77
“…..dan penuhilah janji, karena janji itu pasti dimintai pertanggung jawabannya.” BAB III AKIBAT HUKUM PENERAPAN KLAUSUL EKSONERASI DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN ISLAM, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA, UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
A. Pengertian Akibat Hukum Perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dapat menimbulkan akibat hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum. 163 Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat162F
akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit). 164 163F
Menurut Bellefroid menjelaskan bahwa peristiwa hukum adalah “peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat merupakan/menimbulkan hukum. Suatu peristiwa dapat menimbulkan hukum apabila peristiwa itu oleh peraturan hukum
163
Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 130. Selanjutnya lihat dalam Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: Cahaya Ilmu, 2006), h. 120. 164 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum ,( Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 51.
78
dijadikan peristiwa hukum.” 165 Menurut Van Apeldoorn sebagaimana dikutip Chainur Arrasjid bahwa peristiwa hukum adalah “peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.” 166 Peristiwa Hukum yang sesungguhnya hanya dijumpai dalam rumusan hukum atau dalam peraturan hukumnya. Peraturan hukum mempunyai bagian dari dunia serta tatanan hukum, bukan bagian dari dunia kenyataan. 167 Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka peristiwa hukum merupakan peristiwa di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku konkrit. Misalnya peraturan hukum yang mengatur tentang perkawinan, akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya
dalam harta, anak. Demikian juga
kematian, akan membawa berbagai akibat hukum seperti penetapan ahli waris, dan harta waris. Peristiwa hukum dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 168 1. Perbuatan subjek hukum (manusia dan badan hukum) 2. Peristiwa lain yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum Perbuatan subjek hukum yaitu manusia dan badan hukum dapat dibedakan menjadi perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan hukum dikatakan merupakan perbuatan hukum apabila perbuatan itu oleh hukum 165
Pipin Syarifin, Op.Cit, h. 73. Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 134. 167 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 166
39. 168
Hasim Purba, Op.Cit, h. 121.
79
diberi akibat, dan akibat hukum dikehendaki oleh yang bertindak. Jika akibat dari suatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan tersebut atau salah satu pihak dari yang melakukannya maka perbuatan itu bukan merupakan perbuatan hukum. Kehendak dari pihak yang melakukan perbuatan merupakan unsur pokok dari perbuatan tersebut. Suatu perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh yang melakukannya bukanlah suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum dikenal dalam dua macam yaitu perbuatan hukum yang bersegi satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdig). 169 Perbuatan hukum yang bersegi satu adalah tiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja. Misalnya perbuatan mengadakan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 853 KUHPerdata. Perbuatan hukum bersegi dua adalah tiap perbuatan yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek hukum, dua pihak atau lebih. Setiap perbuatan hukum yang bersegi dua merupakan suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perbuatan lain yang bukan perbuatan subjek hukum dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: 170
169
Ibid, h.122. Ibid, h.123.
170
80
1. Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun bagi hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu, jadi akibat yang tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu diatur oleh hukum. Misalnya memperhatikan mengurus kepentingan orang lain dengan tidak diminta (zaakwaarneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata. 2. Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (Onrechtmatigedaad) Akibat dari suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur juga oleh hukum. Melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus mengganti kerugian yang diderita oleh orang yang dirugikan karena perbuatan tersebut. Peristiwa hukum terjadi maka tidak terlepas dari adanya akibat hukum (rechtsgevolg). Akibat adalah sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa (perbuatan, keputusan), pernyataan/keadaan yang mendahuluinya. 171 Akibat hukum adalah akibat yang timbul karena peristiwa hukum. 172 Akibat hukum merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undangundang, sehingga apabila dilanggar akan berakibat bahwa orang-orang yang melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan. 173 Pipin Syarifin menyatakan bahwa akibat hukum adalah “segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap 171
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h. 20 Ibid. 173 Soedjono Dirdjosisworo dalam Hasim Purba, Op.Cit, h. 125. 172
81
objek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.” 174 R. Soeroso mengatakan bahwa akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. 175 Timbulnya akibat hukum dalam suatu peristiwa hukum akan melahirkan adanya hak dan kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan. Misalnya dalam perjanjian pembiayaan, maka telah lahir suatu akibat hukum yakni bank berkewajiban untuk memberikan dana pembiayaan dan nasabah berkewajiban untuk melakukan pembayaran atau pelunasan kredit. Demikian juga sebaliknya bank berhak atas pelunasan kredit, dan nasabah berhak atas dana dari bank dalam bentuk pembiayaan. Bentuk-bentuk dari akibat hukum dapat berwujud: 176 a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Misalnya dalam hal usia seseorang, Usia 21 Tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap hukum, atau dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum. b. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.
174
Pipin Syarifin, Op.Cit, h. 71. R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 295. 176 Ibid. 175
82
Misalnya A dan B mengadakan perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. Setelah adanya pembayaran lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap. c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. Misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum. d. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang oleh hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka suatu peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat akan menimbulkan akibat hukum, baik itu perbuatan yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu), misalnya dalam pembuatan surat wasiat. Termasuk juga perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak (bersegi dua) seperti perjanjian jual beli, tukar menukar dan perjanjian pembiayaan. Akibat hukum dalam perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. B. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah 1. Tinjauan Terhadap Pembiayaan Musyarakah a. Pengertian Pembiayaan Musyarakah Musyarakah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak atau lebih dalam menjalankan usaha, dimana masing-masing pihak menyertakan modalnya sesuai dengan kesepakatan, dan bagi hasil atas usaha bersama diberikan sesuai dengan kontribusi dana atau sesuai kesepakatan bersama. Musyarakah disebut juga dengan syirkah, merupakan aktivitas berserikat dalam melaksanakan usaha
83
bersama antara pihak-pihak yang terkait. 177 Pasal 20 angka 3 KHES menyatakan syirkah adalah “kerjasama antara dua orang atau lebih dalam permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.” Musyarakah dapat diartikan sebagai suatu kerjasama antara para pihak, masing-masing pihak memberikan dalam bentuk dana atau keahlian, keterampilan dengan keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. b. Landasan Syariah Pembiayaan Musyarakah 1) Al Qur’an Landasan syariah pembiayaan musyarakah diatur dalam Surah An Nisa’ ayat (12) yang artinya “..maka mereka berserikat pada sepertiga..” Pembiayaan musyarakah juga diatur dalam Al Qur’an Surah Shaad ayat (24), artinya “dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.” Kedua ayat Al qur’an tersebut di atas menunjukkan Allah Swt membolehkan musyarakah atau perserikatan dalam kepemilikan harta. Surah An Nisa’ ayat (12) perserikatan terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan surah Shaad ayat (24) terjadi karena akad. 2) Hadits Riwayat Abu Dawud Landasan syariah diperbolehkannya pembiayaan musyarakah juga diatur dalam Hadits Riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda “sesungguhnya Allah 177
Ismail, Op.Cit, h. 176.
84
Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya.” 3) Ijma’ Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni 178, telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya,” 179 c. Jenis-Jenis Pembiayaan Musyarakah Musyarakah terbagi dua, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad. Musyarakah pemilikan tercipta karena adanya warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Akad Musyarakah antara dua orang atau lebih, bahwa tiap mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat membagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad terbagi atas: 180 1) Syirkah al-‘Inan Yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati. Akan tetapi bagian bagi masing-masing pihak baik dalam hal dana, kerja, bagi hasil tidak harus sama, sesuai dengan kesepakatan mereka. 178
Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, Mughni wa Syarh Kabir, (Beirut: Darul Fikr, 1979), vol.V, h. 109. Selanjutnya lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Op.Cit, h. 91. 179 Para ulama sepakat syirkah inan dibolehkan dan sah, sedangkan syirkah lain terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama Syafi’iyah dan Dhahiriyah. Imaniyah berpendapat bahwa segala jenis syirkah tidak diperbolehkan kecuali syirkah inan dan syirkah mudharabah. Hanabilah memperbolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah mufawwadah. Malikiyah memperbolehkan semua jenis syirkah, kecuali syirkah wujuh dan mufawwadah. Hanafiyah dan Zaidiyah memperbolehkan semua jenis syirkah jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Lihat Ibnu Rusy, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Jilid II, (Beirut: Dar al-Ihyan al-Kutub alArabiyah, 1998), h. 50-51. Selanjutnya lihat Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia: Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Kemitraan, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), h. 33. 180 Ibid, h. 92.
85
2) Syirkah Mufawadhah Yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu bagian dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Syarat utama dari musyarakah ini adalah kesamaan dana, kerja, tanggung jawab dan beban utang, dibagi sama pada masing-masing pihak dalam perjanjian musyarakah tersebut. 3) Syirkah A’maal Perjanjian kerjasama dua orang yang memiliki profesi yang sama untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya dua orang penjahit menerima pesanan pembuatan seragam sebuah kantor. 4) Syirkah Wujuh Perjanjian antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dan menjual barang tersebut secara tunai. Keduanya berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh mitra. 5) Syirkah Mudharabah Perjanjian antara dua orang atau lebih dalam kerjasama usaha dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian. 2. Penerapan Klausul Eksonerasi Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah Kerjasama dalam pembiayaan musyarakah dapat dilakukan antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak sama, masing-masing pihak berpartisipasi dalam perusahaan, dan keuntungan atau kerugian dibagi sama atas dasar proporsi modal. 181 Kerjasama dalam bentuk pembiayaan musyarakah dapat juga dilakukan dalam kerjasama antara dua pihak pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan atau kerugian dibagi sama. 182 Perjanjian pembiayaan musyarakah merupakan perjanjian yang terjadi antara Bank Syariah dengan Nasabah Penerima Fasilitas atau nasabah debitur. Perjanjian 181 182
Lihat Pasal 136 KHES. Lihat Pasal 137 KHES.
86
kerjasama bahwa nasabah debitur memperoleh dana dari pemilik dana/modal (bank) untuk mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/modal berdasarkan bagian dana/modal masing-masing. Kesepakatan dalam pembiayaan musyarakah yang terjalin antara bank dan nasabah debitur dituangkan dalam sebuah Perjanjian Pembiayaan musyarakah. Perjanjian tersebut berisikan kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masingmasing pihak dalam pelaksanaan pembiayaan musyarakah.
Perjanjian tersebut
diikuti dengan Surat Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Akad Pembiayaan
Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 yang menyatakan: 1. Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam Akad ini, maka kedua belah pihak akan mengaturnya bersama secara musyawarah mufakat dalam suatu addendum. 183 2. Tiap addendum dari Akad merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari akad ini. Perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan Surat Pernyataan yang berbunyi “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan
183
Addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan.. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 11. Adendum yaitu jilid tambahan (pada buku), lampiran, ketentuan atau Pasal tambahan, misalnya dalam akta atau perjanjian. Lihat Depatemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h. 7. Istilah adendum dipergunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya namun merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya.
87
menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.” Pembiayaan tersebut dilindungi dengan adanya asuransi jiwa, yaitu: “Usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” 184 Jiwa
seseorang
dapat,
guna
keperluan
seorang
yang
berkepentingan,
dipertanggungkan baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk sesuatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian. 185 Apabila terjadi sesuatu terhadap jiwa nasabah debitur, maka pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur telah dilindungi oleh asuransi. Salah satu upaya untuk melindungi pembiayaan apabila terjadi resiko yang tidak diinginkan selama dalam pelaksanaan pembiayaan apabila nasabah debitur meninggal dunia, maka pembiayaan yang diberikan kepada nasabah debitur dilindungi dengan asuransi jiwa. Klausul dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut merupakan suatu klausul tentang asuransi. Menyatakan bahwa apabila polis asuransi belum selesai maka ahli waris tidak akan menuntut bank dan seluruh pembiayaan dari nasabah debitur menjadi tanggung jawab ahli waris. Klausul tersebut merupakan klausul eksonerasi, bahwa bank melepaskan tanggung jawab atau resiko dari pelaksanaan asuransi kepada ahli waris nasabah debitur. 184
Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Lihat Pasal 302 KUHD tentang Pertanggungan Jiwa.
185
88
Pembiayaan yang dilindungi dengan asuransi jiwa, maka dalam prosesnya terjadi hubungan antara tiga pihak yaitu bank, nasabah debitur dan asuransi. Hubungan antara bank dan nasabah debitur yaitu hubungan perjanjian pembiayaan, bank memberikan pembiayaan kepada nasabah debitur untuk menjalankan kegiatan usaha bersama. Pembiayaan disertai dengan perlindungan asuransi jiwa. Bank sebagai pihak yang menghubungkan antara nasabah debitur dan Asuransi dalam perlindungan asuransi tersebut. Hubungan antara bank dan asuransi yaitu pada proses administrasi sampai pada terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi. Bank berkewajiban untuk menyelesaikan prosedur, syarat-syarat dan ketentuan administrasi yang dibutuhkan dalam penutupan asuransi hingga pembiayaan yang dikeluarkan telah dilindungi asuransi. Berdasarkan isi klausul tersebut, bank menyatakan tidak dapat digugat apabila terjadi sesuatu resiko atau peristiwa yang menyebabkan tidak terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi serta mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila nasabah debitur meninggal dunia. Terjadinya hubungan antara bank dan asuransi, bank sebagai penghubung antara nasabah debitur dengan Asuransi. Pelaksanaan pengurusan administrasi asuransi merupakan tanggung jawab bank. Apabila terjadi kelalaian dalam proses penutupan asuransi antara bank dan asuransi, maka bank bertanggung jawab atas hal tersebut. Akan tetapi jika telah adanya pembayaran premi maka telah terjadi penutupan asuransi, sehingga asuransi yang bertanggung jawab dalam pelunasan pembiayaan tersebut ketika nasabah debitur meninggal dunia, walaupun polis
89
asuransi belum keluar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 257 KUHD yang menyatakan bahwa perjanjian asuransi telah mengikat sejak adanya pembayaran premi oleh tertanggung kepada asuransi walaupun polisnya belum selesai.
C. Akibat
Hukum
Penerapan
Klausul
Eksonerasi
Dalam
Perjanjian
Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Akibat hukum merupakan akibat dari suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum. Akibat hukum dalam perjanjian pembiayaan musyarakah lahir dari adanya hubungan hukum berupa perjanjian yang dilakukan oleh bank dan nasabah debitur pada suatu kerjasama dalam pembiayaan musyarakah. Akibat hukum yang timbul dengan adanya penerapan klausul eksonersi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam praktek. Akad yang dilakukan hendaknya memenuhi ketentuan sahnya suatu akad yang merupakan unsur asasi dari akad.
90
Sahnya suatu akad dalam Hukum Perjanjian Islam harus memenuhi rukun dan syarat suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. 186 Rukun dan syarat terbentuknya akad dalam Hukum Perjanjian Islam sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, yaitu subjek akad (al ‘aqidain), objek akad (mahallul ‘aqd), ijab dan qabul (shighat al ‘aqd) dan tujuan akad (maudhu’ul ‘aqd) yang tidak bertentangan dengan syara’ (Hukum Islam). Syarat sah suatu perjanjian secara umum sebagai berikut: 187 a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati. Setiap orang bebas untuk membuat perjanjian, akan tetapi kebebasan itu ada batasnya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik Al Qur’an maupun hadits. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. b. Harus sama ridha dan ada pilihan Perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, didalamnya tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Konsekuensi yuridis jika syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. c. Harus jelas dan gamblang Perjanjian disepakati dengan jelas apa saja yang menjadi objeknya, hak dan kewajiban para pihak. Jika syarat ini tidak terpenuhi maka konsekuensi yuridisnya perjanjian yang dibuat para pihak dalam perjanjian batal demi hukum. Syarat sahnya akad juga diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 buku dan 790 Pasal. Buku I tentang Subjek Hukum dan
186 187
Fathurrahman Djamil, Op.Cit, h. 252. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Op.Cit, h. 2.
