis sisa, rusak atau tidak terbaca disiapkan dimusnahkan f. Tim penilai dibentuk dengan SK direktur beranggotakan komite rekam medis/komite medis, petugas rekam medis senior, perawat senior dan petugas lain yang terkait. Jadwal Retensi Rekam Medis Permenkes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis menyebutkan bahwa rekam medis rawat inap di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu lima tahun terhitung dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan setelah batas waktu lima tahun dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik. JRA rekam medis lebih lengkap diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.1.5.01160 tanggal 21 Maret 1995 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Rekam Medis Dasar dan Pemusnahan Arsip Rekam Medis di Rumah Sakit dan AHIMA (American Health Information Management Association). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2013 hingga bulan Mei 2013 di Rumah Sakit Haji Jakarta. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara terstruktur, observasi dan analisis dokumen. Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang yang ditentukan dengan menggunakan teknik sampling bertujuan (purposive sampling). HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Penelitian mengenai penyusutan arsip rekam medis dilakukan terhadap dua unit yang mengelola arsip rekam medis yaitu Sub Unit Rekam Medis dan Unit Kesekretariatan. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai empat orang narasumber serta observasi langsung ke lokasi. Dari hasil penjabaran hasil penelitian dan pembahasan, 4
diketahui bahwa dalam melakukan kegiatan pengelolaan arsip rekam medis Rumah Sakit Haji Jakarta telah mempunyai pedoman khusus yaitu Buku Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis Rumah Sakit Haji Jakarta. Pedoman tersebut disusun dengan mengacu kepada Departemen Kesehatan. Pengelolaan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta menganut sistem sentralisasi. Pengelolaan arsip rekam medis dari awal diciptakan hingga arsip tersebut inaktif dilakukan oleh Sub Unit Rekam Medis. Dalam melakukan pengelolaan arsip rekam medis, Sub Unit Rekam Medis dibagi menjadi 5 pembagian kerja sebagaimana tercantum dalam struktur organisasi berikut :
Gambar 1:Struktur Organisasi Sub Unit Rekam Medis Arsip rekam medis yang dikelola Sub Unit Rekam Medis per hari berkisar antara 500-1000 rekam medis. Arsip rekam medis tersebut merupakan arsip rekam medis yang keluar masuk (diterima dan dipinjam) dari Sub Unit Rekam Medis. Sedangkan total keseluruhan arsip rekam medis yang pernah dikelola oleh Sub Unit Rekam medis adalah lebih dari 436.000 arsip rekam medis. Nomor registrasi arsip rekam medis berasal dari nomor registrasi pasien. Sistem klasifikasi arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta menggunakan no.registrasi pasien yang berjumlah 6 digit dan warna. Sistem klasifikasi menggunakan angka tersebut, sesuai dengan pengertian klasifikasi menurut SulistyoBasuki (2005:39) sistem klasifikasi adalah penataan secara klasifikasi dan logis dengan menggunakan angka, huruf, atau gabungan angka dan huruf untuk identifikasi rekod. Berdasarkan wawancara dan pengamatan yang telah dilakukan, arsip rekam medis aktif hingga berstatus siap musnah disimpan di empat tempat yaitu ruang pengolah, ruang scanning, gudang penyimpanan
Siti Soleha, S.Hum arsip rekam medis Kesekretariatan.
inaktif,
dan
Unit
Dalam penjabaran mengenai proses penyusutan, peneliti menggabungkan teori kegiatan penyusutan menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2012, Smith (2002) dan Depkes RI (1997) dan disimpulkan terdapat lima kegiatan utama dalam proses penyusutan di Rumah Sakit Haji Jakarta sebagai berikut: Gambar 2 : Siklus Pengelolaan Arsip Rekam Medis 1. Penilaian Arsip Rekam Medis Dalam menilai masa simpan arsip rekam medis Rumah Sakit Haji Jakarta belum menggunakan Jadwal Retensi Arsip. Bahkan terdapat pegawai Sub Unit Rekam Medis yang tidak mengetahui mengenai JRA. Penentuan masa simpan hanya berdasarkan peraturan general saja yakni 5 tahun masa simpan (3 tahun aktif dan 2 tahun inaktif). Peraturan tersebut diatur dalam Buku Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis RS Haji Jakarta. Namun, ada beberapa arsip rekam medis tertentu yang disimpan lebih dari 3 tahun seperti rekam medis penyakit dalam, bayi dan sebagainya. Perbedaan masa simpan terhadap arsip rekam medis tertentu tidak diatur dalam pedoman yang tertulis. Dalam menentukan arsip rekam medis mana yang disimpan lebih dari 3 tahun di ruang pengolah hanya berdasarkan inisiatif pribadi pegawai saja. Berikut masa simpan arsip rekam medis Rumah Sakit Haji Jakarta yang disebut sebagai JRA rekam medis : Tabel 1 : Masa simpan Arsip Rumah Sakit Haji Jakarta No Jenis Dokumen Lama Simpan 1 Dokumen 10 tahun Keuangan 2 Dokumen Umum 2 tahun setelah tidak Internal berlaku lagi 3 Dokumen Umum 2 tahun setelah tidak Eksternal berlaku lagi 4 Dokumen biasa 2 tahun seperti yang disebutkan diatas
Sumber : Prosedur Opersional Penyimpanan Arsip RS Haji Jakarta Januari 2006)
Baku (19
Dengan peraturan masa simpan arsip Rumah Sakit Haji Jakarta yang sangat general seperti yang telah dijelaskan diatas, hal tersebut tidak dapat dikatakan JRA jika mendasarkan pengertian JRA berdasarkan Undang-Undang No. 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan. Ketidakberdaan JRA rekam medis di Buku Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis Rumah Sakit Haji Jakarta dapat disebabkan karena tidak adanya arsiparis yang dilibatkan dalam tim penyusunan Buku Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis Rumah Sakit Haji Jakarta dan tidak ada nya arsiparis dalam struktur organisasi Sub Unit Rekam Medis. Mengenai Jadwal Retensi Arsip Rekam Medis telah diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pelayanan Medik Nomor HK.00.06.1.5.01160 tanggal 21 Maret 1995 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Rekam Medis Dasar sebagai berikut: No
1 2 3 4 5 6
7 8
Kelom pok Penya kit Umum
Aktif
Inaktif
Rawat Jalan
Rawat Inap
Rawat Jalan
Rawat Inap
5th
5th
2th
2th
Mata 5th 10th 2th 2th Jiwa 10th 5th 5th 5th Orthop 10th 10th 2th 2th edi Kusta 15th 15th 2th 2th Keterg 15th 15th 2th 2th antung an Obat Jantun 10th 10th 2th 2th g Paru 5th 10th 2th 2th Tabel 2 : Jadwal Retensi Arsip Dirjen Pelayanan Medik
5
Penyusutan Arsip Rekam Medis: Studi Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta Sedangkan menurut AHIMA (American Health Information Management Association) dalam Huffman (1994:306) jadwal retensi minimal adalah : Patient health records 10 years after the most (adults) recent encounter Patient health records Age pf majority plus (minors) statute of limitation Diagnostic images (such 5 yeras as x-ray fil) Desease index 10 yeras Fatal heart monitor 10 yeras after infant records reached age of majority Master patient index Permanently Operative index 10 years Registers of births Permanently Register of deaths Permanently Register of emergency Permanently department patients Register of surgical Permanently procedures
Tabel 3 : Jadwal Retensi Arsip AHIMA
2. Pemilahan Arsip Rekam Medis Pemilahan arsip rekam medis aktif dan inaktif dilakukan dengan memeriksa satu per satu arsip rekam medis yang ada dan dilakukan pada hari libur dengan frekuensi dalam satu bulan setidaknya 2 kali. Dalam melakukan pemisahan arsip rekam medis inaktif Sub Unit Rekam Medis saat ini tidak lagi melakukan pencatatan. Dalam memilah arsip rekam medis, Sub Unit Rekam Medis memisahkan arsip rekam medis pasien yang telah 3 tahun tidak datang berobat ke Rumah Sakit Haji Jakarta. Namun terdapat pengecualian terhadap jenis arsip rekam medis tertentu yang disimpan lebih dari 3 tahun yaitu resume medis dan persetujuan operasi yang disimpan terus dengan cara di scan. Tindakan ini merupakan tindakan yang benar karena resume medis dan persetujuan operasi bernilai permanen dan harus terus disimpan sesuai dengan peraturan dalam Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 pasal 8. 3. Pemindahan Arsip Rekam Medis Sesuai dengan Buku Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis RS Haji Jakarta Bab V Tentang Penyimpanan Berkas Rekam Medis, pasien yang telah 3 tahun (terhitung dari tanggal terakhir pasien datang) tidak datang berobat ke Rumah Sakit Haji Jakarta dinyatakan inaktif dan dipindahkan dari unit pengolah ke gudang penyimpanan arsip rekam medis inaktif. Frekuensi pemindahan arsip rekam medis inaktif
6
kurang lebih sebulan sekali. Sub Unit Rekam Medis dalam melakukan pemindahan arsip rekam medis menggunakan metode pemindahan berulang-ulang. Menurut Suraja (2006:194) pemindahan berulang-ulang adalah pemindahan arsip yang dilakukan berulang-ulang dalam selang waktu yang tidak ditentukan. Sub Unit Rekam Medis sebaiknya menggunakan metode pemindahan berkala untuk mengimbangi kegiatan pemisahan arsip rekam medis inaktif oleh unit pengolah yang dilakukan secara berkala yakni 2-3 kali dalam satu bulan dan mencegah terjadinya penumpukkan arsip rekam medis inaktif di unit pengolah. Pemindahan arsip rekam medis inaktif ke gudang penyimpanan arsip rekam medis inaktif tidak terdapat berita acara pemindahan arsip dan daftar arsip yang akan dipindahkan. Padahal menurut Suraja (2006:195) salah satu persiapan yang perlu diselenggarakan dalam pemindahan arsip adalah mempersiapkan berita acara pemindahan arsip dan membuat daftar arsip-arsip yang akan dipindahkan. 4. Pendigitalan Arsip Rekam Medis Inaktif Sub Unit Rekam Medis telah melakukan kebijakan pendigitalan arsip rekam medis inaktif sesuai ketentuan yang dikatakan dalam Depkes RI (1997) penyusutan arsip adalah suatu kegiatan pengurangan arsip dari rak penyimpanan dengan cara memikrofilmisasi berkas rekam medis inaktif sesuai ketentuan yang berlaku. Namun dalam melakukan kegiatan pendigitalan arsip rekam medis, petugas yang bertugas mendigitalkan arsip rekam medis mendigitalkan semua arsip rekam medis. Padahal telah ditentukan hanya resume medis, surat kesediaan operasi, bayi, sertifikasi menginggal saja yang di scan. Menurut pengamatan peneliti, hal ini dapat disebabkan karena petugas yang bertugas mendigitalkan arsip rekam medis tidak lagi menyimpan pedoman mengenai arsip rekam medis apa saja yang harus di scan. Sehingga, perlu dilakukan sosialisasi ulang dan meningkatkan konrtol pimpinan dalam memastikan kegiatan pendigitalan arsip rekam medis berjalan dengan benar. Sejak tahun 2011, Rumah Sakit Haji Jakarta tidak lagi melakukan kegiatan pendigitalan arsip rekam medis karena rusaknya alat scanner. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukkan arsip rekam medis yang belum di scan di gudang penyimpanan arsip rekam medi dan menyebabkan
Siti Soleha, S.Hum Sub Unit Rekam Medis tidak lagi menyerahkan arsip rekam medis kepada Unit Kesekretariatan. 5. Pemusnahan Arsip Rekam Medis Pihak yang bertanggungjawab dan mempunyai tugas melakukan kegiatan pemusnahan rekam medi Rumah Sakit Haji Jakarta adalah Unit Kesekretariatan. Pemusnahan terhadap arsip rekam medis dapat dilakukan setelah 2 tahun arsip rekam medis tersebut berstatus inaktif. Pemusnahan arsip rekam medis Rumah Sakit Haji Jakarta dilakukan dengan cara dibakar. Pembakaran arsip rekam medis digabung dengan pembakaran sampah medis. Karena pembakaran arsip rekam medis dapat dikatakan “numpang” di tempat pembakaran sampah medis, Unit Kesekretariatan harus menyesuaikan dengan kondisi di tempat pembakaran arsip rekam medis memungkinkan atau tidak untuk melakukan pembakaran dengan jumlah banyak. Hal ini mengakibatkan tidak ada jadwal pemusnahan yang jelas di Unit Kesekretariatan karena harus menyesuaikan dengan kondisi di pembakaran sampah medis. Sebelum melakukan kegiatan pemusnahan arsip rekam medis, petugas pemusnah telah membuat daftar arsip yang akan di musnahkan dan berita acara. Peraturan tersebut juga telah diatur dalam Buku Pedoman Penyelenggaraan Rekam Medis tentang Pemusnahan Dokumen Rekam Medis. Namun, dalam melakukan pemusnahan arsip rekam medis Unit Kesekretariatan hanya memusnahkan kulit arsip rekam medis saja. Isi dari arsip rekam medis belum pernah dimusnahkan sejak Rumah Sakit Haji Jakarta berdiri hingga saat ini. Padahal Permenkes RI Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 pasal 8 menyebutkan bahwa rekam medis di rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dari tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan. Setelah batas 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik. Selain itu, Depkes RI (1997) juga menyebutkan bahwa penyusutan arsip adalah suatu kegiatan pengurangan arsip dari rak penyimpanan dengan cara memusnahkan berkas rekam medis yang telah dimikrofilmkan dengan cara tertentu sesuai ketentuan.
Kendala Penyusutan Arsip Rekam Medis Dalam melakukan kegiatan penyusutan arsip rekam medis kendala yang dihadapi Rumah Sakit Haji Jakarta adalah : 1. Status Rumah Sakit Haji Jakarta Status Rumah Sakit Haji Jakarta yang masih dalam masa transisi seperti saat ini, petinggi Rumah Sakit Haji tidak dapat mengambil keputusan dan kebijakan stategis seperti membuat Surat Keputusan, mengangkat pegawai baru, melakukan pengadaan fasilitas-fasilitas rumah sakit, dan kebijakan strategis lainnya.Sehingga, untuk melakukan penambahan maupun mutasi pegawai dan penambahan fasilitas rumah sakit untuk menunjang kegiatan cukup sulit dilakukan saat ini karena status Rumah Sakit Haji Jakarta yang masih dalam masa transisi. 2. Rumah Sakit Haji Jakarta belum mempunyai JRA Rekam Medis Ketidakberadaaan JRA yang spesifik mengatur masa simpan arsip rekam medis di Sub Unit Rekam Medis dapat mengakibatkan kebingungan pegawai dalam menentukan suatu arsip telah inaktif atau belum. 3. Kendala SDM Sub Unit Rekam Medis maupun Unit Kesekretariatan mengalami kekurangan SDM dan kurangnya pemahaman pegawai mengenai penyusutan arsip rekam medis seperti JRA dan arsip rekam medis apa saja yang perlu di scan dan tidak. Selain itu, kondisi pegawai Sub Unit Rekam Medis yang sudah tidak lagi muda juga mempengaruhi kecepatan dalam melakukan kegiatan penyusutan arsip rekam medis. Pegawai Sub Unit Rekam Medis yang sudah tidak lagi muda, cukup sulit untuk bekerja cepat dan sigap. 4. Keterbatasan Sarana Prasarana Keterbatasan sarana prasarana mencangkup terbatasnya ruang penyimpanan arsip rekam medis inaktif, lokasi penyimpanan arsip di Unit Kesekretariatan yang tidak strategis juga yakni di rooftop (atap bangunan) yang menyulitkan pegawai dalam mobilisasi arsip rekam medis dari Sub Unit Rekam Medis yang berada di lantai dasar ke Unit Kesekretariatan untuk disimpan dan dari Unit Kesekretariatan ke tempat pemusnahan arsip yang berada di lantai dasar, rusaknya alat scanner, dan tidak adanya alat pemusnah khusus untuk memusnahkan arsip rekam medis.
7
Penyusutan Arsip Rekam Medis: Studi Kasus Rumah Sakit Haji Jakarta
KESIMPULAN Rumah Sakit Haji Jakarta telah melakukan kegiatan penyusutan yang dilakukan oleh Sub Unit Rekam Medis dan Unit Kesekretariatan tanpa adanya JRA rekam medis yang spesifik. Padahal, menurut PP No. 28 Tahun 2012 pasal 52 disebutkan bahwa penyusutan dilakukan berdasarkan JRA. Proses penyusutan arsip rekam medis di Rumah Sakit Haji Jakarta meliputi kegiatan pemilahan arsip rekam medis inaktif di unit pengolah, pemindahan arsip rekam medis inaktif ke gudang penyimpan arsip rekam medis inaktif, pendigitalan arsip rekam medis inaktif dan pemusnahan arsip rekam medis. Kegiatan pemilahan, pemindahan dan pendigitalan dilakukan oleh Sub Unit Rekam Medis sedangkan kegiatan pemusnahan dilakukan oleh Unit Kesekretariatan. Proses pemindahan arsip rekam medis inaktif ke gudang penyimpan arsip rekam medis inaktif tidak dilakukan secara berkala dan sejak tahun 2011 Sub Unit Rekam Medis tidak melakukan kegiatan pendigitalan terhadap rekam medis inaktif karena rusaknya alat scanner. Selain itu, Rumah Sakit Haji Jakarta tidak pernah melakukan pemusnahan terhadap arsip rekam medis sejak Rumah Sakit Haji Jakarta berdiri hingga saat ini. Pemusnahan hanya dilakukan terhadap kulit arsip rekam medis. Hal tersebut yang menyebabkan terjadi penumpukan arsip rekam medis. Kendala Rumah Sakit Haji Jakarta dalam melakukan kegiatan penyusutan adalah status Rumah Sakit Haji Jakarta yang masih dalam masa transisi, tidak adanya JRA, kurangnya SDM sehingga terjadinya double job, SDM yang dimiliki Sub Unit Rekam Medis mayoritas sudah tidak lagi muda sehingga kurang dapat bekerja cepat, pengelolaan terhadap arsip rekam medis maya yang kurang efektif, ruangan penyimpanan arsip rekam medis yang terbatas, rusaknya alat scanner, lokasi penyimpan arsip rekam medis yang tidak strategis, dan tidak adanya alat pemusnah khusus arsip rekam medis. DAFTAR PUSTAKA Basir Barthos. (1989). Manajemen Kearsipan : untuk Lembaga Negara, Swasta dan Perguruan Tinggi. Jakarta : Bumi Aksara
8
Black, James A dan Dean J Champion. (1999). Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama Boedi Martono. (1990). Sistem Kearsipan Praktis : Penyusutan dan Pemeliharaan Arsip.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan ____________. (1992). Penataan Berkas dalam Manajemen Kearsipan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan Burhan Bungin. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metologi ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grahindo Persada Creswell, John W. (2010). Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Huffman, Edna K. (1994). Health Information Management ; Edisi 10. Illionis : Physician Record Company Indonesia. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka ________. (1997). Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indoensia. Jakarta : Diretorat Jendral Pelayanan Medis Departemen Kesehatan ________. (2012). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan ________. (2008). Permenkes No.269/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis. Jakarta : Departemen Kesehatan Direktorat Jendral Pelayanan Medis ________. (1995). Surat Edaran Direktorat Jendral Pelayanan Medis No. HK.00. 06.1.501160 Tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Formulir Rekam Medis dan Pemusnahan Arsip Rekam Medis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Siti Soleha, S.Hum
_______.(2009). Undang-Undang IndonesiaNomor 43 Tahun 2009 TentangKersipan _______. (2009). Undang-Undang Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Republik
Wursanto Ig. (1991). Kearsipan. Yogyakarta : Kanisius
Republik
Yohannes Suraja. (2006). Kearsipan.Malang : Dioma
Manajemen
Zulkifli Amsyah (1998). Manajemen Kearsipan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
ISO 15489-1. (2001). Information Documentation – Records Management Part 1 : General
and
ISO 15489-1. (2001). Information Documentation – Records Management Part 2 : Guideline
and
Utama
Kennedy, Jay; & Cherryl Schauder. (1998). Record management : A guide to corporate records keeping (2nd ed.).Malaysia : Longman Malaysia Laksmi; Fuad Gani; & Budiantoro. (2008). Manajemen Perkantoran Modern. Jakarta : Penaku Muhammad Idrus. (2007). Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial :Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta : UII Press Nasution (1996). Metode Research. Jakarta : Bumi Aksara Penn, Ira A; Gail Pennix; & Jim Coulson. (1994). Records Management Handbook (2nd ed.). United States : Gower Read-Smith, Judith; Mary Lea Ginn; & Norman F. Kallaus. (2002). Records Management. USA : South Western Sulistyo-Basuki. (2003). Manajemen Arsip Dinamis : Pengantar Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Sulistyo-Basuki. (2005). Kamus Kearsipan. Yogyakarta : Kanisius ____________. (2006). Metode Jakarta : Wedatama Widya
Istilah
Penelitian.
9
Implementasi Jadwal Retensi Arsip Di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
IMPLEMENTASI JADWAL RETENSI ARSIP DI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA Yossua Hot, S.Hum Dosen Pembimbing: Nina Mayesti, M.Hum IIlmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424. Email:
[email protected] Email dosen pembimbing:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas Implementasi Jadwal Retensi Arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Jadwal Retensi Arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga tercapainya pengelolaan arsip yang efektif dan efisien. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Informasi yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan unit-unit pengelola kearsipan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil penelitian ini mengungkapkan fakta di lapangan bahwa implementasi Jadwal Retensi Arsip ini belum dilaksanakan secara merata dikarenakan masih ada unit-unit kearsipan yang belum melakukan penyusutan. Kurangnya kesadaran pimpinan yang menyebabkan permasalahan ini timbul. Jadwal Retensi Arsip dibuat tanpa diberikan fasilitas seperti sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan kearsipan dan Sumber Daya Manusia masih ada yang tidak mengerti kearsipan atau tidak berlatar pendidikan kearsipan sehingga menyebabkan lambat dalam implementasi. Kata Kunci: Jadwal Retensi Arsip, penyusutan.
Abstract This research describes about Implementation of the Records Retention Schedules in the Ministry of Education and Culture. The purpose of this research is knowing the implementation Schedule Retention Archives at the Ministry of education and culture trough they can to reach the effectiveness and efficient of records management and efficiency. This is qualitative research with case study methods. The information was taken by doing an interview with executive of archival unit in the ministry of education and culture. Information obtained by conducting interviews with archival management units in the Ministry of education and culture. The results of this research reveal that fact in field implementation of The Records Retention Schedule has not been implemented because there are still evenly-archives that have not been doing depreciation. Lack of awareness of the leadership is the lead of the problems. Records Retention Schedule was made without any facilities and infrastructures that support the archival activities. Also human resources are still the one who don't understand the archival or not set archival education thus causing slow in implementation. Keywords: Records Retention Schedule, Disposal.
10
Yossua Hot, S.Hum; Dosen Pembimbing: Nina Mayesti, M.Hum
Pendahuluan Dalam era globalisasi setiap kegiatan intansi, baik-maupun instansi pemerintah, instansi swasta dan pendidikan tidak akan berjalan tanpa data dan informasi. Informasi pada intansi sangat dibutuhkan dan bentuk informasi adalah rekaman dari kegiatan perusahaan itu sendiri, rekaman tersebut terdapat pada arsip. Arsip sebagai salah satu informasi terekam memiliki fungsi yang sangat penting untuk menunjang proses kegiatan intansi. Setiap kegiatan memerlukan data atau informasi, salah satu sumber informasi itu adalah arsip.
Arsip dinamis (records) sebagai salah satu sumber informasi terekam memiliki fungsi sangat penting untuk menunjang proses kegiatan administrasi dan manajemen birokrasi. Disamping itu arsip statis (archives) dapat pula dimanfaatkan oleh lembaga instansi pemerintah serta masyarakat umum bagi pendidikan dan penelitian. Sebagai endapan informasi kegiatan administrasi dan manajemen, arsip akan terus tumbuh dan berkembang secara akumulatif sejalan dengan semakin kompleksnya fungsi dan organisasi.
Perkembangnya fungsi osirganisasi yang begitu pesat membuat penciptaan arsip yang begitu banyak. Dengan tercipta arsip yang begitu banyak dapat membuat dampak penumpuk secara tidak terkontrol. Arsip–arsip yang tidak terkontrol cenderung diabaikan oleh pengelolanya, karena dipandang tidak perlu disimpan di dalam suatu sistem. Arsip sebagai salah satu sumber informasi membutuhkan suatu sistem pengelolaan (management) yang tepat sehingga dapat menciptakan efiktifitas, efisiensi dan produktifitas bagi organisasi.
Pada dasarnya pengolahan arsip terdiri dari beberapa unsur pokok bahwa penataan arsip terdiri atas proses penciptaan arsip, penyimpanan, penemuan kembali dan pemeliharaan arsip. Tetapi arsip tidak hanya sekedar untuk disimpan saja, arsip juga perlu
perawatan supaya keberadaan arsip tersebut tetap baik khususnya keberadaan arsip dinamis aktif yang terdapat dalam organisasi harus diperhatikan karena arsip ini termasuk arsip yang masih dipergunakan dalam organisasi.
Pengelolaan arsip inaktif pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan semasa aktifnya. Apabila pada masa aktifnya arsip dikelola dengan baik, maka pada masa inaktifnya akan menjadi baik, sehingga akan memudahkan proses penyusutan dan penataan arsip ada masa statis. Fase penyusutan merupakan penentuan masa simpan arsip. Sehingga dalam fase ini ditentukan apakah suatu arsip harus dimusnahkan, dipindahkan atau disimpan secara permanen.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan salah satu instansi pemerintahan yang membantu dalam meningkatkan ketersediaan layanan pendidikan dan kebudayaan, memperluas keterjangkauan layanan pendidikan dan kebudayaan, meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kebudayaan, mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan dan kebudayaan, menjamin kepastian atau keterjaminan memperoleh layanan pendidikan dan melestarikan dan memperkukuh bahasa dan kebudayaan Indonesia.
Salah satu pelayanan yang diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah layanan informasi dengan cepat, tepat dan akurat berdasarkan arsip kegiatan organisasi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membuat kebijakan mengenai Jadwal Retensi Arsip sebagai pedoman dalam menata arsip, agar informasi dapat dicari dengan cepat, tepat dan efisien sesuai dengan kebutuhan unit-unit kerja. Demi peningkatan efisiensi dan efektifitas operasional instansi, arsip harus dikelola dengan baik sehingga nilai dari informasi tidak hilang.
11
Implementasi Jadwal Retensi Arsip Di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
Dalam usaha pengelolaan arsip, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat jadwal retensi sesuai dengan pedoman pelaksanaan kegiatan arsip dalam rangka penyusutan arsip inaktif sesuai dengan prosedur dan merata di setiap unit-unit kearsipan di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan adanya jadwal retensi arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maka akan tercapai manfaat yang banyak seperti efisiensi ruangan, biaya dan waktu dalam pencarian temu kembali arsip, dan terlaksananya penyusutan arsip-arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan pedoman Jadwal Retensi Arsip
Pedoman Jadwal Retensi Arsip harus diterapkan terlebih dahulu sebelum bisa dilaksanakan dan bermanfaat bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam implementasi kebijakan, pimpinan harus memberikan sosialisasi mengenai manfaat yang timbul dalam pelaksanaan Jadwal Retensi Arsip sehingga penyusutan arsip dapat berjalan. Serta pimpinan harus memberikan fasilitas yang memadai untuk pengelolaan arsip di unit unit kearsipan.
Masalah Penelitian Berdasarkan observasi awal, peneliti melihat
Penyusutan di Biro Umum tidak berjalan seiring dengan volume arsip bertambah sehingga terjadi Penumpukan di unit-unit kerasipan. Oleh karena itu dibutuhkan kegiatan penyusutan arsip yang baik untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya menggunakan Peraturan Menteri mengenai Jadwal Retensi Arsip sebagai acuan. Tetapi Jadwal Retensi Arsip tidak di implementasikan dengan baik di Biro Umum sehingga penyusutan di unit-unit kerja menjadi terkendala dikarenakan tidak mengerti arsiparis dalam menggunakan Jadwal Retensi Arsip.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Jadwal Retensi Arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
12
sehingga tercapainya pengelolaan arsip yang efektif dan efisien.
Metode Penelitian Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian Kualitatif merupakan metode-metode untuk mengekplorasi dan memahami makna yang diperoleh sejumlah individu atau sekelompok orang yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajkukan pertanyaanpertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif serta penafsiran makna data dari kompleksitas suatu persoalan (Creswell 2009: 4).
Peneliti melakukan pendekatan dengan metode studi kasus. Studi Kasus merupakan strategi penelitian dimana didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, perisitiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu (Creswell 2009:20) Penelitian ini dilakukan pada lingkup salah satu Unit Kearsipan yaitu Biro Umum pada Bagian Perencanaan dan Penganggaran, Bagian Tata Usaha Protokol Bagian Barang Milik Negara dan Bagian Rumah Tangga dan Kepegawaian. Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang difokuskan pada masalah penelitian mengenai Implementasi Peraturan Kementrian tentang Jadwal Retensi Arsip di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ruang lingkup penelitian ini adalah Implementasi Peraturan Kementrian mengenai Jadwal Retensi Arsip di Biro Umum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Objek Penelitian adalah Implementasi Peraturan Kementrian mengenai Jadwal Retensi Arsip di Biro Umum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Subjek Penilitian adalah Biro Umum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Yossua Hot, S.Hum; Dosen Pembimbing: Nina Mayesti, M.Hum Demi memperoleh informasi mengenai kegiatan pengelolaan arsip dinamis dan penyusutan arsip Biro Umum maka peneliti melakukan wawancara. Peneliti melakukan wawancara demi mendapatkan informasi yang lebih mendalam dari subjek yang diwawancara mengenai bagaimana pengelolaan arsip dinamis dan menanyakan pendapat subjek wawancara tentang penyusutan arsip Biro Umum dengan JRA. Wawancara dilakukan kepada 5 orang Arsiparis di Biro Umum, terdiri dari staf arsip di subagian persuratan dan kearsipan staf arsip di Subbag Tata Usaha Menteri staf arsip di Kabag Perencanaan dan Penganggaran, dan staf Subbidang Arsip dan Dokumentasi yang pernah sebagai tempat penyimpanan arsip dinamis inaktif Biro Umum.
Analisis dan Interpretasi Data
Jadwal Retensi Arsip merupakan suatu daftar dari series arsip organisasi yang berisi arahan berapa lama arsip disimpan dan mengandung instruksi kapan arsip dipindahkan. Unsur-unsur: uraian jenis arsip, jangka simpan arsip, dan nasib akhir (musnah/permanen) berguna sebagai arahan dalam program penyusutan arsip (Kennedy, 1998). Sebelum digunakan JRA harus diimplementasikan terlebih dahulu di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling utama dalam pembuatan kebijakan sehingga memegang peranan penting dan berkaitan dengan tahapan lainnya, karena tahapan tersebut memiliki pengaruh terhadap penilaian atas dampak atau kinerja dari suatu kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan suatu langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Pada tahap implementasi kebijakan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembuat kebijakan harus memberdayakan berbagai sumber daya yang ada untuk mengidentifikasi masalah masalah yang terjadi dan bagaimana cara mencapai tujuan dari kebijakan. Komunikasi merupakan faktor penting menentukan keberhasilan suatu implementasi, hal ini sesuai dengan Subarsono (2008:89) mengenai komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi imlpementasi. Tetapi komunikasi arsiparis dari unit-unit kerja tidak berjalan sehingga tidak mempunyai kesadaran untuk menyerahkan arsip ke pusat kearsipan disebabkan rasa takut akan kehilangan arsipnya. Seharusnya arsiparis unit kerja dapat berpikir, bila mereka menyerahkan arsip mendapatkan keuntungan yang banyak dikarenakan tidak lagi mengelola arsip, tidak ada penumpukan arsip di tempat penyimpanan unit dan arsip tidak hilang. Menurut Subarsono (2008:89) kadang kala gambaran yang ada atau cara pandang dibenak arsiparis di unit kerja berbeda-beda sehingga menyebakan kendala. “Misalkan kita menyerahkan arsip nanti arsipnya hilang, dan bila arsip tersebut dibutuhkan temu kembali akan memakan waktu yang lama dalam pencarian” sehingga mereka berpikir lebih baik mengelola arsipnya sendiri. Bila arsip dikelola terusmenerus akan terjadi penumpukan arsip di unit kerja serta dampak biaya yang dikeluarkan semakin besar, pencarian kembali arsip semakin sulit dan kemungkinan arsip yang ada di unit kerja hilang. Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi, jika kepercayaan antara unit-unit kerja terjalin dengan baik dan kesadaran sendiri untuk menyerahkan arsipnya. Bila komunikasi antar organisasi tidak berjalan dengan baik hal ini dapat menyebabkan hubungan yang renggang antar organisasi karena kurangnya kepercayaan antar sama lain. Padahal kunci dari pengimplementasi JRA ini adalah komunikasi antar satu dengan lain sehingga dapat mengerti mengenai tujuan dan sasaran demi kepentingan bersama. Cara padang dan sikap arsiparis haruslah menyatu dengan unit-unit kearsipan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam menjalani prosedur kearsipan.
