i
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Dengan Nomor Perkara 45/ Pid. B/ 2013/PN. Sbg)
SKRIPSI
Disusun Oleh: Jessica Maxentia C N E1A009194
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
LEMBAR PENGESAHAN Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan (Srudi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Dengan Nomor Perkara 45lPid.F,l2Ol31PN.Sbg)
Disusun Oleh: Jessica Maxentia Chrestella Naj oan
814.009194
Untuk memenuhi salah satu persyratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman
Diterima dan disahkan Pada
tanggal,
November 2013
Pembimbing
II
Penguji
--1 t
\,
NIP. 19640724 199002
I
00r
/r /
/l/
i/ L'v
Pranoto. S.H.M.H, Uanilri W S. S.H.. fvl.tt. NIP. 19540305 198901 I NrP. 195810$ $8702
Mengetahui, Fakultas Hukum
198901 1 001
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya: Nama
:Jessica Maxentia Chrestella Najoan
NIM
: E1A009194
Judul
: Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Dengan Nomor Perkara 45/Pid.B/2013/PN.Sbg) Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah benar-benar merupakan
hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila saya melakukan pelanggaran apapun tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apaun oleh Fakultas. Purwokerto,
November 2013
Jessica Maxentia
iv
ABSTRAK
Semakin berkembangnya suatu masyarakat maka berkembang pula kemungkinan tindak pidana dalam kelompok masyarakat tersebut. Tindak pidana dapat terjadi dimanapun, kapanpun dan terhadap siapapun termasuk perempuan dan anak- anak. Hal ini dikarenakan perempuan dan anak- anak rentan menjadi korban tindak pidana. Tindak pidana yang selalu mengintai perempuan dan anakanak adalah tindak pidana asusila. Kekuatan pembuktian keterangan saksi anak sebagai korban dapat digunakan ataupun dikesampingkan oleh hakim sebagai suatu alat bukti. Penanganan yang tidak dapat dapat menghambat ataupun menimbulkan kendalakendala dalam proses peradilan pidana terutama pada tahap persidangan. Adanya perbe daan penilaian kekuatan pembuktian bagi hakim membuat pencapaian tujuan hukum acara pidana pun terkendala. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode yuridis normatif. Dengan demikian, dibutuhkan sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan yang diberikan saksi anak yang menjadi korban pada tindak pidana asusila dipersidangan pada setiap kasus yang ada. Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG bahwa saksi NA yang menjadi korban tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain masih berusia 2 (dua) tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi korban di persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Keterangan yang diberikan oleh saksi korban dapat menambahkan keyakinan hakim atau menjadi alat bukti petunjuk bagi hakim dalam menjatuhi putusan.
Kata kunci: Pembuktian, saksi korban anak
v
ABSTRACT
The development of a society then develops also the possibility of a criminal offense in a group of those societies. The criminal act, can happen anywhere whenever and against anyone, including women and children. It was because women and children susceptible of being the victim of a felony. A criminal offense which always lurk women and children is a criminal offense immoral. The power of verifiable a witness children as an offering can be used or set aside by a judge as an instrument of evidence. Handling that cannot be can retard or inflict obstacle in the process of criminal justice especially on the stage the trial. The presence of differences judgment strength of evidence for judges make accomplishment of an objective the event was hampered by criminal law. Methods used in research is a method of juridical normative. Thus, it takes the extent to which the power of verifiable captions that are given a witness son who is the victim in a criminal offense sacrilegious at a proceeding in each case that exist. Based on the judgment case number 45 / pid.b / 2013 / pn.sbg the witness NA who are victims of the criminal act of violence or with the threat of violence forced a child do intercourse with him or by other people are still 2 (two) years. It shows that information that is given by a witness victims do not have the strength of evidence at the trial. Information that is given by a witness victims can add belief judge or has become an instrument of evidence guidelines for the judge in bumps the award.
Keywords: of verifiable, witness the child
vi
Kata Pengantar Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Dengan Nomor Perkara 45/Pid.B/2013/PN.Sbg)” Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Jendral Soedirman. Penulis menyadari bahwa skrips i ini jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan Penulis. Terselesaikannya skripsi ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada: 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini. 2. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah mem berikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai. 3. Bapak Pranoto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang juga telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat
vii
membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai. 4. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis. 5. Kedua Orangtua dan Keluarga yang selalu mendoakan, memberikan dukungan, serta semangat selama penulis mengerjakan skripsi. 6. Semua teman-teman yang selalu membantu dan memberikan dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini. Semoga karya penelitian yang telah saya susun ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi semua pihak yang membaca dan memahami karya ini dan dapat bernilai Ibadah di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Purwokerto,
November 2013
Jessica Maxentia E1A009194
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………………..….i LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………….....ii SURAT PERNYATAAN………………………………………………………..….. iii ABSTRAK……………………………………………………………………….….iv ABSTRAC…………………………………………………………………………. …v KATA PENGANTAR……………………………………………………..…………vi DAFTAR ISI……………………………………………………………………..…viii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………...……………...1 A. Latar Belakang……….………………..…………………………….……….1 B. Rumusan Masalah……………………………………………………………6 C. Tujuan Penelitian………………………………………….…………………7 D. Kegunaan Penelitian………...…………………………..…..………………..7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….……..8 A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana…………………..…....8 1. Pengertian Hukum Acara Pidana………………………………………...8 2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana……………………………….12 B. Asas- Asas Hukum Acara Pidana…………………………………………....14 C. Pembuktian…………………………………………………………………..23 1. Pengertian Pembuktian…………………………………………...….….. 23 2. Sistem Pembuktian……………………..……………………………….. 25 3. Bentuk Alat Bukti………………………………………………….……39 4. Keterangan Saksi Korban Anak………………………………….……...31 D. Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan.……...40 BAB III METODE PENELITIAN…………………………………………………..50
ix
A. Metode Penelitian……………………………………………..……………..50 B. Spesifikasi Penelitian………………………..………….….…………….…..51 C. Sumber Bahan Hukum…………………………………….…………...…….51 D. Metode Pengumpulan Data…………………………………………….……53 E. Metode Penyajian Bahan Hukum………………………….…………...……53 F. Metode Analisis Data………………………………………………………..53 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………...…………….. 56 A. Hasil Penelitian……………………………………………………………... 56 B. Pembahasan…………………………………………………………….……77 BAB V SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………..103 A. Simpulan……………………………………………………………………103 B. Saran………………………………………………………………………..104 DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembanganya suatu masyarakat maka berkembang pula kemungkinan tindak pidana dalam kelompok masyarakat tersebut. Tindak pidana dapat terjadi dimanapun, kapanpun dan terhadap siapapun termasuk perempuan dan anak- anak. Hal ini dikarenakan perempuan dan anak- anak rentan menjadi korban tindak pidana. Tindak pidana yang selalu mengintai perempuan dan anakanak adalah tindak pidana asusila. Di dalam lapangan hukum pidana, perubahan masyarakat dan teknologi membawa pengaruh yang sangat besar dalam perubahan hukum, baik hukum pidana materiil yang diimplementasikan dalam Undang- Undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ( KUHP)) maupun dalam hukum pidana formilnya yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Didalam pertimbangan pada huruf a Undang- Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan secara jelas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan pada Undangundang Dasar 1945 yang menjunjung Hak Asasi Manusia (HAM) serta menjamin semua warga negara dalam kesamaan dan kedudukannya dimuka hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa kecua li. 1 Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menjadi
1
H.M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, cet. Kedelapan, Malang, UMM Press, 2005, hal. 173.
2
peraturan dasar sekaligus pedoman dalam pelaksanaan hukum acara pidana bagi para hakim dan jaksa di dalam persidangan. 2 Dalam persidangan terdapat alur yang harus dilalui oleh terdakwa salah satunya tahap pembuktian. Hukum Pembuktian merupakan bagian paling utama dari Hukum Acara Pidana, yang menyangkut seluruh sistem yang disebut Criminal Justice System, dimulai dari Penyelidikan, Penyidikan, penuntutan, dan puncaknya adalah persidangan dimana terdapat 3 pihak yang berperan : Jaksa, Hakim, dan Penasihat Hukum. Indonesia mengenal kodifikasi Hukum Pembuktian yang merupakan bagian dari Hukum Acara Pidana, termuat dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, namun disamping itu pengaturannya juga berada diluar kodifikasi, yaitu pada Undang- Undang Tindak Pidana diluar kodifikasi-kodifikasi yang sekaligus memuat hukum pidana materiil juga hukum acara pidana. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai kodifikasi hukum acara pidana, khususnya menyangkut hukum pembuktian merupakan dasar dari hukum pembuktian, termasuk yang berada di luar Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Selama Undang- Undang tersebut tidak mengatur secara khusus, Undang- Undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana merupakan kodifikasi Hukum Pidana Materiil. Pembuat Undang- Undang secara sadar menentukan dalam ketentuan akhir Buku I yakni Pasal 103 Undang- Undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bahwa ketentuan-ketentuan dalam Buku I Undang-Undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana berlaku 2
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Dal am Praktik, cet. Ketiga, Jakarta, Djambatan, 2002, hal. 4
3
juga bagi Undang- Undang Pidana lain diluar undang- undang tersebut. UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana seba gai Kodifikasi dimaksud juga berlaku sebagai Hukum Acara untuk semua Undang- Undang Tindak Pidana. Ternyata dalam perkembangan ketentuan-ketentuan khusus dibutuhkan bagi Undang- Undang Pidana Non Kodifikasi disamping ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hukum Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun diluar Undang- Undang tersebut mengatur tentang kegiatan pembuktian dengan perantaraan alat-alat bukti yang sah. Alat-alat bukti di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diatur secara limitatif yang berkait dengan sistem pembuktian. Pembuktian merupakan suatu rangkaian dari proses pemeriksaan di depan persidangan. Dalam hal ini hakim diharapkan betul-betul cermat, teliti dan matang menilai serta mempertimbangkan seluruh bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan apakah terdakwa benarbenar terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan selanjutnya dibebaskan dari hukuman. M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan”. 3
3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kansas, Dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm
4
Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa untuk pemberian Putusan oleh Hakim dibutuhkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan adanya keyakinan Hakim bahwa benar ada Tindak Pidana dan terdakwalah pelakunya. Sistem ini disebut Negatif Wettelijk dimana Hakim terikat pada alat-alat bukti yang disebut dalam UndangUndang (Wettelijk ), namun Hakim juga diberi keleluasaan berdasar keyakinannya. Dalam hal alat bukti sudah cukup namn Hakim tidak memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa putusannya adalah bebas (Negatif). Karena sistim pembuktian ini menghendaki adanya keyakinan Hakim, maka perlu keyakinan ini diperkuat, selain oleh alat-alat bukti juga dengan barang-barang bukti (Stukken Van Overtniging) atau benda-benda untuk meyakinkan. Dengan demikian maka keberadaan alat-alat bukti yaitu minimal 2, disertai pula dengan barang-barang bukti yang meyakinkan Hakim bahwa seorang terdakwa dapat dipidana. Dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menyatakan beberapa alat bukti yang dapat digunakan pada proses pembuktian pidana, yaitu: a. b. c. d. e.
Keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa.
Ketentuan pasal ini menentukan alat-alat bukti dan dari alat-alat bukti itu dipakai dua alat bukti minimum.
5
Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 26 merumuskan: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada
pemeriksaan
keterangan
saksi
sekurang-kurangnya
di
samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi 4. Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dima ksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Permasalahan pembuktian dalam tindak pidana kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan adalah kekuatan pembuktian keterangan saksi korban. Hal ini berarti kesaksian tersebut hanya digunakan sebagai petunjuk saja karena tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil sebagai keterangan saksi. Sedangkan dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa anak dibawah umur lima belas (15) tahun atau belum menikah, diperbolehkan memberikan keterangan namun tidak diperbolehkan disumpah. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mewajibkan adanya sumpah
4
M. Yahya Harahap, Op. Cit.,hlm 286.
6
atau janji, keterangan saksi yang tidak disumpah atau janji tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini merupakan salah satu hambatan untuk mendapatkan keadilan bagi korban. Berbagai hal terjadi dan menjadi alasan mengapa dipersidangan tidak dapat dihadirkan saksi lain yang dapat memperkuat keterangan saksi korban. Sehingga terkadang saksi korban tindak pidana asusila menjadi korban lagi untuk kesekian kalinya dalam sistem hukum pembuktian. Oleh karena itu, sejauh mana kekuatan pembuktian seorang anak yang menjadi korban suatu tindak pidana yang dapat dianggap sebagai alat bukti sehingga menimbulkan keyakinan hakim secara sah dan patut untuk menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Hal ini berguna untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan. Berdasarkan hal tersebut penulis ingin melakukan penelitan hukum dengan judul sebagai berikut “ Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan ( Studi Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Dengan Nomor Perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG).” B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal- hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masala h diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Mengapa saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan dengan nomor perkara 45/ Pid. B/ 2013/ PN.SBG? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi korban anak dalam putusan Pengadilan Negeri Sibolga nomor perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG?
7
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi korban dan pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Sibolga dengan nomor perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG. Selain itu juga untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan nomor perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Untuk menambah wacana dan pustaka dalam rangka pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan khususnya hukum acara pidana mengenai keterangan saksi korban dalam studi kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga dengan nomor perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG . 2. Kegunaan Terapan/ Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah perbendaharaan wacana bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum acara pidana mengenai pembuktian keterangan saksi korban dalam studi kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga dengan nomor perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG . b. Memberikan gambaran secara umum kepada
masyarakat
mengenai pembuktian keterangan saksi korban dalam studi kasus putusan Pengadilan Negeri Sibolga dengan nomor perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Pengertian, Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana Dalam materi pengantar ilmu hukum, diketahui bahwa hukum dibagi atas hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara dan hukum privat mengatur tentang hubungan antara sesama anggota masyarakat. Hukum pidana sendiri terbagi atas hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Menurut Moeljatno Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk : a. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut (Criminal Act). b. Menentukan kapan dan dalam hal- hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pida na sebagaimana yang telah diancamkan dalam ketentuan pidana (Criminal Liability/Criminal Responsibility) Bagian ke -1 dan ke-2 masuk dalam lingkup Substantive Criminal Law/Hukum Pidana Materiil. Selanjutnya untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut kita menggunakan Criminal Procedure / Hukum Acara Pidana, Hukum acara pidana yang juga dikenal dengan hukum pidana formil termasuk dalam hukum publik sebagaimana tergambar dalam bagan di bawah : Hukum pidana materiil mengatur syarat yang menimbulkan hak penuntutan atau menghapuskan hak itu. Begitu pula hukumannya, dengan kata lain mengatur
9
terhadap siapa, bilamana dan bagaimana hukuman harus dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil mengatur cara menjalankan hak penuntutan; dengan kata lain menetapkan tata cara mengadili perkara pidana.
