i
CERAI GUGAT Studi Deskriptif Tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cerai Gugat di Surakarta
Disusun Oleh : Kunti Faizah D 0302037 Disusun dan diajukan untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat meraih Gelar Sarjana Sosial pada Jurusan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk diuji/dipertahankan di depan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 5 April 2010 Dosen Pembimbing
Dra. Sri Hilmi Pujihartini, Msi
iii
PENGESAHAN Telah diuji dan disahkan oleh Panitia penguji Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada hari
:
Tanggal
:
Panitia penguji 1. Dra. Suyatmi M.S
(_____________________)
NIP. 19520929 198003 2 001
Ketua
2. Eva Agustinawati, S.Sos, M.Si
(_____________________)
NIP. 19700813 199512 2 001
Sekretaris
3. Dra. Sri Hilmi Pujihartati M,Si
(_____________________)
NIP. 19630730 199103 2 001
Penguji Mengetahui
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Dekan,
Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP. 19530128 198103 1 001
iv
MOTTO
·
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
·
Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
·
Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap. (QS. AL-INSYIRAH )
·
Lakukan yang terbaik untuk hidupmu apapun itu lakukan dengan mantap, biarpun perlahan berusahalah untuk mencapai cita-citamu.
v
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk, ·
Bapak dan ibuku tercinta yang telah memberika limpahan kasih sayang
·
Buat suami tercinta dan anakku yang telah memberikan spirit di setiap langkahku dan memberikan warna disetiap pandanganku.
·
Buat sahabat-sahabat Sosiologi, semoga kita selalu dalam ikatan tali persaudaraan.
vi
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ” CERAI GUGAT (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Cerai Gugat di Surakarta). Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna mencapai gelar Sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drs.H. Supriyadi, SN SU, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dra. Hj.Trisni Utami, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Dra. Hj. Sri Hilmi P., M.S, selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta dan Pembimbing Skripsi, yang telah banyak memberikan berbagai petunjuk dalam penyusunan skripsi ini. 4. Drs. Suyatmi, M.S, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan bantuan, serta kepada seluruh Dosen yang telah memberikan banyak pelajaran selama penulis menempuh studi di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Sebelas Maret Surakarta.
vii
5. Bapak Muh. Mursyid, SH, selaku Wakil Panitera Pengadilan Agama Surakarta yang telah memberikan ijin dan memberikan informasi untuk penulisan skripsi ini. 6. Seluruh responden atas segala bantuan dan kerja samanya, sehingga skripsi ini dapat tersusun. 7. Seluruh staf Perpustakaan FISIP UNS maupun Perpustakaan Pusat UNS, atas layananya yang sangat menunjang dalam penulis menyelesaikan studi penulis. 8. Keluargaku atas kasih sayang dan segala yang telah diberikan, yang tak akan mungkin penulis balas semuanya. 9. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi dan selama penulis belajar pada Jurusan Sosiologi FISIP UNS, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa sebagai sebuah karya tulis ilmiah, skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran kontruktif sangat penulis harapkan dari semua pihak, untuk kemudian dijadikan sebagai suatu pelajaran. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Tak lupa atas segala kekurangan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Surakarta, Penulis
KUNTI FAIZAH
viii
ABSTRAKSI KUNTI FAIZAH, 2010, ”CERAI GUGAT” Skripsi, Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini berjudul ” Cerai Gugat” ( Studi Deskriptif Kualitatif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi cerai gugat di kota Surakarta). Penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut karena banyaknya tingkat perceraian yang terjadi di surakarta. Para isteri tidak merasa terbebani dengan predikat janda setelah adanya perceraian. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik observasi dan wawancara langsung kepada responden yang dianggap mampu menjawab dan menjabarkan permasalahan perceraian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan variasi maksimum dan dalam pemilihan responden secara porposive sampling yaitu memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data dan mengetahui masalah penelitian secara mendalam. Fokus dari penelitian ini adalah para isteri yang sedang mengalami permasalahan rumah tangga dan wanita-wanita yang mengalami perceraian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perceraian dapat terjadi kerena kurangnya kepercayaan dan kurangnya komunikasi antara suami dan isteri, selain itu kekerasan dalam rumah tangga juga mewarnai alasan terjadinya perceraian terutama cerai gugat ( perceraian yang diajukan oleh pihak isteri). Faktor lain yang mempengaruhi cerai gugat antara lain karena adanya poligini, perselisihan atau percekcokan yang terus menerus dan perselingkuhan.
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...............................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................
ii
PENGESAHAN.......................................................................
iii
HALAMAN MOTTO.............................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................
v
KATA PENGANTAR..............................................................
vi
ABTRAKSI................................................................................
viii
DAFTAR ISI..............................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN..........................................................
1
A. Latar Belakang Masalah............................................
1
B. Perumusan Masalah...................................................
6
C. Tujuan Penelitian.......................................................
6
D. Manfaat Penelitian.......................................................
7
E. Landasan Teori............................................................
8
F. Tinjauan Pustaka.........................................................
19
G. Kerangka Konsep........................................................
22
H. Kerangka Berpikir......................................................... 36 I. Definisi Konseptual...................................................... 38 J. Metode Penelitian.......................................................... 39 1. Jenis Penelitian.................................................. 39 2. Lokasi Penelitian................................................ 39 3. Sumber Data....................................................... 39 4. Teknik Pengumpulan Data................................. 40 5. Populasi dan Sampel penelitian......................... 41 6. Validitas Data..................................................... 42 7. Teknik Analisa Data........................................... 43
x
BAB II DESKRIPSI LOKASI A. Gambaran Umum Masyarakat Surakarta .......................46 B. Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Surakarta...... 48
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN..................
50
A. Profil responden……………………………………… 50 B. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya cerai gugat 55 a. poligini tidak sehat…………………………… 57 b. perselisihan/percekcokan……………………… 59 c. perselingkuhan………………………………… 61 d. kekerasan dalam rumah tangga……………….. 61 e. suami tidak bertanggung jawab……………….. 79 f. tidak mempunyai keturunan.............................. 80 C. Pembahasan.................................................................... 80 D. Analisa Teori………………………………………….
91
BAB IV PENUTUP ..........................………………………....... 97 A. Kesimpulan.................................................................... 97 B. Saran.............................................................................. 100 DAFTAR PUSTAKA………………………………………… LAMPIRAN-LAMPIRAN
101
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu hal yang suci, sebagaimana telah dirumuskan dalam pasal 1 UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi bangsa Indonesia suatu perkawinan dinilai bukan hanya untuk memuaskan nafsu biologis semata akan tetapi merupakan suatu yang sangat sakral. Hal ini tersirat dalam penjelasan pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut: “Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan erat sekali hubungannya dengan agama. Sehingga dalam perkawinan bukan hanya merupakan unsur lahir tetapi unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunannya yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua” (Lili Rasjidi, 1981:1) Suatu ikatan lahir batin adalah ikatan yang dapat dirasakan, untuk mengungkapkan adanya suatu hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan kata lain dapat disebut hubungan formal. Hubungan formal seperti itu merupakan hubungan ikatan batin yang harus terjadi. Karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh, sehingga perkawinan memerlukan keduanya. Sebab bila hanya ikatan lahir
xii
atau ikatan batin saja tidak cukup. Perkawinan itu erat hubungannya dengan agama, karena itu suatu perkawinan harus dijaga agar didapatkan suatu keluarga yang tentram dan penuh kasih sayang sesuai dengan tuntutan agama. Tujuan perkawinan adalah mensahkan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang berbahagia dunia akherat serta melahirkan keturunan yang berkualitas. Lebih lanjut Lili Rasjadi mengatakan bahwa tujuan perkawinan tersebut dapat dicapai jika diantara suami istri saling membantu dan melengkapi. Dengan semikian masing-masing pihak dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Keluarga yang ideal merupakan keluarga yang didalamnya terwujud kehidupan yang sakinah dan mencapai kebahagiaan dunia akherat sebagai seorang bapak, ibu, dan anak. Tetapi pembentukan keluarga yang ideal tersebut tidaklah mudah, karena memerlukan ketulusan dan pengorbanan satu sama lain. Keberanian mengambil keputusan untuk berkeluarga berarti keberanian suami istri untuk menanggung segala resiko dan permasalahan yang akan terjadi didalamnya.
Akan
tetapi
pada
kenyataannya
menunjukkan
bahwa
mempertahankan perkawinan itu tidaklah mudah. Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan serta ingin hidup sampai akhir hayat, seringkali keinginan tersebut kandas ditengah jalan karena adanya berbagai hal. Permasalahannya kalau tidak diselesaikan menyebabkan terjadinya pertikaian dan bahkan terjadi perceraian.
xiii
Berbagai masalah muncul setelah perkawinan berjalan dari tahun ketahun. Masalah yang tidak terselesaikan mengakibatkan pasangan suami istri bertengkar sampai akhirnya berlanjut pada keputusan untuk bercerai, karena merasa sudah tidak ada kasih sayang dan kecocokan yang ada dalam rumah tangga mereka. Mereka memilih meninggalkan ikatan perkawinan mereka daripada mempertahankan keutuhan keluarga. Dari masalah yang timbul dalam keluarga sendiri dapat dilihat keegoisan masing-masing pasangan yang tetap mempertahankan pendapatnya. Sikap individual merasuk dalam pikiran mereka sehingga mereka tidak dapat lagi berpikir bagaimana harus menyelesaikan kemelut yang ada dalam rumah tangga mereka. Kurangnya kontrol sosial dalam masyarakat dan keluarga besar dapat menyebabkan seseorang dengan mudah mengambil keputusan untuk bercerai. Perceraian sebenarnya menunjukkan adanya derajat pertentangan yang tinggi antara suami dan istri untuk memutuskan ikatan dua turunan keluarga yang menyangkut persoalan penyesuaian diri bagi orang-orang tua dan anak-anak yang bersangkutan (Goode, 1985:187). Dampak yang dirasakan oleh anggota keluarga lain cukup besar terutama pada perkembangan anak. Banyak anak-anak yang kurang kasih sayang karena orang tuanya bercerai. Perkembangan mental anak menjadi rapuh karena kekecewaan anak terhadap sikap orang tua mereka sebagai tempat identifikasi mereka. Dalam keluarga apabila salah satu pihak istri atau suami merasa dirugikan yang bersangkutan dapat meminta tuntutan ataupun gugatan cerai di Pengadilan Agama. Tuntutan atau gugatan yang muncul perlu ada alasan-alasan
xiv
yang kuat guna menghindari perceraian secara sepihak dan sewenang-wenang, baik dilakukan oleh suami atau istri. Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk perceraian terurai dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemauannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Kemudian R. Sarjono seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi mengatakan hahwa alasan-alasan tersebut diatas adalah limitatife sifatnya, dalam arti tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan selain yang disebut dalam Undang-undang. Sehingga tanpa alasan-alasan tersebut pihak Pengadilan Agama tidak mau menerima gugatan cerai (Lili Rasjidi, 1983:5)
xv
Tabel 1 Data Perceraian di Surakarta tahun 2005 Bulan
Cerai
Cerai gugat
Jumlah
talak Januari
11
14
25
Februari
9
23
32
Maret
12
27
39
April
9
19
28
Mei
10
21
31
Juni
7
33
40
Juli
14
26
40
Agustus
13
18
31
September
6
30
36
Oktober
10
16
26
November
13
20
33
Desember
14
27
41
Jumlah
128
274
402
Sumber : Pengadilan Agama Surakarta tahun 2006 Angka perceraian dari bulan ke bulan ditahun 2005 diatas sebagai fakta bahwa perkawinan seolah telah mengalami penurunan nilai kesakralannya dan perceraian menjadi hal yang tidak tabu lagi. Perceraian yang terjadi di Kota Surakarta pada tahun 2005 didominasi oleh perceraian yang diajukan oleh pihak istri (cerai gugat) daripada cerai yang diajukan oleh pihak suami (cerai talak). Angka perceraian selama tahun 2005 mencapai angka 402 kasus dengan rincian cerai talak sejumlah 128 kasus dan cerai gugat sebanyak 274 kasus. Perceraian mencapai angka tertinggi pada bulan Desember yaitu sebanyak 41 kasus, terdiri dari 27 kasus cerai gugat dan 14 kasus cerai talak. Sedangkan angka perceraian
xvi
terendah terjadi pada bulan Januari yaitu sebanyak 25 kasus,antara lain 14 kasus cerai gugat dan 11 kasus cerai talak. Fakta perceraian diatas menunjukkan bahwa tujuan berkeluarga yang semestinya terwujud melalui perkawinan tidak dapat tercapai, terutama jika dikaitkan dengan lebih tingginya perkara gugat cerai dari pada gugat talak. Pada konteks budaya, istri yang seharusnya sebagai pengelola rumah tangga dan pencipta suasana menyenangkan dalam keluarga pada kenyataannya justru sebagai pihak yang berinisiatif melakukan gugatan cerai. Pada dasarnya dihadapan hukum, suami dan istri mempunyai hak yang sama dalam mengajukan gugatan perceraian, tetapi dalam konsep hukum Islam hak talak mutlak dimiliki oleh suami. Sedangkan fakta di Surakarta justru pihak istri yang lebih banyak menggunakan hak cerainya dengan cerai gugat. B. Perumusan Masalah Berdasar pada uraian latar belakang masalah diatas maka muncul permasalahan yaitu “Alasan-alasan apa saja yang mendorong seorang istri melakukan gugatan cerai terhadap suaminya”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui berbagai alasan-alasan atau sebab-sebab terjadinya cerai gugat. b. Untuk menggambarkan perceraian yang ada di Surakarta.
xvii
2. Tujuan Subyektif a. Untuk melengkapi gelar sebagai persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik jurusan Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas dan mengembangkan pengetahuan dalam melakukan penelitian di lapangan yang sangat berguna bagi penyusun ataupun bagi peneliti-peneliti yang akan mengambil tema yang sama. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai salah satu sumber wacana untuk menambah pengetahuan tentang berbagai hal yang menyebabkan istri lebih banyak mengajukan gugatan cerai. b. Sebagai satu dari berbagai sumber materi tentang cerai gugat jika ada pengembangan penelitian lebih lanjut. 2. Manfaat Praktis a. Memberi semacam bahan pertimbangan bagi istri yang bermaksud menggugat cerai di Pengadilan Agama Surakarta pada khususnya. b. Memberikan masukan pemikiran bagi pihak yang berkepentingan mengenai perkara perceraian atas gugatan pihak istri di Pengadilan Agama Surakarta.
xviii
E. Landasan Teori Sosiologi menurut Sorokin adalah hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan sebagainya. (Soekanto, 1997:20) Paradigma merupakan hal yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan karena paradigma merupakan kesatuan konsensus yang terluas dan secara lebih jelas dikemukakan oleh George Ritzer sebagai berikut: “Pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline)”. (Ritzer, 1992:8) Ritzer membagi paradigma menjadi tiga paradigma yaitu:paradigma fakta sosial, Paradigma definisi sosial, dan Paradigma perilaku sosial. Dalam penelitian ini menggunakan paradigma definisi sosial,dengan tokoh yang terkenal yaitu Max Weber. Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dari sini kemudian muncul konsep penafsiran dan pemahaman/interpretatif understanding/verstehen (Weber dalam Ritzer, 1992:44) Tindakan sosial yang dimaksudkan Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang “membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja akibat dari pengaruh situasi serupa atau berupa persetujuan pasif dari situasi tertentu.
xix
Bertolak dari konsep dasar tindakan dan antar hubungan sosial, Max Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian Sosiologi yaitu: a. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. b. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. c. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diamdiam. d. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. e. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. Atas dasar rasional tindakan sosial, Weber membedakan ke dalam empat tipe tindakan. Semakin rasional, maka semakin mudah tindakan tersebut dipahami. Macam tindakan itu adalah sebagai berikut: 1. Zwerk rational Yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuan itu sendiri. Tujuan dalam tindakan ini tidak absolute. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakannya itu.
xx
2.
Werktrational Action atau Rasionalitas yang berorientasi nilai. Dalam tindakan tipe ini tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjukkan kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan tipe kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk difahami.
3. Affectual Action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepurapuraan si aktor. Tindakan ini sulit dipahami karena kurang atau tidak rasional. 4. Traditional Action Yaitu tindakan yang didasarkan pada kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu. (Weber dalam George Ritzer, 1985:47-48) Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan mengenai alasanalasan yang mendorong istri untuk melakukan gugatan cerai kepada suaminya. Tindakan istri yang melayangkan gugatan cerai tersebut adalah tindakan yang nyata dilakukan oleh istri. Tujuan dalam tindakan ini tidak absolut, ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Dalam hal ini istri adalah sebagai aktor yang berkelakuan dengan cara yang paling rasional.
