ISU SARA DALAM PEMBERITAAN PILKADA DKI JAKARTA 2012 Studi Kualitatif dengan Pendekatan Framing Model Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki di Harian Umum Kompas dan Republika SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Disusun Oleh: HENA TRIWARDANI SUMANTRI 10080005071 PROGRAM STUDI ILMU JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2013
Neng persembahkan Skripsi ini untuk Mamah dan Bapak, Untuk A Hendra dan A Herdis Hutang skripsi dibayar LUNAS Dan untuk semua orang yang terus bertanya: „Gimana Skripsinya??? Udah beres???‟
ABSTRAK
Pemberitaan di media massa seperti media cetak berita dalam harian umum atau koran, sejatinya akan selalu memiliki muatan pesan yang hendak disampaikan kepada khalayak. Isu SARA dalam praktek komunikasi seringkali menarik perhatian banyak pihak sehingga media cetak perlu menempatkan isu SARA dalam konteks pemberitaan yang tepat, untuk itu menarik diteliti bagaimana pesan yang disajikan dalam pemberitaan sebagai proses komunikasi. Peneliti mengambil model analisis framing dalam konteks sebuah pemberitaan untuk mengambil berita isu SARA dalam pemberitaan Pilkada DKI Jakarta 2012 sebagai pondasi utama penelitian. Pemberitaan tersebut di teliti menggunakan analisis Framing dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Tentang berita yang dianalisis adalah berita mengenai pemberitaan isu SARA dalam Pilkada yang dimuat di harian umum Kompas dan Republika, tanggal 18 Juli 2012 dilihat dari struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Ada tiga fungsi utama media massa yang melekat dalam pekerjaan mereka, yaitu memberikan informasi, pendidikan, dan menghibur masyarakat. Dalam pelaksanaan pilkada beberapa tahun terakhir ini, media massa diharapkan memiliki peran cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga negara di berbagai daerah. Media dituntut melalui pemberitaannya melakukan voters education, pendidikan pada pemilih. Mendidik serta mendiskusikan, apa dan bagaimana pentingnya pilkada langsung bagi masyarakat. Dengan demikian, media massa juga mengajak khalayak untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam pilkada tersebut. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Kompas lebih menyoroti kinerja KPU sebagai badan yang menggerakkan pilkada berjalan dengan baik sedangkan Republika lebih kepada memberikan informasi serta edukasi untuk masyarakat bahwa hentikan kampanye hitam yang merugikan tersebut sehingga dapat memperkeruh kedamaian yang sudah tercipta sejak putaran pertama.
ABSTRACT Mass media such as print media or news in general daily newspaper, in truth will always have a charge of trying to convey the message to the audience. SARA issues in communication practices often attract the attention of many people that the print media need to put racial issues in the context of the proper coverage, it is interesting to study how the message is presented in the news as a communication process. Researchers modeled framing analysis in the context of a news story to take the issue of racial elections in Jakarta reporting 2012 as the foundation of the study. Coverage is in meticulous use Framing analysis of Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki. Analyzed the news is the news about the racial issues in the election proclamation published in the general daily Kompas and Republika, dated July 18, 2012 seen from the syntactic structure, script, thematic and rhetorical. There are three main functions of the mass media are inherent in their work, providing information, education, and entertain the public. In the elections in recent years, the media is expected to have a significant role to the political empowerment of citizens in various areas. Media are required through the mainstream media do voters education, voter education. Educate and discuss, what and how important it is for the direct election. Thus, the mass media also invites audiences to jointly commit to watching the political process in the election. The results of this study show that further highlights the performance of the Kompas KPU as the agency moves election goes well while Republika rather to provide information and education to the public that the smear campaign stop this unacceptable so as to disturb the peace that has been created since the first round.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil‟alamin Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, guna melengkapi persyaratan dalam menempuh ujian Sarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Bandung. Shalawat serta salam semoga tercurah untuk qudwah kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat. Aamiin. Dalam pembuatan skripsi ini, peneliti melakukan penelitian yang mengedepankan Analisis Framing model Zhongdang Pan dan Gerald M Kosicki sebagai pisau analisis untuk membedah bagaimana media dalam mengbingkai berita isu SARA di pilkada DKI Jakarta 2012, dengan berita yang sama dalam Harian Umum Kompas dan Republika. Selama dalam tahap penyusunan skripsi ini peneliti tidak luput dari kesulitan, hambatan, kendala yang cukup mengganggu. Dari mulai pengajuan masalah hingga selesainya skripsi ini, peneliti menemukan begitu banyak kerikil, namun atas izin Allah SWT, serta do‟a, dorongan, bantuan, bimbingan, pengarahan dari berbagai pihak, maka peneliti akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebagai tanda penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan untuk peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Diantaranya adalah: 1. Bpk O. Hasbiansyah, Drs., M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi yang telah memberikan nasihat. 2. Bpk. Maman Suherman Drs., M.Si., selaku dosen wali peneliti yang selama ini tidak pernah berhenti menyemangati agar skripsi ini cepat selesai. 3. Ibu Tia Muthiah Umar, S.Sos., M.Si., selaku dosen pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu dari kesibukannya untuk memberikan kemudahan, dukungan, arahan, semangat dan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada peneliti hingga terselesainya skripsi ini. 4. Bpk. Aziz Taufik Hirzi,Drs., Dr., M.Si., selaku ketua bidang kajian jurnalistik. Terima kasih atas nasihat, petuah, dan masukkannya selama ini. 5. Ibu Santi Indra Astuti, S.Sos., M.Si., selaku wakil dekan I Fikom. Terima kasih atas nasihat selama ini. 6. Dosen-dosen jurnalistik, pak Doddy Iskandar, bu Ratri, bu Kiki, bu Emma. Terima kasih atas jerih payah dan keikhlasan kalian dalam memberikan ilmu kepada kami. 7. Seluruh petinggi Fikom Unisba, dosen-dosen Fikom Unisba, para staf Fakultas, para karyawan di Fakultas Fikom Unisba.
8. Bpk. M. Ridlo Eisi, selaku pakar media yang peneliti wawancara sebagai narasumber. Hatur nuhun Pak. 9. Bpk. Prof. H. Deddy Mulyana M.A., Ph.D., selaku Dekan Fikom Unpad yang telah bersedia peneliti wawancara sebagai narasumber. Terima kasih Pak. 10. E.H. Ismail, selaku Redaktur Politik HU Republika Jakarta yang telah bersedia peneliti wawancara sebagai narasumber. Hatur nuhun Kang. 11. Agus Raka Siwi, selaku wartawan Kompas. Terima kasih atas kerjasamanya. 12. Mamah, Dedeh Rayati dan Bapak, Herry Sumantri. Semoga ditempatkan dan diterima di sisi Allah SWT. Aamiin. Hutang Neng sama mamah dan bapak, LUNAS. 13. Aa dan teteh. Aa Hendra, Teh Tika, Aa Herdis dan Teh Dhina. Nuhun untuk ga bosen-bosennya semangatan dan cerewetin Neng. 14. Ponakan-ponakanku. Lala, Danan, Raya, Damar dan calon ponakan baru. Bi Hena udah beres ngerjain pe-er nya. Ayo kita main! 15. Bi Ijah dan Ceu Iim. Hatur nuhun sekali untuk keikhlasan do‟anya buat Neng. 16. Teman satu komunitas FUSHIGI Family. Nei, Kremi, V-Chan, Nda, Mbak‟e Wardah, „Emak‟ Bila, Jei-chi, Ido, Nuki, Eja beserta teman STINTEN lainnya. Hatur nuhun telah berbagi suka dan duka bersama Hena „Enyak‟ dan FUSHIGI Family tetap solid sampai akhir.
17. Untuk Devit yang sudah setia menunggu kelulusan kawan seperjuanganmu ini. Ayooo Wirausaha..! 18. Terakhir bagi seluruh pihak yang telah membantu dan mendoakan terselesaikannya skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Hanya Allah SWT yang mampu membalas kebaikan kalian semua.
Walakhir, semua kata datang dari alam fikir, semua nyata datang dari lisan. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Karimah wa ifadah hanyalah milik Allah SWT. Bandung, Maret 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK
............................................................................................. i
ABSTRACT
............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI
............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Konteks Penelitian ............................................................................. 1 1.2 Fokus dan Pertanyaan Penelitian ....................................................... 5 1.2.1 Fokus Penelitian .......................................................................... 5 1.2.2 Pertanyaan Penelitian .................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 6 1.4 Kegunaan Penelitian........................................................................... 7 1.4.1 Secara Teoritis ............................................................................ 7 1.4.2 Secara Praktis .............................................................................. 7 1.5 Setting Penelitian ............................................................................... 7 1.6 Pengertian Istilah ............................................................................... 8 1.7 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 13 2.1 Tinjauan Umum Komunikasi Massa ................................................. 13 2.1.1 Definisi Komunikasi Massa ....................................................... 13 2.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa ............................................... 14 2.1.3 Fungsi dan Proses Komunikasi Massa ........................................ 16 2.2 Jurnalistik sebagai Komunikasi Massa .............................................. 17 2.3 Tinjauan Umum Media Massa .......................................................... 20 2.4 Surat Kabar sebagai Media Komunikasi Massa................................. 21 2.5 Tinjauan Umum Terhadap Berita ...................................................... 23 2.5.1 Kontrol Sosial Media dalam Berita Pilkada................................ 27 2.5.2 Bias Media dan Politik Pemaknaan dalam Pilkada..................... 28 2.6 Tinjauan Suku Bangsa Tionghoa dan Isu SARA .............................. 30
2.6.1 Pers, Pilkada dan Isu SARA ....................................................... 33 2.6.2 Kode Etik Jurnalistik dan Berita SARA .................................... 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................... 37 3.1 Metode Penelitian Kualitatif .............................................................. 37 3.2 Pendekatan Analisis Framing ............................................................ 38 3.2.1 Framing Model Pan dan Kosicki .............................................. 40 3.2.2 Aspek Analisis Framing ............................................................ 43 3.2.3 Frame dan Realitas .................................................................... 44 3.3 Langkah-langkah Penelitian ............................................................. 45 3.4 Objek Penelitian Harian Umum Kompas dan Republika ................. 47 3.4.1 Sejarah Berdirinya Harian Umum Kompas ................................ 47 3.4.2 Visi dan Misi Kompas ................................................................. 52 3.4.3 Perkembangan Kompas ............................................................... 53 3.4.4 Sejarah Berdirinya Harian Umum Republika ............................. 55 3.4.5 Visi dan Misi Republika ............................................................. 58 3.4.6 Perkembangan Republika ............................................................ 60 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................... 62 4.1 Latar Belakang Berita Isu SARA di Kompas dan Republika ............... 62 4.1.1 Analisis Berita Kompas edisi Rabu, 18 Juli 2012 judul berita KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi ................................................... 66 4.1.2 Analisis Berita Republika edisi Selasa, 18 Juli 2012 judul Setop Kampanye SARA ...................................................................... 8 3 4.2 Analisis Pakar Media ............................................................................ 97 4.3 Analisis Pakar Komunikasi .................................................................. 98 BAB V PENUTUP
...................................................................................... 100
5.1 Kesimpulan
...................................................................................... 100
5.2 Saran
...................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 106 LAMPIRAN ...................................................................................................... 107
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kerangka Framing Pan dan Kosicki ...................................................11 Tabel 3.1 Framing dan Realitas ..........................................................................43 Tabel 4.1 Analisis Struktur Sintaksis ..................................................................65 Tabel 4.2 Analisis Struktur Skrip ........................................................................73 Tabel 4.3 Analisis Struktur Tematik ...................................................................77 Tabel 4.4 Analisis Struktur Retoris .....................................................................81 Tabel 4.5 Analisis Struktur Sintaksis ..................................................................82 Tabel 4.6 Analisis Struktur Skrip ........................................................................89 Tabel 4.7 Analisis Struktur Tematik ...................................................................93 Tabel 4.8 Analisis Struktur Retoris .....................................................................95
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Konteks Penelitian Industri media di Indonesia berkembang begitu pesat diimbangi dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi. Media massa sebagai alat atau sarana yang berfungsi sebagai penyampai informasi kepada khalayak dimana pesan yang disampaikan bersifat umum, tetap atau berkala, berkesinambungan serta berisi hal-hal aktual. Bentuk media massa adalah berita. Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on line internet. (dalam Sumadiria, 2008:65) Berita memiliki banyak fungsi yakni tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi penting, namun juga berfungsi sebagai sarana untuk menghibur para pembaca. Berita juga dapat dijadikan pedoman oleh pembaca dalam melakukan sosialisasi, karena selain berisi tentang berita-berita yang dianggap penting misalnya politik, ekonomi, budaya, dan agama. Berita dapat berisi hal bersifat ringan seperti resensi-resensi buku atau film. Selain itu, berita dapat dijadikan pedoman dalam pemimpin dan pelayanan. Media massa dilihat sebagai forum bertemunya pihak-pihak dengan berbagai kepentingan serta persepsi yang berbeda. Semua kenyataan ini menyadarkan betapa subjektifnya media. Keberpihakan media pun terlihat dari cara media menyajikan berita, misalnya dengan penggunaan kalimat dan gaya
bahasa yang berbeda. Dalam pemberitaan di media massa bukan hanya mengacu pada praktek jurnalistik, tetapi dalam sisi tertentu penggunaan bahasa dalam suatu media bisa dianggap sikap, orientasi, dan ideologi yang melatarbelakangi media tersebut. Dengan kata lain, bentuk pemaknaan atas suatu peristiwa tidak akan lepas dari politik media. Semakin disadari bahwa berita yang disajikan bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi ada muatan kepentingan yang ada di dalamnya berupa politik, ekonomi, budaya, atau yang paling krusial yaitu agama maka setiap pemberitaan diperlakukan secara berbeda oleh media. Berita, pada awalnya memang bertitik tolak dari media cetak (surat kabar dan majalah). Tapi sekarang, berita telah juga mencakup dari media elektronik (radio, televisi, film) hingga media online (internet) atau media massa dalam arti luas dan modern. Tidak ada media tanpa berita begitupun sebaliknya. Penelitian ini mengangkat pemberitaan dalam surat kabar mengenai “Pilkada DKI Jakarta tahun 2012” adanya persaingan ketat antara Fauzi BowoNachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar acara lima tahunan untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012. Berdasarkan ketentuan KPU, Pilkada dilakukan dua putaran pemilihan. Pada putaran pertama tanggal 11 Juli 2012 dengan pemilihan enam pasangan calon kepala daerah yakni pasangan Foke-Nara, Alex-Nono, Jokowi-Ahok, HidayatDidik, Hendradji-Reza dan Faisal-Biem. KPU menetapkan pasangan nomor urut tiga memenangkan putaran pertama pilkada lima wilayah Jakarta yakni pasangan
Jokowi-Ahok unggul dari pasangan Foke-Nara yang berada pada urutan kedua. Maka diputuskan pasangan Jokowi-Ahok dan Foke-Nara maju bersaing di pilkada putaran dua. Sejak putaran pertama, pasangan Jokowi-Ahok diterpa isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) kian memanas ketika mereka menang putaran pertama dan berjalan menuju putaran kedua. Berbagai media dari mulai media cetak hingga media online memberitakan seputar isu SARA. Peredaran lainnya lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu. Tak terelakkan perdebatan antar tokoh politik pun menjadi sorotan di media dan masyarakat. Isu SARA kian mencuat ke ranah publik karena ada raja dangdut dan pendakwah H. Rhoma Irama dituduh menebarkan SARA dalam ceramahnya di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat pada bulan Juli 2012 lalu. Selain karena itu, salah satu pasangan yakni Jokowi-Ahok khususnya Ahok berasal dari agama dan suku tertentu yakni beragama Kristen Protestan dan berasal dari suku bangsa Tionghoa. Tim kampanye pasangan Joko WidodoBasuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengaku menjadi sasaran kampanye hitam yang menjadi pemicu penyebaran kebencian dengan menggunakan isu-isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan. Bentuk penyebaran ini dapat berupa adanya tindakan pelecehan, diskriminasi, intimidasi, dan bahkan penggunaan instrumen kekerasan. Dan tentu saja dapat mengundang konflik. Penyebaran isu SARA dilakukan oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab mengundang beragam respon warga Jakarta, ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Disini terlihat jelas media massa sangatlah berperan dalam membingkai berita dan mengkonstruksikannya secara realitas. Media berupa surat kabar seperti Harian Umum Kompas dan Republika memiliki ideologinya masing-masing. Pemberitaan seputar isu SARA di dalamnya dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Pengaruh tersebut berasal dari orang-orang yang berada di balik media tersebut. Siapa pemilik institusi media tersebut, siapa yang menjadi sumber dana media yang bersangkutan, siapa yang mempunyai relasi dengan media tersebut, dan kepada siapa segmentasi khalayak media itu. Ideologi dari keduanya akan mempengaruhi proses produksi berita atau artikel yang secara otomatis akan membentuk frame (bingkai) pemberitaan media yang bersangkutan. Akibatnya, secara tidak disadari, khalayak yang membaca, melihat, atau mendengarkan berita dari media tersebut, akan diarahkan untuk mengikuti dan memiliki pola pikir seperti framing media tersebut. Media akan menentukan peristiwa yang penting untuk diberitakan dan mana yang tidak perlu serta menentukan mana berita yang menjadi topik utama dan manakah peristiwa yang dikategorikan sebagai berita biasa. Khalayak yang menjadi konsumen media akan digiring untuk mengikuti framing yang diciptakan oleh media tersebut. Praktisnya, ia digunakan untuk melihat bagaimana aspek tertentu ditonjolkan atau ditekankan oleh kedua media tersebut. Penonjolan atau penekanan aspek tertentu dari realitas tersebut haruslah
dicermati lebih jauh, karena akan membuat bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih mudah diingat, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak. Melalui analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, analisis dipaparkan menggunakan empat struktur, yaitu secara sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Diharapkan keempat struktur tersebut merupakan rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media. Kecenderungan dan kecondongan wartawan Kompas maupun Republika dalam memahami suatu peristiwa dapat diamati dari keempat struktur tersebut. Dengan kata lain, ia dapat diamati dari bagaimana masing-masing wartawan menyusun peristiwa kedalam bentuk umum berita, sehingga dapat diketahui bagaimana cara mereka mengisahkan peristiwa, kalimat yang dipakai, pilihan kata atau diksi yang dipilih ketika menulis berita, dan menekankan makna atas pemberitaannya.
1.2
Fokus Penelitian dan Pertanyaan Penelitian
1.2.1
Fokus Penelitian
Berdasarkan dari konteks penelitian, ditarik sebuah fokus penelitian adalah bagaimana berita Isu SARA dalam penyajian berita Pilkada DKI Jakarta 2012 oleh Harian Umum Kompas dan Republika?
1.2.2
Pertanyaan Penelitian Adapun pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis sintaksis? 2. Bagaimana sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis skrip? 3. Bagaimana sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis tematik? 4. Bagaimana sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis retoris?
1.3
Tujuan Penelitian Berikut adalah tujuan penelitian : 1. Untuk mengetahui sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis sintaksis. 2. Untuk mengetahui sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis skrip.
3. Untuk mengetahui sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis tematik. 4. Untuk mengetahui sudut pandang Harian Umum Kompas dan Republika mengenai berita isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dilihat dari analisis retoris.
1.4
Kegunaan penelitian
1.4.1
Secara Teoritis
1. Penelitian ini dapat menjadi suatu referensi yang menambah khasanah pengetahuan dalam bidang komunikasi khususnya pada kajian Analisis Framing. 2. Menambah acuan bagi pembaca yang ingin mengetahui penelitian dengan pendekatan Analisis Framing Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki. 3. Memberikan gambaran mengenai pembingkaian berita dalam suatu media massa yang terefleksikan melalui berita yang dibuatnya.
1.4.2 Secara Praktis 1. Sebagai salah satu pengaplikasian dari keilmuan bidang kajian Jurnalistik mengenai Analisis Framing terutama model dari Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki.
2. Mengetahui bagaimana sikap media dan pandangan Harian Umum Kompas dan Republika sebagai salah satu media massa terhadap suatu persoalan yang kontroversi seperti isu SARA dalam pilkada.
1.5
Setting Penelitian Untuk memperjelas isi dari penelitian maka dilakukan setting penelitian
agar lebih terarah, yaitu : 1. Penelitian ini mencakup pemberitaan tentang isu SARA di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dalam Harian Umum Kompas dan Republika pada tanggal 18 Juli 2012. 2. Masalah yang diteliti lebih merujuk pada sudut pandang dalam berita yang disampaikan oleh Harian Umum Kompas dan Republika. 3. Peneliti mencoba melihat bagaimana pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat dalam bentuk berita pada Harian Umum Kompas dan Republika.
1.6
Pengertian Istilah 1. Isu adalah masalah yang dikedepankan (untuk ditanggapi), cakupan kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya. 2. SARA adalah kependekan dari Suku, Agama, Ras Antargolongan 3. Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media
berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on line internet. (dalam Sumadiria, 2008:65) 4. Pilkada adalah kependekan dari Pemilihan Kepala Daerah yaitu acara lima tahunan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum digelar di berbagai daerah di Indonesia untuk memilih kepala daerah yang baru.
1.7
Kerangka Pemikiran Komunikasi dapat diasumsikan sebagai sifat dasar manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain sebagai makhluk sosial. Manusia tidak bisa tak berkomunikasi. Pada prinsipnya komunikasi merupakan informasi yang disebarkan melewati suatu medium (media massa) yang dapat menjangkau khalayak luas secara serentak. Apapun jenis informasinya, bila disebarkan melalui media massa maka ia termasuk dalam bentuk komunikasi massa. Berita merupakan salah satu aspek penting dalam komunikasi massa. Berbagai macam berita dibuat dan disajikan kepada masyarakat yang haus akan informasi terkini. Menurut Micthel V. Charnley (dalam Romli, 2003:33) memberikan definisi tentang berita. Menurutnya, berita adalah laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting, dan menarik bagi sebagian besar pembaca, serta menyangkut kepentingan mereka. Berita merupakan laporan tercepat mengenai suatu peristiwa yang dilaporkan melalui media massa. Peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa penting yang layak untuk disebarluaskan dan wajib untuk diketahui khalayak. Awalnya istilah berita hanya ditujukan untuk laporan yang dimuat di media cetak saja. Tetapi seiring dengan
perkembangan teknologi, laporan yang disiarkan di media elektronik pun disebut berita. Kedua harian umum Kompas dan Republika ini mengkonstruksi berita mengenai isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 secara realitas dan menggiring
khalayak
pada
pembingkaian
berita
media
sesuai
dengan
kepentingannya masing-masing. Mengkontruksi berita adalah sebuah usaha atau proses untuk membangun sebuah informasi sehingga layak untuk di sajikan kepada khalayak. Untuk memahami kontruksi berita ini diperlukan sebuah analisis teks yang konseptual, salah satunya dengan pendekatan analisis framing. Menurut Eriyanto, analisis framing adalah analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Penyampaian sebuah berita ternyata menyimpan subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita menyimpan ideologis atau latar belakang seorang penulis. Seorang penulis pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan. Wartawan Kompas dan Republika memiliki ideologi yang tidak sama dalam menuliskan atau memberitakan isu tersebut. Meskipun keduanya memiliki data-data yang sama, tapi hasil analisis keduanya pasti akan memiliki cita rasa pemberitaan yang berbeda berdasarkan keinginan dari perusahaan media dimana tempat mereka kerja. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah analisis tersendiri terhadap isi berita sehingga akan diketahui latar belakang seorang penulis dalam menulis berita. Hal ini akan memberikan dampak positif terhadap pembaca itu sendiri. Pembaca akan lebih memahami mengapa seorang penulis (atau institusi pers: Kompas, Republika, Jawa Pos, dan lain-lain) menulis berita sehingga seminimal mungkin menghindari terjadinya respon yang reaksional. Pembaca tidak akan fanatik terhadap salah satu institusi pers dengan alasan ideologi. Artinya, masyarakat akan lebih dewasa terhadap pers. Mengapa isu SARA yang diangkat dalam penelitian ini? Karena berita yang diangkat harus menarik masyarakat. Masyarakat akan bereaksi apabila pemberitaannya seputar konflik. Bahasan isu SARA merupakan berita konflik yang menarik. Apalagi saat ini media menyajikan berita seputar isu SARA secara menarik. Berikut adalah empat unsur dalam analisis framing Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki:
TABEL 1.1 Kerangka Framing Pan dan Kosicki STRUKTUR
PERANGKAT FRAMING
UNIT YANG DIAMATI
SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta
1. Skema Berita
Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup.
SKRIP Cara wrtawan mengisahkan fakta
2. Kelengkapan Berita
5W + 1H
TEMATIK Cara wartawan menulis fakta
3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti
Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat
RETORIS Cara wartawan menekankan fakta
7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora
Kata, idiom, gambar/foto,grafik
Sumber : Eriyanto, Analisis Framing, 2012:295
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Komunikasi Massa 2.1.1 Definisi Komunikasi Massa Komunikasi massa memiliki beragam defenisi yang dikemukakan para ahli. Definisi yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (dalam Rakhmat, 2003:188), yakni “pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang.” Bittner menekankan pengertian komunikasi yang dikemukakannya pada media massa sebagai alat untuk menyampaikan pesan. Jadi, pesan apapun yang dikomunikasikan melalui media massa termasuk dalam komunikasi massa. Definisi yang lebih terperinci dikemukakan oleh ahli komunikasi lain, yaitu Gebner. Menurut Gebner “komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri” (Rakhmat, 2003:188). Dari definisi tersebut dapat digambarkan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.
