Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lokal Yoto Widodo1, Chafid Fandeli2, M. Baiquni3, dan Janianton Damanik4 1
FISIP, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, Jl.Let.Jend.S.Humardani No 1 Sukoharjo Jawa Tengah 2,4 Prodi Kajian Pariwisata, Universitas Gadjah Mada 3 Pusat Studi Pariwisata, Universitas Gadjah Mada Abstrak
Pada saat ini pariwisata merupakan suatu kegiatan yang memiliki perkembangan yang sangat cepat. Pariwisata diyakini memiliki potensi besar meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar daya tarik wisata (DTW). Realitas tersebut menarik perhatian para pimpinan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di daerah masing-masing. Pergeseran minat kunjungan wisatawan dari tujuan pariwisata tradisional ke pariwisata alam, sangat menguntungkan bagi daerah yang banyak memiliki destinasi wisata alam. Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka untuk menjawab pertanyaan, Apakah keberadaan Obyek Wisata Alam Waduk Kedung Ombo (WKO) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal?. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu dengan tujuan untuk mengadakan penjajagan (eksploratif). Penelitian ini dilakukan di dusun Geneng, desa Rambat, kecamatan Geyer, kabupaten Grobogan dan dusun Boyolayar, desa Ngargosari, kecamatan Sumberlawang, kabupaten Sragen. Dua dusun tersebut merupakan dua daerah yang masyarakatnya terkait langsung dengan keberadaan obyek pariwisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO). Hasil penelitian menunjukkan masyarakat di dua dusun mengakui manfaat positif keberadaan Obyek Wisata Alam Waduk Kedung Ombo (WKO). Mereka secara tidak langsung telah melakukan diversifikasi mata pencaharian, untuk responden dusun Geneng para isteri berjualan barang kelontong sedangkan untuk responden dusun Boyolayar para isteri berjualan ikan hasil tangkapan suami. Keberadaan obyek wisata alam WKO dapat meningkatkan pendapatan mereka sehari-hari. Kata-kata kunci: Pariwisata alam, Kesejahteraan, Masyarakat lokal
Pendahuluan Saat ini selera wisatawan dari Eropa dan Amerika telah mengalami perubahan tujuan wisata, seiring dengan pergeseran tujuan wisata tersebut, terjadi pula pergeseran bentuk pariwisata. Sejak awal dekade tahun delapan puluhan bentuk pariwisata telah berubah dari mass tourism menuju green tourism. Bentuk pariwisata Green tourism lebih menjamin kualitas ekosistem dari seluruh aspek tujuan wisata dan menuju pada konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka kondisi alam tetap lestari dan masyarakat mendapatkan manfaat dalam bidang ekonomi (Fandeli, 2002: 103). Pasca reformasi Politik dan bidang-bidang lain, telah memunculkan Undang – Undang Nomor 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Dengan munculnya otonomi daerah memaksa Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten atau kota
207
Yoto Widodo, Dkk. Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) ….
lebih kreatif mencari dan menggali potensi daerah masing-masing sehingga pendapatan daerah akan semakin besar. Sesuai dengan perubahan yang terjadi di tingkat dunia demikian halnya di tingkat pemerintahan daerah, termasuk kabupaten Sragen, dan Grobogan. Kabupaten Sragen, dan kabupaten Grobogan memiliki karakteristik produk wisata yang beragam serta memiliki potensi yang dapat dijadikan komoditas unggulan untuk menjadi prime mover perekonomian daerah. Dalam konteks pembangunan, bidang pariwisata diharapkan mampu menjadi salah satu bidang unggulan untuk mengembangkan perekonomian daerah, merevitalisasi budaya local serta melestarikan lingkungan hidup. Pembangunan pariwisata diharapkan juga dapat membawa dampak positif terhadap peluang bekerja, dan peluang berusaha sehingga pada akhirnya akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10.Tahun 2009, tentang kepariwisataan,. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa: “Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya,pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.” Wisata Alam Waduk Kedung Ombo (WKO), merupakan bendungan raksasa seluas 6.576 hektar yang areanya mencakup sebagian wilayah di tiga Kabupaten, yaitu; Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Waduk yang membendung lima sungai tersebut, terdiri dari wilayah perairan seluas 2.830 hektar dan 3.746 hektar lahan yang tidak tergenang air. Lokasi obyek wisata Waduk Kedung Ombo yang menjadi andalan Sragen terletak di Desa Rambat, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, sekitar 30 km dari pusat kota. Pariwisata alam WKO menawarkan beragam atraksi wisata yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Beberapa diantaranya adalah: Bendungan (Dam), yang memiliki bentangan 1.600 m dengan ketinggian 60 m dengan luas 6.576 hektar; Rumah makan Apung, menyediakan aneka macam masakan berbahan dasar ikan; Wisata Tirta, meliputi seluruh genangan WKO, berupa arena pemancingan, karamba dan perahu wisata dan ; Hutan Wisata, dilengkapi dengan tempat duduk, pusat informasi, sarana bermain, pemancingan, gardu pemandangan atau shelter, sarana air bersih, dan MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan lokasi kemah (camping). Tugas utama pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah sebagai organisasi sektor publik adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat merupakan konsep yang multikompleks, secara sederhana dapat dibagi menjadi dua yaitu kesejahteraan fisik (material) dan nonfisik (immaterial). Demikian halnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemuda dan Olah raga (Disbudparpemor), sebagai ujung tombak pemda dalam pengelolaan pariwisata tujuannya adalah memperoleh pemasukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar waduk. Orang melakukan kegiatan pariwisata, tujuannya adalah refresing untuk mendapatkan hiburan, dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Wisatawan yang sebagian besar berasal dari daerah perkotaan berkeinginan melepaskan diri dari hiruk-pikuk rutinitas kehidupan kota. Lokasi yang tepat untuk mewujudkan hasrat tersebut adalah wisata alam, di daerah yang belum terkontaminasi oleh suara bising kendaraan, polusi dan produk-produk modern lainnya.
