1
Condition Assessment GIS 150kV Salak Lama – Gunung Salak Erlangga Mukti Parlindungan Siregar Teknik Tenaga Elektrik, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung Saat ini GIS telah terbukti sangat handal sebagai peralatan listrik yang digunakan dalam sistem transmisi listrik. GIS telah banyak digunakan pada titik-titik penting di grid sistem kelistrikan. GIS juga memiliki keunggulan pada ukurannya yang kompak jika dibandingkan dengan switchgear konvensional.Pada GIS digunakan gas SF6 sebagai media isolasi untuk memisahkan konduktor dan permukaan luar GIS. Level kondisi isolasi gas SF6 ini terkait dengan tingkat unjuk kerja GIS secara keseluruhan. Untuk menentukan tingkat unjuk kerja GIS dapat digunakan metode condition assessment. Condition assessment sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Yang pertama adalah pengidentifikasian resiko (risk assessment) pada GIS. Dalam hal ini, dicari mode kegagalan dan parameter gas SF6 yang terlibat. Setelah itu, ditentukan parameter gas apa yang lebih berpengaruh dalam menyebabkan kegagalan. Kemudian bagian kedua adalah teknik monitoring diagnosis. Monitoring diagnosis merupakan cara untuk mengetahui parameterparameter gas SF6 pada GIS. Parameter gas tersebut antara lain tekanan, kemurnian, titik embun, produk dekomposisi SF6, suhu lingkungan dan aktivitas partial discharge. Monitoring diagnosis ini didasarkan pada pengukuran parameter gas untuk mengetahui kualitas isolasi gas. Pada akhirnya, hasil dari pengidentifikasian resiko dan monitoring diagnosis dikombinasikan untuk menentukan kondisi aktual dari GIS. Kata kunci: GIS, condition assessment, parameter gas SF6, partial discharge
I. PENDAHULUAN
G
as Insulated Switchgear merupakan alat dengan isolasi gas yang berguna untuk menyambungputuskan aliran daya pada sistem transmisi. Isolasi gas digunakan untuk memisahkan antara konduktor dengan bagian permukaan GIS adalah gas SF6. Gas ini memiliki kemampuan isolasi yang sangat baik, dengan kekuatan dielektrik mencapai 8.9 kV/mm[3] atau hampir 2.3 kali [4] kekuatan dielektrik udara. Dalam 30 tahun terakhir ini, penggunaan GIS di bidang ketenagalistrikan sangat berkembang pesat. GIS dikenal dengan keandalannya dan menjadi pilihan utama diberbagai titik penting dalam sistem transmisi tenaga listrik. GIS juga memiliki kelebihan dalam ukuran ruang yang digunakan yaitu jauh lebih kompak dan memakan sedikit ruang jika dibandingkan dengan switchgear biasa. Faktor ini menjadi keunggulan GIS untuk dapat digunakan di tempat-tempat yang memiliki keterbatasan ruang lapang. Menyadari pentingnya GIS dalam sistem transmisi listrik dewasa ini, maka diperlukan suatu pemeliharaan dengan cara menentukan bagaimana kondisi suatu GIS. Kondisi GIS harus dijaga pada level yang baik agar keandalan dan tingkat unjuk kerja tetap tinggi. Kondisi GIS dapat saja menurun akibat adanya gangguan-gangguan yang dapat berasal faktor dari luar maupun dari dalam GIS. Beberapa gangguan yang sering terjadi pada GIS antara lain adanya defect berupa partikel bergerak, partikel pada isolator dan protrusi pada konduktor. Gangguan ini akan mempengaruhi karakteristik dan kualitas isolasi gas SF6 dan disertai dengan adanya fenomena listrik seperti partial discharge. Untuk mengeliminasi gangguan-gangguan yang terjadi tersebut digunakan sebuah metode berupa teknik monitoring diagnosis parameter GIS dan identifikasi resiko yang terjadi pada GIS. Melalui metode ini, diharap gangguan yang mungkin terjadi dapat diidentifikasi pada tahap awal sehingga dapat dilakukan langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya gangguan yang berakibat kegagalan pada GIS. Metode ini dikenal sebagai condition assessment yang berbasis
pada Condition Based Management. Dalam condition assessment, dilakukan penilaian kondisi aktual GIS berdasarkan parameter terukur yang dimiliki oleh GIS. Untuk melakukan penilaian kondisi tersebut dilakukan monitoring diagnosis parameter terukur pada GIS. Hasil monitoring diagnosis ini kemudian dibandingkan dengan hasil identifikasi resiko (risk assessment) pada GIS, sehingga dapat ditentukan parameter apa yang lebih berpengaruh dalam menyebabkan terjadinya resiko (kegagalan). Pada akhirnya dapat ditentukan kondisi akhir GIS berdasarkan parameter-parameter tersebut. Pada penelitian tugas akhir ini, penulis akan melakukan condition assessment terhadap GIS 150kV Salak Lama milik PT.PLN P3B Jawa Bali Region Jakarta dan Banten yang berlokasi di Gunung Salak – Sukabumi – Jawa barat.