Sementara itu Meletzke (dalam Rakhmat, 2003:188) mengartikan komunikasi massa sebagai “setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar.” Meletzke menggambarkan komunikasi sebagai pesan yang satu arah. Istilah tersebar menunjukkan bahwa komunikan sebagai pihak penerima pesan tidak berada di satu tempat, tetapi tersebar di berbagai tempat. Berdasarkan beberapa definisi ahli tersebut, maka Jalaluddin Rakhmat (2001:189) mendefinisikan komunikasi massa sebagai: “Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.” Jadi pada prinsipnya komunikasi merupakan informasi yang disebarkan kepada publik melewati suatu medium (media massa) yang dapat menjangkau khlayak luas secara serentak. Apapun jenis informasinya, bila disebarkan melalui media massa maka ia termasuk dalam bentuk komunikasi massa.
2.1.2
Karakteristik Komunikasi Massa Jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi melibatkan ratusan ribu
bahkan mencapai ratusan juta orang. Media massa memegang peranan yang sangat penting, dan prosesnya disebut dengan komunikasi massa.. Lebih jelasnya, berikut akan diuraikan beberapa ciri komunikasi massa. Jika dilihat dari unsur komunikan, maka komunikasi massa ditujukan untuk khalayak yang heterogen
dan anonim. Khalayak yang bisa dicapai bukan saja berada pada tempat yang berbeda, namun juga beragam dalam hal umum, pendidikan, pekerjaan, agama, suku bangsa, dan lain sebagainya.
Sementara itu, komunikator juga tidak
mengenal dengan pasti siapa yang dihadapinya. Komunikasi massa mempunyai karakteristik tersendiri yakni , pertama, komunikator terlembagakan. Komunikator pada komunikasi massa melembaga, media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, suatu institusi atau organisasi. Kedua, pesan bersifat umum. Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Ketiga, komunikan anonim dan heterogen. Komunikasi massa berlangsung satu arah, tidak terdapat arus balik dari komunikan kepada komunikator. Sasarannya bersifat heterogen terdiri dari bermacam-macam hal seperti jenis kelamin, umur, agama, ideologi dan lainnya. Keempat, media massa menimbulkan keserempakan. Kemampuan untuk menimbulkan keserempakan pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan. Kelima, komunikasi mengutamakan isi ketimbang hubungan. Pentingnya unsur isi dalam komunikasi massa. Keenam, komunikasi massa bersifat satu arah. Komunikasinya melalui media massa, maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Ketujuh, stimulasi alat indra terbatas. Komunikasi tergantung pada jenis media massa. Surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar. Media televisi dan film menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. Kedelapan, umpan balik tertunda dan tidak langsung. Komunikator
komunikasi massa tidak segera mengetahui reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikan.
2.1.3
Fungsi dan Proses Komunikasi Massa Fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) terdiri dari
surveilance (pengawasan), yakni pengawasan peringatan terjadi ketika media menginformasikan tentang ancaman bencana alam, adanya serangan militer dan lainnya. Serta pengawasan instrumental penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan seharihari seperti informasi produk baru, harga kebutuhan pokok dan sebagainya. interpretation (penafsiran), yakni media mengajak khalayak untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antarpersona atau kelompok. linkage (keterkaitan), yakni media massa dapat menyatukan anggota masyarakat
yang
beragam
sehingga
membentuk
pertalian
berdasarkan
kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. transmission of values (penyebaran nilai), yakni media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana bertindak dan apa yang mereka harapkan serta entertainment (hiburan) ditujukan untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak. Adapun fungsi komunikasi massa secara umum adalah fungsi informasi yakni media massa adalah penyebar informasi bagi khalayak. Fungsi pendidikan yakni media menjadi sarana pendidikan bagi khalayaknya. Media menyajikan halhal yang bersifat mendidik. Fungsi memengaruhi yakni khalayak dapat terpengaruh oleh informasi yang disajikan media massa. Selanjutnya terdapat
fungsi
komunikasi
massa
secara
khusus
yakni
fungsi
meyakinkan,
menganugerahkan status, membius, menciptakan rasa kebersatuan, privativasi dan hubungan parasosial. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan, begitu juga komunikasi massa pada hakekat adalah proses juga. Hanya yang membedakan keduanya adalah media sebagai saluran dalam komunikasi massa. Singkatnya, bahwa proses komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media massa. Komponen dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut: a. Komunikator, b. Media massa, c. Informasi (pesan) massa, d. Gatekeeper, e. Khalayak (publik), dan f. Umpan balik
2.2 Jurnalistik sebagai Komunikasi Massa Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata du jour yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang diberitakan dalam lembaran tercetak. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Karena kemajuan teknologi dan ditemukannya percetakan surat kabar dengan sistem silinder (rotasi), istilah pers
muncul sehingga istilah jurnalistik diidentikan dengan pers. Dalam bahasa Inggris, pers (press) berarti mesin pencetak, mencetak, menekan, orang-orang yang terlibat dalam penulisan dan sebagainya. Dengan demikian, jurnalistik bukanlah pers, bukan pula media massa. Dalam kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah atau berkala lainnya (Assegaf, 1983:9) -dalam Sumadiria 2008:2. Menurut Ensiklopodia Indonesia, Jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada (Suhandang, 2004:22) - dalam Sumadiria (2008:2). Dalam buku Jurnalistik Indonesia, Sumadiria mendefinisikan jurnalistik sebagai berikut. Secara teknis, jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya. (Sumadiria, 2008:2). Berbicara elemen jurnalisme di era kontemporer, Santana (2005:5-6) lebih suka mengadopsi sembilan elemen junalisme yang dirumuskan Bill Kovach & Tom Rosentiel (2001:17-19). Menurutnya, berbagai elemen ini merupakan dasar jurnalisme agar dipercaya masyarakat. Kebijakan utama jurnalisme ialah menyampaikan informasi yang dibutuhkan masyarakat sehingga mereka leluasa dan
mampu
mengatur
dirinya
sendiri.
Jurnalisme,
dari
realitas
yang
dilaporkannya, menciptakan bahasa bersama dan pengetahuan bersama. Untuk itu jurnalisme memiliki tugas: 1. Menyampaikan kebenaran. Jurnalisme melaporkan materi kebenaran apa yang dapat dipercaya dan dimanfaatkan masyarakan pada saat ini. Kebenaran di sini bukanlah kebenaran yang bersifat religius, ideologis, atau pun filsafat. Juga, tidak menyangkut kebenaran berdasar pandangan seseorang. Sebab, pemberitaan seorang wartawan bisa memiliki bias. Latar belakang sosial, pendidikan, kelompok etnik, atau agama, yang dianut wartawan dapat memengauhi laporan berita yang dibuatnya. Wartawan berkemungkinan menafsirkan kebenaran sebuah fakta secara berbeda-beda satu sama lain. 2. Memiliki loyalitas kepada masyarakat. Ini memaknakan kemandirian jurnalisme. Para jurnalis tidak bekerja atas kepentingan pelanggan. Para jurnalis bekerja atas komitmen, keberanian, nilai yang diyakini dan sikap profesionalisme yagn telah diakui publik. 3. Memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi. Ini berarti kegiatan menelusuri sekian saksi untuk sebuah peristiwa, mencari sekian banyak narasumber, dan mengungkap sekian banyak komentar. 4. Memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya. Ini berarti tidak menjadi konsultan ”diam-diam”, penulis pidato, atau mendapat uang dari pihak-pihak yang diliput. 5. Memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaan. Elemen ini bukan berarti pekerjaan wartawan itu menganggu orang yang tengah berbahagia, dengan beita-berita buruk. Bukan menunggangi keburukan masyarakat. Juga, bukan memerankan watchdog dengan tujuan melaporkan sesuatu yang selalu sensasional daripada melayani masyarakat. Apalagi, mengatasnamakan watchdog untuk kepentingan bisnis media. Elemen ini terkait dengan kegiatan investigatif pers. Kegiatan media melaporkan berbagai pelanggaran, kasus, atau kejahatan yang dilakukan pihak-pihak tertentu, baik pihak pemerintah atau pun lembaga-lembaga yang kuat di masyarakat. 6. Menjadi Forum bagi kritik dan kesepakatan publik. Elemen ini merupakan upaya media menyediakan ruang kitik dan kompromi kepada publik. Pemberitaan berati mengingatkan masyarakat akan terjadinya sesuatu. Media juga menyediakan ruang analisis untuk membahas peristiwa tersebut melalui konteks, perbandingan, atau perspektif tertentu. 7. Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik. Elemen ini mewajibkan media utnuk melaporkan berita dengan cara menyenangkan, mengasikan, dan menyentuh sensasi masyarakat. 8. Membuat berita secara komprehensif dan proporsional. Mutu jurnalisme amat tergantung pada kelengkapan dan proporsionalitas pemberitaan yang dikerjakan media. Elemen ini mengingatkan kita agar tidak jor-joran meliput sensasi acara pengadilan atau skandal selebritas secara berlebihan, hanya untuk tujuan rating, oplah, atau iklan. Apalagi, melaporkan dengan
tidak melakukan verifikasi, pengecekan silang, atau wawancara keberbagai pihak terkait. Pemberitaan semacam ini dapat menyesatkan pembaca. 9. Memberikan kekuasaan wartawan untu mengikuti nurani mereka. Pada elemen ini media harus memberi ruang bagi wartwan untuk merasa bebas berfikir dan berpendapat.
2.3
Tinjauan Umum Media Massa Secara etimologis media yang berasal dari bahasa latin medium yang
berarti tengah, perantara, atau pengantar. Dengan kata lain, media adalah perantara atau pengantar dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Sedangkan massa adalah kata serapan (Bahasa Inggris) yaitu mass yang berarti massa atau jumlah besar, publik, masyarakat. Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin, 2007:9). Media massa memiliki empat fungsi yakni informasi, edukasi, hiburan dan persuasif. Media massa telah merasuk ke dalam kehidupan modern. Melalui media massa kita mengetahui hampir segala sesuatu yang kita tahu tentang dunia di luar lingkungan dekat kita. Media massa adalah alat utama para propogandis, pengiklan, dan para orang-orang semacam itu. Inti dari fungsi media sebagai penyampai informasi adalah berita. Media massa juga dapat menjadi entertainer yang hebat karena bisa mendapatkan begitu banyak audien. Hampir semua media massa mengandung unsur entertainment, walaupun tidak ada medium yang sepenuhnya bersifat hiburan. Kebanyakan media massa adalah campuran dan
informasi dan entertainment dan juga persuasi. Orang-orang membentuk opini dari informasi dan interpretasi atas informasi yang mereka terima. Ini berarti bahwa bahkan liputan berita sekalipun mengandung unsur persuasi. Akan tetapi, upaya media untuk melakukan persuasi biasanya dilakukan melalui editorial (tajuk rencana) dan ulasan atau komentar yang jelas-jelas bertujuan persuasi (Vivian, 2008:5-6).
2.4
Surat Kabar sebagai Media Komunikasi Massa Surat kabar berfungsi sebagai pemberi penerangan dengan memberikan
berita atau informasi kepada publik, serta sebagai pembawa pernyataan paham atau pendapat yang mampu memuat pikiran-pikiran, pandangan-pandangan ataupun pendapat-pendapat orang. Karakteristik surat kabar sebagai media massa mencakup ke dalam ciri-ciri sebagai berikut:
Publisitas, berarti bahwa surat kabar diperuntukan umum; karenanya berita, tajuk rencana, artikel, dan lain-lain harus menyangkut kepentingan umum.
Periodisitas, yang berarti suatu penerbitan disebut surat kabar jika terbit secara periodik atau teratur.
Universalitas, menunjukkan bahwa surat kabar harus memuat aneka berita mengenai kejadian-kejadian di seluruh dunia dan tentang segala aspek kehidupan manusia.
Aktualitas, ialah kecepatan penyampaian laporan mengenai kejadian di masyarakat kepada khalayak.
Terdokumentasi, dari berbagai fakta yang disajikan surat kabar dipastikan oleh pihak-pihak tertentu dianggap penting untuk diarsipkan.
Secara umum, fungsi surat kabar adalah sebagai berikut: 1. Publishing the news (menerbitkan atau menyiarkan berita). Surat kabar harus menyiapkan segala sesuatu dengan benar, namun demikian ada beberapa surat kabar yang menyiarkan berita sesuai dengan kebijaksanaan redaksi. Tujuanya agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan sesuai dengan pernyataan bahwa berita harus diterbitkan dengan teliti (news must be reported accurately). Juga teliti dalam hal interpretasi, sebab surat kabar bertindak sebagai penerjemah. Selain itu, berita harus disiarkan secara adil, ini berarti surat kabar menceritakan secara benar. 2. Commenting on the news (memberikan komentar terhadap suatu berita). Fungsi ini memungkinkan pembaca menemukan maksud dari suatu berita dan apa yang dikatakan orang lain tentang berita itu. Cara untuk memenuhi fungsi ini melalui editorial atau tajuk rencana. 3. Entertaining readers (menghibur para pembaca). Hasil artkel-artikel dalam surat kabar banyak dibaca oleh pembaca karena artikel-artikel itu dapat memberikan hiburan kepada pembaca. 4. Helping readers (menolong para pembaca bagaimana cara menggunakan sesuatu). George Fox Mott dalam buku “New Survey of Journalism” menyatakan bahwa surat kabar membantu dalam hal pemimpin dan pelayanan; juga resensi film dan buku. 5. Publishing advertising (menerbitkan atau menyiarkan barang dan jasa yang ditawarkan kepada publik dengan menyewa ruang dan waktu). Advertising membantu perkembangan terhadap surat kabar, sebab tanpa advertising harga surat kabar akan mahal. Advertising meliputi apa yang disebut AIDDA; yaitu Attention, Interest, Desire, Decision, dan Action.
Albert F. Heaning mengatakan, berdasarkan waktu terbitnya, surat kabar dibagi kedalam empat bagian:
1. Surat kabar harian (daily newspaper), adalah surat kabar yang mempunyai waktu terbit setiap hari sekali (surat kabar umum). 2. Surat kabar mingguan (weekly newspaper), adalah surat kabar yang terbit satu minggu sekali. 3. Surat kabat dua mingguan/bulanan, adalah surat kabar yang terbit dua minggu sekali atau setiap bulan sekali. 4. Tabloid adalah surat kabar yang berukuran format lebih kecil dari ukuran yang biasa.
Berdasarkan isinya, surat kabar dibagi menjadi: 1. Quality Newspaper, misalnya Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, dsb. 2. Yellow newspaper adalah surat kabar yang isinya khusus membicarakan desas-desus, gosip, dsb. Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa surat kabar adalah alat informasi kepada masyarakat melalui laporan-laporan yang aktual, mendidik, serta menghibur yang terbit secara berkala.
2.5
Tinjauan Umum Terhadap Berita Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar,
menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on line internet. (dalam Sumadiria, 2008:65) Terdapat empat unsur yang harus dipenuhi oleh sebuah berita. Empat unsur ini sekaligus menjadi karakteristik utama sebuah berita yang layak dipublikasikan di media massa, yaitu :
1. Cepat (aktual), ketepatan waktu dimana berita mengandung sesuatu hal baru. 2. Nyata (faktual), yakni informasinya berisi tentang sebuah fakta bukan fiksi. 3. Penting, yakni menyangkut kepentingan orang banyak. 4. Menarik, artinya mengundang orang untuk membaca berita yang ditulis.
Romli menjabarkan jenis-jenis berita yang dikenal dalam dunia jurnalistik diantaranya pertama, straight news yakni berita langsung, apa adanya, ditulis secara singkat dan lugas. Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita jenis ini. Kedua, depth news yakni berita mendalam, dikembangkan dengan pendalaman hal-hal yang ada di bawah suatu permukaan. Ketiga, investigation news yakni berita yang dikembangkan berdasarkan penelitian atau penyelidikan dari berbagai sumber. Keempat, interpretative news berita yang dikembangkan dengan pendapat atau penilaian penulisnya atau reporter. Kelima, opinion news yakni berita mengenai pendapat seseorang, biasanya pendapat para cendikiawan, tokoh,
ahli,
atau
pejabat,
mengenai
sesuatu
hal,
peristiwa,
kondisi
poleksosbudhankam, dan sebagainya. (Asep Syamsul M. Romli, 1999: 8). Septiawan
Santana
Kurnia,
dalam
mengintepretasikan
jurnalsime
kontemporer, menjelaskan beberapa nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, ialah: 1. Immediacy. Artinya terkait dengan kesegaran peristiwa yang dilaporkan. 2. Proximity. Keterdekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa dalam kehidupan sehari-hari mereka. 3. Consequence. Berita yang mengubah kehidupan pembaca yang mengandung nilai konsekuensi.
4. Conflict. Peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi, kriminal, perseteruan antar individu, antar tim, kelompaok merupakan elemen-elemen natural dari berita-berita yang mengandung konflik. 5. Oddity. Peristiwa yang tidak biasa terjadi adalah sesuatu yagn akan diperhatikan masyarakat. 6. Sex. Kerap seks menjadi elemen utama dari sebuah pemberitan. 7. Emotion. Elemen ini kadang dimaknakan sebagai elemen human interest. 8. Prominace. Elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar istilah ”name make news”, nama akan membuat berita. 9. Suspense. Elemen ini menunjukan sesuatu yang ditunggu-tunggu terhadap sebuah berita, oleh masyarakat. 10. Progress. Elemen ini merupakan elemen perkembangan peristiwwa yang ditunggu masyarakat. (Santana, 2005:18-20)
Gagasan kontemporer bahwa isi berita harus objektif, yang dominan di AS, adalah konsep yang relatif baru. Juga, ini adalah gagasan yang tidak dianut di semua Negara demokrasi modern. Istilah “objektivitas” diapakai berlebihan dan tidak begitu berguna. Lebih baik memandang jurnalisme sebagai proses pancarian kebenaran untuk memberitakan kebenaran. Mengingat bahwa semua manusia, termasuk jurnalis, memberikan nilai personal atas apa yang mereka lakukan, maka objektivitas yang bebas nilai adalah cita-cita yang mustahil. Hanya seseorang yang benar-benar amoral yang bisa objektif. Itu berarti bahwa jurnalis hanya melakukan kegiatan yang kelihatannya bebas nilai dan karenanya harus memainkan kata-kata agar nilai mereka tersembunyikan. Menurut pengkritik, ini adalah penipuan terhadap audien berita. Upaya tersebut juga bertentangan dengan upaya jurnalis mengajukan pertanyaan yang mengungkap nilai personal. Ini semua menunjukan bahwa kata “objektif” dan konsep objektivitas sangat problematic sehingga tidak banyak gunanya (Vivian, 2008:307)
Dalam buku Jurnalisme Kontemporer, terdapat beberapa kategori pemberitaan seperti Hard news yakni kisah berita ini merupakan desain utama dari sebuah pemberitaan. Isinya menyangkut hal- hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca, pendengar, atau pemirsa. Kisah – kisahnya biasanya adalah hal yang dianggap penting, dan karena itu segera dilaporkan oleh koran, radio, atau televisi dari begitu peristiwanya terjadi; Feature news atau berita feature ialah kisah peristiwa atau situasi yang menimbulkan kegemparan atau imaji-imaji (pencitraan), peristiwanya bisa jadi bukan termasuk yang teramat penting harus diketahui masyarakat, bahkan kemungkinan hal – hal yang telah terjadi beberapa waktu lalu; Sports news atau berita olahraga bisa masuk ke kategori hard news atau feature. Selain dari hasil pertandingan atau perlombaan atau rangkaian kompetisi musiman, pemberitaan bisa meliputi hal lain yang terkait sports, seperti tokoh olahragawan, kehidupan para pemain olahraga yang hendak bertanding, sampai penggemar fanatik; Social news, umumnya meliputi pemberitaan yang terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari; Interpretive, dalam berita ini, wartawan berupaya untuk memberi kedalaman analisis, dan melakukan survey terhadap berbagai hal yang terkait dengan peristiwa yang hendak dilaporkan; Science, dalam kisah ini, para wartawan berupaya untuk menjelaskan dalam bahasa berita ikhwal kemajuan perkembangan keilmuan dan teknologi;
Consumer, para penulis a consumer story ialah para pembantu
khalayak yang hendak membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari, baik kebutuhan primer dan sekunder dan Financial, para penulis financial news memfokus perhatiannya pada bidang bisnis, komersial, atau investasi. Para
penulisnya umumnya mempunyai referensi akademis atau kepakaran terhadap subjek yang dibahasnya.
2.5.1 Kontrol Sosial Media dalam Berita Pilkada Kontrol sosial media (pers) dimaksudkan sebagai pengawasan masyarakat melalui media massa terhadap jalannya pemerintahan, khususnya pengawasan terhadap pemerintah beserta aparaturnya. Dua peran pokok pers yang independen yakni
menjadi
“anjing
penjaga”
(watchdog)
bagi
pemerintah,
dan
mengedukasikan publik atas berbagai isu yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Contoh aktual dapat dikaji dari peran pers daerah dalam meliput penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). (dalam buku Media, Jurnalisme dan Budaya Populer, 2008:201). Menurut hasil survei The Asia Foundation tahun 2004, lebih dari 90 persen masyarakat menggunakan media sebagai sumber informasi pemilihan umum. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan media sebagai sarana “main mata” antara pemilik media dan elit politik daerah. Fungsi kontrol sosial yang sangat luas, yakni meramu kepentingan antara pemerintah, masyarakat, dan pers sebagai pelapor. Maka dibutuhkan kemampuan wartawan akan pelaporan yang fairness, dan menuntun wartawan agar senantiasa melakukan pengecekan berita dengan cover both sides, meliputi dari berbagai sisi secara seimbang. Kebutuhan atas akses informasi itu berisi dua. Para petinggi pemerintah pun membutuhkan informasi dan mereka punya senjata ampuh, yakni surat pengadilan, untuk memaksa warga masyarakat memberikan suatu informasi.
Belakangan, wewenang ini dikritik media massa karena pemerintah sering sulit dimintai informasi, namun bisa memaksa untuk memperoleh informasi. Media massa menentang keras tindakan seperti itu, karena melindungi sumber informsi merupakan bagian dari kehormatan jurnalis. Kualitas demokrasi dalam pilkada bergantung pada kemandirian pers mengkonstruksi realitas yang berhubungan dengan isu pilkada. Pers lokal ditempatkan sebagai aktor strategis, memiliki peranan sebagai agen produksi dan reproduksi informasi tentang figur dan sosialisasi mekanisme pilkada bagi khalayak yang akan membentuk opini bahkan pemihakan pada salah satu kepentingan politik yang berkompetisi. Pers lokal memang dituntut untuk memberikan informasi yang relatif objektif dan netral. Nyatanya netralitas mediasi pers lokal menimbulkan masalah pelik. Di satu sisi, pers lokal dituntut untuk bersikap netral atas pemberitaannya mengenai isu-isu pilkada langsung. Di sisi lain, pers lokal juga dituntut untuk senantiasa bersikap kritis dan transparan terhadap segala bentuk penyimpangan yang mungkin berlangsung selama masa kampanye dan pasca pemilihan.
2.5.2 Bias Media dan Politik Pemaknaan dalam Pilkada Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada di ruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam (Sobur 2009: 29). Louis Althusser menulis bahwa media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan
kemampuaanya sebagai sarana legitimasi. (Sobur 2009: 30). Kemudian, media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan, merupakan bagian dari alat kekuasan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Untuk segelintir ahli, media (pers) kerap kali disebut sebagai kekuasan keempat dalam kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Hal ini disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Karl Deutsch (dalam Sobur 2009: 31), menyebutkan bahwa media sebagai “urat nadi pemerintahan”. Hanya mereka yang mempunyai akses kepada informasi, kira-kira demikian Deutsch berargumentasi, yang bakal menguasai percaturan kekuasaan. Atau paling tidak, urat nadi pemerintahan itu sebenarnya berada di jaring-jaring informasi, tambah Alex Sobur dalam bukunya, Eriyanto menyebutkan politik pemberitaan media berhubungan dengan strategi media dalam meliput peristiwa, memilih dan menampilkan fakta serta dengan cara apa fakta itu disajikan (dalam Sobur 2009: 40). Teori ini secara dapat kita pahami bahwa secara formal atau tidak formal berpengaruh dalam merekontruksi peristiwa. Oleh karena itu yang terpenting, dibutuhkan kemampuan kita dalam memahami media –bagaimana media tersebut melakukan politik pemaknaan-. Stuart Hall menyatakan, makna tidak bergantung pada makna itu sendiri, tetapi lebih pada praktik pemaknaan. Perspektif Hall, makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik konstruksi. Media massa, menurut Hall, pada dasarnya tidak memproduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang
terpilih. Maka itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan tempat memasukan bahasa di dalamnya (Sobur 2009: 40). Dalam konteks pilkada, pekerjaan insani pers terbingkai dalam dua ranah yang mesti berimbang. Pertama, ranah teknik yakni batasan-batasan teknis mengenai bagaimana realitas sosiologi maupun psikologis tentang isu-isu pilkada diolah dan direpresentasikan. Namun tidak setiap realitas pilkada diberitakan karena terdapat serangkaian standar agar informasi layak untuk dimediasikan. Kedua, ranah etik yakni sejauh mana kepantasan perilaku wartawan dalam memperoleh dan mengkonstruksi informasi dapat dipertanggungjawabkan. Implementasi tanggung jawab ini tercermin dari sejauh mana insan pers berpegang teguh pada kode etik profesional jurnalis (code of conduct). Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media, memudahkan kita dalam pengkerucutan bias media dan politik pemaknaan. Alex Sobur berpandangan, manakala bahasa digunakan oleh media massa, maka sebetulnya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dalam menanamkan stereotip atau prasangka tertentu. Ketika pengalaman fisikal kian sulit dilakukan manusia, pengalaman psikologis yang diperoleh melalui pendeskripsian serta kata-kata yang digunakan wartawan menjadi pilihan untuk memperluas cakrawala berpikir kita (Sobur 2009: 40).