5
Untuk tegaknya hukum
materiil diperlukan hukum acara atau sering juga disebut hukum formil. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara dan siapa yang berwenang menegakkan hukum materiil dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum materiil. Tanpa hukum acara yang jelas dan memadai, maka pihak yang berwenang menegakkan hukum materiil akan mengalami kesulitan menegakkan hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum materiil pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum materiil perdata, maka ada hukum acara perdata. Sedangkan, untuk hukum materiil tata usaha negara, diperlukan hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana harus dikuasai terutama oleh para polisi, jaksa, advokat, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Hukum acara pidana dan hukum pidana adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Hukum pidana dapat ditegakkan apabila hukum acara pidana juga diselenggarakan dengan baik. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga hukum acara pidana dapat dikatakan sebagai alat untuk menegakan hukum pidana. Hukum acara pidana itu beranggapan bahwa hukum acara pidana mempunyai dasar norma-norma tersendiri, bahkan dilihat dari susunan serta substansi hukum acara pidana mengandung struktur ambivalensi dari segi perlindungan manusia dan bersegi majemuk dari segi kewenangan alat
5
Mr. R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana,Jakarta: Bulan Bintang, hal. 21.
10
perlengkapan Negara dalam rangka usaha mempertahankan pola integrasi kehidupan bermasyarakat. 6 Sifat publik hukum acara pidana terlihat pada saat suatu tindak pidana terjadi pihak yang bertindak ialah negara melalui alat-alatnya, lebih nyata lagi di Indonesia dan Belanda karena penuntutan pidana dimonopoli oleh negara (dalam hal ini jaksa sebagai perwakilan dari negara). 7 Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, di Inggris disebut criminal procedure law, sedang di Amerika Serikat memakai istilah criminal procedure rules, adapun di Perancis disebut code d’instruction criminille. 8 Menurut Simons, hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. 9 Menurut Andi Hamzah definisi dari JM van Bemmelen lebih tepat dan lengkap yang mendefinisikan: “Hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang-undang pidana : a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs materiaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
6
Bambang Poernomo, 1986, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, hal 1-2 7 8 9
Andi Hamzah., 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta ArthaJaya, hal 10 Ibid, hal. 2 Ibid, hal 4
11
g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib ”. 10 Wirjono Prodjodikoro mantan Ketua Mahkamah Agung RI mendefinisikan hukum acara pidana sebagai: ”suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan menegakkan hukum pidana”. 11
Sementara J. C. Simorangkir seperti yang dikutip dalam buku Darwin Prinst memberikan pengertian hukkum acara pidana sebagai berikut: “Hukum acara pidana adalah hukum acara yang melaksanakan dan memepertahankan hukum pidana materiil. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum formil atau hukum acara adalahhukum yang mengatur tata cara pelaksanaan hukum materiil. Dan hukum acara pidana atau hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tata cara melaksanakan/ mempertahankan hukum pidana materiil.” 12 Seluruh definisi yang diberikan oleh para ahli Hukum Pidana, seperti diuraikan di atas pada dasamya adalah sama, yaitu mendefinisikan Hukum Acara Pidana merupakan: 1. Serangkaian peraturan. 2. Dibuat oleh negara (undang-undang). 3. Yang memberikan wewenang kepada aparat penegak hukum. 4. Untuk melakukan tindakan penyidikan penuntutan dan menjatuhkan pidana. 5. Terhadap pelaku tindak pidana. Hukum acara pidana agar dapat ditaati oleh masyarakat harus dijamin pelaksanaannya. Hukum pidana yang mengandung norma hukum dan sanksi pidana, diterapkan terhadap barangsiapa melakukan pidana yang dilakukan 10 11 12
Ibid, hal. 6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, hal Darwin Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djambatan, Jakarta, hal. 2
12
dengan kesalahan yang dapat merugikan atau membahayakan masyarakat. Hukkum pidana tidak dapat dilaksanakan apabila tanpa ada aturan beracara, yaitu untuk proses perkara pidana menentukan suatu keputusan lain, kepada seseorang yang terbukti atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana dengan kesalahannya, secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum pidana
itu
dilaksanakan melalui hukum acara pidana. 13. 2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana Menurut doktrin (pendapat para ahli hukum) bahwa tujuan hukum acara pidana adalah sebagai berikut: 1.
Mencari dan Menemukan Kebenaran Materil: mencari dan menemukan kebenaran materil, artinya kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
2. Memperoleh Putusan Hakim: tujuan hukum acara pidana ini dapat diartikan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
13
Bambang Poernomo, 1986, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, hal 1-2
13
3. Melaksanakan Putusan Pengadilan: Setelah upaya hukum dilakukan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka jaksa melaksanakan putusan pengadilan. 4. Tujuan Melindungi Hak Asasi Manusia: Di
samping
bertujuan
menegakkan ketertiban hukum dalam masyarakat, hukum acara pidana juga bertujuan melindungi hak asasi tiap individu baik yang menjadi korban, maupun si pelanggar hukum.
14
Tujuan hukum acara pidana seperti dikemukakan dalam Pedoman Pelaksana KUHAP seperti dikutip di atas dapat dirumuskan menjadi tiga fungsi menurut van Bemmelen yaitu : a. Mencari dan menemukan kebenaran b. Pemberian keputusan oleh hakim. c. Melaksanakan keputusan. 15 Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah mencari kebenaran materiil. Oleh karena itu untuk menemukan kebenaran diperlukan alat bukti yang menjadipertimbangan bagi hakim dalam mengambil keputusan yang adil dan tepat. Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususannya yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pida na dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan negarapenegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan saran peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan menemukan fakta menurut
14
Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang -Undang Hukum Acara Pidana, hal.3 15
Andi Hamzah, S.H., Op.Cit, hal. 9
14
kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil. 16 Menurut Tanusubroto, hukum acara pidana mempunyai tujuan mengemban misi mencari kebenaran sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalahdari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya. 17 Dalam perkembangan kelimuannya, Bambang Poernomo18 mengatakan bahwa: “Hukum acara pidana tidak hanya sekedar menemukan kebenaran dan keadilan dalam hukum, akan tetapi kemampuannya harus sampai kepada segala aspek yang terkandung dalam nilai- nilai kebenaran dan keadilan tersebut menyentuh hukum untuk kemanusiaan atau hukum berperikemanusiaan.” B.
Asas - asas Hukum Acara Pidana Undang-Undang Hukum Acara Pidana disusun dengan didasarkan pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa dan dasar negara, dimana penghormatan atas hukum menjadi sandaran dalam upaya perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Sejalan dengan perkembangan pandangan bangsa ini terhadap hak asasi manusia maka materi pasal dan ayat harus mencerminkan adanya perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hal ini tergambar dari sejumlah hak asasi manusia yang terdapat dalam KUHAP yang pada dasarnya juga diatur dalam dua aturan perundang-undangan lainnya yaitu Undang- Undang N omor 4 tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
16
Bambang Poernomo, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonsia. Cetakan ke- 2, Penerbit Amarta, Yogyakarta, hal. 28. 17
S. Tanusubroto, 1984, Dasar- dasar Hukum Acara Pidana, Amirco Bandung, Bandung, hal. 22. 18
Bambang Poernomo, Op.Cit. hal. 30
15
Kehakiman dan Undang-U ndang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Disamping itu asas -asas ini juga merupakan panduan penting dalam pelaksanaan berjalannya sistem peradilan pidana. Karenanya dengan asas-asas ini mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap berjalannya sistem ini dapat berjalan. 1. Peradilan yang Bebas, Sederhana dan Cepat serta Biaya Ringan Asas ini harus ditegakkan pada semua tingkat pemeriksa dan sangat menyangkut pada sikap mental aparat penegak hukum. Pada pasal-pasal dalam Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di samping ada tindakan aparat yang dibatasi dengan jangka waktu tertentu, akan tetapi lebih banyak pasal yang hanya menyebutkan dengan kata-kata. Adanya dua titik perhatian yang penting, yaitu: a. Adanya peradilan yang bebas dari pengaruh apapun (independent judiciary); b. Proses peradilan pidana harus dilakukan secara cepat dan sederhana (speedy trial). Kebebasan peradilan adalah titik pusat dari konsep negara hukum yang menganut paham “rule of law”, di mana hukum ditegakkan dengan secara tidak memihak (impartial), baik terhadap tersangka/terdakwa/pelaku, Jaksa Penunut Umum dan korban (masyarakat). Peradilan yang bebas tidak akan mengijinkan bahwa seseorang telah “dianggap bersalah” sebelum adanya pembuktian yang kuat tentang hal itu, Tidak akan mengijinkan adanya “show trials” di mana terdakwa tidak diberikan atau
16
dikurangi kesempatan yang layak untuk membela diri secara maksimal. Sehingga pembatasan waktu persidangan dengan mematok sekian hari, adalah salah satu bentuk pengingkaran terhadap upaya hukum untuk mencari kebenaran materiil. Tidak hanya merugikan terdakwa namun juga merugikan hakim dan terutama adalah merugikan hukum. Adalah suatu bentuk penjelmaan peradilan yang sesat apabila orang sudah dapat menduga bahwa putusan hakim akan mempersalahkan terdakwa tanpa menghiraukan pembuktian ataupun pembelaan. Pasal 158 Undang- Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan : “Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa” Proses peradilan yang cepat dan sederhana merupakan tuntutan yang logis dari setiap tersangka atau terdakwa, apalagi dirinya dalam tahanan. Adapun mengenai asas sederhana, artinya dalam penanganan suatu perkara harus cepat dan tepat, jangan bertele-tele, asas sederhana ini dapat dilihat pada acara pemeriksa singkat dan cara pemeriksaan cepat. Asas sederhana juga tercermin dalam
hal
tertangkap
tangan,
pemeriksaan
praperadilan,
penggabungan
pemeriksaan, perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi. Sedangkan mengenai asas biaya ringan dapat kita lihat pada surat edaran MA No. KMA/155/X/1881 tanggal 19 Oktober 1981 yaitu minimal Rp 500,00 dan maksimal Rp10.000,00. 2. Asas Praduga Tak Bersalah ( Presumption of Innocent) Asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent dijumpai dalam pasal 8 ayat (1) Undang- Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
17
jo Penjelasan umum butir 3 huruf c Undang- Undang nomor 8 tahun 1981 merumuskan: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Menurut pendapat M. Yahya Harahap19, yaitu: “ Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknik penyidikan dinamakan prinsip akusatur. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek, bukan sebagai obyek pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedamgkan yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan ( tindak pidana), yang dilakukan oleh tersngka atau terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan” 3. Asas Oportunitas Berkaitan dengan asas legalitas dan asas jaksa sebagai penuntut umum, menimbulkan kewajiban kepada institusi kejaksaan untuk aktif bergerak sebagai bagian dari penegak hukum yang mambu melakukan penanggulangan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Karenanya bila telah ada suatu bukti permulaan yang cukup maka wajib baginya untuk melakukan tindakan penuntutan. Dalam hal ini penuntut umum tidak boleh tidak harus melakukan penuntutan pada orang yang diduga keras
melakukan tindak pidana dan telah berstatus sebagai
tersangka. Namun demikian terkait dengan kewenangan jaksa dalam menjalankan tugasnya, Hukum Acara Pidana Indonesia juga menganut asas Oportunitas yang diatur pada Pasal 35 huruf C Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dirumuskan: “Jaksa Agung dapat kepentingan umum”. 19
Yahaya Harahap, Op. Cit., hal. 38-39
menyampingkan
suatu
perkara
berdasarkan
18
Jadi asas Oportunitas merupakan asas dimana penuntutan umum (Jaksa Agung) tidak harus menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Asas ini sejalan dengan apa yang dikenal dengan Dominus Litis wewenang penuntutan sepenuhnya milik penuntut umum. 4. Asas Akusator dan Inkisitor ( accusator dan inquisitor) Asas akusator berarti menempatkan kedudukan terdakwa dalam keksejajaran yang memeriksa. Terdakwa tidak dipandang sebagai objek seperti dalam asas inkisitor. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Berkaitan dengan asas ini M. Yahya harahap20 memberikan pendapat bahwa: “Asas atau prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyaiharkat martabat harga diri. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalaha atau tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara- cara pemeriksaan inkisitor yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang- wenang.” Sebagaimana yang diketahui, asas inkisitor berarti tersangka dipandang sebgai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR ( Herzine Inlandsch Reglement) untuk pemeriksaan pendahuluan.
21
Andi Hamzah memberikan
pendapat yang menyebutkan bahwa:22 “Pengertian asas inkisitor adalah tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan. Asas inkisitor iini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan 20 21 22
Ibid. Hal 40-41 Andi Hamzah, Op. Cit. Hal. 3 Bambang Poernomo, Op.Cit. hal. 30
19
selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang- kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Sesuai dengan hak- hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan olen negara beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang alat- alat bukti berupa pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa begitu pula penambahan alat bukti keterangan ahli.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas akusator yang menempatkan posisi tersangka sejajar dengan pejabat penyidik dan penuntut umum dihadapan hukum. 5. Perlakuan yang sama di muka hukum Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan dimana setiap orang. Asas ini menjadi fundamental dalam Hak asasi manusia karena sangat terkait dengan persoalan diskriminasi yang merupakan dianggap merupakan salah satu permasalahan HAM utama. Diskriminasi
dimaknai sebagai: “segala bentuk perbedaan, pengecualian,
pembatasan atau pilihan yang berdasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dari kehidupan masyarakat” Bagian I, Pasal 1 (1) Konvensi Internasional tentang Pernghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965. Dalam melindungi dan melayani masyarakat, penegak hukum tidak boleh melakukan diskriminasi secara tidak sah berdasarkan ras, gender, agama, bahasa, warna kulit, pandangan politik, asal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (UDHR, Pasal 2; ICCPR, Pasal 2 dan 3, CERD, Pasal 2 dan 5) Dalam hal
20
ini upaya-upaya bagi penegak hukum untuk memberlakukan langkah-langkah khusus tertentu yang dirancang untuk menangani status dan kebutuhan khusus dari perempuan (termasuk perempuan hamil dan ibu yang baru melahirkan), anakanak, orang sakit, orang tua dan lain-lain yang membutuhkan perlakuan khusus sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional (ICCPR, Pasal 10; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women CEDAW, Pasal 4 (2) dan 12 (2); Convention on the Rights of the Child Pasal 37 dan Pasal 40; Standart Minimum Rules for The Treatmen of Prisoners, Pasal 5,8,53,82 dan 85 (2);Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment prinsip 5(2); United Nations Standard of Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice – Peraturan Beijingperaturan 1-8,Pasal 6 dan 7 UDHR, Pasal 16 ICCPR, Pasal 5 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) Setiap negara dihimbau untuk melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan menja min hak bagi setiap orang, tanpa melihat ras, warna kulit, atau asal bangsa atau suku, untuk diperlakukan sama di dalam hukum, khususnya dalam menikmati hak-hak di bawah ini: a. Hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum pengadilan dan dihadapan badan-badan administratif keadilan lainnya b. Hak untuk rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan atau kerusakan fisik, baik yang disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, atau lembaga tertentu”. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial pada tahun 1999 dengan Undang-undang
21
Nomor 29 Tahun 1999, namun belum menyusun UU Anti Diskriminasi. Karenanya secara sederhana asas ini harus dimaknai : a. Sama derajat di depan hukum (equal before the law) b. Mempunyai perlindungan sama oleh hukum (equal protection on the law) c. Mendapat perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal justice under the law). 6. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara laingsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.
