DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i KATA PENGANTAR.................................................................................... ii DAFTAR ISI................................................................................................... v DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 5 D. Tinjauan Pustaka ................................................................ 6 E. Metodologi Penelitian ........................................................ 6 F. Sistematika Penulisan ........................................................ 7
BAB II
TINJAUAN TEORI................................................................. 11 A. Pengertian Komunikasi ...................................................... 11 B. Unsur- unsur Komunikasi .................................................. 14 C. Bentuk – bentuk Komunikasi............................................ 20 D. Komunikasi Antar Pribadi.................................................. 25 E. Hubungan Dokter dengan Pasien........................................ 39
BAB III
GAMBARAN UMUM ............................................................ 48 A. Gambaran Umum Tentang RSSH....................................... 48
v
BAB IV
TEMUAN
DATA
DAN
ANALISIS
HASIL
PENELITIAN LAPANGAN .............................................. 51 A. Bentuk Komunikasi Dokter dan Pasien Dalam Pelayanan Medis................................................................................. 51 B. Data Responden ................................................................ 52 C. Analisis Hasil Jawaban Responden................................... 53 BAB V
PENUTUP................................................................................ 65 A. Kesimpulan ......................................................................... 65 B. Saran .................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 68 LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
Jenis Kelamin Responden .............................................................. 52 Jenis Pendidikan Terakhir Pasien .................................................. 53 Jenis Perawatan yang dijalani Pasien............................................. 54 Jangka Waktu Perawatan Yang Dijalani Pasien ............................ 54 Tanggapan Pasien Tentang Prosedur Pengobatan di Poli Paru RSSH.............................................................................................. 55 Dokter menanyakan kabar Pasien .................................................. 55 Dokter Menanyakan Riwayat Penyakit Pasien .............................. 56 Dokter Mendengarkan dengan Seksama Keluhan Pasien.............. 57 Dokter Memberi Rasa Nyaman erhadap Pasien Saat Berkomunikasi Tabel ..................................................................... 58 Dokter Memberi Sugesti Terhadap Pasien..................................... 58 Cara Dokter Memberi Penjelasan Tentang Penyakit Pasien.......... 59 Mimik Wajah Dokter Saat Melayani Pasien.................................. 59 Bahasa Yang Digunakan Dokter Saat Melayani Pasien ................ 60 Manfaat Obat Yang Diberikan Dokter........................................... 60 Rumah Sakit Memenuhi Hak-hak Pasien ...................................... 61 Terpenuhikah Standar Pelayanan Rumah Sakit Terhadap Pasien.. 62 Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Dokter dan Rumah Sakit ............................................................................................... 62
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu kebutuhan manusia yang sangat mendasar baik fisik maupun psikis adalah kebutuhan akan kesehatan 1 . Kesehatan memang sudah menjadi kebutuhan manusia yang esensial untuk berbagai tujuan. Dengan kesehatan manusia dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa adanya hambatan. Dalam hubungan ini, rumah sakit/poliklinik merupakan salah satu sarana yang dapat membantu manusia untuk memenuhi dan melayani kebutuhan akan kesehatan yang diperlukan tersebut. Rumah sakit sebagai wadah sosial yang hidup dalam bentuk organisasi merupakan wadah masyarakat, tempat hidup dan berkembang dengan hubungannya yang bersifat timbal balik. Artinya bahwa rumah sakit dan masyarakat terdapat hubungan yang tak terpisahkan.Keduanya terdapat hubungan saling memberi dan saling menerima. Dalam proses hubungan timbal balik tersebut muncul sebuah komunikasi yang biasa terjadi antara dokter dan para medis dengan pasien. Dalam hubungan ini dokter dan para medis memberikan saran/nasehat yang didiskusikan bersama pasien dan pasien diharapkan aktif memutuskan apa yang akan dilakukan demi kesembuhan dan kebaikan diri sendiri, yang juga dapat diistilahkan dengan konseling. 1
Erik P.Eckholm, (Jakarta: Gramedia, 1981), h 2
Masalah Kesehatan (Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit),
1
2
Unsur yang paling penting dalam hubungan antara dokter dan paramedis dengan pasien adalah komunikasi. Komunikasi itu sendiri merupakan kebutuhan kodrati manusia merupakan persyaratan mutlak bagi perkembangan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. 2 Dengan
Komunikasi,
manusia
menyampaikan
perasaan,
pikiran,
pendapat, sikap dan informasi kepada sesamanya secara timbal balik. Komunikasi merupakan kegiatan kehidupan manusia yang dengan cara ini membentuk kegiatan bersama dengan lainnya dimana-mana, yang mempunyai predikat zoon politicon (makhluk yang selalu hidup bersama). 3 Pada dasarnya komunikasi yang terbentuk dalam pelayanan medis adalah komuniasi antar pribadi, tetapi terkadang dokter dan perawat tidak menyadari bahwa pesan yang mereka sampaikan pada saat memberikan pelayanan medis
tidak dapat diterima dengan baik oleh pasien,
dikarenakan cara berkomunikasi yang digunakan mereka kurang efektif. Dalam perannya sebagai seorang yang mengobati (healer), tugas utama seorang dokter dan paramedis adalah untuk menerapkan pengetahuannya tentang pengobatan penyakit terhadap pasien pada umumnya. Dokter dan paramedis
2
diharapkan bersikap idealis, artinya
F. Rahmadi, Perbandingan Sistem Pers:Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara, (Jakarta: Gramedia, 1990), h 2 3 Komaruddin, Yooke Tjupamah S, Komaruddin, Kamus Istilah Karya tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h.301.
3
mengupayakan mencapai kondisi sebaik mungkin dari si pasien. 4 Meskipun dokter dan paramedis menganggap dirinya mengetahui aspek medis yang menjadi spesialisasinya, tetapi kebanyakan pasien, apalagi yang sangat percaya kepada keahlianya, menganggap dokternya sebagai orang yang tahu tentang semuanya dan dapat menjawab segala pertanyaan dan menyembuhkan segala penyakit. Terlebih di Negaranegara berkembang, dimana tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit sangat terbatas. Pasien yang sangat berterimakasih kepada dokternya akan menganggap dokter tidak lagi terbatas sebagai hubungan professional, melainkan menjadi hubungan pribadi yang membaur. 5 Dalam tugasnya di lapangan, seorang dokter dan paramedis tidak hanya menghadapi masalah yang dipelajarinya di bangku kuliah, melainkan juga memecahkan segala masalah sosial dan kemanusiaan. Masyarakat membedakan apakah keluhan yang dideritanya merupakan masalah medis/fisik ataukah karena masalah sosial. Tugas-tugas dokter dan paramedis pun kadang-kadang memaksa mereka memperlakukan pasienya secara berbeda, tergantung dari tingkat sosial si pasien. Sukses dokter dan paramedis dalam menangani keluhan-keluhan pasiennya tidak saja terletak pada hasil pendidikan dan kemahiran dalam bidang kedokterannya melainkan ditentukan oleh unsur-unsur pribadi dokter dan
4
Solita Sarwono, Sosiologi kesehatan(Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya) (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press, 1997), h.42. 5 Ibid, h.43
4
paramedis itu sendiri (seperti kecakapan empatik dan kemampuan berkomunikasi
secara
aktif
terhadap
para
pasiennya)
dan
harapan/pandangan atau masyarakat yang dilayaninya. 6 Dalam pengobatan terhadap pasien seorang dokter dibantu paramedis (perawat). Perawat yang bertugas sebagai mitra kerja dokter dalam melaksanakan prakteknya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh dokter untuk membantu pekerjaan klinis dokter. 7 Selain dari yang disebutkan di atas, pelayanan yang diberikan oleh paramedis terhadap pasien sebelum berkonsultasi dengan dokter haruslah dapat memberikan sugesti terhadap sang pasien untuk mempercepat proses kesembuhan . Karena pelayanan yang baik sangat mempengaruhi psikologis pasien.Karena sebagian besar rumah sakit di Negara kita belumlah memberikan pelayanan yang baik terhadap pasien. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, dalam memberikan pelayanan medis dokter
dan perawat terkesan sangat cuek dan masa
bodoh terhadap keluhan-keluhan pasien, misal pada saat seorang pasien sedang menderita cedera otot, sehingga tidak dapat berjalan bahkan menggerakkan anggota tubuh pun sudah sangat kesakitan, pasien itu diminta untuk ronsen, pasien dibawa menggunakan brangkar menuju ruang ronsen. Tiba disana kami dipersilahkan masuk,
lalu kami
memberikankan surat rujukannya, kemudian seorang perawat menyuruh
6
Ibid, h.44 Benyamin Lumeta, Perawa (Citra, Peran dan Fungsi, Tinjauan Fenomena Sosial), (Yogyakarta:Kanisius, 1989), h.99. 7
5
pasien untuk berpindah ke meja ronsen, kami menjelaskan bahwa pasien tidak dapat bergerak,
karena sangat sakit,
tetapi perawat tidak
menggubris, sedangkan kami mendengar dengan jelas bahwa di ruang sebelahnya beberapa perawat sedang bersenda gurau tanpa mempedulikan ada pasien yang butuh pertolongan. Tetapi tentu saja bukan di Rumah Sakit ini.
Berdasarkan ilustrasi di atas maka penulis tertarik ingin
membahas masalah ini dalam sebuah bentuk skripsi yang berjudul “Komunikasi Dokter Dengan Pasien Dalam Pelayanan Medis di RS. Syarif Hidayatullah”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Terbentuknya komunikasi yang baik dalam pelayanan kesehatan dari dokter dan paramedis maka akan menghasilkan efek yang positif pula dari sang pasien. Dalam hal ini peneliti membatasi penelitian ini pada komunikasi dokter/paramedis dalam pelayanan kesehatan terhadap pasien di Poliklinik Paru RS. Syarif Hidayatullah Jakarta sejak bulan Januari 2010 sampai bulan Mei 2010. Adapun rumusan masalah yang akan diteliti yaitu: Bagaimana bentuk komunikasi dokter dan pasien di poliklinik paru?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan skripsi ini adalah untuk memahami bentuk komunikasi yang terbangun antara dokter dan
6
pasien dan memahami bentuk komunikasi dalam pelayanan medis yang diberikan dokter dan paramedis di poli paru RSSH. Adapun manfaat dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan di bidang komunikasi. 2. Secara
praktis,
penelitian
ini
dilaksanakan
dalam
rangka
merealisasikan Tri Darma Perguruan Tinggi. 3. Sebagai bahan individu atau instansi yang terkait di dalamnya juga dalam
rangka
pengembangan
islamiah
dalam
mengantisipasi
problematika komunikasi yang akan terjadi.
D. Tinjauan Pustaka Judul ini sebelumnya sudah dibahas pada skripsi Bani Sadr yang berjudul Pola Komunikasi Dokter dan Pasien Dalam Proses Penyembuhan, bedanya pada skripsi ini lebih kepada komunikasi yang terbentuk antara dokter dan pasiennya, khususnya pada saat melayani pasien.
E. Metodologi Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kuantitatif.
Yaitu
penelitian yang berupa menarik faktor-faktor dan informasi dari data lapangan yang ditemui secara angka dengan melihat inti objek penelitian berdasarkan tingkat beragam dalam data lapangan yang bisa didapat secara akurat, tepat dan terpercaya.
7
Untuk memperoleh data di lapangan, penulis nenggunakan langkah-langkah antara lain : 1. Teknik Pengumpulan Data Untuk
memperoleh
data
tersebut,
penulis
mengadakan
penelitian dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Angket Angket, dengan teknik ini dimaksudkan untuk memperoleh data yang lebih lengkap dengan menyodorkan sejumlah pertanyaan tertulis sesuai dengan masalah yang yang diteliti. b. Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini penulis secara langsung mewawancarai dokter spesialis paru RS. Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai wakil dari poli paru untuk kelengkapan penulisan. c. Dokumentasi Pengumpulan data dengan cara data-data atau informasi yang diperoleh dari dokumentasi yang ada pada Poliklinik Paru RS.Syarif Hidayatullah Jakarta, data tersebut dapat berupa catatan
8
formal, arsip-arsip, naskah, dan sebagainya yang mendukung dan berkaitan dengan masalah penelitian.
2. Populasi dan Sampel a. Populasi Yaitu keseluruhan subjek penelitian untuk keperluan penelitian ini diambil populasi dengan berpedoman kepada pendapat Suharsimi Arikunto: ”Apabila subjek kurang dari 100 orang,
lebih
baik
diambil
semua,
sehingga
penelitiannya
merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil 10-15% atau lebih, tergantung setidaktidaknya dari segi waktu, tenaga, dan dana”. 8 Dalam penelitian ini, jumlah populasi pasien pada poli paru RSSH adalah 24 orang. b. Sampel Yaitu bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi. Berdasarkan pendapat tersebut dalam penelitian ini seluruh populasi diambil sebagai sampel karena subjeknya kurang dari 100 orang, sampelnya 24 orang.
8
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal.107
9
Sampel yang penulis gunakan adalah sampel berdasarkan kemudahan (available sampling/convenience sampling). Pemilihan sampel ini berdasarkan kemudahan data yang dimiliki oleh populasi. Periset bebas memilih siapa saja anggota populasi yang memiliki data berlimpah dan mudah diperoleh periset. 9 Di sini periset ingin mengetahui bentuk komunikasi yang terbangun antara dokter, perawat dan pasien, periset bisa langsung datang ke poli paru RSSH, karena di sana pasti ditemui sampel dengan ciri pasien poli paru.
3. Teknik Pengelolaan dan Analisa Data Dalam hal analisa data digunakan bentuk analisis dengan menggunakan jenis distribusi frekuensi. a. Deskriptif, data-data yang diperoleh melalui angket, kemudian diproses dengan beberapa tahapan, sebagai berikut : 1) Evaluasi, memeriksa jawaban-jawaban responden untuk diteliti, ditelaah dan dirumuskan pengelompokannya untuk memperoleh data-data yang akurat. 2) Tabulasi, yaitu memindahkan jawaban-jawaban responden yang diperoleh dari angket ke dalam bentuk tabel, kemudian dicari frekuensi dan prosentasenya untuk dianalisa.
9
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi : Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 159
10
3) Kesimpulan, memberikan kesimpulan dari hasil analisa dan penafsiran data. Semua tahapan tersebut akhirnya dijelaskan pendeskripsiannya dalam bentuk verbal (kata-kata) maupun angka sehingga menjadi bermakna. b. Prosentase, data yang diperoleh dari deskripsi kualitatif kemudian diolah menjadi analisa statistik deskriptif dengan menggunakan statistik prosentase, sebagai berikut: f P=
x 100 %
n Keterangan: P = besarnya prosentase f = frekuensi (jumlah jawaban responden) n = jumlah responden 10 Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis berpijak pada buku pedoman penulisan karya ilmiah, yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta CeQDA tahun 2007.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Agar dapat dipahami lebih mudah, sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I: PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
10
h. 40
Anas Sarjono, Pegantar Statistik Pendidikan, (Jakarta : Grafindo Persada, 1997),
11
Bab II : TINJAUAN TEORITIS. Adapun dalam bab ini dibahas tentang pengertian komuikasi, pola komunikasi antar pribadi, pola pelayanan medis, serta hubungan dokter dengan pasien. Bab III : GAMBARAN UMUM RSSH Dalam bab ini akan dibahas tentang sejarah berdirinya RSSH, visi dan misi, jumlah SDM yang mendukung berjalannya RSSH, dll. Bab IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini mengemukakan pola pertukaran data kultural, sosiologis, dan psikologis, pelayanan prima terhadap pasien, serta proses sugesti Dokter terhadap pasien. Bab V : PENUTUP Bab ini merupakan rangkaian akhir dari penulisan skripsi, yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian akhir dari penulisan skripsi, penulis menyajikan daftar pustaka yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi ini dan lampiran - lampiran yang terkait.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Komunikasi Secara etimologis, kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa latin “comunicasio” dan bersumber dari kata
communis
yang
berarti
“sama”,
maksudnya
orang
yang
menyampaikan dan yang menerima mempunyai persepsi yang sama tentang apa yan disampaikan. 1 Sedangkan
secara
terminologi,
para
pakar
komunikasi
mengungkapkan beberapa pengertian komunikasi, yaitu antara lain: 1. Onong Uchjana Effendy berpendapat bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. 2 2. Wilbur Schramm,menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses saling berbagi atau menggunakan informasi secara bersama dan petalian para peserta dalam proses informasi. 3 3. A.W.Widjaya, berpendapat bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. 4
1
Djamalul Abidin Ass, Komunikasi dan Bahasa Dakwah (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h.16, dan Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi:Teori dan Praktek (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990)h.9. 2 Onong Uchyana Effendy, Ilmu Komunikasi, h.10. 3 D.Lawrence Kincaid dan Wilbur Schramm, Azas-azas Komunikasi antar Manusia.Penerjemah Agus Setiadi (Jakarta:LP3ES bekerjasama dengan East-West Communication Institude, 1997), h.6. 4 Aw.Widjaya, Komunikasi dan hubungan masyarakat
12
13
4. Sementara Harold Lasswell seorang profesor di Unifersitas
Yale
Amerika Serikat yang dikutip oleh Djamaludin Abidin dalam buku” Komunikasi dan Bahasa Dakwah “, merumuskan bahwa komunkasi itu merupakan jawaban terhaadap Who says what to whom in which chanel to whom with what effect (Siapa berkata apa dalam media apa kepada siapa dengan dampak apa). Jadi menurut Dr.Lasswell, ada lima unsur yang harus ada agar komunikasi ini berjalan lancar,yakni : a. Who (siapa) yang kemudian disebut komunikator atau sender (pengirim komunikasi) b. What (apa) yang kemudian disebut message atau pesan komunikasi c. Whom (siapa) yang kemudian disebut komunikan atau receiver (Khalayak) d. Chanel (media apa) yang kemudian disebut sarana atau media e. Effect (dampak Komunikasi) yang kemudian disebut dampak atau efek komunikasi yang diimplikasikan dalam umpan balik Dari
pengertian
komunikasi
secara
terminologi
tersebut
memperlihatkan bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang, dimana orang menyatakan sesuatu kepada orang lain . Adapun yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut adalah manusia. Oleh karena itu komunikasi yang dimaksudkan pada umumnya adalah “komunikasi manusia” atau human communication, yang sering pula diistilahkan dengan komunikasi sosial, komunikasi antar pribadi atau komunikasi kemasyarakatan. Adapun Unsur-unsur dari komunikasi tersebut adalah sebagai
14
berikut: B. Unsur- unsur komunikasi 1. Komunikator Komunikator adalah sebagai orang yang menyampaikan pesan kepada komunikan yang memiliki fungsi sebagai encoding, yaitu orang memformulasikan pesan-pesan atau informasi kepada orang lain. Komunikator juga dapat berupa individu yang sedang berbicara, menulis, kelompok orang, organisasi komunikasi seperti, surat kabar, radio, televisi, film, dan lain sebagainya. 5 Dalam poses komunikasi ini, arus pesan tidak hanya datang dari satu arah saja yaitu dari sumber ke sasaran, melainkan merupakan suau proses interaktif dan konvergen. Ini berarti komunikator dan komunikan bisa berganti peran, yaitu yang tadinya sebagai komunikator kemudian berperan sebagai komunikan karna komunikan menyampaikan feedback kepada komunikator. Ada beberapa ciri yang dilakukan oleh seorang komunikator dalam melakukan kegiatannya, sesuai dengan situasi yang dihadapi. Ciri-ciri tersebut dapat dibedakan dalam beberapa model seperti: a. Komunikator yang membangun, ciri-cirinya: 1. Mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak pernah menganggap dirinya benar 2. Ingin bekerja sama dan memperbincangkan suatu persoalan dengan sesamanya sehingga timbul saling pengertian.
5
A.W.Wijaya, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h.12
15
3. Tidak terlalu mendominasi situasi dan mau mengadakan komunikasi timbal balik. 4. Menganggap bahwa pikiran orang banyak lebih baik dari seseorang. b.
