ii
DAFTAR ISI
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014. Halaman.......................................................................................3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Halaman......................................................................................33
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Halaman......................................................................................49
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Halaman.......................................................................................59
iii
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Republik Indonesia Nomor 25/Kep/Menko/Kesra/IX/2009 Tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014. Halaman......................................................................................73
Lampiran Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014. Halaman.....................................................................................83
iv
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak azasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh Undang-Undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. . b. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak azasi manusia, sehingga harus diberantas; c. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak azasi manusia;
d. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama; e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegangn kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2.
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
3.
Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindakan pidana perdagangan orang.
5.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
6.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
7.
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
8.
Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
9.
Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
10. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain 11. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang. 12. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang . 13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. 14. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam 15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.
BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasaan, pencullikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3 Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,-(Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,-(Enam ratus juta rupiah.
Pasal 4 Setiap orang yang membawa warga negara indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Pasal 5 Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk diksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Pasal 6 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah).
Pasal 7 (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah).
Pasal 8 (1) Setiap penyelenggara negara yangn menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang orang sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. (3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 9 Setiap orang yang berusaha menggerakan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,- (Dua ratus empat puluh juta rupiah). Pasal 10 Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
Pasal 11 Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6.
Pasal 12 Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang, dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 13 (1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh or-
ang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/ atau pengurusnya.
Pasal 14 Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.
Pasal 15 (1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : a.
pencabutan izin usaha;
b.
perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana;
c.
pencabutan status badan hukum;
d.
pemecatan pengurus; dan/atau;
e.
pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
Pasal 16 Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh sekelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 17 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 18 Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.
BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Pasal 19 Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,(Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 280.000.000,(Dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 20 Setiap orang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 280.000.000,- (Dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 21 (1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan palinng lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,- (Delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,- (Empat ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah)
Pasal 22 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah).
Pasal 23 Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan : a.
memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;
b.
menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
c.
menyembunyikan pelaku; atau
d.
menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pal ing lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah).
Pasal 24 Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 280.000.000,- (Dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 25 Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 26 Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 27 Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas uang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.
BAB IV PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 28 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 29 Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa: a.
Informasi yang diucapkan, dikirm, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.
Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,termasuk tidak terbatas pada : 1)
tulisan, suara, atau gambar;
2)
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3)
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 30 Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
Pasal 31 (1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang. (2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 32 Penyidik, penuntutan umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 33 (1) Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (2) Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1(satu), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.
Pasal 34 Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan sanksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.
Pasal 35 Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendampingn lainnya yang dibutuhkan .
Pasal 36 (1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. (2) Informasi tentang perkembangan, kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.
Pasal 37 (1) Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. (2) Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memrintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang. (3) Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar sidang pengadilan.
Pasal 38 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 39 (1) Sidang tindak pidana perdaganga orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya. (3) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Pasal 40 (1) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dihadapan pejabat yang berwenang.
Pasal 41 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputuskan tanpa kehadiran terdakwa. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.
Pasal 42 Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya.
BAB V PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Pasal 43 Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 44 (1) Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang
berhak memperoleh kerahasian identitas. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.
Pasal 45 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tinngkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 46 (1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdaganga orang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47 Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 48 (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a.
kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b.
penderitaan;
c.
biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;dan/atau
d.
kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. (4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. (5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. (6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 49 (1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutus perkara, disertai denngan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.
(2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. (3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.
Pasal 50 (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi samapi melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. (3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melarang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. (4) Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 51 (1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. (2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian,
apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. (2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.
Pasal 52 (1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan. (2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. (3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
Pasal 53 Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat
& (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.
Pasal 54 (1) Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangnan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara. (2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke nagara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia. (3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional.
Pasal 55 Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
Pasal 56 Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 57 (1) Pemerintah, Pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.
Pasal 58 (1) Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdaganga orang. (2) Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkahlangkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. (3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. (4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas: a.
mengkoordinasi upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;
b.
melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama;
c.
memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d.
memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum;
e.
melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
(5) Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden. (6) Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkahlangkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu Kerja Sama Internasional Pasal 59 (1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat
Pasal 60 (1) Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/ atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 61 Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah wajib membuka akses seluasluasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.
Pasal 62 Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum. Pasal 63 Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65 Pada saat Undang-Undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9) jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan UndangUndang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66 Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang
ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 67 Undangn-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHONO. diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd HAMID AWALUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 58. Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA R.I. Kepala Biro Peraturan Perundangundangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat. Wisnu Setiawan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720);
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi atau lembaga terkait sebagai satu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. 2. Pusat Pelayanan Terpadu, yang selanjutnya disingkat PPT, adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. 3. Saksi dan/atau Korban adalah seorang saksi yang sekaligus sebagai korban yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 4. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang yang ditentukan dalam undang-undang. 5. Rehabilitasi Kesehatan adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis yang dilaksanakan di PPT.
6. Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan pengembalian keberfungsian sosial secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 7. Pemulangan adalah tindakan pengembalian saksi dan/ atau korban ke daerah asal atau negara asal dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya. 8. Reintegrasi Sosial adalah penyatuan kembali saksi dan/atau korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi saksi dan/atau korban. 9. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan. Pasal 2 PPT wajib: a. memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin kepada saksi dan/atau korban; b. memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan, dan bebas biaya bagi saksi dan/atau korban; c. menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban; dan d. menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau korban. Pasal 3 Penyelenggaraan pelayanan terpadu bertujuan melaksanakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 4 1) Lingkup pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban meliputi pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemula ngan dan reintegrasi sosial, termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum. 2) Pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi: a. setiap saksi dan/atau korban yang berada di wilayah Republik Indonesia; dan b. setiap saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. 3) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, maka pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 5 1) Penyelenggaraan PPT bersifat integratif antar instansi atau lembaga, baik berupa satu atap maupun berjejaring untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada saksi dan/atau korban. 2) Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan satu atap, PPT bertanggung jawab melaksanakan keseluruhan proses dalam satu kesatuan unit kerja untuk memberikan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban. 3) Dalam hal penyelenggaraan pelayanan terpadu dilakukan berjejaring, PPT bertanggung jawab atas keseluruhan proses rujukan pelayanan yang diperlukan saksi dan/atau korban.
BAB II PEMBENTUKAN PUSAT PELAYANAN TERPADU Pasal 6 1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pemerintah kabupaten/kota membentuk dan menyelenggarakan PPT. 2) Pembentukan dan penyelenggaraan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan daerah pada masing-masing kabupaten/kota. 3) PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula menangani saksi dan/atau korban tindak kekerasasan dalam rumah tangga. 4) Untuk mempermudah penanganan saksi dan/atau korban, di daerah perbatasan dapat dibentuk PPT. 5) Dalam membentuk peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), substansi atau materi peraturan daerah tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah ini. 6) Dalam hal di daerah belum dibentuk peraturan daerah, maka ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dijadikan dasar untuk menyelenggarakan PPT. Pasal 7 1) Untuk lebih menjamin kualitas pelayanan terpadu, Menteri menyusun dan menetapkan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial pada PPT. 2) Standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu. 3) Dalam menyusun standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan pembahasan bersama dengan menteri atau pimpinan lembaga terkait.
Pasal 8 1) Guna menjamin terselenggaranya PPT sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial, Pimpinan PPT menyusun dan melaksanakan program kerja secara berkesinambungan. 2) Dalam melaksanakan program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPT dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat. BAB III SARANA DAN PRASARANA Pasal 9 1) Pemerintah kabupaten/kota yang membentuk dan menyelenggarakan PPT wajib menyediakan sarana dan prasarana pada PPT. 2) Dalam penyediaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial yang berlaku. 3) Rumah sakit swasta dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk rujukan PPT bagi saksi dan/atau korban setelah mendapat persetujuan dari dinas kesehatan di daerahnya. 4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan pelayanan terpadu dan pelaksanaan evaluasi. Pasal 10 1) Dalam hal telah tersedia sarana dan prasarana pelayanan terpadu yang digunakan untuk saksi dan/atau korban tindak pidana lain sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, maka sarana dan prasarana yang telah ada tersebut dapat
dimanfaatkan untuk pelaksanaan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengaturannya diserahkan pada masing-masing kabupaten/kota. 3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial yang berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya. BAB IV PETUGAS PELAKSANA PELAYANAN TERPADU Pasal 11 1) Penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh petugas pelaksana atau petugas fungsional yang meliputi tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang disediakan oleh instansi atau lembaga terkait. 2) Dalam hal tenaga psikolog dan psikiater sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, maka PPT dapat meminta bantuan kepada instansi atau lembaga lain yang tersedia dengan memberikan honorarium. 3) Dalam hal diperlukan, PPT dapat melakukan kerja sama dengan lembaga tertentu dalam penyediaan penerjemah dan relawan pendamping yang diperlukan oleh saksi dan/atau korban. Pasal 12 1) Penyelenggaraan pelayanan terpadu dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan dengan bekerja sama antarinstansi atau lembaga pemerintah terkait di daerah. 2) Pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menyediakan petugas pelaksana atau petugas fungsional yang diperlukan oleh PPT di kabupaten/kota.
3) Dalam hal diperlukan, PPT dapat mendayagunakan tenaga pelaksana atau petugas fungsional dari masyarakat. Pasal 13 1) Dalam hal petugas PPT memerlukan perlindungan dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu, maka pimpinan PPT dapat mengajukan permohonan perlindungan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat untuk memberikan rasa aman kepada petugas PPT. 2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB V TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU Pasal 14 1) Saksi dan/atau korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum pada PPT. 2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh saksi dan/atau korban, keluarganya, temannya, petugas kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial. 3) Pimpinan atau petugas yang ada pada PPT wajib melayani saksi dan/atau korban berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. 4) Pimpinan atau petugas PPT segera menangani saksi dan/atau korban sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. 5) Pimpinan atau petugas PPT, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak menerima saksi dan/atau korban yang sedang dirawat atau dipulihkan kesehatannya, wajib melaporkannya kepada petugas kepolisian terdekat.
Pasal 15 1) Dalam hal saksi dan/atau korban melaporkan kepada kepolisian terdekat, maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau korban pada ruang pemeriksaan khusus yang tersedia. 2) Jika setelah dilakukan pemeriksaan dan terbukti bahwa saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. 3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditindaklanjuti untuk diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. 4) Untuk menjalankan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan kepolisian memerintahkan kepada penyidik untuk melakukan tugas penyidikan dan sekaligus melakukan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 16 1) Dalam hal pemerintah daerah sudah memiliki rumah perlindungan sosial atau pusat trauma sebelum Peraturan Pemerintah ini diberlakukan, maka rumah perlindungan sosial atau pusat trauma tersebut dapat difungsikan untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan PPT. 2) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah dapat mendayagunakan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya. 3) Ketentuan mengenai tata cara dan mekanisme penyelenggaraan pelayanan di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur sekaligus dalam peraturan daerah kabupaten/koa mengenai pembentukan PPT.
Pasal 17 1) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara Indonesia dan berada di luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan saksi dan/atau korban serta memulangkannya ke Indonesia atas biaya negara. 2) Untuk kepentingan pemulangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri segera melaporkan kepada Menteri Luar Negeri dalam rangka percepatan penanganan saksi dan/atau korban. 3) Menteri Luar Negeri wajib melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal saksi dan/atau korban dan instansi terkait lainnya, untuk memulangkan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. 4) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menjemput dan memulangkan ke daerah asal dan tindakan lain yang diperlukan dalam melindungi saksi dan/atau korban. 5) Dalam hal saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka: a. Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri wajib memberikan pertolongan kepada saksi dan/atau korban ke rumah sakit terdekat; b. Departemen Sosial atau instansi yang menangani bidang sosial di daerah wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. Pasal 18 1) Dalam hal diperlukan, pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat dibentuk PPT. 2) PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan Peraturan Menteri Luar Negeri.
Pasal 19 1) Dalam hal saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya, kepala daerah setempat segera melakukan koordinasi dengan kepala daerah asal saksi dan/atau korban untuk mengambil tindakan atau langkah-langkah perlindungan dan pemulangan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. 2) Bupati/walikota daerah asal saksi dan/atau korban tersebut wajib segera menangani hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan pemulihan saksi dan/atau korban ke PPT yang tersedia. 3) Dalam penyelenggaraan pemulangan saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bupati/walikota dapat melakukan kerja sama dengan bupati/walikota lainnya dengan pemberitahuan kepada gubernur masing-masing. Pasal 20 1) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia wajib berkoordinasi dengan instansi terkait dan perwakilan negara asal saksi dan/atau korban tersebut di Indonesia, untuk membantu pemulangannya dan memberitahukan kepada perwakilan asingnya. 2) Pemulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada perwakilan negara asing yang berada di Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3) Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia memberitahukan kepada negara asing tersebut pada perwakilan negara asing yang terdekat dengan wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 21 1) Dalam penanganan saksi dan/atau korban, PPT wajib melakukan jejaring dengan rumah sakit pemerintah atau swasta untuk perawatan dan pemulihan kesehatannya. 2) Dalam hal diperlukan, PPT juga dapat melakukan jejaring dengan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma milik pemerintah, masyarakat, atau lembagalembaga pelayanan sosial lainnya. BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 22 1) Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial pada PPT. 2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk mengetahui: a. perkembangan pelaksanaan program PPT; b. capaian kinerja PPT. 3) Pemantauan dilakukan secara berkesinambungan dan evaluasi dilaksanakan setiap 6 (enam) bulan sekali. 4) Menteri melaporkan hasil kegiatan pemantauan dan evaluasi kepada Presiden dan tembusan disampaikan kepada pimpinan Gugus Tugas Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 23 1) Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka Menteri dapat merekomendasikan kepada PPT melalui bupati/walikota untuk peningkatan kualitas pelayanan.
2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditindaklanjuti, maka bupati/walikota dapat memberikan sanksi administratif kepada pimpinan atau petugas di PPT. 3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Dalam hal pemantauan dan evaluasi ditemukan adanya kinerja yang baik dalam menjalankan tugasnya, maka Menteri memberikan penghargaan kepada pimpinan dan/atau petugas pada PPT. BAB VII PENDANAAN Pasal 25 Pendanaan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini dan penyelenggaraan PPT bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pusat pelayanan terpadu yang telah ada dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 27 Peraturan Pemerintah diundangkan
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 22
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA DAN MEKANISME PELAYANAN TERPADU BAGI SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
I. UMUM Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengamanatkan mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat lebih memberikan kemudahan penerapan undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai pencegahan, pemberantasan, penghukuman, dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Tata cara adalah rangkaian proses pelayanan terpadu yang diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang mulai dari identifikasi korban, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Mekanisme adalah sistem pelayanan terpadu satu pintu baik dalam satu atap maupun berjejaring yang merupakan rangkaian tugas dan fungsi instansi/lembaga terkait dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang. Di samping pengaturan mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu, Peraturan Pemerintah ini juga mengatur mengenai pembentukan PPT bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. PPT ini dimaksudkan sebagai pusat pelayanan yang menjamin adanya kecepatan proses pelayanan dan penanganan saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang serta menjamin adanya
kemudahan, kenyamanan, keselamatan, kerahasiaan korban, bahkan bebas dari biaya pelayanan, guna mewujudkan adanya keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau korban. Saksi dan/atau korban dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan hanya untuk korban tindak pidana perdagangan orang. Terkait dengan perlindungan saksi, telah ditentukan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban beserta peraturan pelaksanaannya. PPT dibentuk di kabupaten/kota yang pembentukannya dengan peraturan daerah pada masing-masing kabupaten/kota. Peraturan daerah kabupaten/kota yang akan dibentuk mengacu pada Peraturan Pemerintah ini, terutama mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan, serta pengaturan mengenai standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Melalui PPT, saksi dan/atau korban berhak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum dari pemerintah kabupaten/kota apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang. Untuk hal itu, penyelenggaraan PPT bertujuan memberikan pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban tersebut yang lingkup pelayanannya meliputi rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial termasuk advokasi, konseling, dan bantuan hukum. Penyelenggaraan PPT diperuntukkan bagi saksi dan/atau korban di wilayah Republik Indonesia dan saksi dan/atau korban WNI yang berada di luar wilayah Republik Indonesia. Dalam penyelenggaraan PPT diperlukan pelayanan satu atap atau berjejaring, sehingga dibutuhkan keterpaduan dari berbagai pihak. Untuk melakukan jejaring dan kerja sama, PPT melakukan hubungan dengan lembaga-lembaga lain, misalnya dalam penyediaan penerjemah, relawan pendamping yang diperlukan korban, di antaranya pekerja sosial, advokat, atau petugas rohaniawan yang dilaksanakan secara profesional.
Guna menjamin adanya keterpaduan antara PPT baik yang dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat diperlukan adanya pola pemantauan terhadap perkembangan atas pelaksanaan penyelenggaraan PPT tersebut. Untuk kelangsungan penyelenggaraan PPT, Menteri melaksanakan evaluasi untuk dijadikan dasar pemberian penghargaan dan peringatan serta pembinaan. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan sarana dan prasarana PPT yang meliputi penyediaan fisik bangunan beserta perlengkapan yang dibutuhkan atau sesuai dengan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial. Sarana dan prasarana lain adalah ketersediaan para petugas dalam pengelolaan PPT tersebut, misalnya, tenaga kesehatan, keperawatan, psikolog, psikiater, pekerja sosial yang digaji sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendanaan penyelenggaraan PPT dibebankan pada anggaran pendapatan belanja negara dan anggaran pendapatan belanja daerah serta dari sumber-sumber lain yang sah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “advokasi” dalam ketentuan ini adalah menyampaikan informasi dengan tujuan untuk mempengaruhi dalam pemberian pelayanan terhadap saksi dan/atau korban.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur pemulangan dan reintegrasi sosial terhadap anak sebagai saksi dan/atau korban ditentukan sesuai dengan prinsip konvensi hak anak, antara lain prinsip nondiskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “lembaga” dalam ketentuan ini adalah lembaga yang melakukan pendampingan terhadap saksi dan/atau korban, misalnya lembaga sosial masyarakat atau lembaga bantuan hukum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud “rujukan pelayanan” dalam ketentuan ini adalah pemberian jenis pelayanan lanjutan kepada rumah sakit atau pusat trauma yang tersedia, yang masuk dalam jaringan pelayanan terpadu. Ketentuan ini merupakan jejaring yang berbasis rumah sakit dan masyarakat. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembentukan dan penyelenggaraan PPT dalam ketentuan ini meliputi pula pembentukan organisasi dan tata laksana PPT. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat satu pedoman dari Pemerintah sehingga tidak tersebar di berbagai peraturan. Hal ini untuk lebih memudahkan pemerintah kabupaten/kota untuk menyelengarakan pelayanan terpadu. Yang dimaksud dengan menteri terkait, antara lain: Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Pimpinan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).
Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sarana” adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud dan tujuan, misalnya, meja dan tempat tidur periksa pasien, stetoskop. Yang dimaksud dengan “prasarana” adalah segala hal yang merupakan penunjang utama terselenggaranya pelayanan terpadu misalnya, ruangan khusus untuk pemeriksaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Sarana dan prasarana pelayanan terpadu yang telah ada selama ini misalnya di rumah sakit umum milik Pemerintah, provinsi, dan kabubaten/kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat, atau Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II, III, dan IV. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Petugas pelaksana atau petugas fungsional dalam ketentuan ini berasal dari pegawai negeri sipil di lingkungan dinas masing-masing yang dipekerjakan yang pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Ayat (2) Honorarium dalam ketentuan ini diberikan sesuai dengan kemampuan pemerintah kabupaten/kota. Ayat (3) Yang dimaksud dengan relawan pendamping, misalnya, pekerja sosial, advokat, atau petugas rohaniwan. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam ketentuan ini, makna “segera” dimaksudkan agar pimpinan atau petugas dalam menangani saksi dan/atau korban menggunakan metode penanganan atau pertolongan pertama pada saksi dan/atau korban. Prosedur dalam ketentuan ini ditetapkan oleh masing-masing PPT. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Ruang Pemeriksaan Khusus” dalam ketentuan ini adalah tempat melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang pada setiap Kepolisian Resort/Kepolisian Kota Besar dan Kepolisian Daerah yang pembentukan dan pelaksanaannya sesuai dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Rumah perlindungan sosial atau pusat trauma (trauma center) dalam ketentuan ini ada yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi. Rumah perlindungan sosial adalah lembaga atau panti yang bertujuan untuk memberikan perlindungn awal kepada korban sebelum dirujuk ke lembaga atau panti lain yang memberikan pelayanan lebih intensif. Pusat trauma adalah suatu lembaga atau panti yang menjadi pusat peredaman (penurunan atau penghilangan) kondisi traumatis yang dialami korban sebagai tindak kekerasan yang dialaminya atau anggota keluarganya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) “Instansi terkait lainnya” dalam ketentuan ini misalnya: Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Polri, Imigrasi. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tindakan lain” dalam ketentuan ini antara lain: pemberitahuan kepada pihak keluarga saksi dan/atau korban. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pembentukan PPT di luar negeri diutamakan pada negara yang sering terjadi tindak pidana perdagangan orang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembiayaan penanganan dalam ketentuan ini dibebankan kepada bupati/walikota daerah asal saksi dan/atau korban. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Penghargaan dalam ketentuan ini misalnya: piagam atau tropi. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4818
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2008 TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 ayat (7) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG GUGUS TUGAS PENCEGAHAN DAN PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pusat, yang selanjutnya disebut Gugus Tugas Pusat adalah lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang ditingkat nasional. 2.
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi, yang selanjutnya disebut Gugus Tugas Provinsi adalah lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di tingkat provinsi.
3.
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut Gugus Tugas Kabupaten/Kota adalah lembaga koordinatif yang Tugas meng-koordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan
BAB II GUGUS TUGAS PUSAT Bagian Kesatu Pembentukan, Kedudukan, dan Tugas
Pasal 2 (1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Gugus Tugas Pusat. (2) Gugus Tugas Pusat berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 3 Gugus Tugas Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Pasal 4 Gugus Tugas Pusat mempunyai tugas : a.
mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah tindak pidana perdagangan orang;
b.
melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama baik kerja sama nasional maupun internasional;
c.
memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d.
memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; dan
e.
melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
Bagian Kedua Organisasi
Pasal 5 Keanggotaan Gugus Tugas Pusat terdiri atas Pimpinan dan Anggota.
Pasal 6 Pimpinan Gugus Tugas Pusat sebagairnana dimaksud pada Pasal 5 terdiri atas : a. Ketua : Menteri Negara Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat; b. Ketua Harian
: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan;
c. Anggota
: 1. Menteri Dalam Negeri; 2. Menteri Luar Negeri; 3. Menteri Keuangan; 4. Menteri Agama; 5. Menteri Hukum dan HAM; 6. Menteri Perhubungan; 7. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 8. Menteri Sosial; 9. Menteri Kesehatan; 10. Menteri Pendidikan Nasional; 11. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata; 12. Menteri Komunikasi dan Informatika; 13. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas; 14. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga;
15. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 16. Jaksa Agung Republik Indonesia; 17. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI; 18. Kepala Badan Intelijen Negara; 19. Kepala Badan Pusat Statistik,
Pasal 7 Anggota Gugus Tugas Pusat sebagaimana, dimaksud pada Pasal 5 merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
Pasal 8 Anggota Gugus Tugas Pusat diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua. Gugus Tugas Pusat.
Pasal 9 Anggota Gugus Tugas Pusat dijabat secara ex officio oleh pejabat struktural atau fungsional pada masing-masing unsur.
Pasal 10 1)
Dalam melaksanakan tugasnya, Ketua Harian dapat membentuk Sub Gugus Tugas Pusat sesuai dengan kebutuhan.
(2) Sub Gugus Tugas Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Koordinator Sub Gugus Tugas, yang beranggotakan dari Anggota Gugus Tugas Pusat.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Ketua Harian.
Pasal 11 (1) Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas, kepada Gugus Tugas Pusat diperbantuhan unit kerja Sekretariat. (2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh salah satu unit kerja yang berada di lingkungan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipimpin oleh seorang Kepala Sekretariat yang secara fungsional bertanggungjawab kepada Gugus Tugas Pusat dan secara administratif bertanggung-jawab kepada Menteri. (4) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) bertugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada Gugus Tugas Pusat.
BAB III GUGUS TUGAS PROVINSI DAN GUGUS TUGAS KABUPATEN/KOTA
Pasal 12 (1) Di Provinsi dibentuk Gugus Tugas Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Gugus Tugas Provinsi berada bertanggungjawab kepada Gubernur.
di
bawah
dan
Pasal 13 (1) Di Kabupaten/Kota dibentuk Gugus Tugas Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Gugus Tugas Kabupaten/Kota berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota.
Pasal 14 Pengaturan mengenai tugas, susunan organisasi, keanggotaan, dan anggaran Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/ Kota diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dengan memperhatikan ketentuan mengenai tugas, susunan organisasi, keanggotaan, dan anggaran Gugus Tugas Pusat yang diatur dalam Peraturan Presiden ini.
BAB IV MEKANISME KERJA Bagian Kesatu Umum
Pasal 15 Untuk menjamin sinergitas dan kesinambungan langkah-langkah pemberantasan tindak pidana perdagangan orang secara terpadu, Gugus Tugas Pusat, Gugus Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota melakukan koordinasi dan hubungan secara langsung dengan instansi terkait dan pihak terkait lainnya untuk menyusun kebijakan, program, kegiatan, dalam bentuk Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah.
Pasal 16 Untuk menjamin efektivitas langkah-langkah pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, Gugus Tugas Pusat, Gugus Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan secara periodik.
Pasal 17 Koordinasi Gugus Tugas Pusat meliputi koordinasi nasional, koordinasi pleno, koordinasi sub gugus tugas, dan koordinasi khusus. Pasal 18 (1) Koordinasi nasional dilaksanakan oleh Gugus Tugas Pusat yang diikuti Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota. (2) Koordinasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Koordinasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memantau, membahas masalah dan hambatan, dari mensinergiskan pelaksanaan langkah-langkah pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang secara nasional. (3) Koordinasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memantau, membahas masalah dan hambatan, dari mensinergiskan pelaksanaan langkah-langkah pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang secara nasional. (4) Dalam kcordinasi nasional, wakil-wakil unsur pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi selalu berkoordinasi dengan induk instansi/lembaga masing-masing.
Pasal 19 (1) Koordinasi pleno diikuti seluruh anggota Gugus Tugas Pusat. (2) Koordinasi pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berkala 1 (satu) kali dalam 4 (empat) bulan. Pasal 20 (1) Koordinasi sub gugus tugas diikuti seluruh anggota sub gugus tugas pada Gugus Tugas Pusat.
(2) Koordinasi sub gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berkala 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
Pasal 21 (1) Dalam hal diperlukan penanganan khusus dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, Gugus Tugas Pusat dapat melaksanakan koordinasi khusus. (2) Koordinasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh seluruh anggota Gugus Tugas Pusat dan dapat mengikutsertakan Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota. (3) Koordinasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menyikapi permasalahan khusus yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat.
Pasal 22 Hasil koordinasi Gugus Tugas Pusat menjadi acuan bagi pelaksanaan tugas Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota.
Pasal 23 Pelaksanaan tugas Gugus Tugas Pusat, Gugus Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota dilakukan secara terkoordinasi dalam satu kesatuan kebijakan dalam rangka upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 24 Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 23 oleh masing-masing anggota Gugus Tugas Pusat disampaikan kepada instansi masing-masing untuk dilaksanakan sesuai dengan tugas
dan fungsinya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 25 Pemantauan perkembangan pelaksanaan tugas oleh Gugus Tugas Pusat dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu, baik melalui koordinasi nasional, koordinasi pleno, koordinasi sub gugus tugas, dan koordinasi khusus, serta pemantauan langsung ke lapangan atau menggunakan sarana komunikasi yang tersedia.
Pasal 26 (1) Evaluasi pelaksanaan tugas meliputi evaluasi tahunan, evaluasi pertengahan periode, dan evaluasi akhir periode. (2) Evaluasi pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara internal dan/atau melibatkan pihak ketiga. (3) Ketentuan mengenai evaluasi pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Ketua Harian.
Pasal 27 (1) Sub Gugus Tugas Pusat melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Ketua Harian. (2) Laporan masing-masing Sub Gugus Tugas Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas dalam koordinasi pleno Gugus Tugas Pusat.
Pasal 28 Ketua Gugus Tugas Pusat melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan masyarakat secara tahunan dan lima tahunan.
Pasal 29 Ketentuan mengenai mekanisme kerja Gugus Tugas Pusat yang diatur dalam Peraturan Presiden ini berlaku bagi Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota.
BAB V ANGGARAN Pasal 30 (1) Anggaran pelaksanaan tugas Gugus Tugas Pusat dibebankan Anggaran kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara cq. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. (2) Anggaran pelaksanaan tugas Gugus Tugas Provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (3) Anggaran pelaksanaan tugas Gugus Tugas Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 31 Hasil koordinasi Gugus Tugas Pusat, Gugus Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab masing-masing instansi baik Pusat maupun Daerah, pembiayaannya dibebankan kepada anggaran dari masing-masing instansi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Gugus Tugas atau satuan tugas lain yang memiliki tugas yang sama dengan tugas Gugus Tugas yang sudah terbentuk sebelum
Peraturan Presiden ini berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Presiden ini.
Pasal 33 Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Juni 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, ttd Dr. M. Iman Santoso
PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/KEP/MENKO/KESRA/IX/2009 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) DAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK (ESA) 2009 – 2014
MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak merupakan kejahatan berat karena bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia; b. bahwa kegiatan perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak merupakan permasalahan bangsa yang memerlukan langkahlangkah pencegahan dan penanganan secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan berbagai pihak dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. bahwa untuk meningkatkan koordinasi yang meliputi sinkronisasi, harmonisasi, dan integritas pelaksanaan berbagai program dan kegiatan tersebut perlu pedoman yang memuat penjabaran berbagai amanat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak; d. bahwa sehubungan dengan butir a, b, dan c dipandang perlu menetapkan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.
Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri; 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 Pengesahan ILO Convention No 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Anak) mengenai Pelarangan dan Tindakan Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional; 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga; 12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; 14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; 15. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Againt Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); 16. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Espacially Women and Children, Sipplementing the United Nations Convention Againt Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi); 17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; 18. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 9 Tahun 2008 tentang Tatacara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; 19. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor: 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK 2009 - 2014
Pasal 1 (1) Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak, selanjutnya disebut RAN PTPPO dan ESA, adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia; (2) RAN PTPPO dan ESA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan landasan dan pedoman pelaksanaan bagi Gugus Tugas Pemerintah Pusat, Gugus Tugas Propinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota, dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak.
Pasal 2 Dalam rangka meningkatkan efektivitas upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak, pelaksanaannya mengacu pada RAN Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak dengan klaster program sebagai berikut : a.
Pencegahan dan Partisipasi Anak, sebagai penanggung jawab adalah Departemen Pendidikan Nasional;
b.
Rehabilitasi Kesehatan, sebagai penanggung jawab adalah Departemen Kesehatan;
c.
Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi Sosial, sebagai penanggungjawab adalah Departemen Sosial;
d.
Pengembangan Norma Hukum, sebagai penanggungjawab adalah Departemen Hukum dan HAM;
e.
Penegakan Hukum, sebagai penanggungjawab adalah POLRI;
f.
Koordinasi dan Kerjasama, sebagai penanggungjawab adalah Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Pasal 3 Tujuan RAN PTPPO dan ESA adalah: a.
Mencegah terjadinya segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA;
b.
Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi kesehatan;
c.
Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabiitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d.
Mengembangkan norma hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban;
e.
Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban.
f.
Membangun dan meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan di tingkat Nasional dan Internasional
Pasal 4 Pelaksanaan RAN PTPPO dan ESA dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan disempurnakan apabila diperlukan.
Pasal 5 Dalam pelaksanaannya, RAN PTPPO dan ESA akan dilaksanakan oleh Gugus Tugas baik tingkat Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/ Kota sesuai dengan tugas dan fungsi seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 tahun 2008.
Pasal 6 Pembiayaan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi RAN PTPPO dan ESA dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, anggaran masing-masing pemangku kepentingan, dan/atau sumber dana lain yang sah serta tidak mengikat;
Pasal 7 Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 11 September 2009
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Aburizal Bakrie
LAMPIRAN RENCANA AKSI NASIONAL (RAN) PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK (PTPPO DAN ESA) 2009-2014
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tindak Pidana Perdagangan orang (TPPO) – khususnya perempuan dan anak, dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Korban dalam hal ini diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual kembali, serta dirampas hak asasinya, bahkan beresiko pada kematian. TPPO dan ESA itu sendiri telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir maupun tidak terorganisir, baik yang bersifat antar negara (Internasional) maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sering dijadikan modus kejahatan TPPO dan ESA. Setiap tahun sedikitnya 450.000 warga Indonesia (70 persen adalah perempuan) diberangkatkan ke luar negeri. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen dikirim secara ilegal. Tingginya arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, membuat tidak sedikit warga Indonesia, terutama perempuan dan anak, menjadi korban TPPO
dan ESA. Sebab migrasi tenaga kerja selama ini telah dijadikan sebagai modus utama tindak kejahatan TPPO dan ESA. Masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan angka putus sekolah, rendahnya tingkat pendidikan serta tingginya kesenjangan ekonomi antar negara, membuat masyarakat Indonesia – khususnya perempuan dan anak, kian rentan terhadap TPPO dan ESA. Ini terbukti dari meningkatnya jumlah korban TPPO, meskipun belum ada angka-angka yang tepat tentang jumlah korban sesungguhnya, karena jumlah kasus ini merupakan fenomena gunung es yang berarti gambaran yang sebenarnya jauh lebih besar dari apa yang dilaporkan, namun dari laporan kepolisian dan beberapa lembaga yang menangani korban, jumlah kasus yang didampingi cukup tinggi. Sebagai gambaran, berdasarkan laporan dari Internasional Organization for Migration (IOM) tahun 2005 sampai dengan Januari 2009, telah dipulangkan 3.339 orang korban perdagangan orang, yang sebagian besar adalah perempuan (89,5 %), termasuk bayi (0,15 %) dan anak-anak (24,6 %), mereka dipulangkan sebagian besar dari Negara Malaysia, Saudi Arabia, Singapore, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan, dan Iraq, di samping yang terjadi di wilayah Indonesia. Berdasarkan daerah asal, maka para korban sebagian besar berasal dari Jawa Barat (720), Kalimantan Barat (711), Jawa Timur (418), Jawa Tengah (371), Sumatera Utara (230), Nusa Tenggara Barat (228), Lampung (167), dan Nusa Tenggara Timur (137). Pada tahun 2008 Bareskrim Mabes POLRI mencatat ada 199 kasus yang ditangani oleh jajaran Reskrim se Indonesia dengan 291 pelaku TPPO yang ditangkap dan 107 kasus diantaranya telah selesai di tingkat kejaksaan. Dari sejumlah 598 orang korban TPPO, 510 orang adalah orang dewasa, 88 orang lainnya adalah anak-anak. Tahun 2008 UNICEF juga melansir adanya 100.000 perempuan dan anak Indonesia yang diperdagangkan, mayoritas sebagai pekerja seks. Selain itu, data tahun 2006 yang dikeluarkan UNICEF juga mengindikasikan tingginya eksploitasi seksual anak, di mana 30 persen yang menjadi pekerja seks di Indonesia adalah anak-anak pada usia sekitar 10 – 18 tahun.
Korban TPPO di Indonesia seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual, misalnya dalam bentuk pelacuran dan paedophilia. Bareskrim Polri mencatat pada tahun 2008 terdapat 90 kasus eksploitasi seksual anak dengan jumlah korban perempuan sebanyak 210 orang dan korban anak sebanyak 55 orang, sedangkan 109 kasus lain terkait dengan ketenagakerjaan. Tingginya Komitmen Pemerintah Indonesia dalam memerangi Perdagangan Perempuan dan Anak dan Eksploitasi Seksual Komersial Anak telah ditunjukkan dengan ditetapkannya Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A), dan Keputusan Presiden No. 87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN PESKA). Setelah pelaksanaan RAN P3A dan RAN PESKA sejak tahun 2002, telah banyak hasil yang dicapai antara lain telah ditetapkannya UU No. 23 tentang Perlindungan Anak yang disahkan pada tahun 2002, UU No. 23 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada tahun 2004, UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Sesuai dengan amanat dalam pasal 58 Undang-Undang PTPPO, telah ditetapkan : 1. Peraturan Pemerintah R.I No.9 tahun 2008, tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi dan atau korban tindak pidana perdagangan orang. 2. Peraturan Presiden R.I No. 69 tahun 2008, tentang Gugus Tugas Pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 3. Peraturan Ka Polri No. Pol 10 tahun 2007, tentang amanat pasal 45 UU PTPPO tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak dilingkungan Kepolisian Negara RI.
4. Peraturan Kapolri No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan atau Korban Tindak Pidana Dalam Peraturan Presiden No. 69/2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah ditetapkan bahwa Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua Gugus Tugas dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai Ketua Harian. Gugus Tugas Pusat beranggotakan 14 Menteri, Kapolri, Kejagung, Kepala Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Kepala BIN, dan Kepala Badan Pusat Statistik. Untuk mewujudkan kegiatan strategis yang terpadu lintas program dan lintas pelaku, baik Gugus Tugas pusat maupun daerah, diperlukan usaha-usaha yang signifikan dan sistematis yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak yang dapat menjadi arahan, pedoman dan rujukan dalam penanganan masalah TPPO dan ESA. RAN ini disusun berdasarkan hasil evaluasi dan rekomendasi terhadap pelaksanaan RAN sebelumnya.
B.
Landasan Hukum
Berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum bagi Pemberantasan Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA), antara lain : 1. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. 2. Undang-Undang RI No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian. 3. Undang-Undang RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
4. Undang-Undang RI No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Konvension No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja). 5. Undang-Undang RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. 6. Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 Pengesahan ILO Convention No 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak) mengenai Pelarangan dan Tindakan Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak; 8. Undang-Undang RI No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 9. Undang-Undang RI No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 10. Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 11. Undang-Undang RI No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 12. Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 13. Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 14. Undang-Undang RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 15. Undang-Undang RI No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
16. Undang-Undang RI No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 17. Undang-Undang RI No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 18. Undang-Undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 19. Undang-Undang RI No. 5 tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Againt Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi); 20. Undang-Undang RI No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. 21. Undang-Undang RI No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Espacially Women and Children, Sipplementing the United Nations Convention Againt Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-Anak, melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi); 22. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. 23. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 24. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. 25. Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hakhak Anak). 26. Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.
27. Keputusan Presiden No. 12 tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. 28. Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. 29. Peraturan Presiden No 69 tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 30. Peraturan KAPOLRI No. 10 tahun 2007 tentang Organisasi Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 31. Peraturan KAPOLRI No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan /atau Korban Tindak Pidana. 32. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI No. 01 tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
C.
Pengertian
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Eksploitasi Seksual Anak, selanjutnya disebut ESA, adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau
agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Ada tiga bentuk Eksploitasi Seksual Anak, yakni:
(1) Prostitusi anak, didefinisikan sebagai penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain (2) Pornografi anak, didefinisikan sebagai setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual, baik secara nyata maupun disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual (3) Perdagangan anak untuk tujuan seksual Anak adalah setiap manusia yang umurnya di bawah delapan belas (18) tahun.
D.
Peluang dan Tantangan
1. Peluang
Upaya untuk memberantas TPPO dan ESA secara konkrit melalui RAN memiliki peluang keberhasilan apabila dilakukan secara optimal dan sinergis. Beberapa kondisi yang sudah terbangun dapat menjadi pendorong sekaligus peluang untuk keberhasilan upaya tersebut, di antaranya :
a.
Masyarakat Internasional telah mengambil prakarsa dan langkah penting dalam usaha memerangi praktik perdagangan orang, di antaranya adalah penandatanganan Konvensi PBB mengenai Kejahatan Trans Nasional Terorganisir dan 2 protokolnya oleh 120 negara, adanya
program global untuk memerangi perdagangan manusia, dan pembahasan isu migrasi dan kaitannya dengan masalah TPPO di berbagai organisasi di sejumlah kawasan termasuk ASEAN. b.
Meluasnya konsensus Internasional tentang definisi TPPO yang ada di dalam Protokol Tambahan PBB tentang Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak. Ini termasuk pengakuan adanya TPPO terhadap laki-laki dan TPPO untuk tujuan selain eksploitasi seks serta meluasnya tuntutan internasional dalam mengatasi TPPO, penegakan hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
c.
Meluasnya kerjasama antara negara-negara ASEAN, khususnya terkait masalah peradilan. Standing Working Group (Kelompok Kerja Asean) perdagangan orang juga telah didirikan sebagai poin aksi pertama dalam rencana kerja tiga tahun. Rencana kerja yang bertujuan untuk membantu Negara-negara dalam melaksanakan ASEAN Declaration against Trafficking of Women and Children, disetujui oleh Senior officials Meeting ASEAN ke 7 tentang Transnational Crime di Vientiane pada 27 Juni 2007. Rencana Kerja 2007-2009 untuk Implementasi ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children, memberikan sebuah kerangka kerja yang kuat bagi Negara-negara ASEAN untuk maju bersama.
d.
Peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas dan dapat ditegakkan berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak, di antaranya adalah Undang-Undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang RI No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
e.
Berkembangnya pelayanan berbasis masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam upaya penghapusan TPPO dan ESA serta Otonomi daerah yang memberi peluang bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi upaya-upaya tersebut. Selain itu adanya organisasi masyarakat dan organisasi Internasional yang peduli dan bekerja untuk isu TPPO dan ESA, baik di tingkat Internasional, Nasional maupun lokal.
f.
Berkembangnya teknologi informasi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun jaringan dalam upaya memerangi TPPO dan ESA, dan berkembangnya inisiatif masyarakat dalam memerangi TPPO dan ESA, serta adanya keterbukaan, demokratisasi dan kerjasama sinergis antara pemerintah dan komponen masyarakat dalam memerangi TPPO dan ESA.
2. Tantangan
Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan RAN P3A dan RAN PESKA, namun masih banyak permasalahan dan hambatan yang dihadapi. Terdapat berbagai kesenjangan yang menjadi hambatan dan sekaligus tantangan dalam pemberantasan TPPO dan ESA, di antaranya adalah: a.
Belum maksimalnya pengembangan norma hukum d a n penegakan hukum. 1) Belum maksimalnya kerja sama aparat penegak hukum dan masih adanya perbedaan persepsi dalam mengimplementasikan UU No. 21 tahun 2007, tentang PTPPO. 2) Belum dipahaminya UU No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO oleh aparat maupun masyarakat. 3) Terbatasnya bantuan hukum dan pendampingan bagi korban.
b.
Belum optimalnya pencegahan segala bentuk perdagangan orang. 1) Kurangnya komunikasi, informasi, dan edukasi tentang perdagangan orang kepada pemangku kepentingan maupun masyarakat. 2) Terbatasnya aksesibilitas terhadap pendidikan jalur sekolah maupun luar sekolah bagi kelompok rentan, terutama perempuan putus sekolah.
c.
Sistim administrasi kependudukan dan keimigrasian belum memadai, sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan identitas diri (KK, KTP, Akte kelahiran, dan Paspor). 1) Belum tersedianya sistem pendataan dan informasi tentang Perdagangan Orang. 2) Terbatasnya program pembangunan di daerah perbatasan dan masih kurangnya sistem pengawasan di daerah perbatasan, antar pulau, maupun antar negara.
d.
Belum optimalnya pelayanan rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan orang. 1) Terbatasnya anggaran untuk penyelenggaraan rehabilitasi dan reintegrasi sosial. 2) Terbatasnya sarana dan prasarana layanan bagi korban. 3) Terbatasnya kuantitas dan kualitas petugas dalam menangani pelayanan kesehatan, trauma konseling, serta pendampingan hukum bagi korban.
e.
Belum optimalnya kerjasama dan koordinasi. 1) Masih terdapat perbedaan persepsi dalam penanganan korban antara Negara tujuan dengan Negara sumber. Negara tujuan menganggap korban sebagai illegal migran, sedangkan Negara asal melihatnya sebagai korban. 2) Belum semua daerah propinsi, kabupaten/kota mempunyai gugus tugas dan rencana aksi daerah. 3) Kerjasama dan koordinasi antar sektor dan propinsi kabupaten/kota dalam upaya pencegahan dan penanganan perdagangan orang belum memadai.
f.
Terbatasnya dukungan anggaran untuk upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, baik di tingkat nasional (sektor) maupun di daerah. Selain itu akar permasalahan perdagangan orang adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak harus sejalan pula dengan upaya penanggulangan kemiskinan dan peningkatan serta perluasan kesempatan kerja dan lapangan kerja. Masalah perdagangan orang adalah masalah yang sangat kompleks, maka dalam penanganannya memerlukan upaya yang menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, serta terkoordinasi dengan baik antara pemerintah pusat, daerah, organisasi keagamaan, LSM, perguruan tinggi, media masa, dan seluruh komponen masyarakat. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang dengan lebih meningkatkan peran dan fungsi sektor baik di tingkat Pusat maupun Daerah.
BAB II ARAH KEBIJAKAN
A.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Terwujudnya peningkatan efektivitas upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak yang dilakukan melalui Rencana Aksi Nasional 2009 – 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Mencegah terjadinya segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA; b. Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi kesehatan; c. Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial; d. Mengembangkan norma hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban; e. Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban. f.
Membangun dan meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan di tingkat Nasional dan Internasional
B.
C.
Sasaran
a.
Terlaksananya pencegahan segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA;
b.
Terwujudnya pelayanan dan rehabilitasi kesehatan yang memadai;
c.
Terwujudnya pelayanan dan rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial yang memadai;
d.
Terlaksananya norma hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban;
e.
Terlaksananya penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban.
f.
Terwujudnya peningkatan kerjasama dan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan di tingkat Nasional dan Internasional
Strategi
Berbagai upaya pemberantasan TPPO dan ESA yang dilakukan selama ini dirasakan belum efektif dan mendasar. Begitu banyak kegiatan yang dirancang dalam RAN sebelumnya tidak banyak yang direalisasikan. Untuk itu, perlu kegiatan-kegiatan strategis yang memiliki keluasan dampak, di antaranya melalui:
1. Penataan kelembagaan yang efektif untuk Pemberantasan TPPO dan ESA, dengan kerangka kerja sinergis untuk koordinasi, manajemen dan anggaran, dan didukung oleh kesekretariatan yang memadai. 2. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kuantitas dana dalam upaya pemberantasan TPPO dan ESA.
3. Memperbaiki basis informasi dan menciptakan sistem manajemen data, dengan mempertimbangkan pembentukan sebuah unit yang didedikasikan untuk pengumpulan data TPPO dan ESA, termasuk monitoring implementasi RAN. 4. Mengembangkan sistem migrasi yang lebih baik untuk meningkatkan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia. 5. Mengimplementasikan upaya penanganan yang komprehensif untuk mengatasi jeratan hutang, termasuk perubahan dalam kebijakan serta praktik migrasi. 6. Meningkatkan upaya penegakan hukum bagi pelaku TPPO dan ESA, diantaranya dengan: a) mencabut ijin terhadap PPTKIS yang melanggar hukum; b) menyediakan dan mengimplementasikan penyitaan aset; c) memperkuat unit-unit spesialis penanggulangan TPPO dan ESA; d) dan mengambil langkah tegas terhadap pejabat pemerintah yang terlibat. 7. Melakukan pendidikan dan pelatihan pada aparat penegak hukum, pejabat, dan masyarakat.
D.
Pendekatan
Upaya untuk menghapus TPPO dan ESA dijalankan berdasarkan pendekatan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang terkandung dalam instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia, yaitu:
1. Kesetaraan dan non diskriminasi: tidak ada diskriminasi berdasarkan suku bangsa, agama, bahasa, keyakinan politik, status migrasi, dan daerah asal. 2. Keadilan: memberi perhatian khusus pada kesejahteraan kelompok-kelompok rentan dan yang terpinggirkan
3. Pemberdayaan: menekankan strategi pemberdayaan daripada respon karitatif/charity, dengan memberikan pada korban dan komunitas, kekuatan dan kemampuan serta akses sumberdaya yang mereka butuhkan untuk mencegah terjadinya TPPO dan ESA. Dengan prinsip pemberdayaan ini upaya penghapusan TPPO dan ESA lebih berfokus pada kekuatan individu dan komunitas, termasuk mendorong anak-anak untuk lebih berperan di komunitas kehidupan mereka dalam mengatasi masalah TPPO dan ESA. 4. Partisipasi: upaya penghapusan TPPO dan ESA mengarah pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi dari masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, dan memandang perempuan dan anak-anak – khususnya para korban, sebagai partisipan aktif dalam menemukan solusi konstruktif atas masalah TPPO dan ESA. 5. Akuntabilitas: berfokus pada peningkatan akuntabilitas proses penanganan TPPO dan ESA, di mana pemerintah sebagai pengemban kewajiban dituntut untuk melakukan langkah-langkah progresif dalam menghapus TPPO dan ESA dan dalam pemenuhan hak korban khususnya dan hak setiap warga untuk terlindungi dan bebas dari kejahatan TPPO dan ESA.
Banyak kegiatan penyadaran tetapi minim dampak, substansi kurang menyentuh persoalan dan metode yang digunakan kurang tepat
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX XXXX XXXX
RAN menjadi acuan penyusunan RAD dan kegiatan semua sektor terkait
Pelaksanaan fungsi-fungsi koordinasi sesuai Perpres no 69/2008 dan Permen PP nomor 8/2009.
• Fasilitasi penyelarasan RAD dengan RAN oleh Gugus Tugas Pusat
2014 10
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 6 7 8 9
XXXX
2009 5
SK sub Gugus Tugas Pusat, Prop, Kab/Kota
HASIL 4
Pembentukan tim sub Gugus Tugas pencegahan dan partisipasi anak Pusat, Prop, Kab/Kota
PROSES 3
INDIKATOR
Terbentuknya sistem pengawasan yang efektif dalam upaya pencegahan TPPO dan ESA Menurunnya jumlah kasus TPPO dan ESA Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencegah praktek TPPO dan ESA Mengarus utamakan gender dan hak anak dalam upaya pencegahan PTPPO dan ESA
• Fasilitasi peningkatan kapasitas kelembagaan Pusat, Propinsi, dan Kab/Kota
2
1
1. 2. 3. 4.
KEGIATAN
:
Target/Output
Mencegah terjadinya segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA
MASALAH
:
Tujuan
12
Menkokesra KNPP, Depdiknas, Depag, Depnaker, Dephub, Depkominfo PKK, Depdagri, Depsos, BIN, LSM, Depbudpar, Satuan Pendidikan, BNP2TKI, Komisi penyiaran
Depdiknas
Pelaksana 11
P. Jawab
A. SUB GUGUS TUGAS BIDANG PENCEGAHAN DAN PARTISIPASI ANAK (Penanggung Jawab : Departemen Pendidikan Nasional)
BAB III PROGRAM DAN KEGIATAN
1
Pelaksanaan fungsi-fungsi koordinasi sesuai PP no.9/2008
• Fasilitasi penyelarasan Rencana Aksi Daerah dengan RAN oleh gugus tugas nasional
Penayangan iklan layanan masyarakat di media
Pelaksanaan pelatihan kepada petugas
• ToT KIE untuk anggota gugus tugas pusat dan daerah
• Kampanye PTPPO dan ESA melalui media elektronik,media cetak, media luar
Pelaksanaan penyusunan metode sosialisasi
Pelaksanaan penyusunan stategi KIE yang melibatkan pusat dan daerah.
PROSES
HASIL
Peningkatan pemahaman masyarakat tentang isu
RAD dan kegiatan semua sektor terkait
Anggota gugus tugas pusat dan daerah trampil dalam implemen-tasi KIE
Metoda teknis sosialisasi tiap segmen
Strategi KIE yang aplikatif di lapangan
INDIKATOR
• Menyusun metode sosialisasi yang tepat untuk setiap segmen
• Menyusun strategi KIE yang tepat 1
KEGIATAN
Berperspektif gender dan hak anak
MASALAH
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
2014
P. Jawab
Indonesia, Asosiasi pariwisata Indonesia, PARFI
Pelaksana
MASALAH
• Kampanye pencegahan TPPO dan Penghapusan ESA berbasis komunitas
ruang dan media tradisional, serta media dokumen lainnya
KEGIATAN
Minimal 50% murid sekolah di daerah rawan pernah mendengar isu TPPO dan ESA
Gugus Tugas Daerah dan masyarakat mampu mengidentifikasi dan melaporkan kasus TPPO dan ESA ke polisi
Adanya survey perubahan perilaku untuk mengukur dampak dari iklan tersebut
Adanya fasilitasi penyelenggaraa n kampanye berbasis komunitas di daerah rawan melalui kelompokkelompok basis (PKK, Karang Taruna, Kelompok Pengajian, Kelompok sadar wisata, dll)
HASIL PTPPO dan ESA
PROSES elektronika dan media cetak, media lainya yang dapat dijangkau oleh masyarakat seperti dokumen E/D card, tiket, transportasi
INDIKATOR
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
P. Jawab
Pelaksana
Lemahnya monitoring
MASALAH
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
Menyusun Indikator
• Membangun sistem
XXXX
XXXX XXXX XXXX XXXX XXXX
XXXX
Teraplikasikannya “best practice” pencegahan TPPO dan ESA di daerah rawan
Adanya kegiatan inventarisasi “best practice” pencegahan TPPO dan ESA
• Replikasi “best practice” pencegahan TPPO dan ESA di daerahdaerah rawan. Adanya Indikator
XXXX XXXX XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
Modul jaringan perlindungan perempuan dan anak di tingkat desa
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
2014
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2009
Anak- anak sasaran advokasi memiliki sikap rasional menghadapi masalah
HASIL
Pelaksanaan penyusunan modul jaringan perlindungan perempuan dan anak di tingkat desa
Materi ttg TPPO dan ESA & menjadi bahan ajar (muatan lokal) di sekolah-sekolah formal dan non formal di daerah rawan (pengiriman, perbatasan, transit)
PROSES
INDIKATOR
• Penyusunan modul jaringan perlindungan perempuan dan anak di tingkat desa
• Advokasi terintegrasinya isu TPPO dan ESA dalam muatan lokal pembelajaran sekolah formal dan non formal
KEGIATAN
Depnaker trans
P. Jawab
Depnaker trans,
Pelaksana
pengawasan efektif terhadap kinerja PPTKIS dalam proses perekrutan dan penempatan pekerja domestik dan internasional
dan pengawasan pada proses penyaluran tenaga kerja domestik dan internasional .
• Membangun sistem layanan satu atap dan pengawasan satu atap
KEGIATAN
MASALAH
Terlaksananya sistem layanan satu atap PPTKIS dan kasus-kasus TKI
Adanya penindakan hukum kepada PPTKIS, calo dan aparat yang terlibat /memfasilitasi TPPO dan ESA
Adanya sistem dan aturan tentang pengawasan & mekanisme audit/akreditasi yang transparan terhadap kinerja PPTKIS di daerah & di luar negeri
Adanya mekanisme pelaporan/komp lain masyarakat terhadap kinerja PPTKIS dan aparat
Tersosialisasi nya SPM di setiap gugus tugas.
Mensosialisasik an SPM
Tersusunnya pedoman layanan satu atap
HASIL Keberhasilan Pencegahan
PROSES Keberhasilan
INDIKATOR
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
P. Jawab
DepHuk HAM, Dephub, Kepolisian, Deplu, BIN
Pelaksana
MASALAH
•
Sosialisasi kepada semua calon TKI tentang wajib lapor bagi semua WNI di LN kepada perwakilan RI (Kedutaan/KJR I/KRI)
KEGIATAN
Adanya mekanisme lapor diri kepada perwakilan RI di luar negeri
PROSES
Tersusunnya data terperinci mengenai semua warga negara Indonesia (termasuk dimana mereka bertempat tinggal) yang ada di wilayah akreditasi perwakilan RI di luar negeri
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
Berkurangnya kasuskasusTPPO dan ESA yang menggunakan modus migrasi
XXXX
2014
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
2009
HASIL
INDIKATOR P. Jawab
Pelaksana
2
Adanya standarisasi materi pelatihan dan BLK bagi TKI
• Mengembangkan dan menyempurnakan kualitas sistim (kurikulum, modul, sarana) pendidikan/pelati han berkualitas bagi calon TKI
Adanya uji kompetensi yang transparan bagi calon TKI yang akan diberangkatkan
Materi PTPPO dan ESA dimasukkan dalam modul pelatihan calon TKI di BLK dan pada saat PAP
Berjalannya sistem pengawasan di kantor-kantor imigrasi di daerah rawan yang melibatkan masyarakat/ NGO
PROSES
HASIL
Berkurangnya TKI bermasalah dan TKI korban TPPO dan ESA
Berkurangnya kasus TPPO dan ESA melalui migrasi ilegal
INDIKATOR
• Memperketat pengawasan arus migrasi di daerah-daerah rawan (contoh: Entikong, Batam, Nunukan, Medan,dll) 2
KEGIATAN
Diasumsikan ada program untuk revisi UU 39/2004 dan MoU dengan Malaysia
Minimnya kualitas pendidikan dan pelatihan bagi para calon TKI membuat TKI rentan menjadi korban TPPO dan ESA
MASALAH
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Depnaker trans
Depnaker trans
P. Jawab
Depdagri, BNP2TKI, Depkes, Asosiasi PPTKIS, DepBud Par, BIN
DepHuk HAM, Dephub, Kepolisian, BIN Deplu, Depnaker trans, DepKes, BNP2TKI,
Pelaksana
Sosialisasi standar pembiayaan
Monitoring/ident ifika-si TPPO dan ESA di lokasi rawan pelacuran (panti pijat, diskotek, lokalisasi, salon, dll)
•
• Membangun program penghapusan mekanisme hutang, minimalisasi dan standarisasi biaya penempatan
Sistem jeratan hutang dalam proses migrasi (perekrutan, penempatan dan pemulanga) yang berpotensi terjadinya eksploitasi korban TPPO dan ESA
•
KEGIATAN
MASALAH
Berkurangnya TKI bermasalah
Calon TKI memahami Kebutuhan biaya dan sistim penggajian di tempat kerja.
Adanya standar biaya penempatan TKI
Adanya proses sosialisasi pembiayaan kepada calon TKI
Adanya tindakan hukum bagi PPTKIS & germo yang melakukan TPPO dan ESA melalui jeratan
Teridentifikasi korban dan jeratan hutang di lokasi rawan pelacuran
Berkurangnya kasus TPPO dan ESA melalui jeratan hutang
HASIL
Adanya program bantuan untuk pembiayaan penempatan TKI yang melibatkan sektor perbankan
PROSES
INDIKATOR
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
2014
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2009
Pelaksana Depnaker trans,BNP2 TKI, Depkeu, Depsos, Kepolisian, BIN, Deplu
P. Jawab Depnaker trans
KEGIATAN
• Pengembangan program pember-dayaan ekonomi dan peningkatan aksessibilitas terhadap pendidikan (formal dan non formal) bagi keluarga miskin di daerah rawan
MASALAH
Korban TPPO dan ESA yang dipulangkan ke daerah menjadi korban kembali karena kurangnya kegiatan pendukung di daerah Korban TPPO dan ESA di daerah rawan semakin berkurang
Adanya aturan yang memudahkan keluarga miskin, khususnya korban TPPO dan ESA, untuk dapat mengakses pendidikan
Adanya programprogram pendidikan luar sekolah bagi keluarga miskin di daerah rawan.
Tidak ada lagi korban TPPO dan ESA yang dijadikan korban kembali
HASIL
Adanya kegiatan produktif bagi keluarga miskin, khususnya bagi korban TPPO dan ESA yang kembali ke daerah asal
PROSES hutang.
INDIKATOR
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depdiknas
P. Jawab
Depdiknas, PKK, Kementeria Koperasi dan UKM, departemen pertanian, prindustrian, departemen sosial , (Dpartemen teknis), KNPP, BKKBN, Depdag
Pelaksana
Masih lemahnya pelibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat/ adat dalam pencegahan TPPO dan ESA
Kurangnya pencatatan akta kelahiran anak dan kartu identitas (keadaan geografis yang luas) meningkatka n resiko terjadinya TPPO dan ESA
MASALAH
Pelaksanaan pencatatan satu orang untuk satu nomor induk
•
• Pengembangan program kampanye pencegahan TPPO dan ESA melalui ceramahceramah agama dan ceramah social
Pengembangan pencatatan akta lahir gratis
•
KEGIATAN
Adanya standar materi ceramah agama dan sosial tentang pencegahan TPPO dan ESA
Meluasnya pemahaman tentang TPPO dan ESA di kalangan komunitas agama
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
Adanya pilot project pengadaan NIK
Dijalankannya program pencatatan akta lahir gratis, khususnya bagi yang miskin
Adanya nomor induk kependudukan (single identity number) dengan komputerisasi.
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
2014
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2009
Tidak ada lagi anak-anak, khususnya di daerah rentan, yang tidak memiliki akta kelahiran
HASIL
Tersedianya surat keterangan lahir sampai di tingkat RT
PROSES
INDIKATOR
Depag
Depdagri
P. Jawab
Depag, Depdagri, Depsos, LSM
Depdagri, Depkes
Pelaksana
• Pengembangan kurikulum
Lemahnya Kinerja
Adanya pendidikan/pela-
APH menggunakan UU
Jumlah anak jalanan yang jadi korban TPPO dan ESA berkurang
Adanya kegiatan pendataan anak jalanan, khususnya di daerah rawan
Adanya kegiatan fasilitasi reintegrasi bagi anak jalanan yang ingin kembali ke keluarganya
Jumlah anak jalanan berkurang
Adanya kegiatan pendidikan dan ekonomi bagi anak jalanan
• Pengembangan program pendidikan dan kegiatan produktif bagi komunitas anak jalanan dan BPTA
Adanya sosialisasi masalah dan pencegahan TPPO dan ESA oleh para peserta training pada komunitasnya
HASIL
Jumlah anak jalanan, BPTA dan kelompok rentan lainya menjadi korban TPPO dan ESA semakin bertambah
PROSES
INDIKATOR
Adanya pelatihan TOT pencegahan TPPO dan ESA bagi para tokoh agama dan tokoh masyarakat/adat
KEGIATAN
• Pengembangan upaya pencegahan TPPO dan ESA melalui komunitaskomunitas agama
MASALAH
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Depkum ham
Depsos
P. Jawab
Depkum ham,
Depsos, Depnaker trans, Kemenko kesra NGO (YKAI, JARAK) Komnas Anak
Pelaksana
Masih lemahnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pencegahan kasus TPPO dan ESA
Aparat Penegak Hukum (APH) dan masalah mutasi pegawai
MASALAH
•
•
Terbangunnya mekanisme nasional untuk pengawasan dan perlindungan dalam memberantas kejahatan TPPO dan ESA , yang melibatkan masyarakat
Pengembangan pembelajaran calon APH secara berkesinambun gan tentang PTPPO dan ESA
PTPPO dan ESA untuk pendidikan APH.
KEGIATAN
Adanya pelatihan pencegahan TPPO dan ESA bagi masyarakat
Adanya forum dan atau kerjasama antara lembagalembaga masyarakat, NGO, organisasi profesi, dan lembaga penegakan hukum untuk upaya pencegahan kejahatan TPPO dan ESA
PROSES tihan berkesinambungan tentang PTPPO dan ESA pada APH dan calon APH
Menurunkan jumlah kasuskasus TPPO dan ESA
HASIL PTPPO, UU Perlindungan Anak dan UU lain yang terkait dengan PTPPO, sebagai acuan pemidanaan
INDIKATOR
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depkum ham
P. Jawab
Depkum ham, KNPP, Depsos, Depnaker trans, POLRI, BIN, MA, Kejaksaan, NGO, Organisasi profesi.
Kepolisian, BIN, Kejaksaan.
Pelaksana
• Pengembangan kawasan pariwisata yang ramah anak
•
Dimanfaatka nnya fasilitas wisata oleh oknum yang bekerja di lingnkungan pariwisata dan lainnya
Masih adanya pernikahan anak-anak di
Merumuskan kebijakan penghapusan pernikahan
KEGIATAN
MASALAH
Adanya kajian terhadap kebijakan penghapusan
Diterapkannya kebijakan penghapusan pernikahan
Terwujudnya pariwisata yang ramah anak dan bebas dari eksploitasi seksual anak
Adanya pelatihan bagi asosiasi pariwisata dan usaha pariwisata
Adanya kampanye di destinasi pariwisata
Berkurangnya kasus-kasus di daerah wisata
Meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan oleh masyarakat
Adanya pemantau masalah dan TPPO yg melibatkan semua pihak
Diadopsinya kode etik pariwisata dunia yang sudah dikembangkan di tingkat regional dan internasional
HASIL
PROSES dan NGO
INDIKATOR
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Depag
Depbud par
P. Jawab
Depkum ham, Depdagri, Depag
Depbudpar, Depkom imfo, Depdagri, Depsos, LSM, Swasta (asosiasi dan usaha pariwisata)
Pelaksana
Belum adanya sistem
•
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi
Fasilitasi terbentuknya kelompok anak yang mendukung pmberantasan TPPO dan ESA
anak-anak di bawah umur
bawah umur
Masih minimnya keterlibatan/ partisipasi anak dalam penanggulan gan
KEGIATAN
MASALAH
Adanya panduan monev
Adanya kegiatankegiatan untuk mendukung forum/jaringan anak dalam berbagai level hingga nasional
Ada peningkatan kualitas
Semakin meningkat jumlah kelompokkelompok anak yang terlibat dalam pemberantasan TPPO dan ESA
Berkurangnya kasus-kasus pernikahan anak di bawah umur
Dirumuskannya kebijakan penghapusan pernikahan anak di bawah umur
Terbentuknya forum/jaringan anak nasional untuk memerangi TPPO dan ESA
HASIL anak di bawah umur
PROSES pernikahan anak di bawah umur
INDIKATOR
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depdiknas
KNPP
P. Jawab
Semua anggota sub GT bidang
Depdiknas, Depsos, LSM
Pelaksana
KEGIATAN
kegiatan pencegahan TPPO dan ESA
• Pengembangan monev bagi program penghapusan TPPO dan ESA
MASALAH
monitoring dan evaluasi bagi kegiatan pencegahan TPPO dan ESA
Masih lemahnya kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan penanggulangan yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan program penanggulangan
Dijalankannya monev oleh tim yang memiliki kapasitas keahlian terkait dengan pnanggulangan TPPO dan ESA
Terlaksananya kegiatan monev untuk pencegahan TPPO dan ESA
PROSES
Adanya data/informasi dasar untuk perbaikan dan pengembangan program penghapusan TPPO dan ESA
HASIL pelaksanaan kegiatan pencegahan TPPO dan ESA
INDIKATOR
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
NPP
P. Jawab
KNPP, Kemenko Kesra, Depsos, Depnaker Trans, Depdagri, Depkomin fo, Deplu, NGO
pencegahan
Pelaksana
Masih lemahnya SDM dalam hal Rehabilitasi kesehatan yang bisa diakses oleh korban TPPO dan ESA
Depkes
Depkes
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
Tersedianya tenaga kesehatan terlatih yang mampu menangani gangguan kesehatan pada korban TPPO dan ESA di Puskesmas, RS rujukan (yang mempunyai PPT/PKT) Meningkatnya jumlah tenaga kesehatan yang terlatih
Pelatihan tentang tatalaksana medis kasus KtP/A termasuk TPPO dan ESA bagi tenaga kesehatan di Puskesmas dan di RS yang mempunyai PPT/PKT
• Meningkatkan kapasistas SDM untuk pelayanan rehabilitasi kesehatan bagi korban TPPO dan ESA
11
P. Jawab
2014 10
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 6 7 8 9
Menyediakan pelayanan kesehatan yang mudah diakses
2009 5
• Meningkatnya pelayanan terhadap korban TPPO dan ESA
2
1
INDIKATOR PROSES HASIL 3 4
Depkes, DepDagri, POLRI (Pusdokes), RS Swasta, Perguruan tinggi di bidang kesehatan
12
Pelaksana
Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi kesehatan yang dapat diakses oleh korban TPPO dan ESA 1. Terpenuhinya hak-hak korban TPPO dan ESA untuk memperoleh pelayanan rehabilitasi kesehatan 2. Terlaksananya mekanisme rujukan nasional dan daerah bagi korban TPPO dan ESA
KEGIATAN
: :
MASALAH
Tujuan Target/output
B. SUB GUGUS TUGAS BIDANG REHABILITASI KESEHATAN (Penanggung Jawab : Departemen Kesehatan)
Kurangnya • sarana/pra sarana yang memadai (sesuai dengan SPM – PPT untuk saksi dan / atau korban TPPO dan ESA)
MASALAH
Mengembangkan & menyediakan sarana/prasrana pelayanan kesehatan untuk penanganan korban KtP/A termasuk korban TPPO dan ESA
KEGIATAN
Minimal terdapat 2 Puskesmas di setiap kbupaten/kota di setiap yang mampu menangani kasus KtP/A termasuk kasus pada korban TPPO dan ESA Minimal terdapat 1 RS yang mempunyai PPT/PKT sebagai rujukan
Tersedianya Puskesmas yang mampu tatalaksana kasus KtP/A termasuk kasus pada korban TPPO dan ESA
Tersedia Rumah Sakit yang memberikan pelayanan terpadu (PPT/PKT)
INDIKATOR PROSES HASIL sebagai rujukan XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depkes
P. Jawab
DepKes, DepDagri, Arsada, POLRI (Pusdokes), Org profesi di bidang kesehatan, Perguruan tinggi di bidang Kesehatan
Pelaksana
Lemahnya pencatatan dan pelaporan
MASALAH
•
Memperbaiki dan meningkatkan sistem pencatatan dan pelaporan di semua pelayanan kesehatan
KEGIATAN Tersedianya data terpilah berdasarkan jenis kasus dan umur
Tersedianya tenaga pengelola data Teraksesnya perolehan data secara elektronik
Menyediakan format pencatatan dan pelaporan di semua saranan pelayanan kesehatan yang ditentukan
Menyediakan software data base
Melatih tenaga kes dalam pemutahiran data dalam sistem penanganan kasus KtP/A termasuk TPPO dan ESA
INDIKATOR PROSES HASIL XXXX
2009 XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 XXXX
2014 Depkes, KNPP
P. Jawab
Depkes, DepDagri, Arsada, POLRI (Pusdokes), Org profesi di bidang kesehatan, Perguruan tinggi di bidang Kesehatan.
Pelaksana
• Menyusun pedoman/stndar layanan kesehatan bagi korban TPPO dan ESA
Lemahnya manajemen program dalam pelayanan bagi korban TPPO dan ESA
• Harmonisasi standar/pdoman yang sudah ada
KEGIATAN
MASALAH
Trsosialisasinya standar/pdoman layanan bagi korban TPPO dan ESA di puskesmas dan RS yang mempunyai PPT/PKT sebagai rujukan yang menjadi target program
Tersedianya materi KIE tentang KtP/A termasuk pada kasus TPPO dan ESA
Tersedianya strategi operasional/ pedoman/ standard pelayanan di semua Puskesmas dan di RS yang mempunyai PPT/PKT sebagai rujukan, yang menjadi target program.
INDIKATOR PROSES HASIL XXXX
2009 XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 XXXX
2014 Depkes
P. Jawab
Pelaksana
Adanya pembentukkan RPSA/RPTC untuk rehabilitasi sosial bagi korban TPPO dan ESA dalam PPT
Tersedianya tenaga rehabilitasi sosial di Rumah Perlindungan Sosial/shelter/ rumah aman bagi korban
2
• Membangun dan mengembangkan RPSA/RPTC untuk rehabilitasi sosial bagi korban TPPO dan ESA dalam PPT
• Meningkatkan kinerja layanan rehabilitasi sosial di Rumah Perlindungan Sosial/ shelter/rumah untuk korban TPPO dan ESA
1
Belum semua daerah memiliki RPSA/RPTC untuk menangani rehabilitasi sosial dalam PPT bagi korban TPPO dan ESA
Masih kurangnya pelayanan rehabilitasi sosial yang bisa diakses oleh korban TPPO dan ESA
Setiap korban TPPO dan ESA mendapatkan pelayanan rehabiltasi sosial secara cepat dan bebas biaya.
Terbentuknya RPSA/RPTC untuk rehabilitasi sosial bagi korban TPPO dan ESA dalam PPT.
INDIKATOR PROSES HASIL 3 4
XXXX
XXXX
2009 5
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 6 7 8 9
XXXX
XXXX
2014 10
Depsos
Depsos
11
P. Jawab
PPT, DepSos, Dep Kes, POLRI, Perguruan Tinggi bidang Psykologi, LSM.
Semua instansi terkait dan msyarakat
12
Pelaksana
Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial 1. Teridentifikasinya kasus dan identitas korban TPPO dan ESA 2. Terpenuhinya hak-hak korban TPPO dan ESA untuk mendapatkan layanan rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial 3. Terlaksananya mekanisme rujukan nasional dan daerah bagi korban TPPO dan ESA
KEGIATAN
: :
MASALAH
Tujuan Target/output
C. SUB GUGUS TUGAS BIDANG REHABILITASI SOSIAL, PEMULANGAN, DAN REINTEGRASI (Penanggung Jawab : Departemen Sosial)
Lemahnya program reintegrasi sosial sehingga korban yang sudah dipulangkan diperdagang
Belum optimalnya pemulangan korban TPPO dan ESA yang aman dan berbasis pada kebutuhan korban.
MASALAH
•
Membangun koordinasi antar dinas/instansi untuk reintegrasi sosial korban TPPO dan ESA
Tersedianya layanan pemulangan yang aman dan sesuai dengan kebutuhan korban TPPO dan ESA
• Meningkatkan koordinasi antar gugus tugas untuk pemulangan yang aman bagi korban TPPO dan ESA
Adanya kegiatan pngembangan ekonomi untuk korban TPPO dan ESA dan keluarganya.
Adanya mekanisme monitoring bagi korban TPPO dan ESA yang dipulangkan
Terlaksanannya pengembangan model penjangkauan dan tenaga khusus korban
Semakin berkurangnya korban TPPO dan ESA yang dijadikan korban lagi.
Semua korban TPPO dan ESA dapat kembali ke keluarga atau keluarga pengganti dengan selamat.
Adanya model penjangkauan dan rehabilitasi korban yang sudah disempurnakan
INDIKATOR PROSES HASIL TPPO dan ESA
• Mengembangkan model penjangkauan dan rehabilitasi khusus korban
KEGIATAN
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
PPT
Depsos
P. Jawab
PPT, Depsos, Pemda, Diknas, Depag, Depkop dan UKM, Depkum HAm
Depsos, Polri, Pemda, Dephub, POLRI, Dephuk HAM (Imigrasi), Masyarakat
Pelaksana
kan kembali
MASALAH
KEGIATAN
Adanya kegiatan monitoring bagi korban TPPO dan ESA
INDIKATOR PROSES HASIL 2009
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 2014
P. Jawab
Pelaksana (Imigrasi), POLRI, Masyarakat
2
• Yudisial Review UU no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang banyak menyerahkan perlindungan TKI pada PPTKIS
1
Lemahnya perlindungan legal terhadap TKI mendorong tingginya kasus TPPO dan ESA melalui proses migrasi
Adanya yudisial review atas pasal-pasal pada UU no 39 tahun 2004 khususnya pembentukan mekanisme perekrutan dan penempatan yang berdampak mengurangi tingginya angka
Adanya rapat antar departemen/lem -baga untuk membahas Yudisial Review UU No 39 tahun 2004 yang berkontribusi pada lemahnya perlindungan terhadap TKI
Substansi UU No 39 tahun 2004 lebih menjamin perlindungan legal bagi TKI sejak dari proses perekrutan sampai kembali ke daerah asal
INDIKATOR PROSES HASIL 3 4 XXXX
2009 5 XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 6 7 8 9 XXXX
2014 10
Depnaker trans
11
P. Jawab
Depnakertrans, Depkum ham BNP2TKI, Deplu, Kemenko Ekuin, LBH, LSM.
12
Pelaksana
Mengembanngkan Norma Hukum eningkatkan perlindungan hukum bagi saksi dan/atau korban TPPO dan ESA 1. Diterapkannya standar International dalam penyusunan kebijakan TPPO dan ESA 2. Terwujudnya rasa keadilan bagi korban TPPO dan ESA 3. Ditegakkannya perundang-undangan nasional yang terkait dengan TPPO dan ESA
KEGIATAN
: :
MASALAH
Tujuan Target/Output
D. SUB GUGUS TUGAS BIDANG PENGEMBANGAN NORMA HUKUM (Penanggung Jawab : Departemen Hukum dan HAM)
•
•
Mendorong pembntukan Perjanjian Biletaral Indonesia dengan Negaranegara tujuan yang diindikasikan sarat kasus TPPO dan ESA
Optimalisasi mekanisme penempatan guna melindungi dampak melemahnya perlindungan TKI di luar negeri sebagai
MASALAH
Optimalisasi pelaksanaan Inpres No. 6 Tahun 2006 tentang Reformasi Kebijakan Penempatan dan Perlindungan TKI
Membentuk, memperkuat dan atau merevisi MOU dengan negara-negara lain yang berkaitan dengan upaya perlindungan TKI termasuk korban perdagangan orang dan ESA
KEGIATAN
Kasus-kasus yang dihadapi TKI semakin berkurang
Buku Pedoman Pengawasan Antar Kerja Antar Daerah
Terlaksananya penyusunan Pedoman Pengawasan
Adanya perjanjian bilateral yang lebih menjamin perlindungan terhadap TKI dan korban TPPO dan ESA
Dioptimalkanya peran POKJA dalam pelaksanaan Inpres No. 6/2006
Adanya pertemuan bilateral dengan negara-negara destinasi utama TKI dari Indonesia
Lemahnya perlindungan di daerah tujuan
INDIKATOR PROSES HASIL kasus perdagangan orang berkedok TKI serta guna memaksimalisa si mekanisme perlindungan di luar negeri
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
P. Jawab
Pelaksana
Penyusunan Pedoman Pengawasan Penempatan Antar Kerja Antar Daerah dan Antar Kerja Antar Negara
Optimalisasi pelaksanaan kebijakan Reformasi Kebijakan Penempatan dan Perlindungan TKI
Penyusunan Pedoman Pengawasan Penempatan Antar Kerja Antar Daerah dan Antar Kerja Antar Negara
Ratifikasi Optional Protocol of CRC on Child Prostitution, Sale of
•
•
•
•
dampak tidak trtanganinya secara maksimal proses perekrutan dan penempatan TKI di luar negeri
Belum dilakukanya harmonisasi norma hukum perlindungan
KEGIATAN
MASALAH
Hukum nasional lebih menjamin perlindungan hukum bagi anak terhadap
Kasus-kasus yang dihadapi TKI makin berkurang
Optimalisasi peran POKJA dalam pelaksanaan Inpres No. 6/2006
Mendorong proses disyahkannya optional protocol of CRC on Child Prostitution of
Buku Pedoman Pengawasan Antar Kerja Antar Negara
Terlaksananya penyusunan Pedoman Pengawasan Antar Kerja Antar Negara
INDIKATOR PROSES HASIL Antar Kerja Antar Daerah
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depkum HAM
P. Jawab
Deplu, Depkum ham KNPP, LSM
Pelaksana
•
Penyusunan RUU KUHP
Children and Child Pornography.
anak dari eksploitasi seksual anak dan prdagangan anak.
Belum masuk materi hukum perlindungan
KEGIATAN
MASALAH
Rapat Penyusunan RUU KUHP
Harmonisasi ratifikasi CRC dengan UU PTPPO
Penyusunan RUU untuk ratifikasi protocol of CRC on Child Prostitution of Children and Child Pornography
Kriminalisasi kejahatan dan TPPO. Norma hukum pidana dan ketentuan
Hukum nasional lebih menjamin perlindungan hukum bagi anak terhadap ancaman dan perdagangan anak
INDIKATOR PROSES HASIL ancaman dan Children and perdagangan Child anak Pornography, dan mendorong masuk dalam PROLEGNAS (Program Legislasi Nasional) 20092014
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Depkum Ham
Dpartemen Luar Negeri
P. Jawab
Depkum ham KNPP, POLRI Kejagung,
Deplu, Depkum ham KNPP, KPAI, LSM.
Pelaksana
anak dari ESA dan prdagangan anak ke dalam RUU KUHP
MASALAH
Penyusunan RUU Peradilan Pidana Anak (menggantikan UU No 3 Tahun 1997).
Mendorong RUU Hukum Materiil Peradilan
•
•
KEGIATAN
Rapat RUU Hukum Materiil Peradilan Agama bidang
Rapat Penyusunan RUU Peradilan Pidana Anak
Memastikan perlindungan hak-hak anak dan korban
Adanya jaminan perlindungan bagi anak-anak yang menjadi korban TPPO dan ESA serta anak-anak yang berhadapan dengan hukum
Adanya jaminan atas perlindungan saksi dan korban dalam hukum acara pidana, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan.
INDIKATOR PROSES HASIL pidananya bersesuaian dengan UU No 21/2007 dan UU No. 23/2002.
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Depag
P. Jawab
Pelaksana
Depkum ham KNPP, Depag,
MA, Komnas PA, Komnas Prempuan Komnas HAM, LSM
MASALAH
Penyusunan RUU tentang Badan Pnyelenggara Jaminan Sosial Nasional [sebagaimana perintah/mand at Pasal 5 ayat (1) Jo. Ayat (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Penyusunan RUU tentang Rumah Sakit
•
•
Agama bidang Perkawinan
KEGIATAN
Rapat Penyusunan RUU tentang Rumah Sakit menjadi UU Adanya kepastian/ penegasan akan kewajiban dan tanggung jawab rumah
Disahkannya RUU tentang Rumah Sakit menjadi UU
Disahkannya RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional Adanya jaminan Sosial untuk mencegah, memulihkan dan rehabilitasi korban.
INDIKATOR PROSES HASIL Perkawinan dalam Hukum Terapan Peradilan Agama bidang Perkawinan
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Depkes
Depsos
P. Jawab
Pelaksana
Depkes, Depkum ham BPOM, LSM
Depkum ham Depsos, Depkom info, Depnakertrans, LSM.
LSM
Adanya Perda yang destruktif dan /atau
Belum adanya materi hukum untuk perubahan dan pengemba ngan berbagai peraturan perundangundangan yang berkenaan dengan perlindungan anak dari eksploitasi seksual dan prdagangan anak di luar negeri
MASALAH
•
Review Perda yang destruktif dan bertentangan dengan peraturan
Penyusunan RUU Kesehatan (menggantikan UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).
KEGIATAN
Harmonisasi hukum antara Perda dengan UU No 21/2007
Rapat Penyusunan RUU Kesehatan untuk menggantikan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan
XXXX
XXXX
XXXX
Tidak ada lagi Perda destruktif atau bertentangan dengan
XXXX
XXXX
XXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2009
Disahkannya RUU Kesehatan untuk menggantikan UU No. 23/1992 tentang Kesehatan Memastikan perlindungan dan jaminan pelayanan kesehatan bagi korban, memastikan jaminan pembiayaan perawatan kesehatan bagi korban
INDIKATOR PROSES HASIL sakit untuk menampung korban kejahatan dan perdagangan orang, termasuk pasien miskin.
XXXX
XXXX
2014
Depdagri
Depkes
P. Jawab
Depdagri, Depkum ham KNPP,
Depkes, Depkum ham POLRI, Kejagung, MA, LSM
Pelaksana
Masih sedikitnya pemprop, pemkab/ pemkot yang
kontradiktif dengan peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan anak dari prdagangan anak
MASALAH
Perda mengenai Jaminan Kesejahteraan dan Asuransi Sosial.
Perda tentang Perlindungan TKI
Perda mengenai Penyelenggar aan Pendidikan untuk Semua
Mendorong Pemda (propinsi, kbupaten/kota) untuk
•
•
•
•
perundangan terkait dengan perlindungan anak dari Perdagangan anak, termasuk namun tidak terbatas pada: • Perda mengenai Pencatatan Kelahiran.
KEGIATAN
Adanya fasilitasi pembuatan Perda
Adanya Perda yang menindaklanjuti perundangundangan
INDIKATOR PROSES HASIL dan/atau UU No perundang23/2002. undangan terkait dengan perlin-dungan anak dari Perdagangan anak
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depdagri
P. Jawab
Pelaksana
Depdagri, KNPP, Kemenkokesra, LSM
Depnaker trans, Depdiknas, LSM,
KEGIATAN
membuat Perda dan menindaklanju ti PerUUan PTPPO dan ESA dan RAN
MASALAH
menindaklan juti perUUan PTPPO dan ESA dalam bentuk PERDA
INDIKATOR PROSES HASIL PTPPO dan ESA 2009
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 2014
P. Jawab
Pelaksana
Memperkuat sistem monitoring dan pengawasan penanganan kasus TPPO dan ESA
Mengembangkan dan memperkuat kelompok swadaya masyarakat dalam pengawasan
•
•
2
1
Masih tingginya kasus TPPO dan ESA
KEGIATAN
KPP
Depnaker trans
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX XXXX XXXX
Terciptanya APH yang bersih dari KKN
Adanya kelompok masyarakat yang terlibat dalam monitoring dan pengawasan penanganan
11
P. Jawab
XXXX
2014 10
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 6 7 8 9
Adanya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus penyim-pangan yang dilakukan APH dalam penanganan kasus TPPO dan ESA
2009 5
Adanya sistem monitoring dan pengawasan penanganan kasus TPPO dan ESA yang melibatkan masyarakat
INDIKATOR PROSES HASIL 3 4
KNPP, Komnas PA, Polri, MA, Kejagung R.I., Komnas HAM
12
Pelaksana
: Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan hukum bagi saksi dan/atau korban TPPO dan ESA : 1. Diterapkannya standar International dalam kebijakan dan penegakan hukum bagi TPPO dan ESA 2. Terwujudnya rasa keadilan bagi korban TPPO dan ESA 3. Berkurangnya kasus TPPO dan ESA 4. Ditegakkannya perundang-undangan nasional yang terkait dengan TPPO dan ESA 5. Terbentuknya sistem informasi data TPPO dan ESA
MASALAH
Tujuan Target/Output
E. SUB GUGUS TUGAS BIDANG PENEGAKAN HUKUM (Penanggung Jawab : Kepolisian RI)
Belum adanya
MASALAH
•
Percepatan proses
penanganan kasus TPPO;
KEGIATAN
Disahkannya RUU tentang
Ditaatinya penempatan TKI ke luar negeri sesuai dengan peraturan Ktenagakerjaan yang berlaku
Membuat petunjuk teknis yang aplikatif dalam sistem monitoring
Setiap kasus ABH
Meningkatnya jumlah kasus TPPO dan ESA yang diselesaikan secara hukum dan semakin berkurangnya jumlah pelaku TPPO dan ESA yang lolos dari tindakan hukum
Adanya tindakan hukum bagi pelaku pelanggaran norma ktenagakerjaan
Terlaksananya penegakan hukum bidang Norma Ktenagakerjaan
INDIKATOR PROSES HASIL kasus TPPO dan ESA
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depkum Ham
P. Jawab
Depkum ham;
Pelaksana
Penyusunan pedoman penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
Memposisikan anak sebagai korban, bukan sebagai pelaku dalam proses penegakan hukum untuk kasus-kasus
Mengkriminal kan orangorang atau pihak yang
•
•
penyusunan revisi atau perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang memuat konsep diversi dan restorative justice
pedoman pelaksanaan / prosedur yang mengatur tentang penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak
•
KEGIATAN
MASALAH
Adanya kepastian hukum bahwa pendamping
Adanya SOP yang ramah anak dalam pemeriksaan korban
Ditetapkannya surat keputusan bersama tingkat menteri/ pimpinan lembaga negara.
INDIKATOR PROSES HASIL mendapatkan perubahan atas proses hukum UU Nomor 3 dengan Tahun 1997 menggunakan tentang prinsip-prinsip Peradilan Anak restorative. 2009
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 2014
P. Jawab
Pelaksana Komnas PA; POLRI; Lapas Anak; Bapas; MA; Kejagung R.I, Komnas HAM
Instrument hukum yang ada menyulitkan
Belum adanya pemahaman yang sama dalam penerapan perundangundangan yang terkait dengan PTPPO dan ESA di antara aparat penegak hukum (APH)
MASALAH
Penyusunan dan Penerbitan Peraturan
Pengembangan capacity building bagi APH/CJS.
•
•
Pengembangan kerjasama antar APH dalam penanganan kasus TPPO dan ESA
•
memfasilitasi berlangsungnya praktek
KEGIATAN
Adanya perspektif yang sama dalam penerapan perundanganundangan di antara APH di dalam menangani kasus TPPO dan ESA Vonis atau putusan yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa pelaku TPPO dan ESA dikenakan hukuman maksimal sesuai dengan perundangundangan. Penyelesaian kasus TPPO dan ESA secara tuntas,
Adanya rapat koordinasi dan forum bersama antar APH/CJS dalam penanganan kasus TPPO dan ESA
Adanya pelatihan bersama antar APH dalam hal penangan-an kasus TPPO dan ESA
Adanya persamaan persepsi tentang alat
INDIKATOR PROSES HASIL anak korban boleh hadir dalam setiap tahap pemeriksaan
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Depkum Ham
P. Jawab
POLRI, MA, Kejagung RI, Depkumha m, Advokat.
Pelaksana
KEGIATAN
Bersama tentang alat bukti bukti untuk kasuskasus eksploitasi seksual
MASALAH
APH dalam mnghadirkan alat bukti saksi dalam kasus eksploitasi seksual
Adanya kepastian dan landmark decitions dalam perkara tindak pidana dan perdagangan orang sesuai UU No 21/2007 dan/atau UU no 23/2002.
Tersedianya ketentuan mengenai tatacara dan prosedur serta administrasi dalam penanganan perkara tindak pidana PO dan ESA
Terbentuknya preseden dan Yurisprudensi tetap, yang menjadi acuan dalam pelaksanaan UU No 21/2007 dan/atau UU No 23/2002
Dikeluarkannya surat edaran
INDIKATOR PROSES HASIL hingga putusan bukti saksi yang mempunyai Diterbitkannya kekuatan Peraturan hukum tetap Bersama tentang alat bukti untuk kasus-kasus eksploitasi seksual
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2009
XXXX
XXXX
2014
MA
MA
P. Jawab
MA, Depkum ham, POLRI, Kejagung, Komnas PA, Komnas Perempua n, Komnas
MA, Depkum ham, POLRI, Kejagung, Komnas PA, Komnas Perempua n, Komnas HAM, LSM
Pelaksana
KEGIATAN
• Terbangunnya Mekanisme Nasional untuk Pengawasan dan Perlindungan
MASALAH
Lemahnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan
Adanya forum dan atau kerjasama antara lembagalembaga masyarakat,
Tidak ada lagi kasus TPPO dan ESA yang tidak tertangani
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
Tersedianya Ketentuan mengenai tatacara dan prosedur serta administrasi dalam tatacara penyelidikan, penyidikan, dan perkara TPPO dan ESA
XXXX
XXXX
XXXX
Tersedianya ketentuan mengenai tatacara dan prosedur serta administrasi dalam penuntutan perkara TPPO dan ESA
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
2009
INDIKATOR PROSES HASIL
XXXX
XXXX
XXXX
2014
KPP
POLRI
Kejagung
P. Jawab
Pelaksana
KNPP, Depkum ham, Depsos, Depnaker trans,
POLRI, Depkum ham, MA, Kejagung, Komnas PA, Komnas Perempua n, Komnas HAM, LSM
Depkum ham, MA, POLRI, Kejagung, Komnas PA, Komnas Perempua n, Komnas HAM, LSM
HAM, LSM
KEGIATAN
dalam Memberantas Kejahatan TPPO dan ESA, yang melibatkan masyarakat
• Melakukan pendidikan dan pngembangan ketrampilan dalam pengungkapan , penyelidikan, penyidikan perkara TPPO dan ESA
MASALAH
penanganan kasus dan prdagangan anak
Belum meratanya sumberdaya penegak hukum (Hakim, Jaksa, polisi,) dan sarana/pras arana pendukung
Terlaksananya program pendidikan dan pengembangan informasi hukum bagi aparat penegak hukum
Adanya TPPO Watch yg melibatkan semua pihak
Adanya pelatihan penanganan TPPO dan ESA bagi masyarakat dan NGO
Kasus-kasus TPPO dan ESA diselesaikan dengan perspektif hak anak
INDIKATOR PROSES HASIL NGO, organisasi profesi, dan lembaga penegakan hukum untuk melindungi korban dan saksi dalam penanganan kejahatan TPPO dan ESA.
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
POLRI
P. Jawab
Depkum ham, POLRI, Kejagung R.I, MA
POLRI, MA, Kejaksaan, LSM, Organisasi profesi
Pelaksana
Lemahnya bantuan hukum bagi korban
yang sensitif akan hak anak dalam penanganan perkara TPPO dan ESA
MASALAH
• Mngefektifkan kegiatan layanan bantuan hukum korban TPPO dan
Terselenggara nya penyidikan dan tersusunnya BAP korban TPPO dan ESA
Jumlah korban TPPO dan ESA yang mendapatkan layanan bantuan
Pembuatan BAP kasuskasus TPPO dan ESA menggunakan cara yang sensitif korban
Terlaksanaka nya standart operasional untuk penegakan hukum terhadap kasus-kasus TPPO dan ESA
• Melakukan pendidikan dan penyegaran Hakim perihal penanganan perkara TPPO dan ESA
• Membuat SOP bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus TPPO dan ESA
Tersedianya sarana dan prasarana terpadu yang khusus
Mendorong penguatan sarana dan prasarana unit PPA dan ruang pelayanan khusus pada jajaran Polri.
INDIKATOR PROSES HASIL
• Melakukan pendidikan dan pngembangan informasi hukum mengenai TPPO dan ESA
KEGIATAN
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
POLRI
POLRI
P. Jawab
UPPA, Advokat
POLRI
Pelaksana
Teknis penanganan korban TPPO Warga
Indonesia sudah menandatan gi Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT) antara negaranegara ASEAN, tetapi belum dmanfaatkan secara maksimal bagi WNI bermasalah termasuk TPPO dan ESA untuk kebutuhan bantuan bagi korban
MASALAH
•
Mengatur tentang teknis penanganan korban TPPO WN
• Mengoptimalkan MLAT antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainya dalam memberikan bantuan hukum bagi korban TPPO dan ESA di luar negeri.
ESA sejak tahap identifikasi.
KEGIATAN
Ditetapkannya mekanisme teknis penanganan korban TPPO
Dilaksanakanya bantuan hukum timbal balik dengan negaranegara yang menandatangan i MLAT
Korban perdagangan orang asing/WNA di Indonesia
Korban TPPO dan ESA di luar negeri mendapatkan bantuan hukum yang memadai, sebelum dia dikembalikan ke Indonesia
INDIKATOR PROSES HASIL hukum semakin meningkat.
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
POLRI
MA
P. Jawab
Deplu, MA,
Deplu, MA, POLRI
Pelaksana
KEGIATAN
Asing/WNA di Indonesia
MASALAH
Negara Asing di Indonesia belum diatur
INDIKATOR PROSES HASIL asing/WNA mendapatkan yang berada di bantuan hukum Indonesia yang memadai, sebelum dia dikembalikan ke negara asalnya 2009
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 2014
P. Jawab
Pelaksana
Terbentuknya Peraturan Menteri Negara PP tentang Pembentukan sub Gugus Tugas TPPO dan ESA
Finalisasi SOP Penanganan saksi dan atau korban TPPO dan ESA
Terwujudnya koordinasi secara terpadu dalam penanganan korban TPPO dan ESA
Sedikitnya 75 % daerah rawan 3 memiliki kesepakatan tentang mekanisme penanganan korban TPPO dan ESA
XXXX
XXXX
2009 5
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 6 7 8 9
XXXX
XXXX
2014 10
Perlu didukung data korban TPPO dan ESKA serta peta propinsi dan kabupaten/kota yang terkategori sebagai daerah rawan : daerah asal atau transit atau tujuan.
Mengadakan pertemuan koordinasi secara berkala
•
Lemahnya koordinasi sub gugus tugas (pncegahan, re-habilitasi kesehatan, rehabilitasi
3
Mendorong dan memfasilitasi adanya kerjasama antar daerah dalam penanganan korban TPPO & ESA
•
INDIKATOR PROSES HASIL 3 4
Menkokesra
Depdagri
11
P. Jawab
Pnangung jawab masingmasing sub gugus tugas
Gubernur / Bupati / Walikota
12
Pelaksana
Terciptanya kerjasama dan koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan MoU atau perjanjian bilateral antara negara R.I dengan negara tujuan yang berpihak pada pekerja migran Adanya kerjasama antara daerah dalam upaya pencegahan dan penanganan korban TPPO dan ESA Teralokasikannya anggaran untuk melaksanakan program pada masing-masing pemangku kepentingan Terlaksananya Monitoring dan Evaluasi terpadu TPPO dan ESA
Belum adanya kerjasama antar daerah dalam penanganan korban TPPO & ESA
2
1
1. 2. 3. 4. 5.
KEGIATAN
:
Target/Output
Membangun dan meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO dan ESA di tingkat nasional dan internasional
MASALAH
:
Tujuan
F. SUB GUGUS TUGAS BIDANG KERJASAMA DAN KOORDINASI (Penanggung Jawab : Kementerian Koordinator Bidang Kesra)
Belum optimalnya peran dan fungsi Gugus Tugas di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/k ota
sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan hukum, program khusus)
MASALAH
• Membentuk dan atau mengoptimalkan Gugus Tugas PTPPO dan ESA di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
KEGIATAN
Adanya struktur dan rencana kerja tahunan dalam gugus tugas di tingkat pusat , propinsi, kabupaten/kota Rencana Kerja Tahunan ter anggarkan dan berjalan sesuai rencana.
Terbentuknya gugus tugas di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota
Gugus tugas yang sudah ada berjalan secara optimal.
Tersedianya dukungan pembiayaan (APBN) untuk penyelenggara an pertemuan koordinasi
INDIKATOR PROSES HASIL
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
Menkokesra
P. Jawab
KNPP, Depkum ham, Depdagri, Depnakrer Trans Dep sos, Depdiknas, POLRI, BIN, Depag, Dephub, Depkes, Depbudpar , Menkom info, Depkeu, Bapenas, Menpora, BNP2TKI, BPS, Kejaksaan, Gubernur, Bupati/Wal ikota Ormas, LSM
Pelaksana
MASALAH
KEGIATAN
Adanya sosialisasi dan advokasi, pendidikan dan pelatihan bagi anggota gugus tugas untuk meningkatkan
Anggota gugus tugas di tingkat pusat , propinsi, kabupaten/kota memiliki pemahaman yang sama tentang TPPO
INDIKATOR PROSES HASIL
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
2009
XXXX
2014
Diknas
P. Jawab
KNPP, Depkum ham, Depdagri, Depnakrer transDep sos, Depdiknas,
Pelaksana
MASALAH
KEGIATAN
Terbentuknya kesekretariatan gugus tugas di tingkat pusat dalam mendukung kerja anggota gugus tugas
XXXX
XXXX
Sekretariatan berfungsi dan dikelola secara profesional dalam mendukung
2009
Adanya personil kesekretariatan yang bekerja purna waktu
INDIKATOR PROSES HASIL pemahaman dan ESA dan tentang TPPO dapat dan ESA menjalankan perannya sesuai dengan prinsip HAM
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 2014
KPP
P. Jawab
Pelaksana
KNPP, LSM
Polri, BIN, Depag, Dephub, Depkes, Depbudpar , Menkom info, Depkeu, Bapenas, Menpora, BNP2TKI, BPS, Kejaksaan, Gubernur Bupati/Wal ikota Ormas, LSM,
Belum tersedianya data tentang TPPO dan ESA di Indonesia
Minimnya data dan informasi tentang PTPPO dan ESA
MASALAH
•
• Survey tentang masalah di beberapa propinsi terpilih
Membentuk dan mengembangkan Pusat Informasi terpadu PTPPO dan ESA (database, KIE, toolkit monev, modul sosiali-sasi dan pelatihan) di tingkat nasional dalam rangka membantu kerja Gugus Tugas.
KEGIATAN
Terpetakannya masalah di Indonesia
Adanya peta daerah rawan dan jumlah serta gambaran korban TPPO dan ESA
Berjalannya pengumpulan, pengolahan, dan desiminasi data dasar yang terpadu (software & hardware, koordinasi pusat-daerah) untuk kasus TPPO dan ESA .
Adanya survey tentang masalah di beberapa provinsi terpilih, yang melibatkan
Data terupdate setiap bulannya dan dapat diakses dengan mudah oleh gugus tugas dan publik (web-based )
Adanya sistem informasi dan database untuk kasus TPPO dan ESA
INDIKATOR PROSES HASIL terwujudnya kerjasama dan koordinasi antar anggota gugus tugas
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
KNPP
KPP
P. Jawab
Diknas, Depsos, Depbudpar , Depkes, Depdagri,
KNPP, Depdagri, Depsos, Depnaker trans, BPS, Kominfo, Penegak Hukum (POLRI, Jaksa, Hakim), BIN, Deplu, BNP2TKI, NGO
Pelaksana
MASALAH
KEGIATAN
Tersosialisasikannya hasil survey di daerah-daerah rawan
Adanya SDM khusus untuk pengelolaan data base di setiap gugus tugas pusat dan daerah Data ter-update setiap bulan dan dapat diakses oleh gugus tugas dan publik
Adanya laporan periodik (6 bulanan) yang dipublikasikan tentang kinerja
Adanya sosialisasi hasil survey di daerah rawan
Adanya alatalat, modul, dan pedoman untuk pelatihan data base
Adanya pelatihan data base kepada anggota gugus tugas pusat, provinsi dan kabupaten/kota
Trkoordinasinya lmbaga/instansi dalam layanan satu atap
Adanya publikasi hasil survey dalam bentuk buku
INDIKATOR PROSES HASIL lembaga lokal
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
2014
KPP
P. Jawab
Pelaksana
KNPP/biro, PP/badan PP, BPS, Kominfo, LSM.
Deplu, Depnakertr ans, Depag, Perguruan Tinggi, BPS, LSM
KEGIATAN
• Sinkronisasi/koor dinasi penganggaran dan penggunaannya dalam penanganan TPPO dan ESA
MASALAH
Minimnya sumberdana , lemahnya koordinasi dalam penganggar an dan kurangnya transparansi dalam penggunaan nya.
Adanya alokasi anggaran khusus untuk penanganan TPPO dan ESA Dana yang tersedia dapat diakses sesuai kebutuhan TPPO dan ESA
Alokasi anggaran di setiap anggota gugus tugas dapat digunakan secara optimal dan tidak ada lagi hambatan anggaran dalam penanganan korban TPPO dan ESA
Adanya rapat koordinasi penyusunan pengalokasian anggaran.
Rencana Kerja Tahunan Gugus Tugas termuat dalam rencana kerja tahunan masing-masing lintas sektor/ SKPD terkait (RKA & RKKL)
Adanya mekanisme transparansi penganggaran dan penggunaannya
INDIKATOR PROSES HASIL XXXX
2009 XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013 XXXX
2014 Bappenas
P. Jawab
KNPP, Depkum ham, Depdagri, Depnakrer trans Depsos, Depdiknas, Polri, BIN, Depag, Dephub, Depkes, Depbudpar , Menkom info, Depkeu, Bapenas, Menpora, BNP2TKI, BPS, Kejaksaan, Gubernur, Bupati/Wal ikota
Pelaksana
Adanya pertemuan bilateral dan multilateral dengan negaranegara tujuan migran dalam rangka meningkatkan perlindungan untuk TKI/pekerja migran
Dilakukannya forum-forum pertemuan NGO Nasional dan Internasional
• Membangun dan mengembangkan kerjasama dengan negara tujuan dalam meningkatkan perlindungan untuk TKI/pekerja migran.
• Membangun koordinasi dan kerjasama dengan organisasi dan LSM internasional
Masih lemahnya landasan hukum bagi Perwakilan RI di luar negeri dalam upaya penanganan TKI/pekerja migran di negara tujuan untuk mminimalisir terjadinya kasus TPPO dan ESA
Terciptanya koordinasi yang efektif dalam pencegahan dan perlindungan korban TPPO dan ESA
Mendapatkan benefit (fasilitas) dalam hubungan internasional
Adanya perjanjian bilateral dalam hal perlindungan TKI/ pekerja migran.
INDIKATOR PROSES HASIL
KEGIATAN
MASALAH
XXXX
XXXX
2009
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
XXXX
WAKTU PELAKSANAAN 2010 2011 2012 2013
XXXX
XXXX
2014
Deplu
Deplu
P. Jawab
Deplu, POLRI
KNPP, Depkum ham, Deplu, Depnaker trans, Polri, BIN, Depbudpar , Bapenas, BNP2TKI.
Pelaksana
BAB IV PENUTUP
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak memerlukan upaya pencegahan dan penanganan yang komprehensif dan terpadu. Dalam implementasi RAN ini diperlukan proses yang panjang dan berkelanjutan. Oleh karena itu dalam PTPPO dan ESA perlu dijadikan bagian integral dari Rencana Strategi Departemen/Sektor terkait dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Keberhasilan pelaksanaan RAN sangat tergantung kepada partisipasi dan komitmen seluruh Gugus Tugas baik tingkat Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten/Kota yang bertugas merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi, dan memberikan masukan bagi penyempurnaan implementasi Rencana Aksi Nasional tersebut.
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional ini berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua Gugus Tugas dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai Ketua Harian. Secara teknis, implementasinya dikoordinasikan melalui sub-sub Gugus Tugas dengan penanggung jawab dari Departemen terkait sebagai berikut : 1. Bidang Pencegahan dan Partisipasi Anak, Departemen Pendidikan Nasional sebagai penanggungjawab. 2. Bidang Rehabilitasi Kesehatan, Departemen Kesehatan sebagai penanggungjawab. 3. Bidang Rehabilitasi Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi Sosial, Departemen Sosial sebagai penanggungjawab. 4.
Bidang Pengembangan Norma Hukum, Departemen Hukum dan HAM sebagai penanggungjawab.
5.
Bidang Penegakan Hukum, Kepolisian RI sebagai penanggungjawab.
6.
Bidang Koordinasi dan Kerjasama, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai penanggungjawab.
Pada tingkat Propinsi pelaksanaan RAN dikoordinasikan oleh Gubernur Kepala Daerah sedangkan di tingkat Kabupaten/ Kota dikoordinasikan oleh Walikota/Bupati dengan melibatkan dinas/instansi yang bertanggungjawab, yang memiliki bidang tugas dan tanggungjawab terkait dengan pemberantasan TPPO dan ESA.
Pemantauan dan evaluasi yang dilaksanakan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional tersebut berdasarkan hal-hal sebagai berikut: 1.
Sistem dan Mekanisme pemantauan dan evaluasi yang telah dikembangkan;
2.
Keberhasilan program berdasarkan indikator kemajuan dan keluaran yang telah ditetapkan.
3.
Penerbitan laporan berkala yang disusun dan disampaikan secara berjenjang kepada penanggungjawab gugus tugas di tingkat yang lebih tinggi.
4.
Penerbitan Laporan tahunan berkala, yang disusun oleh masing-masing Ketua Sub Gugus Tugas dan Ketua Gugus Tugas tingkat Propinsi, disampaikan kepada Ketua Gugus Tugas Pusat dengan tembusan kepada Ketua Harian. Penerbitan Laporan tahunan Gugus Tugas Pusat, dikoordinasikan penyusunannya oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai Ketua Harian.
RAN ini hendaknya menjadi acuan dalam melaksanakan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak dan menuntut komitmen yang tinggi dari pemerintah dan penyelenggara negara serta seluruh masyarakat demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan bermartabat.
Jakarta, 11 September 2009