DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ
‘ILMI AL-TASAWWUF Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh ANNA SARASWATI NIM : 104024000830
PROGRAM STUDI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ
‘ILMI AL-TASAWWUF Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh ANNA SARASWATI NIM : 104024000830
PROGRAM STUDI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 14 Mei 2008
Anna Saraswati
DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ
‘ILMI AL-TASAWWUF
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh Anna Saraswati NIM: 104024000830
Pembimbing,
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum NIP: 150 370 229
PROGRAM STUDI TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H./2008 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul DIKSI TERJEMAHAN
DALAM
AL-RISÂLAH
TERJEMAHAN:
STUDI
AL-QUSYAIRIYYAH
FÎ
KRITIK
‘ILMI
AL-TASAWWUF telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 3 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada Program Studi Tarjamah. Jakarta, 3 Juni 2008 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, MA
Ahmad Syaekhuddin, M.Ag
150 265 589
150 303 001
Anggota,
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum 150 370 229
ABSTRAK
ANNA SARASWATI Diksi Dalam Terjemahan: Studi al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf
Kritik
Terjemahan
Al-Risâlah
Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi merupakan faktor utama dalam aktivitas penerjemahan. Jadi, dalam menerjemahkan, penerjemah harus teliti dalam memilih kata agar ide dan pesan penulis tersampaikan dengan baik. Diksi yang dipergunakan penerjemah harus diksi yang umum dan tidak menyalahi norma-norma umum yang berlaku. Penerjemah yang belum mahir mempergunakan bahasa akan menemukan berbagai kesulitan, karena apa yang dipikirkan atau dimaksudkan tidak akan sempurna dilahirkan kepada orang lain. Hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Sanksi yang langsung dapat diterima oleh penerjemah adalah bahwa apa yang diinginkan tidak dapat segera mendapat tanggapan dari pembaca. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerjemah Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf dalam memilih diksi. Melalui data yang telah dianalisis, terdapat kata yang masih belum tepat dan belum sesuai menurut gaya bahasa. Dengan kata lain, sebagian diksi yang digunakan oleh penerjemah al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf belum umum dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagian istilah-istilah tasawufnya masih mengikuti bahasa sumbernya atau tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini akan menimbulkan pembaca sulit memahami isi bacaan. Dengan demikian, Penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih dekat, tentunya dengan merujuk ke beberapa kamus. Dalam usulan terjemahan tersebut tidak sepenuhnya benar dan masih selalu dapat diperdebatkan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadiat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya Penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program sarjana (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya atas segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. H. Abdul Chaer selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA selaku ketua jurusan Tarjamah dan bapak Ahmad Syaekhuddin, M.Ag selaku sekretaris jurusan Tarjamah yang telah memberikan dukungan dan kemudahan sehingga segalanya dapat terlaksana. 3. Bapak Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum selaku dosen pembimbing atas ketulusan dan kesabarannya dalam membimbing Penulis dan memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi, sekaligus telah memberikan wawasan yang luas tentang dunia penerjemahan.Bapak Dr. Sukron Kamil, MA sebagai dosen seminar skripsi yang telah
memberikan banyak
pengetahuan kepada Penulis tentang langkah-langkah penyusunan skripsi.
4. Bapak dan ibu dosen lainnya atas curahan ilmunya selama masa studi. 5. Staf pegawai dan pengurus perpustakaan utama, perpustakaan Adab dan Humaniora, perpustakaan pribadi Mas Tatam, dan perpustakaan pribadi lainnya yang telah memfasilitasi buku-buku hingga Penulis terbantu dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Mohammad Luqman Hakiem selaku penerjemah buku Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf di tengah-tengah kesibukannya, beliau bersedia dihubungi via telepon dan mengirimkan profilnya lewat email. 7. Bapak dan Mama tercinta (H. Agus Salim dan Hj. Tuti Fatmawati) yang tiada hentinya berdoa untuk keberhasilan anak-anaknya, terima kasih atas semua kasih sayang dan support yang telah diberikan selama ini. Kak Zikri dan dek Meyla yang tak pernah lupa untuk memberikan perhatian dan semangat kepada Penulis. 8. Kawan-kawan di Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya kawan-kawan Tarjamah angkatan 2004 (Nay, Moena, Fiena, Nungke, Iziel, Poet, Tatam, Erwan, Omen, dll) yang menjadi tempat bertukar pikiran bagi Penulis. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Ciputat, 12 Mei 2008 Anna Saraswati
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ........................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iv PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. v ABSTRAK .................................................................................................... ix KATA PENGANTAR .................................................................................. x DAFTAR ISI ................................................................................................ xiii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................. 7 C. Tujuan Penelitian .............................................................. 7 D. Manfaat Penelitian ............................................................ 8 E. Tinjauan Pustaka ............................................................... 8 F. Landasan Teori ................................................................. 9 G. Metodologi Penelitian ....................................................... 9 H. Sistematika Penulisan ........................................................10
BAB II
KERANGKA TEORETIK A. Teori Terjemah ................................................................. 12 1. Definisi Penerjemahan .................................................. 12 2. Proses Penerjemahan ..................................................... 15
3. Metode Penerjemahan ................................................... 19 B. Teori Diksi ........................................................................ 25 1. Definisi Diksi ................................................................ 25 2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan ................... 27 3. Peranti-peranti Diksi ..................................................... 29 a. Penggunaan Kata Bersinonim .................................... 29 b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi .. 32 c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ........................ 32 d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ...................... 33 e. Penggunaan Bentuk Idiomatis ..................................... 34 4. Ketepatan Pilihan Kata ................................................... 34 a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata .............................. 34 b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata ............................ 35 5. Kesesuaian Pilihan Kata ................................................. 37 a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata ............................. 37 b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata .......................... 37
BAB III
SEPUTAR
RISALAH
QUSYAIRIYYAH,
BIOGRAFI
SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH A. Seputar Risalah Qusyairiyyah ........................................... 41 B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis ................... 42 C. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penerjemah ............ 47
BAB IV
KRITIK DIKSI DALAM TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-
QUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF A. Kritik Peranti-peranti Diksi ............................................... 49 1. Penggunaan Kata Bersinonim ........................................ 49 2. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi ...... 52 3. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ............................ 54 4. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ......................... 56 5. Penggunaan Bentuk Idiomatis ....................................... 57 B. Kritik Ketepatan Pilihan Kata ............................................ 58 C. Kritik Kesesuaian Pilihan Kata .......................................... 64
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................ 72 B. Saran .................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 77
PEDOMAN TRANSLITERASI
Skripsi ini menggunakan transliterasi yang bersumber pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA.
1. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: No.
Lambang Bunyi
Transliterasi
Keterangan
1
ا
2
ب
b
be
3
ت
t
te
4
ث
ts
te dan es
5
ج
j
je
6
ح
h
h dengan garis bawah
7
خ
kh
ka dan ha
8
د
d
de
9
ذ
dz
de dan zet
10
ر
r
er
11
ز
z
zet
12
س
s
es
13
ش
sy
es dan ye
14
ص
s
es dengan garis di bawah
15
ض
d
de dengan garis di bawah
Tidak dilambangkan
No.
Lambang Bunyi
Transliterasi
Keterangan
17
ظ
z
zet dengan garis di bawah
16
ط
t
te dengan garis di bawah
18
ع
‘
koma terbalik di atas hadap kanan
19
غ
gh
ge dan ha
20
ف
f
ef
21
ق
q
ki
22
ك
k
ka
23
ل
l
el
24
م
m
em
25
ن
n
en
26
و
w
we
27
هـ
h
ha
28
ء
`
apostrof
29
ي
y
ye
2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: No.
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
1
___َ
a
fathah
2
ِــ
i
kasrah
3
___ُ
u
dammah
b. Vokal Rangkap Untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: No.
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
1
َ___ ي
ai
a dan i
2
َ___ و
au
a dan u
c. Vokal panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: No.
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
1
$َـ
â
a dengan topi di atas
2
ْ&ِـ
î
i dengan topi di atas
3
ْ'ُـ
û
u dengan topi di atas
3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bahasa Indonesia terus menerus berkembang. Akhir-akhir ini, perkembangannya itu menjadi demikian pesatnya sehingga bahasa ini telah menjelma menjadi bahasa modern, yang kaya akan kosakata dan mantap dalam stuktur. Untuk itu, sebagai masyarakat Indonesia harus mempergunakan kosakata tersebut sesuai dengan waktu, tempat, dan kondisi. Jika berbicara menulis atau menerjemahkan, maka seseorang selalu menggunakan kata. Kata tersebut dibentuk manjadi kelompok kata, klausa, kalimat, paragraf, dan akhirnya sebuah wacana. Dengan begitu, untuk menguasai suatu bahasa, seseorang dituntut untuk menguasai kosakata bahasa tersebut. Walaupun demikian, penguasaan kosakata saja tidak cukup sebagai syarat untuk menguasai bahasa tertentu. Salah satu syarat yang perlu dan mendesak dalam berbicara, menulis, dan menerjemahkan adalah pemilihan kata. Pemilihan kata dalam Linguistik disebut diksi. Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).1 Pemakaian bahasa diatur oleh dua perangkat kaidah. Kaidah yang pertama disebut tata bahasa, yang menentukan benar tidaknya kalimat. Kaidah yang kedua dinamakan gaya bahasa, yang membuat bahasa yang kita gunakan menjadi baik, indah, dan efektif. Penggunaan bentuk kata yang tepat, seperti pemilihan antara 1
Alwi dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed. 3, cet. ke-
3, h. 264.
tahu dan mengetahui, termasuk dalam cakupan tata bahasa karena pilihan yang salah berakibat kalimat menjadi salah. Sebaliknya, pemilihan antara matahari dan sang surya tergolong ke dalam cakupan gaya bahasa. Pemilihan gaya bahasa yang salah tidak berakibat kalimat menjadi salah, tetapi kalimat itu dapat dianggap tidak tepat, tidak kena sasarannya, atau tidak indah. Kalimat yang betul belum tentu tepat, kena, indah, atau efektif.2 Dalam penelitian ini, Penulis hanya meneliti pemilihan kata atau diksi secara gaya bahasa. Pilihan kata termasuk dalam ilmu semantik, yaitu ilmu yang mempelajari makna kata. Makna kata tersebut terdapat dalam kamus. Kamus merupakan sebuah referensi yang memuat kosakata dan disusun secara alfabetis disertai keterangan bagaimana menggunakan kata itu. Dengan banyaknya makna dalam kamus, kita harus memilih kata atau makna yang tepat untuk mengungkapkan sebuah gagasan. Hal ini penting, karena tidak jarang sebuah kata dapat berubah arti dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penggunaan. Bahasa yang dipergunakan penulis atau penerjemah harus bahasa yang umum dan tidak menyalahi norma-norma umum yang berlaku. Baik penulis maupun penerjemah yang belum mahir mempergunakan bahasa akan menemukan berbagai kesulitan, karena apa yang dipikirkan atau dimaksudkan tidak akan sempurna dilahirkan kepada orang lain. Demikian pula dalam pergaulan umum, jika bahasa yang dipergunakan bukan merupakan bahasa yang umum berlaku, maka sukar pula diperoleh komunikasi yang lancar. Hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Sangsi yang langsung dapat diterima oleh pembicara, penulis, 2
Anton M. Moeliono, Masalah Bahasa yang dapat Anda Atasi Sendiri (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 75.
dan penerjemah adalah bahwa apa yang diinginkan tidak dapat segera mendapat tanggapan. Dalam menerjemah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah harus memilih padanan kata yang sesuai dengan tuntutan konteks, sehingga hasil terjemahannya tepat dan benar. Terkadang satu kata dalam bahasa Arab mempunyai belasan arti. Untuk itu penerjemah harus teliti dalam memilih padanan kata. Contoh, kata
آ
bermakna ‘banyak, sering, dan melimpah-
limpah’, dalam kalimat:
.َ ََِ َ" آًَِْا ا ِِِْیُْنَ ا ِى ََضَ اََْمَ ا#ْ$َ&َ"ه Kita sering menonton TV yang menayangkan film cerita. Pilihan diksi pada kata آdalam kalimat di atas, sangat tepat diartikan ‘sering’. Contoh lain, pada frasa '( ا
*ب, kata *بpada frasa tersebut tidak
diartikan ‘memukul’, tetapi lebih tepatnya diatikan ‘mengocok’, karena kata yang berdampingan dengannya bermakna ‘telur’. Jadi, frasa tersebut diartikan ‘mengocok telur’. Penggunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok: pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Perbedaan antara ketepatan dan kesesuaian diksi adalah dalam ketepatan, kita mempersoalkan apakah kata yang digunakan sudah tepat, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan di antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dengan pembaca. Dalam kesesuaian, kita mempersoalkan apakah pilihan kata dan gaya bahasa tidak merusak suasana atau
menyinggung perasaan orang lain. Di bawah ini contoh pilihan kata yang kurang tepat yang terdapat dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf:
ِ2َْ3ََْ ََِ"ء3ْ ا5َ6 ِ7َ ا8ِ9 "َْ3َ ْ:ِْ ا8َ9 ْ8ِ;َ َ و,َ.ِ ََ ذ0َْ :َ" َل, -1 َ وَ َْْآُِ ا ْ>َْت,ََى6 "َ9ََ و8َ?َ(ْ ِ ا2َْ3َْ َ و,@َََ" و9َا أْسَ و 3
....َCَْ(ْ وَاBeliau
bersabda, “Itu bukanlah malu yang sebenarnya.
Orang yang ingin malu dengan yang sebenar-benarnya di hadapan Allah swt, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur....4 Kata
C( ا
di atas diterjemahkan ‘fitnah kubur’, kata
C( ا
di atas tidak
tepat dan tidak sesuai diartikan ‘fitnah’, karena dalam bahasa Indonesia kata fitnah diartikan ‘perkataan atau pembicaraan yang sengaja disebarkan untuk menjelek-jelekkan orang agar masyarakat mempunyai kesan yang buruk tentang orang yang difitnah itu.’5 Dalam kamus al-Ashri Menurut Penulis, kata
C ﺏbermakna ‘dicoba; diuji’.6
C( اdi atas lebih tepatnya diartikan ‘siksa kubur’, karena
sebelumnya, kata tersebut didahului oleh kalimat hendaklah ia mengingat mati. Jadi, arti dari 3
C( ا
tidak jauh dari kematian. Kata fitnah (kata yang dipilih oleh
Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf (Beirut: Darul Khair, t.t.), h. 215. 4 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), h. 252. 5 J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2005), cet. ke-2, h. 111. 6 Atabik Ali dan Zuhdi Muhdhar, Al-Ashri (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. ke-8, h. 354.
penerjemah Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf), dicoba, dan diuji merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan. Di bawah ini contoh pilihan kata yang kurang sesuai yang terdapat dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf:
َُْةFَ ْ َ ا:ِ َ"ءG َ"تِ ا9ََ ْ8ِ9 ٌ0ْ>َI : َِ"ض8ْ ﺏJَْKُ یَ ُْلُ ا-2 ُُْلRََْ" و#Q$ اCِ َُ(ْP ََ"ءِ وَا3ْ ِ ُ ا,َِ و8َْOْ ُ>ُْدُ اMَِ وLَْ ْ اCِ 7
.ِJَ9َSْ اAl-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan, “Ada lima tanda celaka
seorang manusia: Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”8 Kata
ی لdi atas diterjemahkan ‘menjelaskan’. Dalam konteks kalimat di
atas, subjek sedang menyebutkan sesuatu, bukan menjelaskan. Jadi, menurut Penulis, kata tersebut lebih sesuai diterjemahkan ‘menyebutkan’. Begitu juga terjemahan kata
"ءG ا
yang diterjemahkan ‘celaka’. Penggunaan kata celaka
kurang sesuai, karena kata celaka berkedudukan sebagai kata kerja sedangkan pada struktur kalimat di atas lebih tepat menggunakan kata benda. Dalam kamus al-Ashri, kata
"ءG ا
berarti ‘kesengsaraan; kemalangan’.9 Begitu juga dalam
kamus al-Munjid fî al-Lughah, kata
"ءG ا
berarti
‘"دةOF ' ا# ،ة$G ’ا
10
yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘kesengsaraan; lawan kata kebahagiaan’.
7
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 217. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 255. 9 Atabik Ali, h. 1141. 10 Luis Mahluf, Al-Munjid fî al-Lughah, (Beirut: Al-Maktabah Al-Syarqiyah, 2002), cet. ke-39, h. 397. 8
Jadi, setelah merujuk beberapa kamus, menurut Penulis, kata
"ءG اlebih
tepat diterjemahkan ‘kesengsaraan’. Diksi merupakan faktor utama dalam aktivitas penerjemahan. Penerjemah harus teliti dalam memilih kata agar ide dan pesan penulis tersampaikan dengan baik. Terkadang, penyampaian seseorang dalam menyampaikan ide yang dimaksud mengalami kesulitan, baik dalam menulis, berkomunikasi, maupun menerjemahkan. Hal ini disebabkan karena minimnya kosakata yang dimiliki. Sebaliknya, ada pula seseorang yang mempergunakan kata sangat boros, namun tidak ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Inilah alasan utama Penulis mengkritik diksi/pilihan kata dalam terjemahan agar pilihan kata dapat tersampaikan sesuai pesan penulis dan mudah dipahami oleh para pembaca. Sekarang ini, banyak sekali buku terjemahan di Indonesia yang telah membuka cakrawala pemikiran kita untuk selalu berhubungan dengan bangsa lain melalui karya mereka yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Khususnya, buku terjemahan dari bahasa Arab yang sebagian besar sudah dicetak berulang kali. Penulis menjadikan salah satu buku terjemahan tersebut sebagai bahan kritik yang fokus membahas masalah diksi. Buku terjemahan yang akan menjadi bahan kritik adalah buku Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf karya Imam Al-Qusyairy al-Naisabury, seorang sufi besar, pengarang dalam bidang tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mohammad Luqman Hakiem berjudul Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf. Berdasarkan latar belakang itulah, Penulis memberi judul skripsi ini dengan Diksi dalam Terjemahan: Studi Kritik Terjemahan Al-Risâlah al-
Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pengamatan pada buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi alTasawwuf memberi inspirasi kepada Penulis untuk mengangkat permasalahan pada kajian diksi/ pilihan kata. Agar penulisan ini tidak meluas, Penulis merumuskan masalah ini dengan bentuk pertanyaan yang akan dijawab setelah melalui telaah mendalam. Bentuk pertanyaannya adalah: Apakah diksi yang dipilih penerjemah buku Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî
‘Ilmi al-Tasawwuf sudah tepat dan sesuai secara gaya bahasa?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, Penulis memiliki tujuan umum dalam penelitian ini, di antaranya membuktikan pentingnya memilih kata dalam
penerjemahan
sehingga
tidak
menimbulkan
kerancuan
arti dan
tersampaikan apa yang diinginkan penulis buku. Selain itu, Penulis juga memiliki tujuan inti yang secara jelas dirumuskan berikut ini: Mengetahui akurasi kata yang dipilih oleh penerjemah buku Al-Risâlah alQusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf.
D. Manfaat Penelitian Di samping penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi kata dalam terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf. Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya, para
penerjemah agar dapat merujuk hasil penelitian ini guna mengetahui pilihan kata atau diksi yang tepat dan sesuai secara gaya bahasa. Selain itu, bagi penerjemah pemula
yang ingin melakukan penerjemahan menyadari bahwa
dalam
penerjemahan itu perlu diperhatikan kemahiran dalam memilih diksi yang tepat dan sesuai agar para pembaca mudah menangkap isi atau pesan yang disampaikan penulis.
E. Tinjauan Pustaka Sejauh yang Penulis temukan, penelitian tentang permasalahan diksi dilakukan oleh 5 orang, di antaranya: Umanih (2007) menganalisis diksi terhadap terjemahan Fiqh al-Mar`ah al-Muslimah, Rachmad Joeni Akbar (2006) menganalisis diksi terhadap Alquran terjemahan Departemen Agama surat alWaqi‘ah, Elang Satya Nagara (2007) menganalisis diksi pada bab puasa buku terjemahan Fath al-Qarib, Euis Maemunah (2004) menganalisis diksi pada bab zakat buku terjemahan Fath al-Qarib, dan Mohammad Hotib (2006) menganalisis diksi pada terjemahan buku Bulugh al-Maram bab riba “versi A. Hassan”. Umumnya, penelitian yang dilakukan mahasiswa Jurusan Tarjamah adalah analisis diksi pada terjemahan Alquran dan kitab-kitab Fiqh. Sementara itu, belum terdapat penelitian yang menganalisis atau mengkritik masalah diksi mengenai tasawuf, seperti yang akan Penulis teliti dalam buku terjemahan Al-Risâlah alQusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf.
F. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, Penulis akan memakai teori Newmark dalam buku yang disusun oleh Rochayah Machali yang berjudul Pedoman bagi Penerjemah. Penulis juga akan menggunakan teori Eugene A. Nida. Selain itu, Penulis akan menggunakan teori Gorys Keraf yang terdapat dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa. Selanjutnya, sebagai alat untuk mengkritik, Penulis akan menggunakan teori Kunjana Rahardi dalam bukunya Seni Memilih Kata.
G. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian studi naskah terjemahan, yaitu dengan cara menginventarisir kata-kata terkait dengan masalah yang diteliti untuk menyingkap fakta yang ada sekaligus menemukan masalahmasalah baru. Setelah itu, Penulis mendeskripsikan masalah tersebut sesuai dengan data yang ada sehingga dapat mencapai maksud dan tujuan penelitian. Penulis melakukan pencarian data dengan membaca dan menelaah berbagai kamus guna mengetahui diksi atau pilihan kata dengan tepat dan sesuai secara gaya bahasa. Penulis mengkritik pilihan kata atau diksi yang terdapat dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf. Di samping itu, Penulis juga terus berkonsultasi dengan para ahli untuk mengetahui lebih jauh dalam memilih diksi yang tepat. Dalam penulisan ini, Penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder berupa buku-buku tentang penerjemahan, buku mengenai semantik, kamus bahasa Arab, bahasa Indonesia, Linguistik, ensiklopedi, internet, dan lain-lain. Selain itu, Penulis menggunakan kajian pustaka (library research). Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
H. Sistematika Penulisan Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan bab yang memayungi topik penelitian ini. Bab ini menjelaskan latar belakang atau alasan pemilihan topik penelitian ini, pembatasan masalah, perumusan masalah yang berupa pertanyaan, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian. Bab ini sangat penting, karena akan berpengaruh terhadap bab-bab selanjutnya. Bab II menyajikan teori penerjemahan, yang meliputi definisi, proses, dan metode penerjemahan. Mengingat penelitian ini berorientasi pada kritik atau penilaian, karenanya pada bab ini juga dipaparkan kerangka teori yang akan dipakai, diantaranya, teori diksi dan perantinya, ketepatan dan kesesuaian pemilihan kata, dan lain-lain. Bab ini akan menjadi alat kritik. Bab III menyuguhkan hal yang terkait objek atau data penelitian ini, yaitu kajian tentang biografi singkat Imam al-Qusyairy al-Naisabury. Bab ini akan memperjelas penelitian. Bab IV berupa kritik internal atau penilaian dengan menerapkan teori yang ada pada bab II. Bab ini akan membuktikan hasil penelitian. Bab V merupakan bab yang mengakhiri penelitian ini dengan memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan, dengan tidak lupa menyertakan saran.
BAB II KERANGKA TEORETIK
A. Teori Terjemah 1. Definisi Penerjemahan Dalam bidang penerjemahan ditemukan banyak definisi yang disampaikan oleh para ahli. Berbagai definisi penerjemahan tersebut sering dikutip dalam bukubuku tentang penerjemahan. Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL), yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran.’ Newmark (1981) juga mendefinisikan serupa, namun lebih jelas lagi, rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.’11 Kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa: (1) penerjemahan adalah upaya mengganti teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran; (2) yang diterjemahkan adalah makna yang sesuai dengan maksud pengarang. Di sisi lain, Eugene A. Nida dan Charles R. Taber (1969), dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi
11
Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 5.
penerjemahan sebagai berikut: Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms meaning and secondly in terms of style. Menerjemahkan adalah kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya. Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran)
dengan
mengungkapkan
pertama-tama gaya
mengungkapkan
bahasanya.12
Di
sini
maknanya
Nida
dan
dan
kedua
Taber
tidak
mempermasalahkan bahasa-bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan, yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam BSu bisa disampaikan dalam Bsa.13 Menurut mereka, terjemahan terbaik ialah terjemahan yang tidak berbau terjemahan.14 Menurut Benny Hoedoro Hoed, dalam bukunya Penerjemahan dan Kebudayaan, penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan (kembali) pesan yang terkandung dalam teks suatu bahasa atau teks sumber (BSu/TSu) ke dalam bentuk teks dalam bahasa lain atau teks sasaran (BSa/TSa).15 Dalam bukunya Translation: Applications and Research, Brislin (1976) 12
Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 11. Zuchridin Suryawinata dan Sugeng hariyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12. 14 Moch. Syarif Hidayatullah, Teori dan Permasalahan Penerjamahan, Diktat (Jakarta: t.pn., 2007), h. 42. 15 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 28. 13
menulis: Translation is the general term referring to the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another (target), whether the languages are in written or oral form; whether the languages have a established orthographies or do not have such standardization or whether one or both languages is based on signs, as with sign languages of the deaf. Secara bebas, definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain (sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai sistem penulisan yang telah baku maupun belum, baik salah satu atau keduanya didasarkan pada isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu.16 Dari definisi di atas, Brislin memberi batasan pada istilah penerjemahan. Bagi dia penerjemahan adalah pengalihan buah pikiran atau gagasan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kedua bahasa ini bisa serumpun, seperti bahasa Jawa dan Sunda, bisa dari lain rumpun, seperti bahasa Indonesia dan Arab, atau bahkan bahasa yang sama tetapi dipakai dalam kurun waktu yang berbeda. Definisi lain tentang penerjemahan diungkapkan oleh Mc Guire (1980), yaitu: Translation involves the rendering of a source language (SL) text into the target language (TL) so as to ensure that (1) the surface meaning of the two will be approximately similar and (2) the structure of the SL will be preserved as
16
Suryawinata, h. 13.
closely as possible, but not so closely that the TL structure will be seriously distorted. Definisi tersebut diterjemahkan sebagai berikut: Penerjemahan melibatkan usaha menjadikan BSu ke BSa sehingga (1) makna keduanya menjadi hampir mirip dan (2) struktur BSa dapat dipertahankan setepat mungkin, tetapi jangan terlalu tepat sehingga struktur BSanya menjadi rusak.17 Definisi di atas terdapat beberapa hal yang kurang mengena. Pertama, yang dibicarakan adalah BSu dan BSa yang sangat umum, sehingga tidak khusus mengacu pada suatu terjemahan. Selain itu, definisi kedua mengandung kontroversi, yaitu setepat mungkin namun jangan terlalu tepat. Dari sini kita tidak tahu batas ketepatan yang dimaksud. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan adalah memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (BSu) ke bahasa yang lain (BSa) dengan menyesuaikan kaidah kedua bahasa tersebut.
2. Proses Penerjemahan Menerjemahkan bukan hanya sekadar menyadur, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut disampaikan oleh Harimurti Kridalaksana). Selain memahami definisi penerjemahan, seorang penerjemah
17
Ibid., h. 15.
hendaknya
mengetahui pula proses penerjemahan. 18 Salah satu proses
penerjemahan yang seringkali dianut oleh banyak teoritis penerjemahan adalah proses penerjemahan karya Nida (1975). Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu ialah: 1.
Analisis
2.
Pengalihan (Transfer)
3.
Penyelarasan (Restructuring)19
Tahap Pertama atau Analisis Pada tahap pertama, sebelum penerjemah menganalisis teks yang akan diterjemahkan, ia akan dihadapkan dengan sebuah teks Bahasa Sumber (BSu), misalnya bahasa Arab. Pada waktu seorang penerjemah menghadapi teks BSu, dia harus memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang diterjemahkan itu. Kalau tidak, dia tentu akan mengalami kesulitan. Misalnya seorang penerjemah yang tidak menguasai bidang kedokteran diminta menerjemahkan teks-teks atau materimateri di bidang kedokteran, dia tentu akan mengalami kesulitan dalam memahami isinya. Hal tersebut akan berakibat penerjemahannya melenceng dari isi atau pesan teks bahasa sumbernya (BSu). Di samping seorang penerjemah harus menguasai masalah pokok dari materi yang diterjemahkan itu, dia harus pula menguasai BSu dengan baik sekali dan bahkan hampir sempurna dari segi kebahasaannya. Tujuan penganalisisan dari aspek kebahasaannya ini dimaksudkan bahwa si penerjemah harus mampu menganalisis pola kalimatnya, struktur bahasanya, kolokasinya, idiomnya, 18 19
Widyamartaya, h.14. Hidayatullah, h. 5.
peribahasanya (kalau ada), gaya bahasanya, kata-katanya, dan sebagainya. Seorang penerjemah harus dapat menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan dalam teks BSu, agar dia dapat memahami seluruh isi atau maknanya.20 Untuk itu, penerjemah terlebih dahulu harus tahu bahan yang hendak diterjemahkan itu bahasa siapa: bahasa seorang pujanggakah, seorang noveliskah, seorang ahli hukumkah, seorang penulis iklankah, dan sebagainya.21 Di sisi lain, penerjemah juga harus menguasai (atau paling tidak banyak mengetahui) budaya yang dilibatkan dalam BSu karena penerjemahan itu sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Tahap Kedua atau Tahap Pengalihan Pada tahap ini, penerjemah harus mampu mencarikan padanan ke dalam BSa yang menyangkut semua kata, frasa, klausa, kalimat, dan bahkan mencarikan padanan untuk seluruh wacana. Pekerjaan ini tidak mudah, karena kadang-kadang terdapat ungkapan yang sukar sekali dicarikan padanannya dalam BSa. Malahan terdapat makna yang sama sekali tidak dapat dicarikan padanannya dalam BSa. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa pikiran atau gagasan yang dapat diungkapkan dalam suatu bahasa pasti juga dapat diungkapkan dalam bahasa yang lain, tentu saja cara pengungkapannya berbeda. Tetapi harus diingat bahwa kedua ungkapan itu (BSu dan BSa) tidak akan sama persis maknanya. Dengan demikian, penerjemah harus berusaha mencarikan padanannya yang paling dekat, karena setiap bahasa mempunyai sistem pengungkapan dan sistem pemaknaan yang berbeda dengan bahasa yang lain.22 Dalam tahap ini, penerjemah harus sering meminta bantuan orang lain. 20
Ibid., h. 6. Widyamartaya, h. 16. 22 Hidayatullah, h. 7. 21
Tahap Ketiga atau Tahap Penyelarasan Tahap ini merupakan tahap akhir, dan ini berarti bahwa tahap sebelumnya sudah diselesaikan dengan baik. Setelah seorang penerjemah menemukan semua padanan dalam BSa, dia harus menuangkan semua padanan itu ke dalam draft atau rencana terjemahannya. Tentu saja hasil terjemahannya masih kasar dan bersifat sementara serta masih memerlukan perbaikan di sana-sini. Dengan kata lain draft itu masih memerlukan penyelarasan. Barangkali kalimat-kalimatnya masih tampak kaku atau masih tampak seperti kalimat-kalimat yang berasal dari kalimat-kalimat BSu. Kalimat-kalimat terjemahan tersebut masih terpengaruh oleh bentuk bahasa sumbernya.23 Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orang lain melakukannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu dilakukan oleh orang lain. Ada dua alasan bagi hal ini: (1) penerjemah biasanya merasa sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara psikologis ia akan beranggapan bahwa terjemahannya sudah bagus, peristilahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiah dan wajar, dan sebagainya; (2) penerjemahan sebaiknya merupakan pekerjaan suatu tim. Dalam hal ini, penerjemah melulu menerjemahkan sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain. Apabila penerjemah sendiri ingin melakukan penyerasian, maka sebaiknya penerjemah memberikan hasil terjemahan untuk beberapa lama, agar ia tidak ingat lagi
proses
pengambilan
keputusan
yang
dilakukannya
pada
waktu
menerjemahkan. Hal ini untuk menghindari pengaruh proses tersebut terhadap tindakan penyerasian yang akan dilakukannya. Sesudah itu, barulah ia dapat
23
Ibid.
memeriksa kembali hasil terjemahan tersebut dengan pikiran yang segar.24
3. Metode Penerjemahan Menurut Newmark, sebagaimana dikutip oleh Rochayah Machali, ada dua metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran (BSa). Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan bentuk dan makna). Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi BSu.25 Metode-metode yang memberikan penekanan atau lebih berorientasi terhadap bahasa sumber antara lain: 1. Penerjemahan Kata demi Kata (Word-for-word translation) Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata TSa langsung diletakkan di bawah versi TSu. Kata-kata dalam TSu diterjemahkan di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Contoh:
َُِي ﺙََﺙ$ْVَِو
ٍَْم,َُأ dan di sisiku tiga pulpen-pulpen. Umumnya metode ini digunakan sebagai tahapan prapenerjemahan pada penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami mekanisme BSu. Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat terjadi pada tahap analisis atau
24 25
Machali, h. 39. Ibid., h. 49.
tahap awal pengalihan. 2. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation) Metode ini juga dapat dilakukan dalam penerjemahan awal. Kalimat-kalimat yang panjang dan sulit diterjemahkan secara harfiah dulu untuk kemudian disempurnakan. Dalam penerjemahan harfiah, penerjemah sudah mengubah struktur BSu menjadi struktur BSa. Namun, kata-kata dan gaya bahasa dalam TSu masih dipertahankan dalam TSa. Dengan sendirinya terjemahan seperti ini masih memperlihatkan model teks dari TSu dan belum dapat dikatakan sebagai terjemahan yang betul. Metode ini juga dipilih untuk menjaga agar jangan terjadi kebocoran dalam mengalihkan pesan.26 Contoh:
ا داءZI Ringan selendang.27 Metode ini dapat digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.28 3. Penerjemahan Setia (Faithful Translation) Penerjemah setia ini berupaya menghasilkan kembali makna kontekstual BSu yang tepat. Dalam melaksanakan hal itu, penerjemah akan berhadapan dengan kendala struktur gramatikal BSa. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah mentransfer kata-kata kultural dan mempertahankan tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal (penyimpangan dari norma-norma BSu) dalam penerjemahan. Penerjemah berupaya setia sepenuhnya terhadap tujuan dan 26
Hoed, h. 56. Moch. Syarif Hidayatullah, Teknik Menerjemah Teks Arab 1, (Jakarta: Transpustaka, 2005) h. 27. 28 Machali, h. 51. 27
realisasi teks penulis BSu.29 Dalam hasil penerjemahan metode ini, kadangkadang terasa kaku dan seringkali asing. Contoh: Dia (lk.) dermawan karena banyak abunya. = َِ"د9 ا
َُِْهَُ آ
4. Penerjemahan Semantik (Semanic Translation) Penerjemah sangat menekankan pada penggunaan istilah, kata kunci, ataupun ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya. 30 Perbedaan antara penerjemahan setia (3) dan penerjemahan semantik adalah bahwa metode (3) lebih kaku, tidak berkompromi dengan kaidah, dan lebih terikat oleh BSu sedangkan metode (4) lebih fleksibel. Contoh seperti dalam contoh (3), namun, dalam metode ini, hasil terjemahnnya lebih luwes. Ia (laki-laki) adalah orang dermawan. = َِ"د9 ا
َُِْهَُ آ
Penerjemahan semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks BSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Metode-metode yang memberi penekanan atau lebih berorientasi terhadap bahasa sasaran antara lain:
1. Saduran (Adaptation) Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan BSa. Istilah saduran dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema, karakter, atau alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Tetapi 29 30
Hidayatullah, h. 15. Hoed, h. 58.
dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam Tsa.31 Contoh: BSu: Mumpung padhang rembulane Mumpung jhembar kalangane Klausa di atas dapat diadaptasi ke dalam bahasa Arab sebagai berikut:
"َ#ُْر$ََ" ﺏ#ََ"ر#ََ>َ" أVِْ6 Selama bulan purnama bersinar. Tidak diterjemahkan: Selama menyinari (kami) bulan purnama (kami). (pronominal persona “kami” tidak diterjemahkan). Versi asli BSa adalah penggambaran budaya tentang betapa pengaruh bulan purnama di suatu suasana desa Jawa (yang mungkin temaram/gelap), sehingga tidak hanya “padhang rembulane” (terangnya sinar bulan) saja yang dilukiskan, tetapi juga “jembar kalangane” (luasnya lingkaran terang bulan). Keduanya disampaikan melalui lagu/irama bunyi [e] pada akhir klausa. Demikian pula pada penerjemahan ke dalam bahasa Arab tidak dapat menggambarkan budaya yang serupa. Alternatif versi BSa (bahasa Arab) adalah penggambaran netral dalam satu kalimat, dengan rima internal bunyi [na:] pada kata ana: rana: dan badruna:. Dalam budaya masyarakat Arab, bulan purnama
ر$ ﺏ/badr/ sudah
mengandung makna terang bulan dengan luas lingkaran penuh.32 2. Penerjemahan Bebas (Free Translation) Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu. Biasanya, metode ini berbentuk sebuah parafrase yang dapat
31 32
Machali, h. 53. Hidayatullah, h. 16.
lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya dan bentuk retorik (seperti alur) atau bentuk kalimatnya sudah berubah sama sekali. Metode ini sering dipakai di kalangan media massa.33 Contoh:
.َ8ِْOَ>ْMَ "سِ أV ََ"ةِ ا3ِ َِ"دFَْ ْ أُﺹُْلِ ا8ِ9 ٌ^ِْ]َ ٌJْ أَن ا ْ>َ"لَ أَﺹCِ Harta sumber malapetaka34 3. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation) Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Beberapa pakar penerjemahan seperti Seleskovitch menyukai metode terjemahan ini, yang dianggapnya “hidup” dan “alami (dalam arti akrab)”. Sebagai contoh adalah penerjemahan berikut ini:
.ُ8ِ_"َVَ; َءُ اJْ>َُ"ءِ ﺕ9ِّ َ اJْ(َ, Sedia payung sebelum hujan.
4. Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation) Metode ini berupaya memberikan makna kontekstual BSu yang tepat sedemikian rupa sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca.35 Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi. Yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsip-
33
Machali, h. 53. Hidayatullah, h. 4. 35 Ibid., h. 17. 34
prinsip di atas.36 Contoh:
َ 8ِْ9 ^ُُ?ٍَْ ﺙ# ْ8ِ9 َُ َ?َ ر# .ٍَbْKُ9 ْ8ِ9 ^َُ ٍَ ﺙ Dapat diterjemahkan ke dalam beberapa versi, di antaranya: 1. Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging (awam). 2. Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (terpelajar).37 Newmark memberikan komentar terhadap metode-metode di atas. Menurutnya, hanya metode semantik dan komunikatiflah yang dapat memenuhi tujuan utama penerjemahan, yaitu keakuratan dan keekonomisan. Pada umumnya, masih menurut Newmark, penerjemahan semantik ditulis pada tingkat linguistik penulis, sedangkan penerjemahan komunikatif pada tingkat linguistik pembaca. Penerjemahan semantik digunakan untuk menerjemahkan teks-teks ekspresif, sedangkan penerjemahan komunikatif untuk teks-teks vokatif dan informatif.38
B. Teori Diksi 1. Definisi Diksi Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (Edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata,
36
Machali, h. 55. Hidayatullah, h. 5. 38 Ibid., h. 18. 37
terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan.39 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).40 Menurut Harimurti Kridalaksana, diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang.41 Dalam buku Seni Menggayakan Kalimat, Widyamartaya mengutip pendapat Gorys Keraf bahwa pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.42 Gorys Keraf juga menguraikan tiga kesimpulan utama mengenai diksi: pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai
untuk
menyampaikan
suatu
gagasan,
bagaimana
membentuk
pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi; kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansanuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk 39 Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. ke-I, h. 7. 40 Alwi dkk., h. 264. 41 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) ed. 3. 42 Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-5, h. 44.
menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situsi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar; ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sementara itu, yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosakata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.43 Dari beberapa pendapat di atas, secara umum Penulis menyimpulkan bahwa diksi adalah pilihan kata yang sesuai dengan makna atau gagasan yang ingin disampaikan oleh pembicara, penulis, dan penerjemah. Kata-kata tersebut harus tepat digunakan dalam situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar dan pembaca. Dengan demikian, diksi yang baik dapat diketahui apabila sebuah tulisan mampu dipahami oleh pembaca sesuai dengan tingkat keahlian di mana tulisan itu ditujukan.
2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan Penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan mengalihbahasakan kata per kata. Namun, pada praktiknya, dalam pengalihan pesan itu, sering terjemahan suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, demikian pula ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu kata. Di sinilah diperlukan kebijakan, kemampuan berbahasa Indonesia, keterampilan 43
17, h. 24.
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) cet. ke-
menemukan kata yang tepat serta kreativitas seorang penerjemah agar teks terjemahannya dapat berterima. Di samping itu, ia pun harus mengenali apakah suatu kelompok kata merupakan frasa atau klausa biasa ataukah ungkapan atau peribahasa. Masalahnya muncul jika penerjemah tidak tahu padanan peribahasa Indonesia atau memang dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Salah satu solusi adalah menerjemahkan makna peribahasa itu berdasarkan kamus. Kata-kata yang sulit dicarikan padanannya biasanya menyangkut unsur budaya materi, religi, sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, ekologi (Newmark: 1988: 95, seperti yang dikutip oleh Nababan, 2004). Masalahnya, terkadang padanan kata itu ada dalam bahasa Indonesia, tetapi konotasinya berbeda. Atau sebaliknya, kata tersebut dalam teks asal memiliki berbagai makna yang harus dipilih dengan jeli oleh penerjemah. Memang persoalan memilih makna kata itu merupakan masalah permanen dalam penerjemahan yang dapat membuat kesal penerjemah karena terkadang ia telah paham betul apa yang dimaksud pengarang, tetapi mendapat kesulitan bagaimana menuangkannya dalam bahasa Indonesia gara-gara satu kata atau istilah saja. Contoh-contoh berikut yang menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial, makanan-minuman, dll.), istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang, nama diri, sebutan, gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan, bungabungaan, buah-buahan,dan hewan.44 Dalam pencarian padanan, kita akan dihadapkan pada beberapa kasus.
44
Hidayatullah, h. 74.
Kasus berikut disarikan dari website yang ditulis oleh Ida Sundari Husen,45 di antaranya: a.
Istilah/kata
yang
memiliki
padanan
dalam
bahasa
Indonesia.
• Kata tersebut sebetulnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, namun dengan makna yang lebih luas, misalnya dalam bahasa Inggris, kata rice yang dapat berarti ’padi/beras/nasi’. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan kata yang dimaksud. • Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan mempunyai dua padanan dalam bahasa Indonesia, misalnya, dalam bahasa Arab, kata maktab dapat berarti ’meja’ atau ’kantor’. Penerjemah harus memilih yang mana yang paling cocok dengan konteksnya. • Banyak juga kata-kata yang sebetulnya memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan konotasi khusus, misalnya, dalam bahasa Inggris, kata café
bermakna
’warungkopi’;
kitchen
bermakna
’dapur’.
Rasa rendah diri dan kebiasaan berbahasa orang Indonesia tampaknya ikut menentukan dalam pengadopsian atau peminjaman istilah-istilah asing tersebut. Istilah "dapur" digunakan untuk dapur tradisional yang kotor, sedangkan kalau dapur itu bersih dan modern namanya kitchen. Dari istilah itu muncul kitchen-set di mana-mana. Sama halnya dengan keempat istilah lain yang tersebut di atas. Ada yang dipinjam bulat-bulat dalam bentuk aslinya, ada pula yang secara perlahan-lahan disulap menjadi bahasa Indonesia, seperti café atau kafe. Dalam petunjuk-petunjuk penerjemahan sering dikatakan bahwa penerjemah harus
menggunakan 45
padanan
istilah
yang
digunakan
di
Indonesia.
Ida Sundari Husen, “Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan Menciptakan Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman?”, http://wartahpi.org/content/view/28/54/, 25 Mei 2005.
b. Istilah/kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Biasanya terdapat dalam istilah budaya yang menyangkut adat/kebiasaan, bangunan, tumbuhan, makanan dan minuman. Contoh, dalam bahasa Arab kata al-basyaam tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi di kamus al-Munawwir, kata tersebut diartikan ‘nama pohon’. Dalam hal ini, seorang penerjemah harus kreatif untuk mencari padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia, misalnya dengan bertanya kepada ahli bahasa, baik sasaran, maupun sumber.
3. Peranti-peranti Diksi a. Penggunaan Kata Bersinonim Secara etimologi, kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik, Verhaar mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.46 Dikatakan kurang lebih, karena tidak akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Yang sama sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama.47 Dalam buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Abdul Chaer: 2002) juga disebutkan bahwa dalam buku-buku pelajaran bahasa sering dikatakan sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat, sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim
46 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet. ke-3, h. 82. 47 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 388.
pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya. Seperti dalam contoh berikut: a. Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya, dalam kalimat “minta bantuan dia” dengan “minta bantuannya.” b. Sinonim antara kata dengan kata, seperti antara mati dengan meninggal. c. Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya meninggal dengan tutup usia. d. Sinonim antara frasa dengan frasa. Misalnya, antara ayah ibu dengan orangtua. e. Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang adik. Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, kuning, dan lain-lain tidak memiliki sinonim. Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Sebaliknya, ada katakata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya, kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan. Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak.48 Contoh kata yang dapat digantikan satu sama lain: kata semua bersinonim dengan kata seluruh, seperti dalam kalimat di bawah ini:
48
Putrayasa, h. 8.
-
Semua warga kota diungsikan.
-
Seluruh warga kota diungsikan.
Sedangkan kata yang tidak dapat digantikan satu sama lain adalah kata melihat, melirik, menonton, meninjau, dan mengintip. Kata melihat memiliki makna umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau melalui celah sempit. Contoh dalam kalimat: -
Ia mengintip bioskop. (salah)
-
Ia menonton bioskop. (benar) Sinonim dipergunakan untuk mengalih-alihkan pemakaian kata pada
tempat tertsntu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan mengkongkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa itu) akan terwujud. Dalam hal ini pemakai bahasa dapat memilih bentuk mana yang paling tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapinya.49 b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi Makna denotasi dan konotasi dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa dalam sebuah kata. Kata denotasi tidak bernilai rasa, sedangkan kata konotasi memiliki nilai rasa. Makna denotasi sering disebut makna konseptual, makna sebenarnya, makna lugas, makna polos, makna sesungguhnya sesuai dengan faktanya. Sedangkan konotasi itu bukanlah makna yang sebenarnya, melainkan makna 49
E. Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Akademika Pressindo, 2006), cet. ke-8, h. 33.
kiasan.50 Contoh kata kurus bermakna denotasi ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’. Konotasi terbagi dua, yakni konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi positif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa tinggi, baik, sopan, santun, sakral, dan sejenisnya. Sementara itu, makna konotasi negatif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa rendah, kotor, jelek, dan sejenisnya. 51 Contoh, kata ramping memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan. Sebaliknya, kata kerempeng memiliki konotasi negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan. c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus Kata umum adalah sebuah kata yang mengacu kepada suatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya.52 Kata khusus (hiponim) ialah bentuk (istilah) yang maknanya terangkum oleh bentuk kata umum (superordinat)nya.53 Pada umumnya, untuk mencapai ketepatan pengertian, lebih baik memilih kata khusus daripada kata umum, karena kata khusus memperlihatkan pertalian yang khusus atau kepada obyek yang khusus, maka kesesuaian akan lebih cepat diperoleh antara pembaca dan penulis. Misalnya, jika seorang mengatakan, “Si Cathy, kucing Rani, mencakar adik saya,” maka, kata si Cathy tidak akan menimbulkan salah interpretasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca. Karena, si Cathy mengacu kepada obyek yang khusus, yaitu kucing Rani yang bernama si Cathy.
50
Rahardi, h. 105. Chaer, Linguistik Umum, h. 292. 52 Keraf, h. 90. 53 Mahmudah Fitriyah dan Ramlan A. Gani, Pembinaan Bahasa Indonesia (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), cet. ke-1, h. 83. 51
d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret Kata-kata abstrak ialah kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca/pendengar, karena referennya berupa konsep. Konsep ialah gambaran dari obyek atau proses yang berada di luar bahasa dan memahaminya harus menggunakan akal budi.54 Kata perdamaian, peradaban, dan lain-lain tidak dapat ditunjukkan dengan hanya memperlihatkan sesuatu benda, gambarnya atau modelnya, namun harus dijelaskan dengan definisi yang panjang lebar. Kata konkret ialah kata-kata yang mudah dipahami karena referennya dapat dilihat, didengar, dirasakan, atau diraba. Contoh, kata mobil, meja, komputer, ayam, kucing, dan lain-lain. Kata-kata tersebut referennya dapat ditunjukkan dengan cara melihat gambarnya. Singkatnya, kata abstrak merupakan kata yang tidak mudah diserap oleh pancaindra. Sebaliknya, kata konkret merupakan kata yang mudah diserap oleh pancaindra. e. Penggunaan Bentuk Idiomatis Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal.55 Rahardi menuliskan dalam bukunya bahwa bentuk idiomatis sudah lekat dan tidak dapat diceraikan. Contoh, sesuai dengan, sehubungan dengan, berharap akan, berbicara tentang, dan lain-lain.56 Jadi, tidak cocok apabila ditulis sesuai bagi, seharusnya sesuai dengan. Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara 54
Ibid., h. 83. Chaer, Linguistik Umum, h. 296. 56 Rahardi, h. 106. 55
keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, contoh membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau. Sedang pada idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, daftar hitam yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/dianggap bersalah.’57 Untuk mengetahui makna sebuah idiom sebuah kata (frasa atau kalimat) harus mencarinya di kamus.
4. Ketepatan Pilihan Kata a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata Ketepatan pilihan kata
adalah kesanggupan sebuah kata
untuk
menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.58 Hal ini menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata seseorang. Dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca. Contoh, Dengan adanya kegiatan penelitian sastra diharapkan dapat membantu menyediakan bahan-bahan guna penyusunan teori sastra Indonesia. Suntingan: Kegiatan penelitian sastra Indonesia diharapkan dapat membantu lahirnya teori sastra Indonesia.59 Setiap penulis harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud tersebut, karena dengan begitu tidak akan menimbulkan 57
Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 75. Keraf, h. 87. 59 Sugihastuti, Editor Bahasa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), cet. ke-1, h. 215. 58
salah paham. b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata Beberapa syarat berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan katanya itu. 1. Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannya, maka ia harus memilih kata yang denotatif; kalau ia menghendaki reaksi emosional tertentu, ia harus memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu. 2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Penulis harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan. 3. Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka akan mengakibatkan salah paham. Misalnya, bahwa-bawah, massa-masa, karton-kartun, dan sebagainya. 4. Tidak boleh menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan pendapat sendiri. Jika pemahaman itu belum dapat dipastikan, maka penulis harus dapat menemukan makna yang tepat di dalam kamus. Misalnya kata modern sering diartikan ‘canggih’. Padahal, kedua kata itu memiliki makna yang sangat berbeda.
5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut, seperti kata kultur-kultural. 6. Harus dapat menggunakan kata-kata idiomatik berdasarkan susunan yang benar. 7. Harus dapat membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum. 8. Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus. Kata-kata tersebut merupakan pengalaman-pengalaman yang dicerap oleh pacaindria, yaitu cerapan indria penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Contoh, rujaknya pedas sekali (indria perasa). 9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal. Misalnya, kata sarjana dulu dipakai untuk menyebut semua orang cendekiawan. Sekarang dipakai untuk gelar universiter. 10. Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis. Contoh, Sesudah menjelang tahap akhir pertandingan itu, terjadilah keributan antara kedua kesebelasan. Lebih baik diganti Menjelang akhir pertandingan, terjadilah keributan antara kedua kesebelasan. Semua butir yang dikemukakan di atas dirangkum dari Diksi dan Gaya Bahasa (Gorys Keraf) dan Seni Memilih Kata (Kunjana Rahardi). Butir a, b, f, g tidak disertakan contoh, karena sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.
5. Kesesuaian Pilihan Kata a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata Kesesuaian pilihan kata mempersoalkan apakah kita dapat mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan yang kita masuki. Dengan kata lain, pilihan kata dan gaya bahasa yang dipergunakan tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang hadir. b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata Ada beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau pembicara, agar katakata yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana, dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi yang formal. Bahasa substandar biasanya dipergunakan oleh seseorang yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Kadang-kadang bahasa tersebut juga dipergunakan oleh kaum terpelajar dalam bersenda-gurau. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa, tidak dipakai dalam tulisan-tulisan. 2. Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata populer. Kata-kata populer adalah kata-kata yang dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Kata-kata ilmiah biasa dipakai dalam diskusi-diskusi ilmiah, pertemuan-pertemuan resmi, dan tulisan-tulisan ilmiah. Contoh: Kata Populer
Kata Ilmiah
bukti
argumen
pertentangan
kontradiksi
kekacauan
anarki
kemunduran
depresi
rasa kecewa
frustasi
3. Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Jargon diartikan sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu, dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok khusus lainnya. 4. Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau murni. Kata-kata slang mengandung dua kekurangan: pertama, hanya sedikit yang dapat hidup terus; kedua, pada umumnya kata-kata slang selalu menimbulkan ketidaksesuaian. Kata-kata slang yang tumbuh secara populer, akan segera hilang dari pemakaiannya. Misalnya di Jakarta timbul kata-kata: mana tahan, eh ketemu lagi, dan lain-lain. 5. Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Yang dimaksud dengan kata percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orang-orang yang terdidik. Suatu bentuk dari bahasa percakapan adalah singkatan-singkatan misalnya dok, prof, kep masing-masing untuk dokter, profesor, dan kapten. Hendaknya kata-kata tersebut dihindari dalam penulisan. 6. Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Ungkapan seperti ini disebut klise atau stereotip. Kata-kata yang membentuknya
tidak dirasakan usang, tetapi paduan kata-kata itulah yang dianggap tidak bertenaga lagi. Kata lekang yang berarti ‘retak atau belah’ akan memiliki tenaga untuk menggambarkan keadaan tanah yang terbelah karena musim kemarau yang panjang dan sinar matahari yang terik. Tetapi akan kehilangan tenaga dalam ungkapan seperti: Adat dan pusaka yang tak lekang oleh panas, dan tak lapuk oleh hujan. 7. Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Bahasa artifisial adalah bahasa yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial tidak terkandung dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk menyatakan suatu maksud. Fakta dan pernyataan yang sederhana dapat diungkapkan dengan sederhana dan langsung tak perlu disembunyikan. Contoh: Artifisial: Ia mendengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Biasa : Ia mendengar derap kuda dan pedati ketika langit mulai terang. Syarat kesesuaian di atas disarikan dari buku Diksi dan Gaya Bahasa.60
60
Keraf, h. 103.
BAB III SEPUTAR RISALAH QUSYAIRIYYAH, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH
A. Seputar Risalah Qusyairiyyah Makna al-Risalah adalah topik atau kajian, sebagai jawaban atas persoalan atau solusi
bagi
problema
yang
secara
mendesak
membutuhkan
jawaban.
Risalah ini disajikan oleh al-Qusyairy kepada mereka yang memusuhi dunia tasawuf, dengan cara pandang taklid buta, tanpa melacak hakikat dan prinsipprinsip tarikat. Mereka memusuhi tarikat ini dengan cara mencari celah-celah kesalahan yang ditampilkan sebagian pengaku tasawuf atau dari sisi kata-kata yang tinggi, yang tidak disandarkan pada nash, akal, ataupun bukti. Situasi demikian merupakan keadaan setiap mazhab, pemikiran, dan tarikat. Di antara para pengikutnya ada yang memiliki pemahaman baik dan luas, di antara mereka ada yang secara fisik jembel lalu perbuatannya pun buruk. Sedangkan risalah ini merupakan suatu kemurnian yang benar yang bersumber dari kalbu yang dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah dan Rasulullah serta cinta pada kebenaran yang menjadi tarikat Islamnya. Suatu Risalah yang ditujukan kepada orang-orang yang memahami secara salah terhadap tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat tasawuf itu sendiri. Padahal, tasawuf merupakan sisi praktik, ruh, rasa, dan perilaku dalam Islam. Al-Qusyairy ingin mengenalkan bahwa kebenaran itu tidak sebagaimana mereka pahami. Penganut tharikat yang menjalankannya secara benar adalah berdasarkan pada metode Alquran dan Sunah Rasul.
Risalah Qusyairiyyah juga ditujukan kepada ahli tasawuf untuk menjelaskan kepada mereka mengenai hakikat tarikat ini, berbagai hal yang disimpangkan dan disesatkan, sehingga mereka bisa berpijak pada jalan yang benar. Risalah Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, karya monumental ulama besar, Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury ini, merupakan buku utama yang menjadi rujukan jutaan kaum sufi selama kurang lebih seribu tahun, sejak dunia tasawuf muncul pada pertengahan kedua hijriah sampai pada periode sang pengarang. Di samping kajiannya yang sistematik, buku ini dilengkapi pengalaman-pengalaman kaum sufi yang sarat dengan muatan spiritual dan buku ini juga memberikan wawasan yang sempurna mengenai tasawuf. Seputar tentang Risalah Qusyairiyyah di atas disarikan dari buku terjemahan Risalah Qusyairiyyah.
B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis 1. Biografi Singkat Penulis a. Kelahiran Imam Al-Qusyairy al-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
b. Masa Kecil Sedikit sekali informasi yang menerangkan masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany.
Ketika
beranjak
dewasa,
al-Qusyairy
melangkahkan
kaki
meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari Matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.61 Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al-Qusyairy sampai di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Naisabury, yang populer dengan panggilan al-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan-ucapan al-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Al-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu, al-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan. Akhirnya, al-Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat. Ustadz alSyeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali al-Daqqaq dengan panggilan al-Syahid. 61
Buya Abd. Aziz Aru Bone, http://buyaku.blogspot.com/2007/03/tokoh-sufi-al-qusyairinaisabury.html, 11-03-2007.
c. Kepandaian Berkuda Al-Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan. d. Perkawinan Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Naisabury (al-Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405-412 H./1014-1021 M. e. Putra-putrinya Al-Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa‘id Abdullah, 2) Abu Sa‘id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu al-Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy‘ari. Abu al-Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun‘im, dan seorang putrinya, bernama Amatul Karim. Di antara salah satu cucunya adalah Abul As‘ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa‘id bin Abul Qasim al-Qusyairy.62 f. Wafatnya Menurut Syuja‘ al-Hazaly, Imam al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi 62
Yusuf al-Bakhur al-Hasani, “Imam al-Qusyairy (Maha Guru Sufi).” http://www.alhasani.com/melayu/cetak.php?id=12, 02-03-2008.
padanya selama 20 tahun. Pada saat al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah alQusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun.
Hal ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta‘ala ‘Anhu. Wallahu a‘lam bi alShowab.63 2. Sejumlah Karya Penulis Imam al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya. Ia adalah seorang sufi besar, seorang pengarang dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu Islam. Karena itu, tidak aneh bila karyakaryanya cukup banyak. Hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan kitabnya al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi alTasawwuf. Untuk itu, Penulis menyuguhkan karya-karya beliau dari terjemahan kitab tersebut dan dari website yang ditulis oleh Buya Abd. Aziz Aru Bone. Karya-karya tersebut antara lain, Ahkâm al-Syari‘ah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adâb al-Sufiyyah tentang Tasawuf, al-Arbaûna fî al-Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali al-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah Istifâdah al-Murâdâts, Bulghah al-Maqâsid fî al-Tasawwuf, al-Tahbir fî Tadzkir, Tartîb al-Sulûki fî Tariqillahi Ta‘ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, al-Tauhid al-Nabawi, al-Tafsir fi ‘Ulum al-Tafsir atau lebih dikenal dengan alTafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Ibnu Khalikan, Tajuddin al-Subky dan
63
Aru Bone.
Jalaluddin al-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas. Karya-karyanya yang lain, al-Jawâhir, Hayat al-Arwah, Wa Dalil Ilâ Thariq al-Islah, Diwan al-Syi’r, dari karya inilah beliau menunjukan keahliannya dalam sastra. Sementara Kitab yang menunjukan ketokohannya dalam Tasawuf adalah al-Risâlah al-Qusyairiyyah, ditulis pada tahun 438 H/1046 M. Kitab ini menjadi salah satu referensi utama bagi tasawuf bercorak Sunni. Sebenarnya, kitab ini merupakan kumpulan makalah-makalah beliau untuk bahan presentasi bagi murid-muridnya dalam kajian tasawuf. Kitab-kitab yang lainnya adalah Sirah al-Masyayikh, merupakan kitab biografi para tokoh Islam sebelum beliau, Syarh Asmâ al-Husna, Uyunul Ajwibah fî Ushul al-As’ilah, al-Fush fî al-Ushul, Lathaaif al-Isyarat (sebuah tafsir tasawuf mengenai ayat-ayat terpilih dari Alquran alKarim). Kitab Alluma` fî I‘tiqad, Majelis Abu Hasan al-Daqqaq, al-Mi‘raj, alMunâjat. Selanjutnya Kitab Mansur al-Khitab fî Suhud al-Bâb, Nâsikh al-Hadits wa Mansukh, dalam kitab ini tampak jelas keluasan wawasan beliau tentang hadis dan ilmu-ilmu hadis. Kitab lainnya, Nahw al-Qulub al-Saghîr, Nahw al-Qulub alKabir, dan Nukah al-Nuha. Tidak kurang dari 29 judul kitab karya tulis Imam alQusyairy al-Naisabury yang mencakup banyak disiplin keilmuan yang berkembang pada masanya, karya-karya itu tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman semata, tapi juga sastra, hukum, sejarah dan filsafat. Semua itu merupakan warisan khazanah intelektual dari masa-masa puncak kemajuan peradaban Islam masa lalu. Karya-karya tersebut hingga kini masih bisa kita jumpai di koleksi-koleksi perpustakaan.
C. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penerjemah
1. Biografi Singkat Penerjemah Mohammad Luqman Hakiem lahir di Madiun 20 April 1962, melakukan studi di beberapa pondok pesantren, antara lain, Pesantren Gading, Madiun, Pesantren Irsyadiyah Gedong Sari Nganjuk, Pesantren Salafiyah Tebuireng Jombang, dan Pondok Pesulukan Thoriqoh Agung Tulung Agung. Dunia akademik ditempuh di Fakultas Syari‘ah Universitas Hasyim Asy`ari, tebuireng Jombang, kemudian special program of phlilosufi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, lalu menempuh program doktoral di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Selama ini beliau aktif menulis di berbagai media massa seputar analisa keagamaan, khususnya bidang sosial dan tasawuf. Dari berbagai tulisan dan ceramahnya itulah kelak ia sering dikenal sebagai sufiolog. 2. Sejumlah Karya Penerjemah Buku-bukunya yang telah terbit, baik karya sendiri maupun terjemahan, antara lain: 1. Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu tasawuf (al-Qusyairy) 2. Teosofia Alquran (al-Ghazaly) 3. Raudhah Taman Jiwa Kaum Sufi (al-Ghazaly) 4. Kaidah-kaidah Sufistik (al-Ghazaly) 5. Mereka yang Kembali (al-Maqdisy) 6. Deklarasi Islam tentang Hak Asasi Manusia 7. Pikiran-pikiran Setengah Gila (al-Qusyairy) 8. Allah pun Berdzikir 9. Kedai Sufi Kang Luqman
10. Jack & Sufi, Sufisme di remang-remang Jakarta 11. Tuhan di antara Inul dan Gang Dolly 12. NU di tengah kelemahan Ulama dan Kemunduran Ummat 13. Psikologi Sufi. Buku-buku yang segera terbit antara lain: 1. Seri Trilogi Revolusi a. Revolusi Dzikir; b. Revolusi Doa; c. Revolusi Cahaya 2. Problema-problema Tasawuf (pergulatan batin dunia Sufi) 3. Serial Kedai Sufi 4. Syarah Sufi 40 Hadits Nabawi 5. Syarah Sufi al-Hikam 6. Tafsir Sufi Ummul Quran 7. Dan sejumlah karya terjemahan yang segera terbit. Beberapa kaset ceramahnya tentang dunia sufi beredar di publik dan Episode Sufi dalam CD, DVD, VCD, maupun kaset yang sedang disiapkan. Saat ini, selain aktif ceramah di beberapa kota besar, beliau juga dikenal sebagai pimpinan redaksi majalah Cahaya Sufi.64
64
Mohammad Luqman Hakiem, Psikologi Sufi, (Jakarta: Cahaya Sufi, 2008), h. 407.
BAB IV KRITIK DIKSI DALAM TERJEMAHAN AL-RISÂLAH ALQUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF
A. Kritik Peranti-peranti Diksi 1. Penggunaan Kata Bersinonim 1.a. Sinonim antara Kata dengan Kata
َِْاقbِ ْ:ِdَُ إِ َ@ اM"َ3 ْ اfَ?َ َ: َُ"مgْ(ِ ْ:ِdَ"مُ وَاhْOِ ْ:ِdِذَا زَالَ اjَ...
(1)
65
.ِ &َْحِ ا ْ;ََمCِ
...maka ketika kesamaran dan kerancuan menghilang, tidak ada lagi kebutuhan untuk menenggelamkan diri dalam penguraian kalam.66 Sinonim kedua kata di atas tepat diterjemahkan demikian. Namun, setelah menganalisis teks sumber, kata jelas’,67 sedangkan kata
"مhO :dا
dalam kamus al-Ashri berarti ’tidak
"مg( :d اdalam kamus al-Munawwir bermakna ‘samar;
tidak jelas’, dalam arti kedua kata tersebut tidak terdapat arti kerancuan seperti yang diterjemahkan oleh penerjemah. Kerancuan berbeda dengan kesamaran. Dalam KBBI, kerancuan berarti ‘tidak teratur; campur aduk; kacau’,68 sedangkan kesamaran berarti ‘ketidakjelasan’.69 Menurut Penulis, kata "مg(
:d"م واhO :dا
lebih tepat diartikan ‘kesamaran’ saja, karena kesamaran mengandung arti 65
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 319. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 401. 67 Atabik Ali, h. 104. 68 Alwi, h. 927. 69 Ibid., h. 987. 66
ketidakjelasan.
َ@ءlَ: "َ ی:ْ^ِgِKْOَ(ِ َJِْ, :ُ یَ ُْلCِْﺏbَ> اZََI 8ُْْْر ﺏVَ9 ُfْOِ>َ:
(2)
ََ َ"ل،ِ اَدَبCِVَ أَد ﺏ:ََ؟ َ َ"ل.َْ أَد ﺏ8َ9 :ُnَ َJِْ َ ،ِ@ءِ اَدَبlَFُِ ﺏfْFَ 70.َ ُِْ ا Saya mendengar Mansur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan, “Seseorang mengatakan kepada seorang sufi, ‘Alangkah jeleknya adabmu!’ Sang sufi menjawab, ‘Aku tidak mempunyai adab buruk.’ Orang itu bertanya, ‘Siapa yang mengajarmu adab?’ Si sufi menjawab, ‘Para sufi’.”71 Dalam terjemahan di atas terdapat kesinoniman kata, padahal dalam teks sumber tidak ditemukan kata yang bersinonim. Kata diterjemahkan ‘jelek’ sedangkan kata
@ءlَ:
@ءlَ:
yang pertama
yang kedua diterjemahkan ‘buruk’.
Di sini terlihat bahwa penerjemah tidak konsisten menggunakan kata. Menurut Penulis, sebaiknya kata @ءlَ: yang kedua diterjemahkan ‘jelek’ saja.
ِ$ْهQ َ ا8ِ9 ُJَKَْ*َ" أl ا:C"َ3ْ َ اGَ(ِ َِ"ض8ْ ﺏJَْKُ َ"لَ ا,َو
(3)
72.ِnِ َ ِْVَ9
َ @ َْقVَ>َ ََیd Cِ* َن ا ا،"َْ#Q$ اCِ
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan kepada Bisyr al-Hafi, “Ridha adalah lebih baik daripada hidup zuhud di dunia ini, sebab orang yang rela tidak
70
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 286. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 354. 72 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 196. 71
pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya.”73 Terjemahan kata rela di atas kurang sesuai dengan konteks sebelumnya, karena sebelumnya membicarakan tentang ridha. Bisa dikatakan bahwa kata ridha dan rela bersinonim, tetapi kedua kata tersebut tidak dapat dipertukarkan dalam kalimat tertentu, dengan kata lain serupa tapi tak sama. Contoh dalam kalimat “aku rela mati demi dia”. Kata rela tidak dapat diganti dengan ridha. Lebih baik terjemahan kata rela disamakan dengan kata sebelumnya, yaitu ridha, agar pembaca fokus bahwa konteks di atas membicarakan tentang ridha bukan rela. 1.b. Sinonim antara Kata dengan Frasa
(4)
,@َFْVُ وَیُْآََ ََ ی,@َْOُ أَنْ یُ?َ"عَ ََ ی.ِnِ ﺕُ ََ"ﺕ5َ6 َ7اِﺕ ُا ا 74.ََْ; ُی
ََ ََ;ْGُوَی
“Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus bersyukur kepada-Nya dan tidak mengufuri-Nya.75 Kata -./0 12 ع$30 di atas diartikan ‘dipatuhi dan tidak ditentang’, 4آ60
-780 12 di atas diartikan ‘diingat dan tidak dilupakan’, dan 49:0 12 4:;0 diartikan ‘bersyukur dan tidak mengufuri’. Terjemahan kata-kata di atas merupakan sinonim, kata dipatuhi-tidak ditentang bermakna sama, begitu juga kata diingattidak dilupakan dan bersyukur-tidak mengufuri. Oleh karena itu, agar tidak terjadi
73
Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, 226. 74 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 105. 75 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 98.
pemborosan kata dalam terjemahan, menurut Penulis, terjemahan di atas cukup diartikan ‘Dia harus dipatuhi, diingat, dan disyukuri’. Setelah Penulis analisis, dalam buku terjemahan Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf tidak ditemukan sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), frasa dengan frasa, dan kalimat dengan kalimat.
2. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi Sejauh yang Penulis temukan, kata yang bermakna denotasi dan konotasi sudah tepat dan sesuai diterjemahkannya, seperti dalam kalimat-kalimat berikut:
(5)
َِ"مhَِِ" ﺏgُ3ْ(ََ آLَMََ رُآُْبٍ و$ْVِ ْfَ3َ>َM ََىg ِذَا اjَ 76.ا َ َْى
Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takwa.77 Terjemahan kata jiwa menunggang nafsu di atas, bukanlah makna sebenarnya, karena kata menunggang objeknya kuda. Namun, penerjemah sangat tepat dalam menerjemahkan kata-kata tersebut, sebab kata menunggang di atas berarti ‘dapat mengendalikan’ yang terjemahannya terdapat dalam kalimat sesudahnya.
76
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 99. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 88. 77
(6)
,ٍLََْ"ِرسُ آ6 "َ#َْ أJََ ﺏd :َ َ َ"ل,ٌLَِ رَاه. #ِ إ:ُnَ َJِْ َ ُهْ(َ"نQ ْ'ُ اOَوَرُؤِيَ ﺏ ْ^ِgِVَْْ ﺏ8ِ9 "َgْ َMَْIَْ أ$َ,َ و,َ5َْqْ ْ ُِ اOَِ ا َِيْ یLَْ;ْ "َِ ﺏnَ(ْ&َ أCِFَْ# إِن 78 ."َgْVِ9
َْ>ُْاFَِ
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya, “Anda seorang rahib?” Ia menjawab, “Bukan. Aku adalah penjaga anjing. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang umat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya mereka aman.”79 Terjemahan ‘Aku adalah penjaga anjing’ bukan makna sebenarnya. Dalam konteks di atas, kata anjing berarti ‘jiwa’. Namun, penerjemah menggunakan kata-kata tersebut untuk mengumpamakan bahwa jiwa seorang rahib sama seperti seekor anjing yang menyerang manusia.
3. Penggunaan Kata Umum dan Khusus
78
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 102. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 93. 79
@َ ُِ اnُ "َ6 لr ُ ْبG َ ا.ِ َُ ذnْVَ َsَ?َ ْ#ُِ إِذَا اn #ََ أ.ِ ََ"رَةُ ذ9َوَأ
(7)
80.ِJَGَْ وَا
ِJَFَ;ْ ا
Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah bahwa apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya ia menjadi pasif dan gagal.81 Kata
JF; ا
diterjemahkan ‘pasif’. Kata pasif mengandung makna yang
umum, dalam KBBI berarti ‘1. bersifat menerima saja, tidak giat, tidak aktif; 2. kurang atau lebih kecil daripada pengeluaran; 3. (jenis kalimat) yang menunjukkan bahwa subjek adalah tujuan dari perbuatan; 4. dapat memahami bacaan, pembicaraan, dan sebagainya, tetapi tidak dapat mengemukakan kembali, baik lisan maupun tulis.’ Menurut Penulis, kata
JF; ا
lebih baik diterjemahkan
‘malas’, karena kata malas mengandung makna khusus yang menunjukkan kata sifat. Kata gagal juga mengandung makna khusus yang menunjukkan kata sifat, sehingga ada keparalelan dalam kalimat.
(8)
َ َ َ"ل,ُnْVِ9 ُnَُ ﺙَِ"ﺏtْ G َ ا.ِ ََ ذsَ>َhَ ,ٍuِ "ٍَ ﺹtَْGَِ"نٌ ﺏFْ#َِ إ9َو 82 ٌَ؟Fِhَ#
Cِْ ﺙَِ"ﺏJََ؟ ه.َ ﺙَِ"ﺏClVَ ُsَ>ْhَ ِ>َ"ذَا ﺕ:ُJُM ا
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang saleh. Sementara syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian
80
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 99. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 89. 82 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 102. 81
orang tersebut. Orang tersebut bertanya, “Mengapa Anda menarik jubah Anda? Pakaian saya tidak kotor.”83 Kata
"نF#إ
diterjemahkan ‘seseorang’. Kata
"نF#إ
mengandung makna
yang umum dan tepat sekali diterjemahkan ‘seseorang’. Namun, dalam konteks kalimat di atas, setelah kalimat tersebut terdapat kata khusus yang diartikan ‘orang’. Menurut Penulis, kata
JM اmengandung makna "نF#إ
diartikan ‘seorang
pemuda’ dan JM اdi atas diartikan ‘pemuda’, karena kata pemuda mengandung makna yang khusus, agar pembaca dapat lebih memahami dan fokus terhadap konteks.
.ِْق$lG َ ا8ِ9 ََِام3ْ ُ اsْVَ9 ُْق$l ا: َ"دV َ"لَ ا,َو
(9) 84
.ِJَ>َOْ "ِﺏ
JَMَِ َ وnِّ ُْقُ ا ََْ"ء$l ا:$ْ زَی8 ﺏ$ِ6 ا َْا$ْ(َ ََ"ل,َو
Al-Naqqad mengatakan, “Sikap jujur berarti mencegah kedua rahang (syidq) dari mengucapkan apa yang terlarang.” Abdul Wahid bin Zaid berkomentar, “Sikap benar adalah setia kepada Allah swt. dalam tindakan.”85 Kata
ق$ ا
yang pertama diterjemahkan ‘jujur’, tetapi
ق$ ا
kedua
diterjemahkan ‘benar’. Kata benar masih bersifat umum sedangkan kata jujur bersifat khusus. Menurut Penulis, kata benar di atas, sebaiknya menggunakan kata
83
Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 93. 84 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 211. 85 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 248.
jujur, agar pembaca lebih mudah memahami, karena dalam konteks sebelumnya penerjemah sedang membahas tentang jujur.
4. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret
,ََة$ْ6َْ اِ َْمْ ا:َ َ َ"لCِْ(ِG اCِ#"َ أَوْ ﺹCِ#"َbِ9 ا$ َ( "س اOْ یَ ُْلُ أَﺏُ ا
(10)
86 .ُﺕَ>ُْت
@ َ6 ََار$ِhْ ْ اJِ(ْ َ ْ: وَا,ِِ ا ْ َْم8َ َ.َ>ْ:ِْ اuَFْ9وَا
Al-Syibly memerintah Abul Abbas ad-Dimaghani demikian, “Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak, hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”87 Terjemahan ‘hapuslah nama Anda dari khalayak’ bukan makna sebenarnya. Kata hapus biasanya menggunakan alat atau objeknya bersifat konkret. Akan tetapi, dalam kalimat di atas, objek kata hapus, yaitu nama bersifat abstrak. Menurut saya, kata hapuslah diterjemahkan hilangkan, karena kata hilangkan, objeknya bersifat abstrak.
(11)
ِ ام$ُqْ َُْ اGِ9 :َِ؟ َ َ"لvَِِ ٍ هGَ9 ُ أَی,ِ7ُ ا$ْ(َ "َ یَ" أَﺏ:ُfُْ َ 88.ِ َ مF ا
ِ دَارCِ
Aku bertanya, “Wahai Abu Abdullah, gerakan apa ini?” Dia menjawab, “Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di Rumah Kedamaian.”89
86
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 104. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 95. 88 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 269. 89 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 329. 87
Kata
مF دار ا
diterjemahkan ‘Rumah Kedamaian’. Kata Rumah
Kedamaian mengandung arti yang abstrak. Dalam kamus al-Ashri, diartikan ‘surga’.90 Menurut Penulis, kata مF ا
مF دار ا
دارlebih tepat diartikan ‘surga’,
walaupun surga masih mengandung arti yang abstrak, namun mayoritas masyarakat lebih memahami kata surga daripada Rumah Kedamaian.
5. Penggunaan Bentuk Idiomatis Sejauh yang Penulis teliti, pada bentuk idiomatis tidak ditemukan masalah dalam penerjemahannya. Pada dasarnya penerjemah menerjemahkannya secara literal, namun maksud dari teks sumber sudah tersampaikan dengan baik. Seperti dalam kalimat di bawah ini:
ْ هَُ أَن:ِnِ "َ6 ْ8ِ9 ِnِْ ََ" آَ"ن9 @َ ًِِْا إGُ9 ِnِ َْ ِ ِlFَُ>ْ "ََ"لَ آ, ^ُﺙ
(12)
َfْ#َ وَأ,ًَOْ?ِ, ًَOْ?ِ, ِْ;َ"م6ََ"ءِ اKْ9ِ إCِ ,ِْرَة$ُ ْ َ ﺏِ>َ َ"رِیْ'ِ ا.َ*ِْ ُی 91 .ٌ$ِ9"َ6
ٌِ&َ"آ
Kemudian beliau berkata seperti seorang mufasir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotongsepotong, sedang Anda tetap bersyukur dan memuji.”92
90
Atabik Ali, h. 874. Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 302. 92 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 377. 91
B. Kritik Ketepatan Pilihan Kata
َJَ ََ ٍَ"ء9 َُ ةM "َgَ َCِ َ ْ:ًَ" أَنْ أ9َْْ یCِVَ ْ َSَ: ْCَِﺕ$ِ َ أَن وَا.ِ َوَذ...
(13)
93...CِFَْ#
@ََ َ.ِ َذ
Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat.94 Kata C
: أdi atas, diterjemahkan ‘menarikkan’. Kata menarikkan kurang
tepat dalam penggunaan kalimat di atas, karena
@ :إ
dalam kamus al-Ashri
berarti ‘minta air minum; mengambil dari; memperoleh.’ Arti tersebut jauh dari kata menarikkan. Hemat Penulis, kata
@ : إlebih tepat diartikan ‘mengambil’.
,ِ.ََ> َ ا8ِ9 ِ$َْ َُْ اI :َِ َ َ"ل$ْهQ ِ ا8 َ $َْVُh َ اJِwُ:َو
(14)
95.ِsQ(َ ا
َ8ِ9 ِLَْ ْ وَا
Al-Junaid berkata, “Zuhud adalah mengosongkan tangan dari harta dan mengosongkan hati dari kelatahan.”96 Kata
s( اditerjemahkan ‘kelatahan’. Dalam KBBI kata latah bermakna
‘menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain.’97 Sedangkan kata
93
s( ا
dalam kamus al-Ashri bermakna ‘penuntutan;
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 99. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 89. 95 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 117. 96 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 113. 97 Alwi dkk., h. 643. 94
pengikutan; penelitian’.98 Menurut Penulis, terjemahan yang tepat adalah ‘penuntutan’, karena kata penuntutan masih ada sangkut pautnya dengan kata-kata sebelumnya, apabila hati masih menuntut sesuatu (harta), maka tangan tak dapat dikosongkan dari harta.
ِ2َْ3ََْ ََِ"ء3ْ ا5َ6 ِ7َ ا8ِ9 "َْ3َ ْ:ِْ ا8َ9 ْ8ِ;َ َ و,َ.ِ ََ ذ0َْ :ََ"ل,
(15)
َ وَ َِْآُِ ا ْ>َْت,ََى6 "َ9ََ و8ْ?َ(ْ ِ ا2َْ3َْ َ و,@َََ" و9َا أْسَ و 99....َCَْ(ْ وَا Beliau bersabda, “Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan yang sebenar-benarnya di hadapan Allah swt, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur....100 Kata
C( ا
di atas diterjemahkan ‘fitnah kubur’, kata
C( ا
di atas tidak
tepat dan tidak sesuai diartikan ‘fitnah’, karena dalam bahasa Indonesia kata fitnah diartikan ‘perkataan atau pembicaraan yang sengaja disebarkan untuk menjelek-jelekkan orang agar masyarakat mempunyai kesan yang buruk tentang orang yang difitnah itu.’101 diuji’.102 Menurut saya, kata
Dalam kamus al-Ashri
Cﺏ
bermakna ‘dicoba;
C( اdi atas lebih tepatnya diartikan ‘siksa kubur’,
karena sebelumnya, kata tersebut didahului dengan kalimat hendaklah ia
98
Atabik Ali, h. 404. Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 215. 100 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 252. 101 J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2005), Cet. 2, h. 111. 102 Atabik Ali, h. 354. 99
mengingat mati. Jadi, arti dari
C( ا
yang dipilih oleh penerjemah
Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf),
tidak jauh dari kematian. Kata fitnah (kata
dicoba, dan diuji merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan.
َ آ"َن:َُُمbْ ََةِ؟ َ َ"لَ اF "ِْتَ ﺏSَ?ْ ِ>َ"ذَا أَﺏ:ُJُM َ َ"لَ ا....
(16)
103....ٌJْ>َ#
"َgََْ
....Laki-laki itu bertanya kepada pelayannya, “Mengapa begitu lama engkau baru datang membawakan tilam itu?” Si pelayan menjawab, “Ada seekor semut pada tilam itu....”104 Kata ةF اdi atas diterjemahkan ‘tilam’. Dalam KBBI, kata tilam berarti ‘kasur’.105 Dalam kamus al-Munawwir, kata Menurut saya, kata
ةF ا
bermakna ‘meja makan’.106
ةF اlebih baik diterjemahkan ‘nampan’, karena konteks di
atas lebih tepatnya membawa nampan, bukan membawa kasur. Dalam KBBI, nampan berarti ‘tempat untuk menyajikan makanan dan minuman, terbuat dari kayu, logam, dan sebagainya.’107
َ ََ"ل,َو ُ8َFْ6َ ا َْ ِْ أCِ @َVِbْ َ"رُ اgْyِ إ: ا >ُ(َ"رَك8 ﺏ7ُ ا$ْ(
(17)
108 .ْ ِ َْ ا
َ8ِ9
Abdullah Ibnul Mubarak menyatakan, “Membuat diri sendiri tampak kaya
103
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 230. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 273. 105 Alwi dkk., h. 1191. 106 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), cet. ke-25, h. 636. 107 Alwi dkk., h. 773. 108 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 275. 104
sedangkan ia dalam keadaan miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”109 Arti terjemahan di atas kurang tepat, maksud dari teks sasaran berbeda dengan yang disampaikan teks sumber. Maksud teks sasaran adalah “membuat diri sendiri tampak kaya sedangkan ia dalam keadaan miskin lebih baik daripada kemiskinan.” Akan tetapi, maksud dari teks sumber adalah “membuat diri sendiri tampak kaya sedangkan ia dalam keadaan miskin lebih baik daripada menampakkan kemiskinannya.” Jadi, menurut Penulis, terjemahan di atas ditambahkan kata menampakkan, agar pembaca mudah membacanya.
Cَِ"ﺹOَ>ْ َ"ءُ اlَ اِﺕ.ِ ََ ذ$ْOَ ﺙُ^ ﺏ,ِْكlG َ"ءُ اlُ ا َْى اِﺕJْوَاَﺹ
(18)
َُ ﺕَْك.ِ ََ ذ$ْOَ ﺙُ^ ﺏ,َِ"تgُ(QG َ"ءُ اlَ اِﺕ.ِ ََ ذ$ْOَ ﺙُ^ ﺏ,َِ"تwl F وَا 110 .ََِتKَْ ا Asal-usul takwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan kejahatan, dan halhal yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang menyenangkan).111 Kata
اﺕ "ء
diterjemahkan ‘menjaga’. Dalam kamus al-Ashri, kata
اﺕ "ء
bermakna ‘penghindaran; penjauhan’.112 Penggunaan kata menjaga di atas kurang tepat, sebab syirik, dosa, kejahatan, dan lain-lain harus dijauhi, bukan dijaga. Menurut saya, kata اﺕ "ءlebih baik diterjemahkan ‘menjauhi’.
109
Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 338. 110 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 105. 111 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 97. 112 Atabik Ali, h. 19.
ُfْPََ " >ََ ,ِnََْ ُfََُْ وَﺹnُ ْVََُ وَآnُ َْFَbَ ,ََ"ت9 ^ُ ﺙ,ًَ ْgُ& َ5َgَGَ
(19)
113 .َِ F ا
ِْ إِرَادَة8ِ9 Cَِ" ﺏ9 َ8َ;َ: ,ِnِVَْْ د8ِ9
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan, lantas meninggal. Aku
memandikan,
mengafani,
dan menyalatinya.
Ketika
selesai
memendamnya, aku tidak berhasrat untuk meneruskan perjalanan.114 Kata
8د
di atas diterjemahkan ‘memendam’. Dalam KBBI, pendam
bermakna ‘menanam dalam tanah; menyembunyikan; menyimpan (perasaan, rahasia, dan sebagainya).’115 Dalam kamus al-Munawwir, kata
8د
bermakna
‘mengubur; memakamkan’.116 Menurut Penulis, kata tersebut lebih tepat diterjemahkan ‘mengubur atau memakamkan’.
ِJَْآSَِ ﺏ0َْ ,ِJَ9ََُْ ا, "َْ#Q$ اCِ ُ$ْهQ ا:َُْ"نُ ا َْرِي: ََ"ل,
(20)
117.َِ(َ"ءOْ ا
ِ0ْ(ََِ ﺏdَِ و2َِْbْ ا
Sufyan al-Tsaury berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.”118 Terjemahan kata
113
2b اJأآ
diartikan ‘makanan kasar’. Kata kasar
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 308. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 386. 115 Alwi dkk., h. 848. 116 Munawwir, h. 411. 117 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 115. 118 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 111. 114
tersebut tidak sesuai, karena kata yang mendampinginya adalah kata makanan. Dalam kamus al-Munawwir, kata
2b اberarti ‘kasar; keras; kejam’.119 Menurut
Penulis, terjemahan kasar, lebih tepat diartikan ‘keras’, menjadi ‘makanan yang keras’, sebab tidak ada makanan yang kasar. Kata
("ءO ا
diartikan ‘jubah dari
kain kasar’. Terjemahan tersebut keluar dari makna dalam teks sumber, karena dalam kamus al-Munawwir kata ("ءO اbermakna ‘sejenis mantel/daster (yang terbuka depannya).120 Begitu juga dalam kamus al-Munjid, ("ءO اbermakna 121
‘.َِ"بl ا
َُ َْق0َ(ُْ امِ ی$ُ, ْ8ِ9 ٌَْ ُْح9 ٌَ"ءFِ’آ
Dengan merujuk beberapa kamus tersebut, kata
("ءO ا
lebih tepat
diterjemahkan ‘mantel’, karena jika diterjemahkan jubah dari kain kasar, maka maknanya tidak sesuai dengan kata
("ءO اitu sendiri.
C. Kritik Kesesuaian Pilihan Kata
ََْقRَِ وَأzَْ َ ا.ِ َُِْ إِ َ@ ذ9ََ]ََ اVَ
(21)
122.ُnَ:ْرَأ Sang raja menatap ke arah salju itu dan membungkukkan kepala.123 Kata
قRأ
kurang sesuai diterjemahkan ‘membungkukkan’, karena
faktanya yang dapat dibungkukkan hanya punggung sedangkan kepala tidak bisa. 119
Munawwir, h. 1013. Ibid., h. 886. 121 Husaimah, h. 483. 122 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 190. 123 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 219. 120
Menurut Penulis, kata
قR أdi atas, lebih sesuai diterjemahkan ‘menundukkan’,
karena hanya kepala yang dapat ditundukkan.
ٍ^ْ;ُ6 l أَيCِ ََِعh ا ِ*َ" اِرْﺕَِ"عُ ا:Cِ ْGَ9ِ$ َ"لَ أَﺏُُ>َ ا,َو
(22)
124 .َآ"َن Abu Umar ad-Dimasyqi mengatakan, “Ridha adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah yang mana pun.125 Kata Penulis,
"ل,
di atas tidak sesuai diterjemahkan ‘mengatakan’. Menurut
kata tersebut lebih sesuai diterjemahkan ‘mendefinisikan’, karena
konteks di atas menyatakan bahwa subjek sedang mendefinisikan sesuatu.
(23)
َ.ََْ ْf َ& َ8ِْ6 َfْ َOَْ ﺕJَه 126َ"ﺏَُ؟Mِ{ا
Mengapa engkau tidak mengajukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan susah?127 Penerjemah tidak konsisten dalam menerjemahkan ‘Anda’, karena sebelumnya penerjemah menerjemahkan ‘engkau’. Dalam terjemahan di atas, lebih baik kata Anda diubah menjadi engkau, agar ada keparalelan dalam kalimat.
124
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 196. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 226. 126 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 251. 127 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 304. 125
(24) َُ"رِس6
"َ#َْ أJََ ﺏd :َ َ َ"ل,ٌLَِ رَاه. #ِ إ:ُnَ َJِْ َ هْ(َ"نQ ْ'ُ اOَوَرُؤِيَ ﺏ 128.ٍLَْآ
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya, “Anda seorang rahib?” Ia menjawab, “Bukan. Aku adalah anjing penjaga.”129 Kata
J, diterjemahkan ‘berkata’. Dalam konteks kalimat di atas, subjek
sedang bertanya kepada seorang rahib. Jadi, lebih baik kata
J,
diterjemahkan
‘bertanya’ dan dalam pertanyaannya dimulai dengan kata tanya apakah, agar pembaca dapat langsung memahami maksud dari konteks.
Cِ>ِْF ا8َ>ْ6 ِ ا$ْ(َ Cِِ أَﺏtْ G َ ةً دَارَ ا9 َُ ا ُُْصJَIَوَد
(25)
:ُ یَ ُْل8َ>ْ6 َ ا$ْ(َ "َُ أَﺏtْ G ا,ُvُْو$َMََ" و9 َ>َُْا6َﺏِ" ْ>َ;َ"ﺏَِةِ و ُfَِ ْ َُ وَ َ^ْ أfْ*ََْSَ َ$ْْ یَِی8َ9 @ََ ْCِ (ُM ُfْْقِ ََأَیQF "ِْ َْتُ ﺏMِا 130 .ِnَْ ِإPara pencuri memasuki rumah syeikh Abu Abdurrahman al-Sulamy dan mencuri segala sesuatu yang berharga. Salah seorang sahabat kami mendengar syeikh tersebut menuturkan, “Suatu hari, aku melewati pasar dan kulihat jubahnya sedang dilelang, tapi aku berpaling menjauh tanpa menaruh perhatian sedikit pun padanya.”131 Kata
128
ی لdi atas diterjemahkan ‘menuturkan’, padahal dalam konteksnya
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 102. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 93. 130 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 244. 131 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 293. 129
subjek sedang menceritakan sesuatu. Hemat Penulis, terjemahan <'ل0 di atas sebaiknya diterjemahkan ‘mengisahkan’, agar lebih sesuai dengan konteksnya.
@َ َِ إJَِِ إِ َ@ أَنْ یLَْ ْ "َِمُ ا ْ ََارِ ﺏ$ََو....
(26)
132 .lا َب ….dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhannya. Kata
Jی
di atas diterjemahkan ‘wushul’. Kata Wushul tidak terdapat
dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus al-Ashri, kata J یditerjemahkan ‘datang; tiba’.133 Menurut Penulis, untuk memudahkan pembaca memahami teks, sebaiknya kata
J یditerjemahkan ‘bertemu dengan’, karena kata tersebut tidak
jauh dari makna J یitu sendiri dan maknanya lebih sesuai dengan konteks.
(27)
@َ ُِ إnَOَ,ًَْْا أَوI ِ$َْ" َ@ ﺏِ" ْ>ُِیOَُ ﺕ7 إِذَا أَرَادَ ا:ُ$َْVُhْ وَیَ ُْلُ ا 134 .ِا ُ اء
َِ(ْ3ُْ ﺹ8ِ9 ُnَOَVَ9َ و,َِِْQ ا
Al-Junaid mengatakan, “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.”135 Kata 132
$ا >ی
diterjemahkan apa adanya oleh penerjemah yaitu murid.
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 202. Atabik Ali, h. 2021. 134 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 203. 135 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 236. 133
Dikhawatirkan pembaca tidak memahami arti
$ا >ی,
karena kata tersebut tidak
umum dalam bahasa Indonesia. kata murid yang sudah umum digunakan masyarakat Indonesia berarti ‘orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah)’, sedangkan murid yang dimaksud oleh penulis adalah ‘orang yang menginginkan
sesuatu’.
Jadi,
menurut
Penulis,
sebaiknya
kata
$ا >ی
diterjemahkan ‘orang yang menginginkan sesuatu’.
(28)
َِ"ن,ُْ?ََ ی0ْ#ََُ"ءَ وَا3ْ إِن ا:Cِ?َ َF َِي اF َ"لَ ا, 136 ....َLَْ ْ ا
Al-Sary berkata, “Malu dan sukacita ruhani masuk ke dalam hati seseorang.”137 Kata
0# اditerjemahkan ‘sukacita ruhani’. Pembaca dikhawatirkan sulit
memahami terjemahan tersebut. Kata
0#ا
dalam kamus al-Ashri diartikan
‘kejinakan; kesenangan’.138 Dalam konteks di atas, sebaiknya kata
0#ا
diterjemahkan ‘senang’, karena kata tersebut masih ada kaitannya dengan kata sebelumnya yaitu kata malu. Kata malu mengandung kata sifat sedangkan kata senang juga mengandung kata sifat.
136
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 215. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 253. 138 Atabik Ali, h. 250. 137
(29)
Cِ َُْةFَ ْ َ ا:ِ َ"ءG َ"تِ ا9ََ ْ8ِ9 ٌ0ْ>َI :ُُ َِ"ض8ُْ ﺏJَْKُ یَ ُْلُ ا 139.ِJَ9َSْ ا
ُُْلRََْ" و#$Q اCِ َُ(ْP ََ"ءِ وَا3ْ ِ ُ ا,َِ و8َْOْ ُ>ُْدُ اMَِ وLَْ ْ ا
Al-Fudhail bin ‘Iyadh menjelaskan, “Ada lima tanda celaka seorang manusia: Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”140 Kata
ی لdi atas diterjemahkan ‘menjelaskan’. Dalam konteks kalimat di
atas, subjek sedang menyebutkan sesuatu, bukan menjelaskan. Jadi, menurut Penulis, kata tersebut lebih sesuai diterjemahkan ‘menyebutkan’. Begitu juga terjemahan kata
"ءG ا
yang diterjemahkan ‘celaka’. Penggunaan kata celaka
kurang sesuai, karena kata celaka berkedudukan sebagai kata kerja sedangkan pada struktur kalimat di atas lebih tepat menggunakan kata benda. Dalam kamus al-Ashri, kata
"ءG ا
berarti ‘kesengsaraan; kemalangan’. 141 Begitu juga dalam
kamus al-Munjid, kata
"ءG ا
berarti
‘"دةOF ' ا# ،ة$G ’ا
142
yang dalam
bahasa Indonesia berarti ‘kesengsaraan; lawan kata kebahagiaan’. Jadi, setelah merujuk beberapa kamus, menurut Penulis, kata
"ءG اlebih
tepat diterjemahkan ‘kesengsaraan’.
139
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 217. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 255. 141 Atabik Ali, h. 1141. 142 Husaimah, h. 397. 140
ْJََِْ َ یlُ3ْ ْ أَرَادَ ا8َ9 :ُُْْرVَ9 ُ8ُْ ﺏ8َْFُ3ْ َ َ"لَ ا
(30)
143.ِ ُ(ُْدِیO ِْ Al-Husain
bin
Manshur
mengatakan,
“Barangsiapa
menghendaki
kebebasan, hendaklah meraih ubudiah.”144 Kata
"ل, di atas diterjemahkan ‘mengatakan’. Dalam konteks kalimat di
atas, subjek sedang menganjurkan sesuatu, menurut saya, kata tersebut diterjemahkan ‘menganjurkan’, supaya terjemahan tersebut tidak monoton. Maksudnya, seringkali penerjemah menerjemahkan kata "ل, dengan ‘mengatakan; berkata’. Kata "ل, lebih baik diterjemahkan sesuai konteks dalam kalimat. Begitu juga dengan terjemahan kata
89
kerapkali kata tersebut diterjemahkan
‘barangsiapa’ oleh penerjemah, padahal kata barangsiapa tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Menurut Penulis, lebih baik kata tersebut diterjemahkan ‘seseorang’.
(31)
ُfْ;ََ9 "َ9 ًَVَ: َ8ِْOَُْ أَرْﺏVُ9 :ُْ(َ"ط:َُ أ8ُْ ﺏZُ:َُْ"لَ ی,َو 145.َ8ِِْْ>َ,
Yusuf bin Asbat berkata, “Selama empat puluh tahun aku hanya memiliki dua lembar baju.”146 Kata 143
8>, di atas diterjemahkan ‘dua lembar baju’. Menurut Penulis,
Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 220. Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 259. 145 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 277. 146 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 341. 144
kata lembar tidak tepat digunakan sebagai kata penggolong baju, karena dalam KBBI, lembar berarti ‘kata penggolong bagi benda yang lebar dan tipis (papan, kertas, seng, dan sebagainya).’147 Menurut Penulis, sebaiknya menggunakan kata potong (dua potong baju), karena dalam KBBI kata potong bermakna ‘kata penggolong bilangan bagi berbagai benda, seperti baju, kain, bungkusan, dan barang.’148 Jadi, kata penggolong baju lebih tepatnya menggunakan kata potong. 149...ِnَِْ#
(32)
َِ"ل6 Cِ ِ$َْVُhْ َ ا$ْVِ ُfْVُ آ:َُیِْيhْ ُ ا$َ>ْ6ََ"لَ أ,
Ahmad al-Jurairy berkata, “Aku sedang di sisi al-Junayd ketika naza‘nya…”150 Kata
ع# di atas diterjemahkan apa adanya, yakni ‘naza‘’. Dalam kamus
al-Ashri kata ع# berarti ‘keadaan naza‘; menghadapi kematian’.151 Para pembaca dikhawatirkan belum memahami arti ‘naza‘’ itu sendiri, karena kata tersebut tidak terdapat dalam KBBI dan tidak umum digunakan oleh masyarakat. Menurut Penulis, sebaiknya kata tersebut diterjemahkan ‘menghadapi kematian’, karena kata ini sudah umum digunakan oleh masyarakat.
147
Alwi dkk., h. 656. Ibid., h. 890. 149 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf, h. 303. 150 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 380. 151 Atabik Ali, h. 1904. 148
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dalam buku terjemahan Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penulis menemukan 32 kasus yang menyangkut masalah diksi. Dalam buku tersebut, diksi yang dipilih oleh penerjemah sangat bervariasi, di antaranya ada 8 kasus masalah ketepatan diksi dan 12 kasus masalah kesesuaian diksi. Beberapa kasus juga ditemukan dalam peranti-peranti diksi, di antaranya penggunaan kata bersinonim ada 4 kasus, penggunaan kata denotasi dan konotasi ditemukan 2 kasus, penggunaan kata umum dan khusus ada 3 kasus, penggunaan kata abstrak dan konkret ditemukan 2 kasus, dan penggunaan kata idiomatik hanya ditemukan 1 kasus. Berdasarkan data yang Penulis temukan, Penulis menampilkan penilaian keseluruhan hasil penerjemahan diksi melalui tabel sebagai berikut:
Jumlah Kasus
Segi
Kriteria
Persentase Data
A. Peranti-peranti Diksi
1. Penggunaan Kata Bersinonim
Pemadanan
Menyimpang
Kata Kewajaran
Wajar
Ungkapan Peristilahan
Baku
4
100%
Jumlah Kasus
Segi
Kriteria
Persentase Data
2. Penggunaan Kata
Pemadanan
Tidak
Denotasi dan
Kata
Menyimpang
Konotasi
Kewajaran
Wajar
2
100%
3
100%
2
100%
1
100%
Ungkapan
3. Penggunaan
Peristilahan
Baku
Pemadanan
Menyimpang
Kata Umum dan Kata Khusus
Kewajaran
Wajar
Ungkapan
4. Penggunaan
Peristilahan
Baku
Pemadanan
Menyimpang
Kata
Kata
Abstrak dan
Kewajaran
Konkret
Ungkapan
Wajar
Peristilahan
Baku
Pemadanan
Tidak
Kata
Kata
Menyimpang
Idiomatik
Kewajaran
Harfiah
5. Penggunaan
Ungkapan Peristilahan
Baku
Jumlah Kasus
Segi
Kriteria
Persentase Data
B. Ketepatan Diksi
Pemadanan
Menyimpang
8
100%
12
100%
Kata Kewajaran
Wajar
Ungkapan
C. Kesesuaian Diksi
Peristilahan
Baku
Pemadanan
Menyimpang
Kata Kewajaran
Wajar
Ungkapan Peristilahan
Tidak Baku
Keterangan: 1. Menyimpang maksudnya menyiratkan kesalahan. 2. Tidak Menyimpang maksudnya tidak menyiratkan kesalahan. 3. Wajar maksudnya terjemahan yang alami, tidak kaku. 4. Harfiah maksudnya terjemahan yang kaku. 5. Baku maksudnya umum digunakan dalam bahasa Indonesia atau terdapat dalam KBBI. 6. Tidak Baku maksudnya tidak umum digunakan dalam bahasa Indonesia atau tidak terdapat dalam KBBI. Dari semua kasus yang ditemukan, diksi yang menyimpang 90,6% sedangkan diksi yang tidak menyimpang 9,3%.
Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa dalam buku terjemahan AlRisâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf sebagian besar diksi yang dipilih penerjemah masih belum tepat dan sesuai menurut gaya bahasa. Dengan kata lain, dari beberapa data yang ditemukan, sebagian diksi yang digunakan oleh penerjemah Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf belum umum dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagian istilah-istilah tasawufnya masih mengikuti bahasa sumbernya atau tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini akan menimbulkan pembaca sulit memahami isi bacaan. Untuk itu, Penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih dekat, tentunya dengan merujuk ke beberapa kamus. Dalam usulan terjemahan itu tidak sepenuhnya benar dan masih selalu dapat diperdebatkan.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang ingin saya sampaikan, di antaranya: 1. Apabila buku ini diterbitkan kembali, disarankan untuk meneliti kembali pilihan diksinya, agar memenuhi syarat ketepatan dan kesesuaian diksi. 2. Disarankan juga agar ada tim penyunting yang dapat mengurangi kesalahan-kesalahan dalam pemilihan diksi. 3. Penerjemah berikutnya disarankan memberikan penjelasan atau catatan kaki terhadap kata yang tidak umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini penerjemah harus merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4. Sebaiknya penerjemah berikutnya dapat konsisten dalam menerjemahkan suatu teks, agar para pembaca dapat fokus terhadap isi bacaan. Akhirnya, perlu saya kemukakan di sini bahwa terjemahan bukanlah terjemahan kalau tidak disertai masalah. Penerjemah telah berusaha keras menangkap dan mengungkap kembali pesan yang ada pada teks sumber. Jelas, ini tidak mudah dan karenanya saya menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada penerjemah, yakni Bapak Mohammad Luqman Hakiem dan tim penyunting Risalah Gusti.
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan dari Buku Al-Naisabury, Abul Qasim al-Qusyairy. Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf. Penerjemah Mohammad Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti, 2006, cet. ke-6. - - - -. Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf. Beirut: Darul Khair, t.t. Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2006, cet. ke-8. Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: Gramedia, 1993, cet. ke-2. Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet. ke-1. - - - -. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. - - - -. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Fitriyah, Mahmudah dan Ramlan Abdul Gani. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, cet. ke-1. Hakiem, Mohammad Luqman. Psikologi Sufi. Jakarta: Cahaya Sufi, 2008, cet. ke2. Hidayatullah,
Moch Syarif. “Teori dan Permasalahan Penerjemahan”. Diktat.
Jakarta: t.pn., 2007. - - - -. Teknik Menerjemahkan Teks Arab 1. Jakarta: TransPustaka, 2005, cet. ke-2. Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan. Bandung: Kiblat Buku
Utama, 2006, cet. ke-1. Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, cet. ke-17. Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000. Mansyur, Moh. dan Kustiawan. Panduan Terjemahan. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002. Moeliono, Anton M. Masalah Bahasa yang dapat Anda Atasi Sendiri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA, 2007. Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. ke-1. Rahardi, Kunjana. Seni Memilih Kata. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007, cet. ke-1. Sugihastuti. Editor Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. ke-1. Widyamartaya. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989. - - - -. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta: Kanisius, 1995, cet. ke-5. Rujukan dari Internet
Al-Hasani, Yusuf Al-Bakhur. “Imam Al-Qusyairy (Maha Guru Sufi).” http://www.al-hasani.com/melayu/cetak.php?id=12, 02-03-2008. Aru Bone, Buya Abd. Aziz. http://buyaku.blogspot.com/2007/03/tokoh-sufi-alqusyairi-naisabury.html. 11-03-2007.
Husen, Ida Sundari. “Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan Menciptakan Kata
Baru
atau
Menerima
Kata
Pinjaman?”
http://wartahpi.org/content/view/28/54/. 25 Mei 2005. Rujukan dari Kamus Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhar. Al-Ashri. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003, cet. ke-8. Alwi dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Ed. 3, cet. ke-3. Badudu, J.S. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, cet. ke-2. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 2001, cet. ke-5. Mahluf, Luis. Al-Munjid fî al-Lughah. Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyah, 2002, cet. ke-39.
Nomor
: Istimewa
Lampiran
: Satu Bundel Skripsi
Hal
: Pengajuan Dosen Penguji
Kepada Yth. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora di Tempat Assalamu‘alaikum Wr.Wb. Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Anna Saraswati
NIM
: 104024000830
Jurusan
: Tarjamah
Judul Skripsi : Diksi dalam Terjemahan: Studi Kritik Terjemahan alRisâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf. Dengan ini mengajukan permohonan sidang penguji dalam sidang skripsi, sebagai syarat kelulusan. Demikian surat ini saya sampaikan, atas perhatiannya saya sampaikan terima kasih. Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 21 Mei 2008 Pemohon
Anna Saraswati
Tembusan
: Ketua Jurusan Tarjamah