Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Demokratisasi Prosedural dalam Pilkada Jakarta Robi Nurhadi1 Indonesia belum memiliki syarat-syarat struktural demokrasi yang baik, maka janganlah berilusi mengenai penampakan perubahan rezim langsung ke arah demokrasi. Tetapi, tentang adanya perubahan paradigma yang dramatis, demokrasi di Indonesia adalah mungkin. Philippe C. Schmitter (2001)
Reformasi 1998 dapatlah dikatakan sebagai pembukaan lembaran baru sejarah politik Indonesia menuju perubahan paradigma yang dramatis, sebagaimana diungkapkan Schmitter di atas. Namun demikian, demokratisasi di Indonesia tidak diiringi perubahan rezim yang sesungguhnya. Fenomena ini menarik, karena mempertanyakan kemungkinan perubahan political mindset pada para pelaku politik yang sama. Apakah iklim dan struktur politik yang telah direformasi mampu mendorong ke arah demokratisasi yang demokratis, atau hanya menuju demokratisasi yang prosedural? Pertanyaan penelitian tersebut terjawab pada kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di DKI Jakarta tahun 2007. Tentang persoalan demokratisasi dan masa depannya di Indonesia, Maswadi Rauf (1995) pesimis. Menurutnya, demokratisasi adalah sebuah proses tanpa akhir, karena negara demokratis sebagaimana diinginkan teori demokrasi tidak akan pernah bisa dihasilkan. Kedaulatan rakyat yang sesungguhnya tidak pernah akan tercapai, karena selalu ada kemungkinan
masuknya unsur-unsur kepentingan kelompok tertentu di dalam kebijakan
pemerintah yang bertentangan atau tidak berhubungan sama sekali dangan kepentingan rakyat. Akibatnya, kedaulatan rakyat tidak berlaku sepenuhnya. Pernyataan Maswadi Rauf di atas menjadi dasar hipotesis kajian ini: demokratisasi dalam Pilkada
DKI Jakarta tahun 2007 tidak berlangsung demokratis, melainkan hanya sebuah
demokratisasi yang masih sebatas proseduralis. Kenyataan demokartisasi prosedural di tengah perubahan paradigma politik yang dramatis sejak reformasi 1998 memunculkan hipotesis turunan: menangnya rezim lama (political actors with old political mindset) dalam Pilkada Jakarta. Hipotesis ini membantah tesis Philippe C. Schmitter di atas.
1
Dosen FISIP Universitas Nasional, kandidat doktor pada School Of History, Politic and Strategy, Universitas
Kebangsaan Malaysia.
1
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Demokratisasi Demokratis, Demokratisasi Prosedural Demokrasi, yang telah menjadi pilihan sistem berbangsa di hampir seluruh negara di dunia, ternyata masih mengalami kegamangan konseptual. Tidak ada kesepakatan konsepsional dalam demokrasi, karena semua teoritikus berangkat dari persepsi induktif atau deduktif masingmasing. Kekuatan konsepsional untuk mendefinisikan konsep demokrasi tidak lepas dari pertarungan terselubung di antara para teoritikus dan kentingan academic users. Karena itu, Robert Dahl (dalam Rauf 1997:3) menyatakan “…there is no democratic theory…there are only democratic theories.” Demokrasi adalah sebuah gagasan bermasyarakat yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan (kekuasan), di mana tidak ada satu pihak pun yang boleh melakukan tindakan politik atas nama rakyat tanpa persetujuan rakyat yang mendelegasikan kekuasannya. Sebagai sebuah gagasan, demokrasi memerlukan prosedur untuk mendelegasikan kekuasan rakyat atau untuk mendepositkan sejumlah kekuasaan tertentu dari rakyat kepada para pihak yang akan mengatur kepentingan rakyat. Karena banyak dan kompleksnya kepentingan rakyat di sebuah negara, maka prosedur-prosedur demokrasi tersebut sangatlah banyak dan bervariasi. Prosedur-prosedur demokrasi tersebut dituangkan secara tertulis melalui konstitusi beserta peraturan
perundang-undangan
lainnya.
Melalui
prosedur-prosedur
inilah
praktik
berdemokrasi diimplementasikan. Uraian di atas memperlihatkan bahwa demokrasi tidak hanya pada tataran gagasan. Konsepi demokrasi mengintegrasikan gagasan demokrasi, prosedur demokrasi, dan praktik demokrasi, yang semuanya saling bersinergi. Ketiga tataran tersebut dituntut demokratis, menyangkut nilai-nilai yang harus ada pada ketiga tataran demokrasi tersebut. Nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah tanggung jawab (responsibilitas), sehubungan rakyat telah mendelegasikan kekuasan kolektifnya. Nilai dasar demokrasi tersebut, oleh Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001:26-27), diderivasikan pada nilai kebebasan dan kejujuran untuk sebuah prosedur derivatif demokrasi seperti pemilihan umum. Nilai-nilai derivatif dan prosedur-prosedur derivatif demokrasi akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan nilai yang dituntut sejalan perkembangan pemikiran rakyat sebagai pemegang kekuasan kolektif. Misalnya, rakyat menuntut nilai fairness (bersaing secara sehat) pada pemilihan kepala daerah atau pemilihan seseorang/kelompok yang akan memegang kekuasan kolektif dari rakyat, dapatlah dikatakan tidak demokratis apabila ada gagasan, prosedur, atau praktik berdemokrasi yang melanggar nilai dasar dan nilai derivatif demokrasi.