II. DASAR TEORI GIS A. Sekilas Mengenai GIS Gas-Insulated Switchgear merupakan sebuah switchgear yang menggunakan gas SF6 bertekanan sebagai material isolasi elektrik dan pemadam busur api. GIS saat ini banyak digunakan karena GIS memberikan tingkat keandalan serta keamanan yang tinggi. Disamping itu GIS membutuhkan kapasitas ruang yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan switchgear konvensional. GIS memiliki tingkat keandalan yang tinggi karena bagianbagian yang bertegangan (konduktor) terisolasi di dalam sebuah lapisan metal yang diisolasi oleh gas SF6 yang memiliki kekuatan dielektrik hampir 2.3[4] kali udara yaitu sebesar 8.9 kV/mm[3]. GIS terdiri dari komponen-komponen yang terpisahkan per kompartemen sesuai dengan fungsinya masing-masing. Beberapa komponen yang biasa ada pada GIS adalah: • Circuit breaker • Disconnecting switch • Current transformer • Sealing end
2 Secara umum, GIS dapat dibedakan jenisnya berdasarkan beberapa kriteria berikut ini: • Jumlah fasa per enclosure yaitu GIS dengan satu fasa per enclosure atau tiga fasa per enclosure. • Jenis instalasi yaitu instalasi indoor atau outdoor. • Jenis penggerak yaitu penggerak hidraulyc, pneumatic dan spring. Berikut ini adalah bagan utama busbar GIS:
•
•
Titik embun (dew point) Titik embun menunjukkan titik dimana gas berubah menjadi air. Hal ini terkait dengan tingkat kelembaban gas SF6, yaitu berapa banyak partikel air yang terkandung dalam isolasi gas SF6. Nilai titik embun ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi kandungan uap air yang berada didalamnya [1] Produk hasil dekomposisi (decomposition product) Produk hasil dekomposisi terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan kembali gas SF6. Hal ini dapat terjadi karena adanya pemanasan berlebih, percikan listrik serta busur daya[3]. Beberapa produk hasil dekomposisi beserta sumber penyebabnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Produk hasil dekomposisi SF6 [3 Gas Udara Moisture Hydrofluoric acid Sulfur dioxide Sulfur diflouride Sulfur tetraflouride Thionil Flouride
Gambar 2.1 Bagan utama busbar GIS Secara sistem, GIS diharapkan terisolasi sempurna dari polutan yang dihasilkan oleh lingkungan sekitar. Namun pada prakteknya, GIS tidak sepenuhnya bebas terhadap faktor polutan, terutama dalam penggunaannya di lingkungan tropis seperti Indonesia yang memiliki kelembaban serta temperatur yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Polutan ini dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada isolasi gas SF6 yang berakibat pada menurunnya kualitas isolasi gas. B. Parameter Terukur Pada GIS Parameter terukur pada GIS meliputi kondisi fisik isolasi gas SF6 dan fenomena listrik berupa aktivitas partial discharge. Untuk kondisi fisik isolasi gas sendiri terdiri dipengaruhi oleh beberapa parameter sebagai berikut: - Tekanan (pressure) - Kemurnian (purity) - Titik embun (dew point) - Produk hasil dekomposisi (decomposition product) - Suhu lingkungan (ambient temperature) Selain parameter fisik isolasi gas SF6, terdapat parameter lain yang berhubungan dengan fenomena listrik pada GIS yaitu partial discharge. Selanjutnya parameter tersebut akan dibahas satu persatu. • Tekanan (pressure) Tekanan isolasi gas SF6 berkaitan dengan kerapatan partikel gas dalam kompartemen GIS. Tekanan ini dapat berkurang jika terjadi kebocoran pada GIS. Akibat pengurangan tekanan akan membuat kerapatan partikel gas SF6 menjadi lebih sedikit, yang dapat memicu terjadinya penurunan kekuatan dielektrik dari isolasi gas SF6[3]. Jika isolasi gas SF6 pada GIS mengalami penurunan kekuatan dielektrik, maka saat menahan medan listrik homogen yang tinggi akan rentan terjadi breakdown. • Kemurnian (purity) Kemurnian dinyatakan dengan persentase jumlah gas SF6 murni dalam suatu kompartemen GIS. Semakin tinggi persentase ini maka semakin sedikit ditemukan zat lain dalam isolasi gas SF6. Untuk gas SF6 baru, nilai kemurnian yang disyaratkan adalah > 99.9% [2]
•
•
Senyawa N2, O2 H2O
]
SO2
Sumber bocor/intrusi dari luar bocor/intrusi dari luar terbentuk di SF6 jika ada arc terbentuk jika SOF2 bereaksi dengan air
SF2
mudah bereaksi
SF4
mudah bereaksi
SOF2
jika ada arcing dan air
HF
Jika produk hasil dekomposisi ini terjadi dalam jumlah yang besar, maka kekuatan dielektrik dari isolasi gas SF6 akan mengalami penurunan. Suhu lingkungan (ambient temperature) Suhu lingkungan memiliki kaitan yang erat dengan titik embun. Untuk lingkungan dengan temperature yang tinggi maka kandungan uap air yang ada pun menjadi tinggi. Hal ini akan membuat kemungkinan untuk terjadinya intrusi uap air kedalam isolasi gas menjadi lebih tinggi [1]. Partial discharge Partial discharge terjadi karena adanya penguatan medan listrik di lokasi tertentu. Adanya aktivitas partial discharge di GIS menandakan adanya defect dalam kompartemen GIS. Sumber partial discharge tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal: - Partikel bebas - Partikel bebas yang menempel pada permukaan - Tonjolan atau ketidakrataan permukaan (protrusi) - Sambungan tak kencang - Gelembung udara (void) Aktivitas partial discharges pada isolasi gas SF6 dapat kita deteksi melalui beberapa teknik yang lazim digunakan[15], yaitu sebagai berikut: - IEC 60270
3 Dimana yang dideteksi adalah muatan pada saat timbulnya aliran listrik sesaat (satuan yang digunakan pC, nC) - Ultra High Frequency / Very High Frequency (UHF/VHF) Mendeteksi timbulnya gelombang elektromagnetik yang terjadi (satuan yang digunakan uV, mV). Metode ini biasanya digunakan pada bagian non metal dari GIS. - Metode emisi akustik Mendeteksi timbulnya gelombang akustik/suara (satuan yang digunakan uV,mV). Metode ini digunakan pada bagian metal dari GIS. Berikut adalah tabel komparasi dari ketiga metode diatas dalam mendeteksi aktivitas partial discharge. Tabel 2.2 Komparasi teknik diagnosis partial discharges[10] IEC 60270