xxi
Teori tindakan sosial atau teori aksi adalah salah satu teori yang akan digunakan dalam menganalisa penelitian ini. Teori aksi dikembangkan oleh Talcot Parson. Parson merupakan salah satu sosiolog yang menekankan satu kesatuan yang utuh dan melekat dalam sebuah sistem. Menurut Parson ada lima karakteristik tindakan aktor yaitu: a. Adanya individu sebagai aktor b. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan tertentu c. Aktor mempunyai alternatif car, alat serta taktik untuk mencapai tujuannya d. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh individu e. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Parsons menjelaskan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya. Aktor dipengaruhi oleh sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat (status) tertentu dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma/aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku ditentukan pula oleh kepribadiannya. ( Poloma, 2003:171)
xxii
Dari asumsi tersebut jelas bahwa aktor mengejar suatu tujuan dan memiliki banyak alternatif pilihan untuk mencapainya. Norma yang berlaku dimasyarakat tidak mutlak menjadi pedoman yang harus dipakai, sehingga aktor mempunyai alternatif untuk memilih tindakan yang tepat baginya. Dalam hal ini istri mengejar suatu tujuan, yaitu untuk melepaskan ikatan perkawinan (gugatan cerai). Tindakan tersebut tidak semata-mata muncul begitu saja, tetapi akibat pengaruh kondisi dan situasi yang dihadapi istri. Sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian dari individu juga berpengaruh dalam munculnya tindakan istri. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku, dikaitan dengan masingmasing status dan peranan para pelaku (suami dan istri). Peranan dan status bersumber pada sistem penggolongan yang ada pada keutuhan masyarakat yang bersangkutan, dan yang berlaku menurut masing-masing pranata dan situasi sosial dimana interaksi sosial itu terwujud. Adanya hak dan kewajiban dalam suatu keluarga, menuntut seseorang untuk menjalankan peran demi terlaksananya hak dan kewajiban tersebut. Masing-masing orang akan menjalankan perannya sendiri-sendiri. Menurut Soerjono Soekanto, peranan (role) pada hakekatnya merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peran (Soerjono Soekanto, 1990 : 268). Peranan yang melekat pada diri seseorang itu sendiri berbeda dengan posisi (kedudukan) seseorang dalam pergaulan masyarakat, karena posisi merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat
xxiii
individu pada organisasi sosial sedangkan peranan lebih menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri atau sebagai suatu proses (bersifat aktif). Dalam suatu peranan itu menyangkut tiga hal yaitu: 1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Peranan dapat juga dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto, 1988 : 268) Perbedaan status dan peranan pria dan wanita disebabkan oleh faktor biologis.. Wanita sudah sewajarnya hidup dilingkungan rumah tangga (melahirkan, membesarkan anak, memasak, memberi perhatian pada suami, dan sebagainya), suami mempunyai tugas diluar rumah tangga untuk mencari makan bagi keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan seorang Profesor Sosologi dari Universitas di Ottawa yaitu Ann B. Denis dalam Jurnalnya yang berjudul “ The Women’s Movement”. Petikan pernyataannya adalah sebagai berikut: “ The task of women often take place at home and in the private sphere,though women are also active in the publik sphare. Neither men nor women have the concept of separating work from home duties, so women’s place in the economy is hardly recognized and economic contributions are credited to men”. (www.sagepub.com 19 Mei 2010) (Tugas perempuan (isteri) sering terjadi di dalam rumah tangga,meskipun perempuan (isteri) juga aktif di luar lingkungan rumah tangga atau di ruang publik. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki konsep yang memisahkan tugas pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga tempat perempuan dalam perekonomian keluarga hampir tidak ada dan
xxiv
penghasilan ekonomi keluarga dikikriditkan atau dicurahkan ke pihak lakilaki)
Secara garis besar bidang pekerjaan di masyarakat terbagi dua, yaitu sektor publik dan sektor domestik. Dua sektor yang menghasilkan dua peran yang berbeda pula bagi pelakunya. Pada
masyarakat, kedua peran tersebut
didistribusikan dengan tegas berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Peran publik untuk laki-laki dan peran domestik untuk wanita. Laki-laki sebagai pencari nafkah dan bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan keluarganya sedangkan wanita bertanggung jawab pada pengasuhan dan pendidikan anak serta segala urusan kerumahtanggaan. Peran disektor domestik yang juga dianggap sebagai peran tradisional bagi istri adalah melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga. Pekerjaan domestik dalam rumah tangga yang tidak menghasilkan misalnya mengurus rumah, merawat anak. Adapun pengertian keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang terdiri dari suami, istri beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga batih tersebut lazimnya juga disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat sebagai wadah dan proses pergaulan hidup (Soekanto, 1990:1) Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pergunjingan umum karena semua orang mungkin saja terkena salah satu dari berbagai jenisnya, karena pengalaman itu biasanya dramatis, menyangkut pilihan moral dan penyesuaian-penyesuaian pribadi yang dilematis. Kekacauan keluarga menurut Wiiliam J.Goode (1985:186) ditafsirkan pecahnya suatu keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau
beberapa anggota gagal
xxv
menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya. Beberapa hal yang menyangkut kekacauan keluarga adalah sebagai berikut: 1. Ketidaksahan. Merupakan unit keluarga yang tidak lengkap. Dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya karena sang ayah atau ibu tidak menjalankan perannya. 2. Pembatalan, perpisahan, perceraian dan meninggalkan. Terputusnya keluarga disini disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan, dan demikian berhenti melaksanakan kewajiban perannya. 3. Keluarga selaput kosong. Disini anggota keluarga tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan dukungan emosional satu dengan yang lain. 4. Ketidakadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Seperti suami atau istri meninggal, dipenjara karena peperangan dan sebagainya. 5. Kegagalan peran yang tidak diinginkan. Malapetaka dalam keluarga seperti penyakit mental,gangguan jiwa atau badaniah yang parah (Goode, 1985:186) Perceraian diawali dengan konflik dalam perkawinan antara suami dan istri. Peran konflik dalam perkawinan akan menghasilkan perselisihan dan mengurangi rasa sayang pada pasangannya. Pasangan yang bercerai memegang banyak konsep yang berbeda dari peran sebagai suami atau istri.
xxvi
Perceraian di Indonesia diatur oleh sebuah lembaga yang mengatur perceraian. Pasangan yang bercerai dapat mengajukan gugatan cerainya pada lembaga yang memiliki kuasa hukum yang sah. Adapun lembaga tersebut adalah: a. Pengadilan Agama, lembaga ini khusus mengatur masalah perceraian menurut hukum Islam. Dimana orang-orang yang menggugat adalah kaum Muslim yang tercatat secara sah perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA). b. Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang menangani masalah perceraian menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Dimana kasus perceraian termasuk dalam perkara perdata dan lembaga ada di bawah Departemen Kehakiman. Orang-orang yang menggugat cerai adalah orang-orang non muslim yang tercatat secara sah perkawinannya di catatan sipil yang merupakan lembaga di bawah Depertemen Dalam negeri (Nakamura, 1991 : 44) Menurut William J. Goode, bersamaan dengan proses industrialisasi, dapat diamati suatu perubahan yang terjadi secara global, yaitu bahwa keluarga dimana-mana mengalami perubahan kearah bentuk yang disebut keluarga Konjugal, dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peranperannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luar suami atau istri. Secara ekonomi, keluarga konjugal lebih berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara tersendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Seruan kecil ini semakin berdikari, ini juga berarti bahwa hubungan emosi diantara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi
xxvii
akrab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikat suami istri itu saja , sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota luas yang mengikat keluarga kecil. Naiknya angka perceraian dimana istri menggugat cerai, lebih banyak disebabkan adanya perubahan yang mendasar dalam sistem nilai, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan dan lembaga keluarga, peranan perempuan dan peradaban status perempuan dalam masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut tampaknya
telah
mendorong
kaum
perempuan
untuk
mempertahankan
martabatnya, yang dalam hal ini melalui suatu keputusan untuk menarik diri dari lembaga perkawinan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan (Ihromi, 1999 : 140) Perubahan-perubahan dalam struktur sosial yang mempengaruhi sistem keluarga sekaligus tingkat perceraian menurut Erma Karim dalam buku Bunga Rampai Sosiologi Keluarga oleh TO. Ihromi adalah: 1. Perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian. Masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai suatu yang memalukan dan harus dihindarkan. Masyarakat dapat memahami perceraian sebagai salah satu langkah untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi antara pasangan suami istri. 2. Perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga atau kerabat serta teman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan.
xxviii
3. Adanya alternative yang bisa dipilih suami istri apabila bercerai. Bertambahnya banyak kemudahan dan alternative yang ada dalam masyarakat untuk pemenuhan hidup sehari-hari, memberi peluang kepada berkurangnya saling ketergantungan antara pasangan suami istri. 4. Adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Berkembangnya etos ini merupakan tuntutan dari sistem industri yang memberi peluang sama kepada setiap orang berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Menurut Goode, perubahan etos manusia dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami istri (Erna Karim dalam Ihromi, 1999 : 143-145) Perceraian membawa dampak terutama pada anak sebagai anggota keluarga. Anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman. Selain itu perceraian juga memberikan kontribusi terhadap tingkat kenakalan di kalangan remaja. Pernyataan sama dengan pernyataan Emery dalam Jurnal Internasional yang berjudul “ Relations Between Money and love in postdivorce families”,sebagai berikut: “ That the divorce of their parents leads to a loss of economic esources for children,the economic standing of a family has been found to explain considerables variance in the behavior problems of children from divorced families. Postdivorce economic hardship has further been associated with negative outcomes among children”. (www.sagepub.com, 19 Mei 2010) (bahwa perceraian yang terjadi pada orang tua mereka menyebabkan hilangnya sumber daya ekonomi bagi anak-anak, permasalahan yang muncul pada anak-anak dari keluarga setelah perceraian ditemukan cukup banyak atau besar adalah adanya kesulitan ekonomi yang mengakibatkan dampak negatif pada anak-anak)
xxix
F. Tinjauan Pustaka Khairuddin (1985:10) memberi definisi “Sosiologi keluarga adalah ilmu yang mempelajari hubungan antar individu di dalam keluarga, hubungan keluarga dengan keluarga lainnya serta segala aspek-aspek yang timbul dari hubunganhubungan tersebut”. Dalam pembahasan ini dikhususkan pada keadaan keluarga yang mengalami perceraian sebagai disorganisasi dalam keluarga. Keluarga merupakan kelompok kecil dan terjalin dengan erat yang terangkum bersama melalui perkawinan. Apabila hubungan-hubungan sosial yang mengikat pasangan perkawinan menjadi runtuh maka kelompok itu sendiri juga akan runtuh. Angka perceraian yang sangat mencolok di Solo menunjukkan bahwa gugatan cerai banyak dilakukan oleh para istri. Kebanyakan gugatan justru dialami oleh pasangan suami istri yang telah mapan ekonomi, sebab lain perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dll. Tekanan sosial (social pressures) yang terjadi di masyarakat perkotaan mengalami pergeseran norma. Misalnya:perceraian tidak dianggap sebagai aib, ekonomi perempuan lebih mapan, dan lain sebagainya. Kemandirian ekonomi perempuan ini menyebabkan banyaknya perceraian. Jadi perceraian semakin meningkat dengan perubahan norma yang tengah berlangsung. Penelitian oleh Ruth Murwani Dumasthary dengan judul “Perceraian (studi Deskriptif tentang perceraian di Kalangan Istri Bekerja di Kota Surakarta)” yang juga sebagai acuan dalam penulisan ini. Penelitian tersebut berlokasi di Surakarta pada tahun 2000. Dari data yang diperoleh di Pengadilan Agama
xxx
diputuskan jumlah perceraian tahun 1996 adalah 298 kasus dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 382 kasus. Dari kasus yang masuk di Pengadilan Agama,faktor penyebab perceraian yang dominan terjadi pada tahun 2000 adalah tidak bertanggung jawab dengan jumlah kasus 124 dan sisanya terbagi dalam 6 kategori faktor penyebab perceraian lainnya. Sedangkan jumlah istri bekerja adalah 193 kasus baik cerai gugat maupun cerai talak.
Penelitian tersebut
bertujuan untuk menggambarkan perceraian di kalangan istri bekerja di Surakarta. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan sumber data yang berasal dari informan dan sumber tertulis. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara langsung. Informan terdiri dari 6 orang istri yang bekerja yang mengalami perceraian. Selanjutnya ditentukan 1 orang yang berlatar belakang pendidikan rendah yang ditalak, 1 orang yang berpendidikan sedang mengajukan cerai, dan 1 orang yang berpendidikan tinggi yang mengajukan cerai kepada suaminya. Sedangkan informan pendukung terdiri dari 3 suami dari istri bekerja yang bercerai, 1 orang anak dari istri yang bercerai, 2 pejabat pengadilan dan 1 pengacara, 2 tokoh agama, 2 tokoh masyarakat. Sedangkan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling berdasarkan pendidikan dan jenis pengajuan cerai yaitu peneliti memperoleh informasi dari sumber yang mengetahui permasalahan secara mendalam dengan paduan wawancara (interview guide) dan observasi non partisipan. Teknik pengecekan data menggunakan trianggulasi data dimana peneliti mengecek ulang data yang sama dengan sumber yang berbeda. Di dalam menganalisa data digunakan interactive model of analysis
xxxi
yang bergerak dari pengumpulan data, reduksi data, pengujian data dan penarikan kesimpulan. Dari penelitian ini, Ruth Murwani Dumasthary menggambarkan bahwa perceraian di kalangan istri bekerja adalah sebagai berikut 1. Pandangan mereka terhadap perceraian adalah jalan keluar terbaik untuk mengakhiri konflik yang terjadi terus menerus. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di kalangan istri yang bekerja adalah tidak tanggung jawab.kasus perceraian yang diajukan oleh suami terjadi karena kurangnya tanggung jawab istri dalam menjalankan perannya sebagai anggota keluarga sedangkan istri yang mengajukan cerai disebabkan karena suami tidak bertanggung jawab kepada keluarga. 3. Jenis pekerjaan berpengaruh terhadap kontrol sosial di lingkungan pekerjaan. 4. Kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai budaya menyebabkan nilai rukun dan nilai hormat tidak terwujud dalam keluarga baik oleh suami maupun istri yang mengakibatkan percekcokan yang tidak terhindari antara pasangan tersebut. Pengaruh kultur patriarki yang kuat dalam masyarakat
menimbulkan
perbedaan
gender
yang
melahirkan
ketidakadilan gender. Dalam hal ini termanifestasi dalam bentuk kekerasan, subordinasi dan stereotipe atau pelabelan negatife pada perempuan. Hal ini menimbulkan konflik dalam keluarga ketika istri merasa diperlakukan semena-mena oleh suaminya.
xxxii
5. Pemahaman terhadap nilai-nilai keharmonisan rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang kekal dalam agama kurang sehingga tidak memberikan tuntunan dan bimbingan untuk membentuk keluarga yang harmonis. 6. Kurangnya
pemahaman
mengenai
fungsi
keluarga
yang
akan
mengakibatkan kurangnya pemahaman dalam menjalankan peran sebagai anggota keluarga yang baik. 7. Hukum adalah alat yang sah yang memberikan kepastian terhadap status cerai mereka dan kuat secara hukum. G. Kerangka Konsep Ketegangan keluarga yang terbatas pada konflik antara suami dan istri mengancam stabilitas perkawinan dan mengakibatkan disorganisasi. Proses disorganisasi dalam perkawinan berasal dari konflik yang berlangsung dalam sikap-sikap yang meregangkan ikatan bersama dari pasangan suami-istri. Khairuddin (1985:133) memberikan keterangan bahwa keteganganketegangan yang saling berdampingan tersebut mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut : 1. Hilangnya secara berangsur-angsur tujuan-tujuan keluarga, sehingga tujuan pribadi menjadi lebih penting dari pada tujuan keluarga. 2. Usaha kerja sama semakin menurun. 3. Tidak adanya pelayanan yang baik di antara suami-istri. 4. Hubungan-hubungan interpersonal tidak lagi terkoordinasi.
xxxiii
5. Berubahnya hubungan antara suami-istri dengan kelompok-kelompok lainnya. 6. Terdapat pertentangan sikap-sikap emosional antara suami-istri. Scanzoni
dan
Scanzoni
dalam
T.O.
Ihromi
(1999:137)
menggambarkan situasi dan kondisi menjelang perceraian diawali dengan “berhentinya” proses negosiasi antara pasangan suami-istri. Akibatnya pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing
pihak.
Masing-masing
pihak
kemudian
merasa
bahwa
pasangannya sebagai “orang lain”. Akan tetapi mengenai perceraian keluarga ini Goode dalam T.O. Ihromi (1999:142) memberikan pandapat yang berbeda. Goode menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian tidak dapat langsung menunjukkan bahwa masyarakat/keluarga yang
bersangkutan mengalami diorganisasi. Ini
mengingat adanya beberapa indikasi seperti : 1. Tingkat “hidup bersama” antar jenis kelamin yang berbeda tidak menjadi semakin tinggi. 2. Tidak menurunnya angka perkawinan resmi, bahkan di beberapa negara termasuk Indonesia terlihat semakin tinggi. 3. Adanya perubahan dalam sistem keluarga dan struktur sosial di masyarakat. Pada umumnya ketegangan-ketegangan keluarga sebagai sebab dari perceraian oleh Khairuddin (1985:135) dibedakan atas ketegangan sosial dan ketegangan personal. Ketegangan sosial merupakan situasi awal dan timbul dari
xxxiv
perangkat
sosial
yang
merupakan
fungsi-fungsi
perkawinan, sedangkan
ketegangan personal timbul dari struktur-struktur kepribadian dari pasangan yang berakar dari nilai-nilai sosial individu dan pola-pola tingkah laku yang termasuk kedalam sifat atau temperamen dari masing-masing pasangan suami-istri. Hubungan antara temperamen dan ketegangan-ketegangan perkawinan terkadang tidak kentara karena tertutupi oleh masa-masa bahagia pada awal perkawinan. Pria dan wanita yang memasuki perkawinan berusaha (umumnya tidak disadari) untuk memuaskan berbagai kebutuhan-kebutuhan psikologis mendalam yang banyak diantaranya adalah bersifat temperamen. Khairuddin (1985:135) berpendapat
bahwa temperamen dapat
didefinisikan sebagai kombinasi dari kualitas-kualitas genetika dalam diri seseorang yang menentukan reaksi-reaksi emosionalnya. Kualitas temperamen muncul dari pembawaan lahir pada umumnya walaupun dia dapat dikontrol tapi tidak dapat dibatasi. Burgess dan Wallin dalam Khairuddin (1985:137) berpendapat bahwa penyesuaian kepribadian dari temperamen tersebut merupakan sesuatu komponen yang penting dan lebih penting bagi suami dari pada istri. Istri rupanya lebih perlu menerima penyesuaian yang lebih besar dari pada suami. Apabila wanita bertemu dengan temperamen yang berbeda dia mencoba berhubungan baik dengan suaminya,
mengingat
sang
pria
lebih
memungkinkan
menghentikan
keputusannya. Perkawinan menjadi lebih penting bagi istri dan dia berkeinginan untuk mencoba kerja keras dalam melaksanakannya. Apabila kesulitan-kesulitan
xxxv
temperamen sudah melampaui batas dimana istri tidak ingin berusaha, perkawinan akan mengalami gamgguan yang serius. Terdapat pula perubahan temperamen yang dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam keluarga. Dalam kehidupan perkawinan menurut T.O. Ihromi (1999:145) tuntutan memperoleh kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri. Istri tidak lagi harus mengalah dan serba menerima apa adanya karena istripun merasa berhak untuk mendapatkan kebahagiaan dari perkawinannya. Dari sudut keluarga, orientasi utama perkawinan dan membentuk keluarga mengalami pergeseran, dari orientasi kepada anak-anak dan keberhasilan anak-anak tersebut menjadi orientasi kepada hubungan
pasangan
suami-istri
dalam
perkawinan.
Tuntutan
tersebut
mempengaruhi upaya yang dilakukan suami-istri untuk mempertahankan sebuah perkawinan. a. Perceraian dan Istri yang bekerja Kesempatan bekerja dan memperoleh penghasilan yang cukup dapat membuat seorang istri memiliki sumber daya pribadi sehingga mengurangi ketergantungan pada suami. Hai ini diperkuat oleh pernyataan dari William J. Goode (1985:154) bahwa bekerjanya sang istri meningkatkan pertentangan dalam perkawinan tapi tidak mengurangi mengurangi tingkat kebahagiaan umum di dalam keluarga. Seolah-olah ini hanya merupakan pertentangan-pertentangan internal yang meningkat dalam keluarga dengan kepuasan yang diperoleh sang wanita dari pekerjaan itu sendiri. Kesimpulan ini didukung oleh pernyataan dari F. Ivan Nye dalam buku yang sama, kenyataan bahwa perbedaan yang kecil itu
xxxvi
semakin mengecil ke arah tingkat sosio ekonomi yang lebih tinggi di mana sang ibu memperoleh lebih banyak kepuasan pribadi dari pekerjaan itu sendiri dan hasilnya. Sikap suami menentukan dalam hal ini. Keluarga di mana istri bekerja tetapi suami tidak menyetujuinya, dapat mengurangi tingkat keharmonisan rumah tangga. Jika suami setuju istrinya bekerja tetapi ia tidak bekerja demikian pula jika istri ingin bekerja tetapi tidak melakukannya, secara psikologis berdampak pada kebahagiaan perkawinan. Khairuddin (1985:155) berpendapat bahwa istri yang bekerja merupakan
suatu
kemungkinan
menjadi
sumber
ketegangan-ketegangan.