Komunikator yang mengendalikan, ciri-cirinya : 1. Pendapatnya merupakan hal yang dianggap paling baik, sehingga ia tidak mau mendengarkan pandangan orang lain, baik intern maupun ekstern, yaitu di mana seorang komunikator menganggap kalau pendapatnya itu paling baik, sehingga tidak mau mendengarkan pendapat dari orang-orang yang berada dilingkunganya
dan
orang-orang
yang
berada
di
luar
lingkungannya. 2. Menginginkan komunikasi satu arah saja tidak menerima dari arah lain. c. Komunikator yang melepaskan diri, ciri-cirinya: 1. Lebih banyak menerima dari lawan komunikasinya. 2. Kadang-kadang
rasa
rendah
dirinya
timbul
sehingga
ketidakmampuanya keluar. 3. Lebih suka mendengar pendapat orang lain dengan tidak bersungguh-sungguh menghadapinya. 4. Sumbangan pikiranya tidak banyak mengandug arti sehingga ia lebih suka melempar tanggang jawabnya kepada orang lain. d. Komunikator yang menarik diri, ciri-cirinya:
16
1. Lebih bersifat pesimis sehingga menurutnya keadaan tidak dapat diperbaiki lagi. 2. Lebih suka melihat keadaan seadanya dan kalau mungkin berusaha menyadarkn keadaan tambah buruk. 3. Selalu diam tidak menunjukan reaksi dan jarang memberikan buah pikiran. 2. Pesan Adapun yang dimaksud dengan pesan dalam proses komunikai adalah suatu informasiyang akan dikirim kepada si penerima pesan. 6 Pesan ini dapat berupa verbal maupunn non verbal. Pesan verbal dapat secara tertulis seperti surat, buku, majalah, memo, sedangkan pesan secara lisan dapat berupa percakapan tatap muka, percakapan melalui telpon, radio dan sebagainya. Pesan yang non verbal dapat berupa isyarat , gerakan badan, ekspresi muka, dan nada suara. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai kemampuan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran, dan lain sebagainya. Pesan seharusnya mempunyai inti pesan (tema) sebagai pengarah di dalam usaha mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan dapat disampaikan secara panjang lebar, tetapi perlu diperhatikan dan diarahkan kepada tujuan ahir dari komunikasi. Adapun pesan dianggap berhasil disampaikan oleh komunikator
6
Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi(Jakarta:Bumi Aksara, 1995).h.12
17
harus memenuhi syarat berikut ini : a. Pesan harus direncanakan (dipersiapkan) secara baik sesuai dengan kebutuhan pembaca. b. Pesan dapat menggunakan bahasa yang dapat dimengerti kedua belah pihak. c. Pesan harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan kepuasan. Pendapat lain mengatakan syarat-syarat pesan harus memenuhi: a. Umum Berisikan hal-hal umum dan mudah dipahami oleh komunikator atau juga audience, bukan soal-soal yang hanya dipahami oleh seorang atau kelompok tertentu. b. Jelas dan gamblang Pesan yang disampaikan tiak samar-samar. Jika mengambil perumpamaan diusahakan contoh yang senyata mungkin, agar tidak ditafsirkan menyimpang dari yang dikehendaki. c. Bahasa yang jelas Sejauh mungkin menggunakan istilah-istilah yang mudah dipahami oleh si penerima atau pendengar. Bahasa yang digunakan jelas dan sederhana yang cocok dengan komunikan, daerah dan kondisi dimana komunikator berkomunikasi. d. Positif Secara kodrati manusia tidak ingin mendengarkan dan
18
melihat hal-hal yang idak menyenangkan dirinya. Oleh karena itu, setiap pesan agar diusahakan dalam bentuk positif. e. Seimbang Pesan yang disampaikan oleh komunikator pada komunikan dirumuskan sesuai dengan kemampua komunikan menafsirkan pesan tersebut. Artinya agar komunikan bisa menafsirkan pesan tersebut seperti yang dimaksudkan pengirim pesan , sehingga pesan tidak berubah maknanya. f. Penyesuaian dengan keinginan komunikan Orang-orang yang menjadi sasaran dari komunikasi yang disampaikan oleh komunikator selalu mempunyai keinginan tertentu. Misalnya: pesan yang ditujukan untuk kelompok petani yang buta huruf , haruslah dirumuskan sedemikian rupa hingga para petani tersebut mampu menfsirkanya, seperti yng diharapkan oleh pengirim pesan. Untuk ini, maka pengirim pesan harus mengenal situasi dan kondisi sasaran. 3. Komunikan Komunikan atau penerima pesan adalah orang yang menjadi sasaran
dari kegiatan komunikasi. Komunikan atau
penerima pesan dapat bertindak sebagai pribadi atau orang banyak. 4. Media Yang dimaksud media disini adalah saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber kepada penerima.
19
5. Efek Efek atau hasil adalah akhir dari proses komunikasi. Yaitu sikap atau tingkah laku orang sebagai komunikan sesuai atau tidak dengan yang diinginkan oleh komunikator. Efek yang timbul pada dapat di klasifikasikan menurut kadarnya yaitu: a. Dampak kognitif: adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan
dia
menjadi
tahu
atau
meningkat
intelektualitasnya. b. Dampak Afektif: Dampak ini lebih tinggi kadarnya dari dampak kognitif. Pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan bukan sekedar komunikan tahu tapi bergerak hatinya,menimbulkan perasaan tertentu. c. Dampak Behavioral: Yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perubahan perilaku, tindakan atau kegiatan. 6. Umpan Balik Umpan balik (feed back) adalah tanggapan/reaksi dari penerima kepada pengirim. Kemudian dapat pula timbul tanggapan atau reaksi kembali dari pengirim kepada penerima. Maka terjadilah komunikasi timbal balik. Dengan adanya umpan balik inilah yang menjadikan komunikasi menjadi dinamis. Umpan balik memainkan peranan yang amat penting dalam
20
komunikasi, sebab ia menentukan berlanjutnya atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan. Oleh karena itu, umpan balik bisa bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Umpan balik posistif adalah tanggapan/respon/reaksi komunikan yang menyenangkan komunikatornya sehinga komunikasi berjalan lancar. Sebaliknya umpan balik negatif adalah tanggapan komunikator yang tidak menyenangkan komunikatornya sehingga komunikator enggan untuk melanjutkan komunikasinya. 7 Umpan balik dapat berwujud verbal dan non-verbal. 8 Umpan secara verbal misalnya dengan menggunakan bahasa, sedangkan umpan balik secara non-verbal misalnya dengan isyarat. Jadi Perbedaan antara efek atau hasil dan umpan balik itu terlihat jelas dalam proses komunikasi. Maksudnya efek atau hasil itu tidak secara langsung muncul dalam sebuah proses komunikasi melainkan akan muncul sebagai out put. Sedangkan umpan balik merupakan hasil komunikasi yang menjadi "kesepakatan" antara komunikator dan komunikan pada saat menjalankan proses komunikasi (saat berkomunikasi).
C. Bentuk-Bentuk Komunikasi
7
Onong Uchyana Effendi, Dinamika Komunikasi, h. 14 A. W. Widjaja, Ilmu Komunikasi : Pengantar Studi (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 48 8
21
Adapun
yang
dimaksud
bentuk-bentuk
komunikasi
adalah
proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan, apakah satu orang, kelompok orang
atau sejumlah orang yang bertempat tinggal secara
tersebar. 9 Berdasarkan situasi seperti itu, maka diklasifikasikan menjadi bentuk-bentuk sebagai berikut: 1. Komunikasi sebagai sebuah proses Komunikasi sebagai suatu proses, dapat dibagi dalam 2 bentuk, sebagaimana sebagai berikut: a. Komunikasi primer atau komunikasi langsung Komunikasi primer adalah komunikasi tanpa menggunakan suatu alat perantara teknik yang tercetak ataupun berbentuk alat elektronika. 10 Proses penyampaian pikiran oleh komunikator kepada komunikan menggunakan suatu lambang (symbol) sebagai media atau saluran. Lambang ini umumnya bahasa, tetapi dalam situasi komunikasi tertentu, lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yakni gerak anggota tubuh, gambar, warna dan lain sebagainya. 11 Pada mengetahui
komunikasi efek
langsung
komunikasinya
ini, pada
komunikator saat
itu
dapat juga.
Tanggapan/respon komunikan itu tersalurkan langsung kepada komunikator
9
Onong Uchyana Effendi, Ilmu Komunikasi, h. 32 I.B Mantra, Komunikasi, h. 6 11 Onong Uchyana Effendi, Ilmu Komunikasi, h. 33 10
22
b. Komunikasi sekunder atau komunikasi tidak langsung Pada komunikasi sekunder terjadi komunikasi tidak langsung, di mana komunikator menggunakan alat atau sarana sebagai media dan mekanisme untuk melipat gandakan jumlah penerima pesan (sasaran). 12 Alat atau sarana yang dimaksud di sini adalah seperti surat, misalnya, sebagai media komunikasi sekunder yang pada mulanya terbatas sekali jangkauan sasarannya, dengan dukungan pesawat terbang jet, dapat mencapai komunikan di mana saja di seluruh dunia. Demikian pula media telepon, jika pada waktu itu ditemukan menggunakan kawat yang oleh sebab itu terbatas sekali wilayah jangkauannya, kini dengan radio telepon dapat mencapai sasaran di kota lain, negara lain dan benua lain. 13 2. Komunikasi dilihat dari arahnya pesan Berdasarkan arahnya pesan, komunikasi dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu: a. Komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah yaitu suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. 14 Dalam komunikasi satu arah ini, seorang komunikator tidak mengetahui bagaimana seorang komunikan telah mendekodifikasikan pesannya. b. Komunikasi Timbal balik
12
I.B Mantra, Komunikasi, h. 6 Onong Uchyana Effendi, Ilmu Komunikasi, h. 38 14 I, B Mantra, Komunikasi, h. 7 13
23
Bentuk komunikasi ini dapat disebut juga dengan dialog yang meniscayakan adanya pula yang saling berkomunikasi. Dalam hal ini, pesan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan, kemudian komunikan setelah menerima pesan tadi memberikan umpan balik (feedback) kepada komunikator. 15 3. Komunikasi dilihat dari sifatnya Adapun pembagian bentuk komunikasi berdasarkan sifatnya, dapat dibedakan dalam tiga bentuk komunikasi, yaitu: a. Komunikasi Personal Pada komunikasi personal, komunikator berkomunikasi dengan seorang atau sekelompok komunikan dengan efek dan umpan balik langsung. 16 Dalam bentuk komunikasi ini, baik komunikator maupun komunikan mempunyai kesempatan untuk memperdalam masalah, karena
masing-masing
bisa
mengajukan
pendapat
dan
pandangannya. 17 Komunikasi ini tepat digunakan apabila menghendaki adanya efek perubahan tingkah laku berkomunikasi, karena sewaktu berkomunikasi terjadi umpan balik langsung. Dengan saling melihat, maka komunikator bisa mengetahui keadaan komunikan pada saat berkomunikasi.
15
Ibid., h. 8 Ibid 17 Suwito Suprayogi, Bagaimana Berdakwah ( Jakarta: Media Dakwah, 1988), h. 25 16
24
b. Komunikasi Kelompok Komunikasi
kelompok
berarti
komunikasi
yang
berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Jumlah orang yang terdapat dalam komunikasi kelompok tersebut kemudian dapat pula dibedakan
menjadi
dua
bagian
berdasarkan
kuantitasnya.