2.6
Tinjauan Suku Bangsa Tionghoa dan Isu SARA Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah
satu etnis di Indonesia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara
bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah
negara
Indonesia
merdeka,
orang
Tionghoa
yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hadirnya Ahok sebagai kandidat Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta memicu berbagai macam reaksi di masyarakat khususnya warga Jakarta. Ahok sebagai orang yang berketurunan suku bangsa Cina memicu penyebaran isu SARA. Bentuk penyebaran ini dapat berupa adanya tindakan pelecehan, diskriminasi, intimidasi, dan bahkan penggunaan instrumen kekerasan. Dan tentu saja dapat mengundang konflik. Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998 pada masa pemerintahan Soeharto. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaanperusahaan dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh.
Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut. Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut. Sepanjang era Soeharto nyaris tiada tahun tanpa tindakan rasial terhadap Tionghoa, baik yang dilakukan langsung aparat negara maupun ledakan gerakan massa yang sudah terlanjur disulut sentimen anti-Tionghoa. Setelah jatuhnya Soeharto, banyak perkembangan positif mengenai kebijakan pemerintah. Misalnya dihapuskan Instruksi Presiden RI No. 14 tahun 1967 yang membatasi perayaan dan adat-istiadat etnis Tionghoa, diakui kembali agama Konghucu dan konsep bangsa Indonesia yang baru yang diusulkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada masa pemerintahannya. Menurut Gus Dur, bangsa Indonesia terdiri dari tiga ras yakni ras Melayu, ras Tionghoa dan ras AustroMelanesia. Dengan kata lain, keturunan Tionghoa adalah bagian integral dari
bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan lagi. Penyelenggaraan berupa kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dapat dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
2.6.1 Pers, Pilkada dan Isu SARA Pers lokal dalam pilkada berperan sebagai penyalur yang netral dan tanpa target tertentu diantara anggota masyarakat yang ingin berbicara kepada publik yang ingin dicapai. Tugas berat yang mesti diemban setiap pers media adalah harus menempatkan sebagai lembaga yang bebas nilai dan kepentingan. Pers harus mewaspadai jebakan-jebakan praktis seperti wartawan menjadi spin doctor atau setidaknya dipengaruhi tim sukses yang berfungsi sebagai spin doctor. Spin doctor bertugas mempopulerkan kandidat lewat pemberitaan yang cukup memadai di media. Wartawan akan dipengaruhi untuk memastikan opini apa yang akan dimuat di media. Seperti beberapa waktu lalu, sebelum pilkada DKI Jakarta putaran kedua digelar, atmosfer persaingan antarkandidat calon gubernur sangatlah panas. Berbagai cara dilakukan masing-masing tim sukses untuk menarik simpati warga Jakarta. Adu visi-misi, adu janji, adu iklan, adu debat, sampai perang urat syaraf terjadi. Bahkan kampanye hitam dilakukan, hanya sulit membuktikan siapa yang benar-benar bertanggungjawab. Berbagai macam isu pun dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan. Isu yang paling marak adalah ketika digulirkannya isu SARA. Sampai kasus isu SARA ini melibatkan tokoh-tokoh politik bahkan tokoh pemuka agama yang
mengaku
bukan dari tim sukses salah satu calon. Kasus ini sampai ke tangan lembaga terkait, hasilnya dinyatakan tidak bersalah dan diselesaikan dengan damai. Meski begitu, isu SARA sudah kadung bergulir, dan sudah diamini bahwa isu ini dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan. Serunya
persaingan
antarkandidat
dalam
momen
pilkada
akan
menempatkan pemberitaan pers sebagai arena konflik kepentingan. Meski begitu berdasarkan survei yang dilakukan pemilih di Jakarta sebanyak 21% merupakan pemilih dengan pendidikan S1 ke atas, dimana mereka punya akses terhadap media sangat besar. Di sini jelas bahwa pemilih dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, lebih kritis. Menurut Direktur Eksekutif Komunikasi Lembaga Survei Indonesia, Burhanudin Muhtadi, penggunaan isu SARA (Suku, agama, ras dan antar golongan) yang terjadi dalam kampanye pemilihan gubernur Jakarta tidak terlalu berpengaruh signifikan karena sebagian masyarakat Jakarta lebih mengevaluasi kinerja Fauzi Bowo sebagai Gubernur yang dinilai gagal dalam mengatasi permasalah Jakarta seperti kemacetan dan banjir. Isu SARA dinilai isu paling primitif yang digulirkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Setidaknya gunakanlah cara yang lebih elegan dan berpendidikan. Meskipun masyarakat Indonesia punya tingkat pendidikan yang tidak cukup baik, namun sebenarnya masyarakat Indonesia punya potensi untuk berpikir cerdas, kepada siapa suara mereka disalurkan.
2.6.2 Kode Etik Jurnalistik dan Berita SARA Kode Etik Jurnalistik tidak membolehkan wartawan membuat berita yang memuat prasangka atau kebencian atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan (SARA). Hal ini menjadi prinsip universal yang diakui negara-negara beradab. Hasutan berupa kebencian yang berdasarkan pada SARA dianggap sangat berbahaya bagi masyarakat. Jangan sampai pers kebablasan dan menyalahgunakan kemerdekaan pers yang dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Setelah peristiwa kerusuhan Mei 1998, pers yang telah merdeka terkesan mengeksploitasi kebebasannya secara maksimal, dilihat dari orientasi perusahaan pers dan wartawan Indonesia pada umumnya meraup keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan fungsi ideal pers. Indonesia negara multikultur. Masyarakat tidak bisa mengabaikan begitu saja potensi konflik antarsuku atau agama. Di negara demokrasi, kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. Namun, apabila sudah menyangkut isu SARA, kebebasan berpendapat harus digunakan dengan hati-hati. Media harusnya mengedepankan empati dalam membuat berita terkait SARA agar tidak memunculkan kebencian. Apalagi kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan
bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Kualitatif Metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam penelitian. Sebagian
orang menganggap bahwa metode penelitian terdiri dari berbagai teknik penelitian dan sebagian lagi menyamakan metode penelitian dengan teknik penelitian (Mulyana, 2003:146). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pada prinsipnya, penelitian kualitatif merupakan metode yang disandarkan pada interpretasi penulis atau peneliti. Oleh karenanya, metode ini juga disebut dengan pendekatan subjektif. Selain itu, peneliti tidak memiliki jarak dengan objek penelitiannya, karena peneliti aktif dan berinteraksi secara langsung dengan objek penelitiannya. Dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif dijelaskan ciri-ciri yang membedakan penelitian kualitatif dengan yang lain, yakni, pertama, memiliki minat teoritis pada proses interpretasi manusia. Kedua, memfokuskan perhatian pada studi tindakan manusia dan artefak yang tersituasikan secara sosial. Ketiga, mengunakan
manusia
sebagai
instrument
penelitian
utama.
Keempat,
mengandalkan bentuk-bentuk naratif terutama dalam mengkode data dan menulis teks untuk disajikan kepada khalayak. Penelitian kualitatif sangat berbeda dengan jenis penelitian lainnya, perbedaannya yang paling mencolok terletak pada bagaimana peneliti memfokuskan pada apa yang dilakukan oleh manusia, dan manusia menjadi instrument penelitian yang paling utama.
3.2
Pendekatan Analisis Framing Dalam ranah studi komunikasi, analisis framing mewakili tradisi yang
mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis fenomena atau aktifitas komunikasi. Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan konsep ilmu komunikasi akan tetapi dipinjam dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya (Sudibyo dalam Sobur, 2009 : 162). Analisis framing, yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Cara bercerita itu tergambar pada “cara melihat” terhadap realitas yang dijadikan berita. Cara melihat ini berpengaruh pada hasil akhir dari konstruksi realitas. (Eriyanto, 2012: 10). Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang
digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. (Sobur, 2009:162) Ada dua esensi utama dari framing. Pertama, bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian mana yang tidak diliput. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar untuk mendukung gagasan. Dalam analisis framing, yang menjadi pusat perhatian adalah pembentukan pesan dari teks. Media massa dianggap tidak menyajikan gambaran realitas yang sebenarnya, melainkan “realitas semu” (Piliang, 2001:148) dalam Sobur 2009:170. Jean Baudrillard seorang sosiolog Prancis menggunakan hiperrealitas (hyperreality) untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media (Pilliang, 2001:149-150) dalam Sobur, 2009:170. Mulanya konsep hyperreality memang dikembangkan Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan dan distrosi informasi di dalam media. Hipperealitas menggiring orang mempercayai sebuah citra sebagai kebenaran, meski kenyataannya hanyalah dramatisasi realitas dan pemalsuan kebenaran, yang “melampaui realitas” (Piliang, 1994:4) dalam Sobur 2009:170. Perang, apapun yang menyulutnya sering disebut-sebut sebagai konflik yang dilembagakan. Dan kekuatan media tentu saja mempengaruhi situasi konflik. Sebab, kekuatan media antara lain muncul melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto dan gambar dan lain-lain. Dengan demikian sebetulnya media punya potensi untuk jadi peredam ataupun pendorong konflik. Media bisa
memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya. Media bisa merekonstruksi realitas, namun juga bisa menghadirkan hipperealitas. Salah satu yang menjadi prinsip analisis framing adalah bahwa wartawan bisa menerapkan standar kebenaran, matriks objektivitas, serta batasan-batasan tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita. Dalam merekonstruksi suatu realitas, wartawan juga cenderung menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristal menjadi schemata interpretasi. Dengan skema ini pula wartawan cenderung membatasi atau menyeleksi sumber berita, -menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta memberi porsi yang berbeda terhadap tafsir atau perspektif yang muncul dalam wacana media. Pekerjaan media massa adalah
mengkonstruksi
realitas.
Isi
media
adalah
hasil
para
pekerja
mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya diantara realitas politik.
3.2.1
Framing Model Pan dan Kosicki
Analisis framing sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan dan dinegosiasikan. Pan dan Kosicki membuat suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama konsepsi psikologis yang melihat frame semata sebagai persoalan internal pikiran dengan konsepsi sosiologis yang lebih tertarik melihat frame dari sisi bagaimana lingkungan sosial dikonstruksi seseorang. Bagi Pan dan Kosicki, framing pada dasarnya melibatkan dua konsepsi tersebut. (Eriyanto, 2012: 291). Dalam media framing karenanya dipahami sebagai perangkat kognisi yang digunakan dalam informasi untuk membuat kode, menafsirkan, dan menyimpannya untuk dikomunikasikan dengan
khalayak – yang kesemuanya dihubungkan dengan konvensi, rutinitas, dan praktek kerja profesional wartawan. Framing lalu dimaknai sebagai suatu strategi atau cara wartawan dalam mengkonstruksi dan memproses peristiwa untuk disajikan pada khalayak. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Elemen yang menandakan pemahaman seseorang mempunyai bentuk yang terstruktur dalam bentuk aturan atau konvensi penulisan sehingga ia dapat menjadi jendela melalui makna yang tersirat dari berita menjadi terlihat. Dalam pendekatan ini, perangkat framing dapat dibagi kedalam empat struktur besar. Pertama, struktur Sintaksis. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa, pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa-kedalam bentuk susunan umum berita. Struktur semantik ini dengan demikian dapat diamati dari bagan berita (lead yang dipakai, latar, headline , kutipan yang diambil, dan sebagainya). Intinya ia mengamati bagaimana wartawan memahami peristiwa yang dapat dilihat dari cara ia menyusun fakta kedalam bentuk umum berita. Sintaksis dalam pengertian umum berarti susunan kata, atau frase dalam kalimat. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita. Kedua, struktur Skrip. Skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Laporan berita sering disusun sebagai suatu cerita. Menulis berita dapat disamakan, dalam taraf tertentu, dengan seorang yang menulis novel atau fiksi lain.
Ketiga, struktur Tematik. Tematik berhubungan dengan peristiwa kedalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Dalam menulis berita, wartawan mempunyai tema tertentu atas suatu peristiwa. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik ini. Diantaranya adalah koherensi dan proposisi. Keempat, struktur Retoris. Retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembaca. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata lain yang dipilih wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. Selain lewat kata, penekanan pesan dalam berita itu juga dapat dilakukan dengan menggunakan unsur grafis. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lainnya. Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar dan tabel untuk mendukung gagasan atau bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan.
3.2.2
Aspek Analisis Framing
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini berdasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Bagian mana yang akan ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang akan diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya, peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapakan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditentangkan dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan sebagainya. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak ( Eriyanto, 2012 : 81-82 ).
3.2.3
Frame dan Realitas
Framing itu pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir dihadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagimana kita melakukan frame atas peristiwa itu yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita.
TABEL 3.1 Framing dan Realitas Pemberitaan peristiwa tertentu
Kenapa peristiwa itu diberitakan? Kenapa peristiwa lain tidak diberitakan? Kenapa peristiwa yang sama ditempat/pihak berbeda tidak diberitakan?
Pendefinisian realitas tertentu
Kenapa realitas didefinisikan seperti itu?
Penyajian sisi tertentu
Kenapa sisi tertentu yang ditonjolkan? Kenapa bukan sisi yang lain?
Pemilihan fakta tertentu yang lain
Kenapa fakta itu yang ditonjolkan? Kenapa bukan fakta yang lain?
Pemilihan narasumber tertentu
Kenapa narasumber itu yang diwawancarai? Kenapa bukan yang lain?
Sumber : Eriyanto, Analisis Framing, 2012:97-98
3.3 Langkah-langkah Penelitian 1. Merumuskan Masalah Yaitu menyimpulkan data dari latar belakang masalah yang dibuat, apa sebenarnya yang menjadi pertanyaan utama dari permasalahan ini, sehingga didapat rumusan masalah yang menjadi tujuan penelitian ini akan dilakukan. 2. Menentukan Sasaran Penelitian Menentukan aspek apa yang menjadi sasaran penelitian ini, dalam hal ini, peneliti akan mencari aspek yang dipakai oleh wartawan Kompas dan Republika dalam menulis masalah tersebut. 3. Mengumpulkan Data Penelitian Data dalam penelitian ini adalah segala fakta dan informasi yang dapat menjadikan instrumen penelitian. Pengumpulan data secara singkat akan diuraikan sebagai berikut : Analisis Tekstual Penulis akan melakukan pengamatan sebuah berita, dimana merupakan wacana berita yang menjadi objek penelitian dalam harian umum Kompas dan Republika, tanggal 18 Juli 2012, dan sebagai pelengkap juga pembanding
penulis mengangkat berita pada tanggal 17 Juli 2012, dengan tema berita yang sama. Studi Kepustakaan Peneliti mencari dan mengumpulkan tulisan dan buku dari literatur serta informasi lain, tentang analisis framing dan tentang pemberitaan mengenai isu SARA dalam pemberitaan Pilkada, yang akan dipakai dalam analisis framing terhadap teks berita pada penelitian ini. Wawancara. Sebagai pelengkap, peneliti akan melakukan interview dengan beberapa narasumber yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap penelitian ini. Peneliti menggunakan wawancara tak terstruktur, dalam artian pertanyaan yang diajukan dapat berubah saat wawancara, disesuaikan dengan kondisi atau bisa dibilang seperti percakapan informal. 4. Menganalisis Data Penelitian Kualitatif Yaitu berisi analisis data yang dipakai oleh peneliti. Analisis tersebut dilakukan sesuai teknik analisis framing model yang telah dipilih, yaitu analsisis framing model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki . 5. Menyimpulkan Hasil Penelitian Setelah selesai menganalisis data-data yang dimiliki oleh peneliti, maka kemudian dibuat kesimpulan yang akan menggambarkan hasil dari penelitian ini.
3.4 Objek Penelitian Harian Umum Kompas dan Republika 3.4.1
Sejarah Berdirinya Harian Umum Kompas Kompas untuk pertama kalinya diterbitkan tanggal 28 Juni 1965, tepat
pada massa dimatikannya Koran – Koran nonkomunis sejak awal tahun 1960-an. Menurut Frans Seda, salah seorang pendiri Kompas, harian ini lahir ditengahtengah sikon politik yang dinamakan Sikon Revolusioner, tahu revolusi belum selesai. Yang harus “diselesaikan” pada saat itu yakni Neokolim (Neo Kapitalisme Imperialisme), Kabir (Kapitalis Birokrat), dan 7 Setan Desa (Tuan tanah jahat, tengkulak jahat, penghisap darah rakyat, bandit desa, tukang ijon, kapitalis birokrat, dan penguasa jahat). Pada edisi permulaan Kompas sering diplesetkan menjadi sebuah singkatan “Komando Pastor”, sebab selain tokoh-tokoh pendirinya dari golongan Katolik, Kompas banyak dilanggan oleh para Pastor. Plesetan kata “Komando Pastor” lebih gencar ditiupkan oleh orang – orang komunis pada masa itu dengan maksud untuk menghasut dan menjatuhkan nama baik Kompas. Kemudian ada pula yang memplesetkan Kompas menjadi “Komt Pas Morgen” artinya Kompas yang datang keesokan harinya, karena memang sering telat terbit. Suhu politik di Indonesia yang memanas menjelang tahun 1965 ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kegiatan sepihak, bahkan menyuarakan perlunya dibentuk angkatan kelima untuk menghadapi alat – alat keamanan Negara yang sah, ABRI. Dengan dalih Landreform, misalnya, PKI melakukan penyerobotan tanah milik negara. Aksi serupa ini dilukiskan oleh Harian Rakyat sebagai adil dan patriotrik. Pada awal tahun 1965, Letjen Ahmad Yani (Menteri/Panglima
Angkatan Darat 1962-1965) menelpon rekannya, Drs Frans Seda (Menteri Perkebunan 1964-1966). Yani melemparkan ide untuk menerbitkan koran yang dianggap dapat melawan komunis, dengan Harian Rakyatnya. Ide ini juga bermula dari sebuah usul agar kalangan Katolik mulai dengan satu harian untuk usaha mengimbangi PKI tersebut. Karena hampir setiap partai politik pada waktu itu menerbitkan koran sendiri untuk “menyuarakan perjuangannya”, maka pada tahun 1964 Bung Karno mendesak Parta Katolik untuk menerbitkan sebuah koran. PK Ojong dan Jakob Oetama didesak pimpinan Partai Katolik untuk menerbitkan koran tersebut, sebab melihat keberhasilan mereka dalam menerbitkan majalah Intisari. Ojong dan Jakob pada mulanya enggan menerima tugas dari partai itu, karena pusat-pusat informasi pada saat itu sudah dikuasai PKI, dan Ojong merupakan “persona non grata” dimata Bung Karno. Ojong dinilai BK “kurang manipolis”, karena Star Weekly tidak mendukung demokrasi terpimpin. Akan tetapi, Partai Katolik tetap mempertahankan keputusan untuk mendirikan koran sendiri dengan dibentuknya Yayasan Bentara Rakyat yang anggotanya memang trerdiri dari unsur Hirarki (ulama Katolik), pimpinan Partai Katolik PMKRI, serta Ojong dan Jakob (yang menjadi “project officer” untuk membangun perusahaan itu). Ojong menawarkan untuk badan hukum yayasan karena belajar dari pengalaman masa lampau serta dipengaruhi oleh visi sosialiesme Fabian, seperti ketika itu diperaktekan oleh Khoe Woen Sioe dalam PT Kinta dimana Ojong masih bekerja sebagai sekertaris perusahaan itu.
Lantas ide Yani berkembang di kalangan pimpinan Partai Politik, namun dianggap sesuatu yang terlampau berat. Namun kemungkinannya ini tetap dibicarakan pula dengan Mgr. Djojo, Uskup Agung Jakarta, dan Mgr. Soegiajapranoto. Seda juga menanggapi ide tersebut dan membicarakannya dengan IJ Kasimo (1900-1986), serta dua rekannya yang memimpin majalah Intisari (terbit Agustus 1963 untuk pertama kalinya), yakni PK Ojong dan Jakob Oetama. Ojong dan Jakob kemudian menggarap ide tersebut dan mempersiapkan penerbitan koran. Semula nama yang dipilih adalah Bentara Rakyat. Namun karena hampir semua koran, penerbit, organisasi di bawah PKI menggunakan kata “rakyat” dan bahkan kemudian memanipuilasinya, maka penggunaan nama Bentara Rakyat itu dimaksudkan untuk menunjukan kepada masyarakat bahwa pembela rakyat yang sebenarnya bukanlah PKI. Akhirnya nama ini menjadi sebuah “Yayasan Bentara Rakyat” (Peopels herald). Para pendiri Yayasan Bentara Rakyat adalah para pemimpin dari Organisasi-Organisasi Katolik, Pemuda Katolik, Wanita Katolik, PMKRI, dan PK Ojong. Diantara para pendiri tersebut disusunlah para pengurus yayasan yang terdiri dari ketua I.J Kasimo, wakil ketua Drs. Frans Seda, penulis I F.C. Palaunsuka, penulis II Jakob Oetama, dan bendahara PK Ojong. Ketika menjelang terbitnya Bentara Rakyat, Seda sebagai menteri perkebunan datang ke Istana Merdeka menemui Presiden Soekarno untuk keperluan dinas. Soekarno yang sudah mendengar bahwa Seda akan menerbitkan sebuah koran lalu menyarankan nama Kompas dengan alasan sebagai petunjuk arah. Maka jadilah “Kompas” menjadi nama untuk harian Kompas hingga saat ini, sementara nama Yayasan
Bentara Rakyat bertindak sebagai penerbit harian Kompas. Pengasuh sehari – hari dipegang dua serangkai Jakob Oetama dan PK Ojong dengan otonomi profesional yang penuh. Meski ada restu dari Presiden Soekarno, berkat dari Mgr Soegijapranoto, dan bantuan dari pimpinan Angkatan Darat, ternyata proses minta izin usaha dan izin terbit menemui kesulitan. Masalahnya pada saat itu PKI dan kaki tangannya “menguasai aparatur“, khusunya aparatur perizinan di Pusat / Departemen Penerangan dan Daerah. PKI agaknya tidak mentolerir persaingan dari sebuah harian yang menurut mereka “pasti” merupakan saingan berat. Namun tahap demi tahap, dengan penuh ketekunan dan “inzet” dari semua kekuatan ormas Katolik, segala rintangan dapat diatasi. Pusat memberi izin prinsip, namun harus dikonfirmasikan di daerah, yakni Daerah Militer V Jaya. Ketika semua sudah bisa diatasi, datang satu persyaratan terakhir untuk dapat terbit, yakni harus ada bukti bahwa telah ada langganan sekurang kurangnya 3.000 (tiga ribu) orang. Maka ada inisiatif untuk mengumpulkan tanda tangan anggota partai, guru sekolah, dan anggota – anggota koperasi Kopra Primer di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Flores Timur. Mereka dalam waktu singkat harus mengirimkan daftar dari 3.000 pelanggan lengkap dengan alamat dan tanda tangan. Usaha yang dilakukan Seda mengumpulkan tanda tangan masyarakat Flores (Karena kebetulan dia juga orang Flores) ini berhasil gemilang dan ke 3.000 tanda tangan pelanggan itu terkumpul. Bagian perizinan, Pukodam V Jaya menyerah. Maka keluarlah izin terbit. Pada saat semuanya telah siap inilah Seda menghadap Soekarno, yang kemudian Soekarno memberi nama Kompas sebagai ganti nama Bentara Rakyat sebelumnya. Pers PKI yang melihat kehadiran
“Kompas” bereaksi keras, bahkan pers PKI mulai menghasut masyarakat dengan mengartikan Kompas sebagai “Komando Pastor”. Pada saat itu pula, ketika Seda membicarakan nama baru yang diusulkan Soekarno para staf redaksi dan yayasan, mulailah ditentukan sifat Kompas yang harus bersifat independen, kebijakan harian yang senantiasa berusaha menggali sumber berita sendiri sebab sumber berita yang ada sudah dipolitisir, mengimbangi secara aktif pengaruh komunis dan kawan – kawannya dengan tetap berpegang pada kebenaran dan kecermatan sesuai dengan profesi dan moral pemberitaan itu sendiri. Menurut Frans Seda dalam artikelnya di harian Kompas 28 Juni 1990 menjelaskan, bahwa Kompas yang waktu terbitnya ditetapkan pada pagi hari dimaksudkan agar tidak menyaingi Sinar Harapan yang terbit sore hari. Dengan modal, fasilitas dan peralatan kantor yang seadanya ditambah fasilitas yang serba kekurangan itu Kompas meletakkan dasar profesionalisme, sehingga ketika meletusnya G30S/PKI tiga bulan kemudian dan timbulnya Orde Baru, Kompas diandalkan dan berpengaruh, baik sebagai sumber pemberitaan maupun sebagai sumber opini. Ditambahkan oleh Seda, asosiasinya dengan golongan Katolik yang pada saat itu merupakan salah satu kekuatan terpercaya dari Orde Baru, menjamin akuratnya pemberitaan dan info latar belakang situasi dan kondisi waktu itu selain menambah gengsi politik dan sosial dari Kompas sendiri. Seperti pada umumnya terjadi dalam pertumbuhan media pers di Indonesia, Kompas selama tahun tahun awal perkembangannya dicetak di percetakan orang lain sebelum membangun percetakan sendiri. Untuk pertama kali dicetak diatas mesin cetak dupleks yang sederhana, sebelum kemudian pindah
ke mesin cetak rotasi. Lalu pada tahun 1972 Kompas mulai mencetak sendiri. Semula Kompas hanya terdiri dari 4 halaman, sama seperti harian lainnya waktu itu, kemudan menjadi 16 halaman, yaitu batas maksimum halaman surat kabar yang diperbolehklan pemerintah. Sejak juli 1986, sesuai dengan ketentuan pemerintah, dua kali dalam seminggu Kompas dapat menambah halamannya menjadi menjadi 20. Kompas juga dilengkapi edisi minggu sejak september 1978. Pernah ditutup tanggal 21 Januari 1978 bersama sejumlah Koran lain. Kompas pernah meraih tiras sampai 600.000 eksemplar, yang kemudian menunjuk angka rasional 450.000 – 500.000 eksemplar sampai sekarang. Kalau awalnya hanya 10 orang, sekarang untuk wartawan saja jumlahnya sudah lebih dari 100 orang di Jakarta, 60 orang wartawan di daerah yang tersebar hampir disejumlah Ibu kota Propinsi dan koresponden yang berjumlah 30 orang.
