Central Cord Syndrome Douglas D. Nowak, Joseph K. Lee, Daniel E. Gelb, Kornelis A. Poelstra, Steven C. Ludwig,
Abstrak Central cord syndrome adalah jenis umum cedera spinal cord incomplete.Sindrom ini paling sering terjadi pada orang tua dengan spondylosis servikal yang disebabkan oleh mekanisme hiperekstensi. Hal ini juga terjadi pada orang muda dengan trauma pada servikal, jarang akibat penyebab nontraumatik. Ekstremitas atas lebih sering terkena daripada ekstremitas bawah, dengan fungsi motorik yang lebih terganggu daripada fungsi sensorik. Central cord syndrome datang dengan kelemahan pada tangan dan lengan dengan sensorik yang terjaga, bersaing dengan dengan quadriparesis dimana sacral sapring merupakan satu- satunya bukti cedera spinal cord injury incomplete. Secara historis, pengobatannya non bedah, tetapi penyembuhannya tidak menyeluruh. Intervensi bedah awal central cord syndrome masih kontroversial. Namun, studi terbaru menunjukkan manfaat, khususnya operasi awal untuk dekompresi medula spinalis pada pasien dengan kondisi patologis yang didapatkan dari radiografi atau MRI.
Cedera tulang belakang atau spinal cord injury (SCIs) diklasifikasikan menjadi komplit dan inkomplit. American Spinal Injury Association (ASIA) mendefinisikan cedera komplit sebagai tidak adanya fungsi sensorik dan motorik di bawah tingkat cedera. Sebaliknya, pada cedera inkomplit beberapa fungsi neurologis masih baik di bawah tingkat cedera. Cedera inkomplit terdiri dari central cord syndrome (CCS), anterior cord syndrome, posterior cord syndrome, dan sindrom Brown-Sequard.
1
CCS adalah jenis SCI inkomplit yang paling sering, terdiri dari 15% sampai 25% pada semua kasus. Sindrom ini pertama kali dijelaskan oleh Schneider et al pada tahun 1954. CCS klasik terjadi pada orang tua (usia >60 tahun) dengan spondilosis cervical dan cedera hiper- ekstensi tanpa adanya bukti kerusakan pada tulang belakang tulang. CCS juga terjadi pada orang muda yang terkena trauma- energi tinggi mengakibatkan fraktur atau ketidakstabilan pada spinal. Pengetahuan mengenai anatomi spinal dan patofisiologi CCS sangat penting dalam memilih metode pengobatan yang optimal. Penatalaksanaan non bedah dapat dilakukan pada beberapa kasus, tetapi pada penelitian baru- baru ini telah menunjukkan potensi manfaat dari penatalaksanaan bedah. Anatomi Pengetahuan tentang anatomi spinal cord sangat penting dalam memahami CCS. Spinal cord mengisi sekitar 50% kanal servikal dan torakolumbalis. Cairan serebrospinal, lemak epidural, dan dura mengelilingi corde dan mengisi ruang kanal yang tersisa. Mielomere adalah segmen cord dari mana akar saraf muncul; masingmasing berada satu tingkat di atas nomor- sama tubuh vertebral cervical dan daerah toraks bagian atas (misalnya, C5 akar saraf mielomerenya berada pada tingkat tubuh vertebral C4). Unsur- unsur saraf pada spinal cord tersusun secara geografis. Traktus panjang membentang dari otak dan tersusun perifer serta terdiri dari white matter. White matter perifer berlimpah pada servikal karena bagian tersebut terdiri dari salurang panjang servikal, toraks, lumbar da sacral. Semakin ke sentral terdapat gray matter yang berisi lower motor neuron. Jalur motorik descendens utama adalah traktus kortikospinalis lateral. Upper motor neuron berasal dari neuron di korteks serebri kontralateral, menyilang di otak tengah, dan turun pada perifer ipsilateral lateral spinal cord. Upper motor neuron kemudian bersinapsis dengan lower motor neuron pada horn anterior gray matter. Traktus kortikospinalis lateralis secara tradisional dianggap mengatur struktur
2
servikal yang dekat dengan pusat dan struktur sakral yang lebih perifer (Gambar 1). Apakah laminasi ada masih menjadi kontroversi. Otot tangan dan lengan otot terutama disuplai oleh akson motorik besar pada traktus kortikospinal lateral. Traktus kortikospinalis ventral merupakan jalur motorik descendens minor. Serat- serat motorik pada traktus kortikospinalsi ventral tidak menyilang di otak tengah, dan serat ini turun secara kontralateral.