2
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Tuntutan nilai-nilai demokrasi melekat pada ketiga tataran demokrasi. Apabila nilai-nilai demokrasi terealisasi baru pada tataran prosedur saja, maka demokrasi baru pada tahap demokratisasi prosedural. Artinya, gagasan demokrasi memang sudah terjabarkan dalam prosedur-prosedur politik, yang tertuang dalam konstitusi, undang-undang, dan peraturan lainnya. Paling tidak, nilai-nilai yang termanifestasikan pada tataran prosedur sudah memenuhi standar pemikiran bahwa nilai yang tertuang dalam undang-undang atau peraturan yang dibuat, misalnya, sudah menyiratkan keinginan para pemegang kekuasaan untuk bertanggung jawab atas kekuasan rakyat yang didelegasikan kepadanya. Apabila nilai-nilai demokrasi sudah terealisasi sampai pada tahapan praktik politik, maka dapat dikatakan bahwa demokrasi memasuki babak demokratisasi yang demokratis. Demokratisasi dapat dilihat dari dua perspektif. Dalam perspektif praktis, demokratisasi adalah proses dimana gagasan demokrasi sudah terjabarkan pada prosedur-prosedur demokrasi dan praktik demokrasi, meski berlangsung dengan tanpa atau dengan keterbatasan implementasi nilai-nilai demokrasi. Sedangkan dalam perspektif nilai, demokratisasi adalah proses dimana nilai-nilai dalam gagasan demokrasi sudah terimplementasikan pada tataran prosedur dan praktik berdemokrasi.
Pilkada Jakarta dan Demokrasi ‘Minimalis’ Gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) merupakan buah dari reformasi politik yang berlangsung sejak tahun 1998. Perubahan paradigma politik lokal, sesungguhnya terjadi lebih awal, yaitu sejak dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tetapi, dalam soal pemilihan kepemimpinan secara langsung, gagasan Pilpres secara langsung lebih dulu berlangsung yakni sejak 2004. Sementara prosedur Pilkada baru secara formal diintrodusir dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada, yang mulai diselenggarakan tahun 2005, merupakan bagian dari efek domino perubahan politik di Indonesia dalam bidang pemerintahan daerah. Rentang waktu yang relatif singkat bagi perubahan prosedur politik ini, seperti menegaskan fakta bahwa di Indonesia telah terjadi perubahan paradigma politik yang dramatis, sebaimana dipersyaratkan
Schmitter
untuk
memungkinkan
terjadinya
demokratisasi.
Perubahan
paradigma politik yang dramatis ini diiringi dengan menguatnya peran partai politik, civil society, pres, dan lembaga-lembaga pendukung demokrasi seperti Komosi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Berbagai perangkat persyaratan struktural demokrasi tersebut eksis di Jakarta, tidak hanya pada proses Pilkada 2007, melaikan sejak Pemilu pertama era reformasi tahun 1999. Mengacu pandangan Philippe C. Schmitter,
3
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 semestinya terjadi dua fakta politik berikutnya, yaitu kemungkinan terjadinya demokratisasi (dalam perspektif nilai) dan penampakan perubahan rezim ke arah demokrasi. Kenyataan yang terjadi pada Pilkada Jakarta memperlihatkan sebaliknya. Pada Pilkada Jakarta 2007, publik dipertontonkan nilai-nilai demokrasi yang ‘minimalis’. Mulai dari minimalnya gagasan demokrasi pada tataran prosedural, hingga tidak demokratisnya gagasan demokrasi dalam tataran praktis.
‘Pilkadal’ dalam Pilkada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung di Jakarta berlangsung dengan posisi sebagian warga Jakata harus menelan ‘Pilkadal’ (baca: pil pahit). ‘Pilkadal’ tersebut berkaitan dengan dua persoalan politik yang besinergi negatif. Pertama, Pilkada harus digelar di tengah perdebatan tentang undang-undang mana yang harus digunakan: antara UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku umum untuk semua daerah dan UU Pemerintah DKI Jakarta Sebagai Ibukota NKRI yang berlaku khusus yang masih dalam pembahasan. Kedua, Pilkada harus digelar di tengah perdebatan yang belum usai tentang siapa saja yang boleh ikut dipilih: apakah hanya yang diusung oleh parpol atau juga calon-calon independen.2 Persoalan tersebut semakin menguat manakala arus tuntutan akan calon independen yang tinggi3 bertemu dengan akseptabilitas politik di tingkat pengambil kebijakan seperti Pansus DPR untuk RUU Jakarta4 dan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui tuntutan ini. Pilkada yang digelar dengan mengabaikan tuntutan tersebut mempengaruhi kelas menengah, yang umumnya kelompok rasional. Kenyataan politik yang dianggap ‘menganiaya’ demokrasi ini ditambah dengan dominasi salah satu kandidat terhadap partai-partai politik yang meminimalkan pilihan politik. Fenomena tersebut paling tidak menyisakan dua persoalan politik yang mempengaruhi demokratisasi politik lokal di Jakarta. Pertama, persoalan munculnya golput (golongan putih). Prosentase golput yang telah melampaui batas 30% jumlah pemilih membuat penyalenggaraan Pilkada dan gubernur terpilih mengalami persoalan legitimasi. Legitimasi politik menjadi persoalan terpenting dalam pemilihan langsung, karena hal itu mempengaruhi arus dukungan (atau penolakan) politik dalam proses menjalankan pemerintahan.
Robi Nurhadi, Pilkadal dalam Pilkadal Jakarta, Media Indonesia (17 Juli 2007). Berdasarkan beberapa survey, Media Indonesia (11 Juni 2007, halaman 17). 4 Kompas 13 Juni 2007. 2 3
4
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Kedua, persoalan muculnya golhit (golongan hitam). Golhit adalah golongan yang melakukan malpraktek pada setiap proses Pilkada. Pergerakan golhit ditandai dengan munculnya cara-cara yang tidak sehat dalam berkompetisi sehingga persaingan menjadi tidak fair. Persaingan tidak sehat ini pada akhirnya menjadi benih konflik, baik selama proses maupun pasca Pilkada. Keberadaan golhit jauh lebih berbahaya dibanding golput, karena melibatkan banyak pihak dengan berbagai variasi pelanggaran. Misalnya, tim sukses para kandidat yang melakukan black campingn, anggota KPUD yang diduga tidak netral, adanya oknum birokrasi yang diduga berpihak pada salah satu calon, LSM atau Ormas sebagai tulang punggung civil society yang terlibat dalam aksi dukung-mendukung secara taklid, dan lain sebagainya.5 Aksi para golhit tersebut, secara silent, menimbulkan persoalan krusial. Pada tingkat dampak yang sederhana, membuat masyarakat pemilih yang tidak berpihak (floating mass) diliputi rasa frustasi, dan akibatnya tidak menggunakan hak pilihnya alias golput. Sedangkan pada tingkatan dampak yang lebih ekstrim, sebagian pendukung kandidat yang merasa dicurangi tergiring untuk tidak menerima kekalahan dalam Pilkada. Fenomena golhit senantiasa ada pada pemilu-pemilu di Jakarta. Tetapi, sepanjang pelaksanaan pemilu setelah reformasi, Pilkada Jakarta tahun 2007 meniupkan aroma keberadaan golhit yang lebih kental. Hal ini dapat dilihat dari fenomena black campingn yang masuk ke ruangruang publik setingkat RT/RW. Belum lagi adanya tuduhan pemerasan oleh partai-partai politik terhadap jenderal-jenderal yang mau mencalonkan menjadi wakil gubernur tapi tidak jadi, ditambah dengan dugaan ketikadaknetralan aparat birokrasi, dan politicking jumlah pemilih6, maka lengkaplah ‘pilkadal’ dalam Pilkada Jakarta.
Anomali Parpol Dari sekitar duapuluh parpol yang eksis di DPRD Jakarta, lebih dari tiga parpol punya ‘tiket’ untuk mencalonkan keder sebagai cagub/cawagub DKI. Tetapi hanya muncul dua pasangan calon, satu pasang diusung oleh satu parpol (PKS) dan satu lainnya oleh koalisi sekitar dua puluh parpol. PKS mencalonkan Adang Daradjatun-Dani Anwar, sedangkan ‘koalisi duapuluhan parpol’ mencalonkan Fauzi Bowo (Wakil Gubernur DKI Jakarta) dengan pasangan Mayjen TNI Prijanto (Asisten Teritoral TNI). Calon-calon tesebut bukanlah kader partainya, kecuali Dani Anwar (mantan ketua Komisi E DPRD Jakarta dari PKS). Fenomena ini memunculkan pertanyaan politik yang menggelikan. Pertama, apakah parpol-parpol koalisi tersebut tidak mempunyai kader atau tidak berhasil mengkader? Kedua, sudah sepercaya itukah parpol-parpol kepada kader di luar partai untuk memperjuangkan kepentingan pemilih Beberapa media ibukota, Tim Sukses Fauzi Bowo-Prijanto, dan Tim Sukses Adang Daradjatun-Dani Anwar saling melaporkan mengenai persoalan-persoalan tersebut.
5
6
Survey LPES, Juni 2007.
5
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 parpolnya?
Yang lebih menarik lagi adalah bahwa kader dari luar partai yang didukung
beberapa parpol dalam koalisi selama ini adalah lawan politiknya. Ketiga, nilai politik apa yang bertransformasi dari perubahan pola dukungan partai-partai dalam Pilkada Jakarta tahun 2007 ini? Pertanyaan-pertanyaan politik tersebut menegaskan adanya fenomena anomali politik yang diperankan beberapa parpol yang ikut koalisi mendukung salah satu calon gubernur. Anomali politik diikuti perilaku-perilaku anomali berpolitik berikutnya. Misalnya, adanya perubahan nilai yang diperjuangkan parpol bersangkutan, dari sesuatu yang idealis ke realistis atau pragmatis, dari sebuah nilai yang immaterial ke nilai material. Pilihan-pilihan perubahan nilai tersebut menjadi anomali karena semestinya filosofi pendirian sebuah partai sarat dengan nilainilai idealis. Begitu pula dengan tingkat ekspektasi pemilih, pemilihan sebuah parpol semestinya dipengaruhi preferensi politik yang ideal yang diharapkan ada pada parpol yang dipilih. Anomali politik lain erat kaitannya dengan fenomena segelintir elit yang sedang berkuasa di parpol. Dikatakan anomali karena ‘pemilik parpol’ adalah seluruh anggota parpol tersebut. Para pengurus yang sedang berkuasa adalah mereka yang sedang diamanahi para stakeholders parpol untuk mencapai tujuan-tujuan idealis parpol. Elit parpol bukanlah komisaris sebuah perseroan terbatas yang ‘di tengah jalan’ bisa menentukan sendiri nilai politik parpol. Pada saat elit parpol menyelewengkan nilai-nilai ideal parpol yang dipimpinnya dan hal itu hanya menguntungkan segelintir elit parpol, maka hal itu adalah sebuah anomali (baca: pembajakan). Anomali politik dalam pesta demokrasi seperti Pilkada terjadi karena kemuliaan perjuangan politik terkotori watak rent seeker (berburu untung) para politisi. Padahal, perjuangan politik merupakan hal mulia, karena pada dasarnya ia memperjuangkan perbaikan masyarakat pada unit politik tertentu. Namun kemuliaan perjuangan tersebut tidak terjamah dengan baik pada tingkat implementasi sikap para politisi. Keharusan berbuat mulia terkalahkan watak para politisi berburu harta dan kekuasaan. Akibat ‘pengkhianatan politik’ tersebut tidak hanya memuncukan delegitimasi politik terhadap para politisi, tapi juga menimbulkan pandangan yang kontra produktif bagi kehidupan politik ke depan. Ketika watak rent seeking menjadi dasar dukungan terhadap salah satu calon gubernur, muncul penghakiman publik atas fenomena anomali politik dalam Pilkada Jakarta. Pertama, muncul imej negatif terhadap parpol-parpol yang terlibat dalam koalisi politik. ‘Koalisi solusi’ berubah stigma menjadi ‘koalisi masalah’, karena selain menimbulkan masalah dengan tuntutan masyarakat akan adanya pilihan alternatif dari sekedar dua calon, juga kerena persoalan akan adanya ‘udang di balik batu’ dalam pendukungan calon bukan parpol.
6
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Persoalan terakhir yang tidak terjelaskan kepada publik ini secara liar ditafsirkan masyarakat pemilih. Kasus permintaan kembali ‘uang setoran’ dari dua calon wagub terhadap beberapa parpol peserta koalisi, misalnya, memperkuat tafsiran masyarakat akan adanya money politics. Kedua, muncul kesan ‘pengeroyokan politik’ terhadap pihak di luar koalisi. Kesan ini, selain dirasakan kader dan simpatisan PKS, juga bisa merambat pada kelompok masyarakat di luar PKS dan di luar koalisi (floating mass). Pada sisi yang lebih ekstrim, kesan pengeroyokan politik ini menjadi preferensi efektif kelompok floating mass di Jakarta. Keanomalian politik partai-partai di Jakarta, menyeretnya pada sebuah realita yang serba minimalis. Bila pun mampu memenangkan Pilkada, maka kemenangan itu tidak luar biasa, melainkan kemenangan minimalis. Investasi politik yang ditanam pada masyarakat pemilih di Jakarta juga merupakan sesuatu yang minimalis karena pemilih diajak memilih atau memenangkan pertarungan Pilkada dengan kemenangan di atas kertas yang telah mendahuluinya. ‘Pilkadal’ menjadi sebuah pendidikan politik yang minimalis bagi konstituen parpol peserta koalisi. Strategi pembangunan investasi politik model ini akan menghasilkan peluang yang minimalis bagi harapan untuk memenangkan Pemilu 2009. Tapi andaikan pihak koalisi kalah, maka kekalahannya adalah kekalahan maksimalis. Selain maksimal dari sisi biaya politik yang dikeluarkan, juga dari sisi dampak politik yang diperoleh setelahnya. Padahal, fatsoen politik berbicara bahwa partai politik didirikan oleh sekelompok orang untuk memperjuangkan kepentingannya. Karena diperjuangkan oleh sekelompok orang, maka pendirian parpol yang banyak tidak dapat terhindarkan, karena kelompok-kelompok masyarakat lain juga memperjuangkan kepentingannya. Agar kepentingannya berhasil diperjuangkan maka parpol mengutus kader-kader untuk maju meraih kepemimpinan pada suatu unit politik tertentu. Dalam konteks tersebut, berlaku logika politik dimana banyak parpol akan memunculkan banyak calon pemimpin. Tapi logika politik ini tidak terjadi dalam Pilkada Jakarta.
Artis Sebagai Vote Getter Dalam setiap political event di negara-negara berkembang, keterlibatan artis adalah hal yang biasa. Di Indonesia, kebiasaan tersebut terjadi karena para politisi masih kurang yakin dirinya mampu mendatangkan banyak massa dalam kampanye. Karena itu terkadang ada hal yang ‘tidak nyambung’ antara kampanye yang seharusnya menjadi ajang penyampaian visi-misi politik dengan acara hiburan yang semestinya sekedar ice breaking saja. Acara hiburan dengan
7
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 segudang artis yang ditampilkan malah jauh lebih dominan dibanding pencerdasan politik para pendukung yang seharusnya dilakukan para politisi dalam kampanye. Fenomena dominasi artis dalam kampanye berlaku juga pada Pilkada Jakarta. Pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto misalnya, mengajak segudang artis beken dalam setiap putaran kampenye politiknya. Mulai dari keluarga Si Doel untuk memeraih suara kalangan warga Betawi, hingga artis papan atas. Dalam porsi yang lebih kecil, pasangan Adang-Dani juga menggunakan cara yang sama. Dalam dunia politik, pendekatan dengan ‘menggunakan’ artis bukanlah hal baru. Para artis yang dilibatakan dalam kampanye politik tidak hanya diperlukan dari sisi art selling value saja, tetapi juga dari sisi political selling value. Dalam konteks strategi kampanye, penggunaan artis dalam dunia politik semata-mata karena posisi artis sebagai peraih suara (vote getter) kalangan masyarakat tertentu. Banyak variasi penggunaan artis dalam dunia politik. Pertama, sekedar diundang untuk menghibur supaya banyak calon pemilih hadir dalam kampenye. Kedua, ada partai atau kelompok politik yang tidak sekedar mengundang saja, tetapi juga karena ada political selling value
yang hendak diambil dari artis tersebut, yang berguna bagi
meningkatkan imej partai serta meningkatkan peraihan suara (vote getter). Ketiga, ada pula partai yang memerlukan keterwakilan politik (political representation) dari para artis di dalam partai, dengan cara meminta para artis sebagai anggota partai politik.
Keberpihakan Ulama Para filsuf melihat dunia ini dalam dua bentuk politik yang berbeda yaitu dasein dan dasolen. Sedangkan ulama diajarakan untuk melihat dunia dengan ‘kacamata kuda’: lurus atau shirothol mustaqim. Pandangan ini seharusnya membuat para ulama hanya mempunyai dua pilihan dalam menyikapi persoalan umat: amar ma’ruf atau nahyi munkar. Kesemestian sikap para ulama seperti inilah yang membuatnya mulia, dan karenanya memiliki tempat terhormat di masyarakat. Dalam ranah politik, sikap ulama tersebut masuk dalam ketagori high politics. Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit ulama yang keulamaannya ‘tewas’ dimakan sikap politiknya. Mereka berkostum ulama, tapi tidak beda dengan crying freeman. Fenomena keulamaan seperti ini muncul dalam Pilkada Jakarta, dengan posisi para ulama sebagai makelar, bukan trend setter. Hal itu terjadi bukan karena para ulama tidak faham berpolitik atau tidak sadar berada dalam arena politik, tapi lebih karena tidak mengindahkan pakem politik sebaimana diuraikan di atas. Mereka terjebak dalam sikap low politics (politik rendahan).
8
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Sosiolog Jepang yang mengkaji kedudukan ulama dalam politik di Garut menyimpulkan bahwa ulama memiliki dua nilai jual. Pertama, nilai ekonomi, ulama menjadikan predikatnya sebagai sumber pencarian hidupnya, seperti dengan berceramah atau hal lain yang berkaitan. Kedua, nilai politik, para ulama dianggap memiliki massa pendukung yang selalu menarik minat politisi yang memerlukan dukungan massa, membuat ulama merasa yakin dapat dukungan apabila terjun ke dunia politik. Kedua nilai inilah yang seringkali bisa dikelola dengan baik oleh para ulama. Batasan antara mana yang amar ma’ruf dan mana yang korup hanya dibatasi oleh ‘sehelai rambut kepentingan’. Kebiasaan tersebut tertutupi oleh ‘kejahilan’ para ulama dalam memahami persoalan politik praktis. Akibatnya seringkali para ulama tidak sadar, bahkan terjebak dalam perangkap politik politisi yang ‘membelinya’ dengan berbagai bantuan keuangan. Inilah fenomena ulama yang korup atas amanah (predikat) yang diembannya. Dalam posisi seperti ini, ulama cenderung membiarkan atau bahkan mendukung para politisi yang jelas-jelas korup. Sikap tersebut didukung oleh kebutaan hati melihat kemungkaran dalam komunitas politik. Fenomena ulama yang terjebak dalam low politics juga dijelaskan dalam teori rent seeking society. Teori ini menegaskan bahwa ulama juga adalah bagian dari masyarakat yang melakukan proses perburuan terhadap aset-aset ekonomi dan politik yang ada dalam masyarakat. Sebagai manusia, ulama juga melakukan hal ini. Hanya niat saja yang membedakan diantara mereka. Dalam proses perburuan, para ulama yang terjebak dalam low politics menggunakan seluruh kemampuan atau ‘nilai jualnya’ untuk mendukung kandidat gubernur yang paling dekat dengannya (memberikan bantuan uang dan bantuan material lainnya), tanpa menghirauan integrasi si kandidat. Kewajiban menegakkan amar ma’fur nahyi mungkar tertutupi watak rent seeking. Pada proses Pilkada Jakarta, para kandidat menagih balas budi secara halus berupa dukungan atas pencalonannya sebagai gubernur atau wakil gubernur DKI Jakarta. Tagihan janji ini dialamatkan kepada para ulama yang selama ini membangun hubungan dekat, menerima bantuan keuangan atau material lainnya, membangun ikatan sosial keagamaan yang rapat, dan hubungan-hubungan lain dalam rangka menanam ‘investasi’ kepada kelompok ulama. Menghadapi tagihan janji seperti ini, jarang sekali ulama menolak. Umumnya mereka merespon positif, dengan alasan bahwa hal itu dapat meningkatkan ‘investasi’ kandidat kalau dia menang. Di sinilah fungsi keulamaan, yang seharusnya mampu menilai dengan tegas sesuai kacamata amar ma’ruf nahyi munkar, tertutupi dengan perasaan tidak enak. Kepentingan untuk ber-amar ma’ruf nahyi munkar bertabrakan dengan kepentingan pribadi atau kelompok para ulama.
9
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 Pada proses Pilkada Jakarta, para kandidat mendatangi para ulama dengan harapan massa pendukungnya terpengaruh. Biasanya para kandidat memberikan bantuan, besar-kecilnya jumlah ‘investasi dadakan’ ini tergantung pada perkiraan jumlah dukungan politik yang dimiliki masing-masing ulama. Di sini integritas sebagian ulama kembali dipertanyakan.
Survey dan Preemptive Winning Ada yang menarik sekaligus menggangu dalam demokrasi politik lokal pada Pilkada Jakarta. Ini berkaitan dengan preemtive winning (kemenangan pendahuluan) yang dilakukan bukan oleh para kompetitor politik yang sedang berlaga, tapi justru oleh lembaga survey seperti ‘LSI Denny dan ‘LSI Mujani’. Kehadiran lembaga-lembaga survey dan preemtive winning ini memunculkan fenomena correlative injustice bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sosialisasi hasil survey, karena mereka merasa ‘dikalahkan sebelum bertanding’. Dalam ranah akademik, eksistensi lembaga-lembaga survey politik merupakan ‘angin segar’ yang memperlihatkan sumbangsih dunia kampus terhadap sesuatu yang masih belum modern dalam proses demokrasi atau bahkan seringkali menjadi persoalan, karena kelambanaan proses penghitungan suara manual yang rawan kecurangan. Eksistensi lembaga survey dalam kerangka ini dianggap tepat, karena menjadi solusi bagi modernisasi demokrasi di Indonesia. Namun dalam ranah politik praktis, preemtive winning lembaga survey, yang mempublikasikan secara masif dengan biaya besar, dinilai kelompok yang ‘dikalahkan’ sebagai bagian dari kampanye calon yang dimenangkan. Perasaan correlative injustice tersebut terkuatkan setidaknya karena dua aksi politik kedua LSI. Pertama, hasil survery diumumkan masih dalam waktu kampanye
(sebelum 4 Agustus, pemilihan 8 Agustus 2007). Kedua, penyampaian
publikasi hasil survey secara besar-besaran. Kedua aksi ini sebenarnya tepat apabila dilakukan sehari setelah Pilkada digelar. Apa yang dilakukan ‘duo LSI’ dengan dua aksi politik tesebut, tidak hanya memunculkan perasaan telah dikalahkan bagi pendukung Adang-Dani, tapi juga di khawatirkan membentuk persepsi sebagian publik akan adanya dugaan konspirasi antara lembaga-lembaga survey, yang di dalamnya didominasi kalangan kampus, dianggap telah melakukan ‘perselingkuhan gagasan’ atau terpersepsikan para pendukung yang ‘dikalahkan’ sebagai instruman kampus yang dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk memenangkan pertarungan politik. Pada tingkatan akar rumput, berupa celotehan pada saat kampanye Pilkada Jakarta putaran terakhir, persepsi seperti itu telah terbentuk. Tentu saja hal ini bukan sesuatu yang menguntungkan bagi dunia kampus. Bukan ‘angin segar’ yang menyehatkan dunia kampus, melainkan ‘masuk angin’ yang
10
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 dapat membuat dunia kampus menjadi sakit. Padahal, setelah institusi ulama, dunia kampus menempati posisi yang masih dipercaya secara politik. Aksi politik ‘LSI Denny’ misalnya, dengan iklan di suatu harian nasional pada 4 Agustus 2007 sebanyak setengah halaman, telah membentuk persepsi masyarakat tentang Fauzi Bowo sebagai ‘gubernur survey’. Ini mempengaruhi sedikitnya dua kalangan masyarakat di Jakarta. Pertama, masyarakat ‘pebisnis’ (baik ‘pebisnis politik’ maupun ‘pebisnis yang berpolitik’) yang diduga meningkatkan ‘investasinya’ kepada Fauzi Bowo. Kedua, masyarakat anut grubyuk yang menurut Emha Ainun Najib adalah masyarakat yang suka ikut-ikutan ‘angin politik’, mana yang kuat dan menguntungkan. Dengan pengaruhnya terhadap dua kelompok masyarakat ini, LSI telah ikut memenangkan kubu Fauzi Bowo pada Pilkada Jakarta kali ini. Pada sisi lain, dua aksi politik LSI tersebut akan menimbulkan beberapa kerugian lain. Pertama, melemahkan fighting spirit para kandidat yang ‘dikalahkan’ dalam survey. Perasaan ‘dikalahkan sebelum bertarung’ yang dalam jangka panjang akan melemahkan partisipasi politik publik. Padahal substansi filosofis Pilkada adalah meningkatkan partisipasi politik publik. Kedua, delegitimasi moral bargaining kalangan kampus dalam politik praktis. Delegitimasi tersebut akan merugikan posisi konstelatif dunia kampus yang selama ini ditempatkan sebagai moral buffer. Apabila generalisasi masyarakat terhadap peran dunia kampus dalam politik praktis semakin mengarah pada posisi yang negatif, maka hal itu bukanlah sesuatu yang menguntungkan secara jangka panjang bagi dunia kampus. Ketiga, kemunculan ‘gubernur Jakarta versi LSI’ dapat menjadi pemicu konflik jikalau yang terpilih bukan Fauzi Bowo. Para pendukung Fauzi Bowo akan tergiring pada suatu perasaan ‘kemenangannya’ direbut dengan kecurangan. Hasil survey LSI telah meningkatkan ‘hak kemenangan’ pendukung Fauzi Bowo, yang apabila kandidat yang diusungnya kalah, akan memunculkan perasaan bahwa haknya telah diambil. Akibatnya, potensi chaos pasca Pilkada menjadi relatif lebih besar. Kedudukan lembaga-lembaga civilian democracy, seperti
LSI, dalam proses demokrasi
sangatlah penting. Urgensi kehadirannya adalah sebuah keniscayaan yang memuliakan orangorang yang terlibat di dalamnya. Lembaga-lembaga seperti ini harus terus hidup di antara keterbatasan material, idealisme, profesionalisme, independensi dan menjadi pembela atas kepentingan-kepentingan rakyat yang biasanya ‘dibajak’ partai-partai politik. Pada saat pakem dan fatsoen politik sebagai lembaga penyangga demokrasi ini dilanggar, yang akan didapat bukanlah kemuliaan, melainkan sebaliknya.
11
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
‘Kemenangan Minimalis’ versus ‘Kemenangan Golput’ Pilkada Jakarta yang digelar pada 8 Agustus 2007 telah menghasilkan kemenangan ‘minimalispluralis’ bagi kubuFauzi Bowo-Prijanto, dengan perolehan suara sementara sampai pukul 16.00 WIB pada hari pemilihan sekitar 56-57 persen, hasil quick count beberapa lembaga seperti LSI Mujani-Litbang Media Group, Puskapol UI-Jack TV, dan Litbang Kompas. ‘Kemenangan minimalis’ tersebut harus behadapan dengan ‘kemenangan golput’ yang mencapai di atas 30 persen dari total jumlah pemilih yang terdaftar. Belum lagi ditambah dengan sekitar 20-an persen warga Jakarta yang punya hak pilih pada Pemilu 2004 tetapi tidak terdaftar. Sekedar contoh, di TPS 58 Kelurahan Klender, dari total pemilih terdaftar sebanyak 417 orang, yang tidak menggunakan hak pilih sebanyak 121 orang dan 9 orang hadir ke TPS tetapi memilih golput. Artinya, terjadi golput dengan prosentase mencapai 31,2 persen. Sementara 68,8 persen suara yang memilih, tersebar kepada dua pasangan calon dengan perolehan masing-masing sebesar 37,9 persen untuk Fauzi-Prijanto atau (55,1 persen) dan 30,9 persen untuk AdangDhani (atau 44,9 persen). Angka golput tersebut belum ditambah dengan sisa jumlah warga yang punya hak pilih tapi tidak terdaftar, yang mencapai 183 orang.7 Prosentase golput yang diatas 30 persen tersebar di hampir seluruh kelurahan di Jakarta. Angka rata-rata pemilih yang tidak terdaftar juga kurang-lebih sama. Fenomena ini memunculkan dua pertanyaan yang menggugat eksistensi Pilkada Jakarta kali ini. Pertama, mengapa terjadi ‘kemenangan golput’. Kedua, mengapa banyak pemilih potensial yang tidak terdaftar. Kemunculan golput yang terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak memilih sudah diprediksi sejak satu bulan sebelum hari pemilihan. Hal ini terjadi karena Pilkada harus diselenggarakan dengan menyisakan ‘pil kadal’ (baca: pil pahit). Banyaknya pemilih yang tidak terdaftar sebenarnya juga sudah diketahui sejak masa pendaftaran pemilih dilakukan Pemprov DKI Jakarta bersama KPUD Jakarta. Ini dapat dilihat dari demonstrasi yang terjadi karena laporan penelitian LP3ES dan Puskapol UI yang menyebutkan 20-an persen pemilih tidak terdaftar. ‘Respon minimalis’ KPUD Jakarta terlihat manakala mengundur waktu pendaftaran hanya tidak lebih dari seminggu, sementara tuntutan pengunduran Pilkada satu bulan dari tanggal yang sudah ditetapkan diabaikan. Jumlah pemilih tidak terdaftar sekitar 20 persen merupakan bukti kegagalan Pemprov DKI Jakarta dan KPUD Jakarta yang mengklaim telah menerapkan dual systems. Sistem ini
7
Aumsi angka ini merujuk pada Lampiran 1 Keputusan KPU Propinsi DKI Jakarata Nomor 014/KEP-KPU PROP/VII/2007 tentang pemungutan suara dan perhitungan suara point (b) yang menetapkan bahwa jumlah pemilih per TPS paling banyak 600 orang. Jumlah pemilih per TPS tersebut merupakan standar jumlah yang diberlakukan untuk berbagai pemilihan yang telah dilakukan, termasuk pada Pemilu 2004.
12
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 merupakan kombinasi antara sistem pendaftaran aktif yang diberlakukan di Australia dan negara-negara Amerika Latin dan sistem pendaftaran pasif yang diberlakukan di banyak negara berkembang. Sistem pendaftaran aktif merupakan sistem yang berasumsi bahwa masyarakat telah mencapai taraf budaya politik partisipatif (Almond dan Verba, 1986). Pada tingkat masyarakat seperti itu, memilih dalam pemilu dianggap sebagai kewajiban (compulsory voting), sehingga diharapkan masyarakat secara aktif mendaftarkan diri kepada petugas pendaftaran. Sementara sistem pendaftaran pasif berasumsi sebaliknya, petugas secara aktif mendata pemilih. Dalam Pilkada Jakarta, KPUD Jakarta menerapkan sistem pendaftaran aktif dan tidak melaksanakan (baca: tidak dirasakan sebagian besar pemilih, termasuk peneliti) sistem pendaftaran pasif. Sebagaimana diakui KPUD Jakarta pada Buku Panduan Pemungutan dan Perhitungan Suara Pilkada DKI Jakarta Tahun 2007 halaman 11 yang menyebutkan bahwa dengan alasan menghemat waktu dan biaya, KPUD Jakarta hanya menggunakan basis data kependudukan terakhir. Dengan sistem pendataan kependudukan yang memprihatikan dan posisi Kepala Dinas Dukcapil Jakarta yang kosong, maka tidak heran 20-an persen pemilih potensial tidak terdaftar. Penggunan sistem pendaftaran aktif dan pengabaian substansi sistem pendaftaran pasif, selain menimbulkan pernyataan juga dianggap merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 yang menyebutkan bahwa PPS (yang dibentuk KPUD, pasal 12 ayat 12) mempunyai tugas melakukan pendaftaran pemilih (point a) dan mengangkat petugas pencatat dan pendaftar (point b). Pada Pemilu Presiden 2004, pencatatan pemilih dilakukan langsung sehingga data Pemilih 2004 semestinya diberlakukan. Banyak warga yang pada Pemilu 2004 tercatat sebagai pemilih justru tidak terdaftar pada Pilkada Jakarta 2007. Padahal, tujuan pemutakhiran data sebagaimana diamanatkan oleh UU No.22 tentang Pemilu pasal 9 ayat 3 point e bermaksud positif, yakni mengakomodir para pemilih baru, seperti mereka yang sudah berusia 17 tahun, sudah kawin meski belum 17 tahun, mengalami perubahan status dari anggota TNI/Polri menjadi sipil atau purna tugas, dan pendatang baru yang pindah domisili dan tidak terdaftar dalam P4B (pasal 19 ayat 3 PP No.6 Tahun 2005). Semestinya, pada Pilkada jumlah pemilih bertambah bukannya berkurang.
Masa Depan Demokratisasi Potret politik Jakarta sebagai sebuah unit politik lokal, tampak pada proses Pilkada Jakarta Agustus 2007. Beberapa gambaran yang tersimpulkan dalam konteks problematika demokratisasi adalah:
13
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Pertama, pada tataran gagasan, pemikiran politik demokrasi di Jakarta sebagai sebuah unit politik lokal, relatif telah mencapai kematangan politik. Ini sama dengan unit-unit politik lain seperti di Jawa Timur, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Sebagai ibu kota negara, Jakarta mendapat ‘berkah politik’ sehubungan embrioembrio pemikiran demokrasi, meski awalnya untuk konsumsi pemerintahan pusat, tapi prosesnya berada di wilayah hukum Jakarta. ‘Berkah politik’ ini membuat Jakarta
lebih
advanced dari sisi kepemilikan syarat-syarat struktural demokrasi. Selain dari sisi deposit anggaran, Jakarta juga advanced dari sisi deposit kekuasaan politik dan kultur demokrasi. Kedua, pada tataran prosedural, demokrasi pada kasus Pilkada Jakarta 2007 relatif ‘minimalis’. Hal ini dikarenakan Pilkada harus berlangsung dengan undang-undang rujukan pelengkap (UU Jakarta sebagai ibukota NKRI) yang belum selesai. Tuntutan lainnya berkaitan dengan calon gubernur independen, yang bukan diusung partai politik, dan tuntutan adanya empat deputi gubernur yang membantu gubernur terpilih. Persoalan deputi gubernur
ini semestinya
terselesaikan sebelum Pilkada, karena ini tidak lepas dari tuntutan status and role deputi gubernur, yang dalam perspektif demokrasi harus dijelaskan mengenai kewenangan, pemilihan, dan pertanggungjawabannya. Untuk persoalan ketiadaan calon gubernur independen, secara politik prosedur demokrasi dipertanyakan karena berkaitan dengan tuntutan rakyat sebagai pemegang kuasa. Dalam perdebatan mengenai calon independen ini terlihat bagaimana prosedur demokrasi mengalahkan gagasan demokrasi. Ketiga,
pada
tataran
implementasi,
konsep
demokrasi
terpaketkan
secara
‘minus’.
