III.
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Pendekatan Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa meningkatnya persepsi masyarakat yang melihat adanya hubungan tidak searah antara keberhasilan perkembangan ekonomi dengan unsur pemerataan. Artinya bahwa dampak tidak langsung dari aktivitas pembangunan yang hanya berorientasi kepada pertumbuhan telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan dapat dikatakan terjadinya kemiskinan secara tidak disengaja.
sosial atau Masalah
kemiskinan apabila tidak ditanggulangi akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai kegiatan antara lain dapat menimbulkan disintegrasi sosial dan kerusakan lingkungan. Hal tersebut selama ini terjadi pada sebagian masyarakat pesisir. Desa-desa pesisir yang memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, seharusnya memberikan kehidupan yang baik bagi warganya. Tetapi kenyataan menunjukkan, desa-desa pesisir sangat mengenaskan. Sebagian besar nelayan belum terangkat kehidupan ekonominya dari batas garis kemiskinan. Kondisi seperti diatas yang terjadi di negara ini tidak terlepas dari kesalahan masa lampau. Akibat terjadinya Government policy failure sebagai akibat pendekatan pembangunan yang cenderung secara top-down karena kurang mengetahui kondisi ekosistem dan tatanan nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial.
Hal ini didorong oleh kesalahan pengaturan dan perancangan
program dan proyek pembangunan yang berdampak pada kemiskinan masyarakat
desa pesisir.
Ketidakseimbangan antara eksploitasi sumberdaya pedesaan dan
pembagian manfaat hasil-hasil
“pembangunan” menciptakan keadaan rawan
goncangan-goncangan yang mengarah pada krisis ekonomi demi krisis ekonomi (Rustiadi, 2001). Salah satu upaya dalam otonomi daerah untuk menuju kearah pembangunan yang lebih maju dalam era desentralisasi adalah dengan mengoptimalkan daerah pesisir (desa pesisir) sebagai pusat pertumbuhan baru mengingat potensi wilayah pesisir yang begitu besar.
Perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ciri khas suatu wilayah. Oleh sebab itu keadaan ekonomi suatu kawasan perlu diinformasikan sebagai bahan acuan dan arahan
pengembangan
yang
berkelanjutan.
Selain
itu
perlu
adanya
pengidentifikasian masalah-masalah dan potensi desa-desa pesisir secara menyeluruh, sehingga program pembangunan dan pengembangan yang akan dilakukan lebih terarah. Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah ingin melihat potensi yang dimiliki oleh setiap desa pesisir yang kemudian dianalisa dengan analisis tipologi wilayah untuk melihat tipe pengembangan untuk tiap desa pesisir. Dalam kerangka untuk mendapatkan pandangan para stakeholder mengenai pemilihan prioritas pemanfaatan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung, diperoleh melalui penerapan teori AHP.
Adapun langkah-langkah analisis data agar dapat
mengoptimalkan strategi pengembangan desa-desa pesisir di Kota Bandar Lampung adalah mengikuti Saaty (1993): (1) identifikasi masalah; (2) penyusunan struktur
hierarki;
(3)
penyusunan
matriks
perbandingan
berpasangan; 27
(4) menghitung matriks pendapat individu; gabungan;
(5) menghitung matriks pendapat
(6) pengolahan horizontal; (7) pengolahan vertikal;
(8) revisi
pendapat. Dalam mendefinisikan masalah dan solusi yang diinginkan, penelitian ini menggunakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk memilih atau menentukan prioritas kegiatan pada kawasan konflik penggunaan lahan dalam pemanfaatan wilayah desa pesisir yang optimal. Untuk memecahkan konflik yang terjadi dan
solusi
yang
diinginkan,
maka
perlu
diketahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi keputusan dalam mengambil suatu kebijakan. Ada tiga aspek pertimbangan yang merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan, yaitu: •
Aspek ekonomi, terdiri atas kriteria lapangan kerja, pendapatan masyarakat dan optimasi pemanfaatan.
•
Aspek lingkungan, terdiri atas kriteria degradasi lingkungan, dan tujuan konservasi.
•
Aspek sosial, terdiri atas kriteria pemerataan, tujuan budaya, dan aktivitas sosial. Dalam
menyusun
struktur
hierarki,
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi ketiga aspek tersebut dalam menentukan arahan pengembangan desa pesisir disusun dalam suatu struktur hierarki sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.