Gambar 1. Ilustrasi servikal (potongan aksial). Ortientasi traktus kortikospinal lateral dan traktus kolumna dorsalis (fasciculus gracilis, fasciculus cuneatus), dengan struktur sacral terletak lebih perifer dan struktur servikal terletak lebih sentral. Gambar ini mengilustrasikan kenapa central cord syndrome mengenai ekstremitas atas.
Jalur sensorik ascendens utama terdiri dari traktus kolumna posterior (fasciculus gracilis, fasciculus cuneatus) dan traktus spinotalamikus lateral kecil (Gambar 1). Badan sel neuron sensorik yang terletak pada ganglion root dorsal, dan input sensorik memasuki horn posterior pada gray matter. Input nyeri dan suhu
3
segera menyilang ke sisi berlawanan dari spinal cord dan ascendens kontralateral dari traktus spinotalamikus lateral. Sebaliknya, propriosepsi dan getaran naik ipsilateral pada kolumna posterior dari spinal cord dan menyilang setelah mencapai batang otak. Sama dengan traktus kortikospinalis lateral, kolumna dorsal tersusun dari struktur sakral yang terletak lebih perifer dan struktur servikal yang terletak lebih sentral (Gambar 1). Mekanisme dan patofisiologi SCI dapat dibagi menjadi dua fase patofisiologis: primer dan sekunder. Cedera primer terjadi pada saat trauma. Cedera tersebut dapat disebabkan secara langsung oleh fleksi, ekstensi, dan/ atau rotasi spinal cord berlebihan atau tidak langsung oleh tulang atau diskus yang berpindah yang berdampak pada spinal cord. Cedera sekunder terjadi setelah adanya trauma. Cedera tersebut disebabkan oleh reaksi kompleks inkomplit yang belum dipahami dan melibatkan kombinasi dari respon inflamasi dan apoptosis sel saraf (yaitu, kematian sel). Trauma merupakan penyebab umum CCS. CCS paling sering terjadi setelah kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, dan cedera saat menyelam. CCS juga dapat disebabkan oleh penyebab non- traumatik, seperti abses epidural spinal. Presentasi klasik CCS melibatkan pasien tua dengan spondilosis servikal akibat hiperekstensi pada kepala dan leher. Mekanisme hiperekstensi tampaknya sangat ringan tetapi pada kondisi spondylosis servikal dapat mengakibatkan cedera neurologis. Orang dengan CCS memiliki diameter sagital servikal yang lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan, dan >90% pasien dengan CCS berusia > 40 tahun telah terbukti memiliki kondisi servikal yang mendasari, seperti spondilosis dengan adanya osteofit, stenosis kanal, dan osifikasi dari ligament longitudinal posterior. Meskipun beberapa pasien mengalami gejala minor, spondilosis servikal sering asimtomatik sebelum cedera. Fraktur dan dislokasi vertebra biasanya tidak ada pada kelompok usia dengan CCS. Servikal dapat cedera akibat kompresi langsung dari penekukan pada flava ligamenta pada kanal spinal yang sudah menyempit.
4
Orang muda dengan stenosis servikal kongenital memiliki resiko tinggi terjadinya CCS sebagai akibat dari cedera hiperekstensi. CCS dan variannya, yang mencakup quadriplegia sementara, neurapraksia servikal, dan sindrom burning hand, telah dilaporkan terjadi pada beberapa pemain sepak bola dengan stenosis kongenital. Pemain bola memiliki resiko karena karena tuntutan permainan, terutama pada saat tackling. Istilah "transient quadriplegia" dan "neurapraksia servikal" digunakan secara bergantian dalam literatur untuk menggambarkan kelemahan serta gangguan sensorik ekstremitas atas dan bawah yang signifikan, terkadang komplit yang biasanya berlangsung 10 atau 15 menit dan kemudian membaik dengan sendirinya. Pada orang muda tanpa stenosis atau spondilosis sebelumnya, mekanisme trauma- berenergi tinggi diperlukan untuk menyebabkan CCS. Seringkali, mekanisme yang terdiri dari cedera kolumna spinal berat terkait dengan fraktur- dislokasi, menyebabkan tulang belakang tidak stabil. Subset ketiga pada pasien muda dengan herniasi diskus traumatis yang menyebabkan CCS tanpa adanya fraktur atau ketidakstabilan spinal. Teori CCS awalnya terdiri dari cedera pada gray matter sentral dan bagian sentral traktus panjang, dengan struktur perifer (Gambar 2). Cedera gray matter sentral dan perdarahan spinal dianggap sebagai penyebab utama CCS. Namun, penelitian baru- baru ini telah menunjukkan bahwa traktus kortikospinal lateral pada servikal tengah hingga atas mengandung daerah utama yang mengalami kelainan patologis. Studi MRI telah gagal dalam menunjukkan bukti perdarahan pada cord. Dua studi otopsi menemukan bukti cedera lower motor neuron atau perdarahan parenkim cord; namun, terdapat cedera difus dengan diameter akson motorik traktus kortikospinalis lateral. Pasien dengan CCS menunjukkan degenerasi wallerian pada traktus aksonal distal hingga zona cedera pada traktus kortikospinalis lateral. Dalam model SCI kucing, akson berdiameter besar terbukti lebih rentan terhadap cedera daripada akson yang berdiamtere lebih kecil. Trombly dan Guest melaporkan kasus neuromonitoring 5
CCS. Motorik lebih berat daripada somatosensori, dan otot- otot tangan, terutama abductor pollicis brevis lebih berat terkena. Sehingga, cedera pada akson bermielin besar dari traktus kortikospinalis lateralis tampaknya menjadi penyebab utama defisit terkait CCS. Hal ini menjelaskan keterlibatan utama gerakan motorik halus pada ekstremitas distal atas. CCS datang dengan kelemahan terbatas hanya pada tangan dan lengan dengan sensorik yang baik, untuk komplit quadriparesis dengan sacral sparing yang merupakan satu- satunya bukti SCI inkomplit. Ekstremitas atas lebih berat terkena daripada ekstremitas bawah. Secara khusus, tangan dan lengan bawah paling terpengaruh. Disfungsi kandung kemih, retensi urin dan usus serta disfungsi seksual dapat terjadi pada kasus yang lebih berat. Kembalinya fungsi motorik, jika terjadi, hasil diteruskan dari kaudal ke cephal. Fleksor jempol kaki adalah yang pertama kembali, diikuti oleh ekstensor jari kaki, dan kemudian struktur yang diinervasi oleh lumbar cord (misalnya, orang- orang yang dapat dorsofleksi pergelangan kaki). Pemulihan biasanya kurang lengkap di ekstremitas atas daripada ekstremitas bawah.
Gambar 2. Ilustrasi central cord syndrome (CCS) servikal (potongan aksial). Daerah berwarna terkena pada kasus CCS. Struktur sakral terletak lebih perifer pada kolumna dorsalis dan traktus kortikospinalis lateral; struktur yang terkena pada orang dengan CCS.
6
Diagnosis dan Evaluasi Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting pada pasien dengan suspek SCI. Evaluasi radiografi evaluasi penuh harus dilakukan, biasanya terdiri dari tampak crosstable, AP, dan open- mouth odontoid. CT Scan potongan koronal dan sagital dapat dilakukan agar dapat melihat cedera tulang dan untuk mendeteksi cedera yang tidak jelas pada radiografi polos. CT juga membantu dalam menilai kemungkinan cedera pada junction occipitocervical dan cervicothoracic. Di pusat-pusat trauma, CT sering dilakukan baik sebagai tambahan atau sebagai pengganti radiografi tradisional. Karena sekitar 10% sampai 20% insidens fraktur spinal nonvontiguous, dimana fraktur servikal diidentifikasi, seluruh tulang belakang sering difoto dengan foto polos atau CT. MRI dapat berguna dalam menilai adanya cedera jaringan lunak atau kompresi cord secara lanjut. Evaluasi MRI terdiri dari aksial, koronal, dan sagital dari T1 dan T2- weight image (Gambar 3). Short tau inversion recovery (STIR) dapat melengkapi bagian sagital. Sinyal hiperintens dalam parenkim dari servikal biasanya ditunjukkan pada MRI T2weighted dan STIR pada pasien dengan CCS. Temuan ini konsisten dengan edema tanpa bukti perdarahan parenkim. Pencitraan T2- weighted dan/ atau STIR sangat penting dalam mengevaluasi cedera pada jaringan lunak anterior dan posterior, seperti diskus intervertebralis dan tegangan band ligamen posterior. MRI T2-weighted mungkin juga menunjukkan hiperintensitas prevertebral, yang telah terbukti menjadi prediktor ketidakstabilan spinal. Spondilosis dan stenosis servikal dapat dinilai dengan foto polos dan pencitraan yang lebih canggih. Dalam mengevaluasi pasien dengan SCI, penting untuk mengetahui sejauh mana cedera neurologis terjadi (misalnya, inkomplit vs komplit). Cedera inkomplit memiliki kesempatan lebih besar untuk pemulihan neurologis, sedangkan pemulihan motorik dicapai hanya 3% pasien dengan cedera komplit selama 24 jam dan tidak sembuh setelah 24 sampai 48 jam. Cedera komplit awalnya didefinisikan sebagai tidak adanya fungsi motorik dan fungsi sensorik lebih dari tiga tingkat di bawah zona cedera. Cedera inkomplit bertentangan melibatkan beberapa fungsi motorik atau 7
fungsi sensorik di bawah tingkat cedera. ASIA baru- baru ini mendefinisikan ulang SCI komplit sebagai tidak adanya fungsi sensorik dan fungsi motorik pada segmen terendah sakral (yaitu, S4- S5). Sehingga, untuk diagnosis SCI komplit, dokter harus melakukan uji sensasi sentuhan dan pinprick di daerah perianal serta kontraktur sukarela sfingter anal eksternal.
Gambar 3. MRI aksial (A) dan sagital (B) T2- weighted dari lelaki berusia 72 tahun dengan spondilosis servikal yang terkenal central cord syndrome setelah cedera hiperekstensi.
Sacral sparing merupakan indikator penting SCI inkomplit karena hal tersebut menandakan kontinuitas parsial traktus white- matter (yaitu, kortikospinalis dan spinotalamikus) dari konus medullaris hingga korteks serebral. Pada saat evaluasi awal pasien dengan SCI, sacral sparing mungkin satu- satunya fungsi neurologis yang ada untuk membedakan SCI inkomplit dari komplit. Evaluasi sacral sparing terdiri dari sensasi perianal, tonus rektal, dan aktivitas fleksor ibu jari. Syok spinal dapat terjadi setelah SCI berat. Hal ini didefinisikan sebagai keadaan arefleksia komplit dan biasanya membaik dalam waktu 24 jam setelah cedera. Cedera neurologis secara menyeluruh tidak dapat ditentukan sampai syok spinal membaik. Kembalinya refleks bulbokavernosus menunjukkan berakhirnya
8
syok spinal. Uji klinis menilai integritas arkus S3- S4 yang intak dan dilakukan dengan menekan glans penis, menekan pada klitoris, atau menarik kateter Foley. Refleks intak akan menyebabkan kontraksi sfingter anal.
Gambar 4. Lembaran American Spinal Injury Association mengenai klasifikasi neurologis standar spinal cord injury
Sebuah sistem penilaian neurologis klinis yang akurat dan pencatatan pengaruh keputusan pengobatan, memungkinkan untuk pemantauan kasus yang terpercaya, dan dapat memberikan informasi prognostik. Detail lembaran pemeriksaan fisik ASIA (Gambar 4). Masing- masing dari 28 dermatom dapat menilai fungsi sensorik secara bilateral dengan menggunakan tusukan jarum dan sentuhan ringan. Sensasi normal adalah derajat 2, berubah adalah derajat 1, dan tidak ada adalah 0. Sepuluh kunci kelompok otot, lima di ekstremitas atas dan lima di ekstremitas bawah, diuji secara bilateral dan dinilai dengan skala standar 0 hingga 5
9
poin (Tabel 1). Skor motorik dijumlahkan untuk mendapatkan skor motorik ASIA (maksimum, 100). ASIA telah mengklasifikasikan tingkat kerusakan dari SCI komplit hingga SCI inkomplit dalam berbagai tingkat (Tabel 2). ASIA mendefinisikan tingkat cedera sebagai tingkat paling caudal dengan fungsi motorik dan fungsi sensorik yang intak pada kedua sisi tubuh. Penatalaksanaan Non bedah Pada kebanyakan kasus CCS, perbaikan neurologis pasien dan pemulihan motorik tanpa intervensi bedah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Schneider et al pada tahun 1954 menunjukkan bahwa CCS dapat pulih dengan spontan dan penatalaksanaan bedah tidak diperlukan dan mungkin berbahaya. Penatalaksanaan medis yang optimal, imobilisasi awal, dan mungkin intravena steroid telah meningkatkan prognosis CCS secara keseluruhan. Penatalaksanaan medis yang tepat pada orang dengan CCS mensyaratkan bahwa pasien sebaiknya berada dalam perawatan intensif selama periode awal setelah cedera. Vena sentral dan kateter arteri dapat digunakan untuk pemantauan hemodinamik dan respon terapi. Kateter Swan- Ganz mungkin diperlukan. Mempertahankan tekanan darah yang adekuat (mean arterial pressure >85 mm Hg) volume resusitasi dilengkapi dengan vasopressor, jika diperlukan, terbukti meningkatkan hasil neurologis. Peningkatan tekanan darah mungkin memaksimalkan perfusi spinal dan membatasi cedera sekunder. Meskipun masih kontroversial, pemberian metilprednisolon intravena merupakan pengobatan farmakologis yang paling umum digunakan pada SCI komplit dan inkomplit. Uji coba National Acute Spinal Cord Injury Study II dan III menetapkan dosis standar 30 mg/ kg bolus diikuti dengan 5,4 mg/ kg/ jam. Infus dilanjutkan selama 24 jam yang dimulai dalam waktu 3 jam dari saat cedera atau selama 48 jam yang dimulai antara 3 dan 8 jam saat cedera. Tidak ada manfaat pemberian steroid yang terbukti ketika pasien datang >8 jam setelah cedera. 10
Tabel 1. Skala derajat motorik suspek spinal cord injury
Tabel 2. Skala spinal cord injury dari American Spinal Injury Association
Namun, literatur terbaru dan review, yang dirumuskan menjadi pedoman praktek klinis mengenai penatalaksanaan akut awal orang dewasa dengan SCI, menunjukkan bahwa saat ini tidak ada bukti penggunaan agen neuroprotektif, seperti steroid. Pemberian steroid dapat mempengaruhi hasil pasien, terutama pada pasien dengan cedera penetrasi. Setiap pasien dengan suspek CCS sebaiknya diimobilisasi dengan orthosis servikal keras (misalnya, Philadelphia collar) untuk mencegah cedera lebih lanjut akibat bergerak. Collar yang keras digunakan selama minimal 6 minggu atau sampai nyeri leher membaik dan terkait dengan perbaikan neurologis. Pasien dengan tanpa 11
bukti ketidakstabilan tulang aksial setelah evaluasi radiografi lengkap dilakukan orthosis servika keras dan dimobilisasi awal setelah stabilisasi medis. Pasien dengan fraktur atau dislokasi yang tidak stabil dapat dioperasi atau dengan pemasangan jepitan servikal dan/ atau cincin halo pada kondisi darurat untuk memfasilitasi traksi skeletal dan dilakukan reduksi tertutup awal. Traksi mengamankan bentuk urgent dari dekompresi spinal cord; reduksi tertutup awal terkait dengan perbaikan neurologis. Mobilisasi dan rehabilitasi awal dengan terapi fisik dan terapi okupasi sangat penting ketika pasien stabil secara medis. Fungsi latihan ulang tangan dan cara berjalan adalah tujuan utama. Banyak manfaat pasien yang didapat dari rehabilitasi rawat inap intensif awal dan, setelah beberapa kejadian terpenuhi, dari terapi rawat jalan. Operasi Operasi merupakan tambahan untuk penatalaksanaan kesehatan pada pasien dengan CCS; semua prinsip- prinsip tersebut mengenai penatalaksanaan medis sebaiknya dimasukkan dalam rejimen pengobatan terlepas apakah dilakukan intervensi bedah atau tidak. Studi lama menunjukkan bahwa penatalaksanaan operasi CCS merugikan dan tidak efektif. Schneider et al dan Morgan et al menunjukkan bahwa dekompresi laminektomi tidak meningkatkan status neurologis pasien. Satu pasien terbangun dengan kuadriplegik setelah operasi dekompresi. Namun, penatalaksanaan CCS non bedah belum sukses pada pasien tertentu, dan penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa intervensi bedah dapat bermanfaat dalam subset orang tertentu dengan CCS. Indikasi Ketidakstabilan spinal adalah satu- satunya indikasi mutlak intervensi bedah. ketidakstabilan spinal telah didefinisikan sebagai perpindahan sudut >11 ° dibandingkan dengan vertebra yang berdekatan atau translasi corpus vertebral > 3,5 mm. Ketidakstabilan dapat memperburuk cedera sekunder pada spinal cord dengan bertindak sebagai faktor dinamis, merusak cord lebih lanjut. Penilaian stabilitas bisa 12
sulit, dan integritas kompleks ligament adalah faktor kunci dalam menentukan stabilitas gerakan segmen spinal. Intervensi operasi untuk CCS tanpa ketidakstabilan spinal masih kontroversial. Tidak ada bukti saat ini yang mendukung dekompresi pada pasien dengan perbaikan neurologis. Pasien dengan kompresi cord persisten, kegagalan pemulihan motorik, atau plateau atau kerusakan neurologis yang lama, intervensi operasi dapat bermanfaat. Kompresi cord dapat terjadi sebagai akibat dari herniasi diskus, epidural hematoma, atau tulang fragmen yang mengenai kanal. Pengangkanan kompresi spinal cord yang menghalangi dapat mencegah perkembangan perubahan myelopathic kronis dan dapat menyebabkan perbaikan pemulihan dan keseluruhan fungsi. Stenosis spinal dan spondilosis spinal merupakan indikasi relatif lebih lanjut penatalaksanaan operasi. Pemilihan waktu Waktu intervensi bedah pada orang dengan CCS masih kontroversial, dengan dua pengecualian: (1) te ketidakstabilan spinal dengan dislokasi akut di mana diperlukan reduksi dan fiksasi awal dan (2) dalam kasus defisit neurologis progresif. Studi baru- baru ini telah berusaha untuk menjelaskan protokol operasi CSS yang optimal. Dengan CCS traumatik, intervensi operasi awal (≤24 jam cedera) dilakukan pada pasien dengan kelainan patologis (yaitu, fraktur- dislokasi, herniasi diskus akut) dikonfirmasikan dengan radiografi atau MRI terkait dengan pemulihan motorik dan pemulihan neurologis daripada intervensi bedah akhir (> 24 jam setelah cedera). La Rosa et al melakukan analisis literatur secara sistematis dan menyimpulkan bahwa intervensi bedah dini (≤24 jam cedera) terkait dengan hasil neurologis yang lebih baik daripada intervensi bedah yang tertunda atau penatalaksanaan non- bedah. Meskipun tidak ada pedoman yang tersedia saat ini mengenai waktu dekompresi dalam kasus CCS akut, studi menunjukkan bahwa dekompresi awal dapat diterapi dan dapat mengakibatkan peningkatan hasil, terutama pada pasien dengan penurunan neurologis secara progresif. Namun, terdapat bukti untuk mendukung
13
kapan, atau bahkan jika operasi harus dilakukan pada pasien yang menunjukkan perbaikan neurologis. Prosedur Pilihan operasi ditentukan dengan kelainan patologis. Teknik pencitraan seperti CT dan MRI memungkinkan dokter bedah untuk mengidentifikasi lokasi kompresi. Tingkat operasi tergantung individu pada setiap pasien, dan stenosis bertingkat adalah presentasi yang khas (Gambar 5). Sebuah pendekatan anterior, posterior, atau kombinasi digunakan untuk mengurangi tekanan pada cord.
Gambar 5. Foto polos lateral preoperative (A) dan post operatif pada pasien yang sama pada gambar 3. Pasien mengalami dekompresi dan penyatuan anterior C3- C6 dengan instrument karena penurunan neurologis.
Hasil klinis Non bedah Saat ini, tidak ada studi prospektif, acak yang telah dipublikasikan untuk membandingkan pengobatan non bedah dengan bedah CCS. Namun, beberapa
14
penelitian telah melaporkan hasil yang baik dengan penatalaksanaan non bedah. Pemulihan terjadi bertahap dan sering tidak lengkap dan terkait dengan tingkat keparahan cedera. Nyeri biasanya bukan sekuele mayor CCS. Perkembangan neurologis dan pemulihan motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah, berlanjut dengan perbaikan kandung kemih dan kontrol usus, dan diakhiri dengan kontrol ekstremitas atas. Pemulihan fungsi tangan bervariasi; pada beberapa pasien, fungsi tangan tidak membaik. Penurunan fungsi tangan merupakan disabilitas jangka panjang tersering terkait dengan CCS. Meskipun kebanyakan pasien dapat mencapai perbaikan neurologis utama, beberapa menghadapi gangguan fungsional jangka panjang. Faktor prognosis yang baik dalam kasus CCS termasuk usia muda, pekerjaan sebelum cedera, tingkat pendidikan, tidak adanya sinyal kelainan pada spinal yang didapatkan pada MRI, akor ASIA yang tinggi, adanya spastisitas, pemulihan motorik awal, dan fungsi tangan yang baik. Ketidakstabilan kolumna spinal, derajat stenosis kanal, spastisitas persisten, dan komorbiditas medis, semuanya berkorelasi dengan pemulihan neurologis yang buruk. Pada laporan asli mereka pada tahun 1954 dan 1958, Schneider dan temannya mencatat bahwa dari 17 pasien yang ditangani secara medis, 2 meninggal tanpa perbaikan, 14 neurologis mengalami peningkatan tetapi masih memiliki defisit sekuele, dan kembali fungsi secara lengkap. Pada tahun 1971, Bosch et Al melakukan salah satu dari studi pertama yang mencakup masa follow- up jangka panjang (4 bulan sampai 26 tahun) pasien dengan CCS yang ditangani non bedah. Mereka mencatat bahwa setidaknya sebesar 75% dari 42 pasien fungsi neurologisnya kembali. Berjalan sendiri membaik dari 19% segera setelah cedera menjadi 57% setelah rehabilitasi. Demikian juga, perbaikan kontrol kandung kemih meningkat dari 17% sampai 53%. Yang terpenting, penulis mencatat bahwa hanya 43% pasien fungsional penggunaan tangannya kembali dan 24% pasien yang mengalami perbaikan neurologis melaporkan platau, diikuti dengan penurunan neurologis dan
15
pemulihan fungsional. Perjalanan klinis menunjukkan bentuk kronis yang CCS ditandai dengan spastisitas dan traktus piramidal. Pada tahun 2000, Newey et al memperlihatkan hasil jangka panjang (rata-rata, 8,6 tahun), retrospektif dari 32 pasien dengan CCS yang diterapi non bedah dan melaporkan perbedaan dalam pemulihan terkait dengan usia pasien. Enam pasien yang berusia <50 tahun bisa berjalan secara independen dan mengalami kontinensia kandung kemih. Pada pasien berusia 50 sampai 70 tahun, 77% dapat ambulasi mandiri, dan 69% memiliki kontrol kandung kemih. Dari tiga pasien yang masih hidup dan berusia >70 tahun, hanya satu yang bisa ambulasi independen, dan tidak ada yang memiliki kontrol kandung kemih. Ishida dan Tominaga melaporkan studi prospektif pertama pada pasien dengan CCS pada tahun 2002. Studi mereka terbatas pada pasien dengan kelemahan pada ekstremitas atas saja. Pada follow up selama 2 tahun dari 22 pasien, semua ditangani secara non bedah, penulis mengamati bahwa tidak ada yang mengalami fraktur atau dislokasi, 77% telah mencapai pemulihan motorik penuh, 23% mengalami disfungsi ringan atau kelemahan ringan pada tangan, dan tidak memiliki disfungsi berat. Pemulihan Motorik dan sensorik terjadi cepat selama 3 minggu awal dan, pada sebagian besar pasien, mencapai plateau dalam waktu kurang lebih 6 minggu. Tidak adanya intensitas sinyal MRI yang normal adalah prediktor terbaik pemulihan follow up akhir, menunjukkan cedera yang tidak terlalu berat pada kasus dengan temuan MRI normal. Perbaikan neurologis awal dan usia yang lebih muda juga ditemukan berkontributor signifikan terhadap peningkatan hasil. Dari catatan, perbaikan neurologis selama 6 minggu pertama adalah prediktor kuat dari hasil fungsi neurologis akhir daripada status neurologis saat diterima. Hasil ini menjanjikan dan menunjukkan prognosis yang baik dengan pengobatan non bedah pada bentuk CCS ringan dan untuk pasien dengan gejala pada ekstremitas atas saja. Namun, kehatihatian diperlukan saat mencoba untuk meramalkan kemungkinan hasil pada CCS yang lebih berat.
16
Pada tahun 2005, Dvorak et al melaporkan studi ketat pasien dengan CCS. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ishida dan Tominaga, Dvorak et al tidak mengecualikan bentuk CCS berat. Analisis prospektifnya dilakukan follow up minimal 2 tahun (rata-rata, hampir 6 tahun), di mana semua pasien menjalani evaluasi formal dan perhitungan skor motorik ASIA dalam waktu 72 jam setelah cedera dan pada kunjungan follow up. Penulis menemukan peningkatan yang ditandai dengan rata- rata skor motorik ASIA adalah 58,7 pada saat cedera hingga rata- rata 92,3 pada follow up terakhir. Prediktor terbaik dari skor motorik ASIA akhir adalah nilai awal pada saat cedera. Tingkat pendidikan formal adalah faktor prognostik penting lain, pada pasien yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi mencapai pemulihan yang lebih besar. Pada follow up akhir, 81% pasien melaporkan kontinensia usus dan kandung kemih, dan 86% adalah mampu ambulasi mandiri. Namun, 59% mengalami spastisitas, dan 34% menyatakan ketidakpuasan dengan gejala yang mereka alami. Bedah Pasien dengan kompresi cord persisten, kegagalan pemulihan motorik, atau plateau atau penurunan neurologis yang berkepanjangan dapat bermanfaat dengan intervensi bedah. Namun, beberapa data secara langsung membandingkan penatalaksanaan bedah dan non bedah. Bose et al secara retrospektif membandingkan pemulihan fungsi motorik pada 28 pasien CCS yang ditangani secara bedah mamupun non bedah. Tingkat pemulihan yang lebih besar tercatat pada kelompok bedah. Intervensi bedah dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan spinal dan pada orang yang telah gagal membaik secara progresif setelah periode awal perbaikan dan yang memiliki bukti kompresi persisten. Chen et al melakukan studi retrospektif awal dan menemukan dua kelompok yang diuntungkan dari intervensi bedah: pasien muda terkait kelainan radiografi dan pasien tua yang secara klinis terkait pada lesi cord. Chen et al selanjutnya melakukan penelitian prospektif pada 37 pasien dengan riwayat spondilosis servikal dan cedera
17
cord inkomplit yang dioperasi pada 2 sampai 14 hari setelah cedera. Kelompok yang dioperasi mengalami pemulihan neurologis yang lebih cepat daripada kelompok nonbedah. Pemulihan secara signifikan lebih lambat pada kelompok non-bedah (P = 0,005), dan lama tinggal di rumah sakit lebih lama. Namun, pada 2 tahun, tidak ada perbedaan yang signifikan yang ditunjukkan di antara dua kelompok (P = 0,06). Pasien dengan stenosis servikal yang mempengaruhi lebih dari tiga tingkat vertebra memiliki hasil yang lebih buruk walaupun di tangani secara bedah maupun non bedah. Kebanyakan studi yang menggambarkan penanganan bedah adalah analisis retrospektif yang memiliki bias seleksi dan variabel pengganggu. Tidak ada studi prospektif secara acak yang telah dilakukan untuk membandingkan penatalaksanaan bedah dengan non bedah. Sehingga manfaat sebenarnya dari pengobatan bedah tidak jelas. Studi prospektif yang dirancang dengan baik untuk menguji nilai dan waktu intervensi bedah diperlukan. Ringkasan CCS adalah SCI inkomplit yang paling umum. Dengan bertambahnya usia populasi, dokter akan menghadapi lebih banyak pasien dengan CCS. Oleh karena itu, penting untuk memahami anatomi, patofisiologi, dan pengobatan CCS. Meskipun kebanyakan pasien dengan CCS dapat membaik secara bertahap, meskipun sering inkomplit, pemulihan dengan pengobatan non operasi, studi terbaru menunjukkan potensi manfaat dari operasi awal. Semua pasien CCS sebaiknya diberikan terapi medis yang optimal dan imobilisasi dini. Dalam praktek kami, indikasi utama operasi adalah fraktur terkait central cord injury. Fraktur biasanya bersamaan dengan cedera ekstensi. Pengobatan bedah awal dianjurkan jika tidak ada ketidakstabilan spinal pada pasien dengan penurunan fungsi neurologis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan algoritma pengobatan terbaik dan waktu intervensi bedah, jika dipilih, untuk setiap defisit neurologis non- progresif yang statis.
18