WIDYATAMA
208
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Industri pariwisata, khususnya pariwisata alam, sebagai salah satu andalan tujuan wisata memiliki dua mata pisau yang memiliki dampak kontradiktif apabila tidak diperhatikan dengan baik. Pariwisata alam apabila dikelola dengan baik dapat menghasilkan devisa bagi pemerintah daerah, disamping itu juga memberikan manfaat langsung pada masyarakat lokal. Sesuai dengan sistem pariwisata alam berkelanjutan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengelolaan adalah melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengelolaan obyek dan daya tarik wisata. Dengan partisipasi masyarakat lokal mereka akan mendapatkan nilai lebih secara ekonomi. Berdasarkan uraian diatas, maka masalah dapat diidentifikasikan sebagai berikut: Apakah keberadaan Obyek Wisata Alam Waduk Kedung Ombo (WKO) dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal? Penelitian dampak sosial budaya dan ekonomi oleh sebagian ahli dijadikan satu, dengan pertimbangan keduanya saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu dalam perencanaan atau pelaksanaan penelitian dampak sosial ekonomi selalu mengikutsertakan ahli ekonomi sosiolog dan antropolog. Permasalahan dampak sosial ekonomi pariwisata dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi bidang kajian yang cukup kontroversial, terutama setelah pariwisata tumbuh dan berkembang sangat cepat. Setiap pengembang Pariwisata di suatu kawasan pasti mengharapkan pariwisata dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat local, sebaliknya dampak negative terhadap kehidupan sosial-ekonomi dapat diminimalisir. Salah satu cara adalah dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik. Dampak yang timbul dari keberadaan industri pariwisata sangat tergantung pada jenis dan intensitas pembangunan pariwisata, serta karakteristik sosial budaya masyarakat lokal di kawasan wisata. Jika ditinjau dari sisi positifnya, pengeluaran para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun internasional di suatu daerah tujuan wisata adalah suatu bukti nyata bahwa keberadaan pariwisata memberi kontribusi yang cukup besar kepada tuan rumah. Pariwisata secara tidak langsung juga merupakan suatu nilai yang sama kaedahnya dengan model export pada umumnya. Hanya saja ada perbedaan mendasar mengenai jenis obyek yang di export. Jika export pada umumnya barang dipindahkan dari negara asal ke negara tujuan, untuk pariwisata obyek yang dijadikan export masih tetap berada di negara asal, dengan kata lain barang yang di export tidak berpindah ke negara tujuan (Cooper, 1994). Beberapa dampak positif lain yang mudah dilihat sebagai akibat perkembangan pariwisata adalah adanya peluang kerja yang sangat banyak karena pariwisata merupakan kegiatan yang multi sektoral, sebagai ilustrasi, ketika suatu negara dinyatakan membuka peluang untuk pengembangan suatu destinasi pariwisata, maka muncul berbagai kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang terkait dengan keberadaan pariwisata ini. Masyarakat sekitar mencari dan membuka peluang-peluang kerja yang sangat banyak sehingga tidak seperti suatu industri barang atau materi yang terbatas memberi peluang pada usaha yang dikembangkan saja, kalaupun ada yang lainnya tetapi tidak sebesar peluang yang diakibatkan oleh pariwisata. Dari sisi negatif, dampak pariwisata secara umum mengakibatkan masalah ekonomi yang cukup merisaukan. Cooper (1994) mencatat beberapa sisi negatif dari adanya pariwisata diantaranya; terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan yang sulit dikendalikan yang membawa implikasi yang tidak baik bagi ekonomi pedesaan maupun perkotaan. Disamping itu berakibat pada adanya pergeseran minat 209
WIDYATAMA
Yoto Widodo, Dkk. Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) ….
kerja yang semula masyarakat bekerja pada sektor agrobisnis, nelayan, pabrik-pabrik, berpindah ke bidang pariwisata yang dianggap lebih mudah cara kerjanya, lebih halus dan berpenghasilan lebih cepat dengan nilai hasil yang lebih tinggi. Bahkan tragisnya secara perlahan bisa menyebabkan terjadinya penyingkatan keterampilan atau pendidikan karena terlalu cepat berkeinginan untuk bekerja, sehingga nilai jual dari tenaga kerja tersebut menjadi murah. Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah dalam bidang ekonomi, mampu memberikan dampak-dampak positif, yaitu: Peningkatan pendapatan masyarakat, melalui berbagai kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata. Peningkatan penerimaan devisa, untuk level daerah berwujud retribusi, pajak daerah dan sejenisnya. Peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan keuntungan badan usaha milik pemerintah (pemerintah daerah), dan sebagainya. Pariwisata diharapkan mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan secara pasti terhadap angka pengganda ini, dari beberapa daerah/negara telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervarisasi. Dampak positif selalu berdampingan dengan dampak negatif. Beberapa dampak negatif keberadaan pariwisata di bidang ekonomi yang paling menonjol adalah: Kenaikkan harga-harga properti dan barang di sekitar lokasi wisata, meningkatnya jumlah usaha dan wisatawan yang datang di sekitar lokasi wisata memicu para spekulan menaikkan harga. Perpindahan kepemilikan tanah atau lahan, banyaknya investor yang datang di sekitar lokasi wisata, dapat meningkatkan transaksi jual-beli tanah penduduk lokal, sehingga mengurangi penguasaan penduduk lokal terhadap tanah. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Cohen (1984) dampak pariwisata terhadap kondisi ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar, yaitu: (1) Dampak terhadap penerimaan devisa; (2) Dampak terhadap pendapatan masyarakat; (3) Dampak terhadap kesempatan kerja; (4) Dampak terhadap harga-harga; (5) Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan; (6) Dampak terhadap kepemilikan dan control; (7) Dampak terhadap pembangunan pada umumnya; dan (8) Dampak terhadap pendapatan pemerintah; Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu dengan tujuan untuk mengadakan penjajagan (eksploratif). Menurut Singarimbun (1995), penelitian penjajagan (eksploratif) bersifat terbuka, suatu pengembangan konsep dan penghimpunan fakta. Survei dilakukan pada level sampel, informasi dikumpulkan dari sebagian populasi (sampel) yang berfungsi sebagai perwakilan populasi. Penelitian ini dilaksanakan di Obyek Wisataa Alam Waduk Kedung Ombo (WKO) yang meliputi dua wilayah administrative, yaitu: Kabupaten Sragen, dan kabupaten Grobogan, , Propinsi Jawa Tengah. Populasi merupakan seluruh unit yang dikaji dalam penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang digunakan sebagai data dalam penelitian. Sampel harus representatif mewakili populasi. Adapun terkait dengan penelitian ini populasi dan sample sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas.
WIDYATAMA
210
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Tabel 1. Pertanyaan Penelitian, Populasi dan Sampel No. 1.