91
Harta (Amwal), Buku II tentang Akad, Buku III tentang Zakat dan Hibah, Buku IV tentang Akuntansi Syariah. KHES merupakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. KHES sebagai pedoman prinsip syariah bagi Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung. 188 KHES berfungsi untuk mengisi kekurangan atau kekosongan UndangUndang dalam menjalankan praktik peradilan dalam memberikan keadilan sehingga kepastian hukum dapat terwujud. 189
188
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengeluarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 tentang pembentukan Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Tim bertugas menghimpun dan mengolah materi yang sesuai, menyusun draf naskah KHES, menyelenggarakan seminar yang mengkaji draf naskah dengan melibatkan unsur lembaga, ulama dan pakar ekonomi syariah, serta melaporkan hasilnya kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Usaha yang dilakukan tim adalah menyesuaikan pola pikir, mencari format ideal dengan mengadakan semiloka, pertemuan sekaligus meminta masukan kepada beberapa lembaga seperti Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan Ikatan Ahli Ekonomi Syariah (IAES), MUI serta Bank Indonesia (BI). Tim juga melakukan kajian pustaka terhadap literatur kitab fiqih klasik dan ekonomi kontemporer. Tim penyusun berkunjung ke Malaysia sejak tanggal 1620 November 2006, untuk melakukan studi banding ke Pusat Ekonomi Islam, Universitas Islam Internasional, Pusat Takaful, Lembaga Keuangan Islam, dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan. Tim Penyusun juga berkunjung ke Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam International Islamabad, Federal Court, Mizan Bank, Bank Islam Pakistan pada Juni 2007. Hasil studi tersebut kemudian diolah dan dianalisis bersama tim konsultan. Hasil final draf KHES kemudian dilaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung. KHES agar dapat dijadikan pedoman dan landasan hukum bagi hakim peradilan agama dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Lihat dalam M. Isna Wahyudi, Achmad Fauzi, Edi Hudiata, Hermansyah, Peradilan Agama Babak Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Kedudukan KHES,KHAES dan Efektifitas Penerapannya, Majalah Peradilan Agama, Edisi 3 Desember 2013-Februari 2014, h. 23. 189 Ibid, h. 24.
92
Kekuatan hukum KHES dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditinjau berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa: Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a.Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.Peraturan Pemerintah; e.Peraturan Presiden; f.Peraturan Daerah Provinsi; dan g.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana di maksud pada ayat (1).
Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka KHES sudah memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sahnya suatu akad berdasarkan KHES diatur dalam Pasal 26, akad tidak sah apabila bertentangan dengan:
93
a. Syari’at Islam b. Peraturan Perundang-undangan c. Ketertiban umum dan/atau d. Kesusilaan Pasal 29 selanjutnya dinyatakan bahwa “akad yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur: a. Ghalath atau khilaf b. Tidak dilakukan dibawah ikrah atau paksaan; c. Taghrir atau tipuan, dan d. Ghubn atau penyamaran. Hukum akad terbagi dalam tiga kategori, yaitu: 190 a. Akad yang sah Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya b. Akad yang fasad/dapat dibatalkan Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. c. Akad yang batal/batal demi hukum Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syaratsyaratnya. Perjanjian pembiayaan musyarakah antara bank dan nasabah debitur apabila ditinjau berdasarkan rukun dan syarat akad, maka syarat cakap atau dewasa (tamyiz) telah terpenuhi, sighat akad (ijab dan qabul) telah dibuat dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam akad pembiayaan musyarakah. Ijab dan qabul dalam bentuk tulisan 190
Lihat Pasal 26 KHES
94
sah hukumnya sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Baqarah ayat (282), yaitu: “wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang mendiktekan, dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun daripadanya.” Objek akad dalam perjanjian telah terpenuhi yaitu pembiayaan musyarakah. Syarat tujuan akad yaitu bertujuan untuk memberikan kontribusi dana dalam bentuk amal, keahlian dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
191
Perjanjian
pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan Surat Pernyataan mengenai asuransi jiwa untuk perlindungan bagi pembiayaan apabila nasabah debitur meninggal dunia. Isi Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut menyatakan bahwa bank membebaskan, melepaskan tanggung jawab terhadap resiko yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan penutupan asuransi dan mengalihkan pelunasan pembiayaan musyarakah kepada ahli waris apabila nasabah debitur meninggal dunia. Isi Surat Pernyataan tersebut bertujuan untuk mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen merupakan perbuatan yang bertentangan dengan tujuan akad. Tujuan suatu akad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syariah undang-
191
Tujuan akad pembiayaan musyarakah lihat lebih lanjut dalam Fatwa DSN 08/DSNMUI/IV/2000 tentang pembiayaan musyarakah.
95
undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Sehingga Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi unsur tujuan akad yang merupakan salah satu dari rukun akad dalam Hukum Perjanjian Islam. Klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal 21 huruf j KHES. Bahwa akad harus dilakukan dengan itikad baik dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya. Asas itikad baik yaitu bahwa pelaksanaan perjanjian harus dijalankan dengan memperhatikan kepatutan dan kesusilaan, sehingga menimbulkan kemaslahatan bagi para pihak. Penerapan
klausul
tersebut
bertentangan
dengan
asas
transparansi
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 huruf g KHES yang menyatakan bahwa setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. Bahwa akad yang dibuat harus bersifat transparan, jelas dan terbuka mengenai pertanggung jawaban para pihak dalam akad tersebut. Klausul tersebut juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 huruf k KHES asas suatu sebab yang halal, bahwa akad yang dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. Klausul
tersebut
bertentangan
dengan
asas
kesetaraan
(taswiyah)
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf f KHES. Tidak adanya kesetaraaan antara para pihak dalam perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban. Ahli waris harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawabnya, yaitu melunasi pembiayaan yang seharusnya apabila pembiayaan telah
96
dilindungi dengan asuransi maka pelunasan pembiayaan ditanggung oleh pihak asuransi. Ketidakseimbangan tersebut menimbulkan ketidakadilan bagi pihak ahli waris. Ketidakadilan dalam transaksi perbankan syariah disebut dengan zalim dan bertentangan dengan prinsip syariah yaitu Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
192
Prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur yang disebutkan dalam Penjelasan atas Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu: 1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah); 2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; 3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; 4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah, atau 5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
192
Lihat Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lihat juga dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha Syariah.
97
Akad dalam transaksi syariah berpedoman pada kaidah-kaidah syariah berdasarkan Al Quran dan Hadits. Adanya klausul membebaskan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen menimbulkan kerugian bagi konsumen terhadap hak-haknya, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Al Qur’an:
“dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS.As Syu’ara’: 183).
... “dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil…” (Al Baqarah ayat: 188). Penerapan klausul eksonerasi pada perjanjian tidak dapat mengikat para pihak, sebab dasar dari sebuah perjanjian adalah terikat dengan syarat. Akan tetapi apabila syarat yang tercantum dalam akad tersebut bertentangan dengan prinsip syariah, maka tidak dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi Riwayat Tirmidzi “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum Muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum Muslimin
98
terikat dengan syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 193 Klausul tersebut bertentangan dengan prinsip syariah yang seharusnya dalam akad tidak mengandung unsur zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya, sebagaimana Hadits Nabi Riwayat Muslim “Jabir Ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan di hari kiamat.” 194 Berdasarkan uraian di atas, maka klausul tersebut bertentangan tujuan akad, bertentangan dengan Pasal 21 KHES yang mengatur mengenai asas-asas dalam Hukum Perjanjian Islam, yaitu asas itikad baik, asas transparansi, asas kesetaraan (taswiyah), asas suatu sebab yang halal. Klausul tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah yaitu mengandung unsur zalim atau ketidakadilan, serta tidak sesuai dengan anjuran Al Qur’an dan Hadits dalam melaksanakan perjanjian. Akad yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, akad tersebut berdampak hukum tidak sah dan merupakan akad batil. Pasal 26 KHES juga mengatur bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan syariat Islam, peraturan perundangundangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Maka Penerapan klausul eksonerasi
193
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dewan Pengawas Syariah Bank Syariah Propinsi Sumatera Utara Bapak Amiur Nuruddin pada hari Jum’at tanggal 16 April 2015 Pukul 15.30 di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. 194
Imam Nawawi, Musthofa Said Al Khin dkk (Penerjemah Muhil Dhofir), Syarah & Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid 1, Cetakan keempat, ( Jakarta: Al I’tishom, 2008), h. 275.
99
dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tidak memenuhi rukun akad, sehingga merupakan akad batil atau batal demi hukum.
2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Sebagaimana diuraikan sebagai berikut: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak kedua belah pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. 195 Kesepakatan dalam perjanjian diadakan secara sukarela dari para pihak dalam perjanjian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kesepakatan pihak-pihak dalam perjanjian merupakan unsur utama untuk terjadinya suatu perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dari para pihak untuk mencapai suatu kehendak. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
195
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 95.
100
Setiap orang cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undangundang tidak dinyatakan tak cakap. 196 Pihak-pihak yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata mengatur bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah, yaitu: 1) Orang-orang yang belum dewasa Pasal 330 KUHPerdata mengatur bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai genap dua puluh satu Tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.” Dapat disimpulkan bahwa sesorang dianggap cakap berdasarkan KUHPerdata apabila telah berusia 21 Tahun. Telah menikah, termasuk juga mereka yang sudah menikah tetapi belum mencapai usia 21 Tahun. Ketentuan dewasa dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 50 yang menyatakan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.” Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas, usia dewasa seseorang adalah 18 tahun. Maka ketentuan ini menggantikan berlakunya ketentuan dalam KUHPerdata yang menentukan usia 21 tahun untuk menentukan saat dewasa seseorang. Oleh karena itu kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apabila telah
196
Lihat Pasal 1329 KUHPerdata.
101
menikah, seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 197 2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan Seseorang yang dibawah pengampuan juga termasuk tidak cakap hukum. Pengampuan diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit gelap atau mata gelap harus di taruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seseorang dewasa boleh juga di taruh di bawah pengampuan karena keborosannya.” Berdasarkan ketentuan tersebut di atas orang yang dapat ditaruh di bawah pengampuan disebabkan karena gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij), lemah akal (zwakheid van vermogens), pemborosan. 198 3) Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 197
Lihat dalam Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit, h. 131. Menurut Hukum Islam orang-orang yang telah baligh (dewasa) dapat dilihat pada laki-laki yang telah bermimpi (ihtilam) dan pada perempuan yang telah haidh. Ukuran dewasa juga dapat dilihat pada usia seseorang yaitu 15 tahun. Berdasarkan pada hadits Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar tidak diizinkan Rasulullah untuk berperang (Perang Uhud) ketika usianya 14 tahun. Ketika usianya 15 tahun ia diizinkan untuk turut berperang (Perang Khandaq). Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 1510. Selanjutnya lihat dalam Wirdyaningsih dkk, Op.Cit, h. 96. Ketentuan dewasa juga diatur dalam beberapa undang-undang yaitu: Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam menyatakan dewasa usia 21 tahun sepanjang anak itu tidak cacat fisik dan mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak menyatakan “anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.” Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Peradilan anak menyatakan “batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah kurang dari 18 Tahun dan belum pernah kawin.” 198 Lihat J. Satrio-I, Op.Cit, h. 5
102
c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu dijelaskan dalam KUHPerdata pada Pasal 1333 yang berbunyi “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau diihitung.” Rumusan tersebut menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu. 199 Suatu perjanjian harus jelas objek yang ditentukan oleh para pihak. Objek perjanjian dapat berupa barang, jasa, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Objek perjanjian berupa barang, maka digunakan cara seperti menghitung, menimbang, mengukur. Objek berupa jasa, maka harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. d. Suatu sebab yang halal. Suatu sebab yang halal bukanlah lawan kata dari haram dalam hukum Islam, akan tetapi yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal adalah isi dari perjanjian
199
Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Op.Cit, h. 155.
103
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah: 200 1) Bukan tanpa sebab 2) Bukan sebab yang palsu 3) Bukan sebab yang terlarang, yang terdiri dari: a) Kausa yang dilarang oleh perundang-undangan; b) Kausa yang bertentangan dengan kesusilaan; c) Kausa yang bertentangan dengan ketertiban umum. Pasal 1337 menyatakan “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal 1337 ini berkaitan dengan isi yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum. Keempat syarat pokok ini dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu syaratsyarat subjektif yang berhubungan dengan subjek hukum yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Syarat-syarat objektif, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek hukum yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Para ahli hukum Indonesia umumnya berpendapat bahwa dalam hal syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya (voidable). Sedangkan dalam hal syarat-
200
Lebih lanjut lihat dalam Pasal 1335 KUHPerdata. Contoh-contoh perjanjian dengan suatu sebab yang tidak halal seperti kontrak yang mengandung unsur riba atau lintah darat, kontrak yang mengandung unsur judi, kontrak jual beli dengan hak beli kembali, janji tidak menyaingi, larangan pemindahan barang, kontrak tanpa license, kontrak untuk bercerai, kontrak pembebasan (eksonerasi, exonoratie, exculpatory), kontrak yang dilakukan dengan sogok menyogok dan kontrak dengan syarat wajib. Lihat Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 74.
104
syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (void ab initio). 201 Perjanjian merupakan faktor yang sangat penting untuk mengikat antara para pihak dalam perjanjian. KUHPerdata mengaturnya dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Seperangkat aturan hukum telah ditentukan oleh undang-undang sebagai tolak ukur bagi para pihak untuk menguji standard keabsahan perjanjian yang mereka buat. Berdasarkan KUHPerdata sahnya suatu perjanjian apabila memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toesteming van degenen die zich verbinden), kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan), suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), suatu sebab yang halal (eene geoorloogde oorzaak). Syarat sahnya suatu perjanjian disamping syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, maka untuk sahnya suatu perjanjian juga disyaratkan agar perjanjian tersebut tidak melanggar unsur itikad baik, kepatutan, kepentingan umum dan kebiasaan. 202 Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah merupakan suatu tindakan yang tidak patut (on billijkheid). Klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan, suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik (goeder trouw, bona 201
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Commom Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), h. 45. 202 Munir Fuady, Op.Cit, h. 80.
105
fide). 203 Itikad baik dalam doktrin hukum perjanjian meliputi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif diartikan dalam hubungannya dengan hukum benda bermakna kejujuran, sedangkan itikad baik objektif berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Siti Ismijati Jeni mengemukakan bahwa dalam Bahasa Indonesia itikad baik dalam artian objektif disebut juga dengan istilah kepatutan. Objektif menunjuk pada kenyataan bahwa perilaku para pihak itu harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik dan tidak semata-mata berdasarkan anggapan para pihak sendiri. 204 Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa: 205 “Kejujuran (itikad baik) dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, tidak terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi terletak pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam melaksanakan janji, jadi kejujuran di sini bersifat dinamis, kejujuran dalam arti dinamis atau kepatutan ini berakar pada sifat peranan hukum pada umumnya, yaitu usaha untuk mengadakan keseimbangan dari berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakikatnya tidak diperbolehkan kepentingan seseorang dipenuhi seluruhnya dengan akibat kepentingan orang lain sama sekali terdesak atau diabaikan. Masyarakat harus merupakan sesuatu neraca yang berdiri tegak dalam keadaan seimbang.” Klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
203
Ibid, h. 81. Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta, tanggal 10 September 2007), h. 5. Selanjutnya lihat dalam Abdul Hakim, Op.Cit, h. 92. 205 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h. 87. Selanjutnya lihat dalam Ibid. 204
106
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.” Tan Kamello dalam pandangan hukumnya menyatakan: “Dalam KUHPerdata, kepatutan adalah tiang hukum yang wajib ditegakkan. Sebagai asas kepatutan memiliki peran dan fungsi antara lain menambah atau mengenyampingkan isi perjanjian. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Isi perjanjian yang dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan itikad baik” 206 Asas kepatutan dalam Pasal 1339 KUHPerdata berkaitan dengan isi perjanjian. Pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan memperhatikan norma-norma kepatutan 207, sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi melanggar syarat sepakat dalam perjanjian pada Pasal 1321 KUHPerdata, yaitu “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Isi Surat Pernyataan yang menerapkan klausul eksonerasi telah dibuat dalam bentuk baku sehingga nasabah debitur dan ahli waris tidak mempunyai posisi tawar untuk ikut menentukan isi perjanjian tersebut. Kesepakatan dalam perjanjian baku tidak dapat dilakukan sebebas dengan perjanjian langsung yang melibatkan para pihak dalam penetapan isi klausul-klausul dalam perjanjian. Nasabah debitur tidak dapat menolak isi klausul karena adanya ketergantungan secara ekonomi untuk memperoleh pembiayaan dari
206
Tan Kamello dalam O.C. Kaligis, Asas Kepatutan dalam Arbitrase, (Bandung: Alumni, 2009), h. 279-280. 207 Perjanjian pada pelaksanaannya, selain memperhatikan norma kepatutan juga harus memperhatikan norma kesusilaan.
107
bank. Sehingga kesepakatan dalam Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian“sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Penerapan klausul eksonerasi tersebut juga bertentangan dengan syarat sah perjanjian suatu sebab yang halal. Pasal 1335 menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Selanjutnya dalam Pasal 1337 dinyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah berisi pengalihan tangggung jawab kepada konsumen dilarang oleh undang-undang. 208 Syarat suatu sebab yang halal dilanggar, sehingga tidak memenuhi syarat sah perjanjian elemen yang keempat “suatu sebab yang halal”. Berdasarkan uraian di atas penerapan klausul eksonerasi tersebut bertentangan dengan itikad baik, kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3), Pasal 1339 KUHPerdata. Kesepakatan dalam Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut juga tidak terpenuhi. Tidak memenuhinya syarat objektif suatu sebab yang halal dalam sahnya perjanjian, maka Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut batal demi hukum. 3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
208
Yaitu ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan dilarangnya membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
108
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: “segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 27 ayat (1) tersebut memberikan landasan bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa segala warga Negara sama kedudukannya di dalam hukum. Kedudukan hukum antara konsumen dan produsen sama, memiliki hak-hak yang seimbang antara satu sama lain. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. 209 Kalimat dalam pengertian perlindungan konsumen yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. 210 Perlindungan hukum bagi konsumen merupakan hal yang utama dalam menjaga hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Dengan demikian pihak produsen dan konsumen dapat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. 211 Hubungan hukum yang terjadi antara para pihak pelaku usaha dan konsumen diikat dalam sebuah perjanjian. Perjanjian harus dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bebas antara kedua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk 209
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 210 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, h. 1. 211 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h. 1.
109
melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. 212 Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) pelarangan penggunaan kontrak baku terhadap dua hal yakni berkaitan dengan isi dan bentuk penulisannya. Dari segi isi berkaitan dengan larangan memuat klausul-klausul baku yang tidak adil. Sedangkan dari bentuk penulisannya klausula itu harus dituliskan secara jelas dan terang sehingga dapat dibaca dan dimengerti oleh konsumen dengan baik. 213 Surat Pernyataan dalam Perjanjian pembiayaan musyarakah dalam bentuk baku dan mencantumkan klausul bahwa bank mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila polis asuransi belum selesai. Penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen. c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala 212
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen: Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2010), h. 95. 213 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h. 27.
110
e. f. g. h.
tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa. Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran.
Penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian baku merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan: “setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka perjanjian baku yang menerapkan klausul eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen adalah batal demi hukum. Akibat dari kebatalan demi hukum atas Surat Pernyataan tersebut, menurut Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan “pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.” Akibat hukum dalam penerapan klausul eksonerasi ditinjau dari UndangUndang Perlindungan Konsumen, klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat
111
(1) huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Atas adanya klausul tersebut, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Berdasarkan
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
(OJK)
Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: 214 a) Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, b) Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan c) Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK mempunyai fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. 215 Pelaku Usaha Jasa Keuangan adalah Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan usahanya secara konvensional
214
http://www.ojk.go.id/tugas-dan-fungsi, Akses Terakhir, Senin, 1 Juni 2015 Pukul 15.30
Wib. 215
Ibid.
112
maupun secara syariah. 216 Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. 217 Pasal 4 ayat (1) Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan yang menyatakan “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.” Pelaku usaha juga wajib memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen. 218 Ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) menyatakan “Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, peraturan Otoritas Jasa Keuangan juga mengatur mengenai tata cara pembuatan perjanjian baku bagi pelaku usaha jasa keuangan. Bahwa setiap pelaku usaha jasa keuangan berkewajiban untuk membuat perjanjian-perjanjian baku yang sesuai dengan aturan dan batasan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
216
Lihat Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 217 Lihat Pasal 1 angka 2 Ketentuan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. 218 Lihat Pasal 21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
113
Pengaturan mengenai larangan penerapan klausul eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a yang menyatakan bahwa:
a. b.
c.
d.
e.
f.
g.
“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang: menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen; menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan; memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau; menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran.”
Ketentuan yang sama juga diatur dalam Bagian angka II tentang Klausula Dalam Perjanjian Baku angka 3 dan 4 Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, yang menyatakan bahwa: (3) Klausula 219 dalam Perjanjian Baku yang dilarang adalah yang memuat: 219
Kata klausula tidak sesuai dengan ketentuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Seharusnya menggunakan kata klausul. Klausul yaitu ketentuan tersendiri dari suatu perjanjian yang
114
a. Klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK), atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban Konsumen. b. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan secara sengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat, biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan. (4) Perjanjian Baku yang dilarang adalah perjanjian yang memuat hal-hal sebagai berikut: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada Konsumen; b. menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh Konsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli; c. menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan; d. mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK; e. memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan; f. menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau g. menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa Peraturan OJK juga melarang pencantuman klausul eksonerasi, diatur dalam Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan
salah satu pokok atau pasalnya diperluas atau dibatasi. Lihat dalam Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, h. 574.
115
OJK Nomor 1/OJK.07/2013 dan bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SE OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Pelaku Jasa Keuangan tidak dibenarkan membuat perjanjian baku yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan menyatakan pengalihan tanggung jawan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada konsumen. Perjanjian baku yang dibuat antara bank dan nasabah debitur baik itu pada bank yang menjalankan operasionalnya berdasarkan konvensional maupun prinsip syariah dilarang menerapkan klausul pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (bank) kepada nasabah debitur. Penerapan klausul eksonerasi pada Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan Pasal 22 ayat (3) huruf a Peraturan OJK Nomor 1/OJK.07/2013 dan bagian II angka 4 huruf a Surat Edaran OJK Nomor 13/SE OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Peraturan OJK jelas dinyatakan bahwa “dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Ketentuan penggunaan perjanjian baku diatur dalam Peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan OJK Nomor 1/OJK.07/2013. Akibat hukum terhadap pelanggaran ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah batal demi hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
116
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 220 Ketentuan dalam Pasal 53 selanjutnya menyatakan Pelaku Jasa Keuangan
dan/atau pihak yang melanggar ketentuan dalam Peraturan OJK dikenakan sanksi administratif, antara lain berupa Peringatan tertulis, denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin kegiatan usaha. Tabel 1: Akibat Hukum Penerapan Klausul Eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada Perjanjian Pembiayaan Musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/OJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. No
Perban dingan
1.
Syarat Sah Perjanji an
Hukum Perjanjian Islam Memenuhi Rukun dan Syarat Akad. Rukun Akad: 1. Al ‘aqidain (Subjek Perikatan) 2.Mahallul ‘Aqd (Objek Perikatan) 3.Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan) 4.Sighat al ‘Aqd (Ijab dan qabul). Syarat Akad:
220
KUHPerdata
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
UU No. 8/1999 tentang UUPK
POJK No. 1/OJK.07/2013
-
-
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang
Sebagai konsekuensi atau akibat hukum terhadap pelanggaran terhadap ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah batal demi hukum. Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata. Kebebasan berkontrak tetap dibatasi oleh ketentuan yang berlaku. Pelanggaran terhadap suatu sebab yang halal berakibat batal demi hukum. Lihat Munir Fuady, Loc.it, h. 74.
117
1. Tidak menyalahi hukum syariah 2. Harus sama ridho atau sepakat 3. Akad harus jelas.
halal
Pasal 26 KHES, akad tidak sah apabila bertentangan dengan: e. Syari’at Islam f. Peraturan Perundangundangan g. Ketertiban umum dan/atau h. Kesusilaan Pasal 26 huruf a, akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian,tidak mengandung unsur: e. Ghalath atau khilaf f. Tidak dilakukan dibawah ikrah atau paksaan; g. Taghrir atau tipuan, dan h. Ghubn atau penyamaran. 2.
Ketentu an yang Dilangg gar
Bertentangan dengan tujuan akad yang merupakan salah satu dari rukun akad. bertentangan dengan prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi ahli waris.
Bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 bahwa perjanjian tidak hanya mengikat ha-hal yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian tetapi juga
Bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a “Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
Bertentangan dengan Pasal 22 ayat (3) huruf a “Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban
118
Pasal 21 KHES mengenai asas-asas dalam akad, yaitu asas transparansi (Pasal 21 huruf g), asas keseimbangan /taswiyah (Pasal 21 huruf f ), asas itikad baik (Pasal 21 huruf j) dan asas suatu sebab yang halal (Pasal 21 huruf k ). Klausul tersebut juga bertentangan dengan prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi konsumen.
3.
Akibat Hukum
Akad batil.
Berdasarkan
tabel
diharuskan sesuai dengan asas kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. bertentangan dengan syarat sah perjanjian yaitu “kesepakatan” dan “suatu sebab yang halal”
dilarang membuat dan/atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.”
Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.”
Batal demi hukum
Batal demi hukum
Batal demi hukum
tersebut di atas tampak bahwa penerapan klausul
eksonerasi dalam Surat Pernyataan
pada perjanjian pembiayaan musyarakah
berdasarkan Hukum Perjanjian Islam melanggar ketentuan tujuan akad, Pasal 21 KHES mengenai asa-asas dalam akad. Berdasarkan KUHPerdata bertentangan dengan syarat sah perjanjian “kesepakatan” dan “suatu sebab yang halal”, bertentangan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3). Berdasarkan UUPK melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a. Berdasarkan POJK melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (3) huruf a. Akibat hukum penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada
119
perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam adalah merupakan akad batil. Berdasarkan KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah batal demi hukum.
BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP KEKUATAN MENGIKAT KLAUSUL EKSONERASI DALAM PELUNASAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NOMOR 967/PDT.G/2012/PA.MDN
A. Posisi Kasus 1. Peristiwa Konkrit a. Identitas Penggugat dan Tergugat Kasus ini terjadi antara SD (Ibu kandung dari OSH yaitu Nasabah ), usia 60 Tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, alamat di Padang Lawas Utara (Penggugat) melawan: 1) PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padang Sidimpuan (Tergugat I) 2) PT. Bank Sumut, Sumatera Utara (Tergugat II) 3) PT. Asuransi Y Syariah, Jakarta (Tergugat III) 4) YD (istri dari nasabah debitur), selaku pribadi sekaligus mewakili anak kandung yang masih dibawah umur, yaitu EAH, 17 tahun, tidak bekerja,
120
AUH, 15 tahun, tidak bekerja, RMH, 12 tahun, Kesemua anak 1 sampai 3 beralamat dan tinggal bersama dengan Turut Tergugat I di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat I). 5) FDAH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat II) 6) EMH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat III) b. Kronologi Kasus 119 Kasus ini berawal dari nasabah debitur dan Tergugat I mengikatkan diri dalam akad pembiayaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 pada tanggal 26 April 2011. Akad musyarakah bertujuan untuk penambahan modal kerja dengan jumlah pembiayaan Rp. 700.000.000,. (tujuh ratus juta rupiah) dalam jangka waktu 12 bulan atau satu tahun. Perjanjian pembiayaan tersebut disertai dengan jaminan berupa Sertifikat Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunung Tua tanggal 19 Desember 2008 dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ Pasar Gunung Tua tanggal 7 Juni 2007. Nasabah telah memenuhi pembayaran asuransi jiwa dan administrasi kepada bank sebesar Rp. 13.609.000,. (tiga belas juta rupiah). Tiga bulan berjalannya pembiayaan, tepatnya tanggal 13 Juli 2011 Nasabah
meninggal dunia. Meninggalnya nasabah debitur menyebabkan
terhentinya pembayaran cicilan pembiayaan. Kemudian pihak bank mengirim surat peringatan pada tanggal 3 Februari 2012, 27 Maret 2012, dan tanggal 22 Mei 2012 kepada ahli waris nasabah debitur yaitu istri dan anak-anaknya agar membayar pelunasan hutang pembiayaan musyarakah sebesar Rp. 752.000.000,. (tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah). Jika tidak dilunasi maka bank akan
121
mengajukan lelang terhadap barang jaminan kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Ahli waris tidak bersedia melakukan pelunasan pembiayaan karena pembiayaan musyarakah tersebut telah dilindungi dengan asuransi pembiayaan dan premi asuransi tersebut telah dibayar oleh almarhum nasabah debitur sebelum beliau meninggal dunia. Biaya-biaya yang dibebankan oleh pihak bank kepada nasabah debitur dalam permohonan pembiayaan musyarakah antara lain administrasi senilai Rp. 8.750.000,-, Notaris Rp. 1.500.000,-, Asuransi Jiwa Rp. 2.170.000,-, Asuransi Kebakaran Rp. 1.189.408,-, total yang telah dibayar nasabah debitur sebesar Rp. 13.609.408,-. Biaya pinjaman diatas Rp. 500.000.000,- wajib disertai dengan surat Pemeriksaan Kesehatan dari Nasabah. Laporan atau hasil Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check up) meliputi Laporan Pemeriksaan Kesehatan, Electrocardiogram, Analisa darah dan urine lengkap serta Thorax Photo. Akan tetapi hingga sampai nasabah debitur meninggal dunia, bank tidak pernah memberitahukan mengenai surat Pemeriksaan Kesehatan tersebut. Nasabah debitur dan ahli warisnya juga tidak mengetahui mengenai adanya syarat Pemeriksaan Kesehatan. Bank menyampaikan pemberitahuan mengenai Surat Pemeriksaan Kesehatan setelah nasabah debitur meninggal dunia. Nasabah debitur pada saat mengajukan pembiayaan semasa hidupnya, tidak pernah diberitahukan mengenai syarat kelengkapan administrasi berupa surat Pemeriksaan Kesehatan. Kelengkapan syarat administrasi yang belum lengkap
122
menyebabkan pihak asuransi tidak bersedia mengeluarkan klaim asuransi karena perusahaan asuransi belum melakukan penilaian dan mempelajari persyaratan administrasi berupa Laporan Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur. Pihak bank dan nasabah debitur beserta istri (ahli waris) pada saat persetujuan akad pembiayaan musyarakah juga disertai dengan Surat Pernyataan yang
merupakan
bagian
dari
perjanjian
pembiayaan
musyarakah
yang
ditandatangani oleh ahli waris yaitu istri nasabah debitur pada tanggal 26 April 2011 yang menyatakan: “Apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.” Ibu kandung dari Nasabah (Penggugat) mengajukan gugatannya atas dasar pembebasan hutang/penundaan lelang ke Pengadilan Agama Medan pada tanggal 14 Juni 2012. Pengadilan Agama memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dan membebaskan Penggugat dan ahli waris (Turut Tergugat I, II, dan III dari pelunasan pembiayaan musyarakah. Tidak puas dengan putusan PA, PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan mengajukan Banding di Pengadilan Tinggi
Agama
Medan.