VHF/UHF
Accoustic Emission
Kondisi GIS
Off-line
On-line, Off-line
On-line, Off-line
Kalibrator
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Peredaman noise
Buruk
Sangat baik
Baik
Sensitivitas
10% atau 1 pC
5 pC
5 pC
-
Luas
Sempit
-
Bagian Non-metal
Bagian Metal
PRPD
Frequency Spectrum
Individual pulses
Jangkauan pengukuran Lokasi pemasangan sensor Besaran partial discharge
C. Gangguan Oleh Defect Yang Terjadi Pada GIS Terdapat beberapa gangguan oleh defect yang sering terjadi GIS yaitu: Protrusi Partikel yang menempel pada permukaan isolator (spacer) Partikel yang bergerak bebas Bagian elektroda yang mengambang Berikut adalah contoh ilustrasi dari gangguan tersebut
Gambar 2.2 Ilustrasi gangguan pada GIS[5] III. CONDITION ASSESMNET A. Latar Belakang Penggunaan Condition Assessment Condition assessment merupakan suatu metode penilaian terhadap suatu obyek yang berbasiskan pada kondisi obyek yang diamati. Condition Assessment ini terkait hubungannya dengan Condition Based Maintenance [12], dimana obyek yang diamati kondisinya ini kemudian ditentukan tingkat unjuk kerjanya lalu kemudian diberikan maintenance berdasarkan kondisinya tersebut. Secara umum condition assessment memberikan sebuah penilaian kondisi atas fenomena-fenomena yang terjadi dan berpengaruh pada parameter yang terukur pada obyek. Didalam condition assessment terdapat 2 aspek yang terlibat yaitu risk assessment dan monitoring diagnosis[13]. Risk assessment disini berarti penilaian terhadap kemungkinankemungkinan resiko yang bisa terjadi pada obyek tersebut. Dalam risk assessment ini kita menentukan kemungkinankemungkinan resiko yang terjadi pada obyek serta penyebabnya. Salah satu metode yang digunakan dalam risk assessment adalah FMEA (Failure Mode Effect Analysis), dimana dalam FMEA kita menentukan runtutan dari sebuah resiko yang terjadi secara backtrack ke penyebabnya, sehingga dari sebuah kegagalan yang terjadi (resiko) bisa ditentukan gangguan awal yang menyebabkannya. Pembahasan mengenai FMEA akan dibahas lebih lanjut di subbab berikutnya. Aspek lain yang penting dalam condition assessment adalah monitoring diagnosis. Monitoring diagnosis berarti melakukan suatu pemantauan terhadap parameter-parameter yang berpengaruh pada suatu obyek dan kemudian menentukan fenomena apa yang terjadi. Hasil dari monitoring diagnosis ini dikombinasikan dengan faktor-faktor penyebab resiko yang ada pada risk assessment (FMEA) sehingga bisa ditentukan gangguan yang terjadi serta pengaruhnya pada kondisi obyek. Pada akhirnya kondisi obyek tersebut dapat ditentukan dengan memperhatikan parameter-parameter yang ada, gangguan yang terjadi serta kemungkinan penyebab gangguan tersebut. Berikut adalah hubungan antara condition assessment, risk assessment dan monitoring diagnosis. Risk Assessment (FMEA)
Condition Assessment
Monitoring Diagnosis Gambar 3.1 Bagan hubungan condition assessment [13] Keuntungan yang didapatkan antara lain: Dapat mengurangi biaya operasi dan maintenance, hal ini disebabkan pengubahan metode maintenance dari pola time-based (secara periodik) menjadi condition-based [12] . Meningkatkan ketersediaan dan keandalan obyek. Dengan melakukan condition assessment maka kita dapat menganalisis kemungkinan gangguan-gangguan yang terjadi serta parameter yang terlibat dalam gangguan tersebut
4 sehingga dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah hal-hal yang mengarah pada kegagalan (failure). Hal ini akan meningkatkan ketersediaan serta keandalan obyek tersebut [12] . Mengevaluasi umur penggunaan komponen pada obyek. Berdasarkan kondisi sebenarnya yang ada di lapangan maka dapat ditentukan kelayakan suatu komponen untuk tetap digunakan atau harus diganti [12]. Estimasi umur pakai suatu obyek berdasarkan kondisi sebenarnya. Jika kondisi obyek telah diketahui serta gangguan yang ada dapat dimonitor dengan baik maka dapat diestimasikan berapa lama obyek dapat bertahan dalam menghadapi gangguan tersebut [12]. B. Condition assessment pada GIS Condition assessment dapat diterapkan pada GIS dengan melakukan penilaian pada parameter terukur pada GIS. Parameter ini didefinisikan sebagai kondisi fisik dari gas SF6 dan fenomena listrik yang terjadi. Parameter tersebut antara lain: • Tekanan (pressure) • Kemurnian (purity) • Titik embun (dew point) • Produk hasil dekomposisi (decomposition product) • Suhu lingkungan (ambient temperature) • Aktivitas Partial Discharges Kombinasi kondisi dari semua parameter ini akan menunjukkan tingkat unjuk kerja dari GIS. Berdasarkan CIGRE 309 Technical Brochure 150, ada beberapa faktor yang menjadi key performance indicator [9] pada GIS yaitu antara lain: • Kekuatan dielektrik (dielectric withstand strength) • Kemampuan buka/tutup berdasarkan perintah • Kemampuan membawa arus (pada konduktor) • Kekuatan mekanis (struktur) • Kondisi fisik gas SF6 • Kekuatan enclosure • Tidak ada aktivitas partial discharges • Keadaan tidak terkunci Key performance indicator ini menunjukkan hal-hal perlu dipenuhi oleh GIS untuk dapat bekerja secara baik. Jika ada point yang tidak terpenuhi maka GIS tersebut rentan terhadap kegagalan (failure). Key performance indicator tersebut dapat kita klasifikasikan menjadi 3 kategori yang lebih umum yaitu: • Struktur dan material GIS: meliputi kekuatan mekanis, kekuatan enclosure serta kemampuan membawa arus pada konduktor • Gas isolasi SF6: meliputi kekuatan dielektrik, kondisi fisik gas SF6 serta tidak ada aktivitas partial discharges. • Mekanisme operasi GIS : kemampuan buka/tutup dan keadaan tidak terkunci. Ketiga kategori umum ini akan dijadikan acuan dalam penentuan risk assessment dengan menggunakan metode FMEA (Failure Mode Effect Analysis). Disisi lain kita akan melakukan monitoring diagnosis pada parameter terukur GIS, sehingga akan didapat keterkaitan antara penyebab kegagalan
(failure) dengan parameter fisik yang ada. Sedangkan bagian dari GIS condition assessment adalah: 1. Risk Assessment menggunakan Failure Mode Effect Analysis Kegagalan pada GIS dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk menentukan faktor-faktor tersebut diperlukan sebuah risk assessment. Metode yang umum digunakan dalam risk assessment adalah FMEA. Dalam FMEA dilakukan analisis dengan cara mencari hubungan antara kegagalan dan faktorfaktor penyebabnya. Faktor penyebab ini lalu diurai menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat ditemukan parameter apa yang terkait dalam memicu terjadinya kegagalan. Selain mencari parameter yang berpengaruh dalam kegagalan, dalam FMEA kita juga dapat menentukan besarnya resiko akibat penyebab kegagalan berdasarkan frekuensi terjadinya gangguan, pengaruh gangguan pada sistem serta level keselamatan saat gangguan terjadi. Berikut ini adalah diagram pemetaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja GIS:
Gambar 3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat unjuk kerja GIS Dengan menganggap resiko kegagalan yang terjadi adalah tembus listrik (electrical breakdown), maka dapat kita buat bagan FMEA yang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian: • Bagian yang terganggu • Penyebab gangguan • Efek dari gangguan • Kegagalan yang terjadi • Parameter yang terlibat Selain itu ada beberapa hal yang perlu diamati untuk mengetahui sejauh mana gangguan tersebut terjadi, yaitu: • Frekuensi gangguan • Pengaruh gangguan pada sistem • Level keselamatan Berdasarkan data dari GIS assessment team PT.PLN P3B Jawa Bali Region Jakarta dan Banten didapatkan informasi mengenai bagian yang terkena gangguan dan akhirnya
5 mengalami kegagalan beserta persentasenya pada GIS, yaitu sebagai berikut: Tabel 3.1 Persentase bagian yang terganggu dan mengalami kegagalan Bagian yang terganggu dan mengalami kegagalan Jumlah Persentase Gas isolasi
2
14%
Seal /O-Ring
5
36%
Sealing end /Cable termination
2
14%
Mekanisme operasi
6
43%
Total
14
Berikut ini adalah FMEA untuk kasus-kasus yang terjadi pada GIS milik PT.PLN P3B Jawa Bali Region Jakarta dan Banten.
Bagian yang Terganggu
Penyebab gangguan
Efek dari gangguan
Kegagalan yang terjadi
Parameter yang terlibat
Frekuensi kegagalan
Pengaruh gangguan pada sistem
Level keselamatan
Isolasi gas SF6
Penurunan kualitas gas
Penurunan kekuatan dielektrik gas
Breakdown
Decomposition product, purity, partial discharge
3
3
3
Junction (bushingbase)
Kesalahan instalasi (kebocoran)
Breakdown
pressure,purity
3
3
2
Mekanisme operasi
Kebocoran valve (uap air/polutan)
Breakdown
dew point, partial discharge
4
2
2
Mekanisme operasi
stress kimia pada ruang kompresi
Breakdown
decomposition product, partial discharge
4
2
2
Seal/O-Ring
Penurunan kualitas seal/oring
4
3
3
2
3
3
2
3
3
2
3
2
2
3
2
2
3
2
Junction (upper-lower bushing parts) Junction (upper-lower bushing parts)
Kesalahan konstruksi (kebocoran)
Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor Kehilangan kompresi, menambah waktu pemadaman busur api Kehilangan kompresi, menambah waktu pemadaman busur api Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor
Breakdown
Breakdown
pressure, purity, decomposition product pressure, purity, decomposition product partial discharge, decomposition product
Penguatan medan listrik lokal
Keretakan
Breakdown
Junction (conductorrod shaft)
Kesalahan konstruksi
Interupsi tanpa diperintah
Breakdown
Termination
Kesalahan konstruksi
Penguatan medan listrik lokal
Breakdown
Termination
Kegagalan levelisasi medan
Penguatan medan listrik lokal
Breakdown
Junction (upper-lower bushing parts)
stress thermal
Ekspansi gas
Breakdown
temperature, pressure
2
2
3
Mechanical mover
Kesalahan konstruksi
Breakdown
partial discharge
2
2
2
Mekanisme operasi
Kebocoran pipa elastis
Breakdown
Pressure
3
2
2
Respons tertunda, menambah waktu pemadaman busur api kehilangan kompresi
Partial discharge partial discharge, decomposition product partial discharge, decomposition product
6
Seal/O-Ring Gas rupture disks
Open/Close indicator of earthing switches
Mekanisme operasi
Kesalahan instalasi
Keretakan
Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor
Breakdown
Pressure ,purity
3
2
3
Breakdown
pressure, partial discharge
3
2
3
Keretakan
Penurunan kekuatan dielektrik gas, gas bocor
Breakdown
Pressure, partial discharge
3
2
3
seal robek
Kehilangan kompresi, menambah waktu pemadaman busur api
Breakdown
pressure, partial discharge
2
2
2
Kategori frekuensi kegagalan
1 2 3 4
Kategori pengaruh pada sistem
Kategori level keselamatan
tidak pernah
1
1
tidak berpengaruh
<2 2
4
2 3
2 3
resiko rendah
Dari FMEA diatas terlihat parameter-parameter yang terlibat dalam kegagalan yang terjadi pada GIS yang dimiliki oleh PT PLN P3B Jawa Bali Region Jakarta dan Banten. Pengaruh parameter ini akan dijadikan sebuah acuan dalam menentukan faktor pembobotan (weighting factor) pada langkah selanjutnya. Setiap parameter akan mendapatkan bobot yang berbeda-beda, bergantung pada level resiko dan frekuensi kegagalan yang terjadi. Hal ini akan dibahas lebih detail pada pembahasan tentang faktor pembobotan (weighting factor). 2. Monitoring diagnosis Pada GIS Monitoring diagnosis yang dilakukan pada GIS meliputi pengamatan pada parameter. Dari pengamatan parameter ini akan ditentukan karakteristik yang dapat dimonitor sehingga didapatkan informasi-informasi pada parameter yang kita ukur. Berikut ini adalah bagan hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati.
Gambar 3.3 Hubungan antara monitoring diagnosis dengan teknik diagnosis dan parameter yang diamati.
Tidak berpengaruh Bekerja dengan resiko rendah Bekerja dengan resiko tinggi
resiko tinggi
C. Faktor-Faktor Yang Ditentukan Dalam Condition Assessment. Setelah melakukan risk assessment dan monitoring diagnosis dalam condition assessment, kita akan dihadapkan pada sejumlah data yang dimiliki oleh parameter-parameter yang dilakukan pengukuran. Data setiap parameter didapatkan dari hasil monitoring diagnosis.Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pengolahan data ini adalah penentuan nilai batas (boundary values) serta penentuan faktor pembobotan (weighting factor).
1. Penentuan Nilai Batas (Boundary Values) Dalam menentukan suatu kondisi suatu obyek maka diperlukan sebuah nilai batas yang membedakan antara kondisi baik, sedang atau buruk (hal ini tergantung bagaimana kita ingin membagi kelas kondisi tersebut). Nilai batas ini akan menjadi sebuah pembeda antara level kondisi satu dengan yang lainnya. Pada penentuan nilai batas ini kita perlu membatasi area atau lokasi dimana nilai batas ini dapat diterapkan. Dalam konteks condition assessment pada GIS ini, penulis mengklasifikasikan GIS berdasarkan beberapa hal: Jumlah fasa dalam enclosure. Dalam hal ini dipisahkan menjadi GIS 1 fasa dan GIS 3 fasa. Untuk GIS 1 fasa sendiri dibagi lagi berdasarkan fasanya ( R,S atau T) Kompartemen dari GIS berdasarkan kemampuan switching atau non-switching yang dimiliki. Untuk kompartemen dengan kemampuan switching dipisahkan menjadi 2 bagian yaitu Disconnecting Switch dan Circuit Breaker. Sedangkan untuk kompartemen lain selain itu dikelompokkan dalam kompartemen non-switching. Yang termasuk dalam kompartemen non-switching ini antara lain: CT, PT dan Sealing End. Setelah memiliki batasan area yang jelas, maka kita dapat melakukan standardisasi terhadap data dari setiap parameter yang kita miliki.
7 Langkah selanjutnya adalah menentukan nilai batas untuk setiap batasan area yang telah dipilih. Dalam menentukan nilai batas ini, kita dapat menggunakan batasan yang ada pada standard internasional maupun melalui pengolahan statistik pada data yang dimiliki. Penulis dalam hal ini memilih untuk menggunakan cara statistik dari populasi GIS yang dimiliki oleh PT.PLN P3B Region Jakarta dan Banten. Alasan untuk pemilihan tersebut adalah: Data yang diperoleh untuk beberapa parameter memiliki nilai dibawah standard internasional namun dalam prakteknya di lapangan masih dapat digunakan, sehingga jika kita strict mengambil nilai batas sesuai dengan standard internasional maka sebagian besar kondisi GIS akan menjadi selalu tidak layak. Untuk itu diambil solusi untuk memakai nilai batas hasil pengolahan statistik dari data yang ada, dengan catatan nilai batas ini tidak terlalu jauh menyimpang (masih dapat ditoleransi) dari standard. Berikut adalah standard internasional untuk beberapa parameter dalam GIS: • Tekanan (pressure): Tidak eksak disebutkan karena dapat berbeda pada setiap kompartemen, hanya ditekankan laju penurunan tekanan (leakage rate) tidak melebihi 1 % pertahun per instalasi GIS (IEEE C37.122) • Kemurnian (purity) : 99.9 % (IEC 60376) • Titik embun (dew point) : Maksimal -5 C pada tekanan 400 Pa (IEC 60694) • Produk hasil dekomposisi (decomposition product): Nilai produk hasil dekomposisi < 1000 ppmv (CIGRE 23.10 Task force 01) • Suhu lingkungan (ambient temperature): antara -30 C sampai dengan 40 C ( IEEE C37.38) • Aktivitas Partial Discharges: dilihat berdasarkan hasil monitoring diagnosis. Sedangkan untuk pengolahan data menggunakan statistik, digunakan perhitungan distribusi normal untuk mencari nilai rata-rata (mean) dan standard deviasi. Berikut adalah hasil pengolahan data per kompartemen GIS (data tiap kompartemen terlampir di lampiran): Dari nilai rata-rata dan standard deviasi pada setiap kompartemen ini maka dapat diambil suatu nilai batas antara kondisi yg satu dengan yang lainnya. Penulis membagi kondisi ini menjadi 3 bagian kondisi yaitu: • Kondisi 1 untuk nilai parameter yang berada di bawah nilai rata-rata (mean). Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai parameter dari suatu GIS berada pada kondisi buruk atau tidak layak. • Kondisi 6 untuk nilai parameter yang berada pada range antara nilai rata-rata dengan resultan nilai rata-rata dan standard deviasi (mean + standard deviasi). Kondisi 6 merupakan kondisi pertengahan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kondisi ini nilai parameter berada pada kondisi minimum untuk layak beroperasi. • Kondisi 9 untuk nilai parameter yang berada melebihi dari resultan antara nilai rata-rata dan standard deviasi (mean + standard deviasi). Kondisi ini menunjukkan nilai parameter dari GIS berada pada level yang baik atau sangat layak. Berikut adalah Nilai Batas yang ditentukan:
a.
Tekanan Tabel 3.2 Nilai batas tekanan untuk setiap kompartemen Nilai batas (dalam bar) Kompartemen
b.
Kondisi 1
Kondisi 6
Kondisi 9
CB fasa R
< 6.1
6.1 - 6.3
> 6.3
CB fasa S
< 6.1
6.1 - 6.3
> 6.3
CB fasa T
< 6.2
6.2 - 6.4
> 6.4
DS fasa R
< 5.4
5.4 - 6.5
> 6.5
DS fasa S
< 5.4
5.4 - 6.5
> 6.5
DS fasa T Kompartemen Lain fasa R Kompartemen Lain fasa S Kompartemen Lain fasa T
< 5.7
5.7 - 6.8
> 6.8
< 4.6
4.6 - 5.6
> 5.6
< 4.3
4.3 - 5.2
> 5.2
< 4.6
4.6 - 5.6
> 5.6
Kemurnian Tabel 3.3 Nilai batas kemurnian untuk setiap kompartemen Kompartemen CB fasa R
Nilai batas (dalam %) Kondisi 1
Kondisi 6
Kondisi 9
< 98.8
98.8 - 99.2
> 99.2
CB fasa S
< 98.8
98.8 - 99.5
> 99.5
CB fasa T
< 98.8
98.8 - 99.3
> 99.3
DS fasa R
< 98.9
98.9 - 99.3
> 99.3
DS fasa S
< 99.0
98.9 - 99.3
> 99.3
< 99.0
99.0 - 99.4
> 99.4
< 96.2
96.2 - 96.7
> 96.7
< 98.5
98.5 - 99.0
> 99.0
< 98.4
98.4 - 98.9
> 98.9
DS fasa T Kompartemen Lain fasa R Kompartemen Lain fasa S Kompartemen Lain fasa T c. Titik embun
Tabel 3.4 Nilai batas titik embun (°C) untuk setiap kompartemen Kompartemen CB fasa R CB fasa S CB fasa T DS fasa R DS fasa S
Nilai batas (dalam °C) Kondisi 1
Kondisi 6
>36.7 >33.5 >37.1 >21.3
(-39.6) - (36.7) (-38.6) - (33.5) (-39.3) - (37.1) (-30.2) - (21.3)
> -21
(-30.2) - (-21)
Kondisi 9
< -39.6 < -38.6 < -39.3 < -30.9 < -30.2
8
DS fasa T Kompartemen Lain fasa R Kompartemen Lain fasa S Kompartemen Lain fasa T
>21.7 >15.4 >18.6 >14.6
(-30.9) - (21.7) (-26.7) - (15.4) (-27.7) - (18.6) (-25.5) - (14.6)
< -30.9
CB fasa R CB fasa S CB fasa T DS fasa R DS fasa S DS fasa T Kompartemen Lain fasa R Kompartemen Lain fasa S Kompartemen Lain fasa T d.
< -27.7 < -25.5
Nilai batas (ppmv) Kondisi Kondisi Kondisi 9 1 6 155.3 > 303.1 303.1 < 155.3 164.0 > 331.1 331.1 < 164.0 160.7 > 306.1 306.1 < 160.7 424.4 > 781.1 781.1 < 424.4 459.6 > 839.8 839.8 < 459.6 430.0 > 793.9 793.9 < 430.0 > 752.1 1459.3 1459.3 < 752.1 > 609.7 1173.0 1173.0 < 609.7 > 774.7 1400.7 1400.7 < 774.7
Produk hasil dekomposisi Tabel 3.6 Nilai batas produk hasil dekomposisi untuk setiap kompartemen Kompartemen CB fasa R CB fasa S CB fasa T DS fasa R DS fasa S DS fasa T Kompartemen Lain fasa R Kompartemen Lain fasa S Kompartemen Lain fasa T
Suhu Lingkungan
< -26.7
Tabel 3.5 Nilai batas titik embun (ppmv) untuk setiap kompartemen Kompartemen
e.
Nilai batas (dalam ppmv) Kondisi Kondisi Kondisi 1 6 9 248.5 > 386.4 386.4 < 248.5 223.5 > 383.5 383.5 < 223.0 276.9 > 508.4 508.4 < 276.9 549.1 > 1084.5 1084.5 < 549.1 593.8 > 1187.4 1187.4 < 593.8 666.7 > 1281.9 1281.9 < 666.7 376.0 > 765.7 765.7 < 376.0 449.2 > 888.8 888.8 < 449.2 512.4 > 987.7 987.7 < 512.4
Tabel 3.7 Nilai batas suhu lingkungan untuk setiap kompartemen
Kompartemen
Nilai batas (dalam °C) Kondisi Kondisi 1 Kondisi 6 9
CB fasa R
> 33.4
30.4 - 33.4
< 30.4
CB fasa S
> 33.4
30.6 - 33.4
< 30.6
CB fasa T
> 34.8
30.7 - 34.8
< 30.7
DS fasa R
> 34.7
31.3 - 34.7
< 31.3
DS fasa S
> 34.7
31.3 - 34.9
< 31.4
DS fasa T Kompartemen Lain fasa R Kompartemen Lain fasa S Kompartemen Lain fasa T
> 34.8
31.6 - 34.8
< 31.6
> 34.6
31.2 - 34.6
< 31.2
> 34.6
31.3 - 34.6
< 31.3
> 34.8
31.6 - 34.8
< 31.6
f. Aktivitas partial discharge Sedangkan untuk akitivitas partial discharge nilai batas ini sangat bergantung pada hasil monitoring diagnosis. Satuan yang digunakan juga bisa berbeda berdasarkan teknik deteksi partial discharge yang digunakan. Berdasarkan hal ini penulis membagi nilai batas untuk partial discharge dengan acuan intensitas dan pertumbuhan partial discharge. Untuk kondisi 9, diasumsikan tidak terdapat partial discharge pada kompartemen GIS yang kita ukur. Sedangkan kondisi 6, diasumsikan terdapat partial discharge pada tahap inisiasi awal dengan intensitas yang rendah dan tingkat pertumbuhan yang lambat. Untuk kondisi 1, partial discharge terjadi dengan intensitas yang tinggi serta diikuti dengan tingkat pertumbuhan yang cepat. Berikut nilai batas untuk partial discharge dalam bentuk tabel. Tabel 3.8 Nilai batas parameter partial discharge Level Kondisi Parameter aktivitas partial discharge Kondisi 1
Terdapat partial discharge dengan intensitas tinggi dan tingkat pertumbuhan cepat
Kondisi 6
Terdapat partial discharge dengan intensitas rendah dan tingkat pertumbuhan lambat
Kondisi 9
Tidak terdapat aktivitas partial discharge
9 2. Penentuan Faktor Pembobotan (Weighting Factor) Faktor pembobotan untuk setiap parameter dalam GIS dapat berbeda-beda berdasarkan pengaruh parameter tersebut pada kegagalan terjadi. Dalam penentuan faktor pembobotan belum ditemukan teori yang secara detail membahas tentang level pembobotan itu sendiri. Hal ini membuat asumsi mengenai faktor pembobotan dapat berbeda-beda untuk suatu kasus dengan kasus yang lain. Dan asumsi ini menjadi unik, tergantung sejauh mana analisis dan data yang dimiliki untuk kemudian dapat menempatkan suatu parameter lebih tinggi atau lebih rendah bobotnya dibandingkan parameter lainnya. Dalam menentukan faktor pembobotan kali ini, penulis melakukan studi FMEA terhadap GIS. Dari hasil studi ini terlihat beberapa parameter yang terlibat dalam kegagalan suatu GIS. Dengan menganggap kegagalan yang terjadi pada GIS adalah sama yaitu terjadinya breakdown, maka dapat dilihat sejauh mana statistik suatu parameter terlibat dalam kegagalan. Dalam hal ini maka yang kita perhatikan adalah frekuensi parameter tersebut terlibat sehingga menyebabkan breakdown pada GIS. Semakin sering parameter tersebut terlibat dalam kegagalan, maka faktor pembobotannya dibuat menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, jika semakin jarang parameter tersebut terlibat maka faktor pembobotannya menjadi lebih rendah. Berikut ini adalah faktor pembobotan yang diusulkan oleh penulis berdasarkan hubungan frekuensi terlibatnya parameter dengan kegagalan yang terjadi. Tabel 3.9 Hubungan parameter dengan frekuensi kegagalan Parameter yang terlibat Frekuensi kegagalan Decomposition product, purity, partial discharge 3 pressure, purity 3 dew point, partial discharge 4 decomposition product, partial discharge 4 pressure, purity, decompostion product 4 pressure, purity, decompostion product 2 partial discharge, decomposition product 2 Partial discharge 2 partial discharge, decomposition product 2 partial discharge, decomposition product 2 temperature, pressure 2 partial discharge 2 pressure, decomposition product 3 pressure, purity 3 pressure, partial discharge 3 pressure, partial discharge 3 pressure, partial discharge 2
Maka dapat dibuat perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat menjadi sebagai berikut:
Tabel 3.10 Perbandingan akumulasi frekuensi kegagalan dan parameter yang terlibat
Parameter Pressure Purity Dew point Decomposition product Ambient temperature Partial discharge
Akumulasi frekuensi kegagalan 22 15 4 20 2 27
Dari akumulasi frekuensi kegagalan pada masing-masing parameter ini penulis mengasumsikannya menjadi 4 kelompok besar yaitu: • Kelompok 1, untuk akumulasi frekuensi kegagalan ≥ 25 yaitu partial discharge. • Kelompok 2, untuk akumulasi frekuensi kegagalan 20 ≤ f < 25 yaitu: pressure dan decomposition product. • Kelompok 3, untuk akumulasi frekuensi kegagalan 10 ≤ f < 20 yaitu: purity • Kelompok 4, untuk akumulasi frekuensi kegagalan < 10 yaitu: dew point dan ambient temperature. Maka untuk parameter yang berada di kelompok satu akan mendapatkan level pembobotan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang lain. Untuk faktor pembobotan tiap kelompok, penulis memilih untuk mengalikannya dengan sebuah konstanta yang berbeda-beda untuk tiap kelompok. Kelompok 1 akan mendapatkan nilai konstanta yang paling tinggi dibandingkan kelompok yang lainnya. Berikut adalah faktor pembobotan menggunakan konstanta yang diajukan oleh penulis untuk tiap parameter. Tabel 3.11 Faktor pembobotan parameter faktor pembobotan (dengan Kelompok Parameter pengalian konstanta) Partial dikalikan dengan c = 20 I discharge Pressure II dikalikan dengan c = 10 Decomposition product III Purity dikalikan dengan c = 5 Dewpoint IV dikalikan dengan c = 1 Ambient temperature
10 IV. STUDI KASUS CONDITION ASSESSMENT GIS 150 KV SALAK LAMA – GUNUNG SALAK Berdasarkan condition assessment didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Nilai akhir kondisi GIS Salak Lama Hasil Faktor setelah Parameter Kondisi pembobotan pembobotan Tekanan 1 x 10 10 Kemurnian 1 x5 5 Titik embun 6 x1 6 Produk hasil dekomposisi 9 x 10 90 Suhu lingkungan 9 x1 9 Aktivitas partial discharge 1 x 20 20 Nilai akhir kondisi GIS Salak Lama 140 Jika semua kondisi parameter bernilai 1 atau buruk maka nilai akhir kondisi terburuk yang mungkin terjadi adalah 47. Namun jika kondisi semua parameter bernilai 6 atau sedang, maka yang didapatkan adalah 282. Nilai 282 ini menunjukkan persyaratan minimum parameter untuk dapat beroperasi dengan layak. Dan jika kondisi semua parameter berada pada kondisi 9 atau baik, maka total nilai kondisi terbaik yang didapatkan adalah 423. Berdasarkan pembagian itu, maka nilai akhir GIS Salak Lama berada pada level antara nilai 47 dan nilai 282. Jarak antara nilai 140 terhadap 47 lebih dekat dibandingkan dengan jarak nilai 140 terhadap 282. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi GIS Salak Lama berada pada level yang buruk dengan beroperasi menuju kegagalan (running for error). Berikut ini adalah ilustrasi perbandingan nilai kondisi akhir GIS Salak Lama:
menilai kondisi GIS. Parameter tersebut antara lain tekanan gas, kemurnian gas, titik embun gas, produk hasil dekomposisi gas, suhu lingkungan serta aktivitas partial discharge. Untuk dapat menentukan kondisi GIS perlu dilakukan pengukuran terhadap parameter tersebut melalui monitoring diagnosis. Hasil monitoring diagnosis ini lalu dibandingkan dengan hasil statistik dari populasi GIS yang ada untuk ditentukan berada pada kondisi mana. Berdasarkan hasil condition assessment pada parameter isolasi gas SF6 dan aktivitas partial discharge disimpulkan bahwa GIS Salak Lama berada pada level kondisi yang buruk dengan beroperasi menuju kegagalan (running for error). Hal ini dapat dilihat dari total skor pada penilaian kondisi akhir yang hanya bernilai 140. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1, dimana nilai ini jauh berada dibawah nilai 282, yang merepresentasikan kondisi menengah atau nilai minimum kondisi GIS untuk dinyatakan layak beroperasi. Penilaian ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa, GIS Salak Lama mengalami breakdown pada bulan April 2008 yang terjadi pada Bay Salak Baru 2 kompartemen DS fasa R yang disebabkan oleh tingginya aktivitas partial discharge akibat kehadiran partikel pada permukaan spacer yang membentuk jalur (tracking) REFERENSI [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10]
[11]
[12] [13]
Gambar 4.1 Perbandingan nilai kondisi akhir GIS Salak Lama Terlihat bahwa dari gambar diatas bahwa kondisi GIS Salak Lama berada pada wilayah kondisi buruk. Hal ini diperkuat dengan kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa pada Bay Salak Baru kompartemen DS Line fasa R terjadi breakdown pada bulan April 2008. Pada spacer kompartemen tersebut ditemukan telah terjadi gangguan yang disebabkan oleh defect akibat partikel yang menempel pada permukaan(tracking).
[14] [15] [16]
[17]
[18]
V. KESIMPULAN Pada penelitian ini ditemukan bahwa pada isolasi gas SF6 terdapat beberapa parameter yang dapat ditentukan untuk
15/23-1 Diagnostic Methods for GIS Insulating System.1992 IEC standard 60376 IEEE Guide For Gas-Insulated Substations (IEEE Std C37.122.1-1993) Jakob, Fredy and Perjanik, Nicholas.Sulfur Hexafluoride – A Unique Dielectric.2002 CIGRE Technical Forces 15.11/33.03.02. Knowledge Rules for Partial Discharge Diagnosis in Service. 2003 Transinor As. AIA -1 Users Guide Version 3.0.Norway.1998 IEC Standard 60694 IEEE Standard for Gas Insulated, Metal Enclosed Disconnecting,Interupter and Grounding Switch C37.38-1989 CIGRE 309 Technical Brochure 150. 2006 Prawit Petchphung, Monthon Leelajindakrairerk, Norasage Pattanadech, Pearawut Yutthagowith, Kraision Aunchaleevarapan. “The Comparison Study of PD Measurement with Conventional Method and Unconventional Method”. 2008 International Conference on Condition Monitoring and Diagnosis, Beijing, China, April 21-24, 2008 Sun-geun Goo, Hyeongjun Ju, Kijun Park, Kiseon Han, Jinyul Yoon. “Ultra-high Frequency Spectral Characteristics of Partial Discharge in Insulation Oil”. 2008 International Conference on Condition Monitoring and Diagnosis, Beijing, China, April 21-24, 2008 CIGRE 309 Asset Management of Transmission System and Associated CIGRE Activities. December 2006 Prof. Gian Carlo Montanari and Dr. Ir Suwarno. “Diagnosis of High Voltage Equipment By Partial Discharges”.Seminar in Bandung, Indonesia March 28th 2007. P.Pilzecker and J.I Baumbach. Evaluation of Gas Insulated Substation and Circuit Breaker Using Partial Discharge- IMS. Germany Y Takahashi. Diagnostic Method for Gas Insulated Substation. Japan, 1986 N Hayakawa, K Hatta, S Yasa, S Okabe, H Okubo. Partial Discharge Characteristic Leading to Breakdown in Electronegative Gas. XIIIth International Symposium on High Voltage Engineering. Netherland, 2003. M. Fenger and G.C. Stone. Investigation of The Effect of Humidity On Partial Discharge Activity in Stator Winding. Proceeding of the 71th International Conference on Propenies and Appilcation of Dielectric Materials. June 2000, Nagoya, Japan. D. Konig, I. Q u i n t , P. Rosch, B. Bayer. Surface Discharge on Contamined Epoxy Insulator”. IEEE Transactions on Electrical Insulation Vol. 24 No. 2. April 1989.
11 [19] B.Belmadani, J Cassanova, R Grob, J Mathieu. “SF6 Decomposition Under Power Arc”. IEEE Transactions on Electrical Insulation Vol. 26 No. 6. April 1991. [20] Sander Meijer. “Partial Discharge Diagnosis of High Voltage Gas Insulated System”. DELFT TU Netherland, 2001. [21] Krivda,A. “Recognition of Discharges, Discrimination and Classification” DELFT TU Netherland, 1995. [22] Dieter Kind, “Pengantar Teknik Tegangan Tinggi”, Penerbit ITB Bandung, 1993. [23] CIGRE 150. Report On The Second International Survey On High Voltage Gas Insulated Substation Service Expected. February 2000 [24] CIGRE 286, Instrumentation and Measurement for In Service Monitoring of High Voltage Insulation.December 2005.