28
Gbr 2. Strkr Hirarki
29
3.2
Kerangka Pemikiran Penelitian Perkembangan Kota Bandar Lampung yang pesat akan membawa
pengaruh besar terhadap lingkungannya termasuk lingkungan pesisir. Hal ini karena perkembangan kota akan diiringi dengan perkembangan teknologi, industri, pertumbuhan penduduk, sarana pemukiman, fasilitas umum dan sosial, serta sarana transportasi yang akan memberikan tekanan terhadap lingkungan. Apabila hal ini tidak dikelola, maka kemungkinan besar akan menimbulkan masalah lingkungan (fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi, dan budaya) yang lebih kompleks
dan
mengakibatkan
degradasi
lingkungan
termasuk
degradasi
lingkungan pesisir yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir terutama nelayan. Kondisi eksisting di pesisir Kota Bandar Lampung antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kondisi Biofisik Beberapa tahun terakhir ini terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan. Hal ini diduga karena pengaruh limbah industri dan rumah tangga di pesisir. Berdasarkan Rencana Strategis Pesisir Provinsi Lampung (2001), pesisir Kota Bandar Lampung diperuntukkan bagi kawasan pariwisata, industri dan budaya yang membutuhkan perairan yang bersih dan jernih. Di lain pihak, pada perairan yang sama terdapat industri-industri yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan, sehingga menimbulkan konflik antara berbagai kegiatan yang sekarang berlangsung di Teluk Lampung.
Keberadaan terumbu karang dan
30
mangrove masih dapat ditemui di beberapa tempat, antara lain di Kecamatan Panjang, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Ancaman intrusi air laut di wilayah ini mulai dirasakan masyarakat sekitar.
Hal ini disebabkan antara lain oleh
pemakaian air bawah tanah yang tinggi untuk aktivitas industri dan perumahan. Ancaman lain yang juga kerap melanda pesisir Kota Bandar Lampung adalah masalah banjir. Banjir yang terjadi antara lain disebabkan oleh alur sungai yang menyempit karena pemukiman atau reklamasi pantai di bantaran sungai dan pembuangan sampah ke alur sungai.
b. Kondisi Sosial Ekonomi Pesisir Bandar Lampung masih menyimpan potensi besar dalam pariwisata pantai yang ditunjang oleh letaknya yang dekat dengan pusat kota. Sumberdaya alam berupa pariwisata pantai yang besar ini sayangnya belum dikelola secara optimal dan pengelolaan yang ada sekarang belum memperhatikan aspek keberlanjutan.
Masalah sosial ekonomi yang lain adalah tingginya tingkat
pengeboman ikan. Cara seperti ini memang mudah untuk dilakukan namun sangat membahayakan nelayan maupun lingkungan sekitarnya. Penggunaan bahan peledak ini menjadikan metode penangkapan ikan menjadi tidak selektif karena peluang matinya ikan-ikan berukuran kecil menjadi semakin tinggi, bahkan tidak jarang dapat merusak terumbu karang. Komposisi penduduk Bandar Lampung berdasarkan etnik sangat heterogen yang didominasi oleh etnis Bugis, Jawa, Banten, dan penduduk asli Lampung sendiri. Keragaman ini berpotensi menjadi salah satu pemicu konflik. Selain itu
31
permasalahan sosial ekonomi lain di wilayah ini adalah rendahnya mutu sumberdaya manusia (SDM) yang rata-rata tamat sekolah dasar serta masalah miskin perkotaan.
c. Kondisi Kelembagaan Kelembagaan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengelolaan pesisir secara terpadu. Hal yang menjadi masalah berkenaan dengan kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kota Bandar Lampung, antara lain: institusi pengelola wilayah pesisir belum berfungsi secara optimal, rendahnya penaatan dan penegakan hukum disamping belum adanya peraturan daerah yang mengatur secara khusus pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, serta penataan ruang wilayah pesisir yang belum optimal. Kondisi diatas merupakan permasalahan yang terdapat di wilayah pesisir Kota Bandar Lampung.
Pemerintah Kota Bandar Lampung sebenarnya telah
menuangkan berbagai kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun sampai sejauh ini, berbagai kebijakan yang telah dituangkan belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara luas dan merata. Tingginya aktivitas dan terbatasnya lahan pesisir di Kota Bandar Lampung pada akhirnya akan menimbulkan konflik pemanfaatan kawasan,
termasuk
wilayah pesisir daratan khususnya desa-desa pesisir. Permasalahan utama yang saat ini melanda desa-desa pesisir di Kota Bandar Lampung berakar pada belum optimalnya arahan pengembangan di kawasan penelitian.
32
Kawasan pesisir Kota Bandar Lampung merupakan kawasan yang paling mendapat tekanan di Provinsi Lampung akibat tingginya intensitas pemanfaatan sumberdaya di kawasan ini. Berkembangnya kawasan ini menjadi sentra industri, pemukiman, perhubungan, pariwisata, dan perikanan menjadikan kawasan ini salah satu kawasan yang paling terancam secara ekologis dan rawan terhadap berbagai konflik sosial ekonomi. Adanya studi mengenai identifikasi potensi dan arah pengembangan desa-desa di kawasan ini diharapkan dapat memberikan kerangka
dasar
penyusunan
kebijakan
pengembangan
dalam
pengelolaan
sumberdaya
secara
berkelanjutan. Analisis
penelitian
ini
menggunakan
dua
pendekatan, yaitu proses hierarki analitik (AHP) dan analisis tipologi wilayah. Analisis AHP ditujukan untuk mendeskripsikan pandangan para stakeholder mengenai pengelolaan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung.
Sedangkan
analisis tipologi wilayah terbagi atas dua, yaitu analisis skalogram yang bertujuan untuk melihat keragaan relatif tingkat perkembangan desa/kelurahan pesisir dibanding dengan desa/kelurahan umumnya di Bandar Lampung dan analisis multivariate yang terdiri dari analisis komponen utama (Principal Component Analysis = PCA), analisis kelompok (Cluster Analysis), dan analisis fungsi diskriminansi (Discriminant Function Analysis = DFA) yang bertujuan melihat keterkaitan antara tipologi dan perkembangan desa dengan faktor-faktor penciri/karakteristik desa. Selanjutnya hasil analisis tipologi dituangkan dalam peta melalui deskripsi spasial menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Hasil analisis ini kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk menyusun strategi 33
pengembangan dan pengelolaan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung. Secara singkat, kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 3.
3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan mulai bulan Pebruari 2003 sampai dengan bulan April 2003. Adapun lokasi penelitian meliputi 12 desa pesisir Kota Bandar Lampung yang termasuk dalam tiga kecamatan (Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kecamatan Teluk Betung Barat dan Kecamatan Panjang),
yaitu: Sukamaju,
Keteguhan, Kota Karang, Pesawahan, Kangkung, Bumi Waras, Sukaraja, Srengsem, Panjang Selatan, Panjang Utara, Way Lunik, dan Ketapang (Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Lampung, 2000). Peta wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
34
Kondisi Eksisting Wilayah Pesisir Kota Bandar Lampung
BIOFISIK : -Penurunan jumlah ikan -Penurunan luasan mangrove dan terumbu karang -Ancaman intrusi air laut -Ancaman Banjir
SOSIAL EKONOMI : -Belum optimalnya pariwisata pantai -Tingginya tingkat pengeboman ikan -Multi etnik -Rendahnya SDM -Kemiskinan
KELEMBAGAAN : -Lembaga pengelola pesisir belum berfungsi optimal -Rendahnya penaatan dan penegakan hokum -Penataan ruang wilayah pesisir belum optimal
Konflik Pemanfaatan Kawasan Permasalahan Desa-desa Pesisir Kota Bandar Lampung : Belum optimalnya arahan pengembangan Analisis Pengembangan
Analisis Tipologi Wilayah
Proses Hierarki Analitik (AHP)
Deskripsi pandangan stakeholders mengenai pengelolaan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung
Analisis Skalogram
Analisis Multivariate : PCA, Analisis Kelompok, Analisis Diskriminansi
Keragaan relatif tingkat perkembangan desa-desa pesisir dibanding desa/kelurahan pada umumnya di Kota Bandar Lampung
Keterkaitan antara tipologi dan perkembangan desa dengan faktor-faktor penciri/karakteristik desa
Deskripsi Spasial (untuk tampilan peta) dengan SIG.
Arah Pengembangan Desa-desa Pesisir Kota Bandar Lampung
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
35
Gambar 4. Peta Wilayah Penelitian
36