Sumber daya manusia (SDM) adalah faktor yang paling menentukan keberhasilan kinerja dan pencapaian organisasi dimana mereka berada. Keterbatasan SDM dibidang kearsipan merupakan permasalah pokok. Secara kualitatif 13
Implementasi Jadwal Retensi Arsip Di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
masih terbatasnya tenaga professional dan praktifisi yang cukup memadai. Termasuk dalam hal ini terbatasnya jumlah arsiparis. Secara kualitatif, arsiparis yang belum memiliki standar profesi yang ideal. Jika diliat dari permasalahan diatas. Kekurangan pada SDM khususnya kearsipan menjadi kendala dalam lambatnya implementasi Jadwal Retensi Arsip di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dan perhatian pimpinan dalam pengelolaan arsip, sehingga arsip itu dipandang sebelah mata dan semua orang tanpa latar belakang pendidikan bisa saja dapat melakukan pengelolaan arsip tanpa diperlukan pendidikan khusus mengenai kearsipan. Oleh karena itu dalam implemenetasi kebijakan pimpinan harus menyadari perlunya pelatihan, seminar dan pendidikan lanjutan, utama bagi peningkatan keterampilan staf. SDM telah menjadi asset yang bernilai pada setiap organisasi. Keperluan SDM yang handal dibidang kearsipan sangat mendukung keberhasilan manajemen dalam menjalankan misi dan fungsinya dalam memberikan layanan maksimal kepada induk organisasinya. Untuk merelisasikan hal tersebut diatas perlu adanya suatu perubahan besar megenai krakteristik pengelolaan arsip. Perubahan ini tidak saja menuntut biaya yang tidak sedikit untuk memberikan pelatihan dan pendidikan yang berkualitas tinggi, tetapi juga perubahan mental dari pengelola arsip itu sendiri. Staf arsiparisnya Kementerian pendidikan dan Kearsipan merupakan pejabat-pejabat yang diberi tugas untuk mengelola kearsipan, sehingga mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan kearsipan, tugas yang mereka lakukan tidak selamanya dilaksanaka karena mereka akan mendapatkan kenaikan pangkat dan pindah dari unit kerja lain. Hal ini senada dengan informan. Jika tidak ada yang berlatar belakang pendidikan kearsipan, mereka menangani arsip hanya berdasarkan kewajiban, sehingga mereka menangani arsip hanya dengan kekampuan dia saja, seharusnya mereka mengikuti pelatihan mengenai kearsipan agar memahami tentang 14
kearsipan. Di Biro Umum sendiri sudah ada pelatihan mengenai kearsipan untuk arsiparisnya. Jadi permasalahan yang dihadapi SDM di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bila mereka mendapatkan pelatihan kearispan sehingga mereka mengerti mengenai pengelolaan arsip dan mengimplementasi JRA. Bila orang ini dipindahkan dikarenakan naik pangkat atau naik golongan dan diganti oleh orang baru yang tidak mengerti kearsipan, otomatis ini akan menjadi kendala terus-menerus dikarenakan pengantinya ini tidak memiliki latar belakang pendidikan kearsipan dan pasti arsip itu akan dipandang dia sebelah mata.
Pelatihan merupakan suatu usaha dalam meningkatkan kualitas arsiparis, tetapi fakta yang terjadi adalah orang yang seharusnya mendapat pelatihan bukan untuk arsiparis unitunit kerja melainkan orang yang tidak bekerja di kearsipan sehingga ilmu yang dia dapat tidak berguna bagi lingkungannya.
Berdasarkan pernyataan diatas seharusnya yang diberikan pelatihan adalah arsiparis yang menangani kearsipan di unit-unit kerja. Bila orang lain yang mendapatkan pelatihan dan mendpatkan pengetahuan mengenai kearsipan, kadang-kadang ilmu yang didapatnya hanya untuk pengetahuan diri sendiri saja tapi tidak berguna bagi lingkungannya, seharusnya bila mendapatkan ilmu dalam pelatiha setidak bisa diaplikasikan ditempat mereka bekerjaan, menata arsip seperti ini, jadi kalau dia bukan yang bekerja dibidang kearsip tapi dia ditugaskan untuk mengikuti bimbingan teknis mengenai kearsipan ilmunya tidak akan berguna. Jadi Peningkatan potensi itu kan harus orang yg bersangkutan dikarenakan ilmu yang didapat tidak bisa diwakilikan, umpanya Orang yg sekolah saya, masa diwakili dengan orang lain tidak mungkinkan untuk diwakili.
Penunjukan SDM dalam pelatihan harus tepat sesuai dengan tugas di kearsipan, karena dalam penunjukan kadang-kadang salah sasaran, sehingga orang yang bukan bekerja di kearsipan
Yossua Hot, S.Hum; Dosen Pembimbing: Nina Mayesti, M.Hum menjadi mengikuti pelatihan demi memenuhi kuota orang di setiap unit-unit kerja. Pemilihan SDM tidak tepat dikarenakan arsiparis yang menangani arsip tidak ada diruangan sedang melakukan dinas keluar kota. Orang-orang yang bukan bekerja dikearsipan dan ditunjuk untuk mengikuti pelatihan, ilmu yang diperoleh tidak diimplementasikan ke dalam pengelolaan kearsipan dikarenakan tidak menangani kearsipan dan ilmu yang didapatkan dari hasil pelatihan hanya untuk diri sendiri. Biro Umum seharusnya mempunyai tempat penyimpanan tersendiri untuk menyimpan arsiparsipnya. Arsip aktif masih berada di unit kerja masing-masing, sedangkan tempat penyimpanan arsip inaktif Biro Umum berada di Sub Bagian Persuratan dan Kearsipan. Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa arsip-arsip di Biro Umum masih disimpan di unit-unit kerja. Tidak adanya tempat penyimpanan di pusat arsip inaktif menyebabkan penyusutan dari unit-unit kerja menjadi terkendala sehingga terjadi penumpukan arsip di unit kerja. Bila tidak ada pusat penyimpanan arsip inaktif dan unit-unit kerja memaksa untuk menyusutkan arsip maka kemungkinan arsip yang dititipkan hilang. Unit-unit kerja yang tidak melakukan penyusutan akan terjadi penumpukan arsip yang memberikan dampak negatif dalam temu kembali, biaya perawatan arsip, serta penyempitan ruangan penyimpanan unit kerja.
Fasilitas penyimpanan arsip inaktif di Biro Umum seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari pimpinan dalam rangka untuk menjamin pengelolaan dan kebutuhan informasi. Pusat penyimpanan arsip di Biro Umum tidak mempunyai tempat selama 2 tahun. Arsiparis di Biro umum sudah berulang kali memohon untuk diberikan fasilitas tempat penyimpanan arsip inaktif. Seharusnya dengan diberikan sarana penyimpanan, pengelolaan arsip di Biro Umum akan berjalan baik sehingga memudahkan untuk pencarian temu kembali arsip demi menunjang kegiatan organisasi. Selama ini faktanya arsiparsip yang menumpuk di unit-unit kerja
membuat arsiparis kewalahan dalam mencari kembali arsip yang dibutuhkan, serta biaya dalam perawatan arsip tersebut. Bila diberikan tempat penyimpanan arsip inaktif, arsip-arsip yang diunit kerja akan berjalan dengan baik sehingga penyusutan akan berjalan sesuai dengan prosedur Jadwal Retensi Arsip. Implementasi Peraturan Kementerian tentang Jadwal Retensi Arsip, pimpinan kurang menyadari akan penunjang sarana dalam menunjang kegiatan kearsipan. Sarana merupakan faktor penunjang dalam keberhasilan atau tidak suatu organisasi mengimplementasikan Peraturan Menteri tentang Jadwal Retensi Arsip. Karena selama ini yang diliat peneliti, para arsiparis mengeluh untuk dibuatkan tempat penyimpanan. Untuk membangun pusat penyimpanan arsip inaktif di Biro Umum, seharusnya pimpinan
mengikuti sesuai dengan prosedural, Menurut ISO 15489-2 (2001:18) tempat penyimpanan seharusnya meliputi:
a. Lokasi harus dapat dijangkau dengan mudah dan harus berada di area yang tidak beresiko. b. Struktur bangunan harus menyediakan keseimbangan temperatur dan tingkat kelembapan yang sesuai kebutuhan, perlindungan dari bahaya api, perlindungan dari perusakan karena air, perlindungan dari hal-hal yang dapat mengkontaminasi (seperti radioactive isotpe, jamur) standar keselamatan, kontrol akses ke area penyimpanan, sistem pendekteksi pada entri yang tidak diizinkan, perlindungan terhadap pengerusakan yang disebabkan oleh serangga. c. Perlengkapan. Seperti rak disesuaikan dengan format rekod yang cukup kuat untuk menanggung beban berat.
Kementerian Pendidikan Pimpinan sudah bagus dalam pembuatan peraturan Menteri mengenai Jadwal Retensi Arsip, akan tetapi pimpinan tidak memikirkan sarana yang mendukung untuk pengelolaan arsip. Sehingga pengelolaan arsip menjadi terkendala dalam penyusutan di unit kerja ke pusat arsip, sehingga sampai sekarang terjadi penumpukan arsip di unit-unit kerja. Penumpukan arsip tidak perlu terjadi jika
15
Implementasi Jadwal Retensi Arsip Di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
pimpinan menyediakan fasilitas mendukung untuk kegiatan kearsipan.
yang
Pada tahun 2006 Subbagian Kearsipan merupakan bagian dari Biro Umum. Subbagian kerasipan ini mempunyai tugas melakukan pengelolaan arsip dan dokumen di lingkungan Sekretariat Jenderal serta penyiapan bahan pembinaan dan usul penghapusan arsip Departemen. Pada Tahun 2006 Biro Umum mempunyai struktur kelompok jabatan fungsional demi mendukung pelaksanaan tugas Biro Umum. Kelompok jabatan fungsional terdiri atas sejumlah jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang kegiatannya. Tetapi perubahan struktur organisasi terjadi dibawah Menteri Muhammad Nuh pada tahun 2010, dimana Subbagian Kearsipan dipindahkan kebagian Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat. Perubahan struktur organisasi ini berdampak besar terhadap kegiatan kearsipan di Biro Umum. Fungsi kearsipan Biro umum berada di Subbagian Persuratan, dan mempunyai tugas melakukan pengelolaan dan pembinaan persuratan Kementerian serta urusan persuratan dan kearsipan di lingkungan Sekretariat Jenderal. Tetapi dengan perubahan ini Biro umum tidak mempunyai pusat penyimpanan arsip untuk unitunit kearsipan sehingga penyusutan arsip menjadi terkendala. Perubahan struktur organisasi berdampak hilangnya struktur kelompok jabatan fungsional Biro Umum sehingga tidak mendukung pelaksanaan tugas Biro Umum. Hilangnya struktur kelompok jabatan fungsional demi menekan anggaran keuangan Kementerian Pendidikan. Padahal stuktur fungsional merupakan struktur penting sebagai landasan tugas, jenis, dan jenjang kerja dengan bidang kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas Biro Umum. Seiring dengan perubahan nama pada tahun 2012 Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan struktur organisasi turut mengalami perubahan signifikan. Untuk Biro Umum sendiri pusat 16
kearsipan ditempatkan di Subbagian Persuratan dan berubah nama menjadi Subbagian Persuratan dan Kearsipan. Subbagian Persuratan dan Kearsipan merupakan pusat penyimpanan arsip inaktif dari unit-unit kearsipan Biro Umum. Tetapi permasalahan yang terjadi adalah Subbagian Persuratan dan Kearsipan tidak mempunyai tempat untuk menyimpan arsip-arsip inaktif.
Perubahan struktur organisasi berdampak buruk bagi kerasipan terutama di Biro Umum. Pada awalanya Biro Umum melakukan penyusutan sesuai dengan jadwal dikarenakan mempunyai tempat penyimpanan yang cukup besar dan fasilitas memadai di subbagian kearsipan. Tetapi dengan berubahnya struktur organisasi, Subbagian Arsip dan Dokumentasi dibawah Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat. Subbidang Arsip dan Dokumentasi dibawah PIH mempunyai tugas melakukan pengelolaan dan penyusunan bahan pembinaan arsip dan dokumen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal.
Sedangkan perbuahan struktur organisasi di Biro Umum fungsi kearsipan berada pada Subbagian Persuratan dan Kearsipan. Tugas Subbagian Persuratan dan Kearsipan melakukan pengelolaan dan pembinaan persuratan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta urusan persuratan dan kearsipan di lingkungan Sekretariat Jenderal. Pada saat sebelum terjadi perubahan struktur dan masih bernama Subbagian Persuratan awalnya berfungsi menangani surat-surat masuk fasilitas dan tempat hanya apa adanya saja. Tetapi seiring waktu dan perubahan terjadi Subbagian Persuratan dan Kearsipan mempunyai peranan yang lebih untuk menangani kearsipan di Sekretaris Jenderal. Untuk fasilitas dan sarana di Subbagian Persuratan dan Kearsipan tidak memadai dikarenakan perubahan ini terjadi mendadak dan tidak ada bantuan dari pimpinan mengenai sarana dan prasarana.
Yossua Hot, S.Hum; Dosen Pembimbing: Nina Mayesti, M.Hum
Seharusnya dengan perubahan struktur organisasi dan perubahan fungsi kearsipan, pimpinan wajib memikirkan fasilitas dan sarana yang sesuai dengan kegiatan. Fasilitas dan sarana mempunyai dampak yang tinggi dalam menunjang kegiatan organisasi, terutama kearsipan. Kearsipan membutuhkan tempat penyimpanan dan sarana yang memadai untuk pengelolaan arsip dan penyusutan arsip. Biro Umum merupakan pembina kearsipan di lingkungan Sekretariat Jenderal dan harus mempunyai sarana dan prasarana yang memadai. Biro umum sampai saat ini tidak mempunyai tempat penyimpanan untuk arsip inaktif unit-unit kearsipan. Padahal tahun 2006 Biro Umum merupakan pusat kearsipan yang terstruktur dengan baik dan melakukan penyusutan sesuai jadwal dikarenakan fasilitas dan sarana yang mendukung. Kekurangan fasilitas dan sarana diakibatkan kerena kurangnya kesadaran pimpinan yang merubah struktur organisasi yang berdampak buruk untuk kinerja organisasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terutama di Biro Umum bagian kearsipan.
Struktur Organisasi Pada tahun 2006 Subbagian Kearsipan merupakan bagian dari Biro Umum. Subbagian kerasipan ini mempunyai tugas melakukan pengelolaan arsip dan dokumen di lingkungan Sekretariat Jenderal serta penyiapan bahan pembinaan dan usul penghapusan arsip Departemen. Pada Tahun 2006 Biro Umum mempunyai struktur kelompok jabatan fungsional demi mendukung pelaksanaan tugas Biro Umum. Kelompok jabatan fungsional terdiri atas sejumlah jabatan fungsional yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang kegiatannya.
Tetapi perubahan struktur organisasi terjadi dibawah Menteri Muhammad Nuh pada tahun 2010, dimana Subbagian Kearsipan dipindahkan kebagian Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat. Perubahan struktur organisasi ini berdampak besar terhadap kegiatan kearsipan di
Biro Umum. Fungsi kearsipan Biro umum berada di Subbagian Persuratan, dan mempunyai tugas melakukan pengelolaan dan pembinaan persuratan Kementerian serta urusan persuratan dan kearsipan di lingkungan Sekretariat Jenderal.
Tetapi dengan perubahan ini Biro umum tidak mempunyai pusat penyimpanan arsip untuk unitunit kearsipan sehingga penyusutan arsip menjadi terkendala. Perubahan struktur organisasi berdampak hilangnya struktur kelompok jabatan fungsional Biro Umum sehingga tidak mendukung pelaksanaan tugas Biro Umum. Hilangnya struktur kelompok jabatan fungsional demi menekan anggaran keuangan Kementerian Pendidikan. Padahal stuktur fungsional merupakan struktur penting sebagai landasan tugas, jenis, dan jenjang kerja dengan bidang kegiatan untuk mendukung pelaksanaan tugas Biro Umum.
Seiring dengan perubahan nama pada tahun 2012 Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan struktur organisasi turut mengalami perubahan signifikan. Untuk Biro Umum sendiri pusat kearsipan ditempatkan di Subbagian Persuratan dan berubah nama menjadi Subbagian Persuratan dan Kearsipan. Subbagian Persuratan dan Kearsipan merupakan pusat penyimpanan arsip inaktif dari unit-unit kearsipan Biro Umum. Tetapi permasalahan yang terjadi adalah Subbagian Persuratan dan Kearsipan tidak mempunyai tempat untuk menyimpan arsip-arsip inaktif.
Perubahan struktur organisasi berdampak buruk bagi kerasipan terutama di Biro Umum. Pada awalanya Biro Umum melakukan penyusutan sesuai dengan jadwal dikarenakan mempunyai tempat penyimpanan yang cukup besar dan fasilitas memadai di subbagian kearsipan. Tetapi dengan berubahnya struktur organisasi, Subbagian Arsip dan Dokumentasi dibawah Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat. Subbidang Arsip dan Dokumentasi dibawah PIH mempunyai tugas melakukan pengelolaan dan 17
Implementasi Jadwal Retensi Arsip Di Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
penyusunan bahan pembinaan arsip dan dokumen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri melalui Sekretaris Jenderal.
terjadi penumpukan arsip di unit-unit kerja. Tetapi dengan seiring perubahan struktur organisasi dan perubahan nama Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan implementasi JRA kurang dirasakan di Biro Umum.
Sedangkan perbuahan struktur organisasi di Biro Umum fungsi kearsipan berada pada Subbagian Persuratan dan Kearsipan. Tugas Subbagian Persuratan dan Kearsipan melakukan pengelolaan dan pembinaan persuratan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta urusan persuratan dan kearsipan di lingkungan Sekretariat Jenderal. Pada saat sebelum terjadi perubahan struktur dan masih bernama Subbagian Persuratan awalnya berfungsi menangani surat-surat masuk fasilitas dan tempat hanya apa adanya saja. Tetapi seiring waktu dan perubahan terjadi Subbagian Persuratan dan Kearsipan mempunyai peranan yang lebih untuk menangani kearsipan di Sekretaris Jenderal. Untuk fasilitas dan sarana di Subbagian Persuratan dan Kearsipan tidak memadai dikarenakan perubahan ini terjadi mendadak dan tidak ada bantuan dari pimpinan mengenai sarana dan prasarana.
Kendala-kendala yang menyebabkan tidak adanya implementasi peraturan kementrian mengenai jadwal Retensi Arsip Biro Umum dikarenakan Sumber Daya Manusia masih ada yang tidak mengerti kearsipan dapat menyebabkan lambat dalam implementasi Jadwal Retensi Arsip dan pengelolaan arsip secara umum. Hal ini terjadi dikarenakan pimpinan kurang memperhatikan atau peduli terhadap unit kerja kearsipan dan menganggap semua orang tanpa berlatar pendidikan dapat mengerjakan pengelolaan kearsipan. Serta pimpinan sendiri tidak mengerti mengenai kearsipan sehingga mereka berpikir arsip itu hanya daftar keuangan yang membuat gambaran arsip itu hanya kertas yang sudah tidak digunakan.
Kesimpulan
Boedi, Martono. 1990. Sistem Kearsipan Praktis: Penyusutan dan Pemeliharan arsip. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Perubahan Struktur organisasi menyebabkan Jadwal Retensi Arsip di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum diimplementasikan secara menyeluruh di unitunit kerja. Perubahan Struktur Organisasi berdampak besar dalam implementasi JRA dan hilang struktur fungsional menyebabkan hilangnya landasan tugas, jenis dan kedudukan arsiparis. Dengan perubahan Struktur organisasi subbagian kearsipan pindah sehingga Biro Umum tidak mempunyai tempat penyimpanan untuk unit kearsipan yang menyebabkan tidak berjalan Implementasi JRA. Padahal Peraturan Menteri mengenai JRA dibuat sebagai pedoman untuk pengelolaan arsip. Dalam melakukan penyusutan arsip inakrif melalui prosedur yang jelas dan memudahkan penemuan kembali arsip, sehingga tidak lagi 18
Daftar Acuan
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Dwidjowijoto, Riant Nugroho. (2003). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Donni, Juni Priansa dan Agus Garnida. (2013). Manajemen Perkantoran: Efektif, Efisien, dan Profesional.Bandung :Alfabeta. ISO 15489-1. 2001. Information and documentation-records management. Geneva ISO 15489-2. 2001. Information and documentation-records management. Geneva
Yossua Hot, S.Hum; Dosen Pembimbing: Nina Mayesti, M.Hum Kennedy, Jay and Cherryl Schauder. 1998. Record Management : A Guide to Corporate Record Keeping. Melbourne : Longman Subarsono, AG. (2008). Analisis Kebijkan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
19
Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok
PENDAPAT ANAK TERHADAP RUBRIK ENSIKLOBOBO DI TAMAN BACAAN ANAK MELATI, PITARA DEPOK Risqa Tri Oktaviani, S.Hum Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, 16424 Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas mengenai pendapat anak terhadap rubrik Ensiklobobo di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode Focus Group Discussion (FGD). Keberadaan rubrik Ensiklobobo di Taman Bacaan Anak Melati dapat memberikan manfaat yang besar untuk menambah wawasan pengetahuan anak-anak karena isi informasinya lebih ringan dan sesuai dengan pengalaman sehari-hari anak. Keberadaan rubrik Ensiklobobo sebagai salah satu bacaan anak yang terdapat di majalah Bobo, memiliki kesamaan pelayanan seperti yang dilakukan oleh perpustakaan, yaitu pelayanan jasa rujukan, atau disebut juga dengan quasi layanan rujukan. Kata Kunci: Kuasi, Layanan Rujukan, Perpustakaan Komunitas, Ensiklobobo
Abstract This research is about children’s opinion towards Ensiklobobo rubric in Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok. The research uses qualitative method by Focus Group Discussion (FGD). The existence of Ensiklobobo rubric in Taman Bacaan Anak Melati would give great benefits to broaden children's knowledge because the light content of the information in accordance with kids daily experiences. Ensiklobobo as one of children rubric in Bobo magazine has the same reference services as library, might be called quasi reference services. Keywords: Quasi, Reference Service, Community Library, Ensiklobobo
Pendahuluan Jasa informasi merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka.Hal tersebut disebabkan jumlah informasi dan sumberdaya yang tersedia semakin banyak, oleh karena itu dibutuhkan proses pemilihan bahan yang tepat. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatlah sebuah layanan yang disebut sebagai jasa informasi rujukan. Tugas dari layanan rujukan adalah menerima pertanyaan-pertanyaan dari para pemakai/pengunjung perpustakaan dan kemudian menjawab dengan menggunakan koleksi rujukan; memberi
20
bimbingan untuk menemukan koleksi rujukan dan mencari informasi yang dibutuhkan; memberi bimbingan kepada para pemakai tentang penggunaan bahan pustaka koleksi rujukan.(Sumardji, 1992). Koleksi rujukan di Taman Bacaan Anak Melati Pitara Depok banyak dimanfaatkan oleh anak-anak, dalam koleksi rujukan terdapat majalah Bobo.Majalah Bobo banyak dibaca oleh pengunjung rutin.Sebelumnya penelitian anak dilakukan pada terbitan berkala surat kabar, berjudul Tanggapan Pengguna What’s That? Mini Library
Risqa Tri Oktaviani, S.Hum
terhadap Rubrik Anak Kompasditulis oleh Mahessy A.I Chaidir (2009). Penelitian tersebut membahas mengenai alasan anak memilih rubrik Anak Kompas yang terbit secara mingguan sebagai bahan bacaan mereka, Mahessy melihat faktor penyajian informasi serta pengalaman anak dalam membaca juga menjadi alasan anak dalam pemilihan bacaan mereka.Mahessy juga meminta pendapat dari anak-anak mengenai rubrik ini dari kacamata mereka untuk mengetahui pemahaman anak terhadap rubrik tersebut. Majalah Bobo sebagai sebuah sumber informasi tercetak, memiliki sebuah rubrik yang pelayanannya serupa dengan jasa informasi rujukan di perpustakaan. Rubrik terkait bernama Ensiklobobo. Dalam rubrik Ensiklobobo, pembaca (yang menjadi pengguna informasi) disajikan informasi berupa narasi sebuah ensiklopedia umum yang dihasilkan dari subjek-subjek khusus. Hal ini dikarenakan rubrik ini mengajak pembaca untuk menyediakan pertanyaan mengenai suatu subjek yang ingin mereka ketahui. Pertanyaan ini disampaikan kepada pihak rubrik melalui pesan singkat yang telah ditetapkan formatnya oleh rubrik tersebut. Interaksi ini menarik pembaca untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan yang menjadi kebutuhan informasi mereka. Program rubrik ini dalam memenuhi kebutuhan pembaca memiliki kesamaan dengan jasa informasi rujukan di perpustakaan, yaitu pengguna di perpustakaan mengajukan pertanyaan kepada pustakawan rujukan, lalu pustakawan rujukan mencari informasi yang relevan untuk menjawab pertanyaan pengguna, begitu juga jasa pelayanan yang dilakukan oleh pengelola rubrik Ensiklobobo. Berdasarkan uraian diatas masalah penelitian yang akan diangkat oleh
peneliti adalah bagaimana pendapat anak-anak di Taman Bacaan Anak Melati mengenai keberadaan rubrik Ensiklobobo yang memiliki kesamaan pelayanan seperti jasa informasi rujukan yang terdapat di perpustakaan? Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan jasa informasi rujukan di rubrik Ensiklobobo melalui pendapat anak-anak Taman Bacaan Anak Melati, pendapat didapatkan dari pengalaman anak-anak dalam membaca berbagai bahan bacaan serta dari keberadaan bahan rujukan (salah satunya ensiklopedi) di TBA Melati. Majalah adalah media yang berisi kumpulan-kumpulan artikel baik fiksi maupun non-fiksi.Perpustakaan Universitas Bagian California menjelaskan bahwa majalah mencakup artikel tentang berbagai topik. Di dalam sebuah majalah, biasanya terdapat berbagai artikel yang memiliki isi berbeda, contohnya seperti artikel berisi informasi faktual, cerita fiksi, dan artikel menarik lainnya.Salah satu majalah yang populer di Indonesia adalah majalah Bobo.Majalah ini adalah majalah khusus anak-anak yang berisi kumpulan artikel menarik yang dibawakan dengan khas anak-anak.
Tinjauan Literatur Menurut American Library Association (ALA) dalam buku Pelayanan Rujukan Umum karya Saleh (1992: 2), layanan rujukan adalah sebagian layanan perpustakaan yang secara langsung berhubungan dengan pembaca dalam memberikan informasi dan penggunaan sumber-sumber perpustakaan untuk kepentingan studi dan penelitian. Dalam layanan rujukan unsur bahan atau koleksi rujukan menjadi salah satu unsur penting dalam kegiatan ini. Pencarian informasi dilakukan menggunakan
21
Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok
bahan-bahan atau koleksi yang tersedia di bagian jasa informasi rujukan. Tahapan-tahapan dalam menjawab pertanyaan rujukan berdasarkan yang dikemukakan oleh Rahman Saleh (1992: 44-48) yaitu, menerima pertanyaan, mencatat dan mengklasifikasi pertanyaan, mengerjakan penelusuran, mencatat jawaban, dan menyampaikan jawaban. Selain itu dalam kegiatan menelusur, agar petugas layanan rujukan dapat melakukan penelusuran dengan baik, maka petugas tersebut harus mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam malakukan penelusuran literatur. Prinsip-prinsip dasar tersebut merupakan aturan dasar dalam melakukan penelusuran literatur.Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut, membatasi subyek, menggunakan bibliografi yang sudah ada, memilih dan menguji ketepatan subyek melalui penunjukan tajuk subyek, mengakhiri penelusuran, menyajikan hasil penelusuran. Majalah sama seperti bahan bacaan lainnya juga ditujukan untuk semua kalangan usia di antara majalah-majalah yang beredar, ada majalah yang diperuntukkan bagi anak-anak. Dalam kategori bacaan anak, majalah dikategorikan sebagai sebuah wadah yang mutakhir informasinya, berisi kumpulan bahan bacaan baik bersifat fiksi maupun nonfiksi, anak-anak dimanjakan dengan ketersediaan bahan bacaan mulai dari dongeng, ceita bergambar, puisi, bacaan informatif, serta tulisan-tulisan non fiksi lainnya yang dianggap penting untuk diketahui oleh anak untuk memperkaya wawasan yang sengaja ditulis dengan kacamata anak (Nurgiyantoro, 2005).Farmawi (2001: 26) mengatakan majalah menjadi sarana istirahat bagi anak-anak.Dia berharap orang tua hendaknya mendorong anak-anak untuk membaca
22
majalah yang diperuntukkan bagi anakanak sebab majalah ini memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran dan perasaan anak.Majalah menjadi sarana pengarahan visi, informasi, wawasan pengembangan rasa seni pemenuhan imajinasi, dan pengembangan kecenderungan membaca bagi mereka. Cara ini merupakan sarana dalam membentuk perilaku anak pada suatu masyarakat, yang membedakannya dengan masyarakat lain.
Metode Penelitian Peneliti menggunakan penelitian kualitatif sebagai metode, tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pendapat anak-anak Taman Bacaan Melati mengenai rubrik Ensiklobobo yang memiliki pelayanan seperti jasa informasi rujukan di perpustakaan. Metode pendekatan kualitatif merupakan salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati. Creswell (2009: 262) mengungkapkan nantinya dalam keseluruhan proses penelitian kualitatif, peneliti terus fokus pada usaha mempelajari makna yang disampaikan para partisipan tentang masalah atau isu penelitian, bukan makna yang disampaikan oleh peneliti atau peneliti lain dalam literatur-literatur tertentu. Metode penelitian yang digunakan adalah Focus Group Discussion, untuk selanjutnya akan digunakan sebutan FGD dalam pembahasan disini. FGD merupakan suatu metode yang didefinisikan oleh Irwanto (2006: 2) sebagai suatu proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan
Risqa Tri Oktaviani, S.Hum
tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Subjek penelitian ini adalah pihak yang terkait pada penulisan rubrik Ensiklobobo serta pengunjung rutin di Taman Bacaan Anak Melati. Pihak rubrik berjumlah satu orang yaitu penulis rubrik Ensiklobobo. Untuk partisipan FGD, peneliti mengerahkan lima orang partisipan yang mewakili tiap usia yaitu 8-12 tahun. Pemilihan partisipan dilakukan berdasarkan frekuensi kunjungan anak ke Taman Bacaan Melati.Objek Penelitian ini adalah rubrik Ensiklobobo. Informan dalam penelitian menggunakan FGD biasa disebut dengan partisipan. Partisipan yang dipilih berasal dari Taman Bacaan Anak Melati yang merupakan anak-anak yang menjadi pemustaka tetap di Taman Bacaan Anak Melati. Pemilihan dilakukan berdasarkan kategori usia pembaca majalah Bobo. Kategori usia pembaca Bobo mulai dari usia 6-12 tahun. Dengan pertimbangan keabsahan data, peneliti mengambil kategori usia 8-12 tahun saja, karena anak di usia tersebut telah dapat menanggapi pertanyaan dan permasalahan dengan baik. Dalam mengumpulkan data, peneliti melakukan diskusi dengan partisipan yang telah dipilih, selain itu juga melakukan wawancara kepada pihak rubrik dan mengumpulkan beberapa teori/literatur yang dapat mendukung penelitian mengenai rubrik Ensiklobobo yang nantinya akan dibandingkan dengan data diskusi yang dihasilkan melalui FGD. Analisis data dimulai sejak dilakukan wawancara kepada pihak rubrik, kemudian dilanjutkan dengan FGD. Hasil analisis data diolah dan dilakukan reduksi data yang tidak diperlukan. Data yang telah dianalisis
dan direduksi, akan menghasilkan sebuah informasi. Tahap akhir analisis data adalah penarikan kesimpulan sebagai hasil dari penelitian.
