[118] Tak Ada Toleransi bagi Kemaksiatan Monday, 24 February 2014 03:19
KH. Hafidz Abdurrahman, Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI
Meski penguasanya mengaku beragama Islam, namun karena sistem yang diterapkannya bukan Islam maka akidah tauhid ini pun disejajarkan dengan akidah musyrik. Tak cukup itu, penguasa yang amaliahnya tidak mencerminkan Islam itu memprovokasi kaum Muslim untuk murtad dengan mempertontonkan dan mengajak perayaan Natal Bersama. Di seputar itulah wartawan Media Umat berbincang dengan Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia Hafidz Abdurrahman. Berikut kutipannya.
Mengapa dalam beberapa tahun terakhir setiap Natal, negeri yang mayoritas Muslim ini seolah jadi negeri Kristen?
Pertama, karena penguasa dan negara ini bukan penguasa dan negara yang bertindak untuk menjaga Islam. Meski, mereka Muslim, dan negeri ini rakyatnya mayoritas Muslim. Mereka membiarkan umat Islam menyaksikan kekufuran masuk hingga ke rumah-rumah mereka, melalui tayangan televisi, dan sebagainya. Bahkan mereka memprovokasi umat Islam dengan kekufuran.
Kedua, karena bukan penjaga Islam, maka penguasa dan penyelenggara negara ini tidak merasa risih, ketika Islam disamakan dengan agama lain. Padahal, Nabi bersabda, al-Isl amu ya’lu wala yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi, dan tidak bisa dikalahkan ketinggiannya oleh yang lain).
1/6
[118] Tak Ada Toleransi bagi Kemaksiatan Monday, 24 February 2014 03:19
Ketiga, karena penguasa negeri ini tidak paham batas toleransi beragama. Toleransi dan kebebasan beragama, artinya orang dibiarkan memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak boleh menyampaikan atau menyebarkan agama, bahkan memprovokasi orang yang sudah beragama Islam untuk murtad.
Apakah fenomena sebaliknya, di negeri yang minoritas Muslim, setiap Idul Fitri, berbagai media setempat dan para pejabat serta karyawan menyemarakkan Hari Raya umat Islam tersebut?
Tidak ada. Bahkan, di negara-negara Barat, kaum Muslim pun tidak mendapatkan libur hari raya. Hari Raya kaum Muslim tidak dijadikan sebagai libur nasional, sebagaimana Natal. Karena itu, mereka tetap bekerja, meski ada yang terpaksa mengambil cuti. Kantor-kantor pemerintah maupun swasta pun masih tetap buka ketika Hari Raya Idul Fitri maupun Hari Raya Idul Adha. Inilah ironi kebebasan beragama yang digembar-gemborkan oleh kaum kafir Barat.
Lantas apakah boleh seorang Muslim mengikuti perayaan Natal Bersama?
Tidak boleh.
Mengapa?
2/6
[118] Tak Ada Toleransi bagi Kemaksiatan Monday, 24 February 2014 03:19
Pertama, karena ada larangan bagi kaum Muslim untuk yasyhaduna az-zura (menyaksikan kemaksiatan), dalam QS al-Furqan: 72. Menurut al-Qurthubi, yasyhaduna az-zura ini adalah menghadirkan kebohongan dan kebatilan, serta menyaksikannya.
Karena, az-zura ini meliputi semua bentuk kebatilan. Yang paling besar adalah syirik, dan mengagungkan sekutu Allah. Ibn ‘Abbas, menjelaskan, makna yasyhaduna az-zura ini adalah menyaksikan hari raya orang-orang musyrik. Termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.
Kedua, perayaan Natal adalah bagian dari ajaran agama, karena itu merayakannya bagian dari ritual agama mereka. Orang Islam yang merayakannya, bukan hanya maksiat, tetapi bisa sampai pada level murtad. Karena, telah melakukan ritual agama lain.
Ketiga, adanya larangan menyerupai (tasyabbuh) kaum kafir, maka lebih dari menyerupai tentu lebih tidak boleh lagi. Merayakan Natal, bukan hanya menyerupai orang Kristen, tetapi telah mempraktikkan ritual mereka. Karena itu, jelas lebih tidak boleh lagi.
Tapi kalau hanya ikut menyemarakkan, tanpa meyakini dan tidak mengikuti ibadah ritualnya boleh?
Juga tidak boleh. Menyemarakkan, meramaikan atau membantu mempublikasikan juga tidak boleh. Karena memang ada larangan dalam QS an-Nur [24]: 19. “Sesungguhnya orang-orang yang suka perkara keji (fakhis yah) itu
3/6
[118] Tak Ada Toleransi bagi Kemaksiatan Monday, 24 February 2014 03:19
tersebar di tengah-tengah orang Mukmin, maka mereka berhak mendapatkan azab yang pedih di dunia dan akhirat.”
Menyebarkan fakhisyah itu bukan hanya masalah pornografi dan pornoaksi, tetapi juga semua bentuk kemaksiatan. QS Ali ‘Imran: 135 menyebutkan lafadz fakhisyah , menurut al-Qurthubi, meliputi semua bentuk kemaksiatan.
Sedangkan fakhisyah dalam QS al-A’raf: 28, menurut al-Hasan, sebagaimana yang dinukil oleh al-Qurthubi, adalah syirik dan kekufuran. Karena itu, menyemarakkan Perayaan Natal, meramaikan dan mempublikasikannya jelas menyebarluaskan kekufuran dan syirik yang diharamkan. Hukumnya jelas haram.
Bagaimana dengan seorang karyawan yang diintruksikan oleh atasannya agar mengenakan atribut Natal? Pakai topi sinter klas misalnya.
Mengenakan atribut Natal adalah bagian dari mengenakan pakaian yang terkait dengan agama tertentu, yaitu Kristen, dan ini hukumnya haram bagi orang Islam. Termasuk menjadi Sinterklas juga haram.
Kalau seorang pejabat negara, seperti presiden, gubernur dan lain sebagainya, boleh?
Tetap tidak boleh.
4/6
[118] Tak Ada Toleransi bagi Kemaksiatan Monday, 24 February 2014 03:19
Kan mereka adalah penguasa di negeri yang menjadikan Kristen sebagai salah satu agama resmi...
Tetapi mereka Muslim, dan mereka wajib terikat dengan agama mereka, Islam. Karena Islam, jelas telah mengharamkan tindakan ini. Sebagai penguasa Muslim, yang memberikan perlindungan dan kebebasan kepada umat non-Muslim untuk memeluk dan menjalankan agamanya, tidak mengharuskan mereka untuk ikut merayakannya. Karena tindakan ini dilarang oleh agama mereka.
Namun, jika sekarang mereka melakukannya, karena faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, antara lain, karena mereka tidak paham, batas toleransi beragama dan kebebasan beragama. Selain itu, karena mereka juga tidak mengamalkan ajaran Islam. Mereka juga bukan penjaga Islam. Bahkan, meski KTP-nya Islam, tetapi amaliyah mereka tidak jelas, dan tidak lagi bisa dibedakan, apakah mereka masih Muslim atau tidak.
Berarti kalau begitu, Islam adalah agama yang tidak toleran?
Sekali lagi, toleransi itu ada batasannya. Kebebasan beragama juga ada batasannya. Islam menoleransikan pemeluk agama lain hidup di dalam Negara Islam sebagai dzimmah (jaminan keamanan). Mereka dibiarkan beribadah, menjalankan agama mereka. Menikah, bercerai, makan, minum dan berpakaian menurut keyakinan agama mereka. Mereka ditoleransi, dilindungi dan diberi kebebasan untuk melakukan semuanya.
Tetapi, mereka tidak boleh mendemonstrasikan, mengajak, bahkan memprovokasi umat Islam untuk menyaksikan, mengikuti apalagi mempraktikkan ajaran agama mereka. Inilah batasan yang tegas tentang toleransi beragama dalam Islam.
Karena itu, justru Islam sangat toleran. Dalam penerapannya secara total di masa khilafah,
5/6
[118] Tak Ada Toleransi bagi Kemaksiatan Monday, 24 February 2014 03:19
dengan toleransinya, maka Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan di Spanyol selama beratuss-ratus tahun. Orang Kristen Koptik di Mesir masih bertahan hingga sekarang, karena toleransi yang diberikan Islam.
Bandingkan dengan umat Islam di Spanyol tatkala Kerajaan Kristen yang berkuasa, dengan Mahkamah Inkusisinya, umat Islam dipaksa murtad dan dibantai. []
6/6