Majelis
Hakim
dalam
124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn, memutuskan menyatakan
putusannya
Nomor
gugatan penggugat tidak
dapat diterima (Niet Onvanklijke Verklaard). Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 3.841.000,00.,
123
(tiga juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) dan pada tingkat Banding sebesar Rp. 150.000,00., (seratus lima puluh ribu rupiah). Kemudian salah satu Terbanding (SD/Penggugat) mengajukan Kasasi. Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan Kasasi dengan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi. 2. Peristiwa Hukum Berdasarkan posisi kasus tersebut di atas telah terjadi suatu peristiwa hukum yaitu perjanjian pembiayaan musyarakah antara Bank Syariah dengan nasabah. Pembiayaan musyarakah yang direalisasikan bank kepada nasabah bertujuan untuk kerjasama dimana bank memberikan modal kepada nasabah untuk menjalankan dan meningkatkan usaha nasabah. Kerjasama tersebut dilakukan dengan prinsip syariah melalui adanya pembagian keuntungan dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Pembiayaan musyarakah disertai juga dengan perlindungan asuransi jiwa yang bertujuan untuk melindungi dana pembiayaan apabila terjadi sesuatu pada nasabah. Apabila Nasabah meninggal dunia, jika pembiayaan sudah dilindungi dengan asuransi maka pelunasan pembiayaan dapat terlindungi oleh asuransi. Kasus yang terjadi pada perkara Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, bahwa perjanjian pembiayaan musyarakah yang terjadi antara bank dan nasabah telah terjadi suatu peristiwa hukum. Setelah tiga bulan masa pembiayaan, Nasabah meninggal dunia. Pada saat meninggal nasabah debitur meninggal dunia pembayaran pelunasan pembiayaan belum selesai. Bank belum melengkapi syarat
124
asuransi jiwa sebagai perlindungan terhadap pelunasan pembiayaan musyarakah apabila nasabah debitur meninggal dunia. Asuransi jiwa belum memenuhi syarat administrasi berupa kelengkapan Laporan Pemeriksaan Kesehatan Nasabah. Perjanjian pembiayaan musyarakah disertai dengan Surat Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pokok, menyatakan “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.” Berdasarkan Surat Pernyataan tesebut, bank melepaskan tanggung jawabnya terhadap terjadinya penutupan asuransi yang merupakan kewajiban dari bank dan mengalihkannya kepada ahli waris nasabah debitur. Tiga bulan pertama semasa hidup, nasabah debitur selalu rutin membayar angsuran setiap bulannya. Setelah nasabah debitur meninggal dunia, maka siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan pembiayaan tersebut serta bagaimana kekuatan mengikat klausul eksonerasi yang terdapat dalam Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah. 3. Pertimbangan Dan Putusan Hakim Surat keterangan meninggal dunia telah membuktikan bahwa almarhum nasabah debitur telah meninggal dunia pada tanggal 13 Juli 2011, sehingga berkaitan dengan Penggugat sebagai ahli waris. Surat Nota Debet dan jadwal angsuran pembiayaan musyarakah yang dikeluarkan oleh bank tanggal 26 Juli 2011 membuktikan almarhum merupakan mitra dan nasabah yang tetap
125
melakukan pembiayaan sesuai yang ditetapkan serta tercatat sebagai nasabah yang baik dan jujur. Majelis Hakim PA menilai bahwa bukti P.3 yaitu Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011 bertanggal 26 April 2011 adalah bukti autentik bahwa semasa hidupnya almarhum telah membuat akad pembiayaan musyarakah dengan PT. Bank Sumut yang diwakili oleh Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan sebesar Rp. 700.000.000,(tujuh ratus juta rupiah), uang tersebut telah diterima oleh almarhum dengan terlebih dahulu memenuhi dan melengkapi biaya administrasi, asuransi, notaris dan syarat-syarat administrasi lainnya sebesar Rp. 13.609.408,- (tiga belas juta enam ratus sembilan ribu empat ratus delapan rupiah) dan telah diterima dan disetujui oleh pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan. Bukti P.4 berupa tanda terima asli Surat Barang Agunan adalah membuktikan pada masa hidupnya almarhum telah menyerahkan dan diterima oleh PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan, diketahui dan disetujui Pimpinan Cabang bertanggal 26 April 2011 oleh karena bukti P.4 ini ada juga pada Tergugat I dan Tergugat II akan dilakukan lelang melalui Tergugat IV setelah almarhum meninggal dunia adalah perbuatan yang dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena seluruh uang jaminan asuransi dan administrasi telah dipenuhi dan dibayar lunas oleh almarhum kepada Tergugat I dan Tergugat II diteruskan dan telah diterima Tergugat III.
126
Surat Nota Debet dan Jadwal Angsuran Pembiayaan Musyarakah pada bukti
P.5
yang
dikeluarkan
oleh
PT.
Bank
Sumut
Cabang
Syariah
Padangsidimpuan bertanggal 26 April 2011 adalah membuktikan pada masa hidupnya almarhum adalah merupakan mitra dan nasabah yang tetap melakukan pembayaran sesuai dengan yang ditetapkan serta tercatat sebagai nasabah yang baik dan jujur. Surat Peringatan pertama, kedua dan terakhir dalam bukti P.6 yang dikeluarkan oleh Pimpinan Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan atas perihal tentang keterlambatan pembayaran angsuran sampai pada peringatan dilakukannya lelang terhadap barang agunan, membuktikan bahwa Tergugat I dan Tergugat II ingin melepaskan tanggung jawab atas kelalaiannya untuk menanggung resiko karena telah melakukan pencairan pinjaman padahal Tergugat III belum menyetujui adanya penutupan asuransi. Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh almarhum semasa hidupnya bersama istri (bukti T.I-II Nomor2), merupakan bukti yang dibuat dan diterbitkan oleh Tergugat I dan Tergugat II Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti tersebut tidak berkekuatan hukum, dan dinyatakan bukti tesebut tidak memenuhi syarat formil dan materil untuk suatu bukti dan harus ditolak. Surat pemberitahuan pemeriksaan kesehatan Nomor 706/KCSY-02APPL/2011 tanggal 26 April 2011 perihal Pemeriksaan Kesehatan (bukti T.I-II Nomor 3) untuk mengajukan asuransi ternyata dilakukan oleh pihak Tergugat I dan Tergugat II dan diterima oleh ahli waris setelah almarhum nasabah debitur
127
meninggal dunia pada tanggal 13 Juli 2011. Sedangkan jawaban Tergugat III mengenai persyaratan medical check up telah disampaikan oleh Tergugat III kepada Tergugat I melalui surat Nomor 0116/ULS-MDN/V/2011 tertanggal 11 Mei 2011 hal aquo menurut Majelis Hakim telah bertentangan dengan asas pelaksanaan administrasi dalam ekonomi syariah karena telah berbuat rekayasa atas kondisi yang sebenarnya, untuk tindakan yang seperti itu telah melanggar asas kehati-hatian (ikhthiyathi). Premi yang dikembalikan oleh Tergugat III melalui setoran kepada PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan, ternyata belum diterima oleh ahli waris. Tergugat I dan II, jelas menunjukkan kelalaian dan kesalahan prosedur administrasi dalam hal telah mencairkan pembiayaan musyarakah tanpa adanya persetujuan penutupan asuransi jiwa dari Tergugat III. Tergugat I dan Tergugat II mengetahui bahwa pencairan pembiayaan harus terlebih dahulu dilengkapi dengan syarat administrai Pemeriksaan Kesehatan. Majelis Hakim menemukan fakta-fakta dari gugatan Penggugat, jawaban Tergugat I,II, III dan IV dan Turut Tergugat I, II dan III, bukti-bukti surat, keterangan saksi ahli, serta informasi hukum selama persidangan, sebagai berikut: a. Bahwa benar almarhum (nasabah) telah meninggal dunia karena sakit di Gunung Tua pada tanggal 13 Juli 2011 yang menyebabkan terhentinya cicilan Pembiayaan Musyarakah kepada Tergugat I dan II. b. Bahwa benar Almarhhum telah membayar persyaratan pembiayaan terdiri dari administrasi Rp. 8.750.000,-, Notaris Rp. 1.500.000,-, Asuransi Jiwa Rp.
128
2.170.000,-, Asuransi Kebakaran Rp. 1.189.408,-, total biaya Rp. 13.609.408,(tiga belas juta enam ratus Sembilan empat ratus delapan rupiah). c. Bahwa Tergugat I telah melakukan Fait Accompli kepada Turut Tergugat I, II dan III yaitu suatu kondisi dan kejadian memaksa yang tidak dapat dihindari, melainkan harus dihadapi. d. Bahwa empat hari setelah meninggalnya almarhum, ternyata Tergugat I mendatangi Turut Tergugat I (istri almarhum) agar menandatangani Surat Pernyataan ahli waris untuk bertanggung jawab terhadap Akad Pembiayaan Musyarakah almarhum, telah melanggar asas prinsip syariah dan nash syar’i e. Bahwa Penggugat dan Turut Tergugat I, II dan III adalah pihak yang berhak dan berkepentingan dalam perkara ini (Persona Standi In Judicio). f. Bahwa Tergugat I dan II telah lalai dan nyata melanggar asas akad dalam Pembiayaan Musyarakah sesuai dengan maksud Pasal 21 huruf a, b, c, d dan g jis Pasal 26 huruf a, b,c,d Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 tentang KHES, Pasal 2 dan 3, Pasal 25, 26 dan 35 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dan menerapkan Taqabul bil Hukmi yaitu mengucurkan atau mencairkan Pembiayaan Musyarakah dengan persyaratan menyusul kemudian. g. Bahwa tindakan Tergugat I, II dan III yang menyatakan ahli waris harus melanjutkan dan melunasi pembiayaan secara in concreto telah bertentangan dengan asas ekonomi syariah dan nash syar’i berikut:
129
1. Firman Allah QS. Al Maaidah ayat (1) “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.” 2. Al Hadits Riwayat Abu Daud yang disahkan oleh Al Hakim dari Abu Hurairah Rasulullah Saw berkata “Allah Swt berfirman, Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain jika salah satu telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” 3. Hadits Riwayat Tirmidzi dari Amar bin Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 4. Kaedah Fiqhiyah “pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” h. Bahwa Tergugat III salah dan lalai menerapkan administrasi asuransi yang dilakukannya yaitu melanggar asas dan pirnsip asuransi syariah antara lain berdasarkan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/III/2002 tentang asuransi syariah. i. Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Penggugat dan Turut Tergugat I, II dan III ternyata telah terbukti di persidangan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Drs. H.Abdul Halim Ibrahim, MH, dengan anggota Drs. H. Haspan Pulungan, SH dan Dra. Nurhidayah Hasibuan, SH.MH, pada Selasa tanggal 18 Juni 2013 M memutuskan bahwa mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan
130
Penggugat serta Turut Tergugat I. II. III selaku ahli waris dari almarhum dibebaskan dari beban hutang Pembiayaan Musyarakah dari Tergugat I dan II sebesar Rp. 752.000.000,- (tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah), menyatakan Surat Pernyataan yang dibuat oleh almarhum dengan diketahui oleh istrinya (Turut Tergugat I) tanggal 26 April batal demi hukum dan atau tidak mempunyai kekuatan hukum, menyatakan SHM Nomor 457/Pasar Gunung Tua tanggal 19 Desember 2008 an. OSH dan SHM Nomor 395/Pasar Gunung Tua tanggal 07 Juni 2007 an. OSH, harus dikembalikan kepada yang mustahak/Penggugat, menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk menyerahkan kepada Penggugat, dua buah Sertifikat Hak Milik tersebut kepada Penggugat/ahli waris almarhum sebagaimana yang tercantum dalam amar angka empat aquo, menolak gugatan Penggugat untuk selainnya, menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini sebesar Rp. 3.841.000,- (tiga juta delapan ratus empat puluh satu rupiah). Putusan tingkat banding dalam perkara Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn, berdasarkan musyawarah Majelis Hakim yang dipimpin oleh Drs.H.Soufyan M. Saleh, SH, MM dengan anggota H. Aridi, SH, MSi dan H. Yusuf Buchori, SH, MSi memutuskan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvanklijke Verklaard), menghukum Penggugat/Terbanding membayar biaya perkara pada tingkat pertama Rp. 3.841.000,000,. (tiga juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) dan pada tingkat Banding Rp. 150.000,00., (seratus lima puluh ribu rupiah). Putusan tingkat kasasi dalam putusan MA Nomor 715 K/Ag/2014
oleh
Majelis Hakim Prof. Abdul Manan dengan anggota H. Habiburrahman, M.Hum dan
131
Purwosusilo, MH memutuskan menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
B. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Perkara PA Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn Perjanjian pembiayaan musyarakah yang terjadi antara bank dan nasabah debitur disertai dengan perlindungan asuransi jiwa. Adanya asuransi jiwa dalam pembiayaan tersebut maka terjadi hubungan antara tiga pihak yaitu bank, nasabah debitur dan asuransi. Bank sebagai pihak yang menghubungkan antara nasabah debitur dan asuransi. Bank melakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian dengan asuransi dalam memberikan perlindungan pembiayaan dari resiko yang mungkin terjadi apabila nasabah debitur meninggal dunia. Asuransi atau pertanggungan yang merupakan terjemahan dari insurance atau verzekering atau assurantie, timbul karena adanya kebutuhan manusia yang dihadapkan kepada sesuatu tidak pasti yang mungkin menguntungkan, juga sebaliknya. 221 Usaha dan upaya manusia untuk menghindari, mengurangi dan melimpahkan resiko kepada pihak-pihak lain merupakan embrio perasuransian. 222
221
Man Suparaman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, (Bandung: Alumni, 1997), h. 18. 222 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 3.
132
Pengertian Asuransi menurut syariah atau asuransi Islam secara umum tidak jauh berbeda dengan asuransi konvensional. Keduanya mempunyai persamaan yaitu berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima klaim (tertanggung). Secara umum asuransi syariah diistilahkan dengan takaful
223
yang prinsip operasionalnya didasarkan pada
syariat Islam dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah. 224 Pengertian asuransi berdasarkan KUHD, dapat dilihat dalam Pasal 246 KUHD yang berbunyi: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penaggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.” Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, mengatur bahwa Asuransi adalah:
223
Istilah takaful dalam bahasa Arab berasal dari kata kafala yakfulu-takafala-yatakafalutakaful yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al Qu’an, dengan demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti dalam Al Qur’an surah Thaha ayat (40)”….hal adullukum ‘ala man yakfuluhu…”, artinya bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?...”. Lihat dalam Gemala Dewi, AspekAspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Cetakan Keempat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 136. 224 H.A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 120. Lembaga asuransi belum dikenal pada masa Islam, akan tetapi terdapat aktivitas Rasulullah dan sahabat mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Sistem tanggung jawab bersama yang disebut dengan sistem aqilah berkembang pada masyarakat Arab sebelum lahirnya Rasulullah. Kemudian sistem tersebut dipraktekkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sistem aqilah adalah sistem menghimpun anggota untuk menyumbang dalam suatu tabungan bersama yang dikenal dengan “kunz”. Tabungan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada keluarga korban yang terbunuh secara tidak sengaja dan untuk membebaskan hamba sahaya. Lihat Rahmat Husein, Asuransi Takaful Selayang Pandag dalam Wawasan Islam dan Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 1997), h. 234. Selanjutnya lihat dalam Gemala Dewi, Op.Cit, h. 137.
133
“Perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a.memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b.memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa Asuransi Syariah adalah: Kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara: a.memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b.memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. 225
225
Ketentuan Umum Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSNMUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
134
Asuransi merupakan upaya untuk meminimalisir resiko finansial yang tidak menentu yang terdiri dari lima unsur. Pertama perjanjian antara dua pihak sehingga terjadinya hubungan keperdataan (muamalah). Kedua pembayaran premi oleh tertanggung kepada penanggung. Ketiga adanya ganti rugi dari penanggung kepada tertanggung jika terjadi klaim atau masa asuransi selesai. Keempat, adanya suatu peristiwa yang tidak tertentu yang adanya suatu resiko yang memungkinkan datang atau tidak ada resiko. Kelima, pihak-pihak yang membuat perjanjian, yakni penanggung dan tertanggung. 226 Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai asuransi maka dapat disimpulkan bahwa asuransi merupakan suatu perjanjian antara perusahaan asuransi sebagai penanggung dan pemegang polis (tertanggung), dimana perusahaan asuransi berkewajiban menanggung resiko terhadap terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti, dengan tertanggung membayar kewajiban berupa premi. 227 Kasus yang terjadi antara bank, asuransi dan ahli waris nasabah debitur dalam pembiayaan musyarakah disertai dengan adanya perlindungan asuransi jiwa. 226
Yadi Janwari, Asuransi Syariah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), h. 2 Pengertian antara asuransi syariah dan asuransi konvensional terdapat perbedaan dalam hal penanggungan resiko. Pada asuransi syariah megandung arti bahwa saling menanggung resiko di antara peserta asuransi, sehingga diantara satu dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masingmasing. Asuransi dengan prinsip syariah berkaitan dengan unsur saling menanggung resiko di antara para peserta asuransi, peserta yang satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Saling tanggung menanggung resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut melalui dana tabarru’. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial (Akad tabarru’ diatur dalam Ketentuan Umum angka 4 Ketentuan Umum Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah). Perusahaan asuransi hanya sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Berbeda halnya dengan asuransi konvensional terjadinya suatu peristiwa saling menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi sebagai tertanggung. Lihat dalam Gemala Dewi, Op.Cit, h. 137. 227
135
Perjanjian pembiayaan musyarakah antara bank dan nasabah debitur, bahwa pembiayaan yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur dilindungi dengan asuransi jiwa. Usaha asuransi jiwa adalah: 228 “Usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” Nasabah
debitur
meninggal
dunia
setelah
berjalannya
tiga
bulan
pembiayaan, akan tetapi asuransi tidak bersedia mengeluarkan klaim asuransi karena bank belum memenuhi syarat kelengkapan administrasi berupa Surat Pemeriksaan Kesehatan nasabah debitur. Pelaksanaan dalam asuransi jiwa diperlukan adanya surat Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur untuk mengetahui kondisi kesehatan nasabah debitur. Perusahaan asuransi dalam jawabanya menyatakan telah menyampaikan surat pemberitahuan kepada bank mengenai kelengkapan berkas administrasi permohonan asuransi pada tanggal 11 Mei 2011 melalui surat Nomor 0116/ULSMDN/V/2011. Surat Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur diperlukan karena biaya pinjaman diatas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) wajib disertai dengan surat Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur. Laporan atau hasil Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check up) meliputi Laporan Pemeriksaan Kesehatan, Electrocardiogram, Analisa darah dan urine lengkap serta Thorax Photo.
228
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Perasuransian.
136
Berdasarkan analisis pertimbangan Majelis Hakim bahwa adannya kelalaian dalam menerapkan administrasi asuransi. Bank tidak menyampaikan kepada nasabah debitur mengenai syarat Surat Pemeriksaan Kesehatan dan mencairkan pembiayaan musyarakah sebelum melengkapi administrasi asuransi serta persetujuan dari perusahaan asuransi. Surat pemberitahuan mengenai pemeriksaan kesehatan yang disampaikan oleh bank kepada nasabah debitur Nomor 706/KCSy-02-APPL/2011 tanggal 26 April 2011 ternyata dalam fakta dipersidangan surat tersebut tidak pernah diberikan kepada nasabah debitur. Surat pemberitahuan mengenai pemeriksaan kesehatan disampaikan bank kepada ahli waris setelah nasabah debitur meninggal dunia pada tanggal 13 Juli 2011. 229 PT. Bank Sumut Syariah dalam pemberian pembiayaan diikuti dengan adanya perlindungan asuransi. Asuransi meliputi asuransi jiwa, asuransi agunan dan asuransi kredit pembiayaan. Akan tetapi dalam hal ini tidak semua pembiayaan harus disertai dengan asuransi, hanya pembiayaan dengan nilai atau jumlah tertentu saja yang harus dilindungi dengan asuransi. Penutupan asuransi tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: 230 1. Automatic Cover
229
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak Abdul Halim Ibrahim selaku Hakim Ketua dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, pada hari Rabu tanggal 25 Maret 2015 pukul 14.00 di kantor Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, Jln. Sisingamangaraja Km 8,8 Nomor 198 Medan. 230 Wawancara dengan “AS” Pegawai bagian pembiayaan pada Bank Sumut Kantor Wilayah Sumatera Utara Divisi Syariah pada hari Rabu tanggal 15 April Pukul 10.00 Wib di Kantor Wilayah Bank Sumut Sumatera Utara.
137
Automatic Cover yaitu penutupan asuransi terjadi secara otomatis, seketika pada saat premi asuransi telah disetor oleh bank ke rekening perusahaan asuransi. Kemudian bank dapat mencairkan pembiayaan kepada nasabah debitur tanpa menunggu keluarnya surat persetujuan dari asuransi. Hal ini berkaitan dengan besarnya jumlah pembiayaan, usia nasabah debitur, jangka waktu pinjaman dan jenis asuransi. Misalnya untuk asuransi agunan dan kendaraan. 2. Non Automatic Cover Non Automatic Cover yaitu persetujuan penutupan asuransi tidak terjadi secara otomatis, akan tetapi menunggu adanya persetujuan dari perusahaan asuransi mengenai dapat atau tidaknya permohonan asuransi diterima. Hal ini berkaitan dengan adanya syarat-syarat administrasi seperti hasil pemeriksaan kesehatan pada asuransi jiwa, jumlah pembiayaan di atas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Setelah adanya pembayaran premi dan terpenuhinya syarat-syarat administrasi dan diterima oleh perusahaan asuransi, maka telah terjadi persetujuan oleh perusahaan asuransi dan bank boleh melakukan pencairan pembiayaan kepada nasabah debitur. Pembiayaan musyarakah yang diajukan oleh nasabah debitur sebesar Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah) masuk dalam kategori non automatic cover. Oleh karena itu untuk kelengkapan berkas administrasi penutupan asuransi yang diperlukan selain pembayaran premi juga harus disertai surat Pemeriksaan Kesehatan. Pencairan pembiayaan dilakukan setelah adanya konfirmasi dari perusahaan asuransi bahwa permohonan asuransi sudah dapat diterima atau tidak. Perusahaan asuransi
138
melakukan penilaian berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan tersebut. Apabila dari hasil pemeriksaan kesehatan nasabah debitur sehat dan layak maka proses dilanjutkan. Apabila hasil pemeriksaan kesehatan kurang baik, maka dilakukan penambahan pada dana tabarru’ 231, atau permohonan asuransi ditolak. Bank dalam hal ini melakukan kelalaian dalam kelengkapan administrasi asuransi berupa Surat Pemeriksaan Kesehatan dan mencairkan dana pembiayaan sebelum
adanya
persetujuan
mengenai
perlindungan
asuransi.
Seharusnya
berdasarkan prosedur pencairan dana kepada nasabah debitur, realisasi pembiayaan dilakukan setelah semua syarat terpenuhi baik itu syarat administrasi dan asuransi. Berdasarkan peraturan Standard Operational Perusahaan PT. Bank Sumut Syariah bahwa dalam persetujuan pembiayaan harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 232 1. Permohonan pembiayaan yang diajukan oleh nasabah kepada bank, kemudian permohonan masuk ke kantor cabang untuk diperiksa lebih lanjut. 2. Pemeriksaan berkas atau yang disebut dengan Bank Indonesia Check In, yaitu pemeriksaan administrasi berkaitan dengan legalitas identitas pribadi, legalitas
231
Tabarru’ (dana kebajikan) adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru’ atau disebut dengan dana sosial seluruh peserta asuransi yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila ada peserta yang mengalami musibah. Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Antara peserta asuransi yang satu dengan yang lainnya saling menolong jika terjadi peristiwa yang diasuransikn. 232 Wawancara dengan “AS” Pegawai bagian pembiayaan pada Bank Sumut Kantor Wilayah Medan Divisi Syariah pada hari Rabu tanggal 15 April Pukul 10.00 Wib di Kantor Wilayah Bank Sumut Sumatera Utara.
139
usaha, agunan. Apabila dari hasil pemeriksaan berkas memenuhi kelayakan untuk menerima pembiayaan maka dilanjutkan pada proses selanjutnya, jika tidak memenuhi syarat administrasi maka permohonan di tolak. 3. Pemeriksaan Lapangan (Check On The Spot) Setelah syarat administrasi terpenuhi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan lapangan meliputi pemeriksaan langsung di lapangan mengenai kondisi usaha yang dijalankan oleh Nasabah yang berkaitan dengan permohonan pembiayaan. Apabila dari hasil pemeriksaan lapangan layak untuk menerima pembiayaan maka dilanjutkan pada tahap berikutnya. 4. Analisa Lanjutan Bank melakukan analisa lanjutan dari hasil pemeriksaan lapangan, melakukan penilaian, pertimbangan pada tim pembiayaan. Penilaian yang telah dilakukan pada administrasi dan lapangan akan diputuskan apakah terjadi persetujuan pembiayaan atau tidak. 5. Persetujuan Berdasarkan hasil analisa lanjutan diperoleh apakah pembiayaan disetujui atau tidak. Apabila terjadinya persetujuan pembiayaan oleh bank, maka bank melalukan penawaran kepada nasabah mengenai kondisi dan persyaratan dalam pencairan pembiayaan yang tertuang dalam akad pembiayaan. Setelah adanya kesepakatan antara bank dan nasabah selanjutnya dilakukan penandatangan akad dihadapan Notaris yang ditunjuk oleh bank. Perjanjian merupakan perjanjian
140
standard yang lebih dahulu telah disiapkan oleh bank. Setelah penandatanganan akad maka selanjutnya realisasi pembiayaan. 6. Realisasi Setelah adanya kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan dan semua kondisi serta persyaratan yang telah ditetapkan terpenuhi, maka tahap selanjutnya adalah realisasi atau pencairan dana oleh bank kepada nasabah. 7. Supervisi/Monitoring Pencairan dana kepada Nasabah telah dilakukan, maka bank melakukan monitoring atau pembinaan terhadap pembiayaan yang telah direalisasikan sampai pada pelunasan kembali. Bank memonitor perkembangan usaha Nasabah dan pelunasan angsuran tiap bulannya. Melalui pembinaan ini, jika terjadi suatu indikasi ketidaklancaran pada usaha dan angsuran, maka dapat diidentifikasi lebih awal untuk mengatasi dampak yang akan muncul. Berdasarkan pada proses pembiayaan tersebut di atas bahwa sebelum melakukan pencairan dana kepada nasabah debitur, terlebih dahulu melalui proses atau tahapan yang harus dipenuhi. Tahapan-tahapan tersebut termasuk mengenai adanya persetujuan dari perusahaan asuransi dalam pemberian perlindungan asuransi bagi nasabah debitur. Bank dalam hal ini kurang berhati-hati dalam pelaksanaan administrasi asuransi. Bank dalam menjalankan operasional kegiatannya didasarkan pada prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan: “perbankan syariah dalam melakukan
141
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.” Berdasarkan pasal tersebut di atas bahwa bank dalam melakukan kegiatan usahanya harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian. Melakukan tertib administrasi dalam setiap aktifitas perbankan dan sesuai dengan prosedur aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan dalam melakukan pencairan pembiayaan dan kelengkapan administrasi. Kelalaian dan kekurang hati-hatian dari bank dalam kelengkapan administrasi asuransi menyebabkan perusahaan asuransi tidak bersedia mengeluarkan klaim asuransi ketika nasabah debitur meninggal dunia. Apabila ditinjau berdasarkan kasus yang terjadi antara bank dan ahli waris nasabah mengenai pelunasan pembiayaan setelah nasabah meninggal dunia, maka dilihat dari adanya hubungan antara bank dan asuransi serta hubungan bank dengan nasabah debitur. Hubungan antara bank dan asuransi adalah terjadinya suatu perjanjian bahwa apabila nasabah meninggal dunia pada masa proses pembiayaan maka pelunasan pembiayaan akan ditanggung oleh perusahaan asuransi. Hubungan yang terjadi antara bank dan nasabah debitur jika terjadi suatu peristiwa terhadap jiwa nasabah debitur sebelum selesainya pembiayaan, maka pelunasan pembiayaan akan dilanjutkan oleh perusahaan asuransi. Akan tetapi setelah nasabah debitur meninggal dunia, pihak asuransi tidak bersedia mencairkan klaim asuransi dikarenakan belum belum dilengkapinya surat pemeriksaan kesehatan dari nasabah debitur.
142
Berdasarkan kasus yang terjadi antara bank, asuransi dan nasabah debitur, bahwa nasabah debitur telah membayar premi asuransi melalui bank dan telah diterima oleh perusahaan asuransi. Setelah diterimanya premi oleh perusahaan asuransi maka telah terjadi penutupan asuransi, hak-hak dan kewajiban telah berlaku dan mengikat secara timbal balik dari penanggung (perusahaan asuransi) kepada tertanggung (nasabah debitur) sejak dibayarnya premi walaupun polis asuransinya belum keluar. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 257 KUHD yang
menyatakan bahwa: “perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani.” Peraturan mengenai hal ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UndangUndang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa “pertanggungan dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para pihak terhitung sejak premi atau kontribusi diterima oleh Agen 233 Asuransi.” Premi yang telah dibayar oleh nasabah debitur merupakan suatu bukti pendahuluan (voorbewijst). Asuransi merupakan suatu perjanjian konsensual, yaitu suatu perjanjian yang telah terbentuk dengan adanya kata sepakat antara para
233
Lihat Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransin. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
143
pihak. 234 Asuransi memiliki dua sifat yang diatur dalam Pasal 257 dan 258 KUHD, yaitu: 235 1. 2.