Demokratisasi yang seharusnya berjalan secara demokratis telah gagal, karena nilai-nilai demokrasi banyak dilanggar. Pelanggaran implementasi demokratisasi di Jakarta terjadi secara ‘berjamaah’. Pertama, pada saat warga Jakarta menghendaki adanya lebih dari dua pasang calon gubernur, yang terjadi justru adalah ‘pemborongan dukungan politik’ oleh koalisi parpol yang mengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto, sehingga tidak ada calon lain selain calon mereka dan lawan politiknya dari PKS. Pembahasan rancangan undang-undang Jakarta sebagai ibukota NKRI, yang dapat dijadikan landasan munculnya calon independen, berjalan sangat lambat sehingga memunculkan kesan bahwa parpol tidak menghendaki kemunculan calon independen. Fenomena ini menyiratkan pelanggaran nilai-nilai demokrasi berkaitan dengan nilai akomodasi aspiratif yang semestinya dijalankan para kuasa sehubungan
sumber
kekuasaan adalah rakyat. Kedua, sikap isolatif KPUD Jakarta terhadap tuntutan pendukung Adang-Dani yang menghendaki pemutakhiran data pemilih dan penundaan jadwal pemilihan sampai daftar pemilih jelas. Sikap KPUD Jakarta ini pada tataran imlpementasi demokrasi bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, karena kuasa KPUD Jakarta sesungguhnya berasal dari warga Jakarta, yang dalam konteks Pilkada hanya terdiri dua calon, diasumsikan deposit
14
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008 kuasa warga Jakarta ada pada warga yang terpolarisasi ke dalam dua kubu kandidat. Ketiga, sikap kelompok civil society yang terdiri dari masyarakat pres, ulama, artis, ormas, LSM, birokrasi, tentara dan masyarakat non partai lain, yang terkesan mundukung calon incumbent. Sebagian dari kelompok civil society tersebut
murni, dan sah-sah saja melakukan
pendukungan terhadap salah satu calon. Namun kelompok-kelompok civil society yang tidak murni seperti birokrasi, tentara, pres, dan ormas-ormas tertentu (Nahdlatul Ulama/NU misalnya), menjadi persoalan karena stakeholders kelembagaan mereka adalah rakyat secara umum bagi birokrasi dan tentara, dan rakyat dalam kategori tertentu bagi pres dan ormas. Keberpihakan kelompok civil society di atas, ditambah prilaku dan gaya politik yang tergambar pada Pilkada Jakarta 2007, selain menegaskan aroma eksistensi rezim lama (political actors with old political mindset), juga menegaskan fenomena demokratisasi yang masih sebatas prosedur. Fenomena ini memberi makna bahwa perubahan paradigma politik dan prosedur demokrasi tidak diiringi dengan perubahan mindset para pelaku politik yang memungkinkan keberlangsungan demokratisasi menuju ke arah yang demokratis. Potret demokrasi di Jakarta ini telah membuat dilema, tidak hanya bagi perkembangan demokratisasi di Jakarta, tetapi juga bagi daerah-daerah lain. Dalam konteks teoritis, apa yang terjadi di Jakarta menegaskan tiga hal. Pertama, menguatnya tesis Maswadi Rauf tentang masa depan demokratisasi di Indonesia yang suram. Kedua, kesemestian melakukan pendefinisian ulang atas konsep demokratisasi, yang memunculkan tesis akan adanya demokratisasi prosedural sebaimana terjadi di Jakarta. Ketiga, membantah tesis Philippe C. Schmitter, kajian ini memperlihatkan bahwa keberadaan syarat-syarat struktural demokrasi tidak berkorelasi positif terhadap perubahan rezim. Begitu pula dengan prospek demokratisasi dalam perspektif nilai, tidak berhubungan dengan perubahan paradigma politik yang dramatis pada tingkat gagasan.
15
Jurnal POELITIK Vol.1 No.1 2008
Daftar Pustaka Almond, A. Gabriel dan Sydney Verba. 1984, Budaya Politik (Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara). Jakarta: Bumi Aksara. Dahl, Robert. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: YOI Linz, Juan J. dan Alfred Stepan. 2001. Defining and Crafting Democratic Transition, Constitutions and Consolidation dalam Juan J. Linz et al. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Belajar Dari Kekeliruan Negara-Negara Lain. Bandung: Mizan. Nurhadi, Robi. 2007. Pil Kadal dalam Pilkadal Jakarta, Jakarta: Pusat Studi Politik Madani Institute. Rauf, Maswadi. 1995. “Otonami Daerah dan Pembangunan Nasional”, makalah disampaikan dalam seminar Otonomi dan Pembangunan Daerah, Bangkinang, Riau 1-3 November 1995. 1997. “Teori Demokrasi dan Demokratisasi”, pidato pengukuhan guru besar tetap pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta 1 November 1997.
________________
Schmitter, Philippe C. 2001. “Perkembangan Mutakhir dalam Studi Akademis Demokratisasi”, Jurnal Demokrasi & Ham. Jakarta: The Habibie Center. Lampiran Keputusan KPU Nomor 014/KEP-KPU PROP/VII/2007 tentang Pemungautan Suara dan Penghitungan Suara.
16