DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi BAB I Pendahuluan; Cakrawala Pendidikan Indonesia
7
BAB II Pengertian Dasar Pendidikan Islam
23
Meluruskan Konsep tentang Pendidikan Islam
23
Mengurai Akar Genealogi Pendidikan Islam Indonesia 31 Problem Epistemologi Pendidikan Islam
55
Hubungan Pendidikan Islam dan Islam Kultural
71
Bab III Pendidikan Islam dalam Kerangka Teologi Progresif
77
Pergeseran Fungsi Etis Agama
77
Dimensi-Dimensi Keadilan dan Gerakan Praksis Islam
88
Tokoh-Tokoh Islam Praksis Pembebasan
96
Asghar Ali Engineer
96
Hasan Hanafi
102
Farid Esack
119
Qasim Amin
130
BAB IV Artikulasi Fungsi Etis Agama dalam Pendidikan
139
Pluralisme, Multikulturalisme, dan Universalisme
140
Relasi Agama, Manusia, dan Lingkungan
159
Kesetaraan Gender
171
Reformulasi Syari’ah
183
Reaktualisasi Identitas Lokal (Pribumisasi)
190
Pembelaan Masyarakat Tertindas
199
BAB IV Pendidikan Islam dalam Disparitas Hak Asasi Manusia 207 Daftar Pustaka
2
Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
BAB I PENDAHULUAN; CAKRAWALA PENDIDIKAN INDONESIA
Ada kesan yang telah tertanam di sebagian masyarakat bahwa pendidikan seakan menjadi “monster” bagi peserta didik dan pendidik. Keduanya dipaksa tunduk pada sistem evaluasi dan patokan nilai pembelajaran. Pandangan ini mengemuka ketika waktu mendekati bulan-bulan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang dipandang sebagai titik kulminasi antara hidup dan matinya masa depan peserta didik, sekaligus pertaruhan citra dan wibawa pendidik di tengah masyarakat dalam proses pendidikan. Untuk itu perdebatan perlu tidaknya pelaksanaan UN masih menjadi wacana pertarungan publik. Dalam model pendidikan yang mengedepankan angka kelulusan ini, peserta didik dan pendidik sama sekali tidak memiliki kesempatan dan ruang ekspresi kebebasan dalam menempa jati diri masa depan. Mereka dipaksa menjadi robot untuk menghafal segala rumus bahkan menghafal semua materi pelajaran yang diujikan. Mulai dari sekolah tingkat terendah sampai menengah atas, semangat berfikir pragmatis dan instan serta sekadar menghafal tanpa ada ruang menganalisis, akhirnya menjelma menjadi budaya belajar. Konsekuensinya, pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik aktif mengembangkan potensi diri, baik potensi keagamaan, Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
3
emosi, moral, dan kreativitas, menjadi gagal.1 Satu kunci dalam problem pendidikan semacam ini adalah karena ketiadaan aspek pembebasan dalam ruang belajar. Persoalan pendidikan pada akhirnya berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki nilai-nilai dasar seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan toleran terhadap perbedaan, karena semua diseragamkan dalam satuan sistem, yaitu lulus dan tidak lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak bermutu. Segala hasil dari proses pendidikan hanya diukur berdasarkan skala kuantitatif. Kecenderungan pola pendidikan semacam itu berimplementasi pada model pergaulan bermasyarakat peserta didik yang memasung sekat sosial masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan orang-orang yang pandai, begitupun peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya akan disisihkan bersama orang-orang yang bodoh lainnya. Dampak psikologis dari pilihan semacam itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan sekat sosial dan konstruksi psikologis negatif yang sengaja memarginalkannya.2 Tidak heran jika
1
Kegagalan tersebut merupakan wujud kegagalan maksud pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum Bab 1 pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2 Peristiwa depresi dan perlawanan seperti tergambarkan melalui munculnya penganiayaan kelompok-kelompok pergaulan seperti Geng Nero di Pati, Jawa Tengah, yaitu geng perempuan yang saling membela anggotanya dengan 4
Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
produk komunitas terpinggirkan itu akan senantiasa menghiasi forum tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain.3 Bagi kalangan ini, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya. Dalam situasi yang bersamaan, fenomena mengejutkan pernah terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan beragam sekolah kedinasan lain. Jika di sekolah menengah ke bawah ekspresi pengekangan berlangsung atas nama Ujian Nasional, di kampus IPDN justru berlangsung atas nama kedisiplinan yang berujung pada kematian peserta didik, seperti Cliff Muntu.4 Ada satu hal yang kiranya sama-sama memiliki andil besar atas terjadinya peristiwa tragis tersebut, yaitu dikembangkannya tradisi pendidikan tanpa pembebasan. Kebebasan bagi manusia adalah hal yang sangat prinsip dalam kehidupannya, untuk itulah hukuman pidana yang lebih dikedepankan di Indonesia cenderung pada hukuman penjara karena berimplikasi pada pembatasan menghalalkan tindakan kekerasan. Geng motor, Bandung, dan geng-geng tawuran pelajar. 3 Sebagaimana yang diungkapkan Darmaningtyas dalam beberapa kali pendampingan dengan pelajar pelaku tawuran maupun dengan para gurunya di Jakarta. Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, LKIS, Yogyakarta, 2005, hal. 343 4 Cliff Muntu adalah peserta didik IPDN yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara, tewas dengan bekas penganiayaan di barak Jakarta dalam kompleks IPDN Jatinangor Sumedang Jawa Barat. “Kasus IPDN Tidak Bisa Ditoleransi”, Kompas, Jakarta, 9 April 2007. Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
5
atas kebebasan narapidana. Kebebasan tersebut pada dasarnya berguna dalam membangun dimensi perspektif sensomotorik manusia menuju pencarian jati dirinya. Namun, banyak orang menyangka bahwa kebebasan justru akan menjadikan manusia berbuat semaunya dan menerabas sistem-sistem sosial yang terbangun. Maka tidak heran jika sekolah-sekolah saat ini, kian memperketat aturan pembelajaran dari mulai seragam sekolah dan aturan sosial di sekolah, sehingga terjadi pembatasan hak untuk bersosialisasi dan berekspresi. Ada yang mengira bahwa dengan langkah demikian, pendidikan akan berhasil, sebab sudah merasa melindungi tujuan pendidikan. Padahal, untuk mencapai maksud pendidikan itu sendiri, dibutuhkan keleluasaan peserta didik untuk berfikir bebas, bersosialisasi, berekspresi, dan mengasah pengalaman spiritual sendiri karena peserta didik jelas memiliki hak kehidupannya. Keleluasaan demikian sama sekali tidak akan tercapai, manakala dalam benak fikiran peserta didik dan pendidik hanya mengejar pada nilai sempurna dalam ujian nasional. Kondisi keterpurukan pendidikan tersebut terjadi juga dalam institusi-institusi pendidikan Islam, baik di lokal Indonesia maupun secara global di negeri lainnya, yaitu tercerabutnya iklim kebebasan akademik. Dalam menghadapi perkembangan zaman, eksistensi pendidikan Islam justru dimanfaatkan untuk menjaga normativitas keagamaan bukan konteks norma etik dalam masyarakat. Pendidikan Islam masih terjebak dengan pola-pola konvensional ala Ta’limul Muta’allim karangan Imam az
6
Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
