DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU
M. FAKHRU ROZI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU
M. FAKHRU ROZI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
: Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau
Nama NIM
: M. Fakhru Rozi : A155030181
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D. S Priyarsono, M.S. Ketua
Ir. Said Rusli, M.A. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 16 Agustus 2007
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan terutama pada saat Ujian tesis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosan-bosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2007
M. Fakhru Rozi
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007
M. Fakhru Rozi NIM A155030181
Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN: KASUS PROVINSI RIAU
M. FAKHRU ROZI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK M. FAKHRU ROZI. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan: Kasus Provinsi Riau. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua dan SAID RUSLI sebagai Anggota Komisi Pembimbing) . Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau karena menjadi wilayah yang mempunyai pendapatan daerah yang cukup besar. Pembangunan infrastruktur, pendidikan dan pengurangan kemiskinan mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat dan menganalisis dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan di Provinsi Riau. Metode analisis yang digunakan adalah analisis ekonometrik. Secara umum kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau mengalami perbaikan, bahkan IPM Provinsi Riau merupakan yang tertinggi di Sumatera. Otonomi daerah mampu meningkatkan perekonomian daerah serta menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pembukaan lapangan kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah. Kata kunci : otonomi daerah, desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan, kemiskinan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru Riau pada tanggal 27 Pebruari 1979 sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Drs H. Khaidiri Kadir (Ayah) dan Mastiari S.Pd (Ibu). Penulis menempuh pendidikan dasar sampai pendidikan lanjutan atas di Riau dan lulus Sekolah Menengah Umum pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor dan diterima pada Program Studi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan kuliah S1 pada tahun 2003. Kemudian penulis diterima di Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan pada Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2003. Selama masa kuliahnya, penulis aktif diberbagai organisasi intra dan ekstra kampus diantaranya di forum Wacana IPB, Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMPAS) IPB dan beberapa organisasi yang memberikan pelayanan dan keadilan bagi masyarakat. Hal ini memberikan kontribusi yang luar biasa bagi diri penuli untuk memahami hidup dan menjalankannya seuai dengan arahan dan pentunjuk sang Pencipta.
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul, ”Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan Kasus Provinsi Riau”. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister
Sains
pada
Program
Studi
Ilmu-ilmu
Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. D.S Priyarsono, MS. dan Ir. Said Rusli, MA. selaku komisi pembimbing atas proses bimbingan dan saran dalam penyusunan tesis. Begitu juga kepada Dr. Ir. Arya Dharmawan MSc.Agr sebagai penguji luar komisi dan Prof. Isang Gonarsyah Ph.D yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman PWD 2003 dengan kebersamaannya, teman-teman di PPM Al Inayah 2 dan di Pondok Assalam yang telah banyak membantu serta saudara di pondok adil sejahtera. Tak lupa kepada Ayah, Ibu, Kakak, Abang dan Adik tercinta yang tak bosanbosannya memotivasi dan berdo’a untuk keberhasilan penulis. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan tesis ini. Harapan tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pihak lain yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2007
M. Fakhru Rozi
ii
DAFTAR ISI halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vii I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 5 1.3. Tujuan ........................................................................................... 7 1.4. Ruang Lingkup .............................................................................. 8 1.5. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 9 2.1.
Konsep Kemiskinan ................................................................... 9
2.2.
Konsep Kesejahteraan ................................................................. 12
2.3.
Penyebab Kemiskinan ................................................................. 16
2.4.
Ukuran Kemiskinan..................................................................... 18
2.5.
Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan ......................... 22
2.6.
Pengembangan Wilayah ............................................................. 25
2.7.
Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan .................................. 30
2.8.
Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi ....................... 32
2.9.
Kaitan antara Transfer Fiskal dan Pengurangan Kemiskinan .... 34
2.10. Pelaksanaan Otonomi Daerah ..................................................... 38 2.11. Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan.................................................................................. 41
III. METODOLOGI ................................................................................... 55 3.1. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 55 3.2. Metode Penelitian ........................................................................... 60 3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 60 3.2.2. Sumber Data ....................................................................... 60 3.2.3. Gambaran Kesejahteraan Daerah ....................................... 60
iii
3.2.4. Perumusan Model Ekonometrika ....................................... 61 3.2.4.1. Blok Penerimaan Daerah ...................................... 62 3.2.4.2. Blok Pengeluaran Daerah ...................................... 64 3.2.4.3. Blok Makro Ekonomi Daerah ................................ 66 3.2.4.4. Blok Tingkat Kemiskinan ......................................... 67 3.2.5. Prosedur Analisis ................................................................. 70
3.2.5.1 Identifikasi Model .................................................. 70 3.2.5.2. Metode Pendugaan Model ..................................... 72 3.2.5.3. Validasi Model ...................................................... 73 3.2.5.4. Simulasi Model ....................................................... 73 3.2.5.5. Simulasi Kebijakan ................................................ 74 IV. GAMBARAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI PROVINSI RIAU .......................................................................... 76 4.1. Kondisi Fisik Wilayah ................................................................ 76 4.1.1. Pemanfaatan Sumberdaya Alam ..................................... 78 4.2. Kondisi Kesejahteraan Masyarakat ............................................ 79 4.2.1. Kondisi Sumber Daya Manusia ....................................... 81 4.2.2. Ketenagakerjaan .............................................................. 85 4.2.3. Kemiskinan ...................................................................... 87 V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN .................................................................................... 92 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika ........................................... 92 5.2. Keragaan Penerimaan Daerah .................................................... 93 5.3. Keragaan Pengeluaran Daerah ................................................... 98 5.4. Keragaan Perekonomian Daerah ................................................. 106 5.5. Tingkat Kemiskinan ...................................................................... 109
iv
VI. DAMPAK DESENTRALISASI TERHADAP PENGURANGAN KEMISKINAN ................................................................................... 111 6.1. Hasil Validasi Model ................................................................... 111 6.2. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pengurangan Jumlah Penduduk Miskin ............................................................ 113 6.2.1. Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) Naik 20 % .......................................................................... 115 6.2.2. Peningkatan Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya Alam Sebesar 10 % .......................................................... 117 6.2.3. Simulasi Peningkatan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah sebesar 20 % .............................................. 119 6.2.4. Peningkatan Pengeluaran Sektor pendidikan dan Kesehatan dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum Masing-masing Sebesar 20 % .......................................... 120 6.2.5. Peningkatan Pengeluaran Pertanian 20 % dan Infrastruktur sebesar 10 %................................................ 121 6.2.6. Simulasi Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan 10 %, Infrastruktur 5 % dan Sektor Pelayanan Umum 10 % dan sektor Pertanian 10 %......... 123 6.2.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan Desentralisasi Terhadap Pengurangan Kemiskinan …………………… 123 VII. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 127 7.1. Kesimpulan ................................................................................ 127 7.2. Saran .......................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 130 LAMPIRAN ...............................................................................................135
v
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran ...................... 18 2. Jarak antara Ibukota Provinsi dengan ibukota Kabupaten/Kota.............. 78 3. Perkembangan Jumlah Penduduk Provinsi Riau, 1980-2005.................. 81 4. PerkembanganTingkat pendidikan di Provinsi Riau, 1996-2005........... 82 5. Perkembangan Tingkat Kesehatan di Provinsi Riau, 1996-2005........... 84 6. Perkembangan Tingkat Tenaga Kerja Provinsi Riau,1996-2005 .......... 86 7. Perkembangan Tingkat Kesejahteraan di Provinsi Riau,1996-2005...... 87 8. Jumlah, Persentase, Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di Provinsi Riau, 1996-2005....................................................................... 88 9. Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Riau, 1996-2005 .............................................................................................. 70 10. Tingkat Daya Beli Masyarakat di Provinsi Riau,1996-2005 ................ 71 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam............. 94 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Gaji, Pengeluaran Rutin non Gaji, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor non Pertanian, Pengeluaran Infrastruktur, Pengeluaran Pelayanan Sosial dan Pengeluaran Pelayanan Umum ....... 100 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Daerah, Ekspor Daerah, Impor Daerah, Peroduksi Sektor Pertanian dan Produksi Sektor non Pertanian ……………………………………………………………… 107 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan .............................. 110 15. Hasil validasi Model Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Provinsi Riau, 1996-2004 ................................................................. 112 16. Hasil simulasi berbagai skenario ............................................................ 115 17. Besarnya Dana yang Diperoleh untuk Simulasi Berbagai Skenario ..... 124 18. Anggaran yang Dibutuhkan dalam Simulasi Berbagai Skenario …….. 125
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Kaitan Konseptual Antara Desentralisasi dan Pengurangan Kemiskinan .......................................................................................... 35 2. Kerangka pemikiran analisis dampak otonomi daerah terhadap pengurangan kemiskinan ....................................................................... 59 3.
Hubungan antar peubah dalam penelitian ............................................ 75
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 .......................................... 135 2. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ........................... 136 3. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau 2001-2003 ..................... 137 4. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ......................................... 138 5. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ........................................ 139 6. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau 2001-2003 ................................. 140 7. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ......................................... 141 8. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 .................................. 142 9. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau 2001-2003 .................... 143 10. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ................................................ 144 11. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 .................................... 145 12. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau 2001-2003 .............................. 146 13. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun Provinsi Riau Tahun 2001-2003 .......................................................... 147
viii
14. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ........................................ 148 15. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun Provinsi Riau 2001-2003 ................................... 149 16. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Riau Tahun 2001-2003 .......................................................... 150 17. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Riau Tahun 2001-2003 .............................................. 151 18. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Riau 2001-2003 ......................................................... 152 19. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ................................................................................. 153 20. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau Tahun 2001-2003 ........................................................... 154 21. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau 2001-2003 ................................................. 155 22. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Riau ............................................. 156 23. Program SAS ver.6.1. Model ekonometrika Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan ........................................ 157 24. Program SAS ver.6.1. Validasi dan Simulasi Model Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan ......................... 160 25. Model Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan .......................................................................................... 163 26. Notasi Variabel yang digunakan dalam Model .................................... 164
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki paradigma baru penyelenggaraan pemerintahan
daerah
dengan
memberikan
kewenangan
(otoritas) yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara proporsional kepada daerah. Hal itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah, yaitu: demokrasi (democratization), peran
serta
masyarakat
(community
participation),
memperhatikan
keanekaragaman daerah, pemerataan dan keadilan serta terkelolanya potensi sumberdaya di daerah secara efisien dan efektif. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah kini memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu menurut McCulloch dan Suharnoko (2003), salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam otonomi daerah adalah bahwa pemerintah daerah harus lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, mayoritas penduduknya masih terjerat pada kondisi miskin dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakankebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita secara khusus peduli dengan kemiskinan, maka hal terpenting dan menjadi kunci adalah melihat bagaimana dampak desentralisasi pada distribusi sumberdaya di
2
dalam wilayah tersebut (intra-regional), dan bukan pada efisiensi alokasi sumberdaya antar-wilayah (inter-regional). Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu, dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan, desentralisasi dapat menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan. Kemiskinan menjadi isu utama pembangunan karena tingkat kemiskinan menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan proses pembangunan. Selain itu, kemiskinan menunjukkan ketimpangan pembangunan dan tidak meratanya distribusi pendapatan. Pada prioritas pembangunan yang termuat di dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas, pemerintah menegaskan akan mengurangi jumlah penduduk miskin absolut 4 persen dalam jangka waktu 5 tahun. Pengurangan derajat kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah dalam tiga dekade terakhir dengan program bantuan kredit, pemberdayaan dan pendampingan. Tetapi hasilnya masih memiliki banyak kelemahan, di antaranya masih berorientasi pada pertumbuhan makro, kebijakan yang terpusat, lebih bersifat karikatif, memposisikan masyarakat sebagai objek, hanya memperhatikan sisi ekonomi dan kurang memperhatikan spesifikasi dan karakteristik kemiskinan
3
pada waktu dan tempat yang berbeda.
Hal ini menyebabkan kerentanan
kemiskinan atas perubahan politik, ekonomi dan sosial serta bencana alam sehingga perlu dikoreksi secara menyeluruh dan mendasar. Isu penanggulangan kemiskinan dewasa ini dihadapkan pada kenyataan tantangan dan isu yang berkembang berupa desentralisasi dan otonomi daerah yang mengembangkan potensi daerah sesuai dengan kondisi daerahnya, tuntutan pengelolaan pemerintahan yang baik dan penolakan terhadap segala bentuk praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, serta tuntutan globalisasi yang memberikan kompetisi yang kadang memarjinalkan masyarakat lemah dan miskin. Provinsi Riau merupakan Provinsi yang mengalami berbagai perubahan dengan desentralisasi.
Pendapatan Daerah Regional Bruto yang cukup besar
sebesar 29,884 triliyun rupiah dan ditambah dari minyak dan gas seharusnya mampu mengangkat derajat masyarakat ke tingkat kesejahtaraan yang tinggi. Angka kemiskinan berdasarkan Susenas tahun 2002, yang diukur menurut kebutuhan makanan sebesar 2100 kalori per kapita, pada tahun 1999 adalah 14,00 persen dari total penduduk menurun menjadi 13,12 persen pada tahun 2005, lebih rendah dibandingkan dengan angka kemiskinan rata-rata Nasional. Menurut Hasil Pendataan Penduduk/Keluarga Miskin Provinsi Riau tahun 2004 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau, diketahui persentase rumah tangga dan penduduk miskin yang relatif tinggi terdapat pada 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kabupaten Kuantan Singingi. Persentase rumah tangga dan penduduk miskin paling rendah terdapat di Kota Pekanbaru yang mencapai 10,91 persen. Riau dan dengan karakteristik penduduk yang heterogen dan wilayah yang terdiri dari
4
daratan dan kepulauan menghadapi permasalahan-permasalahan diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, infrastruktur yang terbatas, laju pertumbuhan pertumbuhan
yang
cukup
tinggi
yaitu
3,65
persen
dan
banyaknya
penduduk/rumah tangga miskin, menuntut kerja keras pemerintah dan masyarakat Riau dalam menanggulangi permasalahan tersebut. Peningkatan kesejahteraan sudah mulai terlihat diantaranya peningkatan IPM propinsi Riau dari 69,0 tahun 2002 menjadi 73,6 ditahun 2005. Begitu juga terjadi peningkatan pada indikator pendidikan dari tahun ke tahun seperti angka melek huruf dan lama sekolah, dimana tahun 2005 angka melek huruf di Provinsi Riau menjadi 98,8 dari sebelumnya 96,5 di tahun 2002 dan lama sekolah dari 8,30 tahun (2002) menjadi sebesar 8,98 tahun (2005). Otonomi daerah memberikan suatu pencerahan baru bagi masyarakat Riau di mana pengelolaan pembangunan diserahkan kepada pemerintahan daerah. Riau menjadi wilayah yang mempunyai PDRB yang cukup besar terutama dari dana bagi hasil migas yang mencapai Rp 68 triliun (15 persen) di mana pendapatan non migas sebesar Rp 29 triliun dan menjadi Provinsi tertinggi kedua pendapatannya setelah Provinsi Kalimantan Timur. Dengan penerimaan daerah yang cukup besar ini Provinsi Riau melakukan pembangunan di segala sektor. Pembangunanpembangunan mega proyek dan infrastruktur mulai dirintis dan menjadi prioritas. Tetapi dalam hal ini perlu dipertimbangkan apakah pembangunan mega proyek ini benar-benar dibutuhkan dan meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat Riau umumnya atau hanya akan dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja atau hanya sebagai proyek mercu suar. Oleh sebab itu diperlukan penilaian dan evaluasi yang komprehensif agar setiap pembangunan yang
5
dilakukan tidak sia-sia dan benar-benar dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama masyarakat miskin.
1.2. Perumusan Masalah Kemiskinan dengan segala dimensinya mempunyai karakteristik dan kecendrungan tersendiri sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungannya. Sangat penting untuk mengetahui faktor penentu dari kemiskinan dari suatu wilayah yang sangat membantu dalam usaha pengentasan kemiskinan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui karakteristik kelompok sasaran (target groups) dan metode apa yang dipilih sebagai solusinya.
Di sini diperlukan peran dan
keberpihakan pemerintah yang sungguh-sungguh yang diwujudkan dengan program pembangunan yang berpihak pada masyarakat miskin. Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks dan kronis saat ini. Karena hal tersebut, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Misalnya dari dimensi pendidikan, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor-faktor seperti kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat
6
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan. Desentralisasi pembangunan memberikan kesempatan kepada pemerintah lebih dekat dan lebih cepat menangani urusan-urusan masyarakat secara langsung dengan kebijakannya. Selain itu dalam jangka panjang desentralisasi menciptakan iklim kompetisi pertumbuhan pembangunan dengan memperhatikan transparansi, akuntabilitas dalam manajemen pengelolaan sumberdaya alam dan manusia. Tetapi perlu diperhatikan desentralisasi menimbulkan kerentanan pada praktik kebijakan yang mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok (vested interest) dan besarnya tekanan terhadap sumberdaya alam untuk mengejar pendapatan sehingga kurang memperhatikan keberlanjutan pembangunan. Di era otonomi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, ternyata berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan.
7
Dengan adanya otonomi daerah, banyak kemudahan-kemudahan yang diharapkan akan memberikan banyak prakarsa penanganan kemiskinan terutama dari pemerintah daerah. Kebijakan penanganan yang dilakukan sebaiknya diarahkan pada: 1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya, terutama yang dikuasai oleh kelompok miskin. 2) Pengembangan aksesibilitas kelompok miskin terhadap tanah, modal, infrastruktur dan input-input produktif lainnya 3) Pengembangan struktur sosial kelembagaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat, khususnya kelompok miskin, dalam mengatasi masalah secara mandiri. Dengan permasalahan di atas penelitian ini diarahkan pada pertanyaan mendasar yaitu: (1) Bagaimana kondisi kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau setelah dilaksanakannya otonomi daerah dan (2) Apakah desentralisasi cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. 1.3. Tujuan Adapun penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui kondisi umum dan perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau. 2. Mengetahui dampak otonomi dan desentralisasi fiskal terhadap penurunan
jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau.
8
1.4. Ruang Lingkup Lingkup penelitian adalah sebagai berikut : 1.
Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di Provinsi Riau yang terdiri dari 2 Kota dan 9 Kabupaten.
2.
Analisis terhadap Provinsi dan kabupaten/kota yang baru terbentuk masih digabungkan dengan penamaan daerah sebelumnya.
3.
Analisis ini dilakukan di tingkat kota/kabupaten dengan melihat efektifitas penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan.
4.
Analisis ini melihat dari sisi penerimaan daerah, pengeluaran daerah, makro ekonomi daerah dan sisi kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.
1.5. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi evaluasi dan masukan agar kebijakan, kegiatan dan program pembangunan yang dilakukan memiliki dampak yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin. Selain itu hasil penelitian ini bisa menjadi pertimbangan dalam arah kebijakan penanganan masalah kemiskinan serta dapat berma nfaat bagi peneliti dan akademisi guna penelitian lanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kemiskinan Pengertian kemiskinan disampaikan oleh beberapa ahli atau lembaga, di antaranya adalah: Bappenas (1993) mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendaki oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Faturochman dan Molo (1994) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dan atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Sedangkan me nurut Ellis (1994) kemiskinan merupakan gejala
multidimensional yang dapat ditelaah dari dimensi ekonomi, sosial dan politik. Friedman (2002) mengemukakan kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: aset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisasi sosial politik yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Dalam
konteks
strategi
penanggulangan
kemiskinan,
kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik lakilaki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota
10
masyarakat
lainnya.
Kemiskinan
tidak
lagi
dipahami
hanya
sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Kajian Chambers (1983) lebih melihat masalah kemiskinan dari dimensi si miskin itu sendiri dengan deprivation trap, yang terdiri dari 5 unsur yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Perbedaaan pandangan dari setiap ahli tentang kemiskinan merupakan hal yang wajar. Hal ini bukan karena data, dan metode penelitian yang berbeda, tetapi justru terletak pada latar belakang ideologisnya.
Ideologi bukan saja
menentukan macam masalah yang dianggap penting, tetapi juga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah secara sosial ekonomis dan bagaimana masalah ekonomi itu diatasi. Kemiskinan disepakati sebagai masaalah sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya tekait dengan idiologi yang melandasinya. Untuk memahami idiologi tersebut ada dua pandangan yang berbeda tentang kemiskinan, yait kulturalis dan strukturalis. menyalahkan kaum miskin.
Kulturalis cenderung
Meskipun kesempatan ada pada mereka, tetapi
mereka gagal memanfaatkannya karena mereka terjebak pada budaya kemiskinan. Strukuturalis beranggapan bahwa sumber kemiskinan tidak terdapat pada diri orang miskin, tetapi adalah sebagai akibat dari perubahan periodik dalam bidang sosial dan ekonomi seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Implikasi dari dua pandangan ini juga berbeda. Terhadap konsep kulturalis perlu dilakukan perubahan aspek kultural seperti
11
pengubahan kebiasaan hidup. Hal ini akan sulit, memakan waktu lama, dan biaya yang tidak sedikit. Terhadap konsep strukturalis perlu dilakukan pengubahan struktur seperti lembaga ekonomi, sosial dan kelembagaan lain yang terkait. Kultural dan Struktur merupakan konsep abstrak yang mengacu pada fenomena yang menggambarkan adanya interaksi yang berkesinambungan satu sama
lain.
Hubungan
keduanya
bersifat
dualistik,
kultur
secara
berkesinambungan merupakan satu produk interaksi sosial dan satu faktor dalam perubahan sosial dan kultural. Karena itu, memadukan berbagai sudut pandang tersebut dalam totalitas berfikir akan memberikan gambaran yang utuh tentang kemiskinan. Konsep-konsep ini akan saling melengkapi untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di mana secara struktural terjadi perbaikan dan penguatan lembaga dengan peran aktif pemerintah dan programprogram pemberdayaan masyarakat, di sisi lain terjadi penguatan terhadap kultur yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, kreatif sehingga mampu memanfaatkan peluang yang ada dan memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya. Adapun studi ini menitikberatkan pada peran pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dengan memilih program-program penguatan kapasitas manusia seperti perhatian pada sektor pendidikan dan kesehatan, pembukaan akses pelayanan bagi masyarakat terhadap pasar, sumber keuangan, jaringan sosial dan sumberdaya dengan peningkatan pelayanan umum serta pembukaan keterisoliran dan keterkaitan ekonomi dan sosial dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik, koran dan jaringan telpon serta terbukanya dan majunya struktur lembaga sosial. Jika program-perogram ini berjalan dengan baik, diiringi dengan perubahan budaya dan paradigma ingin untuk lebih maju dan
12
terberdayanya masyarakat dengan peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan,
tanggap dan terbuka terhadap informasi, akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.
2.2. Konsep Kesejahteraan Secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Tapi definisi kesejahteraan dapat juga merupakan tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses produksi dan ia memperoleh imbalan bayaran (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri. Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas di mana pun diletakkan.
Pada dasarnya pembangunan kesejahteraan rakyat haruslah ditujukan untuk membangun kehidupan penduduk yang bermartabat, berkualitas secara berkelanjutan, antara lain menyangkut akses penduduk khususnya penduduk miskin terhadap pemenuhan hak dasar atas pangan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, air bersih, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, perlindungan hak atas tanah, rasa aman, serta kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan. Selain itu,
13
pemenuhan hak dasar penduduk dimaksud juga dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah yaitu untuk percepatan pembangunan perdesaan, revitalisasi pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir serta percepatan pembangunan daerah tertinggal (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2005). Dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan rakyat, masyarakat Indonesia mempunyai keanekaragaman geografi, budaya, sosial, agama dan ekonomi sehingga apabila tidak dikelola dan diatur keterwakilannya secara proporsional, sinergis dan emansipatoris dapat menjadi kendala di kemudian hari. Aspirasi masyarakat dari negara maju terhadap isu-isu anti diskriminasi di berbagai bidang, kesamaan persamaan hak, serta demokratisasi telah menjadi tuntutan masyarakat global yang harus diakomodasi secara bijaksana. Oleh karena itu, dalam kemajuan kebudayaan yang semakin meningkat intensitas dan ekstensitasnya karena proses globalisasi, maka penanganan solusi masalah kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat haruslah berbasis kepada ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi. Untuk itu pemilikan pengetahuan dan kemampuan mengaplikasikan dalam urusan kehidupan sehari-hari secara tepat dan benar melalui berbagai lembaga pendidikan dan mengoptimalkan pranata-pranata sosial dan keagamaan perlu dilakukan untuk mengantisipasi kepentingan bangsa di masa depan menjadi bangsa yang tangguh, yang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sedangkan untuk membangun kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan potensi-potensi masyarakat, maka realitas kehidupan berbudaya dan beragama masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput perlu diberdayakan dan didukung dengan upaya yang serius, sehingga menjadi
14
lebih produktif dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, termasuk untuk mengurangi kemiskinan agar tidak menjadi rawan untuk diprovokasi berbagai kepentingan kelompok yang dapat menimbulkan konflik. Beberapa kejadian menunjukkan suatu kondisi yang nampak baik, tiba-tiba mengalami kejadian yang menyebabkan statusnya menjadi buruk, seperti munculnya kejadian polio, flu burung, malaria, busung lapar, demam berdarah, yang baru-baru ini terjadi di masyarakat yang disebabkan antara lain lemahnya jaringan pelayanan kesehatan masyarakat seperti tidak aktifnya kegiatan Posyandu, PKK, ketidaksiapan aparat pemerintah, keterbatasan sarana dan prasarana ( Bappenas, 2006). Beberapa indikator menunjukkan masih rendahnya kesejahteraan rakyat serta faktor-faktor yang memperburuk kondisi kesejahteraan rakyat, antara lain dapat diungkap secara garis besarnya adalah :
1. Tingkat pendapatan yang masih rendah; 2. Pengangguran yang masih tinggi; 3. Biaya hidup yang tinggi dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin sulit dipenuhi oleh masyarakat lapisan bawah; 4. Kurangnya penghayatan, pengamalan, pengembangan nilai keagamaan; 5. Kurangnya pema haman etos berkarya; 6. Lambatnya pembangunan sumberdaya manusia; 7. Lemahnya kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia termasuk aparatur negara; 8. Lemahnya daya dorong perekonomian; 9. Tingginya kesenjangan antar daerah;
15
10. Menurunnya penyediaan infrastruktur; 11. Lemahnya kelembagaan sosial baik formal maupun non formal; 12. Menipisnya sumberdaya alam dan menurunnya daya dukung lingkungan; 13. Gangguan keamanan, konflik sosial, dan bencana alam, serta kondisi perekonomian yang masih belum stabil. (Menkokesra, 2005). Salah satu indikator kesejahteraan adalah mengukur indeks pembangunan manusia (IPM) yang diperkenalkan oleh UNDP sejak tahun 1990 melalui Human Development Report. IPM mempunyai 3 komponen inti yaitu lamanya hidup, pengetahuan dan standar hidup layak. Komponen lama hidup diukur dengan angka harapan hidup sedangkan pengetahuan diukur berdasarkan kombinasi indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah dari penduduk dewasa. Komponen ketiga standar hidup layak diukur dengan menggunakan konsumsi riil perkapita. Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi tingkat status pembangunan manusia menjadi 3 golongan yaitu rendah (< 50), menengah kebawah (50
80). IPM biasa digunakan untuk mengkaji manusia kedalam dua aspek. Aspek pertama yaitu perbandingan antar wilayah yang memperlihatkan posisi suatu wilayah relatif terhadap wilayah yang lain berdasarkan IPM yang disusun dari peringkat kemajuan pembangunan manusia dipelbagai wilayah dalam kawasan yang sama. Sedangkan aspek kedua adalah memperhatikan tingkat pencapaian setiap tahun menuju IPM ideal. Karena itu kajian tentang pencapaian upaya pembangunan manusia perlu dilakukan dalam suatu periode tertentu, untuk mengkaji dampak dari program peningkatan kapasitas dasar penduduk.
16
Pengukuran pembangunan manusia lainnya dapat diukur dengan indeks kemiskinan manusia (IKM). Indeks ini menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses sumberdaya publik, dan sumberdaya privat. IKM menggunakan variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, dan persentase anak berumur 5 tahun ke bawah dengan berat badan rendah atau kurang gizi. (BPS, 2002)
2.3. Penyebab Kemiskinan Penelitian yang dilakukan Ajakaiye (2002) di Negara-negara berkembang menyatakan bahwa secara makro penyebab kemiskinan adalah: (1) pertumbuhan ekonomi yang rendah, (2)
Kinerja
Kegagalan kebijakan dan goncangan
makro ekonomi, (3) Pasar tenaga kerja yang kurang bergairah, (4) Migrasi, (5) Pengangguran dan setengah pengangguran, (6) Pengembangan sumberdaya manusia. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan secara mikro dalam rumah tangga adalah: (1) umur dan pendidikan anggota rumah tangga khususnya kepala rumah tangga, (2) jumlah anggota rumah tangga yang mempunyai pekerjaan, (3) komposisi dan besaran rumah tangga, (4) aset yang dimiliki oleh rumah tangga, (5) akses pada jasa pelayanan sosial dasar, (6) jenis kelamin kepala rumah tangga, (7) variabel lokasi, (8) sektor lapangan kerja dan lain sebagainya.
17
Kemiskinan bisa menjadi suatu budaya komunitas, di mana tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya (Sumardjan, 1993). Menurut Seymour (1993), beberapa ciri budaya kemiskinan adalah: 1) fatalisme, 2) rendahnya tingkat aspirasi, 3) rendahnya kemauan mengejar sasaran, 4) kurang melihat kemajuan pribadi, 5) perasaan ketidakberdayaan/ketidakmampuan, 6) perasaan untuk selalu gagal, 7) perasaan menilai diri sendiri negatif, 8) pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan 9) tingkat kompromis yang menyedihkan. Kemiskinan ada pula yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Kemiskinan struktural menurut Sumardjan (1993) adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Beberapa ciri dari kemiskinan struktural adalah: 1) tidak adanya atau lambannya mobilitas sosial, 2) mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya dan 3) struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka maju. Pemecahan permasalahan kemiskinan ini akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku diubah secara mendasar (Alfian, 1980).
18
2.4. Ukuran Kemiskinan Untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang tergolong miskin umumnya dilakukan dengan penetapan suatu garis kemiskinan (poverty line). Garis ini ditetapkan berdasarkan suatu tingkat pendapatan per kapita per tahun atau per kapita per bulan.