Ini berbeda dengan acara perdata di mana
tergugat dapat diwakilkan oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pemeriksaan Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Pasal 53 (3) KUHAP merumuskan: ”Untuk keperluan pemeriksaan hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak (pengadilan anak).” Dalam hal ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Bahkan dalam pasal 195 KUHAP merumuskan : ”Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Dengan demikian berarti dalam perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak pun, putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Yang dipandang pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa yaitu putusan verstek atau in absentia . Akan tetapi harus diingat bahwa ini hanyalah pengecualian yaitu dalam perkara pelanggaran lalu lintas :
22
Pasal 213 Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang. Pasal 214 (1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan. (2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana. Ketentuan ini juga dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak P idana Korupsi.: Pasal 38 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. 7. Peradilan yang terbuka untuk umum Dimaksudkan adalah adanya “public hearing” dan dimaksudkan untuk mencegah adanya “secret hearings”, di mana masyarakat tidak dapat berkesempatan untuk mengawasi apakah pengadilan telah secara seksama
23
melindungi hak terdakwa dan dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada (hukum beracara). Asas ini tidak dimaksudkan untuk diartikan peradilan merupakan suatu “show case” atau dimaksudkan seba gai “instrument of deterence” baik dengan cara mempermalukan terdakwa (prevensi khusus) atau untuk menakut-nakuti masyarakat atau “potential offenders” (prevensi umum). Pasal 53 ayat (3) Undang- Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan: ”Untuk keperluan pemeriksaan hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak (pengadilan anak).” Dalam hal ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Bahkan dalam pasal 195 Undang- Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dirumuskan: ”Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Dengan demikian berarti dalam perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak pun, putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. C. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpe nting acara pidana. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk. Dengan pembuktian, hakim akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
24
perkara yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dijelaskan dalam hal apa saja pembuktian itu
harus
dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan hal apa yang tidak perlu dibuktikan. Secara umum, pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya suatu hal ( peristiwa dan sebagainya) yang cukup memoerlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa
tersebut).
Pembuktian
merupakan
perbuatan
membuktikan.
23
Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sehingga daoat diterima oleh akal terhaap kebenaran peristiwa tersebut. 24
Dalam hal membuktikan Hakim harus memperhatikan kepentingan terdakwa
maupun kepentingan masyarakat. 25 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) yang merupakan insrumen hukum nasional yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil telah terdapat rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaraan materiil. 26 Menurut M. Yahya Harahap27 : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan 23
Lilik Mulyadi,2007, Putusan Haki Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan Permasalahannya, cet. I, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 50-51. 24
Martiman Prodjohamidjojo (a), 1983, Seistem Pembuktian dan Alat- Alat Bukti, cet. I, Jakarta, Ghlia Indonesia, hal. 11. 25
Darwan Prints, Op. Cit., hal. 136.
26 27
Departemen Kehakiman RI, Op. Cit., hal. 1
M. Yahya Harahap , Op.cit., hal. 273-274
25
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan”. Darwan Prinst mengatakan bahwa28: “ Pembuktian adalah suatu peristiwa pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut.” Sedangkan menurut Van Bemmelen29: “Membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal tentang apakah hal yang tertentu itu sunnguh terjadi dan apa demikian sebabnya.” Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
30
Setiap ahli yang memberikan
pengertian mengenai pembuktian memberikan pengertian yang hampir sama yaitu suat kegiatan untuk mecapai tjuan akhir hukum acara pidana. Tujuan dari pembuktian adalah mencari dan menetapkan kebenaran yang ada dalam suatu perkara, bukan semata - mata mencari kesalahan seseorang dalam hal ini orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana. 31 Tujuan tersebut sejalan dengan tujuan hukum yakni menciptakan masyarakat tenang dan tentram, dimana setiap warga berhak mendapatkan perlindungan hukum, untuk itu peraturan yang ada harus dilaksanakan secara adil. Menurut A. Karim Nasution: “Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu mengenai fakta atas penilaian tersebut harus didasarkan.” 32
28
Darwin Prinst, Op.Cit. hal. 137
29
Moeljanto, Hukum Acara Pidana, cetakan 1, hal. 77
30
Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 9
31
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum ), cet. 1, Politea, Bogor, hal. 110. 32
A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam ProsesPidana Jilid I, Pusdiklat Agung, Jakarta, hal. 24
26
2. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian yang dianut Indonesia tercermin dalam Pasal 183 UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sistem pembuktian ini merupakan sistem pembuktian di Eropa Kontinental, berbeda dengan sistem Anglo Saxon dimana juri yang menetukan bersalah atau tidaknya terdakwa, sedang hakim hanya memimpin jalan persidangan.
33
Beberapa ajaran yang berhubungan dengan teori sistem pembuktian: a.
Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim (Conviction in Time) Teori ini tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan penyerahan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan hakim dan terkesan hakim sangat bersifat subyektif. Hakim harus mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan Dasar pertimbangan menggunakan pikiran secara logika dengan memakai silogisme, yakni premis mayor, premis minor, dan konklusio. Kelemahan pada sistem ini adalah terletak pada terlalu banyak memberikan
kepercayaan
kepada
hakim,
kepada
kesan-kesan
perseorangan sehingga sulit melakukan pengawasan. b.
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction rasionnee)
33
Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 245
27
Pada teori keyakinan atas alasan yang logis, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alasan-alasan untuk mengambil putusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dan cara menggunakan alat-alat bukti dalam undang-undang melainkan hakim bebas untuk memakai alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut logika. c. Teori Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie) Dalam teori undang-undang menetapkan alat-alat bukti mana yang dapat dipakai oleh hakim dan cara bagai mana mempergunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-alat itu sedemikian rupa. Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai yang sudah ditetapkan oleh undangundang maka hakim harus menetapkan keadaan sudah terbukti, walaupun hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Kelemahan pada sistem ini adalah tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran. d. Teori pembuktian negatif menurut undang-undang Teori ini dianut oleh KUHAP sebagaimana yang tertera dalam Pasal 183 yang merumuskan sebagai berikut: “Hakim tida k boleh menjalankan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “
28
Penggunaan kata “sekurang-kurangnya” dalam pasal ini memberikan limitatif pada alat bukti yang minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Sedangkan penggunaan kata “alat bukti yang sah” menunjukkan pengertian bahwa hanyalah alat-alat bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pidana pada umumnya ataupun delik korupsi pada khususnya. Berdasrkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif ( negatif Wettelijk Bewijstheori) yang dirumuskan: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidna benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pembuktian secara negatif ini pemidanaannya didasarkan kepada pembuktian yang berganda( dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang- undang( alat bukti) dan pada keyakinan hakim.
34
Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa hakim harus memenuhhi hal- hal sebagai berikut: a. Dua alat bukti yang sah. b. Ada keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini ditujukan untuk membuat suatu ketentuan undang-undang yang semaksimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati dan tegaknya keadilan dan kepastian hukum. 34
Andi Hamzah, op. Cit., hal 252
29
3. Bentuk Alat Bukti Undang- Undang Nom or 8 Tahun 1981 tidak memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan alat bukti. Akan tetapi pada Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dirumuskan: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabiila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebut alat-alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa Diluar yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP), tidak ada alat bukti lain yang dibenarkan mempunyai kekukatan pembuktian.
35
Apabila dikaitkan dengan prinsip minimum pembuktian, maka
untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus didasarkan pada sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah diantara lima alat bukti yang sah tersebut, yakni: 36 a. Sekurang- kurangnya seorang saksi ditambah dengan satu alat bukti keterangan ahli, surat, atau petunjuk. b. Dua alat bukti berupa keterangan seorang saksi ditambah keterangan terdakwa. 35
M. Yahya Harahap, Op. CIt., hal. 285
36
Ramelan, 2007, Hukum Acara Pidana & Hukum Acara Pidana Pengadilan HAM, Jakarta, Diklat Advokat Universitas Pelita Harapan Asosiasi Advokat Indonesia, hal. 117
30
c. Dengan syarat kedua alat bukti itu harus bersesuaian dan saling menguatkan, serta tidak bertentangan. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur tentang cara mempergunakan alat-alat bukti tersebut
di
persidangan, dan bagaimana kekuatan ala t-alat bukti. Dari masing-masing alat bukti dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 menggantikan alat bukti pengakuan (Bekertenis) dalam HIR menjadi keterangan terdakwa (Verklaring V. de Verdachte) dengan menambah pula alat bukti baru : Keterangan Ahli. Pengakuan dulu dianggap sebagai Regina Probationis namun sering didapat dengan paksaan sehingga wajar apabila dihapus. Alat bukti dalam Undangundang diluar Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selain tetap mengambil secara utuh ketentuan undang- undang tersebut, juga ditambah alat bukti baru. Seperti Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menambah 2 alat bukti baru sambil menunjuk alat bukti dari UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Alat bukti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetap dipakai dengan perluasan alat bukti petunjuk tentang sumber perolehannya. Alat bukti petunjuk menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diperoleh dari : a. Keterangan saksi, b. Surat, c. Keterangan terdakwa. Perlu dikaji lebih dahulu apa itu alat bukti petunjuk yang dimaksud KUHAP, Pasal 188 ayat (1) KUHAP menjelaskan petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain
31
maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Jadi petunjuk ada karena ada beberapa hal yang bersesuaian yang dapat dibuat kesimpulan. Perbuatan, kejadian, dan keadaan diperoleh dar i saksi, surat dan keterangan terdakwa. 4. Keterangan Saksi Korban Anak Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26 mengatakan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merumuskan definisi saksi sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan/atau alami sendiri.” Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada
pemeriksaan
keterangan
saksi
sekurang-kurangnya
di
samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
37
Saksi menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam 37
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 286
32
perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu atau semua hal yang ia lihat, ia dengar atau ketahui tentang suatu kejahatan atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Suatu keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dimana keterangan tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka dapat digunakan sebagai sangkaan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Penentuan perbuatan pidana didahului oleh timbulnya dugaan atau sangkaan tentang suatu perbuatan yang akan ditetapkan kebenara nnya secara lengkap dengan mengadakan seleksi keadaan-keadaan dan merangkai kejadian-kejadian. 38 Berdasarkan perumusan tersebut maka dalam hal keterangan saksi, hal yang harus diungkapkan di sidang pengadilan yaitu: 39 a. Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Saksi secara pribadi harus mendengar langsung peristiwa pidana atau kejadian yang terkait dengan peristiwa pidana tersebut. b. Yang ia liha sendiri, kejadian tersebut benar-benar disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri oleh saksi baik secara keseluruhan ataupun rentetan, fragmentasi peristiwa pidana yang diperiksa. c. Yang ia alami sendiri sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, biasanya merupakan korban dan menjadi saksi utama dari peristiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 160 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa yang pertama didengar keterangannya adalah saksi korban. d. Didukung oleh sumber dan alasan dari pengetahuannya itu, sehubungan dengan peristiwa, keadaan, kejadian yang didengar, dilihat, atau 38
Bambang Poernomo,Op. Cit.,hal 12
39
M. Yahya Harahap, Op. It., hal. 183
33
dialaminya. Setiap unsur keterangan harus diuji kebenarannya. Antara keterangan saksi dengan sumbernya harus benar- benar konsisten satu sama lain. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
40
a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan) b. Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya ( testimonium de auditu). c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162 KUHAP). d. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). e. Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang Menurut Pasal 171 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndnag Hukum Acara Pidana (KUHAP) mereka yang absolut tidak berwenang untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah yaitu: a. Anak yang berumur belum 15 tahun dan atau belum menikah. b. Orang sakit ingatan atau jiwa meskipun kadang- kadang ingatannya baik sekali. Dalam penjelasan Pasal 171 KUHAP dinyatakan bahwa anak yang belum berumur 15 tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang- kadang saja, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah
40
M. Yahya Harahap, Op. It., hal. 286-290
34
atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. 41 Oleh karena itu, nilai keterangan yang diberikan bukan mer upakan alat bukti yang sah walaupun keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling bersesuaian dengan yang lain, tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena bukan merupakan alat bukti yang sah, keterngan tersebut dapat digunakan sebgai tambahan untuk menyempurnakan kekuatan pembuktoan alat bukti yang sah, misalnya dapat menguatkan keyakinan hakim ( Pasal 161 ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau dapat digunakan sebagai petunjuk ( Penjelasan Pasal 171 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). 42 Agar suatu keterangan tanpa sumpah dapat dipakai untuk menguatkan keyakinan hakim maka harus memenuhi syarat- syarat: 43 a. Harus ada lebih dahulu alat bukti yang sah. b. Sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah. c. Adanya penyesuaian antara keterangan tanpa disumpah dengan alat bukti yang sah. Dalam hali ini, hakim tidak terikat untuk menggunakan keterangan tanpa sumpah, bahkan jika keterangan ini dengan alat bukti yang sah saling bersesuaian. Semua tergantung pada penilaian hakim dimana hakim bebas untuk menggunakan atau menyampingkan.
41
Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 258-259
42
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 293
43
Ibid, hal. 293
35
Selanjutnya di dalam pasal 1 angka 2 Undang- Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikatakan, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan / atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tinda k pidana. Dengan demikian apabila dicermati bahwa Undang- Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada dasarnya menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi saja, tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya. Hal senada juga dikatakan oleh Arief Gosita bahwa korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. 44 Demikian juga menurut Muladi, korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik dan mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 45 Dengan mengacu pada pengertian-pengertian kor ban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian / penderitaan bagi diri / kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-
44
40
Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo . , hal.
45
Muladi, 2005, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama, hal. 108
36
orang
yang
mengalami
kerugian
ketika
membantu
korban
mengatasi
penderitaannya. Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara ya ng sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah ”saksi korban”. Pada dasarnya, istilah saksi korban tidak disebutkan secara tegas dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari pengertian diatas, saksi korban merupakan saksi yang dimintai keterangannya dalam suatu perkara pidana karena ia menjadi korban langsung dari tindak pidana tersebut. Sesorang dapat disebut sebagai saksi korban apabila ia menjadi korban dalam suatu tindak pidana. Saksi korban adalah saksi yang juga menjadi korban peristiwa pidana yang secara langsung mengalami sendiri atau mendapatkan penderitaan atau kerugian disebabkan perbuatan tindak pidana tersebut. Dalam hali ini, saksi mengalami sendiri peristiwa pidana, karena saksi itulah yang menjadi korban langsung. Kesaksian ini sangatlah besar artinya bagi persidangan, terutama dalam hal- hal yang berhubungan langsung dengan kondisi yang dialami dan didertia oleh si korban, latar belakang, serta kronologis terjadinnnya peristiwa tersebut, melalui saksi korba inilah persidangan dapat memperoleh pemahaman yang lebih detail mengenai kasus yang sebenarnya. Saksi inilah yang dalam urutan pemeriksaannya harus diutamakan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 160 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nommor 8
37
Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum acara Pidana yang merumuskan: “Yang pertama-tama harus didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.” Permasalahan pembuktian dalam tindak pidana asusila terhadap anak adalah kekuatan pembuktian keterangan saksi korban. Hal ini berarti kesaksian tersebut hanya digunakan sebagai petunjuk saja karena tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil sebagai keterangan saksi. Sedangkan dalam Pasal 171 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa anak dibawah umur lima belas (15) tahun atau belum menikah, diperbolehkan memberikan keterangan namun tidak diperbolehkan disumpah. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mewajibkan adanya sumpah atau janji, keterangan saksi yang tidak disumpah ata janji tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi berkaitan erat dengan nilai kebenaran keterangan saksi itu sendiri. Keterangan saksi yang mengandung kebenaran memberikan kekuatan pembukian sehingga membentuk keyakinan hakim dalam memutuskan bersalah atau tidaknya terdakwa. Pada Pasal 185 ayat (6) menyebutkan bahwa dibutuhkan kewaspadaan haki untuk memperhatikan: a. persesuaian anatara keterangan saksi satu dengan yang lain. b. Persesuaian antara saksi dengan alat bukti. c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu. d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala yang dapat mempengaruhi keterngan itu untuk dipercaya. Sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti yang diberikan dalam pengadilan, dapat dikelompokam kedalam dua jenis, yaitu:
38
1. Kekuatan Pembuktian Keterngan Saksi Tanpa Disumpah. a. Saksi menolak disumpah Tentang kemungkinan penolakan saksi bersumpah diatur dalam Pasal 161 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun bila mengacu pada Pasal 161 ayat (2) yang dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (7), paling tidak nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterngan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan di persidangan tanpa disumpah. sifatnya bukanlah alat bukti yang sah. Tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya yaitu dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim atau dapat bernilai dan diperguunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang keterngan saksi yang dibacakan mempunyai kesesuaian dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada memenuhi batas minimum pembuktian, yaitu sekurang-kurangnya ua alat bukti yang sah. b. Adanya hubungan kekeluargaan. Seorang saksi yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan terdakwa dapat membekan keterngan dengan tanpa sumpah. Selanjutnya menurut Penuntut Umum dan terdakwa boleh tidak menyetujui bila ada saksi yang disumpah, maka Pasal 169 ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana memeberikan kemungkinan bagi mereka untuk membolehkan memberikan keterngan tanpa disumpah.