3.4.2 Visi dan Misi Kompas Kompas memiliki visi dan misi demi mempertahankan citranya di masyarakat. Visi Kompas “Menjadi intitusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yamg demokratis dan bermartabat, serta menjunjung tinggi dan nilai kemanusiaan”. Masyarakat Indonesia baru yang ingin diciptakan oleh Kompas melalui visinya adalah masyarakat dengan watak yang baik, profesionalisme, menghormati demokrasi, tidak diskriminatif serta loyal kepada bangsa dan negara. Sedangkan misi Kompas adalah “Mengantisipasi dan merespon dinamika masyarakat secara profesional, sekaligus memberi arah perubahan (trend setter)
dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang terpercaya”. Hal tersebut dicapai dengan melakukan etika usaha bersih dan melaksanakan kerjasama dengan perusahaan – perusahaan lain. Selain itu Kompas juga memiliki misi untuk mencerdaskan dan mengembangkan bangsa berdasarkan solidaritas dan kemanusiaan, partisipasi dalam mencerdaskan dan mengembangkan bangsa melalui media komunikasi dan usaha (bisnis) lain., dengan manajemen yang sehat dan etika usaha yang bersih, yang memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan karyawan. Selain visi dan misi, Kompas juga memiliki nilai-nilai dasar yang melandasi seluruh kegiatan dan keputusan yang dilakukan, antara lain : 1. Menghargai manusia dan nilai – nilai kemanusiaan sesuai harkat dan martabatnya. 2. Mengutamakan watak yang baik. 3. Profesionalisme. 4. Semangat kerja tim. 5. Berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca, pengiklan, mitra kerja penerima proses selanjutnya). 6. Tanggung jawab sosial. 7. Bertingkah laku mengikuti nilai–nilai tersebut dengan begitu dapat memberikan jasa yang memuaskan bagi pelanggan.
3.4.3 Perkembangan Kompas Lembaga media massa seperti Kompas, tidak terlepas dari gejolak masyarakat. Dalam setiap pergolakan itu, Kompas terus berusaha membangun kepercayaan masyarakat melalui berita dan tulisan yang komperhensif, cover both side, tidak menyakiti hati secara pribadi, mendudukan soal, membuka cakrawala,
tidak memihak, kecuali pada kebenaran dan demi penghargaan tinggi pada harkat dan kemanusiaan. Jumlah oplah yang diantaranya menunjukan kepercayaan masyarakat pembaca, sejak harian ini terbit menunjukan peningkatan signifikan. Berdasarkan hasil audit independen Prestio Utomo & Co Jakarta, dan perhitungan yang tertera pada publikasi Audit Bereau of Circulation (ABC) di Sydney Austaralia, Kompas mengawali oplah rata rata sebesar 7.739 eksemplar setiap hari. Dalam kurun waktu lima tahun kemudian (1970), melonjak sepuluh kali lipat, mencapai angka 77.316 eksemplar. Masa selanjutnya terjadi peningkatan oplah spektakuler, sempat mencapai angka diatas 600.000 eksemplar setiap hari. Berpredikat sebagai harian nasional. Kompas tersebar di seluruh propinsi di Indonesia, melihat proposisi sebaran, DKI Jakarta serta kawasan Bogor,Depok, Tanggerang dan Bekasi menduduki peringkat tertinggi, mencapai 63 %. Jumlah pembaca harian umum Kompas menunjuk pada hasil survei lembaga riset AC Nielsen (1999), dari perkiraan 27.362.223 anggota populasi di kawasan Jabodetabek, Bandung, Semarang, Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, Surabaya, Medan, Palembang dan Makassar, tercatat 2.270.000 orang membaca harian ini. Berdasarkan paparan sepintas di atas, dapat disimpulkan harian ini berada pada jajaran terdepan dalam jumlah pembaca, oplah dan selebaran media cetak sejenis. Tak kalah menarik ialah mengenai kalangan pembaca Kompas. Berbagai survei yang dilakukan lembaga riset independen maupun lembaga riset intern Kompas membuktikan bahwa sebagian besar pembaca adalah kalangan
masyarakat yang dikelompokan dalam kelas sosial ekonomi menengah keatas. Kesimpulan itu antara lain terlihat dari tingkat kemapuan ekonomi rumah tangga dan jenjang pendidikan pembaca. Dari sisi pengjhasilan misalnya, riset AC Nielsen (1999) menyatakan, proposisi terbesar (33,2%) responden pembaca berpenghasilan di atas Rp 1,5 juta perbulan. Sementara dari sisi pengeluaran, lebih dari separuh responden pembaca memiliki pengeluaran minimal Rp 700.000 perbulan. Dari sisi pendidikan, hasil berbagai angket pembaca yang dilakukan, Kompas menempatkan kalangan berpendidikan tinggi sebagai basis pembaca. Sekitar 45% pembaca memiliki latar belakang pendidikan sarjana S1 dan 75% responden pembaca tamatan pascasarjana. Berdasarkan gambaran ini, harian umum Kompas memang terletak pada kalangan meenengah Indonesia, kelompok masyarakat yang selama ini identik sebagai agaen perubahan dan ujung tombak demokrasi bangsa.
3.4.4 Sejarah Berdirinya Harian Umum Republika Republika hadir di tengah blantika pers Indonesia dengan latar belakang sosial dan politik yang sangat penting, diterbitkan atas kehendak mewujudkan media massa yang mampu mendorong bangsa menjadi kritis dan berkualitas. Yakni bangsa yang mampu sederajat dengan bangsa maju lain di dunia, memegang nilai–nilai spritualitas sebagai perwujudan Pancasila sebagai filsafat bangsa, serta memiliki arah gerak seperti digariskan UUD 1945. Republika ditandai sebagai satu titik yang menandai politik Islam pada dekade 1990-an. Nama Republika sendiri berasal dari ide Presiden Soeharto, yang
disampaikannya saat beberapa pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pusat menghadap untuk melaporkan rencana peluncuran harian umum tersebut. Terbentuknya ICMI pada tanggal 5 Desember 1990 justru lebih mengagetkan lagi. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sebelumnya, dimana aspirasi politik Islam dianggap sebagai bahaya laten rezim Orde Baru. Tak heran banyak kalangan menganggap ICMI sebagai salah satu bentuk akomodasi kekuatan politik Islam dalam bangunan kekuasaan Orde Baru. Adapun bentuk lainnya adalah peradilan agama dan pendirian bank Islam. R William Liddle pengamat politik di Indonesia mengintrepretasi pembentukan ICMI sebagai wujud kepentingan Soeharto semata-mata. Namun ada pula yang membacanya sebagai hasil bersatunya kekuatan-kekuatan sosial yang lebih kompleks. Antara lain kebangkitan Islam, pertumbuhan kelas menengah terdidik dan makmur, dan pada akhir tahun 1980-an, kepentingan Soeharto untuk mencari basis dukungan di luar elite. Bersama-sama perkembangan ini mendorong Islam ke pusat gelanggang politik Indonesia yang selama 25 tahun telah memarjinalkannya. Aspirasi Islam yang meluas ini bersinggungan pula dengan kenyataan di dunia pers. Sampai tahun 1990-an belum ada media atau pers Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia. Dalam setting sosiologis fakta ini amat mengherankan, mengingat hampir 80% penduduk Indonesia beragama Islam, meskipun sesungguhnya dalam setting politik fakta ini bisa dipahami. David T. Hill seorang akademisi dari Australia mengatakan bahwa media berorientasi Islam kurang mampu meraih peluang secara komersial. Satu dilema
yang sering muncul adalah kesulitan menjaga kredibilitas dihadapan pembacanya, sambil mengkompromikan sebuah akomodasi dengan kepentingan negara. Kasus harian Pelita adalah salah satu contohnya. Pada pemilu tahun 1977 dan 1982, Pelita dikenal sebagai suara kekuatan politik partai Islam, terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Saat itu sirkulasinya telah mencapai 100.000 eksemplar. Usai Pemilu 1992 Pelita dibredel, namun empat bulan kemudian harian ini terbit kembali dengan garis editorial yang lebih moderat dan lebih pragmatis komersial. Semenjak itu Pelita ditinggalkan pembacanya. Sebagai usaha menjawab seputar pers yang berorientasi Islam ini, pada tanggal 28 November 1991 ICMI mengadakan seminar tentang pers Islam. Seminar ini melahirkan harapan perlunya media Islam yang cukup kuat, baik dari segi pengaruh sosial politik maupun dari aspek bisnis. Dengan kata lain, bisa mengatasi ketimpangan yang dialami pers Islam sebelumnya. Untuk mewujudkan cita-cita dan program ICMI, beberapa tokoh pemerintah dan masyarakat yang berkomitmen pada pembangunan bangsa dan masyarakat Indonesia yang beragama Islam, membentuk Yayasan Abdi Bangsa pada tanggal 17 Agustus 1992. Yayasan ini kemudian menyusun tiga program yaitu : 1. Pengembangan Islamic Center 2. Pengembangan CIDES (Center for Information and Development Studies ) 3. Penerbitan Harian Umum Republika Untuk mewujudkannya maka diterbitkanlah sebuah koran harian, pada tanggal 28 November 1992, Yayasan Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa
dengan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Departemen Penerangan Republik Indonesia nomor 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992 tertanggal 19 Desember 1992, selanjutnya Harian Umum Republika terbit pertama kali tanggal 4 Januari 1993. Republika hadir diatas refleksi kegagalan pers Islam sebelumnya. Manajemen awal Republika mencoba meretas persoalan klasik, bagaimana mengedepankan pers Islam dalam sebuah negara yang “state centered”. Dalam konteks jurnalisme bagaimana menerapkan kaidaah pemberitaan yang profesional tanpa meninggalkan misi ke-Islamannya. Dalam rumusan yang berbeda bagaimana memformulasikan peran surat kabar Islam tanpa terjebak dalam prilaku partisan yang eksplisit. Menurut Parni Hadi, pemimpin redaksi pertama. Islam dalam berita-berita Republika akan bersifat sublim dan subtil. Bagaikan nafas ia tidak terlihat tapi terasa. Islam yang ditampilkan oleh Republika adalah Islam dalam koteks yang kosmopolitan dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Kosmopolitan Republika adalah upaya untuk menunjukan bahwa Islam bukan hanya persoalan untuk orang desa atau ulama, tetapi sebuah agama yang bisa mengilhami suatu kesadaran
sosial
yang
sesuai
dengan
aspirasi
rakyat
sebagai
keterbukaan,pluralisme dan pemahaman hal–hal lain secara lebih cerdas.
3.4.5 Visi dan Misi Republika Sebagai surat kabar yang berusaha menyalurkan aspirasi umat Muslim, Republika akan tumbuh dan berkembang bersama komunitas muslim yang
menjadi komunitas terpenting bangsa ini, karena itu Republika mempunyai visi menjadikan HU REPUBLIKA sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas, dan profesional, namun mempunyai prinsip dalam keterlibatannya menjaga persatuan Bangsa dan kepentingan umat Islam yang berdasarkan pemahaman Rahmatan Lil Alamin. Sedangkan misi dari Republika sendiri adalah : 1. Menciptakan dan menghidupkan sistem manajemen yang efisien dan efektif,
serta
mampu
dipertanggungjawabkan
secara
profesional
Menciptakan budaya kerja yang sehat dan transparan meningkatkan kinerja dengan menciptakan sistem manajemen yang kondusif dan professional 2. Meningkatkan penjualan Iklan dan koran, sementara menekan biaya operasional (dengan memiliki MESIN CETAK) 3. Memprioritaskan pengembangan pemasaran HU REPUBLIKA di jabodetabek, tanpa harus mematikan di daerah yang sudah ada 4. Merajut tali persaudaraan dengan organisasi-organisasi Islam di Indonesia 5. Bekerjasama dengan mitra usaha di dalam pengembangan pasar HU REPUBLIKA diluar pulau Jawa 6. Mengamati peluang pengembangan "KORAN KOMUNITAS" seperti misalnya "Bintaro Pos" , "Depok Pos", "Bekasi Pos" atau jenis koran lainnya 7. Mengelola Kantor Perwakilan sebagai "semi otonomi"
8. Menjadikan PT REPUBLIKA MEDIA MANDIRI sebagai "sister company" yang sehat 9. Menjadikan HU REPUBLIKA sebagai koran # ONE
3.4.6 Perkembangan Republika Mengelola usaha penerbitan koran bukan perkara sederhana. Selain sarat dengan modal dan sarat SDM, bisnis inipun sarat teknologi. Keberhasilan Republika menapaki usia 13 tahun merupakan buah upaya keras manajemen dan seluruh awak pekerja di PT Abdi Bangsa Tbk yang dilakukan oleh perusahaan yang menerbitkan koran ini sejak 1993 untuk mengelola segala kerumitan itu. Selain dituntut piawai berhitung, pengelola koran juga harus jeli, cerdik, dan kreatif bersiasat untuk tetap bertahan dan memenangkan persaingan. Sejak awal, Republika memang dekat dengan "sesuatu yang baru". Tatkala lahir, Republika menggebrak dengan tampilan "Desain Blok" yang tak lazim. Republika pun mampu menyabet gelar juara pertama Lomba Perwajahan Media Cetak 1993. Tahun 1995, Republika membuka situs web di internet. Republika menjadi yang pertama mengoperasikan Sistem Cetak Jarak Jauh (SCJJ) pada tahun 1997. Pendekatan juga dilakukan kepada komunitas pembaca lokal. Republika menjadi salah satu Koran pertama yang menerbitkan halaman khusus daerah. Selalu dekat dengan publik pembaca adalah komitmen Republika untuk maju. Mulai tahun 2004, Republika dikelola oleh PT Republika Media Mandiri (RMM). Sementara PT Abdi Bangsa naik menjadi perusahaan induk (Holding
Company). Di bawah PT RMM, Republika terus melakukan inovasi penyajian untuk kepuasan pelanggan. Menjadikan "All You Can Read " bukan sekedar slogan menjadi tantangan bagi Republika untuk terus menjadi yang terdepan dalam persaingan memuaskan pembaca. Maka hadirlah tabloid Dialog Jumat dan Rekor sebagai bonus untuk pembaca Republika. Dengan format tabloid 8 halaman, kedua tabloid itu mengupas tuntas isu-isu seputar keislaman dan olah raga. DIALOG JUMAT hadir setiap hari Jumat, berisi ulasan keislaman yang menjadi karakter Republika sebagai koran bagi komunitas Islam. Dari kajian Tasawuf,khasanah, tokoh-tokoh besar Islam Indonesia dan mancanegara, tanya jawab dengan Prof.Quraish Shihab, sampai info halal, diulas lengkap dalam Dialog Jumat. Penjualan di hari Jumat pun terdongkrak dengan hadirnya tabloid ini. Hasil pasar menunjukkan pembeli eceran terbanyak adalah pada hari Jumat (97 %) REKOR hadir setiap hari Sabtu, berisi ulasan cabang olahraga yang popular di tanah air,yaitu sepakbola, basket, balap mobil Formula I, bulu tangkis, dan tenis. Menyajikan liputan liga-liga sepak bola ternama dunia ( Liga Italia, Liga Jerman, Liga Spanyol, Liga Jepang ) dan liga Indonesia. Akrab dan cerdas, demikian semboyan Republika. Semangat itu yang menjiwai setiap langkah untuk mengembangkan Republika. Sebagai koran komunitas muslim, Republika akan tumbuh dan berkembang bersama komuntias muslim yang menjadi komunitas terpenting bangsa ini.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1
Latar Belakang Pemberitaan Isu SARA di Harian Umum Kompas dan Republika Pemberitaan dalam surat kabar mengenai “Pilkada DKI Jakarta tahun
2012” adanya persaingan ketat antara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar acara lima tahunan untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012. Berdasarkan ketentuan KPU, Pilkada dilakukan dua putaran pemilihan. Pada putaran pertama tanggal 11 Juli 2012 dengan pemilihan enam pasangan calon kepala daerah. KPU menetapkan pasangan nomor urut tiga memenangkan putaran pertama pilkada lima wilayah Jakarta yakni pasangan Jokowi-Ahok unggul dari pasangan Foke-Nara yang berada pada urutan kedua. Maka diputuskan pasangan Jokowi-Ahok dan FokeNara maju bersaing di pilkada putaran dua. Sejak putaran pertama, pasangan Jokowi-Ahok diterpa isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) kian memanas ketika mereka menang putaran pertama dan berjalan menuju putaran kedua. Berbagai media dari mulai media cetak hingga media online memberitakan seputar isu SARA. Peredaran lainnya lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu.
Isu SARA mencuat karena salah satu pasangan yakni Jokowi-Ahok khususnya Ahok berasal dari agama dan suku
tertentu yakni agama Kristen
Protestan dan suku Tionghoa. Tim kampanye pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengaku menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Hal ini yang menjadi pemicu penyebaran kebencian dengan menggunakan isu-isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan. Bentuk penyebaran ini dapat berupa adanya tindakan pelecehan, diskriminasi, intimidasi, dan bahkan penggunaan instrumen kekerasan. Dan tentu saja dapat mengundang konflik. Penyebaran isu SARA dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mengundang beragam respon warga Jakarta, ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Disini terlihat jelas media massa sangatlah berperan dalam membingkai berita dan mengkonstruksikannya secara realitas. Media berupa surat kabar seperti Harian Umum Kompas dan Republika memiliki ideologinya masing-masing. Pemberitaan seputar isu SARA di dalamnya dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Pengaruh tersebut berasal dari orang-orang yang berada di balik media tersebut. Siapa pemilik institusi media tersebut, siapa yang menjadi sumber dana media yang bersangkutan, siapa yang mempunyai relasi dengan media tersebut, dan kepada siapa segmentasi khalayak media itu. Ideologi dari keduanya akan mempengaruhi proses produksi berita atau artikel yang secara otomatis akan membentuk frame (bingkai) pemberitaan media yang bersangkutan. Akibatnya, secara tidak disadari, khalayak yang membaca,
melihat, atau mendengarkan berita dari media tersebut, akan diarahkan untuk mengikuti dan memiliki pola pikir seperti framing media tersebut. Media akan menentukan peristiwa yang penting untuk diberitakan dan mana yang tidak perlu serta menentukan mana berita yang menjadi topik utama dan manakah peristiwa yang dikategorikan sebagai berita biasa. Khalayak yang menjadi konsumen media akan digiring untuk mengikuti framing yang diciptakan oleh media tersebut. Praktisnya, ia digunakan untuk melihat bagaimana aspek tertentu ditonjolkan atau ditekankan oleh kedua media tersebut. Penonjolan atau penekanan aspek tertentu dari realitas tersebut haruslah dicermati lebih jauh, karena akan membuat bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih mudah diingat, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak. Dalam mengkonstruksi suatu berita, tiap media atau surat kabar memiliki kriteria tertentu. Hal ini karena disetiap media memiliki bingkai tersendiri, yang ditentukan oleh kebijakan dari yang disesuaikan dengan kebutuhan seluruh elemen. Hal ini sangat terlihat pada pemberitaan mengenai fenomena isu SARA, dimana terdapat perbedaan dari masing-masing media yang cukup mencolok dalam pengambilan elemen inti dalam sebuah berita. Harian umum Kompas dan Republika ini mengkonstruksi berita mengenai isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 secara realitas dan menggiring khalayak pada pembingkaian berita media sesuai dengan kepentingannya masingmasing. Mengkontruksi berita adalah sebuah usaha atau
proses untuk
membangun sebuah informasi sehingga layak untuk di sajikan kepada khalayak. Untuk memahami kontruksi berita ini diperlukan sebuah analisis teks yang
konseptual, salah satunya dengan pendekatan analisis framing. Menurut Eriyanto, analisis framing adalah analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Penyampaian sebuah berita ternyata menyimpan subjektivitas penulis. Bagi masyarakat biasa, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda dengan kalangan tertentu yang memahami betul gerak pers. Mereka akan menilai lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penulisan berita menyimpan ideologis atau latar belakang seorang penulis. Seorang penulis pasti akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh di lapangan. Wartawan Kompas dan Republika memiliki ideologi yang tidak sama dalam menuliskan atau memberitakan isu tersebut. Meskipun keduanya memiliki data-data yang sama, tapi hasil analisis keduanya pasti akan memiliki cita rasa pemberitaan yang berbeda berdasarkan keinginan dari perusahaan media dimana tempat mereka kerja. Oleh karena itu, diperlukan sebuah analisis tersendiri terhadap isi berita sehingga akan diketahui latar belakang seorang penulis dalam menulis berita. Dengan analisis framing kita bisa mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang media ketika menyeleksi dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Selanjutnya, peneliti akan melakukan analisis berita yang dimuat oleh Harian Umum Kompas dan Republika mengenai isu SARA pemberitaan Pilkada
DKI Jakarta Putaran Kedua tanggal 18 Juli 2012 dengan judul “KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi” (Kompas) dan tanggal 18 Juli 2012 dengan judul “SETOP Kampanye SARA” (Republika).
4.1.1
Analisis Berita Kompas edisi Rabu, 18 Juli 2012, judul berita KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi
Analisis berdasarkan struktur sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa seperti, pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa kedalam bentuk susunan umum berita (Eriyanto, 2012 : 295). Dalam pengertian umum, sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Menurut Eriyanto, dalam bukunya Analisis Framing, dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dari bagian berita – headline, lead, latar informasi, sumber, penutup –dalam satu kesatuan teks berita secara keseluruhan. Berikut adalah pembahasan bagan struktur sintaksis :
Tabel 4.1 Analisis Struktur Sintaksis Headline
Pilkada
DKI
Jakarta
“KPU
Memutuskan
Pemilih
Diakomodasi” Lead
Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan, KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua.
(paragraf 1)
Latar Informasi
Ketua Panitia Pengawas Pilkada Jakarta Ramdansyah mengatakan siap membantu KPU Jakarta apabila diperlukan untuk mengecek ulang pemilih yang akan masuk dalam daftar pemilih putaran kedua. (paragraf 6)
Panwas Pilkada Jakarta juga akan menyerahkan pengaduan masyarakat terkait DPT kepada KPU Jakarta pada 23 Juli. Ramdansyah mengimbau warga yang belum terdaftar untuk melapor ke panitia pengawas tingkat
kecamatan atau
provinsi. (paragraf 8)
Pendataan warga yang tak masuk dalam DPT dianggap perlu untuk mengakomodasi hak suara mereka jika dilaksanakan Pilkada DKI putaran kedua. (paragraf 9) Ketua Panwas Cilincing Suparba menyebutkan cukup banyak jumlah warga di Kecamatan Cilincing yang tidak terdata dalam DPT. “Orang yang meninggal atau yang sudah pindah tempat tinggal pun banyak yang masih terdata di DPT. Jumlahnya sampai 20 persen total DPT di Cilincing,” ujarnya. (paragraf 10)
Kutipan Sumber Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie juga mengharapkan KPU mengutamakan hak konstitusional warga. “Keberanian mengakomodasi hak warga sangat penting. Ini tanggung jawab KPU sebagai pejabat negara,” kata Jimly. (paragraf 4)
Kami memiliki 420 tenaga, mulai lapangan hingga tingkat provinsi, serta sejumlah anggota staf. Dengan kekuatan yang ada, kami siap membantu KPU Jakarta untuk mengecek ulang nama yang akan masuk dalam daftar pemilih jika dilakukan putaran kedua,” ujarnya. (Ketua Panitia Pengawas Pilkada Jakarta Ramdansyah) (paragraf 7)
Ketua Panwas Cilincing Suparba menyebutkan cukup banyak jumlah warga di Kecamatan Cilincing yang tidak terdata dalam DPT. “Orang yang meninggal atau yang sudah pinah tempat tinggal pun banyak yang masih terdata di DPT. Jumlahnya sampai 20 persen total DPT di Cilincing,” ujarnya. (paragraf 10)
Penutup
Pendataan warga yang tak masuk dalam DPT dianggap perlu untuk mengakomodasi hak suara mereka jika dilaksanakan Pilkada DKI putaran kedua. (paragraf 9) Ketua Panwas Cilincing Suparba menyebutkan cukup banyak jumlah warga di Kecamatan Cilincing yang tidak terdata dalam DPT. “Orang yang meninggal atau yang sudah pindah tempat tinggal pun banyak yang masih terdata di DPT. Jumlahnya sampai 20 persen total DPT di Cilincing,” ujarnya. (paragraf 10)
Dari bagan diatas, dapat dilihat bahwa Kompas memaparkan berita dengan jelas. Namun sisi keberpihakan tetap terlihat, dimana Kompas lebih menekan pada kinerja KPU sebagai sarana lancarnya jalan pemiihan umum di Jakarta, dan secara tersirat dapat dilihat bahwa berita terfokus pada kinerja KPU. Seolah pihak isu SARA tidak diindahkan.
Kata yang sangat tegas untuk sebuah judul, karena pilihan kata yang digunakan oleh Harian Umum Kompas mewakili keadaan KPU saat itu. Pemilihan kata “KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi” yang di gunakan oleh Harian Umum Kompas pada Headline tersebut memberi kesan kepada khalayak/pembaca bahwa KPU mengevaluasi peraturan yang berhubungan dengan daftar pemilih. Langkah ini diambil setelah menggelar rapat dengan KPU DKI Jakarta tentang problematika data pemilih ketimbang mengindahkan isu SARA itu benar. Bila diteliti dari syarat judul, maka dari judul tersebut termasuk dalam jenis yang singkat dan padat, berarti langsung menusuk jantung, tegas, lugas, terfokus, menukik pada pokok intisari berita, tidak bertele-tele (to the point). (Sumadiria. 2005:122). Selain dalam Headline atau Judul, melalui Lead atau teras berita, teks yang diproduksi Kompas pun memaparkan sikap dalam menanggapi hasil rapat pleno KPU . Lead yang dibahasakan Kompas tersebut adalah sebagai berikut : Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan, KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua. (paragraf 1) Berdasarkan Lead diatas, Kompas berusaha untuk memerangkap pikiran KPU DKI Jakarta dengan menggambarkan penekanan terhadap hasil rapat pleno KPU, sehingga khalayak di dorong untuk mempersepsikan bahwa rapat pleno KPU harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum terdaftar agar tetap dapat menggunakan hak memilih pada putaran kedua. Sehingga dari kebenaran tersebut posisi wartawan Kompas mengarahkan kepada khalayak
bahwa KPU DKI Jakarta harus mengevaluasi dan mengakomodasi daftar pemilih. Lebih jauh dalam Lead ini, terlihat bahwa pemilih menjadi objek berita. Dengan memainkan pesan yang disampaikan oleh KPU diatas, dimana penekanan melalui teks yang di produksi oleh Kompas itu sebenarnya menggambarkan mengenai rapat pleno KPU adalah kelalaian di lapangan dengan data pemilih yang belum terdaftar. Sedangkan melalui latar informasi yang hendak disampaikan kepada khalayak, Kompas lebih memfokuskan kepada tanggapan Ketua Panitia Pengawas Pilkada Jakarta yakni Ramdansyah yang mengatakan siap membantu KPU Jakarta apabila diperlukan untuk mengecek ulang pemilih yang akan masuk dalam daftar pemilih putaran kedua sehingga dari pernyataan itulah menjadi sebuah kesempatan untuk memberikan pesan kepada khalayak bahwa sikap Ketua Panitia Pengawas Pilkada Jakarta
yakni Ramdansyah dengan kesiapannya dalam
membantu KPU Jakarta apabila diperlukan untuk mengecek ulang pemilih yang akan masuk. Dari latar informasi yang di representasikan oleh Kompas, dapat dilihat bahwa pernyataan Ketua Panwas Pilkada Jakarta yang dibuat oleh Kompas dengan teks yang memaksa adalah untuk menyembunyikan sikap KPU dalam menangani pengaduan masyarakat terkait DPT kepada KPU Jakarta pada 23 Juli. Selain itu, khalayak juga menjadi sasaran utama Kompas untuk ikut peduli terhadap penanganan daftar pemilih. Hal tersebut bisa di perjelas dengan apa yang dikatakan Anggota KPU, Arief Budiman dibawah ini: Anggota KPU, Arief Budiman, menambahkan, dalam pleno yang berlangsung sejak pukul 19.00 dan masih berlangsung pukul 22.45, masih
dibahas mekanisme teknis perbaikan daftar pemilih tetap (DPT) dan landasan hukumnya. Plihannya, KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain. (paragraf 3)
Teks yang di produksi oleh Kompas diatas, menggambarkan bahwa Dalam rapat pleno masih dibahas mengenai teknis perbaikan daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini mempresentasikan bahwa Kompas lebih berpihak kepada rapat pleno KPU, dimana dalam penggambaran melalui teks berita tersebut mengarahkan
khalayak bahwa KPU masih membahas mekanisme teknis
perbaikan DPT atau merevisi peraturan KPU. Artinya, posisi Kompas lebih menyoroti kinerja KPU dengan pengakuan Arief Budiman yang menyebutkan KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain. Hal tersebut diperkuat kembali oleh pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie yang dikemas oleh Kompas, dengan teks yang menyudutkan pihak KPU dibawah ini :
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie juga mengharapkan KPU mengutamakan hak konstitusional warga. “Keberanian mengakomodasi hak warga sangat penting. Ini tanggung jawab KPU sebagai pejabat negara,” kata Jimly. (paragraf 4) Teks yang dikemas oleh Kompas diatas, memaparkan sebuah fakta dimana KPU harus mengutamakan hak konstitusional warga dan berani mengakomodasi hak warga. Peraturan KPU yang mengakomodasi perbaikan DPT untuk putaran kedua Pilkada DKI, menurut Jimly, bisa saja digugat. Namun, Ketua KPU
sebagai pejabat publik tinggal bertanggung jawab karena dengan argumen benar dan kuat, gugatan bisa dihadapi. (paragraf 5)
Begitupun dengan paragraf 5 yang dibuat oleh Kompas di atas, dimana Kompas memaparkan keseriusan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie yang “digambarkan” lebih condong kepada pencitraan terhadap KPU, yang dalam kasus tersebut banyak disoroti oleh masyarakat. Untuk lebih menekankan pemberitaannya, Kompas mengangkat beberapa kutipan sumber yang dikemas dalam beberapa paragraf seperti berikut :
“Kami memiliki 420 tenaga, mulai lapangan hingga tingkat provinsi, serta sejumlah anggota staf. Dengan kekuatan yang ada, kami siap membantu KPU Jakarta untuk mengecek ulang nama yang akan masuk dalam daftar pemilih jika dilakukan putaran kedua,” ujarnya. (paragraf 7) Kutipan pertama ini, menggambarkan bahwa pernyataan
Ramdansyah
dalam pengakuannya menjadi sebuah kesempatan bagi harian umum Kompas untuk memprovokasi khalayak pembaca, yang diarahkan terhadap pembiasan pertanggung jawaban KPU yang menangani DPT tersebut. Penutup pada laporan utama Kompas sebenarnya adalah pengantar untuk solusi yang dicantumkan didalam boks wawancara yang ditempatkan di akhir laporan utama. Kompas lebih mengambil kesempatan dari pernyataan Ketua Panwas Cilincing Suparba dibawah ini: Ketua Panwas Cilincing Suparba menyebutkan cukup banyak jumlah warga di Kecamatan Cilincing yang tidak terdata dalam DPT. “Orang yang meninggal atau yang sudah pinah tempat tinggal pun banyak yang masih terdata di DPT. Jumlahnya sampai 20 persen total DPT di Cilincing,” ujarnya. (paragraf 10) Sebagai penutup Frame di atas, bahwa dengan pernyataan Ketua Panwas
Cilincing Suparba lebih mencitrakan DPT yang tidak terdata. Kompas memberitakan
kepada khalayak pembaca secara ekplisit, lebih memilih untuk berpihak kepada warga, dimana keberpihakan Kompas tersebut di kemas dengan fakta warga yang tak terdata di DPT. Menurut Agus Raka Siwi dalam wawancara sebagai wartawan politik, dalam mengangkat sebuah isu Harian Umum Kompas memiliki kriteria tersendiri. Menurutnya bila dalam kasusnya mengalami polemik yang mencuat, maka kebijakan dari redaksi ialah dengan meminta pendapat dari stakeholders harian tersebut. Agus pun menambahkan ada tiga komponen yang masyarakat harus tahu dalam pemberitaan politik: pertama, agar masyarakat mengerti akan berita politik yang terjadi saat ini, dan masyarakat berhak dan wajib tahu, karena masyarakat sendirilah yang mempunyai kedaulatan dan penentu. Kedua, memberikan pencerahan. Ketiga, memberikan referensi agar masyarakat tahu kondisi yang sebenarnya terjadi.
Analisis kedua adalah analisis berdasarkan struktur skrip pada laporan berita menurut Eriyanto, sering disusun sebagai cerita. Seperti halnya novelis, wartawan ingin agar khalayak pembaca tertarik dengan berita yang ditulis. Karenanya, peristiwa diramu dengan mengaduk unsur emosi, menampilkan peristiwa tampak sebagai sebuah kisah dengan awal, adegan, klimaks, dan akhir. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5W+1H yang terdiri dari who, what, when, where, why, dan how. Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini tetap menjadi acuan bagi seorang wartawan dalam melaporkan sebuah berita, terutama berita yang menjadi headline di sebuah surat kabar. Berikut bagan struktur Skrip yang sudah dijelaskan diatas:
Tabel 4.2 Analisis Struktur Skrip Unsur kelengkapan 5W+1H Pada Berita di Harian Umum Kompas
Who (Siapa?)
KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua.
What
Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan,
(Apa yang terjadi?)
KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua. (paragraf 1)
KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain.
Peraturan KPU yang mengakomodasi perbaikan DPT untuk putaran kedua Pilkada DKI, menurut Jimly, bisa saja digugat. Namun, Ketua KPU sebagai pejabat publik tinggal bertanggung jawab karena dengan argumen benar dan kuat, gugatan bisa dihadapi. . (paragraf 5)
Ketua Panitia Pengawas Pilkada Jakarta Ramdansyah mengatakan siap membantu KPU Jakarta apabila diperlukan untuk mengecek ulang pemilih yang akan masuk dalam daftar pemilih putaran kedua. (paragraf 6)
Panwas
Pilkada
Jakarta
juga
akan
menyerahkan
pengaduan masyarakat terkait DPT kepada KPU Jakarta pada 23 Juli. Ramdansyah mengimbau warga yang belum terdaftar untuk melapor ke panitia pengawas tingkat kecamatan atau provinsi. (paragraf 8)
Pendataan warga yang tak masuk dalam DPT dianggap perlu untuk mengakomodasi hak suara mereka jika dilaksanakan Pilkada DKI putaran kedua. (paragraf 9) When (Kapan?)
Ketua KPU Husni Kamil Manik menyampaikan hal itu, Selasa (17/7). KPU DKI Jakarta, lanjut Husni, diminta mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan memerhatikan tahapan, program, dan jadwal pilkada putaran kedua.
Where (Dimana
Di KPU DKI Jakarta
kejadian tersebut berlangsung?) Why (Mengapa?)
Anggota KPU, Arief Budiman, menambahkan, dalam pleno yang berlangsung sejak pukul 19.00 dan masih berlangsung pukul 22.45, masih dibahas mekanisme teknis perbaikan daftar pemilih tetap (DPT) dan landasan hukumnya. Plihannya, KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu
Jimly
Asshiddiqie
juga
mengharapkan KPU mengutamakan hak konstitusional
warga. “Keberanian mengakomodasi hak warga sangat penting. Ini tanggung jawab KPU sebagai pejabat negara,” kata Jimly. (paragraf 4)
Peraturan KPU yang mengakomodasi perbaikan DPT untuk putaran kedua Pilkada DKI, menurut Jimly, bisa saja digugat. Namun, Ketua KPU sebagai pejabat publik tinggal bertanggung jawab karena dengan argumen benar dan kuat, gugatan bisa dihadapi. (paragraf 5)
How (Bagaimana kronologis kejadian tersebut?)
Dalam pleno yang berlangsung sejak pukul 19.00 dan masih
berlangsung
pukul
22.45,
masih
dibahas
mekanisme teknis perbaikan daftar pemilih tetap (DPT) dan landasan hukumnya. (paragraf 3)
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu
Jimly
Asshiddiqie
juga
mengharapkan KPU mengutamakan hak konstitusional warga. “Keberanian mengakomodasi hak warga sangat penting. Ini tanggung jawab KPU sebagai pejabat negara,” kata Jimly. (paragraf 4)
Peraturan KPU yang mengakomodasi perbaikan DPT untuk putaran kedua Pilkada DKI, menurut Jimly, bisa saja digugat. Namun, Ketua KPU sebagai pejabat publik tinggal bertanggung jawab karena dengan argumen benar dan kuat, gugatan bisa dihadapi. (paragraf 5)
Dalam menuliskan laporannya tentang permasalahan ini, Kompas memulainya dengan menceritakan terlebih dahulu dimana permasalahan ini terjadi, kemudian masuk kepada masalah-masalah yang ada mengenai kasus tersebut. Dilanjutkan dengan menggambarkan apa penyebab permasalahan yang timbul, lalu berbicara tentang solusi yang dibuatkan oleh pemerintah, dan pada akhirnya memberikan tanggapan terhadap solusi itu yang dinilai tidak sesuai dan kurang mengena terhadap permasalahan. Terakhir Kompas memberikan penentuan sikap dan memberikan masukan kepada pihak KPU tentang solusi yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Dalam pemaparan pada bagan diatas, pada kolom Who, yang diangkat hanya KPU DKI Jakarta sebagai objek utama berita. What, menjelaskan bahwa Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan, KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua. Dan KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain. Pada When, mengangkat waktu ketika rapat pleno tersebut digelar. Yaitu pada tanggal 17 Juli 2012. Where, menunjukan dimana tempat rapat pleno digelar, yaitu di Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta. Pada kolom Why, dijelaskan bahwa KPU harus mengakomodasi pemilih. Dalam kolom How, dijabarkan kronologis bagaimana KPU harus mengakomodasi perbaikan DPT atau merevisi peraturan KPU. Kompas menjelaskan secara gamblang proses rapat
pleno berjalan. Kompas juga menyisipkan pernyataan dari Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Analisis ketiga, yakni analisis struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Kalau struktur sintaksis, menurut Eriyanto, berhubungan dengan pernyataan bagaimana fakta yang diambil oleh wartawan akan ditempatkan pada skema atau bagan berita, maka struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta ditulis. Bagaimana kalimat yang dipakai, bagaimana menempatkan dan menulis sumber kedalam teks berita secara keseluruhan. Ada beberapa elemen yang dapat diamati dari perangkat tematik ini. Diantaranya adalah koherensi: pertalian atau jalinan antarkata, proposisi atau kalimat. (Eriyanto, 2012:302). Agar pembahasan lebih terarah, tabel struktur tematik sebagai berikut:. Tabel 4.3 Analisis Struktur Tematik Detail
Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan, KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua (Subjudul)
Ketua KPU Husni Kamil Manik menyampaikan hal itu, Selasa (17/7). KPU DKI Jakarta, lanjut Husni, diminta mengambil langkah-langkah yang diperlukan
dengan memerhatikan tahapan, program, dan jadwal pilkada putaran kedua.
Koherensi
Anggota KPU, Arief Budiman, menambahkan, dalam pleno yang berlangsung sejak pukul 19.00 dan masih berlangsung pukul 22.45, masih dibahas mekanisme teknis perbaikan daftar pemilih tetap (DPT) dan landasan
hukumnya.
Plihannya,
KPU
merevisi
Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain. (paragraf 3)
Dalam
kesempatan
terpisah,
Ketua
Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie juga
mengharapkan
KPU
mengutamakan
hak
konstitusional warga. “Keberanian mengakomodasi hak warga sangat penting. Ini tanggung jawab KPU sebagai pejabat negara,” kata Jimly. (paragraf 4)
Ketua Panitia Pengawas Pilkada Jakarta Ramdansyah mengatakan siap membantu KPU Jakarta apabila diperlukan untuk mengecek ulang pemilih yang akan masuk dalam daftar pemilih putaran kedua. (paragraf 6) “Kami memiliki 420 tenaga, mulai lapangan hingga tingkat provinsi, serta sejumlah anggota staf. Dengan kekuatan yang ada, kami siap membantu KPU Jakarta untuk mengecek ulang nama yang akan masuk dalam daftar pemilih jika dilakukan putaran kedua,” ujarnya.
(paragraf 7)
Ketua Panwas Cilincing Suparba menyebutkan cukup banyak jumlah warga di Kecamatan Cilincing yang tidak terdata dalam DPT. “Orang yang meninggal atau yang sudah pinah tempat tinggal pun banyak yang masih terdata di DPT. Jumlahnya sampai 20 persen total DPT di Cilincing,” ujarnya. (paragraf 10)
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Yusfitriadi mencatat sedikitnya 17 warga belum terdaftar pada putaran pertama. Ada juga 15 orang yang seharusnya tidak terdaftar lagi di DPT. (paragraf 11)
Pengarahan kepada keputusan “KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi ” dalam menanggulangi masalah ini diceritakan dalam laporan utama Kompas dengan detail. Mengutip data yang diambil dari susunan mengenai keputusan hasil rapat pleno KPU DKI Jakarta yang menyatakan bahawa pemilih harus diakomodasi, bermaksud memperkuat tujuan dari penulisan ini sehingga bertujuan agar khalayak pembaca bisa menilai bahwa dari keputusan KPU DKI Jakarta mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan memerhatikan tahapan, program, dan jadwal pilkada putaran kedua. Teks yang diproduksi Kompas seolah lebih memihak terhadap keputusan KPU DKI Jakarta. Diperkuat dengan pernyataan Anggota KPU, Arief Budiman, menambahkan, dalam pleno yang berlangsung sejak pukul 19.00 dan masih berlangsung pukul 22.45, masih dibahas mekanisme teknis perbaikan daftar
pemilih tetap (DPT) dan landasan hukumnya. Plihannya, KPU merevisi Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Tata Cara Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pilkada atau menggunakan aturan lain. (paragraf 3) Sehingga khalayak pembaca secara tidak sadar telah diarahkan kepada Frame Kompas yang lebih memihak terhadap keputusan KPU DKI Jakarta, sehingga citra KPU di mata masyarakat baik dalam menjalankan tugasnya mengayomi masyarakat, maupun dalam hal tersebut. Secara tidak langsung Kompas ingin menyelamatkan muka KPU dalam menangani daftar pemilih tetap tersebut. Pernyataan demi pernyataan di media ini dikemas sedemikian rupa hingga khalayak lebih di arahkan kepada pernyataan yang di tunjukan didalam teks dibawah ini : Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Yusfitriadi mencatat sedikitnya 17 warga belum terdaftar pada putaran pertama. Ada juga 15 orang yang seharusnya tidak terdaftar lagi di DPT. (paragraf 11) Potongan teks Kompas diatas, menggambarkan sebuah tanggung jawab dari pihak Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat yang mencatat warga yang belum terdaftar. Disini, Kompas hendak mempertegas keputusan KPU DKI Jakarta dalam mengambil putusan merevisi peraturan pada pemilih yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua. Kemudian, analisis struktur dari elemen retoris, menurut Eriyanto, menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Dibawah ini adalah tabel struktur retoris:
Tabel 4.4 Analisis Struktur Retoris Metafora
Pilkada DKI Jakarta “KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi” Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum memutuskan, KPU DKI Jakarta harus mengakomodasi pemilih pada putaran pertama yang belum tercatat dalam daftar pemilih tetap agar dapat menggunakan hak politiknya apabila ada putaran kedua. (paragraf 1)
Pernyataan “KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi” adalah sebuah keputusan berupa penekanan terhadap narasumber, sehingga teks yang di buat Kompas lebih mengarah kepada pemaksaan sebuah tema dari objek yang di beritakannya. Judul laporan utama ditulis kapital, dengan formulasi kata yang telah disebutkan sebelumnya, menginginkan perhatian dan fokus khalayak akan masalah yang sedang diangkat. Penggunaan kata “diakomodasi” ditujukan terhadap sesuatu hal untuk memudahkan ketersediaanya proses kepada salah satu pihak, hal ini menunjukan bahwa Kompas menggambarkan adanya salah satu pihak yang diuntungkan. Pihak yang telah di untungkan disini ialah pemilih agar dapat menggunakan hak politiknya dalam pemilukada putaran selanjutnya. Melalui pengemasan seperti ini Kompas ingin menegaskan kepada khalayak pembaca bahwa, pemberitaan “KPU Memutuskan Pemilih Diakomodasi” merupakan persoalan lama yang seharusnya
segera ditangani secara serius dan bijaksana oleh KPU DKI Jakarta yang dicitrakan Kompas dengan baik.
4.1.2
Analisis Berita Republika edisi Rabu, 18 Juli 2012, judul Setop Kampanye SARA
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa elemen sintaksis merupakan bagaimana wartawan menysun peristiwa. Dan untuk lebih jelasnya penulis membuat bagan elemen sintaksis pada Harian Umum Republika, seperti di bawah ini :
Tabel 4.5 Analisis Struktur Sintaksis
Headline
Setop Kampanye SARA-Pemilih tergolong cerdas sehingga tak akan terpengaruh isu SARA.
Lead
Tahapan menuju kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta kian panas. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai menyerang pasangan calon. Para calon pemilih di
putaran
kedua
pemilihan
umum
kepala
daerah
(pemilukada) mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu. (paragraf 1) Latar Informasi
Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu. Masing-masing pasangan membantah telah
melakukan
serangan bernada SARA. (paragraf 2)
Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ahok Cheppy Wartono mengatakan, munculnya isu SARA justru menguntungkan mereka. “Kami santai saja, lha wong banyak yang menanggapinya negatif. Malah, banyak yang tambah respek sama Jokowi-Ahok. Jadinya menguntungkan kita,” ujar Cheppy, Selasa (17/7). (paragraf 3)
Mereka memilih lebih fokus terhadap keberhasilan pasangan „kotak-kotak‟
itu
pada
pemilukada.
Cheppy
menilai,
masyarakat Jakarta cukup cerdas dalam menanggapi setiap isu. Ketua Media Center Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (FokeNara) Kahfi Siregar mengatakan, pihaknya tidak akan pernah mengangkat isu SARA. “Bukan mainan kami itu, apalagi digunakan untuk menyudutkan pihak lawan. Kami ingin menang, bermartabat,” ujar Kahfi, kemarin. (paragraf 4)
Manajer Pemantauan JPPR Masykurudin Hafidz mengimbau calon
tidak
menggunakan
isu
agama
karena
akan
kontraproduktif. Pemilih di Jakarta dinilainya cerdas dan rasional. “Penggunaan isu agama dan etnis, baik kepentingan untuk menuduh pihak lain maupun sekedar mencari sensasi, justru akan merugikan diri sendiri,” katanya.
Peneliti Political Research Institute for Democracy (Pride) Indonesia Agus Herta Sumarto mengatakan, isu SARA dari salah satu pasangan calon merupakan bentuk frustasi dalam meraup suara sebanyak-banyaknya pada putaran kedua. “Salah satu calon itu tidak punya bahan lagi dan dia sudah kehabisan akal,” katanya.
Agus menilai, para pemilih di Jakarta tergolong cerdas sehingga tidak akan terpengaruh oleh isu SARA tersebut, justru masyarakat akan kritis. Dia memperkirakan isu SARA tidak akan banyak berdampak pada opini masyarakat di putaran kedua. “Mereka yang melempar isu SARA ini malah akan semakin dinilai negatif,” ujarnya. Kutipan Sumber Tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengaku menjadi sasaran kampanye hitam
bernuansa
SARA.
Meski
begitu,
Ketua
Tim
Pemenangan Jokowi-Ahok Cheppy Wartono mengatakan, munculnya isu SARA justru menguntungkan mereka. “Kami santai saja, lha wong banyak yang menanggapinya negatif. Malah, banyak yang tambah respek sama Jokowi-Ahok. Jadinya menguntungkan kita,” ujar Cheppy, Selasa (17/7). (paragraf 3)
Mereka memilih lebih fokus terhadap keberhasilan pasangan „kotak-kotak‟
itu
pada
pemilukada.
Cheppy
menilai,
masyarakat Jakarta cukup cerdas dalam menanggapi setiap isu. Ketua Media Center Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (FokeNara) Kahfi Siregar mengatakan, pihaknya tidak akan pernah mengangkat isu SARA. “Bukan mainan kami itu, apalagi digunakan untuk menyudutkan pihak lawan. Kami ingin menang, bermartabat,” ujar Kahfi, kemarin.
Manajer Pemantauan JPPR Masykurudin Hafidz mengimbau calon
tidak
menggunakan
isu
agama
karena
akan
kontraproduktif. Pemilih di Jakarta dinilainya cerdas dan rasional. “Penggunaan isu agama dan etnis, baik kepentingan untuk menuduh pihak lain maupun sekedar mencari sensasi,
justru akan merugikan diri sendiri,” katanya.