Analisis Data Taman Bacaan Anak (TBA) Melati adalah sebuah taman bacaan yang terletak Jl.Raya Pitara No. 180 Pancoran Mas Depok. Taman bacaan ini berdiri sejak 25 Mei 2009. Visi dari TBA Melati adalah mencerdaskan anak bangsa. TBA Melati memiliki beraneka ragam koleksi, mulai dari ilmu pengetahuan (ensiklopedi,kamus,sumber geografi, buku pelajaran), bacaan Islam, novel, dongeng, komik, cerpen, buku bergambar, pop-up, dan majalah. Jumlah koleksi saat ini sekitar ±1500 buku. TBA Melati sebagai Perpustakaan Komunitas TBA Melati masuk kepada kategori perpustakaan komunitas karena TBA ini dibangun dengan pengelolaan independen, dalam arti tidak bergantung pada pemerintah. Hal ini dapat dikaitkan dengan teori Mustaqim (2010: 3) yang mengatakan bahwa pengelolaan perpustakaan komunitas lebih bersifat independen, dalam arti tidak bergantung pada pemerintah, terutama pada masa awal keberadaannya dengan slogan dan semangat budaya perlawanan atau do it yourself. Anak-anak TBA Melati sudah tidak rutin mengkonsumsi majalah sebagai bacaan mereka, namun intensitas baca mereka yang tinggi bisa memberikan pendapat yang beragam.Keragaman ini dihasilkan dari pengetahuan yang mereka bentuk karena kebiasaan membaca mereka.Dari kebiasaan membaca inilah anak-anak
23
Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok
bisa memberikan pendapat-pendapat yang lebih beragam. Keberadaan majalah sudah tidak populer bagi anak-anak TBA Melati, disebabkan sudah tidak dilanggan kembali secara rutin. Namun majalah pernah menjadi salah satu bahan bacaan yang ada di rak TBA Melati sehingga pemilihan lokasi penelitian di tempat ini bagi peneliti menjadi suatu hal yang menarik, karena penelitian ini menggunakan pendapat anak sebagai metode dalam pengumpulan data, pendapat yang dihasilkan anak-anak yang memang rutin membaca majalah Bobo pastinya akan berbeda dengan pendapat anak-anak yang membaca majalah ini hanya sesekali. Walaupun sudah tidak populer, dari jawaban ketika diskusi para partisipan dapat terlihat bahwa keberadaan majalah Bobo masih diterima dengan baik oleh anak-anak TBA Melati.Mereka menyayangkan dengan kebijakan TBA yang sudah tidak melanggan majalah tersebut.Mereka menunjukkan antusiasme terhadap majalah ini, walaupun awalnya mereka mengatakan tidak suka dengan majalah Bobo karena, majalah Bobo yang tersedia di TBA Melati sudah out-of-date dan rusak. Anak-anak masih sangat antusias dalam membaca majalah Bobo, sesuai dengan tema Bobo yaitu teman bermain dan belajar. Dari jawaban anak-anak, mereka suka dengan isi yang disajikan oleh majalah Bobo, mulai dari cerpen, komik, serta gambar-gambar yang ditampilkan majalah Bobo, akan tetapi mereka menyayangkan karena saat ini TBA Melati sudah tidak melanggan majalah Bobo lagi untuk melengkapi koleksi mereka. Profil Majalah Bobo
24
Majalah Bobo adalah majalah anak-anak populer Indonesia, terbit sejak 14 April 1973. Pada awalnya majalah Bobo adalah sebuah rubrik anak-anak di dalam harian Kompas yang berisi cerita-cerita untuk anak-anak. Bobo memiliki slogan “Teman bermain dan Belajar” karena majalah Bobo memiliki tujuan untuk mendidik melalui bacaan yang seru dan menarik untuk anak, diharapkan membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan pula untuk bermain. Rubrik Ensiklobobo Dalam penelitian ini, yang akan dijadikan sebagai sampel adalah rubrik “Ensiklobobo”. Rubrik ini termasuk rubrik komunikatif karena pihak redaksi memberikan kesempatan kepada anakanak dalam mengajukan pertanyaan mengenai pengetahuan apa yang ingin mereka ketahui kemudian pihak rubrik akan menjawab pertanyaan tersebut dalam bentuk artikel. Rubrik ini memiliki kesamaan pelayanan seperti jasa informasi rujukan di perpustakaan. Partisipan menanggapi bahwa pesan yang disampaikan rubrik sudah dapat dipahami oleh pembaca, cara penyajiannya juga sudah dimengerti oleh pembaca rubrik ini. Mereka juga memahami cara penyampaian informasi di dalam rubrik ini yang sangat komunikatif. Jadi dapat disimpulkan anak-anak membaca tidak saja melihat dari isinya tetapi mereka memperhatikan cara penyampaian yang dibuat oleh rubrik. Antusiasme anak-anak juga baik dalam menerima keberadaan rubrik ini, mereka mengatakan bahwa rubrik ini bagus untuk menambah pengetahuan mereka, mereka senang dengan cara rubrik ini menampilkan artikelnya, yaitu
Risqa Tri Oktaviani, S.Hum
menjawab pertanyaan dari pembaca. Tapi mereka juga berpendapat pengetahuan yang didapat di rubrik ini lebih berdasarkan subyek khusus yang ingin diketahui dari pertanyaan yang dikirimkan. Pengetahuan jadi bersifat baru, mereka bisa mengetahui apa yang ingin mereka ketahui. Rubrik Ensiklobobo adalah sebuah rubrik pengetahuan yang diusung oleh Majalah Bobo sejak tahun 1985. Rubrik ini terbit setiap 2 minggu sekali, di minggu genap. Menurut redaksi, rubrik ini berisi semua pengetahuan yang menjadi pusat perhatian anak, untuk mengetahui yang menjadi pusat perhatian anak, rubrik menggunakan sistem komunikatif dalam pembuatannya, jadi redaksi hanya bertugas menjawab pertanyaan anak mengenai suatu subyek. Proses pembuatan rubrik dimulai dari menyeleksi pertanyaan, kemudian dilanjutkan oleh penelusuran jawaban, setelah jawaban diperoleh maka dibuatlah artikel mengenai pertanyaan tersebut untuk disajikan di edisi berikut. Untuk lebih jelasnya berikut adalah uraian mengenai proses pembuatan rubrik Ensiklobobo: a. Menyeleksi pertanyaan Proses penulisan dimulai dengan menampung semua pertanyaan yang diajukan anakanak. Pertanyaan itu datang dari media short message service (SMS). Kemudian pertanyaan tersebut diseleksi, proses penyeleksian tidak ada kriteria khusus, hanya berdasarkan minat dan keseharian anak-anak serta tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan. Tingkat kesulitan disini maksudnya adalah isi pertanyaan tersebut apakah relevan, atau memang pertanyaan yang tidak
ada jawabannya. Terkadang ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban. Selain itu proses seleksi dilakukan agar tidak ada kesamaan pembahasan dengan edisi sebelumnya. b. Penelusuran Jawaban Setelah terpilih satu pertanyaan terbaikdilanjutkan proses pencarian jawaban atau penelusuran. Proses ini dilakukan redaksi menggunakan sumber dari ensiklopedi, buku, dan internet yang ada di perpustakaan Bobo. Redaksi tidak memiliki sumber utama dalam menemukan jawaban. Semua sumber digunakan, tergantung pada ketersediaan jawaban. Hanya saja biasanya redaksi mencari referensi jawaban melalui internet. Alasan menggunakan internet karena merupakan sumber yang paling praktis. Kalaupun tidak ditemukan jawaban melalui internet, biasanya internet membantu merujuk kepada sumber bacaan yang berhubungan dengan subyek yang ditanyakan. c. Penyajian Informasi Setelah memperoleh jawaban, redaksi melakukan penulisan artikel edisi berikutnya, penulisan disesuaikan dengan kapasitas rubrik. Dari kebijakan redaksi, rubrik Ensiklobobo mendapatkan tempat setengah halaman majalah, jadi isi artikel harus singkat, padat, dan jelas, tidak lupa pula harus diberikan ilustrasi untuk daya tarik dan pemahaman bagi anak-anak. Bentuk penyajiannya sendiri menggunakan bahasa yang familiar dengan anak, biasanya menggunakan point-point agar
25
Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok
lebih mudah dipahami serta memaksimalkan kapasitas halaman. Setelah semuanya selesai, artikel siap untuk naik cetak. Saleh (1997) menguraikan tahapantahapan dalam melakukan layanan rujukan sebagai berikut: 1. Menerima pertanyaan 2. Mencatat dan mengklasifikasi pertanyaan 3. Mengerjakan penelusuran Agar petugas layanan rujukan dapat melakukan penelusuran dengan baik, maka petugas tersebut harus mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam malakukan penelusuran literatur.Prinsip-prinsip dasar tersebut merupakan aturan dasar dalam melakukan penelusuran literatur. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut : a.Membatasi subyek b. Menggunakan bibliografi yang sudah ada c. Memilih dan menguji ketepatan subyek melalui penunjukan tajuk subyek. d. Mengakhiri penelusuran e. Menyajikan hasil penelusuran 4. Mencatat jawaban 5. Menyampaikan jawaban Ensiklobobo melakukan tahapantahapan yang memiliki kesamaan dengan yang dilakukan oleh layanan rujukan di perpustakaan, dapat dilihat proses yang dilakukan mulai dari menerima pertanyaan, dan menyeleksi pertanyaan itu dan dilanjutkan oleh penelusuran jawaban. Penelusuran jawaban dilakukan menggunakan bahan-bahan atau bibliografi yang telah disediakan di perpustakaan Bobo.Redaksi juga melakukan penggabungan jawaban dari beberapa bahan agar mendapatkan jawaban yang sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh anak-anak.
26
Hasil Focus Group Discussion(FGD) Dalam proses FGD yang dilakukan di TBA Melati, para partisipan sendiri semuanya belum pernah merasakan jasa informasi rujukan di perpustakaan sehingga mereka tidak mengetahui bagaimana pelayanan tersebut. Peneliti sebelumnya menjelaskan terlebih dahulu layanan rujukan. Peneliti menjelaskan layanan rujukan sebagai layanan yang dapat menjawab pertanyaan apa yang ingin diketahui anak-anak sebagai minat/permasalahan yang sedang mereka hadapi. Kemudian nantinya seorang pustakawan akan mencari jawaban dari pertanyaan tesebut, dan menyajikannya kepada anak-anak. Pendapat Ensiklobobo
mengenai
Rubrik
Kemudian peneliti menanyakan kepada para partisipan pendapat mereka mengenai rubrik Ensiklobobo, apakah memiliki kesamaan dengan layanan rujukan yang telah peneliti jelaskan. Partisipan mengatakan bahwa rubrik Ensiklobobo bisa menjawab pertanyaan yang diajukan pembaca dengan baik, karena jawaban yang disajikan peneliti mudah untuk dipahami. Partisipan juga mengatakan Ensiklobobo bisa menjawab mengenai pertanyaan yang diajukan pembaca, mereka menilai bahwa rubrik ini menjawab pertanyaan pembaca dengan singkat namun sangat jelas, tidak panjang lebar seperti yang biasa dia baca di ensiklopedi yang ada di TBA Melati. Pendapat para partisipan menggambarkan bahwa rubrik ini menjawab pertanyaan yang diajukan pembaca. Rubrik berusaha memenuhi kebutuhan akan informasi pembacanya. Rubrik sudah baik dalam menjawab pertanyaan karena anak-anak sudah memahami isi rubrik dengan mudah dan
Risqa Tri Oktaviani, S.Hum
bisa menjawab isi rubrik ini ketika peneliti meminta mereka menceritakan kembali artikel dari Ensiklobobo yang mereka baca. Oleh sebab itu dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila dikaitkan dengan teori makan kegiatan yang dilakukan oleh rubrik Ensiklobobo memang memiliki kesamaan cara pelayanan dengan jasa informasi rujukan di perpustakaan. Kesimpulan ini didapatkan dari proses pembuatan rubrik yang dijelaskan oleh Ibu Aan yang telah dijelaskan di atas dan digabungkan dengan pernyataan anakanak TBA Melati dalam diskusi yang telah dilakukan oleh peneliti. Kesamaan atau kemiripan kegiatan yang dilakukan oleh rubrik Ensiklobobo dengan pelayanan rujukan di perpustakaan bisa disebut dengan quasi layanan rujukan.Layanan yang dilakukan oleh rubrik Ensiklobobo memiliki kemiripan karakteristik seperti yang dimiliki oleh layanan rujukan di perpustakaan.Quasi sendiri memiliki arti “dilakukan dengan cara seperti, seperti sampai pada, atau menggunakan suatu konsep dasar dari”. (Timmreck: 2006: 217). Quasi yang dikemukakan Timmreck sendiri merupakan sebuah kemiripan yang menggunakan suatu konsep dari sebuah konsep dasar.Sehingga dapat dilihat dari uraian yang telah dikemukakan oleh peneliti, konsep dasar dari layanan rujukan dimulai dari menerima pertanyaan, mencatat dan mengklasifikasi pertanyaan, mengerjakan penelusuran, mencatat jawaban, dan kemudian menyampaikan jawaban dengan bentuk penyajian tertentu (Saleh: 1997). Kemudian peneliti melakukan penggambaran mengenai proses layanan pada rubrik Ensiklobobo proses yang dilakukan oleh rubrik ini memiliki
kesamaan konsep seperti yang dimiliki oleh layanan rujukan di perpustakaan. Tahapan-tahapan tersebut memiliki ciri dan alur kegiatan yang sama, walaupun istilah yang dikemukakan Saleh dan Redaksi berbeda. Terakhir, diskusi membahas mengenai saran serta pendapat mereka setelah membaca rubrik ini, anak-anak menyarankan agar jumlah halaman rubrik ini ditambah karena mereka merasa halaman yang sekarang masih terbatas, mereka ingin rubrik ini menjelaskan secara rinci lagi pertanyaan yang diajukansalah satu partisipan, berharap ada banyak gambar lagi di rubrik ini agar menarik.
Kesimpulan Layanan yang dilakukan oleh Ensiklobobo memiliki kemiripan dengan layanan rujukan di perpustakaan.Kemiripan ini bisa juga disebut dengan quasi layanan rujukan.Layanan yang dilakukan oleh rubrik Ensiklobobo memiliki kemiripan karakteristik seperti yang dimiliki oleh layanan rujukan di perpustakaan.Quasi sendiri memiliki arti “dilakukan dengan cara seperti, seperti sampai pada, atau menggunakan suatu konsep dasar dari” (Timmreck: 2006: 217). Quasi yang dikemukakan Timmreck sendiri merupakan sebuah kemiripan yang menggunakan suatu konsep dari sebuah konsep dasar.Sehingga dapat dilihat dari uraian yang telah dikemukakan oleh peneliti, konsep dasar dari layanan rujukan dimulai dari menerima pertanyaan, mencatat dan mengklasifikasi pertanyaan, mengerjakan penelusuran, mencatat jawaban, dan kemudian menyampaikan jawaban dengan bentuk penyajian tertentu (Saleh: 1997). Kemudian
27
Pendapat Anak Terhadap Rubrik Ensiklobobo Di Taman Bacaan Anak Melati, Pitara Depok
peneliti melakukan penggambaran mengenai proses layanan pada rubrik Ensiklobobo proses yang dilakukan oleh rubrik ini memiliki kesamaan konsep seperti yang dimiliki oleh layanan rujukan di perpustakaan. Tahapantahapan tersebut memiliki ciri dan alur kegiatan yang sama, walaupun istilah yang dikemukakan berbeda.
Daftar Acuan Abdul Rahman Saleh dan B Mustafa. 2009. Bahan Rujukan. Jakarta : Universitas Terbuka. Abdul Rahman Saleh. 1992. Pelayanan Rujukan Umum. Bogor : IPB. http://repository.ipb.ac.id/bitstream /handle/123456789/27231/Abdul% 20Rahman%20Saleh(97)_Rujukan %20Umum%20.pdf(diakses pada tanggal 5 April 2013). Andika Hendra Mustaqim. 2010. Memberdayakan Perpustakaan Komunitas Sebagai Ujung Tombak Peningkatan Budaya Membaca. www.pnri.go.id/iFileDownload.asp x?ID...Perpustakaan_Komunitas.p df(diakses pada tanggal 28 April 2013)
28
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Sastra: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Cassel, Kay Ann dan Uma Hiremath. 2009. Reference and Information Series In The 21st Century: An Introduction. New York : NealSchuman Publishers. Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. 3ed. California: Sage Publication. Irwanto. 2006. Focus Group Discussion. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Jie Tian. 1999. What is a Periodicals?.http://www.libraries.i ub.edu/?pageId=1002225. (Diakses pada tanggal 5 April 2013) Muhammad Farmawi. 2001. Bagaimana Memanfaatkan Waktu Anak. Jakarta: Gema Insani Press. Sumardji, P. 1992. Pelayanan Referensi di Perpustakaan. Yogyakarta : Kanisius. Timmreck, Thomas C.2006. Epidemiologi suatu Pengantar. Los Angeles: Humana Press. Lampiran Lampiran 1. Contoh Artikel di rubrik Ensiklobobo
Vilianty Rizki Utami dan Ir. Anon Mirmani, MIM Arc/Rec.
PROSES TEMU KEMBALI ARSIP VITAL IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KANTOR ARSIP DAERAH KOTA TANGERANG Vilianty Rizki Utami dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec. Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, 16424 e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas tentang Proses Temu Kembali Arsip Vital di Kantor Arsip Daerah (KAD) Kota Tangerang sebagai upaya untuk meningkatkan temu kembali arsip vital di KAD, khususnya arsip vital Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tujuannya adalah untuk mengetahui proses temu kembali arsip vital IMB, penyebab tidak ditemukannya arsip vital IMB di KAD Kota Tangerang serta hubungan KAD dengan lembaga pencipta arsip vital tersebut. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode penelitian studi kasus. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan cara observasi, studi literatur dan wawancara semi-struktur. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kurangnya advokasi arsip, kurangnya keamanan akses arsip, arsip vital yang tidak lengkap saat diserahkan dari lembaga pencipta dan tidak dibuatnya daftar pencarian arsip vital yang belum diserahkan oleh lembaga pencipta, merupakan penyebab tidak ditemukannya arsip vital IMB di KAD pada saat pencarian oleh pengguna. Kata Kunci: Arsip Vital, Izin Mendirikan Bangunan, Temu Kembali Arsip
Abstract The focus of this study covers Vital Archives Retrieval Processing in Kantor Arsip Daerah (KAD) Kota Tangerang as efforts for increasing vital archives retrieval in KAD, especially Building Permits Vital Archives. The purpose is to find out the retrieval process on building permits vital archives, the reasons behind building permits archives vital which hard to find when it’s needed, and the relationship between KAD and building permits vital archives creator units (lembaga pencipta arsip IMB). This research use qualitative approach, with case study as research methods. Colleting data methods through observation, literature study, and semi-stucture interview. The result of this research are less of archives advocation, unsecure archives access, uncomplete building permits vital archives when it’s need acquisitions, and there is not archive retrieval list for vital archives which has not been aquisitioned from vital archives creator, as the caused for building permits vital archives in KAD hard to finds when it’s needed. Keywords: Vital Archives, Buildng Permits, Archives Retrieval
Pendahuluan
Arsip vital merupakan arsip yang memiliki nilai guna penting yang tidak akan dapat tergantikan lagi apabila arsip tersebut rusak atau hilang. Salah satu contoh arsip vital yang penting adalah arsip Izin Mendirikan Bangunan atau yang biasa disingkat dengan IMB. IMB merupakan izin yang
dikeluarkan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan membangun (mendirikan, memperbaiki, mengubah, atau merenovasi bangunan) yang dapat diterbitkan apabila rencana bangunan dinilai telah sesuai dengan ketentuan, yang meliputi aspek pertanahan, aspek teknis,
29
Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang
aspek kesehatan, aspek lingkungan, dan lain sebagainya. Selain untuk melakukan pembangunan pada rumah tinggal, IMB juga diperlukan untuk membangun gedung perkantoran, gedung industri, dan bangunan fasilitas umum (Dwi, 2008:11). Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang merupakan salah satu lembaga kearsipan daerah tingkat kota yang memiliki tugas mengelola arsip statis dan vital milik badan-badan daerah maupun milik masyarakat. Setiap bulan banyak masyarakat yang datang ke sana untuk mencari arsip-arsip mereka yang dititipkan untuk disimpan di sana. Salah satu arsip yang banyak dicari oleh masyarakat pada lembaga tersebut adalah arsip IMB. Namun, menurut data statistik permintaan pencarian arsip milik masyarakat di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang, lebih dari 30% arsip IMB yang dicari setiap tahunnya tidak dapat ditemukan disana. Padahal jika ditinjau menggunakan angka kecermatan arsip, apabila persentase arsip yang tidak ditemukan pada sebuah lembaga kearsipan saat melakukan penemuan kembali arsip lebih dari 30% tidak ditemukan dari seluruh total arsip yang dicari pada kurun waktu satu tahun, maka lembaga kearsipan tersebut perlu melakukan peninjauan kembali pada sistem penyimpanan dan temu kembali untuk diadakan penyempurnaan lebih lanjut (Sedarmayanti, 2008:106). Penelitian mengenai manajemen kearsipan atau sistem kearsipan sebuah lembaga pengelola arsip baik swasta maupun publik memang sudah banyak dilakukan. Namun, belum ada yang mengupas lebih khusus mengenai penyebab tidak ditemukannya arsip-arsip vital milik lembaga pencipta yang juga dibutuhkan oleh masyarakat di suatu lembaga kearsipan daerah tingkat kota seperti di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ingin mengetahui: 1. Bagaimana proses temu kembali arsip vital IMB di KAD Kota Tangerang? 2. Apa penyebab tidak ditemukannya arsip vital IMB di KAD Kota Tangerang? 3. Bagaimana hubungan KAD dengan lembaga pencipta arsip vital tersebut? 30
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian mengenai proses temu kembali arsip vital dalam bentuk IMB di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang ini adalah untuk: 1. Menggambarkan Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang 2. Mengetahui faktor penghambat temu kembali arsip di Kantor Arsip Kota Tangerang 3. Menjelaskan hubungan pencipta arsip vital IMB yaitu BPPMT dengan Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang dalam rangka temu kembali arsip IMB di KAD Kota Tangerang
Tinjauan Literatur
Pengertian arsip vital menurut Peraturan Kepala Arsip Nasional RI nomor 6 tahun 2005 tentang perlindungan, pengamanan dan penyelamatan dokumen/arsip vital Negara menjelaskan bahwa “Dokumen/Arsip Vital Negara untuk selanjutnya disebut arsip vital adalah informasi terekam yang sangat penting dan melekat pada keberadaan dan kegiatan organisasi yang di dalamnya mengandung informasi mengenai status hukum, hak dan kewajiban serta asset (kekayaan) instansi. Apabila dokumen/arsip vital hilang tidak dapat diganti dan mengganggu/menghambat keberadaan dan pelaksanaan kegiatan instansi.” Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang peraturan pelaksanaan UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, mendefinisikan IMB sebagai berikut: “Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.”
Vilianty Rizki Utami dan Ir. Anon Mirmani, MIM Arc/Rec. atau kronologis (Read-Smith, Ginn, & Kallaus, 2002: 26).
Diagram Kerangka Pemikiran Proses Temu Kembali Arsip Vital di KAD Kota Tangerang (diadaptasi dari Diagram “Information and Retrieval Processing”, Lauren B. Doyle, 1975)
Menurut Undang-undang kearsipan nomor 43 tahun 2009, “Akuisisi arsip statis adalah proses penambahan khasanah arsip statis pada lembaga kearsipan yang dilaksanakan melalui kegiatan penyerahan arsip statis dan hak pengelolaannya dari pencipta arsip kepada lembaga kearsipan”. Pada kegiatan penerimaan arsip menurut Anon Mirmani (2009: 4.18), terdapat 5 kegiatan yang tercakup dalam penerimaan yang terdiri atas terdiri atas persiapan kerja lapangan yakni pengecekan sebelum arsip diserahkan, pemindahan administratif legal dan fisik, analisis arsip fisik, analisis ini arsip, dan pendaftaran awal. Adapun pengolahan arsip menurut Pasal 97 Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2012 tentang Peaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang kearsipan, yang menyebutkan bahwa, pengolahan arsip statis dilaksanakan melalui kegiatan: menata informasi arsip statis, menata fisik arsip statis, penyusunan sarana bantu temu balik arsip statis. Adapun sarana bantu temu balik meliputi guide, daftar arsip statis, dan inventaris arsip. Sedangkan, daftar arsip statis sebagaimana dimaksud pada sekurang-kurangnya memuat: pencipta arsip, nomor arsip, kode klasifikasi, uraian informasi arsip, kurun waktu, jumlah arsip, dan keterangan. Sementara itu, sistem penyimpanan yang juga dikenal sebagai sistem pemberkasan arsip, merupakan proses sistematis yang mendeskripsikan bagaimana arsip disimpan ditempat penyimpanan, yang dapat dilakukan dengan sistem abjad, subjek, nomor, geografis
Adapun pengertian sistem temu kembali menurut Anon Mirmani (2009: 6.32) adalah sebagai berikut: “Pengertian sistem temu balik adalah suatu proses kegiatan dalam manajemen kearsipan untuk mencari dan menemukan kembali fisik dan informasi arsip melalui suatu sistem dengan cara-cara tertentu.”. Dalam sistem temu kembali terdapat 4 komponen yang perlu diperhatikan, yaitu adanya : 1. Kebutuhan informasi dari pengguna 2. Dokumen atau informasi yang tersedia 3. Kata indeks baik yang berasal dari kebutuhan pemakai atau pengguna dokumen yang tersedia 4. Mediatory atau intermediatory, yaitu mekanisme kerja penelusuran dalam penemuan informasi (Anon Mirmani, 2009: 6.32) Menurut DIKTI dan ANRI (2002: 27) yang menyebutkan bahwa “Adapun kegiatan pelayanan arsip pada umumnya mengatur tentang kewenangan penggunaan arsip dan prosedur penggunaannya.”. Pada arsip tertutup, menurut Jeremy dalam Bettington (2008: 357) temu kembali arsip dan pengembalian arsip ke tempat semua setelah digunakan harus terbatas pada satu atau paling banyak beberapa anggota staf terlatih dan memiliki kewenangan. Sehingga tidak banyak orang yang dapat mengakses arsip yang kategori tertutup tersebut. Dalam pengendalian akses kategori tertutup biasanya pengguna arsip tidak diizinkan untuk meminjam atau mengakses arsip secara langsung, melainkan melalui petugas arsip atau dengan bantuan komputer. Selain itu, tidak seperti arsip terbuka yang dapat dipinjam, arsip tertutup tidak dapat dipinjam dan pengguna pun tidak dapat melakukan foto copy pada arsip ini sendiri, melainkan dengan bantuan petugas arsip. Pengertian literasi Informasi menurut American Library Association menerangkan bahwa “Information literacy is a set of abilities requiring individuals to recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effectively the needed information” (ALA, 2000:2). Kemudian yang
31
Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang
terkait dengan literasi informasi adalah advokasi arsip. Pengertian advokasi arsip adalah “Advokasi merupakan sebuah pemikiran dan seperangkat infrastruktur yang mendukung kegiatan dan program yang dilakukan lembaga, untuk meningkatkan pemahaman pada masyarakat pengguna arsip dengan mempengaruhi masyarakat untuk merubah perilaku dan sikap mereka” (Ann Pederson dalam Bettington, 2008: 435). Hubungan KAD dengan Lembaga Pencipta Berikut ini merupakan tanggung jawab serta kewajiban lembaga kearsipan : 1. Dalam kaitannya dengan arsip statis, lembaga kearsipan bertanggung jawab untuk mengelola arsip statis dan melaksanakan penyerahan arsip statis yang memiliki retensi sekurang-kurangnya 10 tahun. Menetapkan status arsip statis setelah dilakukan penilaian arsip serta menjamin akses arsip statis untuk kepentingan pengguna arsip. 2. Dalam rangka pelaksanaan akuisisi arsip statis, lembaga kearsipan wajib membuat DPA terhadap arsip statis yang belum diserahkan oleh pencipta arsip. Akses arsip statis untuk kepentingan pengguna arsip dijamin oleh lembaga kearsipan. 3. Lembaga kearsipan daerah juga bertanggung jawab melakukan pembinaan kearsipan (diatur dalam UU No.43 Tahun 2009). Sementara hak lembaga kearsipan daerah diantaranya adalah mendapatkan penyerahan arsip statis pemerintahan daerah dari BUMN dan BUMD serta dari lembaga Negara, pemerintahan daerah, perguruan tinggi negeri dan perusahaan swasta.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode studi kasus. Subjek penelitian adalah badan kearsipan daerah kota Tangerang atau yang disebut dengan Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang. Sedangkan, objek penelitiannya adalah Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang.
32
Pengumpulan data dilakukan dengan 3 cara yaitu analisis dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti peraturan-peraturan yang dibuat walikota dan Kepala Kantor Arsip, observasi semua kegiatan yang terkait langsung dengan penelitian proses temu kembali arsip di KAD Kota Tangerang, dan dengan cara wawancara informan. Sementara itu, pemilihan informan untuk wawacara dilakukan dengan metode snowball sampling yaitu pemilihan informan dilakukan peneliti secara berantai dengan meminta informasi pada informan yang telah diwawancarai atau dihubungi sebelumnya (Poerwandari, 1998:59). Dari hasil metode tersebut, didapatkan 7 orang informan yang terkait dengan penelitian ini. Para informan tersebut terdiri atas 5 orang pegawai KAD dn 2 orang pegawai Badan Perijinan yang merupakan lembaga pencipta arsip izin mendirikan bangunan.
Analisis dan Interpretasi Data
Salah satu tugas utama di KAD yang tercantum pada UU RI No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik adalah menyajikan informasi publik atau arsip yang dikelolanya. Begitu pula dengan pemilik arsip vital IMB di KAD. Arsip IMB sendiri disimpan di 2 tempat yakni bagi arsip IMB yang berusia kurang dari 10 tahun sejak diciptakan, maka arsip IMB tersebut akan disimpan di BPPMT untuk kemudahan akses ketika arsip diperlukan. Sementara untuk arsip IMB yang telah berusia sekurang-kurangnya 10 tahun sejak diciptakan dan sudah tidak secara aktif digunakan dalam kegiatan sehari-hari pencipta arsip, maka akan dipindahkan untuk disimpan di KAD Kota Tangerang. Apabila arsip tersebut tidak lagi disimpan di lembaga penciptanya karena masa retensinya habis setelah 10 tahun sesuai dengan yang tercantum dalam UU RI No.43 Tahun 2009 Pasal 25 tentang kearsipan, pengguna arsip vital IMB tersebut kemudian harus mendatangi KAD Kota Tangerang untuk mencari arsipnya disana. Namun, apabila kebetulan arsip IMB yang dicari belum habis masa retensinya pada lembaga pencipta, maka dapat langsung dicari di BPPMT Kota Tangerang.
Vilianty Rizki Utami dan Ir. Anon Mirmani, MIM Arc/Rec. Kebanyakan pengguna biasanya akan langsung mencari arsip IMB ketika mereka membutuhkannya di BPPMT. Karena sebagai orang awam yang kurang memahami cara dan dimana dapat mengakses arsip, pengguna akan langsung mencari arsip IMB ke tempat mereka membuatnya sebelumya. Kemudian, biasanya informasi keberadaan arsip tersebut dan bagaimana cara mendapatkannya, akan pengguna dapatkan saat mereka bertanya pada badan pencipta IMB tersebut, yakni Badan Perizinan atau BPPMT Kota Tangerang. Sementara akses informasi tersebut dari KAD dapat dikatakan cukup minim dan kurang tersosialisasi dengan baik, padahal bagi pengguna hal tersebut cukup penting untuk menghemat waktu dan tenaga mereka. Dalam UU RI No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, KAD sebenarnya diharuskan untuk membuat sistem informasi kearsipan, namun di KAD Kota Tangerang hal tersebut belum terlaksana dengan maksimal. Arsip IMB yang dibutuhkan pengguna saat pencarian diperoleh KAD dari hasil akuisisi arsip IMB yang telah berusia sekurangnya 10 tahun menurut undang-undang atau yang telah habis masa retensinya. Akuisisi arsip tersebut dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni dengan cara menjemput arsip tersebut pada lembaga pencipta dan menerima penyerahan arsip dari lembaga pencipta. Pada penjemputan arsip vital IMB di BPPMT terjadi atas pemintaan lembaga tersebut pada KAD. Pada saat akuisisi tersebut KAD akan datang ke BPPMT untuk melakukan pemeriksaan dan penyusunan arsip IMB yang akan diakuisisi dan membuatkan daftar pertelaan arsip (DPA) atas arsip IMB yang diakuisisi tersebut untuk diserahkan bagi BPPMT. Kemudian dibuatkan berita acara akuisisi arsip tersebut. Sementara, apabila akuisisi terjadi dengan cara menerima penyerahan arsip IMB dari BPPMT, maka BPPMT yang akan mendatangi KAD untuk menyerahkan arsipnya. DPA atas arsip IMB yang diserahkan tersebut dibuat oleh BPPMT. Kemudian setelah terjadi penyerahan berita acara penyerahan arsip vital IMB tersebut, pemeriksaan dan penyusunan arsip IMB dilakukan di KAD. Namun, pada masa akuisisi tidak seluruh komponen arsip dalam 1 berkas arsip IMB diserahkan, karena kadagkala masih ada salah satu komponen yang sedang digunakan pada saat
diakuisisi. Selain itu, baik KAD Kota Tangerang tidak membuat DPA untuk arsip-arsip yang belum diserahkan karena masih diperlukan di lembaga penciptanya. Padahal menurut UU RI No.43 tentang kearsipan, pembuatan DPA atas arsip yang belum diserahkan menjadi tanggung jawab lembaga kearsipan. Setelah akuisisi dilakukan, KAD melakukan pengolahan dan penataan arsip vital IMB tersebut. Tugas pengelolaan arsip di KAD sesuai UU tentang karsipan, sesungguhnya hanya bagi arsiparsip IMB yang telah berusia 10 tahun sejak diciptakan. Namun kadang kala, akibat dari kurangnya tempat penyimpanan arsip di BPPMT, arsip IMB yang belum berusia 10 tahun pun terpaksa disimpan di sana. Namun, IMB yang belum habis masa retensi tersebut belum diolah, karena KAD tidak merasa berhak mengolahnya, karena arsip tersebut belum seharusnya diserahkan ke KAD. Karena belum mencapai waktu 10 tahun sejak arsip tersebut diciptakan. Adapun proses pengolahan arsip IMB tersebut di KAD terdiri atas : 1. Pemilihan dan penilaian arsip 2. Pembuatan daftar pertelaan arsip manual 3. Klasifikasi dan penyusunan arsip 4. Mencatat data arsip secara manual 5. Memasukkan arsip ke dalam map dan boks arsip untuk kemudian disimpan 6. Mendata ulang arsip tersebut dengan menggunakan komputer 7. Memberikan daftar arsip ke bagian pelayanan Sedangkan penataan arsip vital IMB di KAD Kota Tangerang dilakukan berdasarkan nomor dan tahun terbit IMB tersebut, dengan nomor dengan tahun tertua berada di awal. Akuisisi dan pengolahan arsip yang dilakukan tidak lain sebagai upaya untuk mempermudah temu kembali arsip vital IMB di KAD. Temu kembali arsip tersebut memiliki beberapa tahapan dalam kegiatannya, yaitu tahap permintaan pencarian arsip oleh pengguna. Dimana pada tahap ini pengguna yang datang ke KAD akan meminta dilakukan pencarian arsip IMB yang dibutuhkannya oleh KAD, dengan kata kunci berupa nama pemilik IMB, lokasi, tahun pembuatan IMB, dan nomor arsip IMB yang dicari tersebut. Namun, banyak diantara para
33
Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang
pengguna yang mencari arsip IMB tersebut tidak mengetahu keseluruhan kata kuncinya, melainkan hanya beberapa diantaranya saja. Tahap selanjutnya adalah tahap pencarian arsip yang dibutuhkan pengguna oleh pegawai bagian layanan KAD. Setelah, mendapatkan kata kunci atas arsip yang dicari pengguna, petugas akan melakukan pencarian di daftar arsip di komputer untuk mengetahui keberadaan arsip tersebut di KAD. Namun apabila arsip yang dicari tidak ditemukan pada daftar arsip tersebut, maka petugas akan mencari pada daftar arsip yang tercatat di buku. Setelah keberadaan arsip yang diperlukan ditemukan. Maka, petugas akan mencatat nomor depo, rak dan nomor boks tempat arsip tersebut berada. Kemudian menuju ke lokasi arsip tersebut berada untuk menemukan dan mengambilnya sementara dari tempat penyimpanan. Apabila arsip telah ditemukan, petugas akan mengkonfirmasi kembali kesesuaian arsip tersebut dengan arsip IMB yang dicari oleh pengguna. Setelah, itu petugas akan melakukan foto copy pada arsip IMB yang dibutuhkan pengguna dan membuat surat keterangan keberadaan arsip tersebut di KAD. Kemudian tahap berikutnya adalah tahap penyerahan. Pada tahap ini yang diserahkan pada pengguna bukan berkas arsip IMB yang asli. Melainkan foto copy arsip IMB tersebut beserta surat keterangan keberadaan arsip yang sebelumnya telah dibuat. Surat keterangan tersebut nantinya akan digunakan oleh pengguna ketika ia akan melegalisir foto copy arsip IMB tersebut pada lembaga pencipta yaitu, BPPMT untuk memperkuat legalisasinya di mata hukum. Lalu arsip IMB asli yang sudah tidak lagi diperlukan disimpan kembali ke dalam boks arsip seperti semula untuk melindungi keamanannya. Pada tahap ini kegiatan tersebut masuk ke dalam tahap pengembalian arsip. Namun, dalam kegiatan temu kembali arsip IMB di KAD ini tidak ada tahap penandaan atau yang disebut juga dengan in charge prosedur, yaitu tahap dimana setelah petugas melakukan pengambilan arsip yang diperlukan pengguna, petugas seharusnya menaruh kertas out indicator di boks tempat arsip tersebut diambil. Kertas out indicator ini berisi tanggal pengambilan arsip, 34
alasan dan nama petugas yang mengambil arsip. Sehingga penggunaannya dapat membantu keamanan arsip dan mencegah kesalahpahaman. Sementara itu, untuk kegiatan layanan permintaan dan pencarian arsip memiliki prosedur tersendiri. Prosedur permintaan pencarian arsip di KAD Kota Tangerang adalah sebagai berikut : 1. Registrasi, yaitu penerimaan surat permohonan dari pengguna, dan pencatatan data pengguna dan arsip yang dibutuhkannya 2. Menentukan nomor arsip IMB yang dibutuhkannya 3. Pencarian arsip melalui database 4. Temu kembali 5. Pembuatan surat keterangan keberadaan arsip di KAD dan 6. Foto copy arsip yang nantinya diberikan oleh pengguna Kegiatan layanan tidak lepas dari aturan akses arsip. Akses arsip vital IMB di KAD terkait dengan apa yang dapat diakses, siapa yang dapat mengakses dan bagaimana cara mengakses arsip IMB oleh pengguna yang memerlukannya. Sebagai arsip vital, arsip IMB memiliki akses tertutup. Hal tersebut dikarenakan arsip IMB merupakan arsip penting yang merupakan dasar kepentingan pemiliknya, arsip tersebut harus dilindungi dan karena memiliki nilai hukum dan nilai material yang besar bagi penggunanya. Adapun dalam sebuah berkas arsip IMB, seluruh komponen berkas yang terdapat didalamnya dapat diakses oleh pengguna. Namun terdapat beberapa dokumen yang seringkali dicari oleh pengguna, seperti dokumen IMB, blueprint, siteplan, dan lain sebagainya. Orang-orang yang memiliki hak akses pada arsip IMB pun biasanya adalah pemilik arsip IMB tersebut yang berasal dari masyarakat umum maupun dari BPPMT sebagai lembaga penciptanya. Meski begitu terdapat perbedaan aturan akses pada masyarakat pemilik arsip dan BPPMT apabila membutuhkan arsip IMB tersebut. Pada masyarakat umum diharapkan dapat mendatangi KAD dengan membawa surat permohonan dan foto copy identitas, saat memerlukan arsip IMB tersebut. Sementara apabila yang memerlukan arsip IMB tersebut adalah lembaga penciptanya, maka dapat memint dilakukan pencarian arsip melalui telepon.
Vilianty Rizki Utami dan Ir. Anon Mirmani, MIM Arc/Rec. Kewenangan mengakses arsip pada pegawai KAD sendiri seharusnya hanya berlaku untuk pihak yang bertugas seperti bagian pengolahan dan bagian pelayanan arsip. Namun, dikarenakan baru satu depo saja yang dikunci, aturan kewenangan tersebut menjadi tidak berlaku karena siapa saja dapat masuk ke depo arsip tersebut. Dalam mengakses arsip kategori tertutup seperti arsip IMB, pengguna tidak diperkenankan untuk meminjamnya atau mengaksesnya secara langsung tanpa bantuan petugas. Pengguna hanya diperkenankan memiliki salinan foto copy arsip IMB tersebut yang nantinya mereka legalisir di BPPMT sebagai legalisasinya. Sedangkan, foto copy arsip tersebut dilakukan oleh petugas kearsipan KAD. Kegiatan foto copy dilakukan diluar KAD, dengan biaya yang ditanggung oleh pengguna yang memerlukannya.
Kesimpulan
Kegiatan temu kembali arsip IMB di KAD Kota Tangerang dilakukan oleh 2 orang staf bagian pelayanan dengan mengusung pelayanan prima sebagai pijakan kerja mereka. Dengan menggunakan kata kunci berupa nama pemilik IMB, nama wilayah bangunan, tahun atau nomor SK IMB, petugas akan memeriksa indeks pada komputer atau buku untuk memastikan keberadaan arsip tersebut di sana. Namun, apabila pada kedua indeks tersebut tidak ditemukan petugas akan mencari langsung secara manual ke boks arsip dan memeriksanya satu-persatu. Setelah, data arsip yang dicari ditemukan dan dapat diketahui keberadaannya, petugas akan mencarinya di lokasi tersebut untuk melakukan penemuan kembali atas arsip IMB yang diperlukan pengguna. Apabila arsip IMB yang dibutuhkan langsung dapat ditemukan, maka petugas akan menyerahkan foto copy IMB tersebut pada pengguna dan memberikan surat keterangan keberadaan arsip IMB tersebut di KAD Kota Tangerang. Namun, apabila tidak ditemukan, maka petugas akan menghubungi KAD Kabupaten untuk menanyakan keberadaan arsip tersebut di sana atau merujuk pengguna tersebut untuk mencari arsip yang diperlukannya di BPPMT.
Adapun kendala penyebab sulit ditemukannya arsip vital IMB di KAD adalah : 1. Pengguna tidak melek arsip (illiterate in archives) dan kurangnya kegiatan advokasi arsip 2. Tingkat keamanan akses arsip yang kurang terjaga 3. Kelengkapan arsip saat diserahkan tidak seluruhnya ada, 4. Belum terdatanya keseluruhan arsip IMB yang terdapat di KAD, 5. Tidak dimilikinya DPA arsip vital IMB yang belum diserahkan oleh BPPMT maupun KAD. Hubungan antara KAD dan lembaga pencipta arsip IMB sudah terjalin komunikasi yang baik, namun belum maksimal. Oleh karena itu, masih diperlukan pemahaman dan perhatian lebih dari KAD kepada BPPMT untuk mengoptimalisasi kegiatan pengelolaan arsip di lembaga pencipta, dan agar dapat menerapkan pengelolaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undangundang dan peraturan walikota Tangerang. Beberapa saran yang diberikan pada KAD Kota Tangerang berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain : 1. KAD perlu membuat program untuk meningkatkan pemahaman kearsipan pengguna, baik masyarakat umum maupun bagi lembaga pencipta arsip. Program literasi arsip tersebut dapat berbentuk program baru yang inovatif, atau memperbaiki dan meningkatkan program literasi arsip yang telah ada, seperti optimalisasi penempatan brosur, pelatihan, dan penyuluhan di KAD Kota Tangerang sendiri mapun di SKPD lain di Kota Tangerang. Selain itu, pada BPPMT sebagai lembaga pencipta dapat pula bekerja sama dengan KAD untuk memberlakukan pelayanan satu pintu bagi pengguna yang mencari arsip IMB. Sehingga, pengguna tidak perlu lagi bolak balik anara BPPMT dan KAD untuk mencari arsip yang mereka butuhkan. 2. Kemudian perlu dibuatkan aturan akses arsip yang jelas dan terperinci yang diberlakukan kepada seluruh pengguna arsip di KAD Kota Tangerang. Aturan akses bagi pengguna dapat ditempel di ruang layanan atau lobby
35
Proses Temu Kembali Arsip Vital Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Arsip Daerah Kota Tangerang
depan KAD, maupun diberikan saat melakukan layanan pengguna. Selain itu, diperlukan pula pembuatan aturan akses arsip bagi pegawai di KAD. Sehingga dapat terawasi siapa saja yang akan atau dapat mengakses arsip-arsip statis maupun vital di KAD.
Daftar Acuan Anon Mirmani. (2009). Pengantar Kearsipan. Jakarta : Universitas Terbuka Bettington, Jackie, etc. (ed). (2008). Keeping Achives 3rd ed. Australia : Australian Society of Archivist Inc. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi & Arsip Nasional Republik Indomesia. (2002). Bahan Ajar Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Arsip Dinamis : Manajemen Arsip Inaktif. Jakarta : Dinas Pendidikan Doyle, Lauren B. (1975). Information retrieval and processing. Los Angeles: Melville Publishing Read-Smith, Judith., & Ginn, Mary Lea., & Kallaus, Norman F. (2002). Records Management 7ed. Mason, Ohio : South-Western Sedarmayanti. (2008). Tata Kearsipan : dengan memanfaatkan teknologi modern. Bandung: Penerbit Mandar Maju Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan Williams, Caroline. (2006). Managing Archives : Foundations, Principles, and Practice. Oxford : Chandos Publishing Yuni Dwi. (2008). Panduan Praktis Mengurus IMB Rumah Tinggal. Yogyakarta : Pustaka Grhatama
36
Permadi Heru Prayogo, S.Hum. dan Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A
BUDAYA PENYIMPANAN NASKAH KUNO DI RUANG PENYIMPANAN NASKAH KERATON: STUDI KASUS KERATON KASEPUHAN DAN KANOMAN, CIREBON Permadi Heru Prayogo, S.Hum. dan Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, 16424 e-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini membahas tentang budaya kontrol lingkungan di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara dan observasi lapangan. Penelitian ini membandingkan keadaan ruang penyimpanan pada Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Di dalam penelitian ini, pengukuran keadaan ruangan menjadi salah satu cara untuk melihat hal-hal yang telah dilakukan oleh keraton dalam menjaga keadaan lingkungan ruang penyimpanan. Ditemukan dalam penelitian ini bahwa kontrol lingkungan dalam penyimpanan naskah masih belum dilakukan dengan baik. Budaya keraton adalah salah satu latar belakang atas tindakan penyimpanan naskah di dalam keraton. Kearifan lokal menjadi salah satu bentuk tindakan yang dilakukan dalam menjaga ruang penyimpanan. Tindakan yang dilakukan antara lain berbentuk peng-ukup-an, hal tersebut dilakukan untuk menciptakan ruangan yang bebas dari serangga. Kendala-kendala yang menjadi penghambat kegiatan pemeliharaan ruang juga disebabkan oleh budaya keraton. Kata Kunci: Budaya, Kontrol Lingkungan, Naskah Kuno, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Cirebon
Abstract The focus of this study is environment control culture in Kasepuhan palace and Kanoman palace. This study is a qualitative research. Method of collecting data is conducted through interviews and field observations. This study compares condition of storage space at Kanoman and Kasepuhan palace. Measurement of the condition of the room is one way to look at how thing have been done by these two palaces in maintaining the environmental condition of storage space. This study found that enviroment control in the storage room is still not done well this is due to the background culture of the palace. Indigenous approach is done to keep the storage space namely peng-ukup-an (giving certain scent) done, in order to free from insects. The constraints in enviroment control activities is caused by palace’s culture Keywords: Culture, Enviromental Control, Manuscript, Kasepuhan Palace, Kanoman Palace
Pendahuluan
Naskah kuno adalah sebuah warisan budaya yang sungguh bernilai, tidak hanya bernilai historis tetapi juga memiliki nilai informasi, dan nilai budaya. Namun, keberadaan naskah kuno di Indonesia masih belum semuanya terjangkau oleh perpustakaan atau pun lembaga yang memiliki
kompetensi dalam penanganan naskah kuno sehingga dalam keberadaannya di masyarakat, keberadaan naskah kuno masih dianggap sesuatu benda yang bersifat mistis. Kekeliruan yang terjadi adalah naskah-naskah tersebut terbengkalai karena tidak adanya pengawasan dan bimbingan dalam perawatan sehingga hanya
37
Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton: Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon
disimpan begitu saja. Penelitian awal tentang mikro biologi yang pada Desember 2011, ditemukan bahwa masyarakat menganggap naskah kuno sebagai benda-benda yang memiliki unsur klenik1. Hal itu terjadi akibat kesalahpahaman masyarakat tentang arti naskah kuno. Bersumber dari wawancara dengan informan Edi (Desember 2012), diketahui bahwa banyak masyarakat pemilik naskah kuno membiarkan naskah tersebut berada di ruang tertutup, bahkan di kotak kayu. Hal itu terjadi akibat takutnya mereka pada unsur klenik yang mereka percaya terdapat dalam naskah kuno tersebut sehingga naskah kuno lebih terkesan berkaitan dengan hal-hal metafisika dibandingkan sebagai warisan budaya yang harus dijaga karena bernilai pengetahuan dan historis.
dan literatur (Katalog Naskah Nusantara PNRI) yang menunjukkan bahwa naskah yang berasal dari daluang paling banyak berasal dari Cirebon. Penelitian ini adalah penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya tentang naskah kuno. Penelitian naskah kuno pernah dilakukan sebelumnya di Cirebon. Beberapa penelitian yang sebelumnya dilakukan adalah penelitian untuk pendataan naskah kuno yang berada di Kota Cirebon oleh Departemen Sastra Jawa (Titi Pudjiastuti, 1994) untuk menghitung jumlah naskah yang ada di Kota Cirebon. Kemudian di tahun 2008 Departemen Ilmu Perpustakaan FIB UI melakukan penelitian naskah di Kabupaten Cirebon. Di tahun 2009, Yeni Budi Rachman pun melakukan penelitian naskah kuno dengan judul Konservasi Naskah Daluang Cirebon.
Dalam Undang-undang Perpustakaan tahun 2007, disebutkan bahwa “naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan”. Sementara menurut Undangundang Cagar Budaya tahun 2010, “Benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia.”
Penelitian ini difokuskan pada naskah-naskah yang berada di keraton di daerah Cirebon. Penelitian ini mengambil tempat di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman karena kedua keraton ini adala keraton tertua yang berada di Cirebon. Pemilihan tempat ini diharapkan dapat melihat apa saja yang telah dilakukan untuk melakukan kontrol lingkungan pada ruang penyimpanan naskah kuno yang berada di sana. Melihat budaya pada kontrol lingkungan di Keraton Kasepuhan dan Kanoman diharapkan bisa menambah khasanah kita tentang kearifan lokal yang bisa menambah pengetahuan di bidang preservasi naskah kuno.
Indonesia sebagai negara beriklim tropis sangatlah rentan akan keadaan lingkungan yang kadang kala tidak bersahabat dengan bahan naskah kuno tersebut. Perubahan suhu seringkali terjadi, sehingga menjadikan bahan naskah kuno rusak. Tempat penyimpanan naskah kuno yang seadanya, tak sesuai ketentuan menjadi masalah besar dan akan berdampak pada keadaan naskah yang ada di dalam ruang penyimpanan tersebut.
Rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana budaya penyimpanan naskah kuno berkaitan dengan kontrol lingkungan ruang penyimpanan naskah kuno Keraton Kasepuhan dan Keraton Kaoman Cirebon? 2. Bagaimana kendala budaya penyimpanan naskah kuno di kedua keraton tersebut dengan pengamatan kondisi naskah kuno?
Tempat penelitian naskah kuno ini adalah di kota Cirebon. Penentuan kota Cirebon sebagai tempat penelitian adalah karena adanya data lapangan 1
Klenik adalah (kle·nik) n kegiatan perdukunan (pengobatan dsb) dng cara-cara yg sangat rahasia dan tidak masuk akal, tetapi dipercayai oleh banyak orang (KBBI) 38
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi budaya kontrol lingkungan ruang penyimpanan naskah kuno Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, Cirebon
Permadi Heru Prayogo, S.Hum. dan Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A 2.
Menganalisis kendala budaya penyimpanan naskah kuno di kedua keraton tersebut dengan mengamati kondisi naskah-naskah kuno.
Tinjauan Literatur Kebudayaan Koentjaraningrat (1979) mengatakan bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsurunsur universal, yaitu : bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Koentjaraningrat juga memperinci kebudayaan atas tiga wujud, yakni : ideal, aktifitas, dan benda budaya. Dari pengertian di atas kita ketahui bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang berkaitan dengan pemikiran, kegiatan, dan benda yang berada pada masyarakat. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman inilah yang akan menjadi fokus pada kegiatan kontrol lingkungan yang mereka lakukan. Sementara naskah kuno adalah bagian dari budaya tersebut sebagai benda karya dari peradaban yang telah berlalu. Kearifan Lokal Menurut Quiroz (1994) kearifan lokal adalah sebuah jumlah keseluruhan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki orang-orang dalam sebuah daerah geografi yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan berbagai hal dari lingkungan. Kearifan lokal tindak hanya berupa tindakan-tindakan dalam menggunakan apa yang ada di alam seperti menggunakan dedaunan untuk obat-obatan, kearifan lokal dapat pula berbentuk sebuah larangan atau pun perintah. Kearifan lokal menjadi salah satu hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Kearifan lokal pun menjadi salah satu cara sederhana yang dapat dilakukan dalam perawatan naskah atau pun perawatan ruang penyimpanan naskah. Kumar Mishra (2012) menuliskan beberapa bentuk kearifan lokal yang dapat dilakukan untuk merawat naskah adalah dengan menggunakan
minyak cengkeh yang dicampurkan dengan kunyit, jinten hitam, kayu manis, kemudian poles pada naskah untuk mengurangi serangan serangga. Naskah Kuno Titik Pudjiastuti (2006, p. 9) mengungkapkan bahwa naskah merupakan bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan rasa dan pikiran hasil budaya masa lampau yang mengandung nilai historis. Sementara itu menurut Undang-Undang perpustakaan tahun 2007 naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Undang-Undang Benda Cagar Budaya 2010 menyebutkan bahwa “Benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia.” Pengertian di atas diperlukan untuk menganalsis usia dari tiap naskah guna menentukan nilai guna naskah sebagai alasan preservasinya. Keadaan naskah kuno yang berada di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh serangga-serangga pemakan kertas, hal tersebut terlihat dari kerusakan naskah kuno yang berlubang dan keadaan sisi-sisinya yang kroak. Kerusakan lain yang dialami oleh naskah kuno di kedua keraton tersebut diakibatkan pula oleh serangan jamur dan polutan. Serangan jamur mengakibatkan naskah kuno hitam dan tulisan di dalamnya tak terbaca, sedangkan polutan seperti debu merusak dengan reaksi kimia yang terjadi pada lembaran naskah kuno. Hal tersebut membuat naskah menjadi kotor dan bernoda. Naskah Daluang Naskah Daluang atau disebut juga Dluwang adalah kertas asli Indonesia yang terbuat dari kulit kayu pohon saeh. Kertas daluang mengandung serat yang cukup banyak. Selain digunakan sebagai media tulis, pada zaman dahulu daluang
39
Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton: Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon
juga digunakan sebagai baju dan selimut. Proses pembuatan daluang cukup memakan waktu. Pertama-tama, pohon saeh ditebang dan dikuliti setelah itu, kulit arinya dibuang sehingga akan terlihat kulit dalamnya yang berwarna putih. Kulit kayu kemudian dipotong-potong sesuai keinginan dan direndam dalam air selama kurang lebih satu malam. Semakin lama perendaman, maka akan semakin baik pula hasilnya. Setelah direndam, kulit kulit kayu kemudian dikeprek-keprek hingga bentknya melebar di atas balok kayu dengan menggunakan alat yang terbuat dari perunggu. Langkah selanjutnya adalah dengan mencelupkan kulit kayu tersebut ke dalam air lalu diperas dan kemudian diperam selama tiga haridengan menggunakan daun pisang selama kurang lebih tiga hari. Setelah diperam, kulit kayu kemudian dijemur hingga kering dengan cara merekatkannya pada pohon pisang agar mengkilat. Langkah yang terakir adalah melicinkan permukaan kertas dengan marmer (Pudjiastuti, 2006, p. 39). Pengertian ini digunakan untuk membedakan antara jenis naskah yang berada di dalam keraton, karena di dalam keraton terdapat dua jenis naskah kuno yaitu naskah kuno yang berasal dari jenis kertas daluang dan kertas eropa. Preservasi Menurut Ballofet (2005, p. xviii) preservasi atau pelestarian adalah tindakan yang mencakup pengamanan, tidak hanya bahan fisik tetapi juga informasi (yang ada di dalam bahan pustaka tersebut). Untuk tujuan pelestarian ini, hal-hal yang dilakukan antara lain berupa pengalihan media, perbaikan bahan pustaka, dan penggunaan wadah pelindung. Tindakan tersebut dilakukan agar akses ke informasi dapat dilakukan, di mana bila tidak dilakukan, informasi yang ada di dalam bahan pustaka mungkin hilang ketika kertas atau buku elektronik atau memburuknya bahan dokumen. Di dalam melakukan pelestarian, tidak hanya bahan pustaka saja yang menjadi fokus dalam tindakan tersebut. Ada beberapa hal lain yang pula dilakukan untuk menjaga bahan pustaka. Salah satu dari hal tersebut adalah kontrol lingkungan, hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Balloffet (2005) satu dari langkah
40
yang paling efektif dilakukan oleh perpustakaan atau lembaga arsip untuk menjaga (koleksi) adalah dengan menjaga tingkat kelembapan dan temperatur yang aman, kualitas udara yang baik, dan kontrol cahaya. Kontrol Lingkungan Kontrol lingkungan adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam upaya pelestarian bahan pustaka, termasuk juga di dalamnya adalah naskah kuno yang juga menjadi warisan budaya. Dalam kegiatannya, kontrol lingkungan untuk buku dan naskah kuno tidaklah terlalu berbeda. Pengertian kontrol lingkungan menurut Masyarakat Arsiparis Amerika (Society of American Arcivist) adalah proses menciptakan dan memelihara kondisi ruang penyimpanan atau ruang koleksi yang sesuai untuk melindungi bahan pustaka dari efek samping suhu, kelembaban, kualitas udara, cahaya, dan serangan biologi, serta risiko manusia yang berhubungan dengan prosedur ruang penyimpanan, keamanan, dan kerusakan akibat api dan air. Cahaya Dalam mengontrol lingkungan tempat penyimpanan, cahaya adalah salah satu hal yang diperhatikan di dalamnya. Cahaya yang terlalu terang akan merusak bahan pustaka karena dalam cahaya lampu pun terdapat geombang ulta violet yang dapat merusak bahan pustaka, sementara bila terlalu gelap pun akan membuat bahan pustaka menjadi rusak. Oleh karena itu, pencahayaan yang baik tidak lebih dari 50 lux untuk ruang penyimpanan sementara untuk ruang baca boleh hingga 100 lux dengan tingkat ultra violet yang kurang dari 75 mikrowatt (Harvey, 1993: p. 73) Temperatur Memperlambat kerusakan yang disebabkan oleh pengaturan temperatur yang buruk dapat dilakukan dengan mengatur ruang penyimpanan bahan pustakan dengan sangat hati-hati, temperatur yang cukup ideal adalah sekitar 20220C. Temperatur tersebut tergolong aman untuk bahan pustaka dan manusia (Feather, 1991: p.37). Penjelasan ini digunakan dalam analisis temperatur ruang di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanomanan.
Permadi Heru Prayogo, S.Hum. dan Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A
Kelembapan Relatif Menurut Feather (1991: p. 41) berbeda dengan temperatur, menentukan kelembapan atau RH (Relatif Humadity) jauh lebih sulit. Bila sudah tersistem pengaturan lingkungan maka rekomendasi level kelembapan relatif yang baik untuk perpustakaan adalah antara 55% dan 65% dengan temperatur antara 13-180C. Polutan Polutan sangat berhubungan dengan sirkulasi udara yang ada di tempat penyimpanan. Keberadaan polutan di dalam ruang penyimpanan bermula dari udara yang masuk ke dalam ruang penyimpanan bersama debu dan berbagai zat lain. Harvey (1993: p. 44) dalam bukunya menuliskan bahwa polutan adalah kontributor kerusakan paling besar, hal itu karena dalam pulutan terdapat sulfur dengan konsentrasi yang keras dan nitrogen oksida yang membuat asam sehingga dapat merusak buku dengan cepat. Biota Serangga, tikus, atau pun binatang lain dapat jadi muncul di ruang penyimpanan. Hal yang akan terjadi bila mereka masuk adalah kerusakan pada bahan pustaka. Serangga dan hewan-hewan ini biasanya merusak naskah-naskah dengan merusak fisik dari naskah-naskah kuno tersebut (Harvey: p. 45). Mikro Organisme Kemunculan mikro organisme seperti jamur adalah salah satu hal yang terjadi akibat kurangnya kontrol lingkungan tempat penyimpanan. Hal tersebut terjadi akibat ruangan yang terlalu lembab (Harvey: p. 45). Kota Cirebon dan Lingkungannya Kabupaten Cirebon terletak di Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur yang berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Tengah. Salah satu keunikan daerah Cirebon adalah dengan memiliki empat keraton sekaligus dalam kota Cirebon. Keraton-keraton tersebut antara lain Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Kota Cirebon termasuk daerah iklim tropis, dengan suhu udara minimum rata-rata 22,3 oC dan maksimun rata-rata 33,0 OC dan banyaknya curah hujan 1.351 mm per tahun dengan hari hujan 86 hari (diunduh dari laman resmi pemerintah Kota Cirebon: Letak Geografi).
Metode Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara observasi, wawancara, dan studi pustaka. Observasi dilakukan di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman untuk melihat keadaan tempat penyimpanan naskah kuno yang berada di sana. Sementara wawancara dilakukan untuk mengetahui tindakan dan pemikiran yang dilakukan oleh para penjaga dan perawat naskah kuno yang berada di keraton tersebut. Observasi yang dilakukan adalah observasi yang dilakukan secara kontekstual, sehingga keadaan di lapangan saat itu menjadi penilaian terhadap hal yang diteliti. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam sehingga data yang diperoleh bukan hanya sekadar data yang ada di lapangan tetapi juga alasan-alasan tentang terbentuknya kenyataan di lapangan saat ini. Sulistyo-Basuki (2010: 173) bahwa tujuan dari wawancara mendalam ini adalah mengumpulkan informasi yang kompleks, sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi tertutup di mana peneliti telah menyiapkan bahan yang akan ditanyakan tetapi juga tidak menutup kemungkinan untuk membuka pertanyaan lain selain bahan yang telah dipersiapkan. Peneliti menggunakan tipe wawancara semi tertutup karena peneliti berpikir bahwa pertanyaanpertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti dapat dikembangkan sejalan dengan dilakukannya wawancara terhadap informan. Sementara studi pustaka yang dilakukan melalui buku, jurnal tercetak dan elektronik, serta akses pada world wide web. Tindakan ini dilakukan untuk mencari sumber literatur dalam rangka memperkuat penelitian yang dilakukan di lapangan.
41
Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton: Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon
Analisis dan Interpretasi Data
Tindakan perawatan ini adalah tindakan yang dilakukan oleh Keraton dalam menjaga naskah kuno yang mereka miliki. Saat peneliti mencoba bertanya tentang pengertian “Kontrol Lingkungan” tidak satu pun dari dua keraton mengetahui pengetian tersebut, hal itu wajar karena secara mendasar itu bukanlah istilah yang diketahui oleh orang awam. Namun, saat peneliti bertanya tentang tindakan yang dilakukan untuk menjaga keadaan tempat (lingkungan) penyimpanan naskah kuno, mereka menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang mereka lakukan. Dalam praktiknya kedua keraton sesungguhnya sudah melakukan tindakan untuk menjaga keadaan lingkungan untuk menjaga keadaan naskah kuno yang ada di keraton tersebut. Di Keraton Kasepuhan, mereka menggunakan kamper dalam menjaga kelembapan yang ada di dalam lemari penyimpanan naskah kuno. Hal itu dilakukan untuk menghindari munculnya jamur di naskah kuno tersebut. Sementara di Keraton Kanoman, mereka mulai untuk menciptakan ruang yang layak bagi naskah kuno. Di kediaman Ibu Ratu, sebuah ruangan didedikasikan untuk menjadi tempat menyimpan naskah kuno. Mereka mulai untuk membersihkan keadaan ruang tersebut, mengeluarkan benda-benda yang tidak berhubungan dengan naskah kuno. Hal itu semata-mata dilakukan untuk menciptakan ruang yang layak bagi naskah kuno. Hal yang unik yang dilakukan dalam perawatan lingkungan ruang penyimpanan naskah adalah dengan cara yang lebih bersifat kearifan lokal. Tindakan yang dilakukan adalah dengan cara peng-ukup-an, tindakan ini adalah tindakan untuk menjaga ruang penyimpanan dengan membakar beberapa jenis bunga dan sejenis kayu atau yang sering kita sering sebut sebagai kemenyan di dalam ukup. Asap hasil pembakaran tersebutlah yang digunakan untuk insektisida secara alamiah dan menjaga kelembapan serta tempertatur ruangan. Namun, sayangnya banyak orang menganggap hal tersebut diidentikkan sebagai tindakan yang berhubungan dengan mistis atau pun hal-hal yang berbau klenik nilai-nilai yang negatif terhadap 42
naskah pun terus lestari hingga saat ini. Pemikiran tersebut sangatlah salah, seperti pernyataan yang dilontarkan oleh infroman C. Orang Indonesia terkadang begitu menjunjung budaya barat dibanding budaya sendiri. Spa, bau aroma terapi, kita tak pernah anggap itu sebagai hal yang berbau mistis atau pun klenik sementara kemenyan yang tidak beda dengan hal tersebut di pojokkan sebagai hal yang berbau mistis. Itulah kesalahan yang harus diluruskan dan dilakukan penelitian tersendiri akan hal tersebut. Menurut informan Ismail dari Keraton Kasepuhan yang pula sejalan dengan pernyataan informan Budi menyatakan bahwa tindakan itu tidak semata-mata hal yang sembarangan dilakukan oleh keraton dalam menjaga naskah kunonya, hal itu adalah kearifan lokal yang secara turuntemurun diwariskan oleh leluhur. Di Keraton Kasepuhan tindakan tersebut dilakukan seminggu sekali, karena bila terlalu sering hal tersebut dapat pula merusak perabot furniture yang ada di sana. Sementara bagi Keraton Kanoman, hal itu masih berupa wacana karena mereka masih belum memiliki ruang penyimpanan naskah kuno tersendiri. Tindakan peng-ukup-an ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh keraton dalam menjaga keadaan naskah kuno. Saat penelitian awal di lakukan pada Desember 2011, di Desa Mertasinga di rumah seorang warga ditemukan pula tindakan yang sama dalam penjagaan naskah kuno. Berbeda dengan Keraton Kasepuhan yang menggunakan kamper dalam menjaga lemari penyimpanan dari munculnya jamur, di sana penjagaan dari munculnya jamur di dalam lemari pun menggunakan bunga-bunga. Seperti yang kita tahu, beberapa serangga tidak menyukai bau-bau dari beberapa jenis tumbuhan. Contohnya nyamuk yang tidak menyukai bau kulit jeruk. Tindakan yang bernilai budaya seperti yang dijelaskan di atas adalah tindakan yang benarbenar ingin untuk terus dilestarikan oleh Keraton Kasepuhan. Menurut mereka, menjaga warisanwarisan budaya leluhur adalah salah satu tugas dari Keraton Kasepuhan.
Permadi Heru Prayogo, S.Hum. dan Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A Di sisi lain Keraton Kasepuhan sudah menerima tawaran dari beberapa intansi pemerintah dalam menjaga naskah kuno yang ada di sana. ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) telah melakukan tinjauan awal untuk melakukan kerja sama dengan Keraton Kasepuhan dalam melakukan preservasi yaitu melakukan digitalisasi naskah kuno yang ada di sana tetapi hingga kini itu masih menjadi rencana. Belum ada tindakan lanjutan dari hal tersebut. Sementara itu, Keraton Kanoman memulai untuk menghimpun naskah-naskah kuno yang ada di masyarakat untuk kembali di bawa ke Keraton Kanoman, selanjutnya Keraton Kanoman juga mulai untuk menciptakan lingkungan yang layak bagi naskah kuno tersebut. Keraton Kanoman membangun ruang yang khusus digunakan sebagai ruang penyimpanan naskah kuno tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Bila kita lihat Keraton Kanoman sudah mulai peduli dengan naskah kuno yang mereka miliki. Mereka berharap, tidak hanya bentuk fisiknya saja yang terjaga tetapi ilmu dan informasi yang ada di dalamnya dapat pula terjaga dan tersebarluaskan. Keraton Kanoman berpendapat bahwa bila masyarakat Indonesia dapat untuk mengaplikasikan apa yang ada di dalamnya, dapat jadi Indonesia kembali menjadi negara yang besar. Keraton Kanoman menjadikan naskah kuno sebagai simbol pengetahuan leluhur bangsa Indonesia, nilai-nilai yang terkadung di dalamnya diharap dapat disebarkan kepada khalayak umum. Hal lain yang berkembang dalam perawatan naskah kuno adalah adanya abdi dalem yang bekerja di Keraton Kasepuhan mendapat pelatihan dari ANRI dalam melakukan kegiatan perawatan naskah kuno. Namun, dari Keraton Kasepuhan sendiri tidak memperbolehkan perawatan yang terlalu banyak mengandung bahan kimia. Keraton merasa hal tersebut dapat merusak kekhasan yang ada dalam naskah yang ada di keraton. Tindakan modern yang dilakukan oleh keraton adalah penggunaan kamper di dalam lemari penyimpanan naskah kuno. Hal itu diperbolehkan karena penggunaan kamper tidak berdampak luas akan kekhasan yang ada dalam naskah yang keraton miliki.
Kendala dalam Kontrol Lingkungan Dalam usaha pelestarian naskah kuno terdapat berbagai kendala yang muncul di dalamnya. Hal tersebut memang wajar terjadi. Kendala pertama dan menjadi kendala bagi kedua keraton tersebut adalah tidak adanya dana yang memang dialokasikan untuk tindakan pelestarian naskah kuno. Pada dasarnya, pemerintah mulai untuk terjun dalam membantu hal tersebut. Hal itu terlihat dari ANRI yang mencoba membantu dalam pengadaan tempat naskah di Keraton Kasepuhan, serta tindakan untuk melakukan digitalisasi. Namun, hingga saat ini pula belum ada kelanjutan dari hal tersebut. Bagi Keraton Kasepuhan, penempatan naskah kuno di ruang keluarga keraton adalah hal yang positif di mana memiliki dampak negatif pula bagi kegiatan kontrol lingkungan. Bagi para abdi dalem, mereka tak akan dapat dengan mudah masuk ke dalam ruang tersebut karena ruang tersebut adalah ruang privasi keluarga keraton. Budaya keraton yang kaku terhadap stratifikasi sosial di dalamnya menjadi salah satu pemicunya. Segala kebijakan berawal dari Sultan, hal ini menjadi titik lemah bagi perawatan naskah kuno. Sultanlah yang memiliki hak penuh dalam segala pelestarian naskah kuno di ruang naskah. Tidak ada tindakan-tindakan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan dari Sultan Sepuh. Seperti yang kita ketahui tentang keraton, bahwa Sultan memiliki peranan sangat penting dalam mengambil kebijakan. Keadaan ini menjadi penghambat bila Sultan merasa tindakan yang dilakukan (meski suatu tindakan yang baik) tidak sejalan dengan apa yang dipikir oleh sultan adalah hal yang cocok untuk Keraton Kasepuhan. Sementara di Keraton Kanoman, ketidakadaan ruang naskah menjadi penghalang bagi kontrol lingkungan untuk perawatan naskah. Keberadaan ruang naskah yang sekarang ini masih jauh dari layak. Meski demikian, Keraton Kanoman mulai untuk berhati-hati dalam menjaga naskah-naskah yang sudah dihimpun sejauh ini. Saat pengambilan naskah dari masyarakat, naskah dimasukkan ke dalam kardus. Tindakan tersebut dilakukan untuk menjaga naskah agar tidak terpapar langsung dengan lingkungan. Di dalam ruang penyimpanan yang dimiliki saat ini, naskah kuno dijaga dengan meletakkannya di dalam
43
Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton: Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon
kardus dan dubungkus oleh kertas koran. Tindakan itu diharapkan dapat mengurangi dampak negatif dari keadaan lingkungan ruang penyimpanan yang masih belum layak tersebut. Kendala lain yang berkaitan dengan ruang penyimpanan adalah pada struktur bangunannya. Ruang penyimpanan tersebut memiliki kekurangan di bagian atap, atap ruang penyimpanan hanya berlapis plastik dan genting. Hal ini menjadi salah satu hal yang pasti akan mempengaruhi keadaan lingkungan ruang penyimpanan. Pembuktian yang dapat dilihat adalah adanya jamur di dinding. Ada pula sarang laba-laba di ruang tersebut, keadaan-keadaan tersebut berawal dari struktur ruang penyimpanan yang masih belum layak. Kendala lain yang dirasa oleh Keraton Kanoman dalam kontrol lingkungan ruang penyimpanan naskah kuno adalah tidak adanya orang yang memang pakar di bidang tersebut. Informan Budi yang melakukan tindakan-tindakan preservasi (termasuk di dalamnya pengadaan ruang naskah kuno) berawal dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh berbagai intansi pendidikan ataupun intansi pemerintah. Dari sana informan Budi membuka pemikirannya untuk terus mengembangkan apa yang dimiliki tetap terus terjaga. Sehingga, tidak jarang informan Budi bertukar pikiran dengan para peneliti yang datang ke sana untuk menambah wawasan. Informan Budi sendiri berharap para kaum intlektual dapat berbagi ilmu bersamanya tentang hal yang berkaitan dengan keraton sehingga ada interaksi dan tujuan bersama untuk membangun citra baik pada Keraton pada umumnya dan Keraton Kanoman pada khususnya. Keadaan Lingkungan Ruang Penyimpanan di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman Dilihat dari segala penjelasan di atas, jelas bahwa dalam keadaan ruang penyimpanan naskah kuno Keraton Kasepuhan sudah memiliki ruang tersendiri dalam penyimpanannya. Sedangkan Keraton Kanoman masih dalam pembuatan ruang naskah kuno yang memang layak untuk naskah kuno. Meski demikian, ruang tersebut sudah tersedia dan sekarang pun sudah mulai digunakan sebagai ruang naskah.
44
Dibandingkan keadaan fisik dari ruang naskah kuno tersebut, Keraton Kasepuhan memiliki keadaan lingkungan yang lebih stabil. Tempatnya yang berada di dalam keraton menghindarkan ruang naskah dari dampak lingkungan luar yang dapat saja membawa dampak-dampak negatif ke dalam ruang naskah. Sedangkan di Keraton Kanoman, ruang naskah yang berhubungan langsung dengan keadaan luar berkemungkinan untuk mendapat dampak negatif dari lingkungan luar. Apa lagi pintu dan jendela yang terkadang dibuka, bagian atap yang hanya berlapis plastik dan genting cukup rawan untuk menjadi penyebab kelembapan yang berlebihan saat hujan tiba, saat panas pun keadaan ruang naskah dapat terpengaruh dari keadaan luar. Perbandingan keadaan ruang penyimpanan naskah di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman dan dilihat di tabel di bawah ini. Tabel Perbandingan suhu di Keraton Kasepuhan dan Kanoman
Hal yang diukur
Keraton Kasepuhan
Keraton Kanoman
Keadaan suhu
31,4 celcius di dalam lemari 29,8 celcius – 34 celcius di luar lemari
29-34 celcius
Keadaan cahaya
9,0 lux saat ada penerangan
16,6 lux saat ada penerangan
6,0 lux saat tak ada penerangan
0 lux saat tak ada penerangan Lebih dari 100 lux saat pintu dan jendela terbuka
Kelembapan
68% hingga 72%
66% hingga 70%
Permadi Heru Prayogo, S.Hum. dan Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A Suhu udara dari ruang penyimpanan naskah kuno Keraton Kasepuhan dan Kanoman tidak terlalu berbeda. Namun, karena keadaan ruang penyimpanan naskah di Keraton Kanoman masih belum stabil maka hal tersebut pula mempengaruhi temperatur udara di sana. Saat hujan temperatur turun drastis dan saat panas kenaikan suhu dapat sampai 340 celcius. Sedangkan di Keraton Kasepuhan temperatur udara lebih stabil. Kisaran temperatur udara di kedua tempat penyimpanan termasuk ke dalam ruangan yang panas antara 29,80 celcius hingga 340 celcius, dengan tingkat temperatur tersebut ruang naskah masih di atas suhu ruang yang disarankan sebagai suhu ruang standar tempat penyimpanan naskah. Hal yang sama pula terjadi pada kelembapan udara, kelembapan udara dari ruang penyimpanan naskah kuno di Keraton Kasepuhan dan Kanoman memiliki keadaan yang tidak jauh berbeda. Kelembapan udara kisaran 68% hingga 72%, di mana dengan kelembapan tersebut ruang naskah telah masuk ke dalam ruang naskah yang cukup lembap dan tidak layak sebagai ruang penyimpanan. Sementara intensitas cahaya yang ada di ruang penyimpanan naskah, Keraton Kasepuhan berada di kisaran 06 lux hingga 09 lux. Dengan intensitas cahaya yang cukup redup tersebut dapat dikatakan bahwa ruang penyimpanan naskah kuno di Keraton Kasepuhan sudah memenuhi keriteria sebagai ruang naskah kuno. Di lain pihak, Keraton Kasepuhan pun memiliki intensitas cahaya sebesar 16 lux di mana intensitas cahaya tersebut lebih besar dari ruang penyimpanan naskah kuno milik Keraton Kasepuhan tetapi masih berada dalam keriteria yang layak. Namun, ruang penyimpanan naskah kuno Keraton Kanoman mengalami kelebihan intensitas cahaya, bahkan melebihi 100 lux saat jendela ruang penyimpanan naskah kuno dibuka. Sedangkan pada tempat penyimpanan, di Keraton Kasepuhan menggunakan lemari penyimpanan yang terbuat dari kayu dan kaca. Penyimpanan naskah kuno yang berada di dalam lemari penyimpanan ditata dengan tegak. Penataan ini sudah baik, karena naskah sudah tidak lagi ditumpuk dengan naskah lain melainkan disusun
layaknya buku pada perpustakaan. Di dalam lemari pun diberi kamper untuk menjaga kelembapan, sehingga tidak memunculkan jamur pada naskah kuno tersebut. Sementara di Keraton Kanoman, tempat penyimpanan naskah kuno masih berada di dalam sebuah kardus. Naskah kuno yang ada di sana ditutup oleh kertas koran. Tujuan dari tindakan itu untuk menghindari dampak negatif yang mungkin saja terjadi pada naskah kuno tersebut. Namun, tindakan tersebut kuranglah baik karena kertas koran pun memiliki keasaman tersendiri. Naskahnaskah tersebut pun disusun dengan menumpuk. Hal tersebut kuranglah baik karena naskah yang berada di bagian bawah mendapatkan tekanan lebih dibanding naskah yang ada di bagian atas.
Kesimpulan
Bagi Keraton Kasepuhan, kendala yang dihadapi untuk menjaga dan merawat nakah kuno dan ruang penyimpanan naskah kuno terdapat pada kebijakan yang ada di Keraton Kasepuhan. Sultan Sepuh satu-satunya yang berhak untuk mengatur tentang naskah dan ruang naskah tersebut sehingga tidak dapat dilakukan perubahan menuju arah yang lebih baik bila Sultan Sepuh tidak menyetujuinya. Sedangkan bagi Keraton Kanoman, ketidakadaan ruang penyimpanan naskah kuno menjadi kendala utama perawatan naskah kuno dan ruang naskah kuno itu sendiri. Ruang naskah kuno yang sekarang digunakan masih berupa ruang yang mirip ruang penyimpanan karya seni. Namun, sedikit demi sedikit ada perubahan yang dilakukan oleh Keraton Kanoman dalam memperbaiki itu semua. Dalam menutupi segala kekurangan kontrol lingkungan di ruang penyimpanan naskah kuno, ada beberapa tindakan yang telah dilakukan oleh Keraton Kasepuhan. Tindakan itu berupa penggunaan kamper di dalam lemari penyimpanann naskah kuno, tindakan itu dilakukan untuk menjaga kelembapan lemari penyimpanan. Sementara untuk kontrol lingkungan ruang penyimpanan, hingga saat ini hanya peng-ukup-anlah hal yang dilakukan dalam melakukan pengontrolan lingkungan. Peng-ukupan tersebut berguna sebagai tindakan preventif untuk mengusir serangga.
45
Budaya Penyimpanan Naskah Kuno di Ruang Penyimpanan Naskah Keraton: Studi Kasus Keraton Kasepuhan dan Kanoman, Cirebon
Daftar Acuan Balloffet, N., & Hille, J. (2005). Preservation and conservation for libraries and archives. Chicago: American Library Association DPRD Kabupaten Cirebon. Selayang pandang kabupaten Cirebon. http://www.dprdcirebonkab.go.id/selayang-pandang-kab.cirebon/geografi/. 9 Januari 2012 Feather, John (1991). Preservation and the management of library collection. London: the Library Association. Harvey, Ross. (1993). Preservation in libraries: a reader. London: Bowker Saur Indonesia. (2008). Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang cagar budaya. Indonesia. (2007). Undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Koentjaraningrat. (1978/79). Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kumar Mishra, Vinay. (2012). Indegenous method of manuscript conservation. Globarl research international journal. 4th issue: Feb-Mar-Apr. Pudjiastuti, Titik. (2006). Naskah dan studi naskah. Jakarta: Akademia. Sabarguna, Boy S. (2004). Analisis data pada penelitian kualitatif. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) Sulistyo-Basuki. (2010). Metode Jakarta: Penerbit Penaku
46
Penelitian.
Eka Widya Ningrum, S.Hum. dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec
PEMANFAATAN ARSIP SEBAGAI SUMBER DAYA PENGETAHUAN BAGI MASYARAKAT DI PUSAT ARSIP PURA PAKUALAMAN YOGYAKARTA Eka Widya Ningrum, S.Hum. dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, 16424 e-mail:
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan arsip Pura Pakualaman sebagai sumber daya pengetahuan bagi masyarakat melalui memori kolektif yang terdapat dalam arsip. Objek Penelitian ini adalah pengelolaan dan pemanfaatan arsip di pusat arsip Pura Pakualaman. Penelitian berfokus pada pemanfaatan arsip tersebut sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengetahuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pusat Arsip Pura Pakualaman telah mengupayakan pendekatan kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi arsip yang dilakukan seperti penerbitan naskah sumber arsip, pameran, dan seminar pendidikan. Namun, masyarakat masih jarang memanfaatkan arsip sebagai sumber daya pengetahuan mereka. Hal ini dikarenakan publikasi arsip masih jarang dilakukan; minimnya informasi mengenai pusat arsip; dan arsip belum diolah seluruhnya. Kata Kunci: Arsip, Pengetahuan, Memori Kolektif, Pura Pakualaman
Abstract This study describes about utilization of archives as knowledge resources for the society through the collective memory which is found in the archives. The object of this research is management and utilization of archives in Central Archives Pura Pakualaman. The research focuses on the utilization of archive so that it can be utilized as a resource of knowledge. This research using a qualitative approach with case study research methods. The result showed that the central archives Pura Pakualaman had made an approach to the society through the socialization of archives activities such as public publication source archives, exhibition, and educational seminars. However, the society still rarely make use of the archive as a resource of knowledge. This is because the publication archives still rarely done; the lack of information regarding the central archives; and the archives have not been processed completely. Keywords: Archives, Knowledge, Collective Memory, Pura Pakualaman
Pendahuluan
Keberadaan lembaga pemerintahan tidak lepas dari kegiatan yang menghasilkan arsip sebagai bukti kegiatan lembaga tersebut. Arsip tercipta karena kegiatan yang menghasilkan suatu catatan baik tertulis maupun bentuk gambar seperti foto yang mengandung keterangan-keterangan mengenai kegiatan tersebut dan berfungsi untuk mengingatkan kembali catatan yang dibuat lembaga tersebut di masa depan. Selain itu, arsip
mempunyai peranan penting dalam proses penyajian informasi bagi pimpinan untuk membuat keputusan dan merumuskan kebijakan. (Barthos, 2007: 2) Sebuah lembaga pemerintahan berupa wilayah otonom pada masa lalu yang bediri di masa pemerintahan Belanda, salah satunya bernama Kadipaten Pakualaman. Kadipaten Pakualaman ini merupakan asal mula didirikannya Pura
47
Pemanfaatan Arsip sebagai Sumber Daya Pengetahuan Bagi Masyarakat di Pusat Arsip Pura Pakualam Yogyakarta
Pakualaman yang masih ada sampai sekarang. Selain berfungsi sebagai simbol penghormatan kepada Kasultanan Yogyakarta dan tempat tinggal keluarga Paku Alam, Pura Pakualaman juga berfungsi sebagai tempat menghimpun berbagai nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat Jawa pada masa lalu yang masih dilestarikan sampai sekarang. Kadipaten Pakualaman telah melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang diselenggarakan oleh berbagai bagian atau kantor, seperti kegiatan perpajakan, peradilan, pertanahan, keuangan, kepegawaian, kesehatan, pendidikan dan kepujanggaan. Kegiatan-kegiatan tersebut tergambarkan di dalam arsip-arsip yang disimpan di Pura Pakualaman yang masih ada sampai sekarang. Arsip-arsip tersebut dihimpun, dan disimpan oleh Pura Pakualaman karena arsiparsip menjadi bukti berlangsungnya pemerintahan pada saat masih berbentuk wilayah otonom Kadipaten Pakualaman.
pada masa lalu untuk dapat dipelajari di masa sekarang dan sebagai ingatan di masa depan.
Pura Pakualaman memiliki koleksi arsip yang sangat berharga mencakup periode yang panjang sejak awal berdirinya pakualaman tahun 1813 hinggga pemerintahan pakualam VIII. (Margana dalam Suryodilogo, 2012: 197) Arsip tersebut memiliki nilai penting sebagai bahan penelitian, pembangkit ingatan sejarah bangsa Indonesia di masa lalu, dan bukti tentang hak dan kewajiban masyarakat dalam hukum pemerintahan. Hal itu berdampak pada Pura Pakualaman yang saat ini memiliki dan menyimpan memori atau ingatan mengenai tata pemerintahan, kebudayaan masyarakat jawa, dan peristiwa-peristiwa sejarah penting yang telah terjadi selama berdirinya Pura Pakualaman. Dari keberadaan dan kegiatan sehari-harinya pada masa lampau, maka terciptalah berbagai arsip yang menyimpan informasi dan menjadi sumber daya pengetahuan bagi penerus anggota istana Pura Pakualaman maupun masyarakat sekitar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sumber daya adalah bahan atau keadaan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya dan pengetahuan berarti segala sesuatu yg diketahui. Jadi, sumber daya pengetahuan dapat diartikan sebagai bahan atau keadaan yang dapat digunakan manusia untuk berbagai kepentingan yang berasal dari apa-apa yang manusia ketahui. Dari sini, dapat terlihat betapa berharganya informasi sejarah yang dimiliki Pura Pakualaman
Masalah Penelitian
48
Dengan demikian, pemanfaatan dan pengelolaan arsip yang memuat informasi mengenai memori tersebut penting untuk dilakukan. Pemanfaatan arsip berhubungan dengan masyarakat yang menggunakan arsip. Untuk itu, diperlukan suatu sosialisasi kepada masyarakat seperti adanya pendidikan pemakai atau kegiatan pameran arsip agar informasi yang dikandung arsip dapat menjadi memori kolektif. Di dalam arsip terdapat suatu potensi memori kolektif yang dapat dikatakan sangat berperan untuk menjadi suatu sumber pengetahuan bagi lembaga yang bersangkutan yang dalam hal ini berarti Pura Pakualaman. Untuk itu, penelitian ini memfokuskan pada bagaimana pemanfaatan arsip dan pengelolaannya agar dapat menjadi sumber pengetahuan masyarakat di Pura Pakualaman. Dari latar belakang yang terlah dijabarkan, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini dalam melihat pemanfaatan arsip sebagai sumber daya pengetahuan masyarakat adalah bagaimana arsip Pura Pakualaman dimanfaatkan sebagai sumber daya pengetahuan bagi masyarakat ditinjau dari segi pengelolaan kearsipannya.
Tujuan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pemanfaatan arsip di Pura Pakualaman ditinjau dari segi pengelolaan kearsipannya dan identifikasi sosialisasi terhadap arsip tersebut sebagai sumber daya pengetahuan bagi masyarakat.
Tinjauan Literatur Pemanfaatan Arsip Dari pengelolaan kearsipan, kegiataan pemanfaatan arsip akan telaksana dengan penyediaan arsip oleh pusat arsip atau lembaga arsip untuk memenuhi kebutuhan pengguna akan arsip yang digunakan untuk berbagai kepentingan. Arsip digunakan sebagai sumber daya pengetahuan bagi masyarakat dengan memanfaatkan arsip untuk menambah pengetahuan dan informasi mereka seperti untuk penelitian. Menurut Kristiana Swasti, Kepala
Eka Widya Ningrum, S.Hum. dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec BPAD Provinsi DIY, dalam artikel Menjaga Keselamatan dan Kelestarian Arsip Statis Pemerintah Provinsi DIY, “Dari aspek kegunaan, arsip statis bisa dimanfaatkan untuk bahan pendidikan, rekreasi, penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya, sedangkan dari sisi pendidikan, arsip dapat juga dimanfaatkan sebagai materi pembelajaran disamping buku-buku cetakan.” Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Kearsipan, kegiatan pemanfaatan dan penyediaan arsip bagi kepentingan pengguna arsip yang berhak dapat dilihat dari penggunaan arsip. Pemanfaatan arsip statis bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta informasi kepada para pengguna. Memanfaatkan arsip statis penting untuk berbagi informasi atau mempublikasikan arsip statis sebagai bukti sejarah dan warisan budaya nasional. Menurut Williams, publikasi arsip merupakan salah satu cara mempromosikan arsip agar arsip terus digunakan oleh masyarakat. Publikasi arsip bisa berupa subject guide, laporan tahunan, buku, selebaran, kartu pos, dan karya seni lainnya. (Williams, 2006: 152) Publikasi juga dapat dilakukan melalui web, mengadakan hari kunjungan atau open days, pameran arsip dan penggunaan media televisi, radio, dan surat kabar. (Williams, 2006: 156) Menurut Astuti, melalui publikasi arsip, sosialisasi arsip dapat terlaksana dengan peningkatan pemahaman masyarakat akan informasi yang terkandung dalam arsip, sebagai media promosi dan potensi khasanah kearsipan, serta menarik masyarakat dan pengguna arsip untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya yang terkandung dalam arsip. (Astuti: 2-3) Menurut Williams, pemanfaatan arsip bisa bermacam-macam yaitu seperti penerbitan naskah sumber dan penggunaan arsip sebagai bahan penelitian, kajian, ataupun untuk menambah wawasan. Pendidikan dan pengajaran juga bisa menjadi pembawa pesan informasi yang dikandung arsip untuk sekolah atau kampus. (Williams, 2006: 155)
Pemanfaatan arsip dapat dilihat dari jumlah penggunaan atau pemakaian arsip. Menurut Sedarmayanti (2008: 131) angka pemakaian arsip adalah persentase sebagai perbandingan antara jumlah arsip yang digunakan kembali dengan jumlah seluruh arsip yang dimiliki tempat penyimpanan pada jangka waktu tertentu. Angka pemakaian arsip digunakan untuk melihat apakah pemanfaatan arsip oleh pengguna telah banyak dilakukan. Angka pemakaian dihitung dengan membagi jumlah arsip yang diminta dengan jumlah seluruh arsip di kali 100%. Apabila angka pemakaian kurang dari 5% maka pemakaian arsip terbilang rendah dan tempat penyimpanan harus melakukan upaya sosialisasi untuk meningkatkan pemakaian arsip oleh pengguna dan apabila angka pemakaian diatas 5% berarti telah banyak arsip yang digunakan oleh pengguna. Dalam Borchardt (2009), arsip dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian terutama digunakan dalam penelitian sejarawan. Penelitian Borchardt menjelaskan tentang bagaimana sejarawan menemukan informasi yang mereka butuhkan. (Borchardt, 2009: 20) Penelitian yang dilakukan oleh Beattie dalam Borchardt terhadap kelompok pengguna memfokuskan pada sejarawan yang meneliti tentang sejarah wanita dengan tujuan untuk menemukan pendapat mereka terhadap arsip. Hasil penelitiannya menunjukkan suratsurat pribadi, rekod organisasi wanita, dan rekod pemerintah adalah sumber yang penting dalam penelitian yang dilakukan. Beattie juga menyimpulkan bahwa arsiparis harus menciptakan sarana temu kembali arsip yang berorientasi pada masalah untuk membantu sejarawan dalam area yang fokus dan spesifik. (Borchardt, 2009: 20) Kesimpulan penelitian Borchardt adalah sejarawan arkeologi menggunakan arsip untuk tujuan penelitian mereka. Tetapi fokus sejarawan adalah menginterpretasikan materi arsip bukan bagimana menemukan arsip seperti yang dilakukan arsiparis. Arsiparis dibutuhkan dalam menciptakan layanan untuk membantu peneliti mencari informasi melalui pengetahuan baru yang didapat mengenai kelompok pengguna yang dalam hal ini adalah sejarawan. (Borchardt, 2009: 26) Arsiparis harus membedakan layanan terhadap kelompok pengguna karena masing-
49
Pemanfaatan Arsip sebagai Sumber Daya Pengetahuan Bagi Masyarakat di Pusat Arsip Pura Pakualam Yogyakarta
masing kelompok mempunyai perspektif yang berbeda misalnya perepektif sejarawan arkeolog. (Borchardt, 2009: 61) Dari hal diatas, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan arsip oleh pengguna tidak lepas dari peran arsiparis dalam mengidentifikasi kelompok pengguna dan kebutuhan informasi pengguna. Dalam contoh penelitian diatas, arsiparis membantu sejarawan arkeolog dalam mencarikan arsip-arsip sejarah yang berkaitan dengan masalah/subjek tentang penelitiannya dengan menggunakan berbagai macam sarana temu kembali arsip. Ketersediaan atau accesibility arsip ketika dibutuhkan tidak lepas dari pengelolaan arsip yang baik sesuai dengan standar-standar kearsipan. (Borchardt, 2006: 67)
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yang digunakan adalah studi kasus. Metode studi kasus, seperti yang dirumuskan Stake dalam Creswell (2009) merupakan strategi penelitian dimana didalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Peneliti melakukan penelitian kualitatif karena penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti. (SulistyoBasuki, 2006: 78) Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan pendekatan snowball sampling. Dengan pendekatan snowball sampling, peneliti menentukan informan lain secara berantai dengan meminta informasi pada informan sebelumnya tentang adanya informan lain yang harus peneliti hubungi. Informan kunci dalam penelitian ini adalah petugas arsip Pura Pakualaman, bernama Bapak N. Bapak N memberikan masukan informan yang tepat yang akan peneliti wawancarai selanjutnya. Informan lain yang ditunjuk adalah Bapak T, Bapak R, dan ada pula yang berasal dari masyarakat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan analisis dokumen. Peneliti melakukan observasi partisipasi dimana selain menjadi pengamat, peneliti juga berpartisipasi bersama petugas arsip dalam mempelajari hal-hal atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan 50
pemanfaatan arsip di Pura Pakualaman Yogyakarta. Peneliti juga melakukan wawancara dengan para informan. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dimana peneliti menggunakan pedoman wawancara yang dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan meluasnya masalah penelitian ketika melakukan wawancara. Selain itu, peneliti juga melakukan analisis dokumen. Peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan dokumen yang berasal dari Pusat Arsip Pura Pakualaman, buku teks tentang profil dan sejarah pendirian Pura Pakualaman, laporan-laporan tentang kegiatan kearsipan di Pusat Arsip Pura Pakualaman, dan dokumen Peraturan Pemerintah serta Undang-Undang Kearsipan.
Analisis dan Interpretasi Data
Data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis melalui tahap reduksi, interpretasi, penyajian data, sampai pada akhirnya penarikan kesimpulan. Dari tahap analisis yang dilakukan tersebut, didapatkan hasil yaitu sebagai berikut: Arsip yang telah diolah dapat diakses dan dilayankan kepada pengguna sebagai bentuk pemanfaatan arsip oleh pengguna untuk berbagai kepentingan. Arsip-arsip yang disimpan di Pura Pakualaman dapat menjadi bahan dalam mengembangkan pengetahuan dan menjadi sumber daya pengetahuan masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi peneliti, pemanfaatan arsip telah dilakukan di pusat arsip Pura Pakualaman. Pemanfaatan arsip di Pusat Arsip Pura Pakualaman dilakukan biasanya untuk kegiatan penelitian dan pembelajaran mata pelajaran sejarah. Pemanfaatan arsip juga dilakukan dengan penerbitan buku Naskah Sumber Arsip. Naskah Sumber Arsip yang diterbitkan oleh BPAD Yogyakarta ini bertujuan untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang suatu masalah/subjek yang terdapat pada arsip Pura Pakualaman sehingga dapat menambah pengetahuan masyarakat yang akan menggunakan arsip dengan mengidentifikasi arsip yang dibutuhkan. Berdasarkan analisis dokumen yang peneliti lakukan, telah terbit 4 seri buku yang diterbitkan oleh BPAD Yogyakarta bersumber dari arsip Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman, terdiri dari:
Eka Widya Ningrum, S.Hum. dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec 1. 2. 3. 4.
Naskah sumber arsip seri 1 dengan judul “Kebijakan Sultan Hamengku Buwono IX Terhadap Kesejahteraan Abdi Dalem” Naskah sumber arsip seri 2 dengan judul “Pemilu 1971 di Yogyakarta: Potret Surutnya Partai Politik” Naskah sumber arsip seri 3 dengan judul “Ngindung Di Tanah Kraton Yogyakarta” Naskah Sumber Arsip Seri 4 dengan judul “Konteks Historis-Sosiologis Sengketa Hukum Di Kadipaten Pakualaman Pada Masa Kolonial”
Pemanfaatan arsip di Pura Pakualaman sebagai sumber daya pengetahuan telah dibuktikan dengan diterbitkannya Naskah Sumber Arsip. Naskah sumber arsip juga merupakan salah satu sarana dalam mensosialisasikan dan mempublikasikan arsip di Pura Pakualaman dalam bentuk terbitan buku. Penerbitan Naskah Sumber Arsip tidak dapat diidentifikasi waktu terbitnya. Penerbitan Naskah Sumber Arsip hanya diketahui dengan diterbitkan secara bergantian dengan Kraton Yogyakarta. Peneliti tidak melihat semua Naskah Sumber Arsip yang diterbitkan karena tidak tersedia di Pura Pakualaman. Hanya satu Naskah Sumber Arsip Pura Pakualaman yang dirlihatkan arsiparis kepada peneliti yaitu Naskah Sumber Arsip Seri 4 yang berjudul “Konteks Historis-Sosiologis Sengketa Hukum Di Kadipaten Pakualaman Pada Masa Kolonial”. Naskah ini terbit pada tahun 2008 dan disusun dengan mengumpulkan dan mengolah arsip-arsip Pura Pakualaman yang bertemakan masalah hukum. Naskah sumber Arsip ini dimaksudkan menjadi sarana untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang masalah hukum yang pernah berlangsung pada masa kolonial di Kadipaten Pakualaman. Hal ini senada dengan penjelasan Williams, bahwa pemanfaatan arsip bisa bermacam-macam yaitu seperti penerbitan naskah sumber dan penggunaan arsip sebagai bahan penelitian, kajian, ataupun untuk menambah wawasan. (Williams, 2006: 155) Berdasarkan hasil wawancara, pemanfaatan arsip melibatkan semua pihak dari dalam maupun luar Pura Pakualaman. Seperti penerbitan Naskah Sumber Arsip, melibatkan BPAD Yogyakarta, para peneliti, petugas arsip dan Bagian Perpustakaan Pura Pakualaman serta masyarakat.
Penjelasan pemanfaatan arsip di pusat arsip Pura Pakualaman oleh Pak N yang merupakan petugas pusat arsip Pura Pakualaman, juga didukung dengan penjelasan Pak T yang merupakan petugas Pura Pakualaman, dimana keduanya menjelaskan bahwa pemanfaatan arsip dilakukan untuk kepentingan penelitian, penyusunan biografi, seminar pendidikan yang bersumber dari arsip seperti model pendidikan Ki Hajar Dewantara, dan untuk kegiatan pameran yang biasa dilakukan bersama dengan Kraton Yogyakarta. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan Kristiana Swasti, Kepala BPAD Provinsi DIY dalam artikelnya Menjaga Keselamatan dan Kelestarian Arsip Statis Pemerintah Provinsi DIY, bahwa dari aspek kegunaan, arsip statis bisa dimanfaatkan untuk bahan pendidikan, rekreasi, penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya, sedangkan dari sisi pendidikan, arsip dapat juga dimanfaatkan sebagai materi pembelajaran disamping bukubuku cetakan. Pura Pakualaman telah menggunakan arsip seperti kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta informasi kepada pengguna atau masyarakat. Dari pemanfaatan arsip tersebut, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan yang berguna untuk pengembangan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Pengetahuan yang didapat masyarakat menurut Pak N, tergantung dari apa yang dicari pengguna, yang sesuai dengan informasi dan pengetahuan yang ingin diketahui. Hal ini senada dengan pemanfaatan arsip menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Kearsipan, kegiatan pemanfaatan dan penyediaan arsip bagi kepentingan pengguna arsip yang berhak dapat dilihat dari penggunaan arsip. Pemanfaatan arsip statis bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan serta informasi kepada para pengguna. Memanfaatkan arsip statis penting untuk berbagi informasi atau mempublikasikan arsip statis sebagai bukti sejarah dan warisan budaya nasional.
51
Pemanfaatan Arsip sebagai Sumber Daya Pengetahuan Bagi Masyarakat di Pusat Arsip Pura Pakualam Yogyakarta
Agar pemanfaatan arsip oleh pengguna di pusat arsip Pura Pakualaman meningkat, maka arsip dipublikasikan. Selain itu, Naskah Sumber Arsip yang bersumber dari arsip dikenalkan atau disosialisasikan oleh pusat arsip Pura Pakualaman kepada pengguna. Naskah Arsip diletakkan di meja yang biasanya digunakan pengguna untuk menggunakan arsip. Hal ini membuat pengguna lebih mengerti tentang isi arsip setelah membaca Naskah Sumber Arsip. Terdapat keinginan dari pengguna agar Naskah Sumber Arsip diterbitkan kembali untuk membahas arsip-arsip yang berhubungan dengan masalah lain misalnya masalah tata negara, keuangan, pendidikan, dan lain sebaginya. Arsip Pura Pakualaman juga dipublikasikan melalui poster, buku dan pameran arsip. Publikasi arsip ini dilakukan untuk mensosialisasikan arsip agar arsip terus digunakan oleh masyarakat. Selain itu, publikasi arsip bertujuan untuk memberitahukan masyarakat tentang keberadaan atau eksistensi pusat arsip Pura Pakualaman karena masyarakat belum banyak yang mengetahui bahwa Pura Pakualaman memiliki arsip yang bernilai sejarah tinggi yang tersimpan di pusat arsipnya. Masyarakat lebih mengetahui arsip Kraton Yogyakarta daripada arsip Pura Pakualaman. Masyarakat yang mengetahui keberadaan Pusat Arsip Pura Pakualaman biasanya adalah mahasiswa yang menggunakan arsip Pura Pakualaman untuk kepentingan penelitiannya dan mereka mendapatkan informasi keberadaan arsip di Pusat Arsip Pura Pakualaman dari Badan Perpusatakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DI Yogyakarta. Masyarakat umum banyak yang tidak mengetahui bahwa Pura Pakualaman juga memiliki arsip yang nilainya tidak kalah dari Kraton Yogyakarta. Untuk merubah pandangan tersebut, pusat arsip pakualaman telah melakukan publikasi arsip dengan mengadakan pameran arsip. Pameran arsip yang dilakukan di Keraton Yogyakarta adalah upaya sosialisasi yang dilakukan oleh Pura Pakualaman untuk mempublikasikan kepada masyarakat tentang keberadaan Pusat Arsip Pura Pakualaman beserta layanannya. Hal ini senada dengan publikasi arsip 52
menurut Williams. Menurutnya, publikasi arsip merupakan cara memsosialisasikan arsip agar arsip terus digunakan oleh masyarakat. Publikasi juga dapat dilakukan melalui web, mengadakan hari kunjungan atau open days, pameran arsip dan penggunaan media televisi, radio, dan surat kabar (Williams, 2006: 156). Arsip sebagai bahan yang digunakan dalam melakukan berbagai kegiatan pemanfaatan dapat dilihat dari bagan berikut: Pemanfaatan Arsip di Pusat Arsip Pura Pakulaman
Arsip sebagai Bahan Bahan “Naskah Sumber Arsip”
Kegiatan Pemanfaatan
Penerbitan dan sosialisasi Naskah Sumber Arsip kepada pengunjung pusat arsip Untuk Pameran Arsip rekreasi dan di Kraton menambah Yogyakarta wawasan untuk masyarakat masyarakat sekitar Model Seminar Kurikulum Pendidikan Pendidikan Model Ki Hajar Dewantara untuk pengajar atau pendidik Bahan Sumber Penelitian penulisan karya ilmiah dan pembuatan makalah untuk para peneliti dan juga mahasiswa
Hasil Upaya Pusat Arsip Pura Pakualaman mendekati masyarakat dengan penerbitan “Naskah Sumber Arsip”, pameran arsip, dan kegiatan lainnya.
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahawa Pusat Arsip Pura Pakualaman telah berupaya mendekati masyarakat agar arsip dapat digunakan sebagai sumber daya pengetahuan mereka dengan penerbitan “Naskah Sumber Arsip”, pameran arsip, dan kegiatan lainnya. Namun, Pameran arsip yang dilakukan di Pusat Arsip Pura Pakualaman belum menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan arsip. Pusat Arsip masih sepi pengunjung dan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan
Eka Widya Ningrum, S.Hum. dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec arsip Pura Pakualaman. Pameran arsip dilakukan tanpa merencanakan sasaran masyarakat potensial yang akan memanfaatkan arsip setelah pameran dilakukan. Masyarakat yang datang biasanya berasal dari masyarakat sekitar Pura Pakualaman atau Kraton Yogyakarta tidak terkecuali dari kalangan pedagang sekitar, penarik becak, penarik andong, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil observasi, pusat arsip Pura Pakualaman belum memiliki tolak ukur tentang pemanfaatan arsip. Pusat arsip belum mengetahui apakah pemanfaatan arsip Pura Pakualaman telah efektif dilakukan atau tidak. Pemanfaatan arsip hanya dilihat dari penerbitan buku yang dibuat oleh para peneliti dan ahli sejarah serta pameran yang dihadiri oleh masyarakat. Padahal sebenarnya pemanfaatan arsip dapat dilihat dan diukur tingkat keefektifannya dari jumlah penggunaan atau pemakaian arsip. Menurut Sedarmayanti pemakaian arsip dapat dilihat dari angka pemakaian arsip yaitu persentase sebagai perbandingan antara jumlah arsip yang digunakan kembali dengan jumlah seluruh arsip yang dimiliki tempat penyimpanan pada jangka waktu tertentu. Angka pemakaian arsip digunakan untuk melihat apakah pemanfaatan arsip oleh pengguna telah banyak dilakukan. Angka pemakaian dihitung dengan membagi jumlah arsip yang diminta dengan jumlah seluruh arsip di kali 100%. Apabila angka pemakaian kurang dari 5% maka pemakaian arsip terbilang rendah dan tempat penyimpanan harus melakukan upaya sosialisasi untuk meningkatkan pemakaian arsip oleh pengguna dan apabila angka pemakaian diatas 5% berarti telah banyak arsip yang digunakan oleh pengguna. (Sedarmayanti, 2008: 131) Namun, ketika peneliti mengkonfirmasi hal tersebut dan ingin melakukan penghitungan sendiri, peneliti tidak mendapatkan data secara lengkap mengenai arsip yang diminta pengguna melalui lembar pemesanan arsip. Padahal jika data tersebut lengkap, pusat arsip Pura Pakulaman dapat mengetahui efektivitas pemanfaatan arsip sehingga apabila dirasa kurang, pemanfaatan arsip dapat ditingkatkan lagi. Berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap masyarakat, masyarakat hanya mengetahui bahwa Pura Pakualaman adalah tempat tinggal Paku Alam dan museum tentang sejarah dan
kebudayaan jawa. Kegiatan masyarakat ketika berkunjung ke Pura Pakualaman biasanya untuk ke perpustakaan atau sekedar melihat-lihat koleksi museum. Pura Pakualaman juga biasanya menjadi tempat penyelenggaraan upacara-upacara adat sehingga banyak msayarakat yang datang pada satu waktu tertentu. Kegiatan lain yang dilakukan masyarakat misalnya untuk penelitian (biasanya mahasiswa atau peneliti), pagelaran budaya, makan, foto-foto atau dokumentasi pribadi, dan lain sebagainya. Hanya sedikit masyarakat yang datang ke Pura Pakualaman memiliki tujuan khusus untuk ke pusat arsipnya dan mengakses informasi pada arsip-arsip yang ada. Hal ini terjadi karena sosialiasi mengenai keberadaan pusat arsip Pura Pakualaman kepada masyarakat belum dilakukan secara maksimal dan tanpa mengidentifikasi masyarakat yang dituju yang berpotensi memanfaatkan arsip-arsip yang ada sebagai sumber daya bagi pengetahuan mereka. Namun, peneliti mendapatkan data bahwa pengetahuan masyarakat mengenai sejarah Pura Pakualaman lebih baik daripada pengetahuan keberadaan arsip yang seharusnya menjadi sumber utama pengetahuan yang dimiliki masyarakat tersebut. Peneliti menangkap bahwa terdapat keinginan dari masyarakat untuk memanfaatkan arsip sebagai sumber daya bagi pengetahuan mereka. Hal tersebut tergambar dari harapan masyarakat yang menginginkan sosialisasi arsip lebih digencarkan lagi melalui pameran arsip sehingga banyak masyarakat yang menyadari keberadaan arsip di Pura Pakualaman. Masyarakat mengapresiasi sikap petugas yang selalu membantu dalam mencarikan arsip yang dibutuhkan dengan memberikan intruksi atau petunjuk secara personal kepada masyarakat yang menggunakan arsip. Lebih jauh, masyarakat juga menginginkan adanya pendidikan pemakai yang dapat mengajarkan mereka bagaimana mencari informasi pada arsip yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selama ini, mereka merasa enggan untuk datang ke pusat arsip karena tidak tahu harus melakukan apa untuk mencari arsip.
Kesimpulan
Pemanfaatan Arsip di Pusat Arsip Pura Pakualaman dilakukan dengan terlebih dahulu 53
Pemanfaatan Arsip sebagai Sumber Daya Pengetahuan Bagi Masyarakat di Pusat Arsip Pura Pakualam Yogyakarta
mengelola arsip agar dapat dijadikan sumber daya pengetahuan masyarakat. Arsip yang pada masa lalu merupakan hasil pemikiran dari pengetahuan pribadi para petinggi atau pimpinan Pura Pakualaman, saat ini telah menjadi pengetahuan sosial untuk digunakan dalam mengembangkan pengetahuan masyarakat melalui perekaman informasi dalam bentuk arsip dan sosialiasi arsip tersebut yang dilakukan oleh pusat arsip Pura Pakualaman. Pemanfaatan arsip telah dilakukan oleh pusat arsip Pura Pakualaman dengan menggunakan arsip sebagai bahan penelitian, kajian, dan menambah wawasan, pembelajaran mata sejarah, penyusunan biorgafi serta melalui kegiatan publikasi seperti seminar pendidikan, pameran arsip dan penerbitan buku “Naskah Sumber Arsip”. Pusat Arsip Pura Pakualaman telah mendekati masyarakat untuk mengupayakan arsip dimanfaatkan sebagai sumber daya pengetahuan mereka melalui penerbitan naskah sumber arsip dan kegiatan publikasi lainnya seperti pameran dan seminar pendidikan yang bersumber dari arsip. Namun, terdapat kendala dapat pemanfaatan arsip yaitu publikasi arsip masih jarang dilakukan, minimnya informasi mengenai pusat arsip, dan arsip belum diolah seluruhnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa walaupun Pusat Arsip Pura Pakualaman telah mengupayakan pendekatan kepada masayarakat melalui kegiatan sosialisasi arsip yang dilakukan, masyarakat masih jarang memanfaatkan arsip sebagai sumber daya pengetahuan mereka. Pusat arsip Pura Pakualaman perlu lebih gencar melalukan pendekatan kepada masyarakat melalui kegiatan pemanfaatan seperti penerbitan buku “Naskah Sumber Arsip” mengenai masalah lain seperti masalah ketatanegaraan masa kolonial, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Pemanfaatan arsip juga dapat dilakukan dengan mengolah arsip dalam berbagai bentuk atau media agar arsip dikemas secara menarik dan membuat masyarakat lebih mudah memahami tentang arsip yang dimaksud. Pemanfaatan arsip dapat dilakukan dengan program siaran radio yang membahas tentang arsip Pura Pakualaman mengenai suatu masalah, pembuatan video atau film pendek mengenai masalah kehidupan sosial masa kolonial, dan lain sebagainya.
54
Daftar Acuan _______. Menjaga Keselamatan dan Kelestarian Arsip Statis Pemerintah Provinsi DIY. 28 Februari 2013. http://www.bpadjogja.info/post/berita/373/ menjaga-keselamatan-dan-kelestarian-arsipstatis-pemerintah-provinsi-diy.html Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Astuti, A. Fajar Feratri. Kegiatan Pameran Kearsipan Sebagai Pemanfaatan dan Pendayagunaan Media Arsip (Arsip Statis). 5 Februari 2013. www.bpadjogja.info/file/79a133457e740f5 2e16d8be7c4111466.pdf Barthos, Basir. 2007. Manajemen Kearsipan: untuk lembaga negara, swasta, dan perguruan tinggi. Jakarta: Bumi Aksara Borchardt, Elizabeth Ann. 2009. Historical archaeologists' utilization of archives: An exploratory study. A thesis presented to The Faculty of The School of Library and Information Science San Jose State University. http://search.proquest.com/docview/305182 867/13CD32A69474A89AADF/1?accounti d=17242 Creswell, J. W. 2009. Research Design : pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Republik Indonesia. Undang-Undang Kearsipan No. 43 tahun 2009 Tentang Kearsipan. 1 Februari 2013. http://www.anri.go.id/unduh-file/87Nomor43-Tahun-2009-Tentang-Kearsipan.pdf Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2012 Tentang Kearsipan. 1 Februari 2013. http://www.anri.go.id/unduh-file/58PP-No28-Tahun-2012-tentang-Pelaksanaan-UUNo-43-Tahun-2009.pdf Sedarmayanti. 2008. Tata Kearsipan Dengan Memanfaatkan Teknologi Modern. Bandung: Mandar Maju.
Eka Widya Ningrum, S.Hum. dan Ir. Anon Mirmani, MIM.Arc/Rec Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Suryodilogo, Atika, et al. 2012. Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Trah Pakualaman Hudyana bekerjasama dengan Eka Tjipta Foundation dan Perpustakaan Pura Pakualaman. Williams, Caroline. 2006. Managing Archives: fondations, principles and practice. Oxford: Chandos Publishing.
55
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka
ANALISIS ARSITEKTUR INFORMASI PERPUSTAKAAN DIGITAL UNIVERSITAS TERBUKA Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI. Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok, 16425, Indonesia e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas arsitektur informasi pada situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode observasi dan wawancara terhadap informan terkait dengan pengembangan Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Analisis pada perpustakaan digital didasarkan pada empat komponen dasar dalam arsitektur informasi yaitu, sistem organisasi, sistem pelabelan, sistem navigasi dan sistem pencarian. Observasi dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengobservasi tampilan antarmuka pengguna situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Kedua, mengobservasi pengguna untuk mengetahui tingkat stress dalam menavigasi situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka dengan melakukan navigation stress test. Hasil penelitian menyatakan bahwa situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka belum memenuhi prinsip-prinsip dalam komponen dasar arsitektur informasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan kepada pihak perpustakaan untuk meningkatkan dan mengembangkan arsitektur informasi pada perpustakaan digital sehingga memberikan kemudahan-kemudahan akses informasi bagi penggunanya. Kata kunci: Arsitektur Informasi, Navigation Stress Test, Perpustakaan Digital. Abstract This research describes about information architecture on Open University Digital Library website. The research uses qualitative approach with observation and interview method associated with the development of Open University Digital Library. Analysis of the digital library is based on four fundamental components of an information architecture include organization system, labeling system, navigation system, and search system. Observation carried out in two ways. First, observe the user interface of the Open University Digital Library website. Second, observe the user to determinate the level of stress in navigating at Open University Digital Library website by conducting navigation stress test. The result of this research showed that the digital library website of Open University Digital Library not met the fundamental components of an information architecture. To put one thing in a nutshell, the librarian needs to improve and develop their quality of digital library to provide easy-access to information for its users. Keywords: Digital Library, Information Architecture, Navigation Stress Test
Pendahuluan
Kemajuan teknologi dalam penyebaran informasi, akses informasi dan kemajuan teknologi dalam berkomunikasi mendorong lembaga informasi seperti perpustakaan untuk terus meningkatkan layanannya dalam menenuhi kebutuhan pengguna akan informasi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, perpustakaan tidak hanya menyediakan koleksi yang terbatas hanya pada media buku saja melainkan mencakup juga koleksi microfilm, CD,
56
piringan hitam, dan media lainnya termasuk dokumen digital seperti e-book dan e-journal. Perpustakaan digital pun memiliki cakupan koleksi dengan jenis dan format yang beragam. Beragamnya informasi yang dikelola perpustakaan digital menuntut perpustakaan untuk menyajikan informasi dengan seoptimal mungkin agar pengguna dapat menemukan informasi yang tepat dengan efektif dan efisien.
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI.
Sajian informasi pada antarmuka pengguna sangat mempengaruhi pengguna ketika mengunjungi situs web perpustakaan digital. Tampilan yang rumit akan membingungkan pengguna untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, analisis terhadap arsitektur informasi pada perpustakaan digital berbasis web memiliki peranan penting dalam meningkatkan dan memudahkan pengguna dalam mengakses informasi. Perpustakaan Digital Universitas Terbuka merupakan perpustakaan digital dengan sistem terpusat. Dengan sistem terpusat, pengguna memiliki pengalaman yang sama terhadap pencarian informasi pada Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Dengan adanya perpustakaan digital, mahasiswa yang tersebar di seluruh dunia dapat mengakses koleksi yang ada pada perpustakaan tanpa harus mendatangi gedung perpustakaan. Apabila fasilitas dan arsitektur bangunan yang baik pada perpustakaan konvensional dapat meningkatkan jumlah pengunjung yang datang, maka struktur sistem informasi dan penyajian tampilan informasi pada perpustakaan digital merupakan faktor penting untuk kenyamanan pengguna dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Salah satu tujuan utama dari perpustakaan digital adalah menyediakan peningkatan akses ke informasi. Hal ini berarti antarmuka pengguna, pencarian dan juga mekanisme temu kembali pada perpustakaan digital seharusnya didesain seoptimal mungkin sehingga setiap pengguna dapat menggunakannya dengan mudah. Dengan banyaknya informasi yang akan disediakan dan dengan beragam jenis baik format maupun subjeknya, pengguna akan kesulitan dalam menemukan informasi yang dibutuhkannya sehingga enggan untuk mengaksesnya. Oleh karena itu, dalam pengembangannya perlu mengikuti standar antar muka sistem informasi berbasis web yaitu arsitektur informasi. Dengan mengikuti standar antar muka sistem informasi berbasis web, kesulitan ini dapat diatasi sehingga pengguna dapat dengan mudah menemukan informasi yang dibutuhkannya.
Gould dan Lewis (1985) mengatakan bahwa terdapat tiga prinsip dalam desain sistem yang bertujuan untuk menghasilkan suatu sistem komputer yang berguna dan mudah digunakan. Salah satu prinsip yang dikemukakan oleh Gould ialah iterative design. Istilah iterative mengacu pada pengulangan dari suatu proses. Proses ini berulang berkali-kali. Pengujian ini dapat dilakukan dengan melakukan analisis. Oleh karena itu, perlu sebuah analisis arsitektur informasi pada perpustakaan digital sehingga pada akhirnya mendukung proses iterative design. Arsitektur informasi mempelajari struktur penyajian informasi dari sebuah web. Layaknya arsitektur bangunan, arsitektur informasi dari sebuah perpustakaan digital dapat memberikan dampak yang berbeda pada pengguna perpustakaan. Dengan arsitektur yang baik, pengguna dapat lebih cepat dan akurat dalam mendapatkan infromasi yang diinginkan. Namun, arsitektur informasi yang buruk dapat membuat pengguna menjadi frustasi dalam melakukan pencarian informasi. Beberapa situs web perpustakaan digital menampilkan struktur organisasi informasi secara logis agar mudah dimengerti sehingga pengguna dapat menemukan infromasi yang dibutuhkan. Namun, tidak sedikit dari situs web perpustakaan digital yang menampilkan struktur informasi yang tidak teratur dan membingungkan. Pengguna menjadi frustasi ketika tidak mendapatkan informasi yang diinginkan dengan cepat dan akurat. Dampaknya ialah pengguna enggan memanfaatkan perpustakaan digital. Dengan menganalisis arsitektur informasi pada perpustakaan digital, diharapkan dapat meningkatkan penggunaan dan pencarian informasi yang efektif dan efisien bagi pengguna.
Masalah Penelitian
Perpustakaan Digital Universitas Terbuka merupakan sumber informasi penting bagi seluruh akademisi. Sajian informasi yang diberikan oleh perpustakaan digital sangat berpengaruh terhadap ketergunaan perpustakaan digital secara keseluruhan. Perpustakaan digital yang dirancang dengan baik ialah perpustakaan yang memudahkan pengguna dalam pencarian informasi. Oleh karena itu perlu adanya sebuah
57
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka analisis terhadap arsitektur informasi pada perpustakaan digital sebagai umpan balik bagi pengembangan pepustakaan digital yang nantinya akan mendukung proses pembangunan yang berulang (iterative).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa Perpustakaan Digital Universitas Terbuka berdasarkan prinsip dasar dalam arsitektur informasi.
Tinjauan Literatur Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Glen Doss (2002) mendefinisikan arsitektur informasi yang berbunyi sebagai berikut: Information architecture is the foundation open which websites are built. You can think of it as the blue prints for a website. It defines a website’s structure, hierarchy, and navigation. Sedangkan Morville & Rosenfeld (2006) memberikan beberapa definisi mengenai arsitektur informasi. Mereka berpendapat bahwa akan sangat sulit untuk mendefinisikan arsitektur informasi dalam satu kalimat yang mencakup kesuluruhan pengertian dari arsitektur informasi. Sehingga, dalam bukunya Information Architecture : for the world wide web mereka memberikan definisi lebih lanjut mengenai arsitektur informasi sebagai berikut: in•for•ma•tion ar•chi•tec•ture (n.) 1. The structural design of shared information environments. (Desain struktural dari lingkungan informasi bersama) 2. The combination of organization, labeling, search, and navigation systems within web sites and intranets. (Kombinasi organisasi, pelabelan, pencarian, dan sistem navigasi dalam situs web dan intranet) 3. The art and science of shaping information products and experiences to support usability and findability. (Seni dan ilmu membentuk produk informasi dan pengalaman untuk mendukung ketergunaan dan kemudahan temu kembali) 4. An emerging discipline and community of practice focused on bringing principles of design and architecture to the digital landscape. (Cabang ilmu yang tumbuh dan 58
komunitas praktek yang berfokus pada prinsip-prinsip desain dan arsitektur untuk lanskap digital) Berdasarkan definisi tersebut, tujuan dasar dari arsitektur informasi dalam kaitannya dengan perpustakaan digital adalah untuk memfasilitasi pengguna dalam mengakses situs web dan mendapatkan sumber daya informasi yang disediakan oleh perpustakaan sehingga mendukung ketergunaan dan kemudahan temu kembali informasi. Selanjutnya Aji Supriyanto (2007), dalam jurnal yang diterbitkan oleh Jurnal Teknologi Informasi Dinamik, memberikan definisi bahwa arsitektur informasi web merupakan struktur rancangan (desain) web agar dapat tersusun suatu informasi yang tepat (terorganisasi) dan mudah ditemukan isinya. Struktur rancangan ini harus memenuhi beberapa aspek antara lain form, fungsi, navigasi, interface, interaksi, visual, dan maksud informasi itu sendiri, yang akan dibangun dalam sebuah web. Visualisasi Arsitektur Informasi Visualisasi pada tampilan website merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Alasan pertama ialah arsitektur informasi merupakan bidang (field) yang baru sehigga membutuhkan visualisasi agar orang dapat memahaminya. Kedua, arsitektur informasi adalah bidang yang abstrak sehingga walaupun orang memahaminya namun tidak benar-benar paham jika tidak mengalaminya. Untuk mengantisipasi kebutuhan informasi pengguna, arsitektur informasi berusaha menjawab pertanyaan yang paling sering diajukan seperti “Dimana ini?”, “Saya tahu apa yang saya cari, bagaimana cara menemukannya?”. Hal ini disebut sebagai top-down information architecture. Komponen Utama Arsitektur Informasi Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis arsitektur informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka berdasarkan 4 komponen dasar dalam aritektur informasi yang dikemukakan oleh Morville dan Rosenfeld (2006) dalam bukunya Information Architecture : for the world wide web yaitu, sistem organisasi, sistem pelabelan, sistem navigasi, dan sistem pencarian.
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI. Keempat komponen tersebut adalah prinsip dasar dari Arsitektur Informasi. a. Sistem Organisasi Organisasi informasi pada situs web dan intranet adalah faktor utama penentu kesuksesan sebuah situs web. Sistem organisasi informasi terdiri dari skema organisasi dan struktur organisasi. Selain sistem organisasi dan skema organisasi, informasi dapat disusun berdasarkan sosial klasifikasi (social classification). Skema organisasi membahas cara informasi tersebut disampaikan dan dikelompokkan. Kita merujuk kepada skema ini setiap hari. Skema organisasi dibedakan menjadi dua bagian, eksak dan ambigu. Struktur organisasi memainkan peran intangible namun sangat penting dalam desain situs web. Struktur informasi menetapkan cara pengguna menavigasi situs web. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hierarki (top-down). b. Sistem Pelabelan Pelabelan merupakan bentuk dari representasi. Sama halnya seperti ketika kita menggunakan kata-kata yang diucapkan untuk mewakili konsep dan pikiran, kita menggunakan label untuk mewakili potongan yang lebih besar dari informasi dalam situs web. Pelabelan adalah bagaimana suatu istilah bisa secara tepat mewakili suatu konsep atau informasi. Pelabelan dapat dibagi menjadi dua format yaitu tekstual dan ikonis. Label dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori. Satu label dapat melakukan tugas ganda. Misalnya satu label dapat termasuk ke dalam contextual links sekaligus headings. Kategori ini dapat berupa format tekstual atau ikonis. Kategori label tersebut adalah: 1. Contextual links. Tautan kontekstual yaitu hyperlink ke informasi lain yang terdapat di halaman lain/halaman yang sama. 2. Headings. Label yang secara tepat dan sederhana mampu mendeskripsikan konten yang mengikutinya.
3. Navigation system choices. Label yang merepresentasikan pilihan-pilihan pada sistem navigasi. 4. Index terms. Kata kunci dan tajuk subjek yang merepresentasikan konten untuk keperluan browsing dan searching. Label ini tidak selalu terlihat pada situs web oleh pengguna, label ini mungkin tersembunyi sebagai metadata yang tertanam dalam dokumen HTML <META...> atau tag <TITLE>. c. Sistem Navigasi Navigasi adalah sarana yang dibuat agar kita tidak tersesat. Alat ini dibuat untuk memetakan arah, menentukan posisi, dan untuk menemukan jalan kembali. Tersesat dalam web bukanlah masalah yang sangat penting bagaikan hidup dan mati. Namun, tersesat dalam situs web yang besar adalah hal yang sangat membingungkan dan membuat frustasi. Sistem navigasi digunakan untuk membimbing pemakai berpindah dari satu informasi ke informasi lain tanpa kehilangan orientasi. Sistem navigasi terdiri dari beberapa elemen dasar. Pertama, sistem navigasi tertanam. Sistem ini dikelompokkan menjadi sistem navigasi global, lokal dan kontekstual yang terintegrasi dalam halaman web itu sendiri. Tipe kedua adalah sistem navigasi tambahan yaitu sitemap, index dan guide yang tidak melekat pada konten yang ada. Sistem navigasi tambahan ini menyediakan informasi yang sama dengan cara yang berbeda. Setiap jenis navigasi tambahan dibuat untuk tujuan yang unik dan dirancang agar sesuai dengan kerangka yang lebih luas dari sistem pencarian dan browsing. Glen Doss (2002) mengungkapkan dalam artikelnya pada http://www.fatpurple.com/ mengenai pentingnya sitemaps dalam sebuah situs yang berbunyi: Site maps are one of the most critical and widely used web information architecture tools (along with wireframes). They show the overall structure and hierarchy of a Web site. They can be used as the first step in laying out the web information architecture of a site, and
59
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka will provide the framework upon which to base site navigation. Serupa dengan Doss, Nielsen (2008) juga berpendapat bahwa sitemaps dapat menjadi metode paling berharga dalam memberikan pandangan (insight) mengenai struktur dan konten dari situs. Navigation stress test adalah test sederhana untuk menguji tingkat stress dalam menavigasi situs web. Test ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Bottom-up information architecture,” seperti “Dimana saya?”, “Apa yang ada di sini?”, “Kemana lagi saya bisa pergi dari sini?”. d. Sistem Pencarian Sistem pencarian (search system) memungkinkan pengguna mencari konten tertentu yang lebih spesifik pada situs web. Sistem pencarian terdiri dari dua komponen. Pertama adalah isi dari mesin pencarian itu sendiri; selain dari alat untuk mengindeks dan menjaring (spidering), dalam mesin pencarian, ada algoritma untuk memproses permintaan (query) ke dalam sesuatu yang dapat dimengerti oleh perangkat lunak, dan ada ranking atau pemberian peringkat dari hasil pencarian tersebut. Komponen kedua adalah antarmuka dari mesin pencarian; satu antarmuka untuk memasukkan query (pencarian sederhana dan lanjutan) dan antarmuka lain untuk menampilkan hasil pencarian (termasuk apa yang harus ditampilkan untuk setiap hasil pencarian, dan bagaimana menampilkan seluruh himpunan hasil). 1. Zona pencarian Zona pencarian adalah subset dari sebuah situs web yang telah diindeks secara terpisah dari seluruh isi situs tersebut. Ketika pengguna memutuskan untuk menggunakan mesin pencari, hal itu menunjukkan bahwa pengguna tertarik pada informasi tertentu. Idealnya, zona pencarian pada situs web sesuai dengan pencarian yang spesifik atas kebutuhan informasi pengguna dan hasil dari pencarian dapat 60
meningkatkan kinerja temu kembali. Dengan mengeliminasi konten yang tidak sesuai, pengguna akan menerima hasil yang lebih sedikit dan lebih relevan. 2. Query builders Selain algoritma pencarian, ada banyak cara lain untuk mempengaruhi hasil pencarian. Query builders adalah alat yang dapat meningkatkan performa query. Diantaranya adalah spell-checkers, stemming tools, natural language processing tools dan controlled vocabularies dan thesauri. Menampilkan hasil Dua hal yang perlu diperhatikan ketika menyampaikan hasil pencarian. Pertama, konten apa saja yang akan ditampilkan? Hal ini terkait dengan kebutuhan pengguna. Apakah pengguna sudah mengetahui apa yang dia cari sehingga cukup tampilkan komponen konten yang mewakili seperti judul atau penulis atau pengguna tidak yakin dengan apa yang dicarinya sehingga butuh ringkasan, abstrak atau kata kunci? Kedua, berapa dokumen yang akan ditampilkan? resolusi monitor pengguna, kecepatan konektivitas, dan pengaturan browser akan mempengaruhi jumlah hasil yang dapat ditampilkan secara efektif. Oleh karena itu sebaiknya tampilkan hasil dalam jumlah sedikit. Ada dua metode umum untuk mendaftar hasil pencarian: menyortir dan peringkat (ranking). Hasil pencarian dapat diurutkan secara kronologis berdasarkan tanggal atau abjad oleh sejumlah jenis komponen konten (misalnya, dengan judul, penulis, atau departemen). Mereka juga dapat peringkat oleh algoritma pencarian (misalnya, menurut relevansi atau popularitas).
Metodologi Penelitian
Peneliti memilih informan berdasarkan dengan purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel. Pertimbangan yang dimaksud ialah informan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai situasi dan latar penelitian (Moleong, 2007).
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI. Kriteria informan adalah sebagai berikut: 1. Staf aktif Pusat Layanan Pustaka, 2. Mengerti seluk beluk Perpustakaan Digital Universitas Terbuka, dan 3. Merupakan pengembang sekaligus pengelola Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti mewawancarai Bapak Rendy (nama disamarkan) yang merupakan staf aktif yang bertugas mengelola Perpustakaan Digital Universitas Terbuka untuk mendapatkan informasi mengenai teknis pengelolaan perpustakaan digital. Untuk mengetahui tingkat stress pengguna dalam bernavigasi pasa situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka, peneliti menggunakan test sederhana kepada responden yaitu navigation stress test. Navigation stress test adalah test sederhana untuk menguji tingkat stres dalam menavigasi situs web. Dalam melakukan test sederhana ini, peneliti tidak ikut serta melakukan test. Sebagai gantinya, peneliti melibatkan 3 orang sebagai perbandingan. Hasil dari test ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait pengembangan perpustakaan digital. Pada penelitian ini peneliti menyesuaikan pendekatan dengan tujuan dan fokus penelitian dengan melakukan observasi partisipasi pada situs web serta mengobservasi pengguna perpustakaan dalam melakukan navigasi pada perpustakaan tersebut melalui serangkaian test. Kegiatan observasi terhadap Perpustakaan Digital Universitas Terbuka digunakan oleh peneliti sebagai sarana pengumpulan data yang utama. Sedangkan wawancara terhadap informan dilakukan untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Menentukan teknik pengumpulan data merupakan langkah yang harus dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian. Untuk memenuhi tujuan penelitian, peneliti perlu menganalisis data temuan pada tempat penelitian, data tersebut dikumpulkan melalui berbagai teknik. Berikut adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti pada penelitian ini:
1. 2.
3. 4.
Mengidentifikasi halaman web (webpage) yang dibutuhkan dalam analisis, Menangkap (capture) halaman tersebut dengan menggunakan tombol print screen pada keyboard kemudian gambar disimpan dalam format .jpg, Mencatat tanggal dan waktu pengambilan gambar, dan Menganalisis hasil temuan dengan teori yang terkait.
Analisis dan Interpretasi Data Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka Pendekatan visualisasi arsitektur informasi topdown merupakan pendekatan yang melibatkan pengembangan berdasarkan kebutuhan pengguna pada halaman muka situs dan kemudian menentukan hubungan rinci antar konten. Ketika pengguna pertama kali melihat situs ini melalui halaman muka, maka pengguna dapat menemukan informasi berdasarkan pertanyaan umum seperti “situs apa ini?” dan “apa yang ada pada situs ini?” Pada halaman muka website perlu dilakukan visualisasi untuk menjawab beberapa pertanyaan “top-down”. Pertanyaan ini adalah pertanyaan umum yang pengguna dapatkan ketika pertama kali melihat halaman muka pada suatu situs web. Pertanyaan ini berdasarkan pada analisis visualisasi oleh Peter Morville dan Louis Rosenfeld (2006) pada halaman muka situs web Gustavus.
