EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN (DAMPAK TERHADAP PENYEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN)
LAPORAN AKHIR
DIREKTORAT PENANGGULANGAN KEMISKINAN KEDEPUTIAN BIDANG KEMISKINAN, KETENAGAKERJAAN DAN USAHA KECIL MENENGAH
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DESEMBER 2008
DISIAPKAN OLEH TIM EVALUASI : PRASETIJONO WIDJOJO (Penanggung Jawab) ENDAH MURNININGTYAS (Ketua) VIVI YULASWATI (Anggota) HEDI M. IDRIS (Anggota) WORO S. SULISTYANINGRUM (Anggota) SAMY LEROY UGUY (Anggota) RIYA FARWATI (Anggota) KARIM (Anggota)
i
KATA PENGANTAR
Kegiatan evaluasi Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa sejak diluncurkan PKH pada tahun 2007, rumah tangga sangat miskin (RTSM) di daerah-daerah yang menjadi pilot project PKH masih banyak yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses yang menjadi hak mereka terutama terkait pelayanan kesehatan. Kondisi tersebut pada umumnya disebabkan oleh kurangnya jumlah tenaga kesehatan, minimnya sarana kesehatan, dan faktor kondisi geografis yang mempersulit aksesibilitas terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan terutama di daerah-daerah terpencil. Pada tahun 2007, PKH telah dilaksanakan uji coba di 7 (tujuh) provinsi, dan pada tahun 2008 diperluas di 6 (enam) provinsi lain. Dengan adanya perluasan cakupan wilayah ini, kegiatan evaluasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan karena dinamika dan permasalahan yang dihadapi baik pada tataran sistem yang dibangun maupun teknis implementasinya akan terus berkembang. Tujuan dari kegiatan evaluasi ini adalah untuk mengevaluasi dampak PKH terhadap efektivitas penyediaan pelayanan kesehatan bagi peserta PKH, sehingga dapat menjadi masukan dalam perbaikan disain PKH maupun dalam pelaksanaan program selanjutnya. Kegiatan evaluasi ini difokuskan pada aspek kesehatan, karena ditinjau dari hasil pencapaian MDG’s secara umum untuk aspek lain dalam PKH yaitu pendidikan sudah lebih baik, terutama Angka Partisipasi Murni (APM) SD sudah mencapai 94,7 % dan APM SMP mencapai 66,5 % dari target 100 % pada tahun 2015. Upaya peningkatan kualitas pendidikan juga sudah ada dukungan dari BOS, dan upaya menyukseskan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang sudah berjalan sejak tahun 1994. Untuk aspek kesehatan, dari laporan pencapaian MDG’s tahun 2007, terutama angka rata-rata kematian anak/1.000 masih sebesar 40 jiwa, angka kematian bayi/1.000 sebesar 32 jiwa, dan angka
ii
kematian ibu/100.000 masih sebesar 307 jiwa dari target 110 jiwa pada tahun 2015. Program ini merupakan salah satu instrumen dalam klaster I dari tiga klaster penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan pemerintah, yaitu (I) bantuan dan perlindungan sosial, (II) pemberdayaan masyarakat, serta (III) penguatan usaha mikro dan kecil. Dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan dan pengembangan sistem jaminan sosial, dua aspek dasar yang menjadi sasaran PKH adalah pendidikan dan kesehatan. Rendahnya kualitas pada dua aspek inilah yang dalam jangka panjang menjadi penyebab utama menyambungnya mata rantai perangkap kemiskinan. PKH diharapkan menjadi pemutus mata rantai kemiskinan, mempercepat pencapaian tujuan MDG’s dan dalam jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik. Dengan selesainya laporan ini maka hasil evaluasi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tim pengarah, tim pengendali dan pihak lain baik yang mendesain, merencanakan, melaksanakan, dan mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan khususnya dalam rangka mengembangkan dan mendesain sistem jaminan sosial bagi masyarakat yang berada pada level paling bawah (RTSM). Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh Tim Evaluasi Pelaksanaan PKH yang sudah Menyelesaikan evaluasi
di
lapangan
maupun
menganalisa
hasil
temuan
sehingga
menghasilkan hasil laporan, analisa dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan program PKH. Segala masukan, koreksi dan kritik atas laporan ini dapat disampaikan ke Direktorat Penanggulangan Kemiskinan.
Jakarta, Desember 2008 Direktur Penanggulangan Kemiskinan
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .........................................................................
ii
DAFTAR ISI ......................................................................................
iv
DAFTAR TABEL .....................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................
vii
Bab I PENDAHULUAN ...........................................................
1
1.1
Latar Belakang .............................................................................
1
1.2 Tujuan..........................................................................................
4
1.3
Keluaran ......................................................................................
4
1.4 Ruang Lingkup.............................................................................
4
1.5
Sistematika Penulisan ..................................................................
6
Bab II KERANGKA KONSEPTUAL ........................................
7
2.1 Gambaran Umum Program Keluarga Harapan ............................
7
2.2 Dampak Program Bantuan Tunai Bersyarat di Berbagai Negara .
12
Bab III METODOLOGI EVALUASI .........................................
16
3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................................
16
3.2 Metode Penentuan Sampel ..........................................................
16
3.3 Metode Pengumpulan Data..........................................................
19
3.3.1
Pengkajian Data Sekunder ..............................................
20
3.3.2
Kunjungan Lapangan .....................................................
20
3.3.3
Wawancara .....................................................................
22
3.3.4
Focused Group Discussion (FGD) ...................................
23
3.4 Metode Analisis Data ...................................................................
23
Bab IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS ................................
25
4.1 Pelaksanaan PKH di Provinsi Jawa Timur : Kabupaten Kediri dan Kabupaten Sidoarjo .....................................................................
25
iv
4.1.1
4.1.2
Pelaksanaan PKH di Kabupaten Kediri...........................
25
A. Gambaran Umum Kabupaten Kediri ..........................
25
B. Pelaksanaan PKH di Kabupaten Kediri ......................
31
Pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo .......................
37
A. Gambaran Umum Kabupaten Sidoarjo ......................
37
B. Pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo ...................
43
4.2 Pelaksanaan PKH di Provinsi Nusa Tenggara Timur: Kabupaten Sumba Barat ................................................................................
49
4.2.1
Gambaran Umum Kabupaten Sumba Barat ...................
49
4.2.2
Pelaksanaan PKH di Kabupaten Sumba Barat ................
55
4.3 Pelaksanaan PKH di Provinsi Gorontalo: Kabupaten Bone Bolango ........................................................................................
62
4.3.1
Gambaran Umum Kabupaten Bone Bolango ..................
62
4.3.2
Pelaksanaan PKH di Kabupaten Bone Bolango ..............
68
Bab V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI...........................
77
5.1
Kesimpulan .................................................................................
77
5.1.1
Pelaksanaan PKH Secara Umum ....................................
77
5.1.2
Dampak Terhadap Penyediaan Pelayanan Kesehatan ....
82
5.2 Rekomendasi ...............................................................................
84
5.2.1
Pelaksanaan PKH Secara Umum ....................................
84
5.2.2
Penyedia Layanan Kesehatan .........................................
87
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
88
LAMPIRAN........................................................................................
90
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Perbandingan CCT di Berbagai Negara .............................
Tabel 3.1
Persentase Tingkat Pemeriksaan Kehamilan di Tiga Provinsi Sample Tahun 2007 ............................................
Tabel 3.2
17
Persentase Tingkat Kematian Bayi dan Anak di Tiga Provinsi Sample Tahun 2007 ............................................
Tabel 3.3
12
18
Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan Wilayah Evaluasi PKH Tahun 2007 ..............................................................
19
Tabel 3.4
Informan Evaluasi Program Keluarga Harapan ................
21
Tabel 3.5
Jumlah Informan Penyedia Layanan dan Masyarakat Umum ...............................................................................
22
Tabel 3.6
Jenis Informan dan Cara Pengumpulan Informasi............
24
Tabel 4.1
Angka Mortalitas di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004 – 2007 ..................................................................................
Tabel 4.2
Kondisi Tenaga Kesehatan di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2007 .......................................................................
Tabel 4.3
42 65
Persentase Balita Menurut Status Gizi di Provinsi Gorontalo Tahun 2007 .......................................................................
67
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Model Lingkar Kausal Perangkap Kemiskinan.............
7
Gambar 2.2
Struktur Orgasnisasi Program Keluarga Harapan ........
9
Gambar 2.3
Diagram Alur Operasional PKH ...................................
11
Gambar 3.1
Tingkat Kemiskinan di Tiga Provinsi Sampel dan Nasional Tahun 2005 dan 2008 ..................................
17
Gambar 4.1
Peta Kabupaten Kediri .................................................
25
Gambar 4.2
Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Kediri Dibandingkan dengan Beberapa Kabupaten Lain di Jawa Timur .............................................................
Gambar 4.3
Indeks Pembangunan Manusia di Tiga Provinsi dan Nasional ................................................................
Gambar 4.4
27 27
Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Kediri, dan Beberapa Kabupaten Lain Tahun 2005 .................................................................
Gambar 4.5
30
Tingkat Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Jawa Timur Tahun 2004.......................................................
30
Gambar 4.6
Peta Kabupatenb Sidoarjo............................................
38
Gambar 4.7
Distribusi Persentase PDRB atas dasar Harga Konstan 2000 di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 ....................
Gambar 4.8
40
Jumlah Tenaga Medis di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004-2007 ...................................................................
41
Gambar 4.9
Peta Kabupaten Sumba Barat (Sebelum Pemekaran) ..
50
Gambar 4.10
Tingkat Kemiskinan Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Lain di Provinsi NTT Tahun 2005 .............
Gambar 4.11
Tingkat Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Provinsi NTT Tahun 2007..................................................................
Gambar 4.12
52
Angka Kematian Ibu di Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Lain di NTT Tahun 2006 ...........................
Gambar 4.13
51
53
Angka Kematian Bayi di Kabupaten Sumba Barat dan Tiga Kabupaten Lain, Provinsi NTT, Nasional, dan
vii
Target MDGs................................................................ Gambar 4.14
54
Perbandingan Persentase Anggaran Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, dan Pertanian di Kabupaten Sumba Barat dan Tiga Kabupaten Lain Tahun 2006 ...
Gambar 4.15
55
Suasana Pembayaran Dana PKH Kepada RSTM di Kecamatan Kotikutana, Kabupaten Sumba Barat ....
56
Gambar 4.16
Peta Kabupaten Bone Bolango .....................................
62
Gambar 4.17
Perbandingan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Gorontalo Tahun 2005 ..............................
Gambar 4.18
63
Kondisi Rumah RTSM di Kecamatan Bone Pantai, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo .............
64
viii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Program Keluarga Harapan
(PKH) pada tahun 2007 dalam bentuk uji coba di 7 (tujuh) provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. PKH merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia dan akan menjadi cikal bakal pengembangan sistem jaminan sosial. Prinsip PKH adalah memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhi kualifikasi tertentu dengan menerapkan persyaratan yang terkait dengan pemanfaatan pendidikan dan kesehatan
bagi penerimanya.
Persyaratan
yang
diterapkan
tersebut
diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, yaitu anakanak penerima PKH usia 6-18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar diharuskan untuk didaftarkan ke satuan pendidikan (sekolah) terdekat dan memenuhi kehadiran 85%; ibu hamil dan anak usia 0-6 tahun diharuskan mendatangi pusat-pusat layanan kesehatan untuk memenuhi protokol kesehatan yang berlaku. Dalam jangka pendek, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin dan dalam jangka panjang diharapkan akan memutus rantai kemiskinan melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Rancangan dan pelaksanaan kebijakan program yang baik diharapkan akan memberikan manfaat yang besar tidak saja bagi rumah tangga sangat miskin di Indonesia tetapi juga bagi negara melalui pembangunan manusia. Manfaat tersebut diharapkan dapat dicapai melalui pemenuhan pendidikan dasar (terutama untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah menengah tingkat pertama kelompok masyarakat miskin yang saat ini kurang dari 60%), pemenuhan cakupan imunisasi, perawatan ibu hamil dan menyusui,
1
dan pengurangan masalah kekurangan gizi pada anak-anak miskin usia 0-5 tahun. Pada akhirnya, manfaat PKH terkait dengan upaya pemerintah untuk mencapai target-target dalam Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). PKH bukanlah program yang mudah dalam pelaksanaannya, terutama terkait dengan: (i) ketepatan pemilihan peserta (penentuan rumah tangga sangat miskin), (ii) ketersediaan instrumen-instrumen dan proses verifikasi terhadap persyaratan yang ditetapkan di lapangan, (iii) kesiapan penyedia layanan (pendidikan dan kesehatan), (iv) ketepatan proses penyaluran dana, (v) kesiapan institusi dan koordinasi antar pihak yang terkait dalam pelaksanaan program (pemerintah pusat, pemerintah daerah/unit-unit di tingkat
daerah,
penyedia
layanan
pendidikan
dan
kesehatan,
fasilitator/pendamping, dan sebagainya), (vi) proses pengaduan dan penyelesaian masalah pengaduan, serta (vii) proses pemutakhiran data yang terkait dengan pengembangan sistem informasi teknologi. Salah satu hal yang penting untuk dapat mensukseskan pelaksanaan PKH adalah ketersediaan layanan pendidikan dan kesehatan. Ketersediaan layanan pendidikan dan kesehatan ini dapat dilihat dari ketersediaan sarana dan prasarana, program-program pendukung, serta lembaga-lembaga yang mengelola jasa layanan tersebut baik formal maupun non-formal.
Dengan
persyaratan
bahwa
penerima
bantuan
harus
mendaftarkan anak-anak mereka ke satuan pendidikan dan memeriksakan kesehatan ke pusat-pusat layanan kesehatan agar mereka dapat menerima bantuan, maka akan terjadi peningkatan permintaan terhadap layanan pendidikan dan kesehatan. Di lain pihak, sebelum menerima program ini, pemerintah daerah yang bersangkutan telah menandatangi kesepakatan yang berisi diantaranya adalah kesediaan untuk menyediakan kedua layanan tersebut. Dengan demikian, diharapkan penerima bantuan tidak akan mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Akan tetapi, masih banyak daerah yang belum terjangkau kedua layanan tersebut, misalnya untuk daerah-daerah yang memiliki akses yang sulit (daerah-daerah terpencil) atau karena kedua layanan tersebut belum
2
tersedia di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu adanya evaluasi dampak PKH terhadap ketersediaan layanan pendidikan dan kesehatan untuk mendukung pelaksanaan PKH. Dari dua aspek yang menjadi sasaran PKH yaitu pendidikan dan kesehatan, fokus evaluasi yang dilaksanakan pada tahun 2008 adalah aspek kesehatan. Masalah kesehatan terutama di Indonesia masih sangat kompleks terutama terkait dengan kesehatan ibu hamil dan balita. Laporan pencapaian MDGs tahun 2007 menunjukkan bahwa aspek pendidikan telah mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan, yaitu APM SD (94,7%), APM SMP (66,5%), Melek huruf usia 15-24 (99,6%) dari target 100% di tahun 2015. Sedangkan pada aspek kesehatan masih perlu kerja keras dari semua pihak, misalnya tingkat kematian ibu (per 100.000) sebesar 390 (target 307), kelahiran yang dibantu tenaga terlatih sebesar 40,7 % (target 72,4%), tingkat kematian bayi (per 1000) sebesar 57 (target 32), tingkat kematian anak (1-5 tahun, per 1.000) sebesar 81 (target 40), dan tingkat imunisasi campak usia 12 bulan sebesar 44,5 % (target 71,6 %). Selain indikator tersebut, masalah kesehatan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan tenaga (SDM) di bidang kesehatan, fasilitas medis yang memadai, faktor budaya masyarakat sehingga diperlukan penanganan yang komprehensif. Mempertimbangkan hal tersebut, maka evaluasi akan diarahkan pada ketersediaan layanan kesehatan dalam hal ini adalah menilai sejauh mana kesiapan pihak penyedia pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa-desa untuk mendukung pelaksanaan PKH. Efektifitas pelaksanaan PKH di bidang kesehatan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai, baik dari sisi fasilitasnya seperti rumah sakit dan puskesmas, dari sisi tenaga medisnya, dan dari sisi ketersediaan obat-obatan yang meningkat karena adanya peningkatan permintaan atau layanan kesehatan bagi RTSM peserta PKH. Dengan evaluasi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perbaikan program, khususnya dalam penyediaan layanan kesehatan.
3
1.2
Tujuan Tujuan dari kegiatan evaluasi terhadap PKH adalah mengevaluasi
dampak PKH terhadap efektivitas penyediaan pelayanan kesehatan bagi peserta PKH, sehingga dapat menjadi masukan dalam perbaikan disain PKH maupun dalam pelaksanaan program selanjutnya.
1.3
Keluaran Keluaran yang diharapkan dari kegiatan evaluasi ini adalah laporan
yang memuat: a. Hasil penilaian terhadap kesiapan penyediaan pelayanan kesehatan dalam mendukung pelaksanaan PKH; b. Jenis-jenis pelayanan kesehatan serta program-program yang diperlukan untuk mendukung PKH agar mudah diakses oleh masyarakat miskin; a. Rekomendasi mengenai alternatif penyelesaian masalah yang terkait dengan penyediaan pelayanan kesehatan.
1.4
Ruang Lingkup Kegiatan evaluasi difokuskan pada penilaian dampak PKH terhadap
efektivitas penyediaan pelayanan kesehatan. Hal ini terkait dengan tujuan PKH yang tidak hanya untuk membantu ekonomi rumah tangga miskin secara jangka pendek tetapi juga untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, maka peningkatan kualitas kesehatan keluarga sejak dini menjadi sangat penting. Untuk
menilai dampak PKH
terhadap
efektifitas penyediaan
pelayanan kesehatan, maka fokus evaluasi diarahkan pada: a. Menilai efektivitas para pelaku kunci program dalam menyediakan layanan kesehatan bagi peserta PKH secara tepat waktu; b. Mengidentifikasi jenis pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan oleh peserta PKH;
4
c. Mengidentifikasi permasalahan serta alternatif pemecahan masalah dalam penyediaan pelayanan kesehatan bagi peserta PKH. Secara lebih rinci, fokus dari masing-masing evaluasi akan diarahkan pada penilaian terhadap: a. Efektivitas para pelaku kunci dalam penyediaan pelayanan kesehatan bagi peserta PKH dilakukan dengan:
Menilai kelancaran dalam pendaftaran dan penyusunan jadwal kunjungan peserta PKH ke pusat-pusat layanan kesehatan terdekat.
Menilai kelancaran koordinasi dalam penyediaan layanan kesehatan antar institusi penyedia layanan kesehatan, dari tingkat pusat sampai pada pelaksana di lapangan.
Menilai tingkat kunjungan peserta PKH pada pusat-pusat layanan kesehatan.
b. Identifikasi jenis pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan oleh anak-anak peserta PKH meliputi:
Jenis-jenis pelayanan kesehatan dapat diakses oleh peserta PKH di masing-masing daerah, termasuk kemudahan dalam mengakses pelayanan tersebut;
Program-program yang berjalan di masing-masing daerah yang dapat memberikan akses bagi peserta PKH untuk mendapat pelayanan kesehatan.
c. Identifikasi permasalahan serta alternatif pemecahan masalah dalam penyediaan layanan kesehatan bagi peserta PKH dilakukan dengan:
Mengevaluasi
pengaduan
yang
masuk
terkait
dengan
penyediaan layanan kesehatan;
5
Menilai alternatif-alternatif yang telah dilakukan dalam mengatasi permasalahan penyediaan layanan kesehatan yang diperkirakan dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.
1.5
Sistematika Penulisan Laporan evaluasi ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut: Bab I merupakan bab yang berisi mengenai latar belakang dilakukannya evaluasi, tujuan serta lingkup evaluasi, dan dilanjutkan dengan landasan teori di Bab II yang menjelaskan mengenai PKH secara umum serta gambaran umum mengenai kondisi wilayah yang menjadi sasaran lokasi evaluasi PKH, khususnya kondisi di sektor kesehatan kaitannya dengan konsep pelaksanaan PKH. Bab III menjelaskan mengenai metodologi evaluasi yang digunakan termasuk proses pengumpulan data yang kemudian hasil analisisnya akan dituangkan pada tahap laporan selanjutnya. Pada Bab IV akan dijelaskan mengenai hasil analisis pelaksanaan PKH, mulai dari kondisi secara umum kabupaten yang menjadi lokasi evaluasi, karakteristik masing-masing kabupaten yang dikunjungi, dan berbagai permasalahan yang dihadapi serta temuan lapangan yang didapatkan. Pada Bab V adalah penutup yang akan memaparkan kesimpulan dan rekomendari khususnya bagi pelaksanaan PKH yang akan datang serta bagi pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan untuk mempercepat pencapaian MDGs.
6
BAB II KERANGKA KONSEPTUAL
2.1
Gambaran Umum Program Keluarga Harapan Program Keluarga Harapan (PKH) diluncurkan oleh Pemerintah
Indonesia pada tahun 2007 sebagai sebuah program bantuan sosial dalam bentuk bantuan tunai bersyarat. PKH yang di negara lain dikenal sebagai Conditional Cash Transfer (CCT), merupakan salah satu upaya pemerintah dalam rangka mempercepat upaya penanggulangangan kemiskinan dan membangun sistem perlindungan sosial bagi masyarakat yang sangat miskin. Sasaran utama dari program ini adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki kualifikasi tertentu dengan fokus peningkatan kualitas pendidikan dasar dan kesehatan keluarga peserta PKH. RTSM yang dimaksud adalah RTSM yang memiliki ibu hamil/menyusui/balita dan/atau anak usia pendidikan dasar dengan pemberlakuan persyaratan kesehatan dan pendidikan untuk dapat menerima bantuan (lihat Lampiran 1). Tujuan operasional PKH adalah meningkatkan akses RTSM terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan serta meningkatkan status kesehatan dan pendidikan anggota RTSM, sebagaimana gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Model Lingkar Kausal Perangkap Kemiskinan
7
Gambar 2.1 di atas memberikan ilustrasi bahwa peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan adalah dua kunci penting untuk memutus mata rantai kemiskinan dalam jangka panjang. Kondisi kesehatan yang buruk dari rumah tangga sangat miskin, baik terlihat dari angka kematian balita yang tinggi, kasus gizi buruk yang cenderung meningkat terutama di kelompok masyarakat
berpendapatan
paling
rendah,
sangat
mempengaruhi
kemampuan mereka untuk dapat masuk, terdaftar dan berprestasi di sekolahnya. Selain itu, banyak anak dari rumah tangga sangat miskin yang tidak bersekolah karena harus membantu mencari nafkah. Dengan demikian, meskipun angka partisipasi sekolah dasar relatif tinggi untuk hampir di semua kelompok pendapatan masyarakat, tetapi masih banyak anak dari keluarga miskin yang putus sekolah atau tidak melanjutkan ke SMP/MTs karena bekerja mencari nafkah. Kondisi ini menyebabkan kualitas generasi penerus keluarga miskin senantiasa rendah dan tidak dapat memperoleh pekerjaan yang layak sehingga mereka tidak dapat meningkatkan kondisi kesehatan mereka, dan akibatnya mereka terperangkap dalam lingkaran kemiskinan. PKH mempunyai sasaran pada dua aspek, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pada aspek pendidikan PKH berusaha ikut menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun karena setiap anak usia 6-17 tahun dari RTSM penerima PKH yang belum menyelesaikan pendidikan dasar diharuskan mendaftar ke sekolah atau satuan pendidikan terdekat dengan tingkat kehadiran minimal 85%. Dari aspek kesehatan, PKH difokuskan pada peningkatan kualitas kesehatan ibu hamil dan anak usia 0-5 tahun. PKH mewajibkan RTSM untuk mendatangi pusat-pusat layanan kesehatan terdekat dan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai protokol kesehatan bagi ibu hamil dan anak usia 0-5 tahun, seperti diantaranya mendapatkan imunisasi lengkap, pemeriksaan selama kehamilan dan sebagainya. Melalui dua aspek ini, manfaat yang akan dirasakan tidak hanya pada saat program dilaksanakan, tetapi untuk jangka panjang adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya bagi keluarga sangat
8
miskin dalam rangka mempercepat pencapaian target-target dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) di Indonesia. Disain program ini adalah pemberian bantuan tunai kepada rumah tangga yang memenuhi persyaratan pendidikan dan kesehatan dengan besaran bantuan rata-rata sebesar Rp. 1.390.000,- per tahun per keluarga (lihat Lampiran 2.). Bantuan diberikan setiap tiga bulan dan besarannya tidak seragam karena sangat terkait dengan persyaratan yang dipenuhi oleh RTSM serta komposisi dari anggota RTSM. Bantuan ini diberikan kepada ibu selaku pengurus rumah tangga, bukan ayah sebagai kepala rumah tangga pada umumnya, karena sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan dan kesehatan yang lebih banyak ditangani oleh ibu-ibu. Program ini juga melengkapi program-program bantuan sosial lain yang sudah ada, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Asuransi Kesehatan bagi masyarakat Miskin (ASKESKIN) yang sekarang menjadi JAMKESMAS, dan penyediaan beras untuk masyarakat miskin (Raskin). Kelembagaan PKH terdiri atas lembaga terkait baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, serta Unit Pelaksana PKH (UPPKH) yang dibentuk di tingkat pusat, kabupaten/kota dan kecamatan. Gambar 2.2 berikut memperlihatkan struktur organisasi PKH.
Depsos
Tim Pengendali PKH/TKPK Tim Pengarah Pusat
UPPKH Pusat
PT POS INDONESIA
Tim Teknis Pusat
Pusat Tim Koordinasi Teknis Provinsi/TKPKD
Din Sos UPPKH Kabupaten/Kota
Tim Koordinasi Teknis Kabupaten/Kota
Provinsi
Kabupaten KANTOR POS KABUPATEN/KOTA
Kecamatan Pendamping PKH
KANTOR /PETUGAS POS
Gambar 2.2 Struktur Organisasi Program Keluarga Harapan
9
Fokus penting dari PKH adalah perlunya dilakukan verifikasi kehadiran RTSM di pusat-pusat layanan kesehatan dan pendidikan. Verifikasi ini yang menjadi dasar perhitungan besaran bantuan yang akan diberikan kepada RTSM. Verifikasi dilakukan di pusat-pusat layanan pendidikan dan kesehatan untuk menilai apakah RTSM memenuhi persyaratan
yang
diwajibkan.
Oleh
karena
itu,
pelaksanaan
PKH
memerlukan adanya koordinasi antar unit-unit instansi terkait di pusat dan daerah serta antara instansi pusat dan daerah. Seperti telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, peran dari penyedia layanan pendidikan dan kesehatan menjadi sangat penting dalam melakukan verifikasi untuk mendukung kelancaran pelaksanaan PKH. Dengan demikian, jaminan ketersediaan dan beroperasinya pusat-pusat layanan pendidikan dan kesehatan secara memadai oleh pemerintah daerah menjadi sangat penting. Setelah pendataan dilakukan oleh BPS, data base RTSM penerima disampaikan kepada Kantor POS untuk kemudian disampaikan ke kantor Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) kabupaten yang selanjutnya akan divalidasi. Hasil dari validasi tersebut kemudian dikirim ke UPPKH Pusat sebagai dasar pemutakhiran data. Setelah dilakukan pemutakhiran, data-data tersebut dikirim kepada pusat-pusat layanan pendidikan dan kesehatan di daerah agar mereka dapat melakukan verifikasi kehadiran RTSM di pusat-pusat layanan tersebut. Hasil verifikasi kehadiran, baik di pusat layanan pendidikan (sekolah dan lembaga penyelenggara pendidikan dasar) dan layanan kesehatan (puskesmas dan jaringannya) kemudian disampaikan kepada UPPKH Pusat sebagai dasar pembayaran kepada RTSM. Secara rinci, alur pelaksanaan PKH dapat dilihat pada gambar 2.3 di bawah ini:
10
1 BPS PSE 05 (RTSM)
Family Roster
2
-Kondisi -Pemutakhiran data PROGRAM PKH PT POS
4
3
MASTER DATABASE
MASTER DATABASE
Persetujuan pembayaran
7
Pembayaran
5
-
Memberikan informasi siswa per sekolah
-
Melakukan verifikasi (yg tidak memenuhi/comply)
RUMAH TANGGA PENERIMA
SEKOLAH
PUSKESMAS
-
Memberikan informasi anak usia 0-5 tahun & ibu hamil di puskesmas
-
Melakukan verifikasi (yg tidak memenuhi/comply)
-
Pengambilan format yg terisi
PEMUTAKHIRAN PENGADUAN DLL
KANTOR BTB LOKAL
Gambar 2.3 Diagram Alur Operasional PKH
Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) pada tahun 2007 dimulai dengan Pilot Project di 7 (tujuh) provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo dengan cakupan 48 (empat puluh delapan) Kabupaten/Kota dan sasaran 387.928 RTSM (dari rencana semula sebanyak 500.000 RTSM). Pada tahun 2008, pemerintah memperluas cakupan wilayah PKH ke 6 (enam) provinsi baru yaitu Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat dengan tambahan target sasaran termasuk di lokasi lama adalah sebanyak 238.234 RTSM. Total lokasi PKH saat ini adalah 13 (tiga belas) provinsi, dan direncanakan secara bertahap program ini akan terus dikembangkan untuk menjangkau 6,5 juta RTSM di seluruh provinsi di Indonesia. Program ini akan terus dilaksanakan sampai dengan tahun 2015 sebagai dukungan bagi percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDG’s).
11
2.2
Dampak Program Bantuan Tunai Bersyarat di Berbagai Negara Program Keluarga Harapan merupakan program yang diadopsi dari
berbagai program sejenis yang telah dilaksanakan di berbagai negara, terutama di negara-negara Amerika Latin, dengan nama generik conditional cash transfer (CCT). Dalam penyusunan disain PKH, walaupun mengadopsi program CCT dari berbagai negara, tetapi disesuaikan dengan kondisi atau permasalahan dan kebijakan pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, persyaratan yang ditetapkan dalam PKH dikaitkan dengan permasalahan gizi buruk maupun kasus ibu meninggal saat melahirkan yang masih tinggi di Indonesia serta kebijakan pemerintah Indonesia mengenai Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Di berbagai negara, penerapan persyaratan juga berbeda-beda tergantung pada tujuan yang akan dicapai serta terkait dengan penyelesaian masalah pokok yang dihadapi negara yang bersangkutan. Selain itu, lingkup kegiatannya juga berbeda-beda disesuaikan dengan target sasaran yang akan dituju. Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan perbandingan program CCT di berbagai negara.
Tabel 2.1 Perbandingan CCT di Berbagai Negara
Negara/
Syarat
Tujuan
Program
(Conditionalities)
Bangladesh: Cash for Education
Diberikan kepada RTM dengan anak yang bersekolah dengan syarat enrollment dan attandance
Untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, mengurangi buruh anak dan angka Drop Out
Brazil 1: Child Labor eradication
Untuk RTM dengan anak bekerja pada pekerjaan yang berbahaya; dan dana untuk sekolah yang memperpanjang waktu pengajaran
Untuk mengurangi buruh anak dan menyediakan pendidikan dan pelatihan alternatif
Brazil 2: Bolsa Familia
Untuk RTM dengan anak bersekolah (7-16 tahun) dengan syarat enrollment dan attendance (85%); vaksinasi, pre-natal care dan growth monitoring
Untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah dan mengurangi kemiskinan kronis
12
Colombia: Familias en Accion
Untuk RTM dengan anak bersekolah dengan syarat 80% absensi dan pemeriksaan ke puskesmas termasuk monitoring pertumbuhan anak
Mengurangi kemiskinan RTM, meningkatkan partisipasi sekolah, dan jaring pengaman sosial
Honduras: Programa de Asignacion Familiar
Uang tunai untuk RTM dengan anak yang bersekolah dengan syarat absensi dan pemeriksaan ke puskesmas; dan dana untuk penyedia pendidikan dan kesehatan
Meningkatkan partisipasi sekolah, nutrisi dan penggunaan puskesmas
Jamaica: Program of Advancement through Health & Education
Uang tunai untuk RTM dengan anggota keluarga rentan (cacat, lansia, bayi, dan lain-lain) dengan syarat absensi sekolah dan pemeriksaan ke puskesmas
Untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, mengurangi buruh anak dan sebagai jaring pengaman sosial
Mexico: Progresa/ Oportunidades
Progresa berawal untuk RTM di desa untuk pendidikan dan kesehatan; Oportunidades berlanjut ke urban dan diperluas juga untuk UKM. Persyaratan: enrollment dan attendance (85%); pre- dan postnatal care; pemeriksaan kesehatan berkala (berdasar umur dan gender)
Penanggulangan kemiskinan, peningkatan partisipasi sekolah, nutrisi dan penggunaan puskesmas
Nicaragua: Red de Proteccion Social
Uang tunai untuk RTM dg anak yang bersekolah dengan syarat absensi dan pemeriksaan ke puskesmas
Meningkatkan partisipasi sekolah, nutrisi dan penggunaan puskesmas
Sumber: Bappenas, 2007
Berbagai program CCT tersebut telah memberikan dampak yang beragam terhadap kondisi pendidikan, kesehatan dan kemiskinan dari negara yang bersangkutan. Beberapa kajian evaluasi dan kuasi eksperimental menunjukkan berbagai dampak CCT sebagai berikut (Janvry and Sadoulet, 2003; Maluccio and Flores, 2004; Olinto, 2004): 1. Terjadi peningkatan pengeluaran untuk pangan pada program CCT di Brazil, Meksiko, Kolombia, Hoduras dan Nicaragua. 2. Terjadi peningkatan asupan kalori pada anak-anak untuk program CCT di Brazil dan Meksiko. 3. Pengurangan hambatan tumbuh kembang pada balita dan kasus gizi buruk yang terjadi di Meksiko, Kolombia dan Nicaragua.
13
4. Peningkatan kunjungan kesehatan untuk anak-anak balita dan untuk ibu hamil di Honduras dan Nicaragua. 5. Di Meksiko ditemui adanya peningkatan partisipasi sekolah, khususnya untuk tingkat SMP sebesar 12%. 6. Di Meksiko, Honduras dan Nicaragua, terlihat penurunan yang signifikan pada angka putus sekolah dan angka tidak naik kelas. 7. Di beberapa negara juga terlihat adanya penurunan jumlah pekerja anak dengan adanya program CCT, seperti di Meksiko, Nicaragua, Kolombia, dan Brazil. Dari berbagai studi yang telah dilakukan untuk melihat dampak program CCT, ternyata program CCT dapat memberikan dampak terhadap perubahan tingkah laku rumah tangga miskin dalam hal pengalokasian anggaran yang lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan anak-anak, yaitu untuk pendidikan dan kesehatan (Ribas, Soares and Hirata, 2008). Akan tetapi, tidak jelas apakah perubahan ini terjadi karena adanya penambahan pendapatan akibat dari bantuan yang diberikan ataukah karena adanya dampak dari komponen-komponen kegiatan lain dari CCT, seperti penyuluhan mengenai hidup sehat, usaha-usaha produktif dan sebagainya yang mendorong rumah tangga miskin untuk berusaha lebih jauh lagi dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan pendapatan mereka. Lebih jauh lagi, dampak program CCT terhadap pengurangan kemiskinan masih diperdebatkan. Studi dari Soares, Soares, Medeiros dan Osorio pada tahun 2006 mengenai dampak program Bolsa Familia di Brazil terhadap kesenjangan dan kemiskinan menunjukkan bahwa kontribusi program CCT terhadap penurunan kemiskinan hanya 0,82% dari total penurunan kemiskinan.
Akan tetapi, kontribusi program CCT terhadap
penurunan kesenjangan pendapatan mencapai 28% dari total penurunan kesenjangan. Berdasarkan studi ini diketahui bahwa dalam jangka pendek, program CCT tidak serta merta akan dapat menurunkan kemiskinan. Akan tetapi, program CCT akan dapat mengurangi kesenjangan atau dapat mengurangi kedalaman kemiskinan. Program CCT telah membuat rumah tangga miskin tidak semakin jatuh miskin atau bahkan meningkatkan
14
pendapatan mereka walaupun masih tetap berada di bawah garis kemiskinan. Adapun dalam jangka panjang, program CCT sebagai basic social protection dapat meningkatkan kemampuan masyarakat miskin melalui peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Dalam pelaksanaannya, hal penting yang menjadi perhatian untuk dapat terselenggaranya program CCT adalah kesiapan sisi supply dalam mendukung pelaksanaan program. Kesiapan dari sisi supply ini meliputi kesiapan sarana dan prasarana layanan pendidikan maupun kesehatan, kesiapan petugas pemberi layanan dalam memahami peran dan tanggung jawab dalam program, serta kesiapan sistem pendukung untuk melakukan monitoring dan verifikasi terhadap pemenuhan persyaratan. Dengan adanya program CCT, maka akan ada penambahan permintaan akan layanan pendidikan dan kesehatan. Selain itu, akan ada tambahan beban pekerjaan bagi petugas pemberi layanan untuk mengisi format-format yang diperlukan pada saat verifikasi pemenuhan persyaratan. Pengalaman dari Kolombia dan Meksiko menunjukkan bahwa monitoring terhadap pemenuhan persyaratan dapat menimbulkan tambahan biaya waktu yang cukup signifikan bagi guru-guru di sekolah-sekolah dan petugas-petugas di
pusat-pusat
layanan
kesehatan,
terutama
untuk
mengumpulkan, mengisi dan mengembalikan format-format verifikasi. Jika penambahan beban ini semakin memberatkan mereka, bukan tidak mungkin dukungan terhadap pelaksanaan program CCT akan berkurang, dan tentunya hal ini akan menyebabkan program CCT tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Melihat bahwa peran dari pemberi layanan pendidikan dan kesehatan sangat penting demi suksesnya pelaksanaan PKH di Indonesia serta masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat miskin, maka evaluasi PKH diarahkan pada bagaimana kesiapan penyedia layanan kesehatan dalam mendukung pelaksanaan PKH.
15
BAB III METODOLOGI EVALUASI
3.1
Kerangka Pemikiran Metoda yang digunakan untuk melakukan evaluasi dampak PKH
terhadap penyediaan pelayanan kesehatan adalah dengan menggunakan disain case study. Pada umumnya evaluasi dengan disain ini lebih kepada evaluasi kualitatif, walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan evaluasi secara kuantitatif (Fitzpatrick, 2004). Pemilihan disain case study dalam evaluasi ini karena disain ini sangat bermanfaat jika tujuan dari evaluasi adalah untuk menjelaskan, mendiskripsikan, atau mengeksplorasi sesuatu secara lebih mendalam sehingga diperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai suatu kasus. Dalam hal ini, dampak PKH terhadap kesiapan penyediaan pelayanan kesehatan adalah kasus yang akan dievaluasi secara lebih mendalam.
3.2
Metoda Penentuan Sampel Dengan menggunakan disain case study, maka penentuan sampel
tidak didasarkan pada jumlah sampel yang dapat merepresentasikan populasi yang dievaluasi, tetapi penentuan sampel lebih diarahkan kepada tujuan evaluasi atau purposive sampling. Oleh sebab itu, penentuan sampel akan diarahkan agar dapat menjawab lingkup evaluasi yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. PKH pada tahun 2007 dilaksanakan di 7 provinsi, 48 kabupaten dan 337 kecamatan. Untuk keperluan evaluasi dengan menggunakan metoda case study, kegiatan evaluasi akan difokuskan pada 3 provinsi lokasi uji coba PKH pada tahun 2007. Provinsi yang dipilih adalah provinsi yang mewakili provinsi di Indonesia Barat yang diperkirakan memiliki layanan kesehatan yang lebih memadai dan provinsi di Indonesia Timur yang diperkirakan
16
kurang memiliki layanan kesehatan yang memadai. Dengan pertimbangan tersebut, maka dipilih Provinsi Jawa Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Gorontalo sebagai lokasi evaluasi. Penentuan lokasi sampel juga mempertimbangkan pada kondisi kemiskinan daerah yang masih jauh lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan nasional, sebagimana terlihat pada gambar 3.1 berikut ini:
Tingkat Kemiskinan Tiga Provinsi dan Nasional 2005 & 2008 29.05
30 25 20
28.19 25.65
24.88 19.95 18.51
16.69 15.42
15 10 5 0 Jaw a Timur
Gorontalo
NTT
2005
Nasional
2008
Gambar 3.1 Tingkat Kemiskinan di Tiga Provinsi Sampel dan Nasional Tahun 2005 dan 2008 (Sumber: BPS-Bappenas, 2006)
Tabel 3.1 Persentase Tingkat Pemeriksaan Kehamilan di Tiga Provinsi Sampel Tahun 2007
Pemeriksaan Kehamilan Pro vinsi Jawa Timur NTT
Jumlah wanita
Pemeriksaan kehamilan oleh tenaga kesehatan
Menerima imunisasi TT
Kelahiran
Menerima Zat Besi selama hamil
Jumlah Kelahiran
Melahirkan pada tenaga kesehatan
Melahirkan pada fasilitas kesehatan
1.947
93,2
68,1
80,7
2.178
77,5
65,5
375
87,1
76,9
83,4
507
46,2
20,7
Goron 68 88,5 talo Nasio 14.043 93,3 nal Sumber: SDKI, 2007
72,1
67,3
82
53,6
21,7
73,0
77,3
16.504
73,0
46,1
17
Tabel 3.1 di atas menggambarkan kondisi kesehatan ketiga provinsi sample. Tabel tersebut menunjukkan tingkat pemeriksaan kehamilan dan angka kematian bayi dan anak yang menjadi salah satu indikator tingkat kesehatan suatu daerah, sebagaimana disajikan pada tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Persentase Tingkat Kematian Bayi dan Anak di Tiga Provinsi Sampel Tahun 2007 Provinsi Jawa Timur NTT Gorontalo
Kematian Neonatal (NN) 21
Kematian Postneonatal (PNN) 14
Kematian Bayi
Kematian Anak
Kematian Balita
35
10
45
31
26
57
24
80
22
31
52
18
69
Sumber: SDKI, 2007
Dari tiga provinsi yang menjadi lokasi survey, angka kematian Noenatal, angka kematian bayi dan anak, serta balita tertinggi pada tahun 2007 terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan terendah di Jawa Timur (lihat tabel 3.2 di atas). Jika dilihat dari jumlah penduduk padahal Provinsi Jawa Timur lebih besar, namun penyebab tingginya kematian bayi di NTT lebih dikarenakan kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan. Selanjutnya,
dari
masing-masing
provinsi,
akan
dipilih
1-3
kabupaten/kota. Dari masing-masing kabupaten/kota akan dipilih 2-3 kecamatan secara random dan untuk masing-masing kecamatan akan dipilih 2 desa yang juga dilakukan secara random. Unit analisis terkecil adalah rumah tangga penerima PKH. Kabupaten Sumba Barat adalah lokasi yang dipilih di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang setelah dilakukan kunjunngan ternyata sudah mengalami pemekaran kabupaten menjadi 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Barat Daya. Adapun UPPKH masih tetap berada di Kabupaten Sumba Barat. Di Provinsi Jawa Timur, kunjungan lapangan dilakukan di Kabupaten Kediri dengan mengambil sampel di Kecamatan Kras, Kandat dan Ngadiluwih serta
18
Kabupaten Sidoarjo dengan sampel di Kecamatan Sukodono dan Krian. Untuk Provinsi Gorontalo, dipilih Kabupaten Bone Bolango dengan sampel di Kecamatan Tapa dan Bone Pantai. Pada pelaksanaan di lapangan, penambahan sampel atau wilayah dari disain awal disesuaikan dengan situasi daerah dan alokasi waktu yang ada, lihat tabel 3.3 berikut. Tabel 3.3 Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan Wilayah Evaluasi PKH Tahun 2008
Provinsi
Kabupaten
Ngadiluwih Kandat Kras Sukodono Krian
Kediri Jawa Timur Sidoarjo
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo TOTAL
Kecamatan
Sumba Tengah (kabupaten pemekaran dari Kab. Sumba Barat)
Katikutana*)
Sumba Barat
Lamboya Kota Waikabubak Loli
Sumba Barat Daya (kabupaten pemekaran dari Kab. Sumba Barat)
Wewewa Utara Wewewa Timur
Bone Bolango 6
Tapa Bone Pantai 13
Catatan: *) Hanya ada 1 kecamatan di Kabupaten Sumba Tengah yang menjadi wilayah PKH, yaitu Kecamatan Katikutana
3.3
Metoda Pengumpulan Data Untuk mendapatkan informasi dari dua sisi yang saling mendukung
dan melengkapi, sekaligus sebagai fungsi konfirmasi antara sumber data yang satau dengan yang lain, metoda yang digunakan dalam pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap data sekunder dan kunjungan lapangan.
19
3.3.1 Pengkajian Data Sekunder Kajian data sekunder dilakukan dengan mereview data tentang jenisjenis layanan kesehatan yang tersedia secara umum untuk melayani masyarakat sampai dengan tingkat desa. Selain itu, kajian data sekunder juga dilakukan dengan mereview laporan kegiatan yang disusun oleh UPPKH kecamatan dan kabupaten terkait pelaksanaan PKH. Dari sisi pihak penyedia layanan kesehatan, dilakukan review yang mencakup kondisi kesehatan secara umum masyarakat di kabupaten yang menjadi lokasi evaluasi PKH, serta dengan mencermati data base penerima PKH komponen kesehatan dan seluruh laporan yang disusun oleh pengelola program yang terkait dengan pemenuhan persyaratan kesehatan dari peserta PKH termasuk pengaduan yang terkait dengan penyediaan layanan kesehatan.
3.3.2 Kunjungan Lapangan Kunjungan lapangan dilakukan untuk mendapat informasi langsung mengenai penyediaan layanan kesehatan untuk mendukung PKH. Metoda yang digunakan adalah dengan melakukan observasi lapangan ke penyedia layanan kesehatan, unit-unit pengelola PKH di daerah lokasi evaluasi, dan proses pencairan/pembagian dana PKH. Observasi juga dilakukan kepada rumah tangga penerima dan non penerima PKH. Kunjungan lapangan ke Provinsi Nusa Tenggara Timur dilakukan pada tanggal 23-29 Maret 2008 dan kunjungan lapangan ke Jawa Timur, yaitu Kabupaten Kediri pada tanggal 27 April-01 Mei 2008, dan untuk Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 28-31 Oktober 2008. Untuk Provinsi Gorontalo, kunjungan lapangan ke Kabupaten Bone Bolango dilakukan pada tanggal 21-25 Oktober 2008. Kunjungan lapangan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan wawancara kepada beberapa responden. Adapun pihakpihak yang menjadi responden dalam evaluasi PKH ini dapat dilihat pada Tabel 3.4 dan Tabel 3.5 di bawah ini.
20
Tabel 3.4 Informan Evaluasi PKH KETERANGAN Jawa Timur
INFORMAN Perangkat PKH Tim Koordinasi PKH Provinsi Tim Koordinasi PKH Kabupaten Unit Pelaksana PKH Kabupaten (Operator) Unit Pelaksana PKH Kecamatan (Pendamping) Perangkat Pemerintah Dinas Sosial Kabupaten Dinas Kesehatan Kabupaten Dinas Infokom Kabupaten PT Pos Indonesia di Kabupaten Penyedia Layanan Puskesmas Bidan desa Masyarakat Rumah Tangga Penerima Manfaat Rumah Tangga Bukan Penerima Manfaat Tokoh Masyarakat LSM DPRD Kabupaten
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Kediri
Sidoarjo
Sumba Tengah
Sumba Barat
Sumba Barat Daya
Bone Bolango
-
-
-
-
-
-
-
-
(digabung dlm satu dinas)
(digabung dlm satu dinas)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sedangkan untuk jumlah irforman/responden, baik dari sisi penyedia layanan kesehatan maupun masyarakat umum, dapat dilihat pada tabel 3.5 di bawah ini.
21
Tabel 3.5 Jumlah Informan Penyedia Layanan dan Masyarakat Umum
Jenis Informan
Puskesmas Bidan Desa Rumah Tangga Penerima Manfaat Rumah Tangga Bukan Penerima Manfaat
Tokoh Masyarakat
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
NTT (Kab. Sumba Barat, Sumba Tengah & Sumba Barat Daya)
Jawa Timur (Kab. Kediri & Kab. Sidoarjo 1 Puskesmas per Kecamatan 1 -2 Bidan per Kecamatan 2 - 4 Rumah Tangga per Kecamatan 2 - 4 Rumah Tangga per Kecamatan 2 Tokoh Masyarakat per Kecamatan (hanya di Kab. Kediri) Perwakilan dari 6 LSM di Kabupaten Kediri
1 Puskesmas per Kabupaten 1 -2 Bidan per Kabupaten 3 - 5 Rumah Tangga per Kabupaten 3 - 5 Rumah Tangga per Kabupaten
Gorontalo (Kab. Bone Bolango) 1 Puskesmas per Kecamatan 1 -2 Bidan per Kecamatan 2 - 4 Rumah Tangga per Kecamatan 2 - 4 Rumah Tangga per Kecamatan
2 Tokoh Masyarakat per Kabupaten
-
Perwakilan dari 3 LSM di Kabupaten Sumba Barat
-
3.3.3 Wawancara Untuk menggali berbagai informasi dari semua pihak yang terlibat dalam PKH, baik penyedia layanan maupun penerima program, salah satu metode
yang
digunakan
adalah
wawancara.
Wawancara
dilakukan
menggunakan pedoman wawancara (interview guide) berdasarkan sumber informasi yang akan didapatkan dan pihak-pihak yang diwawancarai. Hal ini dilakukan agar wawancara dapat berjalan secara terfokus dan terkendali karena hal-hal yang ditanyakan sudah dibatasi pada topik-topik tertentu. Wawancara
dilakukan
dengan
Tim
Koordinasi
Provinsi
dan
Kabupaten (TKPKH), Unit pelaksana PKH (Dinas Sosial, Pendidikan, Kesehatan, Infokom), pendamping, Kantor Pos, Puskesmas, Bidan, LSM, media, tokoh masyarakat, dan masyarakat (yang menerima dan tidak menerima PKH).
22
3.3.4 Focused Group Discussion (FGD) Forum diskusi kelompok (Focused Group Discussion) dilakukan baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai pihak dalam sebuah diskusi kelompok yang memungkinkan terjadinya saling tukar informasi dan konfirmasi diantara peserta diskusi. Pihak yang dilibatkan dalam FGD terutama adalah para pelaku kunci yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan PKH dan penyediaan layanan kesehatan. Metode ini juga dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide) sesuai dengan informasi yang dibutuhkan. FGD dilakukan terutama kepada TKPKH, pendamping, LSM, dan DPRD, yaitu pada pertemuan awal untuk menjelaskan maksud dan tujuan survey serta menggali informasi awal, pada saat proses survey berlangsung untuk mengetahui kegiatan yang sedang dilakukan dan pada akhir survey untuk
mempresentasikan
hasil
dan
mendapatkan
feed
back
serta
usulan/masukan dari berbagai pihak.
3.4
Metode Analisis Data Data-data yang diperoleh dari hasil kunjungan lapangan dan database
program akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Apabila data-data dari database program cukup lengkap, dapat juga digunakan analisis dengan teknik descriptive statistics. Analisis tersebut akan ditunjang dengan menggunakan berbagai informasi yang ada yang tersedia dalam lingkungan kerja, yang antara lain berupa catatan diskusi, rapat maupun surat menyurat yang masuk dan keluar dari Direktorat Penanggulangan Kemiskinan terkait pelaksanaan PKH. Tabel 3.6 berikut menggambarkan cara pengumpulan data/informasi, baik melalui wawancara maupun FGD.
23
Tabel 3.6 Jenis Informan dan Cara Pengumpulan Informasi
INFORMAN Perangkat PKH
Tim Koordinasi PKH Propinsi Tim Koordinasi PKH Kabupaten Unit Pelaksana PKH Kabupaten (Operator) Unit Pelaksana PKH Kecamatan (Pendamping)
Perangkat Pemerintah
Dinas Sosial Kabupaten Dinas Kesehatan Kabupaten Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten PT Pos Indonesia
Penyedia Layanan
Masyarakat Umum
Puskesmas
Seluruh Tim Seluruh Tim Seluruh Tim Seluruh Tim per Kecamatan Wilayah Studi Kasus Kepala Dinas/ Perwakilannya Kepala Dinas/ Perwakilannya Kepala Dinas/Perwakilann ya Kepala Kantor Pos Kabupaten Kepala Puskesmas/bidan
Cara Pengumpulan Informasi Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion (FGD) Focus Group Discussion (FGD) Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara
Bidan
Bidan
Wawancara
Juru Imunisasi Rumah Tangga Penerima Manfaat Rumah Tangga Bukan Penerima Manfaat
Ibu Rumah Tangga
Wawancara
Ibu Rumah Tangga
Wawancara
Tokoh Masyarakat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lain-Lain
Sumber Informasi
DPRD Kabupaten
Tokoh Agama, Aparat Desa atau Tokoh Pendidik Perwakilan Pengurus Panitia Anggaran dan Perwakilan Komisi yang berkaitan
Wawancara Focus Group Discussion (FGD) Wawancara
24
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS
4.1
PELAKSANAAN PKH DI PROVINSI JAWA TIMUR: KABUPATEN KEDIRI DAN KABUPATEN SIDOARJO
4.1.1 PELAKSANAAN PKH DI KABUPATEN KEDIRI A.
Gambaran Umum Kabupaten Kediri
Kunjungan lapangan di Kabupaten Kediri dilakukan selama 3 hari dari tanggal 28 April sampai dengan 30 April 2008. Kegiatan diawali dengan pertemuan bersama Tim Koordinasi PKH Provinsi di Surabaya dan dilanjutkan dengan pertemuan bersama Tim Koordinasi PKH Kabupaten di Kota Kediri. Tiga kecamatan yang dikunjungi adalah Kecamatan Kras, Kecamatan Ngadiluwih, dan Kecamatan Purwosari. Kabupaten Kediri dipilih selain karena kondisi kemiskinannya juga karena merupakan salah satu daerah PKH yang pada saat kunjungan lapangan sudah melakukan verifikasi kehadiran di pusat-pusat layanan kesehatan dan pendidikan. Hal ini menjadi dasar pemilihan untuk melihat kesiapan dari pusat layanan kesehatan dalam melakukan verifikasi kehadiran peserta PKH.
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Kediri (Sumber: www.eastjava.com)
25
Berikut adalah beberapa data statistik yang memberikan gambaran Kabupaten Kediri, antara lain:
1.
Penduduk dan Penduduk Miskin
Berdasarkan data BPS tahun 2007, jumlah penduduk Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur adalah 1,430,919 jiwa. Jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 357.829 jiwa, atau sekitar 106.572 Rumah Tangga Miskin (RTM), 86% diantaranya masuk dalam kategori Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Jatah Raskin tahun 2007 dialokasikan untuk 95.640 RTM dan tahun 2008 meningkat menjadi 106.567 RTM. Perkembangan kondisi sosial masyarakat Kabupaten Kediri cukup memprihatinkan. Pada tahun 2006, dibandingkan dengan tahun 2005, jumlah gelandangan dan pengemis naik sekitar 1,2%, sedangkan korban penyalahgunaan narkotika naik 344,4%. Sementara itu, jumlah korban bencana alam naik sekitar 528,6%. Pada tahun 2006, di kabupaten Kediri tercatat jumlah penderita cacat tunanetra sebanyak 621 jiwa, tunarungu/ tunawicara 656 jiwa, cacat tubuh 1.366 jiwa, cacat mental 1.009 jiwa, dan orang jompo sebanyak 7.310 jiwa.
2.
Kondisi Administratif dan Pemanfaatan Lahan
Kabupaten Kediri mempunyai 25 kecamatan dan 240 desa dengan total luas 1,386,05 km2. Peruntukan lahan masih didominasi oleh persawahan dengan total area sebesar 504,66 km2, sementara untuk pemukiman seluas 301,89km2. Peruntukan usaha pertanian tanah kering seluas 292,38km2, sedangkan untuk kawasan hutan sekitar 0,13 km2.
3.
Indeks Pembangunan Manusia
Secara umum kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM)1 Kabupaten Kediri pada tahun 2004 dan 2006 masih lebih rendah 1
Indeks Pembangunan Manusia dihitung berdasarkan tiga indikator, yaitu angka harapan hidup ketika lahir, pendidikan yang diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas, serta standar hidup yang diukur berdasarkan pengeluaran per kapita.
26
dibandingkan Kabupaten Sidoarjo, dan masih di bawah angkan IPM Nasional. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten lain di Jawa Timur, seperti Kabupaten Tuban, Pacitan, dan Sampang masih lebih tinggi bahkan sedikit di atas angka IPM Propinsi dengan sebagaimana tercermin pada gambar 4.2 dan 4.3 di bawah ini. Keempat Kabupaten tersebut memperlihatkan perkembangan IPM yang positif.
Indeks Pembangunan Manusia/IPM 2004&2006
74.5 73.3 80
68.269.3
69.8 67.6
63.666.5
54.256.3
60 40 20 0 Sidoarjo
Kediri
Tuban 2004
Pacitan
Sampang
2006
Gambar 4.2 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Kediri Dibandingkan dengan Beberapa Kabupaten Lain di Jawa Timur (Sumber: BPS-Bappenas, 2006)
Indeks Pembangunan Manusia/IPM Tiga Provinsi dan Nasional 2004 & 2006
72
70.1
69.2
70
68.7
68
68
66.8
66.4
66
64.8
64
62.7
62 60 58 Jaw a Timur
Gorontalo 2004
Gambar 4.3
NTT
Indonesia
2006
Indeks Pembangunan Manusia di Tiga Provinsi dan Nasional (Sumber: BPS-Bappenas, 2006)
27
Dari gambar 4.2 dan 4.3 di atas terlihat bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sudah lebih baik dari rata-rata Nasional adalah di kabupaten Sidoarjo, sementara di Kabupaten Kediri hanya sedikit berada di bawah angka nasional. Di bandingkan dengan dua provinsi lain, Jawa Timur lebih tinggi namun masih di bawah angka nasional.
4.
Mata pencaharian penduduk
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah bertani dimana padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau merupakan komoditi utama. Pada tahun 2006, hasil produksi ke empat komoditas tersebut mengalami penurunan karena luas lahan untuk pertanian menyusut karena desakan pembangunan bidang lain. Selain keempat komoditas tersebut, masyarakat bercocok tanam palawija, buah-buahan dan sayur-sayuran. Di Kediri terdapat dua pabrik rokok yaitu Gudang Garam dan Semanggi yang merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat Kediri dan sekitarnya. Terdapat lebih dari sepuluh ribu penduduk baik dari Kabupaten Kediri maupun dari luar Kediri yang bekerja di kedua pabrik tersebut. Di Kabupaten ini terdapat delapan perusahaan perkebunan yang terdiri dari 4 perusahaan perkebunan kopi, 1 perusahaan perkebunan karet dan 3 perusahaan perkebunan coklat serta 3 perusahaan perkebunan cengkeh. Selain pertanian dan perkebunan, masyarakat hidup dari hasil peternakan. Menurut Dinas Kehewanan, pada tahun 2006 di Kabupaten Kediri terdapat 102 Perusahaan Peternak Ayam Petelor dan Pedaging, 1 Perusahaan peternakan sapi perah, 4 rumah potong hewan, 36 tempat potong hewan, serta 16 pasar hewan. Diperkirakan pada tahun 2005 terdapat sekitar 4.752 rumah tangga yang berusaha di bidang perikanan. Hasil produksi di bidang ini mencapai sekitar 2,3 ribu ton ikan dengan total nilai produksi 18,6 milyar rupiah. Sebagian masyarakat menjadi tenaga kerja di luar negeri seperti di Malaysia, Uni Emirat Arab dan Hongkong. Pada tahun 2005, sebanyak 2.300 penduduk yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 2.706 orang. Berdasarkan tingkat pendidikannya pencari kerja TKI sebagian besar terdiri dari lulusan SLTA yaitu sebesar 53 %, dan sisanya merupakan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 33 %, SMP sebesar 11 % dan SD sebesar 3 %.
28
5.
Kesehatan
Berdasarkan data yang dikeluarkan Pemda Kabupaten Kediri melalui www.kediri.go.id, data kesehatan Kabupaten Kediri dilihat dari ketersediaan tenaga kesehatan, tingkat kunjungan ke pusat-pusat layanan kesehatan, angka kematian bayi, dan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan. a. Ketersediaan Tenaga Kesehatan Dari tahun 2004 hingga 2006 menunjukkan penurunan jumlah tenaga kesehatan secara signifikan. Jumlah tenaga kesehatan menurun dari 1.521 orang pada tahun 2004 menjadi hanya 815 orang pada tahun 2006. Penurunan juga terjadi pada jumlah perawat, yaitu dari 321 menjadi 169 orang, Dokter Umum dari 97 menjadi 63, Dokter Gigi dari 37 menjadi 34, dan paramedis lain dari 574 menjadi 546. Namun untuk tenaga kesehatan Bidan dan Nutrisionist terjadi penambahan yang signifikan yaitu masingmasing meningkat dari 96 menjadi 420, dan dari 8 menjadi 14 orang. b. Tingkat Kunjungan ke Pusat Layanan Kesehatan Tingkat kunjungan pasien ke Puskesmas mengalami penurunan pada periode yang sama, yakni dari 676.591 orang pada tahun 2004 turun menjadi 537.888 orang pada tahun 2006. Sementara itu, kunjungan ke Rumah Sakit justru mengalami peningkatan lebih dari 40%, yaitu dari 75.193 orang pada tahun 2004 menjadi 106.055 orang pada tahun 2006. Jumlah kunjungan ibu hamil, bayi, dan anak-anak pada tahun 2006 mengalami penurunan cukup tajam jika dibandingkan dengan tahun 2004. Kunjungan ibu hamil turun menjadi 45.781 di tahun 2004 menjadi 36.017 di tahun 2006. c. Angka Kematian Bayi Berdasarkan data Susenas tahun 2005, angka kematian bayi (AKB) Kabupaten Kediri dibandingkan kabupaten miskin lainnya di provinsi Jawa Timur pada tahun 2005 menunjukkan tingkat yang relatif sama dari provinsi, lebih baik dari kabupaten Tuban dan Sampang, namun lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Pacitan seperti terlihat pada gambar 4.4 di bawah ini.
29
Angka Kematian Bayi (AKB) di Kab. Kediri dibandingkan dengan Jatim dan Beberapa Kabupaten tahun 2005 100 79 80 60 34
34
34
Jatim
Sidoarjo
Kediri
40
40 28
20 0 Tuban
Pacitan
Sampang
per 1.000 kelahiran hidup
Gambar 4.4
Angka Kematian Bayi Provinsi Jatim, Kabupaten Kediri, dan Beberapa Kabupaten Lain Tahun 2005 (Sumber: Susenas, 2005)
e. Persalinan yang Ditolong Tenaga Kesehatan Pada tahun 2002, tingkat persalinan yang dibantu tenaga kesehatan (dokter, paramedik, perawat, bidan) di Kabupaten Kediri adalah sebesar 83,47%, seperti terlihat pada gambar 4.5 di bawah. Prosentase ini lebih tinggi dari tiga kabupaten lainnya, yaitu Tuban, Pacitan dan Sampang, bahkan lebih tinggi dari Provinsi Jawa Timur dan Nasional. Jika tingkat persalinan seperti ini dapat dipertahankan hingga tahun 2008 ini atau bahkan lebih ditingkatkan dimasa depan, maka Kabupaten Kediri mempunyai kesempatan untuk bisa mencapai seperti yang telah dicanangkan dalam Target MDGs di tahun 2015.
Persalinan Oleh Tanaga Kesehatan di Jatim, Kab. Kediri dan Beberapa Kabupaten Tahun 2004 100
83.38
88.33
86.38
84.05
77.94
80
66.17
60 40 20 0 Jatim
Sidoarjo
Kediri
Tuban
Pacitan
Sampang
%
Gambar 4.5
Tingkat Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di Provinsi Jawa Timur Tahun 2004 (Sumber: dinkesjatim.co.id)
30
d. Keuangan Daerah Data penerimaan Pajak Bumi & Bangunan tahun 2006, jumlah realisasi penerimaan PBB sebesar 2,8 milyar rupiah atau naik 29,21 % dibandingkan tahun 2005. Pada tahun 2006, Pendapatan Asli Daerah (PAD) naik cukup signifikan sekitar 48,9 % dibandingkan tahun 2005. Pada tahun 2005, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku dengan migas sebesar 4,922 dan PDRB atas dasar harga Konstan dengan migas sebesar 3,317 (Pemda Kediri, 2006)
B.
Pelaksanaan PKH di Kabupaten Kediri 1. Pengamatan Umum
Tim Koordinasi (TK) PKH tingkat Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 188/184/KPTS/013/2007, tanggal 9 Mei 2007 tentang “Tim Koordinasi dan Tim Teknis UPPKH di Jawa Timur Tahun 2007.” Pertemuan pertama untuk menindaklanjuti SK tersebut dilakukan pada bulan September 2007. Rapat koordinasi lanjutan tidak pernah dilakukan. Hingga rencana kunjungan Tim Bappenas dan Depsos untuk Survey Studi Kasus di Kabupaten Kediri, baru dilakukan rapat koordinasi pada tanggal 24 April 2008. Dari peserta rapat pertemuan dengan tim menyatakan bahwa “pertemuan tim koordinasi diadakan jika ada kunjungan”. Tim Koordinasi yang seyogyanya dipimpin oleh Kepala Bappeda Propvinsi, dalam pelaksanaannya lebih banyak dikoordinasikan oleh Ketua Bidang Kesra. Kurangnya koordinasi di tingkat Provinsi, menurut keterangan dari Bappeda Provinsi Jawa Timur dikarenakan kurangnya anggaran koordinasi di tingkat provinsi. Untuk kegiatan monitoring dan evaluasi di 21 kabupaten hanya dialokasikan dana sebesar Rp 6 juta. Untuk penambahan atau perluasan cakupan PKH di 9 kabupaten lainnya (penerima PKH tahun 2007 berjumlah 21 kabupaten), sejauh ini belum ada surat resmi yang ditujukan ke Provinsi atau ke Bappeda Provinsi Jatim. Diharapkan agar pihak provinsi lebih dilibatkan dan bisa mendapatkan informasi yang terus ter-updated untuk mengetahui perkembangan yang ada. Secara lebih rinci, dari hasil pertemuan antara Operator dan Dinas Sosial Provinsi Jatim pada tanggal 14 April 2008, mengemuka beberapa permasalahan yang dihadapi di tingkat Tim Koordinasi Provinsi antara lain:
31
Koordinasi: Sulit melakukan koordinasi dengan pihak atau instansi terkait jika ada kendala atau permasalahan yang terjadi di lapangan, dengan alasan tidak ada petunjuk dari atasan, walaupun dari Menteri Kesehatan sudah ada surat kepada jajaran di bawahnya untuk membantu Program PKH. Diharapkan koordinasi di tingkat pusat dapat lebih ditingkatkan. Belum adanya kesamaan visi dan misi antara kabupaten yang satu dengan yang lain, padahal Provinsi Jatim menjadi lokasi Pilot Project PKH dengan wilayah terbanyak (21 kabupaten). Pedoman Umum perlu direvisi agar perkembangan yang terjadi dapat terus terpantau dan memperlancar koordinasi. Sosialisasi: Adanya kesalah pahaman terkait kriteria pendataan dan persyaratan penerima maupun pelaksana PKH. Hal ini menimbulkan penolakan terhadap hasil pendataan. Sebagai contoh, munculnya surat pernyataan dari Aliansi Kepala Desa di Kecamatan Labang (Bangkalan) yang menyatakan menolak hasil pendataan dan menuntut dilakukan pendataan ulang oleh pendamping dan ditundanya pembayaran. Kurang tepatnya pemahaman petugas yang berwenang dalam sosialisasi PKH dari Depkominfo yang dibantu oleh Aisyah dan Muslimat NU, berakibat timbulnya potensi gejolak dengan meningkatnya tekanan masyarakat kepada pendamping dengan berbagai tuduhan. Kurangnya sosialisasi tentang fasilitas pendidikan dan kesehatan di luar area PKH yang menjadi rujukan terdekat bagi RTSM penerima PKH. Dinas kesehatan Provinsi sudah mendapat sosialisasi dari pusat, tapi tidak ada sosialisasi dari Departemen Kesehatan, walaupun surat Menteri Kesehatan sudah ada. Namun demikian, Dinas Kesehatan sudah mengirim surat untuk puskesmas-puskesmas pada kabupaten penerima PKH. Dinas Pendidikan Provinsi menyatakan bahwa mereka tidak bisa langsung sosialisasi ke kecamatan, yang mempunyai wewenang adalah pihak kabupaten. PT Pos menyampaikan bahwa di Kabupaten Situbondo ada demonstrasi dari anggota masyarakat yang seharusnya berhak menerima tetapi tidak menerima bantuan, hal ini disebabkan karena masih adanya data RTSM yang belum merupakan hasil validasi.
32
Verifikasi: Belum adanya kejelasan tentang verifikasi pendidikan di luar kabupaten, termasuk verifikasi pendidikan di wilayah perbatasan provinsi, misalnya perbatasan kabupaten Ponorogo (Jatim) dengan Kabupaten Wonogiri (Jateng). Belum adanya kejelasan tentang kriteria usia 5-6 tahun, apakah termasuk balita atau sudah masuk usia SD. Penjelasan dari Pemerintah Pusat untuk masalah ini tidak pernah tuntas. UPPKH (Operator & Pendamping): Surat keluar dari UPPKH kabupaten/ kota kurang memiliki legalitas karena tidak ada Kop dan stempel resmi. Proses pengadaan barang inventaris kesekretariatan memerlukan waktu yang lama. Alokasi anggaran listrik/telepon untuk seluruh kabupaten disama ratakan, padahal kebutuhannya berbeda-beda. Adanya beberapa instruksi melalui e-mail yang mengatasnamakan Tim UPPKH Pusat yang saling bertolak belakang dan kurang dapat dipertanggung jawabkan. Sementara itu, UPPKH Pusat kurang merespons terhadap pengaduan yang disampaikan lewat e-mail, Net-Meeting, dan sarana komunikasi lainnya. Adanya keengganan pihak-pihak terkait PKH (sekolah, puskesmas, pustu, BPS, Infokom) ketika operator PKH atau Pendamping melakukan koordinasi dan berperan aktif untuk ikut menyelesaikan permasalahan yang muncul di lapangan, dengan alasan tidak ada surat perintahnya, padahal sudah jelas tercantum dalam Pedum PKH. Belum ada sistem penilaian yang jelas terhadap kinerja, dan jika ada operator/pendamping yang bermasalah tidak ada penanganan lebih lanjut. Belum adanya mekanisme ijin untuk Cuti/tidak aktif karena hamil/urusan lain bagi operator dan pendamping. Masih adanya kerancuan dan kesalahpahaman tentang kedudukan dan tupoksi petugas Technical Support (TS) dan entry data Vendor terhadap operator PKH daerah. Adanya beberapa kabupaten yang belum menerima dengan lengkap seragam dan atribut operator dan pendamping. Pendamping dan operator belum dibayar untuk bulan Januari-April 2008 karena proses pencairan anggaran baru bisa dilaksanakan pada akhir bulan April. Kecuali untuk Kabupaten Tuban, Bupati memberikan pinjaman untuk gaji pendamping dan operator. IT dan Data Base: Tidak adanya SDM yang mengelola IT di UPPKH Provinsi sehingga terkesan peranan provinsi sangat kurang, padahal
33
sebenarnya sangat penting untuk melakukan pengendalian dalam satu provinsi. Data RTSM sebagai pedoman pencairan banyak yang mengalami perubahan dan tidak sesuai dengan hasil validasi yang dilakukan pendamping. Sementara itu, tingkat kabupaten tidak memiliki copy file data basenya. Hal ini dapat berakibat pada operator yang diduga melakukan kesalahan entry data bila ada ketidaksesuain. Ketika terjadi perubahan data pada waktu data entry, detail history pembayaran tidak berubah sehingga sulit memastikan apakah entry data sudah dilakukan dengan benar atau tidak bnar. Data RTSM tidak bisa ditampilkan berdasarkan Fasilitator Pendidikan atau Fasilitator Kesehatan tertentu, dan mekanisme entry data Fasdik dan Fakes berubah-ubah dalam aplikasi. Dalam aplikasi tidak tersedia fasilitas untuk kondisi tertentu, misalnya; jika jumlah bantuan yang diterima tidak sesuai dengan kriteria, RTSM pindah alamat, kartu salah cetak/hilang, anak cacat, dan tambal sulam peserta PKH. Ketika dilakukan proses data entry, umur anak RTSM hanya berubah berdasarkan pada tahun kelahiran saja, padahal acuan usia harus berdasarkan tanggal dan bulan kelahiran juga. Sejauh ini, tidak ada juklak dan juknis yang rinci tentang data entry, sementara itu buku panduan Sistem Informasi Manajemen (SIM) masih sangat umum. Kartu PKH yang sudah tercetak, didistribusikan oleh PT Pos tanpa sepengetahuan atau berkoordinasi dengan UPPKH Kabupaten. Adanya perbedaan data base sebagai acuan penyusunan anggaran dari daerah (versi operator dan BPS), sementara data base yang digunakan tidak sesuai dengan hasil validasi pendamping. Di Mojokerto, masih terdapat banyak anggota PKH yang belum menerima kartu hingga bulan April 2008. Jika masalah ini tidak direspon dengan baik, dapat berpotensi menimbulkan persoalan. Tidak adanya forum pertemuan antar petugas SIM/Operator sebagai sarana pertukaran informasi untuk perbaikan aplikasi Informasi Teknologi PKH.
2. Partisipasi Penyedia Layanan Kesehatan Dari sisi kesiapan penyediaan layanan kesehatan, Kabupaten Kediri sudah memiliki fasilitas kesehatan untuk tingkat kecamatan yang baik. Dalam satu kecamatan bisa terdapat beberapa fasilitas kesehatan yang
34
memadai. Di Kecamatan Ngadiluwih misalnya terdapat 2 buah Puskesmas, sehingga akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan sangat baik. Namun demikian, masih terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan PKH terutama terkait dengan sosialisasi serta verifikasi yang harus dilakukan oleh puskesmas atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Di beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Kras, Puskesmas mengetahui program PKH melalui pendamping. Hingga Tim Survey berkunjung sudah dilaksanakan 3 kali pertemuan antara pendamping dengan pihak Puskesmas. Pendamping melakukan pendataan penerima PKH yang sudah melakukan kewajibannya, sementara itu Puskesmas memerlukan data penerima PKH yang ada di Kecamatan ini. Data yang tersedia baru berupa daftar nama-nama penerima bantuan tanpa dilengkapi alamat atau lokasinya. Untuk memonitor pelaksanaan program dengan lebih baik, harus pula dilakukan koordinasi dengan bidan desa. Karena tidak jarang masyarakat desa lebih memanfaatkan bidan desa daripada Puskesmas. Kendala yang sering menjadi pertimbangan ini adalah lokasi puskesmas yang jauh. Para pendamping mengusulkan agar dapat dilakukan penjelasan khusus yang melibatkan pendamping, pengelola puskesmas, dan para bidan desa untuk diberikan penjelasan tugas masing-masing, siapa harus berbuat apa, dan bagaimana koordinasi diantara mereka. Terkait dengan kebutuhan Puskesmas seperti obat-obatan, vitamin dan lain-lain, pihak pengelola menyatakan sejauh ini tidak ada permasalahan, karena persediaan di Puskesmas sudah dihitung berdasarkan jumlah masyarakat yang perlu dilayani di Kecamatan tersebut. Dengan demikian, seluruh masyarakat miskin baik itu masuk dalam Program PKH ataupun tidak sudah tercakup dalam layanan Puskesmas dan sudah teranggarkan melalui Dinas Kesehatan. Sementara itu, pelayanan secara umum puskesmas di Kecamatan Kandat sudah baik. Namun para petugasnya belum memahami PKH dengan baik, walaupun sebetulnya Kepala Puskesmas sudah mengikuti sosialisasi awal yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial. Permasalahan yang terpantau di puskesmas ini adalah belum berjalannya transfer informasi dengan baik, khususnya mengenai program ini, baik kepada petugas puskesmas, maupun kepada layanan-layanan lainnya, seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan bidan desa. Namun demikian, peran pendamping cukup mendukung dan dapat menjelaskan PKH kepada pemberi layanan kesehatan ini.
35
Koordinasi, sosialisasi, ataupun surat pemberitahuan dari Departemen Kesehatan, sejauh ini belum pernah dilakukan, baik sebelum ataupun sesudah pembayaran terhadap penerima bantuan PKH. Hal ini berpengaruh pada proses verifikasi yang kurang mendapat tanggapan. Puskesmas mengharapkan agar ada surat atau bisa mendapatkan surat dari Departemen Kesehatan yang menyatakan mendukung PKH. Surat yang ditanda tangani oleh Sekjen Depkes ini sudah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, namun sejauh ini banyak Puskesmas yang belum menerimanya. Permasalahan yang terpantau lainnya adalah adanya puskesmas yang tidak bisa menjamin RTSM peserta PKH untuk mendapatkan layanan gratis karena tidak memiliki Askeskin. Daftar peserta Askeskin merupakan keputusan Bupati, sementara itu belum semua peserta PKH tercakup dalam Askeskin. Untuk menanggulangi masalah ini, berdasarkan informasi petugas Dinsos maupun Kepala Puskesmas, untuk peserta yang belum tercakup oleh Askeskin akan mendapatkan dukungan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Alternatif solusi lain yang telah berjalan di Kecamatan Ngadiluwih adalah masyarakat miskin yang belum mendapat askeskin, termasuk penerima PKH yang belum didaftar, ditanggung melalui kuota tambahan yang disediakan melalui APBD. Namun, khusus untuk kuota ini hanya dapat dilayani di salah satu Rumah Sakit, yaitu RS Pare. Sampai saat ini penambahan kuota tersebut masih dalam proses pendataan. Secara umum, petugas puskesmas merasa terbantu dengan adanya PKH, karena dengan program ini, masyarakat miskin khususnya keluarga RTSM penerima bantuan dengan sendirinya memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan keluarga. Diharapkan kondisi ini dapat pula membangkitkan kesadaran keluarga miskin lainnya untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan melalui puskesmas.
36
4.1.2 PELAKSANAAN PKH DI KABUPATEN SIDOARJO A.
Gambaran Umum Kabupaten Sidoarjo
Kunjungan lapangan di Kabupaten Sidoarjo dilakukan selama 3 hari dari tanggal 29-31 Oktober 2008. Kegiatan diawali dengan pertemuan bersama Tim Koordinasi PKH kabupaten di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten (Bappekab) Sidoarjo. Dua kecamatan yang dikunjungi adalah Kecamatan Sukodono dan Kecamatan Krian. Kabupaten Sidoarjo sebagai kabupaten dengan PAD tertinggi se-Jawa Timur sekaligus kabupaten yang terkena bencana semburan lumpur panas sehingga banyak masyarakatnya yang terpaksa mengungsi dari daerah asalnya. Secara umum, kondisi fasilitas untuk pusat-pusat layanan pendidikan dan kesehatan di Kabupaten Sidoarjo sudah memadahi dan mudah diakses karena wilayahnya yang tidak begitu luas (71. 424,25 Ha) dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Timur (Kabupaten Kediri, 138.605 Ha). Kabupaten Sidoarjo yang secara langsung berbatasan dengan Kota Surabaya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di Provinsi Jawa Timur juga terkenal dengan kota satelit yang secara tidak langsung menjadi penyokong bagi kegiatan ekonomi dan industri di Surabaya. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi yang cepat membawa pada dampak pertumbuhan penduduk yang pesat (Kepadatan penduduk tahun 2007: 2.073 jiwa/km2). Dengan semakin banyaknya jumlah penduduk, terutama para pendatang yang mebanjiri pusat-pusat industri di Sidoarjo tentunya akan membawa konsekuensi bagi peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan secara umum. Selain itu, musibah semburan lumpur panas Sidoarjo yang dimulai sejak tanggal 29 Mei 2006 di lokasi pengeboran minyak PT Lapindo Brantas telah menenggelamkan beberapa desa terutama di Kecamatan Porong dan Tanggulangin. Luapan lumpur bahkan terus meluas hingga wilayah 4 kecamatan di sekitarnya, yaitu Jabon, Tarik, Krembung, dan Prambon yang membawa pengaruh besar pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Sidoarjo. Kondisi tersebut turut memberikan akibat pada meningkatnya beban dalam upaya menurunkan angka kemiskinan baik di tingkat kabupaten maupun nasional, karena bencana ini kemudian ditetapkan sebagai bencana nasional yang menyebabkan ribuan warga mengungsi.
37
Gambar 4.6
Peta Kabupaten Sidoarjo (Sumber:www.eastjava.com/ tourism/ sidoarjo/map/)
Berikut adalah beberapa data statistik yang memberikan gambaran Kabupaten Sidoarjo, sebagai berikut:
a. Penduduk dan Penduduk Miskin Berdasarkan data BPS tahun 2007, jumlah penduduk Kabupaten Sidoarjo adalah 1.514.098 jiwa. Jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 239.100 jiwa, atau sebanyak 15, 79 % dari total penduduk yang ada. Angka tersebut masih berada di bawah angka nasional yang pada tahun 2007 sebanyak 16,53 %. Pada tahun 2007, Kabupaten Sidoarjo mendapatkan alokasi sebanyak 6 (enam) Kecamatan dari 18 (delapan belas) kecamatan yang ada, yaitu di Kecamatan Tarik, Prambon, Balongbendo, Krian, Wonoayu, dan Sukodono dengan jumlah 4.152 RTSM. Pada tahun 2008, Kabupaten Sidoarjo mendapatkan tambahan 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Krembung, Buduran, Gedangan, Waru, dan Sedati sebanyak 3.594 RTSM. Adanya bencana semburan lumpur panas di Sidoarjo yang menyebabkan sekitar 12 ribu kepala keluarga kehilangan tempat tinggalnya menyebabkan beban masyarakat terutama di lokasi yang terkena semburan lumpur menjadi sangat berat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di tahun selanjutnya pihak Pemerintah Daerah sangat mengharapkan agar 7 (tujuh) kecamatan yang tersisa juga mendapatkan alokasi PKH, terutama
38
untuk kecamtan yang paling banyak mengalami dampak semburan lumpur Sidoarjo. b. Kondisi Administratif dan Pemanfaatan Lahan Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 18 kecamatan dan 353 desa dengan total luas 71.424,25 Ha. Sebagai daerah yang dihimpit oleh dua sungai, wilayah Kabupaten Sidoarjo di bagian tengah berair tawar (40,81%) dan di sebelah timur merupakan daerah pantai dan pertambakan (29,20%) Peruntukan lahan masih didominasi oleh persawahan dengan total area seluas 23.196 Ha pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 23.262 pada tahun 2007. Lahan untuk pemukiman dan pekarangan mencapai 49.713 Ha (69%), hal ini disebabkan oleh dekatnya wilayah Kabupaten Sidoarjo dari Surabaya sehingga banyak dibangun pusat-pusat industri dan kawasan perumahan yang mendukung aktivitas ekonomi di Surabaya. Luas area untuk tambak bandeng dan udang mencapai 15.530 Ha pada tahun 2007. c. Indeks Pembangunan Manusia Secara umum kondisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sidoarjo tahun 2006 (74,5), sebagaimana telah diuraikan di atas, sudah sudah lebih tinggi dibandingkan beberapa kabupaten lain (Kediri, 69,3) angka IPM provinsi (69,2) bahkan melampaui angka IPM Nasional (70,1). Angka tersebut menunjukkan adanya bahwa kabupaten Sidoarjo sudah memiliki angka harapan hidup, tingkat pendidikan, dan standar hidup/pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lain di Jawa Timur. Dari tahun 2004-2006 IPM Kabupaten Sidoarjo terus mengalami peningkatan dari angka 73,3 ke 74,5. e. Mata pencaharian penduduk Sebagai kabupaten yang berbatasan langsung dengan pusat perekonomian Provinsi Jawa Timur yaitu Surabaya, mata pencaharian masyarakat Kabupaten Sidoarjo tidak lagi didominasi oleh sektor Pertanian meskipun terjadi peningkatan luas lahan untuk pertanian sekitar 0,28 % dari tahun 2006 seluas 23.196 Ha menjadi 23.262 Ha di tahun 2007. Di sektor pertanian, padi masih menjadi komoditas utama dengan rata-rata produksi 59,51 kw/Ha, kemudian komoditas jagung, dan sayuran terutama kangkung. Di sektor perikanan, komoditas utamanya adalah udang dan bandeng di tambak seluas 15.530,41 Ha yang menjadi maskot Kabupaten Sidoarjo.
39
Di sektor Industri, Kabupaten Sidoarjo mendapatkan nilai tambah yang sangat signifikan sebesar Rp 19.133.532,57 juta yang dari tahun-tahun sebelumnya selalu mengalami peningkatan. Kontribusi sektor industri bagi Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Sidoarjo mencapai 47,34 %. gambar 4.7 berikut menggambarkan Distribusi Persentase PDRB atas dasar Harga Konstan di beberapa sektor.
Distr ibusi Per se ntas e PDRB Atas Das ar Harga Kons tan 2000 tahun 2007 47.34
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
27.22 % 10.92
sa Ja
ua
ng
an
si Ke
un ik a
an an g ag
rd Pe
Ko m
i ks ns tru
er gi En
an
n
4.83
1.31
In du s
tr i
P
m
en
ba
go la h
ng a
an rta ni Pe r ta
Pe
2.04
1.87
0.74
Ko
3.72
Gambar 4.7 Distribusi Persentase PDRB atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 (Sumber: Sidoarjo Dalam Angka, 2007)
f. Kesehatan Berdasarkan data tentang Profil Kesehatan Kabupaten Sidoarjo tahun 2007, terutama dilihat dari ketersediaan tenaga kesehatan, tingkat kunjungan ke pusat-pusat layanan kesehatan, angka kematian bayi, dan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan. Ketersediaan Tenaga Kesehatan: Jumlah tenaga kesehatan di kabupaten Sidoarjo sebanyak 3.543 orang dengan rincian; sebanyak 741 orang tersebar di puskesmas-puskesmas, 40 orang di Dinas Kesehatan, dan Rumah Sakit (termasuk RS swasta) sebanyak 2.762 orang. Jumlah tenaga medis dari tahun 2004 hingga 2006 secara umum mengalami penurunan yang cukup signifikan, menskipun pada tahun 2007 mulai ada peningkatan kembali, sebagaimana terlihat pada gambar 4.8 berikut:
40
Jumlah Tenaga Medis di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004-2007 600 500 400 300 200 100 0
531
171197140154
Dokter Spesialis
171197140154
Dokter Spesialis
383 328 254 99 96104109
Dokter Umum
2004
Gambar 4.8
51 46 51 54
27 26 25 30
Dokter Gigi
Sarjana Kesehatan
2005
2007
2006
15 11 14 41 Bidan/Bidan Desa
Apoteker
Jumlah Tenaga Medis di Kabupaten Sidoarjo Tahun 20042007 (Sumber Data: Sidoarjo Dalam Angka, 2007)
Tingkat Kunjungan ke Pusat Layanan Kesehatan: Tingkat kunjungan ibu hamil ke pusat layanan kesehatan untuk Pelayanan Antenatal yang meliputi K1 (kunjungan pertama ibu hamil) dan K4 (minimal 4 kali kunjungan selama masa kehamilan) selama tahun 2007 sebanyak 29.310 kujungan, atau 87,09 % dari seluruh ibu hamil (33.319 orang). Angka tersebut menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya yang mencapai 88% kunjungan. Sementara untuk kunjungan Ibu hamil dengan risiko tinggi (risti) yang ditangani pada tahun 2007 mencapai 3.365 orang atau sekitar 49,99 % dari total ibu hamil risti. Kunjungan Neonatal (KN2) untuk pemeriksaan bayi usia 0-28 hari pada tahun 2007 mencapai 95,48 % dari seluruh Naoenatus sebanyak 30.593 bayi. Pelayanan kesehatan anak balita pra sekolah sebesar 55 %, untuk usia sekolah dasar (SD/MI) sebanyak 93,96 %, dan usia sekolah lanjutan (SMP/SMU) sebanyak 62,77 %. Pelayanan imunisasi bayi melalui Universal Child Immunization (UCI) yang mencakup BCG (104,8 %), DPT 1 (108,05 %), Polio (107,76 %), Hepatitis B (87,37 %), dan Campak (105,64 %) yang dilakukan di Posyandu atau fasilitas kesehatan lain rata-rata-rata sudah melebihi 100 %. Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu: Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo tahun 2007, jumlah Angka Kematian Bayi (AKB) mencapai 12,65 per 1000 kelahiran hidup. Angka tersebut mengalami sedikit kenaikan dari tahun sebelumnya yang hanya 12,04, namun sejak tahun 2004 tidak pernah mengalami lebih dari angka 12.
41
Angka Kematian Ibu (AKI) Maternal juga mengalami kenaikan yang cukup tajam dari 50,23 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2006 menjadi 91,81 per 100.000 kelahiran hidup, padahal dua tahun sebelumnya hanya berkisar pada angka 60-an. Penyebab utamanya adalah adanya penyakit yang memperburuk kehamilan (jantung, paru-paru, ginjal dan hepatitis). Tabel 4.1 berikut menggambarkan kondisi mortalitas di Kabupaten Sidoarjo.
Tabel 4.1 Angka Mortalitas di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2004-2007 Indikator
Tahun
Target IIS
2004
2005
2006
2007
2010
AKB/1000KH
12,88
12,51
12,04
12,60
40
AK Balita/1000KH
15,09
14,56
13,63
14,1
58
65
61,61
50,23
91,81
150
68,3
69,77
69,77
69,7
27,9
AKI/100.000KH Umur Harapan Hidup
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, 2007
Persalinan yang Ditolong Tenaga Kesehatan: Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 mencapai 95 % atau terjadi kenaikan sebesar 2 % dari tahun sebelumnya. Hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi Kabupaten Sidoarjo karena target yang ditetapkan pada tahun 2007 hanya 90 %. Dibandingkan dengan Kabupaten lain di Jawa Timur dan rata-rata persentase di tingkat Provinsi, Kabupaten Sidoarjo masih jauh lebih baik dalam hal persalinan yang ditolong oleh tenaga keshatan. g. Alokasi Anggaran Kesehatan Total anggaran untuk pembiayaan kesehatan di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2007 senilai Rp 52.730.704.439. Dari jumlah tersebut, 87 % berasal dari APBD Kabupaten, sisanya berasal dari dana Dekonsentrasi (Rp. 3.404.013.700) dan DAK bidang kesehatan (Rp 1.881.000.000), serta anggaran Askeskin/Jamkesmas senilai Rp 1.128.384.000. Meskipun demikian, jika dilihat dari prosentase terhadap APBD secara keseluruhan, alokasi anggaran kesehatan kabupaten Sidoarjo hanya 3,95 %, bahkan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya 4,11 %.
42
B.
Pelaksanaan PKH di Kabupaten Sidoarjo a. Pengamatan Umum
Tim Koordinasi (TK) PKH tingkat Kabupaten Sidoarjo dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor: 188/720/404.1.1.3/ 2008, tanggal 12 Maret 2008 tentang “Tim Koordinasi Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kabupaten Sidoarjo Tahun Anggaran 2008”. Dengan demikian, pembentukan Tim Koordinasi di tingkat kabupaten sangat terlambat, padahal SK pembantukan tim koordinasi ti tingkat Provinsi Jawa Timur sudah ditandatangani pada tanggal 9 Mei 2007. Sebagaimana terjadi di Kabupaten lain di Jawa Timur, pada awal pelaksanaan PKH tahun 2007 di Kabupaten Sidoarjo belum terkoordinasikan dengan maksimal. Pada tahun 2007, dari 18 Kecamatan yang ada, Kabupaten Sidoarjo mendapat alokasi 6 kecamatan, yaitu Kecamatan tarik, Prambon, Balong Bendo, Krian, Wonoayu, dan Sukodono dengan jumlah 4.152 RTSM. Peluncuran PKH sekaligus pebayaran tahap pertama tahun 2007 dilakukan oleh Bupati Sidoarjo pada tanggal 27 Februari 2008. Pada tahun 2008, kabupaten Sidoarjo mendapat tambahan alokasi di 5 kecamatan, yaitu Kecamatan Krembung, Buduran, Gedangan, Waru dan Sedati dengan jumlah 3.594 RTSM. Dari hasil pertemuan dengan Tim Koordinasi Kabupaten pada tanggal 29 Oktober 2008, terangkum beberapa permasalahan yang dihadapi di tingkat Tim Koordinasi Kabupaten antara lain: Koordinasi: Permasalahan koordinasi yang banyak dihadapi adalah dengan adanya pergantian pimpinan pada instansi-instansi yang menjadi Tim Koordinasi inti dari pelaksanaan PKH di tingkat Kabupaten, misalnya pergantian Kepala Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Infokom. Pergantian pimpinan suatu instansi yang tanpa dibarengi dengan adanya transfer iformasi yang lengkap dan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang jelas terhadap suatu kegiatan atau program yang sedang dijalankan, sering mengakibatkan koordinasi yang sudah dibangun dengan baik dari awal menjadi kurang efektif karena lemahnya leadership.
Di tingkat kecamatan dan desa penerima PKH juga banyak terjadi pemekaran wilayah menjadi kecamatan atau desa baru yang menyulitkan koordinasi dengan aparat desa, terutama untuk proses validasi karena
43
alamatnya menjadi berubah jika pemekaran tersebut terjadi setelah pendataan awal. Koordinasi antar program penanggulangan kemiskinan, seperti BOS, BLT, Jamkesmas, dan PNPM yang ada di kabupaten juga belum terjadi dengan baik. Hal tersebut menyebabkan pemahaman aparat pemerintahan dari tingkat kabupaten sampai desa kurang memadai, sehingga pertanyaan dari camat atau kepala desa yang mempertanyakan “mengapa yang diberi bantuan/program orang-orang itu saja” selalu muncul dalam setiap kunjungan lapangan. Sosialisasi: Sosialisasi menggunakan mekanisme kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Fatayat NU dan Aisyiah yang dilaksanakan di provinsi Jawa Timur terbukti kurang efektif. Selain substansi yang disampaikan kurang bisa dipahami masyarakat karena cenderung menggunakan bahasa yang profokatif, dari pihak pemerintah daerah juga kurang setuju karena tidak melibatkan instansi yang sudah ada di daerah, yaitu Dinas Infokom. Sosialisasi ke masyarakat umum melalui kerjasama antara pemerintah daerah dengan media lokal (baik cetak maupun elektronik) sudah dilakukan dan lebih efektif, namun tidak jarang dimuati dengan isu-isu politis, sehingga perlu adanya pengawalan dan kontrol yang ketat dari Tim Koordinasi Pendamping sebagai ujung tombak pelaksanaan kegiatan PKH di lapangan yang secara langsung berhadapan dan berinteraksi secara intensif dengan RTSM dan masyrakat setempat, masih kurang memahami programprogram pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang lain (Raskin, BOS, BLT, Jamkesmas, PNPM). Hal ini sering menyulitkan mereka sendiri ketika RTSM mapun masyarakat secara umum ingin mengetahui tujuan dari PKH dan keterkaitannya dengan program-program yang lain. Target dari program-program di atas adalah orang miskin, dan jika pendataan bisa dilakukan seakurat mungkin, maka RTSM adalah pihak yang mendapatkan semua program di atas. Verifikasi: Sampai dengan pencairan tahap II untuk TA 2008, verifikasi komitmen untuk TA 2007 sebagai dasar penghitungan pembayaran tahap berikutnya belum sepenuhnya berjalan, baik untuk bidang pendidikan maupun kesehatan. Format verifikasi yang pernah dikirimkan ke daerah pada bulan Maret-April 2008 ditarik kembali oleh UPPKH Pusat dengan alasan formatnya masih banyak yang tidak sesuai dengan kondisi riil di
44
lapangan, misalnya salah nama, jumlah anggota rumah tangga, dan lain-lain. Pada saat itu pendamping di beberapa daerah sudah memperbaiki informasi yang ada dalam format tersebut dan sudah disampaikan kepada penyedia layanan pendidikan dan kesehatan. Beberapa penyedia layanan pendidikan dan kesehatan bahkan sudah mulai mengisi format yang diterima yang kemudian dikembalikan lagi kepada pendamping. Secara umum, pihak penyedia layanan pandidikan dan kesehatan sudah mengetahui kewajiban mereka untuk mengisi format veriifikasi dan kapan harus dilakukan, namun untuk penyedia layanan kesehatan masih ada yang kurang memahami cara pengisian format tersebut. Dari hasil wawancara dengan beberapa kepala puskesmas, baik di Jawa Timur maupun Gorontalo memang terjadi peningkatan kunjungan ke pusat-pusat layanan kesehatan, bahkan sampai melebihi target kunjungan yang ditetapkan, meskipun tidak dilakukan pencatatan dan rekapitulasi yang detail terutama untuk RTSM penerima PKH. Meskipun demikian, ada inisiatif dari salah satu Kepala Puskesmas di Kabupaten Sidoarjo yang membuat dan mencetak sendiri format verifikasi dengan anggaran dari Puskesmas dengan tujuan untuk memudahkan pemantauan dan pencatatan kunjungan dan pemeriksaan RTSM di Puskesmas, selama format verifikasi yang dari UPPKH Pusat belum dikirimkan. Dari beberapa kabupaten di tiga Provinsi (Jawa Timur, NTT, dan Gorontalo) yang dikunjungi, baik sekolah maupun puskesmas sebagai pihak penyedia layanan pendidikan dan kesehatan tidak mempunyai data khusus RTSM penerima PKH. Alasan umum yang disampaikan adalah karena pendamping tidak memberikannya, tidak ada aturan yang mengharuskannya atau karena memang tidak ada inisiatif dari kepala sekolah dan puskesmas untuk meminta data RTSM penerima PKH secara lengkap kepada pendamping di wilayah kerja mereka. Kepala sekolah dan puskesmas baru minta kepada pendaming berupa rekapitulasi data RTSM penerima PKH di wilayah kerja mereka, setelah ada pemberitahuan bahwa akan ada kunjungan Tim Evaluasi PKH dari Jakarta. Kendala lain yang dihadapi pada saat pengiriman format verifikasi kepada penyedia layanan pendidikan dan kesehatan adalah kurangnya SDM di PT. Pos dan seringkali tidak mengetahui alamatnya secara detail, sehingga tugas tersebut dibebankan kepada pendamping. Hal ini tentunya menambah beban pendamping terutama di daerah-daerah yang kondisi geografisnya sulit dijangkau, sementara aturan penambahan insentif bagi pendamping
45
karena harus mengerjakan tugas yang seharusnya dilakukan PT. Pos belum jelas. Pembayaran: Secara umum proses pembayaran di beberapa kecamatan yang dikunjungi berjalan dengan lancar, baik dilakukan di kantor kecamatan atau Kantor Pos setempat tanpa ada antrian yang panjang dan berdesak-desakan karena pendamping bekerja dengan aparat setempat sudah mengatur penjadwalan sebelum pembayaran dilakukan. Hal yang masih menjadi keluhan pendamping misalnya, daftar nama RTSM atau wesel yang dikirim PT Pos ke masing-masing kecamatan belum dikelompokkan berdasarkan desa atau sesuai jumlah RTSM masing-masing pendamping. Hal ini membuat para pendamping harus memilah-milah ulang nama-nama RTSM berdasarkan desa dalam satu kecamatan atau berdasarkan jumlah RTSM dampingan mereka, padahal banyak sekali nama yang sama dalam satu kecamatan yang membuat kerja pendamping kurang efisien. UPPKH (Operator & Pendamping): Sistem IT yang digunakan di kantor UPPKH Kabupaten saat ini sudah bisa berjalan, namun beberapa operator masih mengeluhkan seringnya error atau lambatnya akses ketika melakukan entry data. Data RTSM yang berdasarkan hasil validasi sudah tidak eligible (tidak memenuhi syarat) dan sudah digugurkan sebagai peserta PKH, namun masih dapat diakses dalam sistem dan dapat dilakukan perubahan data. Pada saat dilakukan kunjungan ke kantor UPPKH kabupaten dan UPPKH Kecamatan, ternyata belum semua pendamping membuat laporan rutin mengenai tugas-tugas dan kegiatan yang dilakukan baik secara mingguan atau bulanan, termasuk mengenai pengaduan dari masyarakat. Hal ini akan menyulitkan Tim UPPKH Pusat untuk mengevaluasi apakah pendamping telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, karena tidak ada bukti tertulis yang bisa dijadikan pegangan. Hal positif yang dilakukan pendamping terutama di Kabupaten Kediri dan Sidoarjo misalnya adanya inisiatif dari para pendamping yang membimbing RTSM misalnya untuk belajar membuat susu kedelai, membuka warung kecil, dan memelihara ikan hias dalam rangka meningkatkan penghasilan RTSM. Upaya tersebut dikoordinasikan ketika pertemuan kelompok ibu-ibu, bahkan beberapa pendamping ada yang menyatakan akan memberikan sanksi kepada RTSM jika dalam pertemuan kelompok ibu-ibu ada yang sengaja tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
46
b. Kesiapan Penyedia Layanan Kesehatan Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo relatif memiliki fasilitas kesehatan yang lebih lengkap dan memadai. Akses masyarakat menuju fasilitas layanan kesehatan juga sangat mudah dan tidak memerlukan biaya yang mahal. Sampai tahun 2007, dari 18 kecamatan yang ada, terdapat 25 Puskesmas induk dan 56 Puskesmas pembantu. Selain itu, Kabupaten Sidoarjo juga memiliki 18 Rumah Sakit (1 RS Pemerintah, 3 RS ABRI, dan 14 RS Swasta). Dalam satu kecamatan bisa terdapat beberapa fasilitas kesehatan yang memadai dan mudah dijangkau, beberapa puskesmas bahkan sudah melayani rawat inap yang bisa menampung lebih dari 20 pasien. Dari sisi suplay penyedia layanan kesehatan, Kabupaten Sidoarjo bisa dikatakan tidak mengalami kesulitan, bahkan dukungan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kualitas kesehatan masyarakatnya cukup tinggi. Pada tahun 2006 dan 2007 pemda menganggarkan sebesar 2 Milyar untuk mendukung program Askeskin, dan pada tahun 2008 senilai 5 Milyar berupa Block Grant Kesehatan dalam rangka mengcover seluruh warga miskin yang tidak terjangkau oleh Jamkesmas sekitar 27.000 RTM (kuota Jamkesmas: 185.000 RTM). Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Sidoarjo, jumlah tenaga medis (dokter) yang tersebar di rumah sakit atau puskesmas sudah cukup, namun untuk tenaga paramedis masih perlu mandapatkan penambahan di beberapa puskesmas. Meskipun perekrutan tenaga kesehatan telah diserahkan oleh Menteri Kesehatan ke daerah, namun aturan mekanismenya belum jelas. Hal ini telah diantisipasi dengan perekrutan yang dianggarkan dari APBD dan untuk penggajian mereka berasal dari puskesmas. Di beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Kras, Puskesmas mengetahui program PKH melalui pendamping. Hingga Tim Survey berkunjung sudah dilaksanakan 3 kali pertemuan antara pendamping dengan pihak Puskesmas. Pendamping melakukan pendataan penerima PKH yang sudah melakukan kewajibannya, sementara itu Puskesmas memerlukan data penerima PKH yang ada di Kecamatan ini. Data yang tersedia baru berupa daftar nama-nama penerima bantuan tanpa dilengkapi alamat atau lokasinya. Untuk memonitor pelaksanaan program dengan lebih baik, harus pula dilakukan koordinasi dengan bidan desa. Karena tidak jarang
47
masyarakat desa lebih memanfaatkan bidan desa daripada Puskesmas. Kendala yang sering menjadi pertimbangan ini adalah lokasi puskesmas yang jauh. Para pendamping mengusulkan agar dapat dilakukan penjelasan khusus yang melibatkan pendamping, pengelola puskesmas, dan para bidan desa untuk diberikan penjelasan tugas masing-masing, siapa harus berbuat apa, dan bagaimana koordinasi diantara mereka. Terkait dengan kebutuhan Puskesmas seperti obat-obatan, vitamin dan lain-lain, pihak pengelola menyatakan sejauh ini tidak ada permasalahan, karena persediaan di Puskesmas sudah dihitung berdasarkan jumlah masyarakat yang perlu dilayani di Kecamatan tersebut. Dengan demikian, seluruh masyarakat miskin baik itu masuk dalam Program PKH ataupun tidak sudah tercakup dalam layanan Puskesmas dan sudah teranggarkan melalui Dinas Kesehatan. Sementara itu, pelayanan secara umum puskesmas di Kecamatan Kandat sudah baik. Namun para petugasnya belum memahami PKH dengan baik, walaupun sebetulnya Kepala Puskesmas sudah mengikuti sosialisasi awal yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial. Permasalahan yang terpantau di puskesmas ini adalah belum berjalannya transfer informasi dengan baik, khususnya mengenai program ini, baik kepada petugas puskesmas, maupun kepada layanan-layanan lainnya, seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan bidan desa. Namun demikian, peran pendamping cukup mendukung dan dapat menjelaskan PKH kepada pemberi layanan kesehatan ini. Koordinasi, sosialisasi, ataupun surat pemberitahuan dari Departemen Kesehatan, sejauh ini belum pernah dilakukan, baik sebelum ataupun sesudah pembayaran terhadap penerima bantuan PKH. Hal ini berpengaruh pada proses verifikasi yang kurang mendapat tanggapan. Puskesmas mengharapkan agar ada surat atau bisa mendapatkan surat dari Departemen Kesehatan yang menyatakan mendukung PKH. Surat yang ditanda tangani oleh Sekjen Depkes ini sudah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, namun sejauh ini banyak Puskesmas yang belum menerimanya. Permasalahan yang terpantau lainnya adalah adanya puskesmas yang tidak bisa menjamin RTSM peserta PKH untuk mendapatkan layanan gratis karena tidak memiliki Askeskin. Daftar peserta Askeskin merupakan keputusan Bupati, sementara itu belum semua peserta PKH tercakup dalam
48
Askeskin. Untuk menanggulangi masalah ini, berdasarkan informasi petugas Dinas Sosial maupun Kepala Puskesmas, untuk peserta yang belum tercakup oleh Askeskin akan mendapatkan dukungan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). Alternatif solusi lain yang telah berjalan di Kecamatan Ngadiluwih adalah masyarakat miskin yang belum mendapat askeskin, termasuk penerima PKH yang belum didaftar, ditanggung melalui kuota tambahan yang disediakan melalui APBD. Namun, khusus untuk kuota ini hanya dapat dilayani di salah satu Rumah Sakit, yaitu RS Pare. Sampai saat ini penambahan kuota tersebut masih dalam proses pendataan. Secara umum, petugas puskesmas merasa terbantu dengan adanya PKH, karena dengan program ini, masyarakat miskin khususnya keluarga RTSM penerima bantuan dengan sendirinya memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan keluarga. Diharapkan kondisi ini dapat pula membangkitkan kesadaran keluarga miskin lainnya untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan melalui puskesmas.
4.2
PELAKSANAAN PKH DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR: KABUPATEN SUMBA BARAT
4.2.1 Gambaran Umum Kabupaten Sumba Barat Kunjungan lapangan di Kabupaten Sumba Barat dilakukan pada tanggal 22 Maret sampai dengan 28 Maret 2008 di kecamatan Loli dan Lamboya (Kabupaten Sumba Barat), Kecamatan Katikutana (Kabupaten Sumba Tengah) serta Kecamatan Wewewa Timur dan Kecamatan Wewewa Utara (Kabupaten Sumba Barat Daya). Kabupaten Sumba Barat dipilih berdasarkan beberapa kriteria, antara lain: tingkat kemiskinan yang relatif tinggi di Indonesia, kapasitas fiskal sangat rendah, kondisi kesehatan dan pendidikan terkait dengan Tujuan Pembangunan Millenium (MDG’s) yang rendah, kabupaten pemekaran, serta kompleksitas persoalan kabupaten yang menjadi tantangan bagi Program PKH. Kecamatan di atas dipilih berdasarkan karakteristik kondisi kesehatan yang rendah dibandingkan kecamatan lain dan bisa diakses dalam kerangka waktu kunjungan lapangan.
49
Gambar 4.9
Peta Kabupaten Sumba Barat (Sebelum Pemekaran) (Sumber: http://www.sumbaratkab.go.id)
Peta di atas merupakan peta Kabupaten Sumba Barat sebelum terjadi pemekaran menjadi Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya. Pada saat dilakukan kunjungan lapangan, data kedua kabupaten lain masih tergabung dalam data kabupaten induk. Instansi pada kabupaten pemekaran yang baru beberapa bulan dibentuk, masih dalam tahap menyusun data dasar kabupaten. Di Kabupaten Sumba Barat sebelum pemekaran terdapat 17 Kecamatan dengan 182 Desa dan 10 Kelurahan. Berikut adalah beberapa data statistik yang menggambarkan kondisi secara umum Kabupaten Sumba Barat: a. Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Sumba Barat di tahun 2004 (RKPD, 2008) didominasi oleh sektor pertanian (58,11%), jasa-jasa (20,88%) dan perdagangan, hotel dan restoran 10,10% dan sektor lainnya. Untuk pertanian kontribusi terbesar pada sub sektor tanaman pangan sebesar 38,17% dan diikuti peternakan 11,68%, perkebunan 6,86% dan perikanan 1,31%. Pendapatan per kapita pada tahun 2004 sebesar Rp 2,073,647. b. Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Jumlah penduduk Sumba Barat sebelum pemekaran berdasarkan data tahun 2006 berjumlah 410,007 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk
50
sebesar 2.36% pertahun dan tingkat kepadatan 102 jiwa/km2 (BPS Sumba Barat, 2007).
2004
2005
2015
100%
77
80%
58,72
60% 40% 20%
7,5 16,66
27,86
31,31
32,86
71,59 42,04
68,38 40,03
0
MDG Nasional target
NTT
Manggarai
Kupang
Sumba Barat
Sumba Timur
Gambar 4.10 Tingkat Kemiskinan Sumba Barat dan Kabupaten lain di NTT Tahun 2005 (Sumber: BPS, 2005)
Tingkat kemiskinan terhadap total penduduk, Kabupaten Sumba Barat relatif lebih tinggi dari kabupaten lain di Provinsi NTT. Sebagaimana tercermin pada Gambar 4.10 di atas, pada tahun 2005, persentase penduduk miskin Sumba Barat mencapai 71,59% dari total penduduk. Tingkat kemiskinan ini merupakan ke dua tertinggi setelah Kupang, dan jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan provinsi 27,85% dan tingkat kemiskinan nasional sebesar 16,66%. c. Pendidikan Berdasarkan indikator kesejahteraan Sumba Barat tahun 2007 (sumber BPS Kabupaten Sumba Barat), prosentase angka melek huruf pada tahun 2005 mencapai sekitar 75,93% dan pada tahun 2006 sekitar 72,66%. Namun, prosentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah, atau tidak tamat SD lebih dari 50%. Pada tahun 2005, mencapai sekitar 57,9% untuk laki-laki dan perempuan dan pada tahun 2006 naik hingga 60,9%.
51
d. Kesehatan Kondisi kesehatan Sumba Barat akan dilihat berdasarkan angka malnutrisi (gizi buruk dan kurang gizi), angka kematian ibu, kematian bayi dan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan. Secara umum, berdasarkan data tahun 2006, sekitar 65.5% dari total 67.657 KK miskin mendapat pelayanan kesehatan. - Tingkat Gizi Kurang dan Gizi Buruk Tingkat kurang gizi dan gizi buruk Kabupaten Sumba Barat relatif mengalami perbaikan dari 35,29% pada tahun 2004 turun menjadi 19,76% pada tahun 2005, seperti terlihat pada gambar 4.11. Dibandingkan dengan kabupaten lainnya, untuk tahun 2004 kondisi kurang gizi dan gizi buruk di Kabupaten Sumba Barat masih lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Manggarai dan Sumba Timur, tetapi untuk tahun 2005, sedikit lebih rendah dibanding Kabupaten Sumba Timur dan jauh lebih rendah dibanding Kupang, tetapi tetap masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat gizi kurang dan gizi buruk Kabupaten Manggarai dan Nasional. Pada tahun 2007, angka gizi buruk di Kabupaten Sumba Barat mengalami penurunan menjadi 21,8%.
Tingkat Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Provinsi NTT Tahun 2007
Gizi Buruk
NTT
Manggarai Barat
Manggarai
Ende
Flores Timur
Alor
Timor Tengah
Kupang
Sumba Barat
35 29.1 29.3 29.2 27.9 26.9 26.3 25.6 25.3 30 24.2 23.1 22.3 22.5 22.5 25 21.8 18.2 20 14.4 13.3 12 11.6 11.1 9.4 11.1 15 8.5 10.3 8.8 8.8 8.4 8.2 7.6 9.3 7.6 5.4 6.7 10 3.2 5 0
Gizi Kurang
Gambar 4.11 Tingkat Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Provinsi NTT Tahun 2007 (Sumber: Riskesdes, 2007)
52
- Angka Kematian Ibu Gambar 4.12 memperlihatkan angka kematian ibu di Kabupaten Sumba Barat pada tahun 2004 dan 2005 yang relatif masih lebih rendah dibandingkan Kabupaten Sumba Timur dan Provinsi NTT. Namun, angka ini tetap lebih tinggi dibandingkan angka kematian ibu tingkat Nasional, Kupang dan Kabupaten Manggarai.
800
719,29
711,74 687,33
700
644,71
600
513,6
500 400 200 100
357
307
300
514,25
409 304 300,5
102
0 Target MDG’s
Nasional
NTT
Manggarai
2004
2005
Kupang
Sumba Barat
Sumba Timur
2015
Gambar 4.12 Angka Kematian Ibu di Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten lain di NTT Tahun 2006 (Sumber: Data Statistik Provinsi NTT, 2006)
Berdasarkan data Dinas Kesehatan 2007, angka kematian ibu pada tahun 2006 adalah sebesar 245,1 per 100,000 kasus melahirkan. Angka kematian ibu pada tahun 2006 ini, terbanyak terjadi di kecamatan Kodi, Wewewa Barat, Lamboya dan Kodi Utara. - Angka Kematian Bayi Gambar 4.13 di bawah ini memperlihatkan adanya penurunan Angka Kematian Bayi di Kabupaten Sumba Barat dari 60 kasus tahun 2004 menjadi 55 kasus pada tahun 2005. Secara umum, angka kematian ibu Kabupaten Sumba Barat pada tahun 2005 relatif hampir sama dengan Kota Kupang, namun angka ini lebih tinggi dari angka kematian bayi di Kabupaten Manggarai dan Sumba Timur. Untuk mencapai target nasional dan khususnya target MDGs merupakan tantangan yang berat.
53
80
73
70 60
52
51
50
53
55
49
35
40
60 55
52
30 20
20
11,3
10 0 *TARGET
NATIONAL
NTT
MGRAI 2004
2005
KUPG
SMB BRT
SMB TMR
2015
Gambar 4.13 Angka Kematian Bayi di Kabupaten Sumba Barat dan Tiga Kabupaten lain, Provinsi NTT, Nasional dan Target MDGs (Sumber: Provinsi NTT dalam Angka 2006 dan Dinas Kesehatan Sumba Barat, 2006)
Pada tahun 2006, angka kematian bayi sebanyak 55 kasus dari perkiraan kelahiran hidup sejumlah 10.558 atau sekitar 5,2 per 1000 kelahiran. Angka Kematian Bayi di Kabupaten Sumba Barat tertinggi terdapat di Kecamatan Kodi Utara, Wewewa Barat, dan Kecamatan Katikutana. Sedangkan Angka Kematian balita paling banyak terdapat di Kecamatan Kodi Bangedo, Wewewa barat, Katikutana dan Lamboya. - Persalinan yang ditolong oleh petugas kesehatan Pada tahun 2006, dari 192 jumlah desa/kelurahan di kabupaten Sumba Barat, hanya terdapat 117 bidan desa. Angka ini memperlihatkan bahwa tidak semua desa mempunyai paling tidak 1 bidan. Hampir di semua kecamatan ada dokter umum di puskesmas, tetapi Kabupaten Sumba Barat ini tidak mempunyai dokter spesialis dan hanya terdapat 4 ahli gizi di seluruh kabupaten. Terdapat perbedaan data antara Dinas Kesehatan Kabupaten dan Biro Statistik Kabupaten untuk prosentase persalinan oleh tenaga kesehatan (nakes). Berdasarkan data Dinas Kesehatan tahun 2007, prosentase ibu bersalin yang dibantu oleh nakes pada tahun 2005 adalah sebesar 69.8%. Berdasarkan data Statistik Kabupaten tahun 2005, hanya 23% persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, dan meningkat menjadi 24% pada tahun 2006. - Anggaran pendidikan dan kesehatan Gambar 4.14 di bawah ini menyajikan struktur Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah Kabupaten Sumba Barat tahun 2006.
54
Prosentase anggaran pendidikan Kabupaten ini sekitar 26,3%, anggaran kesehatan sekitar 8,17%, pertanian 3,26% dan Infrastruktur sekitar 15,6% dari total APBD.
Sumba Barat
Sumba Timur
Kupang
Manggarai
35 30
26,3
25 20 15,6
15 10
8,17
5
3,26
0 Pendidikan
Kesehatan
Infrastruktur
Pertanian
Gambar 4.14 Perbandingan Persentase Anggaran Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur dan Pertanian di Kabupaten Sumba Barat dan Tiga Kabupaten Lain Tahun 2006 (Sumber: APBD Kabupaten, 2006)
Gambar 4.14 di atas memperlihatkan bahwa anggaran pendidikan Kabupaten Sumba Barat ini cukup besar, lebih besar dibandingkan Kabupaten Sumba Timur dan Kupang. Persentase ini bahkan lebih besar dari yang diamanatkan Undang-Undang Pendidikan yaitu sebesar 20%. Anggaran kesehatan tidak jauh berbeda dengan kabupaten lainnya.
4.2.2 Pelaksanaan PKH di Kabupaten Sumba Barat a. Pengamatan Umum Tim Koordinasi (TK) PKH Kabupaten Sumba Barat dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. Kep/HK/86/2007, tanggal 26 Februari 2007. Secara aktif TKPKH Kabupaten baru mulai melakukan koordinasi pada bulan Juli 2007. Hingga saat ini telah dilaksanakan dua kali pertemuan yang melibatkan pihak-pihak terkait pada bulan Oktober dan November 2007, khususnya dalam rangka sosialisasi program kepada seluruh instansi terkait. Sampai kunjungan lapangan ini dilakukan, tidak ada dana khusus untuk operasional TKPKH Kabupaten. Untuk keperluan operasioanal masih
55
menggunakan perlengkapan Bappeda dan Dinas Sosial. Bappeda dan Dinas Sosial sebagai Ketua dan Sekretaris TKPKH Kabupaten mengetahui cukup baik mengenai PKH. Namun tidak semua anggota TKPKH memahami dengan baik, walaupun telah dilakukan sosialisasi pada seluruh anggota TKPKH Kabupaten.
Gambar 4.15
Sauasana Pembayaran dana PKH kepada RTSM di Kecamatan Kotikutana, Kabupaten Sumba Barat (Sumber: Foto Lapangan)
b. Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai PKH, namun belum melakukan penjelasan dengan baik kepada pemberi layanan kesehatan, antara lain kepada puskesmas-puskesmas dan jaringannya. Dampaknya adalah, dari 3 (tiga) puskesmas yang dikunjungi, tidak satupun yang mengetahui PKH apalagi memahaminya. Akan tetapi, petugas di lapangan, seperti bidan desa telah memperoleh informasi pada saat sosialisasi program sebelum pembayaran pertama dilakukan seperti yang terjadi di Kabupaten Sumba Tengah, sehingga mereka dapat menginformasikan kepada Dinas Kesehatan mengenai terjadinya peningkatan kunjungan ke posyandu. Pada kabupaten baru seperti Sumba Barat Daya, Dinas Kesehatan baru lima bulan terbentuk pada saat tim survey ada di sana (Maret 2008) dan belum mengetahui mengenai program dan belum tahu bagaimana cara berkoordinasi dalam rangka pelaksanaan PKH karena induk program ada di kabupaten Sumba Barat sebagai kabupaten induk, sedangkan penyedia pelayanan yaitu puskesmas ada di kabupaten pemekaran,
56
Hal yang menarik, dari sisi kesiapan masing-masing puskesmas untuk melayani penduduk miskin, baik yang menerima bantuan PKH ataupun pemegang kartu Askeskin, sudah dilakukan sejak dini. Anggaran untuk Askeskin tahun 2008 diharapkan langsung disalurkan ke puskesmas. Untuk itu, setiap puskesmas sudah membuat rencana kerja dan anggaran termasuk untuk masyarakat miskin (di dalamnya mencakup RTSM) secara umum yang disetujui oleh dinas kesehatan kabupaten. Di tingkat puskesmas, para bidan desa disyaratkan untuk melakukan tatap muka (pemeriksaan) kepada penduduk miskin minimal 4 kali per bulan, atau jika ada ibu-ibu yang tidak datang ke posyandu, maka ada kewajiban dari para bidan untuk mendatangi rumah ibu-ibu tersebut. Hal ini dikaitkan dengan insentif yang akan diterima oleh masing-masing bidan, yaitu semakin banyak masyarakat yang dilayani maka insentif yang diterima bidan akan semakin banyak Pergantian dan perpindahan pejabat akibat pemekaran Sumba Barat menjadi 3 Kabupaten yaitu Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya merupakan salah satu penyebab tidak terdistribusinya informasi mengenai program ini dengan baik, khususnya di 2 Kabupaten yang baru. Kurangnya sosialisasi internal di dalam Dinas juga menjadi penyebab kurang tersosialisasinya PKH. Hal ini terjadi karena pejabat atau aparat yang mendapatkan sosialisasi PKH tidak menyebarkan informasi yang diterimanya kepada rekan-rekan di kantornya. Di lain pihak, Departemen Kesehatan juga belum melakukan koordinasi dengan dinas kesehatan terutama mengenai dukungan terhadap pelaksanaan PKH. Secara umum belum semua Dinas terkait memberikan kontribusi nyata terhadap pelaksanaan PKH. Sejauh ini hanya sebatas sosialisasi yang masih sangat kurang memadai. Meskipun demikian, dengan pimpinan Bappeda Kabupaten, dinas-dinas terkait telah berkomitmen untuk melakukan koordinasi lanjutan khususnya unit penyedia layanan yaitu pendidikan dan kesehatan. c. Partisipasi Puskesmas Di Kabupaten Sumba Barat, tidak semua kecamatan penerima PKH memiliki Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), namun beberapa fasilitas kesehatan dapat digunakan untuk memberikan layanan kesehatan pada peserta PKH, seperti Puskesmas Pembantu (Pustu), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), dan bidan desa. Beberapa perkembangan dan masalah terkait dengan puskesmas dan layanan kesehatan antara lain sebagai berikut:
57
Pada umumnya puskesmas di 3 kabupaten belum memahami dan mengetahui PKH. Sementara itu, Dinas Kesehatan Sumba Barat maupun Sumba Tengah sudah memiliki pengetahuan yang cukup baik. Aparat Dinas Kesehatan menyatakan sudah pernah melakukan sosialisasi terhadap puskesmas, namun hanya mencakup puskesmas di wilayah Sumba Barat setelah pemekaran. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh aparat Dinas Kesehatan, pihak Puskesmas mendengar PKH melalui sosialisasi umum yang dilakukan oleh Infokom, sedangkan dari Dinas Kesehatan tidak ada informasi yang jelas. Adapula puskesmas yang belum pernah menerima sosialisasi mengenai PKH, yaitu di Kecamatan Katikutana (Kabupaten Sumba Tengah). Selain itu, belum pernah ada sosialisasi atau pun pelatihan mengenai cara mengisi format verifikasi kehadiran. Buku-buku pedoman operasional juga belum dimiliki oleh petugas puskesmas. Akan tetapi, bidan-bidan desa telah menerima sosialisasi program dari UPPKH Kabupaten Sumba Barat pada saat sebelum pembayaran pertama dilakukan di Sumba Tengah. Belum adanya sosialiasasi dari Dinas Kesehatan dan Sosial karena Dinas tersebut baru terbentuk dan masih melakukan konsolidasi kedalam. Untuk lebih mempersiapkan puskesmas dalam mendukung PKH, Dinas Kesehatan akan melakukan sosialisasi pada seluruh puskesmas dan bidan desa di kabupaten induk dan dua kabupaten pemekaran lainnya. Di Sumba Barat Daya, pendamping PKH sering datang berkunjung untuk meminjam mesin ketik tetapi belum menjelaskan mengenai program. Pendamping mengakui hal ini dan akan melakukan koordinasi yang lebih baik. Kurangnya pemahaman dari para pelaksana di tingkat lapangan, seperti para kader posyandu menyebabkan beberapa diantara mereka meminta tambahan honor untuk pelaksanaan PKH. Terkait dengan hal ini, karena beberapa kader juga merupakan peserta PKH, mereka dapat menyampaikan informasi yang tepat mengenai program. Koordinasi antara unit layanan (puskesmas, pustu, bidan desa) dengan Dinas Kesehatan akan dilakukan melalui rapat rutin bulanan dan disesuaikan dengan pedoman PKH (terkait dengan layanan yang diperlukan oleh peserta PKH). Selain dengan unit layanan, Dinas Kesehatan juga melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan dan Sosial Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya mengenai PKH. Paling tidak Dinas Kesehatan dan
58
Sosial di kedua kabupaten baru tersebut sudah mengetahui PKH, walaupun belum memahami dengan baik, dan belum merata di antara staf. Mereka juga sangat antusias dan siap mendukung pelaksanaan program dengan telah mengalokasikan dana melalui DAU untuk penambahan tenaga di pusat-pusat layanan kesehatan. Koordinasi, sosialisasi ataupun surat pemberitahuan dari Departemen Kesehatan, sejauh ini belum pernah dilakukan di Sumba Barat baik sebelum ataupun sesudah pemekaran. Dinas Kesehatan mengetahui dan paham tetang PKH melalui Tim Koordinasi Kabupaten dan buku pedoman PKH. Dinas Kesehatan maupun puskesmas sampai saat ini juga belum mengetahui RTSM yang menjadi penerima PKH, karena daftar RTSM yang harus memenuhi persyaratan kesehatan belum diterima dari UPPKH Pusat. Akibatnya, mereka tidak dapat mempersiapkan dengan baik sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Untuk mendukung pelaksanaan PKH, belum ada perjanjian tertulis antara Dinas Kesehatan dan Puskesmas-Puskesmas. Namun, dalam waktu dekat, pada pertemuan dengan puskesmas dan bidan desa akan dibuat suatu kesepakatan bersama yang dilakukan secara resmi (tertulis) untuk memastikan peranan pemberi layanan kesehatan dalam mendukung PKH. Berdasarkan laporan aparat Dinas Kesehatan puskesmas dan bidan, sejak validasi dilakukan pada bulan Oktober 2007, terjadi peningkatan kehadiran di fasilitas kesehatan setempat (puskesmas, posyandu). Ibu hamil dan anak balita RTSM telah banyak yang mulai menggunakan fasilitasfasilitas tersebut. Peningkatan ini merupakan dampak positif PKH akan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, walaupun sosialisasi belum dilakukan secara optimal dan pembayaran kepada keluarga penerima bantuan belum dilakukan. Dengan adanya peningkatan penggunaan fasilitas kesehatan, penambahan sumber daya yang ada merupakan kebutuhan yang harus segera disiapkan. Saat ini, masih terdapat kekurangan tenaga di beberapa pustu dan juga belum semua desa mempunyai bidan desa. Kalaupun sudah ada bidan desa, mereka tidak tinggal di desa sehingga pada saat dibutuhkan, mereka tidak ada di tempat. Kekurangan tenaga sudah diantisipasi oleh Dinas Kesehatan Sumba Barat. Dalam waktu dekat mereka akan memperbantukan tenaga puskesmas dari kecamatan yang tidak mendapatkan PKH ke puskesmas-puskesmas penerima PKH, dan meminta
59
bantuan dari propinsi untuk memenuhi tenaga yang masih kurang. Disamping itu Dinas Kesehatan juga akan mengoptimalkan Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Kesehatan untuk mendukung PKH. Untuk tahun 2008, Kabupaten Sumba Tengah akan mendapat 3 tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat, 3 bidan dan 2 lulusan akademi perawat melalui dana DAU. Tambahan tenaga ini akan diarahkan pada puskesmas pembantu (Pustu) yang belum memiliki tenaga kesehatan (berdasarkan informasi dari puskesmas, terdapat 3 pustu yang tidak memiliki tenaga kesehatan). Hal lain yang menjadi perhatian dari pihak puskesmas dalam mempersiapkan sarana dan prasarana kesehatan untuk mendukung PKH adalah perbaikan dari alat timbang di posyandu yang dinilai sudah perlu untuk diremajakan. Pihak Dinas Kesehatan akan memasukkan kebutuhan ini pada anggaran DAU tahun 2009. Di Sumba Barat Daya, Dinas Kesehatan tidak terlalu mempersoalkan mengenai kesediaan layanan untuk PKH, karena ini sudah tercakup dalam ketersediaan pelayanan untuk semua masyarakat miskin. Sebagai contoh di posyandu, bidan akan mendapatkan dana operational lebih banyak kalau melayani lebih banyak orang, dalam hal ini misalnya ibu hamil dan nifas. Jika mereka tidak datang ke posyandu, bidan desa bisa mengunjungi rumah-rumah mereka, karena pengajuan anggaran untuk bidan berdasarkan jumlah orang yang dilayani. Persediaan obat dan vaksin masih mencukupi walaupun ada peningkatan kunjungan karena pengalokasian dana untuk obat dan vaksin didasarkan pada jumlah penduduk, bukan pada jumlah masyarakat miskin saja. Mekanisme yang dilakukan dalam pengajuan kebutuhan obat dari posyandu atau pustu adalah dengan mangajukan langsung kekurangan obat kepada Puskesmas. Sementara itu, Puskesmas mengajukan kebutuhan kepada Dinas Kesehatan berdasarkan proyeksi kebutuhan obat untuk jangka waktu tertentu dan jumlah kunjungan periode sebelumnya. Akan tetapi, pada saat kunjungan ke salah satu puskesmas di Sumba Tengah, diketahui bahwa puskesmas mengalami kesulitan vaksin dan obat-obatan karena terganggunya pengiriman melalui laut akibat gelombang tinggi. Hal tersebut menyebabkan kegiatan vaksinasi selama 2 bulan terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada bulan April 2008. Hal ini perlu mendapat perhatian semua pihak, khususnya untuk daerah-daerah kepulauan, dimana kegiatan vaksinasi/imunisasi yang menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh RTSM untuk mendapatkan bantuan, tidak dapat berjalan lancar. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada proses verifikasi
60
dan pembayaran. Bahkan di puskesmas di Sumba Barat Daya pada kecamatan lokasi PKH, sudah sejak bulan Januari tidak memiliki vaksin. Puskesmas tidak memungut biaya tambahan kepada pemegang askeskin, begitu pula terhadap penduduk yang terdaftar sebagai anggota rumah tangga miskin, dengan menunjukan identitas atau surat keterangan miskin (SKTM). Dengan demikian, penerima PKH dapat menerima layanan askeskin. Bahkan untuk Kabupaten Sumba Tengah, dari 68.000 jumlah penduduk, dana Askeskin yang dialokasikan melalui APBN telah mencakup sebanyak 60.000 penduduk. Selain itu, melalui dana DAU, telah dialokasikan dana asuransi kesehatan sosial untuk 10.000 penduduk. Dengan demikian, semua penduduk telah memperoleh jaminan pelayanan kesehatan di Puskesmas. Verifikasi untuk keperluan PKH belum dilaksanakan. Namun, secara rutin tempat-tempat layanan kesehatan selalu menggunakan daftar hadir dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu menurut pihak puskesmas, program PKH tidak akan terlalu membebani petugas dalam pengisian format verifikasi. Pendamping, yang bertanggung jawab mendampingi ibu-ibu penerima PKH untuk mendaftarkan ke pusat-pusat layanan kesehatan belum berkoordinasi dengan puskesmas-puskesmas atau pun pusat layanan kesehatan lainnya. Selain puskesmas dan jaringannya, beberapa penerima PKH juga menggunakan pusat layanan kesehatan swasta, seperti di Kabupaten Sumba Tengah, yaitu Balai Pengobatan Katikuloku. Akan tetapi, untuk imunisasi dan pemeriksaan kehamilan, para penerima PKH tetapi ditarik bayaran. Secara umum Puskesmas merasa terbantu dengan PKH. Dengan program ini, masyarakat, khususnya dari keluarga RTSM akan lebih terpacu untuk memeriksakan kesehatan keluarganya. Namun, Puskesmas meminta agar penjelasan dan koordinasi lebih lanjut terus dilaksanakan, sehingga puskesmas-puskesmas akan lebih siap dalam mendukung PKH. Selain itu, perlu adanya koordinasi dengan pusat layanan kesehatan swasta dimana peserta PKH terdaftar untuk dapat memberikan layanan kesehatan gratis bagi penerima PKH.
61
4.3
PELAKSANAAN
PKH
DI
PROVINSI
GORONTALO:
KABUPATEN BONE BOLANGO 4.3.1 Gambaran Umum Kabupaten Bone Bolango Kunjungan lapangan di Kabupaten Bone Bolango dilakukan selama 4 hari dari tanggal 22-25 Oktober 2008. Pertemuan awal dilakukan di kantor UPPKH kabupaten bersama Tim Koordinasi PKH kabupaten, Operator dan para Pendamping. Kecamatan yang menjadi sample kunjungan adalah Kecamatan Tapa dan Kecamatan Bone Pantai. Kabupaten Bone Bolango merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Gorontalo yang resmi menjadi satu wilayah kabupaten definitif pada tanggal 16 Mei 2003, melalui PP Nomor 6 Tahun 2003. Keadaan kesehatan masyarakat Kabupaten Bone Bolango, terutama terkait gizi masyarakat mencapai 85,51 persen gizi baik, 11,41 persen gizi kurang, dan 2,44 persen gizi buruk, sedangkan 1,9 persen tergolong gizi lebih, dan angka harapan hidup 60 tahun. Puskesmas induk sebanyak 7 Unit dan puskesmas pembantu 39 Unit, Puskesmas keliling 7 unit dan rumah sakit sebanyak 2 Unit. Jumlah puskesmas induk terhadap kecamatan adalah 70 persen, karena terdapat 3 kecamatan yang belum memiliki unit Puskesmas. Namun telah memiliki fasilitas 1 unit Puskesmas Pembantu dan dibantu dengan beberapa unit puskesmas keliling. Berikut adalah peta Kabupaten Bone Bolango, dengan inzet Provinsi Gorontalo.
Gambar 4.16 Peta Kabupaten Bone Bolango (Sumber: http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/kabbonebolango.html)
62
Data statistik yang memberikan gambaran Kabupaten Bone Bolango adalah sebagai berikut:
a. Penduduk dan Penduduk Miskin Sebagai salah satu kabupaten yang masih relatif baru, data statistik untuk mendukung analisis belum tersedia secara lengkap. Data Kabupaten dalam Angka mencantumkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bone Bolango tahun 2006 sebanyak 130.346 jiwa dengan tingkat kemiskinan 33 persen. Jika mengacu pada data BPS tahun 2005, terjadi peningkatan karena pada tahun sebelumnya tingkat kemiskinan hanya 30,85 persen. Perbandingan persentase kemiskinan dapat dilihat pada gambar 4.17 berikut ini.
Perbandingan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Gorontalo Tahun 2005 273.8
300 250 200
146.9
Jumlah
150
Persentase
100 50
3731.41
34.36
35.132.06
39.1 30.85
Kab. Boalemo
Kab. Gorontalo
Kab. Pahuwato
Kab. Bone Bolango
15.69.87
29.13
0 Kota Gorontalo
Prov. Gorontalo
Gambar 4.17 Perbandingan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Gorontalo Tahun 2005 (Sumber: BPS, 2007)
Dari grafik di atas terlihat bahwa hanya Kota Gorontalo yang persentase kemiskinannya lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata Provinsi, dan Kabupaten Bone Bolango bahkan mencapai dua kali lipatnya, bahkan jika dibandingkan dengan persentase kemiskinan secara nasional sebesar 15,97 % pada tahun 2005. Kendala utama yang dihadapi adalah kondisi geografis wilayahnya yang berbukit-bukit dengan pemukiman penduduk yang berpencar-pencar dan terpencil sehingga menyulitkan untuk diberikan sentuhan pembangunan. Pada gambar 4.18 berikut salah satu contoh kondisi rumah RTSM di Provinsi Gorontalo.
63
Gambar 4.18 Kondisi Rumah RTSM di Kecamatan Bone Pantai, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo (Sumber Foto Lapangan)
b. Kondisi Administratif dan Pemanfaatan Lahan Pada tahun 2003, Kabupaten Bone Bolango hanya memiliki wilayah 5 kecamatan, kemudian terjadi pemekaran hingga tahun 2008 menjadi 17 kecamatan, dari 60 desa menjadi 200 desa. Pemanfaatan lahan dan sumber daya alam secara umum sesuai dengan potensi utama di Kabupaten Bone Bolango terdiri dari; pertanian dan perkebunan, perikanan, peternakan, dan pertambangan mineral dan bahan galian C. c. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bone Bolango tahun 2006 (68,6), sedikit diatas rata-rata Provinsi (68,0) namun tetap masih dibawah angka IPM nasional (70,1). Angka tersebut juga masih lebih rendah dibandingkan Kabupaten Kediri dan Sidoarjo namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Sumba Barat (60,1). d. Mata pencaharian penduduk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bone Bolango tahun 2005 sebesar Rp 443.235.909, penerimaan dari PBB sebesar Rp 85.950.636 dan rata-rata pendapatan per kapita adalah Rp 2.036.956 sedangkan UMR yang berlaku adalah Rp 435.000. Mata pencaharian utama penduduk di sektor pertanian, perburuhan, dan perikanan sebanyak 26.640 orang (71,82 persen); di sektor pertambangan dan penggalian sebanyak 502 orang (1,35 persen); di sektor industri pengolahan sebanyak 587 orang (1,58 persen), sektor listrik, gas dan air sebanyak 29 orang (0,08 persen), di sektor bangunan sebanyak 667 orang (1,80 persen), di sektor perdagangan 2.419
64
orang (6,52 persen); di sektor perhubungan 1.350 orang (3,64 persen); di sektor keuangan 61 orang (0,16 persen) dan di sektor jasa lainnya 4.838 orang (13,04 persen). (Kabupaten Bone Bolango dalam Angka 2005). e. Kesehatan Kondisi kesehatan Kabupaten Bone Bolango berdasarkan; Ketersediaan Fasilitas dan Tenaga Kesehatan Pada tahun 2007, di Kabupaten Bone Bolango terdapat 2 rumah sakit, yaitu RSU Tombulilato dan RS Toto, 14 puskesmas dengan 3 diantaranya merupakan puskesmas perawatan dan satu puskesmas PONED di Kecamatan Suwawa. Rata-rata rasio puskesmas terhadap 100.000 penduduk adalah 9,8 yang berarti bahwa setiap 100.000 penduduk hanya dilayani oleh 9-10 puskesmas. Puskesmas pembantu berjumlah 38 buah dengan rata-rata satu Pustu melayani 2 desa, dan jumlah polindes sebanyak 54 buah. Kondisi tenaga kesehatan secara lebih detail dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2 Kondisi Tenaga Kesehatan di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2007 Tenaga Kesehatan Dokter Spesialis Dokter umum Dokter Gigi Dokter PTT Tenaga Kefarmasian Tenaga Gizi Perawat Bidan Bidan PTT Tenaga Kesehatan Tenaga Sanitasi
Jumlah (orang) 1 34 9 23 6 14 68 52 1 24 21
Rasio per 100.000 penduduk 1,3 25,92 6,86 0,76 10,67 51,85 39,65 16,77 3,05
Target Indonesia Sehat Tahun 2010 6 40 11 100 40 100 117,5 40 40
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Bone Bolango, 2007
Dari tabel di atas terlihat bahwa rasio tenaga kesehatan dibandingkan dengan jumlah penduduk yang harus dilayani masih sangat jauh, dan tidak satupun jenis tenaga kesehatan yang mendekati pencapaian target Indonesia sehat. Dari hasil kunjungan lapangan terungkap bahwa kendala utama yang dihadapi adalah kondisi geografis wilayah yang sulit. Hal tersebut menyebabkan keengganan tenaga medis maupun non medis untuk mau
65
tinggal di lokasi kecamatan atau desa yang terpencil. Jika ada program beasiswa dari Pemerintah Daerah untuk menyekolahkan peduduk lokal di bidang kesehatan, tidak jarang setelah lulus tidak kembali lagi karena sudah merasa nyaman tinggal dan bekerja di kota. Tingkat Kunjungan ke Pusat Layanan Kesehatan Tingkat kunjungan Neonatal (KN) di Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2007 adalah 88,19 %, sedangkan kunjungan bayi mencapai 86,7 %. Kunjungan ibu hamil K1 sebanyak 53,96 % dan K4 sebanyak 49,84, dan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 50,86. Cakupan imunisasi yang tercatat meliputi; BCG sebanyak 49,25 %, DPT1+HB1 sebanyak 67,25 %, DPT3+HB3 sebanyak 69,23 %, Polio sebanyak 50,61 %, Campak sebanyak 48,38 %, dan Hepatitis B sebanyak 45,51 %. Tingkat pelayanan kesehatan kepada ibu hamil yang pada tahun 2007 tercatat sebanyak 3.610 dengan rincian jumlah yang mendapatkan Fe1 sebanyak 62,30 %, dan Fe3 sebanyak 47,67 %. Untuk jumlah imunisasi TT1 sebanyak 29,86 % dan TT2 sebanyak 19,78 %. Cakupan pelayanan kesehatan untuk keluarga miskin, yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sebanyak 23.860 atau sebanyak 56,43 % dari total jumlah penduduk, dan dari jumlah tersebut yang mendapatkan pelayanan kesehatan sebanyak 49,35 %. Pertolongan kelahiran oleh tenaga kesehatan di Bone Bolango baru mencapai 65,2%. Hal ini disebabkan oleh beberapa daerah yang sulit dijangkau, kekurangan tenaga kesehatan khususnya bidan desa serta masih dikenakannya biaya yang lebih tinggi untuk melahirkan di bidan dibandingkan dengan di dukun. Bahkan menurut penerima, kelahiran anak perempuan dan laki-laki dikenakan biaya yang berbeda jika dilakukan di bidan. Selain itu, pada saat dibutuhkan, tidak jarang bidan desa tidak berada di tempat sehingga menyebabkan penduduk mencari alternatif pertolongan melahirkan di dukun. Akan tetapi, masih tingginya permintaan pertolongan melahirkan di dukun juga disebabkan oleh keterbatasan informasi bahwa masyarakat miskin dan sudah memiliki jamkesmas akan mendapatkan pelayanan gratis untuk melahirkan. Angka Gizi Kurang dan Gizi Buruk Berdasarkan hasil survey Riskesdes (Riset Kesehatan Dasar) Departemen Kesehatan tahun 2007, tercatat bahwa Kabupaten Bone Bolango menduduki rangking pertama di Provinsi Gorontalo dalam hal prevalensi balita penderita guzi kurang + buruk, yaitu sebesar 27,2 %. Angka tersebut
66
berada di bawah rata-rata Provinsi (25,4%), sementara target MDGs tahun 2015 sebesar 18,5 % dan target nasional perbaikan gizi 2015 sebesar 20%. Secara lebih detail kondisi gizi kurang dan gizi buruk di Provinsi Gorontalo dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 4.3 Persentase Balita Menurut Status Gizi di Provinsi Gorontalo Tahun 2007
Kabupaten/K ota Boalemo Gorontalo Pohuwato Bone Bolango Kota Gorontalo Gorontalo
Gizi Buruk 7,5 8,5 8,8 9,9 6,4 8,2
Kategori Status Gizi BB/U* Gizi Gizi Baik Gizi Lebih Kurang 16,9 73,3 2,3 18,9 70,8 1,9 14,8 71,9 4,4 17,3 69,7 3,1 15,4 71,6 6,6 17,2 71,3 3,3
Sumber: Riskesdes, 2007, *BB/U: Berat Badan Menurut Umur
Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu Berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten Bone Bolango 2007, pada tahun 2006, Angka Kematian Bayi (AKB) Kabupaten Bone Bolango sebesar 10,8 per 1000 KLH, dan pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 8,5 per 1000 KLH. Jika dibandingkan dengan salah satu kabupaten sampel yang lain, misalnya Sidoarjo tahun 2007 (12,65 per 1000 KLH), angka tersebut masih lebih baik. Untuk Angka Kematian Balita (AKABA) tahun 2006 sebesar 4,4 per 1000 KLH, dan tahun 2007 sbesar 2,0 per KLH. Angka tersebut sudah jauh melamapaui target Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 sebesar 58 per 1000 KLH. Sedangkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 sebesar 195 per 100.000 KLH. Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan target AKI 2010 sebesar 150 per 100.000 KLH. AKB, AKABA, maupun AKI di Kabupaten Bone Bolango sangat dipengaruhi oleh kurangnya kuantitas dan kualitas tenaga bidan terutama di daerah-daerah terpencil serta kelangkapan sarana dan prasarana pelayanan Obstetrik dan Neonatal, dan masih banyaknya praktik dukun untuk pertolongan persalinan.
67
f.
Alokasi Anggaran Kesehatan
Pada tahun 2007, anggaran kesehatan untuk Kabupaten Bone Bolango sebesar 11,9 milyar atau sebesar 2,34 % dari total APBD kabupaten sebesar 513,3 milyar. Dari jumlah tersebut alokasi untuk belanja langsung sebanyak 4,7 milyar dan belanja tidak langsung 4,7 milyar, APBD Kabupaten 9,4 milyar, APBD Provinsi 1,2 milyar, dan PHLN 1,3 milyar. Jika dilihat dari angka per kapita, jumlah anggaran kesehatan perkapita sebesar 3.913,97.
4.3.2 Pelaksanaan PKH di Kabupaten Bone Bolango a.
Pengamatan Umum
Tim Koordinasi (TK) PKH tingkat Kabupaten Bone Bolango dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bone Bolango Nomor: 95 Tahun 2007, tanggal 24 April 2007 tentang “Pembentukan Tim Koordinasi Program Keluarga Harapan Kabupaten Bone Bolango. Pembentukan tim koordinasi ini cukup awal dilakukan setelah mendapatkan sosialisasi di tingkat provinsi dibandingkan dengan dua kabupaten lain yang disurvei di Jawa Timur yang terlambat. Meskipun demikian, pada saat pembentukan pertama kali belum mencantumkan Dinas Informasi Komunikasi, padahal dinas inilah yang seharusnya berperan besar dalam sosialisasi awal program digulirkan. Banyaknya pergantian kepala dinas, termasuk kepala Bappeda yang menjadi ketua tim koordinasi juga menjadi kendala tersendiri karena transfer wewenang dan informasi tidak dilakukan dengan optimal. SK Tim Koordinasi harus segera dilakukan perubahan dan menambahkan SKPD atau pihak terkait di daerah yang manjadi ujung tombak koordinasi di tingkat kabupaten. Pada tahun 2007, Kabupaten Bone Bolango mendapatkan alokasi PKH sebanyak 2 kecamatan dari 17 kecamatan (awalnya 5 kecamatan pada tahun 2003) yang ada, dengan jumlah 1.156 RTSM dengan 6 pendamping. Pada tahun 2008, kabupaten Bone Bolango mendapat tambahan alokasi di 5 kecamatan, dengan jumlah 5.373 RTSM dan 23 pendamping baru. Dampak PKH sementara yang dapat ditemukan di Kabupaten Bone Bolango terhadap kenaikan angka partisipasi sekolah, dilihat dari adanya peningkatan jumlah siswa di sekolah-sekolah, misalnya di SD Desa Pinogu yang semula hanya 9 siswa menjadi 37 siswa. Hal ini diakui oleh sekolahsekolah yang berada di lokasi-lokasi sulit yang awalnya sulit menarik siswa,
68
sekarang telah mendapatkan tambahan siswa, dan pihak orang tua RTSM juga mulai sadar dengan pentingnya pendidikan berkat peran aktif pendamping dalam memberikan pemahaman. Selain itu, telah terjadi perubahan perilaku terhadap kesehatan, dimana rumah tangga miskin memberikan perhatian lebih terhadap kesehatan keluarga mereka. Strategi yang dilakukan para pendamping misalnya, menginformasikan kepada RTSM dalam forum kelompok ibu-ibu bahwa bantuan akan langsung dihentikan jika RTSM tidak memenuhi persyaratan yang ada dalam PKH. Hasil FGD dengan Tim Koordinasi Kabupaten pada pertemuan awal survey tanggal 22 Oktober 2008 dan wawancara dengan dinas-dinas dan pihak terkait selama di lapangan, didapatkan beberapa permasalahan yang dihadapi di tingkat Tim Koordinasi Kabupaten antara lain:
Koordinasi: Permasalahan utama koordinasi adalah adanya
penggantian pimpinan pada instansi-instansi yang menjadi Tim Koordinasi inti dari pelaksanaan PKH di tingkat Kabupaten, terutama penggantian Kepala Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Infokom. Meskipun demikian, Bupati cukup memberikan komitmen kepada jajarannya untuk melaksanakan koordinasi dengan sebaik-baiknya. Bahkan, intervensi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan mencapai 60% dari total dari APBD kabupaten. Bupati juga sangat rajin turun ke lapangan memberikan bantuan PKH secara alngsung kepada penerima pada saat pencairan dana dengan memberikan motivasi kepada para penerima. Rapat tim koordinasi PKH Kabupaten secara lengkap yang seharusnya dilaksanakan secara rutin ternyata baru dilaksanakan satu kali. Selain itu, Bappeda sebagai ketua tim teknis dari Tim Koordinasi PKH Kabupaten Bone Bolango tidak banyak mengetahui mengenai berbagai usulan terkait kebutuhan untuk mendukung pelaksanaan PKH. Hal tersebut terjadi karena surat pengajuan usulan dana dari UPPKH Kabupaten langsung diberikan kepada Bupati tanpa tembusan ke Bappeda. Koordinasi di tingkat kecamatan dan desa penerima PKH juga dilakukan secara intensif oleh Dinas Sosial bersama dinas terkait dan para pendamping, meskipun mengalami kendala banyaknya pemekaran wilayah
69
kecamatan atau desa sebagaimana terjadi di daerah lain. Terkait dengan alokasi anggaran untuk operasional UPPKH dan pendamping, pihak pemerintah daerah telah merencanakan untuk menyediakan 4 sepeda motor untuk kecamatan induk dalam rangka mendukung pelaksanaan koordinasi dan tugas operator maupun pendamping. Selain itu, tambahan insentif bagi pendamping, sebaimana telah diterapkan di
Kota Goprontalo oleh
pemerintah kota setempat, pihak Dinas Sosial dan Bappeda sedang dalam proses pembahasan dengan Bupati Bone Bolango. Koordinasi antar program penanggulangan kemiskinan, seperti BOS, BLT, Jamkesmas, dan PNPM yang ada di kabupaten juga belum terjadi dengan baik. Masing-masing program seolah berjalan sendiri-sendiri dan pemahaman terhadap konsep penanggulangan kemiskinan yang oleh pemerintah dibagi menjadi tiga klaster (bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan Pemberdayaan UMK) belum tersosialisasi dengan baik. Sosialisasi: Secara umum, sosialisasi dari tingkat kabupaten sampai penerima di tingkat desa sudah dilakukan dengan baik, hal ini didukung oleh beberapa hal sebagai berikut; -
Adanya MoU antara Pemda Bone Bolango dengan pihak media massa lokal (Harian Tribun Gorontalo) dan televisi lokal (GO TV) dalam hal sosialisasi dan liputan seluruh kegiatan dan program yang dilakukan Pemda setempat termasuk PKH. Meskipun demikian, beberapa pihak ada yang menyayangkan penggunaan media cetak dan elektronik tersebut mengarah pada kepntingan politik.
-
Pada acara-acara dinas yang dihadiri lintas sektor, Kepala Dinas Sosial (sebelumnya menjabat sebagai Kabag Humas Dinas Infokom) dan Dinas Infokom selalu aktif menyelipkan informasi terkait PKH.
-
Dibentuknya Bako Humas di setiap Satker Dinas di kabupaten untuk memantau dan memberikan semua informasi program atau kegiatan di kabupaten termasuk PKH.
-
Pada acara-acara informal, pesta pernikahan, kematian dan berbagai pertemuan informal lain sering disampaikan hal-hal terkait PKH. Salah satu contoh yang dilakukan pemerintah daerah
70
Kabupaten Gorontalo adalah dengan program pemberian bantuan sapi kepada keluarga miskin, baik penerima maupun non penerima PKH sebanyak 5000 ekor pada tahun 2007 dan 7500 ekor pada tahun 2008. Program tersebut akan dilanjutkan dengan pengadaan ternak unggas pada tahun 2009. Adanya upaya sosialisasi secara berkesinambungan denga memanfaatkan media massa lokal baik cetak mupun elektronik maupun berbagai sarana seperti yang telah disebutkan diatas, membuktikan adanya peningkatan pemahaman kepada masyarakat secara umum, baik penerima maupun bukan penerima PKH. Masyarakat sudah bisa membedakan dengan program bantuan lain seperti BLT yang tidak mensyaratkan kondisi tertentu dan mendapatkan pemahaman sederhana bahwa PKH adalah bantuan untuk peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan bagai masyarakat sangat miskin.
Verifikasi: Sampai dengan evaluasi dilakukan, secara umum
verifikasi kehadiran di pusat-pusat layanan kesehatan masih belum dilakukan. UPPKH Pusat pernah mengirimkan format verifikasi pada bulan Maret-April 2008 melalui kantor pos, akan tetapi data dan informasi yang tertuang dalam format tersebut ternyata masih belum tepat, sehingga belum bisa dilakukan penentuan besaran bantuan kepada RTSM penerima PKH berdasarkan laporan manual dari fasdik maupun faskes melalui pendamping dengan bantuan UPPKH Kabupaten/Kota untuk dikirim ke UPPKH Pusat, dan sistem IT aplikasi program verifikasi pun belum ada. Sebagai contoh, ada nama penerima yang tidak tercantum di salah satu fasdik atau faskes padahal penerima tersebut selalu datang ke fasdik atau faskes tersebut. Selain itu, adapula nama penerima yang terdaftar di fasdik atau faskes di daerah lain. Pendamping telah berusaha memperbaiki informasi di dalam format verifikasi dan telah disampaikan ke masing-masing fasdik dan faskes. Beberapa fasdik dan faskes memang telah melakukan verifikasi, dan format verfikasi telah diserahkan kembali ke pendamping. Akan tetapi, UPPKH Pusat menarik kembali format tersebut dan ternyata format tersebut akan direvisi kembali.
71
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pendamping, pembayaran yang dilakukan setelah format verifikasi dikirim kembali ke UPPKH Pusat tetap sama dengan pembayaran pada tahap-tahap sebelumnya. Dengan kata lain, hasil verifikasi masih belum digunakan sebagai dasar untuk perhitungan pembayaran. Permasalahan yang ditemui dalam proses verifikasi adalah tidak hanya kurang pahamnya penyedia layanan kesehatan dan pendidikan dalam mengisi format verifikasi, tetapi juga dalam hal distribusi format verifikasi oleh kantor pos. Pendistribusian format verifikasi tidak dilakukan per fasdik atau faskes melainkan diserahkan ke masing-masing desa. Akibatnya, pendamping yang membantu untuk menyebarkan ke masing-masing fasdik dan faskes perlu mengelompokkan kembali berdasarkan fasdik dan faskesnya.
UPPKH
(Operator
&
Pendamping):
Sistem
IT
yang
digunakan di kantor UPPKH Kabupaten saat ini sudah bisa berjalan, namun beberapa operator masih mengeluhkan seringnya error atau lambatnya akses ketika melakukan entry data terutama entry data verifikasi. Data RTSM yang berdasarkan hasil validasi sudah tidak eligible (tidak memenuhi syarat) dan sudah digugurkan sebagai peserta PKH, namun masih dapat diakses dalam sistem dan dapat dilakukan perubahan data. Pada saat dilakukan kunjungan ke kantor UPPKH kabupaten dan UPPKH Kecamatan, ternyata belum semua pendamping membuat laporan rutin mengenai tugas-tugas dan kegiatan yang dilakukan baik secara mingguan atau bulanan, termasuk mengenai pengaduan dari masyarakat. Hal ini akan menyulitkan Tim UPPKH Pusat untuk mengevaluasi apakah pendamping telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, karena tidak ada bukti tertulis yang bisa dijadikan pegangan. Meskipun demikian, pendamping telah melakukan kunjungan ke rumah-rumah penerima minimal satu kali. Pendamping juga telah memfasilitasi
terbentuknya
kelompok-kelompok
ibu
penerima
PKH.
Kelompok-kelompok ibu ini rutin melakukan pertemuan setiap satu bulan
72
sekali karena kegiatan pertemuan juga digunakan untuk pelaksanaan arisan kelompok. Tingkat kehadiran dari ibu-ibu penerima PKH di dalam pertemuan kelompok cukup tinggi, yaitu sekitar 95% karena pendamping memberikan sanksi yang mengatakan bahwa jika penerima tidak hadir sebanyak tiga kali dalam pertemuan kelompok, maka bantuan akan dihentikan. Pemberian sanksi ini cukup efektif untuk membuat ibu-ibu penerima hadir dalam pertemuan kelompok, akan tetapi tidak ada didalam pedoman pelaksanaan PKH, sehingga akan menimbulkan masalah jika memang ada ibu penerima yang tidak hadir sampai tiga kali. Walaupun pendamping telah memahami konsep dan operasionalisasi PKH, akan tetapi pendamping masih belum secara rutin menyusun laporan mingguan dan bulanan seperti yang diatur didalam Buku Kerja Pendamping. Pengaduan dari penerima PKH tidak dimasukkan kedalam format pengaduan dan tidak dibuat didalam format laporan, padahal beberapa pengaduan telah berhasil diselesaikan oleh pendamping. Hal ini menyulitkan bagi UPPKH Pusat untuk menilai kinerja dari pendamping. Pengaduan yang masuk dari penerima terkait dengan pelayanan kesehatan umumnya karena penerima diminta untuk membayar terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan karena penerima tidak memiliki jamkesmas. Hal ini terjadi pada saat awal pelaksanaan PKH dimana pemberi layanan kesehatan masih belum memahami bahwa penerima PKH juga mendapat layanan jamkesmas. Permasalahan tersebut sudah ditangani oleh Dinas Kesehatan setempat, dimana telah ditetapkan bahwa penerima PKH adalah
juga
penerima
mengalokasikan
dana
Jamkesmas. Jamkesda
Selain
itu,
untuk melayani
Pemda
juga
telah
seluruh penduduk
Kabupaten Bone Bolango. Dengan demikian, otomatis penerima PKH akan mendapat pelayanan kesehatan gratis. Hal positif yang dilakukan pendamping terutama di Kabupaten Bone Bolango misalnya adanya inisiatif dari para pendamping yang membimbing RTSM untuk memanfaatkan dana bantuan diarahkan pada aktivitas yang produktif dalam rangka meningkatkan penghasilan RTSM. Upaya tersebut dikoordinasikan ketika pertemuan kelompok ibu-ibu, bahkan beberapa
73
pendamping ada yang menyatakan akan memberikan sanksi kepada RTSM jika dalam pertemuan kelompok ibu-ibu ada yang sengaja tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
b.
Kesiapan Penyedia Layanan Kesehatan -
Puskesmas
Pemerintah Daerah telah memberikan komitmennya untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh penduduk Kabupaten Bone Bolango melalui program Jamkesda untuk melengkapi program Jamkesmas yang telah diluncurkan pemerintah pusat. Selain itu, dalam rangka peningkatan gizi masyarakat terutama balita, telah dibangun pusat pelayanan gizi yang melayani seluruh masyarakat. Dari 14 puskesmas yang ada, 3 diantaranya merupakan puskesmas perawatan dan satu puskesmas PONED. Secara umum sudah menjadi sarana utama untuk pemeriksaan kesehatan masyarakat Bone Bolango. Sampai dengan akhir tahun 2008, dinas ksehatan kabupaten telah merencanakan sedikitnya terdapat 18 puskesmas induk, dilengkapi dengan pembangunan 40 poskesdes (seperti pustu) terutama untuk menjangkau desa-desa yang terpencil. Selain itu, dinas kesehatan juga menggalakkan adanya Pos Obat Desa (POD) dan menugaskan juru imunisasi (Jurim) ke desa-desa terpencil untuk memenuhi persyaratan PKH. Kondisi umum yang terjadi di puskesmas misalnya tidak adanya pencatatan khusus terkait peserta PKH yang melakukan pemeriksaan kesehatan di puskesmas. Meskipun demikian, secara umum semua keluarga miskin termasuk RTSM penerima PKH tidak ada yang ditolak ketika berobat ke puskesmas. Selain program Jamkesmas yang diterapkan secara nasional, Pemerintah daerah Kabupaten Bone Bolango juga menerapkan adanya Jamkesda yang dialokasikan untuk RTSM dan keluarga miskin yang tidak tercover PKH. Salah satu desa terpencil yang menjadi lokasi PKH adalah desa Pinogu dengan jumlah penerima PKH sebanyak 397 RTSM. Akses yang bisa dijangkau adalah dengan berjalan kaki selama kurang lebih 15 jam perjalanan atau ojek dengan sepeda motor yang dirancang khusus dengan biaya Rp 200 ribu sekali perjalanan. Ketika pencairan awal dana PKH, para pendamping berinisiaif untuk bersama-sama berangkat sebanyak 8 orang (2 pendamping asli dari desa Pinogu) dengan biaya iuran masing-masing
74
terkumpul Rp 350.000. Berangkat dari kantor sekretariat pada pukul 05.30 WITA dan tiba di desa Pinogu pukul 21.oo WITA, sehingga setiap pencairan dana PKH harus bermalam di lokasi. Akses terhadap puskesmas jauh sehingga para kader posyandu setempat senantiasa menginformasikan kepada setiap ada ibu hamil, minimal satu bulan sebelum kelahiran harus sudah “turun gunung” dengan “ditandu” ke desa yang terdekat dengan puskesmas atau desa yang terdapat bidannya. Meskipun demikian, masih banyak ibu hamil yang menggunakan dukun untuk menolong proses persalinannya, bahkan ada yang terlambat dibawa turun gunung sampe mengalami pecah ketuban dan dalam waktu 2 minggu belum bisa melahirkan yang berakhir pada meningggalnya bayi di dalam kandungan. Berdasarkan laporan dari pendamping dan juga petugas puskesmas, masih terdapat penerima PKH yang belum memiliki Jamkesmas dan hal ini menyebabkan dikenakannya biaya pada penerima PKH oleh petugas puskesmas. Petugas puskesmas terpaksa melaksanakan hal tersebut karena tidak ada arahan yang jelas bahwa penerima PKH juga merupakan penerima Jamkesmas. Selain itu, jika penerima PKH dibebaskan dari biaya, tidak ada bukti yang dapat digunakan oleh puskesmas untuk melakukan klaim terhadap pelayanan yang telah diberikan. Beberapa penerima yang tidak memiliki kartu Jamkesmas telah dianjurkan untuk membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Akan tetapi, masa berlaku SKTM hanya sampai dengan Oktober 2008, dan setelah itu hanya kartu Jamkesmas yang berlaku. Hal ini akan menjadi masalah lagi pada saat penerima PKH yang tidak memiliki kartu Jamkesmas akan berobat ke puskesmas.
-
Bidan
Jumlah bidan desa yang ada di seluruh Kabupaten Bone Bolango masih sangat kurang sehingga tidak semua desa memiliki bidan. Tidak jarang satu bidan melayani beberapa desa sekaligus dan bidan tersebut bukan berasal dari desa atau kecamatan setempat sehingga isu bidan desa pindah karena mengikuti suami setelah menikah menjadi permasalahan tersendiri yang sering dihadapi. Upaya pemerintah daerah untuk memberikan beasiswa
75
kepada penduduk setempat yang mampu dan mau melanjutkan sekolah kebidanan juga tidak menjamin setelah lulus bersedia ditempatkan di desa terpencil yang benar-benar mebutuhkan bidan. Kasus terkait kesiapan bidan yang ditemukan misalnya ada RTSM yang tidak masuk sebagai penerima PKH karena pada saat pendataan dan falidasi tidak ada di rumah. Suami istri sering menginap dan bekerja di hutan mencari madu atau membuka lahan untuk bertani, sehingga pada saat pendataan dan falidasi tidak dapat ditemui. RTSM ini sudah 7 kali melahirkan dan anak yang pertama kembar sehingga jumlah yang sudah dilahirkan 9 anak, namun hanya 1 anak yang masih hidup berusia 8 tahun dan pada saat survey masih dalam keadaan hamil yang ke delapan yang sudah berusia 7 bulan. Setiap melahirkan dia selalu menggunakan jasa dukun, bahkan pernah mengalami melahirkan hanya dengan bantuan suaminya, sehingga resiko kematian bayi sangat besar. Seumur hidupnya tidak pernah periksa kesehatan dengan alasan takut suntik, para tetangga sudah menasehati namun tidak pernah didengar, dan tidak satupun bidan yang pernah datang ke rumahnya untuk memberikan penyuluhan kesehatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pendamping, masih banyak petugas kesehatan, baik tenaga kesehatan di puskesmas dan bidan desa yang belum memahami dengan baik mengenai PKH terutama tugas mereka untuk mengisi format verifikasi kehadiran peserta PKH di pusatpusat layanan kesehatan. Beberapa petugas kesehatan bahkan menanyakan mengenai insentif yang akan mereka terima jika mereka membantu program PKH. Hal ini terjadi karena sampai saat survei dilakukan, belum ada sosialisasi khusus mengenai PKH kepada pemberi layanan kesehatan, dan informasi PKH mereka peroleh umumnya dari pendamping.
76
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1
KESIMPULAN 5.1.1 Pelaksanaan PKH Secara Umum Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2007 yang
masih menjadi Pilot Project di 7 (tujuh) provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo secara umum masih mengalami berbagai macam kendala, baik di tingkat Tim Koordinasi pusat dan daerah, Tim Pelaksana di tingkat pusat dan daerah, maupun ujung tombak pelaksana di tingkat palin bawah (pendamping dan operator). Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hasil kunjungan lapangan di 3 (tiga) provinsi antara lin: 1.
Pendataan Basis data yang berasal dari survey BPS 2005 masih banyak
kekurangan di sana-sini, meskipun proses validasi dan updating data sudah dilakukan. Di setiap daerah yang dilakukan survey masih selalu ditemukan ketidaksesuaian data dengan kondisi rill masyarakat yang menjadi sasaran program (RTSM), misalnya; a. Terdapat beberapa RTSM yang kondisinya lebih memprihatinkan daripada RTSM penerima PKH, namun tidak masuk sebagai penerima PKH, bahkan juga bukan penerima BLT dan Jamkesmas. b. RTSM yang bekerja atau mempunyai aktivitas di gunung/hutan di daerah-daerah terpencil masih banyak yang tidak tersentuh pendataan. c. Adanya mobilisasi RTSM dari satu daerah ke daerah lain terutama di daerah perkotaan yang menimbulkan banyaknya pemulung,
77
pengemis, pengamen yang akhirnya menetap di kota tanpa identitas yang jelas dengan standar kehidupan yang buruk merupakan masalah dan tantangan tersendiri, termasuk dalam hal pendataan. d. Hasil pengaduan dari non penerima tidak cepat mendapatkan tanggapan, karena mekanisme tindak lanjut dari pengaduan masih belum berjalan. e. Pendataan fasdik dan faskes belum optimal, karena masih ada beberapa informasi yang kurang tepat (nama dukun menjadi nama bidan, nama posyandu disebut sebagai klinik, salah penulisan nama, dan lain-lain).
2.
Sosialisasi a. Sosialisasi secara umum sudah berjalan dengan baik dan merata karena di beberapa daerah didukung oleh adanya MoU antara Pemda dengan media cetak dan elektronik lokal, meskipun pada awal-awal program diluncurkan masih banyak kendala yang dihadapi. Di sisi lian, penggunaan media cetak dan elektronik lokal juga ada yang tidak lepas dari kepentingan politik di daerah, sehingga pelaksanaannya harus dimonitor dengan baik. b. Sosialisasi menggunakan mekanisme kerjasama dengan Ormas yang dilakukan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi di tingkat Pusat, disetujui
terbukti kurang efektif, provokatif, dan kurang
pemerintah
daerah.
Selain
menimbulkan
ketidakharmonisan, dalam pelaksanaan juga terjadi penyimpangan informasi mengenai PKH, serta tidak melibatkan instansi terkait (Dinas Infokom atau Badan Humas di daerah). c. Bagi daerah atau Pemda yang telah mengalokasikan dana untuk mendukung pelaksanaan sosialisasi di setiap kecamatan, sosialisasi kepada penyedia layanan kesehatan sampai dengan pelaksana di tingkat lapangan bisa berjalan dengan baik. Namun, bagi daerah
78
yang belum melakukan hal yang sama, pemahaman para pelaksana di lapangan tantang PKH umumnya kurang karena kurangnya upaya sosialisasi yang lebih intensif. d. Pemahaman para pendamping dan Dinas terkait mengenai program-program kemiskinan lain seperti Jamkesmas, BOS, Raskin, dan PNPM masih sangat terbatas, sehingga kurang efektif dalam memberikan informasi kepada RTSM dan masyarakat yang menanyakan mengenai hal-hal tersebut. e. Kurangnya sosialisasi ke daerah-daerah terkait penyediaan dana pendukung kegiatan PKH melalui APBD (operasional, insentif pendamping, koordinasi, lain-lain)
3.
Verifikasi Komitmen a. Verifikasi komitmen belum sepenuhnya berjalan dan digunakan sebagai dasar penghitungan pembayaran. Format verifikasi yang pernah dibagikan pada bulan Maret-April 2008, ditarik kembali oleh UPPKH Pusat, padahal pendamping sudah memperbaiki informasi yang ada dalam format tersebut dan disampaikan ke penyedia layanan pendidikan dan kesehatan. Beberapa penyedia layanan pendidikan dan kesehatan bahkan sudah mulai mengisi format tersebut dan sudah diambil kembali oleh pendamping. b. Secara
umum,
pihak
penyedia
layanan
kesehatan
sudah
mengetahui mengenai format verifikasi dan kewajiban untuk mengisi format tersebut. Walaupun demikian, masih terdapat beberapa
pihak
penyedia
layanan
kesehatan
yang
kurang
memahami cara pengisian format verifikasi. c. Ada inisiatif puskesmas yang membuat dan mencetak sendiri form verifikasi layanan kesehatan dengan anggaran puskesmas untuk memudahkan pemantauan dan pencatatan karena belum ada format verifikasi yang dikirim lagi oleh UPPKH Pusat.
79
d. Secara umum sekolah maupun puskesmas tidak mempunyai data khusus RTSM penerima PKH. Kepala Puskesmas/sekolah baru minta daftar lengkap RTSM yang ada pada wilayah kerja mereka setelah ada kunjungan Tim dari Jakarta. Di beberap lokasi, pendamping sudah menyampaikan daftar penerima PKH ke puskesmas tetapi masih dengan tulisan tangan karena data yang ada dalam format verifikasi tidak tepat dan harus diperbaiki oleh pendamping. e. Terdapat peningkatan kunjungan ke Puskesmas yang cukup signifikan dan melampaui target kunjungan yang ditetapkan di puskesmas. Pihak puskesmas merasakan manfaat dengan adanya PKH karena membantu mereka mencapai target yang ditetapkan. f. Belum semua RTSM memiliki buku KIA sebagai buku kontrol dari Dinkes/ puskesmas karena jumlah yang dibagikan kurang. Buku KIA juga belum tentu terisi secara lengkap baik karena petugas puskesmas atau bidan atau petugas pelayanan kesehatan tidak mengisi atau karena ibu penerima PKH tidak membawa KIA pada saat kunjungan. g. Pengirim format verifikasi oleh kantor pos tidak dilakukan sampai kepada penyedia pelayanan pendidikan dan kesehatan. Kantor pos umumnya memberikan format tersebut kepada UPPKH Kabupaten dan pendamping membantu menyebarkannya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah pengelompokan fasdik dan faskes dilakukan berdasarkan desa bukan per fasdik atau faskes, sehingga perlu waktu untuk memilah-milah untuk setiap fasdik dan faskes.
4.
Penanganan Pengaduan a. Banyak pengaduan yang belum ditindaklanjuti (masuk pendataan dan validasi tetapi tidak menerima kartu PKH).
80
b. Usulan dimasukkannya RTSM yang ketika pendataan dan validasi tidak tercatat karena tidak berada di rumah belum ada tindak lanjut yang jelas. c. Pengaduan dari penerima serta tindak lanjut yang telah dilakukan belum dicatat dengan baik oleh pendamping. d. Ada data RTSM yang dari hasil validasi sudah tidak memenuhi syarat dan sudah digugurkan, namun masih ada dan dapat diakses di dalam sistem. e. Proses entri data sering mengalami error/lambat karena kapasitas yang terbatas di UPPKH Pusat dan harus menerima informasi dari berbagai kabupaten/kota pada saat yang bersamaan.
5.
Pendamping a. Adanya inisiatif pendamping untuk membimbing RTSM dalam hal merintis
usaha
kecil
untuk
menambah
penghasilan
yang
dikoordinasikan dalam rapat kelompok Ibu-ibu (usaha susu kedelai, dan membuka warung es di Sidoarjo, usaha ikan hias di Kediri). Di Kabupaten Bone Bolango, kelompok-kelompok ibu juga mengadakan arisan kelompok pada saat pertemuan dilakukan. b. Untuk menjaga tingkat kehadiran dari para ibu penerima PKH di setiap pertemuan kelompok, beberapa pendamping berinisiatif membuat aturan yang menyatakan akan memberikan sanksi penghentian pemberian bantuan jika ibu penerima tidak hadir sebanyak tiga kali dalam pertemuan kelompok. c. Belum jelasnya asuransi kesehatan bagi pendamping terutama karena lokasi RTSM yang sulit dijangkau dan berbahaya, serta exit strategy bagi para pendamping setelah program selesai belum dipikirkan. Pendamping mulai merasakan kejenuhan dengan tugas-tugas rutin yang dilakukan.
81
d. Kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau dan tidak sebanding dengan upah yang diterima dan resiko yang harus ditanggung masih ditemukan (Pinogu, Bone Bolango). e. Belum semua pendamping melaksanakan tugas untuk membuat laporan rutin mengenai kegiatan yang dilakukan secara mingguan dan bulanan, maupun mengenai pengaduan dari peserta PKH yang telah atau belum dapat diselesaikan. Hal ini akan menyulitkan tim UPPKH Pusat untuk mengevaluasi apakah pendamping telah melaksanakan tugas-tugasnya.
6.
Koordinasi Pelaksanaan PKH: a. Koordinasi di tingkat kabupaten masih sering terkendala dengan adanya pergantian kepala SKPD/Bappeda yang tidak diikuti dengan transfer knowledge yang memadai). b. Banyak terjadi pemekaran kecamatan dan desa yang menyulitkan koordinasi dengan aparat di tingkat desa. c. Kurangnya kejelasan dan koordinasi PT Pos Pusat dengan PT Pos Daerah (PT Pos mengeluh kekurangan SDM tanpa ada upaya mencari solusi yang jelas).
5.1.2 Dampak terhadap Penyediaan Pelayanan Kesehatan Selama pelaksanaan PKH yang sampai dengan akhir 2008 Desember sudah memasuki pencairan periode ke dua dengan penambahan di 6 Provinsi lain di Indonesia (NAD, Sumatera Utara, DIY, Banten, NTB, Kalimantan Selatan), diharapkan dapat mempercepat peningkatan pelayanan kesehatan, sehingga kualitas kesehatan RTSM juga akan meningkat. Meskipun demikian, dari hasil evaluasi di 3 Provinsi yang telah dilakukan kunjungan lapangan, pada pelaksanaan tahap awal tahun 2007 masih terdapat banyak kekurangan di berbagai sektor, antara lain:
82
1. Koordinasi program Jamkesmas dengan PKH di beberap daerah belum terjadi, peserta PKH masih banyak yang belum mempunyai kartu Jamkesmas. 2. Masalah utama yang terjadi terkait rendahnya akses RTSM terhadap pelayanan kesehatan bukanlah karena kurangnya fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah daerah, karena fasilitas dan sarana penyedia layanan kesehatan secara umum mudah dijangkau, bahkan
sampai daerah-daerah terpencil.
Masalah utama sebenarnya adalah SDM bidang kesehatan (bidan desa) yang masih sangat kurang terutama di daerah-daerah yang kondisi geografisnya sulit, misalnya di kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. 3. Pada pelaksanaan di lapangan, masih ditemukan ada bidan desa yang menarik pungutan kapada RTSM yang memeriksakan kesehatan, berobat/melahirkan terutama di luar jam kerja bidan. 4. Kurangnya sosialisasi secara intensif kepada RTSM dan karena faktor budaya masyarakat, masih banyak di temukan RTSM yang memeriksakan kesehatan ke dukun dengan alasan cocok dan takut membayar mahal jika ke bidan. Jika dibandingkan dengan sebelum adanya PKH, kunjungan RTSM ke pusat-pusat layanan kesehatan masyarakat, seperti bidan dan Puskesmas mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada pencatatan yang dilakukan oleh bidan maupun puskesmas, meskipun di beberapa daerah banyak sekali puskesmas yang tidak mempunyai pencatatan atau rekapitulasi khusus mengenai jumlah kunjungan yang membedakan antara RTSM dan bukan RTSM. Dari hasil wawancara dengan RTSM penerima PKH, terungkap bahwa alasan peningkatan kunjungan mereka ke pusat-pusat layanan kesehatan bukanlah karena memang sudah benar-benar memahami pentingnya pemeriksaan kesehatan terutama untuk ibu hamil, ibu menyusui, maupun anak-anak balita mereka. Kunjungan RTSM ke pusat-pusat layanan
83
kesehatan masih banyak dilatarbelakangi oleh takutnya bantuan PKH ditarik kembali, karena mereka mendapatkan pemahaman seperti itu dari pendamping. Partisipasi dan komitmen yang diberikan oleh Pemda di beberapa daerah sudah banyak menunjukkan kemajuan dan mendukung pelaksanaan PKH. Adanya dukungan anggaran melalui Jamkesda untuk mengantisipasi kekurangan alokasi Jamkesmas.
5.2
REKOMENDASI Program keluarga Harapan (PKH) yang idelanya dilaksanakan secara
nasional, namun sampai akhir tahun 2008 dan rencana untuk tahun 2009 masih dalam tahap uji coba dengan upaya perluasan wilayah. Hal ini memerlukan kerja keras dan koordinasi yang lebih intensif dari semua pihak yang terlibat dari tingkat pusat dan daerah. Beberapa hal yang dapat direkomendasikan antara lin; 5.2.1 Pelaksanaan PKH Secara umum Dari hasil uraian di atas, beberapa rekomendasi terkait pelaksanaan PKH secara umum, antara lain: 1.
Pendataan a. Perlu dipikirkan mekanisme pendataan untuk wilayah dengan kondisi geografis yang sulit dan RTSM sering tidak berada di rumah.
Untuk
wilayah
perkotaan
perlu
dipikirkan
RTSM
pendatang yang banyak tinggal di permukiman-permukiman kumuh dan menyewa rumah/tanah dalam jangka waktu cukup lama. b. Mekanisme penanganan pengaduan yang telah disusun perlu dilaksanakan secara tepat. c. Perlu dipertimbangkan untuk memverifikasi pengaduan dari non penerima yang telah masuk, terutama untuk mengganti RTSM yang telah dinyatakan tidak eligible sebagai penerima PKH pada
84
saat validasi, sehingga alokasi jumlah penerima untuk setiap kabupaten
akan
tetap.
Pendamping
telah
menyatakan
kesanggupan untuk ikut melakukan verifikasi bersama dengan BPS tanpa perlu tambahan honor. d. Data RTSM sebaiknya sudah dikelompokkan per desa dalam satu kecamatan untuk mempermudah dan mempercepat pembayaran. e. Perlu dipertimbangkan untuk mengikutsertakan instansi terkait (Dinsos, Dinkes, Diknas, pendamping, dan aparat desa) dalam pelaksanaan pendataan oleh BPS, terutama terkait dengan pendataan fasdik dan faskes.
2.
Sosialisasi a. Masih diperlukan sosialisasi tambahan, titik berat pada sosialisasi lanjutan terutama untuk penyedia layanan pendidikan dan kesehatan terutama mengenai proses verifikasi kehadiran di pusatpusat layanan pendidikan dan kesehatan (pengisian format-format verifikasi) serta peningkatan kepedulian terhadap RTSM penerima PKH b. Perlu ditambahkan mekanisme komunikasi dari Departemen teknis kepada SKPD di daerah (perlu adanya sosialisasi kepada satuan kerja perangkat daerah) c. Perlu adanya upaya duduk bersama antara pelaksana program PKH dengan program-program kemiskinan lain untuk saling tukar informasi
dan
saling
mendukung
terutama
di
tingkat
kecamatan/desa.
3.
Verifikasi Komitmen a. Perlu adanya sosialisasi/instruksi dari SKPD kepada sekolah/ puskesmas untuk melakukan pencatatan khusus sehingga proses
85
verifikasi mudah dilakukan meskipun form verifikasi terlambat dikirimkan. b. Perlu dipikirkan proses pengiriman form verifikasi yang efisien dan tepat waktu, termasuk pengelompokan fasdik dan faskes pada saat pendistribusiannya c. Perlu disiapkan tenaga khusus yang mengkoordinir hasil verifikasi, baik
untuk
layanan
pendidikan
maupun
kesehatan
yang
berkoordinasi secara intensif dengan pendamping. d. Pendamping diharapkan dapat menghadiri kegiatan pelayanan kesehatan di posyandu atau puskesmas untuk dapat ikut memantau kehadiran peserta. e. Data-data yang telah diperbaiki, supaya segera diinput kedalam database sehingga informasi didalam format verifikasi sudah merupakan informasi terbaru. f. Review mekanisme penanganan pengaduan di tingkat pusat. Perlu disusun mekanisme yang lebih detil terhadap tindak lanjut penanganan pengaduan, misalnya peningkatan peran dinas terkait di tingkat kabupaten.
4.
Pendamping a. Pemberian motivasi dan insentif tambahan terutama untuk daerah dengan kondisi geografis yang sulit b. Perlu mulai dipikirkan untuk exit strategy bagi para pendamping. c. Perlu
adanya
refreshing
untuk
meningkatkan
motivasi
pendamping yang mulai turun dengan pelatihan singkat namun menyenangkan, misalnya dengan konsep outbond. d. Perlu
dipikirkan
pendamping
lama
sistem untuk
TOT
(Trainer
mengantisipasi
of
Trainers)
adanya
dari
turnover
pendamping di lapangan
86
e. Perlu pemantauan secara ketat mengenai pelaksanaan tugas-tugas pendamping oleh UPPKH Pusat. f. Pendamping perlu diingatkan kembali mengenai tugasnya di dalam penanganan pengaduan.
5.2.2 Penyedia Pelayanan Kesehatan Untuk penyedia pelayanan kesehatan, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan untuk memperbaiki pelaksanaan PKH ke depan antara lain: 1.
Perlu koordinasi yang lebih intensif antara UPPKH dengan pihak penyedia layanan kesehatan.
2.
Upaya memenuhi kekurangan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan daerah kepulauan, karena masalah ketersediaan
SDM
untuk
tenaga
kesehatan
lebih
kompleks
dibandingkan dengan penyediaan fasilitas kesehatan. 3.
Perlu adanya petunjuk khusus dari Departemen Kesehatan untuk mendukung pelaksanaan PKH di daerah-daerah. Hal ini untuk menjamin adanya persamaan persepsi dari tingkat pusat sampai daerah tentang hal-hal yang harus disiapkan/dilakukan di daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan PKH.
4.
Perlu adanya sosialisasi dan transfer knowledge yang intensif antara petugas
penyedia
pelayanan
kesehatan
yaitu
puskesmas dan
jaringannya agar RTSM penerima PKH mendapatkan hak-hak mereka sebagaimana mestinya.
87
DAFTAR PUSTAKA
Gertler, Paul and Simone Boyce. 2001. An Experiment in Incentive-Based Welfare: The Impact of PROGRESA on Health in Mexico. UCBerkeley,CA. http://faculty.haas.berkeley.edu/gertler/workingpapers/ PROGRESSA%204-01.pdf Maluccio, J.A. and Flores, R. 2004. Impact Evaluation of a Conditional Cash Transfer Program: The Nicaraguan Red de Proteccion Social. Washington, DC, International Food Policy Research Institute. Morris, Saul, Pedro Olinto, et al, 2004. Conditional Cash Transfers are Associated with a Small Reduction in the Rate of Weight Gain of Preschool Children in Northeast Brazil. American Society for Nutritional Science, Bethesda, MD. http://www.nutrition.org/cgi/ reprint/134/9/2336 Pierre Dubois, Alain de Janvry, and Elisabeth Sadoulet, 2003. Effects on School Enrollment and Performance of a Conditional Transfers Program in Mexico. (April 1, 2003). Department of Agricultural & Resource Economics, UCB. CUDARE Working Paper 981. http://repositories.cdlib.org/are_ucb/981 Ribas, Rafael Perez, Fabio Veras Soares, Guliherma Issamu Hirata, 2008. The Impact of CCTs: What we Know and What We Are Not Sure About. Cash Transfer s: Lesson from African and Latin America. (August, 2008). International Poverty Center, UNDP. Poverty in Focus 15. Soares, Fabio Veras, Sergei Soares, Marcelo Medeiros, Rafael Guerreiro Osorio, 2006. Cash Transfer Programmes in Brazil: Impacts on Inequality and Poverty. (June , 2006). International Poverty Center, UNDP. Working Paper 21. ---------,2006. NTT Dalam Angka Tahun 2006. Kupang: BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. ---------,2006. Sumba Barat Dalam Angka Tahun 2006. Waikabubak: BPS Kabupaten Sumba Barat. ---------,2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006. Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango. ---------,2007. Gorontalo Dalam Angka Tahun 2007. Gorontalo: BPS Provinsi Gorontalo. ---------,2007. Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2007. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur.
88
---------,2007. Laporan Pencapaian Millenium Indonesia 2007. Jakarta: Bappenas-UNDP.
Development
Goals
---------,2007. Pedoman Umum Program Keluarga harapan, Buku 1: Provinsi. Jakarta: BPS. ---------,2007. Profil Kesehatan Kabupaten Kediri. Kediri: Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. ---------,2007. Profil Kesehatan Kabupaten Sumba Barat. Waikabubak: Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Barat. ---------,2007. Sidoarjo Dalam Angka Tahun 2007. Sidoarjo: BPS Kabupaten Sidoarjo. ---------,2008. Pedoman Operasional PKH bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan. Direktorat Jaminan Kesejahteraan Sosial, Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial. Jakarta: Departemen Sosial RI. ---------,2008. Profil Kesehatan Kabupaten Bone Bolango Tahun 2007. Bone Bolango: Dinas Kesehatan Kabupaten Bone Bolango. ---------,2008. “Profil Kesehatan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007”. Sidoarjo: Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo. http://www.eastjava.com. http://dinkesjatim.co.id. http://www.eastjava.com/ tourism/ sidoarjo/map/. http://www.sumbaratkab.go.id. http://www.gorontalo-info.20megsfree.com/kab-bonebolango.html.
89
LAMPIRAN 1: SYARAT-SYARAT PESERTA PKH Kesehatan dan Gizi: (1) Anak berumur 0-6 tahun Bayi berumur 0-11 bulan: (i) memenuhi standard imunisasi lengkap (BCG, DPT, Polio, campak, Hepatitis B); (ii) ditimbang tiap bulan. Bayi 6-11 bulan: Vitamin A minimum dua kali dalam setahun (Februari dan Agustus). Bayi/anak berumur 12-59 bulan: (i) immunisasi lengkap; (ii) ditimbang setiap 3 bulan Anak-anak 5-6 tahun: (i) ditimbang berat badan, atau (ii) berpartisipasi dalam program pendidikan anak-anak usia dini (PAUD), jika ada fasilitas tersebut pada lokasi terdekat atau pada pos pelayanan terpadu. (2) Ibu hamil dan menyusui Ibu hamil: memeriksakan kehamilan pada pusat kesehatan terdekat sampai 4 kali dan mendapat tablet vitamin dan pada saat melahirkan didampingi oleh petugas tenaga kesehatan yang trampil. Ibu sesudah melahirkan: diperiksa sedikitnya 2 kali sebelum bayi berumur 28 hari. Pendidikan: (1) Anak-anak berumur 6-15 tahun bersekolah di SD/MI atau SMP/MTS dan memenuhi syarat kehadiran setidaknya 85% setiap bulannya. (2) Anak-anak berumur 15-18 tahun yang tidak tamat SD: (i) harus masuk pada sekolah terdekat; (ii) mengikuti program pendidikan yang setara sesuai dengan aturan yang berlaku; atau (iii) mengikuti pelajaran tambahan;
90
LAMPIRAN 2:
BESARAN DANA MANFAAT PKH
Pembayaran/keluarga/tahun Pembayaran dasar Pembayaran pada Rumah Tangga dengan: 1. Anak2 di bawah 6 tahun dan atau ibu hamil atau menyusui 2. Setiap anak usia sekolah(SD/MI) 3. Setiap anak usia sekolah (SMP/MTS) Rata2 pembayaran per Rumah Tangga Minimum pembayaran Maximum pembayaran per RT
Rp. 200,000 Rp. 800,000 Rp. 400,000 Rp. 80,000 Rp. 1,390,000 Rp. 600,000 Rp. 2,200,000
Apabila rumah tangga penerima manfaat tidak memenuhi kewajibannya, maka akan dilakukan pengurangan pembayaran sebagai berikut: a. Sesudah sebulan pelanggaran, pembayaran dikurangi Rp 50,000 b. Sesudah dua bulan, akan dikurangi Rp100,000 c. Sesudah tiga bulan pelanggaran, pembayaran ditahan untuk periode pembayaran berikutnya.
91
LAMPIRAN 3:
PKH DAN TARGETING Pengalaman Internasional Beberapa metoda yang telah digunakan secara internasional untuk memastikan penerima manfaat adalah masyarakat miskin. Geographic Targeting: Peta kemiskinan yang disusun berdasarkan kombinasi antara sensus populasi dengan survey sosial ekonomi kemiskinan. Peta kemiskinan ini dapat digunakan untuk menetapkan lokasi masyarakat miskin. Sebagai contoh, pada program CCT Progresa di Mexico, peta kemiskinan digunakan untuk menyeleksi desa-desa termiskin di wilayah pedesaan, kemudian untuk menetapkan orang miskin digunakan proxy means test. Berdasarkan metoda ini, setiap anak di desa yang ditetapkan menerima bantuan CCT dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Expert Evaluation: Di beberapa negara, yang memutuskan siapa yang miskin dan memenuhi syarat untuk menerima bantuan sosial adalah pekerja sosial atau tenaga ahli lokal yang dipercaya seperti guru. Sebagai contoh, di Jamaica, pekerja sosial hingga saat ini yang memutuskan siapa yang dapat menerima Program Pemulihan Kemiskinan/Poverty Relief, tetapi sekarang mereka telah mengadopsi metoda scoring formula (lihat di bawah). Dengan metoda ini, para pekerja sosial tidak perlu melakukan kunjungan pemeriksaan ke rumahrumah dan memungkinkan mereka untuk memberikan pelayanan sosial dan berkonsultasi dengan klien mereka. Scoring Formula: (yang juga disebut proxy means-testing atau kombinasi indikator untuk targeting) adalah suatu teknik dimana standar hidup suatu rumah tangga dihitung berdasarkan beberapa indikator yang berkorelasi dengan kemiskinan di negara tersebut. Pada umumnya indikator yang digunakan adalah jumlah anak dan orang tua dalam suatu rumah tangga, bahan material rumah dan kebutuhan dasar rumah tangga (seperti air dan listrik), jumlah kamar, dan kerapkali juga barang-barang konsumsi seperti lemari es dan mobil. Di daerah pertanian indikator yang digunakan termasuk antara lain jumlah ternak atau luas lahan yang dimiliki. Scoring Formula ini telah digunakan secara luas di Latin Amerika, Rusia dan negara-negara ex-Uni Soviet. Metode Scoring Formula akan menghasilkan output yang optimal bila menggunakan data hasil survey kuantitatif rumah tangga yang dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan ataupun zona geoekonomi utama suatu negara. Self-targeting: Metoda Self-targeting digunakan apabila bantuan yang diberikan pemerintah sangat kecil, sehingga hanya masyarakat miskin saja berminat menerima bantuan ini. Sebagai contoh yang positif adalah subsidi untuk makanan berkualitas rendah dimana hanya masyarakat miskin saja yang mengkonsumsi, atau program pekerjaan umum dengan gaji yang sangat rendah (lebih rendah dari gaji minimum) dimana hanya orang miskin yang mau menerima pekerjaan ini. Untuk contoh negatif adalah membuat prosedur birokratis yang sulit dan berbelit-belit, serta membutuhkan waktu yang banyak, sehingga hanya masyarakat yang betul-betul membutuhkannya yang akan mencoba untuk mendapatkan manfaat tersebut.
92
Income-testing: Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, test penghasilan digunakan untuk melakukan verifikasi penghasilan keluarga dan persyaratan untuk menerima bantuan sosial. Income Testing (Uji kelayakan berdasarkan pendapatan) ini efisien dalam hal biaya apabila budaya mengumumkan pajak bagi individu dan perusahaan sudah berjalan dengan baik dan dilengkapi dengan sistem komputer untuk memverifikasi dan mencek pendapatan yang dilaporkan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, masyarakat yang meminta bantuan sosial harus memperlihatkan laporan pajak yang terbaru serta social security number (nomor identifikasi diri). Komputer akan memeriksa melalui nomor identifikasi tersebut untuk memastikan pendapatan yang dilaporkan. Income Testing tidak berjalan dengan baik di negara dengan sektor informal yang tinggi atau di negara dengan sektor pertanian subsisten, karena sulit untuk melakukan verifikasi pendapatan informal. Sementara itu, untuk mengirimkan petugas ke rumah pelamar, secara administrasi juga sangat mahal. Oleh karena itu biasanya dilakukan dengan mengambil sampel secara acak dari pelamar atau untuk kasus khusus, jika ada bukti kebohongan atau penipuan.
93
LAMPIRAN 4:
KUESIONER/DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PANDUAN WAWANCARA 1. PERTANYAAN UNTUK MASYARAKAT PENERIMA BANTUAN A. Sosialisasi 1.
Bagaimana ibu mengetahui bahwa ibu adalah penerima bantuan program PKH? Dari siapa?
2. Bagaimana penentuan waktu sosialisasi setelah dilakukan pertemuan awal? Bagaimana gambaran sosialisasi yang ibu terima? Pada sosialisasi awal? Siapa yang melakukan sosialisasi? Bagaimana sosialisasi lanjutan selama pelaksanaan? 3. Apakah sosialisasi yang diberikan sudah memadai? Informasi apa saja yang ibu dapatkan? Apakah ada saran untuk memperbaiki sosialisasi PKH? B. Pemberian bantuan 1.
Apakah ibu sudah menerima pembayaran bantuan sesuai dengan waktu yang ditetapkan? Apakah jumlahnya benar? Berapa kali? Apakah ada jadwal pembayaran?
2. Apakah lokasi tempat pembayaran sudah memadai (bersih? dekat? Dimana? pelayanannya baik? dll.)? Jika tidak, bagaimana agar lebih baik? 3. Ibu gunakan untuk apa saja bantuan tersebut? 4. Apakah ibu menerima program-program kemiskinan lain (Raskin, Jamkesmas, BOS, BLT, dsb)? C. Proses Pengaduan 1.
Apakah ibu memahami proses pengajuan pengaduan? Jika ada pengaduan, apakah ibu pernah mengajukannya? Kemana ibu menyampaikannya (saluran apa yang digunakan)?
2. Apakah ibu mendapatkan tanggapan? Jika tanggapan berupa penolakan, apakah alasan yang diberikan cukup jelas? 3. Apakah proses pengajuan pengaduan perlu diperbaiki? Apa saja masalah-masalah atau kasus-kasus atau jenis pengaduan yang sudah atau pernah ibu ajukan? D. Proses Pemenuhan Persyaratan 1.
Apakah ibu memahami persyaratan atau kewajiban sebagai penerima bantuan? Apakah anak-anak sudah terdaftar di pusat-pusat pelayanan kesehatan terdekat? Pada masa kehamilan dan menyususi, apakah ibu sudah rutin melakukan pemeriksaan? Apakah anak balita ibu secara rutin dibawa ke Posyandu/fasilitas kesehatan lain? Berapa kali? Bagaiman peran pendamping?
2. Apakah ibu dan anak balita ibu sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai? Dimana ibu paling sering mendapatkan pelayanan kesehatan? Menurut ibu, apakah ada perbedaan terkait kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah ada PKH?
94
3. Apakah pihak puskesmas/bidan meminta tambahan dana dalam menjalankan tugas untuk memverifikasi kehadiran ibu di puskesmas/bidan? 4. Apakah sudah dibentuk kelompok ibu-ibu didesa ini? Apa saja yang sudah dilakukan pada kelompok ini? Berapa kali melakukan pertemuan? Apa manfaat adanya kelompok ibu-ibu bagi ibu pribadi? Bagaimana kerjasama dengan pendamping? 5. Apakah Ibu mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan pelayanan kesehatan (misalnya: lokasi puskesmas jauh, tidak ada bidan desa/vaksin/obat, dsb)? 6. Sebelum ada PKH, apakah ibu juga rutin berkunjung ke puskesmas/bidan/posyandu untuk pemeriksaan kehamilan/pemenuhan kewajiban untuk anak-anak balita? 7.
Selain puskesmas/ posyandu/bidan, apakah ada fasilitas layanan kesehatan lain yang biasa ibu kunjungi?
2. PERTANYAAN UNTUK MASYARAKAT BUKAN PENERIMA BANTUAN A. Sosialisasi 1.
Apakah anda mengetahui tentang PKH, dari mana & bagaimana Anda mengetahui tentang program PKH ini? Apakah Anda merasa memahami tujuan PKH ini? Sangat memahami, cukup memahami, atau sama sekali tidak memahami?
2. Apa yang Anda ketahui yang paling utama dari program PKH? Apa kelebihan PKH dibandingkan dengan program rumah tangga miskin yang lain? 3. Bagaimana pendapat Anda tentang PKH?Apakah di tahun depan masih perlu dilanjutkan? Atau dalam hal apa perlu dilakukan perbaikan? Bagaimana caranya menurut anda? B. Pemberian Bantuan 1.
Apakah anda mengetahui proses pemberian bantuan? Dimana lokasi dilakukannya pemberian bantuan? Siapa saja yang dilibatkan?
2. Menurut pendapat anda, apakah proses pemberian bantuan sudah dilakukan dengan baik? Jika belum, mengapa dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya? 3. Secara umum, apakah menurut anda pemberian bantuan PKH sudah dimanfaatkan semestinya sesuai dengan tujuan PKH? C. Pelayanan Kesehatan 1.
Dimana Ibu biasanya memeriksakan kesehatan atau imunisasi untuk anak balita ibu?
2. Apakah pelayan kesehatan yang diberikan kepada Ibu selama ini sudah memadai, jika belum, apa dan mengapa? 3. Apa saran atau masukan yang bisa ibu sampaikan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan?
95
INFORMASI RESPONDEN PENERIMA & BUKAN PENERIMA Nama lengkap Alamat
: : :
Jenis kelamin Usia Status penikahan Jumlah Anak
: : : :
Bahasa daerah yang dikuasai Desa/Kelurahan Kecamatan Kabupaten/Kotamadya Lama tinggal Pekerjaan
: : : : : :
HP/Telp: [1] Laki-laki
[2] Perempuan
[1] Menikah [2] Janda [3] Duda [1] Dibawah usia 6 tahun: orang [2] Anak usia SD/MI: orang [3] Anak usia SMP/MTs: orang
3. PERTANYAAN UNTUK PENGELOLA PUSKESMAS A. Sosialisasi 1.
Apa yang Bpk/Ibu/Sdr ketahui tentang PKH secara umum? (Penjelasan dapat meliputi pengertian umum program, tujuan umum, manfaat, persyaratan, proses seleksi, institusi yang menangani, proses pengaduan dan lain-lain)
2. Apakah ada sosialisasi awal? (termasuk surat dari Dinkes atau Depkes untuk mendukung PKH)? Apakah ada penjelasan/sosialisasi kepada puskesmas tentang tujuan dan strategi, kondisi, verifikasi pemenuhan dan pelaporan program? 3. Bagaimana gambaran sosialisasi yang Bapak/Ibu terima? Apakah sosialisasi yang diberikan sudah memadai? Apakah para pengelola puskesmas dan penyedia layanan cukup memahami program ini? Apakah ada saran untuk memperbaiki sosialisasi PKH? B. Pelaksanaan PKH 1.
Persiapan apa atau tindakan-tindakan apa yang sudah dilakukan untuk mandukung program ini? Apakah ada penambahan personil, waktu, material dan biaya untuk mendukung pelaksanaan program PKH di Puskemas? Atau apakah kondisi puskesmas sudah memadai?
2. Apakah puskesmas mempunyai daftar RTSM peserta PKH di lokasi yang menjadi lingkup kerja puskesmas? Apakah terjadi kekurangan dalam hal (SDM, obat, vaksin, dll)? Apa upaya yang dilakukan? 3. Apakah verifikasi dan sistem pelaporan sudah ada dan berjalan dengan baik? Sejauh mana proses verifikasi sudah/pernah dilaksanakan? Bagaimana merangkum informasi yang tersebar di posyandu/pustu dll. Untuk bisa disampaiakn melalui PT. POS ke UPPKH? Apakah ada pertemuan khusus/rutin mengenai hal tersebut? 4. Apakah ada masalah-masalah yang muncul terkait dengan registrasi, verifikasi agar syarat-syarat terpenuhi, serta dalam pelaporannya? Bagaimana puskesmas menangani ketidakpatuhan dari peserta program?
96
5. Bagaimana peran pendamping atau koordinasi dengan pendamping dalam proses verifikasi ini? Apakah pendamping menyampaikan informasi mengenai keluarga/RTSM penerima bantuan PKH? 6. Apakah ada perubahan/peningkatan dalam jumlah kunjungan ke puskesmas setelah adanya PKH? Apakah PKH menambah beban pekerjaan di puskesmas? 7.
Apakah ada keluarga RTSM yang terdaftar dalam program PKH tapi tidak terdaftar dalam Askeskin/Jamkesmas/SKTM (Surat Keterangan Miskin dari pemerintah desa)? Jika ada, bagaimana tindakan/kebijakan yang diambil Puskesmas?
8. Apakah ada biaya lain (kecuali perjalanan) yang harus dipenuhi oleh keluarga penerima bantuan (RTSM) untuk mendapatkan layanan kesehatan? (Apakah ada tambahan dana yang dialokasikan dari Dinkes untuk mendukung pelaksanaan PKH? 9. Bagaimana verifikasi untuk anak usia 5-6 tahun? Apakah tetap harus ditimbang secara rutin di Puskesmas/Posyandu, atau bisa dengan persyaratan lain? 10. Secara umum, menurut anda apa manfaat PKH bagi RTSM? Bagi penyedian pelayanan kesehatan? Apa kekurangannya? Dan apakah ada perbaikan yang dapat/harus dilakukan? 11. Apakah puskesmas sudah menerima buku KIA dari Dinkes? Jika belum mengapa dan apa upaya yang dilakukan? Jika sudah, apakah sudah apakah sudah dibagikan? apakah jumlahnya mencukupi&bagaimana mekanisme pembagianya? Apakah semua RTSM penerima PKH sudah memiliki KIA, bagaimana memastikannya?
INFORMASI RESPONDEN PELAYANAN KESEHATAN Nama lengkap Jenis kelamin Usia Pendidikan terakhir
: : : :
Institusi:
:
Jabatan
:
[1] Laki-laki [2] Perempuan Tahun [1] SMA [2] D3 [3] S1 [4] S2 [5] S3 Telp/HP:
4. PERTANYAAN UNTUK DINAS KESEHATAN DI KABUPATEN A. Umum 1.
Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang PKH secara umum? (Penjelasan dapat meliputi pengertian umum program, tujuan umum, manfaat, persyaratan, proses seleksi, institusi yang menangani, proses pengaduan dan lain-lain)
2.
Apa saja tugas dan kewenangan Bapak/Ibu/ di Dinas Kesehatan Kabupaten dalam pelaksanaan program? Bagian tugas manakah yang merupakan kunci penting untuk mendukung keberhasilan program dari sudut pandang Dinas Kesehatan? (Penjelasan dapat meliputi tugas dan kewenangan dalam sosialisasi, aliran informasi, koordinasi dengan Pendamping, pengawasan, kolaborasi horizontal dan vertikal dengan program)
3.
Apa saja yang sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam mempersiapkan dan melaksanakan program ini?
4.
Bagaimana evaluasi terhadap pelaksanaan PKH di Kabupaten ini? Apakah sudah dilakukan? Apakah sampai sekarang ada kesulitan terkait dengan persiapan atau pelaksanaan program PKH khususnya dalam pelayanan kesehatan? Kendala apa yang
97
dirasakan paling sulit? Bagaimana bentuk kesulitan yang dihadapi dan bagaimana solusi yang sudah dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut? 5.
Apakah Dinas Kesehatan Kabupaten sudah memiliki rencana kerja kedepan? Mohon jelaskan rencana kerja kedepan tersebut. Apakah ada usulan atau saran bagi perbaikan PKH?
B. Sosialisasi: 1.
Bagaimana gambaran sosialisasi yang Bapak/Ibu dapatkan? Pada sosialisasi awal, apa materi yang diberikan dan siapa yang memberikan? Bagaimana dengan sosialisasi lanjutan selama pelaksanaan? Apakah perlu ada perbaikan yang dilakukan?
2. Apakah ada informasi/surat dari Departemen Kesehatan,Dinkes Propinsi, atau mungkin juga pemberitahuan dari Bupati, Bappeda, Gubernur dll berkaitan dengan pelaksanaan program ini? Dan sejauh mana keterlibatan dan koordinasi Dinkes dengan instansi terklait dalam sosialisasi PKH? C. Pelayanan Kesehatan oleh Puskesmas: 1.
Apakah semua puskesmas di kabupaten ini sudah dilibatkan secara aktif dengan koordinasi yang intensif dalam program PKH? Persiapan apa yang sudah dilakukan untuk keterlibatan mereka?
2. Apakah ada sosialisasi awal?Apakah menurut Bapak/Ibu para pengelola puskesmas dan penyedia layanan cukup memahami? Apakah sosialisasi yang dilakukan cukup? 3. Langkah-langkah formal apa yang sudah diambil untuk memastikan keterlibatan mereka? Apakah ada kesepakatan formal dengan sistem kesehatan kabupaten (dinas kesehatan) tentang pelaksanaan PKH di puskesmas? Tentang apa? 4. Jika ada kesepakatan formal, apakah sudah memberikan panduan dan pedoman yang cukup untuk melaksanakan PKH di tingkat puskesmas? Apa persepsi Bapak/Ibu tentang efektifitas langkah-langkah di atas 5.
Apakah kebutuhan penambahan pelayanan kesehatan kabupaten (SDM, material, dana) sudah diperkirakan untuk menghadapi peningkatan permintaan layanan kesehatan karena adanya program PKH ini? (Jika ada, bagaimana mekanismenya? karena sebenarnya secara teoritis tidak ada lagi perlu tambahan anggaran dari sisi suplai). Apakah anggaran tambahan sudah dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan tambahan yang diperkirakan?
6. Apakah sudah ada pengajuan usulan tambahan sumber daya atau dana dari puskesmaspuskesmas berkaitan dengan program PKH? 7.
Apakah verifikasi dan sistem pelaporan sudah ada dan berjalan dengan baik? Apakah sudah ada aturan untuk memastikan bahwa seluruh anak-anak dan ibu hamil penerima manfaat (peserta PKH?) memiliki bantuan Askeskin/Jamkesmas? Apakah semua peserta Askeskin/Jamkesmas sudah mendapa kartu? Dan apakah semua peserta PKH sudah mendapat kartu akseskin/jamkesmas? Jika tidak, bagaimana menanganinya?
8. Apakah ada perubahan dalam jumlah kunjungan ke puskesmas setelah adanya PKH? 9. Apakah Dinas kesehatan sudah menyebarkan buku KIA ke semua Puskesmas yang ada, jika belum mengapa dan apa tindak lanjut yang dilakukan? D. Koordinasi
1. Bagaimana koordinasi dengan instansi terkait lainnya, seperti Bappeda, Dinas Sosial, dan Dinas Infokom? Apakah terjalin kerjasama yang baik? Bagaimana cara/mekanisme koordinasi dilakukan?
98
2. Apakah ada hambatan-hambatan dalam berkoordinasi? Bila ada bagaimana penanganannya? Bagaimana peran Tim Koordinasi sejauh ini? 3. Menurut bapak/Ibu bagiaimana leadership dari Pemangku otoritas di Kabupaten (Bupati/Bappeda) dalam rangka menyukseskan program PKH dan kesehatan secara umum bagi warga miskin?
INFORMASI RESPONDEN DINAS KESEHATAN KABUPATEN Nama lengkap Jabatan Jenis kelamin Usia Pendidikan terakhir
: : : : :
Institusi:
:
[1] Laki-laki [2] Perempuan Tahun [1] SMA [2] D3 [3] S1 [4] S2 [5] S3 Telp/HP:
5.
PERTANYAAN KABUPATEN
UNTUK
FGD
DENGAN
TIM
KOORDINASI
A. Apa saja yang Bapak/Ibu ketahui mengenai sosialisasi program PKH? 1.
Gambaran sosialisasi awal dan lanjutan selama pelaksanaan? Apakah sudah mencukupi, baik dari sisi materi maupun waktunya? Apa saja bentuk pengarahan dan informasi yang sudah diterima oleh Bpk/Ibu dari Pusat dan Tim Koordinasi PKH Provinsi dalam rangka pelaksanaan PKH di Kota/Kabupaten?
2. Apakah sosialisasi yang diberikan dapat mendukung tugas-tugas Bapak/Ibu? Apakah perlu perbaikan-perbaikan? 3. Jika terdapat kekurangan dalam pengarahan dan informasi, di bagian manakah yang kurang? Apa yang perlu diperbaiki? B. Apa saja yang Bapak/Ibu ketahui berkaitan dengan proses seleksi penerima bantuan? 1.
Apakah Bapak/Ibu memahami metode seleksi yang dilakukan, kriteria yang digunakan, serta hasilnya? Bagaimana menurut Bapak/Ibu hasil seleksi tersebut?
2. Bagaimana kerjasama dan koordinasi dengan Tim Koordinasi/TK Provinsi, UUPKH Kab, pendamping dan masyarakat baik dalam persiapan maupun dalam pelaksanaannya? 3. Apa saja yang telah dilakukan Tim Koordinasi PKH Kota/Kabupaten untuk mendukung UPPKH Kota/Kabupaten?Apakah proses ini sudah baik, kurang baik atau perlu dilakukan dengan cara lain? Kenapa? Bagaimana cara lain tersebut? C. Apa saja yang Bapak/Ibu ketahui secara umum berkaitan dengan proses pembentukan Tim Koordinasi Tingkat Kabupaten? 1.
Bagaimana dengan proses rekrutmennya? Apakah sudah memadai? Cukup waktu? Apakah perlu ada perbaikan dalam proses dan susunan/ komposisi Tim yang ada?
99
2. Dengan susunan yang ada sekarang, apakah akan mudah berkoordinasi dengan UUPKH Kab atau dengan program kemiskinan lain? 3. Apa saja yang sudah dilakukan oleh Tim Koordinasi PKH Kota/Kabupaten terkait dengan persiapan dan pelaksanaan PKH? (1) koordinasi program, (2) sosialisasi program, (3) persiapan pelayanan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan (4) monitoring pelaksanaan. D. Bagaimana dengan partisipasi Puskesmas dan jaringannya (Pustu, Pusling, Bidan, dll) setelah adanya program ini? 1.
Apa saja yang sudah dilakukan oleh Tim Koordinasi PKH Kota/ Kabupaten terkait dengan persiapan pelayanan fasilitas kesehatan?
2. Apakah Tim dari Dinas Kesehatan sudah mendapat cukup informasi tentang PKH? Sudah ikut pelatihan, atau punya buku petunjuk? 3. Apakah semua puskesmas berpartisipasi (melakukan verifikasi dan melaporkannya)? Langkah-langkah apa untuk memastikan partisipasi mereka? Bagaimana dengan sosialisasinya? 4. Apakah ada peningkatan kebutuhan, dana, bahan, tenaga dll dengan adanya PKH. Jika ada, bagaimana antsisipasinya? Siapa yang menangani? 5.
Apakah puskesmas memahami betul program PKH ini? Apakah sosialisasinya cukup? Apakah ada kesepakatan formal antara puskesmas dengan pihak terkait? Sudah ikut pelatihan, atau punya buku petunjuk?
6. Bagaimana kerjasama antara program Askeskin dengan PKH? Apakah setiap peserta PKH mendapat pelayanan Askeskin juga? 7. Sejauh yang Bapak/Ibu ketahui, apakah ada peningkatan kedatangan ibu/anak di puskesmas-puskesmas?
INFORMASI RESPONDEN TIM KOORDINASI PKH KABUPATEN Nama lengkap Jenis kelamin Usia Pendidikan terakhir
: : : :
Institusi:
:
Jabatan Sebagai Tim Koordinasi PKH Kota/Kabupaten Posisi dalam Tim Koordinasi PKH Kota/Kabupaten
: :
[1] Laki-laki [2] Perempuan Tahun [1] SMA [2] D3 [3] S1 [4] S2 [5] S3 Telp/HP: [1] Ya [2] Tidak (sebutkan):
[3] Mewakili
:
100
6. PERTANYAAN KEPADA PENDAMPING A. UMUM/ FUNGSI PENDAMPING 1.
Apa saja tugas dan kewenangan Bpk/Ibu sebagai Pendamping dalam pelaksanaan program? Bagian tugas manakah yang merupakan kunci penting untuk mendukung keberhasilan program dari sudut pandang Pendamping? (Penjelasan dapat meliputi tugas dan kewenangan dalam sosialisasi, aliran informasi, koordinasi dengan para pemangku kepentingan lain,, pengawasan, kolaborasi horizontal dan vertikal dengan program).
2. Seberapa jauh koordinasi yang telah dilakukan dengan penyedia layanan kesehatan, seperti puskesmas, pustu, posyandu, dsb.? Apakah terdapat kendala dalam melakukan koordinasi dengan mereka untuk pelaksanaan PKH? Jika ada, mohon sebutkan. Bagaimana upaya perbaikannya? 3. Bagaimana pandangan Anda tentang kelompok “ibu-ibu”? Apakah mereka memudahkan pekerjaan Anda? 4. Apakah jumlah rumah tangga yang Anda awasi cukup? terlalu banyak? Apakah bisa lebih banyak? B. SELEKSI PENERIMA MANFAAT 1.
Bagaimana pemahaman Anda tentang metode seleksi yang dilakukan, kriteria yang digunakan, serta hasilnya? Informasi/masukan apa yang Anda terima tentang proses seleksi penerima manfaat?
2. Yang anda ketahui, bagaimana partisipasi tingkat provinsi dan kabupaten dalam proses seleksi - Tim Koordinasi Provinsi, Tim Koordinasi Kabupaten/Kota, Unit Pelaksana PKH Kabupaten/Kota, pendamping, para pemimpin masyarakat? 3. Apa persepsi/pandangan Anda tentang hasil proses seleksi ini? Apakah seharusnya dilakukan dengan cara lain? Ada usulan, Bagaimana? Mengapa? C. PROSES PENETAPAN DAN PELAKSANAAN PKH DI TINGKAT KABUPATEN 1. Sosialisasi a. Sepanjang pengetahuan Saudara/i, apakah pernah dilakukan sosialisasi terhadap penyedia layanan kesehatan (puskesmas, pustu, posyandu dll) terkait dengan pelaksanaan PKH? b. Menurut pendangan Saudara, apakah penyedia layanan kesehatan telah memahami tugas mereka dalam mendukung PKH? 2. Kesehatan a. Adakah masalah yang muncul terkait dengan registrasi, verifikasi hingga persyaratan terpenuhi, dan pelaporan? Bagaimana mekanisme rekapitulasi laporan dari pustu (puskesmas pembantu)/posyandu untuk dimasukkan kedalam format verifikasi? b. Apakah data-data dalam format verifikasi yang disebarkan oleh PT. Pos telah sesuai dengan kondisi yang ada? Apabila terjadi kekeliruan data, tindak lanjut apa yang dilakukan? c.
Bagaimana pendamping menangani peserta yang tidak memenuhi komitmen kesehatan? Apakah adaApakah ada upaya juga dari pihak puskesmas untuk memperbaiki kondisi tersebut?
d. Adakah permasalahan bagi penerima PKH untuk memenuhi persyaratan kesehatannya? Jika ada, pada hal apa masalah tersebut terjadi? (tidak mendapat
101
pelayanan yang memadai karena tidak ada petugas, vaksin, tidak memiliki kartu Jamkesmas, dsb.) e.
Apakah ada biaya lain (kecuali perjalanan) yang harus dipenuhi oleh keluarga penerima manfaat dalam pemenuhan persyaratan kesehatan?
f.
Apakah ada fasilitas kesehatan lain yang digunakan oleh peserta selain puskesmas dan jaringannya?
g. Secara umum, apakah ada peningkatan pengunjung di puskesmas dan jaringannya?
3. Proses Pengaduan a. Apakah sudah terdapat pengaduan dari penerima PKH terkait dengan masalah layanan kesehatan? Jika ada, bagaimana pengaduan ini ditindaklanjuti? (dilaporkan ke UPPKH Kab, disampaikan langsung kepada dinas kesehatan, dsb.) b. Apakah sudah ada upaya untuk memperbaiki masalah-masalah mengenai layanan kesehatan yang diadukan? Apakah proses pengajuan pengaduan perlu diperbaiki?
INFORMASI RESPONDEN - PENDAMPING Nama lengkap Alamat
: :
Jenis kelamin Usia Bahasa daerah yang dikuasai Sebagai Pendamping PKH Sebagai Koordinator Pendamping PKH Mulai kerja sebagai Pendamping PKH Jumlah RTSM yang didampingi Wilayah kerja pendampingan Desa/Kelurahan Kecamatan Kabupaten/Kotamadya Propinsi Lama tinggal wilayah kerja (pendampingan) Pekerjaan sebelumnya Pekerjaan sekarang selain sebagai Pendamping
: : : : :
HP/Telp: [1] Laki-laki
[2] Perempuan
[1] Ya
[2] Tidak
[1] Ya
[2] Tidak
: Tanggal :
Bulan
Tahun
RTSM
: : : : : : :
102
7. PERTANYAAN UNTUK DINAS INFOKOM A. Sosialisasi: 1.
Bagaimana penentuan waktu sosialisasi awal dalam kaitannya dengan peluncuran PKH? Bagaimana gambaran sosialisasi yang Anda terima/dapatkan? Sosialisasi awal dan sosialisasi lanjutan selama pelaksanaan? Bagaimana Relevansi sosialisasi dengan tugastugas Anda?
3. Apakah sosialisasi yang diberikan mencukupi berkaitan dengan tugas-tugas yang Anda kerjakan? Apakah perlu ada perbaikan yang dilakukan? B. Pelatihan unit UPPKH dan penyedia layanan 1. Bagaimana strategi pelaksanaan pelatihan di kabupaten dalam menghadapi peluncuran PKH 2. Bagaimana dengan materi latihan yang diberikan? Apakah waktu yang disediakan cukup memadai? 3. Apakah pelatihan ini mencukupi berdasarkan pengalaman kerja anda? Apakah materi pelatihannya memadai? Bagaimana pendapat anda secara umum mengenai pelatihan ini? C. Pembayaran Bantuan: 1.
Apakah verifikasi, catatan kepatuhan penerima bantuan dan sistem pelaporan saat ini memungkinkan pembayaran yang akurat secara tepat waktu?
2. Apakah ada ketidakakuratan dalam pembayaran pertama atau kedua? Apakah ada penundaan pembayaran? Jika ya, mengapa? Apa tindakan anda? 3. Apakah ada alat/cara untuk memastikan bahwa daftar penerima bantuan sebelum pembayaran bisa dibuat/diperoleh untuk menjamin pembayaran yang tepat waktu dengan jumlah yang benar?
INFORMASI RESPONDEN DINAS KESEHATAN Nama lengkap Jenis kelamin Usia Pendidikan terakhir
: : : :
Institusi:
:
Jabatan
:
[1] Laki-laki [2] Perempuan Tahun [1] SMA [2] D3 [3] S1 [4] S2 [5] S3 Telp/HP:
103
8. PERTANYAAN KEPADA PT. POS A. Umum 1.
Apakah Program Keluarga Harapan sudah bapak/ibu ketahui secara jelas? Bila ya, darimana sumbernya dan kapan diketahuinya?
2. Apakah pencetakan kartu Undangan untuk Pertemuan Awal sudah sesuai dengan jumlah form validasi? Bila tidak, apa alasannya? 3. Apakah ada pencetakan Form Validasi yang lebih dari satu dalam satu keluarga? Bila ya, apa alasannya? 4. Apakah ada keluhan dari pendamping mengenai pencetakan kartu dan formulir tersebut? Bila ya, sebutkan? 5.
Apakah pencetakan Formulir Verifikasi sudah dilaksanakan dan didistribusikan? Bila ya, kapan pelaksanaannya, dan bila tidak, apa alasannya?
6. Apakah ada permasalahan dalam pencetakan Formulir Verifikasi? Apakah terdapat permasalahan dalam penyebaran dan pengambilan format verifikasi dari penyedia layanan kesehatan atau UPPKH Kabupaten? 7.
Apakah sering melakukan koordinasi dengan instansi terkait sehubungan dengan PKH? Bila ya, sudah berapa kali dilaksanakan. Bila tidak, apa hambatannya? Dengan instansi mana saja koordinasi dilakukan?
B. Proses Pembayaran 1.
Bagaimana proses pembayaran terhadap RTSM sejak menerima daftar penerima bantuan PKH dari Depsos sampai kegiatan pembayaran dilakukan? Dan kartu atau formulir apa saja yang dicetak sehubungan dengan proses pembayaran?
2. Apakah terjadi ketidaksesuaian antara Kartu PKH yang dimiliki oleh RTSM dengan wesel yang dimiliki oleh PT. Pos? Bila ya, apa alasannya? 3. Apakah ada kendala dalam pelaksanaan PKH sehubungan dengan proses pembayaran? Bila ada, sebutkan? 4. Apakah verifikasi, catatan kepatuhan penerima bantuan dan sistem pelaporan saat ini memungkinkan pembayaran yang akurat secara tepat waktu? Apakah pembayaran sudah mempertimbangkan hasil verifikasi? 5.
Apakah ada ketidakakuratan dalam pembayaran pertama, kedua, atau ketiga? Apakah ada penundaan pembayaran? Apakah ada alat/cara untuk memastikan bahwa daftar penerima bantuan sebelum pembayaran bisa dibuat/diperoleh untuk menjamin pembayaran yang tepat waktu dengan jumlah yang benar?
6. Apakah ada permasalahan dalam droping uang bantuan dari kantor pos pusat? Apakah ada penumpukan penerima bantuan di loket-loket pada saat pembayaran? Bagaimana mengantisipasi permasalahan tersebut? 7.
Apakah pembayaran yang telah dilakukan selama ini berjalan dengan baik? Apakah ada keberatan atau protes dari masyarakat yang tidak menerima bantuan?
104
INFORMASI RESPONDEN PT. POS Nama lengkap
:
Jabatan
:
Jenis kelamin
:
Usia
:
Pendidikan terakhir
:
Institusi:
:
[1] Laki-laki
[2] Perempuan
Tahun [1] SMA
[2] D3
[3] S1
[4] S2
[5] S3
Telp/HP:
9. PERTANYAAN UNTUK BIDAN A. Sosialisasi 1.
Apa yang Ibu ketahui tentang PKH secara umum? (Penjelasan dapat meliputi pengertian umum program, tujuan umum, manfaat, persyaratan, proses seleksi, institusi yang menangani, proses pengaduan dan lain-lain)
2. Apakah ada sosialisasi awal? Apakah ada penjelasan/sosialisasi dari pihak puskesmas tentang tujuan dan strategi, kondisi, verifikasi pemenuhan dan pelaporan program? 3. Bagaimana gambaran sosialisasi yang Ibu terima? Apakah sosialisasi yang diberikan sudah memadai? Apakah para bidah diberikan penjelassan khusus tentang PKH? Apakah ada saran untuk memperbaiki sosialisasi PKH? B. Pelaksanaan PKH 1.
Apakah terjadi peningkatan permintaan pelayanan kesehatan setelah adanya PKH? Apakah ibu mempunyai daftar RTSM peserta PKH di lokasi yang menjadi lingkup tugas ibu? Apakah terjadi kekurangan dalam hal (SDM, obat, vaksin, dll)? Apa upaya yang dilakukan?
2. Apakah verifikasi dan sistem pelaporan sudah ada dan berjalan dengan baik? Sejauh mana proses verifikasi sudah/pernah dilaksanakan? 3. Apakah ada masalah-masalah yang muncul terkait dengan registrasi, verifikasi agar syarat-syarat terpenuhi, serta dalam pelaporannya? Sejauh mana ibu melakukan koordinasi dengan puskesmas/seperti apa tugas yang diberikan puskesmas kepada ibu? 4. Bagaimana peran pendamping atau koordinasi dengan pendamping dalam proses verifikasi ini? Apakah pendamping menyampaikan informasi keluarga/RTSM penerima bantuan PKH? 5. Sejauh yang ibu ketahui, apakah ada keluarga RTSM yang terdaftar dalam program PKH tapi tidak terdaftar dalam Askeskin/Jamkesmas/SKTM (Surat Keterangan Miskin dari pemerintah desa)? Jika ada, bagaimana tindakan/kebijakan yang diambil Ibu? 6. Apakah ada biaya lain (kecuali perjalanan) yang harus dipenuhi oleh keluarga penerima bantuan (RTSM) untuk mendapatkan layanan kesehatan? Apakah ada tambahan dana yang dialokasikan dari Dinkes untuk mendukung pelaksanaan PKH? 7.
Bagaimana verifikasi untuk anak usia 5-6 tahun? Apakah tetap harus ditimbang secara rutin di Puskesmas/Posyandu, bidan, atau bisa dengan persyaratan lain?
8. Terkait kesehatan terutama bagai RTSM, masalah apa yang menurut ibu paling anggap berat/serius yang dihadapi oleh masyarakat di lokasi ibu bertugas?
105
9. Sarana kesehatan/pelayanan kesehatan apa yang menurut ibu paling memadai dan palig tidak memadai di lokasi yang menjadi tempat ibu bertugas? 10. Secara umum, menurut anda apa manfaat PKH bagi RTSM? Bagi penyedian pelayanan kesehatan? Apa kekurangannya? Dan apakah ada perbaikan yang dapat/harus dilakukan? 11. Apakah semua RTSM yang berada di wilayah tugas ibu sudah menerima buku KIA? Jika belum mengapa dan apa upaya yang dilakukan? Jika sudah, bagaimana memastikannya & mekanisme pembagianya?
INFORMASI RESPONDEN BIDAN Nama lengkap Jenis kelamin Usia Pendidikan terakhir
: : : :
Institusi:
:
Jabatan
:
[1] Laki-laki [2] Perempuan Tahun [1] SMA [2] D3 [3] S1 [4] S2 [5] S3 Telp/HP:
106
107