Kebanyakan wanita (para istri) yang bekerja adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan vital keluarga atau membantu anak-anaknya untuk kuliah. Pada umumnya wanita ini bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Hasil dari bekerjanya mereka akan membantu keadaan keluarga yang lebih baik dan tidak akan menyebabkan kebencian yang besar pada pihak suami. Studi Locke mendukung kesimpulan ini karena ia menemukan bahwa bekerjanya istri tidak berhubungan dengan penyesuaiannya dalam perkawinan atau terhadap suaminya. Tetapi ia pun menemukan bahwa orang yang telah bercerai lebih mungkin untuk tidak menyetujui istri yang bekerja dari pada orang yang perkawinannya berhasil. Studi yang dilakukan oleh Artie Gianopulos dan Howard E. Mitchell dalam Khairuddin (1985:159) menyimpulkan bahwa “sikap suami adalah faktor yang paling penting dalam penentuan apakah ketegangan-ketegangan yang timbul karena bekerjanya istri”. Banyak para suami yang masih merasa bahwa dengan bekerjanya istri mereka akan mengganggu peranan-peranan perkawinan mereka
xxxvii
yang lain dalam hal-hal yang suami anggap suami lebih penting. Pasanganpasangan yang tidak puas berpendapat bahwa pekerjaan istri mereka gagal untuk menjaga agar rumah tetap bersih, mengabaikan anak-anak, dan kurang memenuhinya perhatian dalam hubungan-hubungan kasih sayang. “Disisi lain banyak pula istri yang energik dan kemampuan dapat memainkan semua peranan rumah tangganya dengan memadai dan masih tetap bekerja”. (Khairuddin, 1985:160) b. Perceraian dan tingkat pendidikan Istri Para istri yang sebenarnya memiki pendidikan baik dan pengalaman tetapi memendam kemampuan karirnya tersebut demi rumah tangganya, sebagian setelah beberapa waktu mengalami “frustasi” karena tidak dapat menyalurkan keahliannya. Rasa “frustasi” tersebut dapat diekspresikan ke dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah dengan mengajukan gugatan cerai untuk memilih hidup sendiri. Kurang lebih demikian hasil penelitian dari Sri Tresnaningtyas dalam T.O. Ihromi (1999:185) Sedangkan Khairuddin (1985:155) berpandapat bahwa “wanita yang berpendidikan tinggi terlebih dalam bidang pendidikan khusus dan mempunyai keinginan untuk berhasil dalam bidangnya akan segan untuk menghentikan pekerjaannya apabila ia menikah”. Selanjutnya
Olive
Schreiner
dalam
Khairuddin
(1985:157)
mengemukakan pendapat bahwa seorang istri yang mempunyai kelebihan dalam bidang pendidikan dapat menimbulkan kesenjangan yang mencolok sehingga pola pikir pasangan suami-istri dimana pendidikan istri lebih tinggi, secara psikologis
xxxviii
berdampak pada kedudukan suami sebagai kepala keluarga yang dapat mengakibatkan sulitnya membentuk perkawinan yang bahagia. Hal ini diperkuat oleh asumsi bahwa bila istri mempunyai kemampuan lebih tinggi dari pada suami maka suami pun tetap ingin kemampuannya berada di atas istri dan tentu saja tidak mau “memainkan peranan” yang lebih rendah. Demikian pula dengan istri yang mempunyai pandangan bahwa pekerjaan rutin seorang istri dalam rumah tangga merupakan pekerjaan yang monoton dan membosankan seperti memasak, mencuci dan menjaga rumah bagi istri yang mempunyai pendidikan cukup seolah memberi kesan bahwa pekerjaan rumah tangga yang sesungguhnya mulia tersebut dapat menurunkan gengsi dan pikiran terpelajarnya. c. Patriarki dan Kekerasan Terhadap Istri Patriarki merupakan bentuk kekuasaan yang sepenuhnya dipegang oleh laki-laki dalam memimpin rumah tangga atau dalam pengertian yang lebih luas adalah suatu pola keturunan yang menghitung kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja(Ensiklopedi Nasional Indonesia,1990:256) Patriarkhi
dilanggengkan
pula
oleh
steteotipe
gender
yang
disosialisasikan dan dikembangkan melalui institusi-institusi dalam masyarakat dimana stereotipe ini menempatkan perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah dan laki-laki dianggap kuat. Kekuatan (laki-laki) itu dimanifestasikan melalui kekuatan fisik, seperti memukul, dan kekerasan psikis. Stereotype jender dalam keluarga diwujudkan dalam pola hubungan suami istri. Terdapat 4 pola
xxxix
hubungan yang terbentuk dalam keluarga sebagai buah perkawinan (Scanzoni dalam SPEK-HAM,2002) yaitu: 1. Pola Owner-Property (Pemilik barang), posisi suami sebagai pemilik sedangkan istri adalah yang dimiliki. Suami dapat memperlakukan istri semaunya seperti barang miliknya. Suami berhak mendapatkan pelayanan (seks, kebutuhan lain) sebagai konseksuensi dari kewajiban menyediakan kebutuhan ekonomi, sedangkan istri berhak mendapat perlindungan ekonomi; patuh,merawat, dan mendidik anak. Konsep perkawinan adalah bergabungnya dua orang menjadi
satu dan yang satu adalah suami.
Eksistensi istri hilang, istri hanyalah perluasan dari suami, kepentingan suami, hasrat, kebutuhan,keinginan, ambisi, tujuan, dll. Karena istri tergantung pada suami untuk sumber-sumber yang essensial, maka suami mempunyai power (kekuasaan) pada istri. 2. Pola Head-Complement (Kepala-Pelengkap), posisi suami sebagai kepala dan istri sebagai pelengkap. Hak istri dan kewajiban suami sama sama meningkat. Istri bukan lagi barang milik, tapi pasangan dengan spesialisasi tugas. Sehingga muncul spesialisasi peran dalam hubungan-hubungan ini. Kewajiban suami merupakan hak istri, sedangkan kewajiban istri merupakan hak suami. Hak istri bukan hanya perlindungan ekonomi saja tetapi juga perhatian, dan bantuan tugas. Namun istri dalam pola ini tetap berfungsi utama melayani suami, merawat anak, dan sebagainya. Istri tidak mendapat kepuasan atas dasar prestasi, tapi lewat prestasi suami. Istri boleh memberikan masukan atas keputusan yang akan diambil oleh suami.
xl
Hubungan suami istri lebih baik, bersifat pertemanan,bekerja bersama, dan saling memperhatikan. 3. Pola Brother-Sister (kakak-adik), posisi suami sebagai pencari nafkah utama dan istri juga mempunyai pekerjaan yang berpenghasilan. Posisi istri berubah menjadi partner junior (adik) dan posisi suami menjadi partner senior (kakak). Hal ini terjadi karena meningkatnya kontribusi ekonomi istri dalam keluarga. Istri cenderung mempunyai kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan keluarga, karena istri dapat mengubah posisi ekonomi menjadi kekuatan tawar menawar dengan suami. 4. Pola Equal-Partner, baik suami maupun istri sama-sama mempunyai komitmen yang tinggi terhadap karir mereka, dan karir keduanya sama pentingnya. Oleh karena itu terdapat peran yang saling menggantikan, baik peran mencari nafkah maupun menguruh rumah tangga. Peran dalam perkawinan yang tidak dapat berganti adalah sebagai suami istri. Dalam pola partner sejajar, baik suami maupun istri berkomitmen terhadap karir, dan bukan melulu bekerja. Keduanya memiliki hak yang sama untuk bekerja dan tidak ada pihak yang bekerjanya lebih penting daripada yang lainnya. Pola hubungan partner sejajar merupakan suatu peraturan dimana peran jender yang mengikat. Dalam perkawinan dalam pola ini, faktor kerja suami tidak selalu menjadi penentu dimana pasangan itu tinggal. Bisa saja pasangan itu pindah ke suatu tempat dan suami mencari kerja baru di lokasi baru atau sebaliknya.
xli
Kebanyakan perkawinan di Indonesia berada dalam tiga kategori awal, owner property, head complement, dan brother sister dimana posisi istri masih tersubordinasi oleh suami, meskipun ada pada tingkat yang berbeda berdasarkan pola hubungan yang terjadi dalam masing-masing keluarga. Pola hubungan yang tidak setara dalam keluarga merupakan embrio terjadinya tindak kekerasaan dalam keluarga khususnya kekerasaan terhadap istri. Pembagian kerja seksual yang timpang, dimana perempuan bekerja dianggap kerja sampingan sehingga penghasilannya lebih rendah daripada lakilaki, sehingga perempuan tergantung pada laki-laki. Dengan demikian ketika perempuan memdapat tindak kekerasaan dari laki-laki, maka ia tidak lagi punya pilihan untuk mengatasinya. Kekerasaan fisik yang dialami perempuan atau istri dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang istri, takut dibunuh suami,takut disiksa/dianiaya, takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak lagi, takut mengecewakan keluarga, takut diancam, takut menyusahkan orang lain, dan takut yang lainnya. Kekerasan yang diterima oleh istri mengakibatkan si istri mengalami tekanan fisik maupun batin dan itu dapat mengakibatkan pemikiran untuk melakukan gugatan cerainya kepada suami melalui Pengadilan Agama. Kekerasaan dalam rumah tangga menurut UU No. 23/2004 diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seorang perempuan, yang berakibat munculnya kesengsaraan
dan
penderitaan
secara
fisik,pemaksaan
seksual,psikologis,
dan/penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
xlii
pemaksaan,atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kendati persoalan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah memiliki payung hukum dengan terbitnya UU No. 23/2004, namun dalam implementasinya
masih
terdapat
berbagai
kendala
sehubungan
dengan
beragamnya persepsi yang tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tafsir agama yang sempit. Secara kultural, masyarakat Indonesia sarat dengan budaya yang bersifat patriarki, dimana status dan peran laki-laki dianggap lebih dominan daripada status dan peran perempuan. Istilah istri sebagai “konco wingking” atau “suwargo nunut neraka katut” adalah rekontruksi budaya yang telah berlangsung lama, yang menggambarkan domonasi laki-laki terhadap perempuan dalam rumah tangga. Upaya penghapusan kekerasaan terhadap perempuan telah menjadi kepedulian pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal ini mendorong oleh semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran bahwa kekerasaan terhadap perempuan telah membawa dampak yang sangat merugikan bagi perempuan khususnya dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada umumnya. Lahirnya UU No.23/2004 tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga merupakan putusan politik yang diambil oleh Legislatif, Pemerintah maupun masyarakat, yang patut disyukuri oleh Bangsa Indonesia, karena landasan dari pembentukan UU tersebut berkaitan dengan tujuan mencapai keutuhan dan keharmonisan keluarga yang dipandang sebagai unsur penting dalam keluarga berbangsa dan bernegara.
xliii
Selama ini masalah rumah tangga sering dipandang sebagai wilayah domestik yang bersifat sangat pribadi. Maraknya kasus-kasus kekerasaan dalam rumah tangga membuktikan bahwa penyelesaian permasalahan dalam rumah tangga lebih banyak menggunakan kekerasaan, baik yang dalam bentuk fisik, psikologis, pemaksaan seksual maupun penelantaraan rumah tangga, akhirnya menjadi wilayah pribadi yang sukar ditembus oleh pihak-pihak yang ingin turut menyelesaikan persoalan tersebut. Kekerasan yang diterima oleh istri mengakibatkan si istri mengalami tekanan fisik maupun batin dan itu dapat mengakibatkan pemikiran untuk melakukan gugatan cerainya kepada suami melalui Pengadilan Agama. Kekerasaan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas. Pengertian kriminalitas dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan.(Pandangan Islam terhadap Kekerasaan dalam Rumah Tangga oleh Asri Supatmiati). Contoh kasus kekerasaan yang dialami seorang istri asal Klaten bernama Rikania JanuAnita (20 th), ia telah mengalami kekerasan sekitar 2 tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, ia mesti mengalami nestapa berkepanjangan karena dibakar suaminya yang pencemburu. Kekerasaan sudah dialami Rika sebelum menikah dengan Irwan kekasihnya. Ia berharap dengan adanya pernikahan akan membuat sikap ringan tangan Irwan dapat berkurang atau hilang tapi kenyataannya 48 hari setelah acara pernikahan tragedi mengenaskan itu terjadi. Irwan tega membakar tubuh istrinya tersebut. Rencananya Rika akan menggugat cerai suaminya ( Nova No. 948/XIX 24-30 April 2006)
xliv
d. Poligini Poligami adalah suatu pranata perkawinan yang memungkinkan terwujudnya keluarga yang memiliki pasangan lebih dari satu. Ada dua (2) jenis poligami, yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini merupakan perkawinan yang dimana seorang suami memiliki lebih dari satu (I) isteri. Sedangkan Poliandri adalah perkawinan dimana seorang isteri memiliki lebih dari satu suami. Poligini tetap harus sepengatahuan dan seijin istri atau suami sebelumnya. Seorang istri tidak menyetujui rencana poligini suaminya sah-sah saja menggugat cerai. Masalahnya, kaum perempuan sendiri mesti jujur bahwa mereka menghindari perceraian dengan dalih masa depan diri dan anak-anaknya. Bukan masa depan mental, tapi finansial. Selain ketergantungan secara materi, kaum perempuan juga bergantung secara psikologis pada gengsi yang mereka bangun sendiri. Memberi tempat bagi perempuan lain di hati suaminya (dengan bercerai atau berpoligini) dianggap suatu kekalahan yang sangat memalukan. Diakui atau tidak, kita lebih gelisah memikirkan gunjingan orang daripada babak kehidupan kita selanjutnya (dengan atau tanpa suami). Anak-anak memang seringkali menjadi korban ketika orang tua bercerai, dan alasan ini pula yang kerap membuat istri/suami menghindari perceraian. Namun pertumbuhan psikologis anak dengan orang tua utuh yang seringkali cekcok nyatanya tidak lebih baik dari kondisi anak dengan orang tua tunggal. Yang penting bukan lengkap tidaknya orang tua tetapi kondisi dan situasi lingkungan yang nyaman dan kondusif di sekitar anak.
xlv
Sebagai contoh kasus poligini yang berakhir dengan perceraian adalah kasus cerai penyanyi Tri Utami. Pengadilan Agama Tangerang, Banten mengabulkan gugatan cerai Tri Utami kepada suaminya Andi Analta Amier. Rumah tangga yang dibangun bersama suami selama 10 tahun tersebut kandas karena Tri Utami tidak memberikan keturunan pada suaminya. Perceraian yang disepakati keduanya ini disebabkan karena Analta telah menikah lagi dengan wanita lain. Pada jumpa pers,Tri Utami mengaku tidak menentang poligini, namun sebagai manusia dia belum kuat iman untuk menerima hal itu (poligini) (sumber www.suarantb.com) Fakta diseputar poligini menunjukkan banyaknya penderitaan yang timbul akibat poligini, penderitan tersebut dialami baik terhadap istri pertama juga istri yang lainnya serta anak-anak mereka. Bentuk-bentuk penderitaan itu antara lain tekanan psikis, penganiayaan fisik, terlantarnya istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Sementara banyak poligini dilakukan tanpa alasan yang jelas. Sedangkan dalam pemberitaan yang ada, poligini mendorong tingginya tingkat perceraian yang diajukan istri (cerai gugat) (Warta Kota, 12 April 2003) e. Dihukum Hukuman adalah hal yang tak menyenangkan yang diberikan atau diperoleh untuk suatu perilaku. Biasanya hukuman bersama-sama dengan ganjaran, digunakan sebagai suatu sistem atau alat mendidik. Bila perilaku yang terjadi adalah perilaku yang tidak diharapkan atau yang diinginkan adanya pada anak didik, hukuman diberikan. Sebaliknya, bila yang terjadi adalah perilaku yang
xlvi
diinginkan,ganjaran diberikan.( E.Jusuf Nusyirwan dalam Ensiklopedi nasional Indonesia hal 489) Seorang suami yang secara nyata melakukan kejahatan dan harus dipenjara/dihukum selama sedikitnya 5 tahun atau bahkan hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,istri dapat mengajukan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Sebagai contoh kasus adalah kasus Polo (Barata Nugroho, pelawak). Akibat menggunakan narkoba, polo berurusan dengan polisi dan dijatuhi hukuman I tahun penjara, Polo berurusan dengan polisi akibat narkoba sudah dua kali. Ini membuat Anna Katharina tidak tahan lagi menanggung hidup sendirian, sehingga Anna mengajukan gugatan cerainya (sumber Disctarra.com) Dalam masyarakat Indonesia, suatu perkawinan bisa disebut sebagai suatu kewajiban sosial individu terutama terdapat dalam masyarakat yang pola hubungannya masih tradisional. Artinya perkawinan harus dijalani setiap individu ketika sudah saatnya, yaitu ketika seseorang sudah dipandang cukup umur untuk melangsungkan
perkawinan.
Berdasarkan
hal
tersebut
banyak
dijumpai
perkawinan yang dilakukan karena faktor usia, bukan kesiapan mental dari dua pasangan. Dalam hal ini pengetahuan mereka terhadap seluk beluk perkawinan sangat sedikit. Yang perempuan (dan juga keluarga pada umumnya) pahami sesudah menikah maka akan ada yang merawat, menghidupi dan memberi nafkah, artinya mereka tidak mengetahui kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. H. Kerangka berpikir Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan disamping karena kematian dan putusan hakim. Pada dasarnya Undang-undang
xlvii
Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya mempersulit terjadinya perceraian tetapi pada kenyatannya di dalam masyarakat, perkawinan banyak yang berakhir dengan perceraian. Bentuk pengajuan perceraian terdiri dari perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak) dan perceraian atas gugatan istri (cerai gugat) dengan masing-masing alasan atau penyebab yang dibenarkan dan dapat diterima oleh hakim untuk dikabulkan. Alasan atau penyebab perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat dapat ditinjau dari segi sisi administrasi hukum Pengadilan Agama dan dari sisi keluarga. Secara administrasi hukum Pengadilan Agama penyebab perceraian diantaranya karena krisis akhlak, faktor ekonomi, faktor biologi, faktor pihak ketiga dan faktor tidak ada tanggung jawab. Sedangkan dari sisi keluarga lebih menyoroti berbagai hal yang berkaitan dengan sumber ketegangan keluarga dari pihak istri. Sumber ketegangan tersebut diantaranya: 1. Istri yang bekerja 2. Tingkat pendidikan istri 3. Kekerasan yang terjadi didalam rumah tangga 4. Poligini 5. Dihukum Tingginya angka cerai gugat sekaligus membuktikan banyaknya keluarga yang tidak dapat mencapai tujuan perkawinan dan sulitnya membentuk profil keluarga yang ideal, hal ini memperlahatkan adanya perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga/kerabat serta teman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan.
xlviii
Jika digambarkan dalam bentuk bagan seperti berikut ini: Putusnya perkawinan
Cerai talak
Hukuman
Putusan hukum
Perceraian
Kematian
Istri bekerja
Cerai gugat
Pend istri
patriarkhi
Kebergantungan pada suami berkurang
Kemandirian Istri
I. Definisi Konseptual 1. Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Perceraian adalah putusnya tali perkawinan antara suami dan istri. 3. Cerai Gugat adalah perceraian atas tuntutan si istri.
Poligini
xlix
J. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian penelitian
ini
menggunakan
metode
kualitatif,
yang
didefinisikan oleh Bogdan dan Taylor sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati, dimana pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistic atau utuh ( Moleong, 2000 : 3). Penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif yang tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis, tetapi hanya menggambarkan mengenai faktorfaktor yang mendorong istri menggugat cerai suaminya. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Surakarta,karena di Solo angka perceraian atas gugatan istri dari tahun ke tahun semakin meningkat. 3. Sumber Data Menurut Loflan &Loflan (Moleong, 2000 : 112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainnya. Kata-kata dan tindakan orang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperan merupakan hasil kegiatan dari melihat, mendengar, dan bertanya. Pada penelitian kualitatif kegiatan-kegiatan ini dilakukan secara sadar, terarah dan senantiasa bertujuan memperoleh suatu informasi yang diperlukan ( Moleong, 2000 : 113 )
l
Adapun sumber data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini yaitu: -
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan yang diperoleh melalui hasil wawancara. Para informan sumber data dalam penelitian ini adalah 10 istri yang melalukan gugatan cerai, 1 wanita yang belum pernah melakukan pernikahan, seorang suami, 1 anak korban perceraian, 1 tokoh masyarakat, dan 2 pejabat Pengadilan Agama.
-
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh bukan secara langsung dari sumbernya. Dalam penelitian ini sumber data sekunder adalah data tertulis seperti sumber buku, arsip dokumen dan kepustakaan yang berkenaan dengan masalah ini.
4. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (Interviuwer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2000 : 135) didalam wawancara ini penulis akan menggunakan pedoman wawancara, dan bukan kuesioner. b. Pengamatan Pengamatan mengobtimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar dan sebagainya.
li
Pengamatan memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subyek sehingga memungkinkan pihak peneliti sebagai sumber data. Disini peneliti sebagai peneran serta peranan secara terbuka diketahui oleh umum
(Moleong, 2000 : 127)
c. Dokumen Untuk menambah keyakinan terhadap data yang diperoleh, penulis mengambil data dari sumber-sumber tertulis misalnya datadata yang dimiliki Pengadilan Agama yang memiliki data-data mengenai perceraian. d. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan yang dimaksud peneliti adalah mempelajari buku-buku, majalah-majalah, Koran-koran dan hasil penelitian yang telah ada yang berkaitan dengan tema penelitian. Karena dengan melakukan studi kepustakaan ini dapat memperkuat argumentasi dan analisis penelitian. 5. Populasi dan Sampel Penelitian a. Populasi Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang cirinya dapat diduga. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka sebagai populasinya adalah seluruh istri yang melayangkan gugatan cerainya di Pengadilan Agama Surakarta pada tahun 2005.
lii
b. Sampel Sampel dalam penelitian ini biasanya tidak ditentukan terlebih dahulu berdasarkan pada ketentuan yang mutlak, tetapi menyesuaikan pada kebutuhan di lapangan. Dalam penelitian kualitatif sampel bukan yang mewakili populasi tetapi berfungsi untuk menggali serta menemukan sejauh mungkin informasi penting. Dalam memilih sampel yang utama dalah bagaimana menentukan sampel sevariatif mungkin dan berikutnya dapat dipilih untuk memperluas informasi yang telah diperoleh. Untuk tujuan tersebut teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan purposive sampling yaitu memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah penelitian secara mendalam. 6. Validitas Data Untuk mengecek data dalam penelitian ini dipakai teknik trianggulasi. Yang menjadi informan trianggulasi adalah suami dari pelaku yang bersangkutan, tokoh masyarakat, pejabat pengadilan agama dan pengadilan negeri dan anak dari ibu yang bercerai. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data. Dalam penelitian ini, validitas data yang peneliti pakai adalah trianggulasi sumber artinya peneliti akan mengumpulkan data yang sama dari beberapa sumber data yang berbeda.
liii
Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan : a. Membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang-orang yang berpendidikan
menengah
atau
tinggi,
orang
berada,
orang
pemerintahan e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. ( Lexy J. Moleong, 2000 : 178) 7. Teknik Analisa Data Pada penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah model Analisa Interaktif. Dalam model tersebut terdapat tiga komponen yang terdiri dari: a. Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan, abstraksi data (kasar) yang ada dalam cacatan harian. Proses ini berlangsung terus-menerus sepanjang pelaksanaan penelitian,
liv
yang dimulai sebelum pengumpulan data dilakukan. Data reduksi dimulai sejak peneliti mengambil keputusan dalam memilih kasus, pertanyaan yang akan diajukan, dan tentang cara pengumpulan data yang dipakai. Data reduksi adalah bagian dari analisi, suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat focus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan (Sutopo, 1002 : 91) b. Sajian Data Adalah
suatu
rakitan
organisasi
informasi
yang
memungkinkan
kesimpulan peneliti dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisa ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Sajian data dapat disajikan dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan juga table sebagai pendukung narasinya. Susunan penyajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan banyak menolong peneliti sendiri (Sutopo, 2002 : 92) c. Penarikan kesimpulan Sejak awal pengumpulan data, peneliti sudah harus mengerti apa arti dari hal-hal yang ditemui dan melakukan pencatatan tentang pola-pol, pernyataan-pernyataan
yang
mungkin,
dan
arahan
sebab
akibat.
Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan yang perlu diverifikari dapat berupa suatu
lv
pengulangan yang meluncur cepat sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dalam pemikiran peneliti pada waktu menulis dengan melihat kembali sebentar pada field note (Sutopo, 2002 : 93) Berikut adalah skema Interactive Model of Analysis: Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan Kesimpulan Sumber : HB. Sutopo ( 2002 : 96) Dalam bentuk seperti diatas, peneliti tetap bergerak di atas empat komponen
(termasuk
proses
pengumpulan
data)
selamaproses
pengumpulan data waktu penelitian berlangsung. Sesudah pengumpulan data dari responden, kemudian bergerak diantara reduksi data, sajian data dan pemeriksaan kesimpulan (Sutopo, 2002 : 95)
lvi
BAB II DESKRIPSI LOKASI
1.
Gambaran Umum Masyarakat Surakarta Surakarta merupakan salah satu kota besar yang ada di Jawa Tengah.
Solo atau Surakarta, yang dahulunya di awal kemerdekaan berstatus Karesidenan Surakarta telah berkembang menjadi kota yang kaya dengan peninggalan budaya Jawa. Solo, The Spirit of Java, itu merupakan slogan yang melekat selain terkenal dengan semboyan Berseri, yaitu Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Kota Surakarta terletak di pertemuan antara jalur selatan Jawa dan jalur Semarang. Jalur kereta api dari jalur utara dan jalur selatan Jawa juga terhubung di kota ini. Surakarta memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing. Solo identik dengan batik sebagai pakaian khas kebesaran dan kebanggaan masyarakatnya. Batik tulis Solo yang berkualitas halus di ekspor hingga ke mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia. Pedagang batik Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak mendirikan usaha dan tempat tinggal di kawasan Laweyan (sekarang mencakup Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo, Sondakan, Batikan, dan Jongke). Tak jauh dari lokasi Keraton terdapat pasar tradisional Klewer. Pasar Klewer merupakan salah satu pasar batik terbesar di Indonesia. Di pasar ini kita dapat membeli aneka
lvii
kerajinan dan oleh-oleh khas kota Surakarta dengan harga yang terjangkau dan dapat ditawar. Bahasa daerah yang digunakan di Suarakarta adalah bahasa Jawa dialek Surakarta. Dialek ini berbeda sedikit dengan dialek-dialek Jawa yang digunakan di kota-kota lain seperti di Semarang maupun Surabaya. Perbedaannya berupa kosa kata yang digunakan, ngoko (kasar), krama (halus), dan intonasinya. Bahasa Jawa dari Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional. Beberapa makanan khas Surakarta antara lain adalah nasi liwet, nasi timlo, serabi Notosuman, intip, bakpia balong dan jenang dodol khas Solo. Galabo ini adalah salah satu program pemerintah daerah Surakarta untuk menarik minat wisatawan pecinta kuliner. Galabo terletak tidak jauh dari lokasi Keraton dan dibuka khusus hanya untuk malam hari saja. Berbagai hidangan khas Jawa dan Indonesia tersedia disini dengan harga yang relatif murah dan citarasa yang nikmat. Dalam penelitian ini penulis mengambil responden yang bertempat tinggal di berbagai tempat, antara lain: di Laweyan, Banjarsari, dan Kartasura. Di Laweyan disini diambil di daerah jajar dan Laweyan yang penduduknya padat, dan berdekatan rumah satu dengan yang lain. Daerah Laweyan yang lingkungan sekitarnya terdapat perkampungan batik yang menjadi pusatnya pembuatan batik. Kondisi lingkungan yang bisa dikatakan rawan polusi udara maupun polusi air (banyaknya limbah pembuatan batik yang dibuang di sungai). Selain Kalurahan Laweyan, penulis mengambil responden yang kebetulan bertempat tinggal di Kecamatan Banjarsari yaitu di daerah Sumber. Daerah padat penduduk yang
lviii
memiliki tingkat toleransi yang sangat tinggi. Terakhir di Kecamatan Kartasura, tepatnya di daerah Gembongan. Daerah padat penduduk yang masih menjunjung tinggi adat leluhur, misal adanya upacara tanam padi, sebelum mulai tebur benih padi dilakukan upacara tradisi (bancaan) yang dilakukan ditengah sawah. Lingkungan sekitar tidak begitu sehat karena adanya polusi udara dari sisa pembakaran tembakau yang ada di pabrik tembakau Gembongan. Perceraian yang terjadi dalam penelitian ini mengarah pada masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah dengan pendapatan rata-rata 1 juta tiap bulannya. Kehidupan yang biasa-biasa saja jauh dari kata mewah tapi cukup membuat mereka bahagia dengan keluarganya. Sebelum perceraian terjadi, kehidupan rumah tangga mereka normal dan biasa saja. Tapi setelah muncul konflik yang disebabkan karena adanya pihak ketiga (WIL), situasi keluarga yang biasanya adem ayem tiba-tiba menjadi tegang dan sering diwarnai perselisihan. Dalam penelitian ini semua responden mengalami perselisihan dan berujung dengan perceraian. Lingkungan sekitar yang padat dapat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini sebagian responden dipengaruhi oleh pihak ketiga (tetangga) dalam mengambil keputusan untuk bercerai dari suaminya. Padatnya penduduk dan dekatnya rumah membuat perselisihan yang terjadi antara suami isteri tidak luput dari pendengaran tetangga.
2.
Keterangan Gedung Pengadilan Agama Surakata Gedung Pengadilan Agama Surakarta (gedung yang ada kini) terletak
di Kampung Serengan RT. 03 RW III Kelurahan Serengan kota Surakarta Jalan
lix
Veteran No. 273 telp (0271) 636270 yang dahulunya menempati gedung bekas tempat S.O.B.S.I di Alun-alun Utara KUP. 18 Surakarta (sebelah selatan gapura Masjid Agung Surakarta) Pada tahun anggaran 1978/1979 Pengadilan Agama mendapatkan proyek pembangunan balai Sidang Pengadilan Agama seluas 150 m2 dan untuk keperluan pembangunan itu pemerintah daerah Kotamadya Surakarta pada waktu itu memberikan fasilitas sebidang tanah seluas 741 m2, yaitu bekas tanah pekuburan yang terletak di Jl. Veteran No. 169 (kini No. 273). Proyek tersebut selesai akhir tahun 1978 dan gedung tersebut dipakai/ditempati pada awal tahun 1979. Pada tahun anggaran 1981/1982 Pengadilan Agama mendapatkan proyek berupa perluasan Balai Sidang seluas 100 m2 dan pembangunan selesai diakhir tahun 1981. pada tahun anggaran 2000/2001 Pengadilan Agama mendapatkan lagi proyek pembangunan balai sidang 2 seluas 216 m2 dan dibangun 2 lantai.
lx
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN A. PROFIL RESPODEN 1. Shinta, 25 thn, karyawan toko, belum menikah. Shinta (bukan nama sebenarnya) bertempat tinggal di Kalurahan Jajar, dia merupakan bungsu dari empat bersaudara yang semuanya sudah berumah tangga. Dia bekerja sebagai penjaga etalase toko di kawasan Mendungan. Dia lulusan SMU swasta tahun 2002. Dia bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya yang pas-pasan, ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga biasa dan ayahnya bekerja sebagai satpam. Sampai sekarang Shinta belum juga menikah karena belum merasa ada yang cocok dengan dirinya. 2. Gina Puspita, 41 tahun, karyawan swsata Adalah seorang karyawan sebuah percetakan di daerah Pabelan,dia bekarja dibagian administrasi,dan sudah cukup lama bekerja. Ibu Gina bertempat tinggal di perumahan Fajar Indah blok melati bersama dengan suami, isteri muda dan kedua anak dari isteri muda. Suami ibu Gina tidak melarangnya bekerja, karena sebelum menikah memang sudah bekerja, dan gajinya bisa untuk membeli keperluan tambahan keluarga disamping uang pemberian dari suaminya yang tidak seberapa karena harus dibagi dengan isteri keduanya. Suami ibu Gina bekerja sebagai Dosen di Perguruan Tinggi Swasta, sedangkan isteri keduanya hanya menjadi ibu rumah tangga biasa,mengurus rumah dan kedua buah hatinya.
lxi
3. Ibu Warsini, 53 tahun, pengusaha batik Bertempat tinggal di daerah Laweyan, memliki usaha batik dan mempunyai 13 karyawan yang masih keluarga dan beberapa tetangganya. Usaha batik dirumahnya merupakan warisan dari orang tuanya yang sudah meninggal karena penyakit stroke. Ibu Warsini mempunyai tiga orang anak yang sudah dewasa.,yang pertama sudah menikah dan memiliki 2 anak bertempat tinggal di delanggu,yang nomer dua dan ketiga berada di Laweyan. Sehari-harinya ibu Warsini mengecek sendiri semua kinerja pegawainya, mulai dari pengecapan, pencucian, pengiriman hingga pengiriman kain hasil ke pemesan. 4. Ibu Iin, 27 tahun, tukang kredit/penjual daster Ibu Iin bertempat tinggal di Mutihan disebelah timur lapangan Sriwaru. Ibu Iin memiliki anak yang duduk dibangku SD, dulu waktu menikah usianya masih belia yaitu 18 tahun. Penghasilan ibu Iin tidak menentu karena sebagai tukang kredit daster, dia mengambil dagangan dasternya pada juragan di pasar Klewer. Suaminya bekerja bangunan, dan penghasilannya juga tidak menentu,jika tidak ada proyek, sang suami menganggur di rumah. 5. Ibu Pantes, 35 tahun Bertempat tinggal di daerah Gumpang. Ibu Pantes adalah seorang buruh tani yang hanya bekerja pas waktu tanam saja,dengan upah borongan Rp.90 rb sekali tanam. Selain sebagai buruh tani, Ibu Pantes menjadi buruh cuci dan pengasuh anak tetangga dengan gaji bulanan
lxii
Rp 250.000,00. Ibu Pantes memiliki dua orang anak yang masih kecil dan membutuhkan perhatian yang lebih dari kedua orangtuanya. Suami ibu Pantes adalah seorang supir truk dan menikah lagi dengan seorang janda beranak satu. Ibu pantes menggugat cerai suaminya karena tidak bisa berlaku adil antara isteri pertama dan kedua. 6. Ibu Ht, 33 tahun Memiliki seorang anak yang masih berusia 4,5 tahun. Bertempat tinggal di daerah Sumber dekat pom bensin. Sehari-hari ibu Ht bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup di pabrik. Apabila akan bekerja beliau menitipkan anaknya kepada orang tuanya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. 7. Ibu Lasmini,45 tahun (korban KDRT) Ibu lasmini (bukan nama sebenarnya) berusia 45 tahun dan memliki dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Ibu Lasmini bertempat tinggal di Gembongan,sebelah timur pabrik tembakau. Untuk menghidupi anak dan kedua orang tuanya yang sudah renta, ibu Lasmini harus bekerja ekstra keras. Beliau bekerja di sebuah laundry, berangkat dari rumah sekitar jam setengah tujuh pagi dan pulangnya jam empat sore, jam
kerja
selebihnya
dihitung
lembur.
Pendapatannya
perbulan
Rp 700.000 dan apabila lembur perjamnya dihitung Rp 4.000. Sebelum bercerai dari suaminya, Ibu Lasmini hanya mengandalkan uang bulanan dari suaminya yang bekerja sebagai teknisi sebuah pabrik batako.
lxiii
8. Bp Joko Sutardi, 50 tahun Merupakan suami dari Ibu Lasmini. Bekerja sebagai teknisi pabrik batako di Karanganyar. Beliau berangkat kerja jam 8 pagi sampai dengan jam 4 sore. Tetapi apabila ada kerusakan mesin di pabrik,pak Joko dipanggil walaupun itu hari libur. 9. Ibu Sumirah, saksi ibu Lasmini Bekerja
sebagai
pedagang
tahu
di
pasar
Sidodadi
Karangasem,beliau mengambil dagangan tahu di Kartasura, berangkat dari rumah didaerah Gembongan,dekat pabrik tembakau setelah subuh yaitu sekitar jam lima pagi. ibu Sumirah memiliki dua anak yang pertama kelas dua SMP dan yang kedua kelas lima SD. Suami ibu Sumirah bekerja di pabrik tekstil dengan pendapatan yang pas-pasan. Dengan alasan ekonomi, ibu Sumirah berjualan tahu dengan pendapatn bersih rata-rata 30 ribu perhari. 10. Ibu Sukini, 38 tahun, penjual karak keliling Bertempat tinggal di Griyan,Laweyan bersama dengan kedua orang tuanya dan beberapa saudara. Ibu Sukuni memiliki anak berumur 9 tahun buah cintanya dengan suami pertamanya yang berujung dengan perceraian. Untuk membiayai sekolah anak semata wayangnya ibu Sukini berjualan karak dan rambak buatannya sendiri ke kampung kampung tetangga. Sebelum bercerai ia da suaminya bekerja ditempat yang sama,namun karena krisis ekonomi, pabrik tempat dimana Ibu Sukini dan suami bekerja mem-PHK karyawannya besar-besaran. Sekarang Ibu Sukini berjualan
lxiv
keliling dengan penghasilan bersih sebulannya hanya sekitar Rp. 200rb. Ibu Sukini juga mempunyai beberapa kamar yang disewakan. 11. Ibu Sri Mulyani, 36 tahun Ibu Sri mulyani merupakan seorang pemilik rental komputer di sekitar kampus UMS,memiliki tiga orang pegawai. Selain memiliki rental Ibu Sri juga memiliki usaha salon di rumah yang selama ini beliau tinggali bersama anak semata wayangnya dan keluarganya yaitu di Jajar,Laweyan. 12. Mbak Dina, 32 tahun Bertempat tinggal di kontrakkan daerah Karangasem,Kleco. Mbak Dina bekerja sebagai karyawan honorer di salah satu Sekolah Kejuruan di Surakarta. Bercerai dengan suaminya lantaran belum dikaruniai keturunan yang sangat diinginkan orang tua suami. Dokter menyatakan keduanya sehat dan subur, hanya saja pihak suami selalu mendesak mbak Dina untuk segera memiliki anak. Pasca perceraian Mbak Dina belum punya pandangan untuk segera mencari pendamping. 13. Ibu Yeni, 41 tahun Adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Selain mengandalkan uang bulanan dari suaminya,ibu Yeni menerima jahitan baju dari tetangga maupun borongan dari pabrik tekstil sebagai sampingan. Ibu Yeni memiliki 4 orang anak, yang sulung berusia 16 tahun, duduk dikelas 2 SMK. Yang kedua berumur 13 tahun duduk dikelas 2 SMP di Madiun, dan yang bungsu kembar berusia 6 tahun dan akan masuk Sekolah Dasar.