Zarnuji.5 Peserta didik dipaksa tunduk dalam pasungan kebenaran tunggal dari pendidik. Pola ini melahirkan model kepandaian “menimbun fakta-fakta” dengan menghafalkannya, tanpa sedikitpun diberikan ruang menganalisis atau sekadar merelasikan dengan problem sosial. Akibatnya, stagnansi pemikiran menjurus pada terbangunnya kebenaran secara turun temurun tanpa memiliki ikatan kesesuaian dengan perkembangan zaman. Artinya, hanya ada satu jawaban kebenaran sebagaimana diajarkan guru. Imbas terburuk dari paradigma sentralisasi kebenaran secara sepihak itu melahirkan tuduhan bahwa Islam terutama diwujudkan melalui pesantren sebagai sarang terorisme yang tidak memiliki penghargaan nilainilai kemanusiaan dan kebangsaan. Selain itu, pendidikan Islam ternyata masih dihadapkan pada problem klasik berupa dikotomi pengetahuan antara Islam dan ilmu atau agama dan sains. Problem keduanya karena memiliki standar dan sumber pengetahuan yang saling berlainan, yaitu antara iman dan akal atau wahyu dan akal. Untuk itulah kita temukan anggapan yang “memfosil” dalam nalar umat Islam bahwa mempelajari 5
Beberapa pola pendidikan dalam kitab ini lebih menekankan sikap pasif peserta didik terhadap proses pembelajaran. Pendidikan hanya diperankan secara monolog dari pendidik kepada peserta didik, dengan “mitos” tidak manfaatnya suatu ilmu manakala peserta didik mengkritisi materi pelajaran. Maka pola pendidikan mengarah pada kepatuhan mutlak dengan pengagungan terhadap guru, dan tidak adanya rangsang berfikir merespon problem sosial. Lihat az Zarnuji, Tafhimul Muta’allim fi Tarjamah Ta’lim al Muta’allim (Terj), Menara Kudus, Kudus, 1963. Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
7
ilmu-ilmu al Qur’an, fiqh, hadis, akhlak, lebih penting dan menjamin manusia masuk surga daripada berkutat pada ilmu-ilmu tentang kehidupan sosial atau dikenal dengan ilmu umum. 6 Pengesampingan ilmu-ilmu umum di kalangan umat Islam setidaknya juga terjadi karena fatal mengapresiasi doktrin al dun-ya sijn al mu’minin wa jannat al kafirin (dunia adalah penjara orang mu’min, dan surga bagi orang kafir). Doktrin ini memberikan ajaran agar umat Islam tidak perlu berkecimpung dalam perkembangan ilmu atau persoalan keduniaan, karena aspek tersebut bukan wilayah orang Islam. Dari sini, berkembanglah paradigma “kemelaratan” dan mengintensifkan perhatian hanya pada ilmu-ilmu keislaman. Mentalitas umat dan paradigma beragama yang berkonotasi negatif terhadap pendidikan Islam itu, bahkan menjadikan ilmu umum dianggap sebagai racun perusak kemurnian doktrin agama karena menjadi basis sekulerisme. Oleh karenanya, masyarakat tidak mampu berproduksi optimal dalam menghadirkan perubahan dan 6
Persepsi keagungan ilmu-ilmu yang spesifik mengkaji dasar agama daripada kajian sosial (ilmu umum) juga lebih dipengaruhi adanya pembagian term ilmu fardlu ‘ain dan fardlu kifayah dalam penguasaan. TK. H. Ismail Yakub, Tarjamah Ihya’ Ulumuddin Imam al Ghazali, CV Faizan Jakarta, Jakarta, 1994, hal. 78. Bahkan polarisasi keilmuan juga melanda terhadap ilmu agama itu sendiri, semisal ulumul qur’an, ushul fiqh, dan hadits, lebih berbuah kelak di akhirat daripada ilmu nahwu atau tasawuf. Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002, hal.112. 8
Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tantangan zaman, karena adanya hegemoni kebenaran dan klaim sepihak sebagai perusak kemurnian agama atau sekularis, manakala berupaya mengintegrasikan antara agama dan ilmu pengetahuan. Pemahaman keagamaan yang berkembang demikian justru menjadikan keadaan umat Islam semakin mengagungkan teks (dogma normatif) agama. Perilaku peserta didik dan membesar menjadi kolektif masyarakat, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh praktik pendidikan yang didapatkan. Di sinilah masalah keberagamaan muncul. Tafsir keberagamaan yang berkembang di tengah masyarakat terlalu berorientasi pada pemahaman ketuhanan yang bersifat legal-formal. Sebuah pemahaman yang cenderung berkutat pada ritual, doktrin, dan keindahan serta keangkeran langit (surganeraka). Ironisnya, tafsir keberagamaan ini muncul