Misalnya Bank Dunia pada mulanya menetapkan
tingkat pendapatan per kapita per tahun serendah US$ 75 untuk daerah perkotaan dan US$ 50 untuk daerah perdesaan sebagai garis kemiskinan dan kemudian sebagian negara meningkatkan standar terendahnya menjadi US$ 2 per kapita per harinya.
Sajogyo (1994) menggunakan kriteria tingkat pengeluaran sebagai
pendekatan terhadap pendapatan setara beras sebagai dasar penetapan garis kemiskinan sebagaimana tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Kemiskinan Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Batas tingkat pengeluaran No
Kategori Kemiskinan
(Setara beras per kapita per tahun)
Perkotaan
Perdesaan
1
Miskin
480 kg
320 kg
2
Miskin Sekali
360 kg
240 kg
3
Paling Miskin
270 kg
180 kg
Sumber: BPS (2004) Kemiskinan yang diukur melalui garis kemiskinan (poverty line) berdasarkan pada pengeluaran rumah tangga dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut adalah
karakteristik ketidakmampuan penduduk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need) yang dihitung dari persentase penduduk dengan pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah karakteristik yang memberikan gambaran relatif ketidakmampuan penduduk
19
memenuhi kebutuhan untuk hidup layak.
Indikator kemiskinan menurut BPS
adalah di antaranya tidak memenuhi : a. Luas lantai perkapita < 8 m2 b. Lantai tanah c. Tidak memiliki jamban d. Tidak ada akses air bersih e. Konsumsi lauk tidak bervariasi f. Tidak memiliki akses produktif g. Tidak mampu membeli pakaian baru dalam setahun h. Tidak berpartisipasi dalam kegiatan komunitas Van de Walle (2000) dalam Usman (2006) menganalisis kemiskinan di Vietnam dengan memasukkan variabel-variabel infrastruktur seperti : ketersediaan infrastruktur fisik (jalan, kendaraan, listrik, air, kantor pos, SMP, SMU, dan klinik), air minum, sanitasi dan saluran air, sumber energi, dan transportasi. Dengan menggunakan data Podes variabel-variabel tersebut bisa diperoleh. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survai. (Bappenas, 2005)
20
Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan provinsi di Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional). Klasifikasi kota dan desa pada pendataan didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, persentase rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, dan akses terhadap fasilitas perkotaan seperti sekolah, rumah sakit, jalan aspal, telpon, dan sebagainya. Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:
1.
Biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari; dan
2.
Biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan. Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan,
ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di bawah US$ 2 per hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi kalori per hari yaitu sebanyak 2.100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di
21
plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan. (Kelompok Kerja Propenas, 2002) Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlah ukuran agregat kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia telah mengembangkan ukuran kemiskinan (poverty measures), di antaranya yang terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster, Greer dan Thorbecke (1984). Tokoh-tokoh ini telah mempelopori usaha-usaha untuk memperbaiki indeks kemiskinan yang konsisten menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT Indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut: α
Pα =
1 ( z − yi ) ∑ z ………………………………………………. (1) n
dengan, n = jumlah penduduk; yi= pendapatan/pengeluaran perkapita penduduk miskin ke-i ; z = garis kemiskinan. FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika α=0; akan menjadi Poverty Gap Index (PGI) jika α=1; Poverty Severity Index atau Square Poverty Gap (SPgap) jika α=2. (BPS, 2004) Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersamasama (Ikhsan, 1999). HCI menggambarkan besarnya persentase dari penduduk
22
yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang miskin yang menjelaskan tingkat keparahan. Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatan/pengeluaran. Umumnya hal ini memerlukan informasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya) maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, di lain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan didefinisikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenangi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran ketimpangan dapat dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsumsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel kontinyu lainnya. Pengukuran kemiskinan tidak lagi dihitung berdasarkan level rumah tangga tetapi pada level kabupaten. Hal ini tetap dapat dilakukan sebab dalam formula α
( z − yi ) FGT di atas, ∑ merupakan nilai agregasi untuk level kabupaten. z
2.5. Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan Upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran, secara umum, membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut tidak saja perlu memadai besarannya, namun juga tidak bias ke arah golongan masyarakat dan
23
wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang cocok dengan kondisi aktual. Model pembangunan ekonomi banyak diterapkan di negara-negara berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap (dual sector), yang pertama sekali diusulkan Lewis (1954). Model ini didasarkan pada asumsi bahwa banyak negara berkembang yang memiliki perekonomian rangkap, yakni sektor pertanian yang bersifat tradisional dan sektor industri/manufaktur yang bersifat modern. Sektor pertanian tradisional diasumsikan sebagai bersifat subsistence dan dikarakteristikkan dengan produktivitas rendah, pendapatan rendah, tabungan rendah dan underemployment atau surplus tenaga kerja yang cukup besar dan berada dikawasan perdesaan. Sektor manufaktur diasumsikan memiliki teknologi maju, investasi tinggi, dan berada dikawasan perkotaan. Dalam model ini, sektor manufaktur akan menarik surplus tenagakerja dari pertanian di perdesaan. Perusahaan manufaktur, apakah milik probadi atau BHMN, bisa menawarkan gaji yang akan menjamin mutu hidup yang lebih tinggi dibanding upah yang didapatkannya di perdesaan. Tingkat produktivitas buruh sangat rendah di area pertanian tradisional, sehingga pekerja yang meninggalkan area perdesaan hampir tidak memberikan dampak pada output pertanian sebelumnya. Tanpa disadari, jumlah pangan yang tersedia untuk orang desa akan meningkat akibat penduduk yang lebih sedikit (karena sudah bekerja, diserap oleh sektor manufaktur di perkotaan). Surplus produksi pangan yang diperoleh bisa sebagian mereka jual untuk menambah pendapatan. Orang yang berpindah dari desa ke kota akan mendapat peningkatan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan tabungan. Kunci untuk
24
membangun menurut model Lewis ialah meningkatkan tabungan yang pada gilirannya diikuti dengan peningkatan investasi, yakni pada sektor manufaktur modern. Migrasi dari perdesaan yang miskin ke wilayah perkotaan/manufaktur yang lebih kaya akan memberi para pekerja peluang untuk mendapat pendapatan yang lebih tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi. Pertumbuhan di sektor industri akan dengan sendirinya menghasilkan permintaan tenagakerja dan juga akan menyediakan dana untuk investasi. Pendapatan yang dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down ke setiap aktivitas ekonomi. Schelkle (1996) mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan dalam model pembangunan dualistic Lewis. Menurutnya, suatu ekonomi yang bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi terutama karena adanya proteksi dan perfect capital controls. Dalam ekonomi tertutup, Capital flight akan menyebabkan tidak produktif atau pemakaian lahan berkurang. Hal ini akan mengurangi pendapatan petani ke depan. Bila kemudian terjadi inflasi, pemerintah akan memakai tabungan rumah tangga sebagai alternatif aset keuangan domestik. Pengurangan tabungan selanjutnya mengurangi investasi, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan. Disamping model dual, terdapat model-model pembangunan ekonomi lain di mana intinya ialah memberikan peran pada pemerintah untuk mengarahkan jalannya pertumbuhan ekonomi. Diantaranya planned economy dengan pola Growth First than Distribution. Rostow (1980) menyatakan bahwa setiap negara yang akan melakukan pembangunan ekonomi dengan baik disarankan melewati lima tahap pembangunan ekonomi, yang meliputi, : Tahap Traditional Society, Transitional, Take off, Drive to Maturity,
25
dan High Mass Consumtion. Tahap model pembangunan ini terlihat dalam tahapan pembangunan Indonesia sejak tahun 1970. Kenyataan yang terjadi adalah tahapan-tahapan pembangunan yang dipaparkan diatas ternyata tidak berjalan secara kontinu. Tahapan-tahapan itu terputus oleh krisis ekonomi 1997-1998. Industrialisasi yang sedianya diharapkan menjadi motor tranformasi struktural yang menyerap surplus tenaga kerja di perdesaan ternyata terpuruk, sehingga justru menimbulkan pengangguran. Sebagian dari para penganggur ini diserap kembali oleh sektor pertanian atau aktifitas ekonomi perdesaan maupun perkotaan berskala makro dan mikro. Dalam kondisi di mana perekonomian sektor industri belum sepenuhnya pulih dari krisis, pembangunan kembali sektor pertanian maupun aktivitasaktivitas ekonomi perdesaan lainnya menjadi semakin penting. Seperti yang dikemukakan oleh Ghatak dan Ingersent (1987) dalam Yudhoyono (2004), upayaupaya mewujudkan peran sektor pertanian, yakni antara lain sebagai penyedia lapangan kerja, pemasok bahan baku industri, sumber devisa negara,dan pasar bagi produk-produk industri, secara menyeluruh akan mendorong perkembangan perekonomian. Pembangunan kembali (revitalisasi) pertanian dan perdesaan, dengan demikian, perlu dilakukan.
2.6. Pengembangan Wilayah Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintah dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap
26
lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas. (Rustiadi, 2005) Menurut
Akil
(2003)
dalam
Pranoto
(2005)
pendekatan
yang
mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pembangunan itu sendiri.
Dalam konteks ini mulai dirasakan perlunya
pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produktif serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah.
Dalam hubungan ini, kegiatan
ekonomi kota dan desa (sub urban) adalah saling tergantung dalam konteks perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja. Keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan begitu penting di mana keterkaitan ini diekspresikan dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan. Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun lebih kepada kebijakan yang diterapkan.
Pada waktu lalu, cara pandang
pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan hanya pada pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh Djajadiningrat (1997). Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan
27
kerusakan lingkungan dalam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi dan apabila lingkungan alam turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh. Menurut Shukla (2002) dalam Rustiadi (2005), melalui perencanaan wilayah (regional planning) dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan dan berkelanjutan dengan : 1. Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada, sumberdaya fisik serta teknologi. 2. Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan di mana akan mengisi kebutuhan lokal. 3.
Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang kurang berimbang antar dan dalam wilayah.
Untuk menghindari masalah-masalah pembangunan, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan yang berimbang secara spasial karena secara makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan.
Menurut Rustiadi (2005),
pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: 1) mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. 2) Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatanpendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Pembangunan daerah di era otonomi perlu dilaksanakan dengan
28
pendekatan pengembangan wilayah yang terkoordinir dan terintegrasi, bukan lagi pendekatan sektoral sebagai mana dilakukan pada masa lalu. Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus globalisasi. Menurut Rondinelli (1985) ada tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: 1) kutub-kutub pertumbuhan (growth pole), 2) integrasi fungsi (functional
integration),
dan
3)
pendekatan
pedesentralisasian
wilayah
(decentralized territorial approaches) Selanjutnya Chen dan Salih (1978), mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan (growth pole approach) oleh negara-negara ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: 1) industrialisasi dengan teknologi modern dapat di desentralisasikan manfaatnya pada daerah perdesaan, 2) keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional. Di Indonesia diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral.
Pembangunan berbasis berbasis pengembangan wilayah dan lokal
memandang penting keterpaduan antarsektoral, antarspasial (keruangan), serta antarpelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Hal ini penting dilakukan
29
dalam setiap program pembangunan sektoral dalam kerangka pembangunan wilayah. Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga telah bermunculan ke permukaan.
Orientasi untuk mendapatkan
penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego antarpemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Tinjauan spasial menyangkut dimensi sosial ekonomi dalam konteks tata ruang adalah upaya menciptakan keseimbangan spasial. Penataan ruang harus menjadi bagian dari proses menciptakan keseimbangan antarwilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan.
Oleh karenanya perlu dibangun
struktur keterkaitan antarwilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik. Menurut Rustiadi (2005) pendekatan penataan ruang di era otonomi daerah harus berbasis pada: 1. Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan. 2. Menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah. 3. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan) 4. Disesuaikan
dengan
kapasitas
pemerintah
mengimplementasikan perencanaan yang disusun
dan
masyarakat
untuk
30
2.7. Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan faktor penting untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.
Kerangka empirik untuk menganalisis pertumbuhan dapat
diperoleh dari model pertumbuhan neoklasik yang diperluas, yang secara ringkas dapat ditunjukkan oleh suatu persamaan sederhana di bawah ini. Dy = F(y, y*) …………………………………………………….. (2) Dimana : Dy adalah laju pertumbuhan output per kapita y adalah tingkat output per kapita sekarang y* adalah tingkat target output per kapita atau tingkat output per kapita jangka panjang
Dalam model meoklasik, kenaikan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns) pada akumulasi modal mengimplikasikan adanya suatu laju pertumbuhan ekonomi (Dy) yang berhubungan secara berbalikan (inverse) dengan tingkat pertumbuhan (y).
Hubungan tersebut berlaku untuk nilai y* tertentu.
Indikator suatu pertumbuhan ekonomi mencakup modal sumberdaya manusia (human capital) dan perubahan teknologi.
Variabel y digeneralisasikan dari
tingkat produk per kapita yang dipengaruhi oleh kapital fisik, human capital dan input-input lainnya termasuk teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Nilai y* dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, jumlah penduduk dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, adanya kebijakan pemberlakuan hak-hak
kepemilikan property rights dan kebijakan yang mengarah kepada berkurangnya distorsi pasar akan menaikkan y*. Misalnya jika seorang bekerja dengan alasan akan menabungkan sebagian dari pendapatannya, maka secara teoritis y* akan meningkat, akhirnya Dy naik.
31
Suatu kebijakan pemerintah berpotensi menaikkan laju pertumbuhan (Dy), yang kemudian akan secara berangsur-angsur menaikkan tingkat output per kapita (y).
Ketika output naik, laju pertumbuhan (Dy) meningkat, dan peningkatan
tersebut mengalami diminishing returns.
Pada jangka panjang, dampak dari
kebijakan ini hanya berpengaruh pada peningkatan output per kapita, sedangkan dampak terhadap laju pertumbuhan semakin mengecil sehingga sama dengan nol. Penelitian tentang pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh Barro (1997) melihat pengaruh langsung dari sejumlah kebijakan pemerintah dan variabel lainnya. Penelitian ini mengambil sampel 100 negara mulai tahun 1960 sampai 1995. Dengan metode regresi panel terlihat bahwa laju pertumbuhan PDB per kapita dipengaruhi oleh tingkat PDB per kapita, tingkat pendidikan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, indeks kepastian hukum, tingkat keterbukaan terhadap dunia internasional, laju inflasi, laju fertilitas total, rasio investasi terhdap PDB, laju pertumbuhan nilai tukar perdagangan. Pengaruh rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB yang menggambarkan kebijakan fiskal, tidak nyata di kelompok negara maju, namun berpengaruh nyata dengan arah negatif di kelompok negara miskin. Di kelompok negara miskin ini, variabel penjelas yang berpengaruh nyata dan positif terhadap laju pertumbuhan PDB per kapita adalah tingkat pendidikan, indeks kepastian hukum, keterbukaan terhadap pasar internasional, dan laju pertumbuhan nilai tukar perdagangan.
32
2.8. Kebijakan Fiskal dalam Pembangunan Ekonomi Kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan salah satu kebijakan makroekonomi, yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dilakukan melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kebijakan fiskal atau atau anggaran memiliki fungsifungsi yaitu: 1) fungsi alokasi, yaitu fungsi yang berkaitan dengan penyediaan barang-barang sosial (social goods), atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat dan barang sosial dan kombinasi barang sosial yang dipilih, 2) fungsi distribusi adalah fungsi kebijakan fiskal atau anggaran yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata di dalam masyarakat, dan 3) fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan mempertahankan tingkat pengerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai, yang dapat berpengaruh atau berakibat pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave, 1984). Adapun instrumen dari kebijakan fiskal adalah
pajak, pengeluran
pemerintah dan transfer payment, artinya dalam melaksanakan kebijakan fiskal tersebut, maka variabel-variabel itu yang diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat kebijakan.
Sebagai contoh, apabila
pembuat kebijakan ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal akan diusahakan untuk menjadi kontraktif, di mana pengeluaran pemerintah (G) akan diturunkan atau pajak (T) dinaikkan. Dengan begitu, maka permi ntaan agrerat di dalam perekonomian akan turun dan hal ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga.
Sebaliknya, kalau pemerintah atau pembuat
33
kebijakan ingin meningkatkan tingkat pengerjaan (employment) dalam rangka untuk mengurangi tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal yang dilakukan akan cenderung bersifat ekspansif, di mana pengeluaran pemerintah akan dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat di dalam perekonomian dan akan terjadi ekspansi dalam perekonomian. Menurut Jhingan (1993) kebijakan fiskal memainkan peranan penting dinamis di negara-negara berkembang. Kebijakan ini diperlukan secara luas bagi pembangunan ekonomi, khususnya dalam peranannya dalam menghadapi problem pembentukan modal.
Pendapatan dan tabungan per kapita rendah, sementara
orang yang kaya justru suka mengkonsumsi barang mewah. Sebagian besar dari tabungan disalurkan pada jalur-jalur tidak produktif seperti perumahan, penimbunan, spekulasi dan sebagainya. Kebijakan fiskal mengalihkan semua itu ke saluran yang produktif. Beberapa
tujuan
kebijakan
fiskal,
sebagai
sarana
menggalakkan
pembangunan, antara lain : 1. Meningkatkan laju investasi di sektor swasta dan sektor pemerintah. Hal ini dapat dicapai dengan mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial melalui peningkatan rasio tabungan marjinal (marginal propensity to saving).
Kebijakan fiskal juga harus digunakan untuk
mendorong atau memperkuat bentuk investasi tertentu.
Dalam rangka
meningkatkan laju investasi, pemerintah harus menetapkan kebijakan investasi berencana di sektor publik.
Tindakan ini akan berdampak
meningkatkan volume investasi di sektor swasta.
34
2. Mendorong investasi optimal secara sosial.
Kebijakan fiskal harus
mendorong arus investasi ke jalur-jalur yang diinginkan oleh masyarakat. Ini berkaitan dengan pola optimum investasi dan menjadi tanggung jawab negara untuk mendorong investasi pada overhead sosial dan ekonomi seperti transportasi, konservasi lahan, pendidikan, kesehatan masyarakat dan fasilitas latihan teknik. Investasi semacam yang memerlukan modal besar, hanya dimungkinkan dari sektor pemerintah, karena sektor swasta yang miskin modal, serta tingkat pengembalian investasi yang cukup panjang.
2.9. Kaitan antara Transfers Fiskal dan Pengurangan Kemiskian Hubungan fiskal antara tingkat pemerintah merupakan salah satu unsur atau elemen yang sangat penting dari program desentralisasi fiskal khususnya dan desentralisasi pada umumnya. Sementara transfer fiskal itu sendiri merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antara tingkat pemerintah, artinya sesuatu yang memiliki peranan penting dan menentukan. Secara konseptual, desentralisasi dibedakan ke dalam tiga bentuk utama yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif atau birokratis dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi politik berarti memberikan kepada masyarakat setempat dan wakil-wakil mereka suatu kekuasaan yang lebih besar di dalam setiap pengambilan keputusan yang mencakup kekuasaan di dalam penetapan standar dan kerangka hukum.
Desentralisasi administratif berarti adanya
redistribusi kewenangan, tanggung jawab dan sumberdaya diantaranya berbagai tingkat pemerintahan, di mana adanya kapasitas dan kekuatan institusional yang lebih sesuai pada berbagai tingkat pemerintahan dianggap sebagai suatu
35
prakondisi bagi keefektifan pelaksanaan dari desentralisasi tersebut. Sedangkan desentralisasi fiskal lebih berhubungan dengan perumusan kewenangan atas sumber-sumber yang ada atau akses terhadap transfer dan pembuatan berbagai keputusan, baik menyangkut pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi (Braun and Grote, 2002) Transfer fiskal antara berbagai tingkat pemerintahan merupakan inti (core) dari suatu hubungan fiskal antara tingkat pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa transfer fiskal memiliki peranan penting dan menentukan di dalam mendukung program desentralisasi pada umumnya dan desentralisasi fiskal khususnya. Hubungan antara desentralisasi dengan kemiskinan dijelaskan dengan kerangka konseptual yang dikemukakan oleh Braun dan Grote (2002) seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1 sebagai berikut:
Participation/Empowerment Government
Desentralisasi Politik, Adminisratif, Fiskal
Pengurangan Kemiskinan (Poverty Reduction)
Public service/investment Priorities, efficiency/targeting
Sumber : Braun and Grote (2002) Gambar 1. Kaitan Konseptual antara Desentralisasi dan Pengurangan Kemiskinan
36
Menurut von Braun dan Grote (2002), ketiga bentuk utama dari desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif dan desentralisasi fiskal saling terkait erat satu dengan lainnya dan karena itu, dampaknya terhadap upaya pengurangan kemiskinan tidak dapat dinilai atau dilihat secara terpisah. Pada Gambar 1 ditunjukkan kaitan antara desentralisasi dengan berbagai bentuknya dengan pengurangan kemiskinan, yang terjadi melalui dua jalur, yaitu: 1) desentralisasi - partisipasi/pemberdayaan/tata kelola - pengurangan kemiskinan, dan 2) desentralisasi - pelayanan publik/investasi yang lebih memihak kaum miskin – pengurangan kemiskinan. Jalur 1 menunjukkan bahwa desentralisasi memungkinkan civil society untuk berpartisipasi di dalam proses kebijakan dan dengan demikian meningkatkan transparansi dan predictability dari pengambilan keputusan. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik dan lebih responsif terhadap kebutuhan dan preferensi penduduk lokal daripada pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah daerah (lokal) juga lebih mudah bagi mereka untuk mengindentifikasi
dan
menjangkau
kaum
miskin
sejauh
politik
lokal
memungkinkan hal ini dilakukan. Desentralisasi juga memiliki keuntungan yang penting (principal advantage) yaitu bahwa petugas setempat dapat dengan lebih mudah dipantau dan dikontrol oleh masyarakat daripada petugas pada pemerintah pusat, jika aturan hukum dapat hidup dan dipatuhi di tingkat lokal. Apakah partisipasi lokal dalam sistem pengelolaan (governance system) barang-barang dan jasa publik akan benar-benar memiliki dampak positif terhadap kelompok berpendapatan rendah adalah belum atau tidak jelas (unclear). Agar
37
partisipasi benar-benar menjadi operasional maka pertama-tama dibutuhkan adanya suatu pendidikan minimum, basic capabilities and equality atas dasar gender, agama, dan kasta. Kedua, pemberdayaan (empowerment) penduduk pada tingkat lokal. Jalur (2) adalah dari perspektif informasi dan biaya transaksi (transaction costs), dimana eksternalitas menyediakan suatu argumen untuk sentralisasi jika kewenangan pusat memiliki kemampuan yang tidak terbatas (unlimited ability) untuk mengumpulkan, memproses, atau menyebarluaskan informasi. Namun, karena pemerintah pusat (central authority) umumnya tidak memiliki kemampuan untuk melakukan itu semua, maka advantages dari desentralisasi tetap ada. Dalam hal ini, desentralisasi dapat menjadi instrumen yang sangat powerfull di dalam mencapai tujuan pembangunan ’by assigning control right to people who have information and insentives’ untuk membuat keputusan terbaik menyangkut kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Lebih jauh, Von Braun dan Grote (2002) juga membuktikan bagaimana desentralisasi dengan berbagai bentuknya dapat menyebabkan penurunan pada kemiskinan. Studi yang dilakukan dengan me nggunakan analisis regresi multi variant, menemukan bahwa desentralisasi politik yang diukur atau diproksi dengan election tiers, desentralisasi administratif yang diukur dengan size of population, dan desentralisasi fiskal yang diukur dengan share of subnational expenditure, semuanya berdampak menurunkan kemiskinan. Namun, mereka kembali menekankan pentingnya untuk melihat ketiga bentuk desentralisasi tersebut secara bersama-sama (simultaneously), dan urutan (sequencing) dari berbagai bentuk desentralisasi tersebut memainkan peranan yang penting. Desentralisasi politik dan administratif menurut mereka sebaiknya dilakukan
38
mendahului desentralisasi fiskal (should precede fiscal decentralization). Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin. Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan transfer fiskal antar tingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao et al (1998) menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali (reorienting) dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik (public services) yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespon preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Keefektifan pemerintahan desentralisasi (desentralized goverment) di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan (linking) peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batasbatas tertentu (at the margin).
2.10. Pelaksanaan Otonomi Daerah Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan
39
pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan
otonomi
daerah
dalam
kesatuan
sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi
pada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah
untuk
meningkatkan
ketimpangan antardaerah.
kesejahteraan
bersama
dan
mencegah
Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi
daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung
40
jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
serta
kemandirian
masyarakat.
Oleh
karena
itu
upaya
penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan
otonomi daerah memiliki
potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan accountable dalam menjalankan “good governance”. Sekarang pemerintah daerah tidak lagi sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan adalah : 1.
DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block Grant, sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain kini pemerintah daerah dapat betindak lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya (provinsi atau pusat). Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin.
41
Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah.
2.
Izin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal untuk menuju proses perizinan yang cepat, transparan, dan murah.
3.
Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatankegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun. (Saefudin, 2005)
2.11. Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan Hirawan (1993) meneliti faktor yang mempengaruhi besarnya bantuan Inpres dan dampak bantuan Inpres terhadap PDRB, investasi, dan jumlah tenaga kerja dengan menggunakan persamaan tunggal dengan pooled data 27 Provinsi tahun 1994-1999, menemukan bahwa besarnya dana alokasi secara signifikan
42
ditentukan oleh jumlah penduduk, sementara bantuan Inpres terutama bersifat blok mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap PDRB dan tenaga kerja. Antara (1999) menganalisis perbedaan dampak alokasi pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian Pemerintah Bali dengan model social accounting matrix (SAM), menemukan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah secara bersamaan dengan pengeluaran wisatawan mendorong peningkatan kinerja perekonomian yang ditunjukkan oleh nilai PDRB. Akan tetapi, realokasi pengeluaran dari infrastruktur sosial ke infrastruktur ekonomi tanpa
peningkatan
total
pengeluaran
pemerintah
meningkatan
kinerja
perekonomian yang relatif rendah. Brodjonegoro et al (2001) meneliti dampak alokasi SDA dan DAU terhadap pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah dengan menggunakan model ekonometrik bagi hasil sumberdaya alam (BHSDA) dan DAU. Hasil simulasi kebijakan ekonomi menggunakan variabel eksogen (variabel kebijakan) yaitu: bagi hasil SDA dan bantuan pusat ke daerah (DAU) yang akan memberikan hasil yang optimal. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi bagi hasil SDA saja sebagai variable shock menghasilkan koefisien variasi dan PDRB meningkat dibandingkan dengan simulasi historis. Pada sisi lain ternyata hasil simulasi menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal secara tidak langsung mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Sidik (2003) menganalisis keterkaitan antara desentralisasi dan rent seeking di Indonesia, dengan membandingkan kondisi pada saat rejim orde baru dan setelah desentralisasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaksanaan
43
desentralisasi sampai tahun 2002 tidak selalu menunjukkan akuntabilitas yang lebih baik dan mampu membawa keuntungan sosial berdasarkan rent based in transfer arrangement dibandingkan dengan rejim orde baru. Pada zaman orde baru rent based on transfer didasarkan pada aliansi militer, birokrasi, dan kapitalis, yang dengan aturan dan institusinya mampu mengkoordinasikan dan juga meminimalkan biaya politik.
Implementasi desentralisasi telah secara
signifikan memindahkan rent based on transfer kepada pemerintah daerah (kabupatan/kota) tapi belum menunjukkan pola pembangunan yang lebih produktif, bahkan meningkatkan biaya koordinasi dan organisasi. Penelitian Brodjonegoro dan Arlen (2001) dalam Saefudin (2005), yang mencoba menyusun model ekonometrika desentralisasi khususnya mengenai alokasi bagi hasil SDA dan DAU kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antardaerah. Pengembangan model ekonometrika ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan bagi hasil SDA dan alokasi DAU terhadap kesenjangan antardaerah dan merumuskan format alokasi SDA dan DAU yang mampu mendukung proses pengurangan kesenjangan pendapatan antardaerah. Model analisis yang dibangun dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembagian penerimaan negara melalui konsep bagi hasil menimbulkan kesenjangan antardaerah, sedangkan kebijakan alokasi DAU mampu memperkecil kesenjangan antardaerah. Simulasi terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan jika hanya bagi hasil sumberdaya yang diterapkan maka pertumbuhan ekonomi daerah meningkat ratarata sebesar 0,026 %, sementara jika hanya DAU yang diberikan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah lebih besar yaitu
rata-rata 0,26 %.
44
Kombinasi keduanya menghasilkan pertumbuhan lebih besar lagi yaitu 0,37 %. Pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui bagi hasil SDA dan alokasi DAU secara bersama berdampak pada peningkatan konsumsi dan investasi daerah. Brodjonegoro dkk (2001), melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001. Evaluasi ini lebih menekankan pada alokasi DAU, dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan UU No 25 tahun 1999, di mana peranan DAU lebih ditekankan pada peningkatan pemerataan keuangan pusat dan daerah serta antardaerah. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peran formula murni, yaitu pembagian DAU yang didasarkan pada selisih antara penerimaan dan kebutuhan (fiscal gap) dalam DAU 2001 hanya sekitar 20 %, sementara 80 % lainnya dialokasikan berdasarkan dana perimbangan. Evaluasi yang dilakukan lebih merupakan evaluasi alokasi, ketimbang evaluasi formula. Pada masa yang akan datang peran formula akan makin membesar atau bahkan mencapai hampir 100 persen seperti lazimnya suatu formula “intergovernmental fiscal transfer ”. Hasil evaluasi ini menunjukkan : 1. Formula dan alokasi DAU belum sepenuhnya dilaksanakan secara objektif, adil, dan transparan karena masih dipengaruhi faktor eksternal yakni political adjustment sehingga muncul balancing factor yang mengharuskan alokasi DAU Tahun Anggaran 2001 minimal sama atau lebih besar daripada DRD dan DPD. Hal ini berimplikasi langsung terhadap distribusi DAU menjadi tidak proporsional yang cenderung menguntungkan daerah yang memiliki potensi fiskal besar, sedangkan faktor equalisasi (pemerataan) yang dicerminkan dari formula DAU justru proporsinya jauh lebih kecil (kurang dari 20 %) dibandingkan dengan faktor penyeimbangnya ( lebih dari 80 %).
45
2. Pembagian pagu DAU untuk Provinsi 10 % dan kabupaten/kota 90 %, karena asumsi
sebagian
besar
kewenangan
provinsi
telah
dilimpahkan
ke
kabupaten/kota ternyata tidak sesuai dengan beban riil pembiayaan daerah. Kenyataanya sebagian kewenangan yang seharusnya sudah diserahkan ke kabupaten/kota masih berada di provinsi sehingga menambah beban biaya. 3. Potensi fiskal yang digunakan dalam formula DAU Tahun Anggaran 2001 belum sepenuhnya mencerminkan semua potensi keuangan daerah yang ada karena variabel PDRB sektor industri dan variabel lainnya tidak secara signifikan dapat menentukan daerah yang memiliki kapasitas fiskal besar ataupun kecil yang dihimpun dari semua potensi penerimaan daerah. 4. Jumlah alokasi DAU tahun 2001 memang meningkatkan kemampuan daerah secara relatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan secara relatif pemerataan kemampuan keuangan antardaerah menjadi lebih baik. 5. Perhitungan terhadap kebutuhan daerah (fiscal needs ) belum dapat dilakukan dengan baik. Selain karena keterbatasan data dan belum adanya Standar Pelayanan
Minimum
(SPM)
untuk
masing-masing
daerah,
sistem
penganggaran masih belum didasarkan pada Standar Analisa Belanja (SAB) atau Standard Spending Assesment (SSA ). 6. DAU sama dengan SDO dan Inpres dalam formula DAU Tahun Anggaran 2001 yang dipertimbangkan sebagai instrumen untuk mengurangi penurunan kemampuan keuangan daerah kurang tepat sasaran dan tepat guna, karena lebih banyak ditentukan oleh keputusan politik yang pada gilirannya menguntungkan daerah tertentu dan merugikan daerah lainnya sehingga semakin jauh dari tujuan DAU sebagai equalizing grant .
46
7. Secara kuantitatif, sama dengan hasil penelitian sebelumnya, dengan perhitungan menggunakan Indeks Williamson untuk melihat ketimpangan antardaerah,
ternyata
alokasi
DAU
untuk
kabupaten/kota
mampu
meningkatkan pemerataan kemampuan fiskal antardaerah. Hal ini sejalan dengan tujuan DAU yang berfungsi memperbaiki pemerataan fiskal antardaerah akibat adanya bagi hasil sumberdaya alam yang cenderung sangat tidak merata. Lin and Liu (2000) menganalisis hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di China, dengan menggunakan fungsi produksi sebagai dasar analisis. Fungsi produksi yang digunakan adalah Cobb-Douglas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap
pertumbuhan
ekonomi
melalui
peningkatan
efisiensi
alokasi
sumberdaya. Di samping itu reformasi perdesaan, akumulasi modal, dan sektor swasta merupakan kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi di China. Riyanto (2003) melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah dan pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan membangun model hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuangan daerah dengan menggunakan model ekonometrika.
Setiap persamaan dalam model
kemudian diestimasi dengan teknik pooled time series-cross section regression. Di samping itu juga dilakukan studi kasus untuk menelaah proses perencanaan di daerah setelah desentralisasi fiskal dilakukan. Penelitian ini menemukan bahwa dana perimbangan yang merupakan transfer pemerintah pusat ke daerah secara signifikan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
47
tetapi dana perimbangan tersebut tidak berdampak secara signifikan dalam peningkatan perekonomian daerah.
Hal ini disebabkan oleh masih besarnya
belanja rutin dalam komponen APBD, kualitas sumberdaya manusia yang rendah dan tidak efisiennya birokrasi pemerintah, kelembagaan pemerintah yang lemah, serta tidak efisiennya proses perencanaan pembangunan daerah karena derajat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan masih rendah. Selanjutnya hasil simulasi model ekonometrika analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pemerataan pembangunan wilayah diperoleh informasi bahwa dana perimbangan dapat memperbaiki pemerataan pembangunan antarwilayah, walaupun secara aktual pemerataan pembangunan wilayah pada tahun 2001 belum membaik. Pemerataan pembangunan wilayah tersebut akan lebih baik jika formula untuk mengalokasikan Dana Alokasi Umum diterapkan secara konsisten dengan mengurangi peranan faktor penyeimbang (faktor politik). Pardede (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil simulasi yang dilakukan, ditemukan bahwa peningkatan bagi hasil pajak dan bukan pajak serta upah berdampak negatif pada perekonomian (PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berdampak positif terhadap inflasi. Sementara itu peningkatan
Pajak
Daerah
dan
Retribusi
berdampak
positif
terhadap
perekonomian (PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh negatif terhadap inflasi. Pembangunan
Infrastruktur
secara
Sedangkan peningkatan DAU dan umum
berdampak
positif
terhadap
perekonomian dan kesempatan kerja, sebaliknya berdampak negatif terhadap inflasi dan distribusi pendapatan.
48
Yudhoyono (2004), melakukan penelitian yang secara umum bertujuan menganalisis dampak penerapan kebijakan fiskal, terutama pengeluaran pemerintah, terhadap pengangguran dan kemiskinan. tersebut, digunakan pendekatan ekonometrika.
Untuk mencapai tujuan
Hasil pendugaan parameter
kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan.
Hasil dugaan model menunjukkan bahwa rezim pemerintahan
berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian, khususnya PDB dan kemiskinan. Kondisi ekonomi politik yang ditimbulkan oleh rezim pemerintahan Orde Baru cenderung menurunkan PDB pertanian dan non pertanian. Akibatnya kemiskinan di perdesaan dan perkotaan cenderung meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran.
Selain itu, studi
Yudhoyono menemukan bahwa untuk mengurangi kemiskinan, khususnya di perdesaan, diperlukan policy mix antara pengeluaran pemerintah untuk pembangunan pertanian dan kebijakan upah. Saefudin (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provinsi Riau. Saefudin menemukan bahwa dari evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi peningkatan, di mana dana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi terbesar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukkan alokasi (proporsi) pengeluaran rutin meningkat lebih tinggi dari alokasi pengeluaran pembangunan. Penurunan alokasi
pengeluaran
pembangunan
ditunjukkan
oleh
penurunan
alokasi
49
pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian dan pelayanan sosial umum. Kenaikan kebijakan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, penurunan kesenjangan antara daerah. Menurut Saefudin (2005) implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Riau berdampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah dan berdampak pada kinerja perekonomian daerah. Desentralisasi memiliki dampak terhadap mobilisasi sumber-sumber penerimaan asli daerah dan transfer pemerintah yang makin meningkat tetapi belum diikuti dengan alokasi yang proporsional ke semua sektor pembangunan. Sumedi (2005) melakukan penelitian mengenai dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja sektor pertanian. Pada cakupan wilayah, disoroti dampak kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat. Analisis dampak
kebijakan
desentralisasi
fiskal
terhadap
kesenjangan
antara
kabupaten/kota di Jawa Barat dibedakan atas daerah (kabupaten/kota) dengan basis industri dan pertanian. Indikator yang digunakan adalah kontribusi PDRB sektoral. Daerah pertanian adalah kabupaten/kota yang memiliki pangsa PDRB sektor pertanian relatif besar yaitu lebih dari 10 persen. Jika pangsa PDRB sektor pertanian kurang dari 10 persen, masuk dalam kategori daerah industri. Di antara temuan yang diperolehnya diketahui bahwa peningkatan DAU berdampak pada peningkatan kesenjangan antarkabupaten/kota baik di daerah berbasis pertanian maupun industri sehingga pada tingkat Provinsi Jawa Barat juga mengalami peningkatan kesenjangan antardaerah. Hasil ini bertolak belakang dengan tujuan pemberian DAU yang salah satunya adalah untuk mengurangi kesenjangan
50
antardaerah, tetapi malah yang terjadi sebaliknya. Hal ini terjadi karena alokasi DAU yang belum proporsional berdasarkan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki daerah namun masih sangat dominan menggunakan faktor penyeimbang. Pakasi
(2005)
meneliti
dampak
desentralisasi
fiskal
terhadap
perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara. Diperoleh hasil bahwa pertama, setelah desentralisasi, kinerja fiskal didominasi oleh penerimaan DAU terhadap fiscal availability dan pengeluaran rutin terhadap Fiscal need. Kedua, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun kecil pengaruhnya terhadap perekonomian daerah.
Ketiga, dampak
transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah, sedangkan dampak investasi baik domestik maupun asing lebih besar terhadap perekonomian daerah. Dan keempat, realokasi anggaran rutin ke anggaran sektoral yang terkait dengan masyarakat seperti infrastruktur, kesejateraan sosial, dan pendidikan dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah yang selanjutnya berdampak meningkatnya kinerja fiskal daerah. Hasil penelitian Nugroho (2005) memperlihatkan bahwa kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan penambahan belanja pemerintah di sektor jasa. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan, sedangkan kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perdesaan. Sedangkan untuk belanja pemerintah di sektor
51
pertanian, inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh positif terhadap kemiskinan di perdesaan. Hasil simulasi desentralisasi fiskal di Indonesia yang dilakukan oleh Usman (2006) menunjukkan pada model sisi pengeluaran, peningkatan tiga jenis pengeluaran pemerintah yaitu sektor pertanian, sektor pendidikan dan kesehatan serta sektor perumahan dan kesejahteraan berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, pemerataan pendapatan dan penurunan tingkat kemiskinan. Dari ketiga pengeluaran pemerintah untuk sektor tersebut, peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian yang memberikan pengaruh paling besar. Hal ini dimungkinkan karena sektor pertanian memiliki keterkaitan yang besar terhadap sektor lain baik di bagian hulu maupun bagian hilir. Pada bagian hulu, sektor pertanian dapat menyerap tenaga kerja yang banyak. Pada bagian hilir, hasil pertanian banyak dipergunakan sebagai input antara di berbagai industri. Pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan adalah yang paling kecil pengaruhnya. Hal ini dikarenakan pendidikan dan kesehatan hanya bisa dirasakan pengaruhnya pada jangka panjang. Pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan sumberdaya manusia di masa yang akan datang yang pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melepaskannya dari jeratan kemiskinan. Pada simulasi di sisi penerimaan daerah, Usman (2006) memperoleh informasi bahwa peningkatan penerimaan daerah untuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPJK) berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan kinerja ekonomi. Pada kinerja fiskal kenaikan BHPJK secara rata-rata nasional maupun berdasarkan pulau-pulau besar meningkatkan
52
pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin, di mana secara proporsi pengeluaran pembangunan relatif lebih tinggi dibandingkan pengeluaran rutin. Nanga (2006) melakukan studi mengenai dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Nanga menyatakan bahwa kemiskinan masih merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan.
Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui
transfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan dampak terhadap kemiskinan di Indonesia. Secara umum, tujuan studi yang dilakukannya adalah untuk menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi kemiskinan dan menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa transfer fiskal di
Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, kemudian diketahui kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan. Panjaitan (2006) melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian di kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dengan pendekatan ekonometrika menemukan dampak mekanisme DAU sebagai equalization transfer
dari pusat ke daerah Sumatera Utara berhasil memperbaiki tingkat
pendapatan
masyarakat
(PDRB)
dan
kesempatan
kerja
masyarakat
di
kabupaten/kota. Sedangkan peningkatan pengeluaran infrastruktur dan investasi akan meningkatkan kinerja perekonomian daerah.
Selain itu, simulasi
peningkatan PAD yang sepenuhnya digunakan untuk membiayai belanja pembangunan akan menghasilkan kinerja perekonomian daerah yang lebih baik di
53
tingkat kota maupun kabupaten.
Sedangkan kebijakan peningkatan retribusi
daerah akan menyebabkan meningkatnya kemiskinan di Sumatera Utara. Astuti (2007) melakukan studi tentang dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan perekonomian daerah di Provinsi Bengkulu menemukan bahwa di Provinsi Bengkulu pengeluaran daerah dari APBD masih terfokus pada pengeluaran rutin sedangkan penerimaan daerah yang digunakan untuk pengeluaran pembangunan akan meningkatkan produksi sektoral sehingga penyerapan tenaga kerja akan meningkat, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Adapun kebijakan yang paling besar meningkatkan kinerja
perekonomian dan fiskal adalah peningkatan penerimaan DAU dan peningkatan pengeluaran infrastruktur. Selain itu, peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian terutama untuk pelaksanaan peningkatan produksi tanaman pangan serta pembangunan infrastruktur sektor pertanian akan meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Sebagai ikhtisar dari penelitian-penelitian tentang desentralisasi fiskal di Indonesia maupun di kota-kabupaten memperlihatkan : 1. Kebijakan desentralisasi fiskal seperti alokasi DAU dan bagi hasil sumberdaya
alam
mampu
meningkatkan
kinerja
ekonomi
dan
memperkecil kesenjangan antar daerah. Hal ini sesuai dengan studi Brodjonegoro (2001), Riyanto (2003), Pardede (2005), Saefudin (2005), Pakasi (2005), Usman (2006), Panjaitan (2006), Hermami (2007) dan Astuti (2007).
54
2. Temuan sebaliknya diperoleh pada studi Nanga (2006) dan Sumedi (2005) yang menyatakan bahwa transfer fiskal di Indonesia cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar daerah. 3. Otonomi daerah dengan kebijakan peningkatan pengeluaran infrastruktur sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan memberikan dampak penurunan tingkat kemiskinan seperti studi Yudhoyono (2004), Usman (2006) dan Hermami (2007).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi daerah seluas-luasnya, dalam arti bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam Undang Undang ini.
Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata, yakni suatu prinsip bahwa untuk penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Dengan demikian isi dan jenis otonomi
bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konsep otonomi yang diajukan memberikan keleluasaan yang sangat besar terutama kepada tingkat kabupaten/kota dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat daerah setempat. Undang Undang telah menggarisbawahi bahwa kabupaten/kota akan memiliki 11 fungsi pelayanan utama yang wajib
56
dilaksanakan di daerah, antara lain: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, transportasi, dan lain-lain (LPEM, 2002). Kewenangan daerah dalam hal pelaksanaan tugas otonomi dan desentralisasi sangat luas, hal ini tercermin dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang diatur dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam tinjauan ekonomi publik, APBD merupakan alat untuk menyelenggarakan aktivitas kepemerintahan dan pengadaan barang publik seperti jalan, jembatan, pertahanan dan keamanan, serta jasa-jasa pemerintahan lainnya. APBD merupakan belanja publik (public expenditure) yang berfungsi untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) dalam penyediaan barang
dan jasa publik
(Stiglitz, 2000). Dalam teori keuangan publik disebutkan bahwa fungsi pemerintah terdiri dari fungsi alokasi, stabilisasi dan distribusi. Berkaitan dengan fungsi alokasi, pemerintah ikut serta dalam perekonomian dengan melakukan alokasi anggaran yang tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, fungsi distribusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan dari upaya tersebut yang tercermin dalam alokasi pengeluaran pemerintah. Di era desentralisasi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan program pengurangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta
57
penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, diharapkan berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan. Desentralisasi lebih memberikan ruang (space) dan peluang bagi masyarakat di daerah untuk menyalurkan aspirasi pembangunan dalam rangka menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kondisi obyektif dan kebutuhan daerahnya. Karena itu, untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin, diperlukan komitmen bersama dari semua stakeholders pembangunan, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga swadaya masyarakat (NGO), dunia usaha, maupun perguruan tinggi serta masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya penanggulangan kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah mempunyai hubungan erat dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonominya. Ada wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah sehingga penduduk di sekitarnya dapat memperoleh peningkatan pendapatan dan kesejahteraaan.
Sebaliknya, ada
wilayah yang sedikit sumberdaya alamnya sehingga penduduknya kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi kemiskinan bisa terjadi di wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah, hal ini menurut Utomo (1995) bisa terjadi karena: a. Sumberdaya alam di wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal. b. Penduduk
setempat
tidak
mempunyai
kemampuan
yang
cukup
(keterampilan, modal, akses) untuk dapat mengolah sumberdaya alam untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya.
58
c. Sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran regional (regional leakages). Di sisi lain pembangunan wilayah dihadapkan pada tidak meratanya distribusi pendapatan dan ketimpangan pembangunan antardaerah. Wilayah yang berkembang bisa menjadi sangat berkembang dan maju, sedang berkembang dan bahkan tertinggal. Selain itu kesenjangan di dalam wilayah pun rentan sekali terjadi seperti antara kelompok lapisan masyarakat (aparat dan pengusaha) antara penduduk asli dengan pendatang dan penguasaan jabatan oleh etnis atau suku tertentu tidak hanya memperlebar kesenjangan tetapi akan menimbulkan konflik, yang telah banyak terjadi di berbagai daerah di tanah air. Penanganan kemiskinan di era otonomi daerah sangat tergantung dengan keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat miskin. Dengan otonomi daerah seharusnya pemerintah semakin cepat dan tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakatnya dan partisipasi masyarakat pun meningkat untuk melakukan pembelaan terhadap hajat hidupnya.
Oleh sebab itu kemiskinan
sebagai permasalahan besar baik nasional maupun lokal diharapkan menjadi perhatian lebih bagi pelaksana pemerintahan.
Dengan program penanganan
kemiskinan pemerintah pusat, prakarsa pemerintah daerah, prakarsa kelembagaan masyarakat yang diiringi dengan partisipasi masyarakat akan memperbaiki tingkat kesejahteraan dan pemerataan pendapatan dan studi ini menfokuskan pada efektifitas alokasi fiskal pemerintah terhadap pengurangan kemiskinan. Cukup banyak ukuran yang dipakai untuk menilai jumlah penduduk miskin. Salah satunya ukuran garis kemiskinan (poverty line), kemiskinan absolut
59
dan relatif.
Ukuran-ukuran ini diperlukan untuk menetapkan sasaran-sasaran
program pengentasan kemiskinan, membantu penduduk/daerah miskin atau program-program yang berupaya mengurangi kemiskinan agar tepat sasaran.
OTONOMI DAERAH
PENERIMAAN DAERAH
PENERIMAAN ASLI DAERAH
DANA PERIMBANGAN
BAGI HASIL SDA
LAIN-LAIN PENERIMAAN
PENGELUARAN DAERAH
PENGELUARAN PEMBANGUNAN
SEKT PERTANIAN NON PERTANIAN
PENGELUARAN RUTIN
SEKT. INFRASTRUKTUR
SEKT. SOSIAL & PELAYANAN UMUM
PERBAIKAN MAKRO EKONOMI INVESTASI, PDRB, EKSPOR & IMPOR
PEN INGKATAN AKTIVITAS EKONOMI, PENINGKATAN PENDAPATAN, PERLUASAN LAPANGAN KERJA & PENYERAPAN TENAGA KERJA
PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN
Ket :
= hubungan rincian = hubungan kausalitas
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan
60
3.2 Metode Penelitian 3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Propinsi Riau yang meliputi 11 kabupaten/ kota mulai Juni 2005 sampai dengan Februari 2006.
3.2.2. Sumber Data Sumber data utama penelitian ini berasal dari Badan Pusat Statistik Pusat, Badan Statistik Provinsi Riau, Departemen Keuangan, Bapeda Provinsi Riau dan Dinas terkait.
3.2.3. Gambaran Kesejahteraan Daerah Sebagai langkah awal dalam melakukan analisis yang berhubungan dengan kemiskinan akan dilihat gambaran umum kondisi kesejahteraan daerah tingkat Provinsi. Gambaran umum terhadap kondisi daerah yang dimaksud meliputi kependudukan, kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ketenagakerjaan, keuangan daerah, indeks kemiskinan. Indeks kemiskinan yang sering digunakan meliputi Headcount Index (HCI), Poverty Gap Index (PGI), dan Square Poverty Gap Index (SPGI). Penentuan nilai indeks-indeks ini didasarkan pada suatu garis kemiskinan tertentu. Perbedaan metode perhitungan garis kemiskinan dapat menyebabkan perbedaan pada nilai indeks kemiskinan. Saat ini di Indonesia selain BPS, metode perhitungan garis kemiskinan dilakukan pula oleh lembaga lain diantaranya Bank Dunia dan LPEM-UI. Namun demikian dalam penelitian ini akan digunakan garis kemiskinan BPS.
61
Pengukuran pembangunan manusia lainnya dapat diukur dengan indeks kemiskinan manusia (IKM). Indeks ini menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses sumberdaya publik, dan sumberdaya privat. IKM menggunakan variabel persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih, dan persentase anak berumur 5 tahun ke bawah dengan berat badan rendah atau kurang gizi.
3.2.4. Perumusan Model Ekonometrika Dalam analisis dampak otonomi daerah terhadap penanganan kemiskinan ini, lokasi penelitian yang digunakan mencakup Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Model ekonometrika dirumuskan berdasarkan fenomena desentralisasi fiskal dan berdasarkan teori-teori ekonomi makro, ekonomi regional, dan ekonomi publik. Model ini dibangun berdasarkan kerangka teori ekonomi dan kajian empiris yang relevan yang diharapkan mampu menunjukkan kinerja perekonomian daerah dan perubahan tingkat kemiskinan secara sederhana dan jelas. Alasan studi terfokus di daerah karena otonomi dengan desentralisasi fiskalnya akan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah dan tingkat kemiskinan, di mana sebelumnya daerah tergantung pada pusat (sentralisasi fiskal) dan berubah dengan diserahkannya tanggung jawab pusat ke daerah untuk mengatur dan bertanggungjawab terhadap pemerintahan dan perekonomian.
62
Model ekonometrika yang baik yaitu memenuhi kriteria ekonomi yang menyangkut tanda, kriteria statistik yang menyangkut uji statistiknya, dan kriteria ekonometrika yang me nyangkut asumsi-asumsi ekonometrikanya (Koutsoyiannis, 1977). Dari ketiga kriteria tersebut kriteria ekonomi ditempatkan lebih penting dibandingkan kriteria lain untuk dievaluasi dalam penelitian ini. Artinya, apabila hasil estimasi dari model yang telah dibangun belum sesuai dengan kriteria ekonomi yang diharapkan, maka akan dilakukan respesifikasi dan reestimasi model. Agar model yang dibangun dapat menangkap fenomena otonomi daerah dan keterkaitannya dengan perbaikan tingkat kemiskinan dan pemerataan pendapatan di kabupaten dan kota di provinsi Riau, maka model disusun dalam sistem persamaan simultan makroekonomi daerah dengan panel data (pooled data) 9 kabupaten dan 2 kota dan time series tahun 1996-2004. Model dikelompokkan ke dalam empat blok yaitu: (1) blok penerimaan daerah, (2) blok pengeluaran daerah, (3) blok makro ekonomi daerah dan (4) blok tingkat kemiskinan. Model ini terdiri 28 persamaan dengan 18 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas.
3.2.4.1. Blok Penerimaan Daerah Di sisi penerimaan keuangan daerah, dapat dilihat dari aspek pajak daerah, retribusi, laba BUMD, dana bagi hasil, sumbangan, dan bantuan pemerintah pusat ke daerah. Penerimaan pemerintah daerah merupakan identitas dari penerimaan asli daerah, sumbangan pemerintah pusat, dan pinjaman pembangunan. Penerimaan asli daerah merupakan jumlah dari PAD dan dana bagi hasil. Secara
63
umum penerimaan pajak daerah, retribusi, pajak yang dibagihasilkan diduga pengaruhi oleh nilai PDRB dan populasi. 3.2.4.1.1. Pajak Daerah TAXD
= a0 + a1 *TEXP + a2 KONM + a3*DDF + a4*LTAXD + u1 ...........................................................................(3)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: a1, a2, a3 > 0 ; 0< a4,< 1
3.2.4.1.2. Retribusi Daerah RETRD
= b0 + b1 *PDRB + b 2 *TEXP + b3*DDF + u2 ...........(4)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: b1, ,b2, , b3> 0
3.2.4.1.3. Pendapatan Asli Daerah PAD
= TAXD + RETRD + LABUD …..........................(5)
3.2.4.1.4. Dana Alokasi Umum DAU
= c0 + c1 * TEXP + c2 *AKED + c3 * POP + c4*BHPJSDA + c5 *DDF + u3 .............................(6)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: c1, , c3, c5, >0 ; c4 , c2 < 0
3.2.4.1.5. Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah BHTAXD
= d0 + d1 * PAD + d 2 * PESE + d3 * DDF +u4 .........(7)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: d1, d2, d3 >0
3.2.4.1.6. Total Penerimaan Daerah TPED
= PAD+DAU+DAK+BHTAXD+ BHPESDA +PELA + SAPBDTS ......................................................... (8)
64
3.2.4.2. Blok Pengeluaran Daerah Pengeluaran atau belanja pemerintah kabupaten terdiri dari pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin. Pengeluaran pembangunan disagregasi menjadi pengeluaran untuk sektor anggaran ekonomi, sosial, dan pelayanan umum. Selanjutnya untuk sektor anggaran ekonomi dibedakan menjadi sektor produksi pertanian, sektor produksi non pertanian, dan infrastruktur. Sedangkan pengeluaran rutin disagregasi menjadi pengeluaran untuk gaji pegawai dan bukan gaji. Secara umum, pengeluaran pemerintah diduga dipengaruhi oleh penerimaan asli daerah, jumlah sumbangan yang diterima, populasi, dan pendapatan regional. 3.2.4.2.1. Pengeluaran Rutin Gaji PERGA
= e0 + e1* PAD + e2 *DAU+e3*DAK + e4*JPGO + e5* DDF +u5 ........................................................... (9)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: e1, e2, e3, e4, e5 > 0
3.2.4.2.2. Pengeluaran Rutin Non Gaji PERNGA
= f0 + f1 * PAD + f2 *SAPBDTS + f3 * POP + f4* DDF+ u6 ................................................................(10)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: f1, f2, f3 , f4> 0
3.2.4.2.3. Pengeluaran Rutin Daerah PERDA
= PERGA + PERNGA .................................................. (11)
3.2.4.2.4. Pengeluaran Sektor Pertanian PESPER
= g0 + g1* TPED + g2 * PTKP + g3*DDF+ g4*LPESPER + u 7 .................................................... (12)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: g1, g2, g3 > 0 ; 0< g4 < 1
65
3.2.4.2.5. Pengeluaran Sektor Non Pertanian PESNPER
= h0 + h1 * TPED + h2* PTKNP + h3 * PDGN + h4*DDF + u8.............................................................(13)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: h1, h2 , h4 > 0 ; h3 < 0
3.2.4.2.6. Pengeluaran Infrastruktur PEINF
= i0 + i1 * TPED + i2* PDRB + i3 * LWIL + u 9 ............(14)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: i1,, i2, , i3 > 0
3.2.4.2.7. Pengeluaran Pelayanan Sosial PEPS0
= j0 + j1 * PAD + j2 * JDEKE + j3 *PDDK + j4 *KSHT + j5*LPEPSO+ u10 …………..……..… (15)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: j1, j2 ,j3, j4, > 0 ; 1 > j5 > 0
3.2.4.2.8. Pengeluaran Pelayanan Umum PEPUM
= k0 + k1 *PAD + k2 *SAPBDTS + k3 *POP +k4 * DDF + k7* LPEPUM + u11
…………………(16)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: k1, k2, k3 ,k4, k5, k6>0 ; 0
3.2.4.2.9. Pengeluaran Sektor-Sektor Ekonomi PESE
= PESPER + PESNPER + PEINF ................................(17)
3.2.4.2.10. Pengeluaran Pelayanan Sosial-Umum PEPSU
= PESPSO + PEPUM .................................................. (18)
3.2.4.2.11. Total Pengeluaran Pembangunan TEXP
= PERDA + PESE + PEPSU .......................................... (19)
66
3.2.4.3. Blok Makro Ekonomi Daerah Blok makro ekonomi daerah menggambarkan PDRB pada sisi permintaan agregat yaitu pengeluaran pemerintah, investasi, ekspor, impor daerah dan produksi sektoral yaitu sektor pertanian/non pertanian daerah.
3.2.4.3.1. Investasi Daerah INVD
= l0 + l1 UMR + l2*PAD + l3 *RETRD + L4 *DDF + u 12 ………………………………………(20)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: l1, l2, l4 < 0; I3, > 0
3.2.4.3.2. Ekspor Daerah EXPRD
= m0 + m1 * PDRB + m2 * EXR + m 3 * LEXPRD + u 13 ... (21)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: m1 , m2 , m3 > 0
3.2.4.3.3. Impor Daerah IMPRD
= n0 + n1 *PDRB + n2*EXPRD + n3*LIMPRD + u14 ....(22)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: n2, n3>0 ; n1 < 0
3.2.4.3.4. Produk Domestik Regional Bruto PDRB
= KONM + INVD + TEXP + EXPRD – IMPRD ............ (23)
3.2.4.3.5. Produksi Sektor Pertanian PRSP
= o0 + o1 * UPSP + o2 * POP + o3 * DDF + u15 ...................(24)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: o1, o2, o3 > 0
67
3.2.4.3.6. Produksi Sektor Non Pertanian = p0 + p1 * UPSNP + p2 TPSEK + p3 * DDF + u 16 ..............(25)
PRSNP
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: p1, p2, p3 > 0
3.2.4.3.7. Total Produksi Sektoral TPSEK
= PRSP + PRSNP .............................................................(26)
3.2.4.4. Blok Tingkat Kemiskinan Blok tingkat kemiskinan menggambarkan tingkat kemiskinan suatu daerah yang meliputi jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, jumlah penduduk miskin perkotaan dan jumlah penduduk miskin di perdesaan. 3.2.4.4.1. Penduduk Miskin Perkotaan MISKT
= q0 + q1 * DAU + q2 *POP + q3 *UPSP + q4*PEPSU + q5*PTKNP + q6*DDF + u17 ......................(27)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: q1, q3, q5 , q6 < 0 ; q2 , q4 > 0
3.2.4.4.2. Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan MISDS
= r0 + r1 * PESE + r2 *BHPJSDA + r3 *DAU + r4 *POP + r5 *PTKP + r6 *DDF + u18 ..................................(28)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan sebagai berikut: r1, r4 > 0 ; r2, ,r3 ,r5 , r6 > 0
3.2.4.4.3. Total Penduduk Miskin MISTOT
= MISKT + MISDS ................ ..................................(29)
68
Keterangan : AKED
= angkatan kerja (orang)
BHPJSDA
= Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (juta Rp)
BHTAXD
= bagi hasil pajak (juta Rp)
DAU
= dana alokasi umum (juta Rp)
DAK
= dana alokasi khusus (juta Rp)
DDF
= dummy desentralisasi fiskal Dimana bernilai 0 sebelum desentralisasi Bernilai 1 setelah desentralisasi diberlakukan
EXPRD
= ekspor daerah (juta Rp)
EXR
= exchange rate (ribu Rp/US$)
INVD
= investasi daerah (juta Rp)
IMPRD
= impor daerah (juta Rp)
JPGO
= jumlah pegawai otonomi (orang)
JDEKE
= jumlah desa dan kelurahan (buah)
KPDK
= kepadatan penduduk (orang/km2)
KSHT
= pengeluaran bidang Kesehatan (Juta Rp)
KONM
= konsumsi masyarakat (juta Rp)
LWIL
= luas wilayah (Km2)
LPEPSO
= lag pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp)
LABUD
= laba badan usaha daerah (juta Rp)
LTAXD
= lag pajak daerah (juta RP)
LDAU
= lag dana alokasi umum (juta Rp)
LPESPER
= lag pengeluaran sektor pertanian (juta Rp)
LPESNPER
= lag pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp)
69
LPEPUM
= lag pengeluaran pelayanan umum (juta Rp)
LEXPRD
= lag EXPRD (juta Rp)
LPRSNP
= lag produksi sektor non pertanian (juta Rp)
MISKT
= Jumlah penduduk miskin perkotaan (ribu jiwa)
MISDS
= Jumlah penduduk miskin perdesaan (ribu jiwa)
MISTOT
= Total Penduduk Miskin (ribu jiwa)
PDRB
= produk domestik regional bruto (juta Rp)
PAD
= pendapatan asli daerah (juta Rp)
POP
= jumlah penduduk (orang)
PESE
= pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp)
PELA
= penerimaan lain-lain (juta Rp)
PERGA
= pengeluaran rutin gaji (juta Rp)
PERNGA
= pengeluaran rutin non gaji (juta Rp)
PTKP
= penyerapan tenaga kerja pertanian (juta Rp)
PTKNP
= penyerapan tenaga kerja non pertanian (juta Rp)
PEINF
= pengeluaran infrastruktur (juta Rp)
PESPER
= pengeluaran sektor pertanian (juta Rp)
PESNPER
= pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp)
PERDA
= pengeluaran rutin daerah (juta Rp)
PEPSO
= pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp)
PEPUM
= pengeluaran pelayanan umum (juta Rp)
PDDK
= pengeluaran bidang pendidikan (juta Rp)
PESE
= pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp)
PEPSU
= pengeluaran pelayanan sosial-umum (juta Rp)
PRSP
= produksi sektor pertanian (juta Rp)
70
3.2.7
PRSNP
= produksi sektor non pertanian (juta Rp)
RETRD
= retribusi daerah (juta Rp)
SAPBDTS
= sisa anggaran tahun sebelumnya (juta Rp)
SBK
= Suku Bunga (%)
TAXD
= pajak daerah (juta Rp)
TPED
= total pendapatan daerah (juta Rp)
TEXP
= total pengeluaran pembangunan (juta Rp)
TAXD
= pajak daerah (juta Rp)
TPSEK
= Total pengeluaran sektoral (juta Rp)
UMR
= upah minimum regional (Ribu Rp)
UPSP
= upah tenaga kerja pertanian (juta Rp)
UPSNP
= Upah tenaga kerja non pertanian (juta Rp)
Prosedur Analisis
3.2.7.1 Identifikasi Model Indentifikasi model ditentukan atas dasar "order condition" sebagai syarat keharusan
dan
"rank
condition"
sebagai
syarat
kecukupan.
Menurut
Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model persamaan struktural berdasarkan order condition ditentukan oleh: (K-M) > (G- 1) .......................................................... (30) dimana: K = Total peubah dalam model, yaitu peubah endogen dan peubah predetermined. M = Jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model, dan
71
G = Total persamaan dalam model, yaitu jumlah peubah endogen dalam model. Jika dalam suatu persamaan dalam model menunjukkan kondisi sebagai berikut. ( K –M) > (G -1) = maka persamaan dinyatakan teridentifikasi secara berlebih (overidentified) (K–M ) = (G -1)
= maka persamaan tersebut dinyatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified), dan
(K – M) < (G – 1) = maka persamaan tersebut dinyatakan tidak teridentifikasi (unidentified).
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau overidentifled untuk dapat menduga parameter-parameternya. Kendati suatu persamaan memenuhi order condition, mungkin saja persamaan itu tidak teridentifikasi. Karena itu, dalam proses identifikasi diperlukan suatu syarat perlu sekaligus cukup. Hal itu dituangkan dalam rank condition untuk identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika dimungkinkan untuk membentuk minimal satu determina n bukan nol pada order (G-1) dari parameter struktural peubah yang tidak termasuk dalam persamaan tersebut. Atau dengan kata lain kondisi rank ditentukan oleh determinan turunan persamaan struktural yang nilainya tidak sama dengan nol (Koutsoyiannis, 1977). Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 28 persamaan atau 28 peubah endogen ( G ), 26 peubah predetermined variable dan 23 peubah eksogen dan 7 lag endogenous variabel. Sehingga total peubah
72
dalam model (K) adalah 44 peubah, jumlah peubah dalam persamaan (M ) paling banyak adalah 7 peubah. Berdasarkan kriteria order condition, maka setiap persamaan struktural yang ada dalam model adalah over identified.
3.2.7.2. Metode Pendugaan Model Dari hasil identifikasi model, maka model dinyatakan overidentified, dalam hal ini untuk pendugaan model dapat dilakukan dengan 2SLS (Two Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares), LIML (Limited Information Maximum Likelihood) atau FIML (Full Information Maximum Likehood). Pada penelitian ini, metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLS, dengan beberapa pertimbangan, yaitu penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML menggunakan informsi yang lebih banyak dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran maupun kesalahan spesifikasi model Untuk mengetahui dan menguji apakah peubah penjelas secara bersamasama berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji apakah masing-masing peubah penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t atau dengan melihat nilai probabilitasnya.
73
3.2.7.3. Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau non kebijakan dan peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model, dengan tujuan untuk manganalisis sejauh mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang digunakan adalah: Root Means Percent Square Error (RMSPE), Bias (UM) dan Theil’s Inequality Coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield, 1991). Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka pendugaan model sempurna. Jika U = 1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-Theil's serta makin besar nilai R2, maka pendugaan model semakin baik.
3.2.7.4. Simulasi Model Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah baik di sektor penerimaan
74
maupun pengeluaran terhadap peubah-peubah endogen utamanya adalah untuk mengetahui dampaknya terhadap pengentasan kemiskinan. Analisis simulasi diterapkan untuk periode tahun 1996-2004. Karena mencakup periode yang sudah lampau, maka simulasi dinamakan simulasi historis.
3.2.7.5. Simulasi Kebijakan Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap peubah endogen. Variabel-variabel kebijakan desentralisasi fiskal yang dimaksud adalah dana alokasi umum (DAU), porsi bagi hasil pajak (BHPJSDA), Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan (PDDK & KSHT), pengeluaran pemerintah bidang pertanian (PESPER), dan pengeluaran untuk Infrastruktur. Simulasi antara lain bertujuan untuk: (1) melakukan pengujian dan evaluasi terhadap model, (2)
mengevaluasi kebijakan pada masa yang lampau, dan
(3) membuat peramalan pada masa yang akan datang. Simulasi yang dilakukan pada penelitian ini untuk mengevaluasi alternatif kebijakan melalui simulasi historis (ex-post simulation). Adapun skenario yang dilakukan antara lain : 1.
Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) 20 %.
2.
Peningkatan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) 10 %.
3.
Peningkatan Penerimaan PAD sebesar 20 %.
4.
Peningkatan pengeluaran Sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 17 % dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum sebesar 20 %.
75
5.
Peningkatan pengeluaran dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 % dan pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 %.
6.
Peningkatan pengeluaran pembangunan dengan alokasi peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan 9 %, Sektor infrastruktur 4 %, Sektor Pelayanan Umum 10 % dan Sektor Pertanian 10 %.
PENERIMAAN DAERAH
PENGELUARAN DAERAH
BHTAXD
PAD DAU
DAK
JDEKE
JPGO
LWIL
PERGA
TAXD
PEPSO
TEXP AKED
RETRD
PERDA
SAPBDTS
PEPUM
PDDK
POP
LABUD
PTKP
KSHT PEPSU
BHPESDA
PELA
PERNGA
PTKNP
PDGN
TPED PESE
SABDTS
PESNPER
PINF
PESPER DDF PDRB
UPSNP
INVD EXPRD IMPRD EXR UMR
MISDS
MISKT MISTOT
PRSP
SBK
UPSP
UPSNP
PRSNP
TPSEK KONM
PENDUDUK MISKIN
MAKRO EKONOMI DAERAH
Gambar 3. Hubungan antar Peubah dalam Penelitia n
Ket : = Hubungan struktural = Hubungan identitas = Variabel endogen = Variabel eksogen
IV.
GAMBARAN UMUM KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROVINSI RIAU
4.1. Kondisi Fisik Wilayah Provinsi Riau terdiri dari daratan dan perairan, dengan luas lebih kurang 329.867,61 km2 sebesar 235.306 km2 (71,33 %) merupakan daerah lautan dan hanya 94.561,61 km2 (28,67 %) daerah daratan. Di samping itu di daerah lautan yang berbatasan dengan negara lain diperkirakan luas daerah Zona Ekonomi Eklusif adalah 379.000 km2. Keberadaannya membentang dari lereng Bukit Barisan sampai dengan Selat Malaka, terletak antara 01005’00” Lintang Selatan sampai 02025’00” Lintang Utara atau antara 100000’00” Bujur Timur – 105005’00” Bujur Timur. Di daerah daratan terdapat 15 sungai, diantaranya ada 4 sungai yang mempunyai arti penting sebagai prasarana perhubungan seperti Sungai Siak (300 km) dengan kedalaman 8 – 12 m, Sungai Kampar (400 km) dengan kedalaman 6 – 8 m. Keempat sungai yang membelah dari pegunungan dataran tinggi Bukit Barisan bermuara di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan itu dipengaruhi pasang surut laut. Batas-batas daerah Riau adalah: Sebelah Utara:
Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara
Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat Sebelah Timur :
Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka
Sebelah Barat :
Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Riau terdiri dari 2 Kota dan 9 Kabupaten yaitu:
Kota
Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Bengkalis,
Kabupaten
Kampar,
Kabupaten
Siak,
Kabupaten
77
Palalawan, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Kuantan Singigi.
Sedangkan Kota Batam, Kabupaten Kepulauan Riau yang
sebelumnya termasuk dalam Provinsi Riau telah membentuk provinsi baru yaitu Provinsi Kepulauan Riau. Jarak suatu kota dengan ibukota provinsi termasuk salah satu faktor yang dapat mempercepat pembangunan daerah tersebut.
Kota-kota di sekitar Kota
Pekanbaru lebih baik tingkat pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya dibanding kota-kota yang berada sangat jauh dari kota Pekanbaru seperti Bangkinang, Pangkalan Krinci, Dumai dan Siak Sri Indrapura.
Tembilahan
merupakan ibukota Kabupaten yang paling jauh jaraknya dengan Kota Pekanbaru diikuti dengan Bagan Siapi-api, Rengat dan Taluk Kuantan, dan termasuk daerah yang tingkat pembangunannya rendah dan tingkat kesejahteraannya pun rendah. Lihat Tabel 2. Daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000 – 3000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Rata-rata hari hujan setahun pada tahun 2004 tercatat 127 hari. Jika dibandingkan banyaknya hari hujan dalam tahun 2004 dengan banyaknya hari hujan pada tahun 2003 terjadi penurunan sebesar 24 %. Daerah yang paling sering ditimpa hujan setiap tahun adalah Indragiri Hulu dan Pekanbaru yaitu 203 hari, Kota Dumai 161 hari, Kabupaten Pelalawan 155 hari, dan yang terakhir Kabupaten Siak 73 hari. Kejadian kabut selama tahun 2003 tercatat 4 kali dan yang paling banyak terjadi pada bulan Agustus yaitu sebanyak 2 kali. (BPS Provinsi Riau, 2004)
78
Tabel 2. Jarak antara Ibukota Provinsi dengan Ibukota Kabupaten/Kota Jarak dengan ibukota No Kabupaten/kota Ibu kota Provinsi (km) 1 Kuantan Singingi Taluk Kuantan 175 2
Indragiri Hulu
Rengat
182
3
Indragiri Hilir
Tembilahan
300
4
Palalawan
Pangkalan Krinci
70
5
Siak
Siak Sri Indrapura
120
6
Kampar
Bangkinang
7
Rokan Hulu
Bagan Siapi-api
240
8
Bengkalis
Bengkalis
125
9
Rokan Hilir
Pasir Pangaraian
183
10
Pekanbaru
Pekanbaru
11
Dumai
Dumai
60
0 188
Sumber : BPS provinsi Riau, 2004 Daerah Riau yang memiliki luas daerah7,8 juta ha sebagian besar jenis tanahnya adalah organosol dan gley humus yaitu 5 juta ha lebih (64,84 %), sisanya 0,21 juta ha adalah jenis tanah podsol. (BPS, 2005)
4.1.1. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Sifat alamiah dan tingkat pemanfaatan sumberdaya lahan sangat menentukan produksi yang dapat digunakan oleh manusia.
Pemanfaatan
sumberdaya lahan tersebut bermacam-macam berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia.
Provinsi Riau terdiri dari 11 kabupaten/kota
dimana jika dilihat dari luas wilayah, Kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten terluas yaitu mempunyai luas 1.160.597 ha, diikuti dengan Kabupaten Bengkalis yaitu 1.148.177 ha dan Kabupaten Kampar 1.170.764 ha, sedangkan kabupaten/kota yang lain mempunyai luas di bawah 1 juta ha.
79
Penggunaan lahan di Provinsi Riau untuk hutan negara seluas 2.541.214 ha (29,71 %), perkebunan seluas 2.350.577 ha (27,48 %), tegal/kebun/ lading/huma seluas 542.202 ha (6,34 %), sedangkan luas pekarangan/lahan untuk bangunan dan halaman sekitarnya 381.759 ha (4,46 %), rawa-rawa yang tidak diusahakan seluas 128.825 ha (1,51 %) tanaman kayu-kayuan seluas 663.411 ha (7,76 %), lahan yang sementara tidak diusahakan seluas 538.569 ha (6,30 %), padang rumput seluas 27.666 ha (0,30 %), kolam/empang seluas 449 ha (0,05 %) dan sisanya seluas 1.084.382 ha (12,68 %) digunakan untuk lain-lain.
4.2. Kondisi Kesejahteraan Masyarakat Masalah kependudukan merupakan faktor penting dalam pembangunan tidak hanya menyangkut jumlah dan kepadatan ataupun angka kelahiran dan kematian, tetapi sangat dibutuhkan dalam perencanaan pembangunan di segala bidang,
pemberian
pelayanan
dan
perencanaan
produksi
dan
pasar.
Perkembangan penduduk Riau cukup pesat dari tahun ke tahun. Menurut sensus penduduk tahun 1930 penduduk Riau baru berjumlah 566 ribu jiwa yang tersebar di empat afdeling, yaitu Tanjung Pinang, Indragiri, Bangkinang dan Bengkalis. Kurang lebih 30 tahun kemudian, yaitu pada sensus penduduk tahun 1961, penduduk Riau telah menjadi 1.234.984 jiwa, lebih dari dua kali lipat penduduknya dari tahun 1930, dengat laju perkembangan penduduk tahunan pada periode 1930-1961 diperkirakan 2,55 %. Pada sensus penduduk tahun 1971 penduduk Provinsi Riau mencapai 1.641.545 jiwa.
Perkembangan penduduk
provinsi ini pada periode 1980-1990 bertambah lebih dari satu juta orang dengan laju perkembangan penduduk 4,31 % pertahun. Berdasarkan hasil Susenas 2004, penduduk Provinsi Riau berjumlah 4.491.393 jiwa dan dari hasil Susenas tahun
80
2005 jumlah penduduk meningkat menjadi 4.614.930 jiwa atau naik sebesar 2.71 %. Dengan luas wilayah provinsi Riau, rata-rata setiap 1 km2 dihuni oleh 49 orang penduduk. (BPS, 2005) Kota Pekanbaru merupakan daerah terpadat dibanding daerah lainnya, dengan luas 446,50 km2 (0,52 %) yang dihuni oleh 15,32 % penduduk. Sedangkan daerah yang paling jarang penduduknya adalah Kabupaten Palalawan dengan luas wilayah 11.987.90 km2 (13,87 %) dihuni hanya oleh 5,17 % penduduk. Jumlah penduduk yang tinggal di daerah perdesaan di Provinsi Riau tahun 2005 lebih besar dari penduduk yang tinggal di daerah perkotaan yaitu 35,27 % di perkotaan dan 64,73 % di perdesaan.
Sedangkan menurut jenis kelamin,
penduduk laki-laki yang tinggal di perkotaan lebih besar dibanding dengan penduduk perempuan. Salah satu indikator pertumbuhan urbanisasi suatu bangsa tercermin dari peningkatan persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Di daerah yang sudah maju, sebagian besar penduduknya tinggal di daerah perkotaan. Di Provinsi Riau, penduduk yang tinggal di daerah perkotaan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 penduduk perkotaan sekitar 35,15 % dan tahun 2005 sedikit meningkat menjadi 35,27 %. Hal ini terjadi akibat arus urbanisasi yang terus meningkat ditambah dengan migrasi penduduk dari daerah bencana yaitu dari daerah Aceh dan Nias. Pertumbuhan penduduk Provinsi Riau setelah tahun 2000 tercatat sebesar 3.65 % yang tersaji pada Tabel 3.
81
Tabel 3. Perkembangan Jumlah Penduduk di Provinsi Riau, 1980-2005 jumlah penduduk No Kota/Kabupaten 1990 1995 2000 2005 1 Kuantan Singingi 215.114 531.000 2 Indragiri Hulu 368.374 429.184 246.852 630.000 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Indragiri Hilir Palalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Pekanbaru Dumai RIAU
Laju Pertumbuhan (%) Sumber : BPS Provinsi Riau
478.066 569.911 904.375 389.694 3.304.000 3.38
534.435 738.975 1.108.985 481.781 3.900.000
555666 150.609 238.468 445.106 265.221 518.947 349.771 582.240 172.984
1.385.000 238.592 626.000 1.157.000 719.000 1.489.000 930.000 707.008 1.532.000
4.740.978 9.944.600 3.65
4.2.1. Kondisi Sumber daya Manusia Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk manusia-manusia terampil dan produktif sehingga pada gilirannya dapat mempercepat peningkatan kesejahteraaan masyarakat.
Untuk menggambarkan keadaan pendidikan
penduduk secara umum dapat diketahui dari beberapa indikator seperti partisipasi sekolah, tingkat pendidikan yang ditamatkan dan angka buta huruf.
Secara
umum tingkat pendidikan masyarakat Provinsi Riau terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dilihat dari perkembangan indikator pendidikan yang disajikan Tabel 4. Angka Partisipasi Sekolah (APS), angka melek huruf dan lama sekolah terus mengalami perbaikan, yang memperlihatkan mulai meratanya dan tingginya kesadaran masyarakat akan peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui jalur pendidikan.
82
Tabel 4. Perkembangan Tingkat Pendidikan di Provinsi Riau, 1996-2005 Indikator Pendidikan
1996
1999
2002
2005
APS 7-12 tahun
95.0
96.3
96.8
97.2
APS 13-15 tahun
79.3
85.2
84.5
90.0
APS 16-18 tahun
46.7
53.4
53.9
55.5
Angka Melek Huruf
93.4
95.5
96.5
98.8
-
7.3
8.3
8.9
Lama Sekolah (tahun)
Sumber : BPS berbagai tahun
Berdasarkan hasil susenas 2005, jumlah penduduk usia SD (7-12 tahun) yang masih bersekolah sekitar 97,27 %, dengan persentase yang tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan yaitu masing-masing sebesar 97,16 pesen dan 97,39 %.
Namun dilihat dari perbedaan tipe daerah, terlihat bahwa
persentase penduduk yang masih bersekolah di daerah perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan, yaitu masing-masing sebesar 98,50 % dan 96,67 %. Jumlah penduduk berumur 13-15 tahun (tingkat SLTP) yang masih bersekolah pada tahun 2005 adalah 90,04 %, dengan komposisi 89,35 % perempuan. Bila pada kelompok umur 7-12 tahun partisipasi bersekolah anakanak perdesaan hanya sekitar 2 % lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak perkotaan, maka untuk yang berumur 13-15 tahun perbedaannya sekitar 5 %. Ini memberikan petunjuk bahwa program wajib belajar 9
tahun perlu lebih
digalakkan terutama perdesaan, agar kesenjangan antara persentase anak yang bersekolah di perkotaan dan perdesaan dapat diminimalkan. Pada kelompok usia 16-18 tahun (usia SLTA) perbedaan persentase penduduk yang masih bersekolah antara daerah perkotaan dan perdesaan semakin mencolok, yaitu 68,78 % di daerah perkotaan dan 55,56 % di perdesaan.
83
Bila pada tingkat SD, persentase yang masih bersekolah relatif sama antara daerah perkotaan dan perdesaaan, sedangkan pada jenjang yang lebih tinggi (SLTP dan SLTA), perbedaannya semakin besar. Tingkat pendidikan penduduk merupakan indikator utama kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Tingkat pendidikan yang ditamatkan menggambarkan jenjang pendidikan tertinggi yang dapat diselesaikan. Pendidikan sebagian besar penduduk Provinsi Riau masih rendah,
di
mana pada tahun 2005 sekitar 2,63 % penduduk berumur 10 tahun ke atas tidak/belum pernah sekolah dan sekitar 20,26 % tidak/belum tamat SD, sedangkan yang tamat SD sekitar 33,77 %.
Penduduk yang berpendidikan tamat SLTP
sebesar 30,03 % dan SLTA ke atas baru sekitar 23,29 %. Pada tingkatan pendidikan SD ke bawah, penduduk perempuan relatif lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. Penduduk perempuan yang tamat SD sebesar 34,86 pesen, dan penduduk laki-laki 32,72 %. Disisi lain penduduk yang tamat SLTA ke atas sebesar 24,76 % (laki-laki) sebanding dengan 21,80 % (perempuan). Selanjutnya bila diamati menurut tempat tinggal, tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk perkotaan lebih baik dari pada penduduk perdesaan. Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tamat SLTA ke atas adalah sebesar 40,94 % di daerah perkotaan tetapi hanya sekitar 13,90 % di perdesaan. Gambaran umum tingkat kecerdasan penduduk dapat ditunjukkan dari kemampuan membaca dan menulis atau tingkat buta huruf. Tingkat buta huruf dapat dijadikan sebagai indikator tingkat pendidikan penduduk suatu daerah
84
karena dengan kemampuan membaca, seseorang dapat mempelajari dan menyerap ilmu pengetahuan dengan lebih baik. Angka buta huruf tahun 2005 untuk penduduk usia muda (10-49 tahun) adalah 0,36 % di daerah perkotaan dan 1,19 % di perdesaan. Dibandingkan dengan keadaan tahun 2000, tingkat buta huruf penduduk menurun, baik penduduk yang tinggal di daerah perdesaan maupun perkotaan. Angka buta huruf pada tahun 2000 adalah 1,91 % dengan komposisi 1,17 % di perkotaan dan 2,37 % di perdesaan. Penduduk yang buta huruf pada usia tua (50 tahun ke atas) masih cukup besar. Hal ini tentunya berkaitan dengan sulitnya memperoleh pendidikan pada beberapa dekade yang lalu, terutama bagi penduduk yang tinggal di daerah perdesaan. Pada tahun 2005, angka buta huruf penduduk usia lanjut masih 8,98 % dengan komposisi 5.41 % di perdesaan. Derajat
kesehatan masyarakat Provinsi Riau pada umumnya telah
mengalami perbaikan. Hal ini terlihat dari beberapa indikator kesehatan yang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Perkembangan Tingkat Kesehatan di Provinsi Riau, 1996-2005 Indikator 1999 2002 2005 Harapan Hidup (th) 67.8 67.9 68.0 % Penduduk dengan Keluhan Kesehatan 17.3 17.4 14.13 % Berobat 53.1 % Persalinan dg tenaga medis 68.3 Angka kematian bayi (dlm 1000 kelahiran) 28 Sumber : BPS berbagai tahun
65.5 78.7 25
66.0 74.67 22
Status kesehatan masyarakat Provinsi Riau terus meningkat dengan tingkat harapan hidup tahun 2005 sebesar 68.0 tahun. Seiring dengan itu persentase penduduk dengan berobat ke dokter atau tenaga medis juga mengalami
85
peningkatan di mana tahun 2005 tercatat 66.0 %.
Begitu juga persentase
persalinan dengan tenaga medis mencapai 74.67 %.
Hal ini memperlihatkan
masyarakat sudah mulai meningkat kesadarannya akan arti kesehatan dan semakin tinggi minatnya untuk berobat ke dokter atau tenaga medis yang ada.
4.2.2. Ketenagakerjaan Penduduk yang termasuk kategori angkatan kerja adalah penduduk yang secara ekonomis berpotensi menghasilkan output atau pendapatan, baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan.
Perbandingan antara
angkatan kerja dan penduduk usia kerja disebut Tingkat Partisiapasi Angkatan Kerja (TPAK).
Semakin tinggi TPAK berarti semakin besar keterlibatan
penduduk usia 10 tahun ke atas dalam pasar kerja. Pada tahun 2005 angka TPAK di Provinsi Riau adalah 52,20 % dengan rincian 45,50 % bekerja dan 6,69 % mencari pekerjaan.
Bila dibandingkan
menurut jenis kelamin terlihat bahwa TPAK laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 73,90 % berbanding 29,37 %.
Hal ini terjadi karena pada
umumnya laki-laki merupakan pencari nafkah utama di dalam keluarga, sedangkan perempuan biasanya mengurus rumah tangga. Ditinjau menurut tipe daerah, terlihat bahwa TPAK di daerah perkotaan lebih rendah daripada daerah perdesaan. Dan bila ditelusuri lebih lanjut, sebagian besar penduduk perdesaan masih bekerja di sektor primer, sedangkan penduduk perkotaan sebagian besar bekerja di sektor tersier. Pada Tabel 6 disajikan beberapa indikator ketenagakerjaan Provinsi Riau.
86
Tabel 6. Perkembangan Tingkat Tenaga Kerja di Provinsi Riau,1996-2005 Indikator 1996 1999 2002 2005 TPAK
50.1
52.1
52.5
52.5
% Pengangguran terbuka
6.5
6.8
11.3
8.7
% Setengah menganggur
38.0
39.9
39.9
39.0
% Pekerja Sektor Informal
45.6
70.9
53.9
52.2
Sumber : BPS berbagai tahun Berdasarkan hasil Susenas 2005, sekitar 52,24 % penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja mempunyai lapangan usaha di sektor pertanian, dan sisanya bekerja di sektor industri, perdagangan, jasa dan lainnya. Bila tahun 2004, persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian (primer) sebesar 52,18 %, namun pada tahun 2005 meningkat menjadi 52,24 %. Status pekerjaan penduduk dibagi menjadi 7 kategori, yaitu berusaha mandiri tanpa bantuan, berusaha dengan bantuan buruh atau
anggota rumah
tangga, berusaha dengan bantuan pekerja tetap, buruh/karyawan, pekerja bebas pertanian, pekerja bebas non pertanian dan pekerja keluarga. “Pekerja keluarga” seringkali diasosiasikan sebagai pekerja pada usaha tradisional (informal) dengan ciri jumlah jam kerja dan produktivitas yang rendah.
Sementara itu pekerja
dengan status “buruh” diasosiasikan sebagai pekerja pada usaha formal dengan ciri jumlah jam kerja dan produktivitas yang tinggi. Berbeda dengan status pekerja keluarga (pekerja tidak dibayar) yang pada umumnya didominasi oleh penduduk perempuan yaitu sekitar 30,39 %, untuk status pekerjaan sebagai buruh/karyawan dan berusaha sendiri maupun dibantu, masih didominasi oleh penduduk laki-laki. Pada umumnya banyak jam kerja yang dihabiskan seseorang dalam lama bekerja selama seminggu akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan yang
87
diperoleh. Jumlah jam kerja 35 jam seminggu seringkali dipakai sebagai patokan untuk mengelompokkan seorang pekerja apakah ia termasuk pekerja penuh atau pekerja tidak penuh/sambilan.
Penduduk yang jam kerjanya 0 jam, adalah
penduduk yang termasuk kategori bekerja tetapi untuk sementara tidak bekerja, misalnya cuti untuk karyawan, dan sedang menunggu panen untuk petani. Penduduk yang bekerja penuh (35 jam lebih seminggu) adalah sebesar 67,32 %, dengan komposisi 85,31 % di daerah perkotaan dan 60,19 % di perdesaan. Ditinjau menurut jenis kelamin, terlihat bahwa persentase penduduk laki-laki yang bekerja penuh lebih besar dibandingkan penduduk perempuan, sebaliknya untuk pekerja tidak penuh/sambilan, persentase perempuan terlihat lebih besar. Berdasarkan jumlah jam kerja ini dapat dikatakan bahwa hampir setengah dari penduduk yang bekerja di daerah perdesaan adalah pekerja tidak penuh (sebagian besar diantaranya adalah penduduk perempuan yang berstatus pekerja keluarga. (BPS, 2005) Tabel 7. Perkembangan Tingkat Kesejahteraaan di Provinsi Riau Indikator 1999 2002 2005 IPM
67.3
69.0
73.6
TPAK
52.1
52.5
52.2
28
25
22
67.8
67.9
68.1
Angka kematian bayi (%) Harapan hidup (th) Sumber: BPS berbagai tahun
4.2.3. Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Provinsi Riau setiap tahunnya terus bertambah seiring pertambahan penduduknya.
Petambahan penduduk miskin meningkat
pesat pada tahun setelah tahun 2002 di mana penduduk miskin di Provinsi Riau
88
berjumlah 722.400 jiwa. Jumlah penduduk miskin yang bertambah setelah tahun 2002 ini terjadi karena bertambahnya
kriteria pengukuran kemiskinan yang
dilakukan oleh BPS sehingga banyak keluarga yang sebelumnya tidak termasuk keluarga miskin setelah tahun 2002 dikategorikan menjadi keluarga miskin. Walaupun jumlah penduduk miskin terus bertambah, persentase penduduk miskin punya kecenderungan terus menurun walaupun meningkat di tahun 2003. Hal ini menggambarkan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk miskin lebih kecil dari pertumbuhan jumlah penduduk di Provinsi Riau.
Begitu juga tingkat
kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terus menurun yang terlihat pada Tabel 8. Jumlah, Persentase, Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di Provinsi Riau, 1996-2005 Tahun
Persentase Pddk Miskin
1996
Jml Penduduk Miskin (000) 496.7
Kedalaman Kemiskinan (P1)
Keparahan Kemiskinan (P2)
1999
589.7
14.00
2.28
0.65
2000
485.6
10.38
1.88
0.56
2001
491.6
10.06
2.14
0.54
2002
722.4
13.67
2.01
0.48
2003
751.3
13.52
2.46
0.66
2004
744.4
13.12
2.28
0.70
2005
714.1
12.52
2.15
0.64
12.62
Sumber: BPS berbagai tahun. Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan dengan mengukur Indeks Kemiskinan Manusia.
IKM (Indeks Kemiskinan Manusia) digunakan untuk
mengukur kemiskinan dengan variabel-variabel yang digunakan berupa persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, dan deprivasi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi secara keseluruhan, baik yang bersifat publik atau bukan, yang diwakili oleh persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan
89
air bersih, dan persentase anak berumur lima tahun ke bawah dengan berat badan rendah (kurang gizi) Tabel 9. Tingkat Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan di Provinsi Riau, 19962005 Daerah Perkotaan Tahun
Penduduk Miskin (000)
(%)
Daerah Perdesaan Penduduk Miskin (000)
(%)
Perkotaan dan Perdesaan Penduduk Miskin (000)
(%)
1996
589,70
9,06
411,80
15,96
496,70
12,62
1999
142,70
11,05
447,00
16,95
589,70
14,00
2000
115,60
5,84
370,00
13,71
485,60
10,38
2001
85,71
4,19
405,89
14,30
491,60
10,06
2002
178,87
7,40
543,63
18,79
722,41
13,61
2003
178,70
7,47
572,60
18,08
751,30
13,52
2004
160,50
6,44
583,90
18,36
744,40
13,12
2005
150,90
5,74
564,20
17,76
714,10
12.52
Sumber : BPS berbagai tahun IKM Provinsi Riau pada tahun 2002 sebesar 25,1 dengan memperlihatkan penurunan jika dibandingkan IKM tahun 1999. Penurunan ini telah menempatkan Provinsi Riau pada ranking 20. Sementara sebelumnya pada ranking 24. Penurunan IKM tidak hanya terjadi pada level Provinsi, IKM untuk kabupaten dan kota mengalami penurunan. IKM paling rendah dimiliki oleh Kota Pekanbaru dan IKM paling tinggi berada di Kabupaten Indragiri Hilir. Indeks kemiskinan manusia menggunakan indikator-indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketersediaan pendidikan, akses terhadap sumberdaya publik dan sumberdaya privat. Indeks ini berlandaskan pada konsep deprivasi dimana kemiskinan dipandang sebagai akibat dari tidak tersedianya kesempatan dan pilihan. Untuk para pembuat kebijakan, kemiskinan dari sudut pandang tersedianya pilihan-pilihan dan kesempatan sering lebih relevan dibandingkan dengan kemiskinan dari sudut pandang pendapatan karena
90
perhatian lebih terfokus pada penyebab dari kemiskinan dan secara langsung terkait
dengan
strategi
pemberdayaan
dan
upaya-upaya
lainnya
untuk
meningkatkan kesempatan bagi semua orang. Salah satu komponen yang berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kebijakan pemerintah yang melibatkan langsung penduduk miskin.
Selama ini program-program pemerintah yang bersentuhan langsung
dengan penduduk miskin banyak berasal dari kebijakan pusat seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal), Raskin, Gakin dan BLT (Bantuan Langsung Tunai).
Di
Provinsi Riau, program yang untuk masyarakat miskin mulai banyak dilakukan di antaranya program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan, program pemberantasan K2I (Kebodohan, Kemiskinan dan Infrastruktur) dan Bantuan Desa. Selain itu sudah dibentuk badan khusus yang menangani kemiskinan tingkat provinsi atau pun kota/kabupaten yaitu Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Komite Pemberantasan Kemiskinan Daerah.
Hal ini merupakan bentuk
peran nyata pemerintah dalam mengangkat masyarakat Riau dari jurang kemiskinan. Tabel 10. Tingkat daya beli masyarakat di Provinsi Riau, 1996-2005 Tahun
Makanan
Non Makanan
1996
61.9
38.1
1999
69.9
30.1
2002
62.1
37.9
2005
60.2
39.8
Sumber : BPS berbagai tahun Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah meningkatnya daya beli.
Hal ini terlihat dari pengeluaran per kapita
yang dibelanjakan untuk
konsumsi dibandingkan dengan yang dibelanjakan untuk non konsumsi.
91
Perkembangan daya beli masyarakat Riau mengalami peningkatan di mana porsi pengeluaran untuk makanan semakin menurun dan pengeluaran untuk porsi non makanan mengalami peningkatan. Hal ini disajikan pada Tabel 10. Di samping peningkatan yang menggembirakan dalam beberapa aspek kesejahteraan rakyat yang telah disebutkan, beberapa indikator lain yang perlu diperhatikan secara serius adalah di bidang kesehatan antara lain angka kematian bayi, balita dengan gizi buruk, persentase penduduk yang berobat jalan ke Puskesmas masih pada kondisi yang memprihatinkan. Selain itu dalam bidang infrastruktur telihat masih kecilnya proporsi rumah tangga dengan sumber air minum ledeng, dan rumah tangga pema kai listrik.
V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh 28 persamaan yang terdiri 18 persamaan struktural dan 10 persamaan identitas. Hasil estimasi model dengan menggunakan metode ekonometrik 2SLS (two stage least squares) menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap variabel-variabel endogen dalam model yaitu terhadap 18 persamaan struktural tersebut. Hasil analisis terhadap variabel endogen masingmasing akan dijelaskan. Keragaan umum hasil estimasi model ekonometrika yang terdiri dalam 4 blok secara keseluruhan menunjukkan hasil yang baik. Semua peubah penjelas yang dimasukkan ke dalam persamaan mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan dilihat dari teori ekonomi. Evaluasi hasil estimasi berdasarkan kriteria statistika yaitu lebih dari 80 persen persamaan memiliki nilai R2 di atas 0.70, nilai Dw berkisar antara 0.6 - 2.171 dan secara umum parameter peubah penjelas signifikan pada taraf nyata α < 25 %. Meskipun demikian, secara umum variabel eksogen yang dimasukkan dalam persamaan mampu menjelaskan keragaman setiap variabel endogennya. Selain kriteria statistik (R2) tersebut, hasil analisis menunjukkan bahwa semua variabel eksogen dan predetermined memiliki tanda yang sesuai dengan dugaan dan berdasarkan teori ekonomi serta kondisi di lapang, hasilnya cukup logis. Hasil statistik t menunjukkan semua variabel predetermined yang berpengaruh nyata terhadap variabel endogen yang menggunakan taraf nyata atau
93 α = 25 %. Secara keseluruhan hasil estimasi model cukup representatif menggambarkan fenomena kinerja fiskal dan perekonomian daerah dalam otonomi di Provinsi Riau. Tanda dan besaran parameter estimasi dari keragaan umum ini baik secara teoristis dan logis mampu memperkuat keberadaan model untuk analisis selanjutnya.
5.2. Keragaan Penerimaan Daerah Keragaan blok penerimaan fiskal daerah ditunjukkan oleh Pajak Daerah (TAXD), Retribusi Daerah (RETRD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Penerimaan Bagi Hasil Pajak (BHTAXD).
5.2.1. Pajak Daerah Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Konsumsi Masyarakat (KONM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah (TAXD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda negatif yang berarti terdapat penurunan jumlah pungutan pajak pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme pajak daerah, dan dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan pajak daerah. Demikian halnya dengan Konsumsi Masyarakat (KONM) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah. Pajak daerah memiliki peranan penting setelah desentralisasi fiskal sebagai sumber PAD, sebelum desentalisasi fiskal sumber PAD didominasi dari retribusi
94 daerah. Hasil regresi dari model-model pada Blok Penerimaan Daerah tertera pada tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam Model Pajak Daerah (TAXD)
Parameter Variabel Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) Konsumsi Masyarakat (KONM) Dummy Otonomi (DDF)
Retribusi Daerah (RETRD)
Dana Alokasi Umum (DAU)
Lag TAXD Produk Dometik Regional Bruto (PDRB) Total Pengeluaran Pemerintah(TEXP) Dummy Otonomi (DDF) Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) Angkatan Kerja (AKED) Populasi(POP) Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) Dummy Otonomi(DDF)
Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPJSDA)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengeluaran Sektor Ekonomi(PESE) Dummy Otonomi
Estimasi
Elastisitas SR
LR
Prob>|T|
Kepatutan Statistik
0.018028
0.15
1.2
0.0001
0.000069176
0.11
0.16
0.0042
R2=0.8252
-23565
0.0182
Fhit = 51.189
0.078497
0.2089
DW = 0.923
-0.00000328
0.76
1.06
0.1669
R2= 0.625
0.005659
0.45
0.71
0.0001
Fhit =28.262
0.2079
DW = 1.392
10841 0.319255
0.15
0.18
0.0001
-1.499357
1.12
1.14
0.3033
1.158344
0.11
0.16
0.0459
-0.64378
1.02
1.28
0.0001
Fhit =268.58
0.0366
DW = 2.042
348073
R2=0.9649
1.493081
1.13
1.19
0.0001
R2= 0.9442
0.30203
0.11
0.15
0.0001
Fhit = 287.28
-170301
0.46
0.55
0.0003
DW = 1369
5.2.2. Retribusi Daerah PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Retribusi Daerah begitu juga Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Retribusi Daerah (RETRD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda positif yang berarti terdapat perbedaan jumlah pungutan retribusi pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang menunjukkan peningkatan pungutan retribusi. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PDRB akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme retribusi daerah, dan dalam jangka pendek tidak elastis
95 namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan retribusi daerah. Sementara Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) berdampak positif terhadap meningkatnya penerimaan pajak daerah namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap penerimaan retribusi daerah.
5.2.3. Dana Alokasi Umum Angkatan Kerja Daerah (AKED) dan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (BHPJSDA) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), artinya semakin besar AKED dan BHPESDA maka alokasi DAU terhadap daerah semakin kecil. Sementara Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Jumlah Penduduk (POP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU, artinya semakin besar TEXP dan POP maka alokasi dana perimbangan untuk daerah semakin besar. Peubah Dummy Desentralisasi (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan jumlah DAU pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, dimana daerah setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal mengalami peningkatan alokasi DAU dan pada saat yang terjadi peningkatan total penerimaan daerah. Meningkatnya Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Populasi penduduk (POP) signifikan terhadap semakin meningkatnya dana alokasi umum (DAU) dengan respon yang kurang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa dana alokasi umum (DAU) sebagai instrumen desentralisasi fiskal dan sebagai dana penyeimbang dari pemerintah pusat merupakan sumber utama ketersediaan fiskal (fiskal available) di daerah untuk membiayai kebutuhannya. Sehingga meningkatnya kebutuhan fiskal di daerah sangat direspon oleh meningkatnya transfer dana alokasi umum (DAU).
96 Salah satu dampaknya pemerintah daerah menjadi berkurang upayanya terhadap meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak dan retribusi, dan akan terjadi kecendrungan pemerintah daerah tergantung terhadap dana alokasi umum (DAU). Angkatan Kerja Daerah (AKED) dan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam (BHPJSDA) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap DAU. Semakin besar jumlah PDRB dan AKED maka jumlah alokasi DAU semakin kecil yang diterima daerah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah telah memiliki ketersediaan fiskal yang baik, sehingga alokasi DAU semakin kecil dari pemerintah pusat. Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) berpengaruh positif dan signifikan terhadap DAU. Hal tersebut menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal DAU meningkat dibandingkan sebelum desentralisasi fiskal. Peningkatan DAU setelah desentralisasi fiskal merupakan fenomena yang disebabkan karena setelah desentralisasi fiskal pengeluaran rutin dan pembangunan semakin meningkat hingga 100 persen. Aspek peningkatan alokasi dana rutin dan pembangunan di daerah menunjukkan bahwa daerah merespon baik terhadap kebijakan desentralisasi fiskal terutama dalam peningkatan penerimaan dan pengalokasian
fiskal.
Harapannya
fenomena
tersebut
mampu
memacu
pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatnya palayanan publik dari anggaran yang tersedia secara seimbang antar sektor.
97 5.2. 4. Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), berpengaruh positif dan signifikan terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHTAXD). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bernilai negatif yang menunjukkan terjadi penurunan jumlah Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah pada sesudah desentralisasi fiskal. Bagi hasil pajak merupakan variabel dana perimbangan atau transfer pemerintah pusat, namun menunjukan potensi pemungutan pajak daerah, artinya semakin banyak masyarakat yang sadar bahwa pajak terutama membayar pajak akan meningkatkan perolehan dana bagi hasil pajak. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PAD dan PDRB akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan ketersediaan fiskal melalui mekanisme peningkatan bagi hasil pajak daerah, dan dalam jangka pendek dan jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah. Seme ntara Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), berdampak positif terhadap meningkatnya penerimaan pajak daerah namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap Penerimaan Bagi Hasil Pajak Daerah Penerimaan daerah yang terkait dengan hubungan fiskal pusat dan daerah mempertimbangkan tentang karakteristik penduduk seperti jumlah orang miskin, kondisi sumberdaya daerah, seperti luas wilayah dan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil kajian Shah (2000) bahwa secara rinci, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengaloksikan Inpres dan sumbangan daerah otonom (SDO) yaitu jumlah penduduk, jumlah gaji pegawai negeri,
98 kondisi prasarana, jumlah usia sekolah, kebutuhan obat-obatan, desa tertinggal, dan penduduk miskin.
5.2.5. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Total Pendapatan Daerah (TPED) Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah dari berbagai usaha Pemda untuk mengumpulkan dana guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatan rutin maupun pembangunannya yang terdiri dari Pajak Daerah (TAXD), Retribusi Daerah (RETRD) dan Laba Usaha milik daerah (LABUD). Total Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum dan Khusus (DAU dan DAK), Bagi Hasil Pajak Daerah, Penerimaan Lain-lain dan Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS). Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan Kepadatan Penduduk (KPDK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pajak Daerah (TAXD). Parameter estimasi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) bertanda positif dan signifikan yang berarti terdapat perbedaan jumlah pungutan pajak pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal yang menunjukkan peningkatan jumlah pungutan pajak. Pajak daerah memiliki peranan penting setelah desentralisasi fiskal sebagai sumber PAD, sebelum desentalisasi fiskal sumber PAD didominasi dari retribusi daerah.
5.3. Keragaan Pengeluaran Daerah Blok pengeluaran fiskal daerah ditunjukkan dengan adanya Pengeluaran Rutin Daerah (PERDA), Pengeluaran Pembangunan/Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE), dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Sosial Umum (PEPSU). Keragaan
99 Pengeluaran Rutin ditunjukkan oleh
Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA), dan
Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Sementara keragaan pengeluaran pembangunan/ekonomi ditunjukkan oleh pengeluaran sektor pertanian (PESPER): pertanian dan irigasi. Pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER): sektor industri, perdagangan, tenaga kerja, transmigrasi, dan pariwisata. Pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF): sektor transportasi dan sektor pembangunan daerah. Kemudian keragaan Pengeluaran Sektor Pelayanan Sosial Umum (PEPSU) ditunjukkan oleh Pengeluaran sektor pelayanan sosial (PEPSO): pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan agama. Pengeluaran sektor pelayanan umum (PEPUM): sosial politik, hukum, keama nan, iptek, dan aparatur pemerintahan.
5.3.1. Pengeluaran Rutin Gaji Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA). Interaksi peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) dan Jumlah Pegawai Otonom (JPGO) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pegawai berpengaruh terhadap peningkatan Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA) yang signifikan antara periode sebelum dengan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar PAD, DAU dan DAK akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran fiskal melalui mekanisme pengeluaran rutin terutama pengeluaran rutin gaji (PERGA), dan dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan pengeluaran rutin gaji (PERGA) daerah, namun DAK tidak memiliki respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PERGA.
100 Tabel 12. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Rutin Gaji, Pengeluaran Rutin non Gaji, Pengeluaran Sektor Pertanian, Pengeluaran Sektor non Pertanian, Pengeluaran Infrastruktur, Pengeluaran Pelayanan Sosial dan Pengeluaran Pelayanan Umum Model
Variabel
Parameter Estimasi
elastisitas SR LR
Prob>|T|
Kepatutan Statistik
Pengeluaran Rutin Gaji (PERGA)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK) Jumlah Pegawai (JPGO)
22.04847
0.029
Fhit =2289.6
306035
0.0001
DW = 2.012
Pengeluaran Rutin non Gaji (PERNGA)
Dummy Otonomi (DDF) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sisa APBD tahun lalu (SAPBDTS)
4.826865
0.72
1.12
0.0001
R2=0.561
0.643801
0.22
0.25
0.0071
Populasi (POP)
1.270016
0.09
0.12
0.0204
Fhit =15.78
0.1968
DW = 1.179 R2=0.8461
Pengeluaran Sektor Pertanian (PEPER)
Pengeluaran Sektor non Pertanian (PESNPER)
0.65
1.74
0.1874
0.151388
0.43
1.55
0.0032
0.993192
0.03
0.05
0.0001
0.025489
1.75
1.81
0.0001
0.355056
0.55
0.62
0.0118
Dummy Otonomi (DDF)
49899
0.0026
Fhit =68.65
0.061055
0.2873
DW = 1.371 R2=0.8979
Lag PESPER Total Pendapatan Daerah (TPED) Penyerapan Tenaga Kerja non Pertanian (PTKNP) Sektor Perdagangan (PDGN)
Pengeluaran Infrastruktur (PEINF) Pengeluaran Pelayanan Sosial (PEPSO)
Luas Wilayah(LWIL) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jumlah desa/kelurahan (JEDEKE) Sektor Pendidikan (PDDK)
389767
R2=0.9954
Dummy Otonomi (DDF) Total Pengeluaran Pemerintah (TPED) Penyerapan Tenaga kerja Pertanian (PTKP)
Dummy Otonomi (DDF) Total Pendapatan Daerah (TPED) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Pengeluaran Pelayanan Umum (PEPUM)
0.383819
0.058006
1.03
1.24
0.0001
0.156778
0.67
0.82
0.4078
-0.004609
0.51
0.75
108565
0.0889
Fhit =109.9
0.0005
DW = 1.568 R2=0.915
0.187368
1.09
1.14
0.0001
0.000038569
0.98
1.01
0.0652
Fhit =182.6
6.069424
0.13
0.17
0.0505
DW = 1.643
2.724481
0.24
0.29
0.0001
R2=0.6765
108.377488
0.77
1.08
0.5312
3.34776
0.88
1
0.1057
Sektor Kesehatan (KSHT)
4.373712
0.0343
Fhit =14.63
Lag PEPSO Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sisa APBD tahun sebelumnya (SAPBDTS)
0.180812
0.0242
DW = 1673 R2=0.8496
Populasi (POP) Dummy Otonomi (DDF) Lag PEPUM
10.414599
0.66
0.71
0.0001
0.372938
0.05
0.14
0.0147
0.706894
0.0312
-531437
0.3796
Fhit =49.07
0.055978
0.2874
DW = 1.060
101 Hal ini mengindikasikan bahwa dari pengalokasian ketersediaan fiskal (fiscal available) terhadap pengeluaran rutin gaji sangat tergantung dari besar jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Semakin tinggi PAD dan DAU, maka akan berdampak positif terhadap pengeluaran rutin gaji.
5.3.2. Pengeluaran Rutin Non Gaji Pendapatan Asli Daerah (PAD), Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS), dan Jumlah Penduduk (POP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
jumlah pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Peubah Dummy
Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) antara periode sebelum dengan sesudah desentralisasi fiskal. Hasil estimasi mengindikasikan bahwa semakin besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan berpengaruh terhadap usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pengeluaran fiskal melalui mekanisme pengeluaran rutin terutama pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA). Komponen pengeluaran rutin non gaji tersebut meliputi belanja barang, biaya pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, dan belanja lain-lain. Dalam jangka pendek tidak elastis namun dalam jangka panjang memiliki respon yang elastis terhadap penerimaan Pengeluaran Rutin Non Gaji (PERNGA) daerah. Sementara Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS) dan Jumlah Penduduk (POP) memiliki hubungan positif terhadap meningkatnya pengeluaran rutin gaji namun respon jangka pendek dan jangka panjangnya tidak elastis terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji.
102 Hal ini mengindikasikan bahwa dari pengalokasian ketersediaan fiskal (fiscal available) terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji sangat tergantung dari besar jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) . Semakin tinggi PAD, maka akan berdampak positif terhadap pengeluaran Rutin Non Gaji. Demikian pula halnya dengan kontribusi SAPBDTS terhadap Pengeluaran Rutin Non Gaji.
5.3.3. Pengeluaran Sektor Pertanian Total Penerimaan Daerah (TPED), Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER). Jumlah Pengeluaran Sektor Pertanian tahun sebelumnya (LPESPER) menjadi pertimbangan besarnya alokasi sektor tersebut. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan Pengeluaran Sektor Pertanian pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Total Penerimaan Daerah (TPED) memberikan pengaruh signifikan terhadap Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER) dan memiliki respon positif serta respon yang elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP) memiliki respon yang tidak elastis terhadap pengeluaran sektor pertanian baik jangka pendek maupun jangka panjang. Meningkatnya total penerimaan daerah (TPED) signifikan dan memiliki respon yang elastis terhadap meningkatnya pengeluaran sektor pertanian (PESPER). Berkaitan dengan hubungan jumlah Pengeluaran Rutin Daerah (PERDA) dan Pengeluaran Sektor Pertanian (PESPER), harus ada kebijakan dari pemerintah daerah untuk proporsional dalam pengeluaran rutin maupun pembangunan agar
103 tidak terjadi gap alokasi sektor terutama sektor pertanian. Dari hasil analisis alokasi anggaran APBD menunjukan bahwa di Provinsi Riau baik sebelum maupun sesudah desentralisasi fiskal (1997-2000) dan (2001-2004) alokasi pengeluaran sektor pertanian tidak ada perubahan yang signifikan. Padahal kenyataan riil sektor menunjukkan bahwa sektor pertanian harus mendapatkan penanganan yang optimal guna meningkatkan perekonomian daerah, terutama dalam hal alokasi anggaran dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan produksi.
5.3.4. Pengeluaran Sektor Produksi Non Pertanian Total Penerimaan Daerah (TPED), berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah Pengeluaran Sektor Non Pertanian (PESNPER). Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran Pembangunan Sektor Non Pertanian. Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan perbedaan yang signifikan Pengeluaran Sektor Non Pertanian pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Total penerimaan daerah menjadi bahan pertimbangan strategis dalam kaitannya pengalokasian terhadap sektor non pertanian, yang berarti kebijakan pengalokasian sektor non pertanian harus mampu memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap sektor pertanian, sehingga kedua sektor ini mampu berjalan dengan baik. Jumlah pengeluaran tahun sebelumnya (LPESNPER) berpengaruh nyata terhadap Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian. Total Pendapatan Daerah (TPED) signifikan terhadap pengeluaran sektor non pertanian (PESNPER) dan memiliki respon yang elastis dalam jangka pendek
104 maupun jangka panjang serta hubungan yang positif. Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian (PTKNP) tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap PESNPER. Hal ini menunjukan bahwa pengeluaran sektor non pertanian sangat dipengaruhi oleh besarnya Total Penerimaan Daerah (TPED), sementara Jumlah Penyerapan Tenaga
Kerja
Non
Pertanian
(PTKNP)
berpengaruh positif namun tidak signifikan.
5.3.5. Pengeluaran Infrastruktur Total Pendapatan Daerah (TPED) signifikan terhadap pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF) dan memiliki respon yang elastis dalam jangka pendek maupun jangka panjang serta hubungan yang positif. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki respon yang elastis dalam jangka panjang, dan berbeda halnya dengan LWIL tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pengeluaran infrastruktur. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi TPED, PDRB dan LWIL akan berdampak terhadap peningkatan alokasi fiskal pengeluaran infrastuktur, sebaliknya semakin rendah TPED, PDRB dan LWIL akan berdampak negatif terhadap pengeluaran infrastruktur. Berdasarkan hasil analisis di atas, guna memacu pertumbuhan ekonomi daerah, maka pemerintah daerah melalui mekanisme pengajuan APBD harus mempertimbangkan dengan baik terhadap pengeluaran infrastruktur. Kenyataan menunjukkan bahwa Provinsi Riau memiliki keterhambatan laju pertumbuhan ekonominya karena minimnya ketersediaan infrastruktur daerah khususnya transportasi (jalan). Hal ini berpengaruh secara operasional terhadap distribusi sumberdaya pertanian maupun non pertanian, sehingga tingkat mobilisasi
105 ekonomi dan teknis mengalami keterhambatan, terutama sektor pertanian. Alokasi dana APBD harus mampu meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang mampu diakses oleh publik dengan merata.
5.3.6. Pengeluaran Pelayanan Sosial Pendapatan Asli Daerah (PAD), Jumlah Penduduk (POP), Jumlah Desa dan Kelurahan (JDEKE), Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan (PDDK) dan kesehatan (KSHT)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengeluaran
Pelayanan Sosial (PEPSO). Peubah Dummy Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan ada perbedaan yang signifikan Pengeluaran Pelayanan Sosial pada periode sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Pengeluaran LPEPSO tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran sektor pelayanan sosial.
5.3.7. Pengeluaran Pelayanan Umum Meningkatnya jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) nyata berpengaruh terhadap meningkatnya pengeluaran sektor pelayanan umum (PEPUM), memiliki respon yang tidak elastis baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya (SAPBDTS) berpengaruh positif terhadap pengeluaran sektor pelayanan umum dan tidak elastis. Hasil estimasi di atas menunjukkan bahwa bahwa faktor yang utama menentukan pengeluaran fiskal daerah baik rutin maupun sektor-sektor pembangunan adalah jumlah penduduk, pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan dan penerimaan daerah itu sendiri. Peningkatan jumlah pengeluaran rutin gaji juga meningkat signifikan setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana gaji pemerintah yang masuk pada anggaran rutin pusat kini dibebankan
106 pada anggaran rutin daerah. Faktor luas wilayah dan kegiatan perekonomian juga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pembangunan. Berbagai kajian sejalan dengan temuan penelitian ini yaitu besarnya belanja rutin tergantung dari jumlah penduduk, total pengeluaran pemerintah, jumlah pendapatan. Sedangkan belanja pembangunan terutama tergantung pada jumlah penerimaan pemerintah (Azis, 1984 ; Hanani, 2000; Brodjonegoro dkk, 2000).
5.4. Keragaan Perekonomian Daerah Keragaan
perekonomian daerah
ditunjukkan oleh, Investasi Daerah
(INVD), Ekspor Daerah (EXPRD), Impor Daerah (IMPRD), Produksi Sektor Pertanian (PRSP) dan Produksi Sektor Non Pertanian (PRSNP).
5.4.1. Investasi Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Upah Minimum Regional (UMR) berpengaruh negatif
terhadap Investasi (INVD), sebaliknya Retribusi Daerah
(RETRD) berpengaruh
positif terhadap investasi daerah. Peubah Dummy
Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan terjadi penurunan setelah desentralisasi fiskal terhadap Investasi daerah (INVD). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat Retribusi Daerah (RETRD) berhubungan negatif terhadap Investasi Daerah (INVD). Jika retribusi daerah meningkat, maka akan mengurangi tingkat investasi daerah, sebaliknya jika retribusi daerah menurun, membuat kondisi kondusif bagi investasi daerah. Sementara UMR dan PAD berdampak positif dan signifikan terhadap investasi daerah namun memiliki respon tidak elastis pada jangka pendek namun elastis pada jangka panjang terhadap Investasi Daerah (INVD).
107 Tabel 13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Daerah, Ekspor Daerah, Impor Daerah, Peroduksi Sektor Pertanian dan Produksi Sektor non Pertanian Parameter Estimasi
Elastisitas SR LR
190.651759
0.28
0.39
0.5431
55.823292
0.55
0.62
0.3297
R2=0.888
Retribusi Daerah (RETRD)
-270.73099
0.77
1.05
0.1028
Fhit =2.23
Dummy Otonomi (DDF) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
-11340105
0.0382
DW = 1.768 R2=0.967
Model Investasi Daerah (INVD)
Ekspor Daerah (EXPRD)
Variabel Upah Minimum Regional (UMR) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Exchange Rate (EXR) Impor Daerah (IMPRD) Produksi Sektor Pertanian (PRSP) Produksi Sektor non Pertanian (PRSNP)
Lag (EXPRD) PDRB Ekspor Daerah (EXPRD) Lag IMPRD UPSP Populasi (POP) Dummy Otonomi (DDF) UPSNP (Upah Sektor non Pertanian) Total Pengeluaran Sektoral (TPSEK) Dummy Otonomi (DDF)
Prob>|T|
Kepatutan Statistik
0.900305
0.68
0.98
0.0001
11308
0.77
1.06
0.4706
Fhit =543.3
0.1222 0.0001 0.0001 0.0959 0.0025 0.0001
DW = 1.29 R2=0.712 Fhit =47.75 DW = 1.621 R2=0.548 Fhit =20.67
0.0407
DW = 1.37
0.056105 -0.563812 0.645449 0.137054 -105.42202 46.905626
0.98 0.51
1.01 0.65
0.65 0.87
0.88 1.02
9170293 109.972294
1.18
1.33
0.0272
R2= 0.983
0.997961 -8824538
0.88
1.21
0.0001 0.1653
Fhit =588.14 DW = 0.510
Hubungan yang signifikan antara investasi daerah dan pengeluaran pembangunan sektor ekonomi sejalan dengan studi Lin dan Liu (2000) yang mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah tidak hanya mempengaruhi sisi permintaan agregat melalui mekanisme konsumsi pemerintah (G) tetapi juga mempengaruhi sisi produksi melalui pembentukan modal dengan pilihan-pilihan infrastruktur dan alokasi pembiayaan sektor produksi yang lebih produktif.
5.4.2. Ekspor Daerah Ekspor daerah merupakan salah satu sumber devisa daerah. Total Pengeluaran Pemerintah (TEXP) dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Ekspor Daerah (EXPRD). PDRB berpengaruh signifikan terhadap Ekspor Daerah (EXPRD) namun memiliki respon tidak elastis baik pada jangka
108 pendek maupun jangka panjang serta memiliki hubungan positif. Semakin meningkat nilai PDRB
akan mampu meningkatkan jumlah ekspor daerah,
terutama dari aspek produksi sektor pertanian dan non pertanian (produksi sektoral).
5.3.3. Impor Daerah PDRB, nilai ekspor daerah (EXPRD) bertanda positif dan berpengaruh signifikan terhadap Impor Daerah (IMPRD). PDRB memiliki respon yang elastis dalam jangka panjang, hal ini menunjukkan bahwa PDRB yang di dalamnya ada total produksi sektoral memberikan pengaruh signifikan terhadap tingkat Impor daerah, semakin meningkat nilai produksi sektoral maka akan mangurangi tingkat impor, bahkan memiliki kecendrungan untuk ekspor.
5.3.4. Produksi Sektor Pertanian Upah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (UPSP), yang menjadi variabel penjelas untuk Produksi Sektor Pertanian (PRSP) menunjukkan pengaruh negatif sedangkan populasi menunjukkan pengaruh yang positif terhadap PRSP. Sementara populasi berpengaruh signifikan terhadap produksi sektor pertanian dan memiliki respon elastis dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar populasi daerah terhadap sektor pertanian akan mampu meningkatkan jumlah produksi sektor pertanian dalam jangka panjang. 5.3.5. Produksi Sektor non Pertanian Upah Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian (UPSNP), Total Pengeluaran Sektoral
yang menjadi variabel penjelas untuk Produksi Sektor Non Pertanian
109 (PRSNP) menunjukkan pengaruh positif.
Sedangkan pengeluaran sektor
perdagangan berpengaruh negatif. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa peningkatan tingkat upah akan meningkatkan produktifitas sektor non pertanian begitu juga pengeluaran pemerintah pada sektor ini.
Sedangkan DDF yang bertanda negatif
mengindikasikan ada penurunan produksi sektor non pertanian setelah desentralisasi fiskal.
5.5. Tingkat Kemiskinan Tingkat kemiskinan digambarkan dengan melihat Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan. Adapun Jumlah penduduk miskin (MISTOT) ditunjukkan dengan penjumlahan MISKT dan MISDS.
5.5.1. Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan Dana Alakosi Umum (DAU), Tingkat Upah (UPSNP) dan Penyerapan Tenaga Kerja (PTKNP) serta DDF berpengaruh negatif terhadap Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT) sedangkan POP dan Pengeluaran Sosial dan Umum bernilai positif dan signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah
penduduk miskin di perkotaan dapat berkurang dengan peningkatan Tingkat Upah (UPSNP) dan peningkatan penyerapan tenaga kerja (PTKNP).
Pembukaan
lapangan kerja di perkotaan dan pemberian upah yang layak akan mengurangi beban kemiskinan di perkotaan.
110 5.5.2. Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE) dan Populasi signifikan terhadap pengeluaran sektor infrastruktur (PEINF) dengan hubungan yang positif. Sedangkan Bagi Hasil Pajak Daerah (BHPJSDA), DAU dan Penyerapan Tenaga Kerja (PTKP) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap MISDS. Tabel 14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan dan Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan Model Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan (MISKT)
Jumlah Penduduk Miskin Perdesaan (MISDS)
Parameter Estimasi
Variabel
Elastisitas SR LR
Prob>|T|
Kepatutan Statistik
0.02954
R2=0.9208
0.000022058
0.0777
Fhit =92.60
-0.000127
0.0083
DW = 1.131
Dana Alokasi Umum (DAU)
-0.00000510
Populasi (POP) Upah Sektor non Pertanian (UPSNP) Pengeluaran Sektor Umum (PEPSU) Penyerapan Tenaga Kerja non Pertanian (PTKNP)
-0.00016
0.0027
Dummy Otonomi (DDF) Pengeluaran Sektor Ekonomi (PESE) Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA)
-100.876347
0.0001
0.000039084
0.0001
0.000005282
-0.00001714
0.234
1.13
1.412
1.45
1.4205
0.1785
0.0001
R2=0.981
Dana Alokasi Umum (DAU)
-0.00002121
0.02126
Populasi (POP) Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian (PTKP)
0.000037548
0.4414
Fhit =424.27
-0.000177
0.0110
DW = 0.650
Dummy Otonomi (DDF)
-368.005782
0.5109
Hal ini menunjukan bahwa meningkatnya BHPJSDA, DAU dan PTKP akan berdampak terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan Berdasarkan hasil analisis di atas, guna mengurangi tingkat kemiskinan, maka pemerintah daerah harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya baik di perkotaan maupun perdesaan.
Hal ini akan meningkatkan penyerapan tenaga
kerja yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
VI. DAMPAK DESENTRALISASI TERHADAP PENGURANGAN TINGKAT KEMISKINAN 6.1. Hasil Validasi Model Analisis dampak dilakukan dengan melakukan berbagai skenario simulasi. Simulasi terdiri dari simulasi kebijakan yang bertujuan untuk menganalisis sekaligus mengevaluasi dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai peubah kebijakannya. Sebelum melakukan simulasi, dilakukan validasi model untuk melihat apakah nilai dugaan sesuai dengan nilai aktual masing-masing peubah endogen (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Model desentralisasi fiskal Kabupaten/Kota di Provinsi Riau telah divalidasi untuk periode 1996-2004 terhadap tujuh daerah yang terdiri dari sembilan daerah kabupaten dan dua daerah kota sebagai agregasi data Provinsi. Indikator validasi statistik yang digunakan adalah R Squares (R2) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Hasil validasi model agregasi Kabupaten dan Kota disajikan pada Tabel 14. Secara umum hasil validasi cukup baik sehingga model dapat digunakan untuk simulasi. Setelah melakukan validasi maka nilai R Squares yang diperoleh bervariasi antara 0.6 hingga 0.9. Berdasarkan indikator validasi yang diperoleh maka model layak untuk disimulasi.
112 Tabel 15. Hasil Validasi Model Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Provinsi Riau, 1996-2004 Variabel Endogen
Simbol
Satuan
Pajak daerah
TAXD
Juta Rp
66904
538326
0.825
0.0568
Retribusi daerah
RETRD
Juta Rp
27911
142894
0.625
0.0159
DAU
Juta Rp
724822
5891006
0.964
0.1707
Bagi Hasil Penerimaan SDA
BHPJSDA
Juta Rp
122911
2522911
0.944
0.0516
Bagi Hasil Pajak Daerah
BHTAXD
Juta Rp
214021
1709844
0.944
0.1812
Pendapatan Asli Daerah
PAD
Juta Rp
98249
684653
0.754
0.0262
Total Penerimaan Daerah
TPED
Juta Rp
1607521
9275940
0.725
0.1262
PERGA
Juta Rp
529385
2304304
0.995
0.0101
Pengeluaran Rutin Non Gaji
PERNGA
Juta Rp
605171
3198178
0.561
0.1338
Pengeluaran Sektor Pertanian
PESPER
Juta Rp
65055
264941
0.846
0.0216
PESNPER
Juta Rp
126446
688495
0.897
0.1041
Pengeluaran Infrastruktur
PEINF
Juta Rp
333336
1826829
0.915
0.1873
Pengeluaran Pelayanan Sosial
PEPSO
Juta Rp
434371
4671614
0.676
0.2187
Pengeluaran Pelayanan Umum
PEP UM
Juta Rp
418780
6976593
0.849
0.2018
Pengeluaran Rutin Daerah
PERDA
Juta Rp
1134556
5502481
0.658
0.1975
Pengeluaran Sektor Ekonomi
PESE
Juta Rp
524837
2780266
0.824
0.0763
Total Pengeluaran Pemerintah
TEXP
Juta Rp
2512544
19930954
0.728
0.0908
Ekspor Daerah
EXPRD
Juta Rp
235084772 215908330
0.967
0.0922
Impor Daerah
IMPRD
Juta Rp
152935078 278559501
0.712
0.4109
Investasi Daerah
INVD
Juta Rp
52935344
76214283
0.888
0.3526
Produksi Sektor Pertanian
PRSP
Juta Rp
24658480
39213080
0.548
0.1406
Produksi Sektor Non Pertanian
PRSNP
Juta Rp
231458518 174463645
0.989
0.0346
Produk Domestik Regional Bruto
PDRB
Juta Rp
313580146 301314659
0.963
0.0387
Total Produksi Sektoral
TPSEK
Juta Rp
255802109 211732393
0.672
0.2264
Penduduk Miskin Perkotaan
MISKT
Jiwa
82.7776
152.2115
0.920
0.2731
Penduduk Miskin Perdesaan
MISDS
Jiwa
278.5406
245.2333
0.981
0.1221
MISTOT
Jiwa
361.3182
397.4448
0.941
0.1329
Dana alokasi umum
Pengeluaran Rutin Gaji
Pengeluaran Sektor Non Pertanian
Penduduk Miskin Total
Aktual
Prediksi
R Squares
U Theil
Evaluasi dilakukan baik kebijakan pusat seperti peningkatan penerimaan DAU dan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam, maupun kebijakan peningkatan penerimaan melalui peningkatan PAD dan kebijakan alokasi pengeluaran fiskal.
113 Kebijakan berupa peningkatan penerimaan daerah antara lain peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 20 %,
peningkatan penerimaan Bagi Hasil
Sumberdaya Alam (BHPJSDA) sebesar 10 %
dan peningkatan penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 20 %. Kebijakan kenaikan pengeluaran meliputi Peningkatan pengeluaran dibidang Pendidikan dan Kesehatan sebesar 17 %, peningkatan pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 %, peningkatan pengeluaran Sektor Pelayanan Umum sebesar 20 %,
pengeluaran pembangunan Sektor Pertanian sebesar 20 %.
Kemudian terakhir dilakukan kebijakan kombinasi peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan 10 %, Sektor Infrastruktur 4%, Sektor Pelayanan Umum 9 % dan Sektor Pertanian 10 %.
6.2. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Adapun analisis dampak yang dilakukan sesuai dengan tujuan studi ini yaitu mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan jumlah penduduk miskin.
Kebijakan yang dilakukan merupakan kebijakan yang bersentuhan
langsung dengan penduduk miskin. Peningkatan pembangunan sektor pertanian diperlukan karena sebagian besar penduduk (termasuk penduduk miskin berada di perdesaan).
Menurut Nugroho (2005) peningkatan produksi, upah dan
pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
Adapun
peningkatan pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan menurut Usman (2006) akan mengurangi tingkat kemiskinan terutama dalam jangka Panjang. Dari segi penerimaan, DAU dan Bagi Hasil Sumberdaya Alam merupakan sumber penerimaan yang besar diterima oleh Provinsi Riau.
Alokasi dana yang
diserahkan secara leluasa kepada daerah mampu diarahkan pada peningkatan
114 pelayanan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat kecil. Adapun skenario yang dilakukan antara lain : 1.
Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) 20 %.
2.
Peningkatan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (BHPJSDA) 10 %.
3.
Peningkatan Penerimaan PAD sebesar 20 %.
4.
Peningkatan pengeluaran Sektor pendidikan dan kesehatan sebesar 17 % dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum sebesar 20 %.
5.
Peningkatan pengeluaran dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 % dan pengeluaran Sektor Pertanian sebesar 20 %.
6.
Peningkatan pengeluaran pembangunan dengan alokasi peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan 10 %, Sektor Infrastruktur 4 %, Sektor Pelayanan Umum 9 % dan Sektor Pertanian 10 %.
Simulasi-simulasi yang dilakukan merupakan simulasi kebijakan yang dilakukan mungkin dilakukan pemerintah baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi alokasi pengeluaran. Simulasi I dan II berupa peningkatan penerimaan DAU dan bagi hasil pajak sumberdaya alam, merupakan bentuk kebijakan pemerintah pusat dalam memenuhi kebutuhan fiskal daerah, untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah dan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang sumberdaya alamnya dimanfaatkan. Sedangkan simulasi III berupa peningkatan PAD dapat terwujud dengan upaya pemerintah daerah menggali potensi pendapatan-pendapatan di daerahnya secara intensif yang selama ini belum tergarap. Simulasi IV, V dan VI merupakan simulasi kebijakan alokasi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah atas pendapatan yang diperoleh. Simulasi ini dilakukan pada sektor-sektor yang memeliki peran dalam mengurangi tingkat
115 kemiskinan daerah yaitu sektor infrastruktur, pertanian, pelayanan, pendidikan dan kesehatan (Usman, 2006). Tabel 16. Hasil Simulasi Berbagai Skenario Variabel Endogen Dana Alokasi Umum Bagi Hasil Penerimaan SDA Bagi Hasil Pajak Daerah Pendapatan Asli Daerah Total Penerimaan Daerah Pengeluaran Sektor Pertanian Pengeluaran Sektor Non Pertanian Pengeluaran Infrastruktur Pengeluaran Pelayanan Sosial Pengeluaran Pelayanan Umum Pengeluaran Rutin Daerah Pengeluaran Sektor Ekonomi Pengeluaran Pelayanan Sosum Total Pengeluaran Pemerintah Ekspor Daerah Impor Daerah Investasi Daerah Produksi Sektor Pertanian Produksi Sektor Non Pertanian PDRB Penduduk Miskin Perkotaan Penduduk Miskin Perdesaan Total Penduduk Miskin
Skenario (perubahan dalam %) 1 20.00 3.56 1.91 4.65 11.03 7.79 4.23 7.73 6.44 0.68 10.17 6.43 5.22 8.36 4.87 2.24 5.59 2.62 4.90 6.97 -1,14 -0,74 -1,08
2 -2.98 10.00 0.14 2.12 13.42 6.66 6.05 8.37 5.65 1.46 9.62 10.03 6.08 9.87 5.26 3.32 6.30 3.15 5.47 7.43 -0,92 -0,84 -0,91
3 1.14 0.98 2.13 20.00 8.66 7.05 9.37 3.96 4.77 2.01 4.87 2.24 0.68 10.17 2.43 2.44 4.92 3.96 4.77 6.10 -0.91 -0.72 -0.88
4 3.98 0.20 0.64 3.72 13.22 8.66 9.05 9.37 20.00 20.00 13.62 11.03 15.08 11.38 6.26 3.32 8.30 4.15 5.47 8.63 -0,96 -0,89 -0,91
5 1.22 2.31 1.70 5.54 9.78 20.00 1.45 10.00 5.04 2.01 5.58 3.09 4.04 17.01 3.51 1.24 3.30 5.69 7.45 7.97 -0.80 -1.31 -1.10
6 1.74 4.87 2.24 4.14 7.79 4.23 7.73 1.50 5.54 20.00 2.31 0.70 6.74 6.66 0.98 2.13 2.31 1.50 5.54 6.85 -0.92 -0.89 -0.90
6.2.1. Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) Naik 20 % Peningkatan DAU sebesar 20 % didasarkan pada pertimbangan bahwa DAU merupakan faktor penyeimbang yang dapat menjaga kapasitas pemerintah daerah dalam me mberikan pelayanan pada masyarakat.
DAU bertujuan untuk
mengurangi fiscal gap dan mengurangi ketimpangan daerah. Realisasi penerimaan DAU Provinsi Riau cenderung fluktuatif, dimana pada awalnya cenderung menurun, sejak 2003 penerimaan DAU terus meningkat.
Pada tahun 2005
penerimaan DAU Provinsi Riau meningkat sebesar 92,15 milyar rupiah.
116 Peningkatan penerimaan DAU Provinsi Riau punya potensi meningkat terkait masih banyaknya jumlah penduduk miskin, angkatan kerja dan ketimpangan antardaerah.
Studi ini mencoba mensimulasi peningkatan penerimaan DAU
sebesar 20 % dan dampaknya bagi perekonomian dan tingkat kemiskinan. Dampak meningkatkan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 20 % terhadap kinerja fiskal dan tingkat kemiskinan disajikan pada Tabel 16. Hasil simulasi menunjukkan, meningkatnya DAU sebesar 20 % berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 4,65 %, termasuk peningkatan Penerimaan Pajak Daerah (TAXD) sebesar 2,60 % dan Retribusi Daerah (RETRD) sebesar 2,68 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya DAU akan berdampak pada total penerimaan dan pengeluaran daerah. Simulasi kenaikan DAU sebesar 20 %, berdampak pada meningkatnya kinerja fiskal daerah baik dari sisi ketersediaan fiskal (Fiscal Available) maupun kebutuhan fiskal (Fiscal Needs). Meningkatnya DAU juga berdampak terhadap kinerja perekonomian daerah, hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di mana memiliki peningkatan sebesar 6,97 %, Investasi Daerah (INVD) sebesar 5,59 %. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja fiskal daerah menunjukkan dampak positif, yang selanjutnya berdampak positif terhadap perekonomian daerah. Kebijakan kenaikan DAU memberikan peningkatan terhadap total penerimaan daerah, yang berarti daerah mendapatkan ketersediaan fiskal yang memadai untuk kebutuhan pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Dengan demikian peningkatan DAU akan mampu mengurangi usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD dari sisi pajak daerah dan retribusi. Namun
117 daerah tidak harus tergantung pada DAU, karena hal tersebut tidak memberikan kebebasan daerah untuk mencari sumber-sumber pemasukan dari daerahnya. Ketergantungan daerah terhadap sumber-sumber penerimaan daerah dalam implementasinya diperlukan berbagai pertimbangan rasional terutama berkaitan dengan besarnya jumlah retribusi dan pajak, terutama pajak bangunan dan kendaraan bermotor, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dengan kebijakan tersebut. Peningkatan penerimaan DAU berdampak pada Jumlah Penduduk Miskin (MISTOT), dimana jumlah penduduk miskin total berkurang sebesar 1,18 % dari sebelumnya dan jumlah penduduk miskin perkotaan (MISKT) menurun sebesar 1,14 % dan MISDS menurun sebesar 0,74 %.
Penurunan jumlah penduduk
miskin terjadi karena dengan otonomi daerah, PDRB meningkat sehingga beberapa sektor ekonomi mulai bergairah.
Peningkatan sektor ekonomi pada
akhirnya akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja dan memperluas peluang usaha ketika semua sektor ekonomi mampu bergerak.
6.2.2. Peningkatan Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya Alam Sebesar 10 % Penerimaan Bagi Hasil Penerimaan Sumberdaya Alam merupakan penerimaan yang cukup berarti bagi Provinsi Riau di mana penerimaan ini terus meningkat.
Simulasi peningkatan bagi hasil penerimaan sumberdaya alam
(BHPJSDA) sebesar 10 %, berdampak pada peningkatan total penerimaan daerah (TPED) sebesar 16,42 %, namun tidak memberikan dorongan pada peningkatan PAD. PAD meningkat sebesar satu persen dan peningkatan pajak daerah sebesar 3,16 %.
Peningkatan dana BHPJSDA menyebabkan penerimaan DAU sedikit
118 menurun sebesar 4,98 % namun, total pendapatan daerah meningkat sebesar 16,42 %. Perubahan pada penerimaan daerah sebagai dampak kebijakan akan berdampak juga pada besaran dan distribusi pengeluaran antarsektor. Simulasi kebijakan peningkatan BHPJSDA sebesar 10 % telah meningkatkan penerimaan daerah, sehingga kapasitas fiskal juga meningkat dan ini berdampak terhadap penurunan
kesenjangan
fiskal
antardaerah
Kabupaten/Kota.
Pengeluaran
pembangunan pada semua sektor juga mengalami peningkatan dalam besaran yang beragam. Peningkatan penerimaan bagi hasil sumberdaya alam (BHPJSDA) sebesar 10 % memberikan dampak yang lebih besar terhadap peningkatan pengeluaran pemerintah daerah dibandingkan dengan peningkatan DAU. Hal ini terjadi baik pada pengeluaran pengeluaran rutin maupun pembangunan.
Sementara
pengeluaran sektoral mengalami peningkatan dengan besaran yang beragam untuk masing-masing sektor. Khusus untuk pengeluaran pelayan umum dan sosial mengalami peningkatan namun relatif kecil. Namun kebijakan ini dalam jangka panjang tidak akan menstimulasi peningkatan kapasitas fiskal seiring dengan kecenderungan menurunan tingkat produksi sumberdaya alam. Dalam jangka pendek BHPJSDA sangat memberikan arti terhadap peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian kebijakan ini meskipun membawa dampak lebih besar terhadap kinerja penerimaan dan pengeluaran daerah namun menimbulkan peningkatan ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat.
Hal yang terpenting
bagi daerah setelah desentralisasi fiskal seiring dengan kewenangan mengelola
119 potensi sumberdaya alam adalah bagaimana sumberdaya alam tersebut tidak dieksploitasi secara berlebihan, sehingga ketersediaanya untuk jangka panjang akan memungkinkan untuk memberikan ketersediaan fiskal. Aspek mekanisme dan cara pengelolaanya menjadi hal yang penting. Peningkatan penerimaan bagi hasil sumberdaya alam sebesar 10 % memberikan juga dampak terhadap pertumbuhan perekonomian daerah yang relatif baik. Ekspor daerah meningkat sebesar 6,26 % lebih besar dibandingkan dengan kebijakan kenaikan Dana Alokasi Umum.
Demikian halnya dengan
dengan indikator-indikator perekonomian daerah lainya.
Hal ini menunjukkan
stimulasi fiskal dari kenaikan BHPJSDA relatif besar dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan peningkatan penerimaan Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam, Propinsi Riau yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar berdampak pada penurunan pada jumlah penduduk miskin. Hasil simulasi memperlihatkan dengan peningkatan 10 % BHPJSDA menyebabkan Jumlah Penduduk Miskin (MISTOT) menurun sebesar 0,91 %, sedangkan MISKT menurun sebesar 0,94 %. Begitu juga jumlah penduduk miskin perdesaan mengalami penurunan sebesar 0,84 %.
6.2.3. Simulasi Peningkatan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah sebesar 20 % Pendapatan asli daerah berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD dan penerimaan lain-lain yang sah.
Peningkatan penerimaan PAD
dimungkinkan dengan mengefektifkan pemantauan setiap aktivitas pembangunan dan ekonomi masyarakat dan industri. Otonomi daerah memberikan kewenangan
120 bagi Pemerintah Daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal sebagai upaya daerah meningkatakan kemandirian fiskal daerah sehingga kapasitas daerah meningkat. PAD ini digunakan untuk melaksanakan program-program pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan penerimaan PAD sebesar 20 % mampu mengurangi tingkat kemiskinan dimana kemiskinan perkotaan berkurang sebesar 0,91 %, kemiskinan perdesaan sebesar 0,72 dan total kemiskinan di Provinsi Riau sebesar 0,88 %. Simulasi peningkatan penerimaan PAD sebesar 20 % akan meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah di mana PDRB meningkat sebesar 6,10 % begitu juga terjadi peningkatan pada berbagai sektor pengeluaran pemerintah secara beragam.
Hal ini tentu akan
memperkuat kapasitas daerah untuk dapat membangun daerah lebih mandiri dengan terberdayanya sektor-sektor ekonomi dan pembangunan yang ada.
6.2.4. Peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan sebesar 17 % dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum Sebesar 20 % Sektor pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan asasi masyarakat di dalam suatu negara.
Pendidikan memberikan peningkatan pengetahuan dan
ketrampilan agar mampu hidup lebih baik.
Sedangkan sektor kesehatan
merupakan sektor yang penting karena bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat sehingga masyarakat yang sehat akan mampu meningkatkan produktifitas kerjanya. Adapun peningkatan pelayanan umum merupakan suatu kemestian sebagai dampak dari tata pemerintahan yang baik yang selalu meningkatkan pelayanan bagi masyarakat. Dari hasil simulasi diketahui bahwa
121 kebijakan kombinasi ini berdampak pada peningkatan kinerja perekonomian daerah dan penurunan tingkat kemiskinan. Hasil simulasi memperlihatkan terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 11,38 %, pengeluaran ini berasal dari peningkatan pengeluaran pembangunan dan dan peningkatan pengeluaran rutin. Dengan peningkatan ini memacu peningkatan investasi dan ekspor daerah.
Adapun peningkatannya
masing-masing 8,30 % dan 6,26 %. Secara keseluruhan hasil simulasi ini berdampak positif terhadap kinerja perekonomian terlihat dari meningkatnya PDRB sebesar 8,63 %.
Produk
Domestik Regional Bruto yang meningkat pada akhirnya kembali berdampak pada peningkatan kinerja fiskal daerah dan juga berdampak pada penurunan kemiskinan. Pada sisi tingkat kemiskinan terjadi perubahan dan penurunan jumlah penduduk miskin. Di mana jumlah penduduk miskin perkotaan menurun sebesar 1,06 % dari sebelumnya sedangkan jumlah penduduk miskin perdesaan menurun 0,94 %. Adapun jumlah penduduk miskin total mengalami penurunan sebesar 1,01 % dari sebelumnya.
Dari hasil ini terlihat bahwa peningkatan kualitas
pendidikan dan kesehatan serta pelayanan umum memberi dampak peningkatan kesejahteraan. Program untuk kesehatan dan pendidikan serta pelayanan umum sangat berpengaruh untuk mengurangi kemiskinan terutama di daerah perkotaan.
6.2.5. Peningkatan Pengeluaran Pertanian 20 % dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 % Peningkatan sektor pertanian diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat perdesaan karena sebagian besar penduduk
122 pedesaan dan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan bermata pencaharian di bidang pertanian. Sedangkan pembangunan infrastruktur sangat penting untuk meningkatkan akses masyarakat.
Pemberian insentif di sektor
pertanian diperlukan dan merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan. Sedangkan pembangunan infrastruktur merupakan program utama dari Pemerintah Daerah Provinsi Riau sejak otonomi daerah dijalankan. Program K2I (Kebodohan, Kemiskinan dan Infrastruktur) merupakan program kerja utama yang telah dicanangkan Gubernur Riau saat ini. Hasil simulasi memperlihatkan, peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 20 % dan infrastruktur sebesar 10 % berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan kinerja ekonomi daerah selain itu juga berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun perdesaan. Dengan simulasi ini terjadi peningkatan total pengeluaran pemerintah yang berasal dari peningkatan total pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin masing-masing
19,11 % dan 5,58 %.
Meningkatnya total pengeluaran
pemerintah memacu perekonomian daerah dengan meningkatnya konsumsi, investasi serta ekspor daerah. Peningkatan investasi dan ekspor daerah masingmasing sebesar sebesar 3,30 % dan 3,51 %. Secara keseluruhan dampak peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan infrastruktur terhadap kinerja perekonomian daerah dapat dilihat dari persentase peningkatan nilai PDRB. Terlihat dengan simulasi PDRB meningkat 7,97 %. Peningkatan ini tentunya berdampak pada peningkatan fiskal daerah, selain itu berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan, pedesaan dan secara total.
123 Pada sisi tingkat kemiskinan terjadi perubahan dan penurunan jumlah penduduk perkotaan miskin sebesar 0,80 % sedangkan jumlah penduduk miskin perdesaan menurun sebesar 1,41 %. Sedangkan jumlah penduduk miskin total berkurang sebesar 1,10 %.
6.2.6. Simulasi Peningkatan Pengeluaran Pendidikan dan Kesehatan 10 %, Infrastruktur 4 % dan sektor Pelayanan Umum 9 % dan sektor Pertanian 10 %. Simulasi yang dilakukan dengan asumsi terjadi peningkatan penerimaan sebesar 160 milyar rupiah. Dana tersebut akan dialokasikan untuk pengeluaran pembangunan yaitu infrastruktur, sektor pendidikan dan kesehatan, sektor pelayanan umum dan sektor pertanian. Hasil simulasi memperlihatkan dengan peningkatan pengeluaran Infrastruktur sebesar 4 %, sektor Pelayanan Umum sebesar 9 %, sektor Pendidikan dan Kesehatan sebesar 10 % dan peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 % berdampak pada penurunan pada jumlah penduduk miskin. Adapun Jumlah Penduduk Miskin (MISTOT) menurun sebesar 0,93 %, sedangkan MISKT menurun sebesar 0,95 % dan begitu juga jumlah penduduk miskin perdesaan mengalami penurunan sebesar 0,89 %.
6.2.7. Rekapitulasi Simulasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Pengurangan Kemiskinan Implikasi
kebijakan
desentralisasi
fiskal
dapat
memperbaiki
pos
penerimaan daerah, pengeluaran daerah dan kinerja perekonomian serta menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan maupun
di perkotaan.
Keleluasaan yang diperoleh dengan otonomi daerah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila dikelola dengan baik.
124 Tabel 16. Besarnya Dana yang Diperoleh untuk Simulasi Berbagai Skenario Dana Simulasi Uraian (dalam milyar rupiah) Peningkatan Dana Alokasi Umum I 150 (DAU) 20 %. Peningkatan Bagi Hasil Pajak II 250 Sumberdaya Alam (BHPJSDA) 10 %. Peningkatan Penerimaan PAD sebesar III 320 20 %.
Fungsi pemerintah daerah dalam alokasi penggunaan anggaran sangat menentukan
efektifitas
pengeluaran
pemerintah
dalam
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan daerah. Alokasi yang tepat mampu meningkatkan kapasitas daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Simulasi penerimaan fiskal yang dilakukan baik peningkatan penerimaan DAU, BHPJSDA maupun penerimaan PAD mampu mengurangi jumlah penduduk miskin total berturut turut 1,08 %, 0,91 % dan 0,88 %. Penurunan penduduk miskin terjadi baik di perdesaan maupun di perkotaan dengan penurunan yang beragam.
Dari ketiga simulasi penerimaan yang dilakukan terlihat bahwa
peningkatan penerimaan DAU sebesar 20 % merupakan kebijakan yang mengurangi persentase jumlah penduduk miskin paling besar yaitu sebesar 1,08 % kemudian diikuti dengan simulasi kebijakan peningkatan BHPJSDA dan simulasi kebijakan peningkatan PAD. Dari hal tersebut diketahui bahwa DAU berperan besar dan masih dibutuhkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Selain itu penerimaan DAU oleh pemerintah daerah Provinsi Riau efektif digunakan dalam alokasi dan pengeluaran pembangunan yang berdampak besar pada pengurangan persentase jumlah penduduk miskin. Hal ini dapat di lihat pada Tabel 16, di mana penerimaan DAU merupakan penerimaan paling kecil daripada penerimaan BHPSDA dan PAD pada simulasi yang dilakukan.
Simulasi
125 Penerimaan DAU sebesar 150 milyar rupiah berdampak paling besar pada pengurangan persentase jumlah penduduk miskin dibanding simulasi II dan III. Sedangkan Penerimaan BHPJSDA dan PAD yang cukup besar yaitu sebesar 250 milyar rupiah dan 320 milyar rupiah berdampak pada pengurangan kemiskinan lebih rendah dari dampak yang terjadi pada penerimaan DAU sebesar 150 milyar rupiah.
Hal ini memperlihatkan bahwa penerimaan DAU yang peroleh oleh
pemerintah daerah lebih mampu dialokasikan pada program yang bersentuhan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga efektif mengurangi kemiskinan. Adapun simulasi alokasi pengeluaran pemerintah daerah dilakukan pada simulasi IV, V dan VI.
Simulasi ini memberikan informasi bahwa alokasi
pendidikan dan kesehatan, pelayanan umum, infrastruktur dan pertanian merupakan sektor yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan tingkat perekonomian dan kesejahteraannya. Tabel 17. Anggaran yang Dibutuhkan dalam Simulasi Berbagai Skenario Anggaran Simulasi Skenario (dalam milyar rupiah) Peningkatan pengeluaran Sektor IV pendidikan dan kesehatan sebesar 17 % 160 dan Pengeluaran Sektor Pelayanan Umum sebesar 20 %. Peningkatan pengeluaran pertanian V 160 sebesar 20 % dan Pengeluaran Infrastruktur sebesar 10 % Peningkatan pengeluaran pembangunan VI dengan alokasi peningkatan pengeluaran Sektor Pendidikan dan Kesehatan 10 %, 160 Sektor Infrastruktur 4 %, Sektor Pelayanan Umum 9 % dan Sektor Pertanian 10 %.
126 Simulasi berbagai alokasi pengeluaran pemerintah daerah ini merupakan wujud fungsi dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyedia sarana-sarana yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan kapasitas dirinya maupun kesejahteraannya. Selain itu, pemerintah juga berperan sebagai fungsi distribusi dengan menciptakan pemerataan akses dan kesempatan agar masyarakat mampu memberdayakan semua potensi yang dimilikinya. Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa simulasi berbagai alokasi pengeluaran pemerintah menggunakan anggaran dengan besaran yang sama yaitu sebesar 160 milyar rupiah. Dengan simulasi IV, V dan VI yang dilakukan, berdampak pada pengurangan jumlah penduduk miskin total masing-masing sebesar 0,91 %, 1,10 % dan 0,90 %.
Simulasi kebijakan yang paling besar mengurangi jumlah
penduduk miskin adalah kebijakan peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 10 % dan peningkatan pengeluaran pertanian sebesar 20 %. Hal ini terjadi karena kenyataannya bahwa kondisi infrastruktur di Provinsi Riau masih sangat lemah sehingga sangat diperlukan pembangunan infrastruktur seperti jalan penghubung antar daerah, jaringan listrik, penyediaan air bersih dan jaringan telpon. Selain itu sebagian besar penduduk Riau bermatapencaharian sebagai petani dan juga sebagian besar penduduk di perdesaan masih tergolong miskin, sehingga peningkatan
pengeluaran
pemerintah
untuk
pertanian
sangat
membantu
masyarakat di perdesaan yang sebagian besar terjerat dengan kondisi kemiskinan. Alokasi pendidikan dan kesehatan juga sangat penting untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan hal ini dapat diperlukan dan dirasakan kebutuhannya di masa datang. Sehingga alokasi pendidikan dan kesehatan merupakan alokasi untuk investasi kesejahteraan masa depan.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau terus mengalami peningkatan.
Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya tingkat
pendidikan, Indeks Pembangunan Manusia, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), menurunnya Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dan penurunan tingkat kemiskinan. 2. Otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya mampu meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah serta penurunan tingkat kemiskinan. Kebijakan yang menyentuh langsung dengan rakyat miskin seperti pembukaan lapangan kerja untuk menarik tenaga kerja, peningkatan upah, bantuan dan subsidi yang di berikan kepada penduduk miskin langsung maupun tidak langsung berpengaruh signifikan dalam mengurangi tingkat kemiskinan daerah, baik di perkotaan maupun di perdesaan. 3. Hasil simulasi model dari sisi peningkatan penerimaan daerah, peningkatan DAU, berpengaruh lebih besar dan efektif dalam mengurangi jumlah penduduk
miskin
karena
dialokasikan
pada
program-program
yang
bersentuhan dengan masyarakat. BHPJSDA dan PAD merupakan penerimaan potensial untuk ditingkatkan, yang jika dialokasikan dengan tepat mampu mengurangi jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun di perdesaan. 4. Hasil simulasi model dari pengeluaran pemerintah, menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran sektor infrastruktur dan sektor pertanian berpengaruh
128 paling besar dalam menurunakan jumlah penduduk miskin. Selain itu sektor pendidikan dan kesehatan serta pelayanan umum juga penting untuk kesejahteraan rakyat karena sektor-sektor ini menjadi basis peningkatan kualitas manusia dan peningkatan aktivitas ekonomi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat serta memiliki keterkaitan yang besar terhadap sektor lain mulai dari bagian hulu sampai hilir. Peningkatan pengeluaran di sektor Pendidikan dan Kesehatan serta infrastruktur pengaruhnya dapat dirasakan pada jangka panjang. Dengan meningkatkan sumberdaya manusia pada masa datang akan melepaskan mereka dari jeratan kemiskinan.
7.2. Saran Berdasarkan hasil analisis serta kesimpulan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi (saran) kebijakan sebagai berikut : 1. Kewenangan yang luas kepada daerah dalam mengelola keuangan pada saat desentralisasi digulirkan, perlu diimbangi oleh sumberdaya manusia yang handal baik dalam alokasi, maupun pengawasan anggaran daerah. Kebijakan yang tepat akan meningkatkan perekonomian daerah, pemerataan dan penurunan tingkat kemiskinan. 2. Sektor pertanian perlu diberikan perhatian dalam meningkatkan ekonomi perdesaan. Peningkatan aktifitas ekonomi perdesaan akan mengurangi tingkat kemiskinan dan tingkat urbanisasi. Investasi bidang pertanian dan perhatian terhadap bidang pertanian akan menjaga ketahanan pangan daerah,
129 mensejahterakan masyarakat pedesaan dan menghidupkan ekonomi di pedesaan. 3. Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah secara berkesinambungan untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang handal sehingga mampu mengelola daerahnya ke depan, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mampu membangun daerahnya menjadi daerah yang mandiri dan sejahtera. Sehingga pemerintah perlu memperhatikan sektor ini dengan lebih serius. 4. Anggaran infrastruktur dasar perlu ditingkatkan seperti jalan di perdesaan untuk meningkatkan akses masyarakat, infrastruktur pertanian, listrik dan sekolah sehingga memacu aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat lebih baik. 5. Diperlukan
kelembagaan
khusus
yang
secara
langsung
menangani
permasalahan kemiskinan secara konsisten sesuai dengan karakteristik penduduk dan wilayahnya sehingga program yang dijalankan efektif untuk mengurangi kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, E. dan A. Mansoor. 2002. Indonesia: Managing Decentralization. IMF Working Paper. Fiscal Affairs Department and Independent Evaluation Office. International Monetary Fund, Washington, D.C. Ajakaiye, DO. Adeyeye, VA. 2002. Concepts, Measurement and Causes of Poverty. www.cenbank.org. (14 Maret 2005) Alfian, M. G. Tan, S. Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta. Antara, M. 1999. Dampak Pengeluaran Pemerintah dan Wisatawan terhadap Kinerja Perekonomian Bali: Pendekatan Social Accounting Matrix. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arifin, J. 2003. Mekanisme Penyusunan APBD Provinsi Riau yang Berkeadilan: Analisis Perbandingan RAPBD dan APBD Serta Implikasinya. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE, Yogyakarta. Azis, I.J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya. FE-UI, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2004. Metodologi dan Profil Kemiskinan Tahun 2004. Jakarta. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. 2005. Riau dalam Angka. Riau. ________2005. Profil Kesejahteraan Rakyat Provinsi Riau. Riau ________2005. Statistik Potensi Desa Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Riau. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau. 2004. Pendataan Penduduk/Keluarga Miskin Provinsi Riau. Pemerintah Provinsi Riau. Riau. Bappenas. 1993. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta. Bappenas.
2004. Rencana Pembangunan Jangka (Kesejahteraan Sosial) www.bappenas.go.id
Menengah.
Bab
28
131 Barro, R. J. 1997. Determinant of Economic Growth: A Cross-Country Empirical Study. MIT Press, Cambridge. MA. Brodjonegoro, B., A. Hendranata., Riatu. 2001. Model Ekonometrika Desentralisasi : Analisis Dampak Alokasi SDA dan DAU terhadap Pemerataan Pertumbuhan Ekonomi antar Daerah. LPEM UI, Jakarta. Chambers, R. 1983. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES, Jakarta. Davey, K.J. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya. UI Press, Jakarta. Ellis, G. F. R. 1994. The Dimentions of Poverty. Social Indicator Research. Fatturochman dan M. Molo. “Karakteristik Rumah Tangga Miskin.” Populasi, Volume 5, Nomor 1, Tahun 1994. Friedman, J. 2002. How Responsive is Poverty to Growth ? A Regional Analysis of Poverty, Inequity, and Growth in Indonesia, www.cianet.org/wps/frj02. Hanani, N. 2000. Model Mikro-Makroekonomi Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Menghadapi Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi. Program Pascasrjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hermami, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ikhsan, M. 1999. The Disaggregation of Indonesian Poverty : Policy and Analysis. Ph.D. Dissertation. University of Illinois. Urbana. Isdojoso, B. 2001. Desentralisasi dan Implikasinya terhadap Kondusifitas Iklim Usaha di Daerah Kota dan Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan. CESS, The Asia Foundation, Forda UKM Sulsel, dan YAS, Makasar. Jhingan, M.L.1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Kuncoro, M. 1995. Desentralisasi Fiskal di Indonesia: Dilema Otonomi dan Ketergantungan . Jurnal Prisma, 24 (4): 3 -17. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: Second Edition. McMillan Press, Ltd, London. Lewis, W.A. 1954. Dual Sector Model of Development; The Theory of Trickle Down. Http://www.bized.ac.uk
132 Lin, J.Y. dan Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change, The University of Chicago, Chicago. LPEM. 2002. Studi terhadap Status dan Kebutuhan Pemerintah Daerah dalam Mengimplementasikan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Laporan Penelitian. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. Universitas Indonesia, Jakarta. McCullock, N dan B. Suharnoko. 2003 Desentralization and Poverty in Indonesia. Working Paper. Word Bank Office. Jakarta. Mahi, R. 2000. Prospek Desentralisasi Fiskal di Indonesia Ditinjau dari Segi Pemerataan antar Daerah dan Peningkatan Efisiensi. Jurnal Analisis CSIS, 29 (1): 54-66. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi Offset, Yogyakarta. Menteri Koordinator kesejahteraan Rakyat. 2004. Rencana Pembangunan Jangka Menengah. www.menkokesra.go.id Musgrave, R.A dan P.B. Musgrave. 1984. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition. McGraw Hill Book Company. New York. Nanga, M. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, T.W. 2005. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pakasi, C.
2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pardede, R. 2005. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pyndick. R. S. dan D. L. Rubinfield. 1991. Economic Models and Economic Forecasts. Richard D. Irwin and McGraw-Hill, Boston. Riyanto.
2003. Analisis Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
133 Rostow, W.W. 1980. The Stages of Economic Growth. University of Texas Press, Austin Rustiadi, 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Diktat Kuliah. Program Studi Ilmu Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Saefudin. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Kelembagaan di Provinsi Riau. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sayogyo. 1994. Kemiskinan dan Pembangunan di Provinsi NTT. Yayasan Obor, Indonesia. Schelkle, W. 1996. Dualism in Development Economics; Some Critical Remarks and an Alternative Proposal. www.wiwiss,fu-berlin.de. Seymour, P., Robert J. Kleiner., Lewis O. 1983. Kebudayaan Kemiskinan Sebuah Dimensi Penyesuaian Diri. Yayasan Obor, Jakarta Sidik, M. 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat, dan Daerah Departemen Keuangan, Jakarta. Shah, A. 1998. Fiscal Federalism and Macroeconomic Governance: For Better or for Worse? Policy Research Working Paper. The World Bank, Washington, D.C. ________ 2000. Indonesia dan Pakistan: Tekad atau Retorika. Dalam Bird dan Vaillancourt. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara Berkembang. Gramedia, Jakarta. Stiglitz, J. E. 2000. Econometrics of The Public Sector. Third Edition. W. W. Norton & Company, New York. Sukirno, S. 1998. Pengantar Teori Makroekonomi. Edisi Kedua. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soemardjan, S. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis). Jakarta.
Makalah,
Sumedi. 2005. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
134 Sutomo, S. 1995. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Wilayah : Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suwandi, M. 2002. Konsep Dasar Otonomi Daerah yang Demokratis dan Efisien. Departemen Dalam Negeri, Jakarta. Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid I dan II. Terjemahan H. Munandar. Erlangga, Jakarta. Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran : Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lampiran 1. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No Uraian A 1.
PENERIMAAN Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah 2.1. Pajak Daerah 2.2. Retribusi Daerah 2.2.1. Retribusi Jasa Umum 2.2.2. Retribusi Jasa Usaha 2.2.3. Retribusi Perijinan Tertentu 2.3. Bagian Laba Usaha Daerah 2.4. Penerimaan Lain-lain Pendapatan Dari Pemerintah dan atau 3. Instansi Yang Lebih Tinggi 3.1. Bagi Hasil Pajak 3.2. Bagi Hasil Bukan Pajak 3.3. Subsidi Daerah Otonom 3.4. Bantuan Pembangunan 3.5. Penerimaan Lainnya 4. Pinjaman Pemerintah Daerah
Kabupaten Kuantan Sengingi 2001 2002 2003 252 064 882 293 702 261 278 412 003 4 335 602 3 651 628 576 939 1 247 973 288 589 372 731 586 653 0 1 826 716
34 686 765 6 422 281 976 559 2 102 426 366 704 535 459 1 200 263 0 3 343 296
17 935 584 7 007 875 1 078 875 3 149 000 450 000 1 459 000 1 240 000 0 2 780 000
244 077 652 13 195 028 112 652 387 118 230 237 0 0 0
252 593 215 18 643 895 101 814 747 118 837 706 13 296 867 0 0
253 468 544 22 517 043 104 407 706 126 543 795 0 0 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
136
Lampiran 2. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Uraian PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
Kabupaten Kuantan Sengingi 2001 2002 2003 81 592 774 115 568 911 137 209 366 57 984 234 71 501 054 86 184 262 9 291 450 19 399 571 19 551 443 745 817 944 473 2 284 744 1 367 294 1 892 362 2 079 400 9 752 317 16 644 227 21 905 050 0 0 0 0 0 0 2 243 134 208 528
2 863 537 2 323 687
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
3 279 140 1 925 327
137
Lampiran 3. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Sengingi Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No
Uraian
C. 1. 2. 3. 4. 5.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi Transportasi Pertambangan dan Energi Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Pembangunan Daerah dan Pemukiman Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Pengeluaran (B+C)
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. D
Kabupaten Kuantan Sengingi 2001 2002 132 829 356 160 194 537 512 636 649 300 10 582 533 13 907 009 15 446 727 14 006 512 398 075 323 005
2003 141 202 637 156 500 4 894 863 6 606 622 190 000
3 949 295 56 109 511 434 996 605 419 2 367 936 4 571 631
7 015 705 53 117 007 1 172 648 235 192 566 871 11 115 129
12 055 704 57 400 655 852 000 667 417 3 747 522 9 630 466
10 322 783 174 440
18 529 914 44 759
19 477 765 64 090
5 567 110 4 883 353 301 910 885 975 134 024 15 270 514
8 184 775 1 922 280 322 800 1 297 671 65 000 27 462 489
7 857 011 2 823 010 0 1 064 000 70 000 13 146 637
220 488 90 000
54 971 201 500
244 250 254 125
0 214 422 130
0 275 763 448
0 278 412 003
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
138
Lampiran 4. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Provinsi Riau Tahun 2001-2003
Kabupaten Pelalawan (Ribu Rupiah)
No A
Penerimaan/Pengeluaran
PENERIMAAN 1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah 2.1. Pajak Daerah 2.2. Retribusi Daerah 2.2.1. Retribusi Jasa Umum 2.2.2. Retribusi Jasa Usaha 2.2.3. Retribus i Perijinan Tertentu 2.3. Bagian Laba Usaha Daerah 2.4. Penerimaan Lain-lain 3. Pendapatan Dari Pemerintah dan atau Instansi Yang Lebih Tinggi 3.1. Bagi Hasil Pajak 3.2. Bagi Hasil Bukan Pajak 3.3. Subsidi Daerah Otonom 3.4. Bantuan Pembangunan 3.5. Penerimaan Lainnya 4. Pinjaman Pemerintah Daerah
Kabupaten Pelalawan 2001 2002 285 460 728 359 399 905 8 480 306 85 765 492 3 511 373 11 602 611 673 886 3 415 317 824 816 1 011 314 196 043 282 619 110 157 256 449 518 616 472 246 0 515 830 2 012 671 6 660 150
2003 304 999 538 55 608 885 4 116 825 950000 922 325 249 875 57 450 615 000 500 000 1 744 500
269 313 677 23 988 381 119 633 985 109 950 671 15 740 640 4 155 372 0
223 118 755 16 658 755 97 000 000 91 460 000 18 000 000 22 155 073 0
260 799 511 30 983 867 112 749 571 110 137 688 6 928 385 1 232 291 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
139
Lampiran 5. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
Kabupaten Pelalawan 2001 2002 60604 285 90 318 100 30 756 693 29 443 434 12 637 962 28660 369 2 685 395 2 985 708 3166569 2 863121 7 314 328 17 729 698 0 0 760 500 3 449 480 2 786 257 496 581
4 986 290 200 000
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
2003 126 961 448 47 008 880 33 117 730 5 088 900 3 976 580 28 981 358 0 2 000 000 6 288 000 500 000
140
Lampiran 6. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No
Penerimaan/Pengeluaran
C. 1. 2. 3. 4. 5.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi Transportasi Pertambangan dan Energi Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Pembangunan Daerah dan Pemukiman Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Pengeluaran (B+C)
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. D
Kabupaten Pelalawan 2001 2002 137 637 817 211 942 201 457 180 374 140 3 993 414 21 127 785 1 642 767 4 049 971 170 047 321 610
2003 178 038 090 182 000 23 396 464 3 372 000 358 880
3 391 372 49 347 188 921 240 424 934 14 989 349 1 752 162
7 656 422 67 149 515 1 530 486 778 783 23 395 062 1 852 474
4 357 474 52 587 820 0 618 527 14 293 915 1 700 540
6 697 045 224 331
15 057 516 499 260
19 261 679 585 000
5 234 234 27 228 911 627 023 1 096 937 215 754 18 867 280
10 363 975 23 105 774 1 176 382 1 630 509 28 682 142 2 422 159
6 151 245 13 443 988 376 670 1 672 400 397 765 34 384 283
356 649 0
768 236 0
897 440 0
0 198 242 102
0 302 260 301
0 304 999 538
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
141
Lampiran 7. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No A
Penerimaan/Pengeluaran
PENERIMAAN Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun 1. Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah 2.1. Pajak Daerah 2.2. Retribusi Daerah 2.2.1. Retribusi Jasa Umum 2.2.2. Retribusi Jasa Usaha 2.2.3. Retribusi Perijinan Tertentu 2.3. Bagian Laba Usaha Daerah 2.4. Penerimaan Lain-lain 3. Pendapatan Dari Pemerintah dan atau Instansi Yang Lebih Tinggi 3.1. Bagi Hasil Pajak 3.2. Bagi Hasil Bukan Pajak 3.3. Subsidi Daerah Otonom 3.4. Bantuan Pembangunan 3.5. Penerimaan Lainnya 4. Pinjaman Pemerintah Daerah
Kabupaten Siak Sri Indrapura 2001 2002 2003 647 718 510 910 944 272 82 9998 750 10 538 084 36 616 484 31 134 556 423 439 90 980 18 555 313 904 0 5 058 489
293 658 851 47 316 070 18 038 009 1 988 678 155 843 1 075 500 757 335 1 091 660 26 197 723
22 2164 642 58021600 1 3010 500 6186 100 244 200 92700 5849 200 2 1243 000 1 7582000
593 398 936 31 784 314 462 234 497 93 839 485 5 540 640 7 165 006 0
569 903 993 39 677 482 430 986 051 95 900 183 3 340 277 65 358 0
547 015 908 58 470 700 385575200 99 629 731 3 340 277 2 796 600 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
142
Lampiran 8. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
Kabupaten Siak Sri Indrapura No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
2001 93 623 896 31 289 781 16 394 756 3 123 459 2 291 410 22 942 231 0 978 836
2002 159 528 946 36 149 748 25 188 784 4 188 272 38 576 66 464 452 0 9 961 195
2003 290 418 890 63 053 559 44 231 892 9 099 200 8 222 627 127 796 412 0 10 200 000
3 568 676 13 034 747
15 373 355 2 164 564
22 793 200 5 022 000
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
143
Lampiran 9. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Sri Indrapura Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No
Penerimaan/Pengeluaran
C. 1. 2. 3. 4. 5.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi Transportasi Pertambangan dan Energi Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Pembangunan Daerah dan Pemukiman Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Pengeluaran (B+C)
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. D
Kabupaten 2001 259 361 337 596 037 11 130 564 21 995 537 2 449 969
Siak Sri Indrapura 2002 2003 51 1015 961 53 9579 860 1 526 650 1539 905 22 395 017 6 1246648 48 111 496 21 058 934 2 289 694 2 623 140
6 696 910 62 490 312 4 336 875 776 662 10 629 961 3 753 104
5 513 794 232 687 695 8 855 874 5 056 600 1 435 059 8 490 491
4 779 301 212 655 268 15 937 990 5 586 089 1 145 000 2 634 200
44 446 078 181 475
38 339 776 362 300
27 883 267 0
11 111 879 37 988 661 2 257 427 3 819 207 55 000 34 514 424
11 580 444 56 705 337 4 100 308 10 449 495 104 500 48 226 420
18 285 056 23 077 345 8 973 632 3 369 725 0 123 761 361
131 255 0
4 785 011 0
1317112 3 705 887
0 352 985 233
0 670 544 907
0 829 998 750
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
144
Lampiran 10. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Provinsi Riau Tahun 2001-2003
Kabupaten Rokan Hilir (Ribu Rupiah)
No A 1. 2. 2.1. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.3. 2.4. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 4.
Penerimaan/Pengeluaran PENERIMAAN Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perijinan Tertentu Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan Lain-lain Pendapatan Dari Pemerintah dan atau Instansi Yang Lebih Tinggi Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Subsidi Daerah Otonom Bantuan Pembangunan Penerimaan Lainnya Pinjaman Pemerintah Daerah
Kabupaten Kabupaten Rokan Hilir 2001 2002 2003 620 992 134 677 812 881 840 703 100 4 257 373 145 161 449 327 783 322 27 158 518 28 355 664 23 138 884 1 079 001 4 183 495 4 110 684 258 269 747 374 1 649 500 93 312 222 542 478 000 46 943 75 382 616 500 118 014 449 450 555 000 0 991 660 0 25 821 248 22 433 135 17 378 700 589 027 101 10 896 832 476 317 954 91 848 955 9 963 360 549 142 0
504 295 768 36 917 485 372 676 581 92 106 481 2 595 221 0 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
488 680 894 40 930 343 351 491 910 96 258 641 0 1 100 000 0
145
Lampiran 11. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pin jaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
Kabupaten Kabupaten Rokan Hilir 2001 2002 2003 91 877 094 178 972 722 24 5610 000 36 194 716 64 921 337 7 1797 738 21 243 847 34 445 361 5 3596 922 2 942 190 8 920 448 1 1825 230 3 369 917 5 628 446 9962 450 8 621 362 34 909 009 5 3754460 2 000 000 1 743 745 3 000 000 7 582 809 3 522 600 11 582 600 9 922 253 13 755 003 19 555 000 0 11 126 773 10 535 600
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
146
Lampiran 12. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
Penerimaan/Pengeluaran C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. D
PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi Transportasi Pertambangan dan Energi Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Pembangunan Daerah dan Pemukiman Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Pengeluaran (B+C)
Kabupaten Kabupaten Rokan Hilir 2001 2002 2003 377 341 732 163 293 363 595 093 100 3 156 914 2 903 037 3 431 419 10 219 885 15 579 753 18 124 811 10 609 261 5 167 958 26 950 383 314790 929 907 1 503 460 10 417 173 158 684 530 812 247 0 3 023 186 1 165 908
5 463 642 27 125 012 14 939 613 324 643 4 088 247 1 693 859
11 648 264 278 119 436 20 130 993 1 807 025 8 723 389 3 111 874
62 971 492 727 102
24 001 856 636 962
66 967 899 916 762
15 585 974 46 069 828 5 744 023 953 683 152 358 46 574 995
16 223 482 4 978 494 5 203 094 3 396 746 579 458 29 487 600
18 189 316 32 393 462 21 795 177 7 365 447 859 907 71 961 411
158 383 0
0 570 000
680 000 412 665
0 469 218 826
0 342 266 085
0 840 703 100
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
147
Lampiran 13. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Provinsi Riau Tahun 2001-2003
Kabupaten Karimun (Ribu Rupiah)
Penerimaan/Pengeluaran A 1. 2. 2.1. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.3. 2.4. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 4.
PENERIMAAN Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perijinan Tertentu Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan Lain-lain Pendapatan Dari Pemerintah dan atau Instansi Yang Lebih Tinggi Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Subsidi Daerah Otonom Bantuan Pembangunan Penerimaan Lainnya Pinjaman Pemerintah Daerah
Kabupaten Karimun 2001 2002 340 669 791 387 862 837 7 393 158 111 444 056 59 500 755 79 008 433 13 651 297 16 920 000 42 563 252 1 082 500 124 919 432 000 35 035 290 45 000 7 403 043 605 500 0 991 661 3 286 206 60 014 272 273 395 957 13 551 596 140 533 086 117 646 635 1 664 640 379 921 0
197 410 348 9 879 500 69 884 213 117 646 635 0 0 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
2003 269 682 490 66 652 490 64 705 000 18 060 000 1 225 000 610 000 45 000 570 000 1 570 000 43 850 000 104 805 000 12 485 000 4 600 000 87 720 000 0 33 520 000 0
148
Lampiran 14. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
Kabupaten Karimun 2001 2002 2003 149 647 826 201 302 019 169 966 424 31 002 445 37 374 223 54 236 735 13 018 258 22 446 659 30 061 570 3 516 628 4 305 140 2 971 200 5 147 878 7 916 200 6 769 800 12 552 610 90 895 217 38 206 149 0 0 0 13 14 62 6 2 652 580 2 845 970 80 097 342 30 462 000 31 875 000 2 998 039 5 250 000 3 000 000
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
149
Lampiran 15. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
21.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi Transportasi Pertambangan dan Energi Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Pembangunan Daerah dan Pemukiman Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan
D
Jumlah Pengeluaran (B+C)
C. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kabupaten Karimun 2001 2002 90570 956 186 560 818 751 303 512 900 4626 141 3 723 950 1595 448 1 459 050 907 700 1 200 000
2003 99 716 066 660 140 3 735 032 1 723 500 249 800
1 432 198 29 434 217 2 475 473 2 039 963 623 700 1 856 717
12 397 553 40 913 485 4 606 278 1 966 585 2 123 532 3 167 414
7 205 910 23 997 982 8 823 395 1 246 500 3 202 126 1 362 350
8 837 363 156 980
31 275 757 1 727 156
9 376 622 1 144 640
3 371 078 10 273 727 78 080 694 405 93 300 21 189 441
17 687 362 17 259 126 1 790 460 0 105 350 43 615 921
13 380 782 2 835 743 311 000 0 0 19 846 146
80 922 52 800
1 028 939 0
614 398 0
0
0
240 218 782
387 862 837
0 269 682 490
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
150
Lampiran 16. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
Penerimaan/Pengeluaran A 1. 2. 2.1. 2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.3. 2.4. 3. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5. 4.
PENERIMAAN Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Retribusi Jasa Umum Retribusi Jasa Usaha Retribusi Perijinan Tertentu Bagian Laba Usaha Daerah Penerimaan Lain-lain Pendapatan Dari Pemerintah dan atau Instansi Yang Lebih Tinggi Bagi Hasil Pajak Bagi Hasil Bukan Pajak Subsidi Daerah Otonom Bantuan Pembangunan Penerimaan Lainnya Pinjaman Pemerintah Daerah
Kabupaten Natuna 2001 2002 251 397 991 325 469 920 156 000 25 669 400 568 747 1 663 781 63 754 128 131 18 643 26 507 10 362 14 733 0 0 8 281 11 774 0 0 486 350 1 509 143
2003 327 676 092 6 563 414 6 579 276 737 507 215 663 119 868 0 95 795 0 5 626 106
250 673 244 9 252 674 94 619 681 146 800 889 0 0 0
296 848 186 45 188 186 155 000 000 96 660 000 0 17 685 216 0
298 072 379 22 525 372 126 267 287 147 580 000 1 699 720 64 360 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
151
Lampiran 17. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
Kabupaten Natuna 2001 2002 2003 115 544 364 193 114 410 150 602 340 38 179 937 50 698 438 49 764 329 32 830 072 54 870 353 42 791 232 2 889 003 3 627 260 3 765 572 5 028 878 6 191 295 6 554 719 21 053 850 45 236 876 27 441 919 0 0 0 248 000 2 395 204 323 247 15 314 624 15 094 984 19 961 322 0 15 000 000 0
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
152
Lampiran 18. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No
Penerimaan/Pengeluaran
C. 1. 2. 3. 4. 5.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi Transportasi Pertambangan dan Energi Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah Pembangunan Daerah dan Pemukiman Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga Kependudukan dan Keluarga Sejahtera Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja Perumahan dan Pemukiman Agama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hukum Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah Bawahan Jumlah Pengeluaran (B+C)
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. D
Kabupaten Natuna 2001 2002 103 751 653 125 792 096 1 556 562 543 621 6 730 559 5 098 150 547 774 0 159 000 151 400
2003 177 073 752 2 656 595 11 487 097 934 890 271 367
3 371 765 32 526 315 2 331 258 1 275 841 446 470 3 015 925
3 118 202 45 884 186 16 017 345 1 520 564 1 151 000 1 959 552
5 754 618 55 512 914 3 978 776 2 177 488 761 994 5 147 303
9 576 692 0
9 702 632 360 468
16 344 615 0
4 545 493 12 433 535 1 217 275 2 484 416 642 792 20 393 739
5 857 304 298 172 237 246 11 938 433 387 428 12 806 333
7 757 828 21 220 411 2 077 533 4 240 172 1 097 058 34 806 153
496 242 0
8 760 060 0
846 940 0
0
0 318 906 506
0 327 676 092
219 296 017
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
153
Lampiran 19. Penerimaan Fiskal Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No A
2001 242200000 5780000 5280000 3645651 1556304 1552765 0 3539 0 78045
Kota Dumai 2002 270467978 47673559 12177409 3264688 2613600 1193641 57245 1362714 495830 5803291
2003 279014385 39277309 9392588 2943500 4742853 1541193 1771160 1430500 1000000 706235
230310000 34728024 102101976 93480000 0 830000 0
204117608 27117567 82463468 93480000 1056573 6499402 0
230344488 34011100 95049500 97783888 3500000 0 0
Penerimaan/Pengeluaran
PENERIMAAN 1. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu 2. Pendapatan Asli Daerah 2.1. Pajak Daerah 2.2. Retribusi Daerah 2.2.1. Retribusi Jasa Umum 2.2.2. Retribusi Jasa Usaha 2.2.3. Retribusi Perijinan Tertentu 2.3. Bagian Laba Usaha Daerah 2.4. Penerimaan Lain-lain 3. Pendapatan Dari Pemerintah dan atau Instansi Yang Lebih Tinggi 3.1. Bagi Hasil Pajak 3.2. Bagi Hasil Bukan Pajak 3.3. Subsidi Daerah Otonom 3.4. Bantuan Pembangunan 3.5. Penerimaan Lainnya 4. Pinjaman Pemerintah Daerah
Sumber: Statistik Keuanga n Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
154
Lampiran 20. Pengeluaran Fiskal Rutin Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau Tahun 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penerimaan/Pengeluaran PENGELUARAN RUTIN Belanja Pegawai Belanja Barang Biaya Pemeliharaan Belanja Perjalanan Dinas Belanja Lain-lain Angsuran Pinjaman/Hutang dan Bunga Ganjaran/Subsidi/Sumbangan Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain Pengeluaran Tidak Tersangka
2001 100050000 31934164 22081896 5912226 2636249 25550111 0 1461409 8764902 1709043
Dumai 2002 124439289 37643937 29847372 8676606 4245773 24061334 0 2817848 16646419 500000
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
2003 168257674 81514112 38888173 17451595 7261544 0 0 20642250 2000000 500000
155
Lampiran 21. Pengeluaran Fiskal Pembangunan Pemerintah Daerah Kota Dumai Provinsi Riau 2001-2003 (Ribu Rupiah)
No C. 1. 2. 3. 4. 5.
PENGELUARAN PEMBANGUNAN Industri Pertanian dan Kehutanan Sumber Daya Air dan Irigasi Tenaga Kerja Perdagangan, Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi 6. Transportasi 7. Pertambangan dan Energi 8. Pariwisata dan Telekomunikasi Daerah 9. Pembangunan Daerah dan Pemukiman 10. Lingkungan Hidup dan Tata Ruang Pendidikan, Kebudayaan 11. Nasional,Kepercayaan terhadap Tuhan YME, Pemuda dan Olahraga 12. Kependudukan dan Keluarga Sejahtera 13. Kesehatan, Kesejahteraan Sosial,Peranan Wanita, Anak dan Remaja 14. Perumahan dan Pemukiman 15. A g a m a 16. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 17. H u k u m 18. Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Politik, Penerangan, Komunikasi dan 19. Media Massa 20. Keamanan dan Ketertiban Umum Subsidi Pembangunan Kepada Daerah 21. Bawahan D
2001 142150000 1558062 3610294 1441568 434479
Kota Dumai 2002 116720719 307204 8109568 1861303 54136
2003 110756711 1213972 2812974 1123203 338526
4241221 31322620 0 2030936 2399738 3960629
4389879 37465162 0 882990 2985412 6006512
3304563 24405138 0 1582411 1869765 3085939
15375445
11721818
11979836
2067311
0
1610753
9501918 14209772 0 6462936 5025203 36754795
4194491 11814236 2299346 0 297067 23078438
7403455 11071598 0 5035621 3915406 28637638
1086197 666875
175208 1077949
846315 519598
0
0
0
242 200 000
241 160 008
279 014 385
Penerimaan/Pengeluaran
Jumlah Pengeluaran (B+C)
Sumber: Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Riau
156
Lampiran 22. Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Riau Indikator
RIAU
SUMATERA
JAWA & BALI
INDONESIA
Angka Harapan Hidup (2002)
68.1 th
DIY 72.4 th DKI Jakarta 72.3 th Bali 70 th Jawa Tengah 68.9 th Jawa Timur 66.0 th Jawa Barat 64.5 th Banten 62.4 th
66.2 th
Rata-rata Lama Sekolah (2004)
8.2 th
DKI Jakarta 10.1 th DIY 8.2 th Banten 7.7 th Bali 7.3 th Jawa Barat 7.2 th Jawa Tengah 6.6 th Jawa Timur 6.6 th
7.2 th
Proporsi Penduduk Miskin (2004)
13.12 %
DKI Jakarta 3.18 % Bali 6.85 % Banten 8.58 % Jawa Barat 12.10 % DIY 19.14 % Jawa Timur 20.08 % Jawa Tengah 21.11 %
16.7 th
Indeks Pembangunan Manusia (2002)
69.1
NAD (67.7 th) Sumatera Utara (67.3 th) Jambi (66.9 th) Sumatera Barat (66.1 th) Lampung (66.1 th) Sumatera Selatan (65.7 th) Bangka Belitung (65.6 th) Bengkulu (65.4 th) NAD (8.4 th) Sumatera Utara (8.4 th) Sumatera Barat (8.0 th) Bengkulu (7.8 th) Jambi (7.4 th) Sumatera Selatan (7.4 th) Lampung (7.0 th) Bangka Belitung (6.5 th) Bangka Belitung 9.07 % Sumatera Barat 10.46 % Jambi 12.45 % Sumatera Utara 14.93 % Sumatera Selatan 20.92 % Lampung 22.22 % Bengkulu 22.39 % NAD 28.47 % Sumatera Utara 68.8 Sumatera Barat 67.5 Jambi 67.1 Bengkulu 66.2 NAD 66.0 Sumatera Selatan 66.0 Lampung 65.8 Bangka Belitung 65.4
DKI Jakarta DIY Bali Banten Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Timur
65.8 th
75.6 70.8 67.5 66.6 66.3 65.8 64.1
157
Lampiran 23. Program SAS ver.6.1. Model ekonometrika Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan. Options nodate nonumber; Data fiskal; Set analisis; /*membuat lag */ Ltaxd = lag (taxd); Lretrd = lag (retrd); Ldau = lag (dau); Lbhtaxd = lag (bhtaxd); Lpesper = lag (pesper); Lpesnper = lag (pesnper); Lpepso = lag (pepso); Lpepum = lag (pepum); Lptknp = lag (ptknp); Lprsnp = lag (prsnp); Lgini = lag (gini); Lp1 = lag (p1); Lp2 = lag (p2); LINVD = lag (INVD); LEXPRD = lag (EXPRD); LIMPRD = lag (IMPRD); LPRSP = lag (PRSP); LPDDMIS = lag (PDDMIS); LP0 = Lag (P0); LMISKT = Lag (MISKT); LMISDS = Lag (MISDS); PAD TPED PERDA PESE PEPSU TEXP PDRB BOT TPSEK PDRBKA FISDEF CONRT CGK MISTOT
= = = = = = = = = = = = = =
TAXD+RETRD+LABUD; PAD+DAU+DAK+BHTAXD+PELA+SAPBDTS; PERGA+PERNGA; PESPER+PESNPER+PEINF; PEPSO+PEPUM; PERDA+PESE+PEPSU; KONM+INVD+KONP+EXPRD-IMPRD; EXPRD-IMPRD; PRSP+PRSNP; (PDRB/ POP); PAD+BHTAXD+BHPESDA-TEXP; (KONM/POP); GK-KONM; MISKT+MISDS;
/*membuat diskripsi variabel */ LABEL taxd = 'pajak daerah' Pdrb = 'prdk domistik reg bruto' Texp = 'total peng pemerintah' Kpdk = 'kepadatan penduduk' Ddf = 'dummy desentr fiskal' Ltaxd = 'lag pajak daerah' Retrd = 'retribusi daerah' Lretrd = 'lag retribusi daerah' Pad = 'pendapatan asli daerah' Labud = 'laba badan usaha daerah' Dau = 'dana alokasi umum' Aked = 'angkatan kerja' Pop = 'jumlah penduduk' Bhpesda = 'bagi hsl penerimaan sda' Ldau = 'lag dana alokasi umum' Bhtaxd = 'bagi hasil pajak' Pese = 'peng sektor ekonomi' Lbhtaxd = 'lag pen hsl bagi pajak' Tped = 'total pendapatan daerah' Dak = 'dana alokasi khusus' Pela = 'penerimaan lain-lain'
158
run;
Sapbdts Perga Jpgo Pernga Sapbdts Perda Pesper Tped Ptkp Lpesper Pesnper Ptknp lpesnper Pepum Peinf Lwil Pepso Jdeke Lpepso lpepum pepsu texp invd umr sbk exprd exr imprd konm pdrbka bot ptkp upsp prsp ptknp upsnp lptknp ptk ptkp prsnp lprsnp tpsek mistot gk P0 misds miskt pddk ksht pdgn Linvd Lexprd Conrt Lgini LP1 LP2
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'sisa anggaran th sblmnya' 'peng rutin gaji' 'jumlah pegawai otonomi' 'peng rutin non gaji' 'sisa anggaran th sblmnya' 'peng rutin daerah' 'peng sektor pertanian' 'total pendapat daerah' 'penyerapan TKpertani' 'pesper t-1' 'peng sektor nonpertani' 'penyerap TK nonpertani' 'pesnpert-1' 'peng pelayanan umum' 'peng infrastruktur' 'luas wilayah' 'peng pelayanan sosial' 'jumlah desa dan kel' 'pepso t-1' 'pepum t-1' 'peng pelayanan umum' 'total peng pembangunan' 'investasi daerah' 'upah minimum regional' 'suku bunga kredit' 'ekspor daerah' 'exchange rate' 'impor daerah' 'konsumsi masyarakat' 'pdrb per kapita' 'balace of trade' 'penyerap TK pertanian' 'upah sektor pertanian' 'prod sektor pertanian' 'penyerap TKnon pertani' 'upah sektor non pertani' 'ptknp t-1' 'penyerapan tenaga kerja' 'penyerapan TKpertanian' 'prod sektor non pertani' 'prsp t-1' 'total prduksi sektoral' 'total pddk miskin' 'garis kemiskinan' 'persen orang miskin' 'kemiskinan desa' 'kemiskinan kota' 'peng pendidikan' 'peng kesehatan' 'peng perdagangan' 'inv t-1' 'exprd t-1' 'konsumsi rt' 'gini t-1' 'P1 t-1' 'P2 t-2'
proc syslin endogenous
2SLS data=fiskal ; taxd retrd pad dau bhtaxd tped perga pernga perda pesper pesnper peinf pepso pepum pese pepsu texp invd exprd imprd pdrb pdrbka bot prsp prsnp tpsek p2 gini miskt misds pddmis p0;
instruments
Kpdk Ddf Ltaxd Lretrd Labud Aked Pop Bhpesda Ldau Lbhtaxd Dak Pela Sapbdts Jpgo Lpesper lpesnper Lwil Jdeke Lpepso lpepum umr sbk exr konm upsp upsnp lptknp lprsnp lgini gk conrt pdgn pddk ksht linvd lexprd limprd lprsp cgk lp0 lpddmis lmiskt lmisds;
159
/*persamaan struktural */ Model TAXD = TEXP KONM DDF LTAXD /dw ; Model RETRD = PDRB TEXP DDF /dw ; Model DAU = TEXP AKED POP BHPESDA DDF /dw ; Model BHTAXD = PAD PESE DDF /dw ; Model PERGA = PAD DAU DAK JPGO DDF /dw ; Model PERNGA = PAD SAPBDTS POP DDF /dw ; Model PESPER = TPED PTKP DDF LPESPER /dw ; Model PESNPER = TPED PTKNP PDGN DDF /dw ; Model PEINF = TPED PDRB LWIL /dw ; Model PEPSO = PAD JDEKE PDDK KSHT LPEPSO /dw ; Model PEPUM = PAD SAPBDTS POP DDF LPEPUM /dw ; Model INVD = UMR PAD RETRD DDF /dw ; Model EXPRD = PDRB EXR LEXPRD /dw ; Model IMPRD = PDRB EXPRD LIMPRD /dw ; Model PRSP = UPSP POP DDF /dw ; Model PRSNP = UPSNP TPSEK PDGN DDF /dw ; Model MISKT = DAU BHPESDA POP UPSNP PEPSU PTKNP LMISKT /dw; Model MISDS = PESE BHPESDA DAU PEPSO POP PTKP UPSP LMISDS /dw; Identity Identity Identity Identity Identity Identity identity Identity Identity Identity Identity Run;
PAD TPED PERDA PESE PEPSU TEXP PDRB PDRBKA BOT TPSEK MISTOT
= = = = = = = = = = =
pad+0; tped+0; perda+0; pese+0; pepsu+0; texp+0; pdrb+0; pdrbka+0 ; bot+0; tpsek+0; mistot+0;
Lampiran 24. Program SAS ver.6.1. Validasi dan Simulasi Model Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan. Options nodate nonumber;
160
Data fiskal; Set analisis; PAD TPED PERDA PESE PEPSU TEXP PDRB BOT TPSEK PDRBKA FISDEF CONRT CGK MISTOT
= = = = = = = = = = = = = =
TAXD+RETRD+LABUD; PAD+DAU+DAK+BHTAXD+PELA+SAPBDTS; PERGA+PERNGA; PESPER+PESNPER+PEINF; PEPSO+PEPUM; PERDA+PESE+PEPSU; KONM+INVD+KONP+EXPRD-IMPRD; EXPRD-IMPRD; PRSP+PRSNP; (PDRB/ POP); PAD+BHTAXD+BHPESDA-TEXP; (KONM/POP); GK-KONM; MISKT+MISDS;
/*membuat diskripsi variabel */ LABEL taxd = 'pajak daerah' Pdrb = 'prdk domistik reg bruto' Texp = 'total peng pemerintah' Kpdk = 'kepadatan penduduk' Ddf = 'dummy desentr fiskal' Ltaxd = 'lag pajak daerah' Retrd = 'retribusi daerah' Lretrd = 'lag retribusi daerah' Pad = 'pendapatan asli daerah' Labud = 'laba badan usaha daerah' Dau = 'dana alokasi umum' Aked = 'angkatan kerja' Pop = 'jumlah penduduk' Bhpesda = 'bagi hsl penerimaan sda' Ldau = 'lag dana alokasi umum' Bhtaxd = 'bagi hasil pajak' Pese = 'peng sektor ekonomi' Lbhtaxd = 'lag pen hsl bagi pajak' Tped = 'total pendapatan daerah' Dak = 'dana alokasi khusus' Pela = 'penerimaan lain-lain' Sapbdts = 'sisa anggaran th sblmnya' Perga = 'peng rutin gaji' Jpgo = 'jumlah pegawai otonomi' Pernga = 'peng rutin non gaji' Sapbdts = 'sisa anggaran th sblmnya' Perda = 'peng rutin daerah' Pesper = 'peng sektor pertanian' Tped = 'total pendapat daerah' Ptkp = 'penyerapan TKpertani' Lpesper = 'pesper t-1' Pesnper = 'peng sektor nonpertani' Ptknp = 'penyerap TK nonpertani' lpesnper = 'pesnpert-1' Pepum = 'peng pelayanan umum' Peinf = 'peng infrastruktur' Lwil = 'luas wilayah' Pepso = 'peng pelayanan sosial' Jdeke = 'jumlah desa dan kel' Lpepso = 'pepso t-1' lpepum = 'pepum t-1' pepsu = 'peng pelayanan umum' texp = 'total peng pembangunan' invd = 'investasi daerah' umr = 'upah minimum regional' sbk = 'suku bunga kredit' exprd = 'ekspor daerah' exr = 'exchange rate'
161
imprd konm pdrbka bot ptkp upsp prsp ptknp upsnp lptknp ptk ptkp prsnp lprsnp tpsek mistot gk P0 misds miskt pddk ksht pdgn Linvd Lexprd Conrt Lgini LP1 LP2
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
'impor daerah' 'konsumsi masyarakat' 'pdrb per kapita' 'balace of trade' 'penyerap TK pertanian' 'upah sektor pertanian' 'prod sektor pertanian' 'penyerap TKnon pertani' 'upah sektor non pertani' 'ptknp t-1' 'penyerapan tenaga kerja' 'penyerapan TKpertanian' 'prod sektor non pertani' 'prsp t-1' 'total prduksi sektoral' 'total pddk miskin' 'garis kemiskinan' 'persen orang miskin' 'kemiskinan desa' 'kemiskinan kota' 'peng pendidikan' 'peng kesehatan' 'peng perdagangan' 'inv t-1' 'exprd t-1' 'konsumsi rt' 'gini t-1' 'P1 t-1' 'P2 t-2'
run; proc simnlin data=fiskal dynamic simulate stat outpredict theil ; endogenous taxd retrd pad dau bhtaxd tped perga pernga perda pesper pesnper peinf pepso pepum pese pepsu texp invd exprd imprd pdrb pdrbka bot prsp prsnp tpsek p2 gini miskt misds pddmis p0; instruments
Ltaxd Lretrd Ldau Lbhtaxd Lpesper Lpesnper Lpepso Lpepum Lptknp Lprsnp Lgini Lp1 Lp2 LINVD LEXPRD LIMPRD LPRSP LPDDMIS LP0 LMISKT LMISDS
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Kpdk Ddf Ltaxd Lretrd Labud Aked Pop Bhpesda Ldau Lbhtaxd Dak Pela Sapbdts Jpgo Lpesper lpesnper Lwil Jdeke Lpepso lpepum umr sbk exr konm upsp upsnp lptknp lprsnp lgini gk conrt pdgn pddk ksht linvd lexprd limprd lprsp cgk lp0 lpddmis lmiskt lmisds; lag (taxd); lag (retrd); lag (dau); lag (bhtaxd); lag (pesper); lag (pesnper); lag (pepso); lag (pepum); lag (ptknp); lag (prsnp); lag (gini); lag (p1); lag (p2); lag (INVD); lag (EXPRD); lag (IMPRD); lag (PRSP); lag (PDDMIS); Lag (P0); Lag (MISKT); Lag (MISDS);
Parms a0 36801 a1 0.018 a2 -0.000069 a3 -23565 a4 0.0784 b0 14014 b1 -0.000003 b2 0.005 b3 10818 c0 -276414 c1 0.31 c2 -1.49 c3 1.15 c4 -0.64 c5 347053 d0 -26701 d1 1.5 d2 0.3 d3 -169903
162
e0 f0 g0 h0 i0 j0 k0 l0 m0 n0 o0 p0 q0 r0 r6
-150609 e1 0.4 e2 0.146 e3 0.99 e4 22.69 e5 307412 -957227 f1 4.7 f2 0.65 f3 1.25 f4 335785 -34750 g1 0.025 g2 0.35 g3 49865 g4 0.06 -30808 h1 0.058 h2 0.16 h3 108104 h4 -0.0045 -107391 i1 0.187 i2 0.00004 i3 6.0 -271895 j1 2.7 j2 1108.37 j3 3.34 j4 4.37 j5 0.18 -958683 k1 10.4 k2 0.37 k3 0.7 k4 -531437 k5 0.055 -34006126 l1 190.65 l2 55.82 l3 -270.73 l4 -11340105 -91729230 m1 0.9 m2 10704 m3 0.038 84912420 n1 -0.56 n2 0.64 n3 0.13 36107802 o1 -105.4 o2 46.9 o3 9170293 -88295295 p1 109.97 p2 0.99 p3 -0.221276 p4-8824538 212.8 q1 -0.000005 q2 0.00002 q3 -0.0000127 q4 0.000005 q5 -0.00016 q6 -100.8 415.36 r1 0.000039 r2 -0.000017 r3 -0.000021 r4 0.000037 r5 -0.0000177 -0.00017 r7 -368
*blok penerimaan daerah; TAXD = a0 + a1*TEXP + a2*KONM + a3*DDF + a4*LTAXD ; RETRD = b0 + b1*PDRB + b2*TEXP + b3*DDF ; PAD = TAXD + RETRD + LABUD; DAU = c0 + c1*TEXP + c2*AKED + c3*POP + c4*BHPESDA + c5*DDF ; BHTAXD = d0 + d1*PAD + d2*PESE + d3*DDF; TPED = PAD + DAU + DAK + BHTAXD + BHPESDA + PELA + SAPBDTS; *blok pengeluaran daerah; PERGA = e0 + e1*PAD + e2*DAU + e3*DAK + e4*JPGO + e5*DDF ; PERNGA = f0 + f1*PAD + f2*SAPBDTS + f3*POP + f4*DDF; PERDA = PERGA + PERNGA; PESPER = g0 + g1*TPED + g2*PTKP + g3*DDF + g4*LPESPER ; PESNPER = h0 + h1*TPED + h2*PTKNP + h3*DDF ; PEINF = i0 + i1*TPED + i2*PDRB + i3*LWIL ; PEPSO = j0 + j1*PAD + j2*JDEKE + j3*PDDK + j4*KSHT + j5*LPEPSO ; PEPUM = k0 + k1*PAD + k2*SAPBDTS + k3*POP + k4*DDF + k5*LPEPUM ; PESE = PESPER + PESNPER + PEINF; PEPSU = PEPSO + PEPUM ; TEXP = PERDA + PESE + PEPSU; *blok makro ekonomi daerah; INVD = l0 + l1*UMR + l2*PAD + l3*RETRD + l4*DDF ; EXPRD = m0 + m1*PDRB + m2*EXR + m3*LEXPRD; IMPRD = n0 + n1*PDRB + n2*EXPRD + n3*LIMPRD ; PDRB = KONM + INVD + TEXP + EXPRD - IMPRD ; BOT = EXPRD - IMPRD; PRSP = o0 + o1*UPSP + o2*POP + o3*DDF ; PRSNP = p0 + p1*UPSNP + p2*TPSEK + p3*PDGN + p4*DDF ; TPSEK = PRSP + PRSNP; MISKT MISDS MISTOT Run;
= q0 + q1*DAU + q2*POP + q3*UPSNP + q4*PEPSU + q5*PTKNP + q6*DDF ; = r0 + r1*PESE + r2*BHPESDA + r3*DAU + r4*PEPSO + r5*POP + r6*PTKP + r7*DDF ; = MISKT + MISDS;
Lampiran 25. Model Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pengurangan Kemiskinan 1. Blok Penerimaan Daerah TAXD RETRD PAD DAU
= 36801 + 0.0180 * TEXP + 0.000069 * KONM -23565 * DDF + 22.0484 *LTAXD + u1 = 14014 - 0.0000032 * PDRB + 0.0056* TEXP + 10841*DDF + u2 = TAXD + RETRD + LABUD = -276414 + 0.3192 * TEXP - 1.4993 *AKED +1.1583 * POP - 0.6437 * HPJSDA
163
+ 348073 *DDF + u3 BHTAXD = -26701 + 1.4930 * PAD + 0.3020 * PESE -170301 * DDF +u4 TPED = PAD+DAU+DAK+BHTAXD+ BHPESDA +PELA+ SAPBDTS
2. Blok Pengeluaran Daerah PERGA PERNGA PERDA PESPER PESNPER PEINF PEPS0 PEPUM
= -150609 + 0.3838 * PAD + 0.1513 *DAU +0.9931* DAK +22.0484*JPGO + 306035 * DDF +u5 = -957227+ 4.8268* PAD + 0.6438 * SAPBDTS + 1.2700 * POP + 389767*DDF + u6 = PERGA + PERNGA = -34750+ 0.0254* TPED + 0.3550 * PTKP +49899* DDF + 0.0610 * LPESPER + u7 = -30808 +0.058 * TPED +0.1567 * PTKNP +108565 * DDF – 0.0046*PDGN+ u8 = -107391 + 0.1873 * TPED +0.000038* PDRB +6.069 * LWIL + u9 = -271895 + 2.7244 * PAD + 108.3774 * JDEKE + 3.3477 * PDDK + 4.373 *KSHT + 0.1808 * LPEPSO + u10 = -958683 + 10.4145 *PAD + 0.3729 * SAPBDTS +0.7068 *POP -531437 * DDF + 0.0559 * LPEPUM + u11
3. Blok Makro Ekonomi Daerah INVD EXPRD IMPRD PRSP PRSNP
= -34006126 + 190.6517 * UMR +55.8232*PAD + -270.7309*RETRD -11340105 *DDF + u12 = -91729230 + 0.9003 * PDRB + 11308 * EXR + 0.0561 * LEXPRD + u13 = 84912420 – 0.5638 *PDRB + 0.6454 * EXPRD + 0.1370*LIMPRD + u14 = 36107802 -105.4220 * UPSP +46.9056 * POP + 9170293 * DDF + u15 = -88295195 +109.9722 * UPSNP + 0.9979* TPSEK - 8824538* DDF + u16
4. Blok Kemiskinan MISKT MISDS
= 212.8263 + 0.000005*DAU + 0.000022*POP - 0.00012*UPSP + 0.000005*PEPSU - 0.00016*PTKNP – 100.8763 *DDF + u17 = 415.3604 +0.000039 *PESE - 0.000017 *BHPJSDA - 0.000021 * DAU + 0.000037*POP - 0.000177 * PTKP + -368.005*DDF + u18
Lampiran 26. Notasi Variabel yang digunakan dalam Model Keterangan : AKED
= angkatan kerja (orang)
BHPJSDA = Bagi Hasil Pajak Sumberdaya Alam (juta Rp)
DAK
= dana alokasi khusus (juta Rp)
DAU
= dana alokasi umum (juta Rp)
BHTAXD
= bagi hasil pajak (juta Rp)
DDF
= dummy desentralisasi fiskal
BOT
= balance of trade (juta Rp)
EXPRD
= ekspor daerah (juta Rp)
CONRT
= konsumsi Rumah Tangga (juta Rp)
EXR
= exchange rate (ribu Rp/US$)
164 IMPRD
= impor daerah (juta Rp)
INVD
= investasi daerah (juta Rp)
JDEKE
= jumlah desa dan kelurahan (buah)
JPGO
= jumlah pegawai otonomi (orang)
KONM
= konsumsi masyarakat (juta Rp)
KPDK
= kepadatan penduduk (orang/km )
KSHT
= pengeluaran bidang Kesehatan (Juta Rp)
LWIL
= luas wilayah (Km )
LABUD
= laba badan usaha daerah (juta Rp)
2
2
LDAU
= lag dana alokasi umum (juta Rp)
LEXPRD
= lag EXPRD (juta Rp)
LPEPSO
= lag pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp)
LPESPER = lag pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) LPESNPER= lag pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp) LPEPUM = lag pengeluaran pelayanan umum (juta Rp) LPRSNP
= lag produksi sektor non pertanian (juta Rp)
LTAXD
= lag pajak daerah (juta RP)
MISKT
= penduduk miskin perkotaan
MISDS
= penduduk miskin perdesaan
MISTOT
= penduduk miskin total (kota dan desa)
PAD
= pendapatan asli daerah (juta Rp)
PDDK
= pengeluaran bidang pendidikan (juta Rp)
PDRB
= produk domestik regional bruto (juta Rp)
PELA
= penerimaan lain-lain (juta Rp)
PERGA
= pengeluaran rutin gaji (juta Rp)
PERNGA = pengeluaran rutin non gaji (juta Rp) PEINF
= pengeluaran infrastruktur (juta Rp)
PESPER = pengeluaran sektor pertanian (juta Rp) PESNPER = pengeluaran sektor non pertanian (juta Rp) PERDA
= pengeluaran rutin daerah (juta Rp)
PEPSO
= pengeluaran pelayanan sosial (juta Rp)
PEPUM
= pengeluaran pelayanan umum (juta Rp)
PESE
= pengeluaran sektor ekonomi (juta Rp)
PEPSU
= pengeluaran pelayanan sosial-umum (juta Rp)
POP
= jumlah penduduk (orang)
PPDDMIS = persentase Jumlah Penduduk Miskin PRSP
= produksi sektor pertanian (juta Rp)
PRSNP
= produksi sektor non pertanian (juta Rp)
PTKP
= penyerapan tenaga kerja pertanian (juta Rp)
PTKNP
= penyerapan tenaga kerja non pertanian (juta Rp)
RETRD
= retribusi daerah (juta Rp)
SAPBDTS = sisa anggaran tahun sebelumnya (juta Rp) SBK
= Suku Bunga (%)
TAXD
= pajak daerah (juta Rp)
TEXP
= total pengeluaran pemerintah (juta Rp)
TPED
= total pendapatan daerah (juta Rp)
TPSEK
= Total pengeluaran sektoral (juta Rp)
UMR
= upah minimum regional (Ribu Rp)
UPSP
= upah tenaga kerja pertanian (juta Rp)
UPSNP
= Upah tenaga kerja non pertanian (juta Rp)