Pertanyaan Penelitian Dampak Pariwisata WKO terhadap Social-Ekonomi Masyarakat Lokal
Populasi
Sampel
-Masyarakat lokal penjual ikan (Penduduk dusun Boyolayar)
-Sebagian penduduk yang berjualan ikan di WKO
-Masyarakat local penjual cendera mata dan barang kelontong. (Penduduk dusun Geneng)
Sebagian penduduk penjual cenderamata dan barangbarang kelontong di WKO
Observasi langsung dilakukan dengan cara formal maupun informal, untuk mengamati segala sesuatu kegiatan wisatawan yang berkunjung ke obyek wisata WKO. Dari observasi terhadap wisatawan akan diketahui bentuk kunjungan mereka, rombongan besar, rombongan kecil atau individual. Observasi pada masyarakat sekitar, akan diketahui kegiatan mereka sehari-hari, terutama kegiatan yang berkaitan dengan kedatangan wisatawan. Observasi semacam ini dalam penelitian kualitatif sering disebut sebagai observasi berperan pasif (Spradley, 1999). Wawancara yang dilaksanakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, dengan menggunakan kuesioner. Adapun responden yang diwawancarai adalah sebagian (sampel) dari keseluruhan penduduk dusun Boyolayar, desa Ngargosari dan desa Rambat dusun Geneng, serta beberapa tokoh masyarakat. Hasil Dusun Geneng, Desa Rambat, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan dan Dusun Boyolayar, Desa Ngargosari, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen. Dusun Geneng merupakan salah satu dusun yang berada di wilayah desa Rambat. Jarak dari Lokasi Taman Wisata WKO sekitar 1,5 Km, tepatnya berada di Tenggara WKO. Untuk sampai di dusun Geneng bukanlah suatu perjalanan yang mudah, hal ini dikarenakan satu-satunya jalan yang menuju kesana kondisinya sangat memprihatinkan. Permukaan jalan tidak rata dan dipenuhi batu-batu yang menonjol. Mata pencaharian penduduk kebanyakan sebagai petani, terutama petani penggarap, sebagian warga lain bekerja di luar daerah sebagai buruh. Para petani sebagian besar mengerjakan tanah-tanah yang dimiliki oleh Perhutani, dengan cara sewa, Rp.90.000,- selama tanah perhutani bisa ditanami. Peluang petani dapat menanam di tanah perhutani sekitar 3 tahun, yaitu pada saat jeda antara penebangan dan penanaman kembali pohon-pohon jati di tanah perhutani. Pendapatan penduduk Desa Rambat termasuk dalam kategori rendah, dibandingkan dengan desa-desa lain di kecamatan Geyer. Dusun Boyolayar terletak di bagian paling Utara dari wilayah desa Ngargosari. Dusun ini termasuk salah satu dusun di desa Ngargosari yang paling luas wilayahnya tertutup genangan Waduk Kedung Ombo (WKO). Sehingga masyarakat setempat mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan bercocok tanam. Dusun Boyolayar 211
WIDYATAMA
Yoto Widodo, Dkk. Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) ….
mendapatkan dampak positif dari keberadaan pembangunan WKO, khususnya untuk infrastruktur jalan. Jalan-jalan kampung di dusun ini hampir semua telah di hotmix, ini dikarenakan wilayah ini termasuk dalam rencana pengembangan destinasi wisata Kabupaten Sragen. Wilayah dusun Boyolayar berbatasan langsung dengan genangan WKO, sehingga tidak mengherankan apabila masyarakat setempat banyak yang beralih mata pencaharian dari petani sawah menjadi petani ikan (nelayan). Secara umum masyarakat dusun Boyolayar banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, hal ini terbukti dari sekitar 50% mendapatkan beras untuk rakyat miskin (raskin). Seperti gambaran umum ketenagakerjaan di pedesaan Indonesia, peluang pekerjaan dari waktu ke waktu di pedesaan semakin sedikit, keadaan tersebut berbanding lurus dengan semakin sempitnya lahan tanah pertanian di pedesaan. Kondisi masyarakat dusun Geneng tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut. Masyarakat Geneng mengalami kesulitan untuk bertani di lahan sendiri, karena di samping ketidakmampuan mereka untuk memiliki tanah lahan pertanian, di lain pihak tanah pertanian di sekitar desa semakin sempit karena berubah menjadi genangan WKO. Penduduk dusun Boyolayar tidak jauh berbeda dengan gambaran kehidupan penduduk dusun Geneng. Perbedaan terletak pada masalah kepemilikan tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian. Kebanyakan penduduk Boyolayar bercocok tanam di tanah mereka sendiri, bukan di lahan pertanian yang dimiliki Perhutani. Namun keberadaan WKO merubah ritme kehidupan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup, mereka sebagian besar tidak bertani di sawah tetapi bertani di air (petani nelayan). Dari sedikit gambaran kondisi kehidupan masyarakat di sekitar WKO, terutama terkait dengan mata pencahariannya, akan terlihat bagaimanakah kontribusi keberadaan pariwisata WKO terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Di lain pihak juga penting untuk mengetahui kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang keberadaan WKO sebagai obyek wisata alam. Melihat kaitan yang erat keberadaan obyek wisata alam WKO dengan masyarakat sekitar WKO, maka perlu dilakukan pendataan berkaitan dengan kondisi sosial, persepsi, dan harapan masyarakat sekitar terhadap keberadaan obyek wisata alam WKO. Sehingga akan diketahui manfaat obyek wisata WKO terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, khususnya masyarakat dusun Geneng dan dusun Boyolayar. Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dilakukan penyebaran kuisioner terhadap masyarakat Dusun Boyolayar, Desa Ngargosari, Kecamatan Sumberlawang sebanyak 82 orang sebagai responden. Sedangkan untuk masyarakat Dusun Geneng, Desa Rambat, Kecamatan Geyer sebanyak 38 orang. Penetapan lokasi penelitian dan jumlah responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Dusun Boyolayar dan dusun Geneng di pilih sebagai lokasi penelitian karena penduduk 2 dukuh tersebut terkena dampak langsung dari pembangunan Waduk Kedung Ombo. Masyarakat Boyolayar sebagian besar bermata pencaharian yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata di taman wisata WKO, seperti; sebagai petani nelayan dan penjual ikan di lingkungan Taman Wisata. Populasi adalah seluruh kepala keluarga (KK) dusun Boyolayar berjumlah 204 orang, sedangkan sampel ditetapkan 40% dari populasi, yaitu 82 orang. Demikian halnya masyarakat dusun Geneng, sebagian besar penduduk saat penelitian dilakukan mereka berprofesi yang berkaitan dengan taman wisata WKO. Untuk dusun Geneng jumlah responden 38 orang, ini merupakan 60 persen dari jumlah KK keseluruhan.
WIDYATAMA
212
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Tabel 2. Usia Responden No.
Kelompok Umur
Boyolayar Jumlah (%)
Geneng Jumlah (%)
1.
< 25
5 (6,09)
3 (7,89)
2.
26 – 35
3. 4. 5. 6.
33 (40,24) 36 – 45 36 (43,90) 46 – 55 8 (9,76) 56 – 65 0 (0) > 65 0 (0) Jumlah 82 (100) Sumber : Data Primer, 2012
10 (26,31) 11 (28,95) 10 (26,31) 4 (10,53) 0 (0) 38 (100)
Dari pengolahan hasil kuesioner dapat dilihat masyarakat di kedua dusun, Geneng dan Boyolayar, didominasi jumlah penduduk usia produktif (15 – 55 tahun). Terdapat perbedaan prosentase penduduk usia produktif antara dukuh Boyolayar dan dusun Geneng. Penduduk usia produktif dusun Boyolayar memiliki prosentase lebih besar daripada dusun Geneng. Jumlah besar penduduk yang berusia muda tentu sangat berguna bagi keluarga masing-masing untuk meningkatkan kesejahteraannya. Di lain pihak apabila diarahkan dengan baik maka penduduk usia muda sangat menguntungkan kedua dukuh dalam rangka mempercepat pembangun daerah setempat. Di lihat dari sisi pendidikan dusun Boyolayar dan dusun Geneng, tingkat pendidikan penduduk kedua dukuh mayoritas rendah, 70% lebih hanya menamatkan pendidikan setingkat SD. Responden di dua dukuh yang memiliki pendidikan setingkat SLTA prosentasenya di bawah 5%. Sedangkan responden di dua dusun yang memiliki pendidikan setingkat Perguruan Tinggi tidak ada. Masalah yang terkait dengan tingkat pendidikan rendah di dua dusun obyek penelitian, minimal ada dua penyebab. Pertama, tingkat pendapatan penduduk di dua dusun tersebut rendah, sehingga kemampuan untuk menyekolahkan anak-anak mereka terbatas. Kedua, jarak antara dusun mereka dengan sekolah (SLTA) cukup jauh, terutama dusun Geneng. Anak-anak muda di dua dusun tersebut setelah lulus sekolah tingkat SLTP kebanyakan mereka bekerja membantu orang tua dan sebagian yang lain pergi merantau ke kota-kota besar. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
213
WIDYATAMA
Yoto Widodo, Dkk. Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) ….
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Responden
No.
Pendidikan
1.
Tidak Tamat SD
2. 3. 4. 5.
Boyolayar
Geneng
Jumlah %
Jumlah %
6 (7,31) Tamat SD 56 (68,29) Tamat SLTP 16 (19,52) Tamat SLTA 4 (4,88) Tamat D3/S1 0 (0) Jumlah 82 (100) Sumber: Data Primer, 2012
1 (2,63) 29 (76,32) 7 (18,42) 1 (2,63) 38 (100)
Dari data yang diperoleh apabila dihubungkan antara umur dengan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa usia produktif yang ada sebagian besar berpendidikan menengah ke bawah (SLTP dan SD). Hal itu tentunya kurang menguntungkan untuk perubahan dan pengembangan masyarakat ke depan. Seperti diketahui masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah untuk dapat menerima inovasi dari luar memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi. Masyarakat yang berpendidikan tinggi dapat berpikir lebih rasional dan terbuka. Dari data yang diperoleh apabila dihubungkan antara umur dengan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa usia produktif yang ada sebagian besar berpendidikan menengah ke bawah (SLTP dan SD). Hal itu tentunya kurang menguntungkan untuk perubahan dan pengembangan masyarakat ke depan. Seperti diketahui masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah untuk dapat menerima inovasi dari luar memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi. Masyarakat yang berpendidikan tinggi dapat berpikir lebih rasional dan terbuka. Seperti halnya daerah pedesaan di Jawa pada umumnya, penduduk yang bertempat tinggal di desa kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Sebelum dibangun bendungan WKO, masyarakat dusun Boyolayar dan dusun Geneng mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, bagi penduduk yang tidak memiliki lahan mereka bertani dengan cara menyewa lahan yang dimiliki oleh Perhutani. Sehingga tidak mengherankan apabila 95% lebih penduduk di dua dusun tersebut bermata pencaharian sebagai petani/buruh tani, sisanya bekerja sebagai pedagang. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4. Dari hasil tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar responden sebelum ada WKO bekerja di sektor pertanian, karena secara historis sebagian besar penduduk dusun Boyolayar dan dusun Geneng secara turun-temurun bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini diperkuat lagi dengan penghasilan responden yang masih banyak di kelompok kurang dari Rp. 500.000,- per bulan, seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.
WIDYATAMA
214
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Tabel 4. Mata Pencaharian Responden Sebelum Pembangunan WKO Sebelum Ada WKO No.
3.
Boyolayar Jml % 2 Wiraswasta/Pedagang (2,43) Karyawan Swasta PNS/TNI/POLRI
4.
Buruh/Petani
5.
Petani nelayan
6.
Lain-lain
1. 2.
Sesudah Ada WKO
Mata Pencaharian
Jumlah
80 (97,57) -
Geneng Jml % 2 (5,26) -
Boyolayar Jml % 4 (4,87) 2 (2,44) -
Geneng Jml % 4 (10,53) -
36 (94,74) -
6 (7,32) 70 (85,37) -
34 (84,21) 2 (5,26) -
82 (100)
38 (100)
82 38 (100) (100) Sumber : Data Primer, 2012
Mereka sangat mengharapkan perubahan ”nasib” dengan adanya pembangunan Waduk Kedung Ombo. Hal tersebut sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan WKO, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan WKO dan pengembangan objek wisata di sekitarnya diharapkan akan menimbulkan efek ekonomi lokal yang menciptakan lapangan kerja baru dan akan dirasakan oleh masyarakat sekitar. Lapangan kerja baru tersebut bisa dalam bentuk formal maupun informal, terutama untuk sektor jasa, baik jasa angkutan, jasa penginapan, dan jasa penyediaan souvenir. Seperti dikemukakan Fandeli (2002) bahwa masyarakat lokal dapat memanfaatkan peluang pada banyak aspek antara lain pengelola, pemandu wisata, penyedia jasa konsumsi atau rumah makan, fasilitas akomodasi, transportasi dan souvenir dari kerajinan rumah tangga. Pernyataan tersebut tepat apabila melihat gambaran yang terjadi pada penduduk dusun Boyolayar dan dusun Geneng. Dari kuesioner dan wawancara yang dilakukan terhadap responden di dua dukuh tersebut menunjukkan kenyataan adanya perubahan pendapatan yang signifikan antara sebelum dan sesudah adanya obyek wisata WKO. Untuk dusun Boyolayar peningkatan pendapatan terjadi pada pendapatan level ketiga, 1100.000 – 1.500.000,-, yang sebelum ada WKO hanya 13,41 setelah ada WKO menjadi 31,71. Demikian halnya dengan peningkaytan pendapatan di dusun Geneng, pada pendapatan level ketiga, 1100.000 – 1.500.000,-, yang sebelum ada WKO 18,42 setelah ada WKO menjadi 23,68.
215
WIDYATAMA
Yoto Widodo, Dkk. Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) ….
Tabel 5. Tingkat Pendapatan Responden Sebelum ada WKO No
1 2 3 4
Pendapatan
Boyolayar
Geneng
Jml Jml % % < 500.000 25 17 (30,48) (44,74) 500.000 – 1.000.000 46 14 (56,09) (36,84) 1.100.000 –1.500.000 11 7 (13,41) (18,42) > 1.500.000 0 0 (-) (0) Jumlah 82 38 (100) (100) Sumber: Data Primer, 2012
Sesudah ada WKO Boyolayar
Geneng
Jml % 10 (12,19) 44 (53,65) 26 (31,71) 2 (2,44) 82 (100)
Jml % 11 (28,95) 18 (47,37) 9 (23,68) (0) 38 (100)
Perubahan pendapatan menjadi lebih besar dialami oleh sebagian responden di dusun Geneng. Mereka memiliki pendapatn lebih besar setelah pembangunan WKO, karena dengan adanya WKO para istri bisa membantu bekerja untuk menambah pendapatan keluarga, yaitu dengan cara berjualan di sekitar Taman Wisata WKO. Sedangkan untuk responden di dusun Boyolayar, kenaikan pendapatan rumah tangga mereka diperoleh dari para istri mereka yang berjualan hasil tangkapan ikan para suami mereka dari areal genangan WKO. Sebagian kecil penambahan pendapatan keluarga berasal dari beberapa kepala keluarga yang kebetulan bekerja di salah satu perusahaan swasta yang mengelola Karamba. Keberadaan Taman Wisata di WKO memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar WKO, khususnya dusun Boyolayar dan dusun Geneng. Seperti telah dijelaskan di muka, keberadaan wisata WKO memberikan kesempatan pada warga masyarakat Borolayar bekerja sebagai petani nelayan, mereka dibebaskan untuk menangkap, memancing atau menjaring ikan-ikan yang hidup di genangan waduk. Hasil tangkapan para suami kemudian dijual di lokasi Taman Wisata kepada para wisatawan. Sedangkan untuk masyarakat dusun Geneng para istri selain bertani membantu suami, mereka bisa berjualan makanan dan minuman di sekitar lokasi Taman Wisata. Di dusun Geneng yang menyatakan pendapatan mereka meningkat 34 (89,47) responden dari jumlah keseluruhan 38 responden, sedangkan untuk dusun Boyolayar ada 59 (71,95) responden dari keseluruhan 82 responden.
WIDYATAMA
216
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
Pembahasan Tabel 7. Analisis Dampak Ekonomi Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO)
N0.
1. 2. 3.
Pendapatan berkurang
4.
Memiliki pekerjaan lain disamping bertani Bangunan rumah lebih baik
6.
8.
Harga-harga barang di sekitar lokasi jadi mahal Tanah penduduk banyak yang di jual ke pendatang Kendaraan lebih bagus
9.
Tidak bisa bertani
10. 11.
Ladang/Sawah banyak yang dijual ke pendatang Bangunan rumah tetap/lebih jelek
12.
Perabot rumah tetap/lebih jelek
13.
Kendaraan tetap/lebih jelek
7.
Boyolayar
(Jumlah) % 30 (78,95) 34 (89,47) 30 (78,95) 2 (5,26) 2 (5,26) 2 (5,26) 1 (2,63) 10 (26,32) 5 (13,16) 38
(Jumlah) % 47 (57,32) 59 (71,95) 2 (2,44) 24 (29,27) 23 (28,05) 10 (12,20) 6 (7,32) 12 (14,64) 43 (52,44) 1 (1,22) 59 (71,95) 10 (12,20) 8 (9,76) 82
Dampak Ekonomi
Memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan pariwisata Pendapatan meningkat
5.
Geneng
Jumlah Responden
Sumber: Data Primer, 2012 Dari uraian tersebut kelihatan bahwa warga masyarakat dusun Geneng dan dusun Boyolayar, yang menjadi responden penelitian ini memiliki pendapatan yang lebih baik daripada sebelum ada wisata WKO. Jawaban responden menunjukkan mereka memiliki pendapatan lebih besar karena memiliki pekerjaan lain di luar pertanian (diversifikasi), pekerjaan tersebut berhubungan dengan pariwisata. Data lain yang cukup menarik menunjukkan, peningkatan pendapatan ternyata tidak serta-merta digunakan untuk memperbaiki rumah mereka. Hal tersebut dapat dilihat bahwa responden yang memilih ”Bangunan rumah lebih baik” hanya 5,26% (dusun Geneng) dan 28,05% (dusun 217
WIDYATAMA
Yoto Widodo, Dkk. Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) ….
Boyolayar), sebagian besar responden memilih ”Bangunan rumah tetap/lebih jelek” 26,32% (dusun Geneng) dan 71,95% (dusun Boyolayar). Jawaban responden lain yang cukup menonjol adalah ”Tidak bisa bertani”, khususnya untuk responden dari dusun Boyolayar, 52,44%. Sedangkan responden dari dusun Geneng tidak ada yang memilih jawaban tersebut. Ini artinya semua responden di dusun tersebut masih tetap bisa bercocok tanam seperti sedia kala, karena dusun mereka tidak terkena genangan air WKO. Sebaliknya bagi responden yang berdomisili di dusun Boyolayar sebagian besar mereka menyatakan tidak bisa bertani lagi, karena sawah dan ladang mereka tertutp genangan WKO. Sebagian dari mereka masih tetap bisa bercocok tanam, karena tanah dan ladangnya tidak tergenang WKO. Untuk jawaban responden yang bermakna pengalihan pemilikan tanah, ”Tanah penduduk banyak yang di jual ke pendatang” dan ”Ladang/Sawah banyak yang dijual ke pendatang” relatif tidak signifikan, baik untuk dusun Geneng maupun dusun Boyolayar prosentasenya di bawah 10%. Dari pendalaman pertanyaan yang diajukan pada salah satu responden bernama Wardoyo, dia menyatakan: ”kami menjual tanah karena untuk biaya pernikahan anak, yang membeli kerabat dari dusun sebelah”. Ini artinya penjualan tanah tersebut bukan dijual pada pendatang atau pemilik modal dari daerah lain. Apabila mengikuti pendapat Cohen yang menyatakan bahwa dampak ekonomi pariwisata terkait dengan peningkatan devisa negara. Kaitannya dengan Pariwisata WKO peningkatan devisa dapat diturunkan menjadi pendapatan Pemerintah Daerah (Pemda). Seperti telah dijelaskan di depan bahwa pemerintah daerah (Pemda) yang mendapat dampak penerimaan (devisa) adalah kabupaten Grobogan, karena posisi Bendungan (Dam) dan Taman Wisata berada di wilayah kabupaten Grobogan. Bagi Pemda Grobogan penerimaan pendapatan dari pariwisata WKO dalam beberapa tahun terakhir selalu menduduki tingkat tertinggi dibandingkan dengan obyek-obyek wisata lain yang berada di wilayah kabupaten Grobogan. Lihat tabel berikut: Tabel 8. Jumlah Wisatawan yang berkunjung ke Obyek Wisata Kabupaten Grobogan Pengunjung Wisnus Dan Wisman Nama Objek NO. 2006 2007 2008 2009 2010 Wisata 1
WKO
2
Bledug Kuwu 45.000 23,292 20.000 29.301 26.846 Api Abadi 20.000 45,630 Mrapen Goa Lawa,dan 1.637 2.000 Goa Macan JUMLAH 118.942 124.726 79.407 90.304 116.097 Sumber: Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Grobogan, 2011
3 4
53.942
55.804
57.770
59.003
89.251
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Kesimpulan: (1) Persepsi atau tanggapan masyarakat sekitar Taman Wisata WKO dan wisatawan terhadap keberadaan Taman Wisata WKO sebagian besar positif. Mereka
WIDYATAMA
218
No.2 / Volume 20 / 2011
WIDYATAMA
sangat berharap pembenahan dan perbaikan dapat segera dilakukan, sehingga mereka dapat merasakan manfaat yang lebih besar. Masyarakat sekitar sadar bahwa kelestarian alam merupakan salah satu faktor daya tarik pariwisata alam yang harus dipertahankan. (2). Berdasar perkembangan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Wisata WKO selama tujuh tahun terahir (2003 – 2009), dapat diprediksikan potensi jumlah wisatawan yang akan datang ke Taman Wisata WKO sepuluh tahun yang akan datang. Berdasarkan data tersebut di atas, rata-rata jumlah wisatawan Taman Wisata adalah 72.448 orang/tahun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 4,07 % per tahun. Sehingga pertumbuhan jumlah wisatawan yang akan berkunjung ke Taman Wisata WKO pada tahun 2007 – 2016 rata-rata sebanyak 11.197 orang per tahun dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 4,07 % per tahun. Dampak meningkatnya jumlah wisatawan akan berpengaruh terhadap pendapatn masyarakat sekitar. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan untuk pembangunan dan perkembangan Taman Wisata WKO ke depan, maka diusulkan beberapa saran sebagai berikut: (1). Prediksi pengunjung yang dilakukan belum mempertimbangkan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kunjungan, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kunjungan wisatawan, sehingga akan mendapatkan data-data yang lebih akurat. (2). Keunggulan yang dimiliki Taman Wisata WKO, yaitu: flora, fauna, kondisi yang masih alami, udara yang sejuk dan pemandangan yang bagus, harus tetap di jaga karena merupakan modal untuk menarik wisatawan, yaitu dengan melakukan pembangunan dan pengembangan yang tidak merubah bentang alam dan berwawasan lingkungan. Daftar Rujukan Cohen, Erik., 1984, The Sociology of Tourism: Approaches, Issues, and Findings Annual Review of Sociology, Vol. 10. (1984), pp. 373-392. Cooper, Chris Jackson, Stephen. 1997. Distination Life Cycle: The Isle of Man Case Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK : Easthscan Publication Heunited. Fandeli, C. & Mukhlison. (Eds.). 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset ------------. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penlitian Survei. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Spradley, James P.. 1999. Metode Etnografi (Terjemahan), Yogyakarta: Tiara Wacana. Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10.Tahun 2009
219
WIDYATAMA