Sekelompok orang yang menjadi komunikan tersebut, bila berjumlah sedikit disebut dengan komunikasi kelompok kecil (small group communication), sedangkan bila berjumlah banyak atau besar disebut dengan komunikasi kelompok besar (large group communication)? 18 4. Komunikasi Massa Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan dari suatu sumber kepada khalayak yang berjumlah besar, dengan menggunakan saluran media massa. 19 Ciri-ciri komunikasi massa menurut Wright yang dikutip oleh Zulkarnain Nasution, dalam buku Prinsip-prinsip Komunikasi untuk Penyuluhan adalah: 20
Ditujukan kepada suatu khalayak yang relatif luas, heterogen dan anonim.
18
Onong Uchyana Effendi, Ilmu Komunikasi, h. 75 Zulkarimein Nasution, Prinsip-Prinsip Komunikasi untuk Penyuluhan (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1990), h. 28 20 Ibid., h. 29 19
25
Pesan disampaikan secara publik dan umumnya diterima oleh khalayak secara relatif serempak.
Komunikator
melakukan
komunikasinya
melalui
suatu
organisasi yang bersifat komplek, yang karena itu menyangkut masalah pembiayaan yang besar.
D. Komunikasi Antar Pribadi Komunikasi antar pribadi merupakan satu proses sosial di mana orang-orang
yang
terlibat
di
dalamnya
saling
mempengaruhi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Devito yang dikutip oleh Alo Liliweri dalam buku Komunikasi Antar Pribadi, bahwa komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. 21 Berdasarkan definisi di atas, komunikasi antar pribadi dapat berlangsung antara dua orang, misalnya: antara penyaji makalah dengan salah seorang peserta suatu seminar. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau
21
Alo Liliweri, Komunikasi Antar Pribadi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), h. 12
26
negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Asumsi dasar komunikasi antar pribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi akan membuat prediksi tentang efek atau perilaku komunikasinya, yaitu bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut persepsi komunikator reaksi komunikan menyenangkan atau positif, maka ini merupakan suatu pertanda bagi komunikator bahwa komunikasinya berhasil. Menurut Gerald R. Miller dan Mark Steinberg, ada tiga tingkatan analisis yang digunakan dalam melakukan prediksi, yaitu tingkat kultural, tingkat sosilogis, dan tingkat psikologis. 22 Tiap tingkatan dapat dibedakan oleh jenis data yang dgunakan dalam melakukan prediksi. Tingkatan-tingkatan analisis dikaitkan dengan jumlah informasi yang diperoleh pada tiap tingkatan. Jika komunikasi makin mengarah ke tingkat indvidu, maka makin banyak informasi yang diperlukan. Pada umumnya dalam interaksi komunikasi, individu akan bergerak dari tingkat kultural ke sosiologis dan akhirnya ke tingkat psikologis kalau ia mengharapkan komunikasinya akan lebih efektif. 1. Analisis Pada Tingkat Kultural Pada analisis tingkat kultural, guna mencapai efek yang diharapkan, komunikator dalam melakukan prediksi paling tidak 22
M. Budyatna dan Nina Mutmainnah, Komunikasi Antar Pribadi (Jakarta: Universitas Terbuka, 2004), h. 14
27
harus mengerti dan memahami kultur, terutama yang bersifat imaterial dari pihak yang diajak berkomunikasi. Dengan mengenali atau menguasai kultur yang imaterial ini, seperti bahasa dan adat istiadat, paling tidak seseorang mampu untuk berkomunikasi dengan pihak lain. Paling tidak, yang diperlukan untuk dapat berkomunikasi dengan pihak lain adalah adanya persamaan kultur. Bila tidak memiliki persamaan kultur, maka pelaku komunikasi mampu mengerti kultur pihak lain (paling tidak bahasa) sebagai alat komunikasi. Selain itu, penguasaan norma dan adat istiadat pihak lain sangat memperlancar interaksi komunikasi. Prediksi mengenai efek komunikasi yang diharapkan pada tingkatan kultural ini akan mengalami kegagalan, bila mengabaikan pengalaman atau kultur pihak lain. Hal ini juga disebabkan oleh pemaksaan pengalaman komunikator kepada komunikan. Terutama bila komunikator berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kulturnya, ditambah apabila komunikator melakukan penggolongan secara kaku mengenai sifat-sifat orang yang berbeda kultur. Hal yang terakhir ini akan menjurus kepada apa yang dinamakan dengan stereotyping. 2. Analisis Pada Tingkat Sosiologis Apabila komunikator melakukan prediksi mengenai reaksi komunikan terhadap pesan yang ia sampaikan berdasarkan
28
keanggotaan komunikan dalam kelompok sosial tertentu, maka dapat dikatakan bahwa komunikator melakukan prediksi pada tingkatan sosiologis. Keanggotaan kelompok terdiri dari mereka yang memiliki kesamaan karakteristik tertentu. Sama halnya dengan keanggotaan seseorang
dalam kultur
menampilkan
pula
tertentu,
pola-pola
maka
perilaku
annggota dan
kelompok
nilai-nilai
yang
membedakannya dengan kelompok lain. Para anggota dalam kelompok atau suatu kultur tertentu harus menaati norma-norma dan nilai-nilai tertentu yang dikenakan kepadanya. Adapun yang membedakan antara kelompok dengan kultur adalah pada segi jumlah. Pada umumnya, jumlah anggota kelompok lebih kecil daripada anggota dalam kultur tertentu. Para anggota dari suatu kultur tertentu dapat menjadi angota dari berbagai kelompok. Namun, prediksi terhadap reaksi komunikan pada tingkat sosiologis mengandung kelemahan, karena hanya prediksi yang dilakukan hanya menyangkut aspek nilai dan norma yang dianut oleh suatu kelompok yang dijadikan obyek prediksi. Oleh karena itu, ketelitian dalam melakukan prediksi terhadap suatu kelompok merupakan suatu keharusan. 3. Analisis Pada Tingkat Psikologis Apabila prediksi yang dibuat komunikator terhadap reaksi komunikan sebagai akibat menerima suatu pesan yang didasarkan
29
pada analisis pengalaman individual yang unik dari komunikan, maka dapat dikatakan komunikator melakukan prediksi pada tingkat psikologis. Dua atau lebih individu yang seringkali melakukan interaksi komunikasi yang mendasarkan prediksinya terhadap satu sama lain dengan menggunakan data psikologis ini menunjukkan bahwa mereka telah mengenal satu sama lain sebagai individu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengerti dengan baik karakteristik yang unik dan kepribadian masing-masing dan bukan hanya sekedar mengenal satu sama lain dengan atribut kultural atau peran sosiologis. Tiap individu mempunyai kepribadian dan watak yang tidak pernah sama dengan yang lain, dan ini merupakan hasil tempaan dan terbentuk berdasarkan pengalaman di masa lalu. Apabila dua individu satu sama lain bisa saling mengerti serta memahami kepribadian dan watak masing-masing, baru dapat dikatakan bahwa satu sama lain dalam berkomunikasi melakukan prediksi atas data psikologis. Namun, analisis pada tingkatan psikologis memiliki hambatan berupa kecenderungan komunikator untuk melihat orang lain pada pola yang terbentuk pada diri komunikator berdasarkan pengalaman kontak dengan orang-orang sebelumnya.
30
Prediksi pada tingkatan psikologis ini memerlukan analisis yang cermat dan hati-hati mengenai perilaku seseorang dan sekalikali tidak boleh dikaitkan dengan perilaku orang lain yang pernah melakukan kontak dengan kita sebelumnya. Kalau hal ini dilakukan, maka prediksi komunikator mengenai perilaku komunikan akan meleset jauh, apalagi kalau komunikator mempunyai pengalaman yang tidak baik dengan individu sebelumnya, Seseorang yang melakukan prediksinya atas dasar data kultural dan sosiologis, berarti melakukan komunikasi nonantarpribadi.
Pada
tingkat
ini,
dalam
melakukan
prediksi,
komunikator melakukan generalisasi rangsangan, yakni mencari kesamaan di antara para pelaku komunikasi lainnya. Komunikasi antar pribadi jauh lebih jarang dilakukan daripada komunikasi non antar pribadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Untuk dapat berkomunikasi secara antar pribadi diperlukan waktu yang lama, yakni untuk dapat saling mengenai watak dan pribadi masing-masing. 2. Pada umumnya, komunikator lebih cenderung untuk memilih tingkat kultural dan sosiologis dalam melakukan prediksi pertama terhadap reaksi komunikan, karena segala informasi untuk itu lebih mudah diperoleh.
31
3. Kemampuan
setiap
individu
berbeda
untuk
mampu
berkomunikasi secara antar pribadi. Hubungan komunikasi, baik yang merupakan antar pribadi maupun non antar pribadi dapat dibedakan berdasarkan tiga hal, yaitu:
1. Norma yang mengatur hubungan Hubungan komunikasi non antar pribadi diatur oleh norma masyarakat pada tingkat kultural dan norma kelompok pada tingkat sosiologis, sedangkan hubungan komunikasi antar pribadi diatur oleh norma relational. 2. Kriteria untuk menentukan hubungan Kriteria pada hubungan non antar pribadi ditentukan oleh tujuan-tujuan kelompok yang diikuti individu, sedangkan kriteria pada hubungan antar pribadi ditentukan oleh pertimbangan pribadi. 3. Tingkat kebebasan individu Pada hubungan komunikasi non antar pribadi, pilihan pribadi atau pernyataan pribadi individu relatif terbatas, sedangkan
pada
hubungan
komunikasi
antar
pribadi,
kebebasan individu lebih ditolerir, bahkan didorong dan dikembangkan.
32
Pada setiap bentuk komunikasi memperilihatkan adanya gaya-gaya kognitif tertentu yang dimiliki oleh seseorang. Gaya kognitif tersebut dapat menentukan arah perkembangan komunikasi menuju
ke
arah
komunikasi
antar
pribadi
atau
justru
menghambatnya. Gaya kognitif adalah cara-cara yang khas, di mana individu membangun atau membentuk keyakinan dan sikapnya tentang dunia sekitarnya dan cara-cara ia memproses dan memberikan reaksi terhadap informasi yang masuk atau diterimanya. Adapun gaya kognitif yang menunjukkan toleransi rendah dalam komunikasi terdiri dari otoriter dan dogmatis. Orang yang berpikiran otoriter memiliki gaya kognitif yang simplisistis, yang mendorong cara berpikir secara kultural dan sosiologis yang dangkal. Hal tersebut berakibat pada hilangnya. kesempatan untuk dapat mengembangkan hubungan antar pribadi yang penuh arti. Sedangkan orang yang bersifat dogmatis cenderung sering melakukan suatu generalisasi yang salah, yang diistilahkan juga dengan stereotip sosial. Selain itu, orang yang memiliki gaya kognitif dogmatis mengalami kesulitan untuk dapat melepaskan diri dari aspek kultural dan sosiologis dalam melakukan prakiraan untuk dapat mengarah ke tingkat sosiologis. Oleh karena itu, orang yang bersifat dogmatis sulit untuk dapat sampai pada tahap komunikasi antar pribadi.
33
Adapun gaya kognitif positif yang dapat membantu untuk mencapai tahap komunikasi antar pribadi adalah kecakapan empati. Empati terjadi jika dua individu saling mengenali kebutuhannya satu sama lain dan memberikan respon terhadap hal tersebut Proses empati meliputi dua tahap utama, yaitu: 1. Pengempati yang prospektif harus mampu membedakan secara tepat bahwa cara-cara bermotivasi dan bersikap setiap individu akan berbeda dengan individu lainnya. 2. Pembedaan secara tepat harus diikuti oleh perilaku yang diinginkan atau bermanfaat bagi mereka yang menjadi objek suatu prediksi. Umumnya, tahap pertama tersebut berhasil dilewati oleh komunikator, tetapi kebanyakan mengalami kegagalan pada tahap kedua. Hal ini disebabkan oleh persepsi komunikator yang tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan atau bermanfaat bagi komunikan. Proses empati dapat dilihat dari segi transaksional yang melibatkan empat unsur penting, yaitu drive, cue, response, dan reward. Drive merupakan rangsangan kuat yang memaksa seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Cue adalah sesuatu yang dapat mengarahkan perilaku, yang sering diartikan dengan isyarat. Isyarat merupakan rangsangan yang berbeda atau dapat dibedakan dengan yang lain yang mempunyai arti tertentu di lingkungannya. Response merupakan perilaku yang sebenarnya yang diakibatkan oleh isyarat.
34
Sedangkan reward atau imbalan merupakan peristiwa sebagai akibat dari respons tertentu. Untuk mengembangkan kemampuan empatik, hal terpenting yang hams dilakukan oleh seorang komunikator adalah mengembangkan kemampuan membedakan isyarat. Kecakapan empati dalam suatu komunikasi antar pribadi juga harus didukung oleh konsep diri (self concept) yang positif agar proses komunikasi tersebut berjalan lancar, karena salah satu ciri dari konsep diri yang positif adalah keterbukaan. Adapun untuk melihat tingkat keterbukaan dan kesadaran tentang self (diri), dapat digunakan model Johari Window. Model mi mengatakan bahwa manusia terdiri dari empat self, yaitu : open, blind, hidden, dan unknown. Masing-masing self saling bergantung satu sama lain, karena perubahan pada satu daerah self akan menimbulkan perubahan di tempat lainnya. Berikut ini adalah tampilan {display) Johari Window: Known to self
Not known to self
(mengetahui diri)
(tidak mengetahui diri)
Known to others
Open self
(diketahui orang lain = publik)
(diri
Blind self yang (diri yang buta)
terbuka) Not known to others (tidak privat)
diketahui
Hidden self orang lain = (diri
Unknown self yang (diri
tersembunyi)
yang
tidak diketahui)
35
Open self adalah aspek diri kita yang kita ketahui dan juga diketahui oleh orang lain. Blind self adalah aspek diri kita yang tidak kita ketahui, tetapi diketahui oleh orang lain. Hidden self adalah aspek diri kita yang tersembunyi dari orang lain, hanya diketahui oleh diri kita sendiri. Sedangkan unknown self adalah jaspek dari diri kita yang tidak diketahui oleh siapa pun, baik diri kita sendiri maupun orang lain. Aspek lain yang menjadi ciri dari tercapainya tahap komunikasi antar pribadi selain self concept adalah self disclosure. Self disclosure adalah suatu perilaku komunikasi di mana individu menyampaikan informasi tentang dirinya kepada orang lain secara sengaja dan sukarela. Biasanya, informasi yang diungkapkan adalah yang bersifat sangat pribadi. Self disclosure memiliki berbagai dimensi, yaitu ukuran self disclosure, valensi (kualitas positif atau negatif) self disclosure, kecermatan dan kejujuran, tujuan self disclosure, dan keintiman. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi self disclosure adalah efek diadik, ukuran audience, topik yang dibahas, valensi, jenis kelamin, ras dan kebangsaan, usia, serta mitra self disclosure. Meskipun self disclosure amat positif bagi keberhasilan komunikasi antar pribadi, tetapi perilaku ini jarang dilakukan individu. Terdapat hambatan-hambatan yang sering menghalangi individu untuk
36
melakukannya, di antaranya adalah societal bias, kekhawatiran akan hukuman, dan kekhawatiran akan self knowledge Terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam melakukan self disclosure, antara lain adalah : motivasi self disclosure, ketepatan self disclosure, membuka kesempatan untuk respon yang terbuka, kejelasan dan kelangssungan self disclosure, self disclosure
orang
lain,
dan
mempertimbangkan
kemungkinan
timbulnya masalah akibat self disclosure. Adapun sebagai mitra orang yang melakukan self disclosure, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu : 23 1. Mendengar secara efektif dan aktif 2. Mendukung pembicara 3. Memperkuat perilaku self disclosure 4. Menjaga kerahasiaan 5. Tidak menggunakan penyingkapan diri yang dilakukan seseorang sebagai senjata untuk melawannya. Proses munculnya self concept dan self disclosure merupakan upaya untuk meningkatkan arah hubungan komunikasi menjadi komunikasi antar pribadi yang ditandai dengan meningkatnya keintiman
antara
komunikator
dengan
komunikan.
Proses
meningkatnya keintiman dalam hubungan tersebut diistilahkan dengan penetrasi sosial. Teori penetrasi sosial memiliki dua hipotesis. 23
Ibid, h. 7.19 -7.20
37
Pertama, interaksi yang bersifat antar pribadi mengalami kemajuan (perkembangan) secara bertahap, mulai dari tingkat permukaan yang dangkal dan kurang akrab ke lapisan diri yang lebih akrab dan dalam diri para pelaku. Altaian dan Taylor menyatakan bahwa ada empat tahap perkembangan hubungan, yaitu: 24 1. Orientasi ; berisi komunikasi yang impersonal, pada saat itu seseorang hanya mengemukakan informasi yang sangat umum tentang dirinya. Bila tahap ini dianggap menguntungkan oleh partisipan, mereka akan bergerak ke tahap berikutnya. 2. Menuju pertukaran afektif; mulai bergerak ke tahap yang lebih dalam untuk menyingkap topik-topik tertentu yang terpilih. 3. Pertukaran afektif; memusatkan perasaan pada tingkat yang lebih dalam. Tahap ketiga ini tidak akan dilalui individu hingga ia menerima
imbalan
yang
substansial
pada
tahap-tahap
sebelumnya. 4. Pertukaran stabil atau tetap ; ditandai oleh derajat keintiman yang tinggi, para partisipan berhak untuk memprediksikan perilaku mitranya dan memberikan respon. Kedua, peningkatan dari suatu hubungan sangat bergantung kepada jumlah dan sifat dari imbalan (reward) dan biaya (cost). Pada setiap hubungan yang dikembangkan, setiap individu selalu mempertimbangkan kemungkinan yang muncul berdasarkan reward
24
Ibid., h.9.4
38
dan cost dari hubungan tersebut. Reward mengacu pada kenikmatan, kepuasan, dan imbalan yang dinikmati oleh seseorang. Adapun cost mengacu pada faktor yang menghambat, seperti kegelisahan atau halhal yang memalukan. Dalam
proses
penetrasi
sosial
perlu
dilihat
struktur
kepribadian individu, yakni kumpulan dan gagasan, perasaan, dan emosi individu tentang dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan (dunia luar). Struktur kepribadian individu memiliki dua dimensi, yaitu : dimensi luas (breadth) dan dimensi dalam (depth). Dimensi luas memiliki dua aspek kategori luas (breadth category) dan frekuensi luas (breadth frequency). Kategori luas (breadth category) adalah daerah-daerah umum yang berisi aspek-aspek tertentu, seperti keluarga. 25 Frekuensi luas (breadth frequency) adalah aspek-aspek yang lebih khusus dalam kategori luas (breadth category), seperti ukuran keluarga atau hubungan antara anggota keluarga. Salah satu aspek penting dalam hal ini adalah luas waktu (breadth time), yaitu jumlah waktu yang digunakan dalam suatu interaksi. 26 Dimensi kedalaman (depth) dari kepribadian menyebutkan bahwa
struktur
kepribadian
berlapis-lapis,
dari
yang
paling
permukaan hingga yang paling dalam (intim). Dalam interaksi, setiap 25 26
Ibid., h. 9.10 Ibid., h.9.11
39
orang bergerak dari hal-hal yang impersonal ke bagian kepribadian yang makin dalam secara timbal balik. 27 Setiap hubungan tidak selalu makin intim atau mengalami proses penetrasi. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi, yang dikenal sebagai depenetrasi. Suatu hubungan bisa melemah dan bahkan putus dengan proses yang merupakan pembalikan dari penetrasi. Dalam depenetrasi, hubungan bergerak dari tingkat yang akrab ke tingkat yang tidak akrab atau dari tingkat pribadi ke tingkat yang impersonal sifatnya. Tingkat melemah atau putusnya suatu hubungan antar pribadi diprediksikan sebagai fungsi dari sifat reward dan cost dalam suatu hubungan. Jika suatu hubungan antar pribadi diprediksikan tidak menghasilkan keuntungan, maka peluang putusnya suatu hubungan makin besar dibandingkan jika hubungan tersebut menguntungkan. Begitu pula sebaliknya, yaitu bahwa semakin besar keuntungan yang diperoleh dalam suatu hubungan antar pribadi, maka makin besar peluang suatu hubungan diteruskan.
E. Hubungan Dokter dengan Pasien a.
27
Peran Dokter dalam Proses Penyembuhan
Ibid.