Peneliti Political Research Institute for Democracy (Pride) Indonesia Agus Herta Sumarto mengatakan, isu SARA dari salah satu pasangan calon merupakan bentuk frustasi dalam meraup suara sebanyak-banyaknya pada putaran kedua. “Salah satu calon itu tidak punya bahan lagi dan dia sudah kehabisan akal,” katanya. (paragraf 8)
Agus menilai, para pemilih di Jakarta tergolong cerdas sehingga tidak akan terpengaruh oleh isu SARA tersebut, justru masyarakat akan kritis. Dia memperkirakan isu SARA tidak akan banyak berdampak pada opini masyarakat di putaran kedua. “Mereka yang melempar isu SARA ini malah akan semakin dinilai negatif,” ujarnya. (paragraf 9)
Penutup
Peneliti Political Research Institute for Democracy (Pride) Indonesia Agus Herta Sumarto mengatakan, isu SARA dari salah satu pasangan calon merupakan bentuk frustasi dalam meraup suara sebanyak-banyaknya pada putaran kedua. “Salah satu calon itu tidak punya bahan lagi dan dia sudah kehabisan akal,” katanya. (paragraf 8)
Agus menilai, para pemilih di Jakarta tergolong cerdas sehingga tidak akan terpengaruh oleh isu SARA tersebut, justru masyarakat akan kritis. Dia memperkirakan isu SARA tidak akan banyak berdampak pada opini masyarakat di putaran kedua. “Mereka yang melempar isu SARA ini malah akan semakin dinilai negatif,” ujarnya. (paragraf 9)
“Setop Kampanye SARA”. Itulah pilihan Headline atau Judul yang digunakan oleh Harian Umum Republika. Headline ini ditujukan dalam menanggapi pemberitaan isu SARA yang tersebar saat Pilkada DKI Jakarta 2012, dan diterbitkan pada hari Rabu, 18 Juli 2012. Kata tegas untuk sebuah judul, yang dipilih oleh harian umum Republika sangat berbeda dengan harian umum Kompas dalam menanggapi pemberitaan seputar Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang lebih menyoroti kinerja KPU DKI Jakarta ketimbang isu SARA. Sub judul pada Republika adalah pemilih tergolong cerdas
sehingga tak akan terpengaruh isu SARA. Lead pada teks berita yang diproduksi oleh Republika, adalah sebagai berikut:
Tahapan menuju kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta kian panas. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai menyerang pasangan calon. Para calon pemilih di putaran kedua pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu. (paragraf 1) Sub judul dan lead diatas memunculkan adanya kampanye SARA yang meningkat ditengah-tengah tahapan perebutan kursi gubernur dan wakil gubernur pada pemilukada tahun 2012. Frame ini menjadi gambaran bahwa harian umum Republika, lebih memposisikan dirinya yang menghimbau kepada calon pemilih agar tak terhasut dengan pasangan dengan suku dan agama tertentu. Sedangkan melalui latar informasi yang hendak disampaikan kepada khalayak, Republika lebih memfokuskan kepada masing-masing pasangan cagub dan cawagub membantah telah melakukan serangan bernada SARA. Hal tersebut bisa di lihat dari paragraf 2 yang diproduksi Republika di bawah ini :
Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu. Masing-masing pasangan membantah telah melakukan serangan bernada SARA. (paragraf 2)
Untuk lebih menekankan pemberitaannya,
Republika
mengangkat
beberapa kutipan sumber yang dikemas secara apik dalam beberapa paragraf seperti berikut : Tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengaku menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Meski begitu, Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ahok Cheppy Wartono mengatakan, munculnya isu SARA justru menguntungkan mereka. “Kami santai saja, lha wong banyak yang menanggapinya negatif. Malah, banyak yang tambah respek sama Jokowi-Ahok. Jadinya menguntungkan kita,” ujar Cheppy, Selasa (17/7). (paragraf 3)
Kutipan pertama ini, menggambarkan bahwa pernyataan dari Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ahok, Cheppy Wartono menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Meskipun begitu, hal ini tidak ditanggapi oleh khalayak. Hal ini menjadi sebuah kesempatan Republika untuk mengarahkan khalayak pembaca, agar sama-sama berpikir cerdas dalam menanggapi isu SARA yang mencuat pada pilkada DKI Jakarta. Hal tersebut bisa diperjelas dengan penilaian Cheppy yakni masyarakat Jakarta cukup cerdas dalam menanggapi setiap isu. Bahkan Manajer Pemantauan JPPR Masykurudin Hafidz mengimbau calon tidak menggunakan isu agama karena akan kontraproduktif. Pemilih di Jakarta dinilainya cerdas dan rasional. “Penggunaan isu agama dan etnis, baik kepentingan untuk menuduh pihak lain maupun sekedar mencari sensasi, justru akan merugikan diri sendiri,”
katanya. Kalimat dari teks yang di produksi Republika tersebut sebenarnya mengarahkan kepada khalayak mengenai adanya isu SARA dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Secara sekilas, Republika sebenarnya sudah bisa dilihat bahwa Republika menghimbau agar warga Jakarta khususnya pemilih menghimbau kepada masyarakat dan mengajak masyarakat langsung agar hentikan itu, kampanye seperti itu tidak baik. Penutup pada laporan utama Republika, sebenarnya adalah pengantar untuk solusi yang dicantumkan didalam boks wawancara yang ditempatkan di akhir laporan utama. Republika lebih mengambil kesempatan dari pernyataan Peneliti Political Research Institute for Democracy (Pride) Indonesia Agus Herta Sumarto mengatakan, isu SARA dari salah satu pasangan calon merupakan bentuk frustasi dalam meraup suara sebanyak-banyaknya pada putaran kedua, adalah sebagai berikut ini: “Salah satu calon itu tidak punya bahan lagi dan dia sudah kehabisan akal,” katanya. (paragraf 8) Agus menilai, para pemilih di Jakarta tergolong cerdas sehingga tidak akan terpengaruh oleh isu SARA tersebut, justru masyarakat akan kritis. Dia memperkirakan isu SARA tidak akan banyak berdampak pada opini masyarakat di putaran kedua. “Mereka yang melempar isu SARA ini malah akan semakin dinilai negatif,” ujarnya. (paragraf 9)
Frame diatas sebagai penutup, bahwa dengan pernyataan akan negatifnya isu SARA merupakan sebuah intervensi teks dari Republika, dimana Republika mempertegas bahwa dari Peneliti Political Research Institute for Democracy (Pride) Indonesia, Agus Herta Sumarto mengatakan, isu SARA dari salah satu
pasangan calon merupakan bentuk frustasi dan masyarakat akan kritis serta tidak akan berdampak opini dari masyarakat. Justru yang melemparkan isu SARA itulah yang akan dinilai semakin negatif. Berdasarkan penjelasan mengenai elemen skrip yang sudah dibahas sebelumnya, peneliti juga menjabarkan mengenai elemen skrip dalam berita harian umum Republika “Setop Kampanye SARA”. Seperti dijelaskan dalam bagan dibawah ini : Tabel 4.6 Analisis Struktur Skrip Unsur kelengkapan 5W+1H Pada Berita di Harian Umum Republika
Who (Siapa?)
Tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengaku menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Meski begitu, Ketua Tim
Pemenangan
mengatakan,
Jokowi-Ahok
munculnya
isu
Cheppy SARA
Wartono justru
menguntungkan mereka. “Kami santai saja, lha wong banyak yang menanggapinya negatif. Malah, banyak yang tambah respek sama Jokowi-Ahok. Jadinya menguntungkan kita,” ujar Cheppy, Selasa (17/7). (paragraf 3)
Ketua Media Center Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (FokeNara) Kahfi Siregar mengatakan, pihaknya tidak akan pernah mengangkat isu SARA. “Bukan mainan kami itu, apalagi digunakan untuk menyudutkan pihak lawan. Kami ingin menang, bermartabat,” ujar Kahfi, kemarin. (paragraf 4)
Kahfi mengakui, ada pernyataan bernada SARA kepada Jokowi-Ahok, tetapi dia membantah itu berasal dari Tim Pemenangan Foke-Nara. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, tegasnya, sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Jika tuduhan dialamatkan ke kubu Foke-Nara, itu fitnah besar. (paragraf 5) What
Tahapan menuju kursi gubernur dan wakil gubernur
(Apa yang terjadi?)
DKI Jakarta kian panas. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai menyerang pasangan calon. Para calon pemilih di putaran kedua pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu. (paragraf 1)
Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu. Masing-masing pasangan membantah telah melakukan serangan bernada SARA. (paragraf 2) When (Kapan?)
Selasa, 17 Juli 2012
Where (Dimana
Di Jakarta
kejadian tersebut berlangsung?) Why (Mengapa?)
Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu. Masing-masing pasangan membantah
telah melakukan serangan bernada SARA. (paragraf 2)
Ketua Media Center Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (FokeNara) Kahfi Siregar mengatakan, pihaknya tidak akan pernah mengangkat isu SARA. “Bukan mainan kami itu, apalagi digunakan untuk menyudutkan pihak lawan. Kami ingin menang, bermartabat,” ujar Kahfi, kemarin. (paragraf 4)
Kahfi mengakui, ada pernyataan bernada SARA kepada Jokowi-Ahok, tetapi dia membantah itu berasal dari Tim Pemenangan Foke-Nara. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, tegasnya, sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Jika tuduhan dialamatkan ke kubu Foke-Nara, itu fitnah besar. (paragraf 5)
How (Bagaimana
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
kronologis kejadian
menemukan selebaran untuk tidak memilih pasangan
tersebut?)
Jokowi-Ahok dengan menggunakan isu agama. Temuan itu ada dalam laporan pemantauan JPPR yang sudah diserahkan kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta beserta bukti-buktinya. (paragraf 6)
Dalam pemaparan pada bagan skrip diatas, pada kolom Pada Who, Republika mengangkat Tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) mengaku menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Dan Ketua Media Center Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) Kahfi Siregar mengatakan, pihaknya tidak akan pernah mengangkat isu SARA. Dia
membantah itu berasal dari Tim Pemenangan Foke-Nara. Jika tuduhan dialamatkan ke kubu Foke-Nara, itu fitnah besar. Pada kolom What, Republika ingin menegaskan bahwa kedua tim masingmasing pasangan
beserta pemilih pada Pilkada DKI Jakarta 2012 mendapat
hasutan berupa isu SARA, Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang nonJakarta, apalagi berasal dari agama dan etnis tertentu. Masing-masing pasangan membantah telah melakukan serangan bernada SARA. When, dalam pemberitaan yang diproduksi Republika menyebutkan keterangan waktu yang lengkap ketika tim Jokowi-Ahok mengaku menjadi sasaran kampanye hitam bernuansa SARA. Yaitu pada hari Selasa tanggal 17 Juli 2012. Where, menunjukan dimana tempat sasaran kampanye hitam. Namun, Republika tidak menyebutkan tempat secara jelas, hanya mencantumkan nama kotanya saja, yaitu terjadi di Jakarta. Pada kolom Why, Republika mengangkat dari ada pernyataan bernada SARA kepada Jokowi-Ahok, tetapi dibantah itu berasal dari Tim Pemenangan Foke-Nara. Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, tegasnya, sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Jika tuduhan dialamatkan ke kubu Foke-Nara, itu fitnah besar. Dalam kolom How, dijabarkan kronologis kejadian pada saat Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menemukan selebaran untuk tidak memilih pasangan Jokowi-Ahok dengan menggunakan isu agama. Temuan itu ada dalam laporan pemantauan JPPR yang sudah diserahkan kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta beserta bukti-buktinya.
Seperti yang sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, Struktur
Tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Dan struktur tematis berhubungan dengan bagaimana fakta ditulis. Agar lebih jelas, peneliti membuat bagan elemen tematik sebagai berikut:
Tabel 4.7 Analisis Struktur Tematik Detail
Tahapan menuju kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta kian panas. Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai menyerang pasangan calon. Para calon pemilih di putaran kedua pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu. (paragraf 1)
Koherensi
Hasutan beredar lewat selebaran, situs-situs jejaring sosial, forum-forum internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Pemilih mendapat hasutan agar tak memilih orang non-Jakarta, apalagi berasal dari agama dan
etnis
tertentu.
Masing-masing
pasangan
membantah telah melakukan serangan bernada SARA. (paragraf 2)
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menemukan selebaran untuk tidak memilih pasangan Jokowi-Ahok
dengan
menggunakan
isu
agama.
Temuan itu ada dalam laporan pemantauan JPPR yang sudah diserahkan kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta beserta bukti-buktinya. (paragraf 6) .
Dalam menanggulangi masalah ini, diceritakan dalam laporan utama Republika dengan detail. Mengutip data yang diambil dari susunan mengenai Isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) mulai menyerang pasangan calon. Para calon pemilih di putaran
kedua pemilihan umum kepala daerah
(pemilukada) mendapat hasutan untuk tak memilih pasangan dengan suku dan agama tertentu. Ada hal lain dibalik tahapan pemilihan kepala daerah yakni serangan isu SARA di produksi Republika. Sehingga hal itu memperkuat tujuan dari penulisan ini untuk mengambil kesempatan, agar menghasilkan sebuah berita yang Objektif, sehingga khalayak pembaca bisa menilai bahwa hasutan isu SARA adalah sebuah fakta dan beredar di selebaran, situs-situs jejaring sosial, forumforum
internet, dan pesan berantai lewat telepon seluler. Diperkuat dengan
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang menemukan selebaran untuk tidak memilih pasangan Jokowi-Ahok dengan menggunakan isu agama. Temuan itu ada dalam laporan pemantauan JPPR yang sudah diserahkan kepada Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta beserta bukti-buktinyatersebut.
Struktur dari wacana berita, menurut Eriyanto, menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan. Agar pembahasan ini lebih jelas, peneliti membuat bagan elemen retoris sebagai berikut :
Tabel 4.8 Analisis Struktur Retoris Metafora
Setop Kampanye SARA-Pemilih tergolong cerdas sehingga tak akan terpengaruh isu SARA “Mereka yang melempar isu SARA ini malah akan semakin dinilai negatif,” ujarnya. (paragraf 9)
Judul laporan utama ditulis kapital dengan formulasi kata-kata yang telah disebutkan sebelumnya menginginkan perhatian dan fokus khalayak akan masalah yang sedang diangkat. Penggunaan kata “Setop” dimaksudkan untuk menegaskan permasalahan yang besar namun ditanggapi seolah masalah itu hal yang biasa saja, diharapkan dengan penggunaan kata itu khalayak, pemerintah, dan elemen yang lainnya akan sadar. Bahwa Republika masyarakat luas
hendak meminta perhatian
untuk menghentikan segala aktifitas yang berkaitan dengan
kampanye hitam bernuansa SARA. Menghentikan pertikaian yang ada hanya karena isu SARA. Selain itu kata “melempar isu SARA” diatas juga menunjukan seolah mendekati kearah tertentu, hal ini menunjukan bahwa Republika menyikapi pernyataan tersebut adalah membuang jauh-jauh isu SARA kepada masyarakat Jakarta untuk mempengaruhi pemilih. Pemberitaan Setop Kampanye SARA pada Harian Umum Republika ini bertujuan mengajak masyarakat untuk menghentikan segala aktifitas yang berkaitan dengan kampanye hitam bernuansa SARA. Menghentikan pertikaian yang ada hanya karena isu SARA. Sesuai visi misi besar Republika yakni inspirasi
untuk perubahan. Republika berusaha mengajak masyarakat khususnya warga Jakarta untuk berpartisipasi dan berpikir cerdas dalam setiap fenomena yang ada terutama dalam menghadapi isu SARA dalam pemilukada DKI Jakarta.
4.2 Analisis Pakar Media Berita isu SARA yang dimuat di media adalah berita yang menarik. Ketika sebuah media memuat berita dengan tema isu SARA kemudian membuahkan banyak tanggapan, maka perusahaan pers akan memuat kembali berita dengan tema tersebut. Istilah dalam media elektronik disebut rating. Semakin tinggi rating dari masyarakat maka semakin sering diangkat oleh media. Diharapkan pers lokal dalam pilkada berperan sebagai penyalur yang netral dan tanpa target tertentu diantara anggota masyarakat yang ingin berbicara kepada publik yang ingin dicapai. Tugas berat yang mesti diemban setiap pers media adalah harus menempatkan sebagai lembaga yang bersikap independen serta terpercaya. Pemberitaan isu SARA pada media massa khususnya media cetak di perbolehkan. Asalkan tidak menyalahi aturan yang sudah di tetapkan oleh Kode Etik Jurnalistik. Dalam kode etik, semua wartawan, semua media diharapkan independen dan di dalam pemberitaan itu ada perbedaan, ada firewall, garis pemisah antara newsroom dan bisnis. Antara kegiatan wartawan dan kegiatan bisnis. Antara pebisnis dan pengabdi kepada pelayan publik. Demikian yang dikatakan M. Ridlo Eisi kepada peneliti. Namun pada praktiknya hal ini masih terjadi ketidakpatuhan wartawan dalam melanggar Kode Etik Jurnalistik.
Hal ini bisa terjadi karena andil perusahaan pers tempat wartawan bekerja. Perusahaan pers menetapkan aturan sehingga wartawan tersebut mau tak mau menjadi dasar ideologi yang tertanam dan harus di patuhinya. Meskipun pada Undang-undang Pers No. 40 khususnya Pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa perusahaan pers yang melanggar atau katakanlah mengintervensi newsroom, akan mendapat ancaman 2 tahun penjara dan denda dengan sejumlah uang paling banyak ratusan juta rupiah. Memang, tidak semua perusahaan pers melanggar ketetapan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang Pers. Namun, bila hal itu terjadi,
sangatlah
disayangkan
wartawan
kehilangan
idealisme
dan
independensinya.
4.3 Analisis Pakar Komunikasi Prof. H. Deddy Mulyana M.A., Ph.D mengatakan bahwa dalam di teori Reese and Shoemaker terdapat level of influence . Dimana setiap semua konten (ideologi, insan media, budaya organisasi, rutinitas media dan individu). Semua itu mempengaruhi dengan konten media. Jadi bisa di lihat, ada korelasinya. Dari mulai ideologi terhadap isi pesan. Dijelaskan bahwa Pamella J. Shoemaker dan Stephen D.Reese dalam Mediating The Message (1996) mencatat, level-level pengaruh tersebut dimulai dari level individual seperti latar belakang dan kepentingan jurnalis; rutinitas media; organisasional seperti kepentingan pemilik; extra media seperti negara, pengiklan dan kelempok penekan; serta level ideologi yang kerap menjadi faktor makro yang berpengaruh pada isi media.
Asumsi dari teori ini adalah bagaimana isi pesan media yang disampaikan kepada khalayak adalah hasil pengaruh dari kebijakan internal organisasi media dan pengaruh dari eksternal media itu sendiri. Pengaruh internal pada konten media sebenarnya berhubungan dengan kepentingan dari pemilik media, individu wartawan sebagai pencari berita, rutinitas organisasi media. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada konten media berhubungan dengan para pengiklan, pemerintah masyarakat dan faktor eksternal lainnya. Ada peluang yang ditangkap secara cerdas oleh Jokowi-Ahok untuk mengangkat mereka ke permukaan dengan cara memanfaatkan isu SARA untuk meraih simpati masyarakat atau publik.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian dan analisis diatas terhadap pemberitaan isu SARA Pilkada DKI Jakarta 2012 di HU Kompas dan Republika tanggal 18 Juli 2012, maka disimpulkan bahwa : 1. Struktur Sintaksis: Dilihat dari elemen sintaksis, wartawan dari kedua harian umum ini mempunyai cara tersendiri dalam menyusun berita. Dimana headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, kalimat penutup, mempunyai perbedaan diantara kedua harian umum tersebut. Mereka mempunyai cara tersendiri dalam membentuk
persepsi
khalayak.
Seperti
halnya
Kompas
yang
dalam
pemberitaannya mengenai pemberitaan isu SARA dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, cenderung mengarahkan khalayak pembaca agar lebih menyoroti kinerja KPU dalam menangani kasus pemilih yang belum terdata dalam daftar pemilih tetap. Sedangkan harian umum Republika, wartawan cenderung mengarahkan khalayak pembaca untuk lebih mewaspadai segala aktifitas yang berkaitan dengan kampanye hitam bernuansa SARA. Semua dapat terlihat pada Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, kalimat penutup, yang disusun oleh Republika. 2. Struktur Skrip: Dari struktur skrip, kedua harian umum ini sudah memenuhi kelengkapan
unsur 5W+1H, dimana pemberitaan sudah cukup jelas. Walaupun penerapan unsur 5W+1H dalam harian umum Kompas dan Republika jelas berbeda. Pada Kompas yang terkesan lebih detail dalam menjabarkan waktu dan tempat serta cenderung memfokuskan pada rapat pleno KPU DKI Jakarta. Lain halnya dengan Republika, meskipun unsur 5W+1H sudah lengkap, tetapi Republika cenderung lebih ringkas dalam memberikan informasi mengenai waktu dan tempat. Tetapi, dalam kutipan narasumber, harian umum Republika mengedepankan kutipan, dari masing-masing tim pasangan calon kepala daerah dan dari Pride Indonesia. Sehingga berita terlalu terfokus pada mewaspadai isu SARA yang tersebar di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa dalam struktur skrip, wartawan dari kedua harian umum tersebut mempunyai kelengkapan unsur yang sangat ditekankan oleh analisis ini, yaitu unsur 5W+1H, dimana merupakan cara wartawan dalam mengisahkan fakta. 3. Struktur Tematik: Dari seluruh isi berita yang disusun oleh Kompas, peneliti melihat dari Struktur tematik, yaitu segi detail paragraf, bentuk kalimat, dan koherensi yang digunakan bahwa wartawan Kompas sangat menguasai permasalahan KPU. Terlihat bahwa cara penyusunan berita begitu sistematis, sehingga informasi mengenai pemberitaan KPU DKI Jakarta yang memutuskan pemilih tetap di akomodasi begitu jelas dan sangat dimengerti oleh khalayak pembaca. Namun jelas dalam penyusunan beritanya Kompas terlihat tetap tidak terlepas pada ideologi perusahaan. Dimana Kompas tetap terfokus pada pemberitaan KPU dan tidak mengangkat fenomena isu SARA yang marak pada saat itu.
Berbeda dengan harian umum Republika yang menyusun pemberitaan yang banyak mengambil pernyataan dari pihak-pihak yang terkait. Republika lebih menyoroti pemberitaan terjadinya penghasutan atau tersebarnya hasutan seputar kampanye hitam. Dalam beritanya Republika seolah hanya ingin menginformasikan mengenai permasalahan isu SARA yang kian meresahkan dan diharapkan pemilih lebih cerdas mengantisipasi isu SARA tersebut. 4. Struktur Retoris : Dalam struktur Retoris, penulis melihat bahwa Kompas menggunakan headline secara jelas, dimana khalayak hanya dengan membaca headline atau judul saja sudah mengetahui sedikit mengenai isi pemberitaan tersebut. Dengan penulisan judul menggunakan font besar dan tebal, ini merupakan suatu penekanan wartawan agar khalayak dapat menilai bahwa ini merupakan berita penting. Harian umum Republika juga menggunakan font besar dan tebal pada judul sebagai suatu penekanan dari wartawan, agar khalayak mengetahui bahwa itu merupakan berita yang sedang menjadi hotnews. Namun, dilihat sekilas dari judul yang diangkat, Republika begitu ringkas dalam menggunakan judul. Kata yang digunakan dalam isi berita pada Republika cenderung lebih santai dan menarik. Republika juga melampirkan gambar yang menegaskan untuk menghentikan kampanye SARA. Dari keempat struktur Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki ini ditarik kesimpulan bahwa Kompas tidak terpengaruh dengan isu SARA yang beredar di masyarakat dan hanya mengedepankan kinerja KPU serta sarana dan prasana
pilkada. Sementara Republika terpengaruh dengan adanya isu SARA di masyarakat. Terpengaruh untuk menginformasikan atau mengedukasikan kepada masyarakat agar cerdas dalam menyikapi kasus isu SARA.
5.2 Saran Berdasarkan hasil analisis mengenai pemberitaan pemberitaan isu SARA Pilkada DKI Jakarta 2012 di HU Kompas dan Republika tanggal 18 Juli 2012, maka peneliti dapat memberikan saran serta masukan-masukan yang ditujukan untuk redaksi Harian Umum Kompas dan Republika, yakni sebagai berikut: 1. Secara Praktis Pada pemberitaan wacana politik rentan terhadap distorsi-distorsi informasi. Selain dikarenakan interpretasi yang berbeda dari individu, media massa juga memiliki peran yang sangat besar. Untuk itu peran media massa untuk meminimalisir hal tersebut harus ditingkatkan lagi. Oleh karena itu konsep netralitas mutlak untuk diperhatikan secara lebih detil lagi oleh media massa. Sehingga masyarakat dapat menyaring informasi itu secara netral pula. Melek media mutlak diperlukan oleh masyarakat awam agar lebih memahami wacana yang berkembang dari berbagai sudut pandang yang ada. Hal ini merupakan tugas seluruh elemen terkait, mulai dari akademisi, praktisi, pemerintah dan media itu sendiri. Dalam membangun gagasan sentral, media massa memerlukan kejelian yang lebih kuat. Elemen-elemen pembingkaian serta simbol-simbol yang
digunakan haruslah berdasarkan fakta lapangan tanpa melebih-lebihkan dengan hal-hal yang out of context sehingga masyarakat tidak hanya menilai berita tersebut dari teks semata melainkan juga dari dimensi lain yang melatar belakangi teks tersebut.
2. Secara Akademik Hasil penelitian bagi dunia pendidikan agar bisa digunakan sebagai dasar dalam penelitian lebih lanjut. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi komunikasi, khususnya melalui pendekatan analisis framing. Menciptakan masyarakat sebagai sosok kritis yang menganggap masih perlunya kesadaran dari untuk mencari informasi-informasi alternatif dari media
lainnya
sebagai
bentuk
perhatian
terhadap
kemungkinan
keberpihakan dan faktor-faktor tertentu dari sebuah media dalam menyajikan berita.
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro. 2009. Public Relations. Bandung: Widya Padjajaran. Eriyanto. 2012. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: PT LkiS Printing Cermerlang Masduki dan Nazaruddin. 2008. Media, Jurnalisme dan Budaya Populer. Yogyakarta: Prodi Komunikasi UII dan UII Press McQuail, Denis. 1989. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Morrisan dan Wardhani, Andy Corry. 2009. Teori Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia Indonesia Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. ______________. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajagrafindo Rakhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Romli. M. Asep Syamsul. 2003. Jurnalistik Terapan. Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan. Bandung. BATIC PRESS ______________________. 2008. Kamus Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Santana K, Septiawan. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Siregar dan Haryanto. 2006. Membangun Kebebasan Pers yang Beretika. Jakarta: Dewan Pers atas dukungan Yayasan TIFA Subiakto, Henry dan Ida, Rahmah. 2012. Komunikasi Politik, Media dan Demokrasi. Jakarta: Kencana
Sumadiria, AS Haris. 2008. Jurnalistik Indonesia. Menulis Berita dan Feature. Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Suryadinata, Leo. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Sumber lain: Harian Umum Kompas tanggal 17 Juli 2012 Harian Umum Kompas tanggal 18 Juli 2012 Harian Umum Republika tanggal 17 Juli 2012 Harian Umum Republika tanggal 18 Juli 2012
LAMPIRAN
Naskah Wawancara I Narasumber
:
Jabatan
:
Waktu
:
Lokasi
:
1. Apakah pendapat bapak mengenai perkembangan pers di indonesia saat ini? Khususnya di DKI Jakarta? 2. Bagaimana pendapat bapak mengenai pemberitaan pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 lalu? 3. Bagaimanakah seharusnya cara media menyampaikan berita pemilukada terutama mengenai isu SARA? 4. Apakah yang mempengaruhi media terlibat dalam isu SARA? 5. Dengan adanya pemberitaan isu SARA yang marak dikalangan media, tentu akan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Media mempengaruhi dan membingkai pola pikir masyarakat? 6. Keberpihakan media terhadap salah satu kandidat pilkada, apakah itu dibenarkan? 7. Apakah yang harus dilakukan media dalam menghindari keberpihakan tersebut? 8. Konsekuensi media melakukan hal itu? 9. Harapan bapak dengan media yang berkaitan dengan pemberitaan pilkada ke depan?
