DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN
OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H14102010
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN CITRA MULIANTY NAZARA. Dampak Otonomi Daerah Pemekaran Provinsi Banten (Dibawah bimbingan WIDYASTUTIK).
Terhadap
Melalui otonomi daerah, pembangunan daerah yang dilakukan oleh masyarakat lokal dipandang merupakan strategi atau cara yang paling efektif dibandingkan strategi pembangunan ynag bersifat sentralistis yang dilakukan oleh pemerintahan pusat. Dalam masa otonomi daerah, setiap daerah berusaha untuk mengembangkan daerahnya, tentu saja dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, Propinsi Banten yang dahulu merupakan bagian dari Propinsi Jawa Barat, ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah, sehingga Propinsi Banten memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan melalui pemekaran wilayah. Infrastruktur yang tersedia di Propinsi Banten sangat memadai, misalnya dari segi transportasi darat, udara dan laut. Dari segi transportasi laut, adanya pelabuhan Merak yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera terutama Lampung sehingga mempermudah akses perdagangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Propinsi Banten jika dibandingkan dengan Propinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah, baik itu laju pertumbuhannya maupun daya saing sektor tersebut. Selain itu, diidentifikasi juga sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang progresif (maju) dan kelompok pertumbuhan yang lambat yang dapat diketahui melalui pertumbuhan PDRB Propinsi Banten dan pergeseran bersih. Pada penelitian ini, untuk melihat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang terjadi sebelum dan pada masa otonomi daerah digunakan analisis shift share. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Banten dan Propinsi Jawa Barat atas dasar harga konstan 1993 sebelum otonomi daerah (1994-1999) dan pada saat otonomi daerah (2000-2002). Periode waktu yang digunakan untuk melihat pertumbuhan masing-masing sektor dibagi dalam tiga periode, yaitu tahun 1994-1996 periode sebelum otonomi daerah yang menggambarkan kondisi perekonomian yang stabil, tahun 1997-1999 periode sebelum otonomi yang menggambarkan kondisi ekonomi pada saat krisis, dan tahun 2000-2002 periode pada masa otonomi daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1994-1996, sektor industri pengolahan di Propinsi Banten merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat, sedangkan sektor pertanian merupakan sektor yang laju pertumbuhannya paling lambat. Akan tetapi sektor industri pengolahan justru menjadi sektor yang kurang mampu bersaing, sedangkan sektor pertanian di Propinsi Banten merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik. Tahun 1997 sampai 1999, sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat adalah
sektor jasa-jasa, dan sektor bangunan memiliki laju pertumbuhan paling lambat. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik, sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang kurang memiliki daya saing yang baik. Pada masa otonomi daerah, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki laju pertumbuhan yang paling cepat, dan sektor pertambangan merupakan sektor yang laju pertumbuhannya paling lambat. Sektor pertambangan merupakan sektor yang memiliki daya saing yang baik, sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan kurang memiliki daya saing yang baik. Pada masa otonomi daerah tahun 2000-2002, seluruh sektor-sektor ekonomi Propinsi Banten memiliki pertumbuhan yang cepat, sehingga termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang progresif. Sedangkan Propinsi Jawa Barat termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat. Hasil penelitian juga menunjukkan, pada masa otonomi daerah pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Propinsi Banten termasuk dalam kelompok pertumbuhan progresif. Pada tahun 1994 sampai 1996 dan tahun 1997 sampai 1999, jumlah dan total kontribusi yang disumbangkan tiap kabupaten-kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang dulu merupakan bagian dari Jawa Barat lebih kecil dari pada Provinsi Jawa Barat dan demikian juga pada masa otonomi daerah (tahun 2000 sampai 2002). Pemerintah daerah diharapkan mampu dan semakin meningkatkan kinerja sektor pertanian misalnya dengan mengembangkan jenis-jenis pertanian yang lebih unggul (cepat panen dan tahan hama). Selain itu, agar produk daerah memiliki peluang pasar yang besar (meningkatkan ekspor) maka pemerintah daerah perlu mempromosikan produk-produk unggulan melalui sistem jaringan informasi. Selain itu, sektor pertanian perlu dikembangkan melalui peningkatan akses terhadap permodalan melalui kredit lewat koperasi.
DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN
Oleh CITRA MULIANTY NAZARA H14102010
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh, Nama Mahasiswa
: Citra Mulianty Nazara
Nomor Registrasi Pokok
: H14102010
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Widyastutik, SE, M.Si NIP. 132311725
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 137846872 Tanggal Kelulusan: 05 September 2006
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2006
Citra Mulianty Nazara H14102010
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Citra Mulianty Nazara lahir pada tanggal 26 April 1984 di Gunungsitoli, Sumatera Utara. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Yustinus Nazara dan Masih Riang Telambanua. Jenjang pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri I Gunungsitoli pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri I Gunungsitoli dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri I Gunungsitoli dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis meninggalkan kota Gunungsitoli untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dengan harapan dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan dan menjadi pengurus pada organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa BBM pada semesater 5 pada tahun 2004.
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang disusun penulis berjudul “Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten”. Otonomi daerah merupakan topik yang sangat menarik karena dengan adanya otonomi daerah menyebabkan munculnya pemekaran wilayah sehingga setiap daerah memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan daerahnya. Selain dari pada itu, skripsi ini juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu: 1. Ibu Widyastutik, SE., M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan membuka wawasan penulis. 2. Ibu Wiwiek Rindayati, M.Si sebagai dosen penguji utama yang telah memberi saran dan kritik. 3. Ibu Tanti Novianti, M.Si sebagai komisi pendidikan yang telah mengajarkan tata cara penulisan yang baik. 4. Kedua orang tua penulis, Yustinus Nazara dan Masih Riang Telambanua serta Adik penulis Yusmar, Yarman, dan Mashur dan juga kekasihku Bang Restu yang membantu dan memberi inspirasi dan keluarga besar penulis yang memberi semangat, doa dan kasih sayang. 5. Sahabat-sahabat penulis, KPP, BPH, Bidang Intern PMK dan VOE yang telah mengisi hari-hari penulis dengan keceriaan 6. Teman-teman satu bimbingan penulis, Nurlatifah dan Sucie atas kerjasama dan kebersamaan. 7. Sahabat-sahabat di Gladys yang telah memberi semangat, doa dan kebersamaan.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2006
Citra Mulianty Nazara H14102010
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................... i DAFTAR TABEL.................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... ix I. PENDAHULUAN ............................................................................................1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Permasalahan ..........................................................................................6 1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................7 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................8 1.5 Batasan Penelitian ...................................................................................8 II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................9 2.1 Tinjauan Teoritis .....................................................................................9 2.1.1 Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi..................................9 2.1.2 Konsep Wilayah ............................................................................17 2.1.3 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah....................................19 2.1.4 Teori Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah ...............................22 2.1.5 Analisis Shift Share .......................................................................26 2.1.6 Keterbatasan –Keterbatasan Analisis Shift Share .........................29 2.2 Tinjauan Empiris....................................................................................30 2.3 Kerangka Pemikiran Konseptual............................................................35
III. METODE PENELITIAN................................................................................38 3.1 Jenis dan Sumber Data ...........................................................................38 3.2 Metode Analisis Data.............................................................................38 3.2.1 Analisis Shift-Share (S-S).............................................................38 3.2.2 Analisis PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi ..................39 3.2.3 Rasio PDRB Kota/kabupaten dan PDRB Provinsi Nilai Ri,Ra dan ri) .........................................................................41 3.2.4 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah ..................................42 3.2.5 Analisis Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih .........46 IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH ...............................................................51 4.1 Gambaran Umum Wilayah Provinsi Banten..........................................51 4.1.1 Kondisi Geografis Provinsi Banten...............................................51 4.1.2 Perkembangan Penduduk dan Tenaga Kerja di Provinsi Banten..52 4.1.3 Perkembangan Perekonomian di Provinsi Banten ........................53 4.2 Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Barat ...................................54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................56 5.1 Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah, Tahun 1994-1996 ......................................................56 5.1.1 Analisis PDRB Provinsi Banten Terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun 1994-1996 ...............................................................56 5.1.2 Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri), Tahun 1994-1996 ........................................60 5.1.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di Provinsi Banten, Tahun 1994-1996 ..........................................................................62 5.1.4 Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih, Tahun 1994-1996..............................................................66
5.2 Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Pada Saat Krisis Ekonomi Sebelum Otonomi Daerah, Tahun 1997-1999 .............69 5.2.1 Analisis PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun 1997-1999 ..........................................................................69 5.2.2 Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri), Tahun 1997-1999 ........................................73 5.2.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah, Tahun 1997-1999 ...74 5.2.4 Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih, Tahun 1997-1999..............................................................76 5.3 Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah, Tahun 2000-2002 ......................................................79 5.3.1 Analisis PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun 2000-2002 ..........................................................................79 5.3.2 Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri), Tahun 2000-2002 ........................................83 5.3.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah, Tahun 2000-2002 ...84 5.3.4 Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih, Tahun 2000-2002..............................................................87 5.4 Perbandingan Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah ................................90 VI. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................93 6.1 Kesimpulan ............................................................................................93 6.2 Saran.......................................................................................................94 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................96 LAMPIRAN........................................................................................................ 103
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Sebelum Otonomi Daerah ............................................................................................... 4 2. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945-1999 ............................................................................................15 3. PDRB Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..........................................................57 4. PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..........................................................58 5. Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ...................60 6. Komponen Pertumbuhan Regional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ................................................................63 7. Komponen Pertumbuhan Proporsional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ................................................................64 8. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ................................................................65 9. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 ................................................................69 10. PDRB Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..........................................................71 11. PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..........................................................72 12. Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 ...................73 13. Komponen Pertumbuhan Regional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 ................................................................74 14. Komponen Pertumbuhan Proporsional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 ................................................................75
15. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 ................................................................76 16. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 .................................................78 17. PDRB Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..........................................................80 18. PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2001 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993..........................................................82 19. Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 ...................83 20. Komponen Pertumbuhan Regional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 ................................................................85 21. Komponen Pertumbuhan Proporsional Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 ................................................................86 22. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 ................................................................87 23. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 .................................................90 24. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Propinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah......................................................91
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Model Analisis Shift Share .............................................................................27 2. Kerangka Pemikiran Konseptual.....................................................................37 3. Profil Pertumbuhan PDRB..............................................................................47 4. Profil Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten (1994-1996) ..............................68 5. Profil Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten (1997-1999) ..............................77 6. Profil Pertumbuhan PDRB Propinsi Banten (2000-2002) ..............................89
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Contoh Penggunaan Rumus Metode Analisis Shift Share........................... 103 2. PDRB Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kotamadya Tahun 1994-1999 Atas Dasar Harga Konstan 1993 .................................... 105 3. PDRB Propinsi Banten Tahun 1994-2002 Atas Dasar Harga Honstan Tahun 1993.............................................................................................................. 111 4. PDRB Propinsi Jawa Barat Tahun 1994-2002 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 .................................................................................................. 111 5. PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah tahun 1994 dan 1996 ....................................................................... 112 6. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1994-1996 ................... 112 7. PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997 dan 1999 ...................................................................... 113 8. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1997-1999 ................... 113 9. PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 dan 2002 ...................................................................... 114 10. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 2000-2002 ................... 114
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang telah diperbarui, Ketetapan MPR
dan UU No 22, 25 tahun 1999, sistem pemerintahan kita telah memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas dapat diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan urusan sesuai kebutuhan daerah dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka daerah akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat
daerah tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemekaran wilayah saat ini sudah merupakan istilah yang umum. Istilah pemekaran wilayah muncul seiring dengan adanya program desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Daerah menyambut kebijakan otonomi daerah (UU No.22/1999) yang ditandai oleh adanya pemekaran wilayah dengan membentuk kabupaten baru dan bahkan provinsi baru. Awalnya tujuan utama dari pemekaran wilayah adalah untuk percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah yang rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang buruk (4K) (Soesastro, 2002). Dasar pemikiran pemekaran daerah tersebut dimaksud dalam pengertian demi mempercepat pembangunan daerah. Namun benarkah pengertian hal tersebut? Banyak hal yang harus diperhatikan dalam memutuskan, apakah suatu wilayah tersebut dapat dimekarkan atau tidak, jika tidak maka dapat menimbulkan dampak yang tidak baik terutama bagi wilayah tersebut yang kemudian berdampak pada keberlangsungan pembangunan nasional. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, Provinsi Banten yang dahulu merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah, sehingga Provinsi Banten memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Sebelum otonomi daerah, Banten masih berada dalam wilayah Provinsi Jawa Barat. Namun sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah,
hal ini membuat wilayah Banten menjadi Provinsi baru yang merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat. Dalam
masa
otonomi
daerah,
setiap
daerah
berusaha
untuk
mengembangkan daerahnya misalnya dalam hal investasi. Persaingan merebut investasi cenderung semakin ketat. Meskipun investasi asing sebagian besar merupakan padat modal, tetapi berbagai daerah berkeinginan untuk meningkatkan investasi asing di daerahnya. Tentu saja dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Maju tidaknya perkembangan suatu wilayah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya. Sebagai gambaran, maka pada Tabel 1 disajikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat. Dari tabel 1 terlihat kabupaten-kabupaten dan kota yang sekarang menjadi Provinsi Banten masih berada dalam wilayah Provinsi Jawa barat dengan menghasilkan PDRB yang tinggi. Sebelumnya yang termasuk dalam wilayah Provinsi Banten adalah (1) Kabupaten Padeglang, (2) Kabupaten Lebak, (3) Kabupaten Tangerang, (4) Kabupaten Serang, (5) Kota Tangerang. Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Serang merupakan dua kabupaten yang memiliki PDRB yang tinggi meskipun pada tahun 1998 dan 1999 mengalami penurunan namun tetap pada tingkat yang tinggi dibanding daerah-daerah lainnya. Kemudian, pada tahun 2000 Cilegon menjadi Kota dimana sebelum otonomi daerah merupakan kota administratif dari Kabupaten Serang dan masuk dalam wilayah Provinsi Banten yang terkenal dengan daerah industrinya, sudah menunjukkan bagaimana nantinya pertumbuhan ekonomi Provinsi ini pada tahuntahun berikutnya.
Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 1993 Menurut Lapangan Usaha Sebelum Otonomi daerah. No.
Kabupaten
1996
1997
1998
1999
1
Pandeglang
1,051,552.90
1,086,227.42
1,001,611.67
1,079,958.65
2
Lebak
985,020.99
1,007,560.56
907,808.51
930,882.81
3
Bogor
6,465,438.96
6,773,654.27
5,370,468.71
5,455,735.88
4
Sukabumi
2,136,986.46
2,205,338.43
1,966,650.35
1,998,979.74
5
Cianjur
1,992,994.63
2,066,086.13
1,930,776.46
1,968,939.42
6
Bandung
7,513,142.71
7,883,716.92
6,340,795.10
6,529,082.43
7
Garut
2,240,596.55
2,308,398.10
2,039,659.65
2,090,438.32
8
Tasikmalaya
2,096,347.83
2,172,211.37
1,885,284.08
1,928,080.94
9
Ciamis
2,052,801.95
2,128,518.12
1,940,467.88
1,986,388.21
10
Kuningan
896,980.00
928,016.26
875,472.25
886,579.46
11
Cirebon
1,772,430.44
1,832,148.93
1,451,612.99
1,503,946.41
12
Majalengka
1,091,827.00
1,147,606.63
1,040,316.22
1,076,621.39
13
Sumedang
1,090,687.50
1,122,127.60
989,773.02
1,013,470.17
14
Indramayu
5,663,225.45
5,286,849.84
5,000,034.50
4,510,766.90
15
Subang
1,667,729.00
1,722,413.80
1,598,891.03
1,635,275.00
16
Purwakarta
980,759.95
1,001,253.78
884,193.30
901,656.35
17
Karawang
2,798,437.00
2,924,863.00
2,345,950.00
2,477,859.00
18
Bekasi
5,992,233.48
6,407,593.22
5,038,758.81
5,127,351.69
19
Tangerang
4,043,728.63
4,284,215.22
3,887,337.49
3,969,481.31
20
Serang
5,419,277.86
5,653,568.23
4,838,098.00
4,876,679.00
1,045,309.41
1,098,515.66
915,583.25
945,633.75
Kota 21
Bogor
22
Sukabumi
514,817.35
534,714.05
443,006.41
457,169.19
23
Bandung
6,311,148.18
6,593,226.60
5,294,952.14
5,443,350.84
24
Cirebon
1,201,789.25
1,281,588.06
1,212,894.93
1,240,699.36
25
Tangerang
6,144,189.22
6,823,921.80
5,680,177.00
5,828,430.00
26
Bekasi
3,649,657.00
3,857,794.00
3.060,637.00
3,141,178.00
Jumlah 26 Kab/Kot
76,819,109.70
80,132,128.00
64,880,573.75
69,004,634.22
JAWA BARAT
68,243,530.00
71,568,924.02
58,847,840.51
60,071,384.78
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1996-1999 Provinsi Banten juga memiliki keunggulan terutama pada sektor ekonomi yaitu sektor industri, perdagangan, dan pertanian. Hal ini cukup menjanjikan dan memberikan keuntungan bagi investor yang akan menanamkan modalnya di
Provinsi Banten. Provinsi Banten juga memiliki infrastruktur yang cukup memadai
baik
dari
segi
alat
transportasi
maupun
akses
jalan
yang
menghubungkan antar kota maupun antar provinsi dan fasilitas pembelanjaan, serta pusat bisnis dan kawasan industri yang nantinya dikembangkan akan menjadi salah satu sumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melihat jumlah PDRB dari setiap kabupaten maupun kota di wilayah Banten, sudah selayaknyalah mereka dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat untuk menjadi Provinsi baru yang mandiri. Setelah pisah dari Jawa Barat, maka Provinsi Banten sudah bisa mengatur dan merencanakan setiap sendi perekonomiannya. Namun bagaimana halnya dengan Provinsi Jawa Barat sendiri setelah beberapa kabupaten lepas dari wilayahnya? Apakah kondisi perekonomiannya atau laju pertumbuhannya ekonominya tetap membaik atau justru semakin merosot? Begitu juga halnya dengan Provinsi Banten. Pada masa otonomi dan setelah pemekaran wilayah, Provinsi Banten ternyata tidak luput dari permasalahan. Beberapa surat kabar menyampaikan bahwa tingkat korupsi di provinsi ini tinggi, laju pertumbuhan ekonominya juga lambat dan struktur pemerintahannya yang kurang terkoordinasi. Untuk menganalisis bagaimana kondisi perekonomian Provinsi Banten setelah dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat, maka sangat relevan untuk dilakukan penelitian dengan judul ”Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten”.
1.2
Permasalahan Sejak berlangsungnya undang-undang otonomi daerah berbagai dampak
yang ditimbulkan dari implementasi UU tersebut baik berupa pemekaran wilayah maupun peningkatan PAD. Setiap daerah sudah tidak tergantung lagi pada pusat dan berhak mengatur dan mengelola perekonomiannya sendiri. Dalam mengelola keuangan, daerah berhak dalam mengalokasikan dananya ke sektor yang potensial yang nantinya menjadi leading sektor pada provinsi atau wilayah tersebut. Misalnya pada tahun 2001, Provinsi Banten lebih banyak mengalokasikan dananya di sektor transportasi sebesar Rp. 114.634.000 dan begitu juga pada tahun 2002. Hal ini disebabkan karena kontribusi yang diberikan sektor ini cukup besar dan sangat potensial untuk dikembangkan. Setiap daerah memiliki kebijakan masing-masing dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi sumberdayanya masing-masing. Maju tidaknya perekonomian diantara kedua wilayah sangatlah ditentukan oleh indikator-indikator ekonomi atau sektor-sektor perekonomian di dalam wilayah tersebut. Suatu wilayah dapat dikatakan maju, hal itu ditentukan dengan indikator dari sektor ekonomi yang diidentifikasi. Salah satu indikator ekonomi tersebut dapat diketahui melalui Produk Domestik Regional Bruto setiap daerah. Setiap wilayah memiliki keunikan tersendiri atau keunggulan tersendiri dari sektor ekonomi tertentu. Dari sektor-sektor ini dapat diketahui laju pertumbuhan perekonomian diantara kedua wilayah atau masing-masing wilayah tersebut. Untuk mengetahui bagaimana laju pertumbuhan perekonomian disuatu wilayah, dapat diketahui atau diidentifikasi dengan menggunakan analisis shift share.
Dengan menggunakan analisis ini kita dapat mengetahui atau mengidentifikasi sektor-sektor atau wilayah yang lamban dan yang maju serta keunggulankeunggulan kompetitif di suatu wilayah. Melalui hal ini, akan dikaji bagaimana perbandingan laju pertumbuhan perekonomian kedua wilayah yakni Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat atas dasar harga konstan 1993 sebelum otonomi daerah (1994-1999) dan pada saat otonomi daerah (2000-2002). Berdasarkan gambaran tersebut, permasalahanpermasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Seberapa besarkah perbedaan PDRB diantara Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah? b) Sektor apa sajakah yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan yang lamban serta sektor apa saja yang mempunyai daya saing yang baik dan yang tidak baik di Provinsi Banten sebelum dan pada masa otonomi daerah?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
a) Mengidentifikasi besarnya perbedaan PDRB diantara Provinsi Banten dengan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah. b) Menganalisis sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan yang lambat serta sektor yang mempunyai daya saing yang baik dan yang tidak baik di Provinsi Banten sebelum dan pada masa otonomi daerah.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
a) Pembaca dapat membandingkan bagaimana kondisi wilayah Provinsi Banten setelah dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat serta sektor-sektor apa saja yang dapat untuk dikembangkan. b) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberi masukan bagi kebijakan pemerintah ke depan dalam mengambil suatu keputusan dalam hal apakah wilayah tersebut layak untuk dimekarkan atau tidak. c) Penulis dapat belajar dalam menganalisis perbandingan laju pertumbuhan perekonomian suatu wilayah serta menganalisa sektor-sektor apa saja yang patut untuk dikembangkan dengan menggunakan analisis shift share.
1.5
Batasan Penelitian Diasumsikan tahun 1994 sampai tahun 1999 kabupaten-kabupaten dan
kota yang ada diprovinsi Jawa Barat dan sekarang merupakan bagian dari Provinsi Banten dalam penelitian ini disebut Provinsi Banten meskipun belum mekar, untuk mempermudah dalam menganalisis sebelum otonomi daerah. Selain itu, diasumsikan Provinsi Banten mekar tahun 2000 dan otonom tahun 2001.
II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
2.1.1 Konsep Otonomi Daerah dan Desentralisasi Krisis moneter yang berdampak terhadap iklim usaha (ekonomi) nasional beberapa tahun terakhir semakin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya pemberdayaan ekonomi rakyat. Sebuah paradigma pembangunan yang tidak memutlakkan dasar pertumbuhan pada peran penguasa-penguasa ekonomi, melainkan pada semua pihak terutama pada peran ekonomi rakyat. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan
pemerintahan
serta
memberikan
pelayanan
prima
kepada
masyarakat. Pembangunan daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni (1) pendekatan sentralistis, (2) pendekatan desentralisasi. Pendekatan sentralistis mengandung arti bahwa pelaksanaan pembangunan sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para birokrat di pusat. Pendekatan desentralisasi mengandung arti bahwa pembanguan daerah sebagian besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (pemda) secara otonom. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, yang memiliki keragaman baik dalam aspek-aspek geografis maupun kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaannya. Kenyataan keanekaragaman ini sudah barang tentu akan terwujud pula dalam keanekaragaman permasalahan dari suatu daerah dengan
daerah lainnya sehingga memerlukan pendekatan, strategi, dan kebijakan penanganan yang berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya. Sekalipun dalam konsep otonomi daerah terkandung asas-asas dan prinsip-prinsip yang sama, dalam pelaksanaannya tidak dengan sendirinya harus ada keseragaman. Substansi apa yang dikelola dalam suatu daerah otonom dan bagaimana mengelolanya akan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, kemampuan teknis dan manajerial, tata nilai dan tradisi serta kelembagaan yang mengakar dan berkembang dalam suatu daerah yang kondisinya tidak selalu seragam dibandingkan dengan daerah lain (Kartasasmita, 1996). Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut daerah-daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi
sektor-sektor
perekonomiannya.
Pembangunan
daerah
melalui
desentralisasi atau otonomi daerah memberikan peluang dan kesempatan bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (good governance) di daerah (Saragih, 2003). Artinya, pelaksanaan tugas pemerintahan daerah harus didasarkan atas prinsip efektif, efisien, partisipatif, terbuka, dan akuntabel. Dalam UU No 22 tahun 1999 pasal 1 butir h, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah: kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud daerah otonom yang selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri (Pasal 1 butir I). Menurut ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 Pasal 1 bahwa desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan jika ada pelimpahan atau pemberian wewenang pemerintahan dari pusat kepada daerah otonom, dalam hal ini pemerintah subnasional. Jadi, dalam otonomi daerah harus ada desentralisasi. Berdasarkan ketentuan dalam UU No 22 tahun 1999 dikatakan, otonomi daerah berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan
mengurus masyarakatnya sendiri berdasarkan pengertian dan
substansi dari desentralisasi. Dengan demikian, otonomi daerah dalam desentralisasi merupakan dua sisi dalam satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan dan saling memberi arti. Otonomi daerah yang diwujudkan dalam pemberian atau pembagian wewenang pemerintahan kepada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah tidak berarti pemerintahan pusat (nasional) berlepas tangan dan tidak lagi bertanggung jawab terhadap bidang-bidang pemerintahan yang sudah tidak lagi menjadi kewenangannya. Pusat tetap mempunyai tanggung jawab, misalnya dalam melakukan pengawasan atau dalam hal pembuatan kebijakan yang bersifat strategis. Walaupun kini sebagian besar wewenang sudah diberikan kepada daerah dan tanggung jawab sebagian besar berada pada daerah otonom apakah itu pemerintah Provinsi, kabupatan atau kota, tetapi yang harus dicermati adalah prinsip otonomi daerah tetap dalam kerangka sistem negara kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, daerah otonom tidak dapat berdiri sendiri tanpa pusat.
Hakikat otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan menjalankan sendiri apa yang menjadi bagian atau wewenagnya. Otonomi daerah disini tidak merupakan pendelegasian wewenang, melainkan pemberian atau pelimpahan wewenang (Saragih, 2003). Dengan demikian si penerima wewenang mempunyai otoritas penuh untuk mengatur dan menjalankannya sesuai dengan caranya masing-masing. Undang-undang otonomi daerah menegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 4 ayat 1) sedangkan pembentukan daerah didasarkan atas pertimbangan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah (Pasal 5 ayat 1). Kewenangan daerah dalam kerangka otonomi atau desentralisasi telah diatur di dalam UU No 22 tahun 1999 yakni di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, dan 11. dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa kewenangan daerah adalah seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang-bidang berikut, yakni politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, kebijakan perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan
dan
pemberdayaan
sumber
daya
manusia
(SDM),
pendayagunaan sumber daya alam (SDA), teknologi tinggi yang strategis dan konservasi, standarisasi nasional. Kewenangan Provinsi sebagaimana diatur dalam PP tahun 2000 adalah 1) Kewenangan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota. 2) Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan, alokasi SDM potensial, penelitian, pelabuhan regional, lingkungan hidup, proposi, penanganan penyakit menular dan hama tanaman, perencanaan tata ruang Provinsi. 3) Kewenangan yang tidak atau belum dapat dilakukan oleh kabupaten/kota. 4) Kewenangan Provinsi sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pusat. Inti dari kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom, berdasarkan asas desentralisasi, terdapat dalam pasal 9 UU No 22 tahun 1999. Namun jika dikaji secara cermat dan teliti, maka arah dari undang-undang ini adalah bahwa hakekat otonomi daerah adalah pada daerah kabupaten dan kota, bukan Provinsi. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Sementara dalam ayat (2) disebutkan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom sudah diatur secara jelas di dalam pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No
22 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja. Menurut UU No 22 tahun 1999, otonomi daerah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah tersebut menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Oleh karena itu, ada tiga prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu, (1) Desentralisasi, (2) Dekonsentrasi, dan (3) Tugas Pembantuan. Adapun pengertian dari masing-masing komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka kesatuan Republik Indonesia, 2) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah,3 3) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Otonomi daerah memberikan pengertian bahwa bidang dan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom untuk diatur dan diurus sendiri. Tiap jenis daerah otonom memiliki empat kategori tugas dan kewenangan,
yaitu tugas dan kewenangan yang sesuai dengan jenis daerah otonom tersebut, tugas dan kewenangan pelayanan publik yang harus ditangani, tugas dan kewenangan yang dari segi efisiensi lebih tepat ditangani, dan tugas dan kewenangan yang bersifat pilihan sesuai dengan karakteristik dan kemampuan daerah, dan permasalahan darurat yang dihadapi daerah bersangkutan. Tabel 2. Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah Sejak Tahun 1945-1999 Tahun Perundang-Undangan Subjek 1945 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1948 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1950 UU Nomor 44 Pemerintah Daerah 1956 UU Nomor 32 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 1957 UU Nomor 1 Pemerintah Daerah 1959 UU Nomor 6 Pemerintah Daerah 1960 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1965 UU Nomor 18 Pemerintah Daerah 1974 UU Nomor 5 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 22 Pemerintah Daerah 1999 UU Nomor 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sumber: Saragih, 2003 Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah pusat juga tidak serius dalam menjalankan kebijakan otonomi darah yang telah dikeluarkan, yakni UU No 5 tahun 1974. Undang-undang tersebut terbukti gagal mendukung pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Daerah-daerah menjadi tidak mandiri karena semua wewenang dan urusan pemerintahan dipegang oleh pemerintahan pusat. Sejalan dengan tuntutan reformasi, masyarakat di berbagai daerah menuntut diterapkannya otonomi daerah secara sungguh-sungguh oleh pemerintah pusat. Menanggapi hal tersebut maka pemerintah dibawah kepemimpinan B.J Habibie mengeluarkan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah. Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun 1999, sumber keuangan daerah, baik Provinsi, kabupaten, maupun kotamadya menurut UU No 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut: 1) Penerimaan asli daerah (PAD), 2) Bagi hasil pajak dan non pajak, 3) Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II, 4) Pinjaman daerah, 5) Sisa lebih anggaran tahun lalu, 6) Lain-lain penerimaan daerah yang sah. Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU tahun 1999 dan pasal 3, 4, 5, dan pasal 6 UU No 25 tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut: 1) Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari: a. Pajak daerah, b. Retribusi daerah, c. Bagian pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMN), d. Hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan. 2) Dana perimbangan, yang terdiri dari: a. Dana bagi hasil, b. Dana alokasi umum, c. Dana alokasi khusus.
3) Pinjaman daerah, 4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. 2.1.2
Konsep Wilayah Menurut logika Aristoteles, segala sesuatu dapat diberi definisi atau
batasan pengertian dari tiga sudut pandangan, yaitu dari uraian materiil (material description), menurut hubungan formal (formal relation), dan kaitan dengan sasaran atau tujuan akhir (final objective). Sesuai dengan dengan logika tersebut, maka konsep wilayah atau region mempunyai tiga macam pengertian (Adisasmita, 2005), yaitu (1) wilayah homogen (homogeneous regian), (2) wilayah polarisasi (polarization region) atau wilayah nodal (nodal region), dan (3) wilayah program (programming region). 1) Wilayah homogen. Diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayah-wilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama menjadi sebuah wilayah tunggal apabila wilayah-wilayah tersebut mempunyai karakteristik yang serupa. Ciri-ciri atau karakteristik tersebut dapat bersifat ekonomi, misalnya struktur produksinya hampir sama, atau pola konsumsinya homogen, dapat pula bersifat geografis, misalnya keadaan topografi atau iklimnya serupa, dan bahkan dapat pula bersifat sosial atau politis, misalnya suatu kepribadian masyarakat yang khas, sehingga mudah dibedakan dengan karakteristik wilayah-wilayah lainnya. 2) Wilayah nodal atau wilayah polarisasi. Terdiri dari satuan-satuan wilayah yang heterogen. Misalnya distribusi penduduk yang terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu akan mengakibatkan lahirnya kota-kota besar, kota-
kota dan kota-kota kecil lainnya, sedangkan penduduk di daerah-daerah pedesaan relatif jarang, atau dengan perkataan lain lalu lintas jalan raya nasional memperlihatkan tingkat polarisasi yang lebih rapi dibandingkan dengan kota-kota lain yang tidak terletak pada jaringan lalu lintas jalan raya. 3) Wilayah program. Merupakan suatu wilayah pengembangan, dimana programprogram pembangunan dilaksanakan. Dalam hal ini yang penting diperhatikan adalah persoalan koordinasi dan desentralisasi pembangunan wilayah dapat ditingkatkan dan dikembangkan. Misalnya dalam pembangunan wilayah di Perancis, pengambilan keputusan dilakukan di Paris, akan tetapi dapat saja dilaksanakan di Lyon atau di pusat-pusat pembangunan wilayah lainnya. Tarigan (2005), suatu wilayah dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan pembentukan wilayah itu sendiri. Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan sebagi berikut: 1) Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan, di Indonesia dikenal wilayah kekuasaan pemerintahan, seperti provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan dusun/lingkungan. 2) Berdasarkan kesamaan kondisi (homogeneity), yang paling umum adalah kesamaan kondisi fisik. Misalnya, adanya klasifikasi desa berupa desa pantai, desa pedalaman, dan desa pegunungan. Bisa juga pembagian berupa wilayah pertanian dengan wilayah industri, wilayah perkotaan dengan daerah pedalaman. Cara pembagian lainnya juga berdasarkan kesamaan sosial budaya. Misalnya, daerah-daerah dibagi menurut suku mayoritas, agama, adat
istiadat, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, mayoritas masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. 3) Berdasarkan ruang lingkup pengaruh ekonomi. Perlu ditetapkan terlebih dahulu beberapa pusat pertumbuhan yang kira-kira sama besarnya/rankingnya, kemudian ditetapkan batas-batas pengaruh dari setiap pusat pertumbuhan. Batas pengaruh antar satu kota dengan kota lainnya hanya dapat dilakukan untuk kota-kota yang sama rankingnya. Karena untuk kota-kota yang berlainan rankingnya, kota yang lebih kecil itu sendiri berada dibawah pengaruh kota yang lebih besar. 4) Berdasarkan wilayah perencanaan/program. Dalam hal ini ditetapkan batasbatas wilayah ataupun daerah-daerah yang terkena suatu program atau proyek dimana wilayah tersebut termasuk ke dalam suatu perencanaan untuk tujuan khusus. Suatu wilayah perencanaan dapat menembus beberapa wilayah administrasi berdasarkan kebutuhan dari perencanaan tersebut. 2.1.3
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Tarigan (2005), perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan
ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan ruang wilayah tercakup dalam kegiatan perencanaan tata ruang, sedangkan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah (terutama aktivitas ekonomi) tercakup dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek. Secara lengkapnya, Tarigan mendefinisikan perencanaan wilayah adalah mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan
berbagai faktor non-controllable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut, serta menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan wilayah di Indonesia setidaknya memerlukan unsur-unsur yang urutan atau langkah-langkahnya sebagai berikut: 1) Gambaran kondisi saat ini dan identifikasi persoalan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang, 2) Tetapkan visi, misi, dan tujuan umum, 3) Identifikasi pembatas dan kendala yang sudah ada saat ini maupun yang diperkirakan akan muncul pada saat yang akan datang, 4) Proyeksikan berbagai variabel yang terkait, baik yang bersifat controllable (dapat
dikendalikan)
maupun
non-controllable
(di
luar
jangkauan
pengendalian pihak perencanaan), 5) Tetapkan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu, yaitu berupa tujuan yang dapat diukur, 6) Mencari dan mengevaluasi berbagai alternatif untuk mencapai sasaran tersebut, 7) Memilih alternatif yang terbaik, termasuk menentukan berbagai kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan, 8) Menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan, 9) Menyusun kebijakan dan strategi agar kegiatan pada tiap lokasi berjalan sesuai dengan yang di harapkan.
Tujuan perencanaan wilayah adalah menciptakan kehidupan yang efisien, nyaman, serta lestari dan pada tahap akhirnya menghasilkan rencana yang menetapkan lokasi dari berbagai kegiatan yang direncanakan, baik oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak swasta. Sifat perencanaan wilayah yang sekaligus menunjukkan manfaatnya, antara lain: 1) Perencanaan wilayah haruslah mampu menggambarkan proyeksi dari berbagai kegiatan ekonomi dan penggunaan lahan di wilayah tersebut di masa yang akan datang, 2) Dapat membantu atau memandu para pelaku ekonomi untuk memilih kegiatan apa yang perlu dikembangkan di masa yang akan datang dan di mana lokasi kegiatan seperti itu masih diizinkan, 3) Sebagai bahan acuan bagi pemerintah unutk mengendalikan atau mengawasi arah pertumbuhan kegiatan ekonomi dan arah penggunaan lahan, 4) Sebagai landasan bagi rencana-rencana lainnya yang lebih sempit tetapi lebih detail, misalnya perencanaan sektoral dan perencanan prasarana, 5) Lokasi itu sendiri dapat dipergunakan untuk berbagai kegiatan, penetapan kegiatan tertentu pada lokasi tertentu haruslah memberi nilai tambah maksimal bagi seluruh masyarakat, artinya dicapai suatu manfaat optimal dari lokasi tersebut. Perencanaan pembangunan wilayah menggunakan dua pendekatan, yaitu (1) Pendekatan Sektoral Pendekatan ini biasanya less-spatial (kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan). Dalam pendekatan ini, seluruh kegiatan ekonomi di
dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya setiap sektor dianalisis satu persatu. Setiap sektor dilihat potensi dan peluangnya, menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan di mana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Salah satu pendekatan sektoral yang sekaligus melihat kaitan pertumbuhan antara satu sektor dengan sektor lainnya dan sebaliknya, dikenal dengan nama analisis masukan-keluaran (input-output analysis). (2) Pendekatan Regional. Lebih bersifat spatial dan merupakan jembatan untuk mengaitkan
perencanaan
pembangunan
dengan
rencana
tata
ruang.
Pendekatan regional dalam pengertian sempit adalah memperhatikan ruang dengan segala kondisinya. Sedangkan pengertiannya secara luas selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi/jasa juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan dan memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan jaringanjaringan
penghubung
sehingga
berbagai
konsentrasi
kegiatan
dapat
dihubungkan secara efisien. 2.1.4
Teori Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah Hanafiah (1993), secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan
pembangunan wilayah (KPW) adalah usaha-usaha yang dilakukan pemerintah di tingkat nasional dalam rangka alokasi sumberdaya pembangunan untuk seluruh atau sebagian tataruang dalam perencanaan pembangunan. Hal yang sama dapat dilakukan pada tingkat daerah, yaitu adanya suatu KPW dalam perencanaan pembangunan di tingkat provinsi. Salah satu contohnya adalah undang-undang
otonomi daerah. Faktor yang menyebabkan penentu kebijaksanaan di tingkat nasional menaruh perhatian pada pembangunan wilayah adalah terdapatnya ketimpangan-ketimpangan antara wilayah dalam demografis, sumberdaya, pendapatan, pengangguran dan kesempatan kerja, migrasi, tingkat pertumbuhan daerah, perbedaan permintaan, perubahan struktural dan sosial, polarisasi, mekanisme kemampuan swa-sembada dan lain-lain sebagainya. Kebijaksanaan pembangunan wilayah (KPW) mempunyai ruang lingkup dan makna yang berbeda tergantung pada tingkat penentuan kebijaksanan nasional atau regional, yaitu pada tingkat mana kebijaksanan tersebut ditetapkan dan bagaimana hubungan antara kedua tingkat tersebut (Hanafiah, 1993). KPW di tingkat nasional, antara lain akan berkisar pada kebijaksanaan spesialisasi wilayah, mengatasi ketimpangan antar wilayah, penyebaran prasarana transportasi seperti pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya dalam tata ruang nasional. Sedangkan KPW di tingkat regional, yang dirumuskan oleh para politisi dan perencana
daerah,
akan
berpedoman
pada
kebijaksanaan
tersebut
dan
menjabarkannya sesuai dengan pengalaman pelaksanaan pembangunan dan potensi sumberdaya daerah yang bersangkutan. Tampaknya, kesesuaian diantara kepentingan sektoral terhadap suatu daerah dan sebaliknya merupakan hal yang penting disamping otonomi dan kemampuan serta kapasitas daerah dalam memformulasikan KPW dan penyusunan rencana pembangunan wilayah. KPW ditingkat regional dengan prioritas di bidang ekonomi, dalam jangka panjang terutama bertujuan untuk integrasi ekonomi wilayah melalui peningkatan produktivitas dan diversifikasi sektor pertanian, perluasan dan pengembangan
sektor industri terutama industri pengolahan hasil pertanian, pengolahan bahan setengah jadi menjadi produk akhir dan pengembangan sektor jasa. Disamping itu terdapat juga kebijaksanaan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) untuk kesejahteraan penduduk. Dalam memformulasikan KPW tersebut, ada beberapa kendala yang telah diidentifikasikan, yaitu: 1. Kepadatan penduduk; kepadatan dapat merupakan masalah bagi pembangunan pertanian bila terlalu padat dan sebaliknya bila terlalu sedikit dan menyebar tidak efisien bagi penyediaan fasilitas pelayanan. 2. Kekayaan sumberdaya alam yang tersebar secara tidak merata dan dalam jumlah yang berbeda disamping tingkat dan skala eksploitasi atau pemanfaatan yang berbeda karena lokasi geografi-ekonomi. Perkembangan ekonomi mengacu pada masalah negara terbelakang atau negara berkembang sedangkan pertumbuhan ekonomi mengacu pada masalah negara maju (Jhingan, 2002). Adisasmita (2005), pembangunan ekonomi didefinisikan dalam tiga pengertian, yaitu: 1) Pembangunan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional riil dalam suatu jangka waktu yang panjang. Definisi ini tidak memuaskan karena tidak mempertimbangkan berbagai perubahan misalnya pertumbuhan penduduk. Jika suatu kenaikan dalam pendapatan nasional riil dibarengi dengan pertumbuhan penduduk yang lebih cepat, maka yang terjadi bukan kemajuan tetapi adalah sebaliknya yaitu kemunduran.
2) Prof. Meier mendifinisikan pembangunan ekonomi sebagai proses kenaikan pendapatan riil per kapita dalam suatu jangka waktu yang panjang. Definisi ini menekankan bahwa pembangunan ekonomi dicerminkan oleh tingkat kenaikan pendapatan riil lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan penduduk. 3) Ada kecenderungan untuk mendefinisikan pembangunan ekonomi dilihat dari tingkat kesejahteraan ekonomi. Misalnya pendapatan nasional riil per kapita dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan
masyarakat
secara
keseluruhan.
Definisi
ini
mempunyai
keterbatasan, yaitu (a) kenaikan pendapatan nasional atau per kapita riil, si kaya bertambah kaya dan si miskin bertambah miskin, berarti kesenjangan bertambah lebar; (b) dalam mengukur kesejahteraan ekonomi harus hati-hati, output dapat dinilai berdasarkan harga pasar, sedang kesejahteraan ekonomi diukur
dengan
kenaikan
pendapatan
nasional
riil,
dan
(c)
harus
dipertimbangkan tidak saja barang apa yang di produksi, tetapi juga bagaimana barang tersebut di produksi. Menurut Jhingan (2002), pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan jangka panjang yang terjadi secara bertahap (adjusment) yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan jumlah penduduk serta menurunnya tingkat pengangguran. Sedangkan definisi perkembangan ekonomi antara lain: (1) perkembangan ekonomi harus diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional nyata dalam suatu jangka waktu yang panjang, (2) berkaitan dengan kenaikan pendapatan nyata perkapita dalam jangka panjang, (3) di lihat dari titik kesejahteraan ekonomi,
dipandang sebagai suatu proses dimana pendapatan nasional nyata perkapita naik diiringi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan keinginan masyarakat secara keseluruhan 2.1.5
Analisis Shift Share Analisis shift share (S-S) memperlihatkan hubungan antara struktur
perekonomian dengan pertumbuhan wilayah. Analisis ini merupakan metode untuk melihat aktifitas ekonomi di suatu wilayah dengan menggunakan berbagai data. Analisis S-S pertama kali diperkenalkan oleh Perloff pada tahun 1960 untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi wilayah di Amerika Serikat. Selain dapat digunakan untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor, analisis S-S juga digunakan untuk menduga dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan. Analisis S-S menganalisis berbagai perubahan indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah, melihat perkembangan perekonomian disuatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, menunjukkan perkembangan suatu sektor di suatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, apakah berkembang dengan cepat atau lambat, juga dapat menunjukkan bagaimana perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tujuan analisis S-S adalah untuk menentukan produktifitas kerja perekonomian daerah dengan membandingkannya dengan daerah yang lebih besar (regional atau nasional). Secara skematik model analisis S-S disajikan pada Gambar 1.
Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) atau Pertumbuhan Regional (PR)
Wilayah ke j (Sektor ke i)
Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP)
Maju PP + PPW ≥ 0
Wilayah ke j (Sektor ke i)
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW)
Lamban PP + PPW ≤ 0
Gambar 1. Model Analisis Shift Share Sumber: Budiharsono, 2001. Berdasarkan Gambar 1, dapat dipahami bahwa pertumbuhan sektor perekonomian pada suatu wilayah dipengaruhi oleh beberapa komponen, yaitu komponen pertumbuhan nasional (national growth component) disingkat PN atau komponen pertumbuhan regional (regional growth component) disingkat PR, komponen pertumbuhan proporsional (proportional or industrial mix growth component) disingkat PP dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (regional share growth component) disingkat PPW. Dari ketiga komponen tersebut dapat diidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian, apakah pertumbuhannya cepat atau lambat?. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka pertumbuhan sektor perekonomian termasuk ke dalam kelompok progresif (maju), tetapi apabila PP + PPW ≤ 0 berarti sektor perekonomian tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat. 1) Komponen Pertumbuhan Nasional/Pertumbuhan Regional
Komponen pertumbuhan nasional/regional adalah perubahan produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat dari pada sektor dan wilayah lainnya. 2) Komponen Pertumbuhan Proporsional Komponen pertumbuhan proporsional (PP) tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. 3) Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komperatif, akses kepasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut.
2.1.6
Keterbatasan –Keterbatasan Analisis Shift Share Analisis S-S dapat menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian
suatu wilayah, baik itu laju pertumbuhan maupun daya saing sektor tersebut, akan tetapi analisis S-S juga memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasanketerbatasan analisis S-S dapat dijelaskan berikut ini (Budiharsono, 2001). 1) Analisis S-S tidak lebih dari pada suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variable wilayah menjadi komponenkomponen. Persamaan S-S hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Metode S-S tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh keunggulan kompetitif adalah positif dibeberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode S-S merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik. 2) Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah. 3) Kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) berkaitan dengan halhal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik. 4) Teknik analisis S-S secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal, maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah-wilayah
lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.
2.2 Tinjauan Empiris Putra (2004), menggunakan analisis shift share untuk menganalsis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi daerah (1994-2002). Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa pada masa otonomi daerah tahun 2000 sampai 2002, seluruh sektor-sektor ekonomi Kota Jambi memiliki pertumbuhan yang lambat, sehingga perekonomian Kota Jambi termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat. Irawan (1994), menggunakan analisis shift share untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar wilayah di Provinsi Jawa Barat tahun 1986-1990. berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam pertumbuhan dibeberapa wilayah Dati II Jawa Barat, yaitu Pandeglang, Lebak, Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Majalengka, Cirebon, Sumedang, Subang, Purwakarta, dan Karawang. Sektor industri dan jasa memegang peranan penting di daerah Bogor, Bandung, Bekasi, Tangerang, Serang, Kota Bandung, dan Kota Cirebon. Kota Sukabumi dan Kota Bogor bertumpu pada sektor perdagangan dan jasa, sedangkan Kabupaten Indramayu perekonomiannya didukung oleh sektor pertambangan dan penggalian. Azman (2001), juga menggunakan analisis shift share untuk menganalisis struktur perekonomian Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat
Tahun 1995-1999. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan sturuktur perekonomian dari sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) ke sektor sekunder (industri) dan sektor tersier (jasa-jasa, perdagangan, hotel dan restoran). Akan tetapi sektor pertanian masih dominan dalam penyediaan lapangan kerja maupun kontribusinya terhadap PDRB. Berdasarkan penelitian terdahulu, maka analisis shift share dapat digunakan untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian wilayah kabupaten/kota yang berada dalam suatu provinsi. Pada penelitian terdahulu hanya menganalisis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi atau pertumbuhan wilayah dalam satu kurun waktu tertentu, sedangkan pada penelitian ini sektorsektor perekonomian dianalisis pada dua kurun waktu, yaitu sebelum otonomi dan pada masa otonomi daerah. Otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah. Namun demikian, otonomi daerah memiliki dampak positif maupun negatif pada penyelenggaraan program pemerintahan dan pembangunan secara keseluruhan. Dampak positif dari penelitian tinjauan terdahulu antara lain: pertama, masyarakat diberi peluang, diberi akses untuk mampu memilih dan mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, untuk merangsang serta mendorong daerah agar berpikir kreatif dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya.Kedua, pemerintahan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan
yang
memadai
untuk
mengembangkan
program-program
pembangunan berbasis masyarakat atau ekonomi rakyat (Subagyo, 2003).
Ketiga, adanya perubahan mendasar di tingkat desa dan kelurahan, khususnya dalam menyikapi program. Terlihat juga tata hubungan antara elite desa (Kades, Lurah, LKMD, LMD, BPD, dsb) dengan unsur-unsur masyarakat menjadi lebih baik (Subagyo, 2003). Kasus suatu BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) di Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman, Kota Yogyakarta merupakan salah satu contoh. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Bina Klitren Mandiri, dibentuk pada tanggal 12 Januari 2002 bertempat di Kantor Kelurahan Klitren. Pembentukan BKM ini terkait dengan program pemerintah yang berjudul Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, disingkat P2KP. BKM dibentuk melalui suatu pertemuan yang dihadiri oleh Lurah Klitren, LKMD beserta pengurus, Ketua-ketua RW, dan wakil-wakil warga (tokoh). Melalui pertemuan tersebut akhirnya terpilih 9 orang sebagai pengurus BKM. Dalam perjalanannya 4 orang kemudian mengundurkan diri karena kesibukan masing-masing yang kemudian digantikan oleh 3 orang, sehingga sampai sekarang pengurus BKM berjumlah 8 orang. Menarik juga untuk disimak bahwa pengelolaan BKM ini mandiri terlepas dari unsur-unsur pemerintahan kelurahan. Bahkan dalam struktur organisasinya tergambarkan bahwa kedudukan Lurah, LKMD, dan Ketua BKM adalah sejajar. Namun dalam kerjanya nampak saling mendukung. Misalnya dalam hal pinjaman kepada anggota kelompok, BKM secara rutin memberikan laporan tertulis tentang posisi pinjaman anggota, siapasiapa saja yang masih menunggak, serta siapa saja yang pinjamannya lancar. Laporan ini telah dimanfaatkan oleh pihak kelurahan dalam melayani kebutuhan penduduk. Seorang penduduk yang minta pelayanan KTP, tetapi ternyata dari
laporan BKM memiliki tunggakan pinjaman, bisa ditegur dan diminta melunasi tunggakannya. Ini menarik mengingat BKM adalah unsur masyarakat, sedangkan kelurahan adalah unsur pemerintah, hal yang sama biasa terjadi untuk memaksa orang membayar PBB. Jelas bahwa ekonomi rakyat memerlukan perhatian, dukungan, dan kepercayaan dari pemerintah agar mampu berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Keempat, dengan otonomi maka daerah akan mendapat kesempatan melakukan deregulasi sendiri untuk menarik investasi (Mallarangeng, 2000). Contohnya di RRC. Walau RRC negara sosialis, tetapi dalam realitas kehidupan sehari-hari sudah menerima ide-ide liberalisme. Izin investasi asing cukup sampai di daerah tingkat dua. Liberalisasi ini membuat RRC kebanjiran investasi. Namun, Cina itu sebenarnya juga memiliki problem politik seperti tragedi Tiananmen. Tetapi karena pandai melobi, sehingga menjadi negara penerima investasi terbesar di dunia. Pernah dalam setahun nilai investasi yang masuk mencapai 100 milyar dollar AS. Di Indonesia, salah satu contoh deregulasi dapat dilakukan dengan meringankan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang ada atau misalnya di Batam yakni adanya Tax Holiday, yaitu memberikan kebebasan pajak bagi perusahaan yang baru berdiri selama jangka waktu tertentu. Dampak negatif dengan diterapkannya otonomi daerah, antara lain: pertama, menyuburkan tindakan korupsi dalam arti memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah (Sianturi, 2005). Praktik korupsi kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor terutama lembaga eksekutif dan legislatif daerah. Catatan ICW (Indonesia Corruption Watch) sejak Januari hingga
Desember 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan tingkat kerugian yang dialami negara. Dari sekian kasus itu, 124 kasus korupsi melibatkan anggota DPRD dan 83 kasus melibatkan kepala daerah. Otonomi daerah hanya memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah (kepala daerah dan legislatif) untuk mengelola sumber daya ekonomi yang rawan dengan penyelewengan karena tidak adanya kontrol masyarakat (Sianturi, 2005). Kedua, otonomi daerah akan memberikan justifikasi ekonomi yaitu memecah konsentrasi ekonomi (Prasetiantono, 2000). Maksudnya dengan adanya otonomi daerah yang dahulu konsentrasi ekonomi tersebut fokus pada satu hal, sekarang menjadi terpecah. Hal ini tentunya berdampak pada daerah otonom. Misalnya di Jakarta. Karena peluang untuk berusaha sangat besar, menyebabkan pengusaha atau investor dari daerah beralih ke Jakarta untuk mengembangkan usahanya. Akibatnya meningkatnya peredaran uang sebanyak 70 persen di Jakarta dan kawasan sekitarnya. Sebanyak 70 persen kredit perbankan jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Ini jelas tidak fair karena penduduknya cuma sekitar 15 juta dari 200 juta penduduk di seluruh Indonesia. Daerah tentu saja mengalami kerugian karena dengan berpindahnya pengusaha atau investor ke daerah yang lain menyebabkan pendapatan daerah berkurang. Ketiga, menimbulkan distorsi dan high cost ekonomi (Sianturi, 2005). Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan Pemda untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dengan cara membuat Perda yang berisi pembebanan pajak-pajak daerah sehingga pengusaha merasa keberatan untuk menanggung berbagai pajak tersebut.
Namun ada juga daerah yang sudah memperhatikan hal ini, yakni meringankan para investor dengan mengenakan Tax Holiday bagi perusahaan yang baru berdiri. Keempat, dalam otonomi daerah persaingan justru menjadi tidak objektif dan malah makin memperbesar jurang sosial antara kelompok elite dan rakyat jelata (Subagyo, 2003). Hal ini terlihat dimana lembaga perbankan dan otoritas keuangan lainnya, lebih berpihak kepada elite-elite tertentu, sehingga menyulitkan masyarakat biasa untuk mengembangkan usahanya. Kelima, menimbulkan eksploitasi sumber daya mineral dan hutan serta tambang di Indonesia oleh pemodal asing sehingga merugikan rakyat (Mallarangeng, 2000). Beberapa Bupati menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
2.3
Kerangka Pemikiran Konseptual Salah satu indikasi dari kemajuan perekonomian suatu daerah adalah
melalui pencapaian tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) setiap tahun. Dengan menggunakan tingkat PDRB, laju pertumbuhan sektorsektor perekonomian dapat dianalisis dengan menggunakan analisis shift share. Pada penelitian ini analisis shift share digunakan untuk menganalisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah, sehingga dapat diketahui sektor-sektor yang memiliki
pertumbuhan yang cepat dan sektor-sektor yang memiliki pertumbuhan yang lambat. Selain itu, dapat juga dianalisis daya saing sektor, yaitu sektor mana yang mampu bersaing dan sektor mana yang tidak mampu bersaing. Informasi mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan pembangunan dan perencanaannya, dan bagi para investor untuk menanamkan modalnya pada sektor-sektor yang menguntungkan. Secara sistematis, kerangka pemikiran dapat dijelaskan pada Gambar 2.
Sebelum Otonomi
S e k t o r S e k t o r
Kondisi perekonomian Propinsi Banten Jika di Bandingkan dengan Propinsi Jawa Barat
Pada masa Otonomi
P e k o n o m i a n
Tingkat pertumbuhan PDRB dan kontribusi masing-masing sektor
Analisis PDRB
Shift Share
Laju pertumbuhan, daya saing, dan profil pertumbuhan dari masingmasing sektor ekonomi.
Keterangan : : Hal-hal yang dianalisis : Analisis yang digunakan
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual
I M P L I K A S I K E B I J A K A N
III. 3.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa
data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat atas dasar harga konstan 1993, yang dibagi dalam tiga periode yaitu periode 1994 sampai 1996 (perekonomian Indonesia stabil), periode 1997 sampai 1999 (perekonomian Indonesia tidak stabil) dan periode 2000 sampai 2002(pada masa otonomi daerah). Data ini dibagi dalam tiga periode karena kondisi perekonomian di tiga periode ini berbeda sehingga dapat mempermudah dalam menganalisa pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Banten. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS), Bapeda Tk. Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat dan Internet.
3.2
Metode Analisis Data
3.2.1 Analisis Shift-Share (S-S) Penelitian ini menggunakan analisis S-S karena dalam analisis ini memperinci
penyebab
perubahan
atas
beberapa
variabel.
Analisis
ini
menggunakan metode pengisolasian berbagai faktor yang menyebabkan perubahan struktur ekonomi suatu daerah dalam pertumbuhannya dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya. Hal ini meliputi penguraian faktor penyebab pertumbuhan berbagai sektor dari suatu daerah tetapi dalam kaitannya dengan ekonomi nasional (provinsi).
Analisis ini digunakan untuk menentukan kinerja perekonomian di daerah dengan membandingkan daerah tersebut dengan daerah yang lebih besar serta menentukan sektor-sektor yang berkembang di suatu daerah. Analisis ini dapat menunjukkan adanya pergeseran hasil-hasil pembangunan perekonomian daerah. jika daerah tersebut memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomian provinsi. Analisis ini juga membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor di daerah dengan pertumbuhan provinsi serta mengamati penyimpangannya, jika penyimpangannya positif maka tercapai keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam daerah tersebut (Soepono, 1993). 3.2.2
Analisis PDRB Kota/Kabupaten dan PDRB Provinsi Misalkan
dalam
suatu
wilayah
terdapat
m
wilayah/daerah
kebupaten/kecamatan (j=1,2,3,...,m) dan n sektor ekonomi (i=1,2,3,...,n), maka perubahan dalam PDRB dapat dinyatakan sebagai berikut: ∆ Yij = PRij + PPij + PPW ij .................................................................. (1) dimana: ∆ Yij = Perubahan dalam PDRB kota/kabupaten sektor i pada wilayah ke j,
PRij
= Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan komponen pertumbuhan regional,
PPij
= Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan komponen pertumbuhan proporsional,
PPW ij = Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.
Untuk memperoleh nilai PR, PP dan PPW ada beberapa rumusan yang harus dipenuhi yang dapat dijelaskan berikut ini. 1) PDRB provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis m
Yi =
∑Y j =1
ij
dimana, Yi = PDRB provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis, Yij = PDRB kota/kabupaten sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis.
2) PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis, m
Y'i =
∑Y
'
ij
j =1
dimana,
Y ' i = PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis, Y ' ij = PDRB kota/kabupaten sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis.
Sedangkan Total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis, dirumuskan berikut ini. 3) Total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis n
Y.. =
m
∑∑ Y i =1 j =1
ij
dimana: Y.. = Total PDRB Provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis, Y ' ij = PDRB kota/kabupaten sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis.
4) Total PDRB provinsi pada tahun akhir analisis n
Y ' .. =
m
∑∑ Y
'
ij
t =1 j =1
dimana:
Y ' .. = Total PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis, Y ' ij = PDRB kota/ kabupaten sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis. 3.2.3
Rasio PDRB kota/kabupaten dan PDRB Provinsi (Nilai Ri,Ra dan ri) Rasio PDRB terbagi atas Ri, Ra dan ri . Nilai Ri, Ra dan ri digunakan
untuk mengidentifikasi perubahan PDRB dari sektor i di wilayah ke j pada tahun dasar analisis maupun tahun akhir analisis. Menghitung nilai Ri, Ra dan ri menggunakan nilai PDRB yang terjadi pada dua titik waktu, yaitu tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis. 1. Nilai Ri Ri merupakan selisih antara PDRB Provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDRB Provinsi sektor i pada tahun dasar analisis dibagi PDRB Provinsi sektor i pada tahun dasar analisis. Rumusnya adalah sebagai berikut: Ri =
Y ' i . − Yi . Yi .
dimana: Y ' i . = PDRB Provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis,
Yi . = PDRB Provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis.
2. Nilai Ra Ra merupakan selisih antara total PDRB Provinsi pada tahun akhir analisis dengan total PDRB Provinsi pada tahun dasar analisis dibagi total PDRB Provinsi pada tahun dasar analisis. Rumusnya adalah sebagai berikut: Ra =
Y ' ..− Y .. Y ..
dimana:
Y ' .. = Total PDRB Provinsi pada tahun akhir analisis, Y.. = Total PDRB Provinsi pada tahun dasar analisis. 3. Nilai ri merupakan selisih antara PDRB kota/kabupaten dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis dengan PDRB kota/kabupaten dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis dibagai PDRB kota/kabupaten dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis. Rumusnya adalah sebagai berikut ri =
Y ' ij − Yij Yij
dimana:
Y ' ij = PDRB kota/kabupaten sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis, Yij = PDRB kota/kabupaten sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis. 3.2.4
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Nilai komponen PR, PP, dan PPW didapat dari perhitungan nilai Ri, Ra,
dan ri. Dari ketiga komponen tersebut apabila dijumlahkan akan didapat nilai perubahan PDRB.
1. Komponen Pertumbuhan Regional Komponen PR adalah perubahan produksi suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi regional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi regional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat dari pada sektor dan wilayah lainnya. Komponen pertumbuhan regional dapat dirumuskan sebagai berikut
PRij = ( Ra ) Yij ..................................................................................... (2) dimana:
PRij
= Komponen pertumbuhan regional sektor i pada wilayah ke j,
Yij
= PDRB kota/kabupaten dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar Analisis,
( Ra ) = Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan
oleh
komponen pertumbuhan regional. Apabila persentase total perubahan PDRB suatu wilayah lebih besar dari pada persentase komponen pertumbuhan regional, maka pertumbuhan sektorsektor ekonomi wilayah tersebut (kota) lebih besar dari pada pertumbuhan sektorsektor ekonomi wilayah di atasnya (provinsi). Apabila persentase total perubahan PDRB lebih kecil dibandingkan dengan nilai komponen pertumbuhan regional, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi suatu wilayah (kota) lebih kecil bila
dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah di atasnya (provinsi). 2. Komponen Pertumbuhan Proporsional Komponen PP terjadi karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen pertumbuhan proporsional dapat dirumuskan sebagai berikut
PPij = ( Ri − Ra ) Yij ................................................................................ (3) dimana:
PPij
= Komponen pertumbuhan proporsional sektor i pada wilayah ke j,
Yij
= PDRB kota/kabupaten dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis
( R i − Ra )
= Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proporsional.
Apabila PPij < 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j laju pertumbuhannya lambat. Sedangkan apabila PPij > 0, menunjukkan bahwa sektor i pada wilayah ke j laju pertumbuhannya cepat. 3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Timbul karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu
wilayah
dibandingkan
wilayah
lainnya.
Cepat
lambatnya
pertumbuhan ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan ekonomi regional
pada wilayah tersebut. Komponen pertumbuhan pangsa wilayah dirumuskan sebagai berikut
PPW ij = ( ri − Ri ) Yij ............................................................................ (4) dimana: = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah ke j,
PPW ij
( ri − Ri ) = Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Apabila PPW ij < 0, maka sektor i pada wilayah ke j tidak dapat bersaing dengan baik bila dibandingkan dengan wilayah yang lainnya, sedangkan apabila
PPW ij > 0, maka wilayah ke j mempunyai daya saing yang baik untuk perkembangan sektor ke i bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Berdasarkan nilai PR, PP, dan PPW, maka akan didapat nilai perubahan PDRB, seperti yang dirumuskan pada persamaan (1). Selain itu, perubahan PDRB juga dapat dirumuskan sebagai berikut: ∆ Yij = Y ' ij − Yij ...................................................................................
(5)
Apabila persamaan (2), (3), (4), dan (5) disubtitusikan ke persamaan (1), maka didapat ∆ Yij = PRij + PPij + PPW ij
Y ' ij − Yij = ( Ra )Yij + ( Ri − Ra )Yij + ( ri − Ri )Yij dimana: ∆ Yij
= Perubahan PDRB sektor i pada wilayah ke j,
Yij
= PDRB kota/kabupaten dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis,
Y ' ij
= PDRB kota/kabupatendari sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis,
( Ra )
= Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan regional,
( Ri − Ra ) = Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proporsional, ( ri − Ri ) = Persentase perubahan PDRB kota/kabupaten yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan pangsa wilayah. 3.2.5
Analisis Profil Pertumbuhan PDRB dan Pergeseran Bersih Analisis profil pertumbuhan PDRB bertujuan untuk mengidentifikasi
pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen pertumbuhan proporsional ( PP. j ) dan pertumbuhan pangsa wilayah ( PPW . j ). Data-data yang telah dianalisis akan diinterpretasikan dengan cara memplotkan persentase
perubahan
komponen
pertumbuhan
proporsional
(PP)
dan
pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) ke dalam sumbu vertikal dan horizontal. Komponen pertumbuhan proporsional (PP) diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis, sedangkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) pada sumbu vertikal sebagai ordinat. Profil pertumbuhan PDRB disajikan pada Gambar 3 berikut ini.
1. Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah progresif (maju).
Kuadran IV
Kuadran I
Kuadran III
Kuadran II
PP
PPW Gambar 3. Profil Pertumbuhan PDRB Sumber: Budiharsono, 2001. 2. Kuadran II menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik. 3. Kuadran III menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan tergolong pada wilayah yang memiliki pertumbuhan yang lambat. 4. Pada kuadran IV menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang bersangkutan memiliki laju pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. 5. Pada kuadran II dan kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk sudut 45o dan memotong kedua kuadran tersebut. Bagian atau garis tersebut menunjukkan
bahwa
sektor/wilayah
yang
sektor/wilayah progresif,
yang
sedangkan
bersangkutan di
bawah
merupakan garis
berarti
sektor/wilayah yang bersangkutan menunjukkan sektor/wilayah yang lambat. Berdasarkan nilai persen PP. j dan PPW . j , maka dapat diidentifikasi pertumbuhan suatu sektor atau suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Kedua komponen tersebut apabila dijumlahkan akan didapat nilai pergeseran bersih ( PB . j ) yang mengidentifikasikan pertumbuhan suatu wilayah. dirumuskan sebagai berikut
PB . j = PP. j + PPW . j adapun,
PP. j
= PP1 j + PP2 j + PP3 j +...+ PPnj ,
PPW . j = PPW 1 j + PPW 2 j + PPW 3 j +...+ PPW nj , Dimana:
PB . j
= Pergeseran bersih wilayah ke j,
PB . j dapat
PP. j
= Komponen pertumbuhan proporsional dari seluruh sektor untuk wilayah ke j,
PPW . j = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah dari seluruh sektor untuk wilayah ke j. Pergeseran bersih sektor i pada wilayah ke j dapat dirumuskan sebagai berikut
PBij = PPij + PPW ij Dimana:
PBij
= Pergeseran bersih sektor i pada wilayah ke j,
PPij
= Komponen pertumbuhan proporsional sektor i pada wilayah ke j,
PPW ij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah ke j. Persentase perubahan PDRB, PR. j , PP. j , PPW . j , dan PB . j akan mengidentifikasi pemerataan suatu sektor atau suatu wilayah dalam hal pertumbuhan. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut: ∆ PDRB . j
=
% PR. j
=
% PP. j
=
% PPW . j
=
% PB . j
=
( PDRB tahun akhir − PDRB tahun dasar ) * 100% PDRB tahun dasar PN . j PDRB tahun dasar
PP. j PDRB tahun dasar PPW . j PDRB tahun dasar PP. j + PPW . j PDRB tahun dasar
* 100%
* 100%
* 100%
* 100%
Apabila PBij ≥ 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sedangkan apabila PBij ≤ 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah ke j termasuk dalam pertumbuhan lambat. Begitu pula apabila PB . j ≥ 0, maka pertumbuhan wilayah tersebut termasuk ke dalam pertumbuhan progresif, sedangkan apabila PB . j ≤ 0, maka pertumbuhan wilayah tersebut termasuk pertumbuhan yang lambat. Analisis pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dengan menggunakan analisis shift share dapat dipermudah dengan menggunakan software komputer, program Microsoft Excel. Hasil perhitungan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengidentifikasi atau menganalisa pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah.
IV.
GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1
Gambaran Umum Wilayah Provinsi Banten
4.1.1
Kondisi Geografis Provinsi Banten Bapeda (2003), Provinsi Banten secara astronomis terletak pada 1050
1’ 11” – 1060 7’ 12” BT, dan memiliki luas sekitar 8.800 km2 dimana wilayah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda dan Provinsi Lampung dan sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI dan Lampung. Berdasarkan ekosistem wilayahnya, lingkungan Pantai Utara terdapat sawah irigasi teknis dan kawasan pemukiman dan industri; bagian tengah terdapat irigasi terbatas, perkebunan dan kawasan pedesaan; bagian barat (Padeglang dan Serang bagian barat) kaya akan potensi air dan kawasan pertanian; Ujung Kulon terdapat taman nasional konservasi badak jawa dan di daerah DAS Cibaliung – Malingping terdapat daerah cekungan air yang belum dimanfaatkan secara efektif. Iklim wilayah dipengaruhi oleh angin muson dan gelombang La Nina & El Nino. Pada bulan Nopember sampai Maret merupakan musim penghujan dan Juni sampai Agustus merupakan musim kemarau. Temperatur pantainya sekitar 22-320 C dan temperatur pegunungannya sekitar 18-290 C. Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten yakni kabupaten Padeglang, Lebak, Tangerang & Serang, dua kota yakni Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Pusat pemerintahan Provinsi Banten terletak di Kabupaten Serang yang dikembangkan menjadi kawasan perkantoran tingkat kota.
Infrastruktur yang tersedia di Provinsi Banten sangat memadai, baik itu dari segi transportasi darat, udara dan laut. Prasarana transportasi darat yang tersedia di Provinsi Banten antara lain, adanya terminal antar kota dan antar Provinsi yang menghubungkan dengan kota-kota lain di pulau Jawa. Dari segi transportasi laut, adanya pelabuhan Merak yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera
terutama Lampung sehingga mempermudah akses
perdagangan. Selain pelabuhan Merak, masih ada pelabuhan lain yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi Provinsi Banten yakni pelabuhan Cigading, kedua pelabuhan ini merupakan pelabuhan nasional dan internasional yang mempermudah akses perdagangan. Transportasi udara juga tersedia, yakni dengan adanya pelabuhan udara Soekarno-Hatta yang merupakan pelabuhan nasional dan internasional. Selain itu, Provinsi Banten memiliki fasilitas pembelanjaan yang cukup modern serta pusat bisnis dan kawasan industri yang menjadi salah satu sumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). 4.1.2
Perkembangan Penduduk dan Tenaga Kerja di Provinsi Banten Jumlah penduduk Provinsi Banten sampai akhir 2004 mencapai 9.3 juta
jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 1,018 jiwa per kilo meter, laju pertumbuhan penduduknya sebesar 3.48 persen per tahun dan jumlah angkatan kerja sebesar 41 persen. Dari jumlah angkatan kerja tersebut 92 persen berstatus pekerja dan sisanya 8 persen masuk dalam kategori sedang mencari pekerjaan. Menurut statistika penduduk Provinsi banten, tingkat pendidikan angkatan kerja yang tamat SD sebesar 36 persen, tamat SLTP sebesar 15 persen, tamat SLTA
sebesar 23 persen, tamat Sarjana sebesar 2.1 persen, tamat Master sebesar 2.9 persen dan non formal sebesar 21 persen. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 sejumlah 1.184.100 jiwa (13.88 persen) menurun menjadi 855.800 jiwa (9.56 persen) pada 2003, dan diperkirakan sejumlah 800.000 jiwa (7.18 persen) pada tahun 2004. Angka pengangguran pada tahun 2003 sebesar 573,189 jiwa, diperkirakan menurun pada tahun 2004 menjadi 500.000 jiwa. 4.1.3
Perkembangan Perekonomian di Provinsi Banten Salah satu indikator untuk melihat perkembangan suatu wilayah adalah
pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten terus mengalami peningkatan, pada tahun 2002 sebesar 5.16 persen meningkat pada tahun 2003 sebesar 5.30 persen, pada tahun 2004 diperkirakan meningkat sebesar 5.70 persen dan diperkirakan pada tahun 2005 mencapai sebesar 6 persen. Struktur perekonomian daerah Provinsi Banten masih bertumpu pada sektor industri pengolahan, rata-rata kontribusinya mencapai 50 persen terhadap pembentukan PDRB dan mengalami pertumbuhan mencapai sekitar 4.42 persen per tahun. Pada akhir tahun 2004 kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap nilai PDRB, antara lain: sektor pertanian sebesar 9.14 persen, sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0.12 persen, sektor industri pengolahan sebesar 49.82 persen, sektor listrik, gas dan air sebesar 4.41 persen, sektor bangunan sebesar 2.30 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17.96 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 8.10 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 2.76 persen, dan sektor jasa-
jasa sebesar 5.39 persen. Dilihat dari kontribusi sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten, sektor industri, sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan sektor pertanian menjadi sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB.
4.2
Gambaran Umum Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak diantara 5°50’-7°50’ Lintang
Selatan dan 104°48’-108°48’ Bujur Timur, dimana wilayah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan DKI Jakarta, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten. Kondisi geografis Jawa Barat yang strategis merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdataran rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah. Selain itu, Jawa barat yang memiliki lahan yang subur yang berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. Jawa Barat beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 161.0 mm. Provinsi Jawa Barat meliputi 16 kabupaten dan 9 kota, mencakup sekitar 592 kecamatan, 1.799 kelurahan dan 4.006 desa. Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2001 mencapai 36,08 juta orang, meningkat lagi menjadi 36,91 juta
orang pada tahun 2002, sedangkan pada tahun 2003 menjadi 37,98 juta orang. Pada tahun 2004 jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 38,47 juta orang. Menurut statistika penduduk Provinsi Jawa Barat, tingkat pendidikan angkatan kerja yang tamat SD sebesar 3,6 persen, tamat SLTP sebesar 10,2 persen, tamat SLTA sebesar 11,6 persen, tamat Sarjana sebesar 5,3 persen (tahun 2004). Disimpulkan bahwa dari semua pengangguran terbuka yang ada di Jawa Barat, sebagian besar berpendidikan rendah. Dari sisi tenaga kerja, sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja walaupun dari tahun ke tahun persentasenya mengalami penurunan. Dari 15,01 juta penduduk Jawa Barat (tahun 2005), yang bekerja di sektor pertanian sekitar 29,65 persen, 22,39 persen di sektor perdagangan, 18,28 persen di sektor industri, 12,45 persen di sektor jasa, dan sebesar 17,23 persen tersebar diberbagai sektor yang lain. Dibandingkan dengan tahun 2004, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, namun disisi lain terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor industri.
V. 5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 Sebelum otonomi daerah, Provinsi Banten masih berada dalam wilayah
Provinsi Jawa Barat. Namun untuk melihat seberapa besar PDRB diantara Provinsi Banten sebelum dipisahkan dari Provinsi Jawa Barat, maka akan diadakan pemisahan kabupaten dan kota dalam Provinsi Jawa Barat berdasarkan bagian dari Provinsinya masing-masing. 5.1.1
Analisis PDRB Provinsi Banten Terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 1994-1996 Pada kurun waktu 1994-1996, perekonomian Indonesia berada pada
kondisi yang stabil, begitu juga halnya yang terjadi di Provinsi Jawa Barat (Banten masih berada dalam wilayah Jawa Barat). Pada Tabel 3 akan disajikan gambaran PDRB Provinsi Banten sebelum otonomi daerah setelah diadakan beberapa pemisahan kabupaten dan kota dari Provinsi Jawa Barat. Adapun kabupaten dan kota yang menjadi bagian dari Provinsi Banten adalah Kabupaten Padeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang. Pada Tabel 3, Sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar di Provinsi Banten adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 34,21 persen. Pada tahun 1994 kontribusi sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat (karena Banten masih berada dalam Provinsi Jawa Barat) sebesar Rp 433.742 meningkat menjadi Rp 582.132 pada tahun 1996. Besarnya laju pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan
jasa perusahaan ini karena semakin tumbuh pesatnya sub sektor perbankan sehingga kontribusinya terhadap pembentukan PDRB Banten semakin membaik. Tingkat pertumbuhan terbesar kedua ditempati sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 27,30 persen dan di ikuti oleh sektor industri pengolahan sebesar 27,05 persen dan sektor bangunan sebesar 26,9 persen. Tabel 3. PDRB Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 1994
1996
1.375.235,79
1.720.761
PerubahanPDRB Provinsi Banten (1994-1996) 345.525,21
33.498
38.428
4.930
14,72
6.816.517
8.660.159
1.843.642
27,05
455.716
580.111
124.395
27,30
626.181
794.604
168.424
26,9
2.414.138
2.950.045
535.907
22,2
1.192.394
1.461.834
269.440
22,6
433.742
582.132
148.390
34,21
760.518 14.107.940,60
852.086 17.640.162
91.569 3.532.221,16
12,04 25,04
PDRB Provinsi Banten Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
Persen 25,12
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996. Urutan selanjutnya adalah sektor pertanian sebesar 25,12 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 22,6 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 22,2 persen dan sektor pertambangan sebesar 14,72 persen. Sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terendah adalah sektor jasa-jasa terutama jasa swasta (sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi, perorangan dan rumah tangga) sebesar 12,04 persen. Sektor ini memiliki tingkat pertumbuhan terendah karena permintaan masyarakat terhadap sektor jasa-jasa rendah dan juga
dipengaruhi oleh jumlah pendapatan yang rendah. Secara total, rata-rata peningkatan laju pertumbuhan Provinsi Banten sebesar 25,04 persen. Berdasarkan Tabel 4 di Provinsi Jawa Barat, sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar adalah sektor industri pengolahan sebesar 51,25 persen. Selain memiliki tingkat pertumbuhan yang terbesar, sektor industri pengolahan juga memberikan kontribusi yang paling besar terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1994 kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Provinsi
Jawa
Barat
sebesar
Rp
11.991.875,79
meningkat
menjadi
Rp 18.138.117,44 pada tahun 1996. Sektor ini memiliki tingkat pertumbuhan terbesar karena kebijakan pemerintah yang mendukung sektor industri sangat besar disebabkan sektor industri memiliki peluang pasar yang besar. Hal ini didukung dengan begitu maraknya kegiatan investasi. Tabel 4. PDRB Provinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 PDRB Provinsi Jawa Barat Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
1994
1996
8.202.454,84
9.197.559,56
PerubahanPDRB Provinsi Jawa Barat (1994-1996) 995.104,72
3.452.141,76
3.985.026,02
532.884,26
15,44
11.991.875,79
18.138.117,44
6.146.241,65
51,25
867.152,99
1.178.034,49
310.881,50
35,85
2.713.191,54
3.585.965,86
872.774,32
32,17
9.298.169,19
12.058.679,77
2.760.510,58
29,69
2.290.242,85
3.081.930,33
791.687,48
34,57
2.244.687,17
2.873.105,79
628.418,62
28
4.541.549,56 45.601.465,69
5.198.548,94 59.296.968,20
656.999,38 13.695.502,51
14,47 30,03
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996.
Persen 12,13
Tingkat pertumbuhan terbesar kedua ditempati sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 35,85 persen, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat lebih rendah dibandingkan sektor yang lain dimana jumlah kontribusinya pada tahun 1994 hanya sebesar Rp. 867.152,99 dan pada tahun 1996 sebesar Rp. 1.178.034,49. Kemudian diikuti oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 34,57 persen dan sektor bangunan 32,17 persen. Urutan selanjutnya adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 29,69 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 28 persen, sektor pertambangan sebesar 15,44 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 14,47 persen. Sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terendah adalah sektor pertanian sebesar 12,13 persen. Meskipun Pertanian telah dijadikan dasar pembangunan nasional, artinya
di masa orde baru pembangunan pertanian
diletakkan pada skala prioritas teratas namun karena kondisi wilayah Jawa Barat sendiri yang lebih potensial ke industri maka daya dukung pertaniannya rendah. Hal ini didukung dengan kondisi dimana masyarakat lebih mengutamakan bekerja di sektor industri karena jumlah pendapatan yang mereka terima lebih tinggi dibanding mereka bekerja disektor pertanian meskipun terjadi peningkatan produksi pertanian namun menimbulkan kecenderungan menurunnya harga produk-produk pertanian yang berakibat negatif pada pendapatan petani yang menyebabkan
menurunnya
sumbangan
(share)
sektor
pertanian
dalam
pembentukan PDRB dan menyusutnya peranan relatif angkatan kerja sektor pertanian dalam lapangan kerja keseluruhan. Secara total, rata-rata peningkatan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat
sebesar 30,03 persen. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa PDRB Provinsi Banten atau PDRB tiap kabupaten dan kota yang ada dalam Provinsi Banten sangat berpengaruh terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. 5.1.2
Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri) Tahun 1994-1996 PDRB sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten maupun PDRB
Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1994 sampai 1996 memiliki pertumbuhan yang positif. Jika nilai PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat tiap sektor di perbandingkan antara dua titik waktu, yaitu tahun 1994 sebagai tahun dasar analisis dan tahun 1996 sebagai tahun akhir analisis, maka tiap-tiap sektor akan memiliki rasio yang berbeda-beda. Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat digambarkan dalam bentuk nilai Ra, Ri dan ri. Tabel 5. Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 No
Sektor
Ra
Ri
ri
1
Pertanian
0,30
0,12
0,25
2
Pertambangan
0,30
0,15
0,14
3
Industri Pengolahan
0,30
0,51
0,27
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,30
0,36
0,27
5
Bangunan
0,30
0,32
0,26
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
0,30
0,29
0,22
7
Pengangkutan dan Komunikasi
0,30
0,35
0,23
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
0,30
0,28
0,34
9
Jasa-jasa
0,30
0,14
0,12
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996. Pada Tabel 5, nilai Ra diperoleh dari selisih antara total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 1996 dengan total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 1994 dibagi total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 1994. Karena merupakan
pembagian total PDRB, maka nilai Ra tiap sektor untuk setiap daerah di Provinsi Jawa Barat memiliki besaran yang sama, yaitu sebesar 0,30. Nilai Ri untuk setiap sektor di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat bernilai positif (Ri > 0). Ini berarti bahwa setiap sektor-sektor perekonomian mengalami pertumbuhan yang positif. Berdasarkan Tabel 5, diketahui bahwa sektor industri pengolahan memiliki nilai Ri terbesar yaitu sebesar 0,51. Tingkat pertumbuhan sektor industri pengolahan merupakan yang terbesar di Provinsi Jawa Barat, yakni Rp 11.991.875,79 pada tahun 1994 meningkat menjadi Rp 18.138.117,44 pada tahun 1996, sedangkan nilai Ri terkecil dimiliki oleh sektor pertanian, yakni sebesar 0,12. Pada masa orde baru, kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan sektor pertanian namun sektor industri lebih menjanjikan pertumbuhan ekonomi tinggi, sedangkan sektor pertanian hanya sebagai pendukung saja karena memberikan marginal rate of return yang rendah. Sementara, itu elastisitas pendapatan terhadap produk-produk industri itu tinggi, sedangkan untuk pertanian itu rendah. Dengan kata lain, jika pendapatan meningkat, maka bagian pendapatan untuk mengkonsumsi barang-barang industri meningkat, sedangkan untuk pertanian menurun. Pengalaman menunjukkan bahwa perkembangan pertanian itu lamban. Lagi pula, pembangunan pertanian itu tidak mudah karena hambatan kelembagaan (institutional obstacle), seperti misalnya terdapat pada sistem sewa tanah yang menyebabkan timbulnya usaha tani skala kecil yang tidak mampu menjamin keamanan (security) pada kepentingan petani individual (Rahardjo, 2000).
Nilai ri tiap-tiap sektor perekonomian di Provinsi Banten dihitung berdasarkan selisih antara PDRB Provinsi Banten sektor i pada tahun 1996 dengan PDRB Provinsi Banten sektor i pada tahun 1994 dibagi PDRB Provinsi Banten sektor i pada tahun 1994. Pada Provinsi Banten sendiri, nilai ri dari masingmasing sektor bernilai positif (ri > 0). Ini dikarenakan tiap-tiap sektor yang ada di Provinsi Banten mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada Tabel 5, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki nilai ri terbesar, yaitu 0.34. Sedangkan nilai ri terkecil dimiliki oleh sektor jasa-jasa, yakni sebesar 0,12. 5.1.3
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah di Provinsi Banten Tahun 1994-1996 Pada analisis shift share, pertumbuhan suatu wilayah dipengaruhi oleh tiga
komponen, yaitu komponen pertumbuhan regional, komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Berdasarkan Tabel 6, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp 2.044.955. Hal ini berarti bahwa sektor industri pengolahan sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, artinya jika terjadi perubahan kebijakan ekonomi maka sektor industri pengolahan akan mengalami perubahan. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan sektor industri dibanding pertanian, sehingga mendorong sektor industri untuk berkembang pesat sehingga memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah dan juga negara. Selain itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pertanian juga memberi sumbangan yang cukup besar, yaitu sebesar Rp 724.241 untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan
Rp 412.571 untuk sektor pertanian, sehingga kedua sektor tersebut juga dipengaruhi oleh perubahan kebijakan ekonomi regional. Kontribusi terkecil terhadap PDRB pada komponen pertumbuhan regional disumbangkan oleh sektor pertambangan, yaitu sebesar Rp 10.049. Ini disebabkan karena kurangnya dukungan terhadap sektor ini khususnya dalam hal investasi, sektor pertambangan masih belum diminati oleh investor asing, terbukti dengan realisasi investasi PMA (Penanaman Modal Asing) yang ditanamkan pada sektor tersebut kecil. Hambatan untuk merealisasikan investasi karena ada biaya tambahan yang terkait dengan izin usaha, biaya tambahan yang terkait dengan pajak, akses untuk mendapatkan bahan baku murah. Hal ini berarti sektor pertambangan tidak terlalu dipengaruhi oleh perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat. Tabel 6. Komponen Pertumbuhan Regional Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Regional (Rp) (%) 412.571 30,03 10.049 30,03 2.044.955 30,03 136.715 30,03 187.854 30,03 724.241 30,03 357.718 30,03 130.123 30,03 228.155 30,03
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996. Persentase total perubahan PDRB sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten sebesar 25,04 persen, sedangkan persentase komponen pertumbuhan regional sebesar 30,03 persen. Hal ini berarti tingkat pertumbuhan sektor-sektor
ekonomi di Provinsi Banten lebih rendah dari pada tingkat pertumbuhan sektorsektor ekonomi Provinsi Jawa Barat, karena nilai persentase total perubahan PDRB sektor-sektor ekonomi Provinsi Banten lebih rendah dari pada persentase komponen pertumbuhan regional. Berdasarkan Tabel 7, beberapa sektor perekonomian di Provinsi Banten memberi kontribusi yang negatif terhadap PDRB. Sektor-sektor tersebut antara lain, sektor pertanian sebesar Rp -247.542 (-18 %), sektor pertambangan sebesar Rp -5.025 (-15 %), sektor perdagangan, hotel dan restoran (-1 %), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp -8.675 (-2 %), dan sektor jasa-jasa sebesar Rp -121.683 (-16 %). Karena sektor-sektor tersebut memberikan kontribusi negatif dengan persentase yang kurang dari nol (PP < 0), maka dapat diidentifikasi bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lambat. Tabel 7. Komponen Pertumbuhan Proporsional Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Proporsional (Rp) (%) -247.542 -18 -5.025 -15 1.431.469 21 27.343 6 12.524 2 -24.141 -1 59.620 5 -8.675 -2 -121.683 -16
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996. Keempat sektor lainnya, yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan dan sektor pengangkutan dan komunikasi, masing-masing memberikan kontribusi yang positif dengan persentase yang lebih
dari nol (PP > 0), hal ini berarti bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Adapun besarnya kontribusi keempat sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan sebesar Rp 1.431.469 (21 %), sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp 27.343 (6 %), sektor bangunan sebesar Rp 12.524
(2
%) dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp 59.620 (5 %). Keempat sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat, karena berkembangnya kegiatan ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Tabel 8. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Rp) (%) 178.781 13 -335 -1 -1.635.964 -24 -41.014 -9 -37.571 -6 -168.990 -7 -143.087 -12 26.024 6 -15.210 -2
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996. Analisis shift share selanjutnya adalah komponen pertumbuhan pangsa wilayah. Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui sektor-sektor yang mampu bersaing atau sektor-sektor yang tidak mampu bersaing dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat. Pada Provinsi Banten terdapat tujuh sektor yang tidak dapat bersaing dengan baik bila dibandingkan dengan wilayah lainnya, yaitu sektor pertambangan dengan nilai PPW sebesar Rp 335 (-1 %), sektor industri pengolahan sebesar Rp -1.635.964 (-24 %), sektor Listrik, Gas dan Air Bersih sebesar Rp -41.014 (-9 %), sektor Bangunan sebesar Rp -37.571 (-6 %), sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar Rp -168.990 (-7 %), sektor
Pengangkutan dan Komunikasi sebesar Rp -143.087 (-12 %), dan sektor jasa-jasa sebesar Rp -15.210 (-2 %). Dari ketujuh sektor tersebut, sektor industri pengolahan yang kurang memiliki daya saing yang baik. Dua sektor lainnya yang memiliki daya saing yang baik atau mampu bersaing dengan wilayah lainnya, yaitu sektor pertanian dengan nilai PPW sebesar Rp 178.781 (13 %) dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp 26.024 (6 %). Hal ini dikarenakan persentase nilai PPW dari masing-masing sektor bernilai positif atau lebih dari nol (PPW > 0). Berdasarkan penjelasan diatas, suatu sektor bisa saja memiliki laju pertumbuhan yang cepat tetapi tidak memiliki daya saing yang baik. 5.1.4
Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih Tahun 1994-1996 Berdasarkan persentase nilai komponen pertumbuhan proporsional (PP)
dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW), dapat diperoleh profil pertumbuhan PDRB dengan cara mengekspresikan persentase nilai PP dan PPW ke dalam sumbu vertikal dan horizontal. PP diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis, sedangkan PPW pada sumbu vertikal sebagai ordinat. Berdasarkan Gambar 4, pada kuadran I tidak terdapat nilai PP dan PPW, artinya tidak ditemukan sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan memiliki daya saing yang baik atau mampu bersaing dengan kabupaten lain. Pada kuadran II ditempati oleh sektor industri pengolahan, sektor listrik,gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, ini ditandai dengan PP dan PPW yang bernilai positif dan negatif. Artinya, bahwa sektorsektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi tidak mampu
bersaing dengan sektor yang berada di kabupaten lainnya. Persentase PP dan PPW dari masing-masing sektor tersebut yaitu 21 persen dan -24 persen untuk sektor industri pengolahan, 6 persen dan -9 persen untuk sektor listrik, gas dan air bersih, 2 persen dan -6 persen untuk sektor bangunan, 5 persen dan -12 persen untuk sektor pengangkutan dan komunikasi. Kuadran
selanjutnya,
yaitu
kuadran
III
diduduki
oleh
sektor
pertambangan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa. Ini ditandai dengan PP dan PPW yang bernilai negatif, yaitu -15 persen dan -1 persen untuk sektor pertambangan, -1 persen dan -7 persen untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, -16 persen dan -2 persen untuk sektor jasa-jasa. Artinya, sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan tidak dapat bersaing dengan baik bila dibandingkan dengan kabupaten lain.
15
Sektor Pertanian
10
Sektor Keuangan. Persewaan dan Jasa Perusahaan
5
Sektor Pertambangan
0 -20
-10
0
10
20
30
Sektor Perdagangan. Hotel dan Restoran
PP
-5 Sektor Jasa-Jasa -10 Sektor Industri Pengolahan
-15
Sektor Listrik. Gas dan Air Bersih
-20
Sektor Bangunan -25 Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
-30 PPW
Gambar 4. Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten (1994-1996) Terakhir, yaitu kuadran IV ditempati oleh sektor pertanian dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahan. Hal ini menginterprestasikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lambat, tetapi mampu bersaing dengan sektor-sektor yang berada di kabupaten lainnya. Persentase PP dan PPW dari masing-masing sektor tersebut yaitu -18 persen dan 13 persen untuk sektor pertanian, -2 persen dan 6 persen untuk sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Nilai pergeseran bersih (PB) diperoleh dari penjumlahan nilai PP dan PPW. Berdasarkan tabel 9, pada Provinsi Banten hanya terdapat satu sektor yang memiliki nilai PB yang positif (PB > 0), yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (4 %). Artinya, bahwa sektor tersebut termasuk dalam kelompok
pertumbuhan yang progresif (maju). Ketujuh sektor lainnya memiliki nilai pergeseran bersih yang negatif (PB < 0). Hal ini berarti pertumbuhan sektor-sektor tersebut termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Tabel 9. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1994-1996 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
Pergeseran Bersih (Rp) (%) -68.761 -5 -5.360 -16 -204.495 -3 -13.671 -3 -25.047 -4 -193.131 -8 -83.467 -7 17.349 4 -136.893 -18 -713.476 -60
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-1996. Apabila nilai PB dari setiap sektor (PBij) dijumlahkan, maka akan diperoleh total nilai PB Provinsi Banten (PB.j), yaitu sebesar -60
persen.
Ini mengindikasikan bahwa perekonomian Provinsi Banten termasuk dalam kelompok yang lambat.
5.2
Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Pada Saat Krisis Ekonomi Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999
5.2.1
Analisis PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 1997-1999 Awal tahun 1997, kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan
ketidakstabilan, tepatnya pada tahun 1998 perekonomian Indonesia mengalami krisis. Kondisi krisis tersebut berpengaruh terhadap perekonomian Provinsi Banten. Pada kurun waktu 1997 sampai 1999, krisis ekonomi sangat berpengaruh
terhadap perkembangan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Banten. Tidak ada satu sektorpun yang memberikan kontribusi positif terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 10, semua sektor-sektor perekonomian yang ada di Provinsi Banten memiliki tingkat pertumbuhan yang negatif. Sektor pertambangan merupakan sektor yang paling terpuruk akibat adanya krisis, dengan tingkat pertumbuhan negatif sebesar -57,03 persen atau kontribusi terhadap PDRB menurun sebesar Rp 22.420. Pada tahun sebelumnya sektor ini juga mengalami tingkat pertumbuhan yang menurun apalagi dengan adanya krisis di Indonesia semakin memperpuruk sektor ini. Dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan sulitnya sektor ini dalam menyediakan alat-alat yang dibutuhkan dalam pertambangan ataupun penggalian karena harga yang sulit dijangkau. Sektor bangunan mengalami hal yang sama, dengan kontribusi terhadap PDRB menurun sebesar Rp 442.174 atau sebesar -52,90 persen. Urutan ketiga ditempati oleh sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan negatif sebesar -39,29 persen. Ini berarti kontribusi sektor keuangan, persewan dan jasa perusahaan terhadap PDRB mengalami penurunan sebesar Rp -266.693. Seperti ketiga sektor yang telah dijelaskan di atas, sektor yang lain juga mengalami penurunan. Sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami penurunan sebesar -30,40 persen, sektor listrik, gas dan air bersih menurun sebesar -28,20 persen, sektor industri pengolahan menurun sebesar -27,35 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran menurun sebesar -15,44 persen, sektor pertanian menurun sebesar -6,8 persen dan sektor jasa-jasa menurun sebesar -4,31
persen. Secara total, PDRB Provinsi Banten mengalami penurunan, yaitu sebesar Rp -4.601.851 atau sebesar -24,39 persen. Tabel 10. PDRB Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 1997
1999
1,652,766
1,540,393
PerubahanPDRB Provinsi Banten (1997-1999) -112,373
39,312
16,892
-22,421
-57,03
9,474,917
6,883,695
-2,591,222
-27,35
627,988
450,868
-177,120
-28,20
836,093
393,919
-442,174
-52,90
3,089,368
2,612,476
-476,891
-15,44
1,558,884
1,085,000.23
-473,883.46
-30,40
678,829
412,136
-266,693
-39,29
906,232 18,864,389
867,159 14,262,538
-39,074 -4,601,851
-4,31 -24,39
PDRB Provinsi Banten Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
Persen -6,8
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999 Kondisi krisis ekonomi juga berpengaruh terhadap perekonomian Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan Tabel 11, sektor bangunan merupakan sektor yang paling terpuruk akibat adanya krisis ekonomi, dengan kontribusi terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat yang menurun sebesar Rp -1.447.346,1 atau sebesar -40,29 persen. Dengan adanya inflasi, komponen-komponen yang dibutuhkan untuk membangun tidak dapat terjangkau harganya sehingga banyak kegiatan pembangunan
(konstruksi)
ditunda
atau
tidak
dilanjutkan.
Selain
itu,
rumah/bangunan termasuk dalam kredit jangka panjang, ketika krisis banyak bank-bank yang colaps sehingga menjadi kredit macet pada sektor bangunan. Sektor jasa-jasa masih memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp 223.949,3 atau 4,40 persen. Sektor listrik, gas dan air
bersih juga masih memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 2,25 persen dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,27 persen. Secara total, PDRB Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan, yaitu sebesar Rp -9.728.883,42 atau sebesar -15,25 persen. Tabel 11. PDRB Provinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 1997
1999
8,954,830.60
8,202,701.86
PerubahanPDRB Provinsi Jawa Barat (1997-1999) -752,128.74
3,175,868.74
2,253,275.07
-922,593.67
-29,05
23,001,067.36
18,817,932.05
-4,183,135.31
-18,19
1,267,356.23
1,295,910.97
28,554.74
2,25
3,592,176.35
2,144,830.25
-1,447,346.10
-40,29
12,556,316.39
11,027,976.11
-1,528,340.28
-12,17
3,067,771.23
3,076,114.58
8,343.35
0,27
3,110,669.81
1,954,483.10
-1,156,186.71
-37,17
5,085,168.80 63,811,225.51
5,309,118.10 54,082,342.09
223,949.30 -9,728,883.42
4,40 -15,25
PDRB Provinsi Jawa Barat Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
Persen -8,40
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999. Pada masa krisis ekonomi, nilai Ra untuk semua sektor di seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat sebesar -0,15. Nilai Ra yang negatif menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1997 sampai 1999 kondisi perekonomian Provinsi Jawa Barat mengalami penurunan. Nilai Ra didasarkan pada selisih total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 1999 dengan total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 1997 dibagi total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 1997.
5.2.2
Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri) Tahun 1997-1999 Nilai Ri diperoleh dari selisih antara PDRB Provinsi Jawa Barat sektor i
pada tahun 1999 dengan PDRB Provinsi Jawa Barat sektor i pada tahun 1997 dibagi PDRB Jawa Barat sektor i pada tahun 1997. Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa ada enam sektor yang memiliki nilai Ri negatif, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Hal ini berarti bahwa keenam sektor tersebut mengalami penurunan kontribusi terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Nilai Ri terbesar dimiliki sektor jasa-jasa, yaitu sebesar 0,04, sedangkan nilai Ri terkecil dimiliki sektor bangunan, yaitu sebesar -0,40. Tabel 12. Nilai Ra, Ri dan ri Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 No
Sektor
Ra
Ri
ri
1
Pertanian
-0,15
-0,08
-0,07
2
Pertambangan
-0,15
-0,29
-0,57
3
Industri Pengolahan
-0,15
-0,18
-0,27
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
-0,15
0,02
-0,28
5
Bangunan
-0,15
-0,40
-0,53
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
-0,15
-0,12
-0,154
7
Pengangkutan dan Komunikasi
-0,15
0,003
-0,30
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
-0,15
-0,37
-0,39
9
Jasa-jasa
-0,15
0,04
-0,04
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999. Nilai ri dihitung berdasarkan selisih antara PDRB Provinsi Banten sektor i pada tahun 1999 dengan PDRB Provinsi Banten sektor i pada tahun 1997 dibagi PDRB Provinsi Banten sektor i pada tahun 1997. Pada kurun waktu 1997 sampai
1999, semua sektor-sektor perekonomian di Provinsi Banten memiliki nilai ri yang negatif. Sektor pertambangan memiliki nilai ri terkecil, yakni sebesar -0,57. 5.2.3
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1997-1999 Persentase total PDRB sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten pada
tahun 1997 sampai 1999 sebesar -24,39 persen, sedangkan persentase komponen pertumbuhan regional sebesar -15,25 persen. Karena nilai persentase total perubahan PDRB sektor-sektor ekonomi Provinsi Banten lebih kecil dari pada persentase komponen pertumbuhan regional, maka tingkat pertumbuhan sektorsektor ekonomi di Provinsi Banten lebih kecil dari pada tingkat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Provinsi Jawa Barat. Tabel 13. Komponen Pertumbuhan Regional Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Regional (Rp) (%) -247.915 -15,25 -5.897 -15,25 -1.421.238 -15,25 -94.198 -15,25 -125.414 -15,25 -463.405 -15,25 -233.833 -15,25 -101.824 -15,25 -135.935 -15,25
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999. Kontribusi sektor-sektor ekonomi Provinsi Banten berdasarkan komponen pertumbuhan proporsional, ada yang memberikan kontribusi positif dan ada juga yang memberikan kontribusi negatif. Berdasarkan tabel 14, sektor-sektor yang memberikan sumbangan yang positif dalam kurun waktu 1997 sampai 1999, antara lain sektor pertanian sebesar Rp 115.693,62 (7 %), sektor listrik,gas dan air
bersih sebesar Rp 106.757,96 (17 %), sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 92.681,04 (3 %), sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp 238.509,25 (15,3 %) dan sektor jasa-jasa sebesar Rp 172.184,08 (19 %). Karena kontribusi bernilai positif (PP>0), maka kelima sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Pada Tabel 14 sektor-sektor yang memberi kontribusi negatif terhadap komponen pertumbuhan proporsional, antara lain sektor pertambangan sebesar Rp -5.503,68 (-14 %), sektor industri pengolahan sebesar Rp -284.247,51 (-3 %), sektor bangunan sebesar Rp -209.023,25 (-25 %) dan sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan sebesar Rp -149.342,38 (-22 %). Kontribusi yang bernilai negatif (PP<0), mengindikasikan bahwa keempat sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lambat. Tabel 14. Komponen Pertumbuhan Proporsional Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Proporsional (Rp) (%) 115.693,62 7 -5.503,68 -14 -284.247,51 -3 106.757,96 17 -209.023,25 -25 92.681,04 3 238.509,25 15.3 -149.342,38 -22 172.184,08 19
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999. Komponen
pertumbuhan
wilayah
selanjutnya
adalah
komponen
pertumbuhan pangsa wilayah. Berdasarkan Tabel 15, dapat diketahui sektorsektor yang mampu bersaing dan sektor-sektor yang tidak dapat bersaing. Sektor
pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mampu bersaing (PPW>0) dengan kontribusi sebesar Rp 16.527,66 (1 %). Tabel 15. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Rp) (%) 16.527,66 1 -11.007,36 -28 -852.742,53 -9 -188.396,4 -30 -108.692,09 -13 -105.038,51 -3,4 -472.341,85 -30,3 -13.576,58 -2 -72.498,56 -8
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999. Sektor lainnya, yaitu sektor Pertambangan, sektor Industri Pengolahan, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih, sektor Bangunan, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, dan sektor jasa-jasa, merupakan sektor yang tidak dapat bersaing dengan kabupaten lainnya, karena persentase nilai PPW dari masingmasing sektor bernilai negatif atau kurang dari nol (PPW<0). 5.2.4
Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih Tahun 1997-1999 Pada kurun waktu 1997 sampai 1999, sektor pertanian berada pada
kuadran I, karena nilai PP dan PPW yang bernilai positif, yakni sebesar 7 persen dan 1 persen. Hal ini berarti bahwa sektor pertanian memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu bersaing dengan kabupaten lainnya. Kuadran II menunjukkan sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten yang tidak mampu bersaing tetapi memiliki laju pertumbuhan yang cepat, antara
lain sektor listrik, gas dan air bersih dengan PP sebesar 17 persen dan PPW sebesar -30 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan PP sebesar 3 persen dan PPW sebesar -3 persen, sektor pengangkutan dan komunikasi dengan PP sebesar 15,3 persen dan PPW sebesar -30,3 persen, dan sektor jasa-jasa dengan PP sebesar 19 persen dan PPW sebesar -8 persen.
-40
5
Sektor Pertambangan
0
Sektor Industri Pengolahan
-20
0 -5
PP
-10
20
40
Sektor Keuangan. Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor Bangunan
-15
Sektor Listrik. Gas dan Air Bersih
-20
Sektor Perdagangan. Hotel dan Restoran
-25
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi Sektor Jasa-Jasa
-30 Sektor Pertanian
-35 PPW
Gambar 5. Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten (1997-1999) Kuadran III, ditempati oleh sektor pertambangan dengan PP sebesar -14 persen dan PPW sebesar -28 persen, sektor industri pengolahan dengan PP sebesar -3 persen dan PPW sebesar -9 persen, sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan dengan PP sebesar -22 persen dan PPW sebesar -2 persen, dan sektor bangunan dengan PP sebesar -25 persen dan PPW sebesar -13 persen. Pada kuadran ini menunjukkan nilai PP dan PPW yang negatif, yang berarti bahwa sektor-sektor perekonomian di Provinsi Banten yang tidak memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan juga tidak mampu bersaing dengan kabupaten lainnya. Pada kuadran IV, tidak ditemukan sektor-sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan mampu bersaing dengan kabupaten lainnya. Pergeseran bersih (PB) diperoleh dari penjumlahan persentase PP dan PPW. Berdasarkan tabel 16, terdapat dua sektor ekonomi yang memiliki nilai PB yang positif, tujuh sektor lagi memiliki nilai PB yang negatif. Artinya ketujuh sektor tersebut termasuk dalam pertumbuhan yang lambat. Tabel 16. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-1999 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
Pergeseran Bersih (Rp) (%) 132.221,28 8 -16.511,04 -42 -1.136.990,04 -12 -81.638,44 -13 -317.715,34 -38 -12.357,47 -0,4 -233.832,6 -15 -162.918,96 -24 99.685,52 11 -1.730.057,09 -125,4
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1997-1999. Sektor-sektor yang tergolong dalam pertumbuhan progresif karena memiliki nilai PB positif (PB>0) adalah sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Apabila nilai PB dari setiap sektor (PBij) dijumlahkan, maka akan diperoleh total nilai PB Provinsi Banten (PB.j), yaitu sebesar -125,4 persen. Walaupun ada
beberapa sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang progresif, tetapi karena terpuruknya tujuh sektor yang memiliki nilai PB yang negatif sehingga
berdampak
pada
perekonomian
Provinsi
Banten.
Akibatnya
perekonomian Provinsi Banten termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat.
5.3
Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2002
5.3.1
Analisis PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2002 Semenjak adanya kebijakan otonomi daerah, banyak daerah yang
mengalami pemekaran wilayah salah satunya adalah Provinsi Banten. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, Provinsi Banten yang dahulu merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, ikut serta mengimplikasikan kebijakan otonomi daerah, sehingga Provinsi Banten memiliki kemandirian dalam melaksanakan pemerintahan dan menentukan sendiri kemajuan pembangunan. Berdasarkan Tabel 17, sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, yaitu sebesar 29,24 persen. Pada tahun 2000 kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi terhadap PDRB Provinsi Banten sebesar Rp 1.313.634,38 meningkat menjadi Rp 1.697.693,95 pada tahun 2002. Besarnya laju pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi ini karena telah tersedinya sarana dan prasarana yang memadai pada sektor tersebut, sehingga proses pengangkutan dan komunikasi semakin lancar.
Salah satu contohnya dengan adanya perbaikan jalan yang menghubungkan antar kota maupun antar provinsi. Tabel 17. PDRB Provinsi Banten Atas Dasar Harga Konstan Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2002 2000
2002
1,570,049.08
1,771,150.67
PerubahanPDRB Provinsi Banten (2000-2002) 201,101.59
18,496.69
21,156.54
2,659.85
14,38
8,337,141.67
9,409,060.68
1,071,919.01
12,86
698,663.91
807,143.61
108,479.70
15,23
397,802.46
485,315.94
87,513.48
22
2,871,655.83
3,306,096.32
434,440.49
15,13
1,313,634.38
1,697,693.95
384,059.57
29,24
437,440.37
466,965.87
29,525.50
6,75
895,262.43 16,540,146.82
996,533.86 18,961,117.44
101,271.43 2,420,970.62
11,31 14,64
PDRB Provinsi Banten Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
Persen 12,81
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2000-2002 Tingkat pertumbuhan terbesar kedua ditempati sektor bangunan yakni sebesar 22 persen. Pada tahun 2000, meskipun kontribusi sektor bangunan tergolong kecil yakni sebesar Rp 397.802,46 meningkat menjadi Rp 485.315,94 pada tahun 2002, namun laju pertumbuhan sektor ini tergolong cepat. Besarnya peran sektor bangunan terhadap PDRB karena Provinsi Banten merupakan Provinsi baru sehingga perlu adanya sarana penunjang bagi kegiatan ekonomi yang lain. Urutan ke tiga diduduki oleh sektor listrik, gas dan air bersih, yakni 15,23 persen. Urutan selanjutnya yakni sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 15,13 persen, sektor pertambangan sebesar 14,38 persen, sektor industri pengolahan sebesar 12,86 persen. Meskipun sektor industri pengolahan laju pertumbuhannya kecil namun sektor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap
PDRB, yaitu sebesar Rp 8.337.141,67 pada tahun 2000 meningkat menjadi Rp 9.409.060,68 pada tahun 2002. Sektor pertanian sebesar 12,81 persen dan sektor jasa sebesar 11,31 persen. Sektor yang memliki tingkat pertumbuhan terendah adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yaitu sebesar 6,75 persen. Rendahnya tingkat pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan disebabkan masih rendahnya kinerja lembaga keuangan di Provinsi Banten yang masih tergolong tradisional. Secara total, rata-rata peningkatan laju pertumbuhan Provinsi Banten sebesar 14,64 persen. Beda halnya dengan laju pertumbuhan di Provinsi Jawa Barat setelah adanya pemekaran wilayah, hal ini memberi dampak terhadap pertumbuhan perekonomiannya. Secara total, rata-rata peningkatan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat sebesar 9,04 persen lebih rendah di bandingkan dengan laju pertumbuhan Provinsi Banten selama dua tahun berturut-turut semenjak adanya pemekaran wilayah. Berdasarkan sektor (Tabel 18), yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 27,43 persen, pada Provinsi Banten justru sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tingkat pertumbuhannya sangat kecil. Tingkat pertumbuhan terbesar kedua ditempati sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 19,34 persen, sektor ini pada Provinsi Banten justru memiliki laju pertumbuhan yang terbesar. Urutan ketiga yaitu sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 15,16 persen, hampir sama dengan Provinsi banten meskipun kontribusi yang diberikan sangat jauh berbeda. Urutan ke empat adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,95 persen.
Tabel 18. PDRB Provinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 – 2002 PDRB Provinsi Jawa Barat Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total
2000
2002
7.842.830,94
8.047.249,51
PerubahanPDRB Provinsi Jawa Barat (2000-2002) 204.418,57
3.487.447,40
3.126.111,01
-361.336,39
-10,36
21.833.139,25
23.631.807,21
1.798.667,96
8,24
1.800.087,97
2.072.935,99
272.848,02
15,16
1.904.918,44
2.032.147,56
127.229,12
6,68
9.139.872,32
10.415.294,86
1.275.422,54
13,95
2.708.611,99
3.232.450,14
523.838,15
19,34
2.134.666,18
2.720.136,96
585.470,78
27,43
4.717.177,60 55.568.752,09
5.316.102,11 60.594.235,35
598.924,51 5.025.483.26
12,70 9,04
Persen 2,61
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 2000-2002. Urutan selanjutnya adalah sektor jasa sebesar 12,70 persen, sektor industri pengolahan sebesar 8,24 persen. Meskipun sektor industri pengolahan tingkat pertumbuhannya hanya pada urutan ke enam namun sektor ini memberikan kontribusi terbesar pada PDRB Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 21.833.139,25 pada tahun 2000 kemudian meningkat menjadi Rp 23.631.807,21 pada tahun 2002. Sektor bangunan sebesar 6,68 persen dan sektor pertanian sebesar 2,61 persen. Sektor yang pertumbuhannya paling terendah dan tingkat pertumbuhannya negatif adalah sektor pertambangan sebesar -10,36 persen. Salah satu penyebab menurunnya pertumbuhan sektor pertambangan ini karena beberapa daerah (seperti Lebak dan Serang yang memproduksi bahan galian golongan C, seperti andesit, batu kapur, bentonit, dsb) bukan merupakan bagian dari wilayah Jawa Barat lagi sehingga hasil tambang yang dimiliki mengalami penurunan.
5.3.2
Rasio PDRB Provinsi Banten dan PDRB Provinsi Jawa Barat (Nilai Ra, Ri dan ri) Tahun 2000-2002 Nilai Ra pada masa otonomi daerah adalah sebesar 0,09, nilai tersebut
sama untuk semua sektor diseluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat. Nilai Ra yang bernilai positif (Ra>0) mengindikasikan bahwa perekonomian Provinsi Jawa Barat mengalami pertumbuhan yang positif. Tabel 19. Nilai Ra, Ri dan ri Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 No
Sektor
Ra
Ri
ri
1
Pertanian
0,09
0,03
0,13
2
Pertambangan
0,09
-0,10
0,14
3
Industri Pengolahan
0,09
0,08
0,13
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,09
0,152
0,155
5
Bangunan
0,09
0,07
0,22
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
0,09
0,14
0,15
7
Pengangkutan dan Komunikasi
0,09
0,19
0,29
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
0,09
0,27
0,07
9
Jasa-jasa
0,09
0,13
0,11
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2000-2002. Nilai Ri didasarkan pada selisih antara PDRB sektor i Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002 dengan PDRB sektor i Provinsi Jawa Barat tahun 2000 dibagi PDRB sektor i Provinsi Jawa Barat tahun 2000. Pada kurun waktu 2000-2002, sebagian sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat memberikan kontribusi yang positif terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Hanya sektor pertambangan yang memberikan sumbangan negatif. Hal ini ditandai dengan nilai Ri kurang dari nol (Ri<0), yaitu sebesar -0,10, sedangkan sektor yang memiliki nilai Ri terbesar adalah sektor keuangan, persewan dan jasa perusahaan sebesar 0,27. Artinya,
sektor kuangan, persewaan dan jasa perusahaan memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Provinsi Jawa Barat. Nilai ri diperoleh dari selisih antara PDRB sektor i Provinsi Banten pada tahun 2002 dengan PDRB sektor i Provinsi Banten pada tahun 2000 dibagi PDRB sektor i Provinsi Banten pada tahun 2000. Semua sektor-sektor perekonomian yang ada di Provinsi Banten memiliki nilai ri lebih dari nol (ri>0). Hal ini berarti bahwa semua sektor tersebut memberikan kontribusi yang positif terhadap PDRB Provinsi Banten. Sektor pengangkutan dan komunikasi yang memiliki nilai ri terbesar, yaitu sebesar 0,29, sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki nilai ri terkecil, yaitu sebesar 0,07. 5.3.3
Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 2000-2002 Berdasarkan Tabel 20, semua sektor-sektor perekonomian di Provinsi
Banten memberikan kontribusi yang positif. Ini ditandai dengan persentase nilai PR yang lebih dari nol (PR>0), yaitu sebesar 9,04 persen. Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap komponen pertumbuhan regional, yaitu sebesar Rp 750.342,75, yang berarti bahwa sektor tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebijakan ekonomi regional, sehingga apabila terjadi perubahan pada kebijakan ekonomi, maka kontribusi sektor industri industri pengolahan juga mengalami perubahan. Sektor yang memberikan sumbangan terkecil terhadap komponen pertumbuhan regional, yaitu sektor pertambangan sebesar Rp 1.664,70. Hal tersebut berarti bahwa sektor pertambangan tidak terlalu dipengaruhi oleh
perubahan kebijakan ekonomi regional, maupun hal-hal yang mempengaruhi perekonomian regional. Tabel 20. Komponen Pertumbuhan Regional Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Regional (Rp) (%) 141.304,42 9,04 1.664,70 9,04 750.342,75 9,04 62.879,75 9,04 35.802,22 9,04 258.449,02 9,04 118.227,09 9,04 39.369,63 9,04 80.573,62 9,04
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2000-2002. Persentase total perubahan PDRB sektor-sektor perekonomian Provinsi Banten pada tahun 2000-2002 sebesar 14,64 persen, sedangkan persentase komponen pertumbuhan regional sebesar 9,04 persen. Nilai persentase total perubahan PDRB sektor-sektor ekonomi di Provinsi Banten lebih besar dari pada persentase komponen pertumbuhan regional, maka tingkat pertumbuhan sektorsektor ekonomi di Provinsi Banten lebih besar dari pada tingkat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Pada komponen pertumbuhan proporsional (Tabel 21), sebagian sektorsektor perekonomian Provinsi Banten memberikan kontribusi yang negatif atau persentase nilai PP kurang dari nol (PP<0), ini berarti bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lambat. Adapun sektor-sektor tersebut adalah sektor pertanian dengan nilai PP sebesar Rp -94.202,94 (-6 %), sektor pertambangan dengan nilai PP sebesar Rp -3.514,37 (-19 %), sektor industri
pengolahan dengan nilai PP sebesar Rp -83.371,42 (-1 %), dan sektor bangunan dengan nilai PP sebesar Rp -7.956,05 (-2 %). Tabel 21. Komponen Pertumbuhan Proporsional Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Proporsional (Rp) (%) -94.202,94 -6 -3.514,37 -19 -83.371,42 -1 43.317,16 6,2 -7.956,05 -2 143.582,79 5 131.363,44 10 78.739,27 18 35.810,50 4
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2000-2002. Sektor-sektor yang memberikan kontribusi yang positif adalah sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp 43.317,16 (6,2 %), sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 143.582,79 (5 %), sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp 131.363,44 (10 %), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp 78.739,27 (18 %) dan sektor jasa-jasa sebesar Rp 35.810,50 (4 %). Karena nilai PP lebih dari nol (PP>0), maka kelima sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Berdasarkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (Tabel 22), terdapat dua sektor yang tidak mampu bersaing dengan kabupaten lain, karena persentase nilai PPW yang negatif atau kurang dari nol (PPW<0). Kedua sektor tersebut antara lain, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar Rp -87.488,07 (-20 %) dan sektor jasa-jasa sebesar Rp -17.905,25 (-2 %).
Tabel 22. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (Rp) (%) 157.004,91 10 4.439,21 24 416.857,08 5 2.095,99 0,3 59.670,37 15 28.716,56 1 131.363,44 10 -87.488,07 -20 -17.905,25 -2
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2000-2002. Tujuh sektor lainnya merupakan sektor yang mampu bersaing dengan kabupaten lain. Hal ini ditandai dengan kontribusi sektor-sektor tersebut yang bernilai positif, yaitu sektor pertanian sebesar Rp 157.004,91 (10 %), sektor pertambangan sebesar Rp 4.439,21 (24 %), sektor industri pengolahan sebesar Rp 416.857,08 (5 %), sektor listrik, gas dan air bersih sebesar Rp 2.095,99 (0,3 %), sektor bangunan sebesar Rp 59.670,37 (15 %), sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp 28.716,56 (1 %), dan sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp 131.363,44 (10 %). 5.3.4
Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten dan Pergeseran Bersih Tahun 2000-2002 Pada kurun waktu 2000-2002, sektor-sektor perekonomian yang memiliki
laju pertumbuhan yang cepat dan mampu bersaing dengan kabupaten lainnya (kuadran I) adalah sektor listrik, gas dan air bersih dengan nilai PP sebesar 6,2 persen dan PPW sebesar 0,3 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai PP sebesar 5 persen dan PPW sebesar 1 persen dan sektor pengangkutan dan komunikasi dengan nilai PP dan PPW masing-masing sebesar
10 persen. Hal ini karena sektor-sektor tersebut memiliki nilai PP dan PPW yang positif. Pada kuadran II ditempati sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa. Ini dikarenakan sektor-sektor tersebut memiliki nilai PP yang positif dan nilai PPW yang negatif. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki nilai PP sebesar 18 persen dan PPW sebesar -20 persen dan sektor jasa-jasa memiliki nilai PP sebesar 4 persen dan PPW sebesar -2 persen. Ini berarti kedua sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi tidak memiliki daya saing yang baik bila dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Pada masa otonomi daerah, Provinsi Banten tidak terdapat sektor yang memiliki laju pertumbuhan lambat dan tidak mampu bersaing dengan kabupaten lain (kuadran III), karena tidak ada sektor yang memiliki nilai PP dan PPW yang negatif. Sektor-sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang lambat tetapi memiliki daya saing yang baik adalah sektor pertanian dengan PP sebesar -6 dan PPW sebesar 10 persen, sektor pertambangan dengan PP sebesar -19 persen dan PPW sebesar 24 persen, sektor industri pengolahan dengan PP sebesar -1 persen dan PPW sebesar 5 persen dan sektor bangunan dengan PP sebesar -2 persen dan PPW sebesar 15 persen. Keempat sektor tersebut berada pada kuadran IV, karena nilai PP yang negatif dan nilai PPW yang positif.
30
Sektor Pertanian
25 Sektor Pertambangan
20 15
Sektor Industri Pengolahan
10
Sektor Bangunan
5 PP
Sektor Keuangan. Persewaan dan Jasa Perusahaan
0 -40
-20
0
20
Sektor Jasa-Jasa
-5 -10 -15
Sektor Listrik. Gas dan Air Bersih Sektor Perdagangan. Hotel dan Restoran
-20 -25
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
PPW
Gambar 6. Profil Pertumbuhan PDRB Provinsi Banten (2000-2002) Pada kurun waktu 2000-2002, berdasarkan Tabel 23, terdapat satu sektor perekonomian yang memiliki nilai pergeseran bersih yang negatif, yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki pertumbuhan yang lambat. Delapan sektor perekonomian lainnya memiliki nilai pergeseran bersih (PBij) yang positif (PB>0), yang berarti bahwa sektor-sektor tersebut termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat. Apabila nilai pergeseran bersih dari setiap sektor dijumlahkan, maka akan diperoleh total nilai PB Provinsi Banten (PB.j),
yaitu sebesar 58,5 persen, yang berarti bahwa perekonomian Provinsi Banten memliki laju pertumbuhan yang cepat. Tabel 23. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000-2002 No
Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
Pergeseran Bersih (Rp) (%) 62.801,97 4 924,84 5 333.485,66 4 45.413,15 6,5 51.714,32 13 172.299,35 6 262.726,88 20 -8.748,80 -2 17.905,25 2 938.522,62 58,5
Sumber: BPS Provinsi Banten, 2000-2002.
5.4
Perbandingan Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian dapat dilihat dari pergeseran
bersih, yaitu penjumlahan dari komponen PP dan PPW. Apabila pergeseran bersih bernilai positif, maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, dan apabila pergeseran bersih bernilai negatif maka pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Berdasarkan Tabel 24, menunjukkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah tahun 1994-1996, hanya ada satu sektor yang termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat, yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Delapan sektor lainnya, yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan
komunikasi, dan sektor jasa-jasa termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat. Tabel 24. Pergeseran Bersih Sektor-sektor Perekonomian Provinsi Banten Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah N o 1 2 3 4 5 6 7
8 9
Sektor Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
Sebelum Otonomi Daerah 1994-1996 1997-1999 (Rp) (%) (Rp) (%) -68.761 -5 132.221,28 8 -5.360 -16 -16.511,04 -42
Masa Otonomi 2000-2002 (Rp) (%) 62.801,97 4 924,84 5
-204.495
-45
-1.136.990,04
-12
333.485,66
4
-13.671
-3
-81.638,44
-13
45.413,15
6,5
-25.047
-4
-317.715,34
-38
51.714,32
13
-193.131
-8
-12.357,47
-0.4
172.299,35
6
-83.467
-7
-233.832,60
-15
262.726,88
20
17.349
4
-162.918,96
-24
-8.748,80
-2
-136.893 -713.476
-18 -102
11 -125,4
17.905,25 938.522,62
2 58,5
99.685,52 -1.730.057,09
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, 1994-2002; BPS Provinsi Banten, 2000-2002. Pada masa sebelum otonomi periode 1997-1999, ada dua sektor yang termasuk dalam pertumbuhan cepat, yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Tujuh sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan lambat, yaitu sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Tetapi pada periode tersebut secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten memiliki pertumbuhan yang lambat. Pada masa otonomi daerah tahun 2000-2002,
sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan masuk dalam kelompok pertumbuhan lambat, sedangkan delapan sektor lainnya termasuk dalam kelompok pertumbuhan cepat. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten pada masa otonomi daerah memiliki pertumbuhan yang cepat.
VI. 6.1
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian analisis laju perbandingan pertumbuhan
perekonomian di Provinsi Banten jika dibandingkan dengan Provinsi Jawa Barat sebelum dan pada masa otonomi daerah, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pada tahun 1994 sampai 1996 dan tahun 1997 sampai 1999, jumlah dan total kontribusi yang disumbangkan tiap kabupaten-kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang dulu merupakan bagian dari Jawa Barat lebih kecil dari pada Provinsi Jawa Barat dan demikian juga pada masa otonomi daerah (tahun 2000 sampai 2002). 2. a) Pada tahun 1994 sampai 1996, sektor industri pengolahan di Provinsi Banten merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat, sedangkan sektor pertanian merupakan sektor yang laju pertumbuhan paling lambat. Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik sedangkan sektor industri pengolahan merupakan sektor yang kurang mampu bersaing. b) Tahun 1997 sampai 1999, sektor yang memiliki laju pertumbuhan paling cepat adalah sektor jasa-jasa, dan sektor bangunan memiliki laju pertumbuhan paling lambat. Sektor pertanian masih merupakan sektor yang memiliki daya saing paling baik, sedangkan sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang kurang memiliki daya saing yang baik.
c) Pada tahun 2000 sampai 2002, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memiliki laju pertumbuhan yang paling cepat, dan sektor pertambangan merupakan sektor yang laju pertumbuhannya paling lambat. Sektor pertambangan merupakan sektor yang memiliki daya saing yang baik, sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tidak memiliki daya saing yang baik.
6.2
Saran
1. Pemerintah daerah diharapkan mampu dan semakin meningkatkan kinerja sektor pertanian misalnya dengan mengembangkan jenis-jenis pertanian yang lebih unggul (cepat panen dan tahan hama). Selain itu, agar produk daerah memiliki peluang pasar yang besar (meningkatkan ekspor) maka pemerintah daerah perlu mempromosikan produk-produk unggulan melalui sistem jaringan informasi. Selain itu, sektor pertanian perlu dikembangkan melalui peningkatan akses terhadap permodalan melalui kredit lewat koperasi. 2. Pemerintah daerah diharapkan dapat terus meningkatkan sektor yang pertumbuhannya cepat, seperti sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, misalnya dengan cara meningkatkan kinerja perbankan di Provinsi Banten, misalnya dengan memperbaiki manajemen perbankan itu sendiri.
Selain itu, untuk mendorong pertumbuhan sektor ekonomi perlu
adanya kebijakan perpajakan yang mendukung. Pemerintah daerah harus berhati-hati dalam mengeluarkan Perda tentang pajak daerah, sehingga pelarian modal ke daerah lain dapat dihindari, dan harus berusaha memberikan
berbagai kemudahan dan pelayanan untuk menarik investor menanamkan modal di daerahnya. 3. Untuk penelitian
selanjutnya, sangat diperlukan untuk
menganalisis
kesempatan kerja di Provinsi Banten dengan menggunakan shift share kesempatan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, H. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu. Yogyakarta. Azman, S. 2001. Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Bahari dalam Rangka Meningkatkan Keragaman Perekonomian Wilayah Kabupaten Padang Pariaman [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak. 1998. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Lebak tahun 1993-1997. BPS Kabupaten Lebak, Lebak. .
. 1999. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Lebak tahun 1995-1998. BPS Kabupaten Lebak, Lebak. . 2000. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Lebak tahun 1996-1999. BPS Kabupaten Lebak, Lebak.
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 2000. PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan Usaha tahun 1997-2000. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Padeglang. 1996. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Padeglang tahun 1993-1995. BPS Kabupaten Padeglang, Padeglang. . Usaha Kabupaten Padeglang Padeglang, Padeglang.
2000. PDRB menurut Lapangan tahun 1999-2000. BPS Kabupaten
Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang. 1998. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Serang tahun 1994-1997. BPS Kabupaten Serang, Serang.
Usaha Kabupaten Serang Serang.
Usaha Kabupaten Serang Serang.
. 2000. PDRB menurut Lapangan tahun 1998-1999. BPS Kabupaten Serang, . 2001. PDRB menurut Lapangan tahun 1998-2000. BPS Kabupaten Serang,
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tangerang. 1998. PDRB Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Tangerang Tahun 1994-1997. BPS Kabupaten Tangerang, Tangerang. . 2001. Kabupaten Tangerang Dalam Angka 2000. BPS Kabupaten Tangerang, Tangerang. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang. 1998. PDRB menurut Lapangan Usaha Kota Tangerang tahun 1993-1998. BPS Kota Tangerang, Tangerang.
Usaha Kota Tangerang Tangerang.
. 2000. PDRB menurut Lapangan tahun 1995-2000. BPS Kota Tangerang,
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 1996. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bogor tahun 1993-1995. BPS Kabupaten Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 1998. PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan Usaha tahun 1995-1998. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bandung. 1996. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bandung tahun 1993-1996. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. . 2000. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bandung tahun 1998-2000. BPS Kabupaten Bandung, Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi. 1997. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bekasi tahun 1993-1997. BPS Kabupaten Bekasi, Bekasi. . 2001. Kabupaten Angka 2001. BPS Kabupaten Bekasi, Bekasi.
Bekasi
Dalam
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. 1997. Kabupaten Cirebon Dalam Angka 1997. BPS Kabupaten Cirebon, Cirebon. . 1999. Kabupaten Cirebon Dalam Angka 1999. BPS Kabupaten Cirebon, Cirebon. . 2000. Kabupaten Cirebon Dalam Angka 2000. BPS Kabupaten Cirebon, Cirebon. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. 1997. Kabupaten Ciamis Dalam Angka 1997. BPS Kabupaten Ciamis, Ciamis.
. 1998. Kabupaten Ciamis Dalam Angka 1998. BPS Kabupaten Ciamis, Ciamis. . 2000. Kabupaten Ciamis Dalam Angka 2000. BPS Kabupaten Ciamis, Ciamis.
Usaha Kabupaten Bekasi Ciamis.
. 1996. PDRB menurut Lapangan tahun 1994-1996. BPS Kabupaten Ciamis,
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. 1997. Kabupaten Cianjur Dalam Angka 1997. BPS Kabupaten Ciajur, Cianjur. . 2000. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Cianjur tahun 1996-2000. BPS Kabupaten Cianjur, Cianjur. adan Pusat Statistik Kabupaten Garut. 1996. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Garut tahun 1993-1996. BPS Kabupaten Garut, Garut. . 2000. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Garut tahun 1996-2000. BPS Kabupaten Garut, Garut. Badan Pusat Statistik Kabupaten Indramayu. 1996. PDRB per-Kecamatan di Kabupaten Indramayu tahun 1993-1996. BPS Kabupaten Indramayu, Indramayu. .
1999. PDRB menurut Lapangan tahun 1995-1999. BPS Kabupaten
.
2000. PDRB menurut Lapangan tahun 1996-2000. BPS Kabupaten
Usaha Kabupaten Indramayu Indramayu, Indramayu.
Usaha Kabupaten Indramayu Indramayu, Indramayu.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 1997. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Karawang tahun 1993-1997. BPS Kabupaten Karawang, Karawang. . Usaha Kabupaten Karawang Karawang, Karawang.
2000. PDRB menurut Lapangan tahun 1996-2000. BPS Kabupaten
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan. 1996. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Kuningan tahun 1993-1996. BPS Kabupaten Kuningan, Kuningan. . 2003. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Kuningan tahun 1999-2003. BPS Kabupaten Kuningan, Kuningan. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 1999. PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan Usaha tahun 1996-1999. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung. Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka. 1999. Kabupaten Majalengka Dalam Angka 1999. BPS Kabupaten Majalengka, Majalengka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Purwakarta. 1999. Kabupaten Purwakarta Dalam Angka 1999. BPS Kabupaten Purwakarta, Purwakarta. . 2000. Kabupaten Purwakarta Dalam Angka 2000. BPS Kabupaten Purwakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 1998. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Sumedang tahun 1994-1998. BPS Kabupaten Sumedang, Sumedang. . 2001. PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Sumedang tahun 1997-2001. BPS Kabupaten Sumedang, Sumedang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. 1998. Kabupaten Subang Dalam Angka 1998. BPS Kabupaten Subang, Subang. . 2001. Kabupaten Subang Dalam Angka 2001. BPS Kabupaten Subang, Subang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi. 1999. Kabupaten Sukabumi Dalam Angka 1999. BPS Kabupaten Sukabumi, Sukabumi. . 2001. Kabupaten Sukabumi Dalam Angka 2001. BPS Kabupaten Sukabumi, Sukabumi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tasikmalaya. 1996. Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 1996. BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya.
. 1997. Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 1997. BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya. . 1998. Kabupaten Tasikmalaya Dalam Angka 1998. BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya. . 1999. PDRB Kabupaten Tasikmalaya tahun 1997-1999. BPS Kabupaten Tasikmalaya, Tasikmalaya.
Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 1995. PDRB Kota Sukabumi tahun 19931995. BPS Kota Sukabumi, Sukabumi. . 2001. PDRB Kota Sukabumi tahun 1998-2001. BPS Kota Sukabumi, Sukabumi. Badan Pusat Statistik Kota Cirebon. 1999. PDRB Kota Cirebon tahun 1995-1999. BPS Kota Cirebon, Cirebon. . 2000. PDRB Kota Cirebon 1996-2000. BPS Kota Cirebon, Cirebon.
tahun
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. 1998. Kota Bekasi Dalam Angka 1998. BPS Kota Bekasi, Bekasi. .
1999. Kota Bekasi Dalam Angka
.
2001. Kota Bekasi Dalam Angka
.
2002. Kota Bekasi Dalam Angka
1999. BPS Kota Bekasi, Bekasi. 2001. BPS Kota Bekasi, Bekasi. 2002. BPS Kota Bekasi, Bekasi. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 1998. PDRB Kota Bandung tahun 19931998. BPS Kota Bandung, Bandung. . 2000. Kota Bandung Dalam Angka 2000. BPS Kota Bandung, Bandung. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 1996. PDRB Kota Bogor Tahun 1993-1996. BPS Kota Bogor, Bogor.
.
1998. Kota Bogor Dalam Angka
1998. BPS Kota Bogor, Bogor. . 1999. PDRB Kota Bogor Tahun 1997-1999. BPS Kota Bogor, Bogor. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat. 2002. PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan Usaha tahun 2000-2002. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
. 2003. PDRB Kabupaten/Kota di Jawa Barat menurut Lapangan Usaha tahun 2001-2003. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung. Badan Pusat Statistik Propinsi Banten. 2002. Banten Dalam Angka 2002. BPS Propinsi Banten, Serang. .
2003. Banten Dalam Angka 2003.
BPS Propinsi Banten, Serang. Bapeda Propinsi Banten. 2005. Kebijakan Pembangunan Pemerintah Pusat dan Propinsi Banten Tahun 2006. Bapeda Propinsi Banten, Serang. Budiharsono, 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Hanafiah. 1993. Kebijaksanaan dan Perencanaan Pembangunan Wilayah (Materi Kuliah). Tidak diterbitkan. FEM IPB, Bogor. Hanafiah. 2005. Ekonomi Perencanaan Pembangunan (Materi Kuliah). Tidak diterbitkan. FEM IPB, Bogor. Irawan, dan Soeparmoko. 1999. Ekonomi Pembangunan. BPFE. Yogyakarta. Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan Wilayah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mallarangeng, dan Prasetiantono. 2000. “Otonomi Daerah Ciptakan Raja Kecil”. www.kompas.com/kompas-cetak/0002/19/daerah/otonom19.htm Putra, A. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor.
Rahardjo, M.D. 2000. ” Pembangunan Pertanian di Persimpangan Jalan”. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/08/21/0101.html. (21 Agustus 2000). Sahara. 2004. Analisis Shift-Share (Materi Kuliah). Tidak diterbitkan. FEM IPB, Bogor. Saragih, J. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Sianturi, G. 2005. “Otonomi Daerah Menyuburkan Korupsi”. http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/19/index.html. (20 Januari 2005). Soesastro, H. 2002. “Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Konteks Pemulihan Ekonomi Nasional”. http://www.pacific.net.id./pakar/hadisusastro/000425 Subagyo, H. 2003. “Pengembangan Ekonomi Rakyat di Era Otonomi Daerah”. www.ekonomirakyat.org/edisi 11/artikel 4.htm Tarigan, R. 2005. Ekonomi Regional Teori dan aplikasi. Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta. Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Bumi Aksara, Jakarta.
Lampiran 1. Contoh Penggunaan Rumus Metode Analisis Shift Share Diketahui: PDRB Propinsi Banten sektor pertanian tahun dasar (1994) sebesar Rp. 1.375.235,79 dan tahun akhir (1996) Rp. 1.720.761. PDRB Propinsi Jawa Barat sektor pertanian tahun dasar (1994) sebesar Rp. 8.202.454,84 dan tahun akhir (1996) Rp. 9.197.559,56. Total PDRB Propinsi Banten tahun 1994 sebesar Rp. 14.107.940,60 dan tahun 1996 sebesar Rp. 17.640.162 Total PDRB Propinsi Jawa Barat tahun 1994 sebesar Rp.45.601.465,69 dan tahun 1996 sebesar Rp. 59.296.968,20 Langkah-langkah analisis: 1. Berdasarkan data diatas, indikator kegiatan ekonomi yang digunakan berupa PDRB. 2. Data PDRB diatas disajikan pada tahun 1994-1996. Dengan demikian tahun dasar analisisnya (Yij) adalah tahun 1994, sedangkan tahun akhir analisisnya (Y’ij) adalah tahun 1996. 3. Perubahan indikator kegiatan ekonomi dirumuskan sebagai berikut: ∆Yij
= Y’ij – Yij
Untuk sektor pertanian di Propinsi Banten: ∆Yij = Y’ij – Yij = 1.720.761 - 1.375.235,79 = 345.525,46, dst. Persentase perubahan indikator kegiatan ekonomi: ∆ PDRB. j =
( PDRB tahun akhir − PDRB tahun dasar ) * 100% PDRB tahun dasar
Maka, untuk sektor pertanian: %∆PDRB = (345.525,46/1.375.235,79)x 100% = 25,12% 4. Rasio indikator kegiatan ekonomi adalah
Y ' ..− Y .. Y .. Ra = (59.296.968,20 - 45.601.465,69)/ 45.601.465,69 = 0,30
a. Ra =
Lampiran 1. Lanjutan
Y ' i . − Yi . b. Ri = Yi . Untuk sektor pertanian, Ri = (9.197.559,56 - 8.202.454,84)/ 8.202.454,84 = 0,12 c. ri =
Y ' ij − Yij Yij
Untuk sektor pertanian, ri = (1.720.761 - 1.375.235,79)/ 1.375.235,79 = 0,25 5. Komponen Pertumbuhan Regional (PRij) PRij = (Ra) Yij Maka, untuk sektor pertanian: PR1j = (0,30) x 1.375.235,79 = 412.571 6. Komponen Pertumbuhan Proporsional PPij = (Ri – Ra) Yij Maka, untuk sektor pertanian: PP1j = (0,12 – 0,30) x 1.375.235,79 = -247.542 Atau persentasenya: (-247.542/1.375.235,79) x 100% = -18% 7. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah PPWij = (ri – Ri) Yij Untuk sektor pertanian, PPWij = (0.25 – 0.12) x 1.375.235,79 = 178.781 Atau persentasenya: (178.781/1.375.235,79) x 100% = 13%, dst. 8. Kelompok Sektor Ekonomi Ditentukan Berdasarkan Pergeseran Bersih (PB) PB ij = PPij + PPWij Untuk sektor pertanian: PB1j = (-247.542) + 178.781 = -68.761, dst.
Lampiran 2. PDRB Propinsi Jawa Barat Berdasarkan Kabupaten/Kota Tahun 1994-1999 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 No. 1
2
3
4
KABUPATEN/KOTA
Pertaniaan
KAB.LEBAK 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.PADEGLANG 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.SERANG 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.TANGERANG 1993 1994 1995 1996 1997
2,104,830 254,431 283,679 312,424 338,994 334,651 233,426 347,225 2,865,871.55 366,148 380,120.79 512,804.38 421,900.04 409,767.72 367,136.04 407,994.58 2,205,446 276 ,248 328,995 411,293 426,963.21 405,967.66 299,381 332,846 3,041,750 408,319 351,544 464,307 504,041 478,119
Pertambangan dan Penggalian 73,691 10,369 10,729 11,925 12,943 12,473 6,716 8,536 8,872.10 938 1,442.37 1,403.96 1,504.65 1,651.25 995.11 936.76 70,089 9,501 12,401 13,435 14,799.74 15,257 2,850 1,845 56,474 7,884 8,926 8,952 9,181 9,931
Industri Pengolahan 457,571 15,737 56,983 62,368 67,950 78,491 86,063 89,979 622,622.26 27,661 72,391.12 74,174.70 89,651.68 99,102.85 126,460.19 133,180.72 18,413,139 2,915,257 2,987,432 3,095,076 3,361,100.10 3,473,434 1,303,661 1,277,179 13,036,532 603,610 1,713,344 1,859,623 2,114,485 2,276,508
Listrik, gas dan Air Bersih 43,538 25,831 1,861 1,972 2,513 3,162 3,960 4,239 64,460.67 26,200 4,121.49 4,420.95 5,264.10 6,123.83 8,328.34 10,001.96 1,208,849 152,218 178,409 206,078 232,103.13 258,149.21 78,281 103,611 1,404,332 56,016 193,982 213,263 233,064 239,523
Bangunan/ Konstruksi 487,794 62,868 70,309 72,822 98,937 107,448 38,169 37,241 377,267.34 50,470 56,748.78 58,119 63,105.61 64,265.01 42,774.79 41,784.15 1,572,858 212,380 232,484 255,128 280,512.86 294,786.50 152,395 145,172 827,785 119,654 122,339 142,490 148,959 154,464
Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,553,628 192,185 205,831 227,469 237,879 239,859 218,313 232,092 1,383,235.21 165,817 180,592.46 196,708.93 215,304.39 232,236.73 195,071.72 197,503.98 2,696,679 374,872 406,154 440,893 480,957.10 529,134.03 228,782 235,887 3,264,192 371,750 425,173 470,589 500,408 545,923
Pengangkutan dan Komunikasi 303,927 31,911 38,297 42,288 44,682 48,416 48,153 50,179.81 420,969.91 52,878 50,493.27 52,504.88 60,344.60 68,896.72 67,152.61 68,699.83 1,106,555 157,149 169,875 192,874 226,178.27 228,768.97 65,621 66,089 1,410,856 140,622 190,424 211,629 222,295 237,587
Keuangan, Persewaan dan Jasa 316,158 38,545 41,820 46,255 49,761 50,868 43,025 45,884 345,193.69 43,970 48,002.81 49,450.86 52,114.72 54,550.89 49,682.21 47,422.20 901,102 94,963 116,267 147,736 164,102.26 201,876 89,897 86,261 703,272 99,533 90,615 102,587 112,259 135,687
Jasa 918,610 117,909 122,106 127,164 131,363 141,771 137,326 140,971 978,368.91 127,050 131,695.51 136,927.84 142,363.11 148,948.56 144,010.66 147,373.23 1,513,209 201,094 206,205 218,677 232,561.19 246,194.86 203,966 204,511 1,342,287 172,195 175,848 181,126 195,428 206,473
Lampiran 2. Lanjutan 5
6
7
8
9
1998 1999 KOTA TANGERANG 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.BOGOR 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.BANDUNG 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.BEKASI 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.CIREBON 1994 1995
404,179 431,240.54 202,301 44,450 30,897 31,559 28,863 24,261 21,184 21,087 3,392,033.81 618,216.12 642,590.49 690,253.29 554,579.19 433,048.07 453,346.65 4,701,248 846,516 874,862.96 864,015.73 753,960.52 671,743.96 690,148.71 1,438,423.50 296,170.06 266,416.98 262,560.50 217,351.18 198,999.95 196,924.83 2,049,875.44 313,126.48 341,663.51
6,025.90 5,573.95 0 0 0 0 0 0 0 0 1,263,420.98 379,731.37 349,960.43 372,377.97 63,214.26 50,362.80 47,774.15 307,500 37,981 50,328.90 53,958.38 56,588.25 54,199.64 54,443.99 56,689.56 9,533.00 11,154.00 13,028.00 13,869.78 4,608.15 4,496.63 166,576.97 33,522.47 35,968.93
2,210,393.62 2,258,568.22 18,172,064 962,442 1,986,367 2,466,643 3,026,972 3,547,381 3,057,471 3,124,788 14,456,489.50 2,178,098.01 2,489,379.98 2,837,234.12 2,543,436.33 2,189,069.36 2,219,271.70 20,959,421 2,929,412 3,375,561.66 3,903,837.05 4,251,370.61 3,199,647.28 3,299,592.73 31,313,959.89 3,057,522.14 3,560,352.79 3,985,435.28 8,096,461.56 6,235,444.27 6,378,743.85 1,166,536.97 168,756.84 195,655.38
233,689.57 234,794.47 655,593 70,670 77,343 88,845 107,167 121,030 92,316 98,222 1,012,973.40 154,379.43 166,592.64 189,862.62 155,426.69 169,651.14 177,060.88 1,774,107 242,674 259,963.11 306,637.80 334,963.16 304,837.71 325,030.90 594,006.56 65,131.68 81,899.32 94,537.98 118,346.30 111,179.43 122,911.85 241,558.70 33,001.28 36,188.34
73,096.57 66,782.63 1,064,402 136,756 144,300 157,998 203,090 215,129 104,190 102,939 2,223,245.03 429,533.18 461,110.24 499,303.39 405,670.87 216,416.41 211,210.94 1,945,814 320,099 361,209.68 398,709.32 419,812.10 230,083.91 215,900.38 978,392.55 147,839.16 170,021.24 195,707.94 201,719.27 133,312.19 129,792.75 1,281,142.66 228,004.30 251,848.64
468,733.01 481,616.34 8,825,554 364,135 1,196,388 1,340,789 1,515,497 1,542,215 1,401,153 1,465,377 4,293,041.16 808,451.48 883,762.80 979,864.75 625,788.48 494,340.61 500,833.04 5,864,911 909,592 955,037.72 1,015,564.57 1,063,016.35 935,491.82 986,209.03 5,011,369.95 667,494.77 778,189.07 891,408.16 937,310.59 852,716.79 884,250.57 2,017,706.27 307,494.85 335,479.61
205,423.29 202,875.59 5,369,481 518,000 743,305 834,866 908,334 975,215 692,605 697,156 1,231,181.08 216,027.46 226,704.44 260,609.00 200,624.86 162,838.41 164,376.91 1,744,201 253,913 274,174.81 294,465.50 304,687.52 300,037.91 316,922.65 685,905.56 88,018.72 99,710.13 124,713.07 129,642.25 121,159.13 122,662.26 726,521.28 107,156.85 115,815.18
80,648.90 81,941.85 1,087,753 44,947 137,037 166,593 203,895 235,847 148,807 150,627 1,055,591.19 180,285.89 190,935.62 228,714.98 184,954.92 131,924.98 138,774.80 1,129,583 180,894 193,010.64 203,572.72 217,579.48 171,955.50 162,570.59 1,069,031.73 165,477.36 174,265.59 210,232.15 253,605.56 132,638.61 132,812.46 693,688.22 108,737.99 115,578.56
205,147.15 206,070.28 1,023,510 117,020 124,663 137,926 150,371 162,845 162,452 168,233 2,052,094.50 363,623.91 377,146.40 407,218.84 304,945.15 298,602.94 300,557.26 2,794,704 434,703 453,536.53 472,381.64 481,738.93 472,797.32 479,546.22 1,274,417.90 182,800.02 205,811.92 214,610.40 220,848.28 222,692.79 227,654.49 1,388,110.21 226,256.15 220,631.89
Lampiran 2. Lanjutan
10
11
12
13
14
1996 1997 1998 1999 KAB.CIAMIS 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.CIANJUR 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.GARUT 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.INDRAMAYU 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.KRAWANG 1994
357,730.08 353,709.41 325,808.53 357,837.43 5,579,106.29 594,783.98 655,141.06 890,151.85 1,012,385.60 1,747,247.45 679,396 4,788,365.43 729,505.05 768,536.77 799,533.67 815,421.87 826,413.46 848,954.61 4,453,543.85 743,520.62 762,806.03 761,873.73 765,946.54 689,464.09 729,932.84 4,113,406 643,979 691,435.85 741,055.39 729,250.35 625,612.04 682,073.04 2,626,385 450,617
38,507.00 40,432.34 9,341.23 8,805.00 75,336.13 9,962.04 10,405.35 13,583.53 14,384.30 17,175.20 9,825.71 14,224.24 2,037.24 2,322.22 2,492.15 2,638.21 2,363.67 2,370.75 44,920.87 8,078.40 8,572.79 9,166.88 9,633.47 4,822.37 4,646.96 16,034,355 2,814,473 2,688,404.81 3,230,936.91 2,742,156.26 2,571,772.41 1,986,611.20 66,555 9,939
218,566.63 236,129.14 172,558.35 174,870.63 1,160,762.94 124,466.90 133,913.93 178,993.62 210,438.14 356,921.93 156,028.42 451,989.67 64,016.98 75,301.61 86,897.53 94,230.52 68,074.36 63,468.67 914,861.37 106,857.04 127,253.97 158,668.61 172,664.73 173,995.13 175,421.89 3,894,593 102,149 124,329.78 835,997.95 924,415.40 971,575.50 936,125.28 5,203,911 739,847
39,061.98 42,240.80 43,524.45 47,541.85 133,261.17 11,738.33 13,324.99 23,901.62 29,558.96 32,842.44 21,894.83 61,450.10 7,072.44 8,080.75 9,443.44 11,540.33 12,249.74 13,063.40 86,852.38 11,287.83 12,792.75 14,621.76 15,981.89 15,614.39 16,553.76 121,871 12,688 17,884.00 20,971.66 22,549.57 22,458.86 25,318.90 431,244 55,511
269,320.15 275,488.11 131,001.62 125,479.84 1,459,783.51 197,269.03 207,349.11 290,594.57 333,951.28 299,535.80 131,083.72 543,506.92 89,095.66 97,396.21 106,847.29 105,809.94 71,703.80 72,654.02 725,022.77 123,442.53 132,848.85 143,702.60 141,347.58 93,877.11 89,804.10 240,573 42,319 40,916.81 42,250.19 44,097.00 35,774.00 35,215.93 558,046 92,733
367,187.99 380,831.85 310,220.86 316,491.11 3,612,428.89 381,826.29 415,630.00 573,015.67 685,543.50 1,126,158.06 430,255.37 2,888,528.43 431,407.28 461,380.62 504,887.30 529,924.82 475,296.29 485,632.12 3,537,031.65 515,888.80 576,656.19 645,360.16 671,217.72 560,435.19 567,473.59 2,356,101 353,660 378,538.97 406,681.18 420,504.56 390,354.25 406,361.72 3,908,923 602,725
124,957.42 135,411.41 118,708.57 124,471.85 1,193,618.89 142,995.76 153,974.73 195,690.72 219,725.23 312,174.97 169,057.48 787,241.56 112,300.34 121,837.88 136,198.03 145,899.71 123,806.77 147,198.83 454,978.52 65,670.94 71,353.72 78,738.59 84,249.63 77,111.89 77,853.75 665,177 95,579 104,733.50 111,094.69 119,777.54 114,888.35 119,104.17 939,984 138,884
124,438.73 130,133.55 106,408.15 108,391.24 737,649.91 81,242.82 85,588.03 116,758.29 133,600.10 221,850.94 98,609.73 583,362.10 91,716.56 97,255.95 104,890.51 111,742.57 87,968.71 89,787.80 534,693.57 93,341.05 101,266.41 110,285.26 119,807.13 99,736.27 10,257.45 355,918 55,610 60,641.05 64,492.00 67,268.27 52,781.39 55,125.32 404,813 65,059
232,660.46 237,772.32 234,040.53 236,748.86 1,961,582.75 239,904.10 304,487.11 304,487.11 335,735.32 499,697.29 277,271.82 1,431,549.99 218,367.05 230,588.06 241,804.71 248,878.16 242,899.66 249,012.35 1,895,696.94 291,942.31 304,244.79 318,178.96 327,549.41 324,603.21 329,178.26 1,271,663 200,855 204,573.31 209,758.87 216,826.86 216,817.70 222,831.34 1,340,009 212,550
Lampiran 2. Lanjutan
15
16
17
18
19
1995 1996 1997 1998 1999 KAB.KUNINGAN 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.MAJALENGKA 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.PURWAKARTA 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.SUMEDANG 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.SUBANG
460,726 449,945 447,819 392,425 424,853 1,896,816 305,588 309,605 313,484 308,743 308,539.40 350,856.79 1,865,454.50 261,111.40 285,481.60 315,385.00 324,269.19 325,488.61 353,718.70 1,212,298.12 195,557.98 219,196.26 236,356.46 209,745.60 174,994.21 176,447.61 1,910,740.23 317,203.10 331,531.30 339,344.20 325,987.70 294,319.89 302,354.04 3,969,661
10,918 11,989 12,757 10,364 10,588 4644.34 599 728 841 939.94 891.43 644.97 211,578.00 38,166.48 39,755.72 40,934.00 42,600 30,578.27 19,543.53 36,433.58 5,774.75 6,157.19 6,581.34 6,958.21 5,426.24 5,535.85 15,025.92 2,983.50 3,042.90 3,166.80 3,224.80 1,305.50 1,302.42 11,048
842,928 983,577 1,033,533 792,481 811,545 129,411 18,618 20,765 23,315 25,096.27 21,838.19 19,778.95 891,110.45 131,684.50 147,154.90 163,093.00 173,664 137,330.04 138,184.01 1,055,096.23 154,529.43 166,541.66 183,961.92 202,321.14 172,431.24 175,310.84 977,774.16 134,204.60 150,983.80 174,044.40 193,214.20 161,862.36 163,464.80 670,171
62,731 71,845 81,173 78,913 81,071 46,878 5,793 6,705 7,584 8,023.69 7,816.38 10,955.91 28,097.59 4,288.28 4,473.85 4,769.00 4,900 4,656.22 5,010.24 318,915.92 40,171.74 44,929.18 52,023.78 61,108.42 57,102.61 63,580.19 74,651.89 9,978.30 11,058.70 12,591.40 13,680.30 13,500.66 13,842.53 54,043
99,437 107,556 114,461 71,000 72,859 335,058 42,393 50,871 60,394 66,095.19 58,438.61 56,866.21 383,008.39 61,020.57 64,300.38 67,323.00 70,680 60,434.44 59,250 242,380.76 37,506.19 40,722.31 44,510.13 45,112.25 36,919.74 37,610.14 274,906.44 50,402.00 52,244.90 55,402.70 55,682.30 30,917.54 30,257 472,440
644,991 694,761 734,396 581,051 650,999 1,412,600 212,815 225,181 238,830 255,432.09 237,433.71 242,907.90 1,203,850.90 173,976.27 190,099.71 208,955.00 229,514 195,835.97 205,469.95 1,632,521.46 254,244.87 266,382.70 281,669.95 293,691.72 266,265.43 270,266.79 1,634,343.06 245,736.30 261,701.10 283,060.00 298,309.20 269,216.92 276,319.54 2,739,509
148,989 160,609 165,131 162,482 163,889 270,908 40,188 42,911 46,951 49,569.43 46,337.11 44,951.33 363,602.50 54,276.73 57,040.07 59,602.00 61,755.67 63,204.96 67,723.07 177,359.70 25,671.03 27,904.13 30,548.08 33,057.82 30,104.79 30,073.85 256,307.16 31,736.60 38,393.00 45,034.80 46,916.30 46,098.51 48,127.95 249,839
76,950 96,170 110,495 27,675 28,464 177,114 26,434 30,711 33,299 36,344.90 23,856.31 26,468.66 341,664.43 56,249.39 59,652.87 63,066 64,738.77 48,766.83 49,190.57 250,737.75 35,457.46 39,843.42 44,913.86 47,453.27 41,048.07 42,021.67 291,145.70 40,957.70 47,032.80 52,591.10 54,543.60 46,995.30 49,025.20 215,078
217,063 221,985 225,098 229,563 233,750 967,917 135,535 150,730 172,642 177,771.71 170,321.11 160,916.76 1,001,352.23 147,772.75 157,685.65 168,700 175,485 174,020.87 177,687.96 509,643.39 97,955.15 98,978.10 100,194.43 101,805.35 99,900.97 10,809.39 742,348.73 115,314.80 118,453.30 125,452.10 130,569.20 125,556.34 127,002.99 1,163,309
Lampiran 2. Lanjutan
20
21
22
23
1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.SUKABUMI 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KAB.TASIKMALAYA 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KOTA SUKABUMI 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KOTA CIREBON 1994 1995 1996 1997 1998 1999
602,717 639,748 677,066 683,588 674,626 691,916 4,515,996.32 734,935.43 772,027.13 811,060.44 769,857.50 699,366.89 728,748.93 3,114,281.90 513,875.40 550,520.26 574,019.12 570,795.17 451,171.02 453,900.93 158,039.05 5,237.67 34,424.94 41,755.04 43,955.74 19,336.27 13,329.39 33,915 6,562 6,820 6,567 5,507 4,079.75 4,378.81
1,727 1,592 2,194 2,449 1,622 1,464 682,720.45 91,697.89 104,832.72 130,760.56 159,779.25 103,549.53 92,100.50 23,554.87 5,935.62 3,530.94 3,964.10 4,118.03 2,962.98 3,043.20 96504.12 0 45,706.72 50,544.40 125.64 49.15 78.21 0 0 0 0 0 0 0
115,384 121,446 127,895 127,382 90,775 87,289 1,069,323.96 126,325.47 153,851.79 188,673.82 216,439.14 195,622.82 188,410.92 948,957.75 152,872.74 159,449.10 169,678.78 165,632.68 149,170.52 152,153.93 115,125.81 17,322.99 19,866.83 21,952.85 24,078 16,967.21 14,937.93 2,170,327.49 314,896.40 341,140.84 366,228.25 391,232.06 372,557.44 384,272.50
5,151 6,559 9,102 9,881 10,977 12,373 99,558.78 13,811.72 15,377.79 17,150.25 18,074.32 17,381.04 17,763.66 57,081.72 8,932.03 8,884.09 9,139.53 10,161.59 9,394.97 10,569.51 32,360.85 3,207.78 6,335.45 5,660.84 5,336.27 5,508.08 6,312.43 148,209 19,853 22,024 25,226 29,946 24,585.38 26,574.22
75,712 83,490 93,166 97,307 62,201 60,564 236,193.23 39,661.18 44,256.23 46,504.45 48,020.50 28,846.65 28,904.22 1,382,503.09 218,549.80 255,273.76 275,043.34 279,168.99 174,442.52 180,024.68 178,799.27 23,053.51 32,443.19 34,746.66 34,131.64 26,604.23 27,820.04 451,700 79,636 85,288 90,763 93,486 51,738.48 50,788.78
402,056 432,075 465,825 490,561 466,737 482,255 2,377,223.48 362,783.74 388,125.70 416,452.81 435,745.69 382,951.95 391,163.59 2,811,715.51 402,993.55 432,738.86 476,876.53 508,159.65 491,304.24 499,642.68 1,148,314.90 142,899.23 170,065.54 185,179.12 231,537.20 205,097.27 213,536.54 2,127,787 290,300 321,043 355,084 375,544 390,557.13 395,258.87
29,459 34,426 42,678 45,672 48,359 49,245 732,848.82 97,685.58 111,543.01 123,895.57 141,122.36 127,550.83 131,051.47 780,155.82 100,060.27 114,558.66 130,044.52 145,401.28 144,824.73 145,266.36 354,931.29 50,005.47 56,325.17 58,804.73 62,812.12 62,219.77 64,764.03 1,122,869 161,018 174,257 188,736 195,135 196,250.41 207,472.16
31,482 33,429 36,009 39,570 24,433 50,155 599,962.92 91,494.27 95,914.46 103,013.22 107,140.87 100,399.01 102,001.09 665,453.03 121,246.43 122,182.63 137,930.27 151,630.86 127.126.24 132,462.84 247,913.43 34,725.15 43,664.74 43,628.35 56,274.49 32,826.95 36,793.75 407,044 56,992 61,285 65,216 85,526 71,420.02 66,605.32
189,898 199,877 213,794 226,07 219,162 340,578 1,804,968.85 277,186.83 289,330.14 299,475.33 309,158.80 310,981.93 318,835.82 1,600,404.57 290,021.05 302,571.95 319,651.64 337,143.12 348.338.57 351,016.81 429,358.71 54,547.21 71,115.39 73,238.81 76,462.95 74,397.48 79,596.87 614,193 97,459 100,498 103,969 105,212 101,706.32 105,348.69
Lampiran 2. Lanjutan 24
25
26
KOTA BEKASI 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KOTA BANDUNG 1994 1995 1996 1997 1998 1999 KOTA BOGOR 1994 1995 1996 1997 1998 1999
149,141 0 0 38,382 37,715 34,538 38,506 126,622.18 21,701.55 21,747.91 21,844.06 19,594.79 21,045.51 20,688.36 24,806 1,531 4,900 5,177 4,648.21 4,160.57 4,388.84
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6,817,457 0 0 1,695,943 1,957,432 1,573,624 1,590,458 8,899,414.19 1,255,157.75 1,443,217.35 1,608,366.19 1,722,125.75 1,413,088.15 1,457,459 1,199,231 99,754 171,452 225,757.44 239,770.69 231,353.02 231,144
295,591 0 0 60,802 77,381 75,339 82,069 931,401.17 132,981.15 145,010.47 157,312.27 167,295.81 161,081.14 167,720.33 280,798.28 29,501 57,450 45,789.56 49,787.13 49,578.01 48,692.58
585,517 0 0 165,746 156,729 130,141 132,901 2,285,660.10 337,665.43 408,517.40 465,536.57 469,050.33 303,900.87 300,989.50 654,598 77,257 123,663 132,838.56 134,356 91,629.61 94,854
3,225,892 0 0 748,870 982,727 730,022 764,273 11,410,777.19 1,730,543.76 1,890,695.25 2,074,694.39 2,149,255.61 1,757,689.55 1,807,898.63 1,328,341 101,280 232,049 244,452.19 257,305.36 242,776.63 250,478.07
1,001,729 0 0 245,753 284,817 232,949 238,210 2,866,432.16 388,449.10 442,356.86 498,818.85 496,363.10 514,444.79 525,999.46 691,411 91,147 112,967 123,987.76 132,753.78 112,862.52 117,693
400,957 0 0 117,227 144,025 67,555 72,150 3,568,496.00 610,038.10 694,033.68 725,687.59 793,874.52 361,334.41 383,527.70 907,719 117,246 164,467 190,969.76 200,360.95 115,387.37 119,287.91
816,168 0 0 160,120 216,968 216,469 222,611 4,516,271.29 712,373.23 727,907.53 758,888.26 775,666.69 762,367.72 779,067.86 441,369 52,485 73,082 79,337.38 79,533.55 77,835.52 79,095.35
Lampiran 3. PDRB Propinsi Banten Tahun 1994-2002 Atas Dasar Harga Honstan Tahun 1993 No
LAPANGAN USAHA
Sebelum Otonomi Daerah
Masa Otonomi Daerah
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
1,073,348
1,375,235.79
1,732,387
1,720,761
1,652,766
1,325,306
1,540,393
1,570,049.08
1,738,252.72
1,771,150.67
1
Pertaniaan
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, gas dan Air Bersih
330,935
455,716
514,579
580,111
627,988
416,575
450,868
698,663.91
758,033.52
807,143.61
5
Bangunan/Konstruksi
582,128
626,181
686,557
794,604
836,093
410,625
393,919
397,802.46
460,243.61
485,315.94
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
1,468,759
2,414,138
2,676,449
2,950,045
3,089,368
2,512,053
2,612,476
2,871,655.83
3,117,171.76
3,306,096.32
7
Pengangkutan dan Komunikasi
900,560
1,192,394
1,334,162
1,461,834
1,558,884
1,078,955
1,085,000.23
1,313,634.38
1,573,114.07
1,697,693.95
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa
321,958
433,742
512,622
582,132
678,829
412,060
412,136
437,440.37
415,115.18
466,965.87
9
Jasa-jasa
735,268
760,518
801,821
852,086
906,232
852,902
867,159
895,262.43
936,494.81
996,533.86
9,966,355
14,107,940.60
15,852,178
17,640,162
18,864,389
13,809,112
14,262,538
16,540,146.82
18,002,034.86
18,961,117.44
PDRB
28,692
33,498
35,716
38,428
39,312
16,587
16,892
18,496.69
20,672.57
21,156.54
4,524,707
6,816,517
7,557,885
8,660,159
9,474,917
6,784,049
6,883,695
8,337,141.67
8,982,936.62
9,409,060.68
Lampiran 4. PDRB Propinsi Jawa Barat Tahun 1994-2000 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 No
LAPANGAN USAHA
Sebelum Otonomi Daerah
Masa Otonomi Daerah
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
8,202,454.84
8,420,985.79
9,197,559.56
8,954,830.60
8,922,428.67
8,202,701.86
7,842,830.94
8,468,324.88
8,047,249.51
1
Pertaniaan
2
Pertambangan dan Penggalian
3,452,141.76
3,373,381.62
3,985,026.02
3,175,868.74
2,871,394.57
2,253,275.07
3,487,447.40
3,273,481.35
3,126,111.01
3
Industri Pengolahan
11,991,875.79
13,820,546.37
18,138,117.44
23,001,067.36
18,696,387.17
18,817,932.05
21,833,139.25
22,908,171.07
23,631,807.21
4
Listrik, gas dan Air Bersih
867,152.99
988,264.43
1,178,034.49
1,267,356.23
1,228,191.65
1,295,910.97
1,800,087.97
1,919,107.66
2,072,935.99
5
Bangunan/Konstruksi
2,713,191.54
3,063,207.95
3,585,965.86
3,592,176.35
2,338,919.53
2,144,830.25
1,904,918.44
1,875,250.26
2,032,147.56
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
9,298,169.19
10,239,822.84
12,058,679.77
12,556,316.39
11,361,952.67
11,027,976.11
9,139,872.32
9,596,984.98
10,415,294.86
7
Pengangkutan dan Komunikasi
2,290,242.85
2,529,975.29
3,081,930.33
3,067,771.23
3,118,414.42
3,076,114.58
2,708,611.99
2,894,892.94
3,232,450.14
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa
2,244,687.17
2,487,708.45
2,873,105.79
3,110,669.81
1,966,961.82
1,954,483.10
2,134,666.18
2,471,575.94
2,720,136.96
9
Jasa
4,541,549.56
4,808,312.07
5,198,548.94
5,085,168.80
5,074,433.70
5,309,118.10
4,717,177.60
4,904,008.80
5,316,102.11
PDRB
45,601,465.69
49,732,204.81
59,296,968.20
63,811,225.51
55,579,084.20
54,082,342.09
55,568,752.09
58,311,797.88
60,594,235.35
Lampiran 5. PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah tahun 1994 dan 1996 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
LAPANGAN USAHA Pertaniaan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, gas dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Jasa Total
PDRB Propinsi Banten 1994 1996 1,375,235.79 33,498 6,816,517 455,716 626,181 2,414,138 1,192,394 433,742 760,518 14,107,940.60
1,720,761 38,428 8,660,159 580,111 794,604 2,950,045 1,461,834 582,132 852,086 17,640,162
Perubahan PDRB Propinsi Banten (1994-1996) 345,525.46 4,930 1,843,642 124,395 168,424 535,907 269,440 148,390 91,569 3,532,221.16000001
PDRB Propinsi Jawa Barat 1994 1996 8,202,454.84 3,452,141.76 11,991,875.79 867,152.99 2,713,191.54 9,298,169.19 2,290,242.85 2,244,687.17 4,541,549.56 45,601,465.69
9,197,559.56 3,985,026.02 18,138,117.44 1,178,034.49 3,585,965.86 12,058,679.77 3,081,930.33 2,873,105.79 5,198,548.94 59,296,968.20
Ra 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30 0.30
Ri
ri
0.12 0.15 0.51 0.36 0.32 0.29 0.35 0.28 0.14
0.25 0.14 0.27 0.27 0.26 0.22 0.23 0.34 0.12
Lampiran 6. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1994-1996
No
Lapangan Usaha
Perubahan PDRB Propinsi Banten (%)
Pertumbuhan Regional
Pertumbuhan Proporsional
Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Pergeseran Bersih
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
1
Pertaniaan
25.12
412,571
30.03
-247,542
-18
178,781
13
-68,761
-5
2
Pertambangan dan Penggalian
14.72
10,049
30.03
-5,025
-15
-335
-1
-5,360
-16
3
Industri Pengolahan
25.05
2,044,955
30.03
1,431,469
21
-1,635,964
-24
-204,495
-3
4
Listrik, gas dan Air Bersih
27.3
136,715
30.03
27,343
6
-41,014
-9
-13,671
-3
5
Bangunan/Konstruksi
26.9
187,854
30.03
12,524
2
-37,571
-6
-25,047
-4
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
22.2
724,241
30.03
-24,141
-1
-168,990
-7
-193,131
-8
7
Pengangkutan dan Komunikasi
22.6
357,718
30.03
59,620
5
-143,087
-12
-83,467
-7
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa
34.21
130,123
30.03
-8,675
-2
26,024
6
17,349
4
9
Jasa
12.04
228,155
30.03
-121,683
-16
-15,210
-2
-136,893
-18
Total
25.04
-713,476
-60
1,123,890
-18
-1,837,366
-42
Lampiran 7. PDRB Propinsi Banten dan Propinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997 dan 1999 PDRB Propinsi Banten
No 1
Lapangan Usaha Pertanian
2
Pertambangan
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
PDRB Propinsi Jawa Barat
1997
1999
1,652,766
1,540,393
1997
1999
8,954,830.60
8,202,701.86
Perubahan PDRB Propinsi Banten (1997-1999) -112,373
Ra
Ri
ri
-0.15
-0.08
-0.07
39,312
16,892
3,175,868.74
2,253,275.07
-22,421
-0.15
-0.29
-0.57
9,474,917
6,883,695
23,001,067.36
18,817,932.05
-2,591,222
-0.15
-0.18
-0.27
627,988
450,868
1,267,356.23
1,295,910.97
-177,120
-0.15
0.02
-0.28
5
Bangunan
836,093
393,919
3,592,176.35
2,144,830.25
-442,174
-0.15
-0.4
-0.53
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
3,089,368
2,612,476
12,556,316.39
11,027,976.11
-476,891
-0.15
-0.12
-0.154
7
Pengangkutan dan Komunikasi
1,558,884
1,085,000.23
3,067,771.23
3,076,114.58
-473,883.46
-0.15
0.003
-0.3
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
678,829
412,136
3,110,669.81
1,954,483.10
-266,693
-0.15
-0.37
-0.39
9
Jasa-jasa
906,232
867,159
5,085,168.80
5,309,118.10
-39,074
-0.15
0.04
-0.04
18,864,389
14,262,538
63,811,225.51
54,082,342.09
-4,601,851
Total
Lampiran 8. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 1997-1999
No
Sektor
Perubahan PDRB Propinsi Banten
Pertumbuhan Regional
Pertumbuhan Proporsional
Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Pertumbuhan Bersih
(%)
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
(Rp)
(%)
-6.8
-247,915
-15.25
115,693.62
7
16,527.66
1
132,221.28
8
Pertambangan
-57.03
-5,897
-15.25
-5,503.68
-14
-11,007.36
-28
-16,511.04
-42
3
Industri Pengolahan
-27.35
-1,421,238
-15.25
-284,247.51
-3
-852,742.53
-9
-1,136,990.04
-12
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
-28.2
-94,198
-15.25
106,757.96
17
-188,396.40
-30
-81,638.44
-13
5
Bangunan
-52.9
-125,414
-15.25
-209,023.25
-25
-108,692.09
-13
-317,715.34
-38
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
-15.44
-463,405
-15.25
92,681.04
3
-105,038.51
-3.4
-12,357.47
-0.4
7
Pengangkutan dan Komunikasi
-30.4
-233,833
-15.25
238,509.25
15.3
-472,341.85
-30.3
-233,832.60
-15
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
-39.29
-101,824
-15.25
-149,342.38
-22
-13,576.58
-2
-162,918.96
-24
9
Jasa-jasa
-4.31
-135,935
-15.25
172,184.08
19
-72,498.56
-8
99,685.52
11
-1,730,057.09
-125.4
1
Pertanian
2
Total
-24.39
Lampiran 9. PDRB Propinsi Banten dan PDRB Propinsi Jawa Barat Pada Masa Otonomi Daerah Tahun 2000 dan 2002 No
Sektor
PDRB Propinsi Banten
PDRB Propinsi Jawa Barat
Perubahan PDRB Propinsi Banten (2000-2002) P
Ra
Ri
ri
2000 1,570,049.08
2002 1,771,150.67
2000 7,842,830.94
2002 8,047,249.51
201,101.59
0.09
0.03
0.13
18,496.69
21,156.54
3,487,447.40
3,126,111.01
2,659.85
0.09
-0.1
0.14
8,337,141.67
9,409,060.68
21,833,139.25
23,631,807.21
1
Pertanian
2
Pertambangan
3
Industri Pengolahan
1,071,919.01
0.09
0.08
0.13
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
698,663.91
807,143.61
1,800,087.97
2,072,935.99
108,479.70
0.09
0.152
0.155
5
Bangunan
397,802.46
485,315.94
1,904,918.44
2,032,147.56
87,513.48
0.09
0.07
0.22
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
2,871,655.83
3,306,096.32
9,139,872.32
10,415,294.86
434,440.49
0.09
0.14
0.15
7
Pengangkutan dan Komunikasi
1,313,634.38
1,697,693.95
2,708,611.99
3,232,450.14
384,059.57
0.09
0.19
0.29
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
437,440.37
466,965.87
2,134,666.18
2,720,136.96
29,525.50
0.09
0.27
0.07
9
Jasa-jasa
895,262.43
996,533.86
4,717,177.60
5,316,102.11
101,271.43
0.09
0.13
0.11
16,540,146.82
18,961,117.44
55,568,752.09
60,594,235.35
2,420,970.62
Total
Lampiran 10. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Tahun 2000-2002 No
Sektor
1
Pertanian
2
Pertambangan
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
Perubahan PDRB Propinsi Banten (%) 12.81
(Rp) 141,304.42
(%) 9.04
Pertumbuhan Proporsional (Rp) (%) -94,202.94 -6
14.38
1,664.70
9.04
-3,514.37
12.86
750,342.75
9.04
15.23
62,879.75
9.04
Pertumbuhan Regional
Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Pergeseran Bersih
(Rp) 157,004.91
(%) 10
(Rp) 62,801.97
(%) 4
-19
4,439.21
24
924.84
5
-83,371.42
-1
416,857.08
5
333,485.66
4
43,317.16
6.2
2,095.99
0.3
45,413.15
6.5
-2
59,670.37
15
51,714.32
13
5
Bangunan
22
35,802.22
9.04
-7,956.05
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
15.13
258,449.02
9.04
143,582.79
5
28,716.56
1
172,299.35
6
7
Pengangkutan dan Komunikasi
29.24
118,227.09
9.04
131,363.44
10
131,363.44
10
262,726.88
20
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
6.75
39,369.63
9.04
78,739.27
18
-87,488.07
-20
-8,748.80
-2
9
Jasa-jasa
11.31
80,573.62
9.04
Total
14.64
35,810.50
4
-17,905.25
-2
17,905.25
2
243,768.38
15.2
694,754.24
43.3
938,522.62
58.5