40
Dalam
melakukan
perannya
sebagai
seorang
yang
memiliki kompetensi untuk mengobati orang yang sakit, dokter melaksanakan beberapa fungsi utama, yaitu sebagai berikut : 28 a. Menerapkan peraturan umum atau khusus yang harus ditaati oleh pasien. b. Membina interaksi dengan pasien secara luas dan membaur, atau terbatas pada fungsinya sebagai dokter. c. Melibatkan
emosi/perasaannya
atau
bersikap
netral
dalam
hubungannya dengan pasien. Mengutamakan kepentingan diri sendiri atau kepentingan bersama. d. Memandang manusia berdasarkan kualitasnya atau prestasinya. Pengetahuan dan keterarapilan khusus dalam penyembuhan penyakit yang dimiliki oleh seorang dokter menjadikannya mendapat kepercayaan dari pasien untuk melakukan tindakan yang dalam situasi biasa tidak dapat diterima oleh norma sosial, misalnya memeriksa bagian tubuh yang paling pribadi. Meskipun dokter menganggap dirinya serba tahu, kebanyakan pasien, apalagi yang sangat percaya kepada keahliannya, menganggap dokter sebagai orang yang tahu tentang semuanya dan menyembuhkan segala penyakitnya. 29
28
Solita Sarwono, Sosiologi Kesehatan (Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), h.42. 29 Ibid., h. 43
41
Dalam kenyataan di lapangan, tugas seorang dokter kadangkadang memaksa mereka untuk memperlakukan pasiennya secara berbeda, tergantung dari tingkat sosial si pasien. 30 Misalnya, seorang dokter mendatangi dan mengobati raja atau menteri yang sedang sakit di kediamannya, sedangkan rakyat kecil diminta datang ke rumah sakit dan mereka harus sabar menunggu gilirannya untuk diperiksa/diobati. Ini menunjukkan bahwa dokter tidak lagi bersikap netral melainkan menggunakan afeksinya. Sukses dokter dalam menangani keluhan pasiennya tidak saja terletak pada hasil pendidikan dan kemahirannya dalam bidang kedokteran, melainkan ditentukan oleh unsur-unsur pribadi dokter itu sendiri dan harapan/pandangan pasien atau masyarakat yang dilayaninya. 31 Hubungan antara dokter dengan pasien dapat dikategorikan menurut intensitas harmoni atau adanya konflik antara kedua pihak. Menurut Persons yang dikutip oleh Solita Sanvono dalam buku Sosiologi Kesehatan, meskipun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu kesembuhan si pasien, hubungan antara dokter dengan pasien bersifat asimetris. 32 Dalam hal ini, dokter mempunyai kedudukan yang lebih kuat/tinggi karena pengetahuannya di bidang medis, sedangkan si pasien biasanya awam dalam bidang itu serta sangat membutuhkan
30
Ibid., h. 44 Ibid., h. 45 32 Ibid., h.46 31
42
pertolongan dokter. Pada dasarnnya ada tiga pola dasar hubungan dokter dengan pasien yaitu:
a. Pola dasar hubungan aktif-pasif Secara historis, hubungan ini paling dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik yaitu sejak zaman Hipokrates, 25 abad yang lalu. 33 Hubungan aktif - pasif terjadi bilamana pasien berada dalam kondisi yang bereaksi atau turut berperan serta dalam relasi itu. Dalam hal ini pasien benar-benar merupakan obyek yang hanya menerima apa saja yang diberikan kepadanya. 34 Secara sosial, hubungan ini bukanlah hubungan yang sempurna, karena hubungan satu arah yaitu dari dokter kepada pasien, sehingga pihak yang lain itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran yang aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai resipien atau penerima belaka, seperti pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose ketika pasien dalam keadaan tidak sadar atau koma dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat setelah kecelakaan. Berdasarkan contoh tersebut, pasien sekedar menjadi penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respon dan tidak dapat
33
Benyamin Lumentu, Pasien (Citra, Peran dan Perilaku, Tinjauan Fenomena Sosial), (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 46 34 Solita Sarwono, Sosiologi Kesehatan, h. 46
43
menyampaikan suatu pesan. Hubungan aktif—pasif ini terlihat pada hubungan orang tua dengan anaknya yang masih kecil yang hanya menerima semua hal yang dilakukan orang tua terhadapnya. Anak tidak dapat memberikan respon atau peran aktif sehingga seluruh interaksi hanya tergantung kepada orang tua. b. Pola dasar hubungan membimbing - kerja sama. Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter, yakni bila keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat, misalnya penyakit infeksi dan berbagai penyakit akut lainnya. 35 Dalam hal ini, walaupun pasien sakit, ia tetap sadar dan tetap memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Hubungan tersebut serupa dengan hubungan orang tua dengan remaja. Orang tua memberi nasehat dan membimbing, sedangkan anak yang sudah remaja itu akan bekerja sama dengan mengikuti nasehat dan bimbingan orang tuanya. Hubungan membimbing - kerja sama ini sama pula dengan hubungan pimpinan perusahaan dengan pegawai, yang satu memberikan bimbingan, yang lain bekerja sama sebagai suatu respon aktif. Adapun yang membedakan kedua pihak dalam hubungan ini ialah adanya kekuasaan yang dimiliki pihak yang satu (pengetahuan kedokteran, kepemimpinan) dan kemampuan atau
35
Benyamin, Pasien….., h. 73
44
kemauan yang dimiliki pihak lain untuk menuruti (nasehat, bimbingan). 36 c. Pola dasar hubungan saling berperan serta Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasar pada struktur sosial yang demokratis dan yang merupakan perjuangan hidup bagi sebagian besar umat manusia sepanjang masa. 37 Pola hubungan ini terjadi antar dokter dengan pasien yang ingin memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis (medical check up) misalnya, atau dengan pasien berpenyakit menahun (kronis) seperti penyakit gula, jantung koroner, dan sebagainya. Dalam hubungan semacam ini, pasien dapat menceritakan pengalamannya sendiri berkaitan dengan penyakitnya dan pengobatan yang tepat. 38 Dalam ketiga jenis ini, perilaku dokter dapat sangat berlainan, dan akibatnya kesembuhan pasien dapat dinilai baik dan kurang baik. Ini semua tergantung pada sikap dokter terhadap pasien dan komunikasi yang dibangun untuk meningkatkan kesembuhan pasien.
36
Ibid., h. 74 Ibid. 38 Ibid., h. 75 37
45
2. Hubungan Dokter dengan Pasien sebagai bentuk Komunikasi Antar Pribadi Pada hakekatnya, hubungan antara dokter dengan pasien tidak dapat terjadi tanpa melalui komunikasi, termasuk dalam pelayanan medis.
Komunikasi
merupakan
proses
timbal
balik
yang
berkesinambungan yang menyangkut dua pihak. 39 Pihak-pihak yang bersangkutan secara bergantian berperan menjadi pemberi informasi (pembicara) dan penerima informasi (penerima). Secara umum, dalam berkomunikasi orang berusaha menyampaikan pandangan, perasaan dan harapannya kepada orang lain. Komunikasi ini dapat terjadi antara dua individu, antar kelompok atau antara individu dan kelompok. Hal-hal seperti ini dapat menimbulkan kerancuan dalam proses komunikasi, sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh kedua belah pihak tidak dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Menurut Persons yang dikutip oleh Solita Sarwono dalam buku Sosiologi Kesehatan, bahwa antara dokter dengan pasien sukar terjalin komunikasi, sebab biasanya pasien berada dalam situasi emosional: sakit, bingung, takut, depresif atau bahkan pasien itu sudah tidak dapat berkomunikasi lagi karena sudah dalam keadaan tidak sadar. 40 39
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 47. 40 Ibid., h. 46
46
Berdasarkan
keterangan
tersebut,
jelas
terlihat
bahwa
hubungan dokter dengan pasien dapat berbeda-beda sifatnya dan untuk setiap model diperlukan teknik komunikasi yang berbeda pula. Jika dokter dan paramedis tidak memperhitungkan hal ini, maka komunikasi dengan pasien tentu tidak efektif dan tidak optimal. Hal-hal yang dapat menghambat komunikasi antara dokter dan paramedis dengan pasien, antara lain adalah : 41 a. Penggunaan simbol (istilah-istilah medis atau ilmiah yang diartikan secara berbeda atau sama sekali tidak dimengerti oleh pasien). b. Pseudo-komunikasi
(tetap
padahal sebenarnya pasien
berkomunikasi tidak
dengan
sepenuhnya mengerti
lancar atau
mempunyai persepsi yang berbeda tentang apa yang dibicarakan). Karakter-karakter dokter yang tidak tepat sehingga dapat menghambat komunikasinya dengan masyarakat (pasien), antara lain perbedaan status sosial, harapan masyarakat terhadap kemampuan dokter serta kecenderungan sikap otoriter, terutama dalam rangka mengatasi penyebaran penyakit akut. Selain itu, di Indonesia sering kali dokter ditempatkan di daerah yang keadaan sosial, budayanya, tidak sama dengan latar belakang sosial budaya dokter itu. Dengan demikian kesulitan berkomunikasi bertambah, sebab dokter tidak menguasai bahasa setempat dan tidak mengenal budaya di sana. Untuk itu diperlukan kemauan untuk mempelajari bahasa dan budaya
41
Ibid., h. 48
47
setempat, agar dokter tidak dianggap orang asing oleh penduduk asli dan supaya komunikasinya dengan masyarakat (pasien) dapat menjadi lebih lancar. 42 .
42
Ibid., h. 53.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG RUMAH SAKIT SYARIF HIDAYATULLAH (RSSH)
A. Sejarah Berdirinya RSSH Bagaimanapun juga adanya RSSH tidak terlepas dari perjuangan mahasiswa IAIN yang sadar akan pentingnya kesehatan dalam mewujudkan cita-citanya yang implementasikan dengan mendirikan sebuah balai pengobatan, corp kesehatan mahasiswa. Perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi sebuah Universitas Islam Negeri (UIN) yang memiliki berbagai fakultas umum termasuk diantaranya Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Adanya tuntutan masyarakat serta tingginya persaingan dalam jasa kesehatan merupakan energi yang mendorong pengembangan institusi kesehatan yang sebelumnya berbentuk polikinik menjadi sebuah rumah sakit yang saat ini bernama RS. Syarif Hidayatullah
(RSSH).
Hal
ini
dimungkinkan
mengingat
kinerja
manajemen yang terus meningkat sejak tahun 1990. RSSH dibawahi oleh Yayasan Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki fungsi sosial namun tetap menjaga kualitas. Dalam rangka menunjang keberhasilan pelayanan medis yang ditangani oleh para dokter spesialis maka kelengkapan fasilitas merupakan salah satu faktor penting yang harus disediakan, rumah sakit kini hadir dengan fasilitas yang semakin baik dan lengkap. Sumber daya manusia
48
49
merupakan aset yang sangat berharga, oleh karenanya RSSH senantiasa meningkatkan mutu SDM melalui peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam memberikan pelayanan. Saat ini RSSH didukung oleh tim dokter, dokter gigi, dokter spesialis fultimer maupun partimer yang berpengalaman di bidangnya masing-masing yang senantiasa
siap
menjadi
mitra
pasien
dalam
membantu
proses
penyembuhan. Selain itu kami juga dilengkapi dengan paramedis yang terampil dan berpengalaman serta berperilaku islami yang akan merawat pasien dengan sabar, senyum dan penuh kehangatan. Saat ini RSSH didukung oleh 11 orang dokter umum, 7 orang dokter gigi, 41 orang dokter spesialis, 44 orang bidan dan perawat , 26 paramedis non perawat, 91 orang non medis. Kepuasan pelanggan adalah salah satu barometer keberhasilan organisasi. Saat ini RSSH yang berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda no.95, Ciputat, Tangerang telah memiliki pelanggan dari berbagai lapisan masyarakat, diantaranya adalah mahasiswa, karyawan UIN, perusahaan serta peserta asuransi. Ada beberapa perusahaan asuransi yang menjadi mitra kerja RSSH diantaranya Sinar Mas, Bumi Putra, JPKM Takaful yang diperuntukan bagi mahasiswa UIN, dan lain-lain. Sejak diperkenalkan kepada masyarakat umum secara luas pada tahun 1990 tren kunjungan pasien terus meningkat, pertumbuhan ini terus meningkat pada tahun kedua beroperasinya layanan rumah sakit. Maknanya institusi ini sudah memiliki “image positif “ di hati masyarakat jauh sebelum terbangunnya rumah sakit. Hal ini sesuai dengan Visi dan Misi yang merupakan panduan
50
dasar yang sangat penting dalam penentuan arah sebuah organisasi tak terkecuali rumah sakit.