dan dianggap benar hanya dari satu otoritas agama. Untuk itulah kebenaran agama muncul sebagai kebenaran tunggal dan pasti, tidak dapat diganggu gugat dengan cara berfikir apapun. Hal demikian dikarenakan hukum Tuhan dianggap sudah dengan jelas mengatur segala problem kehidupan manusia dan berlaku sepanjang masa. Berawal dari paradigma keberagamaan yang disemaikan melalui proses terencana dalam lembaga pendidikan, sekaligus posisi otoritas keagamaan yang berhasil diduduki, setidaknya pernah lahirlah 11 fatwa yang berusaha mengakhiri kebenaran di luar sistem yang diakui
Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
9
kalangan dominan.7 Fatwa tersebut menjadi sorotan publik karena kerap diusung oleh kalangan yang mempercayai bahwa kebenaran agama dan kebenaran rasional dapat ditakwilkan dan dipersatukan dengan lahirnya beragam kebenaran. Lantas, umat Islam dan tentunya pendidikan Islam menjelma menjadi sebuah sistem sosial yang sangat eksklusif sehingga rentan adanya konflik. Ketika mengapresiasi konflik yang terjadi di Indonesia selama ini, pada dasarnya lebih dipengaruhi atas upaya pemaksaan sistem nilai kepada kelompok lain karena semangat eksklusivitas yang difahami dan diyakini. Hal ini menimbulkan perubahan cara pandang yang selalu bersifat politis.8 Untuk itu, penekanan semangat multikulturalisme 7
Fatwa-fatwa lahir melalui rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) VII Majelis Ulama Indonesia di Ballroom Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, 26-29 Juli 2005. Penjelasan mengenai 11 fatwa haram itu seperti larangan tentang liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan penyesatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Untuk itu, lahirlah sejumlah penolakan dari berbagai komunitas keagamaan, seperti Perhimpunan Pendidikan dan Demokrasi (P2D), Jaringan Islam Liberal (JIL), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Wahid Institute, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Lihat pernyataan pers “Aktivis Islam dan pro Demokrasi Menolak Fatwa MUI” dalam [http://www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id= 859] 8 Beberapa kasus itu memiliki mata rantai pemahaman keagamaan dan gerakan praksis, seperti peledakan bom di Kedubes Philipina Jakarta (2000), bom Hari Natal di sejumlah gereja di Indonesia (2000), peledakan bom HKBP Santa Anna Jakarta (21 Juli 2001), Mall Atrium Senen Jakarta (1 Agustus 2001), Gereja Petra Jakarta (9 November 2001), Gereja 10
Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
Pangkalan Kerinci, Pahlawan, Riau (2 Desember 2001), Sari Club dan Paddy’s Café, Denpasar Bali (12 Oktober 2002), Restaurant Mc Donald’s Ratu Indah Mall Makasar (2002), Restaurant Kentacky Fried Chicken Manado (15 November 2002). Lihat dalam Lukman Hakim, Terorisme di Indonesia, FSIS, Surakarta, 2004, hal. 102-105. Tindakan pemaksaan juga menimpa terhadap kaum minoritas, seperti penyerbuan kampus Mubarak milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Parung Bogor (15 Juli 2005), penangkapan Yusman Roy yang mengamalkan dan mengajarkan shalat dwibahasa (2005), penyegelan paksa kantor Fahmina Institute, Cirebon (Mei 2006) karena menolak RUU APP, pengusiran terhadap Gusdur dari Forum Dialog Lintas Etnis dan Agama di Purwakarta (23 Mei 2006), Pengusiran terhadap aktivitas kegerajaan Immanuel Pante Kosta di Cilincing Jakarta (April 2007), penyerangan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Partai Persatuan Pembebasan Nasional di beberapa daerah dengan isu komunisme (2007), merupakan ekspresi penyeretan agama ke dalam ruang publik. Catatan pribadi peneliti tentang konflik politisasi agama di Indonesia. Pendidikan Islam Berbasis Keadilan
11