Asuransi merupakan perjanjian berdasarkan konsensus, dapat terjadi setelah ada kata sepakat, artinya merupakan perjanjian tanpa bentuk. Asuransi merupakan sifat kepercayaan yang istimewa, saling percaya mempercayai diantara para pihak adalah yang menentukan perjanjian itu sendiri.
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil, yaitu dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 257 KUHD. Dengan adanya pasal 257 KUHD, perjanjian asuransi terjadi pada saat diadakannya kesepakatan antara kedua belah pihak. Kewajiban penanggung telah berlaku sejak saat itu bahkan sebelum polis ditandatangani. Dengan demikian persetujuan asuransi merupakan persetujuan yang konsensuil, bukan persetujuan yang formil. 236 Ditutupnya perjanjian menerbitkan kewajiban bagi penanggung untuk menandatangani polis asuransi dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkannya kepada tertanggung. Hal ini diatur dalam Pasal 255 KUHD yang menyatakan “suatu asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis.” Pembuktian mengenai telah terjadinya penutupan asuransi tersebut dibuktikan dengan surat, kwitansi atau bukti lainnya bahwa premi telah disetorkan kepada 234
Man Suparman, Op.Cit, h. 18. Sri Rejeki Hartono, Op.Cit, h. 85. 236 Persetujuan dikenal dalam tiga macam bentuk, yakni 1.Persetujuan formil yaitu persetujuan sah apabila telah dibuat dalam suatu akta, misalnya persetujuan akta hipotik. 2. Persetujuan riil yaitu persetujuan harus diikuti dengan suatu penyerahan misalnya pinjam meminjam. 3. Persetujuan konsensuil yaitu persetujuan terjadi dengan adanya kata sepakat dari para pihak misalnya perjanjian asuransi. Lihat dalam Mashudi dan Chidir Ali, Hukum Asuransi, (Bandung: Mandar Maju, 1998), h. 66. 235
144
perusahaan asuransi. Sesuai dengan aturan dalam Pasal 258 KUHD menyatakan: “untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada sesuatu permulaan pembuktian dengan tulisan.” Nasabah debitur telah melakukan pembayaran premi sebelum ia meninggal dunia, dan telah diterima oleh perusahaan asuransi. Berdasarkan ketentuan dalam KUHD dan Undang-Undang Perasuransian tersebut di atas maka seharusnya telah terjadi penutupan asuransi. Premi yang telah dibayar oleh nasabah debitur (tertanggung) kepada perusahaan asuransi maka perusahaan asuransi berkewajiban untuk melakukan pembayaran klaim asuransi setelah nasabah debitur meninggal dunia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan: “perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut.” Nasabah debitur dalam kasus ini telah melakukan pembayaran premi dalam permohonan pembiayaan musyarakah antara lain administrasi senilai Rp. 8.750.000,(delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), Notaris Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus rupiah), Asuransi Jiwa Rp. 2.170.000,- (dua juta seratus tujuh puluh ribu rupiah), Asuransi Kebakaran Rp. 1.189.408,- (satu juta seratus delapan puluh sembilan ribu empat ratus delapan rupiah, total yang telah dibayar nasabah sebesar
145
Rp.13.609.408,- (tiga belas juta enam ratus sembilan ribu empat ratus delapan rupiah). Berdasarkan ketentuan Pasal 257 KUHD, Pasal 258 KUHD, Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, telah terjadi penutupan asuransi dan perusahaan asuransi berkewajiban melakukan pembayaran klaim asuransi kepada nasabah debitur yang telah meninggal dunia. Perkara ini apabila ditinjau berdasarkan Pasal 208 KHES mengatur bahwa “kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerjasama mudharabah yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan kepada pemilik modal.” Selanjutnya dalam Pasal 209 KHES mengatur bahwa “Akad mudharabah berakhir dengan sendirinya jika pemilik modal atau mudharib meninggal dunia, atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.” Pasal 210 ayat 2 KHES mengatur bahwa “kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, dibebankan kepada pemilik modal.” Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, pembiayaan musyarakah antara bank dan nasabah debitur dengan sistem bagi hasil (mudharabah) apabila nasabah debitur meninggal dunia, maka kerugian yang timbul disebabkan oleh adanya yang meninggal dunia, maka akad berakhir dengan sendirinya dan kerugian dibebankan kepada pemilik modal. Oleh karena itu pentingnya pembiayaan tersebut dilindungi dengan asuransi. Sehingga jika terjadi sesuatu terhadap jiwa salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah dilindungi dengan asuransi.
146
C. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Kekuatan Mengikat Klausul Eksonerasi Dalam Pelunasan Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Putusan PA Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Hakim memiliki peranan yang penting dalam membatasi dan menilai isi perjanjian apabila terjadi sengketa antara para pihak dalam perjanjian. Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum bagi para pencari keadilan. Sehingga dalam menetapkan hukum didasarkan pada keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah An Nisa’ ayat 8: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan memerintahkan kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” Hakim dalam menyelesaikan perkara melalui proses pengadilan, tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, akan tetapi Hakim juga berfungsi bahkan berkewajiban mencari dan menemukan hukum objektif atau materil yang akan diterapkan atau toepassing memutus perkara yang disengketakan para pihak. 237 Landasan filosofis kekuatan mengikat perjanjian dalam hukum Islam bersumber langsung dari Al Quran dan Hadits. Perjanjian dalam Hukum Islam
237
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 820.
147
memiliki makna yang berbeda sebagaimana dikenal dalam hukum Barat. Berdasarkan prinsip syariah, perjanjian adalah suci dan melaksanakan perjanjian adalah tugas suci bagi para pihak dalam perjanjian. Perintah Allah dalam surah Al Maa-idah ayat (1) mewajibkan orang-orang beriman untuk mematuhi perjanjian yang mereka buat. Perintah Al Qur’an ini menjadi dasar utama kesucian terhadap perjanjian. Perintah Al Qur’an untuk mematuhi perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengandung makna bahwa selama manusia beriman, maka wajib melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Sebuah perintah untuk mengatur dalam pembuatan perjanjian yang harus memperhatikan kepentingan para pihak dalam perjanjian, keadilan, moral, keseimbangan harus ada antara kebebasan untuk membuat dan melaksanakan perjanjian. Tidak mengambil keuntungan dari orang lain dengan membuat perjanjian yang tidak adil atau dengan membuat perjanjian tersebut merugikan salah satu pihak. 238 Perjanjian dalam Islam tidak hanya mengikat antara para pihak dalam perjanjian tersebut. Perjanjian tidak hanya mengikat dalam hubungan sesama manusia akan tetapi juga ikatan kepada Allah Swt, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Fath ayat (10), artinya: “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barang siapa melanggar janji, maka sesungguhnya ia melanggar atas (janji) sendiri, dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberikan pahala yang besar.” 238
Ayat Al Qur’an tersebut disebut sebagai Bab Perjanjian (Al Uqud), dimulai dengan seruan untuk memenuhi semua kewajiban merupakan suatu kesakralan perjanjian.
148
Kemudian pada ayat (18) Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Allah telah meridhai terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” Berdasarkan ayat-ayat di atas Shaikh Ismail al Jazaeri menyimpulkan bahwa ayat tersebut dapat berlaku untuk semua jenis perjanjian yang dibuat para pihak kecuali dalam hal yang dilarang oleh Al Quran. Kedudukan khusus perjanjian ini disimpulkan dari hukum Islam Al Aqd Shari’at al muta’aqidin yang menyatakan, “perjanjian adalah syariah atau hukum yang suci para pihak.” Hal ini menjelaskan bahwa hubungan kontraktual dipandang lebih ketat oleh syariah. Semua kewajiban dalam perjanjian harus dilaksanakan secara khusus, kecuali jika bertentangan syariah atau ketertiban umum (public policy) yang sesuai dengan syariah. 239 Hukum Perjanjian Islam berkaitan dengan ketentuan prinsip utama bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Para pihak dalam suatu transaksi keperdataan hanya memiliki kebebasan untuk menentukan isi dan objek perjanjian dengan tetap tunduk pada batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam syariah. Perjanjian yang bertentangan dengan batasan prinsip syariah yaitu bebas dari riba, maisir, gharar, haram dan zalim menjadi tidak sah. Ahli hukum 239
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal Hukum/13_Ridwan Khairandy.pdf, Kutty, Faisal, “The Sharia Factor in International Commercial Arbitration, “The Loyola of Los Angeles and Comparative Law”, Vol. 28, 2006. Selanjutnya lihat dalam Ridwan Khairandy, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum Nomor Edisi Khusus Vol. 18 Oktober 2011: 36-55, h. 50. Akses Terakhir, Jum’at 10 April 2015 pukul 20.30.
149
Islam telah menyeimbangkan hak-hak ini dengan menginterpretasikan dan menentukan elemen-elemen yang diperlukan dalam perjanjian. Jika perjanjian tidak mengandung elemen yang diatur oleh hukum Islam pengadilan tidak akan menegakkan perjanjian tersebut. 240 Suatu perikatan dapat timbul karena adanya perjanjian yang mengikat antara dua pihak atau lebih dengan cara yang dibenarkan syara’. Kekuatan mengikat suatu perjanjian, maka berkaitan dengan terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian. Perjanjian yang sah, maka perjanjian tersebut memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Syarat sahnya perjanjian dalam Hukum Perjanjian Islam harus memenuhi rukun dan syarat perjanjian. Rukun akad yaitu adanya subjek akad (al ‘aqidain), objek akad (mahallul ‘aqd), ijab qabul (sighat al ‘aqd) dan tujuan akad. Syarat akad yang meliputi syarat shahih (sesuai dengan isi akad), syarat fasid (tidak sesuai dengan salah satu kriteria syarat shahih), syarat batil (tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak).
241
Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tidak
terpenuhi
maka akan
menimbulkan akibat hukum. Akad tidak sah adalah akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat akad. Akad fasad atau dapat dibatalkan adalah akad yang memenuhi rukun dan syarat akad, akan tetapi terdapat segi atau hal yang dapat merusak akad. Akad batal atau batal demi hukum adalah akad yang tidak memenuhi rukun dan syarat-
240
Abdurrakhman Raden Aji Haqqi, The Philosophy of Islamic Law of Transactions CERT Publication Sdn. Bhd, (Kuala Lumpur: 2009), h. 61. Selanjutnya lihat dalam Ibid. 241 Lihat dalam Rahmat Syafe’i, Op,Cit, h. 64. Lihat juga dalam Abdul Ghofur Anshori, Loc.Cit, h. 21.
150
syarat. 242 Akad yang batal demi hukum, maka akad tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Akad fasad atau dapat dibatalkan, akad tersebut sah dan mengikat para pihak sampai dibatalkan oleh pengadilan. Penerapan klausul eksonerasi dalam suatu perjanjian dapat dibatasi dengan mengkaji isi yang terdapat dalam klausul tersebut. Melalui pengkajian tersebut akan diketahui klausul eksonerasi tersebut patut atau tidak. Penerapan klausul eksonerasi yang tidak sepatutnya akan berakibat klausul tersebut batal atau dapat dibatalkan dan berakibat pada kekuatan mengikat klausul tersebut. Klausul eksonerasi dapat dikenakan pada beberapa hal tentang kerugian, yaitu: 243 1. Eksonerasi untuk kesengajaan sendiri pada umumnya dianggap melawan kesusilaan (Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata), meskipun tidak ada keputusan umum dari Hoge Raad. 2. Eksonerasi untuk kesalahan besar, tidak jelas maka harus diteliti dari kejadian ke lain kejadian apakah telah melampaui batas-batas yang diizinkan. 3. Eksonerasi untuk kesalahan ringan yang dibuat sendiri umumnya diterima, namun menurut Houwing harus diteliti maksud dari pihak-pihak yang bersangkutan dan keadaan-keadaan. 4. Eksonerasi untuk kesalahan atau kesengajaan dari orang-orang bawahan dengan tegas diperbolehkan oleh Hoge Raad. Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya terhadap penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah yang menyatakan “apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit 242
Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan bahwa akad batal dan fasid termasuk dalam golongan akad tidak sah. Sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara akad fasad dan batal. Akad batal adalah akad yang tidak memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan. Akad fasad akad adalah akad yang memenuhi rukun dan syarat, akan tetapi dilarang oleh syara’ misalnya menjual baranng yang tidak diketahui keberadaannya. Lihat Rahmat Syafei, Op.Cit, h. 66. Pasal 26 KHES. 243 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik Dan Kepatutan, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1986), h. 40. Selanjutnya lihat dalam Marcel Seran, Op.Cit, h. 167-168.
151
polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga selesai.”, menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan Fait Accompli kepada Turut Tergugat I, II dan III yaitu suatu kondisi dan kejadian memaksa yang tidak dapat dihindari, melainkan harus dihadapi. Klausul dalam Surat Pernyataan tersebut bertentangan dengan asas hukum perjanjian Islam, yaitu asas ridho (rela), adanya unsur tadlis (penipuan), gharar (ketidakjelasan). Isi klausul tersebut mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris, sehingga dapat merugikan ahli waris yang harus menanggung sesuatu yang bukan menjadi tanggung jawabnya. 244 Majelis
Hakim
Pengadilan
Agama
dalam
perkara
Nomor
967/Pdt.G/2012/PA.Mdn memutuskan bahwa Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan musyarakah yang dibuat secara sepihak oleh bank dan ditandatangani oleh almarhum nasabah debitur dan istrinya (Turut Tergugat I) pada tanggal 26 April 2011 adalah batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Klausul tersebut bertentangan dengan prinsip syariah, yaitu kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim.245 Klausul dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan prinsip syariah yaitu zalim. Artinya penerapan klausul tersebut, 244
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak Abdul Halim Ibrahim selaku Hakim Ketua dalam perkara Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn pada hari Rabu tanggal 25 Maret 2015 pukul 14.00 di kantor Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, Jln. Sisingamangaraja Km 8,8 Nomor 198. 245 Lihat dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lihat juga peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013 tentang Unit Usaha Syariah.
152
bank melepaskan tanggung jawab pelunasan pembiayaan musyarakah kepada ahli waris apabila nasabah debitur meninggal dunia merupakan suatu tindakan yang zalim, yaitu suatu perbuatan yang menimbulkan ketidakadilan bagi ahli waris. Klausul tersebut juga bertentangan dengan firman Allah dalam Al Qur’an surah Al Maidah 1 yang artinya “hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.”, Al Qur’an surah As Syuro ayat (15), menyatakan “bagi kami tanggung jawab atas perbuatan kami dan bagi kamu tanggung atas perbuatan kamu. Tidak perlu ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepadaNyalah kita kembali.” Isi klausul dalam Surat Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan Hadits Nabi Riwayat Abu Daud yang disahkan oleh Al Hakim dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw berkata “Allah Swt berfirman Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain, jika salah satu berkhianat, Aku keluar dari mereka.” Klausul tersebut juga bertentangan dengan Hadits Nabi Riwayat Tirmidzi dari Amar bin Auf, yaitu “Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” Surat Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa “Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Kegiatan bermuamalah antara para pihak dalam
153
perjanjian boleh dilakukan, hal ini juga berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak, akan tetapi apabila dalam isi perjanjian tersebut terdapat sesuatu yang dilarang oleh syariat maka hal tersebut tidak diperbolehkan, sebab dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Klausul tersebut juga bertentangan dengan asas-asas Hukum Perjanjian Islam yang diatur dalam Pasal 21 KHES, yaitu Pasal 21 huruf f asas taswiyah atau kesetaraan yang menyatakan bahwa “para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang”. Isi klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal 21 huruf g asas transparansi, bahwa “setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban
para pihak, sehingga tidak
menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan”. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 21 huruf j asas itikad baik, yaitu “akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya”. Klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal 21 huruf k asas suatu sebab yang halal, bahwa akad yang dilakukan “tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.” Pencantuman klausul tersebut juga bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila”:
154
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka penerapan klausul dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan firman Allah dalam Al Qur’an, hadits, asas-asas dalam Hukum Perjanjian Islam dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dalam hal ini klausul tersebut batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Oleh karena itu ahli waris tidak berkewajiban dalam pelunasan pembiayaan setelah nasabah debitur meninggal dunia. Majelis Hakim telah melakukan penerapan hukum dengan memutuskan bahwa Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Kasus penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian juga terdapat pada beberapa perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri, yaitu salah satunya pada kasus karcis parkir dan tiket pesawat. Putusan Majelis Hakim mengenai Penerapan klausul eksonerasi pada perjanjian tersebut diuraikan berdasarkan posisi kasus, kronologi kasus, argumentasi hukum, pertimbangan hakim dan putusan pengadilan sebagai berikut:
155
1. Klausul Eksonerasi Pada Karcis Parkir Kendaraan antara Ir. Vovo Budiman v.
PT.
Dinamika
Mitra
Pratama,
dalam
perkara
Nomor
300/Pdt/2010/PN.TNG. Kasus ini mengenai permohonan pembatalan klausul eksonerasi pada tiket karcis kendaraan yang dimintakan oleh salah seorang pemilik kendaraan mobil yang hilang saat diparkirkan di areal parkir dalam perkara antara Ir. Vovo Budiman v. PT. Dinamika Mitra Pratama, dalam perkara Nomor 300/Pdt/2010/PN.TNG. a. Posisi Kasus Sengketa ini menyangkut Hukum Perdata antara Ir. Vovo Budiman (Penggugat) seorang karyawan swasta, beralamat di jalan BSD Blok I-2/28 SEK 1-7 Kota Tangerang, memarkirkan mobilnya dengan merk Toyota Kijang Innova di areal parkir PT. Dinamika Mitra Pratama (Tergugat) pada tanggal 8 September 2008. Kemudian ketika ia hendak mengendarai mobilnya di areal parkir, mobil tersebut hilang sedangkan kunci dan STNK masih berada padanya. Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 30 Juni Tahun 2010. Putusan pada tingkat pertama, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Toga Napitupulu, SH, Abidin Hasibuan, SH dan Zainal Riyadi Sunindyo F, SH. Pada tingkat pertama Majelis Hakim memenangkan Penggugat dan mengatakan tergugat lalai atau kurang hati-hati dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan putusan tingkat pertama, Tergugat tidak puas dan mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Banten yang diketuai oleh Hakim Tewa Madon, SH
156
dan Hakim Anggota Prof. Dr. J. Nababan, SH.M.Hum serta Syamsul Ali, SH, MH. Majelis Hakim Banding memutuskan dalam putusan Nomor 28/Pdt/2011/PT.BTN pada tanggal 09 Juni 2011 bahwa menerima permohonan Banding, namun menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang. Putusan Banding yang ditolak tidak membuat Tergugat mundur untuk mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Pada peradilan tingkat ketiga ini dalam putusan MA Nomor 2902 K/Pdt/2011 dengan Hakim Ketua Prof. Dr. Rehngena Purba, SH serta Hakim Anggota Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH dan Soltoni Mohdally, SH melalui putusan tertanggal 06 September 2012 menolak permohonan Kasasi dan menghukum untuk membayar biaya perkara. b. Kronologi Kasus Perkara ini diawali ketika Penggugat memarkirkan kendaraan bermotor miliknya jenis mobil Toyota Kijang Innova keluaran Tahun 2005 warna silver metalik dengan nomor polisi B-8636 CW dengan nomor rangka MHFXW41675000631 dan nomor mesin ITR-6071272 serta Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) Nomor 0148897/MJ/2005. Pada hari senin tanggal 08 September pukul 16.16.21 Wib, Penggugat dengan mengendarai mobil tiba di areal parkir Ruko Bumi Serpong Damai sektor VII yang dikelola oleh PT. Dinamika Mitra Pratama yang merupakan penyedia jasa perparkiran dengan nama “Best Parking” perusahaan yang didirikan berdasarkan Hukum Republik Indonesia beralamat di Grahaa Mas Fatmawati Blok A.38 Jalan Fatmawati Kav. 71 Cipete Utara, Jakarta. Keesokan harinya, selasa tanggal 09 September 2008 pukul 07.00 Wib karyawan dari
157
Penggugat mendapati mobil hilang tidak lagi berada di areal parkir pada saat semula diparkirkan.Kemudian atas kehilangan tersebut dibuat Surat Tanda Bukti Lapor (STBL) pada hari selasa 04 September 2008 di posko Tergugat. Penggugat juga melakukan laporan ke Polisi perihal kehilangan kendaraan bermotor tersebut pada tanggal 09 September 2008. Penggugat meminta pertanggungjawaban pengelola parkir atas hilangnya kendaraan tersebut. Akan tetapi tidak ada tanggapan baik dari pihak pengelola atau Tergugat dan cenderung mengelak dari tanggung jawab. Penggugat pernah ditawarkan ganti rugi senilai Rp. 20.000.000,dan kemudian Rp.25.000.000,-, keduanya ditolak oleh Penggugat karena tidak sesuai dengan jumlah kerugian yang diderita oleh Penggugat. Kemudian Penggugat mengajukan somasi sebanyak tiga kali yaitu somasi pertama tanggal 02 Februari 2009 dengan surat Nomor 012/MSP/II/09, somasi kedua tanggal 09 Februari 2009 dengan surat Nomor 015/MSP/II/09 dan somasi ketiga tanggal 10 Februari 2009 dengan surat Nomor 023/HO/DIR/II/09 dan belum mendapat tanggapan dari Tergugat dan menolak hadir. Tergugat melakukan intimidasi kepada Penggugat agar mencabut kuasa. Oleh karena itu penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 30 Juni 2010. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah lalai sehingga menciderai hak Penggugat untuk mendapatkan keamanan dan jasa dari Tergugat dengan hilangnya mobilnya tersebut. Berhak mendapatkan ganti rugi baik materil senilai Rp. 261.000.000,maupun immateril senilai Rp. 150.000.000,- serta meletakkan jaminan, uang paksa dan biaya perkara.
158
c. Argumentasi Hukum Para Pihak Tergugat menyatakan bahwa selalu beritikad baik untuk menyelesaikan permasalahan hilangnya mobil Penggugat di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat dengan tawaran memberikan ganti rugi senilai Rp. 25.000.000,-.. Hal tersebut dilihat dari adanya pertemuan yang dilakukan antara keduanya mengenai ganti kerugian, akan tetapi dari pertemuan tersebut belum menemui kata sepakat atau titik temu. Mengenai tidak adanya tanggapan mengenai somasi kedua yang diajukan dikarenakan Tergugat pindah alamat. Penggugat dalam gugatannya tidak secara terang menjelaskan terkait hilangnya mobil tersebut dilakukan oleh karyawan atau bawahan Tergugat, baik pada pintu masuk, petugas dalam areal parkir maupun petugas yang berjaga di pintu keluar. Penggugat dalam gugatannya terdapat dualisme penerapan hukum yaitu KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Nilai ganti rugi yang diminta oleh Penggugat dirasa cukup besar dan berat, penggantian kerugian sebatas resiko yang ditanggung tidak keseluruhan ditanggung oleh tergugat. Tergugat mengemukakan klausul yang telah dipajang di pintu masuk dan keluar parkir yang berbunyi “Asuransi kendaraan dan barang-barang di dalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri.” jelas menunjukkan bahwa hilangnya kendaraan bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir, akan tetapi tanggung jawab pemilik kendaraan.
159
d. Pertimbangan dan Putusan Hakim Majelis Hakim tingkat pertama, menilai bahwa hilangnya mobil Penggugat di areal parkir yang dikelola oleh Tergugat akibat dari kelalaian, kekurang hati-hatian yang dilakukan oleh Tergugat. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi Penggugat sebab kendaraan tersebut juga untuk menjalankan kegiatan usaha Penggugat. Tergugat sebagai pelaku usaha telah berbuat tidak sesuai kewajiban hukumnya memberi jaminan keamanan dan keselamatan mobil milik Penggugat yang menyebabkan hilangnya mobil Penggugat. Surat bukti yang diajukan oleh Tergugat mengenai tiket bermasalah, bukan tiket pada hari dan tanggal hilangnya mobil Penggugat sehingga mobil ditolak. Tergugat berkewajiban memberikan ganti kerugian akibat lalainya sesuai dengan Pasal 7 huruf f dan Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Peraturan yang dipasang di pintu masuk dan pintu keluar tempat parkir yang dikelola oleh Tergugat menyebutkan karcis tanda parkir merupakan bukti pemilik kendaraan yang menyewa lahan parkir di area parkir yang disediakan. Apabila karcis hilang, maka pemilik kendaraan wajib memperlihatkan STNK atau surat keterangan resmi lainnya dan denda Rp 10.000., (sepeda motor) dan Rp 20.000., (mobil). Berdasarkan fakta dipersidangan, tidak ada satu keterangan atau alat bukti yang menunjukkan keluarnya mobil Penggugat sesuai dengan prosedur. Pasal 1366 KUHPerdata menyebutkan seseorang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi
juga
untuk
kerugian
yang
disebabkan
karena
kelalaian/kekurang hati-hatiannya. Klausul yang dipajangkan di pintu masuk dan
160
keluar area parkir yang berbunyi “Asuransi kendaraan dan barang-barang di dalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri.” Demikian pula dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Perparkiran pada Pasal 9 ayat 2 terdapat ketentuan yang berbunyi “Petugas parkir dibebaskan dari tuntutan dan tanggung jawab kerusakan dan kehilangan kendaraan serta barang-barang dari dalam kendaraan tersebut.” Perjanjian tersebut menurut Majelis Hakim kesepakatannya bercacat hukum dan telah dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UndangUndang
Perlindungan Konsumen. Perda Pemerintah Tangerang bertentangan
dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perbuatan Tergugat telah bertentangan dengan Pasal 4 huruf a UUPK bahwa pelaku usaha harus memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen. Pasal 4 huruf (h) yang menyatakan bahwa konsumen berhak mendapat kompensasi, ganti rugi akibat dari perbuatan pelaku usaha. Ganti rugi Rp 140.000.000,- (seratus empat puluh juta) sudah sesuai dengan harga pasaran mobil bekas. Harga tersebut wajar dan patut dibebankan kepada Tergugat. Majelis Hakim tingkat Banding dalam pertimbangannya menyatakan sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Tingkat Pertama yang menyatakan bahwa Penggugat telah berhasil membuktikan sebagian dalil gugatannya, sehingga gugatan Penggugat dikabulkan untuk sebagian. Tidak terdapat hal-hal baru dan hanya merupakan pengulangan dari yang telah diajukan pada persidangan
161
sebelumnya. Dengan demikian hal mana tidak perlu dipertimbangkan lagi. Pertimbangan Hakim tingkat pertama telah tepat dan benar menurut hukum, karena itu pertimbangan Hakim tingkat pertama diambil alih Pengadilan Tinggi dan dijadikan sebagai pertimbangan sendiri dalam memutuskan perkara. Pembanding membayar biaya perkara. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan judex factie telah tepat dapat dalam menerapkan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas PN Tangerang memutuskan mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, menyatakan Tergugat telah terbukti lalai atau kurang hati-hati sehingga menciderai hak Pengggugat untuk mendapatkan keamanan dalam menggunakan jasa Tergugat, menyatakan Penggugat berhak mendapatkan ganti rugi atas hilangnya mobil Penggugat di area parkir yang dikelola oleh Tergugat, menghukum Tergugat untuk mengganti kerugian kepada Penggugat sebesar Rp. 140.000.000,- (seratus empat puluh juta), menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini ditaksir sebesar Rp. 416.000,- (empat ratus enam belas ribu), menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya. Majelis Hakim tingkat Banding dalam putusannya menerima permohonan Banding, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang, menghukum Pembanding/Tergugat membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang alam tingkat Banding Rp. 150.000,- (seratus limapuluh ribu rupiah).
162
Majelis Hakim MA dalam putusannya sependapat dengan putusan judex factie dengan menyatakan bahwa putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum atau Undang-Undang, maka dalam putusannya permohonan Kasasi PT. Dinamika Mitra Pratama tersebut harus ditolak dan membayar biaya perkara. e. Analisis Kasus Berdasarkan kasus tersebut di atas Majelis Hakim telah melakukan penerapan hukum dengan menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa klausul baku yang mengandung eksonerasi, yang telah dipajang di pintu masuk dan keluar parkir yang berbunyi “Asuransi kendaraan dan barang-barang di dalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri.”, merupakan suatu kesepakatan yang cacat hukum dan bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang adanya pengalihan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen. Klausul tersebut timbul dari ketidakbebasan pihak yang menerima klausul tersebut. Kesepakatan tersebut berat sebelah dan diterima dalam keadaan terpaksa. Pemilik mobil tidak mempunyai pilihan lain, selain memilih parkir di areal parkir tersebut. Ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Perparkiran yang menyatakan “Petugas parkir dibebaskan dari tuntutan dan tanggung jawab kerusakan dan kehilangan kendaraan
163
serta barang-barang dari dalam kendaraan tersebut.” dijadikan dasar oleh pengelola parkir untuk membebaskan tanggung jawab dari hilangnya kendaraan. Peraturan tersebut telah bertentangan dengan peraturan yang diatur dalam UndangUndang Perlindungan Konsumen. Majelis Hakim dalam kasus ini baik di tingkat pertama hingga kasasi menolak isi dari klausul eksonerasi sebab kesepakatan dalam klausul tersebut cacat hukum dan bertentangan dengan undang-undang sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. 2. Kasus Klausul eksonerasi Pada Tiket Pesawat Air Asia antara Hastjarjo Boedi
Wibowo v. PT. Indonesia Air Asia dalam Perkara Nomor
305/Pdt.G/2009/PN.TNG. Kasus yang lain juga pernah diputuskan hal yang sama oleh Pengadilan Negeri Tangerang yakni permohonan pembatalan klausul eksonerasi pada tiket pesawat Air Asia yang dimintakan oleh salah seorang calon penumpang pesawat karena adanya pembatalan penerbangan oleh Maskapai Penerbangan Air Asia. a. Posisi Kasus Sengketa ini menyangkut Hukum Perdata mengenai penerapan klausul eksonerasi pada tiket pesawat Air Asia. Pihak yang berperkara adalah Hastjarjo Boedi Wibowo (Penggugat), bertempat tinggal di Jalan Nila Nomor 3 B, RT 04, RW 01, Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan v PT. Indonesia Air Asia (Tergugat), berkedudukan di office Management
Building Lantai 2
Soekarno-Hatta, Tangerang. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang.
164
Pada tingkat pertama Majelis Hakim yang di pimpin oleh Perdana Ginting,SH dengan anggota Ismail, SH dan I Gede Mayun, SH memenangkan Penggugat dan menyatakan tindakan PT. Indonesia Air Asia yang membatalkan jadwal penerbangan telah melakukan perbuatan melawan hukum melalui putusan Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.TNG. Tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Tangerang, Tergugat mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Pengadilan Tinggi Banten dalam putusannya menerima permohonan Banding, namun menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang dengan putusan Nomor 54/Pdt/2010/PT.BTN dan menghukum PT. Indonesia Air Asia membayar biaya perkara dalam tingkat Banding. Putusan di tingkat Banding tidak menyurut PT. Air Asia untuk melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Namun dalam peradilan tingkat ketiga ini Majelis Hakim Agung dalam putusan Nomor 1391 K/Pdt/2011 melalui rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa tanggal 20 November 2012 oleh Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H.Sofyan Sitompul, S.H., M.H. dan Dr. H. Habiburrahman, M.Hum. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 22 November 2012 oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri oleh Dr. H. Sofyan Sitompul, S.H., M.H. dan H. Mahdi Soroinda Nasution, S.H., M.H., menolak permohonan Kasasi PT. Indonesia Air Asia dan menghukum PT. Air Asia membayar biaya perkara.
165
b. Kronologi Kasus Perkara ini diawali ketika Hastjarjo Boedi Wibowo (Penggugat) adalah seorang Dosen Desain Komunikasi Visual di Binus University Jakarta dan sering menjadi dosen tamu/pembicara di Jakarta. Berkaitan dengan profesi Penggugat sebagai seorang Dosen, Penggugat diundang untuk menjadi pembicara tunggal Workshop pada tanggal 12 Desember 2008 Pukul 09.00 WIB. Untuk menghadiri acara tersebut maka pada tanggal 5 Desember 2008 Penggugat membeli
dua tiket
pesawat Air Asia secara online melalui website yaitu untuk penerbangan dari Jakarta ke Yogyakarta tanggal 12 Desember 2008 Pukul 06.00. Kemudian Penggugat mendapat pesan singkat melalui hand phone nya dari Air Asia yang isinya: “AirAsia: Penerbangan Anda QZ7340 CGK-JOG 12DES08 pada pukul 06.00 WIB dipindahkan ke QZ7344 pada pukul 15.05 WIB. Untuk informasi hubungi ke 021-50505088, Maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Termikasih. Pengirim:AirAsia”. Saat itu Penggugat harus menghadiri rapat persiapan UAS ganjil 2008/2009 Jurusan Desain Komunikasi Visual yang bertempat di BINUS University, Jakarta pada Pukul 15.00 – 17.00 WIB. Setelah itu Penggugat juga harus menghadiri acara Member Recruitment and Gahering Night 2008, Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) pada pukul 18.00 WIB yang bertempat di 9clouds Menara Jasmsostek Lt. 9, Jl. Gatot Subroto Nomor 38 Jakarta.
166
Akibat dari pembatalan tersebut Penggugat tidak dapat menggunakan tiket pesawat yang telah dibelinya. Penggugat harus mengeluarkan biaya lagi untuk membeli tiket pesawat yang baru. Penggugat mengalami kerugian immaterial sebab Penggugat mengalami kepanikan dan gangguan konsentrasi karena keterlambatan pesawat serta terganggunya reputasi Penggugat sebagai dosen dan pembicara pada seminar yang akan dihadirinya. Bahwa dalam tiket pesawat Air Asia ada pencantuman klausul baku pengalihan tanggung jawab yang isinya menyatakan: 1) Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang dan bagasinya sesuai dengan tanggal dan waktu penerbangan yang telah dipesan oleh penumpang tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya; 2) Apabila terjadi keadaan di luar kemampuan yang menyebabkan terjadinya penundaan ataupun pembatalan penerbangan Indonesia Air Asia akan berusaha memindahkan penumpang ke penerbangan lainnya dan biaya-biaya tambahan yang timbul menjadi tanggung jawab penumpang sepenuhnya; 3) Setiap tarif, jadwal dan rute penerbangan adalah yang berlaku pada saat diumumkan Indonesia Air Asia berhak untuk tarif dan jadwal penerbangan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Pembatalan penerbangan yang disampaikan oleh PT. Air Asia, maka Penggugat menghubungi customer service Air Asia. Maskapai penerbangan menawarkan pengembalian uang pembelian tiket. Akan tetapi pengembalian uang baru dapat diterima setelah 39 hari sejak pemberitahuan pembatalan penerbangan. Berdasarkan fakta di persidangan terungkap hingga saat itu uang tiket pesawat belum dikebalikan.
167
c. Argumentasi Hukum Para Pihak PT. Indonesia Air Asia dalam alasan-alasan permohonan kasasinya menyatakan PN Tangerang telah melanggar Pasal 184 HIR dan Pasal 5 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, salah menerapkan hukum sehubungan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, salah menerapkan hukum sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah menerapkan hukum pembuktian tentang ganti rugi materil dan immaterial. PT. Air Asia dalam dasar penundaan penerbangan pesawat QZ7340 CKG-JOG 12 Desember 2008 pada pukul 06.00 WIB menjadi penerbangan QZ7344 tanggal 12 Desember 2008 pada pukul 15.05 WIB adalah karena keadaan memaksa (overmacht/force majeure) yaitu adanya kerusakan pada pesawat (vide T.6a dan bukti T.6b). Sehubungan dengan penundaan penerbangan tersebut, pada tanggal 11 Desember 2008, PT. Indonesia Air Asia dengan itikad baik telah memberitahukan mengenai penundaan penerbangan tersebut dan juga alasan dilakukannya
penundaan
penerbangan
kepada
penumpang
(Penggugat)
sebagaimana dibuktikan dengan pesan singkat dari PT. Air Asia.
Surat
Keterangan tertanggal 30 November 2009 (bukti T.6a) dan Maintenance Report I (bukti T.6b) yang membuktikan bahwa satu-satunya alasan dilakukannya penundaan waktu penerbangan oleh PT. Air Asia adalah semata-mata karena adanya kerusakan pada pesawat dengan registrasi PK-AWP, dimana kerusakan ini terjadi di luar kendali dan keinginan dari PT. Indonesia Air Asia, hal ini dilakukan demi keselamatan dan keamanan para penumpang pesawat termasuk Penggugat.
168
d. Pertimbangan dan Putusan Hakim Pada tingkat pertama Majelis Hakim PN Tangerang menilai bahwa tindakan PT. Air Asia terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena membatalkan jadwal penerbangan. Pelanggaran terhadap Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut.” Majelis Hakim juga menyatakan bahwa klausul baku pengalihan tanggung jawab pada tiket pesawat batal demi hukum dan klausul tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak.
Bahwa
pencantuman klausula baku tersebut bertentangan dengan Pasal 18 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen: “pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian apabila”: a. menyatakan pengalihan tangggungjawab pelaku usaha. Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsekuensi
terhadap
pencantuman
klausula baku
mengenai
pengalihan
tanggungjawab seperti tersebut di atas adalah sebagai berikut: “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga menyatakan bahwa terjadinya pembatalan jadwal penerbangan tersebut mengakibatkan kerugian materil dan immaterial bagi penggugat. Majelis Hakim menilai bukti
169
yang diberikan Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Penggugat dari Jakarta ke Yogyakarta. Air Asia dinilai tidak dapat membuktikan pesawat sedang dalam perbaikan. Majelis Hakim Tingkat Banding dalam pertimbangan hukumnya mengikuti pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri Tangerang. Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukumnya menyatakan tidak ada ketentuan hukum yang melarang judex facti/Pengadilan Tinggi mengambilalih pertimbangan putusan PN yang dinilai sudah benar dan tepat dipertimbangkan sehingga dijadikan pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi sendiri. Alasanalasan yang diajukan oleh PT. Indonesia Air Asia tidak dapat dibenarkan. Judex Factie (Putusan PN Tangerang dan PT Banten) tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat pernghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat Kasasi. Karena pemeriksaan pada tingkat Kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. MA dalam pertimbangan
170
hukumnya juga menyatakan Penggugat berhasil membuktikan perbuatan Tergugat yang tidak jadi mengangkut Penggugat menuju Yogyakarta menggunakan pesawat Nomor penerbangan QZ7340 dan tidak ada keadaan memaksa (force majeure) yang terjadi pada saat itu merupakan perbuatan melawan hukum. Putusan Judex Facti dalam perkara tidak bertentangan dengan hukum/Undang-Undang. PN Tangerang dalam putusan Nomor 305/Pdt.G/2009/PN.TNG pada tanggal 4 Februari 2010 memutuskan, mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian, menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, menyatakan klausula baku pengalihan tanggung jawab pada tiket pesawat batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah), menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi immaterial kepada Penggugat sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.316.000,- (tiga ratus enam belas ribu Rupiah), menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dalam putusannya Nomor 54/Pdt./2010/PT.BTN memutuskan menerima permohonan Banding dan menguatkan putusan PN Tangerang. Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1391 K/Pdt/2011 dalam
putusannya menguatkan putusan judex factie (Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten). Penerapan klausul eksonerasi dalam tiket pesawat terbang, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan bahwa klausul tersebut bertentangan
171
dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf a, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian apabila”: a. menyatakan pengalihan tangggung jawab pelaku usaha”, sehingga klausul tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang. Oleh karena itu klausul tersebut batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Berdasarkan beberapa kasus di atas mengenai penerapan klausul eksonerasi dalam perjanjian, bahwa klausul eksonerasi tidak dibenarkan dan dilarang dalam perjanjian. Klausul eksonerasi dilarang tidak hanya dalam perjanjian Islam saja akan tetapi juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan putusan Hakim Pengadilan Agama dalam perkara ekonomi syariah maupun putusan Hakim Pengadilan Negeri berdasarkan kasus di atas, klausul eksonerasi tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak.
172
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap permasalahan di dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan klausul eksonerasi dalam pandangan Hukum Perjanjian Islam bertentangan dengan asas-asas dalam perjanjian yaitu asas keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, ridha (kerelaan). Oleh karena itu klausul eksonerasi bertentangan dengan prinsip syariah yang mensyaratkan bahwa suatu perjanjian tidak boleh mengandung unsur zalim karena dapat menimbulkan ketidakadilan bagi para pihak. Klausul eksonerasi tidak sesuai dengan ketentuan Al Qur’an surah As Syuro ayat (15) yang melarang mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain, serta Hadits Nabi Riwayat Tirmidzi dari ‘Amar bin ‘Auf “kaum Muslimin terikat dengan syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” Ketentuan dalam kaidah fiqh juga menyatakan “Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan”. Suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan kemudharatan dan tidak saling memudharatkan. 2. Akibat hukum dari penerapan klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah berdasarkan Hukum Perjanjian Islam klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 21 KHES yang mengatur mengenai 172
173
asas-asas dalam akad, yaitu asas transparansi (Pasal 21 huruf g), asas keseimbangan (taswiyah) (Pasal 21 huruf f ), asas itikad baik (Pasal 21 huruf j ) dan asas suatu sebab yang halal (Pasal 21 huruf k ). Klausul tersebut juga bertentangan dengan prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi konsumen. Bertentangan dengan tujuan akad yang merupakan salah satu dari rukun akad, sehingga Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya Hukum Perjanjian Islam maka Surat Pernyataan tersebut merupakan akad batil atau akad yang batal demi hukum. Ketentuan berdasarkan KUHPerdata, klausul eksonerasi dalam Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 bahwa perjanjian tidak hanya mengikat ha-hal yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian tetapi juga diharuskan sesuai dengan asas kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Klausul tersebut juga bertentangan dengan syarat sah perjanjian “suatu sebab yang halal”, isi dari Surat Pernyataan tersebut mengalihkan tanggung jawab kepada konsumen (ahli waris) merupakan hal yang dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) huruf a. Melanggar syarat suatu sebab yang halal (syarat objektif) maka Surat Pernyataan tersebut batal demi hukum. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, isi klausul tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu larangan pelaku usaha melakukan pengalihan tanggung
174
jawab. Akibat hukum yang timbul bagi para pihak terhadap Surat Pernyataan tersebut adalah batal demi hukum. Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013, penerapan klausul eksonerasi bertentangan dengan Pasal 22 ayat (3) huruf a dan berakibat batal demi hukum. 3. Berdasarkan analisis terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, bank telah melakukan kelalaian dalam melengkapi syarat kelengkapan administrasi asuransi yaitu surat Pemeriksaan Kesehatan sehingga perusahaan asuransi belum memberikan persetujuan asuransi. Oleh karena nasabah debitur telah melakukan pelunasan pembayaran premi asuransi maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 257 dan Pasal 258 KUHD serta Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perjanjian asuransi telah mengikat sejak dipenuhinya pembayaran premi oleh tertanggung. Maka perusahaan asuransi berkewajiban memberikan klaim asuransi dan melakukan pelunasan terhadap pembiayaan musyarakah setelah nasabah debitur meninggal dunia. Terkait dengan kondisi di atas maka Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah batal demi hukum karena bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits, serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak dalam perjanjian tersebut. Maka pelunasan pembiayaan setelah nasabah debitur meninggal dunia bukan menjadi tanggung jawab ahli waris dari nasabah debitur.
175
B. Saran 1. Agar bank dalam membuat perjanjian kredit (pembiayaan) tidak mencantumkan klausul eksonerasi dalam perjanjian tersebut yang telah dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bertentangan dengan prinsip syariah dan asas dalam Hukum Perjanjian Islam. Bagi bank yang menjalankan operasional berdasarkan syariah, agar menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam setiap aktifitas perbankan. Perjanjian-perjanjian yang diterapkan dalam akad pembiayaan didasarkan pada prinsip-prinsip Hukum Perjanjian Islam sesuai dengan ketentuan dalam syariah berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Agar Bank dalam membentuk perjanjian baku dengan nasabah menerapkan perjanjian yang adil dan seimbang antara hak dan kewajiban bank dan nasabah debitur, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. 2. Agar Pemerintah melakukan peningkatan terhadap pengawasan terhadap perjanjian baku yang mencantumkan klausul eksonerasi sebelum digunakan kepada konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausul eksonerasi pada perjanjian, sesuai dengan tugas dan wewenang dari BPSK. Agar Dewan Pengawas Syariah (DPS) berkomitmen untuk melakukan pengawasan terhadap akad-akad pembiayaan pada Bank syariah, sehingga akad yang digunakan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pengawasan
176
terhadap penerapan klausul eksonerasi pada perjanjian-perjanjian baku bank,
sehingga
perjanjian
tersebut
dapat
memberikan
keadilan,
kemaslahatan bagi kedua belah pihak baik bank maupun nasabah. 3. Agar para Hakim sebagai penegak hukum berkomitmen dalam putusannya menegakkan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan serta ketertiban terhadap sengketa perkara-perkara antara pelaku usaha dan konsumen yang menerapkan klausul eksonerasi dalam perjanjian baku. Sehingga melalui putusan hakim tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi konsumen.