ISSN 1411-0253
J URNAL Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan Volume 12 No. 3, Oktober 2013
DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
Redaksi menerima tulisan ilmiah bidang informasi, perpustakaan dan kearsipan. Tulisan akan dimuat dengan pertimbangan yang didasarkan pada keaslian dan relevansinya dengan ilmu informasi, perspustakaan dan kearsipan. Artikel tidak harus mencerminkan kebijaksanaan dan pandangan Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
JURNAL ILMU INFORMASI, PERPUSTAKAAN, DAN KEARSIPAN Diterbitkan oleh DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA Penanggung Jawab Ketua Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Editor Eksekutif Fuad Gani, M.A Staf Editor Dr. Tamara Adriani Susetyo-Salim, S.S, M.A Y. Sumaryanto, Dip.Lib, M.Hum Indira Irawati, M.A Dewan Redaksi Dr. Zulfikar Zen, S.S, M.A Dr. Laksmi, M.A Utami Budi Rahayu Hariyadi, M.Lib. M, Si Taufik Asmiyanto, M.Si Nina Mayesti, M. Hum Purwanto Putra, M.Hum Sekretariat dan Administrasi Iswanda Fauzan S.Hum Muhammaad Ansyari Tantawi Nurullita Akmalia
Alamat Sekretariat Gedung IV Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Telp./Fax. (021)7872353 email:
[email protected] ISSN 1411 - 0253
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT. kami ucapkan atas tersusunnya Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan Volume 12, Nomor 3, Oktober Tahun 2013. Penyusunan beberapa artikel di dalam terbitan ini dilandasi dengan semangat untuk terus senantiasa membumikan sekaligus membangun bidang Ilmu Informasi, Perpustakaan dan Kearsipan, jurnal ini juga ditujukan kepada para penggiat ilmu informasi dan masyarakat Indonesia umumnya. Semoga dengan kembali tersusunnya Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan edisi ini, aan dapat memberikan manfaat dan memperluas wawasan berinformasi kita semua. Jurnal volume 13 akan menyajikan enam artikel yang memiliki berbagai variasi topik, tulisan pertama merupakan artikel yang bertajuk mengenai kearsipan yang berjudul Beberapa Regulasi yang Menguatkan Eksistensi Arsiparis, artikel yang ditulis oleh Sudiyanto ini berusaha mengkaji dan mendeskripsikan pasal-pasal regulasi yang relevan dengan pengelolaan kearsipan. Dengan tersedianya berbagai regulasi diharapkan dapat memberikan stimulus bagi Arsiparis sehingga mereka makin percaya diri dan eksis dalam profesi yang ditekuninya. Artikel kedua berjudul Stock Opname, Weeding, and Preservation yang ditulis Zulfikar Zen, artikel yang bidang perpustakaan ini, berupaya mengidentifikasi kegiatan cacah ulang dalam kaitannya dengan ketersediaan atau ketidaktersediaan koleksi di perpustakaan dan keadaan fisik koleksi, mulai dari yang rusak, salah tempat, dan bagaimana penggunaan koleksi. Kemudian di artikel ini juga ada upaya untuk membahas mengenai bagaimana melakukan dan apa tujuan“Penyiangan” (weeding) dan Preservasi (Preservation) di perpustakaan. Preservasi Digital Arsip Peta (Blue Print) di Kantor Arsip Universitas Indonesia merupakan judul artikel ketiga yang ditulis oleh Purwanto Putra, kajian yang merupakan usulan program preservasi arsip peta ini dilakukan pada 2013 menggunakan pendekatan kualitatif dan metode observasi dan studi literatur. Berupaya mengidentifikasi kebutuhan pengelolaan preservasi digital arsip peta (blue print) di kantor arsip Universitas Indonesia dan dalam artikel ini penulis juga berupaya menjelaskan kaitan antara preservasi digital dengan rekod elektronik, mengenai isu teknologi informasi, aspek hukum, aspek manajemen, standar preservasi rekod elektronik, dan metadata rekod elektronik. Tulisan keempat dari Iswanda Fauzan Satibi yang berjudul Pemetaan Kebutuhan Pengguna Dan Preferensi Ruangan Perpustakaan di Perpustakaan Khusus: Studi Kasus Perpustakaan Chandra Widodo berupaya untuk menjelaskan Peran dan fungsi perpustakaan perusahaan (corporate library) Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Chandra Widodo perusahaan PT Rekayasa Industri bertujuan untuk menjelaskan peta perubahan pengguna perpustakaan dan mendeskripsikan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruangan perpustakaan. Harapannya penelitian ini akan memberikan pendeskripsiam penggunaan ruangan perpustakaan Chandra Widodo dan hubungannya dengan pengguna perpustakaan. Tulisan selanjutnya di ambil dari artikel yang ditulis Kiki Fauziah yang berjudul Perilaku
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi
JURNAL Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya - Universitas Indonesia
Ilmu Informasi Perpustakaan Kearsipan
Volume 12 No. 3, Oktober 2013
i
Informasi Masyarakat Urban Di Indonesia Pada Waktu Senggang, artikel ini banyak memaparkan mengengenai data-data dari berbagai media dan pengamatan langsung yang dilakukan penulis yang mendeskripsikan perilaku informasi masyarakat urban. Perkembangan Budaya Lisan dan BacaTulis menuju Masyarakat Informasi Indonesia merupakan tulisan terakhir yang dimuat dalam jurnal edisi ini, artikel bertajuk mengenai masyarakat informasi ini ditulis oleh Riva Delviatma, berusaha untuk menjelaskan alasan kenapa masyarakat informasi belum berkembang di Indonesia dan kaitannya dengan budaya lisan dan budaya baca tulis. Kami menyadari benar bahwa masih banyak kekurangan dan jurnal ini, demi peningkatan kualitas Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan kedepannya, kami berharap akan ada kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sebagai upaya perbaikan dan pembaharuan kedepannya. Ucapan terima kasih kami sampaikan pada Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi UI yang masih dengan semaksimal mungkin mendukung penerbitan jurnal ini dan dan sekali lagi kepada segenap penulis artikel yang telah berkenan menjalin kerjasama untuk menyerahkan artikelnya. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada segenap jajaran tim penerbitan Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan atas dedikasi dan kerjasamanya dalam upaya mewujudkan penerbitan edisi ini.
Salam, Redaksi
Ilmu Informasi Perpustakaan Kearsipan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya - Universitas Indonesia Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi
ii
Volume 12 No. 3, Oktober 2013
JURNAL
DAFTAR ISI
1
Beberapa Regulasi yang Menguatkan Eksistensi Arsiparis Sudiyanto
8
Cacah Ulang, Penyiangan dan Preservasi
15
Preservasi Digital Arsip Peta (Blue Print) Di Kantor Arsip Universitas Indonesia
Zulfikar Zen
Purwanto Putra
24
Pemetaan Kebutuhan Pengguna Dan Preferensi Ruangan Perpustakaan Di Perpustakaan Khusus: Studi Kasus Perpustakaan Chandra Widodo Iswanda F. Satibi
34
Perilaku informasi masyarakat urban Di indonesia pada waktu senggang Kiki Fauziah
42
Perkembangan Budaya Lisan Dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia Riva Delviatma
Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi
JURNAL Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya - Universitas Indonesia
Ilmu Informasi Perpustakaan Kearsipan
Volume 12 No. 3, Oktober 2013
iii
Sudiyanto
BEBERAPA REGULASI YANG MENGUATKAN EKSISTENSI ARSIPARIS Sudiyanto Pemerhati Kearsipan, LAPAN E-mail:
[email protected] atau
[email protected]
Abstrak Profesi Arsiparis masih sering dipandang sebagai profesi rendahan oleh berbagai kalangan karena hasil kerjanya yang dianggap masih kurang dirasakan untuk kelangsungan hidup organisasi. Pandangan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi Arsiparis. Arsiparis menjadi kurang percaya diri. Disisi lain sebenarnya tersedia cukup banyak tools berupa regulasi yang memberikan peluang kepada Arsiparis untuk ikut berkiprah dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara. Kajian ini berusaha mendeskripsikan pasal-pasal regulasi dimaksud yang relevan dengan pengelolaan kearsipan. Dengan tersedianya berbagai regulasi diharapkan dapat memberikan stimulus bagi Arsiparis sehingga mereka makin percaya diri dan eksis dalam profesi yang ditekuninya Kata kunci: Undang Undang, percaya diri, Arsiparis, eksis, profesi.
Abstract The profession of Archivists still often be seen as the low profession by various community because the result of their job that be estimated still can be felt less for the continuity of organization life. Such opinion make the unbeneficial effect for the Archivists do not have self confident. In other side, factually, there are so many too is enough for example, regulation that give the opportunity to the Archivists in order to participate in implementation of state’s activity. This study try to describe to the articles about meant regulation with this relevant to the management to the archival method. By the supplying of various regulations be hoped can give stimulate for Archivists so that there are more self confident and exist in progression that be done diligently.
Keywords: Laws, self confident, Archivists, exist, profession.
1. Latar belakang Di setiap organisasi dalam melaksanakan aktifitasnya selalu menghasilkan arsip. Arsip merupakan produk samping (by product) dari organisasi. Seiring berjalannya organisasi makin lama arsip yang tercipta makin banyak pula. Sementara arsip masih diperlukan oleh organisasi sebagai bahan informasi dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pertanggungjawaban (akuntabilitas), dan bukti sejarah. Oleh karenanya arsip perlu dikelola dengan baik agar ketika diperlukan dapat diketemukan dengan mudah dan cepat. Orang yang diberi tugas untuk melakukan pengelolaan arsip disebut Arsiparis. Keberadaan
Arsiparis sebagai sumber daya manusia kearsipan masih sering dipandang sebelah mata, dianggap profesi rendahan, profesi yang tidak menjanjikan, dan sejumlah sebutan "miring" lainnya. Hal tersebut menjadikan salah satu penyebab Arsiparis kurang percaya diri dalam melaksanakan pekerjaannya. Arsiparis terkungkung dalam bingkai image yang kurang menguntungkan. Kurangnya rasa percaya diri dapat menghambat perkembangan individu dalam menjalankan tugas dan fungsinya maupun dalam hubungan interpersonal sehari-hari. Sehingga akan sangat berpengaruh terhadap kinerja Arsiparis. Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi yang memberikan peluang bagi Arsiparis untuk
1
Beberapa Regulasi yang Menguatkan Eksistensi Arsiparis
ikut berkiprah dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara. Tulisan ini berusaha memberikan gambaran terhadap beberapa peraturan yang dalam implementasinya terkait dengan tugas dan fungsi Arsiparis. Harapannya dengan makin terbukanya berbagai peluang untuk berkiprah dapat memberikan stimulus bagi Arsiparis bahwa ia merupakan sumber daya yang diperlukan bagi berjalannya organisasi sehingga mereka semakin percaya diri dan termotivasi untuk lebih eksis dalam profesi yang ditekuninya. 2. Rumusan Masalah Pandangan berbagai kalangan yang cenderung merendahkan profesi Arsiparis karena lingkup pekerjaanya yang sempit dan hasil kerjanya yang dianggap masih kurang dirasakan, membawa dampak psikologis yang tidak menguntungkan bagi Arsiparis, diantaranya yang sering kita jumpai, yaitu Arsiparis menjadi tidak percaya diri dan pasif. Sementara sebenarnya pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi yang banyak memberikan peluang bagi Arsiparis untuk berkiprah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karenanya permasalahan dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : "Sejauh mana dukungan regulasi untuk menguatkan eksistensi Arsiparis?" 3. Maksud dan Tujuan Kajian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan beberapa regulasi yang dapat memberikan peluang bagi Arsiparis untuk ikut andil dalam implementasinya. Sedangkan tujuannya adalah untuk memberikan gambaran bahwa terbuka berbagai peluang bagi Arsiparis untuk berkiprah sehingga diharapkan makin dapat membangun rasa percaya diri. 4. Landasan Teori Kepercayaan diri merupakan faktor penting bagi setiap individu dalam melakukan berbagai aktivitas kehidupan. Individu yang kurang percaya diri akan menjadi seseorang yang pesimis dalam menghadapi tantangan, takut dan ragu-ragu untuk menyampaikan gagasan, bimbang dalam menentukan pilihan dan sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Hal ini termasuk kepercayaan atas kemampuannya 2
untuk menghadapi lingkungan yang semakin menantang. Menurut Elly Risman (2003) orang yang tidak percaya diri akan merasa terus menerus jatuh, takut untuk mencoba, merasa ada yang salah dan khawatir.1 Maslow (dalam Rachman, 2010) berpendapat bahwa percaya diri adalah suatu modal dasar untuk pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan diri) dengan percaya diri. Lanjut Maslow manusia memiliki 2 kebutuhan akan penghargaan, yakni harga diri dan penghargaan orang lain. Harga diri mencakup kebutuhan kepercayaan diri, perasaan edukatif, kemandirian dan kebebasan pribadi. Adapun penghargaan orang lain meliputi prestise, kedudukan dan nama baik. Seseorang dengan harga diri yang baik akan lebih percaya diri, lebih mampu dan produktif. Sebaliknya seseorang dengan harga diri rendah akan mengalami kurang percaya diri, kemampuan cenderung rendah, dan kurang produktif. Hambatan dari usaha mencapai aktualisasi diri berasal dari kepercayaan diri dan keraguan individu pada kemampuan sendiri dan mengakibatkan kemampuan dan potensi diri tidak terungkap (Rachman, 2010). Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa percaya diri suatu faktor penting yang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia untuk menghadapi tantangan pekerjaan. Dalam rangka membangun rasa percaya diri diperlukan dua faktor pendorong yaitu percaya diri yang berasal dari dalam diri individu sendiri dan dari luar individu berupa penghargaan dari orang lain. Dalam konteks membangun rasa percaya diri Arsiparis dengan adanya berbagai regulasi yang memberikan peluang bagi Arsiparis untuk berkiprah diharapkan akan menumbuhkan faktor pendorong pula yang berasal dari luar individu dengan adanya penghargaan berupa pengakuan hasil kerja Arsiparis. Dengan demikian harapannya eksistensi Arsiparis akan terus meningkat.
1
Selengkapnya dapat di http:// repository.usu.ac.id /bitstream/123456789/27467/4/Chapter%20II.pdf).
Sudiyanto 5. Metodologi Kajian Metodologi untuk mengkaji tulisan ini menggunakan metode deskriptif dan studi pustaka. Metode deskriptif adalah sebuah metode yang berusaha mendeskripsikan, menginterpretasikan sesuatu kecenderungan yang sedang berlangsung (Sukmadinata, 2005). Sedangkan studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka untuk memperoleh data penelitian (Mestika Zed, 2008). Data-data literatur atau kepustakaan berupa Undang Undang, Peraturan Pemerintah, dan dokumen lainnya digunakan untuk menganalisis, mendeskripsikan dan menginterpretasikan kajian ini. 6. Pembahasan dan Analisis 6.1 UU Kearsipan dan Peraturan Pelaksanaannya Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan merupakan payung hukum kearsipan di Indonesia. Semua kegiatan kearsipan di Indonesia harus mengacu pada Undang-undang (UU) tersebut. Dalam hal eksistensi Arsiparis, secara lebih detail dituangkan dalam aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2012 Pasal 151 ayat (1) menyebutkan bahwa Arsiparis mempunyai kedudukan hukum sebagai tenaga profesional yang memiliki kemandirian dan independen dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Regulasi ini menempatkan Arsiparis pada kedudukan yang sangat mulia. Mandiri dalam melaksanakan fungsinya tidak lagi pasif menunggu pekerjaan dan perintah dari atasannya tetapi dituntut untuk proaktif dan inovatif. Sikap pasif hanya akan menguatkan pandangan miring yang selama ini dilontarkan oleh banyak pihak yaitu Arsiparis merupakan profesi yang tidak menarik, sering dicibir orang, dan dipandang sebelah mata. Kemudian yang dimaksud independen adalah Arsiparis dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya harus terbebas dari unsur-unsur kepentingan dan tekanan dari pihak manapun, misalnya: atasan, partai politik, dll. Undangundang Nomor 43 Tahun 2009, Pasal 4, menegaskan bahwa penyelenggaraan kearsipan di Indonesia harus berasaskan: kepastian hukum, keautentikan dan keterpercayaan, keutuhan, asal usul (principle of provenance), aturan asli (principle of original order), keamanan dan keselamatan, keprofesionalan, keresponsifan, keantisipatifan, kepartisipatifan, akuntabilitas, kemanfaatan, aksesibilitas, dan kepentingan umum. Bila asas tersebut dipatuhi maka akan menjamin independensi Arsiparis dalam bekerja. Disamping kepastian hukum, kemandirian dan independensi Arsiparis, PP Nomor 28 Tahun 2012, Pasal 151 ayat (2) memberikan rambu yang detail tentang fungsi dan tugas Arsiparis. Fungsi dan tugas Arsiparis yang dimaksud adalah: a. menjaga terciptanya arsip dari kegiatan yang dilakukan oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, dan organisasi kemasyarakatan; b. menjaga ketersediaan arsip yang autentik dan terpercaya sebagai alat bukti yang sah; c. menjaga terwujudnya pengelolaan arsip yang andal dan pemanfaatan arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. menjaga keamanan dan keselamatan arsip yang berfungsi untuk menjamin arsip-arsip yang berkaitan dengan hak-hak keperdataan rakyat melalui pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya; e. menjaga keselamatan dan kelestarian arsip sebagai bukti pertanggungjawaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; f. menjaga keselamatan aset nasional dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, serta keamanan sebagai identitas dan jati diri bangsa; dan g. menyediakan informasi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya.
3
Beberapa Regulasi yang Menguatkan Eksistensi Arsiparis
Kemudian yang membanggakan disamping diberikan tugas dan fungsi, juga diberikan kewenangan yang cukup besar dalam hal akses, penggunaan dan penelusuran arsip. Rincian kewenangan yang dimiliki Arsiparis (PP Nomor 28 Tahun 2012, Pasal 152) adalah: a. menutup penggunaan arsip yang menjadi tanggung jawabnya oleh pengguna arsip apabila dipandang penggunaan arsip dapat merusak keamanan informasi dan/atau fisik arsip; b. menutup penggunaan arsip yang menjadi tanggung jawabnya oleh pengguna arsip yang tidak berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. melakukan penelusuran arsip pada pencipta arsip berdasarkan penugasan oleh pimpinan pencipta arsip atau kepala lembaga kearsipan sesuai dengan kewenangannya dalam rangka penyelamatan arsip. 6.2 UU KIP Pasca berakhirnya masa Orde Baru dimana masuk pada masa berikutnya yang diistilahkan dengan Orde Reformasi, tuntutan keterbukaan informasi begitu kuat. Hal ini dilandasi oleh suatu pengalaman, dan ini dianggap suatu kekurangan, bahwa di masa lalu tata kelola pemerintahan dinilai kurang transparan. Oleh karenanya sekarang ini kran keterbukaan informasi dibuka lebar. Informasi seakan-akan milik semua orang. Trend masa lalu "informasi tertutup bagi publik kecuali yang dibuka" sekarang dibalik menjadi "informasi terbuka bagi publik kecuali yang tertutup". Bahkan keterbukaan informasi dijadikan sebagai indikator akuntabilitas. Amanat agenda keterbukaan informasi itu sesuatu yang harus dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Reformasi dan diwujudkan dengan diterbitkannya Undangundang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang selanjutnya disebut UU KIP. Untuk mengimplementasikan UU KIP, setiap Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan serta
4
Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan (Pasal 7, ayat (1) dan ayat (2)). Pasal 13 mengamanatkan bahwa dalam hal untuk mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat dan sederhana setiap Badan Publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Bila kita cermati, tugas dan fungsi Arsiparis sangat sejalan dengan tugas dan tanggung jawab PPID. Arsiparis dan PPID sama-sama melakukan penyediaan, pengelolaan, pengamanan, dan pelayanan informasi. Dengan demikian sangatlah relevan bila PPID diemban oleh Arsiparis sebagai sumber daya manusia kearsipan yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan informasi. Disinilah peluang Arsiparis sebagai sumber daya manusia kearsipan yang mempunyai kompetensi mengelola arsip dan dokumen yang berisi berbagai informasi transaksi organisasi (lembaga atau Badan Publik) di lingkungannya dapat mengisi dan memainkan peran penting sebagai PPID. Hal ini diperkuat dengan adanya kewajiban dari setiap Badan Publik untuk melaksanakan kearsipan dan pendokumentasian Informasi Publik berdasarkan perundang-udangan (Pasal 8). Oleh karenanya UU KIP merupakan dasar hukum yang kuat bagi Arsiparis untuk ikut dalam pelayanan Informasi Publik sebagai implementasi keterbukaan informasi. 6.3. UU Pelayanan Publik Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan pelayanan yang bersifat publik untuk memenuhi hak, kewajiban, dan kebutuhan dasar bagi setiap warga negara. Tuntutan masyarakat terhadap tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan publik sekarang ini makin sering disuarakan. Protes sering dilakukan ketika pemerintah lalai atau lamban terhadap pelaksanaan pelayanan. Begitu pentingnya pelayanan publik ini, sehingga pemerintah menerbitkan pengaturannya yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam konteks pelayanan publik, ada peluang bagi Arsiparis untuk ambil bagian sesuai dengan profesi yang diembannya. Hal ini sesuai dengan semangat Pasal 8 ayat (2) huruf c UU Nomor 25 Tahun 2009 dimana lingkup pelayanan publik
Sudiyanto salah satunya adalah pengelolaan informasi. Pengelolaan dan pelayanan informasi memang menjadi salah satu domain fungsi dan tugas Arsiparis. Seperti telah dijelaskan di atas, pada PP Nomor 28 Tahun 2012, pasal 151 ayat (2) huruf g bahwa fungsi dan tugas Arsiparis adalah menyediakan informasi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan dan pemanfaatan arsip yang autentik dan terpercaya. Kedua regulasi ini (UU Nomor 25 tahun 2009 dan PP Nomor 28 tahun 2012) saling melengkapi dan mempertegas bahwa dalam konteks pelayanan publik Arsiparis harus berperan sebagai sumber daya manusia yang melaksanakan pelayanan informasi. Karena pengelolaan arsip tidak akan dapat dilepaskan dari informasi yang terkandung (content) dalam arsip itu sendiri. 6.4. UU Bencana Bencana suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh semua orang. Namun sepertinya Indonesia bukan merupakan negara yang bebas dari bencana. Bahkan sebaliknya Indonesia negara yang sering dilanda bencana. Sebut saja banjir, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan kebakaran merupakan bencana yang pernah melanda negeri ini. Ketika terjadi bencana semua elemen bangsa ini (pemerintah, swasta dan masyarakat) saling bahu-membahu untuk mengatasi masalah, menyelamatkan jiwa manusia dan menyelamatkan aset. Aset negara disamping yang berupa fisik seperti gedung, mobil, dan peralatan kantor, juga aset sebagai bukti akuntabilitas dan kesejarahan yang tidak dapat tergantikan yaitu yang bernama arsip. UU kebencanaan yang tertuang dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pada Pasal 6 huruf g mengamanatkan bahwa Pemerintah bertanggung jawab dalam pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. UU ini memberikan tugas kepada pemerintah bahwa dalam kondisi bencana maupun pasca bencana untuk memelihara arsip yang rusak akibat bencana tersebut.
Keharusan perlindungan, penyelamatan dan pemeliharaan arsip akibat terjadinya bencana disamping diamanatkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 juga ditegaskan dalam UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan yaitu pada Pasal 34 bahwa negara menyelenggarakan pelindungan dan penyelamatan arsip dari bencana alam, bencana sosial, perang, tindakan kriminal serta tindakan kejahatan yang mengandung unsur sabotase, spionase, dan terorisme. Perlindungan dan penyelamatan arsip akibat bencana tersebut dikoordinasikan oleh ANRI (Arsip Nasional R.I.) dan lembaga pencipta arsip yang berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk bencana yang dinyatakan sebagai bencana nasional. Sedangkan pelindungan dan penyelamatan arsip akibat bencana yang tidak dinyatakan sebagai bencana nasional dilaksanakan oleh pencipta arsip, arsip daerah provinsi, dan/atau arsip daerah kabupaten/kota yang berkoordinasi dengan BNPB. Amanat penyelamatan dan pemeliharaan arsip dalam hal terjadi bencana merupakan satu peluang lagi bagi Arsiparis untuk eksis melaksanakan tugas dan fungsinya. Sebagai contoh, ketika terjadi banjir besar bulan Januari 2014 di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya Arsip Nasional R.I. (ANRI) telah melakukan layanan perbaikan arsip seperti ijazah dan sertifikat tanah yang rusak akibat banjir untuk masyarakat umum (Harian Republika dan Media Indonesia, tanggal 29 Januari 2014). Dalam hal terjadi bencana, setidaknya Arsiparis dapat berperan dengan melakukan penyelamatan dan perlindungan arsip pada lingkup instansinya sendiri. 6.5. UUD 1945 Dalam konteks pelayanan informasi, Undang Undang Dasar 1945 pun secara tegas menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi. Pasal 28F, yang merupakan hasil amandemen Dewan Perwakilan Rakyat, mengamanatkan bahwa "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
5
Beberapa Regulasi yang Menguatkan Eksistensi Arsiparis
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". UUD 1945 sebagai sumber hukum tertulis yang memayungi setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia ini semakin menguatkan dan mempertegas bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam bidang informasi.
4.
Penegasan di atas berarti pula penegasan terhadap tugas dan fungsi Arsiparis yang salah satunya melakukan pengelolaan arsip guna penyediaan dan pelayanan informasi mendapatkan amanat dari peraturan perundangundangan yang tertinggi tingkatannya yaitu UUD 1945. Oleh karenanya Arsiparis semestinya tidak canggung lagi dalam melaksanakan tugasnya karena telah dilindungi, dilengkapi dan dijamin dengan kepastian hukum.
Kode etik profesi di atas merupakan pola aturan etika sebagai pedoman berperilaku bagi Arsiparis dalam melakukan kegiatan atau pekerjaannya. Rambu-rambu kode etik harus diikuti dan tidak boleh dilanggar. Bila dilanggar bukan saja menjadi tidak profesional bahkan bila pelanggaran etika dalam kategori berat akan berhadapan dengan sanksi hukum.
6.6. Kode Etik Profesi Arsiparis merupakan profesi yang diamanatkan oleh UU. Sebagai layaknya profesi lainnya yang sudah mempunyai asosiasi atau ikatan, seperti : profesi dokter dengan IDI-nya (Ikatan Dokter Indonesia), profesi akuntan dengan IAI-nya (Ikatan Akuntan Indonesia), profesi wartawan dengan PWI-nya (Persatuan Wartawan Indonesia), dll, Arsiparis pun telah mempunyai asosiasi yang disebut AAI (Asosiasi Arsiparis Indonesia). AAI telah menyusun kode etik profesi sebagai standar moralitas bagi Arsiparis Indonesia dalam menjalankan tugas, kewenangan dan tanggung jawab profesi kearsipan. Kode Etik Arsiparis Indonesia, yang tertuang dalam Keputusan Pengurus Nasional Asosiasi Arsiparis Indonesia Nomor : 06/AAI/2009 tentang Kode Etik Arsiparis Indonesia, sebagai berikut : 1.
Arsiparis Indonesia bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Arsiparis Indonesia setia dan taat kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945; Arsiparis Indonesia harus jujur dan bertanggungjawab, bersemangat untuk meningkatkan kompetensi, profesionalitas, komitmen, dedikasi integritas dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
2. 3.
6
5.
Arsiparis Indonesia harus mempertahankan dan melindungi otentisitas, reliabilitas, legalitas dan integritas dari suatu arsip; Arsiparis Indonesia bertanggungjawab atas pengelolaan arsip, mulai dari penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan, penyusutan, penilaian dan akuisisi, deskripsi, pelestarian sampai dengan akses dan pemanfaatan arsip demi kemaslahatan bangsa.
7. Simpulan Berbagai regulasi telah diterbitkan oleh pemerintah yang memberikan peluang bagi Arsiparis untuk berkiprah. UUD 1945, UU Kearsipan dan peraturan pelaksanaannya, UU KIP, UU Pelayanan Publik, UU Penanggulangan Bencana, dan Kode Etik Profesi Arsiparis merupakan peraturan yang memberikan peluang kepada Arsiparis untuk membuktikan perannya sebagai sumber daya manusia yang profesional. Bila Arsiparis dapat membuktikan kiprahnya di berbagai kegiatan dalam kerangka peraturan yang telah disebutkan di atas, maka hasil kerjanya dapat dirasakan untuk kepentingan organisasi yang pada akhirnya keberadaan Arsiparis memang diperlukan. Dengan demikian pandangan orang terhadap profesi Arsiparis semakin lebih positif dan akan meningkatkan pula rasa percaya diri bagi Arsiparis itu sendiri yang secara keseluruhan akan membawa dampak yang positif terhadap peningkatan profesionalisme. Peraturan perundang-undangan telah cukup banyak tersedia sebagai tools payung hukum bagi Arsiparis untuk eksis. Sekarang semua terpulang kepada Arsiparis sendiri, apakah mau memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan perannya atau hanya sebagai sumber daya manusia yang pasif.
Sudiyanto 8. Daftar Acuan http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789 /27467/4/Chapter%20II.pdf, Kajian Teori Konsep Percaya Diri, diakses 23 Januari 2014. Keputusan Pengurus Nasional Asosiasi Arsiparis Indonesia Nomor : 06/AAI/2009 tentang Kode Etik Arsiparis Indonesia. Media Indonesia. (29 Januari 2014), Korban Banjir Gratis Perbaiki Arsip. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Rachman, Siti Nur Deva. (2010), Hubungan Tingkat Rasa Percaya Diri Dengan Hasil Belajar, Jurusan Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstrea m/123456789/ 3361/1/SITI%20NUR%20DEWA%20RA CHMAN-FITK.pdf, diakses 30 Januari 2014. Republika. (29 Januari 2014), ANRI Perbaiki Arsip Korban Banjir. Sudiyanto. (2014), Peluang Arsiparis Menjadi Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), Sedang Dalam Proses Penerbitan di Salah Satu Jurnal. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005), Metode Penelitian Pendidikan, Penerbit Rosda. Undang Undang Dasar 1945. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Zed,
Mestika (2008), Metode Penelitian Kepustakaan, Yayasan Obor Indonesia, Edisi Kedua.
7
Cacah Ulang, Penyiangan dan Preservasi
CACAH ULANG, PENYIANGAN DAN PRESERVASI Zulfikar Zen Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Salah satu kegiatan yang harus dilakukan pustakawan adalah “Cacah Ulang‖ yang lazim disebut dengan istilah Stockopaname. Melalui kegiatan Cacah Ulang dapat diketahui ketersediaan atau ketidaksediaan koleksi perpustakaan. Di samping itu, juga akan diketahui koleksi yang keadaanya rusak, salah tempat, koleksi yang jarang digunakan. Bersamaan dengan kegiatan Cacah Ulang, perpustakaan juga melalukan kegiatan ―Penyiangan‖ (weeding) dan Preservasi (Preservation). Kegiatan penyiangan dilakukan agar koleksi yang tersedia hanyalah yang dibutuhkan, sedangkan yang tidak berguna dikeluarkan dari koleksi perpustakaan. Preservasi adalah kegiatan pemeliharaan agar lestari, baik isinya mau pun fisiknya. Kata kunci: perpustakaan, cacah ulang, penyiangan, dan preservasi
Abstract One of the activities that must be performed librarian is stock-opaname. Through stockopname is known availability or unwillingness library collection. In addition, through stockopname will also note that the situation is a collection of damaged, misplaced, including collections that are rarely used. Along with stockopname activities, the library also pass the weeding and preservation. Weeding activities carried out so that the collection is available only needed by the user, while useless issued from the library collection. Preservation the maintenance activities that are sustainable, both content and physical collections. Keywords: library, stockopname, weeding, and preservation
1. Pendahuluan Dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan dinyatakan bahwa ―Perpustakaan adalah Institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara professional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan yang dihimpun, diolah dan dilayankan. Selama ini, orang mendefinisikan ―perpustakaan” sebagai gedung atau ruangan yang didalamnya terdapat buku, majalah, surat kabar koleksi untuk dipinjamkan. Definisi
8
tersebut menyebabkan citra pustakawan hanya sebagai “penjaga buku” (the custodian of books). Apabila diperhatikan dengan seksama, gedung, ruang dan buku hanyalah tempat, atau wadah (containers), sedangkan isinya berupa “informasi‖ (information). Informasi adalah data yang sudah diolah yang bermanfaat bagi penerimanya. Wadahnya sangat beragam seperti: tertulis, tercetak, terekam, dalam bentuk buku, majalah koran, CD, flash disk, peta, lembaran dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pada hakikatnya perpustakaan tidak hanya menyimpan buku, majalah, koran dan sebagainya, tetapi juga sebagai menyimpan informasi. Sebaliknya, orang yang datang ke perpustakaan pun untuk mencari informasi, bukan mencari buku, majalah dan koran, dan sebagainya. Karena itu, seharusnyalah perpustakaan disebut sebagai lembaga informasi
Zulfikar Zen dan pustakawan sebagai ―Pekerja Informasi” (Information Professionals). Namun demikian, tidak mungkin bila pustakawan hanya bertugas mengelola isi, tanpa mengelola wadah dan tempatnya. Bila diibaratkan perpustakaan sebagai toko, maka mata dagangannya adalah ―informasi”. Jasa yang diberikan adalah layanan informasi. Informasi terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dimulai dengan penemuan kertas di Cina dan mesin cetak di Jerman, lalu berkembang dengan penerbitan digital (elektronik), menandai bahwa informasi terus tumbuh dan berkembang dengan pesat. Adapun, harapan yang diinginkan dari pengaruh kemajuan tersebut yaitu dapat merubah paradigma di perpustakaan dan pustakawan sebagai berikut: Perpustakaan Dulu
Perpustakaan Kini
Media tunggal (terutama berbasis kertas). Jumlah berbasis kepemilikan
Multi media, tertulis, tercetak dan terekam.
Gedung
Bagaikan gudang, tertutup, kurang strategis
Ibarat toko, pasar, transparan, stategis
Layanan
Pasif, menunggu, manual
Proaktif, mendidik dan mendatangi pengguna, mamanfaatkan teknologi informasi
,Pustakawan
kurang Profesional, pasif, birokrat, tukang jaga buku (the custodian of books)
profesional, aktif, demokratis, pekerja informasi, penjaga pengetahuan (the guardian of knowledge)
Koleksi
Jumlah berbasis akses
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kondisi perpustakaan tidak jauh berbeda dengan perpustakaan pada masa lalu, kalaupun sudah ada yg maju masih dalam jumlah terbatas. Perpustakaan di Indonesia masih terbatas baik kualitas, maupun kuantitas, terutama Perpustakaan Sekolah dan Perpustakaan
Umum. Menurut S.R.Ranganathan (1931) yang dikutip Kaur (2002), terdapat 5 hukum ilmu perpustakaan 1. Buku untuk digunakan (Books are for use) 2. Setiap pembaca bukunya (Every reader his book) 3. Setiap buku pembacanya (Every book its reader) 4. Hematkan waktu pembaca (Save the time of the reader) 5. Perpustakaan organisme yg tumbuh (Library is a growing organism) Bila ditafsirkan pernyataan di atas, maka perpustakaan yang benar adalah yang koleksinya digunakan, bukan hanya untuk disimpan. Kegiatan promosi merupakan upaya yang selama ini terabaikan di perpustakaan. Pustakawan berhenti ketika bukunya sudah tersusun rapih di rak. Hal tersebut, merupakan tugas pustakawan yang harus terus mengembangkan ilmunya, sehingga terciptalah proses layanan semudah dan seefisien mungkin. Tersedianya sarana temu kembali informasi berupa katalog, indeks, bibliografi, merupakan salah satu upaya yang dilakukan pustakawan untuk membantu pemustaka. Sebagai lembaga jasa, perpustakaan selalu berupaya untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna. Sehingga, koleksi yang tersedia harus sesuai dengan kebutuhan pengguna. Di samping upaya penambahan koleksi baru, koleksi-koleksi tersebut harus dipelihara dengan baik. Apa yang ada dalam katalog, harus dipastikan dapat dikases, meskipun mungkin sedang dipinjam oleh orang lain. Perpustakaan adalah lembaga peminjaman., tidak satupun koleksi perpustakaan yang tidak boleh dipinjam. Kegiatan peminjaman dan sirkulasi menuntut pustakawan secara berkala untuk melakukan pengawasan (control) secara berkala dan teratur. Selain pengawasan (control), salah satu kegiatan yang harus dilakukan pustakawan adalah “Cacah Ulang‖ yang lazim disebut dengan istilah Stock-opaname. Melalui kegiatan Cacah Ulang dapat diketahui ketersediaan atau 9
Cacah Ulang, Penyiangan dan Preservasi
ketidaksediaan koleksi perpustakaan. Di samping itu, melalui kegiatan stock opname juga akan diketahui koleksi yang keadaanya rusak, salah tempat, termasuk koleksi yang jarang digunakan. Bersamaan dengan kegiatan Cacah Ulang, perpustakaan juga harus melalukan kegiatan ―Penyiangan‖ (weeding) dan Preservasi (Preservation). Kegiatan penyiangan dilakukan agar koleksi yang tersedia hanyalah yang dibutuhkan oleh pengguna, sedangkan yang tidak berguna dikeluarkan dari koleksi perpustakaan. Sedangkan, kegiatan preservasi dilakukan untuk melestarikan keberadaan bahan pustaka di perpustakaan.
2. Cacah Ulang (Stock Opname) Ketika kita masuk ke toko swalayan, pada saat akan ditutup, para pelayanan toko dengan daftar ditangan mengadakan ―pencocokan‖ jumlah ―barang‖ yang ada dalam jajaran dengan jumlah barang yang terdapat dalam daftar. Hal ini pula. perlu dilakukan untuk mengetahui terjual atau belum terjualnya barang tersebut. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa barang tersebut tidak terjual, tetapi juga tidak ada dalam jajaran. Jika hal tersebut terjadi, kemungkinan barang tersebut salah tempat atau hilang. Namun, ada pula beberapa barang ditemukan tetapi dalam keadaan rusak. Hal serupa juga dilakukan di perpustakaan dan dinamakan dengan ―Cacah Ulang‖ (Stockopname). Upaya Cacah Ulang tersebut, dilakukan dalam rangka untuk mengontrol koleksi yang ada. Kegiatan sirkulasi menyebabkan beredarnya koleksi dari pemakai ke pemakai. Namun, apabila koleksi yang dicari pengguna tidak ada, maka terdapat beberapa kemungkinan, yaitu sedang dipinjam, salah tempat, berada di meja baca, dicuri, sedang diperbaiki dan sebagainya. Dalam sistem layanan terbuka (open access) kasus hilang dan rusaknya koleksi merupakan hal yang lumrah. Dari kegiatan ini juga dapat diketahui apabila peminjam sudah lama tidak mengembalikan pinjamannya. Sehingga, perpustakaan menerapkan sistem denda/sanksi. Perpustakaan akan memberikan sanksi kepada peminjam yang terlambat mengembalikan, yang merusak atau yang menghilangkan buku.
10
Secara umum manfaat dari Cacah Ulang yaitu untuk mengetahui jumlah: 1. koleksi terakhir di miliki perpustakaan; 2. koleksi yang hilang; 3. koleksi yang dipinjam tetapi belum dikembalikan; 4. koleksi yang salah tempat; 5. koleksi yang rusak; 6. koleksi yang tidak pernah atau jarang digunakan; 7. koleksi yang banyak diminati Evans (2000) menyebutkan Cacah Ulang dengan istilah “Deselction“ . Paling tidak terdapat 4 (empat) alasan yang mendorong untuk melakukan kegiatan cacah Ulang yaitu : 1. Untuk menghemat tempat (to save space); 2. Untuk memperbaiki akses (to improve access); 3. Untuk penghematan uang (to save money); 4. Untuk menyediakan tempat bagi koleksi baru (To make room for the newmaterials).
3. Tata Cara Cacah Ulang Ketika kegiatan Cacah Ulang akan dilakukan, Perpustakaan harus memberitahukan kepada pemakai, kapan kegiatan tersebut dilaksanakan. Lazimnya pada saat Cacah Ulang tersebut, perpustakaan tidak melakukan transaksi peminjaman baru, dan hanya menerima pengembalian pinjaman. Untuk memudahkan proses Cacah Ulang sebaiknya dilakukan beberapa hal sebagai berikut: 1. Sebaiknya Perpustakaan memiliki dokumen resi kebijakan tertulis untuk kegiatan Cacah Ulang, termasuk di dalamnya kegiatan penyiangan dan preservasi ; 2. Dalam document tsb dijelaskan tentang a), Maksud dan tujuan kegiatan kepada semua pihak terkait, terutama kepada seluruh pustakawan, b). Organisasi pelaksana kegiatan disertai dengan penjelasan tugas (job description) dan tanggung jawabnya c). Dana yang diperlukan, serta sarana dan prasarana yang diperukan. d). Waktu kegiatan akan dilakukan;
Zulfikar Zen 3. Perpustakaan harus membuat pengumuman resmi kepada semua pihak tentang waktu pelaksanaan, baik dari mulai dan akhirnya kegiatan tersebut. Selain itu, sebaiknya perpustakaan juga menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama proses Cacah Ulang dan Penyiangan; 4. Ketika pelaksanaan kegiatan, susunan koleksi sudah tersusun sesuai dengan No Panggil (Call number), koleksi majalah dan koran berdasarkan abjad judulnya yang masing-masingnya disusun kronologis (tanggal, bukan dan tahun. Koleksi bukan buku (pandang dengar) berdasarkan bentuk dan ragamnya; 5. Kartu pengerakkan (shelf list), sangat bermanfaat dalam kegiatan cacah ulang. Secara mudah dan terorganisir, semua koleksi akan terdeteksi dengan baik. Untuk koleksi yang banyak jumlahnya dicacah oleh tenaga yang lebih banyak pula; 6. Setiap item yang ada harus ditentukan keberdaan dan kondisinya, sesuai dengan informasi yang hendak diketahui di atas.
membacanya. Oleh karena itu diperlukan kriteria yang harus ditentukan untuk penyiangan. KriteriaPenyiangan merupakan ketetapan yang harus ditentukan sebelumnya agar memudahkan pekerjaan. Evans (2000) dengan mengutip H.F. MacGraw, mengemukakan beberapa kriteria dalam penyiangan antara lain
Dalam kegiatan pertanian, penyiangan adalah membersihkan tanaman dari rumput atau tanaman lain yang menganggu. Prinsip tersebut juga diterapkan di perpustakaan. Agar koleksi perpustakaan diminati dan menumbuhkan minat baca, maka koleksi yang tidak diperlukan dikeluarkan dari koleksi perpustakaan. Koleksi tersebut dikeluarkan, baik untuk selamanya atau untuk sementara. Koleksi yang tak berguna, dikeluarkan untuk selamanya, sedangkan yang rusak, diperbaiki terlebih dahulu kemudian dijajarkan kembali. Buku terlarang, dikelaurkan dari koleksi perpustakaan selama larangan berlaku. Tujuan utama penyiangan di perpustakaan adalah untuk memelihara koleksi yang tersedia sesuai dengan kebutuhan pemustaka.
1. Duplikasi (Duplicate): Koleksi yang terdapat duplikasi (ganda) dalam jumlah yang banyak; . 2. Hadiah yang tak berguna . yaitu hadiah yang tidak diinginkan atau tidak diperlukan (Unsolicited and Unwanted gift). Sering perpustakaan mendapat hadiah dari berbagai sumber, tetapi koleksi tersebut tidak bermanfaat bagi pengguna perpustakaan 3. Buku usang, kuno, terutama buku sains (Obsolate books, especially Science). Lazimnya buku-buku sains cepat kadaluarsa dibandingkan dengan buku ilmu-ilmu sosial, ilmu budaya dan humaniora 4. Edisi lama, (Suppesded editions). Bila telah memiliki edisi baru, maka edisi lama sebaiknya dikeluarkan. 5. Buku yang rusak dimakan rayap, kumuh, jorok, lusuh (Books that are infested, dirty, shabby, worn out) 6. Buku cetakan kecil, kertas rapuh, kehilangan halaman) Books with small print, brittle paper, and missing pages) 7. Buku yang tak digunakan, atau tak dibutuhkan (Unused, Unneeded volume of sets) 8. Majalah tanpa indeks (Periodicals with no indekxes) Selain beberapa hal tersebut diatas, dapat ditambahkan untuk kriteria penyiangan yaitu buku-buku terlarang, bahasanya yang buruk, merusak akidah, akhlak, dan lain sebagainya.
Dalam prakteknya, tidak mudah pustakawan untuk mengeluarkan koleksi dari perpustakaannya. Karena akan berdampak pada hukum, juga kepercayaan bahwa buku adalah bagian dari warisan budaya. Buku lama sekali pun, akan baru bagi orang yang baru
Untuk melakukan penyiangan memerlukan usaha yang sungguh–sungguh dengan memperhatikan banyak hal. Mengingat bahwa koleksi perpustakaan merupakan warisan budaya, kekayaan masyarakat, barang invetaris, karenanya jika melakukan penyiangan tanpa
4. Penyiangan (Weeding)
11
Cacah Ulang, Penyiangan dan Preservasi
aturan yang tetap dapat melanggar hukum. Koleksi Deposit dan koleksi keatrifan lokal, merupakan koleksi yang tidak boleh disiangi. Oleh karena itu, dalam Panduan Pengembangan koleksi Perpustakaan Nasional RI (2010) meyebutkan langkah-langkah apa saja yang dilakukan pada saat penyiangan : a.
b.
c.
d.
Buku pedoman. Sebaiknya perpustakaan mempunyai peraturan tertulis tentang penyiangan, sebagai pedoman melaksanakan penyiangan dari waktu ke waktu; Bantuan ahli. Hendaknya pustakawan meminta bantuan dari ahli subjek (specialist subject) untuk menetukan apakah suatu koleksi bernilai guna atau tidak. Kadang kala buku yang sudah cukup tua (out of date), bagi pakar dianggap sangat diperlukan.; Pemanfaatan. Bahan pustaka yang kurang/tidak diminati dapat segera dikeluarkan dari jajaran koleksi. Untuk melakukan penyiangan diperlukan data dari bagian layanan sirkulasi mengenai pemanfaatan suatu bahan pustaka; Isi atau materi. Bahan pustaka yang boleh disiangi, antara lain yaitu: 1) Sudah ketinggalan zaman atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pemakai; 2) Informasinya sudah tida relevan; 3) Data sudah tidak akurat lagi; 4) Informasinya sudah kurang/tidak bermanfaat lagi; 5) Materi sudah tidak sesuai dengan perkembangan kurikulum; 6) Edisi terbaru telah terbit; 7) Materinya bukan merupakan karya klasik dan sejarah; 8) Bahan pustaka yang isinya sudah tidak lengkap lagi dan tidak dapat diusahakan untuk melengkapinya. Ketika diputusakan bahwa beberapa koleksi akan disiangi (dikeluarkan) dari koleksi perpustakaan, maka beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara lain: 1) Membuat daftar koleksi yang akan disiangi; 2) Memberikan cap atau tanda yang menyatakan bahwa koleksi tersebut 12
3)
4) 5)
6)
7)
sudah dikeluarkan.dari koleksi perpustakaan; Mengeluarkan semua kartu katalog yang terkait dengan koleksi tersebut, misalnya kartu pengarang, kartu judul, kartu subjek, dan sebagainya. Termasuk menghapus koleksi dari pangkalan data katalog terpasang; Membuat laporan kegiatan penyiangan yang dilakukan secara sistematis; Jika dimungkinkan koleksi hasil siangan dihadiahkan kepada perpustakaan lain yang memerlukan. Sebaiknya, sebelumnya mengirim surat tawaran kepada calon penerima. Sering juga koleksi hasil siangan dijual dengan harga murah kepada anggota perpustakaan atau masyarakat umum. Kadangkala koleksi hasil siangan dijadikan sebagai barter tukaran koleksi dengan perpustakaan lain.
5. Preservasi (Preservation) Preservasi adalah kegiatan pemeliharaan agar lestari, baik isinya mau pun fisiknya. Bahan pustaka dalam berbagai bentuk disediakan di perpustakaan untuk dipinjamkan. Dalam penggunaannya secara alami pada koleksi yang akan terjadi perubahan, misalnya rusak robek, hilang, kumuh, copot jilidnya, dicoret-coret dan sebagainya. Secara umum terdapat 4 (empat) penyebab kerusakan bahan puasatak yaitu: a. Manusia, Koleksi perpustakaan adalah disediakan bagi pengguna.. Dalam penggunaan tersebut (mungkin) terjadi kerusakan bahan pustaka baik secara disengaja atau tidak disengaja. Kerusakannya antara lain robek, basah, hilang, kumal, dan sebagainya. b. Alam, Sering terjadi kerusakan bahan pustaka karena alam (nature). Peristiwa alam yang sering merusak bahan pustaka, antara lain, kebakaran, banjir, gempa, cuaca, angin, cahaya matahari, debu, temperature atau suhu, dan sebagainya; c. Binatang, Serangga seperti tikus, kecoa, rayap, semut merupakan sebagian dari binatang yang sering merusak bahan pustaka. Koleksi digital akan sangat mudah
Zulfikar Zen terkena virus yang merusak data digital yang dimiliki; d. Zak kimia, Bahan pustaka itu sendiri kadang menyebabkan kerusakan, misalnnya kertas, tinta, plastic, penjepit kertas (paper clips). dan sebagainya. Zat kimia .yang terdapat di dalam bahan pustaka pada saat tertentu ikut mengancam keselamatan bahan pustaka itu sendiri. Koleksi perpustakaan merupakan bagian dari khazanah budaya umat manusia. Oleh karena itu, suatu kewajiban bagi pustakawan untuk memelihara dan merawatnya. Bshksn ada yang mengakatakan bahwa ―Bahan pustaka yang ada ditangan kita saat ini bukan hanya warisan nenek moyang, tetapi juga titipan (amanah) anak cucu” Tanpa perawatan dan pemeliharaan, adalah sangat sulit untuk mewariskannya kepada generasi mendatang. Untuk pemeliharaannya, terdapat 2 (dua) cara yaitu. Preventif (mencegah) dan Kuratif (memperbaiki). Berikut ini berbagai cara perawatan bahan pustaka, antara lain: a. Reproduksi. Yaitu melakukan reproduksi dengan cara fotocopy. Jika terjadi kerusakan pada satu bahan pustaka, perpustakaan masih memiliki koleksi serupa, meskipun tidak asli. Bagian yang hilang ditempelkan pada fotocopy; b. Alih Bentuk yaitu mereproduksinya kedalam bentuk lain yang lebih aman, misalnya dengan cara dibuatkan dalam bentuk mikro, CD ROM, Flash dics, dan sebagainya; c. Jilid Ulang Bahan pustaka yang rusak jilidnya, maka dilakukan penjilidan ulang. Umumnya buku terbitan Indonesia kualitas penjilidannya sangat rendah; d. Laminasi Agar isinya aman, maka koleksi tersebut dilaminasi sehingga dapat digunakan lagi dengan baik tidak akan robek; e. Digitalisasi Di samping upaya untuk meningkatkan keterpakaian koleksi dengan cara digitalisasi, sekaligus juga sebagai upaya untuk perawatan; f. Tidakan Preventif yaitu upaya pemeliharaan dengan melakukan tindakan prefentif dan menghindari dari semua bahaya yang akan mengancam kelestarian bahan pustaka. Ketika membangun sudah dipertimbangkan bahaya yang menjadi penyebabnya rusaknya bahan pustaka. Di perpustakaan harus ditentukan
berbagai cara dan syarat agar koleksi tidak rusak. Koleksi perpustakaan ditempatkan di ruangan dengan temperature yang baik, serta sirkulasi udara yang cukup. Kalau memungkin sebelum menggunakan bahan pustaka membersihkan tangan terlebih dahulu, karena koleksi perpustakaan harus dipelihara kebersihannya; g. Keamanan. Baik keamanan dari maling, curi, rampok dan sebagainya, keamanan juga harus dijaga terhadap pangkalan data dari gangguan virus atau hacker. Membuat cadangan (back up) merupakan upaya yang harus dilakukan untuk memeliharan bahan pustaka.
6. Kesimpulan Perpustakaan merupakan salah satu lembaga jasa. Adapun jasa yang diberikan adalah informasi terekam dalam berbagai bentuk. Pemakai adalah pelanggan (customers, patron) yang harus dilayani kebutuhan informasiya secara tepat, cepat dan akurat. Untuk memudahkan akses terhadap koleksi perpustakaan, perpustakaan menyediakan berbagai sarana, antara lain katalog, bibliografi, indeks, dan lain sebagainya, Layanan terbuka (open access), layanan ektensi, dan layanan terpasang (online) merupakan bagian untuk memberikan layanan maksimal perpustakaan yang mengikuti zaman masa kini. Perpustakaan adalah lembaga yang terus tumbuh dan berkembang. Koleksinya semakin lama semakin berkembang baik dalam hal jumlah mau pun jenis subjeknya, juga dalam hal wadah dan bentuknya. Sebagai lembaga peminjaman, koleksi akan beredar dari pemakai ke pemakai. Tak satu pun koleksi perpustakaan yang tidak boleh dipinjam. Dalam proses sirkulasi (peminjaman) terdapat berbagai hal sebagai konsekwensi logis dari kegiatan, antara lain koleksi menjadi rusak, hilang, salah tempat, ada yang belum dikembalikan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, secara berkala perpustakaan harus diadakan pemeriksaan koleksi. Pemeriksaan tersebut lazim disebut dengan Cacah Ulang (Stockopanme) Istrilah lain dalam bahasa Inggris dikenal sebagai deselection, relegation, retention, deacquisition..
13
Cacah Ulang, Penyiangan dan Preservasi
Dalam kegiatan, Cacah Ulang dilakukan kegiatan lanjutan yaitu Penyaiangan (Weeding) terhadap koleksi yang tidak bernilai guna lagi, rusak, tidak lengkap, sudah kuno, dan lain sebagainya. Disamping itu, beberapa koleksi yang diperlukan dan bernilai guna dilakukan kegiatan preservasi, pemeliharaan dan perawatan. Kegiatan preservasi dapat berupa kegiatan preventif atau kuratif.
7. Daftar Acuan Curley, Arthur dan Dorothy Broderik. Building library collections.—6th ed.—London: The Scarecrow Press, Inc., 1985 Evans, G. Edward dan R. Margaret R. Zarnosky Development of library and information center collection.—Englewood, Colorado: Libraries Unlimited, 2000 Futas, Elizabeth (editor). Collection development policies and procedures.—3rd ed.—Phoenix, Arizona: Oryx Press, 1975 Jenkins, Clare dan Mary Morley.. Collection management in academic libraries.—Aldershot, Hants England: Gower, 1991 Kaur, Devinder dan R.G.Prasher. Librarianship: Philosophy, Laws and Ethics.— New Delhi: Mediton Press, 2002 Library and information center management.—Wets point Connecticut, 2002 Pedoman Pengembangan Koleksi: Perpustakaan Nasional RI, 2010
Jakarta:
Rowley, Jennifer. The electronic library.—London‖ Facet Publishing, 2002 Stueart, Robert D. dan Barbara B. Moran. Library and information management center.— 6st ed.—Westpoint Connecticut: Libraries Unlimited, 2002
14
Purwanto PRESERVASI DIGITAL ARSIP PETA (BLUE PRINT) DI KANTOR ARSIP UNIVERSITAS INDONESIA Anton Purwanto Putra Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Tulisan singkat ini berupaya mengidentifikasi kebutuhan pengelolaan preservasi digital arsip peta (blue print) di kantor arsip Universitas Indonesia. Preservasi digital memiliki keterkaitan dengan rekod elektronik, diantaranya adalah isu teknologi informasi, aspek hukum, aspek manajemen, standar preservasi arsip elektronik, dan metadata rekod elektronik. Kajian yang dilakukan pada 2013 ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode observasi dan studi literatur. Temuan menunjukkan bahwa secara sederhana pembagian tahapan preservasi arsip peta di Kantor Arsip UI adalah pertama, preservasi fisik arsip yang masih dalam bentuk hard paper yaitu dengan melakukan penjilidan untuk arsip peta kemudian pada tahap berikutnya adalah secara sederhana bisa disebut dengan preservasi digital yaitu melakukan alih media terhadap arsip peta tersebut. Dengan demikian, berdasarkan hasil observasi dan studi literatur hal penting yang perlu diperhatikan untuk melakukan pengelolaan arsip peta di UI adalah sebagai berikut: klasifikasi/filling system, metadata, retensi dan disposal arsip peta, strategi migrasi data, pertukaran data, penyimpanan, dan audit informasi. Kata kunci: arsip peta, preservasi digital, rekod elektronik, retensi dan disposal
Abstract This short article seeks to identify the requirement to manage digital preservation of blue print archieve, in archieve office University of Indonesia. Digital preservation has relevancy with electronic record that is information technology issues, legal aspect, management, electronic record preservation standard and electronic record metadata. This research conducted in 2013 has used a qualitative approach and case study method. The findings indicate that the distribution of phase blue print preservation in archive office University of Indonesia is first, physical preservation of blue print in hard papper with to do binding for blue print archieve, seccondly digital preservation that is to do digitalization blue print archieve. Finally outcome from observation and study literatur analysis, importance give attention to manage blue print archieve in University of Indonesia this is clasification/filling system, metadata, retention and disposal blue print, data migration strategic, storage, and information audit. Keywords: blue print, digital preservation, electronic record, retention and disposal
Pendahuluan Preservasi digital memiliki keterkaitan dengan rekod elektronik, beberapa diantaranya adalah isu teknologi informasi, aspek hukum, aspek manajemen, standar preservasi arsip elektronik, dan metadata rekod elektronik. Melakukan pengidentifikasian terhadap ide yang berkaitan dengan preservasi digital adalah hal yang penting. Karena pada hakikatnya preservasi digital adalah preservasi yang dilakukan terhadap informasi di dalam berbagai media simpan dan
rekod yang tercipta/diciptakan dengan menggunakan komputer. Isu-isu yang muncul adalah mengenai karakteristik rekod elektronik dan fakta bahwa rekod tercipta dalam berbagai bentuk objek digital yang berbeda-beda. Digital Preservasi diperlukan biasanya karena besarnya jumlah data dan informasi yang harus dikelola dan utamanya adalah kebutahan mempertahankan nilai guna informasi dari suatu reckod/arsip dan juga sebagai bahan pertimbangan dan pembuktian hukum jika suatu saat nanti dibutuhkan.
15
Preservasi Digital Arsip Peta (blue print) di Kantor Arsip Universitas Indonesia
Pada dasarnya preservasi digital dilakukan untuk rekod dalam format digital atau rekod hardpaper yang sudah dialih media ke dalam bentuk digital. Namun persoalannya adalah masih ada beberapa hal yang membuat perbedaan secara tajam antara rekod dalam bentuk kertas dengan rekod elektronik dalam hal preservasi digital, beberapa di antaranya: media penyimpanan rekod elektronik yang tidak selalu stabil dan cocok untuk pelestarian yang sifatnya permanen atau jangka panjang. Kemajuan teknologi membuat perangkat keras dan perangkat lunak yang digunakan untuk penyimpanan preservasi digital akan usang dalam beberapa tahun. Kemudian juga terkait dengan migrasi rekod ke teknologi yang lebih baru yang membutuhkan biaya besar atau cukup tinggi yang bisa saja akan muncul secara reguler dan proses preservasi digital juga dapat mengakibatkan hilangnya informasi kontekstual yang ada di rekod di samping itu ancaman lain yang bisa saja muncul yaitu fisik dan informasi rekod/arsip hilang karena bencana alam atau manusia, hambatan akses (proteksi), dan aspek legal permission. Sementara untuk rekod yang sudah born (tercipta) dalam bentuk digital dan ketika masih digunakan untuk kegiatan fungsional bisnis organisasi sehari-hari, rekod elektronik itu sendiri juga rentan terhadap perubahan, duplikasi dan kehilangan informasi maupun kontennya. Berbeda dengan rekod yang berbasis kertas, yang umumnya diatur oleh aturan manajemen rekod dan preservation planning yang lebih terkontrol, seperti penggunaan sistem klasifikasi, akses dan pemeliharaan melalui registrasi secara terpusat di mana rekod tersebut dipelihara, sehingga aturan mengenai manajemen dan preservasi rekod hardpaper masih dapat mengimbangi perkembangan kebutuhan preservasinya. Sifat rekod adalah mengandung struktur, konteks, dan konten. Dalam rekod berbasis kertas, karakteristik ini menyatu pada item fisik rekod tersebut, tetapi dalam versi elektronik unsur-unsur ini mungkin hanya ada dalam bentuk konseptual dan tidak ada dalam realitas fisiknya. Maka dari itu muncul suatu tantangan untuk mempertahankan semua sifat tersebut dalam
16
tindakan preservasi digital yang akan dilakukan terhadap rekod kertas yang sudah dialih media ke dalam bentuk elektronik atau rekod yang dari penciptaanya sudah dalam bentuk elektronik. Karena struktur dan konteks akan memberikan makna terhadap isi dan validitas rekod sebagai alat bukti, sehingga hal ini akan menjadi perhatian utama dalam kegiatan preservasi digital yang dilakukan. Pada rekod/arsip elektronik preservation planning seharusnya sudah bisa dilakukan pada saat data/rekod diciptakan bahkan sebelum data diciptakan sudah ditentukan agar nanti mengetahui tindakan preservasi seperti apa yang tepat dilakukan. Clive Kirkwood dan Louisa Venter dalam artikelnya Strategy for the Management and Appraisal of Electronic Rekods in the Public Sector menyebutkan bahwa preservasi rekod elektronik secara garis besar akan membahas mengenai, penjelasan perbedaan rekod kertas dan rekod elektronik, persyaratan pengelolaan rekod elektronik, klasifikasi/filing system, metadata, retensi dan disposal, strategi migrasi, pertukaran data, penyimpanan dan audit. Kantor Arsip Universitas Indonesia merupakan unit kerja yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengelola dan mengorganisasi rekod yang tercipta di lembaga tersebut. Kantor Arsip juga berperasn sebagai Institutional Repository Perguruan Tinggi sehingga memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengelola dan mengatur sedemikian rupa rekod yang tercipta untuk nanti digunakan bagi kepentingan lembaga. Akan ada berbagai jenis rekod dengan nilai guna yang harus di maintain oleh kantor arsip peta, salah satu diantaranya adalah Arsip Peta UI, arsip peta merupakan rekod yang berisi cetak biru (blue print) dari bangunan-bangunan yang ada di kampus UI Depok Jawa Barat dan Salemba Jakarta. Arsip peta ini masuk ke dalam kategori arsip dan nilai guna vital, sehingga arsip ini harus disimpan secara permanen dan statis dan arsip ini penggunaanya juga masih sangat sering sekali sehingga ada tantangan tersendiri untuk melakukan preservasi arsip peta baik dari segi fisik arsip dan nilai informasi yang terkandung. Berbagai tindakan preservasi dengan tahapan-
Purwanto tahapannya sudah dilakukan, hingga preservasi digital, namun yang masih menjadi persoalan dan luput dari perhatian Kantor Arsip UI adalah mengenai long term preservation (preservasi jangka panjang) dari arsip peta UI, bagaimana dengan klasifikasi/filing system, metadata yang akan digunakan untuk temu kembali, retensi dan disposal, migrasi data, keusangan media simpan, dan integrasi dengan aplikasi atau sistem elektronik, belum diperhatikan secara serius. Sehingga tulisan ini akan membahas dan mencoba memberi rekomendasi mengenai aspekaspek tersebut di atas, semoga ini bisa menjadi masukan untuk Kantor Arsip UI dalam hal pengelolaan arsip petanya ke depan agar lebih baik lagi.
kebijakan yang ada telah memadai untuk pendokumentasian atau pekerjaan ini.
DCC Curation Lifecycle Model
Tinjauan Literatur Secara umum payung besar dari preservasi digital terakomodir di dalam Curation Lifecyle yang tertuang di dalam Curation Lifecycle Model. Sebelum membahas mengenai preservasi digital, sebagaiknya mengetahui tentang model ini, sehingga bisa mengetahui berada di bagian mana dan seberapa besar cakupan yang akan di kerjakan dalam preservasi digital. curation lifecycle model berupa grafis, gambaran tingkat tinggi dari tahapan yang diperlukan untuk kesuksesan dalam pelestarian dan kurasi data dari mulai konseptualisasi awal atau penerimaan melalui curation lifecycle. Kita dapat menggunakan model ini untuk merencanakan kegiatan organisasi atau konsorsium dan untuk memastikan bahwa semua langkah yang diperlukan dalam curation lifecycle telah tercakup di dalamnya. Model ini memungkinkan untuk melakukan pemetaan fungsionalitas secara granular misalnya untuk menentukan peran dan tanggung jawab dan membangun kerangka kerja secara standar dan perencanaan teknologi yang akan digunakan dalam pelaksanaanya. Hal ini dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi langkah-langkah tambahan yang diperlukan atau mengidentifikasi tindakan yang tidak diperlukan dan untuk memastikan bahwa proses dan
Diagram Digital Curation Centre
Elemen-elemen kunci dari DCC Curation Lifecycle Model Data yaitu merupakan data, informasi dalam bentuk digital biner, adalah pusat dari Kurasi Lifecycle. Dimana yang termasuk ke dalam cakupannya adalah: Obyek digital: benda-benda digital sederhana/item digital seperti contohnya: file teks, file gambar atau file suara atau bendabenda digital yang bersifat lebih kompleks seperti contohnya: benda-benda digital yang dibuat dengan menggabungkan sejumlah objek digital lainnya, seperti website. Sedangkan database merupakan koleksi terstruktur dari rekod atau data yang disimpan dalam sistem komputer. Deskripsi dan Representasi Informasi adalah tindakan menetapkan administrasi, deskripsi, kebutuhan teknis, struktural dan melakukan pelestarian metadata, menggunakan standar yang tepat, untuk memastikan agar deskripsi dan kontrol jangka panjang sudah memadai. Dengan
17
Preservasi Digital Arsip Peta (blue print) di Kantor Arsip Universitas Indonesia
cara mengumpulkan dan menetapkan informasi yang representatif sesuai dengan yang diperlukan untuk memahami dan menciptakan objek digital dan metadata yang saling terkait. Recana Preservasi (Preservation Planning) merupakan bagian dari curation lifecycle yang merupakan rencana pelestarian objek digital. Hal yang termasuk di dalam perencanaan ini adalah untuk kebutuhan manajemen dan semua tindakan administrasi dalam curation lifecycle. Community Watch and Participation yaitu kegiatan mengelola secara tepat, dan dengan ikut serta untuk berpartisipasi dalam pengembangan standar, tools dan perangkat lunak yang sesuai dengan kebutuhan preservasi. Kurasi dan Preservasi (Curate and Preserve) yaitu kesadaran untuk melakukan tindakan manajemen dan administratif yang direncanakan guna mempromosikan curation dan pelestarian di dalam seluruh aspek curation lifecycle. Model Curation Lifecycle juga mencakup beberapa bebera hal yang disebut dengan sequential actions yang terdiri atas tahapantahapan sebagai berikut ini: Tahap Konseptualisasi (Conceptualise) yaitu tahap merencanakan penciptaan data, termasuk metode capture yang akan digunakan dan pilihan penyimpanan. Tahap Penciptaan dan Penerimaan (Create or Receive) yaitu penciptaan (create) data mencakup di dalamnya administrasi, deskriptif, metadata struktural dan teknis dan pelestarian metadata dapat juga ditambahkan pada saat penciptaan ini. Penerimaan (receive) data, harus sesuai dengan kebijakan pendokumentasian, dari pencipta data, arsip lain, repositori atau pusat data, dan jika diperlukan pada saat ini harus menetapkan sendiri metadata yang sesuai. Tahap Penilaian dan Pemilihan (Appraise and Select) yaitu tindakan mengevaluasi dan memilih data yang masuk dalam cakupan kurasi dan pelestarian jangka panjang. Caranya adalah dengan mematuhi dan melaksanakan secara
18
sungguh-sungguh menurut pedoman pendokumentasian, kebijakan atau ketentuan hukum yang sudah ada. Tahap Pemindahan (Ingest) yaitu tindakan mentransfer data ke pusat arsip, gudang penyimpanan, data center atau lainnya. Dengan mematuhi pedoman pendokumentasian, kebijakan atau ketentuan hukum yang berlaku. Tahap Preservasi (Preservation Action) yaitu dengan melakukan tindakan untuk memastikan pelestarian jangka panjang dan retensi data. Tindakan pelestarian harus dapat memastikan bahwa data tetap otentik, dapat diandalkan dan dapat digunakan dengan tetap menjaga integritasnya. Tindakan ini termasuk pembersihan data, validasi, menetapkan metadata pelestarian, menetapkan informasi representasi dan memastikan struktur data dapat diterima atau format file. Tahap Penyimpanan (Store) yaitu tindakan menyimpan data dengan cara yang aman mengikuti standar yang relevan. Tahap Akses, Penggunaan, dan Penggunaan Kembali (Access, Use and Reuse) adalah untuk memastikan data hanya dapat diakses oleh pengguna yang diberi dan memiliki hak akses. Hal ini mungkin dalam bentuk informasi yang dipublikasikan untuk umum. Kontrol akses yang kuat dan prosedur otentikasi yang berlaku. Tahap Transformasi yaitu tindakan membuat data baru yang dapat diambil dari data aslinya, misalnya: migrasi ke dalam format yang berbeda, atau dengan menciptakan subset, melalui proses seleksi atau query, untuk menciptakan hasil yang baru, dan untuk kebutuhan publikasi yang berbeda dengan format data mentahnya. Selanjutnya ada tindakan yang hanya dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan sesekali, tindakan tersebut tidak dilakukan secara reguler dalam preservasi digital yaitu: Tahap Pemusnahan (Dispose) Disposal data atau pemusnahan, merupakan tindakan penghancuran data atau rekod yang tidak masuk
Purwanto kategori atau dipilih untuk kurasi dan pelestarian jangka panjang sesuai dengan kebijakan pendokumentasian, dan persyaratan hukum. Biasanya data dapat ditransfer ke depo arsip, repositori, data center atau lainnya untuk dihancurkan. Dalam beberapa kasus data dapat dihancurkan karena sifat data, dengan alasan mengikuti aturan hukum yang berlaku, sehingga data dihancurkan dengan berbagai tindankan penghancuran yang aman. Tahap Penilaian Kembali (Reappraise) merupakan tindakan mengembalikan data yang tidak berhasil divalidasi untuk penilaian lebih lanjut dan perlu untuk di seleksi ulang. Tahap Migrasi Data yaitu tindakan pemindahan atau migrasi data ke format yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan sesuai dengan lingkungan penyimpanan atau untuk memastikan kekebalan data itu dari perangkat keras atau perangkat lunak yang telah usang. Pelestarian digital mengacu pada kegiatan yang bertujuan untuk memastikan bahwa data dapat diakses (dalam bentuk benda-benda digital dan database) untuk masa mendatang dan mempertimbangkan agar informasi yang terkandung di dalam rekod atau arsip dapat diakses untuk jangka waktu yang lama bahkan bisa lebih lama dari umur perangkat lunak dan hardware yang digunakan. Hal penting dari preservasi digital adalah: kegiatan apa saja yang dikelola, memastikan bit-stream dapat dipertahankan, memastikan bahwa data dapat diakses danmenjamin aksesibilitas untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Namun preservasi digital tidaklah sepenuhnya sama dengan digital curation. Preservasi digital bisa dikategorikan sebagai subset dari digital curation. Pelestarian digital merupakan bagian penting dari digital curation tetapi itu saja tidaklah cukup, karena itu hanya sebatas melestarikan data, misalnya dengan menyalin ke dalam bentuk-bentuk baru karena penyimpanan data dalam bentuk lama sudah menjadi usang. Digital curation menjadi penting karena mengharuskan manajemen untuk aktif dan
melakukan penilaian terhadap rekod atau arsip dalam cakupansiklus hidup, sehingga dapat melindungi integritas dan meningkatkan nilai dengan tujuan membuat rekod berguna dan dapat digunakan di masa depan. Untuk melakukan hal ini, maka perlu untuk secara aktif mengelola seluruh data berdasarkan siklus hidupnya. Pada dasarnya tujuan yang harus dicapat dari kegiatan preservasi digital adalah untuk memenuhi dan memastikan integritas dari waktu ke waktu dan memelihara aksesnya dengan cara, merekam informasi yang cukup, mengelola kekayaan intelektual dan hak lainnya, mempertahankan kemampuan untuk menemukan bahan-bahan digital yang andal dan memonitor perubahan teknologi yang mempengaruhi aksesibilitasnya. Pembahasan dan Rekomendasi Preservasi Digital Arsip Peta di Kantor Arsip UI Preservasi arsip peta yang dilakukan di Kantor Arsip UI sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dalam dalam beberapa tahapan. Secara sederhana pembagian tahapan preservasi arsip peta di Kantor Arsip UI adalah pertama, preservasi fisik arsip arsip yang masih dalam bentuk hard paper yaitu dengan melakukan penjilidan untuk arsip peta kemudian pada tahap berikutnya adalah secara sederhana bisa disebut dengan preservasi digital yaitu melakukan alih media terhadap arsip peta tersebut. Secara lebih lengkap bagaimana pengelolaan atas arsip peta UI adalah sebagai berikut: Klasifikasi/Filing System Preservasi digital juga harus membangun dan menyertakan filing system untuk rekod elektronik yang mengklasifikasikan rekod pada subjek yang sama. Untuk filing system rekod berbasis kertas pemberkasan mencakup penyimpanan rekod dengan subjek yang sama dalam urutan kronologi, sehingga isi, struktur dan konteks rekod yang ada dapat dilihat semua. Konsep tersebut juga perlu diterapkan untuk rekod elektronik atau ketika preservasi digital dilaksanakan. Sehingga dengan cara ini semua dokumen yang memiliki kesamaan subjek dalam
19
Preservasi Digital Arsip Peta (blue print) di Kantor Arsip Universitas Indonesia
filing system maka akan dipertahankan agar rekod yang harus dibaca secara bersamaan akan menjadi satu kesatuan (misalnya antara format tercetak dengan format elektronik hasil alih media, atau antara rekod yang masih dalam bentuk kertas dengan lampirannya yang berbentuk digital). Jika link dan hubungan antara dokumen fisik dengan elektroniknya tidak dipelihara dengan cara yang sama maka perkembangan suatu kegiatan akan hilang.
deskripsi meta data yang lebih detail dan spesifik untuk menjelaskan arsip peta tersebut. Metadata adalah informasi yang menggambarkan data dan sistemnya, yaitu informasi latar belakang yang menjelaskan bagaimana, kapan dan oleh siapa dokumen atau rekod dibuat, dikumpulkan atau diterima dan bagaimana formatnya. Format inilah yang cenderung berbeda dari rekod atau arsip-arsip lainnya sehingga juga berdampak kepada perbedaan kontennya.
Pengunaan filing system yang sama untuk rekod berbasis kertas dan elektronik akan menghubungkan rekod paper-based dengan rekod elektroniknya. Ini akan memastikan bahwa topik yang ada di semua media yang dikelola tidak saling bertentangan dengan aturan retensi yang ada dan bahwa semua rekod tentang topik yang ada akan ditemu kembali secara komprehensif. Hal ini juga akan mengurangi kebingungan bagi pengguna jika filing system yang sama digunakan untuk rekod berbasis kertas dan elektronik.
Maka sebagai rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan oleh kantor arsip dalam pengembangan pelestarian arsip peta selanjutnya berkaitan dengan pelestarian metadatanya adalah metadata yang dikembangkan untuk arsip peta harus mencakup konteks dan konten. Karena kalau saja konten tidak ada maka dokumen elektronik tidak akan menjadi rekod. Dengan tidak adanya konteks maka rekod tidak bisa digunakan karena tidak diketahui dari mana asal arsip tersebut, siapa penciptanya, kapan diciptakan atau dimana lokasi arsip tersebut disimpan.
Tujuan utama pemberkasan/filing system ini adalah agar dapat menemukan dan menggunakan arsip peta yang ada di kantor Arsip UI untuk masa sekarang dan kebutuhan di masa depan dengan cara yang dapat diterima. Sebagai contoh, sebuah arsip peta yang disimpan dalam format pdf atau jpg akan dapat diterima untuk beberapa objek digital karena ini adalah format standar yang digunakan untuk penyimpanan file teks dan gambar, tetapi hal yang penting untuk dipertimbangkan juga ada untuk objek penyerta atau container yang digunakan untuk menyimpan arsip peta tersebut juga harus dipersiapkan untuk bisa mengakomodir kebutuhan jangka panjang. Metadata Preservasi digital untuk Arsip Peta UI juga harus menyediakan fungsi untuk menambah dan memelihara metadata yang sesuai dengan rekod yang di deskripsi, karena jenis arsipnya tergolong berbeda dari koleksi arsip yang umumnya dikelola oleh Kantor Arsip UI maka metadatanya juga harus disesuaikan atau ditambahkan. Oleh karena itu diperlukan
20
Retensi dan Disposal Preservasi digital juga harus mempertimbangkan dan menyediakan fungsi untuk penambahan instruksi disposal dan aturan retensi untuk semua subjek dalam filing system, mengidentifikasi arsip yang akan dimusnhakan, memberi tanda/alert untuk arsip atau rekod mana yang harus dimusnahkan dan mana yang akan disimpan untuk kebutuhan audit. Pada sistem manajemen retensi dokumen menyiratkan lama waktu simpan dokumen secara online sebelum dipindahkan ke penyimpanan secara nearline atau offline. Biasanya tidak ada prosedur tertulis untuk memusnahkan keseluruhan rekod ketika masih disimpan online, yang berarti bahwa semua rekod elektronik akan dipindahkan ke penyimpanan nearline atau penyimpanan offline, yang memakan lebih banyak ruang penyimpanan. Disposal juga menyiratkan bahwa keputusan itu diambil untuk rekod elektronik yang merupakan arsip atau yang dalam kategori bukan arsip. Rekod yang dalam kategori nonarsip (statis)
Purwanto dapat dibuang/dimusnahkan ketika tidak lagi diperlukan untuk tujuan administratif atau hukum. Namun, rekod yang terkategori sebagai arsip (statis) harus dipelihara secara permanen dengan: menyimpannya pada media penyimpanan yang dapat diterima/cocok; menjaga media penyimpanan dalam kondisi penyimpanan yang optimal sesuai dengan jenis spesifikasi medianya untuk memperpanjang harapan hidup rekod, menyegarkan/refresh media secara berkala, dan migrasi ke hardware dan software yang memiliki teknologi baru ketika dibutuhkan. Strategi Migrasi Strategi migrasi juga harus dapat dibangun dan disertakan ke dalam sistem preservasi digital untuk arsip peta dalam bentuk elektronik yang akan disimpan permanen. Tujuannya adalah pelestarian rekod elektronik untuk akses ke kontennya, bukan hanya pelestarian media penyimpanan. Media penyimpanan elektronik merupakan media penyimpanan inheren yang tidak stabil. Tidak dapat diaksesnya data tidak selalu disebabkan oleh media dan data yang rusak, melainkan oleh hilangnya kemampuan dalam membaca isi data pada media penyimpanan. Teknologi berubah begitu cepat sehingga media penyimpanan hidup lebih lama dari perangkat lunak dan perangkat keras yang dibutuhkan untuk membaca isi dari media penyimpanan tersebut. Oleh karena itu tidak cukup jika hanya fokus pada kebutuhan penyimpanan fisik untuk melestarikan media secara optimal. Pertama bisa saja mempertahankan media penyimpanan dalam bentuk yang sempurna, tapi mungkin nanti kedepannya tidak bisa lagi diakses dan dibaca datanya setelah berlalunya waktu. Satu-satunya cara untuk memastikan pembacaan data dari waktu ke waktu adalah dengan migrasi data/informasi ke perangkat lunak yang baru dan hardware yang diperlukan. Kantor Arsip UI juga harus mempertimbangkan bagaimana pengembangan ICA AtoM kedepanya, jika nanti aplikasi ICA AtoM digunakan untuk preservasi arsip peta UI, seperti apa keberlanjutan pengembangan jangka panjang dari aplikasi ini.
Hal ini bisa dilakukan dengan melihat rencana pengembangan ICA oleh stering commite atau konsorsium. Pertukaran Data Pertukaran data adalah kemampuan untuk menyimpan file pada media menggunakan salah satu jenis komputer dan untuk mengakses konten dari media penyimpanan dengan menggunakan jenis lain dari komputer, sedangkan format nonproprietary (tidak berbayar) menyiratkan bahwa rekod yang dibuat dalam format tertentu harus mampu ia dibaca oleh paket perangkat lunak lain dengan cara yang sama seperti saat diciptakan. Preservasi digital yang dilakukan juga harus mempertimbangkan untuk menyediakan fungsi penyimpanan rekod dalam format nonproprietary (tidak berbayar) pada dasarnya memang ICA AtoM adalah aplikasi yang berbasis open source, sehingga untuk pengembangan dan maintanance aplikasi ini bisa dilakukan oleh komunitas penggunanya karena source codenya terbuka sehingga tidak ada ketergantungan kepada pengembang aplikasi seperti jika aplikasi tersebut berbayar. Pada dasarnya suatu format rekod akan cocok dengan strategi migrasi tertentu pula. Mengadopsi aturan pertukaran data dan format dokumen standar akan menyederhanakan proses migrasi. Mungkin untuk arsip peta yang dikelola oleh Kantor arsip UI bisa menggunakan format standar yang sudah ditetapkan secara internasional, seperti menggunakan format JPG untuk format Gambar atau menggunakan format PDF jika dalam bentuk file teks atau format XML. Aplikasi XML memungkinkan untuk digunakan sebagai format preservasi elektronik jangka panjang yang sudah standar. Hal ini perlu diperhatikan agar bisa membantu strategi migrasi yang kedepannya bisa saja diperlukan untuk koleksi arsip petanya oleh Kantor Arsip UI. Penyimpanan Solusi untuk manajemen rekod adalah harus mendukung semua jenis bentuk penyimpanan rekod. Ketika mengidentifikasi rekod yang harus dipertahankan tanpa batas dalam desain sistem,
21
Preservasi Digital Arsip Peta (blue print) di Kantor Arsip Universitas Indonesia
persyaratan khusus mengenai media di mana rekod ini harus dipertahankan untuk menjamin aksesibilitas di masa depan, dapat diatur pada tahap awal. Pita magnetik, kaset atau disk serta media penyimpanan optik dapat digunakan untuk penyimpanan rekod elektronik. Harapan hidup media tersebut cukup panjang namun tetap dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, termasuk suhu, kelembaban, oksidasi, debu dan medan magnet, dan rekod elektronik sangat sensitif terhadap kerusakan fisik melalui penyimpanan yang tidak baik, penanganan dan penggunaan.
mempengaruhi rekod yang dipreservasisi di dalamnya seperti untuk melacak perubahan yang disengaja atau tidak disengaja dan penghapusan rekod. Karena pada dasarnya informasi yang terkandung dalam rekod termasuk juga di dalamnya arsip peta UI adalah untuk memastikan akuntabilitas dan diciptakan sebagai bahan pembuktian. Untuk melindungi keaslian, keandalan, integritas, akurasi, kecukupan dan kelengkapan rekod, dan untuk memastikan diterima aspek hukumnya, rekod harus dilindungi terhadap perubahan oleh pengguna dan administrator sistem.
Selain itu, setiap jenis media penyimpanan memiliki cara penyimpanan dan persyaratan penanganan sendiri yang harus ditaati secara ketat. Misalnya saja ketika Arsip peta tersebut di dalam pita magnetik, harapan hidup dari pita magnetik adalah 12-20 tahun, jika disimpan dalam kondisi optimal dan jika melakukan pemeliharaan secara rutin namun juga yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan alat baca atau aksesnya. Perlu juga untuk dilakukan pengecekan paling tidak dalam jangka tahunan, pemeriksaan fisik dan pembersihan dilakukan untuk mencegah kerusakan melalui reaksi kimia. Data juga harus ditransfer ke pita magnetik/kaset baru secara berkala untuk memastikan bahwa data tetap dapat diakses.
Sangat penting bahwa sistem audit dari semua tindakan yang diambil terhadap rekod termasuk tanggal, tindakan dan identifikasi orang yang telah mengambil tindakan, harus tercatat perubahan pada rekod dan metadatanya, serta tindakan pemusnahan yang diambil. Sistem tersebut harus mampu melestarikan catatan audit terhadap rekod dalam repositori elektronik dan harus bisa mencegah adanya perubahan terhadap catatan tersebut.
Meskipun harapan hidup media penyimpanan optik adalah 100 tahun dan lebih jika disimpan dalam kondisi yang ditentukan dan ditangani dengan hati-hati, optikal disk juga perlu direfresh secara reguler untuk memastikan bahwa data tetap dapat diakses. Tidak ada jaminan bahwa rekod yang disimpan pada magnetic dan media optik akan tetap dapat diakses dalam jangka waktu yang lama. Pilihan terbaik pada tahap ini adalah untuk memastikan bahwa rekod harus selalu di migrasi ke teknologi penyimpanan terbaik yang tersedia pada masanya. Audit Informasi Perangkat lunak atau aplikasi yang digunakan oleh Kantor Arsip UI jika itupun adalah ICA AtoM, harusnya juga tetap harus menyediakan fungsi untuk merekam semua peristiwa yang
22
Penutup Preservasi rekod elektronik khususnya arsip peta di Universitas Indonesia tetap akan menjadi tantangan bagi Kantor Arsip UI, banyak hal yang akan dihadapi seperti pemahaman dan tindakan preservasi digital yang termasuk di dalamnya perencaan preservasi, sumber daya manusia yang akan melaksanan dan terutama kendala keuangan. Keputusan mengenai preservasi digital pada umumnya sangat dipengaruhi ketersedian sumber daya. Namun, dengan menggabungkan berbagai keahlian dan sumberdaya yang ada untuk mencapai hasil preservasi digital yang maksimal dapat didekati secara proaktif. Hal yang perlu diberi perhatian khusus untuk preservasi arsip digital ini adalah pemahaman yang tuntas mengenai perbedaan rekod kertas dan rekod elektronik, persyaratan pengelolaan rekod elektronik, klasifikasi/filing system, metadata, retensi dan disposal, strategi migrasi, pertukaran data, penyimpanan dan audit. Merupakan data yang otentik yang tidak bisa untuk dimanipulasi, dipalsukan atau diganti.
Purwanto karena preservasi digital seperti migrasi pasti mengubah data, keaslian harus ditunjukkan dengan memperhatikan karakteristik dari data seperti provenance dan konteksnya.
Archive: Practical Experience and Future Research. Kluwer Academic Publishers. Dimuat dalam: Archives and Museum Informatics 11: 301–306, 1997
Preservasi digital harus dilakukan dengan di dasarkan atas kebutuhan bahwa preservasi digital dapat diibaratkan sebagai sebuah siklus yang berjalan secara terus menerus yang harus mempertahankan integritas dan otensitas dari rekod ataua arsip yang dikelola dan preservasi digital juga diharapkan dapat mendukung tindakan provenance dan layanan temu kembali untuk masa sekarang dan masa depan. Strategi preservasi digital secara umum dan dalam aspek yang lebih luas disebut dengan Curation Life Cycle merupakan sebuah planing dan monitor yang dilakukan dalam kegiatan preservasi dalam berbagai tahapan. Curation Life Cycle memberikan gambaran tentang apa saja hal yang harus dilakukan dan tidak perlu dilakukan, kemudian bagaimana peran dan tanggung jawab Kantor Arsip UI dalam pengelolaan arsip peta yang harus dilakukan, dan membuat kerangka kerja standar dari kegiatan preservasi digital arsip peta.
Shepard, E., & Yeo, G. (2003). Managing rekods a handbook of principles and practice. Facet Publishing, London. Sue, McKemmish. (1997), “Yesterday, Today and Tomorrow: A Continuum Responsibility,” in Proceedings of the Rekods Management Association of Australia 14th National Convention, RMAA Perth, 15-17 September 1997. Upward, F. (2005). “The rekods continuum”, In S. McKemmish, M. Piggott, R. Barbara & F. Upward (Eds.), Archives: Rekodkeeping in society, pp. 197-222, Wagga Wagga: Charles Sturt University, Centre for Information Studies http://www.dcc.ac.uk/resources/curation-lifecycle-model
diakses 1 Januari 2014
Daftar Acuan Clive Kirkwood and Louisa Venter. (1997). Strategy for the Management and Appraisal of Electronic Rekods in the Public Sector. National Archives of South Africa. William Cunliffe and Michael Miller. (1989). Writing a General RekodsSchedule for Electronic Rekods. The American Archivist. Dimuat dalam: American Archivist/ Vol 52./Summer 1989. http://www.jstor.org/stable/40293923 pada 23 Desember 2013
Sarah J. A, Flynn (2001), “The Records Continuum Model in Context and its Implications for Archival Practice,” Journal of the Society of Archivists 22(1): 79–93. Schellenberg, T. R. (1998). Modern archives: Principles and techniques. Chicago: SAA. S.E. Binns, D.V. Bowen and A. Murdock (1997). Migration Strategies within an Electronic
23
Pemetaan Kebutuhan Pengguna dan Preferensi Ruangan Perpustakaan...
PEMETAAN KEBUTUHAN PENGGUNA DAN PREFERENSI RUANGAN PERPUSTAKAAN DI PERPUSTAKAAN KHUSUS: STUDI KASUS PERPUSTAKAAN CHANDRA WIDODO Iswanda F. Satibi Peneliti Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi E-mail:
[email protected]
Abstrak Peran dan fungsi perpustakaan perusahaan (corporate library) dapat diwujudkan dalam berbagai layanan yang mampu mengakomodir kebutuhan perusahaan itu sendiri –tentu sesuai dengan visi dan misi perusahan tersebut. Layanan-layanan tersebut dapat bersifat nyata (real) atau virtual. Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Chandra Widodo yang merupakan perpustakaan perusahaan PT. Rekayasa Industri. Tujuan penelitian ini adalah untuk; (1) menjelaskan peta perubahan pengguna perpustakaan, (2) mendeskripsikan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruangan perpustakaan Chandra Widodo, khususnya karyawan PT. Rekayasa Industri. Manfaat penelitian ini adalah memberikan deskripsi penggunaan ruangan perpustakaan Chandra Widodo dan hubungannya dengan pengguna perpustakaan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan mengguanakan teknik observasi dan wawancara. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pengunjung perpustakaan Chandra Widodo dapat dipetakan berdasarkan tiga kategori, yaitu: informatif, edukatif, dan rekreatif. Selain itu, preferensi ruangan perpustakaan Chandra Widodo adalah pada koleksi dan fokus layanan informasi berbasis dokumen tercetak dengan menerapkan format digital, musik, gambar/citra, dan layanan berbasis website.
Abstract The role and functions of the the corporate library can be realized in a variety of services to accommodate the company needs –certainly to the vision and mission of the company. These services can be real or virtual. This research was conducted in Chandra Widodo Library, PT. Rekayasa Industri. The purposes of the research are to: (1) describes the user changes the map library, (2) describe the efficiency and effectiveness of the use of library spaces at Chandra Widodo Library, especially for employees. The benefit of this research is to provide a description of the use of Chandra Widodo Library space and the relationship with library users. This is qualitaive research using observation and interview techniques to collecting data. The findings of this research showed that the visitors of Chandra Widodo library‟s can be mapped based on three categories: informative, educational, and recreational. In addition, the preference of Chandra Widodo library‟s space is focused on library collections and information services based on printed documents or digital format, pictures, and web-based services. Keywords : library space, user mapping, corporate library, chandra widodo library.
1. Pendahuluan Perpustakaan Chandra Widodo termasuk dalam jenis perpustakaan khusus. Perpustakaan khusus lahir karena adanya perbedaan kebutuhan dari kelompok pembaca dalam masyarakat. Kesadaran akan perbedaan kebutuhan informasi menjadi dasar bagi kelompok-kelompok pembaca mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan informasinya masing-masing. Sulistyo Basuki (1991) menjelaskan bahwa faktor yang
24
memengaruhi pembedaan jenis perpustakaan adalah pandangan masyarakat terhadap; (1) jenis pustaka, misalnya buku, film, rekaman suara, kartografi, manuskrip, majalah, dan sebagainya. Dibeberapa tempat terdapat perpustakaan yang hanya mengoleksi salah satu dari material perpustakaan tersebut; (2) kebutuhan informasi, dalam masyarakat terdapat banyak macam kelompok pembaca, misalnya pelajar (SD, SLTP, SLTA), mahasiswa, peneliti, ibu rumah tangga, dan sebagainya. Kelompok pembaca dapat dilatarbelakangi oleh profesi, gender, agama,
Iswanda F. Satibi suku, usia, dan banyak lainnya; (3) spesialisasi subjek, termasuk ruang lingkup subjek dan rincian subjek yang bersangkutan, genus-species (Sulistyo, 1991: 41). Tujuan perpustakaan khusus tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi anggota/ lingkungan tempat perpustakaan khusus tersebut berada. Ketetapan Badan Standardisasi Nasional (BSN) nomor 1637/BSN-1/HK.74/10/99 menjelaskan bahwa tujuan perpustakaan khusus, selain sebagai pemenuhan kebutuhan informasi, adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia di dalam instansi atau lembaga dimana perpustakaan tersebut bernaung. UU no. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan memberikan batasan bahwa perpustakaan khusus diperuntukkan bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah, atau organisasi lain. Salah satu ciri perpustakaan khusus adalah memberikan jasa informasi sesuai minat perorangan. Hal inilah yang menjadikan perpustakaan khusus bersifat lebih dekat kepada pemustaka – orientasi jasa informasi – daripada jenis perpustakaan lain. Oleh karena itu, parameter kualitas sumber daya manusia pada sebuah lembaga atau instansi dapat diukur dari kualitas perpustakaannya. Surachman (2005) menyatakan bahwa perpustakaan khusus merupakan pendukung visi dan misi lembaga/instansi yang bersangkutan (Surachman, 2005). Dengan demikian, peranan perpustakaan khusus sangat potensial dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam ruang lingkup masyarakat dengan basis komuniatas – profesi, hobi, gender, usia, agama, dan sebagainya. The Corporate Library Pada tatanan perusahaan, perpustakaan khusus berfungsi sebagai salah satu lembaga informasi yang mendukung kegiatan perusahaan untuk mencapai visi dan misi perusahaan. Istilah yang berkembang untuk perpustakaan perusahaan dikenal dengan istilah corporate library (CL) –
yang digunakan pada penjelasan selanjutnya. Prusak, et.al (1995) dalam artikel yang berjudul “The Value of Corporate Libraries: The 1995 Survey” menjelaskan, “....corporate library is a collection of resources contained within a corporate entity. Corporate libraries help to organize and disseminate information throughout the organization for its own benefit. They often support areas in the company relating to finance, administration, marketing and technical specialization. In terms of size, they are seldom very large, and most library departments employ less than five fulltime staff.” (Prusak, et.al. 1995: 8). Pengertian yang dikemukakan Prusak di atas menegaskan bahwa peran perpustakaan di sebuah perusahaan dapat menjadi supporting system bagi divisi yang ada di perusahaan tersebut. Namun demikian, corporate library (CL) tidak dapat memberikan keuntungan nyata –dalam bentuk uang– bagi perusahaan. Keyes (1995) dalam jurnal Special Library 86 No. 3 menyebutkan bahwa keuntungan yang bisa didapatkan perusahaan dari CL adalah ketersediaan informasi yang cepat dan tepat kepada karyawan, sehingga tercipta efisiensi waktu bagi pegawai. Selain itu, Keyes berpendapat bahwa CL dapat memengaruhi/mengkonstruksi iklim intelegensia yang kompetitif (competitive intelligence work) diantara karyawan perusahaan. Peran dan fungsi CL pada perusahaan dapat diwujudkan dalam berbagai layanan yang mampu mengakomodir kebutuhan perusahaan itu sendiri – tentu sesuai dengan visi dan misi perusahan tersebut. Layanan-layanan tersebut dapat bersifat nyata (real) atau virtual. Kedua jenis layanan tersebut, menurut Victor Zverevich (2012), sangat berkaitan dengan disain ruangan perpustakaan. Pada tatanan nyata, perpustakaan biasanya memiliki ruang membaca, ruang sirkulasi, ruang penyimpanan, ruang kantor pustakawan, media center, ruang pertemuan, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam ranah virtual,
25
Pemetaan Kebutuhan Pengguna dan Preferensi Ruangan Perpustakaan...
perpustakaan dihadapkan pada information and communication technology (ICT) dan sumber daya elektronik yang dimiliki perpustakaan. (Zverevich, 2012: 5). Perpustakaan Chandra Widodo sebagai corporate library dari PT. Rekayasa Industri mengalami situasi yang hampir sama dengan pendapat Zverevich di atas. Saat ini perpustakaan Chandra Widodo sedang mengembangkan layanan real dan virtual. Pengembangan layanan real dicanangkan terealisasi pada tahun 2014 yang ditandai dengan pembangunan gedung baru guna mengakomodir kegiatan bisnis yang terus meningkat. Gedung baru tersebut akan mengakomodir perpustakaan Chandra Widodo sebagai salah satu supporting system bagi perusahaan. Sedangkan pengembangan layanan virtual dilakukan melalui perbaikan portal Rekind Digital Library dan penerapan sistem automasi perpustakaan menggunakan Senayan Library Management System (SLiMS) versi Meranti. Pengembangan layanan perpustakaan memiliki korelasi secara langsung terhadap perubahan format koleksi perpustakaan, perkembangan teknologi yang digunakan perpustakaan, dan perubahan paradigma masyarakat tentang perpustakaan. Perubahan format koleksi perpustakaan di Abad-21 lebih cenderung bersifat digital. Menurut Griffin (1999), kecenderungan masyarakat untuk meng-gunakan layanan digital perpustakaan ditunjang oleh oleh beberapa faktor berikut: 1. Telah tersedianya teknologi komputasi (otamasi) dan komunikasi yang memungkinkan dilaku-kannya penciptaan, pengumpulan, dan manipulasi informasi. 2. Infrastruktur jaringan internasional untuk mendukung sambungan dan kemampuan pengoperasian bagi pengguna. 3. Informasi online mulai berkembang. 4. Kerangka akses internet umum telah muncul. Perubahan paradigma masyarakat terhadap perpustakaan, menurut Niegaard (2011), tetap dianggap sebagai institusi yang mampu
26
menyediakan sumber-sumber informasi, pengetahuan, dan sebagai tempat/pusat kebudayaan meskipun lebih cenderung disampaikan dalam format digital. Namun demikian, menurut Niegraad, “..the library building is undergoing considerable change: a transition from the book- and the shelf-dominated library to a broad cultural and knowledge-bearing holistic library, where the focus is on the user‟s stay in the library and on the user having access to both physical and digital resources.” (Niegraad, 2011: 174). Artinya, kemampuan pengguna dalam menggunakan teknologi (technology literacy) dan kesadaran terhadap teknologi (awareness of technology) merupakan aspek penting yang mendorong perubahan desain perpustakaan modern. Perubahan paradigma perpustakaan tersebut, menurut Xin Li (2006), akan dapat dilihat dari meningkatnya perrgeseran penggunaan ruangan penyimpanan buku (shelving) ke ruang publik/masyarakat (people space) dalam desain bangunan perpustakaan masa depan (Li, 2006: 377). Dengan demikian, perpustakaan Chandra Widodo perlu memperhatikan perubahanperubahan di atas dengan rencana pengembangan desain perpustakaan. Secara garis besar, permasalahan yang muncul di perpustakaan Chandra Widodo, dari hasil penjabaran di atas, dapat dikategorikan menjadi dua; Pertama, efisiensi dan efektifitas penggunaan ruangan perpustakaan Chandra Widodo. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perpustakaan yang telah disediakan oleh perpustakaan, baik sumber bacaan dan/atau fasilitas penunjang – seperti ruang diskusi, internet, ruang membaca, dan ruang penyimpanan. Kedua, adalah pemahaman perpustakaan terhadap pengguna di lingkungan PT. Rekayasa Industri. Pemahaman tersebut dapat berupa pemetaan pengguna perpustakaan berdasarkan peran di perusahaan, minat, gender, dan kegiatan pengguna (ruang lingkup divisi).
Iswanda F. Satibi
2. Tujuan dan Manfaat
4. Analisis dan Intepretasi Data
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruangan perpustakaan Chandra Widodo dan menjelaskan peta perubahan pengguna perpustakaan, dalam hal ini adalah karyawan PT. Rekayasa Industri. Selain itu, penelitin ini juga bertujuan untuk meningkatkan khazanah keilmuan di bidang perpustakaan, khususnya pada aspek tata ruang perpustakaan.
Perpustakaan Chandra Widodo diresmikan tanggal 13 Februari 2006 yang dikemas dalam kegaitan seremonial berupa pengguntingan pita oleh Ibu Erry Chandra Widodo. Nama perpustakaan diambil dari salah satu mantan Direktur Operasi Rekayasa Industri yang meninggal dunia pada 8 September 2005. Nama perpustakaan Chandra Widodo sering juga disebut dengan Perpustakaan Rekind. Istilah „Rekind‟ merupakan kependekan dari Rekayasa Industri, perusahaan yang menaungi perpustakaan.
Manfaat penelitian ini adalah memberikan deskripsi penggunaan ruangan perpustakaan Chandra Widodo dan hubungannya dengan pengguna perpustakaan. Hubungan tersebut berupa skema kecenderungan pengguna terhadap desain perpustakaan, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan terhadap pengembangan perpustakaan Chandra Widodo kedepannya.
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan mengamati desain ruangan perpustakaan Chandra Widodo. Kegiatan ini dilakukan selama dua minggu pada 15 sampai 29 Agustus 2013 di perpustakaan Chandra Widodo, Kalibata, Jakarta Selatan. Data hasil observasi digunakan sebagai data primer dalam proses analisis mengenai preferensi pengguna perpustakaan Chandra Widodo terhadap desain, interior, dan fasilitas perpustakaan. Sedangkan wawancara dilakukan terhadap kepala perpustakaan, staf perpustakaan, dan tiga pengguna perpustakaan. Proses wawancara dilakukan dengan metode semiterstruktur (indept-interview) untuk menemukan permasalahan yang lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancara dimintai pendapat dan ide-ide (Sugiyono, 2008:73). Hasil wawancara digunakan sebagai data tambahan untuk analisis preferensi pengguna perpustakaan.
Perpustakaan Chandra Widodo didirikan dengan tujuan untuk mendukung proses bisnis perusahaan. Dukungan yang diberikan berupa penyajian informasi yang tepat guna terhadap karyawan PT. Rekayasa Industri untuk membantu pekerjaan yang akan dan sedang dilakukan. Oleh karena itu, struktur perpustakaan Chandra Widodo berada di bawah divisi Human Capital Empowerment (HCE). Saat ini perpustakaan Chandra Widodo memiliki peran cukup penting guna mendukung kegiatan perusahaan. Keadaan ini sejalan dengan visi dan misi perpustakaan di atas, serta cita-cita pendirian perpustakaan. Dengan adanya perpustakaan, transfer dan pemenuhan informasi kepada karyawan PT. Rekayasa Industri dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Pengembangan insfratruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di perpustakaan juga berdampak positif terhadap penyebaran informasi, terutama bagi karyawan PT. Rekayasa Industri yang sedang mengerjakan proyek di luar kantor. Pengguna Perpustakaan Pengguna di perpustakaan Chandra Widodo dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: (1) Pengguna Potensial (target dan non-target), pengguna potensial target adalah karyawan PT. Rekayasa Industri yang menjadi anggota perpustakaan. Anggota perpustakaan Chandra Widodo berjumlah sekitar 250 orang. Sedangkan
27
Pemetaan Kebutuhan Pengguna dan Preferensi Ruangan Perpustakaan...
pengguna non target terdiri dari peserta magang, konsultan, dan tamu PT. Rekayasa Industri yang sedang melakukan kerja sama dengan PT. Rekayasa Industri. (2) Pengguna Aktual, adalah seluruh karyawan PT. Rekayasa Industri. Baik yang bekerja di komplek kantor (Kalibata, Jakarta Selatan), atau yang sedang melakukan pengerjaan proyek di berbagai daerah di Indonesia, serta Luar Negeri. Berdasarkan penjelasan di atas, pengguna perpustakaan Chandra Widodo sebagian besar berada satu komplek dengan perpustakaan. Artinya, jarak antara perpustakaan dan pengguna tidak terlalu jauh karena pengguna adalah karyawan PT. Rekayasa Industri yang hampir setiap hari berada di kantor selama jam kerja. Selama Januari hingga November 2013, jumlah pengunjung perputakaan Chandra Widodo adalah 859 orang. Sebanyak 68% pengunjung adalah karyawan PT. Rekayasa Industri, 32% merupakan tamu dan peserta magang. Data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar pengguna –khususnya karyawan PT. Rekayasa Industri– mengunjungi ke perpustakaan tidak untuk meminjam buku. Hal ini dapat dilihat dari statistik peminjaman buku pada periode yang sama dengan jumlah 244 peminjaman. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pengguna perpustakaan Chandra Widodo tidak hanya untuk mendapatkan informasi, namun lebih cenderung pada kebutuhan rekreasi, sosialisasi, dan interaksi. Bentuk kegiatan rekreasi, sosialisasi, dan interaksi dapat didaasarkan pada jumlah kegiatan yang dilakukan beberapa komunitas di perpustakaan dan kegiatan konsultan perusahaan yang memanfaatkan ruang kerja/diskusi perpustakaan sebagai tempat kerja sementara mereka. Selama Januari hingga November, sejumlah 19 kegiatan komunitas perusahaan yang memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat penyelenggaraan. Sedangkan sejumlah 12 konsultan atau tamu yang menggunakan ruang diskusi perpustakaan. Dengan demikian, pengunjung perpustakaan
28
Chandra Widodo dapat dipetakan berdasarkan tiga kategori, yaitu: informatif, edukatif, dan rekreatif. Pengunjung kategori informatif merupakan pengunjung yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi melalui koleksi perpustakaan, baik koleksi tercetak maupun elektronik. Pengunjung edukatif merupakan pengunjung yang memanfaatkan perpustakaan untuk tujuan sarana pendidikan, termasuk untuk mendukung proses pekerjaan yang sedang dilakukan. Sedangkan pengunjung rekreatif adalah pengunjung yang memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana hiburan, sosialisasi, interaksi dan rekreasi. Lokasi Perpustakaan Perpustakaan Chandra Widodo menempati ruangan yang terletak di Gedung ROB 1 PT. Rekayasa Industri. Ruang perpustakaan bersebelahan dengan koperasi dan ruang istirahat karyawan (Gambar 1).
Gambar 1. Peta Lokasi Perpustakaan Chandra Widodo
Desain Ruang Perpustakaan Ruang perpustakaan menurut Zverevich (2012) dapat diartikan sebagai, “aggregate of all physically existing squares (spaces), where documents on traditional carriers are stored and reader services and the library’s operational, technological and communication activities take place, as well as physically intangible spaces where circulation of electronic resources takes place, including the library computer’s memory and telecommunication channels –either wired
Iswanda F. Satibi or wireless.” (Zverevich, 2012:5) Perpustakaan Chandra Widodo saat ini menempati bangunan dengan luas ruangan 120 m2. Desain ruangan tersebut, berdasarkan hasil wawancara, sudah cukup nyaman bagi pengguna perpustakaan. Funitur yang digunakan hampir seluruhnya bercorak kayu. Dinding perpustakaan hampir 80% ditutup oleh rak
pengembangan fasilitas perpustakaan. Beberapa hasil survei tentang perpustakaan, kondisi fisik dan lingkungan perpustakaan dapat meningkatkan kepuasan pengguna layanan perpustakaan. Lebih lanjut, Li (2006) menjelaskan, “For information seekers living in a fastpaced, noisy society, libraries have a unique edge in providing a sanctuary for thinking, reflection, and socializing. This powerful, living and breathing experience is not replicable in an online environment.” (Li, 2006:371)
Bentuk gedung perpustakaan Chandra Widodo menyesuaikan dengan kondisi gedung. Menurut penuturan Kepala Perpustakaan, kondisi gedung perpustakaan memang sepenuhnya berdasarkan pada kondisi awal. Artinya, penanggung jawab tidak memiliki kewenangan dalam desain gedung perpustakaan. Hal ini menyebabkan sulitnya
Gambar 2. Sketsa Gedung Perpustakaan Chandra Widodo Berdasarkan hasil wawancara, dua responden menyatakan tidak puas dengan kondisi bangunan perpustakaan, sedangkan satu responden mengatakan cukup puas dengan kondisi bangunan. Ketidakpuasan responden didasari keterbatasan ruangan perpustakaan dan kebutuhan responden terhadap ruang perpustakaan, seperti yang diutarakan responden A berikut: “suasananya sih lumayan enak, tapi kalau tidak ada pembagian ruangan, maksudnya yang sebelah sini untuk membaca, di sana untuk diskusi, jadi
kalau ada yang sedang bekerja di sebelah sana, masa kita disini ketawatawa. Kan nggak lucu.” ` Sedangkan menurut responden B, ketidakpuasan lebih didasarkan pada desain interior yang terkesan kaku. Menurutnya, “..seharusnya lebih ya lebih elegan dikit lah ya. Kan rak buku tidak mesti diletakkan di dinding kayak gitu. Jadi bosen lihatinnya... Ya misalnya ditambahin lukisan, atau bisa lihat ke
29
Pemetaan Kebutuhan Pengguna dan Preferensi Ruangan Perpustakaan...
luar ruangan, kan lebih seger gitu.” Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, perpustakaan Chandra Widodo dipersepsikan masih belum mampu memberikan kepuasan bagi pengguna yang berkunjung ke perpustakaan. Bagi staf perpustakaan, tidak adanya skat pemisah juga memberikan pengaruh kurang baik terhadap pekerjaan. Staf A menyatakan bahwa kadang merasa risih ketika bekerja dan mendapati beberapa pengunjung perpustakaan. Meskipun merasa risih, menurutnya, hal ini juga menjadikan interaksi antara pengunjung dan staf perpustakaan. “..ya pasti risih kalau kitanya lagi ngerjain sesuatu disini, dan sebelah kita lagi diskusi. Ntar dikiranya kita nguping obrolan mereka. Tapi kalau yang udah akrab, bisa sambil bercandaan, tapi ganggu kerjaan kita juga sih sebenarnya.” Kondisi demikian menyebabkan jarak preferensi ruangan perpustakaan dan kepuasan pengunjung tidak berjalan maksimal. Artinya, gangguan (noise) yang dirasakan terlampau banyak karena tidak adanya batas antara ruang kerja pustakawan (privat) dan ruang publik di perpustakaan. Gambar 2 merupakan sketsa ruangan perpustakaan Chandra Widodo.
inspiration, and work.” (Niegraad, 2011:177). Berdasarkan hasil observasi, pengunjung perpustakaan Chandra Widodo memiliki kesamaan dengan temuan Niegraad di atas. Sebanyak 859 pengunjung perpustakaan, hanya 37% yang melakukan transaksi peminjaman koleksi perpustakaan. Sisanya, 63% menggunakan perpustakaan sebagai aktivitas bisnis, istirahat (rekreatif), kegiatan komunitas, dan tempat interaksi. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap Kepala Perpustakaan, kondisi ini sudah berlangsung sejak perpustakaan berdiri. Ruang Sirkulasi, ruang sirkulasi di perpustakaan Chandra Widodo terletak di dekat pintu masuk perpustakaan. Ruang ini menjadi satu dengan ruangan staf perpustakaan (Gambar 3). Menurut Rockwell (1989) dalam Pavlovsky (2003), ruang sirkulasi seharusnya bersandingan dengan fungsi esensial perpustakaan, yaitu jasa referensi (Pavlovsky, 2003 :28) Perpustakaan Chandra Widodo tidak memiliki kekhususan ruangan untuk layanan referensi, kegiatan referensi dilakukan oleh staf perpsutakaan dan dilaksanakan di meja sirkulasi. Hal ini terbukti cukup efektif mengingat intensitas layanan referensi dan sirkulasi tidak terlalu tinggi.
Preferensi Ruangan Perpustakaan Niegraad (2011) menyatakan bahwa preferensi, konten, dan kinerja perpustakaan masa depan dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yaitu: (1) perpustakaan dengan koleksi dan fokus layanan informasi berbasis dokumen tercetak dengan menerapkan format digital, musik, gambar/citra, dan layanan berbasis website, (2) perpustakaan yang menyediakan tempat pertemuan interaktif untuk komunitas lokal, pembelajaran/pendidikan, dan transformasi ruangan, yang keseluruhannya dapat digunakan oleh pengunjung. Hasil studi Niegraad pada tahun 2009 menjelaskan bahwa setengah pengunjung perpustakaan di Denmark tidak bertujuan untuk meminjam buku perpustakaan, namun “to use the library as a place of sanctuary and a place for information,
30
Gambar 3. Ruang Sirkulasi Ruang Penyimpanan, terletak di hampir seluruh dinding perpustakaan (Gambar 4 & 5). Kondisi ini mengakibatkan kebosanan/kejenuhan bagi pengunjung perpustakaan –seperti penjelasan di atas. Namun demikian, hal ini dapat menghemat ruang perpustakaan dan menurut sebagian pengunjung, dapat meningkatkan minat untuk
Iswanda F. Satibi membaca. Pernyataan Naudé (1950) yang dikutip oleh Dahlkild (2011) menyebutkan bahwa preferensi penyusunan buku yang tepat adalah, “Even less ought one to use gold on his ceilings, ivory and glass on his wall, cedar for shelves or marble for his floors, since this sort of display is no longer in style, nor to put books on desks, as the fashion once was, but on shelves that cover entire walls” (Dahlkild, 2011:13).
Gambar 4. Ruang Penyimpanan I
pembatas ruangan. Keadaan ini secara langsung akan memengaruhi privacy staf perpustakaan dan mengganggu kinerja mereka. Pavlovsky (2003) mengemukakan bahwa area untuk staf dan fungsi khusus harus mendapatkan perhatian berbeda dengan ruang publik, “while the peripheral space are allocated to staff and specialized function/purposes that are outside the standard public domain.” (Pavlovsky, 2003 :82).
Gambar 6. Sketsa Ruang Staf Ruang Komputer/Internet, ruang ini dapat ditemukan di sebelah kanan pintu masuk perpustakaan. Kondisi ini secara langsung dapat mengganggu pengguna komputer karena arus keluar masuk pengguna lain. Selain itu, posisi yang berdekatan dengan meja sirkulasi juga dapat memberikan gangguan pengguna fasilitas internet /komputer.
Gambar 5. Ruang Penyimpanan II Namun demikian, pernyataan Naudé tersebut merupakan konsep perpustakaan lama. Konsep shelving di perpustakaan modern cenderung meminimalisasi ruangan untuk tempat penyimpanan sebagai isu utama desain perpustakaan (Dahlkild, 2011:13). Gambar 7. Fasilitas Inernet Ruang Kerja Staf Perpustakaan, ruang ini dapat ditemukan di sebelah kiri dari pintu masuk perpustakaan. Ruangan ini terbagi menjadi dua dengan skat papan yang memisahkan ruang staf perpustakaan dan kepala perpustakaan (Gambar 6). Ruang ini terlihat „bebas‟ dari seluruh ruangan perpustakaan, hampir tidak ada
Ruang komputer seharusnya mendapatkan jarak yang cukup jauh dari ruang penyimpanan. Gambar 7 di atas memperlihatkan ruang komputer berada di bawah rak penyimpanan. Hal ini akan berdampak pada proses penulusuran informasi pengguna lain apabila koleksi terletak
31
Pemetaan Kebutuhan Pengguna dan Preferensi Ruangan Perpustakaan...
di atas meja komputer. Library as a Place Konsep library as a place merupakan konsep desain perpustakaan yang menekankan aspek humanities. Artinya, perpustakaan dapat menjadi media pengguna/pengunjung untuk berinteraksi, bersosialiasi, dan rekreasi. Heather Simpson (2007) dalam studinya menyatakan bahwa perpustakaan harus meningkatkan layanan tradisional dan terus bertransformasi sebagai bagian dari masyarakat/komunitas. Simpson jug berpendapat, “Most libraries will need more study spaces to accommodate changes in pedagogy, meeting spaces for groups and reading and research spaces, all regardless of how much technology moves into libraries. Collections and services, organizational needs, and library missions will evolve, and space planning needs to provide for these changes.” (Simpson, 2007:21-22). Berdasarkan pembahasan kondisi perpustakaan Chandra Widodo, konsep library as a place dapat diterapkan guna mendukung aktivitas pengunjung perpustakaan. Tren yang berkembang saat ini adalah peran perpustakaan sebagai third places. Kosep thrid places dikemukakan oleh Ray Oldenburg dalam bukunya yang berjdul, “The Great Good Places” tahun 1989. Konsep tersebut mengacu pada tempat-tempat hangouts yang berada dekat atau di tengah-tengah komunitas. Perpustakaan Chandra Widodo dengan potensi pengunjung dan peningkatan fasilitas perpustakaan, dapat menjadi thrid places bagi karyawan PT. Rakayasa Industri pada khususnya, dan pengunjung lainnya.
5. Kesimpulan Pengunjung perpustakaan Chandra Widodo dapat dipetakan berdasarkan tiga kategori, yaitu: informatif, edukatif, dan rekreatif. Pengunjung kategori informatif merupakan pengunjung yang
32
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi melalui koleksi perpustakaan, baik koleksi tercetak maupun elektronik. Pengunjung edukatif merupakan pengunjung yang memanfaatkan perpustakaan untuk tujuan sarana pendidikan, termasuk untuk mendukung proses pekerjaan yang sedang dilakukan. Sedangkan pengunjung rekreatif adalah pengunjung yang memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana hiburan, sosialisasi, interaksi dan rekreasi. Preferensi ruangan perpustakaan Chandra Widodo adalah dengan koleksi dan fokus layanan informasi berbasis dokumen tercetak dengan menerapkan format digital, musik, gambar/citra, dan layanan berbasis website. Hal ini berdasarkan preferensi ruangan yang ada saat ini, yaitu: ruang sirkulasi, ruang penyimpanan, ruang staf perpustakaan, dan ruang komputer/internet. Kondisi tersebut berdampak pada kurang maksimalnya peran perpustakaan sebagai tempat pertemuan interaktif untuk komunitas lokal, pembelajaran/pendidikan, dan transformasi ruangan. Namun demikian, dengan potensi pengunjung dan peningkatan fasilitas, Perpustakaan Chandra Widodo dapat menjadi thrid places bagi karyawan PT. Rakayasa Industri pada khususnya, dan pengunjung lainnya.
6. Daftar Acuan Dahlkild, Nan. (2011). Library Deisign: From Past to Present. Library Trends. pp. 11-12. The Board of Trutess, University of Illinois. Griffin. (1999). An Architecture for Collaborative Math and Science Digital Libraries , MS thesis (Virginia Tech Department of Computer Science, Blacksburg, VA, 1999). Indonesia. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 2007. Undangundang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Bab I pasal 1. Keyes, Alison M. "The Value of the Special Library: Review and Analysis." Special Libraries 86, no. 3 (1995): 172–87
Iswanda F. Satibi Li, X. (2006). Library as incubating space for innovations: Practices, trends and skill sets. Library Management, 27(6), 370-378. doi:http://dx.doi.org/10.1108/014351206107 02369
Zverevich, V. (2012). Real and virtual segments of modern library space. Library Hi Tech News, 29(7),5-7. doi:http://dx.doi.org/10.1108/074190512112 80027
Niegaard, H. (2011). Library space and digital challenges. Library Trends, 60(1), 174-189. http://search.proquest.com/docview/9032243 37?accountid=17242 Pavlovsky, L. (2003). Values in library design. (Order No. 3105483, Rutgers The State University of New Jersey - New Brunswick). ProQuest Dissertations and Theses, , 258-258 p. http://search.proquest.com/docview/3053131 84?accountid=17242. (305313184). Prusak, Laurence, and Matarazzo, James M. "The Value of Corporate Libraries: The 1995 Survey." SpeciaList 18, no. 1 (1995): 9–15 Simpson, H. (2007). Mapping users' activities and space preferences in the academic business library. (Order No. MR29899, University of Alberta (Canada)). ProQuest Dissertations and Theses, , 123. http://search.proquest.com/docview/3047932 14?accountid=17242. (304793214). Special Library Association. (1998). Competencies for special librarians of the 21st century. Submitted to the Board of Directors by the Special Committee on Competencies for Special Librarians. http://www.sla.org/pubs/compet.pdf (diakses 10 Mei 2012: 21.44 WIB) Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: CV. Alfabeta Surachman, Arif. (2005). Menejemen Perpustakaan Khusus. http://arifs.staff.ugm.ac.id/publication.html. (diakses 10 Mei 2012: 21.38 WIB) Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
33
Perilaku Informasi Masyarakat Urban di Indonesia pada Waktu Senggang
PERILAKU INFORMASI MASYARAKAT URBAN DI INDONESIA PADA WAKTU SENGGANG Kiki Fauziah Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok. E-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini merupakan hasil analisis mengenai perilaku informasi masyarakat urban di Indonesia pada waktu senggang. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan kajian literatur dari berbagai hasil penelitian dan observasi langsung ke lapangan. Berdasarkan dari pengumpulan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku informasi masyarakat urban di Indonesia pada waktu senggang mengalami perubahan dari berkelompok menjadi cenderung ke arah individualistik. Kata kunci: perilaku informasi, masyarakat urban, Indonesia.
Abstract This article is the result of analysis about information behaviour of urban society in Indonesia in the leisure time. The data collection was done by a literature studies from various researches and direct observations. Based on the data collection, it can be concluded that the information behavior of urban society in Indonesia in the leisure time is changed from groups tend to be individualistic. Keywords: information behaviour , urban society, Indonesia
1. Pendahuluan Definisi perilaku informasi merupakan“the totally of human behavior in relation to source and channels of information, including both active and passive information seeking, and information use. Thus, it includes face to face communication with others, as well as the passive reception of information as in, for example, watching TV advertisements, without any intention to act on the information given” (Wilson : 2000). Perilaku informasi menurut Wilson ialah keseluruhan tingkahlaku manusia yang berkaitan dengan sumber dan saluran informasi, meliputi perilaku aktif dan pasif dalam mencari dan memanfaatkan informasi. Perilaku aktif ketika terjadi interaksi komunikasi secara langsung (face to face) dan perilaku pasif yaitu ketika melihat iklan di TV tanpa adanya reaksi untuk bertindak langsung terhadap iklan televisi tersebut. Dengan demikian, perilaku informasi dapat disimpulkan sebagai suatu
34
tingkah laku manusia yang berkaitan dengan pemanfaatan informasi yang terdapat di sekitarnya melalui berbagai media ataupun saluran informasi. Selanjutnya perilaku informasi masyarakat dapat bersifat aktif maupun pasif. Perilaku informasi masyarakat urban di Indonesia secara aktif melalui sumber informasi yang terdapat di saluran internet. Seperti yang kita ketahui, pada era digital saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa internet memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia. Semenjak munculnya jejaring sosial, maka banyaknya masyarakat Indonesia yang lebih asyik berdiskusi dengan temannya melalui jejaring sosial dibandingkan untuk bertemu dengan temannya secara nyata. Hal inilah yang secara tidak sadar menimbulkan suatu gejolak individualitas di dalam diri individu masyarakat Indonesia saat ini. Seperti contoh, ketika di dalam kereta terlihat suatu fenomena di mana yang naik dahulu, dialah yang
Kiki Fauziah berhak mendapatkan tempat duduk. Dan ketika duduk, setiap orang asyik bermain dengan handphone maupun gadget-nya masing-masing tanpa mempedulikan bahwa ada seseorang wanita hamil maupun manula ataupun seseorang anak berdiri dihadapannya. Inilah yang menyebabkan rasa kebersamaan antara masyarakat Indonesia mulai pudar yang dipengaruh penetrasi internet dan perkembangan teknologi yang semakin pesat di Indonesia (sumber : pengamatan pribadi). Perilaku informasi masyarakat urban di Indonesia mulai mengalami pergeseran ke arah individualistik. Jika kita melihat ke masa dahulu, masyarakat Indonesia terkenal dengan masyarakat yang suka berkelompok sehingga mengakibatkan tradisi lisan di masyarakat Indonesia berkembang. Namun, semenjak munculnya internet dan semakin pesatnya perkembangan teknologi di Indonesia, mengakibatkan pergeseran perilaku masyarakat Indonesia dari yang suka berkelompok cenderung bergeser ke arah individualistik. Hal ini terlihat nyata pada masyarakat Ibu Kota Jakarta, masyarakat Jakarta cenderung bersifat individualistik. Mengapa saya katakan demikian? Hal ini dikarenakan ketika kita berada dalam suatu sarana transportasi publik, maka secara saksama akan terlihat mayoritas penumpang asyik dengan gadget ataupun handphonenya masing-masing. Bahkan saat ini, ketika ada penumpang lainnya yang terkena musibah, mereka bersifat apatis dan sibuk untuk menyelamatkan harta bendanya ataupun nyawanya masing-masing dibandingkan menolong penumpang tersebut (sumber : pengalaman pribadi). Berdasarkan pada pengamatan tersebut, maka perilaku masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kota dapat dikatakan mulai mengalami pergeseran dari berkelompok menjadi individualistik. Berdasarkan pada hasil pengamatan saya bahwa dalam mengisi waktu senggang, masyarakat Indonesia lebih rela untuk menghabiskan waktu senggang dengan bermain games online maupun online pada situs media sosial dibandingkan untuk membaca buku. Hal ini sungguh sangat ironis sekali, pemanfaatan informasi internet dimanfaatkan sebagai hiburan semata bagi
masyarakat Indonesia dalam mengisi senggang. Sedangkan jika kita melirik Jepang, dalam mengisi waktu senggang memanfaatkan dengan membaca buku. terlihat pada gambar dibawah ini.
waktu Negara mereka Seperti
(a) (sumber (a): dokumentasi pribadi, Oktober 2013)
(b) (sumber (b) :Karta Raharja Ucu, Desember 2011) Gambar 1. Perbedaan perilaku informasi masyarakat Indonesia (a) dengan masyarakat Jepang(b) dalam mengisi waktu senggang
Perbedaan perilaku informasi masyarakat urban di Indonesia dengan masyarakat di Jepang dipengaruhi secara kuat oleh perbedaan kultur. Pada masyarakat Jepang telah mendarah daging dalam tubuh setiap masyarakatnya kegiatan membaca (sumber : www.jaringnews.com). Bahkan penetrasi internet dan perkembangan teknologi pada masyarakat Jepang pun dikontrol oleh pemerintah Jepang. Terdapat suatu artikel 35
Perilaku Informasi Masyarakat Urban di Indonesia pada Waktu Senggang
berjudul “Jepang Mulai Atur Penggunaan Ponsel Untuk Anak-Anak” dimuat dalam situs www.techno.ekozone.com menyatakan bahwa pemerintah Jepang mengontrol pemakaian handphone pada siswa sekolah. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan ponsel oleh anak-anak. Berdasarkan pada bukti tersebut, dapat dikatakan bahwa pemerintah Jepang dan lembaga ponsel Jepang bekerjasama dalam menempatkan perkembangan teknologi yang sesuai untuk masyarakatnya. Namun, jika kita melihat Negara Indonesia, kegiatan membaca belum menjadi suatu budaya bagi bangsa ini. Selain itu, informasi yang terdapat di internet seluruhnya diterima secara utuh tanpa adanya upaya pengontrolan dari pemerintah. Hal inilah yang menyebabkan munculnya perkembangan teknologi dan internet semakin memunculkan dampak negatif bagi bangsa ini dibandingkan dampak positif yang diperoleh. 2. Perilaku Informasi Masyarakat Urban di Indonesia Pada Waktu Senggang Berdasarkan pada beberapa hasil penelitian terdahulu dan hasil observasi saya bahwa perilaku informasi masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan informasi ketika mengisi waktu senggang ialah dengan memanfaatkan akses internet, menonton televisi, dan membaca bahan bacaan. Berikut perilaku informasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dalam mengisi waktu senggang.
2.1 Memanfaatkan Akses Internet Perilaku informasi masayarakat urban di Indonesia dalam memanfaatkan akses internet lebih digunakan sebagai sarana hiburan yaitu jejaring sosial. Berdasarkan penelitian BPS (Biro Pusat Statistik) ditemukan bahwa hampir seluruh Provinsi di Indonesia sudah menggunakan dan memanfaatkan internet dalam mencari informasi. Adapun provinsi pengguna internet tertinggi ialah Sulawesi Utara tercatat sebagai provinsi yang sudah 100% menggunakan komputer dan internet, peringkat kedua ialah Kalimantan Barat (94,12%), dan peringkat ketiga ialah DKI Jakarta (90,83%) sebagai pusat pemerintahan, dan provinsi yang masih minim dalam menggunakan 36
dan memanfaatkan internet ialah Maluku Utara (40%). Hal ini menandakan bahwa akses internet di Indonesia sudah semakin luas. Dengan keterluasan terhadap akses internet di Indonesia, pemanfaatan informasi melalui saluran internet pun secara signifikan meningkat seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada era digital saat ini. Peningkatan pemanfaatan informasi melalui saluran internet di Indonesia dibuktikan bahwa berdasarkan berita pada vivanews Oktober 2013 bahwa pengguna internet di Indonesia mengalami penaikan yaitu pada tahun sebelumnya hanya 26 % dan pada tahun ini 30%. Menurut Managing Director Media Nielsen Indonesia Irawati Pratignyo mengatakan “mereka menghabiskan waktu rata-rata dua jam perhari untuk bermain internet”. Adapun penggunaan internet tertinggi masih dimanfaatkan untuk mengakses jejaring sosial dengan persentase 75,3%, Adapun pengaksesan internet sebagai jejaring sosial mulai sedikit mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2012 yaitu 76,3%. Kemudian penggunaan intenet untuk mengunduh perangkat lunak atau dokumen mengalami peningkatan menjadi 37,3% dibandingkan tahun 2012 sebesar 33%. Perilaku informasi masyarakat Indonesia dalam mengakses internet untuk media sosial lebih cenderung dimanfaatkan oleh masyarakat yang berusia dibawah 50 tahun. Hal ini dibuktikan berdasarkan data lpsos menyatakan bahwa kebanyakan responden yang memanfaatkan internet sebagai media sosial ialah 50% responden berusia dibawah 35 tahun, 38% responden yang berusia 35-49 tahun, dan 30% responden berusia 50-64 tahun. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa internet lebih sering dimanfaatkan oleh responden usia muda yang dikarenakan mereka memiliki banyak waktu senggang untuk memanfaatkan internet. Jika dilihat dari jenis kelamin menurut data lpsos menunjukkan wanita (46%) lebih banyak memanfaatkan internet sebagai media sosial dibandingkan pria (37%). Hal ini tidak mengherankan karena wanita lebih suka mengungkapkan emosinya baik berupa tulisan maupun berbicara langsung kepada teman maupun orangtuanya jika ada masalah dibandingkan pria.
Kiki Fauziah Berdasarkan penelitian lpsos menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga yaitu sebesar 62% dalam memanfaatkan internet sebagai media sosial yang lebih rendah dari Turkey (64%) dan Brazil (63%). Berdasarkan data socialbakers April 2013 menyatakan bahwa pengguna Facebook di dunia sampai April 2013 mencapai 982.150.100 orang. Dengan demikian, data yang dikeluarkan oleh situs socialbakers 1 milyar kurang dari 18 juta. Hal ini menunjukkan 1 dari 7 orang penduduk dunia ini memiliki akun di Facebook. Jika diperingkat berdasarkan benua maka peringkat pertama diduduki oleh Benua Asia, peringkat kedua oleh Benua Eropa dan peringkat ketiga diduduki oleh Benua Amerika Utara. Sedangkan berdasarkan negara, Indonesia menduduki peringkat keempat dengan total pengguna Facebook 47.983.640 yang mengalami penetrasi 19,75% dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, tidak heran jika banyak bermunculan jejaring sosial di Indonesia seperti Facebook, twitter, Friendster, HiFive, Yahoo Messenger, Kakao talk, Wechat, Whatsup, dan lainnya. Perilaku informasi masyarakat Indonesia dalam kaitannya dengan internet lebih sering berbagi informasi melalui media sosial. Seperti yang ditunjukkan oleh lembaga lpsos bahwa item yang paling popular dishare ialah gambar (43%), “pendapat pribadi” (26%), status update tentang apa yang saya lakukan (26%), link kepada artikel (26%), „sesuatu yang saya suka atau direkomendasikan seperti produk, layanan, film, buku, dll (25%), “item baru‟ (22%), link ke website lain (21%), repost dari post media sosial yang lain‟(21%), status update tentang apa yang saya rasakan (19%), video clip (17%). Merencanakan untuk kegiatan yang akan datang, perjalanan(9%), dan tipe konten lainnya (10%). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa lebih seringnya pengguna internet dalam berbagi foto melalui media sosial. Menurut data tersebut, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke empat (88%) sebagai pengguna internet untuk berbagi konten online melaui media sosial Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai aplikasi berbagi foto seperti Instagram, Path, dan aplikasi lainnya
Menurut Nielsen dalam vivanews terjadi pergeseran mengenai lokasi mengakses internet. Pada tahun 2013 tercatat bahwa pengguna internet di Indonesia lebih banyak mengakses dari rumah (47%) dibandingkan dari warnet (28%).Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah memiliki perangkat untuk mengakses internet di rumah.Sehingga tidak heran, pada era ini larisnya penjualan laptop, gadget, dan smartphone yang mengindikasikan bahwa internet sudah menjadi kebutuhan primer bagi masayarakat di negara ini.Perkembangan internet mengancam semakin rendahnya minat baca masayarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan hanya dengan mencari segala sesuatu melalui search engine google maka semuanya akan muncul hanya saja informasi yang disajikan tidak semuanya sesuai dengan kebutuhan para pencari bahkan hampir sebagian besar hanyalah “junk information”. Namun, diakhir tahun 2013 secara drastis terdapat pergeseran perilaku informasi masyarakat Indonesia dalam mengakses internet. Pada akhir tahun 2013, BPS menyatakan bahwa terjadi peningkatan pemanfaatan informasi melalui internet ke arah positif. Berikut tabel hasil penelitian BPS diakhir tahun 2013. Berdasarkan data hasil survei Badan Pusat Statistik akhir tahun 2013 (Grafik 1), dikatakan bahwa pemanfaatan informasi internet oleh masyarakat Indonesia tertinggi digunakan untuk mengirim/menerima email (95,75%), tertinggi ke dua untuk mencari informasi berita (78,49%), tertinggi ketiga untuk mencari informasi barang/jasa (77,81%), tertinggi keempat untuk mencari informasi lembaga pemerintahan (65,07%), tertinggi kelima untuk sosial media dan menyediakan pelayanan bagi pelanggan (61,23%). Hal ini menandakan bahwa terjadi perubahan perilaku informasi masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan akses internet dari dominan dimanfaatkan untuk akses jejaring sosial menuju akses ke informasi yang dapat berguna bagi diri individu tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebutuhan informasi masyarakat Indonesia semakin meningkat seiring waktu. Hal ini terlihat semakin menjamurnya pengimigrasian media cetak ke media online seperti e-book, e-magazine, e-newspaper, e-pay,
37
Perilaku Informasi Masyarakat Urban di Indonesia pada Waktu Senggang
dan lain-lain. Dengan demikian, terjadi peralihan perilaku informasi masyarakat Indonesia menuju ke arah pasif yaitu jarang bertranstaksi secara
tatap muka melainkan hanya melalui sebuah alat elektronik.
Grafik 1. Pemanfaatan Internet Oleh Masyarakat Indonesia 2013 (sumber: BPS, 2013)
2.2. Menonton Televisi Selain menggunakan internet, perilaku informasi masyarakat Indonesia dalam mengisi waktu senggang yaitu menonton televisi. Berdasarkan informasi dari media online tempo yang diterbitkan pada tanggal 6 Maret 2013 mengatakan bahwa “televisi masih menjadi media utama bagi masyarakat Indonesia untuk pencarian informasi dan hiburan pada tahun 2012 lalu. Hal ini diperkuat oleh penelusuran Nielsen Audience Measurement bahwa 94% masyarakat Indonesia mengonsumsi media melalui televisi. Menurut Neilsen acara pencarian bakat di televisi yang menduduki rating terbesar yaitu 2,3% yang berarti ditonton oleh 1,2 juta penonton di atas 5 tahun di 10 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Untuk program terpopuler tahun 2012, Nielsen menjatuhkan pada programprogram khusus seperti pertandingan sepak bola. Misalnya penonton AFF Suzuki Cup Malaysia vs Indonesia yang lebih dari 5,8 juta orang, dengan
38
poin rating 10,9; Hassanal Bokiah Trophy Indonesia vs Brunei, ditonton 5,1 juta orang dengan rating 9,6; dan pertandingan persahabatan Indonesia vs Brunei, ditonton lebih dari 4,6 juta penonton dengan rating 8.8. Selain itu juga dalam penelitian Nielsen ini menunjukkan bhawa jumlah populasi TV mencapai 49.525.104 individu berusia 5 tahun ke atas. Dengan semakin meningkatnya jumlah populasi penikmat acara televisi terutama dinyatakan pada penelitian Nielsen bahwa populasi TV saat ini terhitung mulai dari usia 5 tahun ke atas. Seyogyanya pemerintah Indonesia bekerjasama dengan sutradara suatu acara ataupun film dalam menciptakan suatu tayangan yang sarat akan pendidikan tidak hanya sebagai media hiburan semu semata. Berdasarkan data tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia dalam mencari informasi masih sangat tergantung pada media televisi yaitu budaya mendengar bukan pada budaya membaca. Budaya mendengar ini lebih mudah diserap oleh masyarakat Indonesia dalam
Kiki Fauziah bertingkah laku, life style, serta kebiasan mereka. Jika kita lihat pada zaman ini, dengan semakin bergesernya televisi dari kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat Indonesia. Mengakibatkan banyaknya para anakanak remaja yang terpengaruh oleh informasi yang ditontonnya di televisi seperti salah satu acara yaitu sinetron ataupun komedi. Adapun makna dari kedua acara tersebut hanyalah suatu hiburan semata yang didalamnya tidak tersirat nilai-nilai penting yang dapat di ambil setelah menonton acara tersebut. Jika saya mengkritisi isi dari acara sinetron di televisi Indonesia tidak lain hanyalah memuat suatu gambaran mengenai seorang penguasa yang menekan orang-orang lemah. Seorang penguasa diidentifikasikan sebagai orang yang kaya raya dengan karakter dominan seseorang yang jahat dan sombong sedangkan orang-orang lemah diidentifikasikan sebagai orang miskin dengan karakter dominan seseorang yang lemah dan tertindas. Hal ini dapat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam bertingkah laku dan bersosialisasi baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan sosial lainnya. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari tayangan sinetron tersebut ialah munculnya paradigma dimasyarakat bahwa ketika dia kaya mereka dapat menjadi penguasa, banyak memiliki teman, dan dapat meraih apapun yang ia inginkan sedangkan anak yang berasal dari keluarga kurang mampu menjadi minder dan kurang percaya diri. Hal inilah salah satu faktor penyebab rendahnya motivasi untuk berkembang pada anak-anak yang berasal dari kaum lemah pada generasi saat ini. Sungguh ironi sekali, ketika televisi menjadi suatu kebutuhan utama bagi masyarakat urban di Indonesia saat ini. Seyogyanya melalui media televisi, masyarakat Indonesia dapat mendapatkan informasi yang mendidiknya dan bermanfaat bagi dirinya sendiri melalui acara yang termuat di televisi. Dengan demikian, sebaiknya pemerintah Indonesia lebih memperhatikan kembali penyajian informasi yang ditayangkan televisi agar informasi yang diserap oleh masyarakat merupakan “benefit information” bukan “junk information”. Selain itu juga, informasi yang disajikan ditelevisi
haruslah lebih bersifat netral tanpa adanya unsur kepentingan penguasa tertentu. 2.3. Kegiatan Membaca Perilaku masyarakat Indonesia dalam mengisi waktu senggang ialah dengan membaca. Di Indonesia, budaya membaca masih dikatakan minim. Minimnya budaya membaca pada masyarakat Indoenesia dikarenakan rendahnya minat baca yang tertanam pada diri masyarakat Indonesia. Menurut Sutarno bahwa faktor yang mendorong meningkatnya minat baca ialah ketertarikan, kegemaran dan hobi membaca, dan adanya kemauan serta kemampuan membaca. Hal ini dibuktikan pada data Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) mensurvei tingkat literasi 45 negara (2006), tingkat keaksaraan di Indonesia berada pada possi 41. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa SD di Indonesia hanya empat peringkat lebih baik dari pada siswa Afrika Selatan. Padahal tingkat kemampuan dasar dalam baca tulis menjadi bagian terpenting dalam memahami baacan buku ataupun literatur. Selain itu, berdasarkan hasil survei PIRLS menyatakan bahwa ketersediaan bahan bacaan dirumah masyarakat Indonesia masih termasuk kategori menegah kebawah ( yaitu kurang dari 25 buku). Fakta tersebut diperkuat dengan jumlah judul buku yang diproduksi setiap tahunnya terbilang masih rendah. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dalam laporannya yang dipublikasikan pada Asean Book Publishers Association (ABIPA) mengatakan bahwa pertumbuhan buku di Indonesia mencapai lebih dari 2.000 judul buku setiap bulannya (Data Toko Buku Gramedia tahun 2009, Yohannes : 2012). Walaupun kegiatan membaca pada masyarakat urban di Indonesia masih sedikit dalam mengisi waktu senggang. Namun, saat-saat ini mulai bertambahnya masyarakat urban di Indonesia yang mengisi waktu luangnya untuk membaca. Meskipun, bahan bacaan yang dibacanya lebih dominan buku-buku fiksi yang sifatnya untuk menghibur. Hal ini terlihat jelas, pada sarana transportasi publik baik di kereta, bis, ataupun di tempat publik lainnya seperti di terminal, bandara, stasiun masih terlihat bahwa adanya masyarakat urban yang memanfaatkan waktu 39
Perilaku Informasi Masyarakat Urban di Indonesia pada Waktu Senggang
luang untuk membaca (sumber : pengamatan pribadi). 3. Kesimpulan Perilaku informasi pada masyarakat urban di Indonesia dalam mengisi waktu senggang lebih didominasi untuk mengakses informasi melalui internet. Dengan semakin berkembangnya teknologi di Indonesia terutama pada masyarakat urban semakin memudahkan pemanfaatan akses internet dalam segala kegiatan masyarakat saat ini. Berbagai macam perusahaan yang bergerak di bidang jasa memberikan layanan yang virtual yaitu tanpa melakukan tatap muka langsung selama bertransaksi melainkan hanya melalui suatu interface machine. Selain itu, berbagai macam sarana pendidikan juga telah menjamur media belajar online seperti Edmodo, Scele, dan media pembelajaran online lainnya. Selain itu, perusahaan media cetak pun mulai mengimigrasikan produk tercetaknya menjadi produk elektronik. Melihat fenomena tersebut, maka dapat dikatakan secara tidak langsung, perkembangan teknologi membentuk perilaku masyrakat menjadi individualistik. Baru-baru ini munculnya suatu anekdot bahwa “teknologi mendekatkan yang jauh namun menjauhkan yang dekat”. Anekdot tersebut secara tidak langsung menggambarkan pada kondisi kehidupan masyarakat urban di Indonesia saat ini. Ketika munculnya teknologi, masyarakat lebih suka berbicara melalui mobile phone, gadget, dan alat komunikasi lainnya dibandingkan mengobrol secara langsung (face to face). Jika fenomena ini, terus terjadi maka lambat laun masyarakat Indonesia akan lebih cenderung bersifat individualistik. Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan perilaku informasi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan masyarakat yang suka berkelompok menjadi masyarakat yang individualistik. Dengan demikian, jika bangsa Indonesia ingin menjadi masayarakat informasi seutuhnya maka harus diimbangi dengan tingginya minat membaca pada masyarakatnya. Terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan untuk memasuki masyarakat informasi yaitu masyarakat yang tidak buta huruf, infrastruktur 40
telekomunikasi, industri percetakan yang maju, industri televisi dan radio yang maju, minat baca yang tinggi, dan sistem perpustakaan yang maju. Sehingga masyarakat Indonesia masih perlu berbenah diri dalam mewujudkan mayarakat informasi seutuhnya. 4. Daftar Acuan Ade, Rizky Novitasari. (2012). Pesatnya perkembangan Penggunaan Internet di Indonesia.Semarang : Universitas Diponegoro. BPS &APJII . (2014) “Survei BPS: Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tahun 2013 Tembus 71 Juta Orang” .http://harianti.com/survei-bps-jumlahpengguna-internet-indonesia-tahun-2013tembus-71-juta-orang/ Four in Ten (42%) of those in 24 Countries say social media is important to them : Half (50%) of those under the age of 35. (8 Oktober 2013).www.ipsos-na.com Hadi, Suprapto & Arie, Dwi Budiawati. (06 Maret 2013).Nielsen : Jejaring Sosial turun, Pengguna Internet Naik : waktu yang dihabiskan untuk bermain internet rata-rata 2 jam sehari. Surat Kabar Vivanews online “Jepang Mulai Atur Penggunaan Ponsel Untuk Anak-Anak”. Okezone. www.techno.ekozone.com (10 Maret 2014) Majority (71%) of Global Internet users “share” on social media sites. (17 September 2013). www.ipsos-na.com “Membaca Sudah Mendarah Daging Pada Masyarakat Jepang”. JaringNews ditulis oleh Karta Raharja Ucu. www.jaringnews.com (10 Maret 2014) Pendit, Putu Laxman. (2008) Ragam Perilaku Informasi.Melalui http://iperpin.wordpress.com/ pada tanggal 23 Maret 2014. Pingit, Aria. (06 Maret 2013).Acara TV Ini Paling Digemari Penonton Indonesia.Koran Tempo.
Kiki Fauziah Sutarno, NS. (2006). Perpustakaan Masyarakat. Jakarta : Sagung Seto.
dan
Yasir, Riady. (2010). “Mewujudkan Masyarakat Informasi Indonesia : Dampak Sosial, Konsekuensi, dan kemungkinannya”. Diunduh melalui http://www.pustaka.ut.ac.id/ pada tanggal 4 Desember 2013 pukul 13.00 WIB. Yohanes, Krisnawan. (29 Juni 2012).“E-book” : Antara Ancaman dan Asa. Koran Kompas. Wilson, T.D. 2000. Human Information Behavior. Dalam Special Issue on Information Science Research, Vol. 3 No. 2.
41
Perkembangan Budaya Lisan dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
PERKEMBANGAN BUDAYA LISAN DAN BACA-TULIS MENUJU MASYARAKAT INFORMASI INDONESIA Riva Delviatma Mahasiswa Program Magister Ilmu Perpustakaan Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 16425, Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstrak Masyarakat informasi merupakan masyarakat yang muncul karena adanya perkembangan teknologi dan komunikasi serta memanfaatkan teknologi tersebut untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Artikel ini menjelaskan alasan masyarakat informasi belum berkembang di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia masih memegang teguh budaya lisan. Transfromasi masyarakat dari yang berbudaya lisan menjadi budaya baca-tulis tidak dapat dilakukan terburu-buru sebab masyarakat perlu untuk terbiasa dengan satu budaya baru. Masyarakat lisan dan baca-tulis memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing, perpustakaan merupakan media pendukung utama untuk terwujudnya masyarakat informasi. Kata kunci: Budaya Baca-Tulis, Budaya Lisan, Masyarakat Informasi, Mendongeng, Perpustakaan, Indonesia
Abstract Information society is a society that is formed because of the innovation in technology and communication by using the technology to find the needed information. This article describes the reason why information society has not developed yet in Indonesia. That phenomenon happens because Indonesian people still hold into the oral tradition. Transformation from oral society to literacy society cannot happen quickly; they need to get used to the new culture. Oral society and literacy society have their own advantages and deficiencies. Library is the supporting medium to actualize the information society. Keywords: Information Society, Library, Literacy, Oral Tradition, Story Telling, Indonesia
1. Pendahuluan Perkembangan budaya lisan menjadi baca-tulis menuju masyarakat informasi Indonesia menarik untuk diamati dan diteliti sebab untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya tersebut sehingga dapat mewujudkan masyarakat informasi di Indonesia. Masyarakat informasi adalah masyarakat yang muncul sebagai akibat dari era informasi (Christiani, 2012). Era informasi tersebut dipacu oleh perkembangan teknologi dan informasi. Masyarakat informasi ditandai dengan adanya perilaku informasi yang merupakan keseluruhan perilaku manusia yang berhubungan dengan sumber dan saluran informasi, perilaku penemuan informasi yang merupakan upaya dalam menemukan informasi
42
dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu, perilaku mencari informasi yang ditujukan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi, dan perilaku penggunaan informasi yaitu perilaku yang dilakukan seseorang ketika menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah ia miliki sebelumnya (Pendit, 2005 dalam Riady, 2010). Model masyarakat tersebut belum terbentuk di Indonesia sebab kondisi masyarakat Indonesia beragam, tidak seluruhnya memiliki akses dan dapat menggunakan teknologi dan komunikasi, salah satunya adalah internet. Pernyataan tersebut berdasarkan data terbaru yang mengatakan bahwa hanya 27% masyarakat Indonesia yang mengakses internet secara reguler, sedangkan 73% yang belum melek
Riva Delviatma Internet (detik-inet, 2014). Masyarakat lebih mengutamakan memiliki teknologi informasi yang terbaru dibandingkan untuk memanfaatkan teknologi informasi tersebut dalam mencari, menggunakan dan mengelola informasi secara maksimal. Hal ini terjadi selain karena sifat konsumerisme dan hedonisme masyarakat, didorong pula karena masyarakat Indonesia memiliki budaya lisan yang masih kuat. Melihat dari perkembangan budaya lisan ke budaya baca-tulis di Indonesia, masyarakat Indonesia sangat identik dengan masyarakat lisan dikarenakan sebagian besar dari tradisi dan budaya yang ada di Indonesia dilakukan secara lisan dari nenek moyang ke generasi selanjutnya. Masyarakat lisan sering disandingkan dengan istilah masyarakat primitif (Pendit, 2007). Persepsi ini terbentuk karena salah satu ciri khas masyarakat primitif adalah masyarakat yang tidak mengenal tulisan. Akan tetapi, masyarakat lisan kurang tepat dikategorikan sebagai masyarakat primitif sebab dalam masyarakat lisan diketahui juga bagaimana cara mengolah informasi, namun memang caranya lebih sederhana dibanding dengan masyarakat berbudaya baca-tulis. Walaupun masyarakat lisan kurang dapat dikatakan sebagai masyarakat primitif, namun juga tidak dapat dikategorikan sepenuhnya sebagai masyarakat informasi. Hal ini ditarik dari pernyataan Pendit (2005 dalam Riady, 2010) yang mengatakan bahwa misi utama masyarakat informasi adalah mewujudkan masyarakat yang sadar tentang pentingnya informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, terciptanya suatu layanan informasi yang terpadu, terkoordinasi dan terdokumentasi serta tersebarnya informasi ke masyarakat luas secara cepat, tepat dan bermanfaat. Selain teknologi ada faktor lainnya yang sangat dominan dalam masyarakat informasi yaitu kemajuan dalam dunia pendidikan khususnya kemampuan baca-tulis (Riady, 2010), yang mana mempengaruhi seorang individu mencari, mendapatkan serta memanfaatkan informasi yang dia butuhkan. Hal tersebut pula yang menjadi alasan masyarakat lisan bukan bagian masyarakat informasi sebab
dalam masyarakat lisan baca-tulis bukan merupakan cara dominan penyampaian informasi mereka. Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal tulisan, mengikuti perkembangan teknologi dan sedikit banyak juga tergerus arus globalisasi, akan tetapi tidak dapat secara langsung dikategorikan sebagai masyarakat informasi. Selain itu, tidak dipungkiri pula bahwa tradisi lisan (oral tradition) kurang terdokumentasikan secara baik. Salah satu contohnya yaitu mengenai budaya ondel-ondel yang ada di Jakarta ini, sulit sekali mendapatkan data otentik mengenai ondel-ondel karena tidak ada dokumetasi mengenai asal-usul tradisi Betawi ini. Kurangnya sumber tertulis mengenai suatu tradisi mengakibatkan banyaknya tradisi yang luntur dan hilang. Hal tersebut merupakan sesuatu yang perlu disesali, sebab generasi di masa depan akan kehilangan pengetahuan mengenai sejarah, asal muasal dan tradisi nenek moyangnya. Selain itu, biasanya informasi yang disajikan secara lisan tidak sepenuhnya disampaikan secara tepat, terdapat kemungkinan adanya perbedaan informasi antara yang disampaikan oleh pemberi pesan ke penyampai pesan dan penerima pesan. Akan tetapi, tetap saja kelisanan sulit untuk menggantikan budaya tulis sepenuhnya sebab ada suatu keterkaitan di antara dua budaya tersebut. Banyak artikel yang lebih menekankan pentingnya membaca namun sangat sedikit yang memperhatikan pengelolaan budaya kelisanan yang ada di Indonesia. Jika diruntut, baca-tulis atau keberaksaraan sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari kelisanan. Masyarakat lisan bertransformasi menjadi masyarakat baca-tulis dikarenakan adanya tuntutan melestarikan tradisi yang ada dalam lingkungannya sehingga informasi yang mereka peroleh tetap dapat berguna untuk generasi berikutnya. Salah satu data statistik mengatakan jika dibandingkan dengan negara Belanda, anak-anak di sana rata-rata membaca 30 buku per tahunnya (Seputar Indonesia, 2012), sedangkan anak-anak Indonesia masih rendah keinginan untuk
43
Perkembangan Budaya Lisan dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
membaca. Budaya membaca ini juga disangkutpautkan dengan memajukan kesejahteraan rakyat. Dalam buku Mata Membaca Kata Bersama yang ditulis oleh Putu Laxman Pendit (2007), digambarkan bahwa pemerintah Indonesia zaman Orde Lama menghubung-hubungkan budaya membaca dengan kesejahteraan dengan banyak memajang baliho atau spanduk untuk ajakan membaca serta mengaitkannya dengan kesejahteraan bangsa Indonesia. Pemerintah sekarang ini juga banyak mendirikan Taman Bacaan guna untuk membiasakan masyarakat untuk gemar membaca. Taman bacaan disebut-sebut memiliki tujuan-tujuan, salah satu tujuan utamanya yaitu untuk mencerdaskan bangsa ketimbang berwacana atau berdiskusi (Harian Pelita, 2011). Dalam artikel yang sama, Mendikbud juga mengatakan bahwa “membudayakan kebiasaan membaca masyarakat Indonesia susah sekali. Rakyat kita lebih senang dengan budaya berbicara daripada membaca”. Dari pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa budaya baca lebih utama dibandingkan budaya lisan. Padahal apabila budaya lisan dieksplor dan dimodifikasi sedemikian rupa tidak akan kalah hebatnya dengan budaya baca-tulis, atau mungkin dapat menjadi sesuatu yang saling melengkapi dalam mewujudkan masyarakat informasi di Indonesia. 2. Kelisanan Masyarakat Indonesia Dalam perkembangan masyarakat budaya lisan menjadi baca-tulis menuju masyarakat informasi, teknologi informasi dan komunikasi memiliki pengaruh dalam proses pembentukan masyarakat informasi. Dalam sebuah masyarakat informasi yang menjadi penggerak utama yaitu informasi tersebut, seperti yang dikatakan Laksmi dkk. (2007), penggunaan informasi digunakan sebagai senjata untuk memenangkan persaingan makin menunjukkan tingginya nilai informasi di masyarakat. Hal itulah yang menjadikan informasi sebagai komoditas. Kelompok atau individu yang memiliki informasi dalam jumlah besar atau dapat memonopoli informasi akan mudah berkuasa dan bertindak. Berbeda dengan
44
konsep dalam masyarakat bertradisi lisan yang menjadi daya penggerak adalah orang yang dituakan. Segala informasi yang berasal dari tetua dianggap lebih sakral dan benar dan biasanya informasi-informasi tersebut diserap secara langsung oleh masyarakat dan dijadikan panduan hidup mereka. Kelisanan sendiri merupakan suatu kata yang berkaitan dengan kegiatan mengobrol atau berbicara. Tradisi lisan mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastra, bahasa, biografi dan berbagai pengetahuan yang disampaikan dari mulut ke mulut (Pudentia, 1999). Banyak sumber yang mengatakan bahwa kelisanan bangsa Indonesia telah terbentuk dari zaman dahulu. Rahmana (2013) mengatakan bahwa sebelum masyarakat Indonesia mengenal tradisi tulis-menulis yang menandai dimulainya periodesasi Sejarah Indonesia Kuno, masyarakat Indonesia telah mengenal tradisi lisan. Masyarakat yang hidup pada masa tradisi lisan di Indonesia dikenal dengan masyarakat pra-aksara. Masyarakat tersebut cenderung dekat dengan alam, sehingga mereka berusaha menyelaraskan pola pikir saat itu dengan lingkungan alamnya. Tradisi lisan membentuk sebuah hubungan yang kuat antara alam dan masyarakat serta menghasilkan hasil kebudayaan seperti dongeng, legenda, mitos dan lain-lain. Kelisanan yang ada di Indonesia juga diikuti dengan kegiatan tulis-menulis yang sering dilakukan kerajaan-kerajaan masa lampau. Kerajaan zaman dahulu menggunakan kelisanan dalam negosiasi dengan pihak lawan atau kerajaan lainnya dan hasilnya dituangkan dalam tulisan sebagai bukti yang kuat mengenai kejadian-kejadian terkait. Selain itu, kerajaankerajaan juga melakukan dokumentasi mengenai silsilah-silsilah keluarga kerajaan. Runtutan silsilah kerajaan ini ditulis dalam sebuah babad. Salah satu babad yang terkenal adalah Babad Tanah Jawi yang isinya tidak hanya menceritakan silsilah keluarga dari kerajaankerajaan yang ada di Jawa tetapi juga menceritakan proses terbentuknya dataran Jawa. Goody mengatakan bahwa masyarakat di dunia ini umumnya adalah masyarakat beraksara. Jika
Riva Delviatma masih ada karakteristik kelisanan di masyarakatmasyarakat modern, maka kondisinya disebut sebagai keberaksaraan terbatas (restricted literacy), sebagai lawan dari keberaksaraan sepenuhnya (full literacy) (1977 dalam Pendit, 2007). Dari pemikiran Goody tersebut dapat terlihat bahwa ia memandang bahwa keberaksaraan adalah hal yang populer dan mendominasi, tetapi kelisanan tidak sepatutnya hilang dalam sebuah masyarakat. Akan selalu ada sebuah percampuran antara kubu keberaksaraan dengan kubu kelisanan sebab keduanya merupakan sebuah rangkaian perubahan yang terus menerus (continuum) (Pendit, 2007). Masyarakat mengenal komunikasi lisan lalu diformulasikan serta dikembangkan menjadi budaya tertulis karena ada kesadaran yang muncul dalam benak mereka. Jika dilihat dari pendapat Goody tersebut, masyarakat Indonesia termasuk restricted literacy, sebab masyarakat Indonesia belum sepenuhnya berada pada tatanan keberaksaraan dan masih memiliki karakteristik kelisanan yang kental di dalam tatanan kehidupan mereka. Seperti yang telah penulis katakan sebelumnya, kelisanan identik dengan budaya masyarakat primitif yang tidak mengenal tulisan. Masyarakat Indonesia pada zaman kerajaan dahulu telah mengetahui bagaimana mendokumentasikan peristiwa yang terjadi ke dalam kitab, babad maupun prasasti, namun memang intensitas penulisan itu tidak menjadi dasar utama dalam keseharian hidup mereka. Budaya tulis-menulis muncul di Indonesia pada abad ke-8 bersamaan dengan kebudayaan dari kerajaan Hindu dan Budha. Budaya baca-tulis di Indonesia kurang populer karena banyak tradisitradisi yang mengandalkan komunikasi lisan antara lain seperti pantun dan wayang. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat Mesir, Cina maupun India, dimana kelisanan merupakan suatu hal yang pokok dalam tatanan penyebaran informasi dalam masyarakatnya. Kesukaran mengembangkan budaya menulis dan membaca bangsa Indonesia pada zaman modern sekarang juga banyak dipengaruhi dengan kebiasaan menonton televisi. Sajian hiburan yang
ada di televisi mengarahkan kembali bangsa Indonesia dengan budaya mendengar. Salah satu contoh kasus yang dapat dihubungkan dengan kebiasaan mendengar yaitu seorang anak lebih menyukai untuk dibacakan materi pelajarannya oleh ibunya ketimbang dia membaca sendiri. Ketika ditanya kenapa si Ibu sangat bersemangat membacakan buku pelajaran anaknya ketimbang menyuruh anaknya tersebut membaca sendiri, ia beralasan karena anaknya dapat lebih menyerap informasi dengan mendengarkan. Bila dilihat dari latar belakang anak ini, ibu dan ayahnya gemar membaca bahkan sering menghabiskan waktu mereka ke toko buku dan membeli buku, tetapi tetap saja dalam menyerap ilmu pengetahuan si anak dimanja dengan budaya mendengar. Bila dianalisis, kelisanan bisa saja tetap menjadi hal yang dominan di sebuah keluarga yang senang membaca. Akan tetapi, kebiasaan mendengarkan ini lambat laun akan mendorong si anak untuk mencoba membaca karena apabila ia sudah dapat membaca, secara tidak langsung rasa penasaran terhadap bacaan yang ia senangi akan timbul. Di sini peran serta orang tua sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa ingin membaca ini dan ditanamkan sejak masih kecil. Untuk lebih jelas melihat perkembangan budaya lisan menjadi baca-tulis dalam masyarakat Indonesia, Walter J. Ong dalam bukunya Oralty and Literacy: The Technologizing of the Word (1982) mengemukakan sembilan ciri masyarakat lisan yang memperlihatkan bahwa tulisan cenderung menjadi suatu yang kurang penting dalam masyarakat lisan yaitu sebagai berikut: 1. Expression is addictive rather than subordinate Tulisan hanya dianggap tambahan bukan suatu hal yang penting, masyarakat lisan lebih menyukai tutur kata seseorang dibandingkan dengan referensi dari sebuah tulisan atau buku. 2. It is aggregative rather than analytic Masyarakat lisan lebih mengutamakan cara berpikir kolektif atau banyak orang dan tidak menyukai suatu hal yang dapat memancing kritikan.
45
Perkembangan Budaya Lisan dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
3. It tends to be redundant or “copiuos” Dalam masyarakat lisan akan ada pengulangan-pengulangan di dalam otak mereka mengenai suatu informasi. Redundansi atau pengulangan ini juga lebih dianggap lebih alami dibanding tulisan. 4. There is tendency for it to be conservative Masyarakat lisan mengandalkan perkataan para tetua yang dianggap sebagai pemilik informasi yang lengkap. Menciptakan masyarakat yang kurang kreatif dalam memecahkan suatu masalah karena sangat bertumpu pada perkataan seseorang yang dianggap lebih mengerti. 5. Out of necessity, thought is conceptualized and then expressed with relatively close reference to the human lifeworld Menganggap bahwa hal-hal yang tidak berkaitan dengan dunia nyata atau yang merupakan sebuah pengalaman hidup seseorang tidak penting dan tidak memiliki makna sehingga kegiatan baca-tulis merupakan sesuatu yang tidak populer di masyarakat lisan. 6. Expression is agonistic ally toned Masyarakat baca-tulis dianggap dapat memicu persaingan sehingga dapat memicu timbulnya kekacauan. Buku atau tulisan yang kontroversi dapat memicu konflik fisik atau kebrutalan di masyarakat. 7. It is empathetic and participatory rather than objectively distance Terdapat kedekatan emosional di dalam masyarakat lisan sedangkan pada masyarakat tulis, pemikiran yang didapat dari membaca terkesan jauh. 8. It is homeostactic Makna ucapan sebuah kata tidak memiliki pemaknaan yang berlapis sehingga bergantung pada kondisi pada saat kata tersebut diucapkan. 9. It is situtional rather than abstract Konsep pemikiran terkesan bergantung pada suatu kejadian yang berlangsung. Selain itu, masyarakat lisan menurut Ong (2004) juga dibagi menjadi dua jenis yaitu masyarakat lisan primer dan masyarakat lisan sekunder.
46
Masyarakat lisan primer adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui tata cara menulis atau beraksara. Sedangkan masyarakat kelisanan sekunder adalah seni lisan yang muncul karena keberadaan teknologi-teknologi elektronik seperti telepon, radio, televisi. Berdasarkan dua kategori ini dapat diasumsikan bahwa masyarakat Indonesia merupakan jenis masyarakat kelisanan sekunder dikarenakan masyarakat Indonesia telah mengenal budaya baca-tulis tetapi tetap mempertahankan budaya lisan mereka dan diperkuat dengan adanya kegemaran menyaksikan tayangan televisi yang makin mengentalkan tradisi lisan tersebut. Budaya lisan dan budaya baca-tulis memiliki cirinya sendiri-sendiri. Ciri tersebu dapat dilihat dari cara pengelolaan informasi oleh masingmasing budaya. Kesadaran masyarakat berbudaya lisan menjadi masyarakat baca-tulis didasari pula oleh cara pengelolaan informasi agar informasi yang dimiliki tidak mudah hilang. 3. Pengelolaan Informasi Masyarakat Lisan dan Baca-Tulis Masyarakat Indonesia masih memiliki tradisi lisan yang sangat kuat. Unsur-unsur tradisi lisan ini sepertinya sulit hilang walaupun baca-tulis telah masuk ke dalam tatanan kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, dalam masyarakat lisan tetap dilakukan pengelolaan informasi secara sederhana yaitu dilakukan dari mulut ke mulut. Sedangkan dalam masyarakat baca-tulis, pengelolaan informasinya lebih tersturktur serta dapat dikatakan memiliki hubungan yang dekat dengan sebuah konsep masyarakat informasi, di mana perilaku-perilaku pencarian informasi berhubungan dengan saluran informasi yang tersedia lalu mengaitkan informasi yang didapatkan dengan pengetahuan dasar yang telah diketahui sebelumnya. Dalam masyarakat baca-tulis mereka juga memiliki kebiasaan untuk mendokumentasikan setiap pemikiran dan menghubungkan informasi yang didapat, lalu disatukan dengan logika serta mengambil inti sari secara ilmiah mengenai peristiwa yang terjadi. Berbeda dengan kebiasaan masyarakat lisan yang sering menggabungkan peristiwa dengan perkataan tetua dan alam
Riva Delviatma seperti petuah nenek moyang yang terkadang sulit untuk diterima nalar, contohnya seorang gadis dilarang duduk di depan pintu karena akan sulit mendapatkan jodoh. Seperti yang dikatakan sebelumnya, dalam struktur masyarakat lisan peran tetua sangat penting sebab beliau dianggap yang paling mengetahui informasi yang benar sehingga akan timbulnya masyarakat yang bersifat fatalis, yaitu masyarakat yang menerima informasi secara mentah-mentah dan menganggap semua peristiwa yang terjadi dalam hidup atau lingkungan selalu dikaitkan sebagai nasib sendiri tanpa ada kemauan untuk mengubah nasib tersebut. Penyebaran informasi dari yang dianggap paling “pintar” ini terkadang juga mengalami hambatan sebab memori atau persepsi manusia berbeda satu dengan lainnya sehingga informasi yang diberikan akan berpeluang berbeda. Pengelolaan informasi dalam masyarakat lisan terlihat kurang terstuktur dibanding dengan masyarakat berbudaya tulis sebagaimana yang dikatakan dalam Ong (2004) bahwa pemikiran dan ekspresi di dalam budayabudaya lisan seringkali sudah sangat terorganisir, namun pengorganisasiannya itu terasa asing bahkan terasa menyulitkan bagi orang-orang yang pikirannya terbiasa dengan bahasa tulis. Masyarakat lisan juga lebih senang untuk menunggu informasi dibanding mencari informasi yang dibutuhkannya. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa informasi yang berasal dari tetua lebih penting dibandingkan informasi yang disampaikan oleh orang lain. Pengelolaan informasi yang tidak terstruktur dalam masyarakat lisan inilah yang membentuk transformasi budaya lisan menjadi budaya bacatulis. Adanya sebuah kesadaran yang timbul dari masing-masing individu untuk melestarikan dan menjaga informasi penting dari tiap-tiap tradisi atau budaya yang mereka miliki. Tulisan memungkinkan pengetahuan lebih objektif dibanding dengan pengetahuan subyektif yang dimiliki lisan (Widiawati, 2006). Selain itu, informasi-informasi yang ada di dalam dokumen tertulis akan lebih tahan lama eksistensinya. Tulisan menjadi sebuah bukti dari peradaban
manusia yang nilainya lebih berharga dan dan legalitasnya lebih diakui dibandingkan sebuah informasi yang berasal dari memori seseorang. Akan tetapi, terdapat sebuah keuntungan dari tradisi lisan ini sendiri yaitu masyarakat lebih dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena adanya komunikasi antara satu sama lain sehingga akan ada satu pemahaman. Tradisi lisan memungkinkan terwujudnya sebuah hubungan yang erat antara individu dengan individu lainnya dalam suatu komunitas. Hal inilah yang terkesan hilang di masyarakat berbudaya menulis dan digantikan oleh sikap individualis. Sikap individulis ini sangat terlihat pada masyarakat negara maju dimana mereka kurang memperdulikan basa basi yang mengakibatkan lemahnya komunikasi antara satu individu dengan individu lainnya. Dalam Pendit (2007) dikatakan bahwa sikap individualis ini terbentuk karena masyarakat modern dikenal sebagai masyarakat yang beradab berdasarkan indikasi ketersebaran penggunaan tulisan secara meluas di semua aspek kehidupannya, menggunkan teknologi teks dan diasumsikan sebagai masyarakat yang bergerak maju dengan bantuan ilmu dan teknologi. Dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat berbudaya baca-tulis, peran teknologi dan ilmu pengetahuan sangat besar dibanding masyarakat lisan yang lebih bertumpu pada kejadian alam dan peran tetua. Salah satu contoh perbedaan pengelolaan informasi antara masyarakat lisan dan masyarakat baca-tulis yang saya temui salah satunya yaitu perbedaan antara seorang Gordon Ramsay yang merupakan koki profesional yang telah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia kulinari serta memiliki restoran berbintang tiga Michelin dengan seorang juru masak amatir dari sebuah restoran kecil atau rumah makan di Malaysia. Ketika Ramsay datang ke rumah makan tersebut dan ingin mencoba untuk membuat menu rendang, ia sangat bingung saat juru masak rumah makan ini tidak memiliki standar resep, si juru masak rumah makan ini lebih senang mengucapkan “agak-agak” (“kirakira” dalam Bahasa Indonesia), dalam menakar setiap bahan masakan. Dapat digeneralisasikan
47
Perkembangan Budaya Lisan dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
bahwa koki profesional lebih mengutamakan kespesifikan sebuah masakan dengan mengukur setiap gram bumbu yang digunakan sedangkan seorang koki rumahan atau amatiran biasanya mendapatkan informasi mengenai bumbu masakan dari generasi sebelumnya dan tidak memiliki takaran yang detail. Juru masak amatir ini lebih mengutamakan perasaan dan insting mereka dalam menakar sebuah bumbu disebabkan tidak adanya dokumen yang terstruktur mengenai suatu masakan tersebut dan seringkali jika juru masak tersebut berhalangan hadir atau berhenti, rumah makan terancam kehilangan pelanggan. Sedangkan koki profesional memiliki runtutan resep dan tata cara memasak yang tertulis sangat detail dan terstruktur sehingga walaupun koki ini tidak ada di tempat para asistennya tetap dapat memasak makanan itu sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam resep. Kasus tersebut hanya sebuah contoh kecil perbedaan antara dunia lisan dan tertulis. Jelas sekali perbedaan pengelolaan informasi antara dua karakter masyarakat ini. Budaya lisan banyak dianut oleh bangsa timur lebih banyak dianut oleh bangsa barat. Akan tetapi, budaya lisan dan baca-tulis memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Patut diingat bahwa sumber informasi dari kedua tradisi ini berasal dari otak manusia, namun yang berbeda adalah metode pengelolaan informasinya. Tradisi lisan sangat bergantung pada memori atau benak pikiran seseorang sedangkan tradisi menulis menuangkan ide yang ada di dalam benaknya ke dalam tulisan. Dikatakan pula oleh O’Toole (1990 dalam Widiawati, 2006) bahwa “Literacy preempted orality, replacing it is a more efficient and effective means for information storage, transfer, and use”. Keberaksaraan memungkinkan pengelolaan informasi menjadi lebih terstruktur dan dapat digunakan lebih lama dibandingkan dengan informasi yang diberikan secara lisan. 4. Perkembangan Budaya Lisan Menjadi Budaya Baca-Tulis
48
Perkembangan budaya lisan menjadi budaya baca-tulis diawali oleh kesadaran masyarakat untuk mengelola informasi yang dimiliki agar lebih baik. Perubahan itu dapat dilihat dari pengelolaan informasi masyarakat lisan yang dilakukan secara mulut ke mulut menyebabkan akan adanya informasi-informasi yang hilang sehingga akan memunculkan kesadaran untuk mengelola informasi lebih baik dan tahan lama. Oleh karena adanya kesadaraan pengelolaan informasi itulah, maka akan terjadi perubahan budaya lisan menjadi budaya baca-tulis. Perubahan tersebut terjadi ketika ada sesuatu hal yang baru masuk ke dalam tatanan masyarakat. Ketika sebuah informasi diterima oleh individu atau kelompok, maka akan ada tahapan belajar untuk menerima atau menolak informasi tersebut. Tahapan belajar itulah yang sering dikaitkan dengan transformasi. Masyarakat akan mencoba memahami informasi-informasi baru tersebut sebelum akhirnya memilih dan melaksanakannya. Perkembangan budaya lisan menjadi budaya baca-tulis terjadi karena adanya pemahaman bahwa informasi-informasi yang terdapat di dalam sebuah komunitas perlu dilestarikan. Masyarakat informasi selalu dihubungkan dengan teknologi-teknologi komunikasi seperti komputer dan internet, namun teknologi sederhana seperti pengolahan kata-kata dari ucapan dan tulisan dapat dianggap sebagai cikal bakal terjadinya masyarakat informasi. Tulisan dianggap sebagai teknologi yang mengubah masyarakat lisan menjadi masyarakat baca-tulis. Tanpa ada tulisan, maka seluruh teknologi yang ada sekarang ini kemungkinan tidak akan terjadi. Perubahan budaya ini juga secara radikal mengubah pola pikir masyarakat itu sendiri. Globalisasi merupakan salah satu contoh perubahan yang jelas dalam melihat situasi di Indonesia. Arus globalisasi menyebabkan pola hidup masyarakat Indonesia menjadi kebarat-baratan dan mempengaruhi perkembangan cara berpikir masyarakat. Pola kehidupan masyarakat tradisional lambat laun berubah menjadi pola kehidupan modern seperti tata cara membajak
Riva Delviatma padi menggunakan kerbau sekarang sudah menggunakan traktor selain itu hilangnya makna dalam tradisi-tradisi lokal. Sebagian besar masyarakat Indonesia mulai berpikir bahwa budaya lokal merupakan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman (Rahmana, 2013). Seperti yang dikatakan sebelumnya, budaya lisan dan budaya baca-tulis adalah sebuah hal yang berkelanjutan. Namun pada kenyataannya, budaya lisan dianggap sebelah mata oleh banyak pihak. Pemerintah lebih giat mencanangkan program budaya membaca dan menulis dibanding melestarikan budaya lisan. Hal ini terlihat dari maraknya tulisan artikel yang membahas mengenai meningkatkan budaya tulis dan membaca serta kurang giatnya melakukan oral tradition preservation. Metode preservasi tradisi lisan ini patut dikembangkan di Indonesia sebab sebagian besar kebudayaan yang dimiliki Indonesia adalah tradisi lisan. Banyak tradisi lisan yang mulai pudar bahkan hilang dikarenakan tergerus budaya modern. Dalam makalah Preserving of Information Value in Oral Tradition of Minangkabau Society, West Sumatra, Indonesia (Primadesi, 2012), dijelaskan bahwa selain kurangnya perhatian dari tetua dalam melakukan transfer pengetahuan mengenai tradisi-tradisi adat, ternyata kurangnya peran pemerintah dan masyarakat dalam memandang pentingnya tradisi lisan. Kurangnya perhatian pemerintah dapat dilihat dari minimnya aktivitas dalam melestarikan tradisi lisan. Adanya proses perkembangan budaya lisan menjadi baca-tulis juga dikarenakan oleh program-program yang disusun oleh pemerintah seperti program pemberantasan buta huruf. Akan tetapi, pemerintah seharusnya dapat menyadari bahwa selain budaya membaca dan menulis, budaya lisan patut dijaga keeksistensinya serta diperkenalkan pada masyarakat Indonesia. Seharusnya juga dapat beriringan dengan program meningkatkan minat baca. Ide-ide segar mengenai pelestarian budaya lisan perlu digagas dan dikembangkan agar kedua budaya ini dapat berkembang dengan baik.