lxv
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA CERAI GUGAT Begitu sepasang insan resmi sebagai suami isteri, maka ucapan “selamat” berdatangan “semoga bahagia selama-lamanya”, demikian salah satu bunyi ucapan itu. Memasuki kehidupan berumah tangga memang selalu dianggap sebagai awal dari kehidupan baru yang penuh madu, keindahan, cinta, kemesraan, dan kebahagiaan. Namun, tidak jarang terjadi, lain impian lain pula kenyataan. Rumah tangga yang semula diimpikan sebagai “surga dunia” ternyata tak ubahnya seperti “neraka menyiksa”. Akibatnya, banyak di antara pasangan yang tidak mampu mempertahankan kelangsungan rumah tangganya. Penyebabnya tentu saja tidak selalu sama antara satu pasangan dengan pasangan yang lainnya. Perceraian merupakan jalan terakhir pasangan dalam menyelesaikan kemelut rumah tangga mereka. Seperti yang diungkapkan oleh hakim Pengadilan Agama Surakarta, Bapak Sururi, SH: “ Perceraian menurut saya adalah salah satu jalan keluar apabila rumah tangga terus menerus terjadi perselisihan dan percekcokan apalagi dalam waktu yang cukup lama seperti kebanyakan kasus yang saya tangani, percekcokan dalam waktu yang lama bahkan ada beberapa yang sudah tidak serumah lagi dengan pasangannya”. Hal lain diungkapkan oleh H. Muhtarom M.Ag, seorang tokoh masyarakat dan juga guru, sebagai berikut: “Perceraian terjadi karena orang kurang mengerti dengan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Perceraian juga bisa terjadi karena kurangnya iman dan ambisi yang kuat, mengerti agama itu sangat penting. Kalau orang sudah mengerti dengan masalah agama maka akan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada dalam rumah tangga. Lebih baik memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada daripada memiliki pasangan baru yang bukan berarti masalah dalam rumah tangga tidak muncul lagi bukan?. Permasalahan perkawinan juga dapat disebabkan karena orang-
lxvi
orang tidak mengerti benar bagaimana memilih teman hidup, seperti : Akhlaknya bagaimana, seagama atau tidak, beriman atau tidak, anak siapa yang menyangkut bobot, bibit, dan bebetnya, dan dunianya dalam arti bekerja atau tidak, berpendidikan atau tidak. Kalau beberapa aspek tersebut disaring dengan benar maka Insya Alloh permasalahan dalam perkawinan dapat terselesaikan tanpa menyinggung tentang perceraian”. Pandangan dari tokoh masyarakat ini dapat disimpulkan kurang setuju dengan perceraian sebagai jalan keluar dari permasalahan rumah tangga. Perceraian terjadi karena orang kurang mengerti dengan hak dan kewajiban masing-masing, dan karena lemahnya iman. Untuk itu Agama sangatlah penting untuk dimengerti agar dapat menyelesaikan masalah dalam rumah tangga. Pendapat berbeda yang dikemukakan oleh seorang karyawan toko bernama Sinta (25 tahun, belum menikah) sebagai berikut: “ Menurut saya wajar dan sah-sah saja kalau memilih bercerai kalau suami isteri sudah merasa tidak ada kesamaan lagi. Kalau dipaksakan nanti keduanya bisa stress lho mbak, kalau saya ya mending pisah saja daripada hidup sama orang yang tidak sejalan dengan saya’. Menurut Panitera Pengadilan Agama, Edy Iskandar SH, dalam satu kasus perceraian dapat terkait beberapa penyebab tetapi diambil salah satu yang menjadi penyebab yang diberatkan pada penggugat. Dan yang paling banyak terjadi adalah kurang dan bahkan meninggalkan tanggung jawab dan buruknya akhlak. Pak Edy mengatakan: “ Di Solo ini, faktor penyebab perceraian yang paling banyak terjadi adalah buruknya moral suami dan kurangnya tanggung jawab. Buruknya moral disini kebanyakan karena suami gemar berjudi, mabukmabukan, suka berbuat kasar bahkan sampai ketahuan tidur dengan perempuan lain sehingga keluarga terabaikan”. Dari hasil wawancara yang dilakukan, ada beberapa faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat, yaitu :
lxvii
1.
Poligini tidak Sehat Sebelumnya penulis akan menjelaskan arti dari Poligini itu sendiri
agar menjadi lebih jelas. Menurut Abdurrahman dan Riduan Syahrini (1978:79) menyebutkan bahwa: “ Perkataan Poligami berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua pokok kata, yaitu Polu dan Gemein. Polu berarti banyak; Gemein berarti kawin. Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak. Dalam Bahasa Indonesia disebut “Permaduan”. Poligini lazimnya dirumuskan sebagai suatu sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita”. Poligini adalah “ Perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah memiliki ikatan perkawinan,dan akan melakukan perkawinan lagi dengan orang lain. Poligami sendiri terbagi menjadi dua yaitu Poligini dan Poliandri. Poligini adalah perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa perempuan dalam waktu yang bersamaan. Sedang Poliandri merupakan perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa laki-laki dalam waktu yang bersamaan. Bukan hal yang mudah untuk seorang wanita yang suaminya berpoligini, karena begitu banyak
yang
mesti
dikorbankan
dari
mulai
perasaannya,harkat
dan
martabatnya,serta tentunya keluarganya. Tidak ada satu wanitapun di muka bumi ini yang sebenarnya rela untuk menerima poligini meskipun kadarnya yang berbeda-beda. Ada yang menentang secara keras dengan minta dicerai, ada yang setuju dengan persyaratan dan mungkin juga terpaksa karena dia merasa tidak kuasa melawan suaminya. Namun semua itu tetap ada penolakan dalam diri setiap wanita,meskipun ada beberapa gelintir poligini yang dilakukan oleh laki-laki atas
lxviii
permintaan isterinya ( karena satu keadaan misalnya tidak bisa memberikan keturunan, sakit parah, dan lain-lain). Seperti yang diungkapkan oleh Gina Puspita (41 tahun) sebagai berikut: “ Delapan tahun saya hidup dengan suami saya, tapi saya tidak bisa memberikan anak untuk suami saya. Dokter menyatakan kalau rahim saya ada semacam kista. Karena suami saya sangat menginginkan anak, maka saya mengikhlaskan suami untuk menikah lagi,dengan syarat saya yang memilihkan calon isteri untuknya. Kami bertiga hidup dalam satu rumah, dan sekarang sudah ada 2 jagoan yang meramaikan rumah kami,yang sulung berumur 3.5 tahun dan yang bungsu baru berumur 4 bulan . Saya menganggapnya sebagai anak sendiri”.
Pernyataan diatas merupakan salah satu contoh dimana Poligini menjadi suatu jalan darurat yang hanya boleh dibuka kalau keadaan memaksa, misalnya isteri mandul tidak memberi keturunan atau isteri sakit sehingga tidak bisa menunaikan kewajibannya melayani suami. Tetapi tidak semua wanita dapat menerima kenyataan bahwa suami mereka meminta ijin untuk memiliki isteri lagi. Seperti pernyataan Sinta (25 tahun, belum menikah) yang berikut ini: “Menurut saya semua wanita tidak akan rela 100%, tapi kalau memang ikhlas dengan alasan tersendiri itupun haknya wanita untuk dimadu, positifnya para isteri bisa bekerja sama saling membantu dalam rumah tangga, kalau salah satu tidak sempat atau sedang tidak sehat yang satu bisa menggantikan untuk melakukan aktivitas dalam rumah tangga (bukan urusan ranjang aja loh). Yang harus dihindari kalau tidak ada “kerelaan” itu, pasti kedepannya rumah tangganya tidak akan sehat, kalau suami sulit ‘tuk diminta dengan hormat agar tidak menikah lagi,mendingan berpisah aja….. pasti dia akan selingkuh juga dengan wanita lain yang tidak bisa dinikahinya itu. Tapi kalau kita sebagai isteri mau mengurus suami dengan lebih ringan, bisa juga kan dimanfaatkan isteri ke-2. jadi kadang-kadang isteri pertama bisa istirahat deh….ada nggak ya yang rela seperti itu???” Pada dasarnya poligini yang dilakukan laki-laki adalah satu bentuk pemaksaan baik secara halus maupun terang-terangan (kasar), namun hanya
lxix
sedikit wanita yang mempunyai jiwa besar yang dapat menerima poligini ini baik secara sadar maupun tidak sadar. Dan tidak banyak wanita yang berjiwa besar di dunia ini yang bertahan dengan hidup berpoligini, sama seperti yang diceritakan Ibu Pantes (35 tahun, bukan nama sebenarnya) seorang buruh tani yang meminta cerai karena merasa diperlakukan tidak adil oleh suaminya, sebagai berikut: ” Sekitar 4 tahunan setelah suami menikah lagi dengan isteri mudanya, suami saya jarang sekali pulang ke rumah,dia lebih sering nginep di rumah isteri muda di Kartasura, dia juga jarang ngasih duit sama saya. Kemarin saja pas mbayar uang sekolah juga saya bayar sendiri. Saya sudah tidak tahan lagi mbak, saya minta cerai saja, saya tidak mau diperlakukan nggak adil seperti itu”. Kasus lain adalah kisah dari Ny. Ht seorang ibu rumah tangga dengan satu puteri yang berusia 4,5 th. Dimana beliau telah menikah selama 8 th. Selama itu suaminya berlaku baik dan tidak ada perilaku yang mencurigakan, namun pertengahan tahun 2005 suaminya mulai susah dihubungi dan selalu cerita kalau sekarang memiliki ibu angkat yang memperhatikannya,uang bulanan pun mulai berkurang bahkan di bulan September tidak ada lagi uang bulanan. Setelah diselidiki ternyata suaminya menikah lagi dengan orang lain dan beliau tidak tahu. Merasa dibohongi dan dikhianati,Ny. Ht mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. 2.
Perselisihan / Percekcokan Konflik yang berkepanjangan dan tidak ada putusnya dalam rumah
tangga membuat suasana rumah bak neraka, sudah tidak harmonis lagi antar pasangan. Perselisihan dapat terjadi karena salah satu dari pasangan memiliki ego yang besar, tidak ada yang mengalah yang membuat masalah semakin rumit. Kesalahpahaman akan terjadi karena kurangnya pengertian terhadap pasangannya,
lxx
dan itu bisa memunculkan konflik, seperti yang dialami Iin (27 tahun), bekerja sebagai tukang kredit harian: “Setelah saya jadi tukang lebon, saya dan suami saya sering sekali cekcok. Itu semua karena suami saya terlalu mengekang dan tidak percaya pada saya. Dia tidak bisa menerima dan mengerti pekerjaan saya yang harus keluar rumah setiap hari padahal saya sudah berusaha membereskan pekerjaan rumah dulu sebelum pergi kerja, tapi suami saya mengangap saya kurang tangung jawab sebagai isteri”. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami istri tidak selamanya berada dalam situasi yang damai tentram serta harmonis. Tidak ada satupun pasangan suami istri yang senang menghadapi perceraian. Namun terkadang perceraian tidak dapat dihindarkan meski berbagai upaya sudah dicoba. Ada kalanya terjadi kesalahpahaman antara suami istri, melakukan kelalaian terhadap salah satu kewajibannya dan salah satu pihak tidak mempercayai satu sama lain, sehingga dalam keadaan demikian harus ada kesadaran masing-masing pihak untuk mengalah atau meredakan masalah yang dihadapi. Namun demikian ada kalanya kesalahpahaman tersebut menjadi berlarut dan tidak dapat didamaikan, sehingga terjadi perselisihan dan pertengkaran. Jika hal tersebut terus menerus dan sulit untuk didamaikan, maka jalan keluar terakhir yang perlu ditempuh adalah perceraian. Perceraian sekarang bukan menjadi aib keluarga tetapi masyarakat menganggap perceraian merupakan suatu jalan keluar terakhir setelah mungkin terjadi perselisihan yang tak kunjung selesai. Perceraian mulai menjadi jalan keluar ataupun solusi dalam mengakhiri permasalahan dan konflik yang ada dalam sebuah keluarga. Perceraian mulai dianggap hal yang wajar bagi sebuah rumah tangga yang terus menerus bertentangan dan terus menerus rebut.
lxxi
Perceraian bisa saja terjadi dalam sebuah keluarga. Apabila kedua pihak sudah tidak bisa menghasilkan keputusan lain kecuali bercerai. Percekcokan yang terjadi,bisa diatasi kalau salah satu pihak ada yang mengalah sehingga konflik yang terjadi bisa dikendalikan dan tidak terus memuncak. 3.
Perselingkuhan Hadirnya pihak ketiga bisa memicu hadirnya perselisihan dan
percekcokan dan mengakibatkan pasangan suami isteri tidak saling percaya. Hal ini juga mengakibatkan terlintasnya memikiran untuk mengakhiri hubungan pernikahan dengan perceraian. Seperti yang dialami Ny. Lasmini sebagai berikut: ” ternyata selama tujuh bulan suami saya punya selingkuhan, waktu itu saya mergoki dia lagi jalan sama pacarnya itu mbak...... pamitnya ke kerja tapi ternyata dia lagi duaan sama wanita itu....”.
Pernyataan diatas diakui oleh suami ibu Lasmini sendiri yaitu pak Joko (buka nama sebenarnya) sebagai berikut: ” .....waktu itu memang saya ngaku dik kalau saya memang punya demenan ya....kira-kira setengah tahun, saya khilaf waktu itu. Rasa sakit hati dan merasa dikhianati memang sulit untuk dihilangkan. apalagi hadirnya pihak ketiga yang memang tidak dikehendaki. Untuk mengembalikan kepercayaan pada suami menang tidak mudah, membutuhkan waktu lama tidak semudah membalikkan telapak tangan.
4.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan
ini adalah salah satu bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Kekerasan
lxxii
terhadap perempuan merupakan tindakan yang merugikan perempuan baik secara fisik dan nonfisik. Kebanyakan orang memahami kekerasan itu hanyan sebagai tindakan fisik yang kasar saja, sehubungan bentuk perilaku menekan tidak pernah diperhitungkan sebagai kekerasan. Padahal yang disebut dengan kekerasan itu mencakup keseluruhanya, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Kebanyakan orang beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami adalah kekhilafan sesaat dan tidak banyak para pihak yang menyadari bahwa kekerasan terhadap rumah tangga itu merupakan suatu perilaku yang berulang, dan yang menjadi permasalahan di sini, banyak korban yang takut melaporkan kekerasan tersebut kepada pihak-pihak yang berwenang. Di dalam rumah tangga, konflik merupakan hal yang biasa, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, tapi semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Undang-undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan melindungi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang PKDRT ini juga tidak bertujuan untuk
lxxiii
mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. Undang-undang PKDRT ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan Rumah Tangga yang benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindakan kriminal yang dapat mengenai siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, isteri, anak bahkan pembantu rumah tangga. Ini merupakan tindakan pidana yang sulit terungkap karena masyarakat menilai kejadian itu masuk pada wilayah pribadi karena terjadinya di lingkungan rumah tangga. Selain itu, faktor tertutupnya kekerasan dalam rumah tangga lainnya adalah pemaksaan hubungan seksual terhadap isteri dengan dalih kebaikan. Istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sendiri dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan, baik secara fisik,seksual,psikologi dan atau penelantaran dalam rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemerkosaan, perampasan kemerdekaan dalam lingkup rumah tangga. Bila dipersempit, kekerasan yang tertadi dalam rumah tangga namun korbannya kebanyakan adalah perempuan atau isteri. Tatanan masyarakat Indonesia umumnya menganut sistem Patriakat. Struktur komunitas yang mendudukkan kaum laki-laki sebagai pemegang kekuasaan ini dipandang melemahkan posisi perempuan. Hal ini merupakan akibat dari pandangan sebagaian masyarakat yang menganggap kedudukan
lxxiv
masyarakat lebih rendah dari laki-laki. Selama ini banyak yang beranggapan tindak kekerasan terhadap perempuan (isteri), merupakan masalah keluarga dan sebaiknya diselesaikan dalam keluarga. Anggapan tersebut membuat KDRT terus berlangsung. Fenomena kekerasaan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari tahun ketahun dan telah banyak diketahui oleh masyarakat. Itu tidak lepas dari peran media masa yang ikut mengekspos kekerasan yang ada dengan beritanya yang selalu up to date dan akurat. Bentuk dari kekerasan cakupannya sangat luas. Seperti kekerasan fisik yaitu kekerasan yang mengakibatkan rasa sakit dan luka berat. Kekerasaan psikis yaitu kekerasan yang mengakibatkan ketakutan, hilang rasa percaya diri,hilang kemampuan bertindak hingga penderitaan psikis yang berat. Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual dan yang terakhir adalah penelantaran dimana biasanya berkaitan dengan ekonomi atau nafkah. Kekerasan terhadap perempuan sangat mungkin dilakukan oleh kalangan terdekat dalam keluarga, seperti suami, ayah, anak, saudara laki-laki atau keluarga lainnya. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi ketiak lakilaki memahami perempuan Cuma sebagai pelengkap dari laki-laki dalam ruang domistik dengan fungsi melayani suami. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran di masyarakat. Pemahaman ini menjadikan perempuan amat rentan mengalami kekerasan, baik di lingkungan keluarga maupun di luar keluarga. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan dipicu oleh 2 faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, masih adanya pola pikir lingkungan terhadap sosok perempuan telah dibangun secara sosial maupun kultural.
lxxv
Perempuan dianggap lemah lembut, cantik dan emosional, sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional dan jantan. Ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang tidak harus sesuai dengan stereotype yang ada di masyarakat. Perempuan dapat memiliki sifat kuat dan rasional, sedangkan laki-laki dapat memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Secara internal, perempuan seringkali memancing terjadinya kekerasan terhadap dirinya, contohnya kasus perkosaan yang disebabkan perempuan yang memakai pakaian yang memperlihatkan bagianbagian tubuhnya seperti pusar, dada, paha, punggung dan lainnya. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena diawali dengan adanya perselisihan, perselingkuhan ataupun alasan ekonomi. Seperti yang dialami oleh Ibu Yeni (41 tahun) bukan nama sebenarnya yang sudah 17 tahun berumah tangga, asam garam pernikahan telah ia rasakan. Namun di penghujung tahun 2007 lalu ia tidak bisa lagi hidup berdampingan bersama keluarganya. Tahun 2007 adalah tahun terberat dalam pernikahannya, ibu empat anak ini harus menelan pahit karena berulang kali dianiaya dan dihina oleh suaminya. Sambil menunjukkan bekas luka di bagian mata kirinya akibat dilempar benda keras, ibu Yeni mengatakan tidak tahu menahu penyebab hingga suaminya sering memukulnya. ”Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya, tiba-tiba saja dia sering memukul dan menghina saya, memecahkan barang-barang dan melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Entah ada apa, kondisi ekonomi kami baik-baik saja” (katanya dengan ekspresi bingung). Ibu Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam hanya bisa berdoa semoga suaminya besok tidak memukulnya atau paling tidak ada ”keajaiban” sehingga pukulan itu tidak terlalu
lxxvi
menyakitkan. Meski demikian ia tetap bersyukur karena luka itu hanya dideritanya dan bukan anaknya. Bukan harta yang membuatnya bertahan, tetapi pengabdiannya kepada keluarga. ”Kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anak mereka tumbuh sehat, ceria dan mampu meraih cita-cita mereka, dan saya sudah meminta ijin kepada anak-anak dan mereka menyetujuinya, jika saya bercerai. Saya tahu mereka juga terluka, untuk itu saya minta maaf”. Meski telah menerima tindak kekerasan dari orang terdekat, Ibu Yeni enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan menghambat mereka untuk bertindak tegas, salah satunya adalah tidak ingin memperpanjang masalah. Memperpanjang masalah sama dengan lebih menyakiti anak-anak dan menyebarluaskan aib mereka pada masyarakat. ”Saya tidak ingin masalah ini menjadi besar dengan melaporkannya ke polisi atau dengan visum, kalau suami dipanggil maka masalahnya akan semakin panjang dan saya tidak mau itu. Lebih baik meminta cerai langsung tanpa harus bertemu lagi dengan dia”. Meski telah mendapatkan dukungan dari warga sekitar tempat ia tinggal untuk melapor, namun Ibu Yeni tetap berpegang pada pendiriannya. Menurutnya akan lebih menyakitkan jika ayah anak-anak di penjara, demi menjaga perasaan putra-putrinya, ia memilih untuk menyimpannya sendiri dan bertahan. ”Jika dia ditangkap lalu bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan membiayai hidup mereka. Maka saya harus bertahan hingga anakanak cukup besar dan mampu membiayai hidup mereka sendiri. Setelah itu saya bercerai”. Kasus kekerasan juga dialami oleh Ny. Lasmini (45th, bukan nama sebenarnya) seorang ibu rumah tangga dimana pernikahan beliau selama 19 tahun
lxxvii
hancur dengan hadirnya orang ketiga. Setelah hadirnya orang ketiga maka Ny. Lasmini sering sekali tindakan kekerasan, baik secara fisik,batin maupun ekonomi. Selama 3 bulan suaminya tidak pulang kerumah dan tidak memberi nafkah. Selama itu pula Ny.Lasmini tidak melaporkan keadaannya kepada pihak yang berwajib meskipun orang-orang terdekatnya memintanya untuk melaporkan hal tersebut. Penolakan tersebut dilakukan dengan alasan suatu saat suaminya pasti akan berubah dan akan kembali kepada keluarga jika suaminya sudah tidak memiliki apa-apa dan jika telah puas. Suaminya pernah kembali dan memutuskan hubungannya dengan wanita selimgkuhannya itu, suaminya juga berjanji untuk berubah dan tidak akan berbuat kasar lagi,namun selang beberapa bulan dari dia kembali kekerasan itu terkadang masih Ny. Lasmini alami,apalagi kalau suaminya tidak bekerja dan tidak punya uang. “ Pernikahan Saya hanya bertahan 19 tahun saja mbak. Saya sangat berharap dulu suami saya berubah tapi harapan tinggal harapan. Dia tetep mukulin saya,walaupun saya tidak melakukan kesalahan. Awalnya dia tidak setuju saya minta cerai,tapi setelah dipikirkan matang-matang dia akhirnya setuju juga. Mungkin dia sudah kasihan melihat saya……” Setiap wanita korban KDRT sebagian besar cenderung melakukan tindakan yang bersifat afeksi (kasih sayang) dan cenderung memunculkan sifat menerima atas apa yang dialaminya dari pada menolak tindakan tersebut. Sikap menerima itu misalnya, menerima apa yang menjadi pilihan hidupnya, diam tanpa melawan terhadap perlakuan suami, pasrah dengan menganggap bahwa itu merupakan karakter dan watak suami dan memaafkan apa yang dilakukan oleh suami dan menggap apa yang terjadi dalam rumah tangganya sebagai cobaan dari Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh
Ny. Lasmini sebagai berikut;
lxxviii
“ Cinta saya terhadap suami sangat besar sakali, saya nrimo mau diapakan saja saya rela, wong namanya tresno,tapi lama-lama saya capek mbak….. knapa cinta saya dibalas dengan penghianatan,knapa dia masih nglirik perempuan lain. Saya ini kurang apa?? Saya nggak ngerti mbak…..”. Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang semakin terkuak menghantarkan kita semua kepada pemikiran-pemikiran baru. Kasus demi kasus terus bermunculan tak ubahnya seperti fenomena gunung es yang terus meluas meski UU tentang KDRT ini telah disahkan yaitu UU No. 23 th 2004. Namun tampaknya UU ini tidak berdampak signifikan karena terlihat dari tahun ketahun jumlah korban semakin meningkat. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebuah peristiwa domestik. Peristiwa yang hanya dikonsumsi oleh anggota rumah tangga itu saja sehingga seringkali masyarakat sekilas tidak mampu berbuat apa-apa. Seorang saksi dari Ny. Lasmini yang bernama Sumirah (bukan nama sebenarnya) memberikan keterangan sebagai berikut; “ Awalnya saya mendengar teriakan yu lasmini, minta tolong,karna rumah kami sangat dekat, lalu saya lari menuju rumah yu lasmini,saya melihat dengan mata kepala sendiri kalau yu lasmini ditampar sama pakdhe Sardi (suami Ny. Lasmini)”. Setiap tindakan yang dilakukan pasti ada konsekuansinya yang harus diterima baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain, sama halnya dengan tindak kekerasaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Tindakan kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga akan menimbulkan dampak negatif bagi tiap orang mulai dari dampak untuk korban, pelaku, bahkan hingga orang-orang yang berada disekitar kejadian. Penderitaan fisik yang dapat terjadi akibat kekerasaan ini adalah cacat tubuh seperti luka-luka bahkan hingga
lxxix
kematian. Seperti yang dialami oleh Ny. Sukini (38 tahun, penjual karak keliling), mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. pada awal pernikahan sang suami menunjukkan sikap yang baik, pulang kerja tepat waktu dan orangnya tidak macam-macam dan itu terus berlangsng hingga hampir 15 tahun. Namun ketika suami di PHK awal tahun 2004 lalu, membuat suami kesana-kemari tanpa tujuan. Ditambah lagi saat itu mendapat uang pesangon dari pabrik. Sejak saat iru uang yang dipegang untuk foya-foya dan lupa dengan isteri dan anak. Suami jadi jarang pulang. Hingga sang isteri tahu dari teman-teman suaminya kalau sekarang suaminya memiliki wanita simpanaan. Mulai dari itu kekerasan sering terjadi, dan sang isteri mulai percaya kalau suaminya memiliki wanita lain. “ Sebelumnya itu tidak terjadi apa-apa mbak…… awal perselilisan itu ketika suami saya dikeluarkan dari pabrik mbak, di PHK itu lho mbak…. Setelah dia nganggur, kerjanya cuma kluyuran ‘gak jelas. kebetulan dari pabrik itu memberikan pesangon,tapi duitnya dipake foyafoya sendiri, lupa kalau punya isteri dan anak. Kata temen saya, suami saya punya selingkuhan mbak….. kluyuran itu pasti sama wanita mbak”.
Sejak kehadiran pihak ketiga suami sering marah-marah nggak jelas, ketika ditanya sebabnya suami tidak segan-segan memukul dan menendang. Saat kejadian itu isteri hanya bisa diam dan menangis karena takut. Namun bila sudah tidak tahan dengan perlakuan suami,terkadang isteri berteriak minta tolong kepada tetangga sekitar. Pernah suatu waktu Ny. Sukini mengancam akan melapor RT namun kekerasan makin menjadi-menjadi. Berikut pernyataan Ny. Sukini; “ Kalau saya tanya masalah itu, dia malah marah-marah bahkan nggak segan-segan menampar lagi, memukul gitu mbak….., bahkan sering kali kaki itu menginjak. Ya….. sering saya mendapat pukulan, tendangan setiap dia marah. Pernah muka saya bengkak,kaki juga bengkak sampe biru-biru, itu sudah biasa mbak….badan ini sakit semua. Ya…..saya ya diam saja mbak, waktu itu saya hanya diam dan hanya bisa menangis.
lxxx
Setiap dia marah, dia memukul, menendang saya. Saya takut…..saya udah nggak kuat, saya teriak “sakit….” gitu”. Sebetulnya tidak ada hal yang terlalu sulit untuk dilakukan selama kita secara sadar menginginkan dan memperjuangkannya. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang isteri, takut dihajar suami,takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak, takut mengecewakan keluarga, dan mungkin takut menjadi janda. Kekerasaan yang berujung pada perceraian terjadi pada kehidupan rumah tangga seorang pemilik rental komputer di sekitar kampus UMS bernama Sri Mulyani ( SM, 36 tahun) warga Jajar, laweyan. Kejadian Kekerasan itu terjadi berawal ketika Sm hamil dua bulan, sang suami sudah mulai banyak main dan minum-minuman keras dengan teman-temannya. Dari situlah percekcokan bermula, karena Sm mencoba untuk bicara dengan suaminya. Ketika Sm hamil tujuh bulan kekerasan psikis mulai nyata. Ada seorang perempuan yang datang ke rumah dan ternyata adalah pacar suaminya. Tanpa memperhatikan perasaan Sm, suaminya bersenda gurau dengan wanita tersebut didepan Sm dan memintanya membuatkan minum untuknya. Perasaan Sm shock, namun membiarkan semua itu terjadi karena saat itu kondisi sedang hamil. Berikut pernyatan Sm mengenai permulaan kekerasan itu terjadi: ” Kisruh keluarga itu terjadi saat kulo hamil dua bulan. Dan dua bulan itu mungkin menandakan kalau suamiku itu kurang nyocokin hatiku. Mungkin kadang-kadang itu masih kepingin dolan, main kemana-mana sama teman-temannya. Kadang-kadang masih mau kepingin minum bareng sama temen-temennya gitu terus ya........ jadi percekcokan gitu mbak, saya gak suka dia mabuk lagi mbak. Mulai dari persoalan itulah aku mulai berselisih dengan suamiku. Trus lagi waktu kahamilanku berajak nuju bulanan ada wanita yang mencari suamiku kerumah dan ngaku pacar suamiku”.
lxxxi
Kondisi itu tetap berlangsung hingga Sm melahirkan anaknya. Saat itu kondisi keuangan mulai memburuk dan akhirnya Sm diajak ke rumah mertuanya di Bandung (karena suami asli Bandung). Sikap suami Sm kembali baik seperti dulu hingga suatu hari mendapat pinjaman modal dari orang tuanya dan bekerja sebagai pedagang meubel. Sikap suami mulai berubah lagi, jarang pulang kerumah dan ketika pulang uang hasil dagang sudah habis. Sm jarang diberi uang belanja, untuk kesehariannya Sm diberi oleh mertuanya. Sm merasa sebagai isteri sudah tidak berfungsi lagi dan merasa malu dengan mertua. Hati Sm berontak namun tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali suaminya tidak pulang, Sm selalu bertanya tapi suaminya tetap menutupi kesalahannya dengan marah-marah. Sm mencoba melawan tapi yang didapat bukan jawaban melainkan tamparan. Ketika Sm menbalas menampar dari suaminya yang didapatnya adalah suaminya malah lebih keras menampar dan menempelengnya. Semua berakhir ketika suaminya puas dan pergi begitu saja. Rasa sakit dan sendiri membuat Sm ingin kembali ke Solo namun niatnya diurungkan karena melihat anaknya yang masih balita. Sm memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya meski dalam hatinya berontak dan mulai tidak ada komunikasi dengan suaminya. ” ........mungkin untuk menutupi kesalahannya ya.....itu dia marahmarah sama saya, marah-marah terus lebih marah-marah lagi, dia nggak pulang lagi langsung pergi gitu aja. Nggak pulang ya udah saya diam, trus besoknya saya mengungkit kembali pertanyaan itu ya.....itu akhirnya dia marah-marah terus, dia marah-marah, ngomel-ngomel, saya juga ngomelngomel trus saya ditamparnya.......”. Keputusan Sm untuk tetap bertahan membuat suaminya semakin seenaknya. Suami sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang
lxxxii
merendahkan Sm, isterinya. Selain itu suaminya termasuk orang yang pencemburu karena setiap kali Sm berdandan, suaminya marah tanpa alasan, hingga pernah ketika Sm akan pergi dengan berdanan dan memakai pakaian yang agak bagus, tiba-tiba pakaian Sm tersebut berlubang oleh rokok suaminya. karena tidak tahan dengan perlakuan suami akhirnya Sm memutuskan untuk meninggalkan suami tanpa membawa anaknya karena dilarang oleh mertua dengan alasan ekonomi yang tidak mapan untuk kembali ke Solo. ” Kalau dulu itu ya.... waktu masih menikah itu ya..... namanya menikah, punya suami, kemana-mana ya harus pamit sama suami. Apalagi suamiku itu pecemburu, kadang kalau keluar sebentar saja apalagi kalau pake’ bedak pake’ lipstik. Dulu aku nggak pernah keluar pake’ bedak apalagi lipstik, waktu itu aku keluar pake’ bedak dan lipstik........ itu apa.... bajuku sudah hangus kena slomotan rokok”. Selang beberapa hari setelah kepergian Sm ke Solo, akhirnya suaminya menjemputnya agar mau kembali ke Bandung. Suaminya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Karena bujuk rayu suami dan alasan kasihan dengan anak maka Sm kembali ikut pulang dengan suaminya. Namun janji yang diberikan suaminya itu palsu, keadaan semakin parah. Kini suaminya berpacaran dengan saudaranya sendiri yang juga sudah punya suami. Setiap kali ditanya oleh Sm yang dilakukan oleh suaminya hanya marah-marah. Namun kali ini Sn hanya diam karena takut nanti akan mendapat perlakuan kasar. Suami Sn sebenarnya takut akan dituntut karena merusak rumag tangga orang. Namun, dengan bantuan orang tuanya maka kasus itupun dianggap tidak ada. Meski begitu, Sn merasa malu dan sakit hati karena semua tetangga membicarakannya. Keadaan rumah tangga yang tidak pernah berubah membuat Sm tidak betah lagi dan untuk kedua kalinya memutuskan untuk meninggalkan suami dan
lxxxiii
anaknya. Kepergiannya yang kedua ini tidak pernah dijemput lagi oleh suaminya. Semenjek kepergiannya ke Solo, Sm tidak pernah bekomunikasi dengan suaminya. Saat anaknya lulus SD, Sm berani untuk mengambil anaknya dengan alasan sekarang ekonominya sudah lebih mapan. Hingga suatu hari Sm mendengar bahwa suaminya ke Solo namun pada saat itu suaminya tidak mampir ke tempatnya untuk skedar mengunjunginya. Baru setelah itu Sm mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi, padahal saat itu statusnya masih dalam ikatan pernikahan. Tanpa pikir panjang karena sakit hati Sm mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surakarta. ”Karena sudah ya........Aku merasa masih muda, Aku masih mampu untuk kerja. Suamiku itu orangnya nggak bisa Aku pegang, ya udah Aku minta cerai aja. Waktu itu suamiku sudah punya gandengan. Aku minta cerai sama Dia, Dia nggak mau jadinya Aku yang menceraikannya. Tapi sebenarnya, waktu palu hakim diketok tiga kali hatiku sakiiiiit sekali. Pernikahanku akhirnya gagal, Aku merasa kasihan sama anakku. Aku merasa harus bagaimana setelah ini terjadi. Aku berstatus janda dan hatiku merasa sakit, merasa terkhianati...............”. Selama ini yang terbayangkan oleh Sm, menikah itu adalah membuat keluarga bahagia dan saling tukar pikiran. Namun ternyata rumah tangga yang diimpikan
tidak
tercipta,
yang
ada
keluarga
yang
dibinanya
justru
membelenggunya. ”Pada dasarnya, waktu itu Aku menganggap pernikahan itu membuat keluarga, keluarga yang bahagia bisa untuk bertukar pikiran. Walau itu harapan bisa rumah tangga paling enggak sosok orang tuaku lah meskipun enggak punya, tapi dalam kehidupan rumah tangganya itu bagus gitu lho.............. mencontoh orang tuaku. Tapi ternyata lha kok Aku yang lakukan sendiri, yang Aku terima sendiri itu pernikahanku itu kok malah ya membelenggu Aku gitu........”. Selama ini dalam kehidupan rumah tangganya Sm dianjurkan oleh orang tuanya bahwa perempuan itu harus menerima apa adanya yang diberikan
lxxxiv
oleh suaminya, pasrah dan kalaupun suami mau macam-macam ya biarkan saja yang penting masih dinafkahi oleh suami. Namun, Sm tidak mau menerima anjuran orang tuanya itu mentah-mentah, Sm tidak menolak apa yang diberikan oleh orang tuanya tapi memilah yang tidak menyakitinya. Boleh saja menerima suami apa adanya, namun dalam hal yang memang alasannya bisa diterima. Sehingga bukan berarti kita diam saja bila suami punya pacar lagi, bila kita dipukul dan dimaki-maki dengan kata-kata kotor. Rasa sakit hati ketika perceraian terjadi dan membuat Sm sedikit bersedih namun sekarang ini Sm memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia dengan anaknya. Akibat dari pernikahannya yang terdahulu, Sm masih merasa takut bia menikah lagi, takut peristiwa itu terulang kembali. Sm lebih tegar dan yang terpenting baginya adalah anaknya mendapatkan apa yang terbaik dan berharap anaknya tidak akan mengalami nasip seperti dirinya. Dari hasil wawancara, maka dapat disimpulkan bahwa korban kekerasan pada awalnya sudah tahu bila ada kekerasan dalam rumah tangganya dan korbanpun melakukan perlawanan namun karena hasilnya tidak merubah keadaan, maka korban memilih diam demi anaknya dan tetap melayani suaminya. Saat korban merasa tidak kuat lagi, korban memilih kembali ke orang tuanya namun korban luluh dengan bujukan dan rayuan suami untuk kembali kepadanya dan kekerasan itu kembali terulang. Korban tidak mencoba untuk melawan karena takut mendaptkan kekerasan yang lebih. Dalam kondisi itu korban memilih pergi meninggalkan suaminya untuk kembali kepada orang tuanya. Korban merasa
lxxxv
dirinya disakiti oleh suaminya maka memutuskan untuk mengakhiri penikahannya dan hidup tanpa kekerasan lagi. Dari hasil penelitian dan wawancara, dapat diperoleh data, sikap atau perlakukan isteri setelah memperoleh perlakuan kasar suami ada yang memilih untuk tetap bersama suaminya meski mereka mengalami kekerasan dan menganggap bukan suatu masalah yang serius. Pernyataan ini sesuai dengan yang dialami Ny. Hastuti, 48 th, seorang buruh tani, sebagai berikut; “ Suami saya kerap memaki-maki saya kalau sedang marah,tapi saya menganggap hal itu biasa, karma suami saya memang sifatnya seperti itu, tempramennya tinggi, jadi ya…..sudah biasa”. Hal seperti diatas terjadi karena isteri belum mengetahui dan mengerti hak dari isteri dan kewajiban dari suami. Ini terbukti ada yang sudah mengerti hakny sebagai isteri untuk mengakhiri pernikahan yang dijalani karena sudah tidak tahan dengan perlakuan suami yang kasar. Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat terjdi kapan saja,dimana saja dan tanpa mengenal waktu dan tempatnya. berawal dari sebuah perkawinan yang diharapkan mampu menyatukan dua jiwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun tidak semua harapan itu mampu nyata. Bagi mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rumah tangga yang mereka jalani justru menjadi belenggu, dimana mereka harus rela mendapatkan pemukulan hanya untuk mempertahankan rumah tangganya. Pilihan sendiri dalam menentukan pasangan hidup bukan berarti kita akan lepas dari kekerasan dalam rumah tangga, bahkan lama perkawinan juga tidak menjamin bahwa suatu hubungan itu akan terjaga keharmonisannya. Terkadang diawal pernikahan pun
lxxxvi
ada sebagian orang yang mengalami kekerasan yang terkadang tanpa mereka sadari bahwa itu adalah suatu kekerasan. Kekerasan yang terjadi pertama atau sudah beberapa kali terjadi pada isteri, dan memandang bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan terjadi pengingkaran pada diri korban dimana mereka tidak mengakui adanya kekerasan , bila belum ada luka fisik yang diterima. Kebanyakan korban tidak menyadari adanya kekerasan atau bahkan melakukan penyangkalan, baru setelah mereka merasa tidak mampu menahan semua penderitaan sendiri mereka meminta bantuan meski mereka tetap melayani suaminya. Isteri yang mengalami kekerasan itu mengalami lima tahap yaitu; penyangkalan, menyalahkan diri sendiri, mencari pertolongan, sikap mendua, dan hidup tanpa kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian, ternyata jenis kekerasan yang terjadi pada individu itu tidak tunggal melainkan kompleks dan itu bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. seperti yang terjadi pada subyek yang kesemuanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kompleks dan hampir semuanya sama, yaitu fisik, psikis dan ekonomi. Namun sayangnya masih banyak orang yang mengetahui batasan dari kekerasan itu sendiri yang mereka tahu bahwa ketika mereka mengalami luka fisik barulah meraka mengatakan mereka mengalami kekerasan, padahal sebenarnya jauh mereka mengalami kekerasan fisik pastilah kekerasan yang lain telah mengawalinya. Padahal sebenarnya kekerasan fisik merupakan kekerasan yang terparah. Tidak berbeda dengan jenis kekerasan, faktor penyebab kekerasan terhadap istri pun bukan sebuah persoalan yang disebabkan karena faktor tunggal, melainkan pengaruh yang saling menguatkan satu sama
lxxxvii
lain. Ungkapan ini merupakan hasil penelitian dimana kekerasan yang terjadi pada sumea subjek disebabkan karena faktor yang kesemuanya saling berkaitan dan seperti mata rantai yang saling berhubungan. Namun pada dasarnya semua lebih berpangkal pada budaya patriarki yang masih membedakan peran sosial serta karakteristik antara laki-laki dan perempuan di mana memandang bahwa pria adalah superior dan perempuan selalu di bawah. Keputusan yang diambil oleh setiap korban kekerasan terhadap istri akan menimbulkan satu reaksi baru. Diam ketika kekerasan terjadi sebenarnya akan memberikan kesempatan untuk pelaku kekerasan melakukan kekerasan berikutnya bahkan ketahap yang lebih besar dampaknya. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa subjek memutuskan untuk tidak melawan, membiarkan suaminya melakukan kekerasan maka yang terjadi adalah dilain hari meraka mengalami kekerasan yang jauh lebih menyakitkan dari pada sebelumnya. Namun ketika mereka memutuskan untuk melawan maka yang terjadi adalah intensitas kekerasan berkurang bahkan bisa tidak ada sama sekali meskipun itu semua membutuhkan waktu yang cukup lama. Semua itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan, di mana kekerasan terhadap istri itu melewati 3 tahap di mana ada ketegangan antara suami istri yang yang disebabkan karena adanya perselisihan, kemudian tahap di mana adanya pemukulan akut bisa berbentuk kekerasan fisik, dan tahap ketiga adalah dimana suami menyadari perbuatannya dan mulai menyesali. Namun tahap ini bukan sebuah skema yang akan selesai bila telah mencapai tahap terakhir, namun ini merupakan sebuah siklus yang akan terus berputar dan itu akan berhenti jika keputusan yang diambil
lxxxviii
adalah melawan walaupun waktu yang dibutuhkan bukan sebentar tetapi butuh proses yang panjang. Kebiasaan (pandangan gender partriaki) inilah yang masih ada di masyarakat kita, dan keberadaannya masih begitu kental apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh korban kekerasan terhadap istri. Bagi orang Jawa kondisi yang sejahtera atau dalam kata lain tenteram bahagia ini sangat penting, mereka rela melakukan apa saja hanya demi mempertahankan kondisi yang sejahtera meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Pandangan ini sama dengan seperti apa yang ada dalam pandangan korban kekerasan terhadap istri dimana mereka rela untuk bertahan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya meskipun mereka tinggal dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau dengan kata lain keseharian meraka diwarnai dengan kekerasan psikis, fisik, maupun ekonomi. Namun tidak semua korban kekerasan terhadap istri memiliki pandangan yang sama, ada golongan minoritas yang mereka memang mempertahankan kesejahteraan
namun
bukan
berarti
rela
untuk
melakukan
apapun.
Mempertahankan kesejahteraan bukan berarti membiarkan diri mereka untuk disakiti. Mereka mampu memberikan batasan sampai sejauh mana mereka “nrimo”. Dan hasilnya ternyata mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin lebih baik dari pada sebelumnya. Keputusan untuk bertahan bukan hanya disebabkan karena budaya patriarki saja namun ada kalanya mereka memilih bertahan karena anak atau bahkan karena mereka ingin terlihat sebagai
lxxxix
keluarga yang sempurna dan memperlihatkan ke dunia luar bahwa keluarganya baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja, karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan bagi sesama, seharusnya kaum pria harus dapat menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga, tetapi buktinya penghargaan itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara, maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari. 5.
Suami tidak Bertanggung jawab Banyak isteri yang mengajukan cerai karena terpaksa, suami mereka
meninggalkan keluarga selama bertahun-tahun walaupun sang isteri berusaha mencari informasi mengenai keberadaan suaminya, tetapi tidak juga diketahui keberadaannya. Kemapanan ekonomi membuat mereka berani untuk mengajukan cerai di Pengadilan walaupun tidak disertai suami. Penggugat hanya mengajukan saksi sebagai orang yang dapat memberikan kesaksian bahwa apa yang dialaminya benar. Seperti yang dialami Warsini (31 tahun) warga Laweyan yang memiliki usaha batik, sebagai berikut: “ Saya tidak pernah memikirkan sampai sejauh itu untuk bercerai, tapi saya tidak tahu dimana suami saya berada, terakhir dia kasih kabar kalau dia menjadi TKI di Malaysia,itupun sudah 4 tahun yang lalu. Memang sebelumnya kami seringkali selisih paham karena suami saya pengangguran apalagi melihat kondisi ekonomi saat itu masih pas-pasan dan kami memiliki dua anak yang masih kecil. Perceraian ini merupakan jalan yang terbaik daripada saya terus berharap sama suami yang nggak tanggung jawab seperti dia”.
xc
6.
Tidak Mempunyai Keturunan Suatu perkawinan yang harmonis haruslah disertai dengan keturunan
yang diharapkan. Itu bila dilihat dari salah satu pihak. Sebenarnya, meski tanpa keturunan,ada perkawinan yang bisa bahagia. Sebaliknya meski sudah dikaruniai keturunan, tidak otomatis perkawinan akan bahagia. Seperti yang dialami oleh Dina bukan nama sebenarnya (usia 32 tahun) sebagai berikut: ”Kami menikah sudah 6 tahun tapi sampai sekarang kami belum juga dikaruniai keturunan,mungkin Tuhan belum memberikan kepercayaan kepada kami untuk mengasuh anak. Kami berdua sepakat untuk mengakhiri perkawinan karena dari pihak suami selalu mendesak dan saya pun sudah tidak tahan lagi”. Bagi Dina yang mempunyai masa lalu buruk, keturunan sangat diharapkan, lantaran ia ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa dirinya masih
seorang
wanita
sejati,
tapi
karena
keluarga
suaminya
selalu
merendahkannya maka dia tak tahan untuk menggugat cerai suaminya. Perceraian merupakan keputusan yang baik bagi keluarga daripada rumah tangga tidak rukun apalagi kalau pasangan mereka sudah dibumbuhi dengan perselisihan soal kehadiran anak .
C. PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini, penulis hanya menyoroti alasan yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai terhadap suaminya, yaitu adanya kekerasan dalam rumah tangga, karena kekerasan dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah satu penyebab
xci
kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetanpenderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita. Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap istri sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik. Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena diawali dengan adanya perselisihan, perselingkuhan ataupun alasan ekonomi. Seperti yang dialami oleh Ibu Yeni (41 tahun) bukan nama sebenarnya yang sudah 17 tahun berumah tangga, asam garam pernikahan telah ia rasakan. Namun di penghujung tahun 2007 lalu ia tidak bisa lagi hidup berdampingan bersama keluarganya. Tahun 2007 adalah tahun terberat dalam pernikahannya, ibu empat anak ini harus menelan pahit karena berulang kali dianiaya dan dihina oleh suaminya. Sambil menunjukkan bekas luka di bagian mata kirinya akibat dilempar benda keras, ibu Yeni mengatakan tidak tahu menahu penyebab hingga suaminya sering memukulnya. ”Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan suami saya, tiba-tiba saja dia sering memukul dan menghina saya, memecahkan barang-barang dan
xcii
melampiaskan kemarahannya pada anak-anak. Entah ada apa, kondisi ekonomi kami baik-baik saja” (katanya dengan ekspresi bingung). Ibu Yeni mengaku telah cukup bersabar dan bertahan menghadapi ulah suaminya tersebut. Setiap malam hanya bisa berdoa semoga suaminya besok tidak memukulnya atau paling tidak ada ”keajaiban” sehingga pukulan itu tidak terlalu menyakitkan. Meski demikian ia tetap bersyukur karena luka itu hanya dideritanya dan bukan anaknya. Bukan harta yang membuatnya bertahan, tetapi pengabdiannya kepada keluarga. ”Kebahagiaan seorang ibu adalah melihat anak-anak mereka tumbuh sehat, ceria dan mampu meraih cita-cita mereka, dan saya sudah meminta ijin kepada anak-anak dan mereka menyetujuinya, jika saya bercerai. Saya tahu mereka juga terluka, untuk itu saya minta maaf”. Meski telah menerima tindak kekerasan dari orang terdekat, Ibu Yeni enggan melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan menghambat mereka untuk bertindak tegas, salah satunya adalah tidak ingin memperpanjang masalah. Memperpanjang masalah sama dengan lebih menyakiti anak-anak dan menyebarluaskan aib mereka pada masyarakat. ”Saya tidak ingin masalah ini menjadi besar dengan melaporkannya ke polisi atau dengan visum, kalau suami dipanggil maka masalahnya akan semakin panjang dan saya tidak mau itu. Lebih baik meminta cerai langsung tanpa harus bertemu lagi dengan dia”. Meski telah mendapatkan dukungan dari warga sekitar tempat ia tinggal untuk melapor, namun Ibu Yeni tetap berpegang pada pendiriannya. Menurutnya akan lebih menyakitkan jika ayah anak-anak di penjara, demi menjaga perasaan putra-putrinya, ia memilih untuk menyimpannya sendiri dan bertahan.
xciii
”Jika dia ditangkap lalu bagaimana dengan anak-anak, siapa yang akan membiayai hidup mereka. Maka saya harus bertahan hingga anakanak cukup besar dan mampu membiayai hidup mereka sendiri. Setelah itu saya bercerai”. Kasus kekerasan juga dialami oleh Ny. Lasmini (45th, bukan nama sebenarnya) seorang ibu rumah tangga dimana pernikahan beliau selama 19 tahun hancur dengan hadirnya orang ketiga. Setelah hadirnya orang ketiga maka Ny. Lasmini sering sekali tindakan kekerasan, baik secara fisik,batin maupun ekonomi. Selama 3 bulan suaminya tidak pulang kerumah dan tidak memberi nafkah. Selama itu pula Ny.Lasmini tidak melaporkan keadaannya kepada pihak yang berwajib meskipun orang-orang terdekatnya memintanya untuk melaporkan hal tersebut. Penolakan tersebut dilakukan dengan alasan suatu saat suaminya pasti akan berubah dan akan kembali kepada keluarga jika suaminya sudah tidak memiliki apa-apa dan jika telah puas. Suaminya pernah kembali dan memutuskan hubungannya dengan wanita selimgkuhannya itu, suaminya juga berjanji untuk berubah dan tidak akan berbuat kasar lagi,namun selang beberapa bulan dari dia kembali kekerasan itu terkadang masih Ny. Lasmini alami,apalagi kalau suaminya tidak bekerja dan tidak punya uang. “ Pernikahan Saya hanya bertahan 19 tahun saja mbak. Saya sangat berharap dulu suami saya berubah tapi harapan tinggal harapan. Dia tetep mukulin saya,walaupun saya tidak melakukan kesalahan. Awalnya dia tidak setuju saya minta cerai,tapi setelah dipikirkan matang-matang dia akhirnya setuju juga. Mungkin dia sudah kasihan melihat saya……” Setiap wanita korban KDRT sebagian besar cenderung melakukan tindakan yang bersifat afeksi (kasih sayang) dan cenderung memunculkan sifat menerima atas apa yang dialaminya dari pada menolak tindakan tersebut. Sikap menerima itu misalnya, menerima apa yang menjadi pilihan hidupnya, diam tanpa
xciv
melawan terhadap perlakuan suami, pasrah dengan menganggap bahwa itu merupakan karakter dan watak suami dan memaafkan apa yang dilakukan oleh suami dan menggap apa yang terjadi dalam rumah tangganya sebagai cobaan dari Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Ny. Lasmini sebagai berikut; “ Cinta saya terhadap suami sangat besar sakali, saya nrimo mau diapakan saja saya rela, wong namanya tresno,tapi lama-lama saya capek mbak….. knapa cinta saya dibalas dengan penghianatan,knapa dia masih nglirik perempuan lain. Saya ini kurang apa?? Saya nggak ngerti mbak…..”. Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang semakin terkuak menghantarkan kita semua kepada pemikiran-pemikiran baru. Kasus demi kasus terus bermunculan tak ubahnya seperti fenomena gunung es yang terus meluas meski UU tentang KDRT ini telah disahkan yaitu UU No. 23 th 2004. Namun tampaknya UU ini tidak berdampak signifikan karena terlihat dari tahun ketahun jumlah korban semakin meningkat. Apalagi kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebuah peristiwa domestik. Peristiwa yang hanya dikonsumsi oleh anggota rumah tangga itu saja sehingga seringkali masyarakat sekilas tidak mampu berbuat apa-apa. Seorang saksi dari Ny. Lasmini yang bernama Sumirah (bukan nama sebenarnya) memberikan keterangan sebagai berikut; “ Awalnya saya mendengar teriakan yu lasmini, minta tolong,karna rumah kami sangat dekat, lalu saya lari menuju rumah yu lasmini,saya melihat dengan mata kepala sendiri kalau yu lasmini ditampar sama pakdhe Sardi (suami Ny. Lasmini)”. Setiap tindakan yang dilakukan pasti ada konsekuansinya yang harus diterima baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain, sama halnya dengan tindak kekerasaan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Tindakan
xcv
kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga akan menimbulkan dampak negatif bagi tiap orang mulai dari dampak untuk korban, pelaku, bahkan hingga orang-orang yang berada disekitar kejadian. Penderitaan fisik yang dapat terjadi akibat kekerasaan ini adalah cacat tubuh seperti luka-luka bahkan hingga kematian. Seperti yang dialami oleh Ny. Sukini
(38 tahun, penjual karak
keliling), mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. pada awal pernikahan sang suami menunjukkan sikap yang baik, pulang kerja tepat waktu dan orangnya tidak macam-macam dan itu terus berlangsng hingga hampir 15 tahun. Namun ketika suami di PHK awal tahun 2004 lalu, membuat suami kesanakemari tanpa tujuan. Ditambah lagi saat itu mendapat uang pesangon dari pabrik. Sejak saat iru uang yang dipegang untuk foya-foya dan lupa dengan isteri dan anak. Suami jadi jarang pulang. Hingga sang isteri tahu dari teman-teman suaminya kalau sekarang suaminya memiliki wanita simpanaan. Mulai dari itu kekerasan sering terjadi, dan sang isteri mulai percaya kalau suaminya memiliki wanita lain. “ Sebelumnya itu tidak terjadi apa-apa mbak…… awal perselilisan itu ketika suami saya dikeluarkan dari pabrik mbak, di PHK itu lho mbak…. Setelah dia nganggur, kerjanya cuma kluyuran ‘gak jelas. kebetulan dari pabrik itu memberikan pesangon,tapi duitnya dipake foyafoya sendiri, lupa kalau punya isteri dan anak. Kata temen saya, suami saya punya selingkuhan mbak….. kluyuran itu pasti sama wanita mbak”.
Sejak kehadiran pihak ketiga suami sering marah-marah nggak jelas, ketika ditanya sebabnya suami tidak segan-segan memukul dan menendang. Saat kejadian itu isteri hanya bisa diam dan menangis karena takut. Namun bila sudah tidak tahan dengan perlakuan suami,terkadang isteri berteriak minta tolong kepada
xcvi
tetangga sekitar. Pernah suatu waktu Ny. Sukini mengancam akan melapor RT namun kekerasan makin menjadi-menjadi. Berikut pernyataan Ny. Sukini; “ Kalau saya tanya masalah itu, dia malah marah-marah bahkan nggak segan-segan menampar lagi, memukul gitu mbak….., bahkan sering kali kaki itu menginjak. Ya….. sering saya mendapat pukulan, tendangan setiap dia marah. Pernah muka saya bengkak,kaki juga bengkak sampe biru-biru, itu sudah biasa mbak….badan ini sakit semua. Ya…..saya ya diam saja mbak, waktu itu saya hanya diam dan hanya bisa menangis. Setiap dia marah, dia memukul, menendang saya. Saya takut…..saya udah nggak kuat, saya teriak “sakit….” gitu”. Sebetulnya tidak ada hal yang terlalu sulit untuk dilakukan selama kita secara sadar menginginkan dan memperjuangkannya. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali menjadi berlarut-larut karena rasa takut sang isteri, takut dihajar suami,takut tidak bisa bertemu dengan anak-anak, takut mengecewakan keluarga, dan mungkin takut menjadi janda. Kekerasaan yang berujung pada perceraian terjadi pada kehidupan rumah tangga seorang pemilik rental komputer di sekitar kampus UMS bernama Sri Mulyani ( SM, 36 tahun) warga Jajar, laweyan. Kejadian Kekerasan itu terjadi berawal ketika Sm hamil dua bulan, sang suami sudah mulai banyak main dan minum-minuman keras dengan teman-temannya. Dari situlah percekcokan bermula, karena Sm mencoba untuk bicara dengan suaminya. Ketika Sm hamil tujuh bulan kekerasan psikis mulai nyata. Ada seorang perempuan yang datang ke rumah dan ternyata adalah pacar suaminya. Tanpa memperhatikan perasaan Sm, suaminya bersenda gurau dengan wanita tersebut didepan Sm dan memintanya membuatkan minum untuknya. Perasaan Sm shock, namun membiarkan semua itu terjadi karena saat itu kondisi sedang hamil. Berikut pernyatan Sm mengenai permulaan kekerasan itu terjadi:
xcvii
” Kisruh keluarga itu terjadi saat kulo hamil dua bulan. Dan dua bulan itu mungkin menandakan kalau suamiku itu kurang nyocokin hatiku. Mungkin kadang-kadang itu masih kepingin dolan, main kemana-mana sama teman-temannya. Kadang-kadang masih mau kepingin minum bareng sama temen-temennya gitu terus ya........ jadi percekcokan gitu mbak, saya gak suka dia mabuk lagi mbak. Mulai dari persoalan itulah aku mulai berselisih dengan suamiku. Trus lagi waktu kahamilanku berajak nuju bulanan ada wanita yang mencari suamiku kerumah dan ngaku pacar suamiku”. Kondisi itu tetap berlangsung hingga Sm melahirkan anaknya. Saat itu kondisi keuangan mulai memburuk dan akhirnya Sm diajak ke rumah mertuanya di Bandung (karena suami asli Bandung). Sikap suami Sm kembali baik seperti dulu hingga suatu hari mendapat pinjaman modal dari orang tuanya dan bekerja sebagai pedagang meubel. Sikap suami mulai berubah lagi, jarang pulang kerumah dan ketika pulang uang hasil dagang sudah habis. Sm jarang diberi uang belanja, untuk kesehariannya Sm diberi oleh mertuanya. Sm merasa sebagai isteri sudah tidak berfungsi lagi dan merasa malu dengan mertua. Hati Sm berontak namun tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap kali suaminya tidak pulang, Sm selalu bertanya tapi suaminya tetap menutupi kesalahannya dengan marah-marah. Sm mencoba melawan tapi yang didapat bukan jawaban melainkan tamparan. Ketika Sm menbalas menampar dari suaminya yang didapatnya adalah suaminya malah lebih keras menampar dan menempelengnya. Semua berakhir ketika suaminya puas dan pergi begitu saja. Rasa sakit dan sendiri membuat Sm ingin kembali ke Solo namun niatnya diurungkan karena melihat anaknya yang masih balita. Sm memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya meski dalam hatinya berontak dan mulai tidak ada komunikasi dengan suaminya. ” ........mungkin untuk menutupi kesalahannya ya.....itu dia marahmarah sama saya, marah-marah terus lebih marah-marah lagi, dia nggak
xcviii
pulang lagi langsung pergi gitu aja. Nggak pulang ya udah saya diam, trus besoknya saya mengungkit kembali pertanyaan itu ya.....itu akhirnya dia marah-marah terus, dia marah-marah, ngomel-ngomel, saya juga ngomelngomel trus saya ditamparnya.......”. Keputusan Sm untuk tetap bertahan membuat suaminya semakin seenaknya. Suami sering marah-marah dan mengeluarkan kata-kata kotor yang merendahkan Sm, isterinya. Selain itu suaminya termasuk orang yang pencemburu karena setiap kali Sm berdandan, suaminya marah tanpa alasan, hingga pernah ketika Sm akan pergi dengan berdanan dan memakai pakaian yang agak bagus, tiba-tiba pakaian Sm tersebut berlubang oleh rokok suaminya. karena tidak tahan dengan perlakuan suami akhirnya Sm memutuskan untuk meninggalkan suami tanpa membawa anaknya karena dilarang oleh mertua dengan alasan ekonomi yang tidak mapan untuk kembali ke Solo. ” Kalau dulu itu ya.... waktu masih menikah itu ya..... namanya menikah, punya suami, kemana-mana ya harus pamit sama suami. Apalagi suamiku itu pecemburu, kadang kalau keluar sebentar saja apalagi kalau pake’ bedak pake’ lipstik. Dulu aku nggak pernah keluar pake’ bedak apalagi lipstik, waktu itu aku keluar pake’ bedak dan lipstik........ itu apa.... bajuku sudah hangus kena slomotan rokok”. Selang beberapa hari setelah kepergian Sm ke Solo, akhirnya suaminya menjemputnya agar mau kembali ke Bandung. Suaminya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Karena bujuk rayu suami dan alasan kasihan dengan anak maka Sm kembali ikut pulang dengan suaminya. Namun janji yang diberikan suaminya itu palsu, keadaan semakin parah. Kini suaminya berpacaran dengan saudaranya sendiri yang juga sudah punya suami. Setiap kali ditanya oleh Sm yang dilakukan oleh suaminya hanya marah-marah. Namun kali ini Sn hanya diam karena takut nanti akan mendapat perlakuan kasar. Suami Sn sebenarnya
xcix
takut akan dituntut karena merusak rumag tangga orang. Namun, dengan bantuan orang tuanya maka kasus itupun dianggap tidak ada. Meski begitu, Sn merasa malu dan sakit hati karena semua tetangga membicarakannya. Keadaan rumah tangga yang tidak pernah berubah membuat Sm tidak betah lagi dan untuk kedua kalinya memutuskan untuk meninggalkan suami dan anaknya. Kepergiannya yang kedua ini tidak pernah dijemput lagi oleh suaminya. Semenjek kepergiannya ke Solo, Sm tidak pernah bekomunikasi dengan suaminya. Saat anaknya lulus SD, Sm berani untuk mengambil anaknya dengan alasan sekarang ekonominya sudah lebih mapan. Hingga suatu hari Sm mendengar bahwa suaminya ke Solo namun pada saat itu suaminya tidak mampir ke tempatnya untuk skedar mengunjunginya. Baru setelah itu Sm mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi, padahal saat itu statusnya masih dalam ikatan pernikahan. Tanpa pikir panjang karena sakit hati Sm mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Surakarta. ”Karena sudah ya........Aku merasa masih muda, Aku masih mampu untuk kerja. Suamiku itu orangnya nggak bisa Aku pegang, ya udah Aku minta cerai aja. Waktu itu suamiku sudah punya gandengan. Aku minta cerai sama Dia, Dia nggak mau jadinya Aku yang menceraikannya. Tapi sebenarnya, waktu palu hakim diketok tiga kali hatiku sakiiiiit sekali. Pernikahanku akhirnya gagal, Aku merasa kasihan sama anakku. Aku merasa harus bagaimana setelah ini terjadi. Aku berstatus janda dan hatiku merasa sakit, merasa terkhianati...............”. Selama ini yang terbayangkan oleh Sm, menikah itu adalah membuat keluarga bahagia dan saling tukar pikiran. Namun ternyata rumah tangga yang diimpikan
tidak
membelenggunya.
tercipta,
yang
ada
keluarga
yang
dibinanya
justru
c
”Pada dasarnya, waktu itu Aku menganggap pernikahan itu membuat keluarga, keluarga yang bahagia bisa untuk bertukar pikiran. Walau itu harapan bisa rumah tangga paling enggak sosok orang tuaku lah meskipun enggak punya, tapi dalam kehidupan rumah tangganya itu bagus gitu lho.............. mencontoh orang tuaku. Tapi ternyata lha kok Aku yang lakukan sendiri, yang Aku terima sendiri itu pernikahanku itu kok malah ya membelenggu Aku gitu........”. Selama ini dalam kehidupan rumah tangganya Sm dianjurkan oleh orang tuanya bahwa perempuan itu harus menerima apa adanya yang diberikan oleh suaminya, pasrah dan kalaupun suami mau macam-macam ya biarkan saja yang pentin masih dinafkahi oleh suami. Namun, Sm tidak mau menerima anjuran orang tuanya itu mentah-mentah, Sm tidak menolak apa yang diberikan oleh orang tuanya tapi memilah yang tidak menyakitinya. Boleh saja menerima suami apa adanya, namun dalam hal yang memang alasannya bisa diterima. Sehingga bukan berarti kita diam saja bila suami punya pacar lagi, bila kita dipukul dan dimaki-maki dengan kata-kata kotor. Rasa sakit hati ketika perceraian terjadi dan membuat Sm sedikit bersedih namun sekarang ini Sm memiliki kehidupan yang jauh lebih bahagia dengan anaknya. Akibat dari pernikahannya yang terdahulu, Sm masih merasa takut bia menikah lagi, takut peristiwa itu terulang kembali. Sm lebih tegar dan yang terpenting baginya adalah anaknya mendapatkan apa yang terbaik dan berharap anaknya tidak akan mengalami nasip seperti dirinya. Dari hasil wawancara, maka dapat disimpulkan bahwa korban kekerasan pada awalnya sudah tahu bila ada kekerasan dalam rumah tangganya dan korbanpun melakukan perlawanan namun karena hasilnya tidak merubah keadaan, maka korban memilih diam demi anaknya dan tetap melayani suaminya.
ci
Saat korban merasa tidak kuat lagi, korban memilih kembali ke orang tuanya namun korban luluh dengan bujukan dan rayuan suami untuk kembali kepadanya dan kekerasan itu kembali terulang. Korban tidak mencoba untuk melawan karena takut mendaptkan kekerasan yang lebih. Dalam kondisi itu korban memilih pergi meninggalkan suaminya untuk kembali kepada orang tuanya. Korban merasa dirinya
disakiti
oleh
suaminya
maka
memutuskan
untuk
mengakhiri
pernikahannya dan hidup tanpa kekerasan lagi. Dari hasil penelitian dan wawancara, dapat diperoleh data, sikap atau perlakukan isteri setelah memperoleh perlakuan kasar suami ada yang memilih untuk tetap bersama suaminya meski mereka mengalami kekerasan dan menganggap bukan suatu masalah yang serius. Pernyataan ini sesuai dengan yang dialami Ny. Hastuti, 48 th, seorang buruh tani, sebagai berikut; “ Suami saya kerap memaki-maki saya kalau sedang marah,tapi saya menganggap hal itu biasa, karma suami saya memang sifatnya seperti itu, tempramennya tinggi, jadi ya…..sudah biasa”. D. ANALISA TEORI Tindakan yang dilakukan oleh para isteri korban kekerasaan dalam rumah tangga yang menyimpan masalah kekerasaan yang dialami dan tidak melaporkan kekerasan kepada pihak yang berwajib sesuai dengan tindakan sosial dari Teori Aksinya Talcott Parsons yang mengemukakan bahwa tindakan aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan, yaitu dengan melayani suaminya walaupun mendapatkan kekerasan ataupun siksaan dalam berumah tangga..
cii
Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat terjadi kapan saja,dimana saja dan tanpa mengenal waktu dan tempatnya. berawal dari sebuah perkawinan yang diharapkan mampu menyatukan dua jiwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, namun tidak semua harapan itu mampu nyata. Bagi mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, rumah tangga yang mereka jalani justru menjadi belenggu, dimana mereka harus rela mendapatkan pemukulan hanya untuk mempertahankan rumah tangganya. Pilihan sendiri dalam menentukan pasangan hidup bukan berarti kita akan lepas dari kekerasan dalam rumah tangga, bahkan lama perkawinan juga tidak menjamin bahwa suatu hubungan itu akan terjaga keharmonisannya. Terkadang diawal pernikahan pun ada sebagian orang yang mengalami kekerasan yang terkadang tanpa mereka sadari bahwa itu adalah suatu kekerasan. Kekerasan yang terjadi pertama atau sudah beberapa kali terjadi pada isteri, dan memandang bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan terjadi pengingkaran pada diri korban dimana mereka tidak mengakui adanya kekerasan , bila belum ada luka fisik yang diterima. Kebanyakan korban tidak menyadari adanya kekerasan atau bahkan melakukan penyangkalan, baru setelah mereka merasa tidak mampu menahan semua penderitaan sendiri mereka meminta bantuan meski mereka tetap melayani suaminya. Hal ini disebabkan karena isteri dipagari oleh suatu aturan atau norma yang mengharuskan seorang isteri menurui dan melayani suami dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan dasar tindakan sosial yang dikemukakan oleh Parsons.
ciii
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata jenis kekerasan yang terjadi pada individu itu tidak tunggal melainkan kompleks dan itu bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. seperti yang terjadi pada subyek yang kesemuanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kompleks dan hampir semuanya sama, yaitu fisik, psikis dan ekonomi. Namun sayangnya masih banyak orang yang mengetahui batasan dari kekerasan itu sendiri yang mereka tahu bahwa ketika mereka mengalami luka fisik barulah meraka mengatakan mereka mengalami kekerasan, padahal sebenarnya jauh mereka mengalami kekerasan fisik pastilah kekerasan yang lain telah mengawalinya. Padahal sebenarnya kekerasan fisik merupakan kekerasan yang terparah. Tidak berbeda dengan jenis kekerasan, faktor penyebab kekerasan terhadap istri pun bukan sebuah persoalan yang disebabkan karena faktor tunggal, melainkan pengaruh yang saling menguatkan satu sama lain. Ungkapan ini merupakan hasil penelitian dimana kekerasan yang terjadi pada semua subjek disebabkan karena faktor yang kesemuanya saling berkaitan dan seperti mata rantai yang saling berhubungan. Namun pada dasarnya semua lebih berpangkal pada budaya patriarki yang masih membedakan peran sosial serta karakteristik antara laki-laki dan perempuan di mana memandang bahwa pria adalah superior dan perempuan selalu di bawah. Keputusan yang diambil oleh setiap korban kekerasan terhadap istri akan menimbulkan satu reaksi baru. Diam ketika kekerasan terjadi sebenarnya akan memberikan kesempatan untuk pelaku kekerasan melakukan kekerasan berikutnya bahkan ketahap yang lebih besar dampaknya. Seperti hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa subjek memutuskan untuk tidak melawan,
civ
membiarkan suaminya melakukan kekerasan maka yang terjadi adalah di lain hari meraka mengalami kekerasan yang jauh lebih menyakitkan dari pada sebelumnya. Kebiasaan (pandangan gender partriaki) inilah yang masih ada di masyarakat kita, dan keberadaannya masih begitu kental apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh korban kekerasan terhadap istri. Bagi orang Jawa kondisi yang sejahtera atau dalam kata lain tenteram bahagia ini sangat penting, mereka rela melakukan apa saja hanya demi mempertahankan kondisi yang sejahtera meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri. Pandangan ini sama dengan seperti apa yang ada dalam pandangan korban kekerasan terhadap istri dimana mereka rela untuk bertahan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya meskipun mereka tinggal dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan atau dengan kata lain keseharian meraka diwarnai dengan kekerasan psikis, fisik, maupun ekonomi. Namun tidak semua korban kekerasan terhadap istri memiliki pandangan yang sama, ada golongan minoritas yang mereka memang mempertahankan kesejahteraan
namun
bukan
berarti
rela
untuk
melakukan
apapun.
Mempertahankan kesejahteraan bukan berarti membiarkan diri mereka untuk disakiti. Mereka mampu memberikan batasan sampai sejauh mana mereka “nrimo”. Dan hasilnya ternyata mereka mampu menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang mungkin lebih baik dari pada sebelumnya. Keputusan untuk bertahan bukan hanya disebabkan karena budaya patriarki saja namun ada kalanya mereka memilih bertahan karena anak atau bahkan karena mereka ingin terlihat sebagai
cv
keluarga yang sempurna dan memperlihatkan ke dunia luar bahwa keluarganya baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja, karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan bagi sesama, seharusnya kaum pria harus dapat menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga, tetapi buktinya penghargaan itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara, maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari. Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian. Dampak psikologis lainya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami
cvi
perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emocional maupun seksual. Kehadiran anak dirumah tidak membuat lakilaki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anakanak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlukan kejam.
cvii
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil analisis data dan pembahasan dalam Bab III, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Alasan-alasan yang mendorong seorang istri melakukan gugatan cerai terhadap suaminya adalah: poligami tidak sehat, perselisihan atau percekcokan, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, suami tidak bertanggung jawab dan tidak mempunyai keturunan, tetapi dari hasil penelitian yang dibahas hanya masalah kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan gugatan cerai terjadi. Hal ini dikarenakan kekerasan terhadap rumah tangga itu merupakan suatu perilaku yang berulang, dan yang menjadi permasalahan di sini, banyak korban yang takut melaporkan kekerasan tersebut kepada pihak-pihak yang berwenang.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata jenis kekerasan
yang terjadi pada individu itu tidak tunggal melainkan kompleks dan itu bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan, seperti yang terjadi pada subyek yang kesemuanya mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang kompleks dan hampir semuanya sama, yaitu fisik, psikis dan ekonomi. Namun sayangnya masih banyak orang yang mengetahui batasan dari kekerasan itu sendiri yang mereka tahu bahwa ketika mereka mengalami luka fisik barulah meraka mengatakan mereka
cviii
mengalami kekerasan, padahal sebenarnya jauh mereka mengalami kekerasan fisik pastilah kekerasan yang lain telah mengawalinya. Padahal sebenarnya kekerasan fisik merupakan kekerasan yang terparah. Tidak berbeda dengan jenis kekerasan, faktor penyebab kekerasan erhadap istri pun bukan sebuah persoalan yang disebabkan karena faktor tunggal, melainkan pengaruh yang saling menguatkan satu sama lain. Ungkapan ini merupakan hasil penelitian dimana kekerasan yang terjadi pada sumea subjek disebabkan karena faktor yang kesemuanya saling berkaitan dan seperti mata rantai yang saling berhubungan. Namun pada dasarnya semua lebih berpangkal pada budaya patriarki yang masih membedakan peran sosial serta karakteristik antara laki-laki dan perempuan di mana memandang bahwa pria adalah superior dan perempuan selalu di bawah. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dicegah begitu saja, karena terkait dengan pemahaman setiap orang terhadap penghargaan bagi sesama, seharusnya kaum pria harus dapat menghargai wanita terlebih lagi setelah berumah tangga, tetapi buktinya penghargaan itu masih belum sepenuhnya ada. Wanita telah diidentikkan sebagai kaum lemah. Jika penghargaan itu ada dan terpelihara, maka kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari. 2. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap
cix
menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik. Dampak yang timbul akibat dari kekerasan dalam rumah tangga adalah penderitaan tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anakanak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emocional maupun seksual. Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan
banyak
kasus,
lelaki
penganiaya
memaksa
anaknya
menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghetikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam. Selain terjadi dampak pada istri, bisa juga kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dialami oleh anak.
cx
B. Saran Dari hasil kesimpulan tersebut di atas, maka saran-saran yang penulis kemukakan adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi terhadap undang-undang terhadap masyarakat harus terus dilakukan karena sampai saat ini banyak masyarakat yang belum tahu UU PKDRT, sosialisasi pertama difokuskan kepada aparat penegak hukum, kepada masyarakat dengan memberi penyuluhan-penyuluhan hukum. Sosialisasi kepada kalangan agamawan dan pemuka agama untuk mengubah kultur dan interpretasi agama. 2. Masih perlunya diadakan di masyarakat tentang kesetaraan gender, bukan hanya kaum perempuan saja tapi juga laki-laki agar mereka lebih dapat memahami hak dan kewajiban suami istri. 3. Agar para istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga jangan takut untuk melaporkan kasusnya pada pihak yang berwenang, kalau hal seperti ini dibiarkan terus menerus, mereka akan menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang sudah biasa.
cxi
DAFTAR PUSTAKA
H.B. Sutopo. 2002.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press
Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : mandar Maju. Hisako Nakamura. 1991. Perceraian Orang Jawa. Yogjakarta : UGM Press Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Indriyarti Suparno,Agung Ratih K. 2002. persepsi, pengetahuan perempuan dan gambaran situasi kekerasan terhadap istri. Surakarta: SPEK-HAM Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogjakarta : Nur cahaya
Lexy J . Moleong. 2000.
Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya Lili Rasjidi. 1983. Alasan Perceraian menurut UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bandung: Alumni M. Djamil Latif. 1985. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia Poloma Margaret. 2003. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada William J. Goode. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogjakarta : PT Bina Aksara Ritzer, George. 1985. Sosiologi Berparadigma Ganda. Jakarta : CV Rajawali
cxii
Ruth Murwani Dumasthary.
Skripsi. Perceraian di kalangan Isteri Bekerja.
FISIP, 2000 Referensi lain: Palackal, Antony. 2007. Families. http://www.sagepub.com/journalsReprints.nav www. Google.co.id Perceraian Koran Warta Kota tanggal 12 April 2003 Nova No. 948/XIX tanggal 24-30 April 2006 Disctarra.com , kasus Polo www.suarantb.com kasus perceraian Tri Utami