B. Visi dan Misi Adapun Visi dari RSSH adalah menjadi rumah sakit bernuansa islam yang memiliki citra positif dan mampu memberikan pelayanan secara paripurna kepada masyarakat. Adapun Misi yang merupakan alasan yang sangat mendasar tentang keberadaan sebuah organisasi yang dapat memotivasi individu yang berada didalamnya, misi mencerminkan peran fungsi dan kewenangan dokter dan paramedis yang bertanggungjawab terhadap perwujudan visi RSSH, yaitu : 1. Melaksanakan integralisasi nilai Islam ke seluruh aspek manajemen pelayanan. 2. Mengembangkan sumber daya manusia islami yang tangguh, handal dan berakhlak mulia. 3. Mengupayakan kepuasan dan kesan mendalam kepada pelanggan secara berkelanjutan. 4. Memberikan dukungan dalam penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan dibidang medis/kesehatan kepada masyarakat. 5. Menjadi bagian integral dari jaringan pelayanan kesehatan nasional. 1
1
Company Profile, RS. Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
BAB IV TEMUAN DATA DAN ANALISIS
A. Bentuk Komunikasi Dokter dan Pasien Dalam Pelayanan Medis di Poli Paru RSSH Oleh karena hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan antar pribadi, maka ada komunikasi atau yang lebih dikenal dengan istilah wawancara pengobatan itu sangat penting. Hasil penelitian yang penulis lakukan di RSSH menunjukkan bahwa esensi dari hubungan dokter dengan pasien terletak pada wawancara pengobatan. Pasien yang diperiksa oleh dokter bukan makhluk pasif, bukan pula perantara (host) yang tidak bertenaga, tempat mikro organisme tumbuh, bukan pula mesin yang bagiannya gagal berfungsi atau aus. Pasien adalah makhluk yang aktif, dengan siapa dan untuk siapa dokter bekerja mengatasi penyakit. 1 Pembahasan selanjutnya penulis ingin menjelaskan bagaimana bentuk komunikasi dokter dengan pasien di poli paru RSSH : 1. Komunikasi Individu Unsur yang paling penting dalam hubungan antara dokter dengan pasien berkomunikasi. Karena dengan berkomuniksi orang berusaha menyampaikan pandangan, perasaan dan harapannya pada orang lain. Komunikasi dapat terjadi antara dua individu, antar kelompok atau
1
Wawancara pribadi, dengan Dr. Yudanarso Dawud, MHA, Ciputat, 3 April 2010
51
52
antara individu dan kelompok. Dalam hubungan antara dokter dengan pasien yang paling penting adalah komunikasi antar individu. 2. Komunikasi Kelompok Selain berkomunikasi dengan pasien, dokter juga terkadang melakukan komunikasi dengan keluarga pasien. Komunikasi antara pihak-pihak
tersebut
(dokter,
pasien
dan
keluarga
pasien)
meniscayakan adanya komunikasi triadik. Hal tersebut dimungkinkan karena ada beberapa kasus, pasien tidak sanggup melakukan komunikasi dengan dokter. Selanjutnya, dokter membangun hubungan yang lebih erat dengan pasien maupun keluarga pasien agar para pasien tidak canggung dan mau mengutarakan keluhan-keluhan serta persoalanpersoalan yang dihadapi oleh pasien. Pada tahap ini, dokter mendengarkan dengan seksama setiap keluhan, baik keluhan-keluhan yang berhubungan dengan penyakit yang diderita maupun persoalanpersoalan yang menyangkut pasien.
B. Data Responden Rincian tentang identitas pasien yang terlihat dalam penelitian lapangan ini dapat dilihat dari tabel berikut ini : Tabel 1 Jenis Kelamin Responden No. 1.
Jenis Kelamin Pria
Jumlah Prosentase 17 70,8 %
53
No 2.
Jenis Kelamin Wanita Jumlah
Jumlah Prosentase 7 29,2 % 24 100 %
Tabel 2 Jenis Pendidikan Terakhir Pasien No 1. 2. 3. 4. 5.
Pendidikan SD / Sederajat SMP / Sederajat SMA / Sederajat Diploma Sarjana Jumlah
Jumlah 3 5 6 9 1 24
Prosentase 12,5 % 20,8 % 25 % 37,5 % 4,1 % 100 %
C. Analisis Hasil Jawaban Pasien 1. Pengenalan RSSH dan Poli Baru Untuk mengetahui pengetahuan pasien tentang RS. Syarif Hidayatullah, poli paru RSSH, jenis perawatan yang dijalani, metode komunikasi dokter dengan pasien, proses sugesti dokter terhadap pasien, dan pelayanan rumah sakit, rincian dan uraian data tersebut bisa dilihat di bawah ini. Data pasien yang mengetahui poli paru dan menjadi pasien poli paru dapat dilihat pada tabel berikut ini : Data mengenai jenis perawatan yang dijalani pasien dapat dilihat pada tabel berikut ini:
54
Tabel 3 Jenis Perawatan Yang Dijalani Pasien No 1. 2.
Jenis Perawatan Pasien Rawat Jalan Pasien Rawat Inap Jumlah
Jumlah 21 3 24
Prosentase 87,5 % 12,5 % 100 %
Dari data di atas dapat terlihat bahwa jumlah pasien rawat jalan yaitu 87,5 %, dan pasien rawat inap 12,5 %, Data tersebut menunjukkan bahwa pasien lebih memilih perawatan dirumah daripada dirawat di rumah sakit. Data mengenai jangka waktu perawatan yang dijalani pasien dapat terlihat dari tabel di bawah ini : Tabel 4 Jangka Waktu Perawatan yang dijalani Pasien No 1. 2. 3.
Lama Satu Tahun Enam Bulan Tiga Bulan Jumlah
Jumlah 1 11 12 24
Prosentase 4,1 % 45,8 % 50 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat 4,1 % pasien menjalani perawatan selama satu tahun, 45,8 % pasien yang menjalani perawatan selama 6 bulan dan 50 % pasien yang menjalani perawatan selama 3 bulan. Hal tersebut tergantung dari tingkat keseriusan penyakit yang diderita pasien.
55
Data tentang pendapat pasien mengenai prosedur pelayanan di poli paru dapat dilihat dari tabel di bawah ini : Tabel 5 Tanggapan Pasien Tentang Prosedur Pengobatan Poli Paru RSSH No. 1. 2.
Berbelit-belit Ya Tidak Jumlah
Jumlah 1 23 24
Prosentase 4,1 % 95,3 % 100 %
Dari data pada tabel di atas dapat terlihat bahwa 4,1 % pasien berpendapat prosedur pelayanan poli paru berbelit-belit, dan 95,3 % pasien berpendapat prosedur pelayanan di poli paru tidak rumit atau tidak berbelit-belit. 2. Komunikasi Dokter dan Pasien Data mengenai apakah dokter menanyakan kabar pasien dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6 Dokter menanyakan kabar pasien No 1. 2. 3.
Menanyakan Ya Tidak Kadang-kadang Jumlah
Jumlah 7 3 14 24
Prosentase 29,2 % 12,5 % 58,3 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 29, 2 % pasien mengaku bahwa dokter menanyakan kabar mereka pada saat
56
memasuki ruang pengobatan, 12, 5 % pasien mengaku bahwa dokter tidak menanyakan kabar mereka, dan 58, 3 % pasien mengaku bahwa kadang-kadang dokter menanyakan kabar mereka. hal tersebut disebabkan gaya komunikasi setiap dokter terhadap pasien berbeda. Data mengenai apakah dokter mempertanyakan riwayat penyakit pasien dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 7 Dokter Menanyakan Riwayat Penyakit Pasien No 1. 2. 3.
Menanyakan Ya Tidak Kadang-kadang Jumlah
Jumlah 11 1 12 24
Prosentase 45,8 % 4,1 % 50 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat 45,8 % pasien menyatakan bahwa dokter menanyakan riwayat penyakit mereka saat wawancara pengobatan, 4,1 % pasien menyatakan dokter tidak menanyakan riwayat penyakit mereka, dan 50 % pasien menyatakan bahwa kadang-kadang dokter menanyakan riwayat penyakit mereka. Hal tersebut dikarenakan waktu yang dimiliki dokter tidaklah cukup banyak untuk mengorek informasi dari pasien dan dicukupkan hanya dari status pasien yang telah di inventarisasi oleh perawat di rumah sakit tersebut.
57
Data mengenai sikap dokter saat mendengarkan keluhan pasien dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 8 Dokter Mendengarkan Dengan Seksama Keluhan Pasien No 1. 2. 3.
Mendengarkan Ya Tidak Kadang-kadang Jumlah
Jumlah 6 18 0 24
Prosentase 25 % 75 % 0% 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 25 % merasakan bahwa dokter mendengarkan dengan seksama keluhan mereka, 75 % pasien merasakan dokter tidak mendengarkan keluhan mereka dengan seksama. Hal tersebut dikarenakan persepsi setiap pasien berbeda terhadap dokter. Data yang menunjukkan tingkat keberhasilan dokter memberi rasa nyaman terhadap pasien dapat terlihat pada tabel di bawah ini : Tabel 9 Dokter Memberi Rasa Nyaman Terhadap Pasien Saat Berkomunikasi No 1. 2. 3.
Berhasil Ya Tidak KadangJumlah
Jumlah 7 17 0 24
Prosentase 29,2% 70,8 % 0% 100 %
58
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 29,2 % pasien menyatakan mereka merasa nyaman saat berkomunikasi dengan dokternya, dan 70,8 % pasien menyatakan tidak merasakan kenyamanan saat berkonunikasi dengan dokternya. Hal tersebut dikarenakan gaya komunikasi dokter dan perbedaan persepsi masing-masing pasien. Data yang menunjukkan tingkat keberhasilan dokter dalam memberi sugesti untuk pasien dapat terlihat pada tabel berikut di bawah ini : Tabel 10 Dokter Memberi Sugesti Terhadap Pasien No 1. 2. 3.
Berhasil Ya Tidak Kadang-kadang Jumlah
Jumlah 7 4 13 24
Prosentase 29,2% 16,6 % 54,2 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 29,2 % pasien menyatakan bahwa dokter berhasil member sugesti terhadap kesembuhan mereka, 16,6 pasien menyatakan dokter tidak berhasil memberi sugesti untuk kesembuhan mereka, dan 54,2 % pasien menyatakan kadang-kadang dokter berhasil member sugesti untuk kesembuhan mereka. Data mengenai cara dokter memberi penjelasan kepada pasien dapat dilihat dari tabel berikut ini :
59
Tabel 11 Cara Dokter Memberi Penjelasan Tentang Penyakit Pasien No 1. 2. 3.
Detail Ya Secara garis besar Tidak Jumlah
Jumlah 5 4 15 24
Prosentase 20,8 % 16,6 % 62,5 % 100 %
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa 20,8 % pasien berpendapat bahwa dokter menjelaskan secara detail tentang penyakitnya, 16,6 % pasien berpendapat bahwa dokter menjelaskan secara garis besar saja, dan 62,5 % pasien berpendapat bahwa dokter tidak menjelaskan secara detail tentang penyakitnya. hal tersebut karn terbatasnya waktu yang dimiliki dokter untuk melayani pasien. Data mengenai ekspresi dokter saat melayani pasien dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 12 Mimik Wajah Dokter Saat Melayani Pasien No 1. 2. 3.
Jenis Tersenyum Cemberut Tanpa ekspresi Jumlah
Jumlah 13 4 7 24
Prosentase 54,2 % 16,6 % 29,2 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 54,2 % pasien berpendapat bahwa dokter tersenyum saat melayani mereka, 16,6
60
% pasien berpendapat bahwa dokter cemberut saat melayani mereka, dan 29,2 % pasien berpendapat dokter tanpa ekspresi saat melayani mereka. Hal tersebut disebabkan metode komunikasi dokter berbeda-beda. Data mengenai bahasa yang digunakan dokter saat melayani pasien dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 13 Bahasa Yang Digunakan Dokter Saat Melayani Pasien No 1. 2.
Bahasa Formal Sehari-hari Jumlah
Jumlah 7 17 24
Prosentase 29,2 % 70,8 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 29,2 % pasien berendapat bahwa dokter menggunakan bahasa formal saat berbicara denga mereka, dan 70,8 % pasien berpendapat bahwa dokter menggunakan bahasa sehari-hari saat berbicara dengan mereka. Data mengenai pendapat pasien tentang obat yang diberikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 14 Manfaat Obat Yang Diberikan Dokter No Bermanfaat/cocok 1. Ya 2.
Tidak
Jumlah 14
Prosentase 58,3 %
0
0%
61
No Bermanfaat/cocok 3. Ragu-ragu Jumlah
Jumlah 10 24
Prosentase 41,6 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 58,3 % pasien berpendapat bahwa obat yang diberikan cocok untuk kesembuhan mereka, dan 41,6 % pasien berpendapat bahwa mereka ragu terhadap obat yang diberikan dokter. Hal tersebut disebabkan tingkat imunitas seseorang yang berbeda. 3. Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Medis RSSH Data mengenai pendapat pasien tentang rumah sakit dapat terlihat dari tabel di bawah ini: Tabel 15 Rumah Sakit Memenuhi Hak-hak Pasien No 1. 2.
Terpenuhi Ya Tidak Jumlah
Jumlah 13 4 17
Prosentase 54,2 % 16,6 % 70, 8 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 54,2 % berpendapat bahwa rumah sakit telah memenuhi hak mereka sebagai pasien, 16,6 % pasien berpendapat bahwa rumah sakit tidak memenuhi hak mereka sebagai pasien, dan 29,2 % pasien menyatakan rumah sakit terkadang saja dapat memenuhi hak-hak mereka.
62
Tabel 16 Terpenuhikah Standart Pelayanan Rumah Sakit Terhadap Pasien No 1. 2. 3.
Terpenuhi Ya Tidak Jawaban pribadi Jumlah
Jumlah 14 0 10 24
Prosentase 58,3 % 0% 41,6 % 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 58,3% berpendapat bahwa rumah sakit telah memenuhi standar pelayanan terhadap pasien dan 41,6 % pasien memiliki jawaban pribadi tentang hal ini yaitu tidak sepenuhnya standart pelayanan medis terpenuhi oleh rumah sakit. Tabel 17 Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Dokter dan Rumah Sakit Syarif Hidayatullah (RSSH) No 1. 2. 3.
Tingkat Memuaskan Kurang memuaskan Sangat tidak memuaskan Jumlah
Jumlah 13 11 0 24
Prosentase 54,2 % 45,8 % 0% 100 %
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa 54,2 % pasien berpendapat bahwa pelayanan RSSH memuaskan, 45,8 % pasien berpendapat bahwa bahwa pelayanan RSSH kurang memuaskan. Berdasarkan data yang telah penulis paparkan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa komunikasi yang terbangun
63
antara dokter dan pasiennya kurang efektif. Untuk memperkuat kesimpulan diatas penulis juga melakukan kroscek dengan cara mewawancarai Dr. Yudanarso Dawud, MHA selaku dokter spesialis paru yang praktek di RS. Syarif Hidayatullah dan menurut beliau komunikasi yang terbangun cukup baik walaupun belum efektif, dikarenakan waktu yang tersedia tidak mencukupi untuk wawancara kesehatan yang mendetail. Berikut petikan wawancara penulis dengan Dr. Yudanarso Dawud, MHA mengenai cara dokter melayani pasien : “Ketika pasien memasuki ruang praktek saya, hal pertama yang saya lakukan adalah mempersilahkan duduk dan menayakan apa keluhannya. Walaupun saya tidak bisa membiarkan pasien menyatakan keluhannya secara panjang lebar karena waktu yang saya miliki tidak cukup panjang untuk mendengarkan lebih lanjut serta tidak bisa pula menerangkan secara mendetail mengenai penyakit pasien, saya menjelaskan secara garis besarnya saja sebab pasien yang mengantri cukup banyak, apabila pasien yang mengantri tidak banyak saya dapat mengobrol lebih lama dengan pasien. Tapi walaupun demikian sejauh ini pasien saya cukup puas dengan pelayanan saya…. . ” 2
Dari keterangan di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana bentuk komunikasi dokter dan pasiennya, gaya komunikasi dokter, dan perlakuan dokter terhadap pasien. Sebab komunikasi yang terjadi tidak haya komunikasi verbal tetapi juga komunikasi non verbal berupa sentuhan, ekspresi dan mimik wajah dokter ketika melayani pasien sebagai suatu proses sugesti dokter
2
ibid
64
terhadap pasien yang sangat mempengaruhi proses penyembuhan sang pasien itu sendiri. Walaupun pada hakekatnya kesembuhan itu datangnya dari Allah SWT, tetapi peran dokter sebagai seseorang yang mengobati (healer), tugasnya adalah untuk menerapkan pengetahuannya tentang pengobatan penyakit terhadap pasien pada umumnya, sehinnga dokter diharapkan dapat bersikap idealis artinya mengupayakan agar mencapai kondisi yang sebaik mungkin dari sang pasiennya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Serta analisis yang dilakukan, maka untuk mengakhiri penulisan skripsi ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : Bagi sebagian besar pasien poli paru RSSH bahwa pelayanan di poli paru tidak berbeli-belit, hal ini dapat dilihat dari tabel 7 yang menunjukkan tanggapan pasien terhadap pelayanan medis di RSSH yaitu Ya sebanyak 4,1 % dan Tidak sebanyak 95,3 %, rata-rata pasien yang berobat di poli paru adalah pasien yang menjalani rawat jalan selama tiga bulan, hal ini dapat dilihat dari data pada tabel 6, yaitu pasien yang menjalani perawatan tiga bulan sebanyak 50 %, enam bulan 45,8 % dan satu tahun selama 4,1 %. Sedangkan komunikasi yang terbentuk antara dokter dan pasien adalah komunikasi antar pribadi, hal ini dapat dilihat dari data tabel 15 tentang bahasa yang digunakan dokter saat melayani pasien, yaitu bahasa sehari-hari 70,8 % dan bahasa formal 29,2 %, walaupun sebagian besar pasien (62,5 %) mengatakan bahwa dokter tidak menjelaskan dengan detail tentang penyakit mereka, hal ini dikarenakan waktu yang tersedia tidak cukup untuk penjelasan mendetail tentang penyakit pasien.sehingga tingkat keberhasilan
dokter
dalam memberikan sugesti terhadap
65
66
pasiennya hanya 29,2 % sedangkan 54,2 % pasien menyatakan bahwa hanya kadang-kadang dokter dapat memberikan sugesti terhadap pasiennya. Tingkat keberhasilan rumah sakit dalam memenuhi hak-hak pasien dapat dilihat pada tabel 17 yaitu yang menyatakan Ya sebanyak 54,2 %, Tidak 16,6 % dan jawaban pribadi 29,2 %, sedangkan prosentase pasien yang menyatakan bahwa pelayanan RS.Syarif Hidayatullah memuaskan sebayak 54,2 %, dan menyatakan kurang memuaskan sebanyak 45,8 %, itu artinya sebagian besar pasien puas dengan pelayanan rumah sakit tersebut.
B. Saran Setelah penulis memaparkan tentang bentuk komunikasi dokter dan pasien dalam pelayanan medis di RSSH, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Kajian yang intensif tentang komunikasi dokter dan pasien perlu dilakukan. Khususnya mengenai hubungan dokter dengan pasien, sehingga komunikasi antar pribadi antara kedua belah pihak dapat terjalin lebih terarah. 2. Pola komunikasi antara dokter dan pasien yang selama ini berjalan cenderung searah dengan posisi pasien yang pasif dan hanya dokter yang aktif. Oleh karena itu, partisipasi yang lebih aktif dan intens perlu dilakukan oleh kedua belah pihak agar proses pengobatan berjalan secara lebih baik dan optimal.
67
3. Kurangnya kajian mengenai komunikasi antara dokter dan pasien di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadikan kajian ini perlu diberikan perhatian secara lebih mendalam agar dapat menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat.