1
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM SKRIPSI……………………………
i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM………….
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI…………...
iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI………
iv
KATA PENGANTAR………………………………………………….. v SURAT PERNYATAAN KEASLIAN…………………………………
ix
DAFTAR ISI............................................................................................
x
ABSTRAK……………………………………………………………… xiv ABSTRACT……………………………………………………………….. xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………. 7 1.3 Ruang Lingkup Masalah……………………………………... 8 1.4 Orisinalitas Penelitian………………………………………... 8 1.5 Tujuan Penelitian…………………………………………….. 9 1.5.1 Tujuan Umum………………………………………….. 10 1.5.2 Tujuan Khusus……………………………………….… 10
x
2
1.6 Manfaat Penelitian………………………………………….... 10 1.6.1 Manfaat Teoritis…………………………………….…... 10 1.6.2 Manfaat Praktis……………………………………….... 11 1.7 Landasan Teoritis…………………………………………..…. 12 1.7.1 Konsep Negara Hukum……………………..…….......... 12 1.7.2 Teori Kebijakan Hukum Pidana…………..……………. 15 1.7.3 Teori Perlindungan Hukum………..…………………… 17 1.7.4 Teori Perlindungan Korban……..……………………… 19 1.8 Metode Penelitian……………………..……………………… 20 1.8.1 Jenis Penelitian……………….………………………… 20 1.8.2 Jenis Pendekatan…………...…………………………… 21 1.8.3 Sumber Bahan Hukum…………….…………………… 22 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum..…………………. 24 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum………..……………….. 25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, PEMBERIAN KOMPENSASI DAN KORBAN KERUSUHAN 2.1 Tinjauan Perlindungan Hukum…………………..…………… 26 2.1.1 Pengertian Perlindungan Hukum……………..………… 26 2.1.2 Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum…………..………. 31 2.2 Pengertian Korban……………………………………………. 33 2.2.1 Tipologi Korban………………………………………... 37 2.2.2 Hak-hak Korban………………………………………… 39
xi
3
2.3 Kerusuhan dan Korban Kerusuhan Dalam Perspektif Hukum Pidana………………………………………………………… 41 2.4 Konsep Kompensasi………………………………………….. 43
BAB III PENGATURAN KOMPENSASI TERHADAP KORBAN KERUSUHAN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA 3.1 Pengaturan Kompensasi Dalam Hukum Positif Indonesia….
47
3.2 Urgensi Pemberian Kompensasi Terhadap Korban Kerusuhan……………………………………………………
70
3.3 Pengaturan Kompensasi Terhadap Korban Kerusuhan di Indonesia…………………………………………………….
74
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI MASA YANG AKAN DATANG TERKAIT PENGATURAN KOMPENSASI TERHADAP KORBAN KERUSUHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA 4.1 Perbandingan Pemberian Kompensasi Terhadap Korban di Beberapa Negara………………...…………......................
76
4.2 Kebijakan Hukum Pidana di masa yang akan datang terkait pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia…………………… 91
xii
4
4.3 Konsep Hukum Mengenai Perlindungan Bagi Korban dalam RUU KUHP………………………………………………….. 107
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan……………………………………………………. 113 5.2 Saran…………………………………………………………… 114
DAFTAR PUSTAKA RINGKASAN SKRIPSI
5
ABSTRAK Kedudukan korban dalam peradilan pidana selama ini masih terabaikan, kondisi yang demikian ini terlihat dari belum adanya perlindungan hukum berupa pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan khususnya korban kerusuhan akibat menjadi sasaran oleh para perusuh. Selain itu juga belum adanya instrumen perlindungan hukum atau peraturan perundang-undangan jelas memberikan perlindungan terhadap korban kerusuhan, khususnya mengenai pemberian kompensasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perlindungan hukum bagi korban khususnya korban kerusuhan melalui pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dikarenakan adanya kekosongan norma hukum yang berkaitan dengan pengaturan pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan di Indonesia. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research). Pasal 7 dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 mengatur bahwa kompensasi kepada korban hanya ditujukan kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan korban tindak pidana terorisme. Kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang terkait kompensasi perlu adanya pengkajian mengenai konsep kompensasi. Pemberian kompensasi tidak hanya ditentukan berdasarkan jenis tindak pidana saja atau berdasarkan satu atau dua tindak pidana yang berhak memperoleh kompensasi, tetapi juga mempertimbangkan kondisi korban, terutama mereka yang menderita karena kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan. Negara dapat memberikan kewenangan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang menangani permohonan dan sekaligus berhak memutuskan permohonan kompensasi dari korban. LPSK sebagai lembaga yang memiliki tugas dan wewenang dalam memberikan perlindungan pada korban kejahatan, sebaiknya bekerja sama dengan instansi-instansi pemerintah atau swasta untuk memberikan bantuan pada korban kejahatan sebagai upaya meringankan penderitaan korban. Dipandang perlu untuk merevisi peraturan yang telah ada tentang pengaturan kompensasi terkait definisi kompensasi dengan mengkaitkan kewajiban negara untuk memberikan kompensasi kepada korban kejahatan. Negara berkewajiban pula untuk memberikan kompensasi kepada korban kejahatan kekerasan. Kata Kunci: Kompensasi, Upaya, Perlindungan, Korban Kerusuhan
xiv
6
ABSTRACT Status of victims in criminal justice today is still neglected, this condition is evident from the lack of legal protection for the provision of compensation to victims of crime, especially victims of the unrest as a result of being targeted by the rioters. In addition, the absence of legal protection instruments or legislation clearly provides protection to victims of violence, in particular regarding the provision of compensation. The purpose of this study was to determine the legal protection for victims, especially victims of violence through the provision of compensation as a safeguard against the victim. This study uses normative legal research because of the emptiness of legal norms relating to the compensation arrangement as a safeguard against riot victims in Indonesia. Techniques used in the collection of legal materials needed in this research is the technique library (library research). Article 7 of the Law on Witness and Victim Protection jo. Article 2 of Government Regulation No. 44 of 2008 provides that compensation to the victim intended only to victims of human rights violations are severe and criminal acts of terrorism victims. Criminal law policy in the future related to compensation should their assessment of the concept of compensation. The compensation is not determined by the type of criminal act alone or by one or two offenses are entitled to compensation, but also consider the condition of the victims, particurlarly those who suffer because of crimes commited with violence. State may authorize the Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) as the agency that handles the request and also the right to decide upon request for compensation of victims. LPSK as an institution that has the duty and authority to provide protection to victims of crime, should cooperate with government agencies or the private sector to provide aid to victims of crime in an effort to alleviate the suffering of victims. It is necessary to revise the existing regulations on compensation arrangements related to the definition of compensation by linking the state’s obligation to provide compensation to victims crime. Countries are also obliged to provide compensation to victims of violent crime. Keywords: Compensation, Efforts, Protection, Riot Victims
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauan yang masing-masing pulaunya memiliki budaya tersendiri. Hal ini menyebabkan negara ini memiliki berbagai macam suku, agama, ras, dan adatistiadat, maka dari itu tepat jika semboyan Negara Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai arti berbeda-beda tetapi satu jua. Bhinneka Tunggal Ika merupakan dasar diakuinya kemajemukan atau pluralitas tersebut. Merupakan suatu kebanggaan bagi rakyat Indonesia memiliki beranekaragam budaya bahkan tidak hanya rakyat Indonesia saja yang bangga orang dari negara lain pun berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk mempelajari atau sekedar menikmati keanekaragaman budaya negara ini. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kemajemukan ini melahirkan perpaduan yang indah dalam berbagai bentuk budaya yang sangat kental dengan keanekaragaman. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan adat-istiadat dapat hidup berdampingan dan memiliki solidaritas yang tinggi dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak dipungkiri selain keindahan yang dilahirkan dari keanekaragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut keanekaragaman budaya juga menghadapkan negara yang mendapat julukan jamrud khatulistiwa ini kepada konflik sosial berupa kerusuhan yang dapat mengganggu ketertiban umum.
1
2
Peristiwa kerusuhan sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi tersebut baik dalam skala besar maupun skala kecil telah membawa korban jiwa, harta, sumber mata pencarian dan lainnya, sehingga menghancurkan sendi-sendi kemanusian dan nilai-nilai kultural bangsa Indonesia. Aksi kerusuhan ini telah menjadi gejala yang umum bagi perjalanan bangsa Indonesia ini. Aksi kerusuhan di Indonesia dapat terjadi karena ternyata aksi kerusuhan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, seperti kelompok suku tetapi juga dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lain diantaranya kelompok buruh, kelompok supporter/pendukung club sepak bola dan kelompok organisasi tertentu. Masalah yang melatarbelakangi terjadinya kerusuhan bisa berasal dari berbagai faktor, diantaranya faktor sosial, fanatisme, ekonomi maupun budaya dan kesenjangankesenjangan dalam masyarakat yang telah lama tidak tertangani. Berkenaan dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Indonesia, penulis mengambil satu aksi kerusuhan terbaru berdasarkan yang menjadi korban dan akibat yang ditimbulkan dari kerusuhan tersebut. Peristiwa kerusuhan ini dilakukan oleh supporter sepak bola di Indonesia yaitu pendukung kesebelasan Persija Jakarta atau yang sering disebut The Jakmania pada 14 Oktober 2016. Ratusan supporter beratribut oranye tersebut menganiaya setiap pengendara sepeda motor di Jalan Alternatif Sentul, Kecamatan Cibinong, Bogor yang menggunakan atribut berwarna biru. Akibat kejadian tersebut, seorang mengalami luka-luka dan satu unit sepeda motor dirusak, bahkan dompet serta telepon genggam milik korban dirampas. Korban dianiaya disangka pendukung Persib karena korban menggunakan jaket berwarna biru, padahal korban bukan
3
pendukung Persib. Korban hanya masyarakat sipil yang kebetulan melintas dan menggunakan jaket berwarna biru. Selain itu rombongan Jakmania yang melintas juga melempar dan melakukan penjarahan di minimarket yang tak jauh dari lokasi penganiayaan. Sementara itu di Jalan Tegar Beriman, seorang petugas keamanan (satpam) dan ibu pemilik rumah makan Joglo juga dianiaya. Jakmania juga merusak rumah makan tersebut.1 Korban kerusuhan yang dimaksud pada penelitian ini lebih ditekankan pada korban “murni” dari kejahatan kekerasan. Artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya/senyatanya tidak ada kontribusi dengan kejahatan yang terjadi. Korban tidak bersalah, dan hanya semata-mata sebagai korban yang menderita dan dirugikan akibat dari amuk massa para perusuh. Kemungkinan yang bersangkutan menjadi
korban penyebabnya
seperti
ketidaktahuan,
kelemahan korban atau mungkin kesialan korban serta dapat juga terjadi akibat kelalaian negara untuk melindungi warga negaranya. Dalam konteks lain menurut kriminolog I.S.Susanto menyebutkan, bahwa gerakan massa bisa juga muncul akibat dari rasa ketidakpuasan masyarakat, yang pada dasarnya berawal dari kesenjangan sosial yang berkembang dalam masyarakat.2 Maraknya aksi kerusuhan tidak akan pernah berakhir, karena selain masih adanya persoalan ekonomi juga tidak kalah pentingnya yang memiliki potensi cukup besar terhadap kemarahan masyarakat adalah semakin maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi hampir pada semua lini 1
Achmad Sudarno, Jakmania Bikin Rusuh di Bogor, 3 Warga Jadi Korban, (http://liputan6.com/news/read/2626523/jakmania-bikin-rusuh-di-bogor-3-warga-jadi-korban/). Diakses tanggal 28 Oktober 2015 2 Adhi Wibowo, 2013, Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa Sebuah Tinjauan Viktimologi, Thafa Media, Padang, hlm. 4
4
birokrasi. Selain itu jika diamati secara luas dimensi dari kerusuhan, akan terlihat adanya dimensi perlawanan di sana. Perlawanan yang pecah dari kompleksitas problema sosial, politik dan ekonomi yang selama ini dihadapi masyarakat yang terhegemoni dan terdominasi.3 Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.4 Sejauh ini fokus tindakan lebih diarahkan pada sisi penindakan (represif) berupa pemulihan keadaan, khususnya sisi keamanan dan kestabilan, karena aksi kerusuhan itu telah menimbulkan ketidaktentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Pada sisi lain belum ada instrumen perlindungan hukum atau peraturan perundang-undangan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap korban kerusuhan, khususnya ganti kerugian akibat dari menjadi sasaran para perusuh. Memberikan perlindungan kepada korban kerusuhan berarti sekaligus juga mengandung pengertian memberikan pula perlindungan pada masyarakat karena korban dari suatu aksi kerusuhan merupakan individu-individu yang dalam hal ini adalah sebagai unsur pembentukan suatu masyarakat atau dengan kata lain bahwa masyarakat adalah terdiri dari individu-individu yang mempunyai hak dan kewajiban. Pengaturan mengenai perlindungan terhadap korban kejahatan di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan terutama dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635) 3
Ibid, hlm. 6 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.15 4
5
jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) (selanjutnya disebut UU PSK) dan mengenai perlindungan terhadap korban berupa pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan telah dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya yaitu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4860) (selanjutnya disebut PP No. 44/2008). Korban kerusuhan merupakan korban kejahatan yang berhak mendapat perlindungan hukum berupa restitusi, kompensasi dan bantuan sebagaimana diatur dalam UU PSK jo. PP No. 44/2008. Jaminan terhadap perlindungan hukum restitusi bagi korban kerusuhan sudah mendapatkan jaminan yang kuat setelah terbitnya UU PSK dan PP No. 44/2008 namun mengenai kompensasi dapat dikatakan belum mendapatkan jaminan yang kuat karena kompensasi hanya diberikan kepada korban pelanggaran HAM yang berat dan korban tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PSK jo. Pasal 2 PP No. 44/2008. Pemberian kompensasi terhadap korban dapat ditemukan juga dalam Pasal 95-96 KUHAP. Korban dalam pasal ini adalah tersangka, terdakwa, terpidana atau pihak lain yang mendapat perlakuan tidak baik dari aparat penegak hukum, bukan terfokus pada korban kejahatan yang disebabkan oleh suatu tindak pidana. Sementara restitusi juga belum tentu dapat dipenuhi oleh pelaku dalam hal dia
6
tidak mampu, seharusnya negara dapat memberikan kompensasi namun karena pengaturan mengenai kompensasi hanya diberikan pada korban pelanggaran HAM berat dan korban tindak pidana terorisme maka kompensasi tidak dapat diberikan bagi korban kejahatan kekerasan, dalam hal ini termasuk korban kerusuhan. Selama ini penegakan hukum pidana di Indonesia hanya berorientasi pada pembuat kejahatan tanpa menghiraukan korbannya, hanya memfokuskan hak dan kewajiban pembuat kejahatan tanpa memikirkan hak dan kewajiban korban. Permasalahan ini menjadi penting mengingat kerusuhan sering terjadi di Indonesia, kendati pihak aparat keamanan sudah sejak dini mengantisipasinya. Sampai saat ini masih belum ada seseorang yang dihadapkan ke meja hijau akibat ulahnya sebagai pelaku utama dalam kerusuhan maupun pelaku lain dengan hukuman
tambahan
membayar
ganti
kerugian
akibat
perbuatan
yang
dilakukannya. Akibat lebih jauh yang ditimbulkan adalah kerugian yang diderita para korban kerusuhan, belum bisa diputuskan siapa yang harus mengganti. Fenomena ketidakadilan yang dialami korban akan lebih jelas dan nyata, ketika dikaji dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif karena pelaku kejahatan lebih mendapatkan perhatian seperti rehabilitasi, treatment of offenders, readaptasi sosial, pemasyarakatan dan lain-lain.5 Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan bagi korban, karena sebagai pihak yang dirugikan hanya difungsikan sebagai sarana pembuktian saja, tidak jarang hak-hak asasi korban
5
Adhi Wibowo, Op.cit, hlm.8
7
terabaikan. Bekerjanya peradilan pidana, baik dalam lembaga dan pranata hukumnya lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan. Kedudukan korban dalam peradilan pidana sebagai pihak pencari keadilan selama ini terabaikan, secara praktis kondisi yang demikian ini berakibat masih belum adanya perlindungan hukum berupa pemberian kompensasi terhadap korban khususnya akibat menjadi sasaran oleh para perusuh. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam uraian latar belakang di atas, penulis melihat dalam permasalahan ini adanya kekosongan norma terkait pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ke dalam bentuk suatu karya ilmiah yang berupa skripsi dengan judul “Pemberian Kompensasi Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Korban Kerusuhan”.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka
dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1) Bagaimanakah pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam hukum positif Indonesia? 2) Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia?
8
1.3.
Ruang Lingkup Masalah Dalam rangka menghindari terjadinya pembahasan yang terlalu meluas
dan menyimpang dari pokok permasalahan, serta agar pembahbasannya lebih sistematis, maka penulisan penelitian ini perlu diberikan batasan ruang lingkupnya. Terhadap permasalahan pertama akan dibahas mengenai pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam hukum positif Indonesia. Terhadap permasalahan kedua akan dibahas mengenai kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
1.4.
Orisinalitas Penelitian Skripsi ini merupakan karya tulis asli penulis, sehingga skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Sejauh ini penelitian tentang “Pemberian Kompensasi Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Korban Kerusuhan” belum pernah dilakukan. Hal ini diperoleh dengan observasi melalui internet dan perpustakaan seperti Ruang Koleksi Skripsi Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Untuk memperlihatkan orisinalitas dari penelitian ini, maka dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini.. Adapun penelitian sebelumnya yang menyangkut tentang perlindungan adalah sebagai berikut: 1. Skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG
BERMASALAH
DENGAN
HUKUM
DI
POLTABES
DENPASAR, ditulis oleh I Dewa Ayu Listari Utami tahun 2010 dari
9
Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dalam tahap penyidikan? 2) Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi penyidik dalam upaya menangani perlindungan hukum terhadap anak yang bermasalah dengan hukum dan upaya apakah yang dilakukan untuk mengatasinya? 2. Skripsi dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL,” ditulis oleh Cokorda Istri Agung Diah Astiti Mataram tahun 2013 dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak sebagai kekerasan seksual saat ini? 2) Bagaimanakah konsep perlindungan hukum bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual di masa yang akan datang?
1.5.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian berdasarkan pemaparan latar belakang masalah dan
rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian digolongkan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:
10
1.5.1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan lebih memahami mengenai perkembangan hukum di Indonesia dan menambah pengetahuan hukum pidana mengenai pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan di Indonesia. 1.5.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini yaitu: 1) Untuk dapat mengetahui pengaturan pemberian kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam hukum positif Indonesia. 2) Untuk dapat mengetahui kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
1.6.
Manfaat Penelitian Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian ini yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu: 1.6.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum terutama pengembangan
hukum
pidana.
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan pemahaman teoritis mengenai pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan dan diharapkan
11
dapat memberikan masukan dan menambah informasi bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui bagaimana sebaiknya kebijakan hukum pidana dimasa yang akan datang dalam hal pengaturan kompensasi terhadap korban kerusuhan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. 1.6.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis penulisan suatu penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk keperluan praktek. Manfaat praktis penulisan ini adalah: 1) Bagi pemerintah, diharapkan menjadi masukan ataupun bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran kepada pemerintah khususnya bagi pembentuk undang-undang yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai badan legislatif pembuat undang-undang di Indonesia terkait dengan pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya korban kerusuhan, dimana pembaharuan hukum pidana yang dilakukan hendaknya dapat mengakomodir hak-hak korban kerusuhan sehingga tidak ada lagi kekaburan norma, kekosongan norma, maupun norma konflik nantinya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi lembaga penegak hukum yang terkait, khususnya mengenai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan. 2) Bagi masyarakat, diharapkan dapat memberikan informasi yang konstruktif kepada masyarakat yang diharapkan peranannya dalam
12
mendukung aparat penegak hukum terkait upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan dalam hal pemberian kompensasi. 3) Bagi penulis adalah untuk menambah wawasan penulis berkenaan dengan pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan.
1.7.
Landasan Teoritis 1.7.1.
Konsep Negara Hukum Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Prof. R. Djokosutomo, SH mengatakan, bahwa negara hukum menurut UUD 1945 adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum.6 Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Oleh karena itu, negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan pada hukum. Secara teori, negara hukum (rechstaat) adalah negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu, dan agar semua berjalan menurut hukum.7
6
C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian Hukum Tata Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini), cetakan I, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 86 7 Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, cetakan I, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hlm. 382
13
Seiring dengan perkembangan negara hukum itu sendiri, kini suatu negara dapat dikategorikan sebagai negara hukum asalkan memenuhi dua belas prinsip, yakni: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)
Supremasi Hukum (supremacy of law); Persamaan dalam Hukum (equality before The Law); Asas legalitas (due process of law); Pembatasan kekuasaan; Organ-organ eksekutif independen; Peradilan bebas dan tidak memihak; Peradilan tata usaha negara; Peradilan tata negara; Perlindungan hak asasi manusia; Bersifat demokratis (democratische rechtstaat); Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtstaat); 12) Transparansi dan kontrol sosial.8 Philipus M. Hadjon memberikan ciri-ciri negara hukum sebagai berikut: 1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat; 2) Hubungan fungsional yang proposional di antara kekuasaan negara; 3) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah, peradilan sarana terakhir; 4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.9
Dari sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya di berbagai negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas konstitusional.10 Hukum yang hendak ditegakkan dalam negara hukum
8
Jimly Assiddhiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitualisme, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, hlm. 124 9 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, PT. Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 45 10 Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, cetakan I, Total Media, Yogyakarta, hlm. 44
14
agar hak-hak asasi warganya benar-benar terlindungi hendaklah hukum yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dibuat secara konstitusional tertentu. Dengan demikian, elemen-elemen yang penting dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas dan merupakan syarat mutlak adalah: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia; Asas legalitas; Asas pembagian kekuasaan negara; Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak Asas kedaulatan rakyat Asas demokrasi, dan Asas konstitusionalitas.11
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari sisi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum continental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial.12
11
Ibid. Ni’ Matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi, Cet. 5, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 74 12
15
1.7.2.
Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik
kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).13 Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.14 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus
13
Barda Nawawi Arief, 2014, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi I) hlm. 28 14 Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 153
16
seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.15 Menurut A. Mulder, strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan : a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui; b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.16 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. 17 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah: a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan 1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya). 2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan). 3. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum. b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang 15
Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hlm. 27 Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hlm. 27 17 Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hlm. 29 16
17
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP Lama atau WvS).18
1.7.3.
Teori Perlindungan Hukum Perlindungan hukum memiliki tiga (3) teori, yaitu: 1. Teori utilitas Teori yang menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan bagi para korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak juga bagi korban kejahatan tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan. 2. Teori tanggung jawab Pada hakikatnya subyek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti luas) orang tersebut hrus bertanggung jawab kecuali alasan yang membebaskannya. 3. Teori ganti kerugian Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain sebagai pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk membayar ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.19 Secara sederhana, kata perlindungan memiliki tiga (3) unsur,
yaitu: 1. Subyek yang melindungi; 2. Obyek yang akan dilindungi karenanya;
18
Barda Nawawi Arief I, Op.cit., hlm. 29-30 Dikdik M.Arief Mansyur dan Elissatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 161 19
18
3. Alat, instrument maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.20 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masayarakat. Menurut
Satjipto
Rahardjo,
Perlindungan
hukum
adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.21 Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga predektif dan antipatif.22 Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu 20
Satjipto Raharjo, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo I), hlm. 69 21 Ibid, hlm. 54 22 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hlm. 118
19
perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum. Hakekatnya setiap orang berhak mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena terdapat banyak macam perlindungan hukum. Selama ini pengaturan perlindungan hukum belum menampakkan pola yang jelas. Dalam hukum pidana positif di Indonesia, perlindungan hukum lebih banyak merupakan perlindungan abstrak”atau perlindungan tidak langsung. Hal tersebut artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.23 Perlindungan secara tidak langsung dalam hukum positif tersebut belum mampu memberi perlindungan secara maksimal, karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.
1.7.4.
Teori Perlindungan Korban Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan
korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu: a. dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang).
23
Ibid., hlm. 120
20
b. dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan bathin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.24 Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum.25 Selain itu, di dalam Deklarasi Milan tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crimes and Abuse of Power pada tahun 1985, telah dirumuskan bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu: 1. Access to justice and fair treatment; 2. Restitution; 3. Compensation; 4. Assistance.
1.8.
Metode Penelitian 1.8.1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian ini menguraikan permasalahan-permasalahan yang ada, 24
Barda Nawawi Arief, 2014, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II) hlm. 61-62 25 Dikdik M.Arief Mansyur dan Elissatris Gultom, Op.cit, hlm. 31
21
untuk selanjutnya dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.26 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu kekosongan norma terkait permasalahan pemberian kompensasi terhadap korban tindak pidana khususnya korban kerusuhan. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dalam pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban kerusuhan. 1.8.2.
Jenis Pendekatan Terdapat beberapa jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu:
pendekatan perundang-undangan (the statue approach), pendekatan kasus (the case approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical & the conseptual approach),27 pendekatan fakta (fact apporach) dan pendekatan frasa (words & phrase approach). Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan jenis pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical & the conseptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13 27 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 133
22
Pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang berdasarkan
pada
peraturan
perundang-undangan,
norma-norma
hukum/kaidah-kaidah yang berhubungan dengan pemberian kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya korban kerusuhan. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep aturan yang jelas tentang konsep kompensasi sebagai upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana di Indonesia khususnya korban kerusuhan. Pendekatan perbandingan dipergunakan untuk mengetahui pengaturan tentang pemberian
kompensasi
di
beberapa
negara,
sehingga
dapat
memperbandingkan dan mengambil hal-hal yang dianggap sesuai dan cocok untuk diterapkan dalam perlindungan terhadap korban tindak pidana khususnya korban kerusuhan di Indonesia. 1.8.3.
Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini berasal
dari: 1) Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
23
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 4. Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2006
Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban; 5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban; 6. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban; 9. Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2003
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 10. Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan; 11. RUU-KUHP Nasional Tahun 2015. 2) Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu
24
meliputi
buku-buku
hukum,
jurnal-jurnal
hukum,
literatur,
makalah, tesis, skripsi dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian, disamping itu juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan.Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan petunjuk untuk melangkah, baik dalam membuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, bahkan menentukan metode pengumpulan dan analisis bahan hukum yang akan dibuat sebagai hasil penelitian.28 3) Sumber bahan hukum tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadan bahan hukum hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum. 1.8.4.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research). Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu dengan cara mengumpulkan beberapa buku-buku yang terkait dengan penelitian ini kemudian mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan
28
Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 54
25
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. 1.8.5.
Teknik Analisis Bahan Hukum Menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.