2008
Tubagus Chaeru Nugraha
BAB III I PENGERTIAN TERJEMAHAN
3.1 Terjemahan Terjemahan adalah produk atau hasil dari tindak menerjemahkan yang dilakukan oleh penerjemah Beberapa ungkapan tentang terjemahan adalah sebagai berikut: pertama, menyampaikan atau menceritakan teks pada orang yang belum tahu. Kedua, menafsirkan atau menjelaskan teks dengan menggunakan bahasa sumber. Ketiga, menafsirkan teks dengan menggunakan bahasa lain atau menerjemahkan teks dengan bahasa lain. Keempat, mengalihbahasakan teks (termasuk huruf/ transliterasinya) dari suatu bahasa yang ditulis atau dikatakan kepada bahasa lain atau menerjemahkan teks dengan bahasa lain.
25
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
3.2 Menerjemahkan Tindak alih bahasa dari bahasa sumber (source language) ke dalam bahasa sasaran (target language) Menerjemahkan berasal dari bahasa Arab tarjamah (isim) atau tarjama (fi’il). Secara istilah tarjamah adalah Naqlu ma yuqalu ilaa lughotin ukhro ma’a uthila ilaa mu’adalatin hadza wa-dzalika, wa artinya: Pengalihan makna teks dengan bahasa lain tanpa mengurangi amanatnya. Tarjamah merupakan fannan (seni) dan ‘ilman (ilmu), sebagai seni berarti seorang penerjemah memerlukan bakat khusus, ketelitian, dan ketekunan sebagai dasar untuk un mengungkapkannya dengan dua bahasa. Adapun sebagai ilmu terjamah dapat dipelajari secara ilmiah untuk menentukan kesesuaiannya dengan teks asli dengan efek dan wujud yang sedapat mungkin tetap dipertahankan.
26
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
3.3 Fungsi Penerjemah A). Komunikator Berdasarkan teori komunikasi, terjemahan dipengaruhi fungsi dasar komunikasi, yaitu: (1) Ekspresif, yaitu terfokus kepada sumber, (2) informative, yaitu berfokus kepada cara mempengaruhi penerima atau cara berpikir/ jalan pikiran penerima, (3) imperatif, yaitu yang bertujuan untuk mempengaruhi
tingkah laku
(tindakan) penerima, (4) emotif, yang bertujuan menimbulkan reaksi perasaan penerima, baik senang maupun susah, marah, dan sebagainya,
(5)
menghubungkan
yang
fatis, sumber
berfungsi
dan
penerima,
hanya dengan
sekadar cara
memindahkan maksud yang seminimal mungkin atau untuk sekadar
basa-basi.
Menyampaikan
pesan
tulisan
kepada
pembacanya secara komunikatif . B). Mediator Antara dua budaya yang berbeda dan antara penulis teks bahasa sumber dengan pembaca bahasa sasaran. Mampu mengungkapkan pesan (message) atau maksud (intent) dari BaSu ke BaSa secara tepat. 3.4 Definisi Terjemahan A). J.C . Catford Translation may be defined as follows: The replacement of textual material in one language by equivalent textual material in another language.
27
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
Terjemahan dapat didefinisikan sebagai berikut: Penggantian tekstual
material di dalam satu bahasa oleh padanan tekstual
material di dalam bahasa lain. J.C. Catford menekankan naskah penggantinya harus sepadan. B). Eugene A. Nida Translating consists in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the message of the source language, first in meaning, and secondly in style. Dalam penerjemahan dihasilkan derivasi bahasa yang peka rangsangan alami terdekat yang setara dengan pesan bahasa sumber; pertama dalam maksud/ arti, dan yang kedua dalam gaya. Eugene A. Nida menekankan usaha mencari padanan alami yang paling dekat, pertama makna utama, kedua gaya bahasa. C). Peter Newmark Translation is an exercise which consists in the attempt to replace a written message in one language by the same message in another language. Terjemahan adalah suatu pelatihan yang di dalamnya terdapat usaha untuk menggantikan suatu pesan tertulis dalam satu bahasa oleh pesan yang sama dalam bahasa yang lain. Peter Newmark menekankan adanya kesamaan dengan definisi J.C. Catford, yaitu penggantian pesan. D). Juliana House
28
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
Translation is the replacement of text in the source language by semantically and pragmaticallay equivalent text in the target language. Terjemahan adalah penggantian teks dalam suatu bahasa sumber dengan teks padanan dalam bahasa target secara semantis dan pragmatis. Juliana House menekankan bahwa esensi terjemahan terletak pada pemaknaan dari dua bahasa yang berbeda yang meliputi makna semantik dan pragmatik. Makna semantik = makna denotative Makna pragmatik = makna struktur atau makna konotatif E). J. Levy Translation is a creative process which always leaves the translator the freedom of choice between several approximately equivalent possibilities of realizing situational meaning. Terjemahan merupakan proses yang kreatif yang selalu memberikan pilihan bebas pada penerjemah antara beberapa pilihan padanan yang memungkinkan terealisasinya maksud/ arti yang sesuai dengan situasi. J. Levy menekankan terjemahan sebagai suatu kreativitas yang bebas dalam hal memilih padanan makna yang sesuai dengan konteks situasinya. F). Leonard Foster Translation as the transference of content of a text form one language into another, bearing in mind we can not always dissociate the content form
29
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
the form. Terjemahan sebagai pemindahan isi (makna) teks suatu bahasa ke dalam bahasa lain, dengan memperhatikan bahwa kita tidak selalu dapat memisahkan isi (makna)nya dalam bentuk yang lain. Leonard Foster menekankan bahwa terjemahan diupayakan mampu memindahkan isi (pesan) dan mempertahankan bentuk. Benang Merah Definisi-Definisi Tersebut Terjemahan dapat diartikan sebagai pengalihan suatu teks dalam suatu bahasa sumber (BaSu) menjadi teks yang mempunyai isi/ makna yang sama dalam suatu bahasa yang lain yang disebut bahasa tujuan/ sasaran (BaSa). Teks BaSu dan BaSa itu bisa dalam bentuk tulisan disebut terjemahan atau translation, apabila teks BaSu dan BaSa berbentuk lisan disebut terjemahan lisan atau oral interpretation atau interpretasi saja. 3.5 Ikhwal Menerjemahkan Dalam menerjemahkan ada dua proses utama: 1). Tindak pemahaman (act of comprehension) yaitu usaha menerima, mengerti, dan menganalisis suatu teks sumber. Usaha mengerti atau membuat analisis dengan benar atas teks sumber. Tanpa mengerti teks sumber secara benar tidak akan benar apa yang diungkapkan. 2). Tindak pengungkapan (act of expression) yaitu menghasilkan/
30
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
mengungkapkan/
mensintesiskan
teks
tujuan.
Dengan
pengertian teks sumber secara benar kesamaan isi/ makna (semantic invariance atau semantic equivalence) akan dapat tercapai. Contoh: Ketika kita menerjemahkan Al-Qur’an, maka terjemahan makna al-Qur’an bukanlah al-Qur’an itu sendiri, karena Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan/ dialihbahasakan aspek bentuk (nazham/ keindahan) bahasanya. Berdasarkan hasil penelitian Hamid (1998:38), Dalam AlQur’an surat Dukhan: 54, At-Thur: 20, Ar-Rahman: 72, dan AlWaqi’ah: 22 terdapat kata hurin atau hurun yang diterjemahkan menjadi bidadari dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya, kedua kata itu sangat berbeda, baik maknanya maupun informasinya. Kata hurin atau hurun merupakan bentuk jamak dari hawar yang berjenis kelamin (gender) netral, maskulinnya ahwar dan feminimnya hawar. Arti kata tersebutt adalah ‘kejelian atau keelokan mata yang hitamnya sangat hitam dan putihnya sangat putih’. Jadi hur bukan pria dan bukan wanita menurut konsep pemikiran Islam adalah makhluq suci penghuni jannah yang melayani segala keperluan orang-orang taqwa, tetapi bukan merupakan objek pemuasan syahwat. Sebagaimana kita ketahui, yang menjadi orang taqwa tidak terbatas kaum lelaki saja, tetapi wanita pun bisa menjadi orang taqwa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1988:114) terdapat kata bidadari yang berarti; putri atau dewi dari kayangan dan dalam kiasan
31
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
berarti perempuan yang elok. Dewi adalah dewa perempuan dan dewa (1988: 202) berarti ‘makhluk Tuhan yang berasal dari sinar yang ditugasi mengendalikan kekuatan alam’ sedangkan dalam kiasan berarti ‘orang atau sesuatu yang sangat dipuja-puja’. Jadi, makna bidadari jelas tidak sama dengan makna hur dan informasinya pun berbeda. Bidadari memiliki informasi lain, yaitu makhluk berjenis kelamin perempuan yang merupakan objek pemuasan syahwat para dewa atau manusia laki-laki yang masuk surga seperti kita ketahui dalam cerita sastra lama atau pewayangan. Dengan perkataan
lain, bidadari ini seolah-olah
hanya hadiah untuk kaum lelaki, sedangkan kaum wanita tidak mendapat apa-apa. Ini jelas tidak cocok dengan konsep Al-Qu’an yang menyatakan bahwa orang yang taqwa, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapatkan apa yang selama ini disebut bidadari (sebenarnya adalah hur). Untuk menghindari hal seperti diatas diperlukan cara baru penerjemahan. Menurut Sadtono (1985:1), penerjemahan bukan hanya menitikberatkan bentuk berita dan semua ciri khas bahasa sumber (irama, pilihan kata, peribahasa, kata-kata mutiara, struktur, dan sebagainya). Akan tetapi, yang dipentingkan adalah penerimaan si pembaca, yaitu gerak-balas (reaksi) penerima terhadap
hasil
penerjemahan.
Gerak-balas
ini
sebaiknya
dibandingkan dengan gerak balas penerima asal ketika isi berita itu disampaikan dalam bentuk aslinya.
32
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
Selain cara baru, E. Nida (1969:23) mengemukan ikhwal penerimaan pesan dan komunikasi dalam kaitannya ekuivalensi dinamik atas korespondensi formal. Ia mengatakan jika terjemahan dilihat dari pengertian reseptor, bukan dalam pengertian bentuk respektifnya, sudut pandang lain dikemukakan tentang kemungkinan terjemahan dapat dipahami. Keterpahaman ini bukanlah diukur berdasarkan kata-kata yang dapat dipahami dan bentuk gramatis kalimat, melainkan dalam pengertian dampak total pesan atau amanat yang telah diterima seseorang. Secara tradisional pandangan itu dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut: S
M1
R1 R
R
M2
S
R2
S
Source Language (BaSu) Kotak pertama melambangkan sumber (source) (S), yang mengkomunikasikan pesan atau amanat (message) (M1) yang diterima reseptor atau penerima pertama (R1). Penerjemah bertindak sebagai penerima (reseptor)
dan sekaligus menjadi
sumber, pertama-tama (reseptor) menerima
(message) (M1)
seolah-olah ia R1, dan kemudian menghasilkan pesan yang baru
33
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
(M2) yang secara konteks historis-kultural berbeda sama sekali, yang diharapkannya akan dapat dipahami oleh penerima akhir, R2. Perbedaan bahasa dan latar belakang kultural keduanya digambarkan
oleh
bentuk-bentuk
berbeda.
Yang
persegi
menggambarkan faktor-faktor sumber bahasa dan yang bundar menggambarkan
faktor
penerima
bahasa.
Penerjemah
menggabungkan kedua faktor tersebut, sedangkan kritikus terjemahan, biasanya hanya sekadar memeriksa kedua pesan itu (M1 dan M2) serta membandingkan struktur formal dan maknanya, dan berdasarkan ini ditentukan apakah terjemahan itu ‘konsisten’ (faithful). Adapun pandangan baru dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut:
S
M1
R1 R
S
M2
1 R
Source Language (BaSu)
34
S
R2
2008
Tubagus Chaeru Nugraha
Pesan pertama (M1) telah dirancang bukan kepada orang yang berbahasa dwi bahasa (penerjemah-kritikus), melainkan untuk orang pengguna satu bahasa, monobahasa (R1), dan pemahaman dialah yang harus dibandingkan dengan pemahaman dari R2. Selain pemahaman M2 oleh R2 yang harus dijadikan sebagai ukuran ketepatan dan adekuasi atas M2. Dengan
demikian,
ekuivalensi
dinamik
haruslah
didefinisikan dalam pengertian tingkat mana penerima pesan dalam bahasa penerima menyambutnya dengan cara yang sama secara subtansial seperti reseptor dalam bahasa sumber. Respons ini tidak akan pernah identik karena perbedaan latar belakang secara historis dan cultural. Akan tetapi, akan ada tingkat ekuivalensi respons, atau kalau tidak terjemahan itu gagal memenuhi
tujuannya
karena
komunikasi
bukan
sekadar
informatif, tetapi juga harus ekspresif dan imperatif untuk mencapai tujuan utama komunikasi. £££
! ( ) &
.1 ' % # $ !" * + ( , , .2 2 03 4 " 01 # / .$ -"
: ; <=> 0 : ; 76 8 409 5 * 4 A @ @ + " ?
35