Work engagement karyawan merupakan permasalahan yang sering dibicarakan oleh perusahaan-perusahaan pada beberapa tahun terakhir ini, hal ini dikarenakan work engagement karyawan merupakan suatu hal yang penting untuk memastikan pertumbuhan jangka panjang & peningkatan keuntungan bisnis bagi perusahaan (Catteeuw, Flynn & Vonderhorst, 2007). Karyawan yang engages mampu
meningkatkan
loyalitas
pelanggan,
meningkatkan
penjualan,
meningkatkan keuntungan perusahaan dan cenderung menetap diperusahaan (Roberts & Davenport, 2002). Survei yang dilakukan oleh Gallup Consulting (2013), menjelaskan bahwa karyawan yang engage secara penuh kepada pekerjaannya biasanya hanya berlangsung pada 6 bulan pertama. Ditemukan bahwa sebanyak 40% karyawan menjadi tidak engaged dan 8% benar-benar lepas tangan dengan pekerjaannya setelah 6 bulan periode kerja. Bahkan setelah periode 6 bulan pertama tersebut, level engagament karyawan semakin menurun hingga 10 tahun masa kerja. Dan pada akhirnya engagement mereka menyusut hingga berada di level statis. Lebih lanjut survei yang dilaksanakan beberapa perusahaan konsultan menerangkan bahwa meskipun karyawan yang disengage tetap menunjukkan perilaku peduli terhadap organisasi dan pekerjaan mereka, tetapi mereka merasa kemampuan yang dimiliki tidak cocok dengan tugas-tugas yang diberikan. Terdapat juga karyawan yang bertahan tetapi tidak berkomitmen terhadap pekerjaan dan organisasi, tahapan ekstrim adalah karyawan yang memutuskan untuk keluar dari perusahaan (Chalofsky & Krishna, 2009).
2
Preliminary pada perusahaan yang akan menjadi sampel penelitian menemukan bahwa karyawan yang disengage ditunjukkan dengan perilaku kecurangan dalam absensi terutama pada saat weekdays, dan sering adanya keluhan ketika pulang terlambat terutama pada saat pergantian shift. Karyawan cenderung bersedia untuk lembur dikarenakan adanya insentif bukannya karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan, kurang antusias terhadap pekerjaan yang dilakukan dan turn over yang cukup tinggi terutama di departmen sales & marketing. Ciri-ciri yang ditunjukkan ini memiliki kesesuaian dengan survei yang dilakukan oleh Gallup consulting (2010) dengan mengaitkan perilaku engagement melalui turn over, produktifitas, profitabilitas, keamanan ditempat kerja, dan ketidak hadiran karyawan. Berdasarkan uraian tersebut work engagement karyawan menunjukkan kondisi-kondisi positif yang dimiliki oleh individu serta berhubungan dengan variabel-variabel penting di perusahaan seperti meningkatnya loyalitas pelanggan, tingkat kehadiran yang rendah, dan meningkatnya keuntungan perusahaan. Melalui work engagement karyawan, diharapkan perusahaan mendapatkan peningkatan keuntungan secara berkelanjutan. Bakker dan Leither (1990) menjelaskan engagement berhubungan dengan pengalaman psikologis terhadap suatu pekerjaan. Konteks pekerjaan tersebut menentukan kehadiran dan ketidakhadiran dirinya dalam melaksanakan tugas. Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma & Bakker (2001), Schaufeli & Bakker (2004) mendefinisikan work engagement sebagai kondisi yang positif, dan aktivitas mental yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditandai oleh semangat
3
atau
kekuatan
mental
(vigor),
dedikasi
(dedication),
dan
penghayatan
(absorption). Engagement mengacu pada kondisi perasaan dan pemikiran yang sungguh-sungguh dan konsisten yang tidak hanya fokus pada objek, peristiwa, individu atau perilaku tertentu saja. Dapat dikatakan work engagement adalah kondisi positif yang dimiliki oleh individu terhadap pekerjaannya, dimana dia merasa bersemangat, tertarik dan mau mengerahkan usaha serta terlibat dalam pekerjaan tersebut. Dalam literatur akademik dikatakan bahwa engagement berhubungan namun berbeda dengan konstruk lain dalam perilaku organisasi, seperti yang disampaikan oleh Schaufeli dan Bakker (2010) bahwa work engagement merupakan hubungan antara karyawan dengan pekerjaan mereka, sedangkan, employee engagement mencakup pada hubungan karyawan dengan organisasinya. Begitu pula pendapat yang dikemukakan oleh Saks (2006), bahwa organizational commitment berfokusnya pada organisasi, sedangkan work engagement berfokus pada individu. Dalam Job satisfaction, pekerjaan merupakan sumber pemenuhan dan kepuasan kebutuhan, atau dapat berarti menjauhkan karyawan dari hal-hal yang mengganggu atau dapat menimbulkan ketidakpuasan. Dalam organization citizenship behavior, melibatkan perilaku informal dan sukarela dalam menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan engagement lebih fokus pada kinerja peran formal. Work engagement juga berbeda dengan job involvement (May, Gilson dan Harter, 2004), job involvement sama dengan aspek involvement pada engagement, namun tidak melibatkan adanya aspek energi dan efektivitas.
4
Pada penelitian ini, peneliti memilih work engagement karena menjadi hal yang menarik ketika banyak penelitian menempatkan karyawan yang memiliki work engagement mampu meningkatkan pertumbuhan keuntungan pada bisnis perusahaan, seperti meningkatnya loyalitas pelanggan, berkurangnya turnover, dan karyawan yang engange berperilaku dan memiliki kondisi emosi yang positif. Tiga dimensi dalam work engagement (Schaufeli, Salanova, GonzálezRomá & Bakker, 2002; Schaufeli & Bakker, 2004) yaitu: 1) vigor didefinisikan sebagai level energi yang tinggi, ketahanan mental dalam bekerja, kemauan untuk sungguh-sungguh berusaha dalam bekerja, dan tetap gigih meski menemui kesulitan, 2) dedication didefinisikan sebagai keterlibatan secara kuat di dalam satu pekerjaan ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspiratif, bangga terhadap tantangan dalam pekerjaan itu, 3) absorption didefinisikan dengan berkonsentrasi secara penuh dan minat yang mendalam terhadap pekerjaan, sehingga merasa waktu berlalu dengan cepat dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Saks (2006); Rich, Lepine & Crawford (2010) tentang anteseden dan konsekuensi dari engagement menunjukkan bahwa perceived organizational support merupakan salah satu prediktor yang signfikan terhadap munculnya engagement karyawan. Hakanen, Bakker & Demerouti (2005); Halbesleben, Schaufeli, & Salanova (2007) mengungkapkan bahwa job resources seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan supervisor, feedback terhadap kinerja, keterampilan, autonomy, dan kesempatan untuk belajar memiliki hubungan positif dengan work engagement. Resources tersebut merupakan suatu
5
hal yang penting untuk mendapatkan pengalaman kerja yang positif. Day level personal resources seperti self efficacy, optimism, dan self esteem merupakan prediktor work engagement dan mendukung karyawan untuk engage dengan pekerjaannya (Sonnentag, 2003). Work engagement juga berhubungan positif dengan resources lainnya, yang juga biasa disebut dengan motivator atau energizer, yaitu dukungan organisasi, dukungan atasan, pengakuan dan hadiah, keadilan prosedural (Saks, 2006), karakteristik pekerjaan (Schaufeli & Bakker. 2003), serta praktik pengembangan karir (Satya, 2011), produktivitas, keamanan, kepuasan kerja, komitmen terhadap organisasi dan organizational citizenship behavior (Harter, Schmidt & Hayes, 2002; Saks, 2006), serta berkorelasi negatif dengan tingkat ketidakhadiran karyawan (Jones, Ni & Wilson, 2009). Engagement terjadi ketika karyawan mengetahui apa yang diharapkan, apakah mendapatkan sumber daya untuk menyelesaikan pekerjaan, apakah memiliki kesempatan untuk berpartisipasi terhadap pengembangan serta mendapatkan umpan balik, dan merasa bahwa kontribusi yang diberikan terhadap organisasi dapat diterima atau diapresiasi (Batista-Taran, Shuck, Gutierrez, & Baralt, 2009; Shirey, 2006). Macey & Scheneider (2008) menyatakan bahwa interaksi bawahan dengan atasannya dari segi respek, afeksi, kontribusi dan loyalitas, membuat bawahan merasa lebih engage, karena merasa didukung oleh atasannya, dan karyawan merasa bahwa atasannya percaya pada kemampuannya. Interaksi antara atasan dan bawahan ini disebut dengan leader-member exchange. Leader-member exchange berawal dari teori vertical dyad linkage (VDL), yang diperkenalkan sejak tahun 1970an. Vertical dyad merupakan hubungan yang
6
terjadi antara dua orang yang berbeda pada tingkat atau level yang berbeda dalam suatu organisasi, yaitu atasan dan bawahannya. (Cashman, Dansereau, Graen, & Haga, 1976; Graen & Cashman, 1975). Leader-member exchange (LMX) merupakan teori yang berfokus pada hubungan antara atasan dan bawahan, yang bermula dari teori pertukaran sosial (social exchange) (Erdogen & Enders, 2007). Teori Leader-member exchange berpendapat bahwa atasan atau supervisor mengembangkan hubungan yang berbeda dengan masing-masing bawahan melalui serangkaian pertukaran relasi kerja (work related exchange) (Graen & Cashman, 1975; Graen & Scandura, 1987). Tingkat kedekatan dari hubungan antara pemimpin dan bawahan ini yang menunjukkan adanya indikasi dari leadermember exchange (LMX) pada suatu organisasi (Truckenbrodt, 2000). LMX merupakan sebuah konsep yang mampu menjelaskan bagaimana hubungan antara atasan dan bawahan berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Cogliser et al., 2009). Dengan demikian leader-member exchange merupakan kualitas hubungan karyawan atau interaksinya dengan atasan langsungnya di perusahaan. Teori ini mengungkapkan terdapat perbedaan sikap yang diterima bawahan dari pemimpinnya, berdasarkan perbedaan tersebut, teori LMX terbagi kedalam dua kategori berikut yaitu in-group dan out-group. Kategori in-group, bawahan lebih percaya mendapatkan perhatian dalam porsi yang lebih besar (dari yang seharusnya) dari pemimpin, dan mendapatkan hak-hak khusus. Pada kategori ini, pemimpin cenderung untuk mempercayakan penyelesaian tugas kepada bawahan, pemimpin juga lebih sering berinteraksi dengan bawahan. Kategori yang kedua yaitu out-group, menerangkan bahwa bawahan yang termasuk kedalam kategori
7
ini mendapatkan waktu yang terbatas dari pemimpin dan hubungan antara atasan dan bawahan didasarkan pada hubungan formal. (Robbins, 2007). LMX dikembangkan oleh Liden & Maslyn (1998) yang terdiri dari empat dimensi yang berbeda, yaitu (a) afeksi, merupakan sikap saling mempengaruhi satu sama lain antara atasan dan bawahan berdasarkan daya tarik interpersonal dan tidak hanya dari nilai professional pekerja (seperti, persahabatan), b) loyalitas, merupakan ekspresi dan ungkapan untuk mendukung penuh tujuan dan karakter pribadi anggota lainnya dalam hubungan timbal balik pimpinan dan bawahan (dyad LMX) (seperti, kesetiaan); (c) kontribusi,
merupakan persepsi tentang
kegiatan yang berorientasi pada tugas di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama (eksplisit atau implisit). Sejauhmana anggota bawahan dari dyad menangani tanggung jawab dan menyelesaikan tugas-tugasnya secara bertanggung jawab atau sesuai kontrak kerja, serta sejauhmana atasan memberikan sumber daya dan peluang untuk kegiatan tersebut, (d) Respek profesional, adalah persepsi dimana setiap anggota dalam hubungan tersebut telah menciptakan reputasi didalam atau diluar organisasi. Persepsi ini dapat didasarkan pada data sejarah tentang seseorang, seperti pengalaman pribadi dengan seseorang, komentar yang dibuat menggenai seseorang yang diperoleh secara pribadi dari dalam maupun dari luar organisasi, serta penghargaan atau pengakuan professional yang diperoleh seseorang. Kualitas dari LMX sangat berhubungan dengan beberapa out put penting seperti meningkatnya kinerja atasan dan bawahan, kinerja kelompok, juga akan meningkatkan performa organisasi (Masterson, Lewis, Goldman & Taylor, 2000;
8
Erdogan & Enders, 2007), berhubungan dengan variabel job performance, organization cirizenship behavior, kepuasan kerja, komitmen organisasi, perilaku menyimpang, dan terbuka terhadap perubahan organisasi (Hofmann, Morgeson, & Gerras, 2003; van Dam, Oreg, & Schyns, 2008). LMX mempengaruhi kinerja bawahan melalui pengembangan hubungan ikatan sosial yang lebih kuat (Wang, et al., 2005). Pimpinan yang mendukung kegiatan bawahan, aktif memberikan coaching dan mentoring merupakan strategi penting dalam hubungan atasanbawahan yang bertujuan untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaiknya. Membantu karyawan bekerja dalam potensi mereka, dan membangun budaya learning organization (Joo, 2008). Schuetzendorf (dalam Septarini dan Yuwono, 2002) menyatakan bahwa di Indonesia anggota kelompok memiliki kecenderungan untuk saling mendukung (gotong royong), anggota kelompok menerima perlindungan dari anggota lainnya untuk menciptakan keharmonisan, yang dalam istilah Hofstede (1984), Hui & Trandis (1986) disebut dengan kolektivisme. Kolektifisme adalah sejauhmana individu melandaskan atau mendasarkan identitas dirinya pada keanggotaan kelompok (Hofstede, 1984). Kolektivisme didefinisikan sebagai sistem nilai yang dianut dimana individu memiliki perhatian terhadap kegiatan individu yang lainnya, saling berbagi keuntungan material maupun non-material, memiliki kecenderungan dan kesediaan untuk menerima pendapat atau pandangan orang lain, memiliki perhatian kepada yang lainnya, serta cenderung berpartisipasi dan memberikan kontribusi terhadap kehidupan orang lain (Hui & Trandis, 1986; 225). Didalam bekerja secara tim, kolektivisme
9
meraih tujuan yang mengarah pada kepentingan bersama, menyukai penyelesaian pekerjaan secara bersama, membangun kepercayaan melalui proses afeksi, tanggung jawab terhadap pekerjaan lebih melihat ke sisi kelompok, dan dalam menerima penghargaan melihatnya dari sisi persamaan. Berbeda dengan individualisme, yang dalam meraih tujuan cenderung mandiri, lebih menyukai bekerja secara individu, membangun kepercayaan karena adanya proses kognitif, tanggung jawab pekerjaan lebih melihat ke sisi individual, dan dalam menerima penghargaan melihatnya dari sisi kewajaran atau keadilan (Adler, 2009; McAtaver & Nikolovska, 2010). Elemen paling mendasar pada kolektifisme adalah ikatan bersama dalam kelompok dan satu sama lain yang memiliki kewajiban yang sama (Oyserman et al., 2002). Dengan demikian kolektivisme menekankan pada diri yang interdependen terhadap orang lain, mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan diri dan hubungan antar pribadi yang bersifat emosional. Berbicara mengenai kolektivisme tidak lepas dari konteks individualisme, dalam masyarakat kolektif, tidak semua anggotanya kolektifistik, walaupun demikian, mayoritas anggota masyarakatnya adalah kolektifistik (Triandis, 1996; 2004). Individualisme dan kolektivisme kemudian diperluas menjadi sebuah konstruk yang bersifat multi dimensi dengan menambahkan aspek horizontalvertikal. Dengan demikian, terdapat empat kombinasi: (1) kolektivisme-vertikal (KV), merupakan pola-pola relasi sosial yang lebih menempatkan interdependensi diri dengan orang lain dalam suatu jenjang yang hirarkis, tidak setara dan berorientasi pada tugas dan tanggung jawab. Pola ini lebih berorientasi pada tugas dari figur otoritas, tradisionalis dan menekankan pada kohesivitas kelompok. (2)
10
individulisme-vertikal (IV), merupakan pola-pola relasi sosial yang lebih menempatkan independensi diri terhadap orang lain dalam suatu jenjang hirarkis. Pola ini dicirikan oleh adanya situasi kompetitif dan berorientasi pada prestasi. (3) kolektivisme-horizontal (KH), merupakan pola-pola relasi sosial yang lebih menempatkan interdepedensi diri dengan orang lain dalam suatu jenjang yang setara, pola ini berorientasi pada kerjasama. (4) individualisme-horizontal (IH), merupakan pola-pola relasi sosial yang lebih menempatkan independensi diri terhadap orang lain dalam suatu jenjang yang setara. Pola ini berorientasi pada keunikan individu. Secara
statistik
terdapat
perbedaan
yang
signifikan
pada
sikap
individualistik dan kolektivistik di Brazil, Rusia, India dan china. India memiliki sikap yang lebih individualis dibandingkan Brazil, Rusia dan China. China memiliki sikap kolektivistik yang lebih tinggi dibandingkan dengan Brazil, Rusia dan India. Brazil memiliki sikap individualistik yang lebih tinggi dibandingkaan China (Yu-TeTu, 2011). Hofstede (1984) menempatkan Indonesia sebagai bangsa dengan nilai kolektivisme yang tergolong tinggi bila dibandingkan dengan India, Jepang, Malaysia, Philiphina dan negara-negara Arab. Pada kolektivisme, hubungan interpersonal merupakan salah satu kunci mekanisme yang membuat individu atau karyawan melekat pada organisasi (Wasti, 2003). Kolektivisme menunjukkan sikap dan perilaku yang didasarkan pada adanya kepercayaan bahwa kemampuan bertahan hidup pada unit terkecil berada pada kemampuan kolektivisme bukan pada individualisme (Hui & Triandis, 1986; & Hui, 1998). Kolektivisme memiliki peran dilingkungan kerja,
11
memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan kerja, kebahagiaan serta keharmonisan di lingkungan kerja, kualitas pelayanan, serta dipengaruhi oleh kepribadian dan kolektifitas mempengaruhi peran pemimpin, serta memiliki peran dalam memelihara hubungan karyawan (Erdogan & Liden, 2006). Kolektivisme diduga mampu mempengaruhi hubungan antara LMX dan work engagement melalui keharmonisan, kepedulian, partisipasi, dan bekerja secara berkelompok baik antara rekan kerja maupun antara atasan dan bawahan, sehingga mendorong karyawan untuk engage terhadap pekerjaan dan organisasi. Karyawan dengan LMX yang tinggi akan lebih engage dengan aktivitas di organisasi (e.g., Driver, 2002; Maurer et al., 2002; Paparoidamis, 2005), dan memiliki dorongan yang lebih untuk sukses melalui engaging di aktivitas learning organization dibandingkan karyawan dengan LMX yang rendah. Pemimpin memiliki peran didalam mendorong karyawan untuk engage yaitu dengan mendukung rasa saling percaya, saling menghormati, dan hubungan timbal balik dengan bawahan (Bezuijen, van Dam, van den Berg & Thierry, 2010). Karyawan akan membalas kualitas perlakuan atasan mereka tersebut dengan engage dan menampilkan perilaku yang positif. Hal tersebut diwujudkan dalam work engagement yang tinggi (Fangyi Liao-Holbrook, 2012). Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi, memiliki pengalaman positif terhadap pekerjaannya, dimana dia merasa bersemangat, tertarik dan mau mengerahkan usaha serta terlibat dalam pekerjaan tersebut. Teori work engagement menggarisbawahi pada peranan kualitas pemimpin dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana pemimpin mendorong kinerja karyawan
12
dengan meningkatkan tingkat emosional dan komitmen karyawan (Bakker 2010: 12). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada prediktor yang spesifik yang mempengaruhi tingkat engagement karyawan secara ekslusif. Meskipun begitu kualitas pemimpin memberikan pengaruh yang besar (Gallup, 2008). Kualitas kepemimpinan,
budaya
organisasi,
karakteristik
pekerjaan
sehari-hari,
karakteristik senior eksekutif didalam kelompok, kesempatan untuk belajar dan berkembang,
keuntungan
yang
didapatkan,
dan
strategi
kompensasi
mempengaruhi engagement karyawan di dalam organisasi. (PCI, 2008 & Marketing Leadership Council (MLC), 2006). Terdapat 5 aspek utama yang mendorong dan memberikan kontribusi terhadap karyawan untuk engage, diantaranya hubungan atasan dan bawahan, komunikasi dan harapan yang jelas, kesempatan berkembang baik secara pribadi maupun professional, kesempatan untuk didengarkan dan memberikan kontribusi terhadap organisasi, dan memiliki sumber daya yang dibutuhkan secara efektif (ASTD, 2008; Macy & Schneider, 2008; Maylett & Riboldi, 2008; MLC, 2006; Morrison, 2008; PCI, 2008; Robinson, et al, 2004; Towers-Perrin, 2008). Dari lima aspek tersebut yang paling mempengaruhi adalah peran dari pemimpin (Lockwood, 2007; Towers-Perrin, 2008; Wellins & Concelman, 2005). Piersol (2007) berpendapat bahwa Employee engagement itu bukan suatu konstruk unilateral yang dikhususkan pada karyawan, tetapi merupakan hubungan simbiosis dengan perusahaan secara keseluruhan, dan manajemen memegang tanggung jawab yang utama. Pemimpin bertindak sebagai sandaran di dalam organisasi dan dengan jelas memiliki peran yang banyak dalam mendukung
13
engagement karyawan (Erdogan & Enders, 2007; Robinson et al., 2004). Dalam hal ini kolektivisme akan berusaha untuk menciptakan dan memelihara keharmonisan, kepedulian, partisipasi, dan bekerja secara berkelompok baik antara rekan kerja maupun antara atasan dan bawahan, sehingga mendorong karyawan untuk engage terhadap pekerjaan dan organisasi (Erdogan & Liden, 2006). Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji bagaimana peran leader member exchange (LMX) terhadap work engagement karyawan, serta (2) Bagaimana efek collectivism dalam mempengaruhi peran leader member exchange (LMX) terhadap work engagement karyawan.
Collectivsm
Work Engagement Karyawan
Leader-member Exchange (LMX)
Gambar 1. Model konseptual hipotesis penelitian. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini antara lain : H1
: Terdapat peran leader-member exchange (LMX) terhadap work engagement
karyawan,
semakin
tinggi
kualitas
leader-member
exchange (LMX), maka semakin tinggi work engagement karyawan. H2
: Collectivism memperkuat kualitas peran leader-member exchange (LMX) terhadap work engagement karyawan.
14