Gambar 1 Visualisasi Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka
61
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka Gambar 1 merupakan pemetaan terhadap topdown information architechture. Dari gambar halaman muka perpustakaan digital tersebut, seharusnya pengguna dapat menemukan jawaban atas pertanyaan umum ketika pengguna pertama kali masuk pada halaman muka situs perpustakaan digital. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat terjawab pada halaman muka situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka, pertanyaan tersebut dapat terjawab sesuai dengan pemetaan pada gambar 1: 1. Dimana ini? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada no.1 yang merupakan nama situs web. Pengguna dapat mengetahui bahwa situs ini merupakan perpustakaan digital yang dimiliki oleh Universitas Terbuka. Pada halaman ini juga pengguna dapat mengunjungi perpustakaan konvensional Universitas Terbuka berdasarkan alamat yang ada pada bagian kanan halaman. Perpustakaan konvensional Universitas Terbuka yaitu Pusat Layanan Pustaka. 2. Saya tahu apa yang saya cari, bagaimana cara menemukannya? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada no.2. Pengguna yang sudah mengetahui informasi yang dicarinya dapat menuju katalog maupun search box dan memasukkan query (permintaan). 3. Bagaimana cara berkeliling di situs ini? Petanyaan ini menjawab sistem navigasi global pada halaman muka. Pengguna dapat mengelilingi dan menelusuri situs web dengan mengklik tautan tautan yang yang ditunjukkan oleh nomor 3. 4. Apa yang penting dan unik tentang organisasi ini? Pengguna dapat mengetahui informasi penting dan unik yang ada pada halaman muka Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Jawaban atas pertanyaan ini ditunjukkan oleh nomor 4. 5. Apa yang tersedia di situs ini? Pertanyaan ini merujuk pada informasi yang disediakan pada situs web. Pertanyaan ini dapat dijawab pada nomor 5 mengenai koleksi digital yang disediakan. 6. Apa yang sedang terjadi di situs ini? 62
7.
8.
9.
Pertanyaan ini menjawab berita terkini Universitas Terbuka yang ditunjukkan pada nomor 6. Apakah mereka ingin pendapat saya tentang situs mereka? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak dapat ditemukan pada halaman muka Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Jawaban untuk pertanyaan ini dapat berupa polling pengguna terhadap situs web. Dapatkah saya berinteraksi dengan seseorang pada situs ini? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada nomor 8 yang berisi informasi kontak Pusat Layanan Pustaka. Apa alamat mereka? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada nomor 9 yang berisi alamat Pusat Layanan Pustaka.
Komponen Utama Arsitektur Informasi Terdapat empat komponen utama pada arsitektur informasi, yaitu sistem organisasi, sistem pelabelan, sistem navigasi dan sistem pencarian. Keempat komponen ini saling berkaitan dan saling mendukung performa komponen lainnya. Sistem Organisasi Sistem organisasi sebuah situs web terdiri dari skema organisasi dan struktur organisasi. Selain sistem organisasi dan skema organisasi, informasi dapat disusun berdasarkan sosial klasifikasi (social classification). Namun, informasi pada Perpustakaan Digital Universitas Terbuka tidak disusun berdasarkan klasifikasi sosial. Berikut adalah analisis peneliti terhadap skema organisasi dan struktur organisasi pada situs web Perpustkaan Digital Universitas Terbuka: a. Skema Organisasi Skema organisasi ialah cara informasi tersebut disampaikan dan dikelompokkan. Skema ini dibedakan menjadi dua bagian, eksak dan ambigu. Terdapat beberapa pembagian informasi yang digunakan dalam skema organisasi eksak, yaitu alfabetis, kronologis, dan geografis. Perpustakaan Digital Universitas Terbuka menggunakan dua dari tiga skema organisasi eksak tersebut, yaitu alfabetis pada direktori staf dan kronologis pada Berita UT dan prosiding seminar, sedangkan pembagian informasi
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI. secara geografis tidak ditemukan. Bagian kedua pada skema organisasi ialah pembagian organisasi informasi ambigu. Pembagian informasi ambigu yang paling banyak digunakan ialah berdasarkan topik, tugas, audiens, metafora, dan hybrid. Perpustakaan Digital Universitas Terbuka menggunakan satu diantara lima skema organisasi ambigu, yaitu pembagian berdasarkan topik. Sedangkan pembagian informasi berdasarkan tugas, audiens, metafora dan hybrid tidak ditemukan. b.
Struktur Organisasi Struktur organisasi informasi dapat membantu pengguna dalam menavigasi situs web. Namun, struktur informasi tersebut perlu desain taksonomi yang baik sehingga pengguna dapat dengan mudah memahami struktur informasi situs web. Terdapat dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancang taksonomi. Pertama, pengelompokan informasi berdasarkan sistem hierarki seharusnya saling eksklusif atau terpisah. Kedua, penting bagi sebuah situs web untuk memperhatikan kedalaman dan luas dari struktur organisasi informasinya.
Gambar 2 Kedalaman dan luas hierarki
Gambar 2 merupakan struktur taksonomi pada Perpustakaan Digital Universitas Terbuka dari halaman muka situs web hingga konten terdalam pada ruang baca virtual. Gambar tersebut merupakan ilustrasi dari kedalaman dan luas hierarki. Pengguna harus mengklik 3 hingga 4 tautan untuk mencapai konten terjauh dari ruang baca virtual. Tahapan yang pertama adalah:
Home Ruang Baca Virtual FISIP Perpustakaan (D-II) Manajemen Perpustakaan Konten. Informasi pada halaman Ruang Baca Virtual disajikan dalam struktur hierarki (lihat lampiran 5). Dengan penyajian seperti ini, pengguna dapat langsung meuju program studi tanpa harus mengklik fakultas dari jurusan tersebut sehingga untuk mencapai konten terdalam pengguna hanya perlu mengklik tiga tautan. Tahapan yang kedua adalah: Home Ruang Baca Virtual Perpustakaan (D-II) Manajemen Perpustakaan Konten. Pada tahapan ini, pengguna dapat mengabaikan tautan FISIP. Pengguna dapat langsung menuju tautan Perpustakaan (D-II). Dengan penyajian informasi seperti ini, pengguna dapat dengan mudah memahami tingkatan hierarkinya. Dalam menentukan kedalaman dan luasnya hierarki pada struktur informasi, Arsitektur informasi perlu mempertimbangkan perilaku pencarian informasi pengguna. Jika hierarki terlalu sempit dan mendalam, pengguna harus mengklik banyak sekali tahapan untuk menemukan apa yang mereka cari. Namun, jika hierarki terlalu luas dan dangkal, pengguna dihadapkan dengan terlalu banyak pilihan karena struktur yang dangkal. Sistem Pelabelan Pelabelan dapat dikelompokkan menjadi dua format, yaitu tekstual dan ikonis. Pelabelan yang terdapat pada halaman muka situ web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka termasuk pada format textual. Selain dikelompokkan berdasarkan formatnya, pelabelan dapat dibedakan berdasarkan empat kategori, yaitu: Contextual links menautkan potongan informasi yang ada pada sebuah teks. Potongan informasi tersebut dapat berada di halaman yang sama atau berada pada halaman lain pada situs web. Pada halaman muka Perpustakaan Digital Universitas Terbuka tidak ditemukan pelabelan kategori 63
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka contextual links saja, melainkan juga sebagai headings. Hampir pada seluruh label dengan kategori ini juga termasuk pada kategori headings. Label yang termasuk pada kategori heading dan contextual links pada halaman muka Perpustakaan Digital Universitas Terbuka adalah label eBook, eJournal dan label Publikasi Universitas Terbuka (lihat lampiran 1). Pada halaman lain dari perpustakaan digital ini juga ditemukan label dengan kategori contextual links dan juga termasuk dalam kategori headings, yaitu pada halaman Layanan Perpustakaan dengan label layanan literatur, layanan multimedia, layanan sirkulasi dan layanan tercetak. Headings, penggunaan label dengan format ini membantu pengguna membedakan bab dari bagian (section), mereka juga membantu pengguna menentukan subsite sebuah situs, atau membedakan kategori dari sub-kategori. Pelabelan dengan format ini ditemukan pada halaman muka Perpustakaan Digital Universitas Terbuka dan di beberapa halaman lain pada situs web tersebut. penggunaan label dengan format ini dapat dilihat pada halaman muka situs web dengan label Koleksi Digital dan Berita UT. Sedangkan label e-Book, eJournal dan Publikasi Universitas Terbuka merupakan label dengan kategori headings sekaligus termasuk pada kategori contextual links. Navigation system choices merupakan label yang mempresentasikan pilihan-pilihan utama pada sistem navigasi. Label yang termasuk pada kategori ini adalah Home, Ruang Baca Virtual, Katalog, Open Courseware, Internet TV-UT, Publikasi UT, Referensi, Galeri Foto dan www.ut.ac.id. Index, terms, kata kunci dan tajuk subjek yang merepresentasikan konten untuk keperluan browsing dan searching. Pada Perpustakaan Digital Unoversitas Terbuka, tidak ditemukan pelabelan dengan kategori index terms, baik index terms yang terlihat maupun yang tersembunyi sebagai metadata.
Sistem Navigasi Glen Doss (2002) berpendapat bahwa navigasi situs web yang efektif merupakan aspek yang mungkin paling penting untuk memastikan kegunaan (usability). Sistem navigasi yang konsisten dan informatif membantu pengguna agar mereka dapat mengidentifikasi lokasi mereka dalam situs tersebut, lokasi konten yang mereka butuhkan dan cara untuk mendapatkan konten tersebut. pada situs, terdapat tautan yang menunjukkan tahapan yang dimulai dari home menuju halaman tersebut (breadcrumbs). Breadcrumb membantu pengguna untuk backtrack tanpa harus tergantung pada tombol “kembali” pada browser. Sistem navigasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu: Sistem navigasi tertanam Sistem navigasu tertanam terdiri dari tiga jenis sistem, yaitu sistem navigasi global, lokal dan kontekstual. Ketiga sistem ini banyak sekali ditemukan pad situs-situs web. Masing-masing sistem dapat memecahkan masalah dalam bernavigasi dan juga memiliki kesulitan tersendiri. Gambar berikut merupakan pemetaan terhadap sistem navigasi tertanam pada halaman muka Perpustakaan Digital Universitas Terbuka.
Gambar 3 Pemetaan sistem navigasi tertanam
64
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI. Sistem Navigasi Tambahan Pada Perpustakaan Digital Universitas Terbuka tidak ditemukan adanya sistem navigasi tambahan, baik berupa sitemap, indeks maupun guide. Setiap jenis navigasi tambahan dibuat untuk tujuan yang unik dan dirancang agar sesuai dengan kerangka yang lebih luas dari sistem pencarian dan browsing. Sitemap merupakan pemetaan dari keseluruhan isi sebuah situs web. Indeks adalah daftar istilah penting yang tersusun menurut abjad. Istilah-istilah ini menjadi tautan menuju konten informasi sehingga pengguna dapat menuju halaman yang berisi konten yang dibutuhkan dengan lebih cepat. Sistem navigasi guide merupakan sarana navigasi yang berupa pedoman atau tahapantahapan. Sitemap merupakan alat bantu yang berguna bagi pengguna untuk dapat melihat isi keseluruhan situs. Layaknya peta pada umumnya, sitemap dapat membantu pengguna mengetahui lokasi mereka dan melihat lokasi yang memiliki hubungan dengan tempat lain dalam situs tersebut. Glen Doss (2002) dan Nielsen (2008) juga mengungkapkan bahwa sitemaps merupakan sistem navigasi tambahan yang penting dalam suatu situs web. Navigasi Stress Test Berikut adalah langkah-langkah dasar seperti diuraikan oleh Keith Instone: 1. Abaikan home page dan langsung melompat ke tengah tengah situs. 2. Cetak halaman tersebut dalam warna hitam dan putih, tanpa URL yang tercantum di header/footer. 3. Berpura-puralah bahwa Anda memasuki situs ini untuk pertama kalinya pada halaman ini dan coba jawab pertanyaan di bawah ini 4. Tandai kertas tersebut dengan jawaban yang menurut Anda adalah jawaban dari pertanyaan yang diberikan. Langkah-langkah tersebut disesuaikan dengan tujuan dan metode penelitian. Peneliti
memberikan instruksi kepada responden yang dipilih secara acak dan belum pernah mengunjungi situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Kemudian peneliti mengamati/mengobservasi jawaban responden terhadap pertanyaan dan instruksi yang diberikan. Berikut adalah langkah-langkah yang dilalui peneliti: 1. Peneliti mengabaikan home page dan langsung melompat ke tengah tengah situs. Halaman yang digunakan ada pada lampiran 2. 2. Peneliti mencetak halaman tersebut dalam warna hitam dan putih, tanpa URL yang tercantum di header/footer. 3. Peneliti memilih 3 responden yang belum pernah mengunjungi situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka secara acak. 4. Peneliti memberikan hasil cetak halaman tersebut kepada partisipan kemudian memberikan pertanyaan. 5. Peneliti mengobservasi sikap responden terhadap pertanyaan dari jawaban yang mereka berikan. Peneliti mencatat jawaban dan memperhatikan apakah pengguna kesulitan dalam menentukan jawaban. Berikut merupakan analisa peneliti terhadap jawaban dan sikap yang ditunjukkan oleh pengguna ketika melakukan navigation stress test: 1. Menurut Anda halaman ini berisi tentang? Responden pertama menjawab “Perpustakaan (D-II)" k”mudian setlah pertanyaan selanjutnya diberikan, responden menggati jawabnnya dengan “PUST2229 – Manajemen Perpustakaan”. Responden ke dua menjawab “Perpustakaan (D-II)” kemudian merasa ragu dan menggantinya dengan “PUST2229 – Manajemen Perpustakaan”. Sedangkan responden ke tiga menjawab “Ruang Baca Virtual” kemudian ragu dan menggantinya dengan “PUST2229 – Manajemen Perpustakaan”. Ketiga responden tmengalami kesulitan dalam menentukan judul halaman yang merupakan representasi dari isi halaman tersebut. dua dari tiga responden pada
65
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka awalnya menjawab judul halaman dengan “Perpustakaan (D-II)”. Hal ini terjadi karena letak “Perpustakaan (D-II)” berada pada bagian atas halaman. Responden mengira inilah judul halaman tersebut. namun, setelah memperhatikan lebih seksama, responden mengganti jawabannya dengan “PUST2229 – Manajemen Perpustakaan” karena kata ini ditampilkan dengan ukuran yang lebih besar. Letak judul juga mempengaruhi responden. Judul, biasanya berada di atas teks, oleh karena itu responden menjadi ragu dengan jawabannya sendiri.
3.
Sebaiknya “Perpustakaan (D-II)” yang terletak di paling atas halaman tidak diberi bold dan dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari ukuran judul halaman. Atau sebaiknya “Perpustakaan (D-II)” tidak perlu ditampilkan, karena pada breadcrumb dan sistem navigasi lokal pada halaman ini sudah tersedia informasi mengenai struktur hierarki halaman ini. Peneliti menyarankan agar ukuran judul jauh lebih besar dari tulisan isi. Berikut adalah gambar yang menjadi saran peneliti mengenai judul halaman:
5.
4.
6.
7.
Gambar 4 Saran penggunaan judul halaman
2.
66
Menurut Anda situs apakah ini? Ketiga responden dapat menjawab pertanyaan ini dengan benar dan tanpa kesulitan. Hampir sebagian besar situs web yang ada meletakkan logo situs pada bagian atas sebelah kiri. Dengan meletakkan logo pada lokasi yang umumnya sudah diketahui kebanyakan orang akan memudahkan pengguna dalam menentukan nama situs tersebut.
Menurut Anda apa sajakah major section (bagian-bagian utama) dari situs tersebut? Ketiga responden dapat dengan mudah menentukan major section pada situs ini. Responden menjawab major section dengan benar karena letaknya berada pada bagian atas sebagai pilihan-pilihan utama yang dapat dipilih oleh responden. Apakah halaman ini merupakan major section tersebut? Ketiga responden dapat menjawab dengan benar. Ketiga responden menjawab bahwa halaman ini mengenai merupakan salah satu bagian dari major section namun bukanlah major section tersebut. Silahkan Anda tunjukkan halaman yang berada pada 1 level diatas halaman ini? Ketiga responden dapat menjawab dengan benar. Responden mengacu pada breadcrumb situs ini. Responden melakukan analisis berdasarkan breadcrumb tersebut mengenai lokasi mereka di dalam situs. Bagaimana cara Anda mengakses home page (halaman muka/halaman utama) dari situs ini? Ketiga responden dapat menjawab dengan pertanyaan ini. Responden dapat dengan mudah menentukan cara kembali ke home dengan mengklik tautan home. Pada umumnya, tautan home berada pada bagian kiri atas situs web, hal ini juga mempermudah responden menentukan tautan ini. Menurut Anda, halaman ini merupakan bagian dari major section apa? Bagaimana Anda mengakses major section tersebut? Responden pertama menjawab pertanyaan ini dengan benar yaitu “Ruang Baca Virtual” namun dalam waktu yang lebih lama dibandingkan responden dua dan tiga. Responden kedua menjawab dengan salah yaitu “FISIP”. Responden ketiga juga menjawab “FISIP”. Responden tidak yakin dengan jawaban yang diberikan. Responden pertama menjawab dengan benar karena melihat navigasi lokal pada bagian kiri situs dengan label “Ruang Baca Virtual” dan menyocokkan dengan jawaban sebelumnya mengenai major section pada situs tersebut yang berada
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI.
8.
pada bagian atas situs. Pada awalnya responden ke dua dan tiga menjawab “Ruang Baca Virtual” namun ketika melihat pada breadcrumb tidak ada tahapan ruang baca virtual, kedua responden akhirnya menjawab “FISIP”. Hal ini terjadi karena kesalahan pada breadcrumb. Tahapan yang benar adalah Home> Ruang Baca Virtual> FISIP> Perpustakaan (D-II)> PUST2229 – Manajemen Perpustakaan. Namun, yang tampak pada breadcrumb situs web adalah Home> FISIP> Perpustakaan (D-II)> PUST2229 – Manajemen Perpustakaan. Sehingga responden beranggapan bahwa major section dari halaman ini adalah FISIP. Breadcrumb seharusnya ditampilkan dengan tahapan yang sebenarnya agar pengguna tidak mengalami kebingungan. Menurut Anda mewakili apa sajakah tiap tautan yang ada? a. D: Lebih detail, tautan yang berada pada satu level di bawah halaman ini. b. N: Halaman terdekat (masih dalam section (bagian) yang sama dengan halaman ini) c. S: Halaman pada situs yang sama, tetapi tidak dekat dan tidak pada satu section. d. O: Off Site pages (tautan menuju halaman lain yang keluar dari konteks halaman ini) Ketiga responden menjawab “tidak ada” pada pertanyaan nomor 8.a dan 8.b. ketiga responden dapat menunjukkan jawaban nomor 8.c dan 8.d. Responden dapat menjawab dengan memperhatikan struktur hierarkis dalam lokal navigasi pada bagian kanan situs dengan label “Ruang Baca Virtual”. Pada bagian bawah halaman, dapat diberi opsi “maju” dan “mundur” agar pengguna dapat bernavigasi secara horizontal dan menemukan halaman yang setara dan terkait dengan halaman ini.
9.
Bagaimana cara Anda bisa mencapai halaman ini dari home page? Ketiga responden menjawab Home> FISIP> Perpustakaan (D-II)> PUST2229 – Manajemen Perpustakaan. Tanda panah pada breadcrumb membantu responden untuk menentukan urutan dan tahapan menuju halaman ini. Namun, ketiga responden menjawab dengan jawaban yang salah. Tahapan yang seharusnya adalah Home> Ruang Baca Virtual> FISIP> Perpustakaan (D-II)> PUST2229 – Manajemen Perpustakaan. Apabila pengguna kembali pada home dan kemudian mencari “FISIP” responden tidak menemukan tautan tersebut sehingga responden akan kehilangan satu tahapan yang artinya pengguna tidak dapat sampai pada halaman tersebut. Saran: breadcrumb seharusnya ditampilkan dengan tahapan yang sebenarnya agar pengguna tidak mengalami kebingungan ketika bernavigasi dan mengetahui posisi/lokasi mereka dalam situs.
Sistem Pencarian Sistem pencarian memiliki dua komponen. Komponen pertama adalah “isi” dari mesin pencari itu sendiri (sistem). Komponen kedua adalah antar muka dari mesin pencari tersebut. yang dimaksud dengan isi mesin pencari adalah zona pencarian dan query builders. a. Zona Pencarian Mesin pencari pada situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka dikelompokkan berdasarkan: 1. Kategori 2. Kontak 3. Artikel 4. Pengumpan berita, dan 5. Tautan web Pembagian zona pencarian tersebut memungkinkan pengguna untuk dapat memilih satu atau lebih kategori agar mendapatkan informasi yang lebih spesifik.
67
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka Zona pencarian pada situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka merupakan pengaturan standar mesin pencarian. Peneliti menginstal open source Joomla! untuk mengetahui pengaturan standar sistem pencarian. Berdasarkan data yang ditemukan, peneliti berkesimpulan bahwa situs ini tidak dikonfigurasi sesuai dengan zona pencarian yang sesuai dengan konten informasi yang ada pada Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. Berikut merupakan tampilan standar dari open source Joomla!:
informasi yang ditampilkan dokumen yang ditampilkan.
dan
jumlah
Gambar 6 Antarmuka mesin pencari
Gambar 5 Tampilan pencarian lanjutan open source Joomla!
b. Query Builders Query bulders adalah alat/sarana yang dapat meningkatkan performa pencarian. Query builders dapat dilihat oleh pengguna namun sebagian pengguna tidak memahami keuntungan dari alat ini dan bagaimana menggunakannya. Query builders terdiri dari beberapa fungsi, yaitu spell-checkers, stemming tools, natural language processing tools, controlled vocabularies dan thesaurus. Sarana ini tidak ditemukan dalam mesin pencari pada situs web Perpustakaan Digital Universitas Terbuka. c. Antar Muka Mesin Pencari Dalam menampilkan hasil pencarian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu konten
68
Pada antarmuka mesin pencarian Perpustakaan Digital Universitas Terbuka, konten informasi yang ditampilkan pada hasil pencarian adalah judul dokumen, kategori pencarian, ringkasan teks yang memuat kata kunci dan tanggal pembuatan dokumen. Pada antarmuka mesin pencari Perpustkaan Digital Universitas Terbuka, jumlah dokumen yang ditampilkan adalah 20 dokumen. Namun, pengguna dapat menyesuaikan jumlah dokumen yang ditampilkan dengan pilihan pada kotak berlabel “tampilan”.
Kesimpulan
Berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa ketidaksesuaian pada beberapa komponen dalam prinsip dasar arsitektur informasi. Ketidaksesuaian tersebut paling banyak terjadi pada komponen sistem pelabelan dan pada sistem pencarian.
Wiwit Ratnasari S.Hum dan Arie Nugraha S.Hum., M.TI. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa Perpustakaan Digital Universitas Terbuka dalam pengembangannya belum memenuhi prinsipprinsip dalam komponen dasar arsitektur informasi, yaitu berdasarkan sistem organisasi, sistem pelabelan, sistem navigasi dan sistem pencarian. Dari segi sistem organisasi informasinya, situs ini menggunakan skema organisasi yang sesuai dengan konten informasi yang disajikan. Sedangkan struktur organisasi informasi pada situs ini disajikan dengan menyesuaikan kedalaman dan luas struktur hierarkinya sehingga pengguna tidak perlu mengklik tautan untuk dapat menuju konten terdalam. Berdasarkan data analisis, peneliti mengambil kesimpulan bahwa penggunaan label pada situs ini tidak konsisten. Selain itu, terdapat beberapa label yang tidak mewakili isi informasi dan tidak efektif. Lebih lanjut, peneliti menemukan bahwa tidak adanya informasi singkat mengenai konten pada label open courseware yang merupakan salah satu layanan yang ada pada situs ini sehingga berpotensi sulit dipahami maknanya oleh pengguna. Dari segi sistem navigasi, dengan adanya breadcrumb memudahkan pengguna dalam bernavigasi. Sistem navigasi tertanam pada situs ini, khususnya pada sistem navigasi global ditampilkan secara tidak konsisten. Peneliti menyimpulkan bahwa mesin pencari pada situs ini tidak dikonfigurasi lebih lanjut untuk mengoptimalisasi hasil pencarian. Selain itu, hasil yang ditampilkan pada Tesis (TAPM), Karya Dosen UT, Disertasi, Penelitian, Prosiding Seminar menampilkan hasil terlalu banyak. Berdasarkan analisis peneliti dengan menginstal open source Joomla! yang juga merupakan open source yang digunakan pada situs web ini, peneliti berkesimpulan bahwa situs ini tidak dikonfigurasi sesuai dengan kebutuhan pengguna.
Daftar Acuan Arms, W. Y., Blanchi, C., Overly, E.A. (1997). An Architecture for Information in Digital
Libraries. Retrieved Mei 19, 2013, from http://www.dlib.org/dlib/february97/cnri/02 arms1.html#info-arch Association of Research Libraries (1995). Definition and Purposes of a Digital Library. Retrieved February 10, 2013, from http://archive.ifla.org/documents/libraries/n et/arl-dlib.txt Barker, Ian (2005). What is Information Architecture?. Retrieved Mei 19, 2013, from http://www.steptwo.com.au/papers/kmc_wh atisinfoarch Chowdhury, G.G. & Chowdhury, S. (2003). Introduction to Digital Libraries. London: Facet Publishing. Chowdhury, G.G. & Chowdhury, S. (2007). Organizing Information: from the shelf to the web. London: Facet Publishing. Doss, Glen (2002). Designing Effective Web Navigation. Retrieved Mei 19, 2013, from http://www.fatpurple.com/2010/02/26/desig ning-effective-web-navigation/ Doss, Glen (2002). Web Information Architecture Deliverables and Diagrams. Retrieved Mei 19, 2013, from http://www.fatpurple.com/2010/03/01/webinformation-architecture-deliverables-anddiagrams/ Gloud, John D. & Lewis, Clayton (1985). Designing for Usability: Key Principles and What Designers Think. Communication of the ACM, 28(3), 300-311. Instone, Keith. Navigation Stress Test. Rertrieved March 2, 2013, from http://instone.org/navstress Morville, Peter (2001). In Defense of Search. Retrieved April 7, 2013, from http://semanticstudios.com/publications/se mantics/000004.php Morville, Peter (2011). The System Information Architecture. Journal Information Architecture, 3(2), 1-8.
of of
Nielsen, Jakob (2008). Site Map Usability. Retrieved Mei 19, 2013, from
69
Analisis Arsitektur Informasi Perpustakaan Digital Universitas Terbuka http://www.nngroup.com/articles/site-mapusability/ Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring. Retrieved April 15, 2013, from http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.p hp Resmini, A. & Rosati L. (2011). A Bried History of Information Architecture. Journal of Information Architecture, 3(2), 33-46. Rosenfeld, L & Morville, P. (2006). Information Architecture for the World Wide Web: Designing Large-Scale Web Sites (3rd ed.). Sebastopol, CA: O’Reilly. Sugono, Dendy (2007). Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing (2nd ed.). Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Supriyanto, Aji (2007). Arsitektur dan Teknik Desain Informasi pada Web. Jurnal Teknologi Informasi Dinamik, 12(1), 1-9.
70
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik
Yohanes Sumaryanto Laksmi Yasintus T. Runesi
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas IndonesiaDepok, 16424
Abstrak Paper ini dimaksudkan untuk melakukan investigasi terhadap perspektif multikultural yang dimiliki perpustakaan umum dalam layanan publiknya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan focus group discussions dalam memeroleh data. Pesertanya terdiri dari para pustakawan BPAD di bagian Layanan dan Pengadaan. Data kemudian dianalisis berdasarkan kerangka konseptual yang dipakai.Studi ini menemukan pentingnya peran perpustakaan melalui layanan, program dan para pustakawannya memerkenalkan layanan berspektif multikultural dan meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap isu multikultural melalui perluasan wawasan dan peningkatan pemahaman dalam rangka merajut kebersamaan dalam Negara yang multietnis dan multiagama seperti Indonesia. Penemuan ini diharapkan menjadi bahan masukkan bagi pemerintah maupun dunia pendidikan untuk lebih memerhatikan peran perpustakaan dalam meningkatkan pemahaman dan penerimaan multikulturalitas dalam masyarakat. Originalitas dari penelitian ini adalah karena berbicara tentang yang jarang dilakukan yakni refleksi pustakawan tentang pekerjaannya. Kata kunci: perspektif multikultural, perpustakaan umum, layanan publik, multiculturalism, public library, library services, DKI Jakarta
Abstract This paper is intended to investigate the public library multicultural perspective in its public services. It uses qualitative approach and depth interview as well as focus group discussion method to its data collection. The participants of the focus group discussion are the BPAD librarians working for the service and acquisition department. Data analysis is based on the conceptual framework used. The study identified the importance of libraries role through services, programs and their librarians to introduce services using multicultural perspectives and to sensitize the public on multicultural issues through the insight expansion and increased understanding in order to knit togetherness in a multiethnic and multireligious country like Indonesia. The result of the study is expected to be the material input to the government and education world to pay more attention to the role of libraries in improving the understanding and acceptance of multiculturalism within the society. The Originality of this study is due to its specialities on librarian work reflection. Keywords: multicultural perspective, pubic library, public service, multiculturalism, DKI Jakarta
71
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik Pendahuluan Relasi multikultural adalah satu kondisi manusiawi (la conditione humain) dan kondisi yang harus ada (conditione sine qua non) dalam suatu negara yang multietnis dan multiagama seperti Indonesia. Kondisi ini secara sosial menjadi potensi dalam upaya merajut kebersamaan yang semakin Indonesia. Salah satu sarana merajut perilaku multikulturalistik adalah melalui perpustakaan sebagai sumber pengetahuan. Perpustakaan umum sebagai suatu medan kerja dan pertemuan beragam masyarakat berbeda kultur memiliki kompleksitasnya sendiri. Hal ini berangkat dari fakta bahwa perpustakaan umum mengarahkan layanan terhadap segala lapisan masyarakat. Alasan inilah yang mendorong kami mengadakan penelitian mengenai perspektif multikultural di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta. Perpustakaan adalah tempat seseorang dapat memeroleh pengetahuan. Karena itu, dalam perspektif tertentu BPAD DKI Jakarta juga adalah wilayah sosial yang bersentuhan langsung dengan masalah keragaman budaya masyarakat. Tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan sebagai satu sistem informasi yang berada di bawah kendali suatu struktur politik yang lebih besar dalam suatu mayoritas tidak menjadi sarana penyadaran sikap multikultur, sebaliknya menjadi suatu tempat penanaman ideologi golongan tertentu saja. Tinjauan Literatur Konsep Multikulturalisme Manusia adalah makhluk budaya di mana ruang kebudayaan merupakan rumahnya untuk mengembangkan kemanusiaannya (Parekh: 2012). Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa kebudayaan merajut dan memberi struktur dunia, memberi sistem nilai yang berharga untuk hidup dan memberi apa yang bermakna bagi pilihanpilihan hidup dan atas hidup itu sendiri. Selain itu, kebudayaan memberikan kepada setiap orang rasa dan kesadaran identitas yang memberinya 72
nilai dengan sesama, perekat hidup bersama serta menuntun setiap orang menuju hidup yang baik, sejahtera, damai dan manusiawi. Maka, Parekh mengungkapkan bahwa multikulturalisme tidak boleh dibatasi hanya sebagai sebuah konsepsi kaku yang menuntut suatu kelompok untuk menyangkal suatu hal demi diakui sebagai pihak multikulturalis. Di sini, multikulturalisme dipandang sebagai suatu konstruksi sosial bersama yang memberi tempat bagi keragaman ketimbang keseragaman, heterogenitas ketimbang homogenitas. Sehingga ia mengusulkan sebuah bentuk multikulturalisme yang dibangun secara kreatif dan interaktif. Integrasi sosial berhubungan dengan situasi interaktif yang dibangun dan berlangsung di antara individu dengan individu, kelompok, negara. Sedangkan regulasi moral menunjuk pada tataan-tataan normatif yang menentukan bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam relasi sosialnya ketika berhadapan dengan beragam kenyataan sosial kultural. Parekh dan Taylor misalnya mengapropriasi multikulturalisme dalam bentuknya sebagai interaktif pluralisme. Interaktif pluralisme memberi tempat yang lebih utama pada pengakuan timbal-balik dan respek atas setiap perbedaan yang ada. Interaktif pluralisme memberi peluang bagi setiap kelompok untuk saling memasuki karena tidak ada batas-batas antara kelompok. Multikulturalisme Indonesia Di Indonesia, keragaman kultural maupun agama disatukan oleh moto Bhineka Tunggal Ika. Gambaran sebagai negara multikultur secara politik dikonstruksi dengan bangunan Taman Mini Indonesia Indah. Berbedabeda namun tetap satu jua. Multikultur di Indonesia berkaitan dengan budaya antaretnis dan antaragama, sehingga keragaman Indonesia lahir
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi dari rahim Indonesia. Maka multikulturalisme di Indonesia selalu berhubungan dengan kategorikategori dalam teori politik seperti minoritas, masyarakat adat maupun rakyat. John Bowen mengungkapkan bahwa dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai multikulturalisme akan mengarahkan kita kepada tiga bentuk klaim mengenai pluralisme normatif. Yang pertama adalah klaim bahwa suatu kelompok sosialnya sudah ada lebih dahulu sebagai satu komunitas politis yang mampu mengurus diri sendiri sebelum terbentuknya negara ini. Karena itu, sudah seharusnya komunitas itu dilanjutkan atau dihidupkan kembali. Klaim ini kita lihat pada kasus Aceh dan beberapa daerah lainnya. Yang kedua, menyangkut ide yang menyatakan bahwa norma-norma sosial dari masyarakat lokal sudah terintegrasi ke dalam komunitas dan dengan demikian menyediakan legitimasi bagi pemerintahan sendiri di dalam masyarakat bersangkutan. Yang ketiga, norma-norma Islam menyangkut keluarga – perkawinan, perceraiaan dan warisan – merupakan aturanaturan yang sah tak terganggugugat karena diisi oleh status ilahi. Mengundangkan norma-norma tersebut menjadi hukum positif dapat berarti legitimasi norma-norma tersebut semakin diperkuat dengan hukum positif. Di sini, prinsip hukum Islam menyatakan bahwa norma adat dapat dimasukkan ke dalam hukum Islam, sebab keduanya dapat dipertemukan. Multikulturalisme dalam Perpustakaan Malone dalam tulisannya yang berjudul “Toward a Multicultural American Public Library History” mengungkapkan bahwa selama ini perpustakaan umum ditafsirkan sebagai lembaga yang mengedepankan ideologi budaya dominan. Ia mengusulkan pendekatan baru yakni melihat masyarakat (Amerika) yang multikultural dan
dalam lingkungan masyarakat tersebut perpustakaan bertumbuhkembang. Dengan cara pandang seperti ini kita dapat melihat perpustakaan sebagai lembaga yang sifatnya lebih inklusif. Malone berpendapat bahwa perpustakaan di Amerika Serikat tidak lain dari produk dan sekaligus sarana promosi dari tradisi dan nilainilai kelas menengah. Hal ini muncul sebagai akibat dari sejarah kelembagaan perpustakaan yang hanya menguraikan setengah dari kenyataan yakni penyebarluasan informasi. Sedangkan bagaimana informasi tersebut diterima masyarakat tidak dikemukakan. Fokus sejarah perpustakaan adalah pada tokoh seperti dosen sekolah perpustakaan, pustakawan praktisi dan manajemen perpustakaan. Dengan demikian menurut Malone jelas sekali terlihat bahwa sejarah perpustakaan dimaksudkan untuk melayani profesi perpustakaan dan mungkin ideologi dominannya. Satu kontribusi yang signifikan dari tulisan tentang sejarah perpustakaan adalah pengembangan pendekatan multikultural dalam memahami lembaga perpustakaan dan agen akses informasi dalam operasionalnya di masa lampau. Dari toleransi ke apresiasi “Multiculturalism in Libraries” ditulis oleh Rosemary dan kawan-kawan dalam rangka menanggapi kebutuhan mendesak akan informasi yang berkaitan dengan perbedaan budaya dalam lingkup perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan umum. Mereka menyarankan perpustakaan untuk bergerak dari toleransi perbedaan ke apresiasi proaktif. Dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multikulturalisme, Rosemary dan kawan-kawan menyitir statistik yang merefleksikan perubahan demografi Amerika Serikat.
