UNIVERSITAS INDONESIA
DAMPAK PEMEKARAN DAERAH OTONOMI BARU TERHADAP KINERJA PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN KAPASITAS SISTEM KESEHATAN TAHUN 2007-2013
RINGKASAN DISERTASI
JUDILHERRY JUSTAM NPM. 0906599842
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JULI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK PEMEKARAN DAERAH OTONOMI BARU TERHADAP KINERJA PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN KAPASITAS SISTEM KESEHATAN TAHUN 2007-2013
RINGKASAN DISERTASI Dipertahankan di hadapan Senat Akademik Universitas Indonesia pada : Hari Sabtu, tanggal 04 Juli 2015, Pukul 10.00 WIB untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Universitas Indonesia di bawah Pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M. Met Judilherry Justam NPM. 0906599842
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JULI 2015
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Subhana wa Ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan disertasi berjudul “Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Kinerja Pembangunan Kesehatan dan Kapasitas Sistem Kesehatan Antara Tahun 2007 dan 2013.” Penulisan disertasi ini merupakan salah satu syarat guna penyelesaian Program Pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Selesainya disertasi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini sudah pada tempatnyalah saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. dr. Ascobat Gani, MPH, DR.PH selaku pembimbing sekaligus promotor saya yang telah mencurahkan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing saya dalam penyelesaian disertasi saya ini. Demikian juga ucapan terima kasih saya sampaikan pada DR. I Made Suwandi, MSoc.Sc sebagai ko-promotor yang dengan pengalamannya yang panjang di Kementerian Dalam Negeri telah memberikan bimbingan dan memperluas wawasan saya mengenai
pelaksanaan
kebijakan
desentralisasi
serta
hambatan-hambatan yang terjadi. Juga kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam mempersiapkan dan
i
menyelesaikan disertasi ini, saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada: 1. Prof. dr. Purnawan Junadi MPH, Ph.D selaku Ketua Tim penguji beserta para penguji Prof. dr. Agus Suwandono, MPH, Ph.D, DR. dr. Trihono, M.Sc., DR. Pujiyanto, SKM, M.Kes. dan Dr. dr. Sandi Iljanto, MPH yang telah bersedia menerima saya berkonsultasi dan menguji saya untuk perbaikan disertasi saya ini. 2. Prof. Does Sampurno MPH, Prof. DR. dr. Sudiyanto Kamso, MPH, Prof. dr. Hadi Pratomo, MPH dan Prof. dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH, PhD yang telah banyak memberikan masukan pada saat ujian kaji etik. 3. Seluruh staf pengajar program Doktor Ilmu Kesehatan Masayarakat Universitas Indonesia yang telah memberikan tambahan ilmu untuk memperkaya wawasan saya dalam menyelesaikan disertasi ini. 4. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Kapala Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang telah mengijinkan saya menempuh pendidikan doktor di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 5. Seluruh staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang selalu mendorong saya untuk menyelesaikan disertasi ini, ii
termasuk tentunya beberapa senior saya yang sudah berpulang ke rakhmatullah yaitu almarhum Prof. dr. Firman Lubis MPH, almarhum Prof. DR. dr. Azrul Azwar, MPH dan almarhumah Dr. Nitra Nusyirwan Rifki tersayang. 6. Para informan kunci di Kabupaten-kabupaten Belitung Timur, Barito Kuala, Mamasa, Majene, Lembata dan Timor Tengah Selatan serta di Propinsi-propinsi Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur yang telah sukarela saya temui dan memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. 7. Para teman dan sahabat yang telah memungkinkan saya untuk menjangkau para informan tersebut yaitu Prof. DR. dr. Hafil Budianto, DR. Syafinuddin Al-Mandari S.Pi, Msi, Arman Salimin SPd, M.Pd, anggota DPRD Propinsi Sulawesi Barat, Surakhmat, S.Sos, M.Si. anggota KPUD Majene, Nasran Sagena dan drg. Rahmin Rauf, keduanya dari Mamasa, Johan Oeyono di Banjarmasin, Nunik Iswardhani, SH, dan Wens John Rumung wartawan senior pemimpin redaksi Mingguan Expo NTT. Tanpa bantuan teman-teman dan sahabat ini tentu cukup sulit bagi saya untuk menemui informan-informan kunci ini yang sebagian (bahkan sebagian besar) diantaranya bisa dihubungi dengan pendekatan informal. iii
8. Dua mahasiswa S2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Mukhlida Hanun dan Wallyana Kusumaningati yang telah banyak membantu saya dalam memperoleh
informasi
dan
data
sekunder,
turut
melakukan wawancara mendalam dengan informan di 6 (enam) kabupaten dan melakukan beberapa penghitungan dan analisis statistik. 9. Mbak Dewi Ambarwati, mbak Nurjanah dan staf administrasi pendidikan Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat–Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang selalu siap membatu mempersiapkan proses setiap tahahan ujian disertasi ini. 10. Teman-teman
Program
Doktor
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat semester ganjil 2009, dr. Diah Setia Utami, SpKJ, MARS, DR. dr. Sandra Fikawati, MPH, DR. Sri Poedji Astuti Djaimana, SKM, M,.Kes., dr. Melania Hidayat, MPH, DR. drg. Erna Waty, M.Kes, dr. Firdaus Jaya Purnama, MARS, DR. dr. Andi Alfian Zainuddin, M.Kes, DR. Demsa Simbolon, SKM, M.Kes dan DR. Dian Kusuma, SKM, MPH, PhD, yang telah banyak membantu dan saling menyemangati satu sama lain. 11. Istri tercinta Netty Masrifol yang terasa seringkali “terabaikan” karena kesibukan dalam membuat laporanlaporan dan penyelesaian disertasi ini, tetapi tetap iv
memberikan semangat dan mendoakan tanpa henti selama mengikuti pendidikan. Saya mohon ma’af dan sekaligus berterima kasih atas dukungan dan pengertian yang diberikan. 12. Anak-anak tersayang Puti Heryanti, Octafiana Machetty, Putri Lenggo Geni, Muhammad Khadafi dan Roy Saphely serta para menantu Harry Koncoro, Rangga Buana Desapta dan Angga Fadjrin, yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat. Termasuk cucu-cucu Garda Putra Kuncoro, Ganendra Putra Kuncoro dan Afdhal Khaizuran Hakim yang dengan keceriaannya masingmasing memberikan inspirasi dan semangat pada saya. 13. Almarhum ayahanda Justam St. Kayo dan almarhumah ibunda Kartini Raoef yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan jalan sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan sampai menjadi dokter. 14. Adik-adik Yelsumery, Yusril Andi, Yohanna Hendria, Yohannes Boy, Yoselina dan Joserita beserta para ipar dan seluruh keponakan yang tidak dapat disebut satu persatu yang
telah
turut
memberikan
dorongan
saya
menyelesaikan pendidikan doktoral. Akhir kata saya menyadari bahwa disertasi ini masih banyak mengandung kekurangan dan kelemahan yang sepenuhnya menjadi tanggung-jawab saya pribadi. Oleh karena v
itu pula, saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi saya
khususnya
dan
berbagai
pihak
yang
mungkin
membutuhkannya. Depok, 4 Juli 2015
Judilherry Justam
vi
ABSTRAK Nama : Judilherry Justam Program Studi : Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Judul : Dampak Pemekaran Daerah Terhadap Kinerja Pembangunan Kesehatan dan Kapasitas Sistem Kesehatan Antara Tahun 2007 dan 2013 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemekaran daerah terhadap kinerja pembangunan kesehatan dan sistem kesehatan antara tahun 2007 dan tahun 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kombinasi (mixed methods) yang menggabungkan penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan di kabupaten yang dikelompokkan menjadi kabupaten yang berstatus Daerah Otonom Baru (DOB), Daerah Induk Sebelum Pemekaran (DISP), dan Kabupaten yang tidak mengalami pemekaran (Non-DOB). Sedangkan data kualitatif diperoleh dari sejumlah informan kunci yang berada di 3 kabupaten DOB dan 3 kabupaten NonDOB dengan kriteria tertentu. Analisis kuantitatif menunjukkan tidak adanya hubungan antara kategori kabupaten dengan kinerja kesehatan yang diukur dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat antara tahun 2007 dan 2013. Untuk menggali sisi sisi yang tidak bisa terungkap dengan metode kuantitatif, dilaksanakan penelitian kualitatif untuk membandingkan kabupaten DOB dan Non-DOB. Penelitian kualitatif ini dilakukan untuk menggali kapasitas ke-7 subsistem kesehatan yang terdiri dari manajemen/tata kelola. SDM kesehatan, pembiayaan kesehatan, pemberdayaan mastarakat, sedian obat/alat kesehatan dan farmasi, penelitian dan pengembangan kesehatan dan upaya kesehatan. Dari hasil analisis kualitatif diketahui tidak adanya pola yang jelas (ajeg) yang dapat membedakan kapasitas system kesehatan antara kabupaten DOB dan Non-DOB. Demikian vii
juga terdapat variasi daerah dengan kinerja baik dan kinerja tidak/kurang baik masing-masing terjadi baik di kabupaten DOB maupun di kabupaten Non-DOB. Kinerja yang baik ternyata ditunjukkan bila terdapat komitmen yang kuat kepala daerah terhadap kesehatan, mempunyai visi jangka panjang, leadership dan latar belakang kepala daerah serta faktor keterpencilan daerah. Beberapa temuan tambahan layak diperhatikan oleh semua pemangku kepentingan, utamanya Kementerian Kesehatan yaitu ketentuan minimum anggaran kesehatan, ketidak sesuaian latar belakang pendidikan pejabat struktural kesehatan, penyediaan obat dengan e-katalog, dana kapitasi puskesmas, fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, masalah kekurangan tenaga kesehatan dan pola rekruitmennya serta intervensi anggaran dari legislatif. Kata Kunci: Pemekaran, sistem kesehatan, kinerja kesehatan, komitmen dan leadership.
viii
ABSTRACT Name : Judilherry Justam Study program : Doctoral Study in Public Health Title : The Impact of Distric proliferation/division on Performance of Health Development and Health System Capacity between 2007 and 2013. This study aims to determine the impact of the district (regency) proliferation/ division on the performance of health development and health system capacity between 2007 and 2013. The method used in this research is mixed methods which combines quantitative and qualitative methods. Quantitative data used is Basic Research data (Riskesdas 2007 and 2013) from a number of districts taht are grouped into districts with the status of New Autonomous Region (Daerah Otonomi Baru – DOB), the District Parent Before Proliferation/Division (DISP), and the District that does not experience the proliferation/division (Non-DOB). While the qualitative data obtained from a number of key informants who are in the 3 districts of DOB (East Belitung, Mamasa and Lembata) and 3 districts of Non-DOB (Barito Kuala, Majene and TTS) with certain criteria. Quantitative analysis showed no stastitical significance relationship between the category of districts with the health performance as measured by the Public Health Development Index (Indeks Pembangunan Kesehatn Masayarakat - IPKM) between 2007 and 2013. This means that the the health performance of the proliferated/divided area was not different when compared to parent district (DISP) and districts that are not divided (Non-DOB). To explore the sides that can not be revealed with quantitative methods, we didi qualitative research to compare DOB and Non-DOB districts. The qualitative research was conducted to explore the capacity of the 7th health subsystems in each district; which is assumed to ix
affect the health performance in their respective regions. From the results of qualitative analysis known to the absence of a clear pattern which can distinguish between DOB and NonDOB districts. Likewise, there are regional variations with good performance and the performance is not / less well each occur either in theDOB district or in the Non-DOB district. From the qualitative research, it was showed that good performance associated with a strong commitment to health of the head of district, have a long-term vision, leadership and background as well as the remoteness factor of certain district. Some additional findings worthy of attention by all stakeholders, especially the Ministry of Health, that the provisions of 10% of the budget for health is rarely achieved, educational background is not suitable for the requirement needed as the structural health officers, e-catalogue mechanism for procurement of drugs that have not been smooth, utilization of capitation funds health centers, guidance and oversight functions of the central government, the problem of shortage of health workers and the pattern of recruitment new public servants and budget intervention from local legislator. Keywords : Proliferation, health systems, health performance, commitment and leadership
x
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................ i ABSTRAK ....................................................................................... vii ABSTRACT ...................................................................................... ix DAFTAR ISI ………………………………………………………. xi DAFTAR TABEL ………………………………………………… xii 1. PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 4 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP ................... 7 Hipotesis Penelitian........................................................................ 8 4. METODE PENELITIAN ............................................................. 10 4.1 Desain Penelitian.................................................................... 11 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................ 11 4.3 Populasi dan Sampel .............................................................. 11 4.4 Teknik dan Cara Pengumpulan Data ...................................... 12 4.5 Analisis Data .......................................................................... 13 5. HASIL PENELITIAN .................................................................. 14 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ...................................... 14 5.2 Hasil Analisis Kuantitatif ....................................................... 17 5.3 Hasil Analisis Kualitatif ......................................................... 21 6. PEMBAHASAN .......................................................................... 48 6.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................... 48 6.2 Perbedaan Kinerja Kesehatan dan Sistem Kesehatan pada DOB dan NON-DOB ..................................................................... 49 6.3 Temuan Tambahan ................................................................. 54 7. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 66 7.1 Kesimpulan ............................................................................ 66 7.2 Saran-Saran dan Sumbangan Disertasi................................... 69 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi dari Masing-Masing Kategori Kabupaten ………………………………... Tabel 5.1 Perbandingan Peringkat IPKM pada tahun 2007 dan 2013 di 6 (enam) kabupaten ………………………... Tabel 5.2 Gambaran Umum 6 (enam) Kabupaten Lokasi Penelitian Kualitatif ………………………………... Tabel 5.3 Tabel Pembobotan Isi Wawancara dari Berbagai Informan ………………………………..................... Tabel 5.4 Rekapitulasi Subsistem Manajemen, Informasi dan Regulasi pada 6 (Enam) Kabupaten ………………... Tabel 5.5 Rekapitulasi Subsistem SDM Kesehatan pada 6 (Enam) Kabupaten ………………………………...... Tabel 5.6 Rekapitulasi Subsistem Pembiayaan Kesehatan pada 6 (enam) kabupaten ……………………………….... Tabel 5.7 Rekapitulasi Subsistem Pemberdayaan Masyarakat pada 6 (enam) Kabupaten …………………………... Tabel 5.8 Rekapitulasi Subsistem Sedian Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan Pada (Enam) Kabupaten …. Tabel 5.9 Karakteristik Subsistem Upaya Kesehatan pada 6 (Enam) Kabupaten ………………………………...... Tabel 6.1 Perbandingan karakteristik Sistem Kesehatan antara Kabupaten DOB dan Kabupaten Non-DOB ………... Tabel 6.2 Perbandingan Anggaran Kesehatan per Kapita daerah kaya dan miskin asumsi anggaran kesehatan 10% APBD …………………………………………..
xii
11 14 15 22 27 31 36 39 42 46 51
55
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desentralisasi
kesehatan
merupakan
satu
bentuk
reformasi kesehatan (health reform) yang ditempuh berbagai negara di dunia, baik negara-negara maju maupun negaranegara yang sedang berkembang. Desentralisasi itu sendiri secara umum dianggap akan lebih mendekatkan pengambil keputusan dengan masyarakat yang dilayani, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan meningkat, sehingga pelayanan publik yang disediakan akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal. Sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bermunculan keinginan berbagai daerah untuk memekarkan diri membentuk daerah otonom baru. Dari 319 daerah otonom sebelum reformasi, kini menjadi 542 daerah otonom (naik 69,91%) yang terdiri dari 34 propinsi, 415 kabupaten dan 93 kota (Data Kemendagri 2014). Pemekaran daerah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat diantaranya melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan percepatan pelaksanaan pembangunan
perekonomian
daerah.
Namun
dalam
perkembangannya, terdapat beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa pemekaran daerah bukanlah jawaban 1
utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Laode Ida, 2005). Penelitian-penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa disparitas pendapatan masih tinggi (World Bank, 2007). Penelitian BAPPENAS dan UNDP (2008) justru menunjukkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir kinerja pelayanan publik di daerah otonom baru cenderung menurun. Berdasarkan
atas
kajian-kajian
di
atas,
penulis
bermaksud untuk meneliti dampak pemekaran daerah terhadap kinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan, di daerah kabupaten pemekaran, kabupaten induk, dan kabupaten yang sama sekali tidak mengalami pemekaran daerah pada tahun 2007-2013.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Diketahuinya dampak pemekaran Daerah Otonom Baru terhadap kinerja sektor pembangunan kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan dari tahun 2007 sampai tahun 2013. Tujuan Khusus: 1. Diketahuinya kinerja sektor kesehatan di kabupaten Daerah Otonomi Baru (DOB), Daerah Induk Sebelum Pemekaran (DISP), dan Daerah Kabupaten Non-DOB. 2
2. Diketahuinya kinerja sektor kesehatan di kabupaten Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dimekarkan kurang atau lebih dari 4 tahun. 3. Mengetahui kinerja sektor kesehatan di kabupaten Daerah Otonomi Baru (DOB) yang dimekarkan dengan usul inisiatif DPR atau usulan Kemendagri. 4. Mengetahui
dampak
pemekaran
DOB
terhadap
kapasitas sistem kesehatan yang terdiri dari 7 (tujuh) subsistem yaitu manajemen/tata kelola kesehatan, SDM kesehatan, pembiayaan kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, sediaan farmasi, obat dan alkes, peran serta masyarakat dan upaya kesehatan.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA Dalam UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah merupakan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Sedangkan pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 1 ayat 5 disebutkan bahwa konsep otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam mengatur pendapatan dan pengeluaran daerah. Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi dari sistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Menurut Mills, dkk (1990) secara umum desentralisasi merupakan transfer kewenangan dan kekuasaan dalam perencanaan publik, manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah (sub-nasional). Rondinelli (1981, 1989) mengemukakan ada tiga jenis desentralisasi yaitu
desentralisasi
politik
4
(devolusi),
desentralisasi
adminsitrasi (dekonsentrasi dan delegasi) dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi reformasi
sektor
kesehatan kesehatan
merupakan yang
bagian
diperkenalkan
dari pada
dasawarsa 1980 dan 1990-an antara lain didorong oleh kesepakatan yang dicapai mengenai layanan kesehatan primer dalam Konferensi Alma Ata tahun 1987. Tujuan desentralisasi di bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi
masyarakat
dengan
cara
memberdayakan,
menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas Nasional dalam mencapai Indonesia Sehat 2010. Dalam upaya peningkatan derajat kesehatan maka terbentuklah sistem kesehatan yang mana melibatkan seluruh komponen yang meliputi semua aktor, organisasi, lembaga, dan sumber daya yang ditujukan pada tindakan kesehatan (health action) (WHO, 2000). Sistem kesehatan di Indonesia mulai dikembangkan pertama dengan nama Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mulai tahun 1982 dan terakhir status hukum SKN ditingkatkan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden RI no 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dalam SKN 2012 ini disebutkan bahwa Sistem 5
Kesehatan Nasional adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. Dalam Sistem Kesehatan Nasional terdapat 7 subsistem yang masing-masingnya terkait dengan kinerja kesehatan. Ke7 subsistem kesehatan tersebut adalah (1) Manajemen, Informasi dan Regulasi Keseheaan, (2) Sumber Daya Manusia Kesehatan, (3) Pembiayaan Kesehatan, (4) Pemberdayaan Masayarakat, (5) Sedian farmasi, alat kesehatan dan farmasi, (6) Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, dan (7) Upaya Kesehatan. Dalam mengukur kinerja kesehatan Kementerian Kesehatan menyusun sebuah indikator komposit yaitu Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM untuk menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan menurut data komunitas Riskesdas, Susenas, dan Podes.
Dalam perkembangannya, IPKM telah dua kali
diterbitkan Kementerian Kesehatan yaitu IPKM 2007 dan IPKM 2013.
6
3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP Kerangka teori dalam penelitian ini diambil dari PP RI 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, seperti tergambar berikut ini : Manajemen, regulasi, dan informasi kesehatan
Sumber daya manusia kesehatan
Desentralisasi
Sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan Upaya Kesehatan (UKM dan UKP)
Penelitian dan pengembangan kesehatan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat
Pembiayaan kesehatan
Gambar 3.1 Kerangka Teori diadopsi oleh Ascobat Gani dari Peraturan Presiden RI No 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
Maka berdasarkan kepada kerangka teori tersebut, disusun kerangka konsep dimana desentralisasi dengan pemekaran daerah dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori kabupaten yang dapat mempengaruhi sistem kesehatan dan
7
berujung pada kinerja kesehatan. Susunan kerangka konsep tersaji dalam gambar 3.2 berikut: KABUPATEN DOB SISTEM KESEHATAN DAERAH
KABUPATEN INDUK
KINERJA KESEHATAN
KABUPATEN NONDOB
Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep
Gambar 3.2 memperlihatkan bahwa perbedaan kategori kabupaten
menjadi
DOB,
DISP,
dan
NON-DOB
mempengaruhi pelaksanaan sistem kesehatan di kabupaten dan berujung pada perbedaan output kinerja kesehatan. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan perbedaan lamanya DOB dimekarkan serta inisiatif pembentukannya terhadap sistem kesehatan dan kinerja kesehatan.
Hipotesis Penelitian Hipotesis 1 “Kinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan
Daerah
Otonom
Baru
lebih
rendah
bila
dibandingkan dengan Daerah Induk Sebelum Pemekaran
8
(DISP) dan kabupaten yang tidak dimekarkan (Non-DOB) dari tahun 2007 sampai tahun 2013” Hipotesis 2 “Kinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan Daerah Otonom Baru yang dimekarkan lebih dari 4 (empat) tahun lebih baik dibandingkan dengan Daeah Otonom Baru yang dimekarkan 4 (empat) tahun atau kurang” Hipotesis 3 “Kinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan Daerah Otonom Baru yang dimekarkan atas usulan Kemendagri lebih baik dibandingkan dengan Daerah Otonom Baru yang dimekarkan berdasarkan usul inisiatif DPR” Hipotesis 4 “Pemekaran daerah merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi
kinerja
pembangunan
disamping beberapa faktor yang lain”
9
kesehatan
4. METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kombinasi
(mixed
methods).
Penelitian
ini
menggunakan desain concurrent embedded designs dengan pendekatan strategi embedded konkuren. 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian
dilakukan
pada
tahun
2014-2015,
pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif dilakukan bersamaan. Tempat penelitian dilaksanakan di wilayah kabupaten
di
Republik
Indonesia,
pengumpulan
data
kuantitatif dilakukan di kabupaten yang dikategorikan menjadi kabupaten yang berstatus Daerah Otonom Baru (DOB), Daerah Induk Sebelum Pemekaran (DISP), dan Kabupaten Non-DOB. Sedangkan data kualitatif akan diperoleh dari sejumlah informan yang berada di kabupaten DOB dan NonDOB. 4.3 Populasi dan Sampel Dalam mengumpulkan data kuantitatif dan kualitatif, dilakukan pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
10
Tabel 4.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi dari Masing-Masing Kategori Kabupaten No Jenis Kabupaten Data Kuantitatif 1. Daerah Otonom Baru (DOB)
Kriteria Inklusi Semua DOB pada tahun 1999-2007
Kriteria Eksklusi 1. 2. 3.
4.
2.
Daerah Induk Sebelum Pemekaran (DISP)
Semua kabupaten yang mengalami pemekaran wilayah dalam kurun waktu 1999-2013.
1. 2. 3.
3.
Kabupaten DOB
Non-
1
Daerah Otonom Baru (DOB)
2
Kabupaten DOB
Non-
Semua kabupaten yang berada di bawah pemerintahan negara Republik Indonesia dan tercatat belum pernah mengalami pemekaran.
1.
2.
Data Kualitatif Semua Kabupaten DOB 1. yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada 2. data kuantitatif Semua kabupaten NON- 1. DOB yang memenuhi kriteria inklusi dan 2. eksklusi pada data kuantitatif
DOB yang mengalami pemekaran kembali. DOB yang merupakan hasil dari pemekaran DOB. DOB yang berasal dari DISP yang mengalami pemekaran beberapa kali dalam tahun yang berbeda. DOB yang berada di Provinsi Istimewa dan Khusus (Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Papua, Papua Barat). Kabupaten DISP dimekarkan menjadi lebih dari 2 DOB. Kabupaten DISP dimekarkan menjadi 2 DOB dalam 2 tahun yang berbeda. Kabupaten DISP yang berada di Provinsi Istimewa dan Khusus (Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Papua, Papua Barat). Kabupaten Non-DOB yang berada di Provinsi Istimewa dan Khusus (Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Papua, Papua Barat). Kabupaten Non-DOB yang berada di provinsi yang tidak memiliki DOB sesuai kriteria. DOB yang tidak memiliki daftar DHA Kepala Daerah DOB memimpin 2 tahun atau kurang. Non-DOB yang tidak memiliki daftar DHA Kepala Daerah Non-DOB memimpin 2 tahun atau kurang.
Total sampel pada metode primer untuk pengambilan data kuantitatif adalah 46 kabupaten berstatus DOB, 19 11
kabupaten berstatus DISP, dan 29 kabupaten Non-DOB sehingga total keseluruhannya adalah 94 kabupaten. Total sampel partisipan data kualitatif adalah 3 kabupaten DOB (kabupaten Belitung Timur, Mamasa, dan Lembata) dan 3 kabupaten Non-DOB (kabupaten Barito Kuala, Majene, dan Timor Tengah Selatan). Kemudian, dari 46 kabupaten DOB dikelompokkan berdasarkan inisiatif usulan pembentukannya yaitu Kabupaten DOB usulan DPR-RI berjumlah 15 kabupaten dan Kabupaten DOB dengan usulan Kemendagri berjumlah 31 kabupaten. Sedangkan kabupaten DOB menurut lama pemekarannya dikelompokkan
menjadi
Kabupaten
DOB
yang
telah
dimekarkan lebih dari 4 (empat) tahun berjumlah 25 kabupaten dan yang telah dimekaran kurang atau sama dengan 4 (empat) tahun berjumlah 21 kabupaten.
4.4 Teknik dan Cara Pengumpulan Data 1. Data kuantitatif diperoleh dari data laporan tahunan kabupaten yaitu Kabupaten Dalam Angka tahun 2008 dan 2014, data Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri,
BKKBN
terkait
penelitian.
12
dengan
variabel-variabel
2. Data kualitatif diperoleh dengan wawancara mendalam kepada informan yang berwenang di kabupaten DOB dan NON-DOB.
4.5 Analisis Data Analisis data kuantitatif dilakukan dengan uji one way analysis of varians (anova), uji t-test, dan uji multivariat regresi linier berganda. Kemudian untuk analisis data kualitatif meliputi data reduction, conclusion drawing/verification.
13
data display, dan
5. HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian Berikut
beberapa
gambaran
umum
daerah
yang
dijadikan sebagai sampel dalam metode kualitatif. Tabel 5.1 Perbandingan Peringkat IPKM pada tahun 2007 dan 2013 di 6 (enam) kabupaten Kabupaten Belitung Timur Mamasa Lembata Barito Kuala Majene Timor Tengah Selatan
Peringkat IPKM 2007 216 430 264 353 221
Peringkat IPKM 2013 98 349 409 406 177
∆Peringkat IPKM 2007-2013 Naik Naik Turun Turun Naik
399
438
Turun
14
Tabel 5.2 Gambaran Umum 6 (enam) Kabupaten Lokasi Penelitian Kualitatif Indikator/Nama Kabupaten Kabupaten Induk UU Pemekaran Kriteria Kabupaten Kriteria Kabupaten DBK menurut IPKM 2007 (Daerah Bermasalah Kesehatan) ∑ Penduduk
Belitung Timur Belitung
Mamasa
Lembata
Barito Kuala
Majene
Timor Tengah Selatan -
Polewali Mandar
Flores Timur
-
-
No. 5/2003
No. 11/2002
No. 52/1999
-
-
-
Non-Tertinggal
Tertinggal
Tertinggal
Tertinggal
Tertinggal
Tertinggal
Non-DBK
DBK
DBK
Non-DBK
Non-DBK
DBK 451922
114469
147660
126704
289.995
158890
∑ Kecamatan
7
17
9
17
8
32
∑ Desa
39
181
151
201
82
278
Persentase Penduduk Miskin Angka Melek Huruf (%) Fasilitas Kesehatan ∑ Puskesmas
6.9
13.92
23.25
5.12
15.26
27.81
97.63
89.43
93.98
94.19
96.53
84.44
7
17
9
19
11
31
∑ Pustu
17
75
35
62
34
63
∑ Poskesdes
42
43
77
156
65
90
∑ Polindes
**
36
**
**
**
17
∑ Posyandu
*
306
316
384
286
712
∑Pusling
6
14
9
16
14
27
15
SDM Kesehatan ∑ Dokter Umum
12
14
12
31
16
27
∑ Perawat
159
176
127
163
264
123
∑ Bidan
52
64
116
278
170
162
∑ Tenaga Kefarmasian ∑ Tenaga sanitarian ∑ SKM
2 3 2
21 6 15
5 23 51
22 20 4
13 34 58
22 58 79
∑ Tenaga Gizi Persentase APBD Kesehatan
9 13.91
17 5.21
19 10.87
26 9.25
17 10.4
48 9.74
APBD Kesehatan per Kapita
Rp 682,858,13
Rp 146,909.90
Rp401,706.04
Rp 243,300.69
Rp 358,490.47
Rp 180,749.18
Pendidikan (25,99) Pemerintahan Umum (24,41) Kesehatan (13,91)
Pemerintahan Umum (34,27) Pendidikan (30,38) Pekerjaan Umum (7,19)
Pemerintahan Umum (26,37) Pendidikan (27,03) Pekerjaan Umum (17,76)
Pendidikan (37,74) Pekerjaan Umum (20,83) Pemerintahan Umum (14,75)
Pendidikan (36,11) Pemerintahan Umum (20,49) Pekerjaan Umum 10,50
Pendidikan (42,20) Pemerintahan Umum (25,42)
Pekerjaan Umum (12,66)
Kesehatan (5,21)
Kesehatan (10,87)
Kesehatan (9,25)
Kesehatan (10,4)
Pekerjaan Umum (5,80)
2008
2010
2010
2009
PKEKK
PPJK KEMENKES
PKEKK
PKEKK
Empat Prioritas Anggaran Menurut Fungsi (persentase)
DISTRICT HEALTH ACCOUNT (tahun) Sumber DHA
2010 PKEKK
2010 PKEKK
**data tercakup dalam jumlah Poskesdes
16
Kesehatan (9,74)
5.2 Hasil Analisis Kuantitatif Hasil analisis kuantitatif merupakan uji untuk membuktikan hipotesis penelitian, uraiannya sebagai berikut: 1. Untuk menjawab Hipotesis 1 dilakukan uji Anova dan ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kabupaten pemekaran wilayah (DOB, DISP, dan NON-DOB) terhadap selisih skor IPKM 2007-2013, artinya tidak ada perbedaan rata-rata selisih skor IPKM tahun 2007-2013 antara kabupaten DOB, DISP, dan NON-DOB. Kemudian dianalisis pada beberapa variabel lain pada sistem kesehatan menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada : a. Selisih persentase APBD Kesehatan dimana selisih Persentase APBD Kesehatan terbesar pada kabupaten NON-DOB dibandingkan dengan DISP. b. Selisih rasio dokter per 100.000 penduduk dimana kabupaten DOB mengalami penurunan, sedangkan pada kabupaten DISP mengalami kenaikan. Serta ada perbedaan pada kabupaten DOB dan NON-DOB yaitu penurunan terbesar pada kabupaten DOB dibandingkan dengan kabupaten NON-DOB. c. Selisih Tempat Tidur Rumah Sakit per 100.000 penduduk dimana pada kabupaten DOB mengalami 17
kenaikan, sedangkan kabupaten NON-DOB mengalami penurunan. 2. Untuk menjawab Hipotesis 2 dilakukan uji T-test dan ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pemekaran wilayah (DOB dimekarkan <4 tahun dan DOB dimekarkan >4 tahun) terhadap selisih skor IPKM 2007-2013, artinya tidak ada perbedaan rata-rata selisih skor IPKM tahun 2007-2013 antara kabupaten DOB dimekarkan dengan <4 tahun dan DOB yang dimekarkan >4 tahun. Kemudian dianalisis pada beberapa variabel lain pada sistem kesehatan menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada : a. Selisih rasio dokter per 100.000 penduduk, dimana pada kedua kabupaten DOB mengalami penurunan, dengan penurunan
terbesar
pada
kabupaten
DOB
yang
dimekarkan >4 tahun dibandingkan yang dimekarkan <4 tahun. b. Selisih rasio puskesmas per 100.000 penduduk, dimana pada kabupaten DOB yang dimekarkan <4 tahun mengalami kenaikan, sedangkan pada kabupaten DOB yang dimekarkan >4 tahun mengalami penurunan.
18
3. Untuk menjawab Hipotesis 3 dilakukan uji T-test dan ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna pemekaran wilayah (DOB pemekaran dengan inisiatif DPR dan DOB pemekaran dengan inisiatif Kemendagri) terhadap selisih skor IPKM 2007-2013, artinya tidak ada perbedaan rata-rata selisih skor IPKM tahun 2007-2013 antara kabupaten DOB pemekaran dengan inisiatif DPR dan DOB pemekaran dengan inisiatif Kemendagri. Kemudian dianalisis pada beberapa variabel lain pada sistem kesehatan menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada : a. Selisih persentase APBD Kesehatan, dimana pada kedua kategori kabupaten mengalami kenaikan, dengan ratarata kenaikan terbesar pada kabupaten dimekarkan dengan inisiatif DPR. b. Selisih rasio dokter per 100.000 penduduk, dimana pada kedua
kategori
kabupaten
mengalami
penurunan,
dengan rata-rata penurunan terbesar pada kabupaten DOB pemekaran dengan inisiatif Kemendagri. c. Selisih rasio puskesmas per 100.000 penduduk, dimana kedua kategori kabupaten mengalami kenaikan dengan rata-rata kenaikan terbesar pada kabupaten yang dimekarkan dengan inisiatif DPR. 19
4. Untuk menjawab Hipotesis 4 dilakukan analisis multivariat dengan analisis regresi linier berganda dengan dependen persen selisih skor IPKM tahun 2007-2013. Hasil multivariat menunjukkan bahwa : a. Semua asumsi terpenuhi dengan nilai R Square 0,281 dan Sig=0,181. Menunjukkan bahwa pengaruh semua variabel independen terhadap naik turunnya variasi persen selisih skor IPKM sebesar 28,1%. b. Koefisien Regresi DISP menunjukkan bahwa persen selisih skor IPKM pada kabupaten DISP lebih rendah 5,191 dibandingkan dengan kabupaten DOB. c. Koefisien Regresi Non-DOB menunjukkan bahwa persen selisih skor IPKM pada kabupaten Non-DOB lebih rendah -2,886 dibandingkan dengan kabupaten DOB. d. Dari
semua
variabel
independen
yang
memiliki
hubungan secara parsial terhadap persen selisih skor IPKM adalah Persen Selisih Contraceptive Prevalence Rate (CPR).
20
5.3 Hasil Analisis Kualitatif Pengantar Analisis ini dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam kepada 9 (sembilan) informan yaitu Bupati/Wakil Bupati/Sekda, DPRD Komisi Kesejahteraan, BAPPEDA, BKKBD/BPPKB/BPPKBKS/BKBP3A, Kepegawaian
Daerah),
BPMD
BKD
(Badan
(Badan
Pembangunan
Masyarakat Desa), Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Umum Daerah dan Puskesmas. Fokus wawancara adalah untuk menilai apakah fungsifungsi sistem kesehatan berbeda antara DOB (Daerah Otonomi Baru) dan Non-DOB (Daerah yang tidak dimekarkan). Masing-masing fungsi sistem kesehatan tersebut diuraikan dalam sub-fungsi manajemen, informasi dan regulasi; SDM kesehatan; pembiayaan kesehatan; pemberdayaan masyarakat; sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan; penelitian dan pengembanan kesehatan dan upaya kesehatan.
Pembobotan Pengaruh dan Peran Informan Untuk
menginterpretasikan
jawaban
informan
dilakukan pembobotan denan asumsi bahwa pengaruh dan peranan masing-masing informan terhadap sub-fungsi tertentu sistem
kesehatan
adalah
berbeda. 21
Dalam
menentukan
pembobotan ini dilakukan survei terhadap 10 orang nara sumber yang dinilai berpengalaman dalam pengelolaan kesehatan di tingkat kabupaten. Hasilnya dapat dilihat dalam table 7.1 di berikut:
Tabel 5.3 Tabel Pembobotan Isi Wawancara dari Berbagai Informan Subsistem Manajemen, Informasi dan Regulasi Kesehatan SDM Kesehatan Pembiayaan Kesehatan Sediaan Farmasi, Alkes dan Makanan Penelitian dan Pengembang an Kesehatan Pemberdayaa n Masyarakat Upaya Kesehatan
Bupati
DPRD
BAPPEDA
BKD
BKKBD
BPMD
DINKES
RSUD
Puskesmas
9,1
8,2
7,5
5,6
6,2
5,5
9,3
8,1
7,1
9,1
7,3
7,5
9,7
6,1
5,2
9,0
8,4
6,6
8,8
9,2
8,6
5,2
5,7
5,5
9,0
8,2
7,0
7,4
7,3
7,6
4,2
5,6
4,5
9,2
9,1
8,2
6,7
5,7
7,3
5,5
5,6
5,3
8,7
8,0
7,1
7,3
7,2
7,0
5,3
7,0
9,1
9,2
6,2
9,1
7,2
6,6
8,1
5,3
5,9
6,6
9,8
9,0
9,5
Pembobotan menginterpretasikan terhadap
pertanyaan
di
atas
jawaban
dipergunakan masing-masing
menyangkut
fungsi-fungsi
dalam informan sistem
kesehatan.
Jawaban Informan Berikut ini disampaikan jawaban informan dimulai dari 3 daerah DOB (Daerah Otonomi Baru) dan seterusnya 3 22
daerah non-DOB terhadap pertanyaan tentang ke-7 subsistem kesehatan, kecuali subsistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan karena memang umumnya kegiatan penelitian dan pengembangan kesehatan bersifat sentralisasi ke pusat.
1) Manajemen, Informasi dan Regulasi Dari subsistem ini kita dapat menilai sejauh mana komitmen daerah –eksekutif maupun legislatif– terhadap pembangunan kesehatan di daerahnya dilihat dari visi misi kepala daerah, prioritas program, terbitnya perda/perbup kesehatan, tata kelola, adanya intervensi legislatif dan lain sebagainya. “Kemampuan APBD kami cukup lumayan untuk memberikan prioritas di bidang kesehatan.” (BT3) “Misi itu rasa politisnya janji bupati kepada masyarakat, memberikan jaminan pendidikan dan kesehatan dan jaminan sosial lainnya pada masyarakat.” (BT6) “Bupati kita ini mantan Kepala Dinas Kesehatan, jadi terobosan-terobosannya itu paham betul.” (BT4) “Ada ini, baru perda higienis, kita perda-kan tahun 2010. Perda larangan merokok ya pak belum bisa kita terima, kita tolak.”(BT3) “DPRD itu kebanyakan usulannya ke proyek-proyek fisik yang 200 juta-an gitu.”(BT1) “Ada berbagai bentuk intervensi anggaran. Misalkan ada anggota Dewan yang menanyakan ‘Kamu punya rumah dinas berapa’? Punya puskesdes berapa? Ya 23
udah, kukasi Rp 50 juta per puskesmas untuk rehab. Ujung-ujungnya dia sendiri yang melaksanakan.” (BT4) “Misi kami menyelenggarakan/ menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau, merata dan berkualitas.” (MM5) "Perda belum ada pak. Belum ada perda-perda tentang kesehatan yang dikeluarkan. Kalau sampai hari ini memang yang baru ada itu RANPERDA KTR.” (MM2) “Kebetulan selama saya kerja di sini pak dari 2008, peran DPRD mau mencampuri kita yang ada di birokrasi memang ada tapi dalam jumlah yang kecil tidak terlalu banyak.”(MM6) “Visi misi di kesehatan itu yang pertama pendekatan pelayanan kesehatan terus yang kedua meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.” (LB1) “Ada kadang-kadang upaya mengintervensi anggaran dari Dewan. Teorinya saja legislatif tidak boleh turut serta dalam pembahasan satuan-3, prakteknya tetap saja.” (LB1) “Disini ada perda KIBLA, HIV/AIDS, Perbup revolusi KIA, rujukan itu dalam bentuk SK Bupati.”(LB3) “Komitmen baik dari pimpinan maupun DPRD terhadap program KB saya rasa masih kurang.” (LB7) “Kesehatan itu masuk dalam misi ke-3 sasaran yang ke-4 yang artinya bagaimana rakyat mendapatkan pelayanan kesehatan yang sebaik mungkin yang terjangkau.” (BK6) “Bicara kesehatan tidak habis di dinas kesehatan. Kita ciptakan skenario kerjasama itu ada. Contoh BULIN TERTAWA (Ibu Hamil Terdata Nanti Bersalin Pulang Membawa AKTA). Itu kerjasama antara BPMPD dengan Dinas Dukcapil, dan kesehatan.” (BK1) 24
“Kalau anggota DPRD bilang, proyek ini kami minta ini sekian. Kata saya, kalau gak ikut prosedur, kami akan kembali ke anggaran tahun lalu. Itu Pak, saya agak sedikit tegas kalau soal itu. Kalau DPRD saya masih sanggup mengatasi, masih bisa saya atasi.” (BK1) “Perbup kawasan bebas rokok oh itu ada. Tapi perbupnya sendiri selalu mendahului dari konsep perda. Dari tahun 2013 kita sudah ada itu Perbup. nomor 3 tahun 2013. (BK4) “Penjabaran misi Bupati di bidang kesehatan adalah dalam bentuk pelayanan kesehatan gratis.” (MJ1) “Tahun kemarin kami mendapatkan penghargaan KEMENKES karena alokasi anggaran kesehatan kita masuk urutan ke-16 besar dari seluruh Kabupaten/Kota se Indonesia.” (MJ3) “Waktu itu saya usul 2 perda. 1 perda pelayanan kesehatan gratis, 1 perda retribusi.Tahun kemarin sudah keluar perda ASI. Kemudian sekarang lagi usul perda KIBLA, kesehatan ibu bayi baru lahir. KTR lagi dibahas.” (MJ3) “Kan disini banyak pak disamping dari APBD kan ada kegiatan-kegiatan pemberdayaan, ada PNPM, ada Pamsimas itu, pemberdayaan sanitasi masyarakat, semua itu jadi ini yang menopang semua air bersih, MCK, jadi tidak mutlak semua dari kesehatan.” (MJ2) “Misi yang terkait dengan kesehatan adalah misi ke-3 yaitu meuwujdkan standar pelayanan kesehatan yang berkualitas.” (TTS1) “Sudah ada perda mengenai KIBLA, kemudian perda mengenai KDRT ada juga kita. Lalu HIV/AIDS, ada juga itu reproduksi remaja.” (TTS1)
25
“Program-program yang dibuat oleh pusat itu harusnya disinergikan, sehingga program ini tidak ego sektor.” (TTS7)
26
Tabel 5.4 Rekapitulasi Subsistem Manajemen, Informasi dan Regulasi pada 6 (Enam) Kabupaten Belitung Timur
Mamasa
Lembata
Barito Kuala Majene
Timor Tengah Selatan
Subsistem Manajemen, Informasi dan Regulasi Cukup kuat komitmen terhadap kebijakan dan program kesehatan. Sektor kesehatan mendapatkan prioritas ke-3 dalam anggaran daerah setelah sektor pendidikan dan pemerintahan umum. Anggaran kesehatan sudah mencapai 13,91%. Terdapat sejumlah Perbup dan Perda yang terkait dengan kesehatan seperti perda SPM, perda higienis dan sanitasi makanan dan perda penanggulangan HIV/AIDS Bupati, DPRD dan BAPPEDA secara verbal mengatakan bahwa ada cukup komitmen dalam pelaksanaan program kesehatan. Dari data Kementerian Keuangan ternyata porsi anggaran kesehatan terhadap APBD hanya 5,21% termasuk gaji, sehingga agak diragukan adanya komitmen tersebut. Kabupaten Mamasa dimekarkan sejak tahun 2002. Selama itu belum berhasil menerbitkan perda maupun perbup yang berhubungan dengan kesehatan. Dari ke-6 misi Bupati yang tertera dalam RPJMD tidak ada yang secara eksplisit menyebut tentang kesehatan. Cukup menggembirakan adalah anggaran kesehatannya yang sudah mencapai 10,87% APBD termasuk gaji. Sudah ada beberapa perda dan perbup yang terkait dengan kesehatan. Sementara aturan Kawasan Tanpa Rokok masih dalam bentuk Ranperda. Tiidak ada misi yang spesifik menyebutkan perlunya pelayanan kesehatan yang baik. Porsi anggaran kesehatan dalam APBD adalah 9,25%, termasuk gaji. Belum ada satupun perda yang menyangkut kesehatan. Regulasi yang ada selama ini hanya diatur dengan Perbup misalkan perbup tentang Pedoman Pelaksanaan Jamkesda,. Pengesahan anggaran tepat waktu tiap bulan Desember. Dalam visi misi tidak eksplisit disebut tentang kesehatan, implisit terdapat dalam misi peningkatan pelayanan publik yang tentunya termasuk kesehatan. Anggaran kesehatan mencapai 10,4% APBD sehingga menempati urutan ke-16 di antara Kabupaten/Kota se-Indonesia..Sekarang sedang di usulkan perda KIBLA, kesehatan ibu bayi baru lahir. Dalam RPJMD disebutkan salah satu misinya untuk mewujudkan standar pelayanan kesehatan yang berkualitas. Anggaran kesehatan berada peringkat 3 dalam APBD, dengan persentase cukup baik 9,74%. Sudah terdapat beberapa perda dan perbup yang berhubungan dengan kesehatan seperti perda KIBLA, HIV/AIDS dll. Juga ada perda tentang human trafficking karena banyak kasusnya di TTS.
27
2) Sumber Daya Manusia Kesehatan “Seluruh Puskesmas sudah ada dokter, ada dokter jaga tetap 24 jam. Bahkan ada Puskesmas yang mempunyai dua orang dokter umum. Keterbatasan kita ada pada dokter spesialis.” (BT1) “Tes CAT (Computer Assisted Test) penerimaan pegawai baru tahun ini ternyata pake passing grade pak, jadi dokter ini 12 yang daftar, 9 yang mengikuti tes, sayangnya hanya terisi 4. Yang lain tidak mencapai passing grade.” (BT7) “Dokter spesialisnya yang masih sangat minimal. Sekarang kita masih di kelas RS tipe D dok. (BT5) “Direkturnya RS ini saja bukan dokter MARS. Di Undang-Undang rumah sakit harus dokter MARS. Saya, keperawatan S2-nya.” (BT5) “Saat ini hanya ada 7 dokter untuk 17 Puskesmas. Di Mamasa ini tidak ada dokter spesialis yang bertugas sehari-hari.” (MM1) “Ada sekitar 87 bidan, lebih banyak Pustu dari bidannya.” (MM5) “Direktur rumah sakit, S2-nya Magister Kesehatan memang, tapi dia bukan dokter, S.Pd, M.Kes., yang gak relevan antara kependidikan dengan kesehatan.” (MM6) “Ada spesialis kandungan, ada spesialis syaraf, yang sudah disekolahkan, tapi kan mereka tidak di sini semua, terus bedah. Semua itu kan ngambil gajinya di Mamasa, tapi bekerja di luar.” (MM2) “Mengenai Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatakan kepala Puskesmas itu harus S1 kita belum bisa memenuhi.” (MM3) “Kami sudah punya spesialis anak, bedah, dan obgyn. Mengenai SDM di dinas kesehatan, di rumah sakit itu belum sesuai dengan ketentuan.” (LB1) 28
“Plt Kadinkes yang sekarang di Lembata itu ‘ikat pinggang’nya Bupati. Latar belakangnya Sarjana Peternakan.” (LB2) “Untuk mengisi kekurangan dokter spesialis, dijalin kerjasama dengan Universitas Brawijaya, yang dikirim spesialis residen.”(LB6) “Untuk di Lembata ini hampir semua desa, 95%, sudah ada bidan desa.”(LB3) “Tapi yang terjadi, dulu sebelum saya jadi bupati, dengan kontrak, setelah selesai pendidikan, ada yang gak mau kembali. Dan kadang-kadang spesialis yang datang itu ada juga yang tidak kita butuhkan.” (BK1) “Spesialis sudah terpenuhi beberapa. Ada beberapa dokter gigi yang belum terpenuhi.” (BK3) “Bahkan nggak ada yang daftar kemarin, itu yang CPNS, dokter gigi kemarin nggak ada yang daftar. Ada formasinya, tapi nggak ada yang daftar, orang kan milih yang daerahnya enak, heuheu bisa praktek.” (BK6) “Kemarin pak Bupati bilang begini katakanlah ada orang sini kita sekolahkan, tapi nanti dia harus ujian CPNS, dia nggak lulus susah juga” (BK6) “Kepala puskesmas alhamdulillah sudah semua S1. Ada yang dokter, SKM. Bahkan ada beberapa yang dari Puskesmas itu sudah S2, dari 19 itu 3 yang S2.” (BK4) “Jadi kalau di Polindes kita, dilayani tenaga bidan. Bidan itu dari 194 desa yang terisi hanya 127 polindes.” (BK7) “Seleksinya CPNS semakin ketat, sistim online langsung yang CAT, yang langsung bisa diketahui berapa nilainya.” (MJ2) “Dari hasil tes online itu kami melihatnya, persentase itu kalau orang-orang di sini 25-30 % yang bisa 29
diterima dari total 54 formasi yang disediakan. Selebihnya itu dari luar.” (MJ6) “4 dasar sudah ada. Bedah, anak, penyakit anak, kebidanan itu ada. Tapi yang lainnya, anastesi, itu kita masih pake residen spesialis dari UNHAS.” (MJ3) “Direktur RSUD belum master rumah sakit, iya tenaga kita memang terbatas.” (MJ1) “Tidak semua puskesmas memiliki dokter umum. Dari 35 puskesmas hanya sekitar 2/3 yang dilayani dokter umum. PNS dokter umum di puskesmas hanya 4 orang, sisanya dokter PTT. Sebagian lagi dokter umum PNS di rumah sakit.” (TTS1) “Spesialis mayor (4 dasar) diberikan insentif 15 juta per bulan. Spesialis minor seperti paru, mata, diberikan insentif 7,5 juta dan dokter umum 3 juta” (TTS1) “Kalau bapak nanti bisa keliling keliling pasti ditemukan poskesdes yang kosong sudah ada sarana fisiknya tapi orangnya tidak ada. Banyak puskesmas pembantu yang kosong tenaganya pak,” (TTS2) “Kepala puskesmasnya itu ada yang sanitarian. Karena memang tidak ada SDM-nya.” (TTS5) “Tenaga kontrak tidak boleh oleh BKD, yang namanya tenaga kontrak apapun tidak boleh.”(TTS6) “Dari 4 dasar spesialis yang baru ada cuma kandungan, sedangkan yang lain sister hospital.” (TTS4) “Dari 278 desa, polindes sekitar 170an. Mungkin yang tersedia tenaga bidannya hanya seperempatnya. Pustu kita ada sekitar 55 itupun kita mungkin yang terisi hanya sepertiganya.” ((TTS3)
30
Tabel 5.5 Rekapitulasi Subsistem SDM Kesehatan pada 6 (Enam) Kabupaten Belitung Timur
Mamasa
Lembata
Barito Kuala
Majene
Subsistem SDM Kesehatan Masalah di Belitung Timur adalah kelangkaan dokter spesialis. Sedangkan dokter umum serta bidan dan perawat jumlahnya sudah cukup memadai. Jalan keluar sementara sebelum mereka yang sedang menempuh pendidikan spesialis selesai adalah dengan kontrak dokter spesialis, termasuk bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran. Semua puskesmas sudah dilayani dokter, demikian juga semua polindes sudah terisi oleh tenaga bidan. Tetapi masih terdapat ketidak sesuaian kompetensi pejabat struktural di Dinas maupun fasilitas kesehatan seperti RS dan puskesmas. Formasi penerimaan pegawai baru sangat terbatas. Saat ini hanya ada 7 dokter untuk 17 puskesmas. Hanya ada 87 bidan untuk melayani seluruh puskesmas dan rumah sakit. Ada 187 desa, jumlah pustunya sekitar 80%. Tapi banyak pustu “menganggur”, karena tidak ada tenaga. Karena ada masalah dalam pembangunan rumah sakit, spesialis yang disekolahkan terpaksa ditugaskan ke luar daerah. Direktur RSUD walaupun bergelar MKes, tetapi S1nya dalam bidang Kependidikan (SPd). Dari 17 puskesmas hanya 6 puskesmas yang dipimpin oleh tenaga yang mempunyai gelar S1. Sudah tersedia tenaga spesialis dasar, termasuk hasil kerjasama dengan Universitas Brawijaya / RS Syaiful Anwar dalam bentuk kerjasama dokter residen atas bantuan AIPMNH. Tidak semua puskesmas mempunyai dokter, tetapi sudah ada bidan di semua desa. Karena masalah SDM, rumah sakit dipimpin seorang dokter yang belum bergelar MARS. Kepala Dinas Kadinas berstatus Plt sudah 3 tahun dirangkap asisten 2 Bupati yang berlar belakang pendidikan Sarjana Peternakan. Ujian model CAT ini mengurangi kemungkinan orang lokal untuk bersaing karena mungkin kualitasnya kurang. Tenaga dokter umum cukup terpenuhi, semua puskesmas sudah dilayani oleh dokter. Sudah ada beberapa spesialis, sebagian dipenuhi dengan residen spesialis. Polindes dilayani oleh bidan, dari 194 desa hanya ada 127 polindes. Untuk penyuluh KB hanya ada 40 untuk 201 desa. RSUD dipimpin oleh dokter yang tidak menyandang gelar MARS. Semua puskesmas sudah dipimpin oleh tenaga S1. Yang lulus dalam seleksi CPNS dengan CAT kebanyakan orang luar Majene. Tahun ini orang asal Majene hanya 30% dari total 54 formasi yang tersedia. Kebutuhan tenaga kesehatan diatasi dengan mempekerjakan tenaga kontrak dan tenaga sukarela. Terdapat 14 dokter umum yang tersebar di semua kecamatan. Ada spesialis yang berasal dari dokter umum yang disekolahkan. Sebagian lagi dipenuhi dengan spesialis residen. Secara keseluruhan tenaga bidan dan perawat sudah berlebihan,
31
Timor Tengah Selatan
Dari 58 formasi baru yang tersedia, untuk kesehatan hanya dialokasikan 2 bidan dan 2 perawat. Sementara untuk mengangkat tenaga kontrak terbentur dengan PP no 48 tahun 2005 yang melarang pengangkatan tenaga kontrak. Dokter umum PNS hanya 4 orang. Tidak semua puskesmas punya dokter. Untuk spesialis yang ada cuma dokter Obgyn, sisanya berasal dari sister hospital. Dari 278 desa, polindes yang hanya ada sekitar 170-an, dari jumlah itu yang dapat dilayani bidan hanya seperempatnya. DPRD sudah bersedia mengalokasikan dana sebesar Rp 1,4 M untuk mengangkat tenaga kontrak, tapi tetap ditolak oleh BKD.
32
3) Pembiayaan Kesehatan “Untuk anggaran kesehatan kita utamakan sesuai dengan ketentuan dari pusat.” (BT3) “Anggaran Kesehatan diatas tujuh setengah persen dari total APBD, sedangkan realisasi anggaran di Belitung Timur ini umumnya bulan Maret.” (BT4) “100% masyarakat Belitung Timur ditanggung kesehatannya. Yang tidak ditanggung BPJS itu ditanggung oleh pemerintah daerah.” (BT1) “Puskesmas kita kan ada dana BPJS. Dana BPJS itu kita bagikan hampir 100% kembali ke puskesmas.” (BT1) “Pemanfaatannya dana kapitasi 40:60. 60% untuk tenaga kesehatan sesuai dengan permenkes, 30% untuk BHP dan 10% untuk administrasi.” (BT4) “Anggaran kesehatan baru sekitar 8-9%, karena APBD kita banyak terserap di pedesaan. Total APBD kita hanya Rp 684 M, PAD 7 M.” (MM1) “APBD kita kelihatannya besar, tapi kalau dicek itu sekitar 60-70% anggaran pegawai.”(MM2) “Puskesmas tahun ini dapat kapitasi, 100% dialokasikan ke puskesmas.” (MM5) “APBD kita hampir 90% lebih tergantung dari pusat, kapasitas fiskal kita sangat rendah.” (LB1) “Pengesahan APBD 2015 Lembata termasuk salah satu kabupaten di NTT yang amat sangat terlambat.” (LB2) “BPJS ini memang sulit sekali, apalagi dengan kehidupan masyarakat yang di bawah miskin, sehingga integrasi dari Jamkesmas ke BPJS ini baru 50%, sangat memprihatinkan.” (LB2) “Kapitasi BPJS itu ditarik kembali ke daerah, dikirim dari pusat kan disuruh dialihkan kesana katanya. Makanya kelihatan kadang-kadang pegawai ini sudah 33
mulai jenuh, sebagai manusia harus kerja setengah mati tapi kami begini.” (LB9) “Realisasi anggaran saya rata-rata di bulan Januari, pokoknya satu bulan sebelum ini, semasa saya menjadi bupati. Malah kita bisa berturut-turut 3 tahun tepat waktu, kita dapat insentif dari Menteri Keuangan.” (BK1) “PU dulu, pendidikan baru kesehatan. Sepuluh persen menuju kesana. Sudah tujuh persen ya kita sekarang.Pengesahan anggaran kita November kita, kita November selesai nanti kita ajukan ke Gubernur.” (BK6) “Masyarakat yang di luar Jamkesda itu kita beri surat, kita jamin itu pak” (BK1) “Anggaran kesehatan masuk pada kelas menengahlah. Pengesahan APBD biasanya jatuh di bulan Desember, jadi realisasi anggaran sudah berjalan pada bulan Januari.” (MJ1) “Alhamdulillah pak, tahun 2014 in sudah bisa dicapa, anggaran kesehatn 10% dari belanja langsung ini, diluar belanja pegawai untuk tenaga kesehatan itu sudah bisa kita penuhi. Memang tahun-tahun sebelumnya belum bisa.”(MJ6) “Kalau disini ada kebijakan dikasih surat keterangan tidak mampu baru ya dirumah sakit dia dilayani gratis.” (MJ2) “Puskesmas mengelola sendiri dana yang diperoleh dari BPJS. Setiap puskesmas sudah ada fasilitas perawatan, tapi masalahnya perawat puskesmas menjadi lebih senang UKP karena ada uang dari merawat orang sakit.” (MJ3) “Kesulitan sekarang ada aturan BPJS masuk BPJS semua anggota keluarga harus masuk, itu yang mereka kesulitan, itu yang mereka merasa berat.” (MJ9) 34
“Nah ini kalau anggaran belum kita ikutin benar yang 10%.” (TTS1) “Alokasi kesehatan kira-kira menduduki rangking ke 3 setelah pendidikan.Yang pertama tentu pemerintahan, yang kedua pendidikan, yang ketiga baru kesehatan.” (TTS2) “Kami punya anggaran dari APBD kami itu namanya Jamkesda, cuma memang jamkesda, belum yang sifatnya BPJS, tetapi berupa klaim dari rumah sakit maupun puskesmas.” (TTS1) “Dana kapitasi mestinya sudah masuk di rekeningnya puskesmas tapi sulit cair karena belum ada persetujuan dinas.” (TTS2) “Sampai sekarang kapitasi untuk puskesmas belum diterima, belum ada realisasi. “ (TTS 9)
35
Tabel 5.6 Rekapitulasi Subsistem Pembiayaan Kesehatan pada 6 (enam) kabupaten Belitung Timur
Mamasa
Lembata
Barito Kuala Majene
Timor Tengah Selatan
Subsistem Pembiayaan Kesehatan Anggaran kesehatan sudah mencapai 13,91% APBD tetapi realisasi anggaran umumnya pada bulan Maret. Anggaran kesehatan per kapita per tahun cukup besar yaitu Rp 682,824. Praktis 100% masyarakat Belitung Timur ditanggung kesehatannya, yang tidak tercakup BPJS ditanggung oleh pemerintah daerah. Dana kapitasi BPJS dibagikan hampir 100% kembali ke puskesmas. Anggaran kesehatan sangat minim, hanya 5,21% dari APBD. Per kapita per tahun hanya Rp 146,910. DPRD menganggarkan 600-800 juta rupiah untuk pengangkatan tenaga PTT bidan dan perawat. Dana kapitasi dari BPJS 1005 seluruhnya dialokasikan ke Puskesmas. Hampir 90% APBD bergantung pada pusat. Anggaran kesehatan dibanding APBD cukup besar yaitu 10,87%. Anggaran kesehatan per kapita Rp 401,706. Pengesahan anggaran termasuk yang sangat terlambat, baru dua kali yang tepat waktu. Dana kapitasi BPJS ditarik kembali oleh Dinkes. Tenaga kesehatan belum pernah menerima dana kapitasi sejak bulan Mei 2014. Anggaran kesehatan 9,25% APBD. Realisasi anggaran umumnya tepat waktu, pengesahannya November. Pernah mendapat penghargaan Kemenkeu karena berturut-turut tepat waktu. Anggaran kesehatan per kapita Rp 243,300. Mereka yang tidak tercakup BPJS, ditanggung oleh pemda. Anggaran kesehatan Majene cukup bagus, 10,4% APBD. Anggaran kesehatan per kapita RP 358,490. Dapat penghargaan dari Kemenkes karena menempati peringkat ke-17 di antara Kabupaten/Kota. Ada perda pelayanan gratis bagi masyarakat miskin, akibatnya hampir semua penduduk mengaku miskin. Untuk peserta mandiri memang sulit karena harus didaftarkan satu keluarga, kalau sebelumnya diperolehkan secara individu. Anggaran kesehatan sebetulnya cukup baik, 9,74% APBD. Tapi memang karena besaran APBD tidak besar, maka anggaran kesehatan per kapita hanya Rp 180,749. Untuk masyarakat miskin Jamkesda masih diberlakukan, bukan PBI daerah, tapi klaim RS dibayarkan oleh Pemda. Dana kapitasi dari BPJS ditarik ke kas pemda, tidak bisa dicairkan, karena belum ada persetujuan dari Dinas. Hanya 15% yang dikeluarkan untuk pembelian obat dan BHP.
36
4) Pemberdayaan Masyarakat "Yang tidak kalah pentingnya juga ini dukungan dari organisasi-organisasi seperti PKK dan masyarakat desa itu." (BT1) “Ya LSM-LSM itu, mereka masih belum tergerak. Itu karena background mereka pak.” (BT3) “Kita selalu mengajak partisipasi masyarakat dalam program kita, misalnya Posyandu, desa siaga sudah 100%.”(BT4) “LSM di sini cenderung untuk mengkritisi, jadi kita musti pelan-pelan.” (BT5) “Peran serta masyarakat antara lain dalam bentuk Posyandu. PNPM mandiri akan mendirikan bangunan posyandu, asalkan ada tanah. Tapi harus ada usulan dari masyarakat.” (MM3) “Periode 2007 sampai 2012 kemarin ada beberapa organisasi PBB masuk di Mamasa, ini waktu itu ada UNICEF, ada UNIDA, mereka semua berkantor di Bappeda. Mereka memiliki program kegiatan dengan melakukan intervensi terhadap sektor-sektor yang dianggap masih berat di bidang kesehatan.” (MM5) "Masyarakat kalo lewat posyandu dan lain-lain itu sangat aktif.” (LB1) “Di sini desa siaga itu pengembangannya, di sini kita masih prioritas pada ke daerahnya masih ke desa siaga sama posyandu. Ada yang jalan, ada beberapa yang tidak jalan.” (LB3) “Kami ada kerjasama dengan Universitas Brawijaya dan RS Syaiful Anwar – Malang didalam kerjasama ini dengan NGO dari Australia AIPMNH.” (LB5) “Rata-rata kita cenderung dengan masyarakat di desa. Ibu-ibu PKK paling di posyandu.” (LB10) “LSM itu paling mengkoreksi bagian apa yang dia anggap masalah. Lalu mengkritik juga di media sosial, 37
mengkritisi. Harusnya kan dari awal ini ditanya kemana kebijakannya.” (BK4) “Peran masyarakat sudah bagus. Sebenarnya masyarakat itu tergantung petugas juga. Jadi kalau petugas bisa dekat dengan masyarakat itu, peran sertanya bagus.” (BK9) “Partisipasi masyarakat itu ya dalam hal musyawarah ini. Musyawarah antar desa ini, ketika digali alasan atau masukan itu mengadopsi dengan cara-cara musyawarah dusun atau musyawarah desa seperti musrembang gitu gitu.” (MJ8) “Saya disini itu ada 1 model saya bikin untuk menurunkan angka kematian ibu itu dengan desa binaan.Jadi sebenarnya desa siaga sih.” (MJ3) “Kalau musrembang itu bagus, hanya kadang-kadang masyarakat masih berpikiran kalau musrembang itu untuk dana fisik minta untuk dibangun, tapi kami kan dari PNPM mandiri yang generasi sehat cerdas itu kami dibantu betul-betul.” (MJ10) “Di gereja ada program pelayanan gereja, kalau orang meninggal gereja wajib menyumbang, kalau melahirkan juga, termasuk membantu pasien rujukan.” (TTS1) “UKBM dari masyarakat ada, dari NGO ada juga.” (TTS5) “Kita rencanakan sejak lama, tapi mulai intensifnya 2014, 2014 kita mulai mengajak pemuka agama terlibat langsung dalam pelayanan KB dan KIA.”(TTS7) “Jadi itu adalah program untuk lingkungan, untuk perbaikan lingkungan. Disitu ada 5 pilar STBM, stop buang air besar sembarangan, kemudian penggunaan jamban ini, kemudian pengolahan makanan sehat, kemudian limbah, sama cuci tangan pake sabun. Nah itu, pokoknya itu yang kesehatan lingkungan.” (TTS3) 38
Tabel 5.7 Rekapitulasi Subsistem Pemberdayaan Masyarakat pada 6 (enam) Kabupaten Belitung Timur
Mamasa
Lembata
Barito Kuala Majene
Timor Tengah Selatan
Subsistem Pemberdayaan Masyarakat Partisipasi masyarakat didorong, Posyandu dan desa siaga sudah 100%. Dirasakan penting pula dukungan PKK dan masyarakat desa. Bupati juga memberikan kesempatan masyarakat menyampikan pesan melalui sms bila ada masalah kesehatan. Keterlibatan LSM dianggap suka mengganggu karena lebih banyak memprotes dan memprovokasi. Peran serta masyarakat antara lain dalam bentuk Posyandu. PNPM mandiri akan mendirikan bangunan posyandu, asalkan ada tanah. Tahun 2007-2012 terdapat beberapa badan PBB seperti Uniceff, UNIDA yang melakukan intervensi sektor-sektor yang dianggap berat dalam bidang kesehatan. Desa siaga jalan, ada beberapa yang tidak jalan. Pembentukannya oleh PMD tanpa melibatkan instansi teknis, sehingga sulit untuk pembinaan lanjutannya, apalagi sekarang program PNPM sudah dihentikan. Partsipasi masyarakat yang diharapkan adalah dari ibu-ibu PKK di posyandu. Desa siaga ada sekitar 200-an, tapi yang aktif sekitar 30%nya. Bupati melancarkan program BULIN TERTAWA (Ibu Hamil Terdata Nanti Pulang Membawa Akta). Peran serta masyarakat dinilai cukup bagus. Penduduk transmigran ternyata lebih aktif ketimbang mereka yang tinggal di sepenjang sungai. Ada dua macam program PNPM yaitu PNPM pedesaan dan PNPM GSC generasi sehat cerdas, intervensinya ke anak-anak itu posyandu, pendidikan. Untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir Dinas Kesehatan mendorong terbentuknya desa binaan yang dasarnya adalah desa siaga. Dinas kesehatan mendorong perkembangan STBM (Sanitasi Total BerbasisMasyarakat). Ada gereja yang membantu umatnya uang sebesar Rp 300 ribu untu rujukan ke Rumah Sakit. Posyandu cukup aktif, ada 32 posyandu di kota Soe saja. Terdapat sejumlah NGO asing yang membantu masalah-masalah kesehatan masyarakat seperti AIPMNH, Global Fund, Care, dll.
39
5) Sediaan Farmasi, alat kesehatan dan makanan “Kalau ASKES saya lebih enak, dia yang ngatur obat. Saya ndak mau pusing. Buka resep, semua urusan dia. Kalau sekarang BPJS, semua obat di kita. Dia hanya tau bayar uang. E-katalog obat-obat itu sulit kita dapatkan.” (BT1) “Kami jadi kendala sangat-sangat krusial sekali masalah pengadaan obat dari Kemenkes yang dalam ekatalog itu, banyak perusahaan-perusahaan yang sudah kontrak payung dengan di Pusat, perwakilannya di daerah tidak mau memenuhi.” (BT4) “Setelah e-katalog itu kita sudah minta, mereka tidak siap sebagian, sisanya biasanya kita tutupi dengan pembelian non e-katalog.” (MM3) “Kalau gak cukup e-katalog itu dari dinas terpaksa puskesmas harus belanja juga dari dana 30% itu yang dipakai, yang kapitasi.” (MM10) “Pemberlakuan sistem e-katalog itu justru mempersulit RS daerah dan juga dinas kesehatan untuk membeli obat-obatan bagi kami yang ada diseberang kepulauan seperti ini.” (LB2) “Untuk anggaran obat kita itu dari DAK yang biayai, jadi agak terbantu, kalau rumah sakit tidak.” (LB3) “Kalau masalah obat ya lebih lancar jaman dulu.Kalau sekarang harus entry dulu, tapi kan disitu ada belanja obat e-katalog, yang non e-katalog itu yang jatahnya kita pakai untuk belanja langsung pesan ke Kupang.” (LB4) "Alat kesehatan disini kami sudah hampir mau 2 tahun ini alat lab kimia darahnya kami tidak punya, tahun ini mungkin baru ada pengadaannya." (LB4) “Iya sudah e-katalog. Hambatannya memang ada, tapi di sisi penyedia nya. Sisi penyedianya kadang terbatas di Kalsel ini.”(BK4) 40
“E-katalog ini agak lambat datangnya. Jadi kita beli ke distributor, harganya harga e-katalog.” (BK5) “Justru di daerah e-katalog menjadi penghambat.” (MJ5) “Kita sekarang belanja obat pake e-katalog, ternyata di e-katalog juga begitu, lebih susah sekarang.”(MJ3) “E-katalog kami pernah pesan tahun lalu sampai kami penyerapan anggarannya jadi jatuh, karena ada beberapa PBF yang tidak sanggup menyediakan obat.” (TTS4) “Akhirnya kita berpatokan harga e-katalog tapi beli di luar e-katalog.” (TTS4) “Sebelum e katalog tidak terlalu lancar tapi tidak separah yang pake e-katalog itu..” (TTS10)
41
Tabel 5.8 Rekapitulasi Subsistem Sedian Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan Pada (Enam) Kabupaten Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Makanan Belitung Dibanding semasa ASKES, penyediaan obat BPJS dengan e-katalog dirasakan menyulitkan. Distibutor pabrik Timur ternyata tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan kebutuhan daerah, sehingga RS atau Dinkes terpaksa belanja obat di luar. Mamasa Sejak diberlakukannya e-katalog cukup bermasalah. Permintaan ada yangtidak bisa dipenuhi. Kalau obat-obat paten menggunakan e-katalog, sedangkan yang generik menggunakan dana APBD. Untuk puskesmas bila tidak ada dari e-katalog terpaksa menggunakan dana kapitasi yang 30% untuk belanja obat. Lembata E-purchasing justru menyulitkan PPK, RS dan Puskesmas. Selalu ada obat yang kurang bila diorder. Kalau dulu masih bisa dibeli bebas, bisa dibeli dari Kupang. Ada perpres yang melarang pembelian obat di luar e-katalog. PPK khawatir, menjadi serba salah, kalau-kalau nanti ada pemeriksaan BPK. Barito Pengadaan obat e-katalog relatif lancar. Kadang-kadang ada masalah distribusi dari pabriknya. Dalam hal ini Kuala obat dibeli tetapi tetap dengan harga e–katalog. Majene
Timor Tengah Selatan
Belanja e-katalog dikeluhkan oleh Dinas Kesehatan, lebih sulit prosesnya dibandingkan dengan sebelumnya. Yang juga dirasakan kesulitan adalah ketersediaan BHP (bahan habis pakai), tetapi bisa diatasi dengan dana kapitasi BPJS yang 40%. Distributor obat tidak sanggup menyediakan semua obat e-katalog, sehingga dengan berpatokan pada harga ekatalog, beli obat di luar. Pengadaan obat setelah pemberlakuan e-katalog ini lebih sulit, tidak semua kebutuhan obat dapat dipenuhi.
42
6) Upaya Kesehatan “Semua kecamatan punya puskesmas, kemudian pustu di desa, kemudian ada lagi puskesdes di tingkat dusun, komplit semua sudah ada tenaganya.” (BT1) “Setiap kecamatan sudah punya Puskesmas. Setiap puskesmas ada UGD-nya. Hampir seluruh Puskesmas dilayani oleh 2 ambulans.” (BT4) “Cakupan K1 sampai sekarang 87,38%, K4 80,90%, KN1 83,78%, KN2 83,26%. Persentase KB aktif 73%.”(BT4) “Di Belitung Timur TFR-nya itu Pak, cenderung lebih, lebih bagus dari nasional Pak. CPR-nya juga bagus, target nasional kan 65 kita sudah 72. Malah kalau hasil hitungan kita sudah 80-an.”(BT8) “Rumah Sakit disini tidak berfungsi, karena ada faktor teknis, pemborongnya tidak becus, 40% anggaran dikembalikan, jadi tidak tuntas pembangunannya.Yang ada hanya rumah sakit penanggulangan bencana, itu yang bisa pindah-pindah.” (MM1) “Pembangunan rumah sakit ini dari awal memang sudah bermasalah, sekarang sedang dalam proses hukum. Rencana awal lokasinya di Kecamatan Mamasa yang penduduknya paling banyak, tetapi terjadi proses politik lokasinya dipindah ke Kecamatan Balla, sekitar 10 km di luar kota Mamasa.” (MM2) “Yang jadi kendala, dari sekian pustu yang dibuat itu 60% menganggur karena kurang tersedia tenaga.” (MM2) “Angka kematian ibu dan bayi itu masih relatif tinggi. Cakupan K4nya juga masih rendah, kemudian neonates, kemudian juga cakupan pertolongan persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan itu masih rendah.” (MM3) 43
“Pemilihan lokasi rumah sakit di Bala itu oleh Bupati yang lama. Dulu kan rencananya di dalam kota. Sekarang tempatnya itu jauh dan tidak banyak penduduk disana.” (MM3) “Ambulans itu sangat minim di kabupaten Lembata ini sehingga sering terjadi ibu-ibu yang harus di rujuk ke RS daerah itu terkadang mereka harus partus di dalam perjalanan dengan angkutan umum.” (LB2) “Sebenarnya kalau melihat infrastruktur rumah sakit, memang sudah ada, tapi kan kondisi dan geografis kita seperti ini sehingga ada kan hambatan untuk pasien rujukan.” (LB4) “Kita SPM 2014 ini kita rata-rata masih banyak yang di bawah standar.” (LB9) “TFR-nya menurun, terakhir kemarin 3,6, KB aktif akhir tahun 2014 ada 8485 atau 57,60%.” (LB7) “Puskesmas ini kalo kita disini gudang obat juga belum ada, gudang alkes juga tidak ada, lab juga tidak ada, karena kita punya gedung lab paket C. Ruang obat juga tidak ada, UGD nya juga tidak ada, kita paksakan ruangan-ruangan yang ada untuk UGD. Air juga tidak ada, sanitasi kami disini tidak ada.” (LB9) “Jumlah Puskesmas di Barito Kuala ini ya persentasinya sudah lumayan bagus, artinya sudah memenuhi standar bahkan ada kecamatan yang punya dua puskesmas.” (BK6) “Kalau Poskesdes udah bangun terus kita. Tapi masalahnya itu pengangkatan bidan desanya.” (BK6) “Kalau kita lihat SPM tercapai diatas 70% semua cakupannya. Apalagi penanganan orang miskin mencapai 100%.”(BK4) “Bukan KB aktif yang sebenarnya ditingkatkan, tapi justru pindah cara, TFR-nya kita di sini 2,6.” (BK8) 44
“Setiap puskesmas sudah ada semua kendaraan operasionalnya.” (MJ1) (2) BAPPEDA (bobot 8,1) “Puskesmas, periode pertama cuma 8, periode kedua ini sudah sampe 11. Pustu juga ada peningkatan. Polindes dulunya sekarang menjadi poskesdes.” (MJ5) “Sekarang ambulans total ada 14. Dia kadang berfungsi sebagai puskesmas keliling pak.”
45
Belitung Timur
Mamasa
Lembata
Tabel 5.9 Karakteristik Subsistem Upaya Kesehatan pada 6 (Enam) Kabupaten Subsistem Upaya Kesehatan Sejak pemekaran terjadi penambahan fasilitas kesehatan. Saat ini semua Kecamatan sudah memiliki Puskesmas, semua puskesmas ada dokternya. Setiap puskesmas sudah ada UGDnya. Di desa ada pustu dan di dusun ada Puskesdes, tenaganya tersedia. IPKM sangat meningkat, dari peringkat tahun 2007 menjadi peringkat 216 menjadi peringkat 98 pada tahun 2013. Dalam bidang UKM dilakukan surveilan HIV/AIDS setahun sekali, penyuluhan PHBS dilaksanakan, kadang-kadang bekerja sama dengan PKK. Sebagai Kabupaten baru, Mamasa membangun rumah sakit. Namun ternyata pemborongnya bermasalah sehingga pembangunan terkendala. Disamping itu ada masalah, lokasi pembangunan RSUD kurang sesuai karena lokasinya sekitar 10 km di luar kota Mamasa. Saat ini yang ada RS lapangan dan mobile RS ex RS Tsunami di Aceh. RS ini tetap dijalankan dengan segala keterbatasan. Ada kenaikan peringkat IPKM dari 439 (2007) menjadi 349 (2013). Upaya promotif dan pereventif melalui puskesdes dan posyandu. Saat ini ada 319 posyandu di Mamasa. Sejalan dengan pemekaran, fasilitas kesehatan khususnya puskesmas bertambah. Ada yang perlu perbaikan, tapi belum semua tertangani. Dari pengamatan di salah satu puskesmas, kondisinya sangat memprihatinkan. Gudang obat dan alkes tidak ada, laboratoriumdan UGD juga tidak ada. Air sulit, sanitasi tidak baik. Peringkat IPKM menurun dari peringkat 246 di tahun 2007 menjadi 409 pada tahun 2013. BPMD melalui program PNPM membantu kegiatan posyandu dan program GSC (Generasi Sehat Cerdas) untuk pemenuhan gizi ibu dan anak.
46
Barito Kuala
Jumlah puskesmas sudah memenuhi syarat, bahkan ada satu kecamatan yang mempunyai 2 puskesmas. Puskesdes juga dibangun, masalahnya kekurangan tenaga bidan, sulit dalam pengangkatan. Diakui adanya kemunduran dalam pencapaian SPM. IPKM menurun dari peringkat 353 pada tahun 2007 menjadi peringkat 406 pada tahun 2013. Puskesmas melaksanakan program UKM dalam bentuk promosi kesehatan, kesehatan lingkungan dan gizi.
Majene
Dalam periode pertama bupati baru ada 8 puskesmas, sekarang sudah ada 11. Jumlah pustu juga bertambah, polindes ditingkatkan menjadi poskesdes. Ambulans total ada 14, kadang-kadang difungsikan sebagai puskesling. Bekerja sama dengan BPJS, persalinan dapat dilayani di puskesmas, poskesdes dan polindes. Satu desa ada satu Poskesdes. Pencapaian SPM masih kurang sekali. Peringkat IPKM meningkat dari sebelumnya no 221 (2007) menjadi 177 (2013). Dalam bidang UKM puskesmas memotivasi terbentuknya Tabulin, tabungan ibu bersalin, lalu ada kgiatan PMT di posbindu dan posyandu, imunisasi dan pelayanan USILA. Infra struktur kesehatan tidak banyak berubah. Sejak tahun 2009 ada bantuan dari AIPMNH untuk sarana dan alat-alat rumah sakit, termasuk juga perbaikan gedung rumah sakit. SPM banyak yang tidak tercapai apalagi dengan target MDGs yang terlalu tinggi, walaupun menurut Bupati ada kecenderungan membaik. Tetapi dari hasil Riskesdas diketahui bahwa terjadi penurunan peringkat IPKM sejak tahun 2007 (peringkat 399), pada tahun 2013 mengalami penurunan ke peringkat 438 dari 440 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Untuk mengatasi kematian ibu dan anak baru lahir, ada instruksi Bupati -7H+2, 7 hari sebelum taksiran melahirkan harus sudah ada di fasilitas kesehatan dan 2 hari setelah melahirkan harus masih berada di fasilitas kesehatan. Terdapat 19 rumah tunggu di 35 puskesmas TTS.
Timor Tengah Selatan
47
6. PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Data yang digunakan untuk analisis data kuantitatif merupakan data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS Pusat) melalui dokumen Kabupaten Dalam Angka tahun 2008 dan 2014 dan Statistik Kabupaten tahun 2008 dan 2014, Direktorat Jenderal
Perimbangan
Keuangan Kemenkeu,
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat. Keterbatasan dalam analisis kuantitatif adalah jumlah sampel penelitian hanya 94 kabupaten sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi dalam pengambilan sampel. Variabelvariabel yang dianalisis sangat tergantung dengan keberadaan dan kelengkapan data yang tersedia, sehingga tidak semua variabel yang tercantum dalam sistem kesehatan dianalisis dengan metode kuantitatif. Variabel-variabel yang tidak dapat teridentifikasi dalam metode kuantitatif dicoba dijabarkan dalam metode kualitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap stakeholder yang terkait dengan sistem kesehatan di daerah.
48
6.2 Perbedaan Kinerja Kesehatan dan Sistem Kesehatan pada DOB dan NON-DOB Dari hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan selisih IPKM tahun 2007 dan 2013 yang signifikan antara kabupaten DOB dan NON-DOB. Sedangkan berdasarkan analisis kualitatif dilaksanakan pada 3 kabupaten DOB (Belitung Timur, Mamasa dan Lembata) dan 3 kabupaten Non-DOB (Barito Selatan, Majene dan Timor Tengah Selatan) menunjukkan adanya variasi antar kabupaten baik di antara kabupaten DOB maupun kabupaten Non-DOB dilihat dari berbagai subsistem kesehatan. Dari ke-7 subsistem kesehatan terutama dijumpai variasi dilihat dari fungsi tata kelola
(manajemen), sumber
daya
manusia
kesehatan,
pembiayaan kesehatan dan upaya kesehatan. Sedangkan untuk 3 subsistem lainnya seperti peran serta masyarakat serta obat dan alat kesehatan praktis tidak banyak berbeda. Subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan tidak dikaji karena subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan ini lebih bersifat sentralisasi dari pusat dan sangat jarang dilaksanakan di level kabupaten. Kompilasi
dari
karakteristik
kapasitas
sistem
kesehatan dari ke-3 kabupaten DOB dan ke-3 kabupaten nonDOB dari analisis kualitatif dapat dilihat dari tabel berikut: 49
Secara keseluruhan karakteristik sistem kesehatan di 3 kabupaten DOB dan kabupaten Non-DOB dapat dilihat dari tabel 6.1 berikut dengan memberikan penilaian semi kuantitatif.
50
Tabel 6.1 Perbandingan karakteristik Sistem Kesehatan antara Kabupaten DOB dan Kabupaten Non-DOB Sub-sistem Kesehatan
Belitung Timur
Mamasa
Lembata
Barito Kuala
Majene
Timor Tengah Selatan
Tata Kelola /Manajemen
Komitmen sangat kuat. Alokasi anggaran kesehatan 13,91% APBD. Jjumlah perbup dan perda kesehatan yang diterbitkan cukup banyak. Penilaian: (+++)
Komitmen tidak kuat, anggaran kesehatan 5,21% APBD) dan belum ada satupun perbup/perda. Penilaian: (--)
Komitmen cukup kuat. Alokasi anggaran kesehatan 10,87% APBD. Telah terbit sejumlah perda dan perbup kesehatan. Penilaian: (++)
Komitmen tidak begitu kuat. Anggaran kesehatan 9,25% APBD. Belum ada perda kesehatan, beberapa regulasi dalam bentuk perbup. Penilaian; (+)
Komitmen cukup kuat,. Anggaran kesehatan 10,4% APBD. Baru diajukan ranperda KIBLA dan KTR. Penilaian: (++)
Komitmen cukup kuat, Anggaran kesehatan 9,74% APBD. Sudah ada beberapa perda yang menyangkut kesehatan. Penilaian: (+)
SDM Kesehatan
Jumlah dokter umum, perawat dan bidan sudah memadai. Kekurangan dokter spesialis, sebagian dipenuhi dengan residen spesialis. Penilaian: (++)
Dokter umum dan bidan masih sangat kurang. Spesialis tidak ada. Pejabat struktural (RS) tidak sesuai kompetensi. Penilaian: (-)
Tenaga kesehatan masih kekurang. Spesialis terbantu dengan program sister hospital. Sudah 3 tahun Kadinkes dijabat Plt. non-dokter. Penilaian: (-)
Tenaga dokter umum dan paramedis relatif sudah terpenuhi. Sudah ada spesialis, sebagian diisi dengan residen. Semua puskesmas dipimpin S1. Penilaian: (+)
Semua puskesmassudah dilayani oleh dokter. Sudah ada spesialis, yang tidak ada dipenuhi dengan spesialis residen. Kekurangan para medis diisi dengan tenaga sukarela. Penilaian: (++)
Tidak semua puskesmas ada tenaga dokter. Bidan sangat kurang, hanya seperempat polindes dilayani bidan. Hanya ada satu pesialis (obgyn), yang lain diisi dengan bantuan sister hospital. Penilaian : (-)
51
Pembiayaan kesehatan
Anggaran kesehatan per kapita cukup besar (Rp 682,824). Realisasi anggaran baru di bulan Maret. Di luar BPJS, praktis pemda menanggung 100% biaya kesehatan. Dana kapitasi BPJS 100% dibagikan ke Puskesmas. Penilaian: (++)
Anggaran kesehatan per kapita minim (Rp 146,910). Dana kapitasi puskesmas sepenuhnya dialokasikan ke puskesmas. Penilaian: (-)
Walaupun kapasitas fiskal rendah, anggaran kesehatan per kapita cukup besar (Rp 401,706). Dana kapitasi BPJS ditarik ke Dinkes. Sejak Mei 2014 belum pernah diterima oleh Puskesmas. Realisasi anggaran sangat terlambat (April). Penilaian: (+)
Anggaran kesehatan per kapita sebesar Rp 243,300. Pengesahan anggaran umumnya bulan November, sehingga realisasinya bisa tepat waktu. Masyarakat miskin yang tidak masuk BPJS, biaya kesehatan ditanggung pemda. Penilaian: (+)
Anggaran kesehatan cukup bagus, per kapita sebesar Rp 358,490. Pemda memberikan iuran PBI bagi masyarakat miskin yang tidak tercakup BPJS. Ada perda pelayanan gratis bagi masyarakat miskin dan perda retribusi. Penilaian: (+)
Persentase anggaran kesehatan sebetulnya cukup besar (9,74%), tapi karena memang besaran APBD tidak besar, maka anggaran kesehatan per kapita hanya Rp 180,749. Dana kapitasi BPJS ditarik ke pemda, hanya dikeluarkan 15% untuk beli obat & BHP. Penilaian: (+)
Pemberdayaa n masyarakat
Peran serta masyarakat dalam bentuk posyandu dan desa siaga. Ada dukungan PKK dan masyarakat desa. Penilaian: (+)
Peran serta masyarakat terbatas dalam bentuk posyandu. Penilaian: (+)
Peran serta masyarakat dalam bentuk desa siaga, walaupun banyak yang tidak aktif serta keterlibatan ibu-ibu PKK di posyandu. Penilaian: (+)
Desa siaga ada 200an, tetapi yang aktif hanya 30%. Bupati menggerakkan masyarakat dengan melancarkan prograan BULIN TERTAWA. Penilaian: (+)
Peran serta masyarakat dalam bentuk desa siaga dan posyandu yang terbantu dengan adanya program PNPM. Penilaian: (+)
Dinkes mendorong program STBM, gereja membantu dana pasien rujukan. Program banyak terbantu dengan adanya sejumlah donor agency asing. Penilaian: (++)
52
Farmasi/ alkes
Dibanding semasa ASKES, penyediaan dengan e-katalog dirasakan menyulitkan. Distibutor pabrik tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan kebutuhan. Penilaian: (-)
Sejak diberlakukannya ekatalog cukup bermasalah. Permintaan ada yang tidak bisa dipenuhi. Terpaksa belanja di luar e-katalog. Penilaian: (-)
E-purchasing justru menyulitkan RS dan Puskesmas. Selalu ada obat yang kurang bila diorder. Bila beli diluar takut melanggar Perpres. Penilaian: (-)
Pengadaan obat ekatalog relatif lancar. Kadangkadang ada masalah distribusi dari pabriknya. Dalam hal ini obat dibeli di luar, tetapi tetap dengan harga e– katalog. Penilaian: (-)
Belanja e-katalog dikeluhkan oleh Dinkes, lebih sulit prosesnya dibanding sebelumnya. Yang juga dirasakan kesulitan adalah ketersediaan BHP, tetapi bisa diatasi dengan dana kapitasi BPJS yang 40%. Penilaian: (-)
Pengadaan obat setelah pemberlakuan e-katalog ini lebih sulit, tidak semua kebutuhan obat dapat dipenuhi. Dengan berpatokan pada harga ekatalog, beli obat di luar. Penilaian: (-)
Upaya Kesehatan
Saat ini semua Kecamatan sudah memiliki Puskesmas, semua puskesmas sudah ada dokternya. IPKM meningkat dari peringkat 216 (2007) menjadi 98 (2013). Penilaian: (++)
Pembangunan RS baru bermasalah, sehingga belum dapat dilanjutkan. Ada kenaikanperingkat IPKM dari 439 (2007) menjadi 349 (2013). Penilaian: ()
Fasilitas kesehatan khususnya puskesmas bertambah. Tetapi dari pengamatan di salah satu puskesmas, kondisinya sangat memprihatinkan.IP KM menurun dari peringkat 246 (2007) menjadi 409 (2013). Penilaian: (--)
Jumlah puskesmas sudah memenuhi syarat. Puskesdes juga dibangun, masalahnya kekurangan tenaga bidan. IPKM menurun dari peringkat 353 (2007) menjadi peringkat 406 (2013). Penilaian: (+)
Dalam periode pertama bupati baru ada 8 Jumlah puskesmas bertambah dari 8 menjadi 11. Oustu juga bertambah, polindes ditingkatkan menjadi poskesdes. Ambulans total ada 14. IPKM meningkat dari peringkat 221 (2007) menjadi 177 padatahun 2013. Penilaian: (++)
Infra struktur kesehatan tidak banyak berubah. SPM banyak yang tidak tercapai apalagi dengan target MDGs yang terlalu tinggi. IPKM sejak tahun 2007 (peringkat 399), mengalami penurunan ke peringkat 438 (2013). Penilaian: (-)
53
6.3 Temuan Tambahan Di luar pengujian hipotesis terdapat juga temuan tambahan yang layak untuk dijadikan perhatian yang sifatnya tidak spesifik kabupaten apakah DOB atau non-DOB, yaitu: 1.
Ketentuan anggaran kesehatan daerah minimal 10% APBD di luar gaji Bupati Belitung Timur mengungkapkan ketidak-
setujuannya atas ketentuan UU no. 36 tahun 1999 pasal 171 ayat b yang menyebutkan bahwa “Besar anggaran kesehatan pemda
provinsi,
kabupaten/kota
dialokasikan
sebesar
minimal 10% dari APBD di luar gaji.”. Menurutnya “Secara jujur saya harus mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan ketentuan 10% itu. Misalkan kalau 10% gak cukup atau ndak perlu sampai 10%, sehingga dinas kesehatan disuruh menghabiskan uang yang tidak perlu. Artinya kita egois sektoral. Jadi saya lebih suka anggarannya sesuai dengan apa yang kita butuh, apa yang rakyat butuhkan, itu yang kita penuhi.” Ketidak-setujuan Bupati Belitung Timur cukup masuk akal, terutama bila kita membandingkan daerah kabupaten kaya dan yang miskin berikut (lihat table 6.2).
54
Tabel 6.2 Perbandingan Anggaran Kesehatan per Kapita daerah kaya dan miskin asumsi anggaran kesehatan 10% APBD
Nama Kabupaten
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim Kabupaten Paser, Kaltim Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat
APBD 2013 (miliar rupiah)
Persentase APBD Kesehatan
Asumsi anggaran kesehatan 10% APBD (miliar rupiah)
4.892,496
6,39
489, 249.6
683.131
716.187
2.647,560
11,91
264,756
256,312
1.032.944
816,845
9,74
81,684.5
451.922
180.749
298,306
5,21%
29,830.6
147.660
202.023
Jumlah penduduk
APBD kesehatan /kapita (ribu rupiah)
2. Ketidaksesuaian kompetensi pejabat struktural dengan Permenkes No. 971 Tahun 2009 Permenkes no 971 tahun 2009 mengatur mengatur mengenai persyaratan latar beakang pendidikan pejabat struktural kesehatan.Ternyata dari 22 sampel kabupaten/kota di Jawa, latar belakang 45,45% Kepala Dinas Kesehatan, 90,91% Sekretaris Dinas Kesehatan, 33,33% Kepala Bidang Dinas Kesehatan dan 42,86% Kepala Seksi Dinas Kesehatan, tidak sesuai dengan ketentuan Permenkes no. 971 tahun 2009. Penelitian kualitatif yang dilakukan juga menemukan hal-hal ketidak-sesuaian tersebut. Beberapa contoh dapat disebutkan bahwa terdapat Plt. Kadinkes berlatar belakang Sarjana 55
Peternakan, Direktur RSU yang bergelar M.Kes, tetapi S1nya bidang pendidikan (SPd.) Tidak ada satupun Direktur RSUD yang memiliki gekar MARS dan juga terdapat banyak Kepala puskesmas yang tidak memiliki gelar S1 bidang kesehatan. Dalam beberapa kasus memang masalahnya ketiadaan SDM yang sesuai, tetapi menonjol juga kasus-kasus karena ketidak-taatan (non-compliance) Bupati terhadap Permenkes tersebut di atas. Mungkin ada semacam balas budi dukungan semasa kampanye, mungkin juga terkait dengan praktek nepotisme dan bisa saja karena bidang kesehatan termasuk salah satu bidang yang “basah” sehingga dimungkinkan untuk dapat mengembalikan dana-dana yang dikeluarkan semasa kampanye dulu. 3. Kekurangan tenaga kesehatan Dari sejumlah kabupaten dalam sampel penelitian kualitatif terjadi kekurangan tenaga kesehatan yang cukup memprihatinkan yang untuk mengatasinya perlu intervensidari pemerintah pusat. “Saat ini hanya ada 7 dokter untuk 17 Puskesmas. Di Mamasa ini tidak ada dokter spesialis yang bertugas sehari-hari.” (Bupati Mamasa) “Tidak semua puskesmas punya dokter.Kepala puskesmasnya itu ada yang sanitarian. Karena memang tidak ada SDM-nya.” (TTS5) 56
Beberapa daerah bahkan mengalami kekurangan tenaga kesehatan kronis yang membutuhkan perhatian khusus baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, karena bagaimanapun juga minimnya tenaga kesehatan berdampak langsung terhadap kinerja kesehatan. 4. Pengangkatan CPNS baru Penerimaan CPNS baru dengan melaksanakan tes secara terpusat dalam bentuk CAT (Computer Assisted Test) yang lebih objektif dan transparan dibandingkan dengan penerimaan CPNS sebelumnya yang seringkali tidak lepas dengan praktek koncoisme. Tetapi masalah baru yang timbul adalah calon daerah bersangkutan agak sulit bersaing dengan calon-calon CPNS dari daerah lain, sehingga sebagian besar formasi kepegawaian justru lebih banyak diisi oleh calon luar daerah. Calon luar daerah memilih daerah yang terpencil atau agak terpencil karena persaingan lebih sedikit dan peluang diterima lebih banyak. Tetapi setelah 2 atau 3 tahun kemudian calon luar daerah ini dengan segala cara berusaha untuk dipindahkan ke daerah yang dinilainya lebih baik. Ada memang upaya untuk membuat perjanjian kerja dengan masa 10 tahun atau lebih sebelum bisa pindah ke daerah lain. Perlu kiranya dicari formula khusus agar terjadi keseimbangan antara seleksi CAT yang transparan dan peluang 57
untuk memperoleh porsi yang sesuai bagi calon CPNS lokal sejauh memang memenuhi persyaratan minimum. 5. Masalah tenaga kontrak/honorer Di beberapa daerah kabupaten yang diteliti, untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan diatasi dengan mengangkat tenaga kontrak dengan masa kerja satu tahun dan kemudian dapat diperpanjang lagi untuk masa kontrak satu tahun berikutnya. Khusus untuk kabupaten Timor Tengah Selatan,
Badan
Kepegawaian
Daerah
menolak
keras
pengangkatan tenaga kontrak atas dasar ketentuan PP no 48 tahun 2005 pasal 8 yang berbunyi: “Sejak ditetapkan peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”. Walaupun DPRD sudah bersedia menganggarkan dana sebesar 1,4 miliar rupiah untuk honor tenaga honorer, BKD tetap tidak bersedia mengangkat tenaga kontrak. Sejumlah keluhan dari DPRD dan beberapa SKPD dapat tetap tidak ditanggapi oleh Kepala BKD. Bupati cenderung mengikuti sikap Kepala BKD. Menanggapi masalah ini, Kepala Dinas Provinsi menanggapi sebagai berikut: “Harusnya Bupati berani ambil resiko, karena ada kebutuhan dia harus berani angkat. Kalau 58
misalnya dia BKD gak berani, bupatinya buat peraturan, kalau biar lebih kuat ya dibuat peraturan rame-rame dengan DPDnya. Masalahnya karena semua orang cari selamat, dia tahu dia butuhkan tapi tidak mau ambil resiko, dia mau selamat.” Oleh karena itu perlu segera diterbitkan PP (Peraturan Pemerintah) mengenai PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja)
sehingga
tidak terjadi
simpang siur
pelaksanaannya di daerah. Ada daerah yang mengangkat tenaga kontrak dengan dasar hukum perda, tetapi ada daerah seperti TTS yang secara kaku berpegangan dengan PP no 48 tahun 2005 pasal 8 yang melarang pengangkatan tenaga kontrak atau honorer. Ketidak jelasan aturan ini yang pasti akan merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. 6. Dana kapitasi Puskesmas yang ditarik ke kas Pemda atau tidak bisa dicairkan dari rekening Puskesmas Untuk menjamin dana kapitasi tersalur ke Puskesmas diterbitkan Perpres 32 tahun 2014 tentang pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi dan Peraturan Menteri Kesehatan no 19 tahun 2014 memuat rincian lebih lanjut atas pemanfaatan dana kapitasi FKPT berdasarkan atas Perpres 32 tahun 2014 tersebut. Ternyata tidak semua daerah yang diteliti langsung mengalokasikan dana kapitasi sesuai dengan amanat Perpres 32 tahun 2014 dan PMK no 19 tahun 2014. Terdapat 2 59
dari 6 kabupaten yang diteliti ternyata menarik kembali dana kapitasi tersebut ke kas daerah dan sampai penelitian ini dibuat belum dialokasikan ke masing-masing Puskesmas sejak Mei 2014. Walaupun dana masih di rekening Puskesmas, tetapi tidak bisa dicairkan karena belum ada SK Bupati untuk mencairkannya. Ternyata ada dua kabupaten (DOB dan Non-DOB) yang kebetulan berada di provinsi yang sama yang menarik dana kapitasi puskesmas ke kas daerah dan belum disalurkan untuk jasa medis tenaga kesehatan. Ketika hal ini ditanyakan kepada Kepala Dinas Provinsi, beliau pada dasarnya tidak dapat menyalahkan tindakan tersebut dengan mengatakan. “Sekarang saya punya uang, saya gunakan untuk beli teh pucuk dari bapak, setelah saya bayar, uang itu punya siapa? Punya anda kan. Apakah boleh saya ikut atur tentang penggunaannya? “Nah kemudian fasilitas kesehatan itu punya siapa? Punya Pemda. Jadi semua hal yang berkaitan dengan penggunaan fasilitas kesehatan itu penghasilannya punya siapa? Itu bukan uangnya Menteri Kesehatan. Kan sudah abis bayar jasa kan dia tidak boleh atur lagi. Yang boleh ngatur tentang ini Menteri Dalam Negeri, karena pedoman tentang pengelolaan keuangan negara itu melalui Menteri Dalam Negeri, lewat Direktorat Jenderal Keuangan Daerah. Menteri Kesehatan itu mengatur tentang hal teknis. Tapi sudah menyangkut kewenangan, dia jangan atur. Karena pedoman keuangan ini 60
dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri. Menteri Kesehatan harus menggunakan tangannya Kementerian Dalam Negeri.” Dari penjelasan ini jelas bahwa kurang komunikasi ataupun koordinasi antara Kemenkes dan Kemendagri. 7. Intervensi legislatif Masyarakat umum sudah tidak heran bila mendengar berita
adanya
campur
tangan
pihak
legislatif
dalam
penyusunan anggaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Intervensi pihak legislatif tidak cukup hanya terbatas pada mata anggaran secara umum tetapi sampai pada tingkat kegiatan dan jenisbelanja barang. Atas pengajuan uji materi UU no 27 tahun 2009 tentang MD3 oleh Tim Advokasi Penyelamat Keuangan Negara, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kewenangan Badan Anggaran DPR untuk membahas mata anggaran secara teknis. Menurut Mahkamah Konstitusi ini tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja, karena hal ini merupakan urusan presiden sebagai perencana dan pelaksana APBN. Namun dalam praktek, walaupun sudah dilarang, hal-hal seperti ini masih berjalan di beberapa daerah. 61
“DPRD itu kebanyakan usulannya ke proyek-proyek fisik yang 200 juta-an gitu.” (BT1) “Misalkan ada anggota Dewan yang menanyakan ‘Kamu punya rumah dinas berapa’? Punya puskesdes berapa? Ya udah, kukasi Rp 50 juta per puskesmas untuk rehab. Ujung-ujungnya dia sendiri yang melaksanakannya.” (BT4)) “Kalau anggota DPRD bilang, proyek ini kami minta ini sekian. Kata saya, kalau gak ikut prosedur, kami akan kembali ke anggaran tahun lalu. Selalu begitu. Itu Pak, saya agak sedikit tegas kalau soal itu. Kalau DPRD saya masih sanggup mengatasi, masih bisa saya atasi.” (BK1)) “Teorinya saja legislatif tidak boleh turut serta dalam pembahasan satuan-3, prakteknya tetap saja.” (LB1) 8. E-katalog Pelaksanaan pembelian obat dengan e-katalog yang diberlakukan sejalan dengan program JKN secara konseptual memang berhasil menurunkan harga obat. Namun dalam pelaksanaannya banyak ditemukan masalah di tingkat lokal. Penelitian kualitati di 6 kabupaten tersebut diketahui bahwa obat-obatan yang dipesan secara elektronik sering kali tidak dapat
dipenuhi
oleh
distributor
pabrikan
yang
sudah
menandatangani kontrak paying dengan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
62
Karena kurangnya jenis obat yang bisa disediakan distributor obat e-katalog, sejumlah dinas kesehatan atau RSUD belanja obat di luar jalur e-katalog, sedapat mungkin harganya disesuaikan dengan harga obat e-katalog, atau karena takut melanggar aturan fasilitas kesehatan milik pemerintah tersebut lebih memilih memberikan resep obat yang harus dibeli pasien. Praktek pembelian obat di luar e-katalog seperti ini sebetulnya telah melanggar Peraturan Menteri Kesehatan no 63 tahun 2014 pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Seluruh Satuan Kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL Pemerintah melaksanakan pengadaan obat melalui e-Purchasing berdasarkan Katalog Elektronik (ecatalogue) sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.” Demikian juga industri farmasi yang tidak mampu menyalurkan obat melalui distributornya juga sudah melanggar pasal 5 ayat (1) peraturan menteri kesehatan tersebut yang berbunyi “PBF yang ditunjuk oleh Industri Farmasi yang tercantum dalam Katalog Elektronik (e-catalogue) wajib memenuhi permintaan obat dari FKTP atau FKRTL swasta yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dalam rangka pengadaan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)”
63
9. Pengawasan dan Pembinaan dari Kementerian Kesehatan UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah memberikan wewenang pada pemerintah pusat untuk melaksanakan
pembinaan
dan
pengawasan
atas
penyelenggaraan pemerintah daerah (pasal 217 ayat 1 dan pasal 218 ayat 1). Pasal 222 ayat (1) menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Nampaknya fungsi dan wewenang pembinaan dan pengawasan ini tidak atau kurang berjalan secara optimal. Koordinasi Kemenkes dengan Kemendagri tidak berjalan baik. Berikut ini dikutipkan pendapat SKPD di daerah dalam hal koordinasinya dengan instansi vertikal. “Sekarang ini Kementerian Kesehatan itu istilahnya masa bodo, terjadi apa di daerah. Sebelum otonomi daerah, mata dan telinga kementerian itu luar biasa tajam. Begitu ada kematian bayi, itu langsung cepet mereka tanggap. Saat ini jangankan melakukan pembinaan, arahan semacamnya itu, daerah dilepas begitu saja, silahkan selesaikan sendiri kalau misalnya kalian punya masalah.” (BT4)) “Kita hanya diperintah saja. Padahal nggak boleh gitu kan, harusnya tau juga masalahnya dari bawah, sehingga kita yang mau mengerjakan tuh enak. Jadi koordinasi memang hampir lemah sekali.” (MJ3) 64
“Kadang-kadang kan, itu keluhan semua kepala SKPD disini mereka turun ke kabupaten tanpa koordinasi. Tiba-tiba saja ada poskesdes disana. Jadi ada beberapa yang masih tahun berapa itu dibangun tapi tidak dipake karena disana tidak ada penduduk, dibangun sama propinsi. Misalnya PMT. Kalo propinsi juga menyediakan PMT, saya juga menyediakan PMT. Padahal untuk menyelesaikan permasalahan gizi buruk kan bukan cuma PMT aja. Coba kalo dikasi, misalnya saya PMT, dia yang lain, itu kalo ada koordinasi.”(MJ3)
65
7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal berikut: 1. Tidak ada perbedaan kinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan Daerah Otonomi Baru (DOB) bila dibandingkan dengan Daerah Induk Sebelum Pemekaran (DISP) dan kabupaten
yang tidak dimekarkan (Non-
DOB) dari tahun 2007 sampai tahun 2013. 2. Tidak ada perbedaankinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan antara Daerah Otonomi Baru yang dimekarkan lebih dari 4 tahun dengan Daerah Otonom Baru yang dimekarkan selama 4 tahun atau kurang dari tahun 2007 sampai tahun 2013. 3. Tidak ada perbedaan kinerja kesehatan dan kapasitas sistem kesehatan antara Daerah Otonomi Baru yang dimekarkan atas usulan Kemendagri dengan Daerah Otonom Baru yang dimekarkan atas usul inisiatif DPRdari tahun 2007 sampai tahun 2013. 4. Dari analisis multivariat diketahui tidak ada hubungan antara persentase selisih IPKM antara tahun 2007 dan 2013 dengan ke-3 jenis kabupaten (DOB, DISP dan Non-DOB). Demikian juga tidak ada hubungan antara persentase 66
selisih IPKM antara tahun 2007 dan 2013 dengan ke-19 variabel sosial-ekonomi dan sejumlah fungsi sistem kesehatan, kecuali variabel Contraceptive Prevalence Rate (CPR) 5. Analisis kualitatif juga menunjukkan tidak adanya pola hubungan yang jelas dan perbedaan antara kabupaten DOB dan Non-DOB dengan kinerja kesehatan yang dilihat dari skor IPKM dari tahun 2007 sampai tahun 2013. 6. Dari analisis kualitatif diketahui bahwa kinerja kesehatan yang baik lebih ditentukan oleh: a. Komitmen kepala daerah b. Kepemimpinan (leadership) kepala daerah c. Latar belakang pribadi kepala daerah d. Kondisi geografis atau keterpencilan daerah e. Pola hubungan eksekutif dengan legislatif 7.
Ditemukan sejumlah masalah di daerah otonom kabupaten yang memerlukan penanganan segera: a. Ketentuan besarnya anggaran kesehatan minimal 10% APBD di luar gaji. b. Ketidaksesuaian latar belakang pendidikan pejabat struktural
kesehatan
yang
tidak
hanya
karena
terbatasnya SDM kesehatan tetapi juga sebagai akibat ketidak-patuhan
Kepala 67
Daerah
atau
tidak
diindahkannya Peraturan Menteri Kesehatan no 971 tahun 2009. c. Kurangnya tenaga kesehatan dan pola penerimaan CPNS yang sangat mengurangi kemungkinan lolos seleksi bagi calon daerah dihadapkan dengan persaingan dengan calon-calon dari daerah lain. d. Kesimpang-siuran
masalah
pengangkatan
tenaga
kontrak atau honorer. Ada daerah yang karena kebutuhan
mengangkat
tenaga
kontrak
dengan
perjanjian kerja tetapi ada daerah yang secara kaku memaknai PP no 48 tahun 2005 pasal 8 sebagai larangan mutlak pengangkatan tenaga honorer tanpa sama sekali mempertimbangkan kebutuhan daerah. e. Dana kapitasi dari BPJS yang tidak atau belum disalurkan pada tenaga-tenaga pelayanan kesehatan di Puskesmas. Hal-hal mana secara nyata melanggar Perpres 32 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan no 19 tahun 2014. f.
Intervensi anggaran dari legislatif tetap berjalan tanpa mempedulikan putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang diajukan oleh Koalisi Penyelamat Keuangan Negara pada tanggal 22 Mei 2014 yang menetapkan melarang keterlibatan 68
Badan Anggaran DPR/DPRD untuk membahas rincian kegiatan dan belanja barang sampai satuan 3. g. Fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat, dalam
hal
ini
Kementerian
Kesehatan,
dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berjalan optimal. h. Pelaksanaan
e-katalog
dalam
pengadaan
obat
menghadapi banyak kendala terutama karena ketidaksiapan distributor industri farmasi untuk memenuhi permintaan rumah sakit maupun dinas kesehatan. i.
Dari
ke-6
kabupaten
yang
diteliti
semuanya
menyampaikan keluhan yang sama atau lebih kurang sama sehubungan dengan pengadaan dan distribusi obat-obatan BPJS melalui e-katalog yang bermasalah. 7.2 Saran-Saran dan Sumbangan Disertasi Disertasi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi terhadap: 1. Ilmu pengetahuan Disertasi ini dapat memperkaya khasanah kajian ilmu adminstrasi
kesehatan
masyarakat
(public
health
administration) khususnya manajemen kesehatan (health management) dalam memahami pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan. Pertama, disertasi ini mengemukakan 69
pentingnya leadership (kepemimpinan) yang pro kesehatan dalam pelaksanaan desentralisasi. Kedua, disertasi ini mengemukakan bahwa ilmua dministrasi kesehatan perlu diperkaya dengan konsep sistem kesehatan dan subfungsi sistem kesehatan. WHO sebetulnya sudah mengetengahkan konsep Sistem Kesehatan Nasional (National Health System) sejak tahun 1978 (berkaitan dengan deklarasi Alma Ata 1978 tentang Health for All 2000). Kemudian tahun 2000 WHO menyampaikan kembali konsep NHS yang lebih terstruktur; yang kemudian juga terakomodir dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) menurut Perpres72/2012.
Disertasi
Kesehatan
di
ini
tingkat
menawarkan daerah
analisis
dalam
Sistem
pelaksanaan
desentraliasi. 2. Metodologi Penelitian a. Ilmu Kesehatan Masyarakat itu sendiri pada dasarnya adalah ilmu sosial, sehingga pendekatan kuantitatif saja tidak cukup untuk memahami fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada khususnya dalam perspektif sentralisasi
dan
desentralisai
bidang
kesehatan.
Disertasi ini menyumbangkan metode kombinasi; yaitu penggunaan
metode
kualitatif
70
untuk
menjelaskan
fenomena yang tidak tertangkap hanya melalui metode kuantitatif. b. Dalam penggunaan metode kualitatif yang melibatkan lebih dari satu informan, peneliti bisa dihadapkan pada jawaban yang tidak konsisten antara informan tentang suatu issue yang ditanyakan. Pemberian bobot terhadap pernyataan informan – seperti dilakukan dalam disertasi ini - mungkin bisa dipertimbangkan dipergunakan dalam penelitian kualitatif dimana pengetahuan atau kualifikasi informan berbeda.
Dalam penelitian ini pemberian
bobot tersebut dilakukan dengan melakukan survei terhadap orang yang berpengetahuan dan berpengalaman dalam pelaksanaan adiministrasi kesehatan di tingkat kabupaten. 3. Pemecahan Masalah a. Berbeda dari pembangunan bidang ekonomi dan insfrastruktur, pembangunan bidang sosial seperti kesehatan masyarakat tidak “quick yielding” dan outputnya pun banyak yang bersifat “intangible”. Oleh sebab itu seringkali kepala daerah tidak memberikan prioritas yang tinggi untuk sektor kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu dalam setiap pemilihan kepala daerah, disarankan agar setiap calon kepala daerah harus 71
mengemukakan
komitmen
terhadap
pembangunan
sektor kesehatan di daerahnya dan menunjukkan bagaimana caranya untuk mencapai atau memenuhi komitmennya tersebut. b. Setiap kepala daerah juga dituntut memiliki leadership yang kuat dan mempunyai visi jangka panjang (visioner) sehingga pembangunan kesehatan yang hasilnya baru dapat dilihat dalam jangka panjang juga serta sifatnya yang tidak berwujud (intangible) dapat dijadikan prioritas dalam kebijakan. c. Kementerian Kesehatan perlu lebih proaktif untuk berkoordinasi dengan Kemendagri dalam pengawasan pencapaian
tujuan-tujuan
pembangunan
kesehatan
seperti halnya SPM bidang kesehatan dan kepatuhan terhadap ketentuan undang-undang dan peraturan yang ada. d. Perlu affirmative action untuk membantu daerah tertinggal dan terpencil yang sebenarnya sudah sesuai dengan kebijakan Kemenkes yang disebut DTPK, Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan. e. Kemenkes bersama Kemendagri perlu memperkuat Sistem Kesehatan di setiap daerah secara holistik dan terintegrasi;
yaitu
mengembangkan 72
SKD
(Sistem
Kesehatan Daerah) yang meliputi ke 7 sub-fungsi Sistem Kesehatan.
73
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, W. 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta: Rajawali Press. Anas, Mufti. 2009. Analisis Kinerja dan Pengelolaan Anggaran Pembiayaan Dinas Kesehatan Kota Surakarta dalam Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PMKS) 2008. Skripsi, FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Arianto, Kurniawan. 2011. Perubahan Pola Pembiayaan Kesehatan di Indonesia Sejalan dengan Perubahan Pola Politik yang Terjadi. Artikel, Universitas Gadjah Mada. Ariawan, Iwan dan Sabarinah Prasetyo. 2008. Biostatistik Dasar untuk Rumah Sakit. Depok: Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM UI. Azfar, O dan Gurgur T. 2005. Does Corruption Affect Health and Education Outcomes in the Philippines?. Diunduh dari http://papers.ssrn.com pada 22 Mei 2014. Azwar, A. 2004. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara. Batubara, Alwi Hasyim. 2006. Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2006. Brodjonegoro, Bambang P.S. 2008. Jalan Terjal Reformasi Birokrasi. Seputar Indonesia, 9 Juni 2008. Bryant dan White. 1987. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, cetakan pertama. Alih bahasa Rusyanto L Simatupang. Jakarta: LP3ES. Budiarto, Eko. 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Capuno, Joseph J. 2008. A Case Study of the Decentralization of Health and Education Services in the Philippines. HDN Discussion Paper Series PHDR Issue: 2008/2009 No. 3. Chakim, Ali. 2011. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Madiun Tahun 19912010. tesis Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Dafflon, Bernad. 2002. Local Public Finance in Europe: Balancing the Budget and Controlling the Debt. Cheltenham. UK: Edward Elgar. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2009. Relevansi Paket Pelayanan Kesehatan Dasar Dalam Pencapaian Target Nasional dan Komitmen Global. Diunduh dari www.bappenas.go.id Faguet, J-P. 2011. Decentralization and Governance. London: The Suntory Centre. Franciari, Puswiyanti, FX. Sugiyanto. 2013. Analisis Hubungan IPKM, Kapasitas Fiskal Dan Korupsi Terhadap Kemiskinan Di Indonesia (Studi Kasus 38 Kabupaten/Kota Di Indonesia Tahun 2008 Dan 2010). Diponegoro Journal of Economics Volume 2 nomor 2 tahun 2013 halaman 1-14. Gama (2009). Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita antara kabupaten/kota di Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi dan Sosial INPUT volume 2 nomor 1. Goesniadhie, Kusnu. 2012. Analisis Mewujudkan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diunduh dari http://kgsc.wordpress.com pada 22 Mei 2014. Guanais, Fredirico C. and James Macinko. 2014. The Health Effects Of Decentralizing Primary Care In Brazil. Diunduh dari content.healthaffairs.org by Health Affairs on May 8, 2014. Haris, Syamsuddin. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta: LIPI Press.
Harbowo, Yunikasari. Analisis Penerapan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Malang Tahun 2009-2010. Artikel. Universitas Brawijaya. Hendratno, Edie Toe. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Jakarta: Graha Ilmu. Heyhood, Peter F and Nida P Harahap. Human Resources For Health At The District Level In Indonesia: The Smoke And Mirrors Of Decentralization. Human Resources for Health 2009, 7:6. Heywood, P dan Choi Y. 2010. Health System Performances at the District Level in Indonesia after Decentralization. BMC International Health and Human Rights 2010,10:3. Ida, Laode. 2005. Pemekaran Daerah: Solusi atau Masalah (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah). Diakses dari www.mediaindo.co.id Irwanto, Arief. 2011. Memahami Good Governance Dalam Bernegara. Diakses dari http://www.inkindojateng.web.id/?p=779 pada tanggal 12 Agustus 2014. Isra, Saldi. 2002. Potret Lembaga Perwakilan Rakyat, dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 18. Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia. Kemenkes, RI. 2012. Reformasi Birokrasi dalam Mediakom Kemenkes RI edisi 37 Septem-ber 2012 diakses di http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/17 29 pada tanggal 30 Juni 2014. Kemenkes. 2011. Buku Saku Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan. Diunduh dari www.depkes.go.id pada 1 Juli 2014. Kemenkes. 2014. Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kemenkes. 2008. Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESDA). Jakarta: Kemenkes.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 004 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1798 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberlakuan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 511 tahun 2002 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 81 tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan SDM Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1529 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Kolstad, Ivar & Odd-Helge Fjeldstad. 2006. Fiscal Decentralsation and Corruption: A brief overview of the issue. CMI CHR. Michelsen Institute. U4 ISSUE 3. Kurniati, Anna, Ferry Efendi. 2012. Kajian SDM Kesehatan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Kurniawan, U.K, Purnomo H, Adang Bachtiar. Kinerja Penyuluhan Keluarga Berencana di Indonesia: Pedoman Pengujian Efektivitas Kinerja pada Era Desentralisasi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 5, No1, Agustus 2010. Lakip, K.A dan Nik Ibrahim. 2002. N.S Health Reform and Its Implication. Jurnal Kesihatan Masyarakat 2002: Jilid 8. Larasati, Endang. 2013. Analisis Kebijakan Pelayanan Publik di Kabupaten Gianyar. Diunduh dari eprints.undip.ac.id pada tanggal 17 Juni 2014.
Lili Romli, 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 7. Litvack, Jennie dan Jessica Seddon. 1999. Decentralization Briefing Notes. World Bank Institute; WBI Working Papers. Lutwama, George William, Janetta Hendrika Roos and Bethabile Lovely Dolamo. 2012. A Descriptive Study on Health Workforce Performance after Decentralisation of Health Services in Uganda. BioMed Central Human Resources for Health 2012. Machfud, Sidik. 2007. A New Perspective on Intergovernmental Fiscal Relations Lessons from Indonesia’s Experience. Jakarta: Ripelge. Makagansa. H.R. 2008. Tantangan Pemekaran Daerah. Yogyakarta: FusPad. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Maulani, Achmad. Korupsi dan Wajah Kusam Otonomi Daerah. Koran Tempo, 25 November 2010. Mills, dkk. 1991. Desentralisasi Sistem Kesehatan : Konsep-konsep, Isu-isu, dan Pengalaman di Berbagai Negara (terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Misnaniarti. 2010. Aspek Penting Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan di Era Desentralisasi. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Volume 1 No 1 Maret 2010. Muhsinin, Aan. 2013. Penerapan Prinsip Desentralisasi Berbasis Good Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia. Diakses dari http://aanmuhsinin.wordpress.com pada tanggal 21 Mei 2014. Mungkasa, Oswar. 2012. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia: Konsep, Pencapaian dan Agenda ke Depan. File diunduh dari https://www.academia.edu/ pada tanggal 21 Mei 2014.
Muninjaya, A.A Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku EGC. Nawas, Abu. 2014. Kel 9 Desentralisasi Dalam Sistem Kesehatan. Makalah kelompok diunduh dari http://www.scribd.com pada 26 Juni 2014. Nawawi, Zaidan. 2006. Peranan Dan Tugas Utama Pemerintahan Daerah dalam Pelayanan Publik (Suatu Analisis Akademik dan Empirik Mengenai Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Menurut Versi Uu No. 32 Tahun 2004 dalam Mendukung Hubungan antar Pemerintahan dan Mendorong Kerjasama antar Daerah dalam Upaya Mewujudkan Pelayanan Publik yang Baik. Diunduh dari http://www.pascaunisti.files.wordpress.com pada 22 Mei 2014. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurjamil, Srie Heryani. 2013. Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan Positif Deviance terhadap Manajemen Penyuluhan Gizi untuk Upaya Penurunan Angka Gizi Buruk. Jurnal Ilmu Sosial Insan Akademika Publications ISSN:2301-4873 hal 68-75. Oates, Wallace. E. 1999. An Essay on Fiscal Federalism. Journal of Economic Literature Vol. 37 no. 3 September 1999 pp 11201149. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2011 tentang Pedoman Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Otonomi Baru Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 tahun 2011 tentang Pedoman Penjaminan Kualitas (Quality Assurance) dan Pedoman Monitoring dan Evaluasi Reformasi Birokrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010 – 2014. Peraturan Presiden RI no 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi JKN pada Fasilitas Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 87 tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55 tahun 2011 tentang Pedoman Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Otonomi Baru. Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2015. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2015.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 971 tahun 2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN untuk Jasa Pelayanan Kesehatan Dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9741 tahun 2008 tentang SPM Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Pertama, Hamdi Aniza. [tanpa tahun]. Desentralisasi Pemerintahan: Desentralisasi Sistem Perpajakan dalam Meningkatkan Efisiensi Ekonomi Sektor Publik dan Kualitas Pelayanan Publik. Diunduh dari www.stialan.ac.id pada tanggal 10 Mei 2014. Pinem, Rian. 2011. Analisis Pengaruh Implementasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Pembangunan Ekonomi Wlaiayah di Kabupaten Karo. Tesis, Universitas Sumatera Utara. Prasetyawan, Adi. 2013. Analisis Gambaran Mewujudkan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Diakses dari http://adikanina1987.wordpress.com pada 24 Juni 2014. Ratnawati, Tri. 2009. Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratnawati, Tri. 2010. Satu Dasawarsa Pemekaran Daerah Era Reformasi: Kegagalan Otonomi Daerah?. Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, tahun 2010.
Rinaldi, Taufik, Marini Purnomo, dan Dewi Damayanti. 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia yang terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah. Bank Dunia: Justice for the Poor Project. Rudiyanto, Arifin. 2009. Urgensi Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah Dalam Mendukung Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas Dalam Era Otonomi Daerah. Artikel diunduh dari http://old.bappenas.go.id pada 26 Mei 2015. Rondinelli, N dan Shabir, Cheema G. 1984. Decentralization in Developing Countries. World Bank. Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika. Samadi, Ali Hussen, Ali Keshtkaran, Zahra Kavosi, Sajad Vahedi. 2013. The Effect of Fiscal Decentralization on Under-Five Mortality in Iran : A Panel Data Analysis. International Journal of Health Policy and Management, 2013, 1(4), 301– 306. Saputra, Bambang. 2012. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Korupsi di Indonesia. Jurnal Borneo Administrator Volume 8 No.3 tahun 2012 hal 293-309. Sari, Dwi Yunita, dkk. 2012. Permasalahan yang Timbul dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Permasalahan Otonomi Daerah. Jakarta; Makalah Jurusan Akutansi FE UNJ. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: CV. Alvabeta. Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Supriatna, Tjahya, 2000, Administrasi Birokrasi dan Pelayanan Publik. Jakarta: Nimas Multima. Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 63 Tahun 1981 tentang Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas
Susiatiningsih, Hermini. 2010. Menakar Good Governance di Era Pemerintahan SBY-Boidiono 2009-2014. Diunduh dari www.eprints.undip.ac.id pada 12 Agustus 2014. Susiloadi, Priyanto. 2007. Konsep dan Isu Desentralisasi dalam Manajemen Pemerintahan di Indonesia. Diunduh dari http://topikin.blogspot.com pada 22 Mei 2014. Syaifullah. 2012. Analisis Kapasitas Fiskal Kabupaten Langkat. Tesis Universitas Negeri Medan. Syaukani, H, dkk. 2005. Otonomi Derah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tejo, Nurseto, Bambang Suprayitno, Supriyanto. 2013. Laporan Penelitian Fakultas Kelompok : Produktifkah Pengeluaran Publik Pemerintah Daerah dalam Human Capital Investment? Fakta Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. File diunduh dari www.staff.uny.ac.id pada tanggal 28 Mei 2014. Trihono. 2005. Manajemen Puskesmas Berbasis Paradigma Sehat. Jakarta: Sagung Seto. Trisnantoro, Laksono. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. Yogyakarta: Penerbit Andi. Uchimura, H dan Jutting J. 2007. Fiscal Decentralization, Chinese Style: Good for Health Outcomes?. OECD Development Centre, Working Paper no. 264. Undang-Undang No 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi undang-Undang. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 mengenai “Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang” Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan UNDP. 1997. Governance for Sustainable Human Development. United Nations Development Programme. Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus Media. Wasistiono, Sadu. 2012. Definisi, Dimensi dan Derajat Desentralisasi (Bahan Kuliah Prof. Dr. Sadu Wasistiono Ms). Diunduh dari http://muliadarmawan.blogspot.com pada 22 Mei 2014. WHO. 2000. Report of Health System: Improving Performance, Geneve. WHO. 2009. Systems Thingking for Health Syistems Strengthening, Geneve. Widaningrum, Ambar. 2007. Dinamika Pelaksanaan Desentralisasi Birokrasi Pelayanan Kesehatan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.10 No.3 Maret 2007 (365-390). World Bank. 2007. Kajian Pengeluaran Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru. Diundunh dari www.worldbank.org pada 21 Mei 2014.
Yoto. 2011. Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Angka Melanjutkan Sekolah Pada Jenjang Sekolah Menengah Pertama. Tesis FISIP Universitas Indonesia. Zuhro, Siti R. 2013. Pemekaran Daerah: Antara Jimat dan Syahwat Politik. Media Indonesia 6 Mei 2013.
RIWAYAT HIDUP Nama : Judilherry Justam Tempat/Tanggal Lahir : Bukittinggi, 27 September 1948 Alamat : Jl. Ciputat Raya – Gang Sarkawi No. 6 RT.05 / RW.03, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan - 12240 Status Perkawinan : Menikah dengan 5 anak dan 3 cucu. Riwayat Pendidikan 1. Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat) di Jakarta, lulus tahun 1960 2. Sekolah Lanjutan Pertama di Jakarta, lulus tahun 1963 3. Sekolah Lanjutan Atas di Jakarta, lulus tahun 1966 4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus tahun 1976. 5. Magister Manajemen Konsentrasi Marketing Internasional – Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, lulus tahun 1990. 6. Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik – Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, lulus tahun 2003. Riwayat Pekerjaan 1. Diangkat menjadi CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 11499/C/2/78 tanggal 16 Februari 1978. 2. Diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no D.36/FK/TU/UP/UI/79 tanggal 4 April 1979.
3. Diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan alasan sebagai tenaga berkelebihan (alasan politik) tanpa hak pensiun dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no 65965/D/5/1980 tanggal 7 Agustus 1980. 4. Sejak tahun 1980 bermula dengan bekerja di berbagai perusahaan swasta dalam bidang farmasi dan asuransi kesehatan, kemudian pada tahun 2001 membuka usaha sendiri dalam bidang farmasi dan alat-alat kedokteran. 5. Setelah 10 tahun sejak permohonan rehabilitasi PNS pertama kali diajukan tahun 1999, baru 10 (sepuluh) tahun kemudian permohonan disetujui untuk diaktifkan kembali sebagai PNS dengan pangkat/golongan ruang III/a terhitung mulai 1 Maret 2009 dengan SK Menteri Pendidikan Nasional no 17941/A4.6/KP/2009 tanggal 6 April 2009. 6. Diberhentikan dengan hormat sebagai PNS sejak 27 September 2013 dengan hak pensiun sebesar Rp 1,682,252 dan diberikan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi menjadi pangkat/golongan ruang III/b dengan SK Badan Kepegawaian Negara no 000064/KEP/AV/13016/14.