39
c. Saksi termasuk golongan yang disebutkan dalam Pasal 171 UndangUndang Nomor 8 Tahun1981 tentang Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan atau belum pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun terkadang, boleh diperiksa memberikan keterangan tanpa sumpah. Keterangan mereka dinilai bukan merupakan alat bukti yang sah, akan tetapi penjelasan Pasal 171 telah menentukan nilai pembuktian yang melekat pada keterangan mereka itu. Untuk mempergunakan keterangan ta npa sumpah baik tambahan alat bukti maupun untuk menguatkan keyakinan hakim atau sebagai petunjuk harus memenuhhi syarat: 46 1) Harus lebih dahulu telah ada dua alat bukti yang sah. 2) Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian yaitu telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah 3) Antara keterngan tanpa sumpah dengan alat bukti yang sah tersebut terdapat saling kesesuaian. 2. Kekuatan pembuktian keterngan saksi dibawah sumpah, yang mempunyai syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu: 47 a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
46
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 293
47
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 294
40
b. Keterangan yang diberikan itu harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri, atau alami sendiri dengan menyebut secara jelas sumber pengetahuannya.
Testimonium de auditu atau keterangan
saksi yang berupa ulangan cerita orang lain tidak mempunyai nilai keterngan sebagai alat bukti. Demikian juga pendapay atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikirannya tidak dapat dinilai sebagai keterangan yang bernilai sebagai alat bukti. c. Keterangan saksi harus dinyaakan di sidang pengadilan, tidak bersifat sah bila dinyatakan diluar sidang pengadilan d. Keterngan saksi saja buka merupakan alat bukti yang sah. Pada dasarnya keterangan saksi sebagai alat bukti: 1. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Pada alat bukti kesaksian tidak melekatsifat pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat didalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat, jadi alat bukti keterangan saks i bersifat bebas, tidak sempurna, dan mengikat. 2. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Lain halnya jika undang- undang menentukan lain sehingga hakim tidak dapat menilai kekuatan pembuktian dan harus terikat pada undangundang. Kebebasan hakim dalam menilai kekuatan pembuktian harus diawasi dan bertanggungjawab, sebab jika tidak diawasi maka kebebasan itu akan berakibat orang yang tidak bersalah akan menanggung hukuman. D. Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan
41
Dala m KUHP tidak memberikan satupun definisi mengenai kejahatan, walaupun Bab II dalam KUHP bertitel tentang kejahatan akan tetapi dalam pasal pasalnya memakai kata tindak pidana dan pada bab ini KUHP hanya memberikan rumusan mengenai perbuatan perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan. Dalam sistem perundang-undangan kita telah dipakai istilah tindak pidana, seperti Undang-undang tindak pidana ekonomi, Undang-undang tindak pidana korupsi, dan seterusnya maka dipandang tepat menggunakan istilah tindak pidana. Kejahatan secara yuridis diartikan sebagai perbuatan atau tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.
48
Dengan melihat kejahatan sebagai
perbuatan yang melanggar undang-undang, maka peraturan atau Undang Undang harus dibuat lebih dahulu sebelu adanya peristiwa pidana, hal ini untuk menjamin kepastian hukum dan agar tidak terjadi kesewenang wenangan dari penguasa. Selanjutnya pemakaian istilah tindak pidana dan kejahatan seringkali mengalami kerancuan dan tumpang tindih dalam pemakaian istilah ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa istilah yang dipakai dalam rumusan pasal pasal yang ada dalam rumusan KUHP adalah istilah tindak pidana, walaupun buku II bertitel kejahatan. Dalam hukum pidana sendiri istilah tindak pidana dikenal dengan strafbarfeit dan memiliki penjelasan yang berbeda beda akan tetapi intinya sama yaitu peristiwa pidana atau sebagai tindak pidana. Menurut Wirjono Prodjodikoro
49
dalam bukunya memberikan definisi tindak
pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan
48
R. Soesilo, Kriminologi Pengetahuan Tentang Sebab -Sebab Kejahatan, Bogor : Politeia, tanpa tahun, hal. 11-13 49
Wirjono Prodjodikoro, Asas -Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 58
42
istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia: “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.” Sedangkan dalam buku karya Adami Chazawi menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat. 50 Simons dalam Roni Wiyanto51 mendefinisikan: “tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handelin g) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld ) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.” Rumusan pengertian tindak pidana oleh simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan meliputi : 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld) 4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi menambahkan adanya “sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum”. Jadi, pengertian tindak pidana menurut Van Hamel meliputi lima unsur, sebagai berikut : 52 1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld) 50 Adami Chazawi, Pelaja ran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 67 51 Roni Wiyanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung, C.V.Mandar Maju, Hal. 160. 52 Ibid.
43
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. 5. Sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum. Moeljatno, memberi arti terhadap tindak pidana adalah perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: 1. Perbuatan (manusia); 2. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (ini merupakan syarat formil); 3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHPidana. Syarat materiil itu harus ada juga, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan. Moeljatno berpendapat, bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.
53
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada perbuatan yang diancam pidana tanpa peraturan lebih
53
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54
44
dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu: a.
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c.
Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa ) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang- undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas (18) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.”
45
Pasal 1 butir e Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan: “ Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.” Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yang kemudian dirubah oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor1/PUUVIII/2010 menjadi 12 tahun: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.” Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undanng Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak: “ Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin.” Pasal 7 ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merumuskan bahwa: “ Anak adalah seseorang yang berusia di bawah 19 (sembilan belas) tahun bagi laki- laki dan dibawah 16 (enam belas) tahun bagi perempuan karena perkawinannya hanya diijinkan jika seseorang sudah mencapai usia tersebut.” Perlindungan terhadap anak termasuk anak yang berhadapan dengan hukum, salah satunya adalah anak yang menjadi korban kejahatan. Seorang anak yang menjadi korban kejahatan mempunyai berbagai hak dan kewajiban yanng harus dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yanng berkaitan dengan usia. Hak dan kewajiban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan salah
46
satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh perundang- undangan sebagai berikut: 54 1. Hak Korban Hak anak- anak yang menjadi korban kejahatan adalah: a. Mendapat bantuan fisik (pertolongan pertama kesehatan, pakaian, naungan dan sebagainya). b. Mendapat bantuan penyelesaian masalah (melapor, nasihat hukum, dan pembelaan). c. Mendapat kembali hak miliknya. d. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi. e. Menolak menjadi saksi, bila hal ini akan membahayaka n dirinya. f. Memeperoleh perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor atau menjadi saksi. g. Memeperoleh ganti kerugian (restitusi, kompensasi) dari pihak pelaku (sesuai dengan kemampuan) atau pihak lain yang bersakngkutan demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan. h. Menolak ganti kerugian demi kepentingan bersama i. Menggunakan upaya hukum ( rechtsmiddelen). 2. Kewajiban Korban Kewajiban- kewajiban korban adalah: a. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan ( main hakim sendiri) b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan korban lebih banyak lagi. c. Mencegah kehancur an si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun orang lain. d. Ikut serta membina pembuat korban. e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. f. Tidak menuntut ganti kerugian yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban. g. Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi ganti kerugianpada pihak korban sesuai dengan kemampuannya (mencicil bertahap/ iballan jasa). h. Menjadi saksi jika tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanan untuk dirinya. Setiap instrumen- instrumen hukum nasional yang mengatur mengenai perlindungan anak mempunyai tujuan dan prinsip yang sama untuk mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak dimanapun ia berada. Sehingga walaupun 54
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, edisi keempat, Badan penerbit FHUI, Depok,
Hal. 242-244
47
mengalami kesulitan dalam melakukan implementasi atas instrumen hukum tersebut, paling tidak sudah ada upaya dalam bentuk payung hukum untuk menegakan dan melakukan perlindungan terhadap anak. Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak mudah karena pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda beda menurut pandangan dan nilai nilai yang berlaku di masyarakat tertentu. Dengan demikian tidaklah mudah menentukan batas-batas atau ruang lingkup tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana ini merupakan salah satu tindak pidana yang paling sulit dirumuskan. Hal ini disebabkan kesusilaan merupakan hal yang paling relatif dan bersifat subyekt if. Namun demikian perbedaan pendapat mengenai kesusilaan secara induvidual tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan bangsa dan suku bangsa. Misalnya laki-laki dan perempuan berciuman di tempat umum adalah hal yang biasa di negara Amerika Serikat teta pi akan sangat berbeda apabila dilakukan di negara Indonesia. Walaupun demikian ada pula bagian tindak pidana kesusilaan yang bersifat universal. Universal dalam arti seragam bukan saja dalam batas-batas negara, tetapi ke seluruh negara-negara yang beradab. Menurut Oemar sana Adji, delik susila menjadi ketentuan universal apabila : 1. 2. 3. 4. 5.
Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan Yang menjadi korban adalah orang dibawah umur Apabila delik tersebut dilakukan dimuka umum Apabila korban dalam keadaan tida k berdaya dan sebagainya. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik, misalnya guru terhadap muridnya.
48
Perihal mengenai tindak pidana asusila diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan ana k. Dalam Pasal 81 ayat (1) merumuskan bahwa: “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan anak memaksa melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas (15) tahun dan paling singkat tiga (3) tahun dengan denda paling banyak RP. 300.000.000, 00 ( tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000, 00 (enam puluh juta rupiah)”. Unsur- unsur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang- undang nomor 23 tahun 2002 tentang pe rlindungan anak antara lain: a. Setiap orang Yang dimaksud setiap orang dalam hal ini adalah siapapun juga yang dapat menjadi subyek hukum, yaitu orang atau manusia sebagai pelaku tindak pidana. b. Dengan sengaja Unsur dengan sengaja disini dimaksudkan bahwa pelaku mengetahui dan sadar
atas
apa
yang
telah
diperbuatnya,
sehingga
ia
dapat
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, oleh karena itu pengertian sengaja yaitu dalam hal seseorang melakukan suatu tindakan tertentu cukuplah jika ia menghendaki tindakannya itu, artinya ada hubungan yang erta antara kejiwaanya (batin) dengan tindakannya. c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak Yang dimaksud kekerasan dalam Pasal 89 Undang- undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yaitu menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Kekerasan disini mempunyai pengertian
49
kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu hubungan antara dua (2) orang atau lebih yang tidak didasari atas kemauan bersama, hanya dilndasi kemauan satu pihak. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang- undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: “anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas (18) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.” d. Melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Yang dimaksudkan dengan kata-kata “dengannya” adalah diri orang yang melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan tersebut. Hal ini ditujukan untuk pelaku. Sedangkan “dengan orang lain” dimaksudkan bahwa diri orang lain yang atas perintahnya untuk melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan.
50
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode merupakan cara kerja yang bersistem yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. 55Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif atau legal approach, yaitu penelitian yang difokuskan untuk me ngkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.56Konsep ini juga melihat hukum sebagai suatu sistem Normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan sehari-hari. Objek yang ada kemudian diteliti dengan menggunakan pendekatan yang terdiri dari : a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach ) Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah
semua
peraturan
perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
permasalahan yang diteliti.57 b. Pendekatan Analisis (analytical approach) Pendekatan analisis adalah pendekatan dengan menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan. 58 B.Spesifikasi Penelitian 55
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991,Kamus BesarBahasa Indonesia edisi kedua, Jakarta: Balai Pustaka,hlm. 652 56 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media, 2008, hlm 295. 57 58
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Kencana, hlm. 70
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 54.
51
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah menggunakan spesifikasi penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian yang menetapkan standar, prosedur, ketentuan-ketentuan dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum, sehingga apa yang senyatanya ada berhadapan dengan apa yang seharusnya dan diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan tertentu. 59 Dalam penelitian ini penulis ingin mencari gambaran mengenai Kekuatan Pembuktian Keternagan Saksi Korban dalam Tindak Pidana Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan. C. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan peneliti, karena peneliti ini merupakan penelitian kepustakaan. Data sekunder yang digunakan, yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer adalah Bahan Hukum yang mempunyai otoritas atau mengikat. 60Bahan Hukum Primer terdiri dari Peraturan Perundang-undangan,
catatan-catatan
resmi
atau
risalah
dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 61 Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembuktian seperti Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Dengan Nomor Perkara 45/ Pid.B/ 2013/ PN. SBG, Undang- Undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Undang- undang Nommor 8 Tahun 1981 Tentang 59
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit., hlm. 22-23
60
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghlmia Indonesia, 1990. Hlm. 11. 61
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencan, 2009 hlm. 141.
52
Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder merupakan bahan-bahan yang memiliki hubungan erat dengan bahan hukum primer yang digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer. 62 Bahan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pustaka di bidang ilmu hukum, Hasil penelitian di bidang hukum, Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah Bahan hukum yang menunjang penelitian. Bahan hukum tersier terdiri dari :63 a) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang biasanya disebut dengan bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, misalnya saja abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, atau indeks majalah hukum. b) Bahan-bahan primer, sekunder, dan penunjang di luar bidang hukum. D. Metode Pengumpulan Data
62 63
Ronny, loc. Cit. Hlm. 12.
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Nasional (Suatu Kajian Singkat), Jakarta, Rajawali, 1990, hlm. 41.
53
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan Data Sekunder yang diperoleh melalui pengumpulan data yang akan dilakukan dengan cara studi kepustakaan dengan menginventarisir peraturan Perundang-Undangan , dokumen-dokumen resmi , hasil penelitian, makalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan materi yang menjadi objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. E.Metode Penyajian Bahan Hukum Metode penyajian bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode display, suatu kegiatan memilah-milah bahan hukum ke dalam bagian-bagian tertentu yang mendeskripsikan seluruh bahan hukum yang dikumpulkan.Selanjutnya, bahan hukum disajikan dalam bentuk Teks Naratif, yaitu suatu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis. Setelah bahan hukum primer, sekunder dan tersier dikumpulkan, akan dilakukan klasifikasi dan inventarisasi. Dari hasil klasifikasi dan inve ntarisasi tersebut, hasil yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan logis untuk menyelesaikan masalah yang diteliti. F. Metode Analisis Data Analisis dimaksudkan untuk mengetahui makna yang dikandung dari istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsep dan tekhnis penerapannya. Analisis bahan hukum bertujuan untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan arti atau makna terhadap bahan hukum yang telah diolah sebelumnya. Penelitian ini menggunakan logika deduktif melalui metode analisis normatif kualitatif. Metode analisis normatif kualitatif merupakan cara menginterpretasikan berdasarkan pengertian hukum,
54
norma hukum, teori-teori hukum, serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution). Analisis bahan hukum tersebut dilakukan dengan menggunakan model interpretasi sebagai berikut : a. Interpretasi sistematis Menurut
P.W.C.
Akkerman,
interpretasi
sistematis
adalah
interpretasi dengan melihat kepada hubungan dimana aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Disamping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri. 64 b. Interpretasi gramatikal Merumuskan
suatu
aturan
perundang-undangan atau suatu
perjanjian seharusnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat yang menjadi tujuan pengaturan hukum tersebut, atau para pihak yang terkait dengan pembuatan suatu teks perjanjian. 65 Peneliti menggunakan kedua model interpretasi tersebut untuk mengetahui
64 65
makna
ketentuan
Peter Mahmud Marzuki, Op cit, hlm. 112 Johny Ibrahim.Op.cit.,hlm. 220
undang-undang
dengan
cara
55
menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya tentang Objek yang diteliti.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap putusan perkara pidana Pengadilan Negeri Sibolga dengan nomor perkara 45/Pid.B/2013/PN.SBG tentang tindak pidana kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan yang diatur dalamPasal 81 ayat (1) Undang- Undangh Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu data- data dari putusan tersebut, sebagai berikut: a.
Duduk Perkara Perbuatan pidana ini berawal ketika terdakwa, saksi Kartika Ekarini Br.
Tanjung dan saksi korban NA beristirahat di atas ranjang di dalam kamar tidur, saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung kemudian pergi ke dapur untuk mematikan kompor tiba-tiba terdengar teriakan saksi korban NA dari dalam kamar dengan mengatakan “AYAH…”. Saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung langsung ke dalam kamar dan melihat saksi korban sudah tidak menggunakan celana lagi dengan posisi terlentang, sedangkan terdakwa sudah tidak menggunakan celana lagi dan memasukan kemaluannya ke dalam lo bang kemaluan NA. Melihat hal tersebut saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung berusaha mengambil NA namun terdakwa menghalanginya dengan mendorong saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung hingga terjatuh. Saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung kembali bangun dan mengambil NA dari kasur dan membawanya keluar rumah menuju rumah saksi Neni Irawati dan menceritakan perbuatan terdakwa. Saksi Neni Irawati menyarankan untuk memeriksakan NA ke dokter dan melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
57
b. Dakwaan Primair Bahwa dia terdakwa Suhari pada hari rabu tanggal 31 Oktober 2012 sekitarpukul 16.00 WIB, atau setidaknya pada suatu hari pada bulan Oktober 2012, bertempat di Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah, tepatnya di dalam kamar rumah terdakwa sendiri, ata u setidaktidaknya pada suatu tempat yang termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Sibolga, setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atauancaman kekerasan memkasa anak melakukan persetubutubahn dengannya atau dengan orang lain, perbuatan mana dilakukan dengan cara: Berawal pada hari Rabu tanggal 31 Oktober 2012 sekitar pukul 15.30 WIB saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung, terdakwa dan saksi korban NA (anak perempuan berumur 2 tahun) golek- golek diatas ranjang di dalam kamar tidur yang mana saat itu posisi saksi korban berada ditengah-tengah antara terdakwa dan saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung sedang menyalakan kompor untuk memanaskan nasi, lalu saksi langsung berdiri dan pergi ke dapur sedangkan terdakwa sedang berbaring di samping saksi korban, setelah saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung memadamkan kompor tiba-tiba saksi kartika ekasari Br. Tanjung mendengar teriakan saksi korban NA dari dalam kamar dengan mengatakan “ AYAH…..”, mendengar suara tersebut saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung melihat saksi korban sudah tidak menggunakan celana dalam lagi dengan posisi terlentang kedua pahanya terkangkang, sedangkan terdakwa sudah tidak menggunakan celana lagi sedang memasukan kemaluannya kedalam lobang kemaluan saksi korban dengan posisi terdakwa berada diatas badan saksi korban, melihat tersebut
58
saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung langsung mengambil saksi korban, namun terdakwa malah menghalangi saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dengan menolak saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dengan menggunakan tangan kana nnya hingga saksi Kartika Ekarini Br.Tanjung terjatuh kelantai namun saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung kembali bangun dan mengambil saksi korban dari tempat tidur dan langsung membawa keluar dan sampai di ruang tengah saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung kemudian memakaikan celana saksi korban, dan saat itu terdakwa keluar dari kamar menuju kamar mandi, dan ketika terdakwa berada di kamar mandi saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung langsung mebawa saksi korban kerumah saksi Neni Irawati dan menceritakan kejadian tersebut kepada saksi Neni Irawati, oleh saksi Neni Irawati memberikan saran untuk memeriksakan saksi korban ke Dokter, selanjutnya pada hari Kamis 1 November 2012 sekitar pukul 10.00 WIB saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dan saksi Neni Irawati membawa saksi korban NA ke Puskemas dan oleh pihak Puskemas mengatakan harus ada surat dari polisi, selanjutnya pada hari Jumat tanggal 2 November 2012 saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung melaporkan perbuatan terdakwa kepada pihak yang berwajib, sehingga akibat perbuatan terdakwa, saksi korban NA mengalami: − Pada bibir kemaluannya terdapat luka lecet warna merah ukuran 0,5 cm pada arah jam 17 dan jam11 pada bagian klirotis terdapat luka lecet. Dengan kesimpulan: ditemukan adanya tanda - tanda kekerasan pada alat kelamin bagian luar yang diduga telah disebabkan oleh trauma benda tumpul. Sebagaimana Visum Et RepertumNo. 566/VER/XI/2012 tanggal 2 November 2012 atas nama Nuraini, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Marifa Agustina, dokter pada Rumah Sakit Puskemas Sorkam.
59
Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Subsidair Bahwa dia terdakwa Suhari pada hari rabu tanggal 31 November 2012 sekitarpukul 16.00 WIB, atau setidaknya pada suatu hari pada bulan November 2012, bertempat di Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah, tepatnya di dalam kamar rumah terdakwa sendiri, atau setidaktidaknya pada suatu tempat yang termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Sibolga, setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atauancaman kekerasan memkasa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, perbuatan mana dilakukan dengan cara: Berawal pada hari Rabu tanggal 31 November 2012 sekitar pukul 15.30 WIB saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung, terdakwa dan saksi korban NA (anak perempuan berumur 2 tahun) golek- golek diatas ranjang di dalam kamar tidur yang mana saat itu posisi saksi korban berada ditengah-tengah antara terdakwa dan saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung sedang menyalakan kompor untuk memanaskan nasi, lalu saksi langsung berdiri dan pergi ke dapur sedangkan terdakwa sedang berbaring di samping saksi korban, setelah saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung memadamkan kompor tiba-tiba saksi kartika ekasari Br. Tanjung mendengar teriakan saksi korban NA dari dalam kamar dengan mengatakan “ AYAH…..”, mendengar suara tersebut saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung melihat saksi korban sudah tidak menggunakan celana dalam lagi dengan posisi terlentang kedua pahanya terkangkang, sedangkan terdakwa sudah tidak menggunakan
60
celana lagi sedang memasukan kemaluannya kedalam lobang kemaluan saksi korban dengan posisi terdakwa berada diatas badan saksi korban, melihat tersebut saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung langsung mengambil saksi korban, namun terdakwa malah menghalangi saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dengan menolak saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dengan menggunakan tangan kanannya hingga saksi Kartika Ekarini Br.Tanjung terjatuh kelantai namun saks i Kartika Ekarini Br. Tanjung kembali bangun dan mengambil saksi korban dari tempat tidur dan langsung membawa keluar dan sampai di ruang tengah saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung kemudian memakaikan celana saksi korban, dan saat itu terdakwa keluar dari kamar menuju kamar mandi, dan ketika terdakwa berada di kamar mandi saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung langsung membawa saksi korban kerumah saksi Neni Irawati dan menceritakan kejadian tersebut kepada saksi Neni Irawati, oleh saksi Neni Irawati memberikan saran untuk memeriksakan saksi korban ke Dokter, selanjutnya pada hari Kamis 1 November 2012 sekitar pukul 10.00 WIB saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dan saksi Neni Irawati membawa saksi korban NA ke Puskemas dan oleh pihak Puskemas mengatak harus ada sura t dari polisi, selanjutnya pada hari Jumat tanggal 2 November 2012 saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung melaporkan perbuatan terdakwa kepada pihak yang berwajib, sehingga akibat perbuatan terdakwa, saksi korban NA mengalami: − Pada bibir kemaluannya terdapat luka lecet warna merah ukuran 0,5 cm pada arah jam 17 dan jam 11 pada bagian klirotis terdapat luka lecet. Dengan kesimpulan: ditemukan adanya tanda -tanda kekerasan pada alat kelamin bagian luar yang diduga disebabkan oleh trauma benda tumpul.
61
Sebagaimana Visum Et RepertumNo. 566/VER/XI/2012 tanggal 2 November 2012 atas nama NA, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Marifa Agustina, dokter pada Rumah Sakit Puskemas Sorkam. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. c. Pembuktian Penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alat bukti berupa: 1. Alat bukti saksi yaitu: a. Saksi I: NA Memberikan keterangan bahwa saksi sudah pernah diperiksa oleh pe nyidik sehubungan dengan perkara terdakwa tersebut. Saksi mengatakan bahwa kejadian pencabulan tersebut terjadi pada hari Rabu tanggal 31 Oktober 2012 sekitar pukul 16.00 WIB di Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah tepatnya di dalam kamar rumah saksi sendiri yang dilakukan oleh terdakwa yang merupakan ayah kandung saksi korban. Terdakwa melakukan perbuatan tersebut dengan cara memasukan kemaluannya yang sudah menegang kedalam lobang kemaluan korban, dan saat itu saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung melihat perbuatan terdakwa dan langsung membawa terdakwa lari saksi korban dan saat itu terdakwa sempat mendorong saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung namun saksi tetap memeluk korban dan membawa lari kerumah saksi Neni Irawati. Saksi membenarkan bahwa barang bukti yang diajukan dalam
62
persidangan adalah benar. Atas kejadian tersebut saksi menjadi trauma/ takut melihat terdakwa. b. Saksi II : Kartika Ekarini Br. Tanjung Memberikan keterangan bahwa terdakwa merupakan suami saksi. Pada tanggal 31 Oktober 2012 sekitar pukul 16.00 WIB telah terjadi perbuatan cabul terhadap saksi korban NA (anak kandung saksi) bertempat di Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah tepatnya dikamar rumah saksi. Saksi melihat langsung terdakwa pada saat memasukan venis/ kemaluannya kedalam lobang kemaluan saksi dimana saat itu terdakwa dan korban tidak mengggunakan celana lagi. Saksi melihat bahwa kemaluan terdakwa sudah tegang/ keras dan saat itu saksi berusaha menyelamatkan korban dengan cara mengambil korban dan membawa keluar kamar, kemudian memakaikan celana dalamnya dan setelah itu saksi membawa korban kerumah kakak kandungnya Neni Irawati. c. Saksi II: Neni Irawati Saksi Neni Irawati memberikan keterangan bahwa pada tanggal 31 Oktober 2013 se kitar pukul 16.00 WIB telah terjadi perbuatan cabul terhadap saksi korban Nuraini. Saksi mengetahui perbuatan tersebut dari pemberitahuan saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung yang menjelaskan kepada saksi bahwa saksi korban telah dicabuli oleh terdakwa, dan saksi menyarankan agar permasalahan tersebut dicek kebenarannya dan kemudian saksi bersama saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung sempat mebawa korban ke Puskesmas Maduma untuk diperiksakan. Pada malam harinya saksi dan keluarga kompromi dan sepakat melaporkan kejadian tersebut
63
ke Polisi karena sebelumnya sudah pernah terjadi pencabulan terhadap korban yang diduga dilakukan oleh terdakwa. d. Saksi IV: Sabahal Khairi Tambunan Saksi mengetahui tersebut setelah diberitahu oleh saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung bahwa be nar terdakwa melakukan perbuatan cabul terhadap anak kandung terdakwa. Terdakwa bekerja sebagai nelayan di Sibolga dan sebulan sekali pulang kerumahnya, dan apabila pulang kerumah terdakwa dirumah saja dan tidak pernah bergaul dengan tetangga. Terdakwa bes erta keluarganya tinggal di Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanulli Tengah sudah 2,5 tahun lamanya namun status kependudukannya terdakwa beserta keluarga masih menumpang karena terdakwa belum menyerahkan surat pindah dari tempat tingga l semula. 2. Surat Sebagaimana Visum Et RepertumNo. 566/VER/XI/2012 tanggal 2 November 2012 atas nama NA, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Marifa Agustina, dokter pada Rumah Sakit Puskemas Sorkam yang telah memeriksa korban yaitu saksi korban NA, umur 2 tahun, jenis kelamin perempuan, pekerjaan ikut orangtua, alamat Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah dengan hasil pemerikasan khusus alat kelamin: Pemeriksan luar: Kepala
: tidak ada kelainan
Wajah
: tidak ada kelainan
Leher
: tidak ada kelainan
Dada
: tidak ada kelainan
64
Perut
: tidak ada kelainan
Pinggul
: tidak ada kelainan
Extremitas Atas
: tidak ada kelainan
Extremitas Bawah
: tidak ada kelainan
Genetalia
: Pada bibir kemaluannya terdapat luka lecet warna merah ukuran 0,5 cm pada arah jam 17 dan jam 11 pada bagian klirotis terdapat luka lecet.
Selaput Dara
: tidak ada kelainan
Pemeriksaan Dalam: tidak dilakukan pemeriksaan. c. Keterangan terdakwa Dipersidangan telah didengar pula keterangan terdakwa sbb: Bahwa pada tanggal 31 Oktober 2012 sekitar pukul 15.00 WIB terdakwa dan saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung dan anak-anak terdakwa sedang berada di dapur, yang mana saat itu saksi Kartika Ekarini Br. Tanjung sedang memarut ubi sedangkan terdakwa menggendong Ardiansyah. Pakaian yang dikenakan korban saat itu adalah dengan memakai kaos warna merah jambu (berbentuk singlet), celana panjang warna merah jambu tanpa menggunakan celana dalam. Terdakwa mengetahui bawa korban tidak menggunakan celana dalam dikarenakan setelah korban selesai buang air besar terdakwa yang memakaikan celana panjang merah jambu kepada korban NA tanpa memkai celana dalam. Terdakwa berada di dalam kamar selama hampir 30 menit. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya. d. Tuntuntan jaksa penuntut umum Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sibolga memutuskan;
65
1. Menyatakan terdakwa SUHARI terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum melakukan “ melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhannya dengannya atau orang lain” melanggar Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana dalam dakwaan primair. 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa SUHARI tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dikurangi selama terdakwa ditahan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. 3. Menyatakan barang bukti berupa: − 1 ( satu) helai celana dalam warna coklat. − 1 (satu) helai celana dalam warna merah. − 1 (satu) helai baju warna kuning/ putih. − 1 (satu) helai celana pendek (dipotong) jeans warna biru. Dirampas untuk dimusnahkan 4. Menetapkan agar terdakwa SUHARI tersebut dibebani membayar ongkos perkara sebesar Rp. 1000,00 (seribu rupiah). e. Putusan pengadilan a. Dasar pertimbangan hakim Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah fakta- fakta tersebut dapat memenuhi unsur -unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dan apakah
66
terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa SUHARI oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: Menimbang, bahwa dalam perkara ini terdakwa diajukan oleh Penuntut Umum ke persidangan dengan dakwaan yang disusun secara subsidair, yaitu : 1. Primair : Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 2. Subsidair : Pasal 81 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. karenanya Majelis dalam mempertimbangkan dakwaan tersebut setelah melihat fakta yang terungkap dipersidangan dapat langsung memilih manakah dari dakwaan tersebut yang dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum. Menimbang, bahwa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya telah berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur -unsur dari Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang didakwakan pada Dakwaan Primair, sehingga Dakwaan Primair tersebut telah terbukti pula secara syah menurut hukum dan meyakinkan. Menimbang, bahwa sehubungan dengan itu, Majelis akan meninjau apakah benar Dakwaan Primair tersebut telah dapat dibuktikan secara syah menurut hukum dan meyakinkan oleh Penuntut Umum ataukah tidak.
67
Menimbang, bahwa Dakwaan Primair Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut mempunyai unsurunsur sebagai berikut : 1. Setiap orang. 2. Yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. Ad. 1 Setiap Orang: Menimbang, bahwa mengenai unsur ke-1 tersebut di atas yaitu “setiap orang” Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut : Menimbang, bahwa menurut putusan Mahkamah Agung RI No, 1398 K/ Pid/1994 tanggal 30 Juni 1995 kata “setiap orang” adalah sama dengan terminologi kata “barang siapa”. Jadi yang dimaksud dengan “setiap orang” disini adalah setiap orang atau pribadi yang merupakan subyek hukum yang melakukan suatu perbuatan pidana atau subyek pelaku dari pada suatu perbuatan pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan yaitu keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti, telah ternyata bahwa sesuai dengan : a. Surat Laporan Polisi No. LP/56/XI/2012/SU/RES TAPTENG/SEK SORKAM tertanggal 02 November 2012. b. Surat Perintah Penyidikan No. Pol : SP. Sidik/56/XI/2012/Reskrim tertanggal 02 November 2012. c. Surat
Pemberitahuan
Dimulainya
Penyidikan
No.
K/148/SPDP/XI/2012/ Reskrim tertanggal 09 November 2012.
Pol
:
68
d. Berita Acara Pemeriksaan saksi-saksi serta tersangka Suhari yang dibuat dan ditandatangani Penyidik pada Kepolisian Sektor Sorkam. e. Surat Perintah Penangkapan No. Pol : SP.Kap/341/XI/2012/Reskrim tertanggal 03 November 2012. f. Surat Perintah Penahanan No. Pol : SP. Han/30/XI/2012/Reskrim tertanggal 04 November 2012. g. Surat Perintah Penyitaan No. Pol : SP. Sita/41/XI/2012/Reskrim tertanggal 03 November 2012. h. Surat
Permintaan
Persetujuan
izin
penyitaan
No.
Pol
:
K/47/XI/2012/Reskrim tertanggal 09 November 2012. i.
Surat
Perpanjangan
Penahanan
No.
B-484/N.2.13/Epp.1/11/2012
tertanggal 14 November 2012. j.
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Sibolga No. 45/Pen.Pid/2013/PN SBG tertanggal 12 Februari 2012.
k. Surat Dakwaan No. PDM-02/SIBOL/Euh/12/2012 tertanggal 05 Februari 2012. l.
Surat Tuntutan Pidana Penuntut Umum (requisitoir) Reg. Perk. No. PDM02/ SIBOL/12/2012 tertanggal 15 April 2012.
m. Keterangan saksi-saksi yang membenarkan bahwa yang dihadapkan untuk diperiksa dan diadili di depan persidangan ini adalah benar terdakwa Suhari. n. Keterangan terdakwa sendiri di persidangan yang menerangkan bahwa ia adalah orang atau pribadi yang beridentitas seperti apa yang disebutkan
69
dalam surat dakwaan Penuntut Umum serta menyatakan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Menimbang, bahwa berdasarkan hal tersebut maka jelaslah bahwa pengertian “setiap orang” yang dimaksud unsur ke-1 dari pasal yang termuat Surat Dakwaan Penuntut Umum adalah terdakwa SUHARI. Menimbang, bahwa akan tetapi untuk menetapkan apakah benar terdakwa tersebut subyek pelaku dari pada suatu perbuatan pidana dalam perkara ini masih perlu dibuktikan apakah terdakwa tersebut benar telah melakukan suatu rangkaian tingkah laku perbuatan sebagaimana yang didakwakan. Jika benar terdakwa melakukan suatu rangkaian tingkah laku perbuatan yang memenuhi semua unsurunsur dari pasal Undang-undang hukum pidana yang didakwakan, maka dengan sendirinya unsur “setiap orang” tersebut telah terpenuhi bahwa terdakwa adalah pelaku dari perbuatan pidana dalam perkara ini. Menimbang, bahwa untuk itu Majelis akan melihat unsur-unsur berikutnya apakah telah terpenuhi adanya oleh perbuatan terdakwa. Ad. 2. Yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. Menimbang, bahwa mengenai unsur ke-2 di atas yaitu “Yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain” Majelis akan mempertimbangkan sebagai berikut : Menimbang, bahwa menurut doktrin ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu : kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), kesengajaan sebagai kepastian (opzet bijzekerheidsbewuszijn) dan kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet
70
bijmogelijkheids bewuszijn), kemudian dari ketiga bentuk kesengajaan tersebut pelaku sama -sama menghendaki melakukan tindakan yang terlarang, tetapi berbeda mengenai akibat yang timbul dari tindakannya itu, yaitu : a. pada kesengajaan sebagai maksud, pelaku menghendaki akibat yang timbul atas perbuatan yang dilakukannya. b. pada kesengajaan sebagai kepastian, pelaku menyadari sepenuhnya timbulnya akibat lain dari pada akibat yang dikehendakinya. c. pada kesengajaan sebagai kemungkinan, pelaku menyadari tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat lain dari pada akibat yang dikehendakinya.(lihat : Drs., PAF. Lamintang : Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, halaman 295 s/d 301). Menimbang, bahwa sedang yang dimaksud dengan “melakukan kekerasan” Undang-Undang tidak memberikan keterangan. mengenai apa yang disebutkan dalam Pasal 89 KUHP bukanlah memuat tentang pengertian kekerasan, tetapi pasal tersebut hanya menyatakan membuat seseorang menjadi tidak berdaya disamakan dengan melakukan kekerasan. Menimbang, bahwa menurut Prof. Moeljatno, SH dalam bukunya “Kuliah Hukum Pidana” halaman 86 menyebutkan bahwa untuk adanya kekerasan diperlukan adanya kekuatan badaniah dan adanya efek dari penggunaan kekuatan badaniah tersebut. Jika efek penggunaan kekuatan badaniah tersebut dapat mengadakan lukaluka pada orang atau perusakan pada barang atau cukup untuk mematahkan perlawanan maka disitu dianggap telah ada kekerasan.
71
Menimbang, bahwa sedang yang dimaksud dengan “ancaman kekerasan” Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 5 Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 menentukan ada 2 syarat yang harus dipenuhi, yaitu : a. bahwa ancaman tersebut harus diucapkan dalam suatu keadaan sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang mendapat ancama n bahwa yang diancamkan itu benar -benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya. b.
bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.
(lihat : Drs. PAF. Lamintang, SH, Delik-delik khusus Tindak pidana -tindak pidana melanggar norma-norma kesusilaan dan norma-norma kepatutan, halaman : 149). Menimbang, bahwa dalam arrestnya yang lain tertanggal 19 Oktober 1936 Hoge Raad menegaskan bahwa tidak perlu dipastikan apakah terdakwa tersebut benar-benar akan melaksanakan maksudnya, apakah maksudnya itu benar-benar akan dapat dilaksanakan atau tidak. Selain itu juga tidak perlu dipastikan apakah kata-kata yang dipakai terdakwa itu mempunyai arti yang tepat untuk dipandang sebagai suatu ancaman akan memakai kekerasan, asalkan maksudnya suda h jelas (Ibid, halaman 149-150). Menimbang, bahwa mengenai kapan persetubuhan itu harus dipandang sebagai telah terjadi, Van Bemmelen dan Van Hattum menegaskan dan sependapat dengan Noyon – Langemeijer bahwa adanya suatu perbuatan mengadakan hubungan kelam in tidak disyaratkan adanya “ejaculatio seminis”, melainkan cukup jika orang telah
72
memasukkan penisnya ke dalam vagina seorang wanita (Ibid, halaman 114 – 115). Menimbang, bahwa Drs. PAF. Lamintang, SH dalam bukunya yang sama pada halaman 129 lebih lanjut menyatakan untuk terpenuhinya unsur ini oleh pelaku tidaklah cukup jika hanya terjadi persinggungan diluar antara alat kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, melainkan harus terjadi persatuan antara kelamin pelaku dengan alat kelamin korban, akan tetapi tidak disyaratkan keharusan terjadinya “ejaculatio seminis”. Menimbang,
bahwa
dari
pengertian-pengertian
tersebut
dapatlah
disimpulkan bahwa untuk terpenuhinya unsur ini harus ada kehendak atau maksud dari terdakwa untuk memakai kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan untuk memaksa seseorang anak melakukan persetubuhan. Menimbang, bahwa sedang menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan “Anak” adalah seseorang yang belum berusian 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa pada hari Rabu tanggal 31 Oktober 2012 sekira pukul 16.00 WIB saksi korban Nur Aini telah disetubuhi oleh terdakwa bertempat di Desa Pasar Sorkam Kecamatan Sorkam Barat Kabupaten Tapanuli Tengah. Hal itu dilakukan terdakwa dengan cara memasukkan kemaluannya yang sudah menegang kedalam lobang kemaluan korban, dan saat itu saksi Kartisa Ekarini Br Tanjung melihat perbuatan terdakwa dan langsung membawa lari saksi korban dan saat itu terdakwa sempat mendorong saksi Kartisa Ekarini Br Tanjung namun saksi tetap
73
memeluk korban dan membawa lari kerumah saksi Nenni Irawati dan akibat perbuatan terdakwa saksi korban NA pada bibir kemalua n terdapat luka lecet warna merah ukuran 0,5 cm pada arah jam 1,7 dan jam 11 pada bagian klitoris terdapat luka lecet dengan kesimpulan ditemukan adanya tanda -tanda kekerasan pada alat kelamin bagian luar yang diduga telah disebabkan oleh trauma benda tumpul sesuai dengan Visum Et Repertum Nomor : 566/VER/XI/2012 tanggal 02 November 2012 atas nama NA yang dibuat dan ditanda tangani dr. Marifa Agustina dokter pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sorkam. Menimbang, bahwa dari Visum et Repertum dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Sorkam No. 566/VER/XI/2012 tanggal 02 November 2012 yang ditandatangani dr. Marifa Agustina dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaannya adalah : pada bibir kemaluan terdapat luka lecet warna merah ukuran 0,5 cm pada arah jam 1, jam 7 dan jam 11. Pada bagian klitoris terdapat luka lecet. Dengan kesimpulan pemeriksaan : Ditemukannya adanya tanda -tanda kekerasan pada alat kelamin bagian luar yang diduga telah disebabkan oleh trauma benda tumpul. Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, terdakwa dan Visum et Repertum atas nama korban tersebut dihubungkan dengan teori kesengajaan sebagai maksud dan pendapat dari Van Bemmelen, Van Hattum dan Drs. PAF. Lamintang, SH di atas serta ketentuan pasal 183 KUHAP, Majelis berkeyakinan bahwa terdakwa telah menghendaki memakai ancaman kekerasan untuk memaksa saksi korban NA yang masih berumur 2 tahun melakukan persetubuhan dengannya.
74
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis berpendapat unsur ke -2 di atas telah terpenuhi adanya oleh perbuatan Terdakwa. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, yaitu dengan terpenuhinya unsur ke- 2 tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan rangkaian tingkah laku perbuatan se bagaimana yang tercantum dalam unsur-unsur dari Pasal Undang-Undang hukum pidana yang didakwakan kepadanya pada Dakwaan Primair. sehingga oleh karena itu telah terpenuhi pula unsur ke-1 “barang siapa” bahwa benar terdakwa sebagai pelaku dari perbuatan pida nan yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum pada Dakwaan Primair. Menimbang, bahwa dengan terpenuhinya semua unsur -unsur dari Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut, maka Majelis berpendapat dan sependapat dengan Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya bahwa dakwaan Penuntut Umum telah dapat dibuktikan secara sah menurut hukum dan meyakinkan. Menimbang, bahwa oleh karena Dakwaan Primair telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Dakwaan Subsidair sesuai dengan susunan Dakwaan Penuntut Umum di atas, tidak perlu dipertimbangkan lagi. Menimbang, bahwa perbuatan terdakwa yang telah terbukti tersebut menurut undang-undang adalah kejahatan. Menimbang, bahwa oleh karena perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah menurut hukum dan meyakinkan, maka kepadanya harus dinyatakan bersalah dan karena itu sudah sepantasnya pula dijatuhi pidana, karena sepanjang
75
pemeriksaan dipersidangan pada waktu terdakwa melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak ditemukan adanya alasan pemaaf dan pembenar yang dapat membebaskan dan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum atas perbuatan dan kesalahannya itu. Menimbang bahwa didalam persidangan tidak ditemukan adanya hal-hal yang mengecualika n ataupun yang menghapuskan kesalahan terdakwa atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut, maka kepada terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Menimbang, bahwa selain dijatuhi pidana penjara sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perlindungan Anak maka terhadap terdakwa juga dijatuhi denda yang besarnya sebagaimana dalam amar putusan ini dan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana penjara yang lamanya sebagaimana dalam amar putusan ini. Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan putusan Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal- hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi diri terdakwa sebagai berikut : Hal-Hal yang memberatkan : − Bahwa perbuatan Terdakwa dapat merusak masa depan saksi korban yang merupakan anak kandungnya sendiri yang masih berumur 2 (dua) tahun − Bahwa terdakwa berbelit-belit selama persidangan sehingga mempersulit jalannya persidangan. − Bahwa terdakwa sebagai orang tua kandung dari saksi korban yang seharusnya melindungi anaknya dari tindakan apapun yang merugikan anak.
76
Hal-Hal yang meringankan : − Terdakwa belum pernah dihukum. Menimbang, bahwa mengenai masa penangkapan dan atau penahanan yangtelah dijalani terdakwa sebelum perkaranya diputus sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (4) KUHAP akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dalam perkara ini ditahan dalam tahanan RUTAN, maka cukup alasan bagi Majelis untuk memerintahkan kepada terdakwa supaya tetap berada dalam tahanan RUTAN hingga putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap. Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang berupa 1 (satu) helai celana dalam warna coklat, 1 (satu) helai celana dalam warna merah, 1 (satu) helai baju warna kuning/putih, 1 (satu) hela i celana pendek (dipotong) jeans warna biru., oleh karena itu terhadap barang bukti tersebut akan ditentukan dalam amar putusan ini. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka sesuai dengan ketentuan pasal 222 ayat 1 KUHAP kepada terdakwa harus pula dibebani untuk membayar biaya perkara yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan ini. Mengingat akan Pasal-Pasal dari UndangUndang dan peraturan lain yang bersangkutan terutama Pasal 81 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Amar putusan Mengadili:
77
1. Menyatakan terdakwa SUHARI, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MELAKUKAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN MEMAKSA ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN DENGANNYA ATAU ORANG LAIN”. 2. Menghukum terdakwa SUHARI oleh karena itu dengan pidana penjara selama: 13 (tiga belas) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). 3. Menetapkan apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa maka diganti dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan. 4.
Menetapkan masa penahanan sementara yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5. Menyatakan terdakwa tetap ditahan. 6. Menyatakan barang bukti berupa : •
1 (satu) helai celana dalam warna coklat.
•
1 (satu) helai celana dalam warna merah.
•
1 (satu) helai baju warna kuning/putih.
•
1 (satu) helai celana pendek (dipotong) jeans warna biru. Dirampas untuk dimusnahkan.
7. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000,(seribu rupiah). B. Pembahasan Berdasarkan hasil penilitan terhadap perkara tindak pidana kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan diwilaya h hukum Pengadilan Negeri Sibolga dalam putusan nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG Dan dengan melakukan
78
studi pustaka yang berhubungan dengan objek pe nelitian, maka dapat dilakukan suatu analisis sebagai berikut: 1. Alat bukti keterangan saksi korban digunakan dalam perkara kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dalam putusan dengan nomor perkara 45/Pid.B/2013/PN.SBG Korban tindak pidana tidak hanya menimpa orang dewasa saja tetapi juga dapat menimpa anak yang masih dibawah umur. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.66 Kasus tindak pidana kesusilaan saat ini sering ditemukan korbannya adalah anak yang masih dibawah umur. Tindak pidana kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana ini apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa ruang lingkupnya ternyata tidak mudah karena pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda beda menurut pandangan dan nilai nilai yang berlaku di masyarakat tertentu. Dengan demikian tidaklah mudah menentukan batas-batas atau ruang lingkup tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana ini merupakan salah satu tindak pidana yang paling sulit dirumuskan. Hal ini disebabkan kesusilaan merupakan hal yang paling relatif dan bersifat subyektif. Namun demikian perbedaan pendapat mengenai kesusilaan secara induvidual tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan bangsa dan suku bangsa. Misalnya laki-laki dan perempuan berciuman di 66
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 27.
79
tempat umum adalah hal yang biasa di negara Amerika Serikat tetapi akan sangat berbeda apabila dilakukan di negara Indonesia. Perihal mengenai tindak pidana asusila diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Dalam Pasal 81 ayat (1) merumuskan bahwa: “setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan anak memaksa melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas (15) tahun dan paling singkat tiga (3) tahun dengan denda paling banyak RP. 300.000.000, 00 ( tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000, 00 (enam puluh juta rupiah)”. Dari hasil penelitian terhadap Putusan Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG dapat diketahui bahwa seorang anak yang masih dibawah umur telah menjadi korban tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Seorang anak berinisial NA telah menjadi korban pencabulan oleh terdakwa Suhari yang merupakan ayah ka ndung korban. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 81 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merumuskan “setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan ora ng lain”. Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian acara di persidangan. Kebenaran mengenai suatu tindak pidana dapat diketemukan melalui pembuktian. Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan “jantung” sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, tujuan adanya hukum acara
80
pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai suatu kebenaran yang diupayakan mendekati kebenaran yang sesungguhnya atas tindak pidana yang terjadi. 67 Secara umum, pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya suatu hal ( peristiwa dan sebagainya) yang cukup memoerlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa
tersebut).
Pembuktian
merupakan
perbuatan
membuktikan.
68
Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sehingga daoat diterima oleh akal terhaap kebenaran peristiwa tersebut. 69
Dalam hal membuktikan Hakim harus memperhatikan kepentingan terdakwa
maupun kepentingan masyarakat. 70 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) yang merupakan insrumen hukum nasional yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil telah terdapat rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaraan materiil. 71 Menurut M. Yahya Harahap72 : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan”. 67
Hibnu Nugroho, 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, hal. 33 68
Lilik Mulyadi,2007, Putusan Haki Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan Permasalahannya, cet. I, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 50-51. 69
Martiman Prodjohamidjojo (a), 1983, Seistem Pembuktian dan Alat- Alat Bukti, cet. I, Jakarta, Ghlia Indonesia, hal. 11. 70
Darwan Prints, Op. Cit., hal. 136.
71 72
Departemen Kehakiman RI, Op. Cit., hal. 1
M. Yahya Harahap , Op.cit., hal. 273-274
81
Darwan Prinst mengatakan bahwa73: “ Pembuktian adalah suatu pe ristiwa pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut.” Sedangkan menurut Van Bemmelen74: “Membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal tentang apakah hal yang tertentu itu sunnguh terjadi dan apa demikian sebabnya.” Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
75
Setiap ahli yang memberikan
pengertian mengenai pembuktian memberikan pengertian yang hampir sama yaitu suat kegiatan untuk mecapai tjuan akhir hukum acara pidana. Tujuan dari pembuktian adalah mencari dan menetapkan kebenaran yang ada dalam suatu perkara, bukan semata - mata mencari kesalahan seseorang dalam hal ini orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana. 76 Tujuan tersebut sejalan dengan tujuan hukum yakni menciptakan masyarakat tenang dan tentram, dimana setiap warga berhak mendapatkan perlindungan hukum, untuk itu peraturan yang ada harus dilaksanakan secara adil. Menurut A. Karim Nasution: 77 “Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu mengenai fakta atas penilaian tersebut harus didasarkan.” Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan 73
Darwin Prinst, Op.Cit. hal. 137
74
Moeljanto, Hukum Acara Pidana, cetakan 1, hal. 77
75
Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 9
76
R. Soesilo, Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum ), cet. 1, Politea, Bogor, hal. 110. 77
A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam ProsesPidana Jilid I, Pusdiklat Agung, Jakarta, hal. 24
82
kebenaran. Hakim , Penuntut Umum, Terdakwa, maupun Penasehat hukum, masing- masing terikat ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang- undang artinya bahwa dalam mmepergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setian alat bukti hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum harus melaksanakannya dalam batas- batas yang dibenarkan undang- undang.
78
Sejarah perkembangan hukum acara pidana di Indonesia menunjukan adanya beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa yang bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam hukum acara pidana, dikenal beberapa sistem pembuktian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang- undang secara negatif ( negatif Wettelijk Bewijstheori) yang dirumuskan: “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidna benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pembuktian secara negatif ini pemidanaannya didasarkan kepada pembuktian yang berga nda( dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang- undang( alat
78
AnggyaAyu Gita Puspita, 2012, Kekuatan Alat Bukti Saki Korban Tindak pidana Pengeksploitasian Seksual Anak ( Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt), Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 82
83
bukti) dan pada keyakinan hakim.
79
Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa hakim harus memenuhhi hal- hal sebagai berikut: c. Dua alat bukti yang sah. d. Ada keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini ditujukan untuk membuat suatu ketentuan undang-undang yang semaksimal mungkin dapat menjamin tegaknya kebenaran sejati dan tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan alat-alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa Diluar yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP), tidak ada alat bukti lain yang dibenarkanmempunyai keukatan pembuktian.
80
Alat bukti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tetap dipakai dengan perluasan alat bukti petunjuk tentang sumber perolehannya. Alat bukti petunjuk menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana diperoleh dari : a. Keterangan saksi, b. Surat, c. Keterangan terdakwa.
79
Andi Hamzah, op. Cit., hal 252
80
M. Yahya Harahap, Op. CIt., hal. 285
84
Dalam pembuktian digunakan alat-alat bukti ya ng sah dan meyakinkan menurut Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Proses mendapatkan alat bukti dimulai sejak pemeriksaan tahap penyidikan. Salah satu alat bukti yang digunakan dalm pemeriksaan melalui pembuktian yaitu alat bukti keterangan saksi. Seorang saksi memberikan keterangan dalam pembuktian berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, dan alami sendiri suatu tindak pidana. Berdasarkan Pasal 118 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menjelaskan bahwa pemeriksaan saksi harus dilakukan dalam keadaan bebas tanpa tekanan dari pihak manapun. Keterangan saksi dicatat oleh penyidik dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah pemeriksaan selesai saksi diperkenankan untuk membaca keterangan yang telah dicatat oleh penyidik kemudian menandatanganinya. Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26 mengatakan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pasal 1 angka 1 Undang- Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merumuskan definisi saksi sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan/atau alami sendiri.”
85
Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada
pemeriksaan
keterangan
saksi
sekurang-kurangnya
di
samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
81
Menurut pasal 160 ayat (1) huruf b Undang-Undang Noomor 8 Tahun 1981 Tntang Hukum Acara Pidana: “ Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.” Saksi menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu atau semua hal yang ia lihat, ia dengar atau ketahui tentang suatu kejahatan atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Jadi keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama. Karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi (Pasal 184 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana). Pentingnya kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal pemeriksaan, begitu pula dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun Pengadilan, keterangan saksi menjadi acuan Hakim dalam memutus bersala h atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia 81
M.Yahya Harahap,Op. Cit., hal. 286.
86
Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Suatu keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, dimana keterangan tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, maka dapat digunakan sebagai sangkaan adanya perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Penentuan perbuatan pidana didahului oleh timbulnya dugaan atau sangkaan tentang suatu perbuatan yang akan ditetapkan kebenarannya secara lengkap dengan mengadakan seleksi keadaan-keadaan dan merangkai kejadiankejadian. 82 Terkait dengan tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain membuktikan kesalahan terdakwa maka dari itu penyidik melakukan serangkaian upaya untuk mencari bukti-bukti untuk dapat mengungkap suatu perkara pidana dalam Putusan Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG berupa menghadirkan saksi yang menjadi korban dimana akan membuktikan kesalahan tersangka lain. Namun tetap harus saling mendukung dengan alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Tidak menutup kemungkinan seorang anak yang masih dibawah umur dihadirkan mengikuti persidangan untuk memberikan keterangan seba gai saksi korban. Anak yang menjadi korban suatu tindak pidana memberikan keterangan di persidangan agar terungkapnya kebenaran materiil yang diinginkan meskipun
82
Bambang Poernomo,Op. Cit.,hal 12
87
adanya ketentuan di dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana seorang anak yang memberikan keterangan sebagai saksi. Dalam Pasal 171 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa anak dibawah umur lima belas (15) tahun atau belum menikah, diperbolehkan memberikan keterangan namun tidak diperbolehkan disumpah. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mewajibkan adanya sumpah atau janji, keterangan saksi yang tidak disumpah atau janji tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah. Padahal keterangan saksi tersebut sangat relevan dan menentukan, karena dia sendiri yang menjadi korban kejahatan. Sedangkan saksi yang lainnya tidak memenuhi syarat materiil, karena keterangan mereka hanya berbentuk testimonium de auditu . Aktifitas pemeriksaan saksi anak haruslah mengutamakan kepentingan anak dengan melihat hal yang terbaik bagi kesejahteraan anak yang bersangkutan tanpa mengesampingkan kepentingan masyarakat. Pemeriksaan di sidang pengadilan anak harus selalu didampingi oleh ornag tua/ wali/ orang tua asuh dari anak yang bersangkutan. Kehadiran mereka akan membantu hakim dalam mengetahui latar belakang pribadi dan sosial anak yang bersangkutan.
83
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat
83
AnggyaAyu Gita Puspita, Op.Cit., hal. 85
88
dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:
84
f. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan) g. Keterangan saksi harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dengan sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya ( testimonium de auditu). h. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada pasal 162 KUHAP). i. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). j. Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan undang-undang. Menjadi saksi adalah kewajiban bagi setiap warga negara yang melihat atau mendengar atau bahkan menjadi korban suatu tindak pidana. Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang dinyatakan saksi dalam pengadilan. Keterangan hanya dari seorang saksi tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan satu orang saksi baru dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila disertai alat bukti yang lain. Keterangan saks i yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat dipakai sebagai alat bukti, apabila keterangan tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat memebenarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu. Lain halnya dengan seorang saksi yang memberikan keterangan berdasarkan keterangan atas dasar hanya mendengar saja tindak pidana tersebut dari orang lain yang disebut “de auditu”. Keterangan yang diberikan saksi de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti karena merupakan keterangan ulang dari apa yang didengarnya dari orang lain. Keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Andi hamzah berpendapat bahwa: 84
M. Yahya Harahap, Op. It., hal. 286-290
85
89
“Hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan, bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat dikesampingkan begitu saja. Mungkin sekali hal pendengaran suatu kejadian dari orang lai itu dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa” Darwan Prints mengemukakan beberapa syarat yang harus dimiliki saksi agar kesaksiannya tersebut dapat dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu: 86 a. Syarat formal Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu diberikan dibawah sumpah, keterangan saksi yang tidak dibawah sumpah hanya diperbolehkan dipergunakan sebagai tambahan penyaksian yang sah. b. Syarat materiil Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai alat pembuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup untuk suatu kejahatan yang dituduhkan. Adapun hal- hal yang harus diperhatikan dalam menilai kebenaran seorang saksi, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 185 ayat (6) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi , hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain. b. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk meberi keterangan yang tertentu. d. Cara hidup serta kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang ada pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Seorang saksi di persidangan mempunyai kedudukan yang paling utama diantara alat bukti lainnya dan telah disebutkan oleh Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Keterangan seorang saksi ditempakan 85
M. Yahya Harahap, Op. It., hal. 286-290
86
M. Yahya Harahap, Op. It., hal. 286-290
90
di posisi pertama karena saksi sangat menentukan dalam pembuktian agar dapat mengetahui terdakwa bersalah atau tidak. Oleh karena itu saksi wajib hadir di persidangan
untuk
memberikan
keterangan
sebagai
saksi
berdasarkan
pengetahuannya. Keterangan sangat diperlukan untuk memberikan pertimbangan hakim dalam hal menentukan terdakwa bersalah atau tidak. Konvensi tentang hak- hak anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 1989 Pasal 12 ayat (2) menyatakan bahwa: “Untuk tujuan ini, maka anak terutama harus diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional.” Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG telah terjadi tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain yang dilakukan oleh terdakwa Suhari terhadap korban NA pada bulan Oktober 2012 yang terjadi di Desa Pasar Sorkem Kecamatan Sorkem Tengah Kabupaten Tapanuli Barat. Korban NA masih berusia 2 tahun dan merupakan anak kandung dari terdakwa SUHARI. Walaupun saksi merupakan anak dibawah umur tetap saja sangat diperlukan keterangan saksi korban dalam pembuktian. Keterangan yang diberikan oleh saksi korban tidah dibawah sumpah, hal ini sesuai dalam Pasal 171 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa anak dibawah umur lima belas (15) tahun atau belum
menikah,
diperbolehkan memberikan keterangan namun tidak diperbolehkan disumpah. Akan tetapi pada Pasal 160 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
91
Hukum Acara Pidana mewajibkan adanya sumpah atau janji, keterangan saksi yang tidak disumpah atau janji tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah. Jadi dari uraian diatas diketahui bahwa keterangan saksi yang merupakan korban dalam tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dapat diberikan dipersidangan, keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama. Karena keterangan yang didengar pertama adalah korban yang menjadi saksi yang diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1981 keterangan saksi sebagai saksi harus dinyatakan dalam persidangan dan juga dalam Konvensi tentang hak- hak anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 1989 Pasal 12 ayat (2) menyatakan anak terutama harus diberi kesempatan
untuk
didengar
pendapatnya
dalam
persidangan-persidangan
pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional. 2. Kekuatan alat bukti keterangan saksi korban dalam tindak pidana kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dalam putusan nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG Dalam pemeriksaaan suatu perkara di pengadilan, saksi mempunyai peranan yang sangat pe nting dalam membuktikan suatu perkara guna menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana merumuskan:
92
“Hakim tidak boleh menjalankan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya “ Penggunaan kata “sekurang-kurangnya” dalam pasal ini memberikan limitatif pada alat bukti yang minimum, yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Sedangkan penggunaan kata “alat bukti yang sah” menunjukkan pengertian bahwa hanyalah alat-alat bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang yang dapat ditetapkan se bagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pidana pada umumnya. Pembuktian secara negatif ini pemidanaannya didasarkan kepada pembuktian yang berganda( dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang- undang( alat bukti) dan pada keyakinan hakim.
87
Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa hakim harus memenuhhi hal- hal sebagai berikut: a. Dua alat bukti yang sah. b. Ada keyakinan hakim akan terjadinya tindak ppidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebut alat-alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa Alat bukti yang sah tersebut harus saling berhubungan dengan satu sama lain agar dapat memberikan keyakinan hakim. Keyakinan hakim timbul karena adanya
87
Andi Hamzah, op. Cit., hal 252
93
alat-alat bukti yang sah. Menurut Darwan Prints pengertian alat bukti yang sah adalah: 88 “ alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alatalat bukti tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah terdakwa perbuat.” Dari kelima alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama. Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurangkurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 89 Saksi menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu atau semua hal yang ia lihat, ia dengar atau ketahui tentang suatu kejahatan atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Di dalam pemeriksaan di muka pengadilan, saksi yang akan memberikan keterangan di persidangan harus disumpah terlebih dahulu. Sumpah yang diucapkan merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan sebelum saksi memberikan keterangan agar saksi menyatakan dengan sebenarnya. Sebagaimana
88
Andi Hamzah, op. Cit., hal 252
89
Ibid, hal. 286
94
disebutkan Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa: “Sebelum memberikan keterangan saksi, saks i wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.” Pasal 185 ayat (7) menyatakan bahwa: “Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.” Dari ketentuan Pasal 160 ayat (3) dan pasal 185 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang hukum Acara Pidana tersebut dapat diketahui bahwa agar dapat menjadi alat bukti yang sah, saksi harus memberikan keterangan di persidangan tidak diluar persidangan dan saksi harus mengucapkan sumph terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan di persidangan. Namun demikian ada pengecualian seorang saksi dalam memberikan keterangannya tanpa harus mengucap sumpah. Hal ini sesuai dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang hukum Acara Pidana. Menurut Pasal 171 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undnag Hukum Acara Pidana (KUHAP) mereka yang absolut tidak berwenang untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah yaitu: c. Anak yang berumur belum 15 tahun dan atau belum menikah. d. Orang sakit ingatan atau jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik sekali. Para saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Putusan Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG terdiri dari
4 (empat) saksi yang
95
memberikan keterangan dibawah sumpah sesuai agama dan kepercayaan masingmasing, sedangkan saksi korban NA memberikan keterangan tidak dibawah sumpah karena saksi korban masih dibawah umur yakni berusia 2 (dua) tahun. Keterangan saksi korban sangat diperlukan dalam pemeriksaan dipersidangan karena saksi korban memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia alami, lihat, dan dengar sendiri suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dan dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam penjelasan Pasal 171 KUHAP dinyatakan bahwa anak yang belum berumur 15 tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang- kadang saja, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. 90 Oleh karena itu, nilai keterangan yang diberikan bukan merupakan alat bukti yang sah walaupun keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling bersesuaian dengan yang lain, tidak mempunya i kekuatan pembuktian karena bukan merupakan alat bukti yang sah, keterangan tersebut dapat digunakan sebgai tambahan untuk menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, misalnya dapat menguatkan keyakinan hakim sesuai dalam Pasal 185 ayat (7) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau dapat digunakan sebagai petunjuk sesuai dalam Penjelasan
90
Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 258-259
96
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 91 Menurut M. Yahya Harahap,
92
saksi tanpa disumpah bukanlah termasuk alat
bukti yang sah, tetapi nilai pembuktian yang melekat padanya tersebut sebagai berikut: a. Dapat dipergunakan untuk menguatkan keyakinan hakim. b. Atau dapat bernilai dan dipergunakan tambahan alat bukti yang sah lainnya, sepanjang keterangan saksi tersebut dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. Agar suatu keterangan tanpa sumpah dapat dipakai untuk menguatkan keyakinan hakim maka harus memenuhi syarat- syarat: 93 a. Harus ada lebih dahulu alat bukti yang sah. b. Sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah. c. Adanya penyesuaian antara keterangan tanpa disumpah dengan alat bukti yang sah. Dalam hal ini, hakim tidak terikat untuk menggunakan keterangan tanpa sumpah, bahkan jika keterangan ini dengan alat bukti yang sah saling bersesuaian. Semua tergantung pada penilaian hakim dimana hakim bebas untuk menggunakan atau menyampingkan. Keterangan saksi harus berhubungan, tidak boleh berdiri sendiri, menurut D.Simons bahwa suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan. Mengenai hal tersebut maka perlu dihadirkanya saksi yang benar benar mengetahui suatu kejadian, yaitu korban yang menjadi saksi, karena korban yang mengalami sendiri suatu tindak pindana. Karena saksi
91
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 293
92
Andi Hamzah, op. Cit., hal 252
93
Ibid, hal. 293
97
yang pertama didengar keteranganya oleh hakim adalah korban yang menjadi saksi Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP . Kedudukan saksi korban khususnya dalam lingkup peradilan merupakan saksi yang memberatkan ( A Charge) bagi terdakwa/tersangka, karena dalam keteranganya akan menunjukan pada kesalahan yang terdakwa/tersangka lakukan, sebagai alat bukti melainkan sebagai keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara dan dapat dipakai sebagai petunjuk utuk menemukan kebenaran ya ng terjadi. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan dalam pemeriksaan perkara pidana, dan ini hampir semua pembuktian perkara pidana selalu berdasarkan pemeriksaan saksi. Saksi merupakan orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan terdakwa. Saksi yang pertama didengar keteranganya oleh hakim adalah korban yang menjadi saksi ini sesuai Pasal 160 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomro 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 1 butir 26 saksi adalah: “Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.” Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, saksi adalah: “Orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri danatau ia alami sendiri”.
98
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian (the degree ofevidence) selain hal hal yang harus dibuktikan seorang saksi dalam persidangan, saksi juga harus memenuhi syarat syarat agar saksi itu sah yaitu, a. Syarat Formil, yakni : 1.
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji sesuai Pasal 160 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan: “Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberi keterengan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.” Sumpah atau janji ini wajib diucapkan sebelum memberi keterangan, tetapi dalam hal dianggap perlu sumpah atau janji dapat diucapkan setelah pemberian keterangan. Hal ini diatur dalam Pasal 160 Ayat (4) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
2. Saksi harus sudah dewasa hal ini terkait dengan Pasal 171 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa anak dibawah umur 15 tahun atau belum menikah, boleh saja memberikan kesaksian namun tidak boleh disumpah. Padahal Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mewajibkan adanya sumpah atau janji. Keterangan saksi dari seseorang yang tidak disumpah ini tidak punya kekuatan sebagai alat bukti sah. Maka batas kedewasaan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk memberikan kesaksian adalah berumur 15 tahun atau sudah menikah.
99
3. Saksi tidak sakit ingatan atau sakit jiwa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 177 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana butir b mengingat mereka tidak dapat mengingat ingatanya dan kadang-kadang ingatannya baik kembali. Jadi tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberi keterangan. Keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja, sebagaimana juga berlaku bagi orang yangbelum dewasa (Penjelasan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). b. Syarat Materiil Syarat materiil mengacu pada Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Pasal 185 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berikut merupakan penjelasannya, sehingga dapat di ketahui: 1. Setiap keterangan saksi diluar apa apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, pengkihatan atau yang terjadi, tidak dapat dinilai da n dijadikan sebagai alat bukti. 2. Testimonium de audite atau keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. 3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh hasil dari pemikiran bukan merupakan keterangan saksi Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
100
Mengenai perkara pidana yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi di dalam Pasal 168 KUHAP yaitu: a. Keluarga sedarah semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa. Guna menilai kebenaran keterangan seorang saksi hakim harus dengan sungguh sungguh memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu. d. Cara hidup dan kesesuaian saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. 94
Menurut M. Yahya Harahap , mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah sebagai berikut : a. Tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya. b. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas artinya dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti lain berupa saksi a de charge maupun dengan keterangan ahli atau alibi. Uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti saksi korban mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas artinya hakim tidak terikat dengan alat bukti keterangan saksi korban, akan tetapi didasarkan pada asas keyakinan hakim dan asas batas minimum pembuktian serta asas kebenaran 94
Ibid, hal. 217
101
sejati, oleh karenanya hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan uraian diatas dan dihubungkan dengan hasil penelitian terhadap Putusan Perkara Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG bahwa saksi NA yang menjadi korban tindak pidana kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain masih berusia 2 (dua) tahun, sehingga korban dikategorikan masih dibawah umur. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa sesorang dapat dikatakan anak jika masih berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur
anak yang masih dibawah umur yang menjadi saksi
dipersidanga n tidak diwajibkan mengucap sumpah terlebih dahulu pada asaat memberikan keterangan sebagai saksi dipersidangan. Oleh karena itu, mengingat saksi korban masih anak dalam memberikan keterangannya di persidangan ia tidak mengucap sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangannya. Hal tersebut menyebabkan keterangan yang diberikan oleh saksi korban NA dalam Putusan Perkara Nomor 45/Pid.B/2013/PN.SBG tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Kekuatan alat bukti keterangan saksi korban anak yang tanpa disumpah hanya dijadikan petunjuk bagi hakim untuk menilai benar atau tidaknya kesalahan terdakwa dan menambah keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara. Oleh karena itu, nilai keterangan yang diberikan bukan merupakan alat bukti yang sah walaupun keteranga n yang diberikan tanpa sumpah itu saling bersesuaian dengan yang lain, tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena
102
bukan merupakan alat bukti yang sah, keterngan tersebut dapat digunakan sebgai tambahan untuk menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, misalnya dapat menguatkan keyakinan hakim ( Pasal 161 ayat (2) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau dapat digunakan sebagai petunjuk ( Penjelasan Pasal 171 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
103
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasaan serta telaah terhadap Putusan Pengadila Negeri Sibolga Nomor Perkara 45/Pid.B/2013/PN.SBG, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Keterangan saksi NA yang merupakan korban dalam tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dapat diberikan dipersidangan, karena: a. keterangan yang didengar pertama adalah korban yang menjadi saksi yang diatur dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. b. Ketentuan dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor Tahun 1981 keterangan saksi harus dinyatakan dalam persidangan. c. Konvensi tentang hak- hak anak yang telah d isetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 November 1989 Pasal 12 ayat (2) menyatakan anak harus diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturan-peraturan prosedur hukum nasional. 2. Keterangan yang diberikan oleh saksi korban NA dalam Putusan Perkara Nomor
45/Pid.B/2013/PN.SBG
tidak
mempunyai
nilai
kekuatan
pembuktian. Kekuatan alat bukti keterangan saksi korban anak yang tanpa disumpah hanya dijadikan petunjuk bagi hakim untuk menilai benar atau
104
tidaknya kesalahan terdakwa dan menambah keyakinan hakim untuk memutus suatu perkara. Oleh karena itu, nilai keterangan yang diberikan bukan merupakan alat bukti yang sah walaupun keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling bersesuaian dengan yang lain, tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena bukan merupakan alat bukti yang sah, keterngan tersebut dapat digunaka n sebgai tambahan untuk menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, misalnya dapat menguatkan keyakinan hakim ( Pasal 161 ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) atau dapat digunakan sebagai petunjuk ( Penjelasan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). B. Saran Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan diharapkan agar teliti dalma mempertimbangkan semua alat bukti yang diajjukan dalam persidangan serta fakta- fakta hukum yang muncul dipersidangan agar putusan tersebut memenuhi rasa keadilan bagi pelaku, korban, maupun masyarakat. Pemberian sanksi pidana juga diharapkan memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana, agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya kembali dan tidak ada pelaku tindak pidana lainnya yang melakukan tindak pidana lagi.
DAFTAR PUSTAKA Buku Literatur Chazawi,Adami., Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2008. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti dan kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana. Yogykarta:Liberty. Gosita,Arief. 1993. Masalah Korban Kejahatan . Jakarta: Akademika Pressindo. Hamzah, Andi, S.H. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sapta ArthaJaya. Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Ibrahim, Johny. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Bayu Media. Karim Nasution, A. Masalah Hukum Pembuktian Dalam ProsesPidana Jilid I. Jakarta: Pusdiklat Agung. Kuffal, H.M.A. 2005. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, cet. Kedelapan. Malang: UMM Press. Mahmud Marzuki, Peter. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencan. Moelyatno. Hukum Acara Pidana, Bagian Pertama, Seksi Kepidanaan. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM. Muladi. 2005. HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Refika Aditama. Mulyadi, Lilik. 2007. Putusan Haki Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan Permasalahannya, cet. I. Bandung: Citra Aditya Bakti. Nugroho, Hibnu. 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Undip.
Poernomo, Bambang. 1986. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Poernomo, Bambang. 1988. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonsia . Cetakan ke- 2. Yogyakarta: Penerbit Amarta. Prints, Darwan. 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, cet. Ketiga. Jakarta: Djambatan. Prodjohamidjojo, Martiman (a). 1983. Seistem Pembuktian dan Alat- Alat Buk ti, cet. I. Jakarta: Ghlia Indonesia. R. Tresna, Mr. 1976. Azas-azas Hukum Pidana. Jakarta: Bulan Bintang. Ramelan. 2007. Hukum Acara Pidana & Hukum Acara Pidana Pengadilan HAM . Jakarta: Diklat Advokat Universitas Pelita Harapan Asosiasi Advokat Indonesia Soemitro ,Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta. Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji. 1990. Penelitian Hukum Nasional (Suatu Kajian Singkat. Jakarta: Rajawali. Soesilo, R. Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), cet. 1. Bogor : Politea. Tanusubroto, S. 1984. Dasar- dasar Hukum Acara Pidana. Bandung: Amirco Bandung. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991.Kamus BesarBahasa Indonesia edisi kedua . Jakarta: Balai Pustaka. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Wiyanto, Roni. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia . Bandung: C.V.Mandar Maju. Perundang- undangan Indonesia. Undang- Undang Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. ________. Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. ________. Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. ________. Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
________. Undang- Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. ________. Undang- Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. ________. Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindunga n Saksi dan Korban. ________. Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Jurnal AnggyaAyu Gita Puspita. 2012. Kekuatan Alat Bukti Saki Korban Tindak pidana Pengeksploitasian Seksual Anak ( Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt). Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman.