Trikonomika
Volume 9, No. 2, Desember 2010, Hal. 72–77 ISSN 1411-514X
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat Jawa Tengah Pramono Hariadi Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Jl. Prof. H. R Bunyamin 708 Purwokerto 53122, Jawa Tengah E-Mail:
[email protected]
ABSTRACT This study aims to determine the relationship of community welfare after implementation of regional autonomy. The study which located in Central Java Province is use secondary data analysis. Data Collection Method was Library Study and data compilation that come from: BPS, Dipenda, BAPPEDA and other data sources related. Hypothesis tested by Structural Equation Modelling (SEM). The results showed that the implementation of regional autonomy in Central Java has a positive impact on the welfare of the community with markers Human Development Index (HDI), literacy rates, income per capita and public health. Mean that regional autonomy has reached the goal, but improvements still needed in order to achieve a better degree of autonomy. Keywords: welfare, regional autonomy, Human Development Index, literacy rates, income per capita, public health. perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan peluang bagi pemerintah daerah di Indonesia untuk melaksanakan serta membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masingmasing. Selama pelaksanaannya telah banyak yang sudah dicapai namun masih banyak pula yang belum terpenuhi sesuai dengan tujuan pembangunan yaitu membangun masyarakat yang adil dan makmur. Salah satu bagian dari kebijakan otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktifitas perekonomian masyarakat. Kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan
PENDAHULUAN
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang di amandemen dengan Undang-Undang No. 32 dan No. 33 Tahun 2004, merupakan tahap peralihan dari kebijakan sentralisasi ke desentralisasi disegala bidang bernegara di Indonesia. �������� Otonomi Daerah dilaksanakan di seluruh kota dan kabupaten yang jumlahnya mencapai 336 pada awalnya, dan terus bertambah sampai saat ini. Kebijakan ini sudah berjalan selama lebih kurang sepuluh tahun. Dengan dilaksanakannya otonomi daerah hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali lima bidang, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal nasional, dan agama (Brahmantio Isdijoso dan Tri Wibowo, 2002). Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yaitu: (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana 72
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom (Elmi, 2002). Dampak ekonomi yang diharapkan oleh masyarakat didaerah dengan meningkatnya aliran dana dari pusat ke daerah yaitu meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi daerah yang diasosiasikan dengan bertambahnya lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan penduduk daerah. Daerah berpendapat bahwa bila mereka diberikan kewenangan untuk mengatur sendiri keuangan mereka, maka pertumbuhan ekonomi didaerah akan lebih tinggi dibanding dengan pengelolaan keuangan daerah dengan cara yang terpusat (sentralisasi), karena sumber daya mereka lebih besar. Kondisi daerah yang selama ini terbiasa ber gantung pada pusat, kurang memiliki kemampuan alokatif yang memadai. Dengan kata lain, ke tidakmampuan daerah untuk mengalokasikan dana secara efisien, akan menjadi salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah. Ada fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa bila hanya ditinjau dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedikit sekali kabupaten atau kota yang mampu membiayai sendiri keuangan daerahnya. Oleh karena itu, mereka sangat mengharapkan dana perimbangan yang besarnya antar lain tergantung dari bagi hasil pajak dan kekayaan alam. Oleh karena itu, untuk masa-masa awal desentralisasi, peranan pusat untuk menjaga keseimbangan horizontal melalui Dana Alokasi Umum (DAU) diperkirakan akan tetap besar. Perekonomian daerah akan meningkat apabila kinerja ekonomi daerah meningkat, dan dapat dipastikan hal tersebut tidak lepas dari peran modal manusia yang merupakan salah satu faktor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah otonomi, sehingga perkonomian daerah meningkat dan kesejahteraan penduduk di daerah otonomi pun meningkat. Kesejahteraan penduduk suatu daerah juga dapat mencerminkan tingkat kualitas modal manusia pada daerah tersebut dan hal tersebut dapat berlaku sebaliknya. Dari uraian tersebut tergambar bahwa kebijakan otonomi daerah akan meningkatkan aliran dana dari pusat ke daerah dan meningkatkan pendapatan daerah dan diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja pembangunan daerah. Secara logika dengan meningkatnya pendapatan daerah akan semakin meningkat pula kesejahteraan penduduk di daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memunculkan pertanyaan apakah kebijakan otonomi daerah yang berdampak pada desentralisasi fiskal akan meningkatkan pendapatan daerah (PDRB) khususnya dan kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya ?
METODE Penelitian ini dilakukan�������������������������� di Propinsi Jawa Tengah�� dengan menggunakan metode analisis data sekunder dan sebagai������������������������������������ objek penelitian adalah masyarakat Propinsi Jawa Tengah. Data dik���������������� umpulkan dengan metode �������������������������������������������� studi pustaka dan kompilasi data. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari BPS, Dipenda, Bapedda dan sumber data lain yang terkait. Pengujian������������������������������������� hipotesis dalam penelitian ini akan menggunakan analisis regresi berbasis Structural Equation Modelling (SEM). Model struktural dalam PLS dievaluasi dengan menggunakan R2 untuk konstruk dependen, nilai koefisien path (β) dan t–values tiap path untuk uji signifikansi antar konstruk dalam model struktural. Selain menggunakan nilai t, parameter signifikansi dapat diukur dengan menggunakan nilai p. Nilai p diperoleh dengan menggunakan fungsi TDIST pada program MS-Excel.
HASIL Validitas konstruk dapat dinilai dengan meng gunakan validitas konvergen (convergent validity) dan validitas diskriminan (discriminant validity). Validitas konvergen dari model pengukuran dengan menggunakan indikator reflektif dinilai berdasarkan loading factor indikator-indikator yang mengukur konstruk tersebut. Dalam penelitian ini hanya ada satu konstruk yang akan diuji validitasnya yaitu konstruk Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hal ini mengingat konstruk lainnya merupakan konstruk yang hanya dibangun dari satu observed variabel sehingga tidak diperlukan pengujian validitas. Konstruk IPM diukur dengan menggunakan 3 (tiga) indikator pengukuran yaitu PDRB, Angka Melek Huruf (AMH) dan Derajat Kesehatan Masyarakat (DKM). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa semua indikator memiliki faktor loading di atas 0,7 yaitu: PDRB Perkapita (0,988); AHM (0,950); dan DKM (0,976). Sementara itu nilai AVE > 0,5 yaitu sebesar 0,943 dan communality > 0,5 yaitu sebesar 0,94.
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat Jawa Tengah
73
AMH DKM PDRB
0.950 0.976
0.929
0.864
0.988
DDF
0.000
IPM
Otda
Gambar 1. Hasil Pengujian Validitas Konstruk IPM PDRB 0.845
1.000
PDRB
0.919 DDF
1.000
0.000 Otda
0.980
0.791 0.929
AMH DKM PDRB
DKM 0.960 AMH 0.625
1.000
1.000
DKM
AMH
0.950 0.976 0.988
0.864 IPM Gambar 2. Hasil Analisis Model Struktural
R��������������������������������������� eliabilitas suatu pengukur ������������ menunjukkan� stabilitas dan konsistensi dari suatu instrumen mengukur suatu konsep atau suatu variabel (Cooper dan Schindler, 2006: Hair et. al., 2006). Reabilitas dapat diukur dengan melihat nilai Cronbach’s alpha dan Composite Reability. Cronbach’s alpha mengukur batas bawah������������������������������������ ����������������������������������������� nilai reliabilitas suatu konstruk, sedangkan Composite Reliability mengukur nilai sesungguhnya reliabilitas suatu konstruk (Chin dan Gopal, 1995 dalam Salisbury et. al., 2002). Dalam penelitian ini metode uji reliabilitas yang digunakan adalah Composite Reliability karena lebih baik dalam mengestimasi konsistensi internal suatu konstruk (Werts et. al., 1974 dalam Salisbury et. al., 2002). Rule of thumb nilai alpha atau� ����� composite reliability harus lebih besar dari 0,7 meskipun nilai 0,6 masih dapat diterima pada studi yang sifatnya eksplorasi (Hair et. al., 2006). Hasil uji reabilitas terhadap konstruk ����������������������������������������� pada penelitian ini menunjukkan nilai sebesar��������������������������������������� 0,97, dengan demikian model ini sudah layak dan memenuhi semua kriteria pengujian model.
74
Trikonomika
Vol. 9, No. 2, Desember 2010
Model���������������������������������������� struktural dalam PLS dievaluasi dengan menggunakan R–square untuk variabel dependen dan nilai koefisien pada path (β) untuk variabel independen yang kemudian dinilai signifikansinya berdasarkan nilai t–value setiap path. Model struktural dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk menilai signifikansi model path antar konstruk dalam model struktural dilihat dari t–value path antar konstruk atau dengan melihat nilai p–value. Nilai p–value diperoleh dengan menggunakan fungsi TDIST pada program MS-Excel� ���������. Berdasarkan hasil pengujian path model struktural seluruh konstruk menunjukan bahwa besarnya pengaruh pelaksanaan otonomi daerah terhadap IPM �������������������������������������� memiliki ���������������������������������� koefisien beta 0,�������� 929����� dan t–value sebesar��������������� 26,54��������� . Karena p–value �� <������������������� ������������������ 0,05, maka secara statistik faktor otonomi daerah berpengaruh terhadap IPM, dengan kata lain pelaksanaan otonomi daerah telah menyebabkan adanya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan keadaan ini, yang pertama,
Pramono Hariadi
berdasarkan hasil perhitungan ternyata pelaksanaan otonomi daerah mampu meningkatkan angka melek huruf. Hal ini ditunjukan oleh besarnya koefisien beta antara otonomi daerah dengan angka ������������������ melek huruf� adalah sebesar 0,�������� 791����� dan t–value sebesar ������������� 6,33��������� . Karena p–value <������������������������������������ �� 0,05, ����������������������������������� maka secara statistik faktor Otonomi �������� daerah berpengaruh terhadap�������������������� angka melek huruf��. Selain itu ternyata pelaksanaan otonomi daerah juga mempunyai dampak yang positif terhadap pendapatan perkapita masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari besarnya Path antara otonomi daerah dengan PDRB����������������������������������� ��������������������������������������� perkapita ���������������������������������� yang memiliki ������������������� koefisien beta ���������� 0,919����� dan t–value sebesar �������������� 29,01��������� . Karena p–value <��������������������������������������������������� 0,05, maka secara statistik faktor otonomi daerah berpengaruh terhadap ������������������������ PDRB perkapita���������� . Hal ini berarti pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Demikian juga, pelaksanaan otonomi daerah juga mempunyai dampak positif terhadap derajat kesehatan masyarakat, hal ini terlihat dari besarnya Path antara otonomi daerah dengan �������������������������������������� derajat kesehatan��������������������� masyarakat memiliki koefisien beta ���������� 0,980����� dan t–value sebesar 60,34�� �������. Oleh ����� karena p–value �� <������������������������������������ ����������������������������������� 0,05, maka secara statistik faktor otonomi daerah berpengaruh terhadap derajat �������� kesehatan masyarakat.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil perhitungan menunjukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah telah menyebab kan adanya peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. .Ada beberapa faktor yang bisa menjelaskan keadaan ini, pertama, berdasarkan hasil perhitungan ternyata pelaksanaan ��������������������� otonomi daerah mampu meningkatkan angka melek huruf. Hal ini ditunjukan oleh besarnya koefisien beta antara otonomi daerah dengan ��������������������������������������� angka melek huruf���������������������� adalah sebesar 0,���� 791� dan t–value sebesar 6,33��������� ������������� . Karena p–value �� <������������ 0,05, ����������� maka secara statistik faktor otonomi daerah berpengaruh terhadap������������������������������������������ angka melek huruf������������������������ . Hal ini searah dengan hasil penelitian Fery Andrianus (2003) yang berjudul Analisis Pengeluaran Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: 1970–2000. Analisis yang dilakukan menggunakan tingkat melek huruf, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan pertumbuhan ekonomi yang diproksikan dengan PDB sebagai variabel endogen serta jumlah siswa sekolah menengah yang berumur 16–18 tahun, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan, stok modal (investasi) dan jumlah total tenaga kerja dari seluruh sektor sebagai variabel eksogen.
Berdasarkan hasil pengujian menunjukan bahwa penerapan ������������������������������������������� kebijakan otonomi daerah atau de sentralisasi sekarang ini, cukup memberikan dampak positif bagi perkembangan bangsa Indonesia. Dengan adanya sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah diberi wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur daerahnya, karena dinilai pemerintahan daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masingmasing. Disamping itu dengan diterapkannya sistem desentralisasi diharapkan biaya birokrasi yang lebih efisien. Hal ini merupakan beberapa pertimbangan mengapa otonomi daerah harus dilakukan. Salah satu keutungan dari penerapan sistem desentralisasi adalah pemerintahan daerah akan mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan dalam artikel pada majalah Tempo bulan Januari 2003 dengan judul Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Berbasis Komunitas Lokal. Selain itu dengan ����������������������������������� adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintah pusat. Hal ini akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila orang atau badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi sebaliknya akan berdampak kurang baik apabila orang atau badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Dengan demikian, d��������������������� engan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya daripada pemerintah pusat. Dapat diambil contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian penduduk disana tidak bisa mengkonsumsi beras, mereka biasa mengkonsumsi sagu, maka pemerintah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk membagikan sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu, dengan sistem otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat Jawa Tengah
75
saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat. Dampak lain dari pelaksanaan otonomi daerah adalah peningkatan pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan. Pelibatan masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu pertama pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif. Kedua, pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah. Ketiga, pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintah daerah yang baik. Dampak positif lain dengan adanya Otda adalah kebijakan pemekaran daerah mampu memperpendek jarak geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, dan juga mempersempit rentang kendali antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya. Akan tetapi, pemekaran daerah juga menimbulkan implikasi negatif bagi pelayanan publik, terutama pada skala nasional, yakni terkait dengan alokasi anggaran untuk pelayanan publik yang berkurang. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan belanja aparat dan infrastruktur pemerintahan lainnya yang bertambah dalam jumlah yang signifikan sejalan dengan pembentukan DPRD dan birokrasi di daerah hasil pemekaran. Selain implikasi-implikasi tersebut ternyata otonomi daerah telah �������������������������������� membawa implikasi positif berupa bukti adanya jaminan pelaksanaan demokrasi bagi rakyat di daerah. Hal ini disebabkan rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya. Akan tetapi, dia juga telah membawa konsekuensi tertentu berupa ongkos politik untuk menghadirkan pemerintahan daerah otonom baru ini, seringkali mahal. Sebagaimana terbukti pada beberapa daerah hasil pemekaran, ketidakmampuan daerah otonom baru untuk membangun inklusifitas politik antar kelompok dalam masyarakat, telah mengakibatkan munculnya tuntutan untuk memekarkan lagi daerah yang baru saja mekar (Pratikno, Mei 2009).
76
Trikonomika
Vol. 9, No. 2, Desember 2010
Dampak lain adalah pada ��������������������� regulasi daerah, salah satu contoh positif berlangsungnya otonomi daerah di Indonesia adalah Pemda diberikan wewenang untuk membuat regulasi (peraturan) daerah untuk daerahnya sendiri. Hal ini membuktikan pemerintah pusat telah rela memberikan sebagian wewenangnya di bidang regulasi kepada daerah. Namun di lain sisi, tidak sedikit peraturan daerah (perda) yang telah dibuat oleh Pemda ternyata bertentangan dengan peraturanperaturan yang telah ada sebelumnya pada tingkatan lebih tinggi (pusat atau nasional). Akibatnya, perdaperda tersebut harus direvisi bahkan dibatalkan. Sebagai contoh, dari 9.714 peraturan daerah soal pajak daerah dan retribusi daerah yang dievaluasi, pemerintah pusat merekomendasikan pembatalan terhadap 3.311 perda dan revisi terhadap 144 perda (Sri Mulyani, 19 Agustus 2009). Fakta terakhir ini telah memperlihatkan bahwa dengan berlangsungnya otonomi daerah selama ini, dia juga telah menimbulkan dampak negatif berupa pemubaziran biaya untuk pembuatan perda, karena kemudian perda tersebut tidak dapat diterapkan dan bertentangan dengan tingkat peraturan yang lebih tinggi. Bahkan dalam sejumlah perda, ada yang bernuansa berpotensi menghasilkan disintegrasi nasional.
KESIMPULAN Pelaksanaan otonomi daerah di Jawa Tengah mempunyai dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat dengan penanda Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan demikian kebijakan otonomi daerah telah mencapai tujuan yang ditetapkan pada awal pelaksanaannya. Apabila ditelaah lebih lanjut, pelaksanaan otonomi daerah juga mempunyai pengaruh yang positif ter hadap angka melek huruf, pendapataan perkapita dan derajat kesehatan masyarakat. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah ternyata mampu mem berikan pembelajaran kepada masyarakat pada umumnya untuk mengelola dirinya dengan lebih baik. Dengan menggunakan alat ukur tersebut, me nunjukan bahwa arah pelaksanaan otonomi daerah telah sesuai apabila tujuan pelaksanaannya untuk mensejahterakan masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah telah mencapai sasarannya, namun demikian penyempurnaan di sana sini masih tetap diperlukan agar bisa mencapai derajat otonomi yang lebih baik. Pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten, harus mendewasakan dirinya secara terus menerus agar derajat otonomi yang dilakukan lebih baik di waktu yang akan datang.
Pramono Hariadi
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997–2006. Jawa Tengah Dalam Angka. Semarang: Badan Pusat Statistik. ______. 1997–2006. PDRB Jawa Tengah. Semarang: Badan Pusat Statistik. ______. 1997�������������������������������������� –������������������������������������� 2006. Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah. Jakarta: Bank Indonesia. ______. 1997������������������������������������ –����������������������������������� 2006. Statistik Ekonomi Indonesia. Bank Indonesia: Jakarta. ______. 1997������������������������������������� –������������������������������������ 2006. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah TK. I dan TK. II se-Jawa Tengah. Semarang: Badan Pusat Statistik. Anonim. 2006. Tingkat Melek Huruf, http://demografi. bps.go.id/versi2/index.php? option=com_conten t&view=article&id=965&Itemid=129&lang=en, diakses tanggal 20 Februari 2009. ________.2008. Human Development Indicies. http:// hdr.undp.org/en /media/HDI_2008_EN_Tables. pdf. diakses tanggal 11 Maret 2009. ________.2009. Sumber Daya Manusia, http:// id.wikipedia.org/wiki /Sumber_daya_manusia, diakses tanggal 8 Maret 2009. ________. 2009. Melek Aksara, http://id.wikipedia. org/wiki /Melek Aksara, diakses tanggal 8 Maret 2009.
Asmanto, Priadi dan Soebagyo. 2006. Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Regional terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur (Periode 1995–2004). Buletin Ekonomi dan Perbankan, 9(4): hal. 55-99. Boediono, 1988, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE UGM, Yogyakarta. Chitra, Indah Yuliana. 2007. Pengaruh Timbal-Balik Antara Tingkat Melek Huruf dan pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1980–2005 (Pendekatan Persamaan Simultan). Skripsi Fakultas Ekonomi Unsoed�������������������� �������������������������� , Purwokerto: tidak diterbitkan. Gujarati, Damodar, 1995, Dasar-dasar Ekonometrika, Erlangga, Jakarta. Hatta, Muh. ����������������� Arif. 2008. Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Sektor Pendidikan terhadap Produk Domestik Bruto (Periode 1986–2006). Skripsi Fakultas Ekonomi Unsoed. Purwokerto: tidak diterbitkan. Umi, Julaihah dan Insukindro. 2004. Analisis Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Variabel Makro Ekonomi Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, (September): 323-341.
Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan Masyarakat Jawa Tengah
77