Jika melihat ke masyarakat sendiri, tradisi lisan tetap menjadi suatu hal yang utama dalam kegiatan sehari-hari. Hal ini terlihat dari kebiasaan masyarakat yang lebih menyenangi mengobrol di setiap kesempatan yang mereka miliki. Sebagai contoh, hanya satu atau dua orang yang fokus membaca buku atau surat kabar saat mereka berada di dalam sarana transportasi umum khususnya CommuterLine. Bila mereka tidak mengobrol, mereka seringkali menyaksikan tayangan video atau mendengarkan musik dari ponsel atau gadget mereka. Hal ini sangat kontras dengan kebiasaan masyarakat London yang rata-rata memiliki satu bahan bacaan baik itu buku atau surat kabar untuk mereka “nikmati” selama perjalanan baik ketika mereka menggunakan kereta maupun bis. Dalam buku Mata Membaca Kata Bersama (2007) disebutkan bahwa di kota-kota besar seperti di Jepang, Swiss, Australia dan Amerika memiliki program booktown dan di Amerika pada tahun 2000 awal ada gerakan “One Book, One City” dimana satu buku tertentu dijadikan bacaan wajib warganya. Namun, sayangnya gerakan ini tidak berhasil secara keseluruhan sebab masyarakat Amerika meninggalkan gerakan ini dan menjadi individualis dalam menentukan bahan bacaan mereka. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa negara yang maju dan yang memiliki masyarakat membaca yang tinggi tetap saja sulit untuk mengembangkan budaya baca. Disamping itu, budaya baca mereka juga berkembang karena adanya perpustakaan yang memadai, koleksi buku-buku perpustakaan yang menunjang kebutuhan mereka serta faktor transportasi yang nyaman. Dalam menuju masyarakat informasi Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi kendala yang dihadapi, tidak hanya dikarenakan perpustakaan dan koleksi yang belum memadai, tetapi juga dikarenakan masih banyak masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis serta masih minimnya kegemaran untuk membaca. Walaupun ada peningkatan keberhasilan program Unesco dalam memberantas buta huruf di Indonesia, yang mana mencatat bahwa keberhasilan pada tahun 1990 mencapai 33,7 % dan sekitar 10 tahun kemudian yaitu pada tahun
49
Perkembangan Budaya Lisan dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
2010 mencapai 79,7 % (Kemendikbud, 2012). Hal tersebut tidak menjamin bahwa budaya bacatulis akan berkembang secara pesat seperti di negara-negara maju sebab adanya keengganan masyarakat untuk membaca dan menulis. Ada alasan yang menyebabkan mereka malas untuk membaca yaitu dikarenakan membaca memerlukan manajemen waktu dan juga memerlukan analisis kuat yang mana lebih rumit dan meletihkan daripada mengejar sebuah bola (Pendit, 2007). Hal lain yang mendorong masyarakat untuk malas membaca adalah komputer dan permainan di dalamnya (Tempo, 2011). Hal ini selaras dengan pernyataan dalam artikel Refleksi Hari Aksara: Menggelorakan Budaya Baca dituliskan bahwa penyebab masyarakat asing dengan buku yaitu dikarenakan masyarakat yang awalnya bertradisi lisan atau oral society, secara drastis bergerak ke budaya elektronik seperti tv dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Masyarakat telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca. Padahal minat baca yang tinggi sangat penting (Koran Tempo, 2011). Dalam artikel surat kabar Kompas (1999) yang berjudul Mari Rubah Tradisi Lisan Jadi Budaya Tulis disebutkan bahwa pada tahun 1960an, budaya membaca dan tulis mengalami kejayaan karena banyak karya-karya yang dinikmati oleh masyarakat seperti Asmaraman Kho Ping Ho, komik Mahabharata dan Ramayana karya RA Kosasih dan lainnya. Dalam artikel yang sama dijelaskan bahwa munculnya alat-alat eletronik dan teknologi multimedia juga mengganggu meresapnya budaya tulis ke sanubari bangsa Indonesia. Faktor lainnya yaitu munculnya pengekangan terhadap pers dan penerbitan buku di Indonesia yang dilakukan pada zaman Orde Baru, kecilnya royalti yang diberikan kepada penulis, besarnya PPn untuk buku serta tidak ada tempat yang nyaman untuk membaca. Pada Orde Baru membaca disangkutpautkan pada kesejahteraan rakyat tetapi pemerintah tetap melakukan pemboikotan terhadap buku-buku tertentu. Masyarakat Indonesia terkesan
50
diberikan dua sisi mata koin yang berbeda dan tidak selaras, di satu pihak diminta untuk membaca agar dapat mensejahterakan dirinya tetapi di lain sisi ada pengekangan terhadap penerbitan dan pemboikotan buku-buku. Tidak mengherankan jika budaya lisan terkesan mendominasi masyarakat Indonesia sampai saat ini, karena pemerintah yang selalu mendukung minat baca secara tidak langsung tetap melakukan pembatasan terhadap dunia baca-tulis yaitu dengan melakukan pelarangan terhadap beberapa buku dikarenakan di dalamnya memuat hal-hal kontroversi serta memberikan pajak tinggi untuk buku-buku impor. 5. Dongeng dalam Perpustakaan: Media Lisan dan Membaca Banyak hambatan yang dihadapi oleh pemerintah dan pihak lainnya untuk mengubah masyarakat Indonesia yang kelisananannya masih kental dan secara sporadis berubah menjadi masyarakat yang giat menulis dan membaca. Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan budaya baca-tulis, tidak hanya meningkatkan angka persentase program pemberantasan buta huruf, tetapi juga memperhatikan pengembangan perpustakaan-perpustakaan umum. Apabila Indonesia ingin mewujudkan masyarakat informasi, budaya baca-tulis merupakan suatu langkah paling awal dalam merintis masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan dalam masyarakat informasi, seluruh masyarakat perlu menyadari pentingnya informasi dan ilmu pengetahuan serta mengetahui bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan informasi-informasi yang mereka dapatkan. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk meningkatkan budaya bacatulis ini adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan agen pengubah sebuah masyarakat. Agen pengubah ini akan berhasil jika ia pun berhasil dalam mengelola dirinya sendiri. Banyak perpustakaan, khususnya perpustakaan umum daerah yang isi koleksi mereka tidak sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat sekitarnya. Lokasi perpustakaan juga menjadi faktor besar yang menentukan masyarakat untuk datang. Salah satu contohnya
Riva Delviatma yaitu salah satu perpustakaan umum daerah di Jakarta yang posisi bangunannya tidak strategis sebab berada di belakang sekolah dan akses ke perpustakaan tersebut yang kurang baik. Bandingkan dengan perpustakaan-perpustakaan di luar negeri yang sangat mudah diakses oleh penggunanya serta nyaman untuk digunakan, bahkan siswa-siswi lebih memilih perpustakaan untuk mengerjakan tugas-tugas akhir mereka dibandingkan mengerjakan di rumah masingmasing. Di kota London, Inggris, perpustakaan tidak hanya menjadi gudang buku tetapi menjadi pusat kegiatan masyarakat. Salah satu perpustakaan lokal disana bahkan menjadikan tempat mereka sebagai “nursery” atau “day care” (penitipan anak) pada hari-hari tertentu dan memanjakan pengunjung kecil mereka dengan bacaan yang menghibur dan juga menyediakan mainan-mainan bagi mereka. Bahkan ada salah satu perpustakaan umum di London ditutup karena adanya kerusakan fatal pada bangunan disebabkan oleh hujan yang terus-menerus dan banyak diprotes oleh masyarakat sekitar sebab mereka kehilangan tempat untuk membaca (Your Local Guardian, 2012). Salah satu komentar dari penduduk di sekitar perpustakaan yaitu sebagai berikut “I can’t get about very well and I’ve had to go to charity shop to get my books. The library is a vital service for elderly people – if it didn’t reopen I wouldn’t know what to do”. Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tidak hanya kaum muda, namun kaum senior juga senang berada di dalam perpustakaan karena mereka mendapatkan buku-buku yang mereka butuhkan. Selain itu menunjukan bahwa perpustakaan dan membaca telah menjadi media hiburan bagi mereka. Alangkah sempurnanya bila perpustakaan menjadi hal yang penting bagi masyarakat Indonesia seperti yang dilakukan oleh masyarakat London. Dengan tingginya intensitas penyelenggaraan story telling atau mendongeng di perpustakaanperpustakaan di Jakarta diharapkan bahwa kepeduliaan masyarakat untuk berkunjung dan memanfaatkan perpustakaan akan meningkat. Program dongeng ini secara tidak langsung
merupakan budaya lisan tetapi dapat mendorong minat baca masyarakat khususnya anak-anak kecil. Selain ada mediator yang menyuguhkan dongeng, dilakukan pula lomba mendongeng yang mendorong mereka untuk menceritakan kembali isi buku cerita yang mereka sukai. Program mendongeng ini juga merupakan promosi untuk mengenalkan perpustakaan kepada masyarakat Indonesia, khususnya untuk masyarakat kota besar dan dapat dijadikan pilihan rekreasi alternatif. Program mendongeng ini juga tidak terbatas di perpustakaan saja tetapi juga dilakukan di sekolah. Taman bermain di daerah Tangerang, setiap hari Jum’at memberlakukan program Library Time, dimana siswa-siswi diminta untuk memilih satu bahan bacaan untuk dibacakan oleh guru. Dengan adanya program ini maka akan merangsang kepedulian anak-anak terhadap membaca. Pada saat mereka sudah dapat membaca, maka mereka akan termotivasi untuk mengetahui lebih lanjut mengenai isi sebuah buku. Ketika ditanya kepada sang guru apakah para murid antusias dalam program ini, si ibu guru ini menjawab bahwa sebagian besar senang mendengarkan cerita dari buku yang dibacakan. Program seperti ini tidak hanya merangsang minat baca tetapi juga meningkatkan daya tangkap serta konsentrasi anak kecil. Dengan program mendongeng ini dapat terlihat bahwa perkembangan budaya lisan dan budaya membaca bisa selaras. Perpustakaan dan sekolah sebenarnya telah menerapkan kedua budaya tersebut, namun memang yang lebih menonjol adalah budaya meningkatkan minat baca, padahal sebenarnya budaya lisan juga terselip dalam program tersebut. Mendongeng atau story telling dapat dijadikan sebagai media promosi dan sosialisasi cerita rakyat tradisional maupun mengenai pesan-pesan moral seperti bahaya merokok, sosialisasi tata lalu lintas atau bahkan pelajaran seks untuk anak-anak dan lainnya dapat dikemas secara menarik dan kreatif, yang mungkin saja sulit untuk dicerna jika diberikan secara tertulis.
51
Perkembangan Budaya Lisan dan Baca-Tulis Menuju Masyarakat Informasi Indonesia
Salah satu contoh dari budaya lisan adalah dongeng. Mendongeng merupakan hal yang paling mudah dan paling populer di masyarakat. Mendongeng tidak selalu dapat dilakukan secara tradisional tetapi juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana-sarana seperti papan tulis seperti yang dilakukan oleh Pak Raden, dengan dilatari alunan musik seperti yang dilakukan oleh Syukri Ramzan atau bahkan menggunakan puppet atau boneka seperti Ria Enes. Wayang kulit juga merupakan salah satu cara mendongeng tradisional yang menggunakan alat. Dalam Buku, Mendongeng dan Minat Baca karya Murti Bunanta (2004) dikatakan bahwa mendongeng sendiri sebenarnya memiliki beberapa jenis yaitu dongeng gambar (drawing stories) pada kebudayaan Walbiri dan Ananda (masyarakat asli Australia) dan suku bangsa Inuit (Eskimo), Jepang; dongeng tali ditemukan pada kebudayaan Inca dan beberapa wilayah Pasifik dan Afrika dan dongeng dengan sapu tangan yang dilakukan oleh masyarakat Belanda (Pellowski, 1984, 1993 dalam Bunanta, 2004). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa mendongeng merupakan aktivitas yang telah dilakukan secara global oleh seluruh masyarakat di dunia. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa budaya lisan tidak hanya berkembang di masyarakat Indonesia saja melainkan juga terdapat di negara lain. Untuk mempertahankan budaya lisan, sekaligus meningkatkan budaya baca-tulis di Indonesia dapat digunakan metode mendongeng. Program mendongeng dapat dilakukan di banyak tempat seperti di perpustakaan, sekolah, pusat perbelanjaan bahkan rumah sakit. Program ini perlu mendapat perhatiaan banyak pihak, tidak hanya pemerhati anak, pengelola perpustakaan, orang tua tetapi pemerintah serta masyarakat luas perlu ikut andil dalam mempopulerkan serta mengembangkan program-program lainnya yang dapat mendukung peningkatan minat baca dan pelestarian budaya lisan Indonesia. 6. Kesimpulan Perkembangan budaya lisan ke budaya baca-tulis di Indonesia dikarenakan adanya kesadaran dari masyarakat untuk melestarikan informasi yang
52
mereka miliki. Sedangkan dalam kaitannya dengan masyarakat informasi, faktor paling dominan yang menyebabkannya adalah faktor pekembangan teknologi dan pemanfaatannya. Perkembangan serta perubahan ini tidak dilakukan secara radikal melainkan secara perlahan sebab masyarakat perlu belajar dan memahami setiap kebudayaan baru yang hadir. Tulisan merupakan teknologi yang merubah peradaban dunia, tanpa adanya tulisan maka tidak akan ada perkembangan-perkembangan di bidang ilmu pengetahuan seperti saat ini. Oleh sebab itu, tulisan dapat dianggap sebagai cikal bakal terbentuknya masyarakat informasi. Di dalam masyarakat informasi, peran teknologi informasi dan komunikasi menjadi faktor utama sehingga individu atau kelompok yang memiliki informasi maka akan mudah mendominasi atau berkuasa. Walaupun masyarakat informasi belum terbentuk di Indonesia, akan tetapi dapat berkembang tidak hanya melihat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saja, melainkan juga dapat berkembang dari budaya dan tradisi Indonesia. Banyaknya anggapan positif yang diberikan kepada budaya baca-tulis menyebabkan budaya lisan seolah-olah menjadi hal yang berdampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Gagasangagasan untuk meningkatkan budaya baca-tulis lebih sering ditonjolkan dibandingkan untuk mempopulerkan tradisi lisan. Apabila budaya baca-tulis selalu dianggungkan akan berdampak pula dengan melemahnya pemaknaan pada budaya lisan di masyarakat. Lemahnya kepedulian mengenai dongeng cerita rakyat dalam tradisi lisan dapat menyebabkan generasi penerus akan kehilangan jati diri mereka. Dalam Bunanta (2004) disebutkan bahwa di Thailand ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mempopulerkan dan mengenalkan kembali bahasa-bahasa yang hampir punah dengan metode mendongeng. Sedangkan di Indonesia budaya lisan dikesampingkan dibanding budaya baca-tulis. Budaya lisan tidak selalu membawa efek negatif dalam masyarakat, budaya lisan memiliki informasi yang memiliki nilai sejarah, religi, adat yang tidak kalah pentingnya dibanding budaya tulis-menulis. Hanya cara
Riva Delviatma pengelolaan informasi yang membuat keduanya berbeda. Mendongeng bukanlah satu-satunya cara yang digunakan untuk melestarikan budaya lisan Indonesia, oral tradition preservation perlu dilakukan dan disosialisasikan sebab ada beberapa hal yang tidak dapat ditulis secara mendetail dan perlu media lain untuk mengorganisasikan hal-hal yang tidak dapat dilukiskan dalam kata-kata seperti kegiatan adat, lantunan musik dan sebagainya. Untuk itu, tetap mendukung budaya lisan dan budaya baca-tulis adalah solusi yang bijak, dibandingkan memilih salah satunya. Bukanlah tidak mungkin dalam masyarakat informasi Indonesia nantinya terwujud tidak hanya disebabkan oleh perkembangan serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi saja, tetapi juga berasal dari perkembangan budaya lisan dan baca-tulis di tanah air. 7. Daftar Acuan Bunanta, Murti. (2004). Buku, mendongeng dan minat membaca. Jakarta: Pustaka Tangga. Christiani, Lydia. Proyeksi teori public sphere terhadap peranan perpustakaan umum dalam masyarakat informasi. Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan Vol. 9 No. 1, April 2012, p. 5-10. Detik-inet. (24 Maret 2014). 73% Masyarakat Indonesia Buta Internet. http://.mdetik.com/inet/read/2014/03/24/154003/2534887/328 /73-masyarakat-indonesia-buta-internet . Diakses 25 Maret 2014. Harian Pelita. (12 November 2011). TBM membangun budaya baca. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (11 Juli 2012). Dalam penuntasan tuna aksara unesco puji prestasi Indonesia. http://www.paudni.kemendikbud.go.id/bindikmas/arti kel/dalam-penuntasan-tuna-aksara-unesco-pujiprestasi-indonesia. Diakses 3 November 2013. Koran Tempo. (9 September 2011). Refleksi hari aksara: menggelorakan budaya baca. Laksmi, Fuad Gani dan Budiantoro. (2007). Manajemen perkantoran modern. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. MPSS, Pudentia (Ed.). (1998). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Ong, Walter J. (2004). Kelisanan dan keaksaraan: teknologi kata. Pasuruan: Pedati.
Pendit, Putu Laxman. (2007). Mata membaca kata bersama. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. Primadesi, Yona. (2012). Preserving of information value in oral tradition of Minangkabau society, West Sumatra, Indonesia. Makalah Tidak Diterbitkan. Rahadi, F. (1999). Mari ubah tradisi lisan jadi budaya tulis. http://www.frahadi.wordpress.com/2013/04/17/mariubah-tradsi-lisan-jadi-budaya-tulis-2/. Diakses 3 November 2013. Rahmana, Siti. (2012). Tradisi lisan: aktualisasi, eksistensi dan transformasi, hasil budaya masa lampau. http://www.tempo-institute.org/tradisi-lisanaktualisasi-eksistensi-transformasi-hasil-budayamasa-lampau. Diakses 15 Oktober 2013. Riady, Yasir. (2010). Mewujudkan masyarakat informasi Indonesia: dampak sosial, konsekuensi, dan kemungkinan.http://www2.ukdw.ac.id/kuliah/si/.../mo dul4.pdf. Diakses 22 November 2013. Tempo. (26 Mei 2011). Penyebab anak malas membaca. http://m.tempo/read/news/2011/05/26/060336985/pen yebab-anak-malas-membaca. Diakses 10 November 2013. Widiawati, Harifiyah. (2002). Regulasi memori dalam pengarsipan: rekonstruksi sejarah. Wacana Vol. 4 No. 2, p. 162-172. Your Local Guardian. (17 Januari 2012). Fears West Norwood library will be permanently closed. http://www.yourlocalguardian.co.uk/news/topstories/ 9474903.Fears_library_will_be_permanently_closed/. Diakses 5 November 2013.
53
Pedoman Penulisan Jurnal
Persyaratan Penulisan Artikel Jurnal Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan Berikut merupakan kelengakan untuk format penulisan Jurnal Ilmu Informasi, Perpustakaan, dan Kearsipan yang terstruktur mulai dari awal, berupa judul artikel hingga cara penulisan daftar acuan di akhir tulisan. 1. Format tulisan dalam microsoft word Times New Roman.
2. JUDUL ARTIKEL (all caps, 14 point, bold, centered ) (kosong satu spasi tunggal) Nama Penulis, gelar (12pt) (kosong satu spasi tunggal) Nama Program Studi, Fakultas, Nama Universitas, Alamat Kota, Kode pos atau Nama Lembaga, Alamat Kota, Kode Pos
(10pt)
(10pt)
(kosong satu spasi tunggal) E-mail:
[email protected]
(10pt, italic)
(kosong dua spasi tunggal) 3. Abstrak (12pt, bold) (kosong satu spasi tunggal) Abstrak harus dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris. Abstrak bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu lalu diikuti abstrak dalam bahasa Inggris. Jenis huruf yang digunakan Times New Roman, ukuran 10 pt, spasi tunggal. Abstrak sebaiknya meringkas isi yang mencakup tujuan penelitian, metode penelitian, serta hasil analisis yang disampaikan tidak lebih dari 250 kata.
(kosong satu spasi tunggal) 4. Kata Kunci : Maksimum 5 kata kunci ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. (10 pt italic) (kosong dua spasi tunggal)
Abstract (12pt, bold) Key words : (10 pt italic)
(kosong tiga spasi tunggal)
54
Pedoman Penulisan Jurnal 5. Bentuk Naskah -Judul -Nama Penulis -Disertai afiliasi (alamat institusi, bila sudah bekerja di institusi atau organisasi/ misalnya bisa ditulis pemerhati ilmu perpustakaan dan informasi dst…lihat contoh)
-alamat email - Abstrak (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) dan kata kunci -Pendahuluan (12 pt, bold) (satu spasi tunggal kosong) yang mencakup latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan literatur dan studi sebelumnya,
-Metode Penelitian (satu spasi tunggal kosong)
mencakup partisipan penelitian, metode pengumpulan data, dan proses pengumpulan data -Analisis dan Interpretasi Data (satu spasi tunggal kosong)
-Kesimpulan (satu spasi tunggal kosong)
-Daftar Acuan (mengikuti format APA (American Psychological Association) (satu spasi tunggal kosong)
-Lampiran (satu spasi tunggal kosong) 6. Jumlah halaman 10 -15, termasuk abstrak dan daftar acuan dan lampiran 7. Format tulisan dalam Microsoft Word (doc) 8. Naskah yang sudah masuk akan diseleksi untuk diterbitkan di jurnal DIPI (penerbitan di jurnal DIPI dipilih berdasarkan kesesuaian topik yang akan diterbikan)oleh Dewan Redaksi dan bila diperlukan akan dilakukan penyempurnaan tanpa mengubah isi naskah 9. Batas akhir pengiriman naskah paling lambat untuk semester ganap tahun 2012/2013 adalah 2 minggu setelah sidang pada bulan Juni – Juli 2013 10. Artikel dikirim ke
[email protected] dengan subjek judul artikel + nama penulis 11. Biografi singkat penulis dalam file yang berbeda
55
DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA