Rasionalitas Kekuasaan dalam Negara Batasan Prosedural dalam Mengurangi Ketidaksempurnaan Keadilan Rabia Edra Almira Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Kehidupan di dalam tatanan sosial, menyertakan permasalahan di antara dua pihak, yaitu karakter institusi dan karakter masyarakatnya. Sehingga kehadiran dari Teori Keadilan oleh John Rawls, dapat membantu untuk membawa ke arah titik yang stabil. Komponen pemikirannya memberikan peranan bahwa individu perlu menyadari persoalan keadilan yang bukan hanya sekedar hak, namun juga merupakan tugas dan kewajiban. Keputusan atau kebijakan yang hadir dari negara adalah hal yang tidak mutlak. Semua orang dapat mengevaluasi dan memodifikasi kembali, untuk mencapai stabilnya moral politik. Sehingga mampu berdampak pada adanya jarak untuk memisahkan integrasi total, antara individu dengan negara yang dapat diaplikasikan melalui kebernalaran masyarakat, dan pembangkangan sipil untuk melawan dominasi ketidakadilan. Kata kunci: kontrak sosial, keadilan, nalar publik, stabilitas, dan pembangkangan sipil.
The Rationality of Power in A State Procedural Limitation to Reduce The Imperfection of Justice Abstract There is a problem within the social order, between the character of the institution and its people. Therefore, the presence of A Theory of Justice by John Rawls can bring it to a stable point. His thought gives an important role to the individuals, that issues of justice are not just concerning on the rights, but also about the duty and obligation. Decisions or policies that come from the state is not absolute. Everyone can re-evaluate and modify it to achieve the stability of political moral. Then, it can give an impact to make the distance and denied the total integration to separate between the individuals and the state. It can be applied through reasonable society, and civil disobedience to against the dominance of injustice. Key words: social contract; justice; public reason; stability; and civil disobedience.
Pendahuluan Berawal dari kehadiran teori kontrak sosial yang lahir dari filsuf-filsuf abad Modern, seperti John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J Rousseau untuk membuat sebuah kesepakatan melalui kontrak sosial. Disertai kehadiran konsep utilitarianisme yang dianggap mampu memberikan keputusan pilihan terbaik dalam masyarakat. Ide teori keadilan dari John Rawls (1971) datang untuk menggeneralisasi, mengabstraksikan, serta mencoba mengembangkan pemikiranpemikiran tersebut agar tidak terjadi lagi adanya penolakan. Adanya fungsi dari prinsip milik
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Rawls, diturunkan ke isu politik kontemporer yang menyinggung persoalan posisi individu dalam bermasyarakat. Upaya penyatuan individu dengan individu lain memiliki harapan agar mampu menjamin konsepsi keadilan yang merupakan hak setiap warga negara. Disesuaikan dengan pemahaman terhadap dua prinsip keadilan Rawls, bahwa yang pertama, sebuah konstitusi hendak menjadi prosedur adil ketika memuaskan tuntutan-tuntutan kebebasan yang setara. Kedua, hendak membuat semua susunan untuk menghasilkan sistem adil dan efektif. Berangkat dari dua hal tersebut, individu sadar bahwa dalam kehidupan bersama-sama pasti akan menghasilkan berbagai kebutuhan yang berbeda-beda. Maka, tugas dari sebuah konstitusi adalah mendapatkan sebuah finalitas yang dicapai melalui hasil keputusan dari para penguasa sebagai perpanjangan tangan dari masyarakatnya. Pada hasil akhirnya, hal ini akan sampai di satu titik, yaitu terdapat golongan mayoritas dan golongan minoritas. Berapa banyak pun perbedaan dalam masyarakat, sebenarnya semuanya atas dasar tujuan yang sama, yaitu hanya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial negara dalam pandangan setiap individu. Sistem negara yang bersifat konsensus, dipilih sebagai jalan untuk membantu memutuskan apa yang dianggap benar. Individu juga telah menyalurkan bentuk demokrasinya dengan memberikan hak suara agar dirinya dapat terwakili dengan baik oleh para penguasa politik dalam negara. Agar terjunjungnya kebebasan sama rata dan sama rasa dalam berbagai aspek di kehidupan sehari-hari, misalnya bidang pendidikan, bidang ekonomi, atau bidang kesehatan. Kepentingan sosial seperti ini adalah keinginan bersama setiap pihak, sebab kontrak sosial memungkinkan hidup yang lebih baik lagi dibandingkan masing-masing individu hidup sendiri. Selanjutnya, tugas negara untuk mengatur supaya dapat memberikan keseimbangan pada setiap elemen, agar memiliki peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang. Disaat inilah, perlahan posisi individu melebur bersama masyarakat secara tanpa disadari. Hak, kewajiban, bahkan sanksi sama-sama dirasakan, dilakukan, dan dibayar—baik secara material atau non-material—oleh semua entitas yang ada di dalam negara. Semuanya menjadi bias di tengah tidak adanya ukuran tertentu tentang kesepakatan mana yang adil dan tidak adil. Kondisi ini jelas mempersulit individu-individu yang terjebak dalam faktisitasnya untuk mengoordinasikan rencana mereka secara efisien. Tatanan yang saling menguntungkan ingin selalu dijamin untuk mampu dipertahankan. Namun, demi mengejar preferensi masingmasing, persoalan seperti ini masih selalu dalam perdebatan.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
“Hal ini disebabkan oleh setiap orang yang memiliki konsepsi tentang keadilannya masing-masing, dan adanya problem mendasar dibalik itu, seperti efisiensi dan koordinasi.” (Rawls, 1999: 6).
Keadilan diharapkan dapat dijadikan sebagai tujuan kesepakatan, agar tidak satu orang pun merasa lebih diuntungkan atau dirugikan dalam kehidupan bersama. Melihat hal ini, hubungan kebebasan individu ditarik sejajar dengan hubungannya terhadap kesejahteraan serta kemajuan negara. Contohnya, berbagai negara-negara Skandinavia yang terkenal dengan ruang demokrasi terbaik pada tingkat institusional, berimbas ke arah majunya negara mereka. Begitu pula dengan keberadaan masyarakat yang berkontrak, terdapat tujuan untuk menjawab cita-cita negara yang mampu unggul di berbagai aspek pembangunan. Namun, dalam penempuhannya tersebut, individu sebagai makhluk politik yang mengaku memiliki derajat preferensi yang sama, masih dimungkinkan untuk tetap melahirkan preferensi utamanya dengan posisi lebih tinggi dari yang lain. Sehingga tampaklah sebuah paradoks demokrasi karena kebebasan yang diberikan negara, justru menjadikan bentuk penindasan baru, akibat dari individu yang terus ingin menguasai sesamanya. Konsep kontrak sosial dan utilitas telah menangani hal ini dalam waktu yang tidak singkat, namun belum dapat terselesaikan. Utilitarianisme menggunakan cara kerja melalui teori kegunaan total yang mengalkulasikan jumlah anggota, dengan ekspektasi dapat membantu mengukur bentuk keberfungsian, berdasarkan kualitas serta kuantitas kesenangan (pleasure) dan rasa sakit (pain). John Rawls mengevaluasi adanya upaya pemikir sebelumnya dengan memberikan prinsip yang sesuai dengan penilaian. Melalui proses reflektif diri, individu akan tahu mana yang berkesesuaian dengan acuan-acuan di kehidupannya, Rawls menyebut dengan term keseimbangan reflektif (reflective equilibrium). Alasan ia mengulas hal ini karena segala yang tertata pada negara tidak lantas menunjukkan stabilitasnya. Cita-cita Rawls adalah menghadapkan individu pada kebijaksanaan yang rasional, sehingga mampu diaplikasikan kesejahteraan agregatif dari negara. Apalagi dalam menjalankan kekuasaan perlu pembatasan untuk hak-hak individual (Mouffe, 1993: 93). Khususnya hak yang dianggap telah keluar dari batas kewajaran. Penggunaan term keadilan sebagai kesetaraan (justice as fairness) yang dipaparkan Rawls secara eksplisit, bukanlah merupakan sebuah teori teleologis seperti utilitarianisme.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Melainkan teori deontologis, yang berasal dari kata Yunani deon yaitu kewajiban, dan logos yaitu ilmu pengetahuan. Ia tidak menafsirkan hak sebagai pemaksimalan manfaat, jadi semakin banyak hak yang dipenuhi, maka semakin besar pula manfaat yang dihasilkan. Rawls membutuhkan pertimbangan-pertimbangan tentang konsepsi keadilan sosial. Supaya ketika individu melebur bersama masyarakat dan negaranya, ia tidak akan menjadi sebuah subjek yang dapat diperalat atas nama kekuasaan demi menempuh preferensi individu lain, atau sebagai subjek yang harus kehilangan hak saat ia melakukan demokrasi dalam kontrak sosial. Nilai keadilan memang sejauh ini belum bersifat komprehensif, tidak dapat dijadikan sebagai patokan yang rasional bagi masyarakat, apalagi sebagai tolok ukur dalam hidup bersama. Fenomena politik seperti ini, bukan lagi merupakan sebuah isu baru di era kontemporer. Sejak awal terbentuknya ide kontrak sosial, Jean Jacques Rousseau (1762) pun sudah menyadari bahwa keadaan negara sipil (civil state) akan membuat perubahan yang signifikan tentang masyarakat. Manusia yang pada dasarnya baik, maka ketika hidup berkontrak sosial akan menjadi tidak baik. Maka satu hal yang harus selalu disadari oleh setiap individu bahwa, hidup berkontrak sosial merupakan satu alat penting yang harus diawasi secara terus-menerus, baik bagi mereka yang termasuk dalam golongan mayoritas apalagi bagi golongan minoritas. Masalah yang ingin diangkat dalam penulisan ini, yaitu menyoal negara yang sekaligus masyrakatnya. Teori kontrak tidak memperlihatkan pemisahan antara ruang institusional dan ruang privat, sehingga dianggap satu suara dan tidak adanya keuntungan yang sama rata dari negara untuk masing-masing individu. “Karena sebuah penataan sosial dipandang absah (layak) sejauh para anggota sebuah masyarakat akan—apabila sungguh-sungguh nalar—memilihnya dalam keadaan-keadaan ideal (para warga berada dalam daulat setara, tidak berada di bawah tekanan atau paksaan, diperlengkapi semua informasi yang relevan).” (Rescher, 1995: 191).
Tampaknya, dalam kontrak sosial selalu ada person yang terus-menerus memengaruhi serta mengajak semua masyarakat yang didaulat olehnya agar berpartisipasi dalam preferensi utamanya. Inilah sosok yang ingin merebut demokrasi agar ia dapat memiliki peranan yang besar dalam menentukan aturan dalam negara. Sebuah bentuk ketidaksiapan pada demokrasi dari dalam entitas negara.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
“Padahal paradigma konsensus ialah peluang terbentuknya citarasa bersama yang berlandaskan rasionalitas individualisme normatif.” (Danujaya, 2012: xvii).
Ekspektasi terhadap penjaminan inalienable rights (hak-hak yang tidak dapat dilucuti) atau yang disebut Rawls dengan nilai sosial primer seperti hak dan kebebasan, peluang dan kekuasaan, pendapatan dan kekayaan, masih terlalu jauh. Karena untuk penyadaran atas posisi rasional masing-masing individu masih menjadi masalah yang terus berlangsung sampai dengan hari ini. Terhadap mekanisme demokratis yang belum banyak diterapkan, maka ada beberapa hal yang ingin dijawab melalui penulisan ini sebagai bentuk restorasi demokrasi, yaitu: a. Bagaimana melihat posisi individu yang menyatu dalam tatanan sosial dalam konteks keadilan? b. Cara apa yang dapat dibangun untuk melakukan pertahanan keadilan bagi individu agar tidak disalahgunakan dalam kekuasaan negara? c. Apakah rasionalitas menjamin adanya stabilitas dan menunjukkan bahwa individu mampu tidak terintegrasi total bersama masyarakat? Tujuannya agar setiap subjek yang bagi Rawls sangat dilekatkan dengan keadilan, dapat memahami posisinya apakah terdominasi atau berada dalam ruang yang ideal. Apabila dalam titik yang tidak stabil, maka dapat ditemukan cara yang berguna untuk melakukan pertahanan keadilan bagi individu sehingga tidak disalahgunakan dalam kekuasaan negara. Atas nama penjaminan rasionalitas yang baik, situasi ini dapat menunjukkan bahwa individu mampu hidup dengan tidak terintegrasi total di dalam masyarakat.
Tinjauan Teoritis Dasar konsep keadilan yang dibangun oleh John Bordley Rawls melalui teorinya menyatakan dua prinsip. Pertama, setiap individu memiliki hak yang sama atas kebebasan (equality principle). Kedua, ketimpangan sosial harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan memberi keuntungan yang sama (fair equality of opportunity) (Rawls, 1999: 53). Ditelusuri lebih lanjut, bahwa Rawls mengarah pada kebebasan yang bersifat instrumental dan menjamin institusi untuk wajib memberikan kesempatan yang sama, tanpa mengecualikan siapapun. Melalui karyanya Political Liberalism (1993), ia mengungkap term reasonableness sebagai bentuk keadilan yang diupayakan bukan untuk menegakkan keadilan sempurna,
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
namun mengurangi bentuk ketidakadilan aktual. Tujuan teorinya, untuk menggeneralisasi dan membawa ke tatanan yang lebih tinggi dari abstraksi doktrin tradisional kontrak sosial. Selain itu, ia juga ingin mengembangkan gagasannya sebagai sistem alternatif dari keadilan yang lebih unggul dibandingkan utilitarianisme. Menurut Rawls (1993), Liberalisme politik mengharuskan sebuah doktrin nalar yang komprehensif, dan tidak menolak esensi-esensi dari rezim demokrasi. Siapapun sudah dapat memastikan jika dalam masyarakat terdapat yang irasional, akan tetapi tetap turut memasukkan mereka di dalam struktur, maka jelas akan mengurangi persatuan dan keadilan. Sebab yang akan diusung Rawls, bukan lagi tentang doktrin yang komprehensif atau keadilan sempurna, melainkan sebuah konsep yang menyangkut tentang ideal nalar publik. Hal ini bekerja diluar konsep keadilan politik, demokrasi konstitusional bersama pluralitas— keistimewaan yang diperoleh dari setiap kultur untuk berada pada zona kebebasan— memungkinkan mendukung (Rawls, 1996: xviii). Setiap individu diperbolehkan untuk memberikan alasan yang dapat dimengerti dalam sebuah forum politik publik. Forum ini meluas dari bagian tatanan tertinggi, sampai pada bagian seluruh masyarakat. Adanya ideal dari nalar publik akan mampu meredam dominasi yang berasal dari prinsip mayoritas. Jika terdapat hal-hal yang tidak masuk di akal pada tindakan yang dilakukan oleh negara, itu jelas berarti bahwa melanggar prinsip keadilan. Asumsi dasar Rawls dalam Teori Keadilan pun mengungkapkan tentang posisi asali yang mampu memberikan pandangan bahwa humanisme itu universal. Sehingga memungkinkan adanya peran rasionalitas untuk menolak kebijakan yang bersifat self-interest. Maka, setiap individu adalah setara, mampu menyampaikan penalaran mereka dengan bebas, dan mengenali rasa keadilan. Begitu pula dengan konsep cadar ketidaktahuan (veil of ignorance) yang dijadikan sebagai cara untuk dapat memberikan kesetaraan. Caranya dengan mengabaikan agama, ras, gender, kekerabatan, pandangan politik, status sosial, dan lain-lain. Konteks ini dipakai dalam kondisi untuk menghindari adanya keberpihakan yang berarti. Serta mampu membuat elemen yang ada di dalam prinsip mayoritas menjadi terbatas, dan tidak semakin mengesampingkan minoritas. Satu-satunya hal yang dapat diperlihatkan pada kondisi ini, hanyalah kapasitas dasar masyarakat yang diperlukan untuk sepenuhnya berpartisipasi di dalam sistem kerjasama.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Saat seorang individu menjadi bagian dari negara, apapun status sosialnya, ia dapat melakukan penolakan jika terdapat hal yang secara jelas merengguh hak-hak dasarnya. Penolakan diperbolehkan berdasarkan hati nurani yang tidak harus selalu disandarkan pada prinsip-prinsip politis, namun juga bisa dibangun di atas prinsip yang berbeda dengan konstitusional (Rawls, 1999: 477). Bentuk seperti ini disebut Rawls dengan pembangkangan sipil (civil disobedience) yang diartikan sebagai aksi non-kekerasan. Tiap-tiap di dalamnya diusahakan untuk tidak terlibat dalam aksi yang berpeluang melukai, dan menyakiti sesama. Sebab hal-hal seperti itu memang tidak pernah sesuai sebagai metode penyampaian aspirasi. Untuk menuntut kebijakan yang bertolak belakang pada hukum atau peraturan institusional, agar dapat diubah, masyarakat perlu tahu bahwa konsep adanya negara harus benar-benar terbuka dan mempercayai satu sama lain. Seandainya, prinsip negara tidak lagi sesuai dengan prinsip lain yang dianut oleh individu. Maka kesadaran atas keseimbangan reflektif perlu dibangun. Misalnya, seseorang yang hidup bersamaan dengan berbagai tradisi, atau kepercayaan. Ia yang tidak mungkin tidak berada di dalam sebuah tatanan negara—namun merasa ada kesalahan dalam sistem tersebut—dapat diberikan pilihan, menurut Rawls, untuk memodifikasi segala bentuk aturan agar sampai pada titik yang stabil (equilibrium). Tujuannya adalah, prinsip negara dan prinsip yang bisa dikatakan bersifat personal, tidak akan berujung pada konflik. “It is an equilibrium because at last our principles and judgments coincide; and it is reflective since we know to what principles our judgments conform and the premises of their derivation.” (Rawls, 1999: 18).
Komponen ini merupakan sebuah cara pembenaran yang disajikan di dalam teori politik Rawls. Keseimbangan reflektif mendorong seseorang membuat pandangan yang berbeda untuk menempuh stabilitas sesuai caranya sendiri. Sebab ini penting dalam usaha mencari keadilan, apalagi dengan sifat konsep yang tidak statis, dapat mempermudah untuk mengubah kesadaran masing-masing individu. Melihat segala usaha Rawls dalam memperjuangkan keadilan bagi semua lapisan masyarakat, sebagaimana teori intuitif keadilan yang ia paparkan. Bahwa pada akhirnya tatanan sosial bukanlah untuk mengukuhkan apalagi menjamin prospek menguntungkan bagi sebagian besar, kecuali jika mereka menguntungkan yang kurang beruntung (Rawls, 1999: 89). Sesuai dengan hal ini, ia memberikan bahasan tentang prinsip diferen yang membuat adanya dua pihak sama-sama diuntungkan (pembatasan pada dua pihak adalah untuk menyederhanakan). Rawls tampak menanggapi sifat indeferen
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
dari utilitarianisme klasik yang mengungkapkan fakta ketika masing-masing individu berhubungan, maka keuntungan pada dirinya menjadi kurang bernilai dari sudut pandang sosial. Pembantahan
yang
tersirat
dalam
prinsip
diferen
adalah
semua
orang
dapat
merepresentatifkan masyarakat, dan akan mendapatkan keuntungan setara. Jelas, sangat berguna untuk pembahasan kesetaraan politik. Karena masih dianggap tidak terlalu penting dibanding kebebasan yang setara dalam berkeyakinan atau kebebasan perseorangan, padahal berakar dari kesetaraan politik maka semuanya dapat terealisasikan. Kekuasaan yang diperoleh oleh para mayoritas memang diadopsi sebagai cara yang paling masuk akal untuk mengejawantahkan tujuan-tujuan tertentu. Namun jika banyak yang mengasumsikan pilihan mayoritas sudah pasti benar, ini perlu direvisi kembali. Seseorang tidak boleh hanya meyakini jika peluang yang lebih besar berbanding lurus dengan penilaian yang benar, ketimbang meyakininya bahwa peluang yang besar tersebut adalah yang keliru. Sehingga kekhawatiran akan hal ini, sebuah kontrak sosial memang harus diawasi terus-menerus agar tidak menyalahgunakan peran masyarakat. “These formal conditions are natural enough, though not always satisfy.” (Rawls, 1999: 116).
Pendapat Rawls kemudian dapat dikembangkan lagi dengan rujukan pada pada karya Amartya Sen, berjudul Idea of Justice dan The Identity and Violence yang mengelaborasikan tentang rekognisi. Apabila kesetaraan tidak dapat diraih maka dapat memberikan dampak seperti kekerasan yang terjadi antar individu yang berbeda partikular identitasnya. Sesuai dengan term preferensi yang juga telah Rawls tolak sebagai tujuan dari keadilan sebagai kesetaraan dan menggantinya dengan kebutuhan lingkup masyarakat (citizen’s needs).
Metode Penelitian Persoalan rasionalitas kekuasaan dalam negara akan menggunakan penulisan dengan metode kualitatif, analisa, dan reflektif kritis terhadap teks. Diawali dengan memahami fenomena kontrak sosial yang mulai hadir di abad Yunani, dan berkembang pesat di abad 17. Dilanjutkan dengan menilik sistemik kerjasama antar individu yang terjadi dalam sebuah negara, menelaah pemikiran para utilitarian, baik utilitarianisme klasik maupun utilitarianisme
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
aturan, dan diakhiri dengan pemaparan beberapa komponen keadilan milik John Rawls yang akan dijadikan sebagai jawaban untuk menjawab permasalahan. Pondasi pemikiran atas cara untuk membangun kesetaraan dan kebernalaran, berdasarkan beberapa karya yang dijadikan sebagai sumber utama, yaitu A Theory of Justice, Political Liberalism, Justice as Fairness, dan Law of Peoples.
Hasil Penelitian Berperan menjadi individu yang ingin mengupayakan untuk keluar dari jebakan sosial tidaklah mudah, namun Rawls percaya bahwa hal ini menjadi mungkin untuk dilakukan. Atas pengaplikasian dari teori keadilan, setidaknya masyarakat yang merasa kurang diuntungkan posisinya dalam negara mampu mengambil jalan terbaik untuk mengatasi kesulitannya. Setiap individu tentu perlu mengetahui bagian-bagian yang memang dilakukan untuk keberfungsian negara demi sebuah kebaikan atau bukan. Banyak pula, masyarakat yang merasa bahwa apa yang sudah menjadi sebuah kebijakan, atau kebiasaan adalah sesuatu yang memang sudah semestinya. Dalam artian, rasionalitas secara individual tidak dipergunakan dengan lebih mendalam dan hal ini menghendaki adanya ketimpangan antara masyarakat mayoritas dan minoritas. Dengan demikian, kelompok yang mendominasi menjadi dapat lebih berkuasa lagi tanpa kesadaran atas nilai keadilan yang perlu dirasakan oleh tiap individu. Demi menuju tatanan yang stabil, kehendak dominan perlu dikesampingkan agar tidak meluas menjadi kehendak yang umum. Otonomi individu penting untuk ditegakkan sampai pada batasan tidak mengganggu individu yang lain. Cara ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan yang merupakan tugas dan kewajiban setiap warga negara. Adapun dari pemaparan analisis secara keseluruhan, diharapkan dapat membantu untuk meyakini bahwa ini mampu diterapkan dalam keadaan faktual. Sehingga komponen teori keadilan tidak meluap begitu saja, namun menjadi bentuk yang optimis. Pada bagian akhir, kritik dan dukungan terhadap prinsip-prinsip yang diusung oleh Rawls perlu untuk dipaparkan. Dengan harapan agar prinsip ini menjadi lebih komprehensif untuk mengatasi problematika tingkah laku, kebebasan, serta rasionalitas atau nalar pada kehidupan bermasyarakat.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Pembahasan Makna keadilan menjadi perhatian oleh beberapa filsuf sebelum John Rawls, berbagai pemaparan terus mengalami revisi sampai pada tingkatan yang dirasa cukup ideal. Tujuannya jelas, karena peradaban dari sebuah negara dapat dibangun dengan adanya pencapaian titik adil. Para kontraktarian melihat terdapat keuntungan dan kerugian yang dialami oleh individu, ketika ia mengalami pertemuan dengan individu lainnya dalam ruang institusional. Bahwa kontrak sosial tak selalu menyiratkan hal-hal yang berdampak pada kebaikan. Namun juga menuntut entitas yang ada di dalam negara agar selalu melakukan pengawasan terhadap keputusan-keputusan yang diambil oleh perwakilan rakyat, atau mereka yang memiliki kekuasaan. Individu perlu diliputi oleh rasa aman dalam kebebasan dan kesetaraan yang harus didapatkannya. Oleh karena itu, teori-teori teleologis seperti utilitarianisme dan deontologi milik Immanuel Kant mendapatkan perhatian khusus dari Rawls untuk diperiksa kembali. Sebab komponen-komponen di dalamnya belum memasukkan unsur bahwa seluruh masyarakat adalah merdeka dan setara. Utilitarian dianggap sebagai pihak yang mengedepankan konsekuen, dan melakukan pengukuran terhadap kesenangan, dan juga rasa sakit berdasarkan kuantitas maupun kualitas. Kelompok ini tidak menjadikan rasio atau nalar seseorang untuk mengukur keadilan. Kritik juga diberikan pada Kant yang terlihat normatif, dalam artian selalu berusaha bertindak atas dasar aturan dan kewajiban yang sudah diperintahkan. Tindakannya pun dinilai individualis karena maxim menjadi andalan dalam konteks imperatif kategoris miliknya. Maka, atas dasar pengaruh-pengaruh ini, Rawls mencoba melihat beberapa kelemahan pandangan-pandangan sebelumnya dan mencoba mengabstraksikannya menjadi kesatuan dalam Teori Keadilan. Ia berusaha agar pemahaman ini mampu diterima, dan tidak menunjukkan bahwa penempuhan jalan menuju tatanan yang adil menjadi saling berkontradiksi. Posisi individu akan menjadi jelas, sesuai dengan tanggung jawab dan tindakan yang perlu dievaluasi kembali. Rawls mengusulkan bahwa tiap-tiap dari masyarakat harus mengenal rasa keadilan yang disertai dengan kemampuan rasio untuk dapat mengaplikasikan setiap tindakan.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Beberapa unsur penting seperti keseimbangan reflektif, nalar publik, dan juga pembangkangan sipil merupakan hal-hal yang memiliki kemampuan tertentu untuk membantu mengondisikan batasan-batasan dominasi yang sering terjadi antara individu dan masyarakat lainnya dalam negara. Masyarakat yang mampu memegang ketiga unsur ini, akan menjadikan dirinya dapat bertahan pada kondisi yang merepresi moralnya. Berbagai justifikasi pada konsep tersebut, tergantung pada cara individu untuk mengatur prinsip-prinsipnya agar terusmenerus dalam keadaan yang stabil. Sebab justifikasi adalah persoalan dukungan bersama dari banyak pertimbangan tentang segala sesuatu yang dipandang menjadi koheren.1151 Perlu pemahaman dengan seksama atas penjelasan ketiga bagian yang sudah dijelaskan, agar secara keseluruhan dapat saling mendukung satu sama lain. Hal terpenting adalah, konsepkonsep tersebut tidak hanya berakhir pada wacana diskusi teori. Namun, menitikberatkan pada usaha seseorang agar juga dapat mempraktikkannya di kehidupan nyata. Setiap bagian punya porsinya masing-masing, dan diperlukan menyediakan alasan mengapa pilihan-pilihan ini dilakukan. Apalagi ketika berhadapan dengan individu atau kelompok mayoritas yang tidak terlalu memahami ruang hak dan kewajiban moralitas tiap individu. Masyarakat sebenarnya harus tahu atas jenis-jenis tugas dan menyadari kewajiban yang telah diberikan oleh institusi sosial (Rawls, 1999: 507). Lebih dari itu, jenis institusi pun perlu diteliti dalam konteks keadilan. Apakah sudah melakukan tindakan yang sesuai, atau justru sebaliknya. Seringnya, peran-peran yang berkuasa dan terlihat ‘mendoktrin’, tampak membiasakan masyarakat menjadi familiar terhadap sebuah prinsip. Kemudian dibiarkan begitu saja tanpa ada peninjauan kembali, dan memperhitungkan penilaian-penilaian dari setiap orang. Khususnya yang berkaitan erat dengan pemahaman individu sebagai subjek politik. Karena jika dilihat secara general, lebih banyak individu yang tertarik untuk mempersoalkan masalah prinsip agama berlawanan dengan agama lain yang tidak sejalan, atau prinsip etnis berlawanan dengan etnis lain yang tidak sesuai. Dibanding harus memberikan perhatian pada permasalahan moral terkait perilaku, hak, kewajiban yang saling berkontradiksi dalam negara.
11
Pembahasan lengkap terdapat di dalam karya John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, 1999, Bab IV: The Original Position and Justification.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Padahal ruang lingkupnya lebih besar dan mencakup publik, dalam artian ini adalah hal yang umum untuk dapat diprotes. Sedangkan, kepentingan-kepentingan yang skalanya lebih rendah, justru menjadi terlalu sering dipermasalahkan. Tampaknya, krisis moralitas di dalam sebuah institusi memang sudah mencapai tahap yang krisis. Karena bayangan yang seringkali tampak, apa yang telah diperbuat negara itulah hal yang sudah maksimal diperbuat, dan terlalu tidak peduli untuk melawan atau menjadi yang berbeda dengan prinsip itu sekalipun memiliki dampak besar pada individu. Walau pada nantinya, pembenaran yang datang dari masyarakat terhadap hal-hal dalam nalarnya tidak selalu dianggap benar, namun setidaknya ia telah melakukan pertahanan diri melalui tiga unsur, keseimbangan reflektif, nalar publik, dan pembangkangan sipil. Idealnya, menjustifikasi beberapa konsep keadilan berarti memberi bukti atas prinsip dari premis-premis. Karena prinsip ini pada gilirannya akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang cocok dengan pertimbangan setiap orang. Sehingga bukti bukanlah justifikasi, namun membantu untuk menunjukkan hubungan logis antar berbagai dalil. Bukti akan menjadi justifikasi ketika titik berangkatnya telah diakui bersama-sama. “Justification is argument addressed to those who disagree with us, or to ourselves when we are of two minds. It presumes a clash of views between persons or within one person, and seeks to convince others, or ourselves, of the reasonableness of the principles upon which our claims and judgments are founded” (Rawls, 1999: 508).
Kesimpulan Upaya John Rawls untuk menyatukan beberapa variasi aspek tentang pandangan kehidupan kontrak sosial dan permasalahan adil, membuatnya mencoba menaksir hal-hal partikular ke dalam sebuah teori keadilan. Kritiknya pada beberapa pemikir seperti utilitarian dan Immanuel Kant, menjadikannya dapat menilai permasalahan kesetaraan dengan cukup ideal. Bahwa prinsip keadilan harus selalu terbuka untuk ruang publik dalam lingkup institusi yang disertai dengan kebernalaran masyarakatnya. Ia sama sekali tidak berusaha untuk menguji bentuk keadilan, atau melihat segi kebermanfaatan dalam tindakan moral yang sudah ada sebelumya. Sebab pada dasarnya, berapa banyak pun teori-teori yang telah dikemukakan, tujuan akhirnya hanya ingin mewujudkan adanya kesejahteraan. Bentuk tindakan yang ingin Rawls lakukan adalah, dengan dapat menghapus ketimpangan
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
antara mayoritas dan minoritas di ranah kenegaraan. Walau masih selalu ada perdebatan atas pemaparannya dalam konteks keadilan sebagai kesetaraan, Rawls tetap percaya bahwa ini setidaknya mampu mengurangi kesewenangan kekuasaan. Ia menyimpulkan beberapa poin yang perlu diperhatikan, seperti tindakan individu dan kerasionalitasan, institusi yang adil, serta masyarakat yang mampu mengenali rasa keadilan dalam kebernalaran. Adanya sebuah kontrak tidak untuk menghadirkan masyarakat yang selalu tunduk pada setiap kebijakan. Karena semua informasi harus dijamin keterbukaannya, khususnya yang menyangkut isu di tingkat institusional. Sehingga kehadiran sosok yang mendominasi akan menjadi kecil kemungkinannya. Tidak ada lagi sesorang atau lebih, yang menggunakan keuntungan-keuntungan demi kepentingan pribadi, seperti kemakmuran dan posisinya atau kesenangan dan prestise sosialnya (Rawls, 1999: 497). Rasionalitas kebaikan yang hadir pada setiap individu berusaha untuk menunjukkan dimana batas titik keadilan. Artinya, seseorang mampu mencari cara untuk menanggalkan atau justru menunjukkan sikap-sikap yang dibutuhkan dalam hidup bermasyarakat. Semua ini dilakukan demi melenyapkan bentuk tindakan ketidaksiapan pada demokrasi. Dengan begitu, akan terciptanya pertahanan untuk memberikan jarak antara individu dengan negara. Hal ini merupakan syarat yang perlu dibangun agar terhindar dari represi oleh kelompok mayoritas. Kebijakan yang sifatnya self-interest dan memberikan keuntungan bagi sepihak perlu direvisi kembali, atau individu diberikan kesempatan untuk mampu melakukan bentuk modifikasi prinsip. Jika stabilitas dan humanisme yang universal memang ingin benar-benar ditekankan, maka keyakinan atas peluang yang lebih besar berbanding lurus dengan penilaian yang benar perlu ditolak. Ini tidak hanya demi pemuasan terhadap hak-hak setiap individu, melainkan menjadi sebuah tugas dan kewajiban yang penting untuk diterapkan oleh masyarakat. Karena ada persoalan kehendak disini, yang perlu mengakomodasi semua pendapat dengan tujuan tercapainya kehendak bersama. Penulis menunjukkan penerapan kebijakan, seperti hukum dalam negara sejak abad Yunani, masa pencerahan, dan masa kontemporer untuk membuktikan bahwa persoalan integrasi total antara individu dan negara sudah banyak terjadi. Kehadiran negara yang diharapkan dapat memberikan kebutuhan mendasar, melindungi hidup, penjaminan terhadap properti, dan hakhak yang tidak dapat dilucuti, justru seringkali bersikap sebaliknya. Masyarakat menjadi
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
dibekukan, persoalan tatanan negara seolah diserahkan saja sepenuhnya pada mereka yang memiliki kekuasaan. Disini Rawls melakukan pertentangan, bahwa posisi keadilan harus lebih superior terhadap tradisi apapun yang mendominasi dalam negara. Untuk mengabulkan adanya argumen ini, hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban dapat menjadi jawabannya. Manusia yang memiliki dua peran, sebagai yang individual dan juga yang sosial, harus memastikan telah melakukan kewajiban untuk memperoleh hal-hal yang menjadi haknya. Tidak ada tindakan yang berdasarkan akumulasi kesenangan terbanyak dari salah satu pihak, karena apa yang baik bagi kepentingan pribadi, juga menyangkut kepentingan orang lain di dalamnya. Ada kesalingan tuntutan moral yang harus dipenuhi, dan tidak serta-merta dapat diabaikan. Saat individu sudah didampingi oleh penilaian terhadap rasa keadilan, ia akan mampu mengetahui mana kebijakan yang memang dirasa perlu atau tidak perlu. Bentuk pengawasan pada kontrak sosial juga harus dilaksanakan agar keputusan-keputusan yang hadir tidak membebani satu pun individu. Sekalipun, ada alasan kuat dari keputusan tersebut, seperti yang terjadi pada kasus Rape Festival di India. Tindakan penyelewengan pada perempuan justru dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya, namun atas dasar kerugian besar yang telah dialami oleh masyarakat perempuan usia 7-16 tahun di India, hal ini tetap harus ditolak. Ralws melihat bahwa pemikiran yang diukur dari segi budaya, tradisi, agama maupun tidak beragama, sebaiknya tidak dipaksa untuk dijadikan sebagai argumen, apalagi aturan. Karena bisa jadi melenyapkan sistem stabilitas dan mengganggu prospek kehidupan individu. Keadaan ini sama saja seperti rezim dan perlu dilakukannya sebuah pembangkangan sipil sesuai dengan harapan Rawls untuk mampu memformulasikan kembali kekuatan kedaulatan. Prinsip-prinsip yang digunakan untuk mencapai kebajikan struktur dasar bersama tampaknya memang lebih dari sekedar konsep keadilan, melainkan juga sebuah ideal sosial. Masyarakat yang kurang diuntungkan mendapat perhatian khusus dari Rawls, agar standar adil dapat dipenuhi. Ketimpangan dan represi juga perlu digantikan dengan nuansa semangat kooperatif demi keuntungan bersama. Cara pandang yang dirasa perlu untuk mencapai nilai adil, tidak mensyaratkan masyarakat untuk keluar dari lingkup tempat tinggal. Apa yang diperlukan adalah dengan memodifikasi prinsip yang ada, seperti prinsip agama, prinsip etnis, dan prinsip
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
negara. Peran modifikasi dibutuhkan agar kehidupan tidak akan saling berkonflik, dan semua dapat berjalan dengan sesuai dengan konteks keadilan. Masyarakat diminta untuk menerapkan adanya pluralisme yang nalar, dan hal ini harus dibangun oleh individu ketika posisi berada di tengah-tengah diversitas. Sebab dapat membantu untuk berada di situasi politik dan kebebasan yang adil. Sehingga tercipta sebuah stabilitas yang memang ditujukan untuk hal-hal baik. Artinya kondisi ini membawa masyarakat bertindak dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip dari rasa keadilan yang diperoleh di bawah institusi yang adil. Hal-hal yang bersifat politis mengenai idealitas (moral), prinsip-prinsip, dan konsep-konsep untuk mencirikan nalar dan masyarakat yang adil, perlu mengandung tiga karakteristik. Pertama, tentang kebebasan yang berkaitan dengan rezim konstitusional, kedua, menghargai pendapat tentang kebaikan secara umum dan nilai-nilai yang sempurna, dan terakhir dengan meyakini seluruh masyarakat tentang barang primer (primary goods) untuk memungkinkan dapat menggunakan kemerdekaan mereka secara efektif. Maka apabila konsep ini mampu disusun untuk dapat diaplikasikan dalam keadaan faktual, kekuasaan yang disertai dengan kesewenang-wenangan akan menjadi berkurang. Selanjutnya, sampailah pada poin yang ingin paling ditekankan disini yaitu, rasionalitas yang dipakai oleh tiap individu akan memunculkan penilaian rasa keadilan yang berbeda-beda. Ketika individu sudah melebur bersama masyarakat, yang juga turut menggunakan nalar dalam memutuskan keputusan di ruang publik akan menghasilkan perbedaan cara individu dan negara berpikir. Kebijakan bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang sudah mutlak, namun setiap persons—mayoritas maupun minoritas—memiliki titik adil yang tidak sama, dan negara belum tentu mampu mengakomodasi semua. Bahkan bisa jadi luput dan melupakan terhadap pemahaman hak dasar masyarakat. Sehingga tugas dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan, menjadi peranan besar dalam mengevaluasi negara.
Refleksi Kritis Memahami situasi adil meliputi tindakan yang dimulai dari tingkatan subjek, kemudian bergeser saat harus berhadapan dengan yang lain ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu,
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
masyarakat. Rawls melihat subjek sebagai struktur dasar masyarakat yang dilekatkan dengan term keadilan. Sehingga ketika sudah menyinggung tentang persoalan individu, ia akan mengaitkan dengan otonomisasi individu dan posisinya dalam masyarakat. Melihat hal ini, penulis menyetujui sikap vokal untuk berotonomi yang menanggapi berbagai komponen keadilan. Di dalam situasi kontrak, tentu sikap ini punya batasan untuk menyadari bahwa hal yang individu lakukan termasuk benar atau tidak benar. Sampai sejauh mana posisi individu lain juga menjadi stabil. Otonomi sebagai upaya memposisikan hak-hak seperti semula, namun didahulukan dengan melakukan kewajiban. Pembangkangan sipil misalnya, dibenarkan untuk ruang publik yang pada awalnya ini turut berasal dari adanya otonomi. Pilihan individu atau masyarakat untuk melakukan pilihannya berdasarkan rasionalitas atau nalar. Keberadaan atas nalar pun perlu dicermati karena dapat menjadi salah asumsi ketika diartikan sebagai penalaran yang buruk. Untuk dapat membedakan keduanya, penulis melihat bahwa nalar baik adalah apa yang dimaksudkan Rawls sebagai langkah menempuh situasi masyarakat tanpa represi. Sedangkan konteks penalaran yang buruk yaitu dengan membayangkan keadaan mayoritas yang melakukan tindakan tanpa mampu menghargai klaim-klaim dari orang lain. Sebenarnya pembahasan secara keseluruhan dari penelitian skripsi ini merupakan upaya penolakan secara tegas terhadap penalaran buruk. Masyarakat dapat melakukan penilaian berdasarkan melihat keadaan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh negara untuk seluruh entitas di dalamnya. Pada akhirnya, kerasionalitasan yang hadir dari individu dan tidak mendapat tempat sesuai di ruang negara, menjadikan terjadinya jarak pada apa yang telah dikonstruksikan oleh sosial dan kekuatan mayoritas. Hal-hal yang telah terjadi dan menyebabkan ketidakadilan sebenarnya bukan disebabkan oleh persoalan ketidakhadiran subjek. Melainkan adanya represi atas suara-suara yang dikemukakan subjek pada ruang publik oleh mayoritas. Negara mengkesampingkan kepentingan-kepentingan sekalipun itu sangat krusial bagi individu. Seperti contohnya, kelemahan yang diragukan pada suatu titik tertentu terhadap pembangkangan sipil, terkait pada kemampuan dari bagaimana sebuah forum publik dapat menangani bentuk-bentuk penentangan. Seruan yang ingin disampaikan, seringkali didistorsi oleh negara atau dianggap tidak terlalu krusial.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
Niat untuk menyerukan rasa keadilan dapat menjadi lenyap seketika di dalam ruang kontrak. Kelemahan seperti ini terjadi karena rasionalitas tidak dijadikan sebagai dasar penting untuk mampu menghargai klaim-klaim masyarakat yang tidak sependapat. Kehadiran rasionalitas yang lekat dengan permasalahan kognitif pun, perlu didahului oleh kehadiran penilaian rasa keadilan tentang apa yang tampak paling mendekati benar—dan juga baik—oleh individu. Sehingga ini mengartikan, bahwa dalam kehidupan masyarakat, kontrak memang tampak lebih berfungsi sebagai obsesi kolektif. Di dalamnya, penuh dengan yang gagasan tentang sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan dari masyarakat, dibandingkan kontrak yang sekedar menjadi syarat bagi sosial. Sebab akan dikhawatirkan tidak adanya kepedulian negara untuk memberi resistensi pada semua masyarakatnya.
Daftar Referensi Books: Adian, Donny Gahral. (2013). Rasionalitas Kerjasama. Depok: Penerbit Koekoesan. Adian, Donny Gahral. (2011). Teori Militansi. Depok: Penerbit Koekoesan Bertens, K. (2004). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gough, J. W. (1936). The Social Contract. Oxford: Clarendon Press. Janice Richardson. (2009). The Classic Social Contractarians. Padstow: TJ International Ltd, Padstow, Cornawall. Kant, Immanuel. (1785). Fundamental Principles of The Metaphysics Morals. Project Gutenberg. Locke, John. (1823). Two Treatises of Government. London: McMaster University Archive of the History of Economic Thought. Mill, John Stuart. (1909). On Liberty. Auckland: Floating Press. Mouffe, Chantal. (1993). The Return of the Political. London: Bookmarque. Nicholas Rescher. (1995). Pluralism: Against the Demand for Consensus, Reprint Edition. Oxford: Oxford University Press. Rawls, John. (1999). A Theory of Justice: Revised Edition. Massachusetts: Harvard University Press Edition. __________. (2001). Collected Papers: Fourth Printing. Massachusetts: Harvard University Press.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014
__________. (2001). Justice as Fairness. Massachusetts: Harvard University Press Edition. __________. (2000). Law of Peoples with The Idea of Public Reason Revisited: Second Printing. Massachusetts: Harvard University Press. __________. (1996). Political Liberalism. New York: Columbia University Press. Sen, Amartya. (2009). The Idea of Justice. Massachusetts: Harvard University Press. Talisse, Robert. (2005). Democracy After Liberalism. New York: Routledge. Journal Article: Adian, Donny Gahral. (2011). Amartya Sen, Demokrasi, dan Teori Keputusan Sosial. Jakarta: UNIKA Atma Jaya. Cudd, Ann. (2013). Contractarianism. California: The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Priyono, Herry. (1984). Teori Keadilan John Rawls. Jakarta: Driyarkara. Basari, Taufik. (2013). Locke on Natural Law. Artikel tidak diterbitkan. Online Journal: Hobbes, Thomas. (1651). Leviathan. May 15, 2014. Eris Project Virginia Tech. http://history.hanover.edu/courses/excerpts/111hob.html Quong, Jonathan. (2013). Public Reason. May 18, 2014. Stanford Encyclopedia of Philosophy. http://plato.stanford.edu/entries/public-reason/ Kant, Immanuel. (1780). The Metaphysical Elements of Ethics. May 20, 2014. http://www.marxists.org/reference/subject/ethics/kant/morals/ch01.htm Rousseau, Jean Jacques. (1762). The Social Contract or Principles of Political Right. Constitution Society. June 18, 2014. http://www.constitution.org/jjr/socon.htm Encyclopedia, dictionary: Benewick, Robert. (1998). The Routledge Dictionary of Twentieth-Century Political Thinkers: Second Edition. London. Blackburn, Simon. (2008). The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford University Press.
Rasionalitas kekuasaan…, Rabia Edra Almira, FIB UI, 2014