Naskah Wawancara II Narasumber
:
Harian Umum : Jabatan
:
Waktu
:
Lokasi
:
1. Bagaimana latar belakang pemberitaan mengenai isu SARA? 2. Bagaimana pengolahan isu menjadi sebuah berita oleh Harian Umum ini pada isu SARA? 3. Bagaimana Harian Umum ini menentukan berita dan memilih narasumber pada pemberitaan isu SARA? 4. Bagaimana posisi wartawan Harian Umum ini dalam setiap peliputan mengenai isu SARA? 5. Bagaimana Harian Umum ini memproses pengeditan berita pada pemberitaan isu SARA? 6. Bagaimana proses pemilihan judul pada pemberitaan isu SARA? 7. Kategori berita yang layak tampil di Harian Umum ini? 8. Posisi Harian Umum ini dalam menghadapi berita politik?
TRANSKRIP WAWANCARA I Narasumber
: M. Ridlo Eisi
Jabatan
: Pakar Media, Anggota Dewan Pers
Waktu
: Selasa, 19 Februari 2013
Lokasi
: Cafe Heritage Food Market
Wawancara narasumber (N) dilakukan oleh peneliti (P) di Cafe Heritage Food Market Jln. Riau No.63 Bandung dengan menggunakan alat perekam tape recorder merk Sony, berikut transkrip hasil wawancara berkaitan dengan isu SARA dalam pemberitaan di media massa. P: Bagaimana pendapat bapak tentang isu SARA pemberitaan pilkada DKI Jakarta tahun lalu? N: Ya tentang isu SARA, apa, pemilihan, pemilihan gubernur di Jakarta itu lebih ramenya di media sosial ya. Karena apapun yang terjadi media, eu mainstream baik khususnya koran tuh sangat hati-hati menulis ya, terus kemudian televisi beberapa kali mengungkapkan untuk konfirmasi apa yang berada di media sosial. Tapi media sosial luar biasa kerasnya karena apa mereka berhubungan dengan kelompoknya masing-masing. Nah, ini yang saya amati dan ternyata apa yang dikatakanlah kasus Rhoma Irama ya, Rhoma Irama gak laku gitu ya. Mungkin cara mengungkapkannya dan sebagainya mungkin tidak tepat ya sehingga kelihatannya sangat menyudutkan. Khususnya kepada non muslim gitu, itu yang saya lihat. Tapi tampaknya memang Jakarta jadi warnanya ga jelas ya. Dulu kan ada PKS menang disana. Tapi Pemilu Gubernur yang (putaran) pertama waktu Foke lawan Adang Darojatun, PKS juga kalah, sekarang juga orang PKS kalahnya jauh sekali ya. Nur Mahmudi sendiri yang maju. Nah, ini gambarannya. Mungkin apa, pemahaman orang-orang Islam di Jakarta itu sudah mulai pluralistis ya. P: Pemikirannya sudah bercampur? N: Iya, jadi pemikirannya lebih realistis ya lebih bagus ngomong yang lebih tepatnya sekularistis. Yang saya maksud sekuler itu adalah pemisahan antara
agama dan urusan-urusan politik. Dahulu ini memang kegiatan sekuler ini di gerakan oleh orang-orang Katolik. Karena merasa Vatikan dan Paus itu eu tidak pada tempatnya mengambil keputusan-keputusan politik bisa merugikan keseluruhan masyarakat intinya. Nanti kamu (Peneliti) cari di ensiklopedia, berawal mula sekuler ini. Nah, kemudian bergerak ke Islam ya. Islam juga makin lama sekarang mulai sekuler ya. Eu sekulerisme Islam itu makin terdorong setelah ada beberapa negara yang menyatakan dirinya sebagai negara Islam seperti Afganistan, dibawah Taliban. Orang jadi ketakutan semua. Oh ini toh eu negara Islam yang berdasarkan Islam kalo seperti ini ya jangan. Islam yang saya anut bukan Islam yang sperti ini gitu eah kalo yang ini kan. N: Ya ya terima kasih. (pelayan datang membawakan pesanan narasumber). Dalam kasus ini kan orang-orang semacam Taliban itu menghalalkan darah orang lain yang tidak sesuai dengan pandangan dia. Nah ini kan jadi repot jadi banyak orang yang katakanlah tidak berjenggot dibunuh karena mereka dianggap tidak melanggar eeu tidak taat kepada apa eeu taat apa eeu istilahnya budaya Islam. Terus banyak sekali orang-orang Syi‟ah dibunuh disana gitu jadi janganlah. Terus contoh negara Islam lain adalah negara Iran. Iran memang masih oke dibandingkan Taliban ya. Terus kemudian iyaa ketika ada aktivisaktivis yang menyatakan Islam tetapi tindakannya sangat intoleran. Nah kalo ini terjadi di Indonesia, kayak apa bentroknya, berapa korbannya. Oleh karena itu, ini khususnya P: Malah masyarakat kita yang rugi. N: Musti ada reinterpretasi atau reformulasi, sorry. Reformulasi pandangan Islam terhadap kehidupan politik. Apakah seperti kegiatan para aktivis atau pemimpin partai politik tahun „55an, mereka kan mau mendirikan negara Islam antara lain NU, MASYUMI dan yang lain-lain tapi kekuatannya masih dibawah separo ya. Ya gagal masuk ke sana makanya kembali ke UndangUndang Dasar „45. Undang-Undang Dasar „45 sebenarnya Undang-Undang Dasar yang jelek ya. Syukurlah sekarang sudah di apa, sudah di amandemen. Jadi ini pandangan saya, orang sudah mulai berubah. Nah, waktu ini Oma Irama..
P: Eu.. Apakah masyarakat kita yang jadi merubah pandangan media jadi ya udah deh kita angkat isu SARA. Sebenarnya di media itu sendiri ada kebijakannya ga sih pak? N: Eeuh tidak ada tren seperti itu. Trennya gini ada berita di muat, terus kemudian ternyata ini membuat banyak tanggapan di muat lagi. P: Ada tanggapan itu sendiri istilahnya kalo di televisi mah kayak rating gitu pak? N: Persis. Kalau ratingnya tinggi, naikkan lagi. Cuman terus terang, televisi kita hati-hati betul ya karena kalo nggak nanti seperti peristiwa di Ambon di Poso. Terjadi di Jakarta wah mengerikan kan. P: Walaupun kadang-kadang di media televisi ya di masing-masing stasiun televisi kan ehm apa ya kayak si A udah punya partai anu jadi harus menganut anu gitu? N: Ya. Ini eeu sesungguhnya kalo di Kode Etik Jurnalistik, semua wartawan, semua media diharapkan independen dan di dalam pemberitaan itu ada perbedaan, apa ada firewall garis pemisah antara newsroom dan bisnis. Antara kegiatan wartawan dan kegiatan bisnis. Antara pebisnis dan pengabdi kepada pelayan publik. Tapi itu teori ya, prakteknya ada yang dikatakan itu ya. Pada hari Pers Nasional tahun ini topik yang paling hangat di bahas di Manado. Betapa intervensi pemilik, intervensi modal itu mempengaruhi independensi newsroom. Oleh karena itu, ada yang menuduh wartawan-wartawan ini sudah bukan menjadi pengabdi kepada masyarakat, mengabdi kepada publik tetapi mengabdi kepada kapital. Pemilik media akan jadi apa, preman-nya dia gitu. Nah itu, gambaran yang merisaukan tapi memang itu yang terjadi yah. Agak sulit misalnya, ada seorang pemimpin redaksi atau wartawan yang berani mengkritik apa ownernya sendiri. Padahal ownernya mendukung calon ini atau partai ini. Nah ini kan kita lihat ada beberapa kelompok, ada beberapa tokoh partai sekaligus yang menjadi pemilik media-media elektronik. Nah ini ga mungkin, misalnya saya orang TV One tapi mengkritrik Aburizal Bakrie ya kan, tidak mungkin juga saya orang Metro TV mengkritik Soerya Paloh. Itu akan sulit sekali. Kalau pun nanti mengkritik tentu bisa saja tapi tidak di media mungkin secara personal.
P: Menyuarakan di blog kayak gitu? N: Ga ya, mungkin ngobrol atau menyampaikan surat ya tapi kan ga media ya padahal ini kan kritik ini kan sangat bagus, katakanlah bagus untuk di ketahui masyarakat ya. P: Bukannya, punten pak, bukannya media atau pers itu bebas mengekspresikan suaranya? N: Aturannya begitu. Aturannya ada dua. Satu, eeu, Undang-undang Pers khususnya Pasal 18 ayat 1, siapa saja yang mengintervensi newsroom katakanlah, itu dapat ancaman 2 tahun penjara dan Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 itu himbauan untuk bersikap independen dan eu masalah pemberitaan itu tidak boleh di intervensi walaupun yang mengintervensi itu pemilik perusahaan pers. Nah itu idealnya sudah ada, cuman itu kan yang tertulis ya, prakteknya tuh lain-lain. Oleh karena itu Presiden SBY dan Menteri KOMINFO, Tifatul (Sembiring), menyampaikan masalah ini di Hari Pers Nasional di Manado tanggal 8 (Februari 2013) dan tanggal 11 (Februari 2013). Tanggal 8 di Konferensi Pers Nasional Tifatul ngomong begitu dan di tanggal 11 Presiden SBY juga ngomong begitu. P: Pada kenyataannya hal itu masih susah ya, kayak saya ini insya Allah, jadi calon wartawan pengennya yang netral ga ikut siapa-siapa. N: (tersenyum) Ada media yang masih netral tapi tidak cukup besar anggap saja Pikiran Rakyat itu relatif netral. Kompas relatif netral. P: Republika? N: Republika tidak terlalu netral. Dulu dia kekuatannya ICMI ya. Dia orang ICMI mau apa, pokoknya dulu eeu Habibie lah trus pokoknya habis itu saya tidak membaca Republika lagi. Sudah lama waktu itu. Dan jadi tukang pukul-nya Habibie, tukang pukul-nya ICMI dulu itu. Mana ada apa e apa, pokoknya itu saya baca tahun awal habis saya ga ikut, ga langganan lagi, jadi saya ga tau apakah masih seperti itu atau ga. Itu kesan saya dulu. Sehingga waktu ada musyawarah nasional atau Mukhtamar NU di Cipasung, oleh kelompok NU, Republika dianggap sebagai ahlulfitnah wal jamaah. P: Memfitnah orang kok dimuat?
N: Ya memang dia memuat ee pendapat seseorang yang orang itu ga ngomong. P: ooh. N: Nah gitu, jadi ahlulfitnah wal jamaah itu pandangan orang NU waktu itu kepada Republika. P: Bukannya selama ini iya yang saya baca sih, kayaknya Republika itu lebih ke Islam banget gitu? N: Ya ga, itu dulu. Saya ga berani ngomong, komentari kan sekarang ga baca. Pernah disampaikan itu pemilihan mempertahankan Gusdur sebagai Ketua Umum PBNU. P: Kalo yang saya baca sih di Republika sekarang, malah justru kayak yang udah deh stop kampanye SARA, yang memihak apa ya, yang kandidat yang misalnya apa ya Jokowi-Ahok kan? N: Saya ga komentar Republika sekarang, saya itu yang saya komentarnya komentar waktu zaman baheula. Waktu mau orde baru. P: Kalo kira-kira nih apalagi sekarang ini kan Jawa Barat mulai ada rame-rame, apalagi kan mulai tanggal 24 Februari bakal ada pemilihan gubernur nih. Di media-media udah banyak yang satu mendukung ini dan yang satu mendukung ini. Banyak iklannya loh Pak. N: Kalo iklan mah bayar. Jadi ee.. P: Boleh ga sih pak media itu saya memihak kandidat ini? N: Pada dasarnya boleh memihak dan menyatakan. Kami memihak ini, alasannya ini, jangan tidak tapi jangan sampai ngaku independen, ngaku non partisan tapi kemudian cenderung pada salah satu itu gak fair, nah biasanya itu jaman dahulu begitu. Kalo jaman sekarang itu ga ada masalah itu, mau memihak atau tidak memihak tapi harus ngomong. P: Dibenarkan ..? N: Boleh untuk media cetak, untuk media elektronik itu debatable, rata-rata menganggap tidak boleh. Seperti di Amerika Serikat ada endorsement, saya memilih calon ini alasannya ini, saya tidak memilih calon itu karena alasannya ini. Rakyat ga setuju sama kita tapi ga pa pa punya hak masing-masing. Nah kalo iklan itu lain lagi dongengnya, iklan itu dia bayar, kalo dia punya uang
bisa bayar. Semakin besar untuk dia dan semakin bagus untuk media. Tapi belum tentu rakyat mau di apa, istilahnya terpengaruh kan. P: Apalagi sekarang kan public figure nya ada tiga kan ya. Kalo di runutkan ada Pak Deddy Mizwar, Rieke Diah Pitaloka dan Pak Dede Yusuf. Itu kan pasti menjualnya tuh iklan-iklan yang dia bintangi. N: Iklan Sosis ya? P: Iklan Sosis dan Promag. (Tertawa) N: Sekarang kan ga ada iklan Promag eh, ga ada itu dulu kan si itu ga ada itu Bodrek. P: Pak Dede Yusuf iklan Bodrek dulu. Sekarang ga. N: Bisa begitu bisa ngga. Sebagai contoh pelajaran di Amerika Serikat. Beberapa media yang anti Obama antara lain CNN terus Fox, dia mengarahkan audience nya untuk memilih Mitt Romney, nanti di cek ya. Tapi ternyata Obama yang menang, karena apa eu mereka lebih punya pandangan sendiri. Apakah di Indonesia akan seperti itu? Kelihatannya kita akan menuju ke situ walaupun.. P: Baru menuju. N: Ya karena nanti kita buktikan ya, buktinya seperti apa. Karena kelum tentu orang-orang yang di dukung media televisi katakanlah Hanura nanti akan di back up oleh Harry Tanoe itu belum tentu suaranya banyak. Nasdem apa yang di dukung oleh Soerya Paloh dan Metro TV itu belum tentu banyak. Demikian pula Golkar itu belum tentu. Eu tergantung istilahnya mesin politiknya. Mesin politiknya itu kader-kadernya mau berjuang untuk itu ga. Karena sekarang ini ga jelas sih antara partai satu dengan yang lain. P: Karena membawa visi misi yang hampir sama ya? N: (angguk) Hampir yang sama dan tidak ada katakanlah misalnya partai Islam. Islamnya seperti apa juga ga jelas. „Oh Islammu yang seperti itu‟ gitu kan. Kalau ternyata malah takut kan? P: Iya. N: Saya misalnya membuat partai Islam dan visinya masih seperti Taliban gitu. Nah kan „ga ada yang milih‟ woo takut. Nah gitu misalnya kan gitu. Oleh karena itu agak sulit karena memang setelah orang berbicara tentang partai
Islam atau partai agama karena disitu ada firqah-firqah nya kan, aliran-aliran. Ga usah jauh-jauh untuk Sunni, ada NU, ada Muhammadyah, ada Persis mau pilih yang mana coba?. Yang persis mana yang sunnah beneran yang mana?. Mungkin Wahabi kali gitu kan, gitu kira-kira. Apa lagi? P: Pola pikir masyarakatnya sendiri, mungkin ga lebih dipengaruhi oleh medianya sendiri gitu Pak?. Ngeliat ini ramenya ini nih, ya udah ngikut aja milih ini. N: Mungkin interaksi ya media dipengaruhi audience, audience dipengaruhi media. Nah, belum tentu seperti tadi orang Amerika, walaupun Obama di jelekjelekin oleh Fox maupun CNN. P: Tapi jadi keuntungan bagi Obama sendiri ya. N: Ya, mungkin juga kasus Jokowi dan itu Ahok. Kalau misalnya bukan isu SARA yang di tampilkan belum tentu menang ya. Mungkin karena itu waah ini ada perasaan orang yang tertindas ya. Coba nanti kita liat di statistiknya berapa banyak keturunan Tionghoa di Jakarta dan berapa banyak non muslim di Jakarta. Nah, kalau itu bersatu itu berat sekali. Jumlahnya banyak katakanlah udah 20% kan atau 15%. Ya 15% tapi datang semua coba ke apa TPA eeu TPS, Tempat Pemilihan Suara. P: Cuma yang ada di Jakarta itu belum tentu semua orang Jakarta. N: Ya, ga yang sekarang untuk kasus pemilihan Jokowi, dia mendapatkan captive market non muslim dan orang-orang Tionghoa mereka datang semua. Pemilih disana, 15%nya datang. Kan yang lain-lain belum tentu datang. Kalau nanti cek ada kasus yang menarik di Sulawesi Selatan yang 95% penduduknya muslim. Orang DPD-nya non muslim. P: DPP? N: DPD, Dewan Perwakilan Daerah. Kan tiap provinsi ada empat orang. Muslim dua orang dan dua orang non muslim. Ini 2,5%. Katakanlah dapat 2,5% ini yang 95% dibagi banyak orang. Sehingga ada dua orang yang sangat besar dan yang lain receh-receh semua dibawah 2,5 %. Sehingga yang kepilih dua orang muslim dan non muslim. Harusnya kalo melihat porsinya penduduknya, harusnya empat-empatnya orang muslim. karena yang wakilnya kan banyak sekali DPD kan banyak
sekali, katakanlah 40 orang. Yang dua orang ini dapat eu 30% dibagi 40 orang di bawah 2% semua. Sehingga yang menang yang non muslim. Harus hati-hati melihat peta suara sekarang. Ya nanti coba diliat di recordnya ya?. Mungkin Cuma satu atau dua yang di Sulawesi Selatan. Tinggal gampang lewat internet kan bisa di cari. Cari berapa muslim dan non muslim di BPS. N: Nah terus apa lagi (-pertanyaan) ? Narasumber kemudian meracik minuman yang dipesannya. P: Apa lagi?. Banyak (-pertanyaan) sih pak sebenernya. Pak, masih tetap yang kemaren tuh, tentang Pilkada Jakarta itu. Kan bapak sudah pensiun, gimana sih pak dan mungkin harapan bapak ke depannya media kita kalau udah mengangkat semacam isu SARA semacam gitu-gitu? Narasumber meminum minuman pesanannya. P: Pengennya seperti apa gitu? Kalau ya pribadi aja sih? N: Ya. (sambil meletakkan cangkir). Saya, sudah apa, eu, sekarang saya masih menjadi anggota Dewan Redaksi Pikiran Rakyat, Harian Serikat Perusahaan Pers Pusat, menjadi anggota Dewan Pers. P: Dewan Pers. N: Iya, jadi kalau pertanyaan itu, sangat standar sekali jawabannya saya ikuti Kode Etik Jurnalistik, ikuti Undang-undang Pers. Dan kalau orang-orang di penyiaran ikuti aturan di penyiaran dan aturan KPI. Kalau itu dijalankan itu akan baik bagi publik. Yang perlu digaris bawahi eeu hati-hati terhadap intervensi atau hati-hati terhadap runtuhnya firewall antara newsroom dan bisnis. Kadang-kadang gini, aduh jangan kritik dia karena dia pasang iklan banyak betul nih di koran kita, misalnya ada perusahaan, pasang koran di apa, pasang iklan besar-besaran di koran kita padahal perusahaan itu ternyata mencemari lingkungan kita, lingkungan hidup dan kemudian wartawan menemukan kasus itu dan kemudian pemimpin redaksinya atas permintaan pemiliknya perusahaan itu jangan di muat. Pemasang iklan di kita banyak sekali. Aah jangan muat dan bisa terjadi seperti itu dan ga usah ngomong politik, jauh-jauh amat politik kan gede. Mau Presiden Republik Indonesia dan
sebagainya, kalau ini hanya urusan sepele masalah iklan, berita-berita yang harus sepenuhnya urusan masyarakat tersiarkan. Syukur Alhamdulillah, sekarang media kan banyak sekali. Kan ga mungkin seorang apa ee pengusaha bisa memasang iklan setiap di koran di setiap media. Jadi kalau ada media bersikap begitu, ada media lain yang akan muat. Jadi in the long term kemerdekaan pers ini, mau ga mau akan membuat media itu harus profesional. Kalau tidak profesional harus di cap. „Aah itu kan partai ini, kamu mengkritik apa saja itu suara partaimu, bukan untuk masyarakat‟. Misalnya saya punya televisi atau punya koran, dan kemudian koran saya mengkritik habis sana habis sini dan mereka tahu bahwa saya pemimpin partai politik atau pemimpin politik satu partai politik, „aah itu kan suaramu, kan kamu pengen suara banyak untuk pemilih‟ langsung kemudian kamu ... isunya tenggelam oleh kehadiran kita dalam politik gitu. Antara lain perlu mentaati Kode Etik Jurnalistik, mentaati apa Undang-undang Pers, dengan demikian insya Allah eeu media akan lebih baik. P: Satu lagi nih pak, saya kan jadi penasaran nih. Kata bapak kan seperti itu ya, eu, menurut bapak nih perkembangan pers di Indonesia, eu berita yang kemaren di isu SARA itu terus standar seperti itu. Mengangkat isu-isu yang kontroversi, apakah nanti pada pemilukada-pemilukada selanjutnya bakal terus apa ya di jabanin lah? N: Kontroversi itu berita menarik. Pasti akan diangkat. Sekarang media-media ini sedang berpikir bagaimana mengangkatnya. Kadang juga tergantung pada latar belakang politik di belakangnya. Misalnya saya tidak setuju dengan pemerintah kemudian saya ga seneng dengan pemerintah, eeu bukan ga setuju tapi ga seneng dengan pemerintah,pokoknya apapun yang ada saya jelek-jelekkan pemerintah dengan itu. atau kalau misalnya saya seneng dengan pemerintah, walaupun salah kayak apa, „oh ga terlalu lah, masalahnya sepele‟ nanti kemudian akan tercermin di pemberitaan beritanya jadi kecil, besar itu tergantung sikapnya iya. Tapi ya nanti kemudian orang membandingkan kan koran banyak, tidak seperti media waktu orde baru sedikit sekali. Kalau misalnya suatu koran bilang A, suatu koran lain bilang B kan bisa-bisa saja dan
masyakat kemungkinan memilih yang baik. Sekarang di kontrol oleh masyarakat yang sangat melek media sosial ya. Dan kemudian langsung dia kritik media mainstream tadi di media sosial, „aah ini kurang profesional atau aah ini terlalu berpihak kepada partai A atau partai B gitu. Nah, saya pribadi, seperti yang sudah saya sampaikan, jangan berpihak kepada suatu kandidat pun dan jangan berpihak kepada suatu partai pun. Ambil jarak yang sama dengan semua partai. Kecuali mau pasang iklan, urusannya dengan iklan. Kalau yang bayarnya sedikit ya itunya kecil. Kalau besar ya bisa satu halaman. Tapi kalau dalam satu perusahaan kalau bisa se-balance mungkin. Bagaimana, kenapa bisa bersikap seperti itu? Katakanlah ada 10 partai sekarang. Kemudian saya pro kepada satu partai itu artinya kan dimusuhi oleh 9 partai. Padahal pembaca Pikiran Rakyat itu semuanya, coba hanya karena ingin memenangkan satu partai, di musuhi 9 partai kan rugi. Orang misalnya ada satu dalam 5 kandidat, satu kandidat di musuhi 4 kandidat. Apapun yang terjadi satu kandidat ini pasti kalah dengan jumlah empat kandidat ini. Katakanlah ada yang dapat 30%, yang 70% kan empat ini. Ah itu kan gitu, atau 40% lah. Nah jadi secara bisnis pun tidak terlalu baik untuk berpihak kepada satu kandidat atau satu partai. Oleh karena itu berjarak lah yang sama, mengambil jarak yang sama. Dan itu diambil oleh media-media yang pimpinannya atau ownernya ga main politik. Kalau main politik ceritanya lain. Ya gitu. P: Untuk isu-isu seperti itu, bakal ada terus nanti ga pak? N: Oh Selalu ada. Di Amerika pun begitu kan. Obama aja kan di sikat kan? Apakah dia dianggap sosialis, dia dianggap terlalu pro Islam karena dia punya keturunan orang Islam, kayak begitu selalu di ungkit-ungkit. Nah, nanti tergantung dia membuktikannya, dan ternyata kalau di Amerika dia menang lagi. Kita ga tau di Indonesia siapa yang menang, nanti kita lihat ya, apakah nomor 1, nomor 2, nomor 3, nomor 4 atau nomor 5. Lebih bagus nyebut nomorkan daripada nyebut (tertawa). Walaupun kita tahu, tiga yang kuat dan dua dianggap yang lemah. P: Kuatnya karena di kenal publik kali ya?
N: Mungkin karena publik mungkin juga nggak. Misalnya petahana, baik itu Aher maupun Dede itu sudah terkenal. Cuma itu ya untuk memperkuat lagi, begitu kira-kira. N: Apa lagi Hen? Siapa yang nyuruh kamu? P: Hah? N: Siapa? Bu Atie (dosen Fikom Unisba) ? P: Bukan, saya penelitian teh, eeu, bukan Bu Atie Pak. N: Siapa? P: Ini saya teh penelitian sendiri. Minta ke ya surat tugas lah tapi surat tugasnya belum ada, aduh jadi alesan yah? N: Em, ini untuk thesis? P: Oh bukan Pak. Skripsi. N: Oh skripsi. P: Ditambah ini saya dapat nomor bapak dari Rianny. Terus memangnya skripsi saya kelihatannya sangat thesis sekali ya? N: Ga. Istilahnya kalau di ITB itu thesis gitu. Sekarang harus ngomong skripsi ga boleh thesis. Kebiasaannya dulu di ITB gitu, thesis untuk S1. Oh ya ya saya Orde Lama. Terus gimana apa lagi? P: Media mempengaruhi dan membingkai pola pikir masyarakat, apakah itu benar? N: Mempengaruhi dan di pengaruhi, saya ga, masyarakat marah kepada media dan media pun berubah.‟ Kamu kok begini‟, kalau ga mau berubah ya di tuntut pengadilan. Atau diadukan ke Dewan Pers dulu lah ya. Itu dilihat dari fairlessnya, sekarang ini sulit sekali membuat penilaian fair kepada, secara tehnik ya. misalnya, saya seorang pemilik media televisi, saya ingin
mengkritik
katakanlah tokoh A. Kan secara profesional, ambil orang untuk mengkritik tokoh A juga tokoh lagi yang membela tokoh A tadi. Jadi ada penampilan yang berimbang. Cuman kadang-kadang dan sering sekali terjadi tokoh yang memukul itu orang yang hebat betul, tinjunya itu Mike Tyson. Pertahankan tokoh ini sebangsa Eliyas Pical. P: Kalau Chris John.
N: Ya mungkin kalah. Jangan Chris John lah. Kemudian istri dari narasumber datang. Peneliti memperkenalkan diri dan narasumber menerangkan kembali. N: Ya begitu secara technicly itu seimbang tapi kalau kita tahu ya sudah. Dahulu itu mencolok sekali, eu, waktu menjelang keruntuhan Gusdur, Gusdur pidato di, dengan mahasiswa, a, jumpa mahasiswa lah di Hotel Indonesia kalau ga salah. Satu media televisi yang mempunyai lampu hijau yaitu RCTI, dia meliput dan memberi komentar. Hanya satu saja komentatornya, doktor siapa, profesor doktor siapa yang dari UI yang anti Gusdur, jadi begitu sampe Gusdur beres ngomong, langsung doktor ini bilang „itu salah. Ini ini itu apa ini‟ P: Dipotong ya? N: Ya memang dipotong. Kan pembawa acara bertanya „Presiden ngomong begini‟, „nah, presiden salah‟. Tanpa ada satu pun pembela Gusdur disitu. Nah, kalo yang itu sekarang udah mulai di hindari, ada pembelanya tapi kelasnya rendah. Jadi „ah kamu bodo loh‟, kayak kasarnya bisa digituin, begitu. Apa lagi? P: Apa lagi ya? Perasaan udah semua deh. (tertawa) N: Udah habis ya? Udah yah. P: Bapak, punten kalau saya butuh untuk melengkapi, bagaimana? N: Ya sms aja lagi ya. Sesi wawancara berakhir dan kami saling berpamitan.
TRANSKRIP WAWANCARA II Narasumber
: E. H. Ismail
Harian Umum : Republika Jabatan
: Redaktur Politik Jakarta
Waktu
: Kamis, 28 Februari 2013
Lokasi
: Kantor Harian Umum Republika
Wawancara narasumber (N) dilakukan oleh peneliti (P) di Harian Umum Republika Jln. Warung Buncit No. 37 Jakarta dengan menggunakan alat perekam tape recorder merk Sony, berikut transkrip hasil wawancara berkaitan dengan isu SARA dalam pemberitaan di media massa. P: Gimana sih latar belakang pemberitaan pada isu SARA di Harian Umum Republika ini? N: Latar belakangnya ya? P: Iya. N: Jadi sebenarnya kalo ngeliat berita itu, itu, seperti yang saya bilang tadi, tidak bisa putus hari itu aja gitu kan, ini kan apa pemberitaan yang by process. Jadi ada fenomena, ada temuan-temuan, ada gejala yang terjadi di lapangan gitu nyata dan eeu akhirnya apa namanya grafiknya udah itu kelihatan naik, naik, ini kok bagus eu isunya semakin gencar, semakin artinya semakin eeu artinya titiknya itu semakin naik ke atas gitu, karena kampanye semakin gencar temuannya semakin banyak dan apa namanya polemik. P: Tanggapan dari masyarakat? N: Polemik yang terjadi dari masyarakat beragam dan masyarakatnya juga menanggapinya beragam. Kan kita mengamati kalo berita di Republika itu kan, kita media multimedia itu berita-berita di Republika yang ada disuguhkan di online, di radio, di radionya kan di Gen FM ada, di Ardan televisi, televisi yang di afiliasi sama kita itu kan, Jak TV sama Alif TV, nah dari keseluruhan isu yang terjadi pada saat itu, itu isu SARA dalam pemilukada DKI itu meningkat, sehingga kita pikir perlu sebuah pemberitaan yang mengetengahkan atau mengedepankan soal isu SARA itu. Sekali lagi berita yang diturunkan pada
edisi 18 Juli itu, tidak serta merta ada pada hari itu doang, karena sudah sebelumnya bahkan kalo itu (skripsi) kan sudah masuk putaran kedua, dari putaran pertama ini sudah ada cuman kita melihat ini semakin kencang, semakin deras. P: Kalo di media elektronik, mungkin rating ya nyebutnya? N: Iya rating kalo apa, mungkin di televisi rating. Tidak terlalu tepat juga kalo mengistilahkan dengan rating, isu lah. Kalo rating kan jumlah orang yang menonton, melihat tayangan tersebut persentasenya. Kalo ini sebenarnya isu, eeu apa namanya malah kayak sekarang nih yang kita sedang wawancara sekarang, kita lihat katakanlah masalah kasus Anas (Urbaningrum), ini kan lagi hangat-hangatnya. Nah, saat itu di pemilukada DKI Jakarta isu yang paling mengemuka itu tadi isu SARA, karena ada selebaran, bahkan ada pamfletpamflet gitu ya yang dibagikan di masyarakat juga yang di tempelkan di ruangruang publik ya. Ketika isu itu meningkat atau terus meningkat makanya kita memutuskan untuk perlu itu edukasi lah kan visi media salah satunya memberikan edukasi kepada masyarakat agar memahami apa yang terjadi di lingkungannya dalam konteks pemilukada Jakarta, saat itu isu SARA sedang kenceng, maka kita perlu memberikan pengetahuan, perlu memberikan informasi bahkan edukasi, kalo di baca kan disitu juga sudah jelas kita me apa yaa menyampaikan pesan dengan tegas stop kampanye SARA. P: Punten Kang, kalo misalnya kebijakannya sendiri dari Harian Umum ini diperbolehkan kalo ada kayak semacam isu-isu kontroversional ini? N: Ya jelas. Sebenarnya.. P: Kebijakannya itu gimana sih? N: Kebijakannya itu kalo di Republika sebenarnya itu pada umumnya sama di media itu, eeu sesuatu hal yang terjadi di masyarakat, peristiwa yang terjadi di masyarakat, faktualitas aktualitasnya terus eeu daya tariknya, magnetiknya, magnetiknya itu bagaimana menjadi perhatian masyarakat luas, tentunya menjadi satu pertimbangan bagi Republika jadi kita tidak melihat polemik yang terjadi dulu, tapi seberapa kuat fakta atau eeu faktualitas yang terjadi di masyarakat kita lihat itu dulu. Jadi pada umumnya Republika sama dengan
media-media lain yang melihat sebuah isu itu sebagai penting atau tidak penting ketika dia ada di masyarakat dan bisa jadi apa namanya mempunyai dampak yang sangat signifikan di tengah-tengah masyarakat itu pertimbanganpertimbangan umumnya sebenarnya seperti itu. tidak ada yang berbeda katakanlah kenapa kita harus memilih isu yang kontroversial seperti SARA dan segala macem, ketimbang kita me-, me- apa namanya meredamnya dan segala macem tidak menempatkan isu tersebut di halaman utama. Pertimbangannya adalah hal-hal seperti itu jadi yang terjadi di masyarakat saja gitu. P: Bagaimana Harian Umum Republika menentukan dalam pemilihan judul? N: Pemilihan judul. Kalo pemilihan judul.. P: Pemilihan judul saat masyarakat membacanya (apa jadi menarik untuk dibaca atau tidak) N: Oh, okay. Sebelumnya perlu di ketahui dulu apa namanya eeu prosedur atau biasanya mekanisme sebuah isu itu di tempatkan di halaman satu atau di halaman dalam. Perlu tahu juga prosedur bagaimana sih berita bisa jadi di halaman satu dan di halaman dalem segala macem. Jadi di Republika itu kita mengenal yang namanya mekanisme rapat redaksi. Itu dilakukan minimal dua kali satu hari, untuk menentukan konten, subtansi dan eeu visi berita yang terjadi saat itu. rapat pagi, rapat redaksi pagi itu biasanya dilakukan pukul 10.00 WIB, itu untuk menentukan kira-kira apa saja yang akan kita ketengahkan, untuk besoknya itu diikuti oleh seluruh redaktur yang masingmasing rubrik. Nah itu kita semua rapat, di rapat itu kita tentukan mana beritaberita unggulan di setiap rubrikasi, nasional unggulannya apa, hukum unggulannya apa, internasional unggulannya apa, ekonomi unggulannya apa termasuk juga karena saat itu konteksnya ada pemilukada Jakarta, eeu halaman pemilukada Jakarta akan di isi oleh apa gitu. Nah, kebetulan redaktur pemilukada saat itu mengusulkan adanya kampanye SARA yang meningkat. Setelah dari usulan masing-masing pengampu rubrikasi itu dirapatkan, maka kita tentukan mana yang akan masuk ke halaman satu dan mana yang dihalaman dalam. Jadi paham ya? P: (mengangguk)
N: Jadi, ternyata di halaman satu selain yang DKI itu ada berita lainnya, ada berita internasional ada berita politik, ekonomi dan segala macam. Kemudian, dari hasil rapat itu di artikulasikan atau didistribusikan ke temen-temen yang ada di lapangan oleh lembaga yang namanya newsroom. Memerintahkan reporter „kamu tulis berita ini, berita ini dari sisi ini, ini, ini, ini‟ berdasarkan hasil rapat pagi itu, rapat redaksi pagi, jadi untuk eeu dalam konteks pilkada Jakarta. Newsroom ini memerintahkan reporter-reporter di lapangan untuk mencari berita yang terkait dengan isu SARA dari berbagai macam perspektif. Ada dari Panwaslunya, ada dari tim suksesnya, ada mungkin dari lapangan, pengamat. P: Jadi di pilih narasumbernya? N: Dipilih narasumbernya, eh, bukan dipilih di cari. Newsroom memerintahkan dan mencari narasumber, kalo dipilih katakanlah artinya kayaknya merekayasa. Misalnya kamu (peneliti) reporternya, saya newsroom, „tolong tulis berita isu SARA yang terjadi ini dari pengamat politik kalo gitu atau dari pakar komunikasi atau dari pengamat yang lain atau dari DPR atau segala macem‟. Nah itu, akhirnya mereka kan pasti bersuara itu, dari hasil beritanya itu kemudian rapat sore, rapat redaksi sore yang dilakukan sekitar pukul jam 2 atau jam 3 itu mematangkan hasil raihan berita yang sudah di perintahkan tadi, misalnya kan kita liat setelah diperintah-in pasti beritanya masuk kan. Baru kita rapatkan lagi „wah, ini si reporter A dapatnya ini, ini, ini, reporter B dapatnya ini, ini, ini, reporter C dapatnya ini, ini, ini, oh kita kumpulkan oke, yang untuk HL halaman satu yang ini aja. Kan ada berita terkaitnya tuh di halaman 10 ini, di halaman 11 ini, ditentukan pada hasil rapat redaksi sore itu. Alur apa namanya prosedur atau mekanisme bagaimana sebuah berita di Republika itu ditampilkan mana yang di halaman satu, halaman dalam dan halaman-halaman lainnya. P: Jadi wartawan hanya melaksanakan tugas dari newsroom? N: Iya, wartawan melaksanakan tugas selain juga memang ada temuan di lapangan. Karena kan reporter ga bisa juga mengandalkan penugasanpenugasan kantor ketika dia ada di lapangan ternyata dia menemukan kasus itu, ya dilaporkan ke kantor. Sama seperti mungkin saja kayak misalnya peristiwa
ini. Ini kan sebelumnya udah terjadi tuh. Nah itu sebenarnya di sebelum rapat pagi hari itu kita ga tahu kan ada apa, ternyata ada reporter yang membuat laporan ada selebaran-selebaran kampanye. P: Tersebar di masyarakat. N: Iya, dengan nuansa SARA dengan „wah, ke temuannya disana-sini.‟ Itu kan kita ga bisa rapatin, artinya kalo temuan-temuan seperti itu kan tidak bisa di rapatkan, spontan memang dapat di lapangan. Itu seperti yang saya bilang tadi, soal faktualitas emang ada itu di lapangan dan aktualitasnya adalah terkait dengan pemilukada yang sedang bergulir. Jadi seperti itu sebenarnya alur mekanisme produksi berita yang kemudian ditampilkan dalam Harian Umum Republika. Jadi dengan alur itu bisa dipahami bagaimana berita itu ditampilkan jadi tidak serta merta bleng ada gitu. P: Kalo menghadapi berita politik itu gimana? Kan itu, tentang pilkada, gimana posisinya? N: Jadi, kalo Republika eeu soal politik, kita itu media yang apolitis, kita tidak terafiliasi dengan partai politik manapun. Tidak eeu bahkan bukan hanya sekedar afiliasi lah merupakan bagian langsung dari sebuah partai politik. Tapi visi politik Republika itu sama eeu mengikuti visi besar dari media, dari Harian Umum Republika yaitu Nasional Kebangsaan. Nasional Kebangsaan yang religius, dengan mem-breakdown visi besar Republika itu di bidang politik, sebenarnya kan dengan visi besar ini semuanya politik, ekonomi, olahraga itu mengarah kepada kesana kepada nasionalis, kebangsaan dan religius itu. Jadi, ketika memilih atau menghadapi berita-berita politik sebenarnya kita menghadapi itu, apa namanya, reporter-reporter di lapangan itu sudah bisa memilih mana berita-berita politik yang layak dan mana berita-berita politik yang tidak layak untuk (diangkat) di Republika. Reporter dari awal masuk dia sudah di beri sebuah pendidikan atau wawasan tentang kerepublikaan dan wawasan media secara umum. Sehingga sudah tahu visi misinya kita bagaimana, sehingga kalau politik itu kita hadapi dengan cara bagaimana berita-berita politik..
P: Punten, Pak! Pernah ada kejadian ga, wartawan di Republika ini, menjadi “dedengkot” dari partai politik anu. N: Iyaa, kalo wartawan sudah punya kode etik ya? P: Iya. N: Kode etik wartawan secara umum, tidak hanya di Republika sebenarnya, itu harus terbebas dari keanggotaan di partai politik. P: Independen? N: Independen, karena gak boleh itu, karena ada konflik kaum interest ya katakanlah begini saya adalah anggota parpol tertentu, aktif misalnya. Ada sebuah berita di tempat saya liputan misalnya menyangkut ketidakberesan atau keburukan dari partai politik saya. Iya nanti beritanya jadi rusak kan, pasti saya ada kalo konflik interest nih antara menuliskan sesuai fakta yang sebenarnya atau saya ngebela-belain menutup-nutupi kasus itu. Nah itu yang disebutkan dalam kode etik wartawan itu kita harus terbebas atau kita harus independen dan terbebas dari afiliasi politik bahkan lembaga yang mempunyai ideologi lain, berseberangan dari media gitu. Itu tidak dibenarkan. P: Pada prakteknya itu ada? N: Pada prakteknya yaa ga bisa dikatakan selalu ada eeu kecenderungankecenderungan beberapa orang, apa namanya ikut nimbrung dalam sebuah partai politik itu ada. Perlu dibedakan antara kebijakan dengan realita gitu kan. Kalau misalnya kita temukan itu pasti akan ada mekanisme-mekanisme tertentu untuk menghadapi ini. Misalnya gini, baru-baru ini wartawan senior Republika mencalonkan menjadi salah satu kandidat kepala daerah di Temanggung. Nah, itu gak masalah bukan dosa. Di Republika sendiri dia akhirnya diberikan masa cuti lah istilahnya atau segala macem. Dia sebagai calon atau salah satu bakal calon itu memanfaatkan Republika untuk masa kampanyenya, misalnya gitu, berhadap-hadapannya artinya nantinya akan sama. „Kamu memang wartawan Republika tapi secara profesional kita jaga jarak‟ Gak boleh kita lebih dominan membela yang ini, dengan calon-calon yang lain kita tidak bisa seperti itu. Artinya ada garis api namanya, ada batas tegas antara
kegiatan politik seluruh karyawan sebenarnya bukan wartawan aja. Seluruh wartawan di Republika dengan kegiatan profesi mereka di kantor. Itu harus dibedakan,
kalau
misalnya
apa
namanya,
afiliasi
politik
itu
akan
mempengaruhi berita-berita yang dia buat, misalnya, dalam konteks profesi wartawan maka itu akan ketahuan, karena tadi saya ceritakan prosedur penyusunan berita di Republika itu tidak ditentukan oleh satu orang atau satu orang reporter atau satu orang redaktur, tapi melalui rapat mekanisme yang panjang. Ada dua tahap. Bahkan kalau misalnya ada kasus-kasus tertentu, rapat redaksi itu ditambah lagi dengan malam hari, misalnya ada kejadian kayak kemarin SBY tiba-tiba ingin konferensi pers malam hari segera dilaksanakan, itu kan harus kita bahas, gak serta merta kita gini aja gitu, harus kita kelola isu itu dengan bagus. P: Kalau misalnya, wartawan itu melanggar, apakah ada sanksinya? N: Iya ada, tentunya ada. Kita kan punya.. P: Saya baca (UU Pers No. 40) Pasal 18 ayat 1, disebutkan bahwa kena sanksi denda uang dan juga penjara dua tahun. N: Kalau itu yang pasal 18 ayat 1 itu Undang Undang Pers ya? P: Kalau gak salah itu yang saya baca. (tertawa) N: Ya, itu sebenarnya bukan soal pelanggaran yang dimaksud dalam konteks yang bersangkutan tadi. Itu kalau misalnya ada berita bohong atau pelanggaranpelanggaran, menuliskan berita tanpa kaedah Kode Etik Jurnalistik yang benar. Tentunya hukuman atau disebutkan dalam undang-undang tersebut itu, pastinya setelah ada putusan pengadilan. Misalnya begini, saya nulis berita ternyata ada yang komplain, itu berita gak benar, kan ada hak jawab, P: Iya, ralat. N: Kalau hak jawab atau ralat tidak kita berikan nanti kita di adukan ke Dewan Pers. Dewan Pers nanti di mediasi, kalo di mediasi juga gak ketemu juga baru di pengadilan, setelah pengadilan ada vonis dengan pemberlakuan Undangundang Pers barulah nanti akan ditentukan kesalahannya dan jenis kesalahannya, kalau apa namanya penjara 2 tahun atau denda sekian segala macem itu maksimal yang diberikan oleh undang-undang yang dibatasi oleh
undang-undang terhadap jenis kegiatan atau jenis pidana pers yang dilakukan oleh wartawan dan institusi media. Sama seperti saya katakan misalnya, dalam Undang-undang No. 20 tahun 2001 misalnya Undang-undang Tipikor, pemberantasan tindak pidana korupsi, seseorang yang melakukan suap atau menerima suap, di hukum maksimal 20 tahun, tapi kenyataannya kan tidak. Kalo setelah putusan pengadilan ada beberapa pertimbangan lain. Sama sebenarnya Undang-undang Pers itu sama. Kalo nanti dengan segala macam rentetan prosedur pembuktian kebersalahannya si wartawan itu terbukti. Nanti dia akan di tentukan jenis pidana yang eeu untuk dia itu berapa gitu. Tapi bukan dalam pengertian kayak tadi, gara-gara dia masuk partai politik terus akhirnya di hukum 2 tahun penjara, bukan seperti itu. Ini beda ini, beda masalah. Bukan konflik interest dia bergabung dengan institusi lain apa lembaga diluar dia bekerja ya. P: Saya pernah baca, Republika dulu pernah dibenci karena pernah memuat berita mengandung fitnah, sampai pernah di katakan ahlul wal fitnah umat. Kalo ga salah begitu. N: (tertawa hingga terbatuk-batuk) P: Itu entah tahun berapa, saya pernah baca itu. sampai sekarang bisa menjadi independen dan sebagainya itu bagaimana? N: Saya gak tahu apa yang melatarbelakangi pertanyaan seperti itu, tapi whatever kapanpun terjadi? P: Awal-awal (kemunculan Republika). N: Mau awal-awal, mau kapan. Sebenernya media itu sama seperti yang lainnya gitu. Apapun yang dikerjakan pasti ada salahnya gitu. Ada salah di mata orang, persepsi salah gitu ya. Katakanlah kalo bilang Republika jaman dulu itu ahlulfitnah wal jamaah eeu umat itu, sampai sekarang pun masih ada nadanada yang negatif gitu yang kasar, yang satir. Misalnya kalo kita lihat itu di online kita cari itu ada saja di Republika mengatakan korannya Syi‟ah. Republika korannya Syi‟ah, whooh persepsinya macem-macem. Kenapa bisa begitu? Karena katanya banyak beritanya berita-
berita Iran, kan kita tahu markasnya Syi‟ah. Hadooh macem-macem persepsi orang kan kita ga bisa mengendalikan persepsi orang. Sama seperti pemerintahan, SBY apa pun yang dilakukannya pasti akan ada orang yang mengatakan eeu tidak suka gitu. Perlu di bedakan antara persepsi orang, opini yang terjadi diluar dengan apa yang dilakukan oleh Republika. Kita kan melakukan berdasarkan yaitu tadi visi misi, tentunya kita tidak bisa mengeluarkan berita fitnah karena Republika menjaga betul. Laporan terakhir Dewan Pers tidak ada satu pun laporan yang masuk ke Dewan Pers, tentang komplain, atau keberatan dari seseorang yang menyatakan berita itu tidak benar artinya Republika menjaga betul muatanmuatan yang dia turunkan, agar itu tidak mengarah sedikitpun kepada kemungkinan fitnah, kemungkinan berita bohong, kemungkinan berita rekayasa dan segala macam dan semacamnya. Ini Dewan Pers yang ngomong. Kalau media-media yang lain, bisa kamu cek sendiri, itu banyak. Ada lah kalo gak salah itu paling banyak, Tempo. Paling banyak mendapatkan komplain. Tapi saya bukan mau mendiskreditkan media lain. Saya Cuma mau mengatakan kalo dari sisi banyak masyarakat yang mempersepsikan Republika media yang ahli fitnah dan segala macem. Terbukti Dewan Pers tidak pernah menerima laporan satupun selama tahun 2012, menyangkut berita-berita berisi tentang berita yang menerangkan keberatan narasumber, keberatan masyarakat atau keberatan pihak-pihak yang menyangkut pemberitaan yang kita turunkan. Indikasi kuat sebenarnya Republika menjaga betul isi beritanya itu agar tidak.. P: isu SARA tahun lalu banyak diberitakan, apakah media bikin apa ya mempengaruhi pola pikir masyarakat ya? N: Ya tentunya kalo kita tanya, tujuan kita adalah itu. P: Tujuannya? N: Jelas dong media kalo gak punya tujuan, yaa sama aja. Kayak universitas punya tujuan agar mendidik mahasiswanya menjadi individu yang bla, bla, bla, bla. P: Tapi bisa ini kan, saling berinteraksi antara media dengan masyarakat, apa yaa saling membutuhkan bagai parasit?
N: Ya mutualisme, sebenarnya kalau korelasi antara media-masyarakat dengan peristiwa yang terjadi itu sebenarnya sudah berlangsung, ketika media itu ada pasti akan apa namanya mempunyai relasi mutualisme dengan masyarakatnya itu sudah pasti. P: Jadi Republika sendiri mau mempengaruhi masyarakat dengan menjadi lebih baik, lebih cerdas atau gimana? N: Ya, pastinya seperti itu, seperti yang tadi saya bilang, Republika itu sekarang punya tagline Inspirasi Untuk Perubahan. Tagline kita itu bukan hanya sekedar tagline-taglinenan kan? Artinya seluruh berita tujuannya seperti itu. Beritaberita yang kita turunkan tujuannya adalah menginspirasikan masyarakat agar bisa turut serta. Kan media juga ikut serta, masyarakatnya juga harus aktif gitu loh. Turut serta dalam melakukan perubahan-perubahannya yang terjadi di masyarakatnya. Misalnya dengan berita Setop Kampanye SARA, kita semuanya menghimbau kepada masyarakat dan mengajak masyarakat langsung agar hentikan itu, kampanye seperti itu tidak baik dengan segala macem sudut pandang kan. Dari sudut pandangnya ada di halaman 10 dan halaman 11 itu kalau dibaca secara keseleruhan di berita-berita terkaitnya itu kan mungkin kamu bisa lihat di berita terkaitnya itu, arahnya kita adalah bagaimana mengagitasi atau mempengaruhi masyarakat agar tidak meneruskan atau melanjutkan kegiatan seperti itu. Kalau masyarakatnya tidak melakukan ya hentikan. Bagi mereka para pelakunya mohon di hentikan tapi bagi mereka yang tidak melakukan ini cegah. Ini kan sama seperti visi besarnya Republika yang terkristalisasi dalam tagline inspirasi untuk perubahan itu. Jadi benar-benar kita ingin mengajak masyarakat ya untuk melakukan sebagai subjek langsung perubahan yang harus terjadi di masyarakat gitu. P: Secara garis besar sih dapet. N: Udah nih? P: Iya. Terima kasih. Sesi wawancara pun berakhir.