73
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik Rosemary berpendapat bahwa usaha analisis mendasarkan pada perbedaan pertama-tama telah dipandang sebagai prinsip yang terpisah, khusus, atau opsional sebagaimana diperlawankan dengan prinsip esensial dari misi dan tujuan perpustakaan. Pada tingkat perbedaan holistic, menurut Rosemary analisis perpustakaan seharusnya tidak mendasarkan pada perbedaan melainkan pada keadaan dan perubahan yang terjadi saat ini. Hal ini mungkin menuntut perlunya reorganisasi sumberdaya, staf, jasa, struktur, pengetahuan dan skill. Dalam lingkup yang lebih global pentingnya perspektif dan penerimaan atas multikulturalitas budaya sangat didorong oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang melihat bahwa perpustakaan umum merupakan tempat yang tepat bagi berkumpulnya seluruh bangsa di dunia, sebagai tempat tumbuhnya kesederajatan di antara mereka, dan tumbuhnya demokrasi. Pada tahun 1972, yang kemudian direvisi tahun 1994, lembaga tersebut mengeluarkan manifesto yang menyatakan bahwa perpustakaan umum sebagai kekuatan yang nyata bagi pendidikan, kebudayaan, informasi, dan sebagai agen penting untuk membina perdamaian dan kesejahteraan spiritual melalui pemikiran umat manusia. Tepatnya, manifesto tersebut menjelaskan bahwa perpustakaan umum berfungsi memberikan layanan kepada masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama, adat-istiadat, umur, jenis kelamin dan sebagainya. Sayangnya, di Indonesia, manifesto tersebut belum sepenuhnya dirasakan di perpustakaan umum. Pada umumnya, pustakawan dan pemustaka belum memahami pentingnya perspektif multikultural dalam dunia perpustakaan umum. Menurut Sumaryanto dan Laksmi (2012), antara pustakawan dan kurator di lembaga museum yang sewajarnya bersinergi untuk meningkatkan layanan kepada publik 74
j u g a tidak terjadi. Tiadanya pemahaman mengenai pentingnya perspektif multikultural dalam layanan di perpustakaan umum, meskipun mungkin dalam praktiknya sudah dilaksanakan secara tidak sadar, akan menghambat terciptanya masyarakat multikultural yang bersedia menerima setiap perbedaan kultural maupun agama, sekaligus menghambat perkembangan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Agency Untuk mendukung penelitian ini, kami dibimbing oleh paradigma yang kami dasarkan pada teori strukturasi sebagaimana dikonsepkan oleh Giddens dan pluralisme normatif sebagaimana diulas oleh John Bowen. Giddens menunjukkan bahwa dalam suatu struktur, agensi yang terlibat di dalamnya dapat mengubah struktur dengan berani menghadapi risiko. Dengan mengangkat agensi yang mengubah struktur, Giddens ingin memerlihatkan bahwa antara manusia yang berada dalam suatu struktur sosial dan masyarakat terdapat proses yang saling menopang. Selain teori strukturasi Giddens, kami juga mengambil pandangan John Bowen mengenai pluralisme normatif di Indonesia (Kymlicka & He, 2005) dan pandangan Andre Vltchek (2014) mengenai Indonesia sebagai sebuah Nusantara yang selalu diliputi ketakutan sebagai titik berangkat sekaligus pembanding bagi penelitian ini. Bowen dan Vltchek menunjukkan bahwa konstruksi sosial masyarakat cenderung mengarah kepada menguatnya kolektivisme kelompok sejak era reformasi terutama melalui penerapan otonomi daerah. Paradigma tersebut dipakai mengingat pada umumnya konsep multikulturalisme dikaitkan dengan kenyataan pluralisme kebudayaan; agama dan identitas etnik dalam sistem politik demokrasi yang memberi ruang yang terbuka bagi ekspresi toleransi untuk tumbuh dan berbeda secara adil dan damai.
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi
Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana perpustakaan sebagai salah satu sarana merajut perilaku multikulturalistik sebagai sumber pengetahuan, tetapi dapat terjadi bahwa perpustakaan sebagai satu sistem informasi yang berada di bawah kendali suatu struktur politik yang lebih besar dalam suatu mayoritas tidak menjadi sarana penyadaran sikap multikultur, sebaliknya menjadi suatu tempat penanaman ideologi golongan tertentu saja. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan investigasi terhadap perspektif multikultural yang dimiliki perpustakaan umum dalam layanan publiknya. Alasan inilah yang mendorong kami mengadakan penelitian mengenai perspektif multikultural di perpustakaan Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta. Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode FGD atau focus group discussion. Metode pengumpulan data mirip dengan metode wawancara mendalam, yang diperoleh dari beberapa orang sekaligus. Metode tersebut memungkinkan peneliti mengetahui tingkat pemahaman, pola pikir, dan reaksi peserta ketika mendiskusikan masalah dan praktik multikulturalistis di perpustakaan mereka. Dengan kata lain, metode FGD adalah teknik mengumplkan data untuk menemukan perspektif multikultural di perpustakaan umum tempat mereka bekerja dan bagi pemustaka sebagai tempat mereka mencari informasi. Diskusi pertama-tama diarahkan pada bagaimana mereka mengindentifikasi isu-isu multikultural dalam praktik layanan dan pengadaan di perpustakaan. Lalu dilanjutkan dengan mendengarkan pengalaman setiap peserta dalam
berhadapan dengan praktik layanan perpustakaan dikaitkan dengan isu multikultural dan bagaimana mereka bereaksi terhadap masalah tersebut. Para informan dari bagian layanan diseleksi dari pustakawan perpustakaan BPAD-DKI Jakarta yang ada di Kuningan. Sedangkan dari bagian pengadaan, diseleksi dari pustakawan di kantor Pusat BPAD Pulomas. Peserta ditentukan dengan metode purposive sampling, dengan kriteria staf yang sudah bekerja selama 3 tahun atau lebih yang bekerja di bagian pengadaan dan pelayanan. Data yang diperoleh dianalisis dengan mengaitkan, mengelompokkan, membandingkan, dan memahami data dan informasi secara terintegrasi yang diperoleh dari hasil diskusi para peserta. Temuan Tiga tema yang dipilih untuk dianalisis adalah pemahaman para informan mengenai konsep multikultural dan bagaimana mereka melihat itu dalam hubungannya dengan pekerjaan mereka serta pandangan mereka tentang fakta-fakta yang menunjukkan bahwa sering masih terjadi konflik disebabkan karena perbedaan budaya maupun agama. Yang kedua adalah tema mengenai agency sebagaimana dikonsepkan oleh teoritikus sosial Anthony Giddens, lalu peran perpustakaan dalam konteks multikulturalisme. Ketiga tema ini diangkat karena berkaitan dengan tujuan penelitian yakni mengkaji perspektif multikultural di lingkungan perpustakaan dalam hal ini di wilayah DKI Jakarta. Pemahaman tentang Konsep Multikultural Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Robert W. Hefner et al. (2001) menunjukkan bahwa secara umum masyarakat kita menyadari adanya beragam kelompok sosial masyarakat dengan tradisi dan kultur yang berbeda; bahwa perbedaan kultural selalu ada dalam interaksi masyarakat. Dalam konteks sekarang ini, tidak 75
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik ada interaksi sosial yang tidak bersentuhan dengan perbedaan kultural. Seorang yang berasal dari Jawa misalnya, sudah pasti dalam kehidupannya pernah terlibat berhubungan dengan seseorang yang berasal dari daerah lain dalam suatu peristiwa yang dialami bersama, bahkan berinteraksi dengan orang dari negara lain. Hal yang sama ditemui dalam penelitian ini. Para pustakawan adalah orang yang dalam kerja mereka selalu berhadapan dengan klien yang datang dari berbagai latar belakang sosial dan kultur yang berbeda. Sebagai orang yang berstatus pegawai negeri sipil, mereka umumnya menyadari adanya perbedaan kultural dalam konteks bernegara. Hanya ketika ditanyakan mengenai konsep multikultural dan bagaimana mereka melihat keragaman ini, para informan yang ada tidak dapat memberi jawaban. Namun ketika ditanya tentang bagaimana keragaman itu mereka lihat dalam layanan publik di perpustakaan, mereka menjawab dengan lancar. “Layanan publik adalah layanan yang semaksimal mungkin, seoptimal mungkin, semudah mungkin,” demikian ungkap Sari. Bahkan ia menjelaskan lebih lanjut bahwa proses menjadi anggota cukup lima menit saja. Para informan mengungkapkan bahwa mereka tidak memandang perbedaan kultural sebagai hal yang harus menghalangi dalam melayani para pemustaka perpustakaan. Ini terungkap dalam salah satu pembicaraan mengenai layanan publik. “Dari mulai tahun 2000 kita terbuka. PNS nya sudah mulai dari suku mana saja. itu sudah lewat. PNS nya sudah mulai banyak dari suku mana saja.” (Kadir) “Kalau menurut saya sih begini ya, sebenarnya kan kita sebagai warga
76
negara kan suku dan agama punya hak yang sama, kalau pun ada pendapat seperti itu lebih ke personnya, tapi secara aturan sih siapa pun berhak, tidak memandang agama atau suku” (Susi). “Kami melayani siapa saja, tanpa melihat siapa dia, apa warna kulitnya, rasnya, sukunya atau asalnya, orang asing atau orang Jawa kalau mereka menanyakan yang sulit dijawab kita nanya teman. Kita bisa tahu dari kepuasan mereka. Hanya kadang logat mereka beda dari kita. Kalau saya, kalau mereka datang dengan baik kita layani dengan baik. Kita tidak bertanya anda dari suku apa? Kita berusaha bersikap baik.” (Norma) Bagi mereka, melayani pemustaka mutlak dilakukan karena itulah tugas mereka. Tidak penting apakah pemustaka itu seseorang yang dari tampilannya menunjukkan bahwa dia tidak satu kultur maupun satu agama dengan diri mereka. Kalau ada yang memandang bahwa perbedaan kultur itu harus menentukan dalam sebuah kerja, menurut mereka hal itu lebih pada pandangan orang tertentu dan bukan berdasarkan aturan yang ada. Hal itu terungkap dalam salah satu wawancara dari bagian layanan. Di bagian pengadaan nampak bahwa konsep multikultural sudah ada di benak pimpinan atau agen namun konsep multikultural yang ada di benak mereka itu belum muncul dalam kebijakan tertulis apalagi sebagai praktik pengadaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa apa yang ada di benak mereka bertentangan dengan praktiknya di lapangan: “Kalau secara… secara apa namanya SK Gubernurnya saya belum baca ya Pak, tetapi selama saya menjadi Kepala Bidang Pengembangan Koleksi, saya belum temukan, cuman setiap tahunnya kita buatkan seperti kebijakan itu ya Pak, misalnya kita dapat masukan dari beberapa pihak, pokok kita pernah
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi buat semacam kuesioner begitu, kira-kira apa yang diminati, kemudian yang paling utama itu kita dapat masukan dari pelayanan. Kira-kira sih… subjek apa sih yang diminati oleh pengunjung perpustakaan, kemudian kita melihat tren di masyarakat… masyarakat itu seperti apa. Kita buat setahun-setahun.” (Kepala Bidang Pengembangan Koleksi BPAD DKI Jakarta) Memang, secara umum kita tidak mempunyai kultur yang dapat kita sebut sebagai Kultur Indonesia. Yang ada adalah kultur lokal, seperti kultur Bali, Aceh, Madura dan sebagainya (Vltchek, 2012: 202). Kultur yang berbeda-beda ini berada dalam satu wilayah Negara yang karena disatukan oleh sebuah imajinasi tentang kesatuan, yang disebut sebagai kesatuan nasional. Kesatuan yang diimajinasikan dan dijaga melalui doktrin Bhineka Tunggal Ika. Kebhinekaan ini nampaknya cukup disadari oleh PNS yang ditempatkan di lingkungan BPAD DKI Jakarta. Dari pengamatan yang kami lakukan, pemustaka tidak dibatasi hanya pada orang tertentu atau masyarakat dari kelompok tertentu saja. Bagi mereka menerima setiap orang yang datang dengan tujuan menggunakan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan merupakan layanan yang sifatnya multikultural ditampakkan melalui praktik layanan yang melampaui ekslusivitas target layanan misalnya penduduk DKI Jakarta. Menurut mereka, layanan tersebut tidak terbatas pada kelas menengah ke atas seperti pegawai negeri atau pegawai swasta, para mahasiswa dan pelajar, tetapi terbuka untuk siapa saja yang ingin memanfaatkan perpustakaan seperti sopir taksi, tukang ojek dan sebagainya. Bahkan ada anggota kehormatan. “Biasa kita menerima kunjungan dari sesama anggota BPAD, anggota dewan. Kita buatkan kartu. Tapi itu sebenarnya cuma cenderamata. Mereka juga belum tentu pinjam karena dari luar kota. Kita buatkan kartu tetapi tidak di database
keanggotaan Perpustakaan Umum Daerah (BPAD) DKI Jakarta. Selain memberikan layanan kepada pemustaka penduduk DKI juga kepada mereka yang bertempat tinggal di luar DKI termasuk orang asing. Mereka yang bertempat tinggal di luar DKI Jakarta juga diijinkan untuk membaca di tempat bahkan mendaftarkan diri sebagai anggota istimewa.” (Kadir) Menurut mereka, keanggotaan istimewa merupakan bentuk keterbukaan terhadap perbedaan. Hal ini diungkapkan oleh para informan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa dengan memberi keanggotaan istimewa kepada orang dari luar DKI Jakarta, hal itu akan mempromosikan perpustakaan DKI Jakarta. “Tidak hanya mempromosikan perpustakaan. Ternyata perpustakaan di Jakarta itu cukup layak untuk dikenali orang asing, mungkin tidak sekedar cenderamata. Untuk gambaran mereka. DKI ini punya. Bisa mengakomodir keinginan mereka. Supaya mereka tertarik.” (Susi) Secara umum, perpustakaan tempat penelitian berlangsung menyediakan sumber dan sarana informasi yang memadai sehingga mempermudah pemustaka serta memberi kenyamanan bagi pemustaka yang mau membaca. Ada beberapa komputer yang disediakan bagi pengguna internet di perpustakaan tersebut dengan jatah pemakaiannya 30 menit setiap pemakai. Selain itu, di lantai 7 ada beberapa kemudahan yang bisa diperoleh seorang pemustaka atau anggota perpustakaan antara lain: peminjaman dan pengembalian buku secara mandiri secara online, layanan wifi secara gratis bila membawa laptop, tempat baca yang nyaman, dan pengelompokan buku yang memudahkan pencarian secara merawak maupun secara online. Di lantai 7 disimpan koleksi buku yang dapat dipinjam dan dibawa pulang. Sedangkan pada lantai 8 dikhususkan sebagai tempat baca saja, di
77
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik mana buku rujukan dan terbitan disediakan untuk dibaca di tempat.
berkala
Dari hasil yang diperoleh di tempat penelitian, nampak bahwa kenyataan adanya keragaman budaya diakui dan diterima. Tapi, penerimaan tersebut di lingkungan BPAD semacam berada pada lapis fisik dan lapis sosial. Bahwa mereka menerima adanya perbedaan kultural maupun agama lebih disebabkan oleh konstruksi dari atas, dari negara bagi pegawainya. Penerimaan itu masih dalam tataran mengikuti aturan pelayanan perpustakaan. Secara normatif ada pengakuan atas keragaman kultur tetapi pengakuan normatif tersebut belum menjadi sebuah set of responses (rangkaian tanggapan) dalam masyarakat secara lebih luas. Artinya, penerimaan ini belum mengubah konstelasi lapis mental simbolik masyarakat yang bersifat kolektif. Singkatnya ada penerimaan atas kenyataan multikultural, tetapi fakta multikultural tersebut belum menjadi sebuah nilai normatif sebagai paham. Peran Agency di dalam memasyarakatkan multikulturalisme Dari hasil yang diperoleh selama penelitian ini, agency sebagai penggerak untuk memasyarakatkan kesadaran multikultural belum berada pada titik signifikan. Agency yang kami temukan lebih pada upaya mengefektifkan struktur kerja birokrasi, jadi nampaknya lebih untuk melayani struktur itu sendiri. Artinya, perubahan yang dilakukan dalam struktur itu lebih karena penentuan yang sudah ada menyangkut penempatan pegawai negeri sipil. Dan pada momen penempatan itu, agency dapat memengaruhi struktur dengan meminta penempatan orang-orang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam struktur bersangkutan. “Ya, saya meminta, jangan mengirimkan orang tua ke sini” begitu pengakuan Sari, Kepala Sub Bidang Layanan di BPAD. Kami selalu siap ditempatkan di mana saja” ungkap Norma, 78
seorang Pustakawan di bidang layanan. Informan Norma juga menceritakan bahwa pernah seorang Bapak berjenggot dan bercelana komprang menunjukkan sebuah buku kepadanya dan beliau meminta agar buku tersebut tidak dipamerkan atau ditempatkan di rak. Ini adalah suatu bentuk penyensoran yang ditanggapi pustakawan dengan tenang dan dengan menunjukan kepada orang tersebut slip peminjaman di buku tersebut yang masih kosong. Norma menegaskan bukti bahwa buku tersebut belum pernah dipinjam. Keadaan ini meredam niat untuk menyensor. Tindakan pustakawan seperti yang ditunjukan informan Norma ini sangat sederhana namun bisa dipahami sebagai salah satu dukungan terhadap keberagaman dalam pengertian tidak mendukung tindakan menutup akses terhadap informasi. “Ada orang mendatangi saya. Ia mengatakan Tolong buku ini jangan ditayangkan di rak ya Bu? Saya menjawab: Bapak tidak perlu kawatir kita lihat saja di halaman terakhir (slip peminjaman) masih kosong. Berarti tidak ada yang minjem. Kalau Bapak kurang puas bisa menulis di kotak saran. Orang itu menjawab: tidak usah Bu.” (Norma) Tindakan di atas sejalan dengan agency yang dikonsepkan oleh Giddens sebagai aktor yang berani melakukan tindakan dan menghadapi risiko. Sebagai contoh lainnya kita temukan dalam diri Jokowi ketika sebagai Gubernur DKI Jakarta secara tegas menolak mengikuti ‘pemberontakan’ masyarakat Lenteng Agung yang mayoritas Islam untuk menurunkan lurahnya karena tidak termasuk dalam golongan mayoritas Islam. Agency semacam itu belum nampak signifikan di lingkungan BPAD. Peran yang dilakukan oleh para pustakawan di lingkungan BPAD masih pada taraf self-preservation demi kebutuhan hidup secara pribadi. Bagaimana membantu para
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi pemustaka, melakukan pengadaan dan layanan paket informasi adalah kegiatan yang menjadi rutinitas mereka. Tetapi sebagai agency yang bertindak di luar kebiasaan dengan tujuan memasyarakatkan nilai multikulturalisme tidak nampak signifikansinya. Singkatnya, pada diri agency yang berada di lingkungan BPAD sudah tertanam kesadaran akan perbedaan kultur dan pentingnya sikap toleransi atas perbedaan tersebut, namun kesadaran itu belum bergerak melampuai yang ada, bergerak untuk secara proaktif mendukung dan mengapresiasi keragaman kultural secara sosial dan politik. Dari bidang pengadaan, para pustakawan sebagai agen pengembangan kesadaran multikultural belum menampakkan signifikansi yang memadai. Konsepsi multikultural sudah ada di benak pimpinan namun hal itu belum diwujudkan dalam aturan tertulis sebagai strategi pengadaan. Pengadaan atas buku-buku masih tergantung pada masukan pemustaka melalui bidang layanan kepustakaan. Selain, itu birokratisasi pengadaan membuat para pustakawan tergantung sepenuhnya pada sistem yang ada, ini berarti dimensi toleransi yang seharusnya terkandung dalam perspektif multikultur belum diterima sebagai “komponen objektif” (Rainer Forst dalam McKinnon & Castiglione, 2003: 72) yang menentukan di dalam ruang publik. Kalau pun ada toleransi, sikap itu masih lebih berupa sebuah ‘sikap mengizinkan’ yang diberikan oleh mayoritas kepada minoritas. Sikap yang oleh Forst disebut sebagai legal act, yakni penerimaan atas kehadiran kelompok minoritas sejauh kelompok minoritas itu diterima berdasarkan norma-norma yang diturunkan dari negara (Ibid., 73). Dengan demikian gambaran yang diperoleh adalah perspektif multikultural belum menjadi multikulturalisme yakni sebagai perangkat nilai normatif yang harus ada dan diterima karena ada
kesamaan hak-hak politik, yang seharusnya disosialisasikan melalui perpustakaan. Selanjutnya akan dilihat peran perpustakaan dalam konteks ini. Peran Perpustakaan dalam peningkatan kesadaran multikultural Pada level akademis dan pendidikan, multikultural sudah dibicarakan dan disuarakan dan malah dikonsepsikan dalam hubungan dengan politik. Bahkan Bhineka Tunggal Ika sebagai bahasa yang mengungkapkan perbedaanperbedaan yang tetap dapat disatukan terpampang pada lambang negara yakni burung garuda. Di perpustakaan kita dapat menemukan berbagai sumber yang berbicara mengenai keragaman budaya dan masalah-masalah yang menyertainya. Namun, kelihatannya Perpustakaan masih dipahami sekedar sebagai gudang penyimpanan informasi. Perpustakaan bagi para pelajar, mahasiswa dan peneliti adalah tempat mereka menemukan sumber referensi demi menunjang tujuan mereka. Sebaliknya, perpustakaan sebagai tempat berlangsungnya ‘komunikasi ide’ sebagaimana diungkapkan oleh Jesse Shera seorang pemikir perpustakaan, belum diperlihatkan secara signifikan. Sebagai perbandingan, dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Propinsi DKI Jakarta, khususnya SKPD BPAD TA 2013, terbaca beberapa program kerja perpustakaan dengan masyarakat umum sebagai sasaran. Program dengan sasaran semacam itu antara lain: pengembangan komunitas pemustaka dan anggota, bulletin BPAD propinsi, program wajib kunjung perpustakaan, taman baca masyarakat, festival abang dan none buku sebagai duta baca dan pengadaan bahan-bahan perpustakaan terbaru terutama media informasi berkala seperti koran, majalah, dan tabloid, serta program edugames. Salah satu program yang dikhususkan di tingkat kelurahan adalah
79
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik sosialisasi dan pemasyarakatan perpustakaan kelurahan.
pengelolaan
Kebijakan ini masih harus didalami untuk mengetahui seberapa jauh sasaran itu dapat dikatakan bersifat multikultur. Sebagai contohnya, dapat memunculkan pertanyaan apakah kegiatan Abang dan None Buku sebagai duta baca itu berhubungan juga upaya mendorong masyarakat untuk membaca bacaan yang berkaitan dengan kultur atau agama lain dengan tujuan memerluas horizon berpikir tentang fakta multikultural masyarakat kita atau tidak. Contoh lain misalnya, anggaran yang disediakan untuk pengadaan bacaan-bacaan baru lebih menyangkut media informasi berkala seperti koran, majalah dan tabloid. Dalam wawancara yang kami lakukan, memang kelihatannya progam-program dengan sasaran masyarakat umum belum berperspektif multikultur. Ada pengembangan keanggotaan menyangkut pemustaka dari daerah lain, tetapi motivasinya sebagaimana diungkapkan oleh beberapa petugas perpustakaan lebih bertujuan publisitas atau promosi dan tidak dalam rangka pengembangan multikultur. “Sesama BPAD dari daerah mana misalnya, atau anggota Dewan, setiap kali datang dibuatkan Kartu Anggota, tetapi itu sebenarnya, cuma ini aja sebagai cenderamata, atau kenang-kenangan.” (Kadir). Maksud dari pembuatan kartu anggota semacam itu, mungkin kemudian ada keluarga mereka yang datang ke Jakarta, mereka sudah bisa tahu di mana letaknya perpustakaan di Jakarta, lanjutnya menjelaskan. “Dengan pembuatan seperti itu, mereka tahu kalo, oh, di Jakarta itu seperti ini, bahwa Perpustakaan DKI menampung keinginan mereka menjadi anggota,” (Susi).
80
Ada juga program edugames yang diarahkan pada anak-anak. Tetapi program itu tidak diarahkan pada upaya menumbuhkan kesadaran dan penerimaan fakta multikultural. Dengan hasil sementara dari tempat penelitian, satu hal yang umumnya terjadi adalah bahwa multikultural sebagai diskursus akademis maupun diskursus dalam ruang-ruang politik sudah merupakan bahan utama terutama ketika masyarakat terjebak dalam konflik-konflik berwarna SARA. Namun multikultur sebagai sebuah perspektif yang menentukan penentuan sebuah program di lingkungan BPAD belum menjadi cara yang dipakai. Kendala Pengembangan Perspektif Multikultur Dari hasil penelitian kami menemukan kendala utama pengembangan multikulturalisme lewat perpustakaan. Kendala utama yang membuat perspektif multikultural belum memiliki pengaruhnya yang signifikan adalah pola pikir para pengambil dan penentu kebijakan. Di situ, perspektif individu atau sebutlah agency dalam konsepsi Giddens masih dibatasi pada program tahunan yang menjadi kelaziman, sehingga perhatian kepada multikulturalisme sebagai fakta sosial yang mesti diupayakan belum nampak. Selain itu, dari hasil FGD bisa terlihat bahwa pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya masih dikuasai juga oleh pola pikir yang bersifat segmental. Hal ini barangkali disebabkan karena komunitas kultural masih dipahami sebagai sumber legitimasi bagi suatu kelompok masyarakat untuk memertahankan dan meloloskan kepentingan kelompok tertentu (Bowen dalam Kymlicka & He, 2005: 156). Dengan cara pikir seperti itu, menjadi tidak masalah bahwa sebuah program pemerintah tidak harus mempertimbangkan fakta keragaman budaya dalam sebuah kebijakan. Kebijakan lebih diarahkan kepada bagaimana mencapai suatu tujuan tertentu tanpa harus memerhatikan apakah tujuan tersebut mendukung kesadaran
Yohanes Sumaryanto, Laksmi, Yasintus T. Runesi multikultural dan penerimaan perbedaan atau tidak. Maka rumusan program juga tergantung pada persepsi yang ada. Dari penelusuran atas catatan program kerja tahun anggaran 2013, ditemukan bahwa multikultural tidak merupakan sebuah bingkai perspektif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang ada. Selain itu, perpustakaan masih lebih menempatkan diri sebagai sumber informasi bagi mereka yang berkepentingan baik itu dalam bidang pendidikan maupun penelitian. Kesimpulan Hasil penelitian memberi pemahaman bahwa perspektif multikultural belum menubuh ke dalam praktik layanan melalui program-program terencana di BPAD DKI Jakarta. Jadi para pustakawan sebagai agen sosial lebih berperan sebagai fasilitator bagi para pemustaka di perpustakaan. Multikulturalisme sebagai komponen objektif belum sepenuhnya menjadi komponen subjektif yang menentukan bagi perilaku multikulturalisme. Peran perpustakaan dalam pembentukan masyarakat multikultur belum sepenuhnya menjadi tempat komunikasi pengetahuan tentang gagasan-gagasan multikultural. Hal ini disebabkan karena gagasan multikulturalisme belum menubuh ke dalam program-programnya berakar dalam pengetahuan yang belum meluas (enlargement individual horizon). Daftar Pustaka Berry, Evette (2008). Multicultural Services in Canadian Public Libraries. Bibliothek 32 2008 No. 2. hlm. 237 – 242. Bowen, John. (2005). Normative Pluralism in Indonesia: Regions, Religions, Ethnicities, in Kymlicka, Will and He, Baogang, Multiculturalism in Asia. Oxford: Oxford University Press, hlm. 152-169. Budianta, Melani. (2006). Meretas Batas: Humaniora dalam Perubahan Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FIB UI, 28 Januari 2006. Depok: Universitas Indonesia.
Chu, Clara M. (1995). Commitment to Multicultural Library and Information Science Education: Part 2 - A Model for Success, EMIE Bulletin, 12(4): 4-11, Summer. Cuban, Sondra. (2007). Serving New Imigrant Communities in The Library. Westport, Connecticut: Libraries Unlimited. Goldberg, David Theo. (1994). Multiculturalism: A Critical Reader. Oxford & Cambridge: Basil Blackwell. Gorman, G.E. et al. (2004). Qualitative Research for The Information Profesional: A Practical Handbook. London : Facet Publishing. Greenhalgh, Liz & Ken Worpole. (1995). Libraries in A World of Cultural Change. London : UCL Press. Hartmann, Douglas & Gerteis, Joseph. (Jun., 2005). Dealing with Diversity: Mapping Multi-culturalism in Sociological Terms, Sociological Theory, Vol. 23, No. 2, p. 218240. IFLA/UNESCO Multicultural Library Manifesto. (2012). The Multicultural Library: a gateway to a cultural diverse society in dialogue Jhonson-Cooper, Glendora. (Jul., 1995). Riview Multiculturalism in Libraries by Rosemary Ruhig du Mont, Louis Butlar, William Caynon. The Library Quarterly, Vol. 65, No. 3, hlm. 351-352. Kesselman, Martin Alan and Irwin Weintraub (eds.). (©2004). Global Librarianship. New York: Marcel Dekker. Kymlicka, Will (2003) Kewargaan Multikultural: teori liberal mengenai hak-hak minoritas Jakarta: LP3ES Laksmi (2011). Pendekatan interaksi sosial dlm penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Libraria, Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Vol. 1(1), Juli 2011, hlm.11-26 Lawanda, Ike Iswary (2012) Multikultural Dalam Perpustakaan Umum. Proceeding Seminar International Multikultural dan Globalisasi 81
Kajian terhadap Perspektif Multikultural Perpustakaan Umum di DKI Jakarta Dalam Praktik Layanan Publik Leckie, Gloria J., et al. (2010). Critical Theory for Library and Information Science. California, Colorado & Oxford: Libraries Unlimited. Malone, Cheryl Knott. (2000) Toward a Multicultural American Public Library History Libraries & Culture, Vol. 35, No. 1, Winter 2000 Parekh, Bhikhu (2012). Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius Sumaryanto, Yohanes, and Laksmi. (2012). Synergy of Museum Library Constructing Cultural Heritage Information: Case Studies at t Museum Nasional and Museum Sejarah Jakarta. Presented at 5th Rizal Library International Conference, Manila 25-26 October. Vltchek, Andre. (2012). Indonesia: Archipelago of Fear. London: Pluto Press. Zielinska, Marie F. with Francis T. Kirkwood, (editors). Multicultural Librarianship: An International Handbook. Digest of Middle East Studies, v1 n4 (199210): 62-64
82