sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XVII, Nomor 3: 123-134
ISSN 0216 -1877
BUDIDAYA KIMA oleh
Lily M.G. Panggabean *) ABSTRACT CULTIVATION OF GIANT CLAMS. Cultivation of the endangered family of reef-dwelling giant clams has recently advanced to a scale where it can play a role in population enhancement and food production. The article reviews state-of-the art technology for mass production of the giant clam seed, inland and ocean-based nursery and grow out to maturity. The advance technology could also overcome problems such as fouling of blue-green algae, predators and parasites. The culture of giant clams is not only technically, but also economically viable.
PENDAHULUAN
dan HARDY 1969; BECKVAR 1981; FITT dan TRENCH 1981; GWYTHER dan MUNRO 1981), serta kehidupan simbiosis dengan zooxanthella (GOREAU et al 1973). Dewasa ini ada 15 kelompok pene-litian di kawasan Indo-Pasifik yang terlibat dalam proyek budidaya kima internasional yaitu : kelompok Mikronesia yang terdiri dari Palau, Yap? Saipam, Pohnpei, Truk, Kosrae dan pulau-pulau Mashall, kemudian Australia, Filipina, Fiji, Papua New Guinea, Solomon, Cook, American Samoa, Hawai dan Jepang (HESLINGA & WATSON 1985). Sayang sekali, Indonesia yang memi-liki 13.000 pulau masih belum terlibat dalam kegiatan tersebut.
Penurunan stok Kima di perairan terumbu Indo-Pasifik, terutama dari jenis Tridacna gigas dan T. derasa telah menjadi isu internasional sehingga para ilmuan terdorong untuk mengembangkan teknologi budidaya kima. Bu did ay a kima dapat dikembangkan untuk tujuan peremajaan atau pemulihan stok kima yang terancam punah. Teknologi budidaya kima dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang sifat-sifat biologi kima seperti seksualitas kima yang bersifat hermafrodit (WADA 1954), fekunditas yang tinggi (MC MICHAEL 1975; PEARSON 1977), pemijahan kima (HARDY
* ) Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.
123
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
da dapat "berswasembada pangan" karena kima bersimbiose dengan ganggang bersel satu yang bersifat fototrofik (PANGGABEAN 1991a). Yang diperlukan dalam usaha budidaya kima hanyalah air laut yang "bersih” dan cahaya matahari yang cukup.
Budidaya kima dimulai dengan usaha pembibitan di "hatchery" hingga menghasilkan kima muda yang kemudian dikembalikan ke lokasi "kritis" untuk pemulihan populasinya (HESLINGA et al 1984). Usaha ini telah dirintis oleh Micronesian Mariculture Demontration Center (MMDC) di Palau sejak keberhasilan LA BARBERA (1975) dan JAMESON (1976) memelihara burayak (larva) kima dalam skala laboratorium. Budidaya kima ini dapat ditingkatkan lebih intensif berkat kemajuan pengetahuan tentang aspek-aspek terkait seperti pengetahuan tentang induk (CRAWFORD et al 1986), teknik biopsi untuk mengetahui tingkat kematangan telur (BRALEY 1984, 1988; SHELEY dan REID 1988) atau induksi pemijahan (BRALEY 1985, CRAWFORD et al 1986; energetik larva kima (SOUTHGATE 1988); seleksi larva kima (BRALEY et al 1988); foto adaptasi dari zooxanthella (FISHER et al 1985); seleksi zooxanthella (FITT 1985; MINGOA 1988); pembesaran kima di alam (CRAWFORD et al 1988; ESTACION 1988. Bahkan hasil analisa ekonomis membuktikan bahwa budidaya kima dapat ditingkatkan untuk tujuan komersial dan dapat memberikan keuntungan yang memadai (TISDELL dan MENZ 1988).
Tahapan dalam budidaya kima Budidaya kima terdiri dari 4 tahapan yaitu : a. Pembibitan : pemijahan dan pemeliharaan burayak kima secara terkontrol di hatchery. b. tahap asuhan (nursery) : pemeliharaan spat kima dari pasca metamorfosis hing ga ukuran cangkang lebih dari 2 cm di kolam-kolam pemeliharaan di hatchery c. tahap asuhan di laut (ocean nursery) : pemeliharaan kima kecil didalam kurungan di laut sehingga terhindar dari ancaman predator. d. tahap pembesaran : pemeliharaan kima dewasa tanpa perlindungan di laut. a. Pembibitan kima
Pembibitan terdiri dari pemijahan telur dan sperma, pembuahan dan pemeliharaan burayak hingga menjadi spat. Kemudian spat akan dibesarkan pada tahap berikutnya (tahap asuhan).
Berikut akan diuraikan tentang beberapa aspek yang berhubungan dengan budidaya kima seperti teknologi budidaya, beberapa kendala dan pemecahannya serta aspek komersial.
Pemijahan
Keberhasilan pembibitan kima ditentukan oleh keberhasilan pemijahan. Dengan kata lain : untuk menghasilkan burayak yang sehat dengan kemampuan hidup yang tinggi, pemijahan kima harus menghasilkan telur dan sperma dalam keadaan matang, artinya sperma yang sangat aktif dan mampu melakukan pembuahan dan telur-telur yang sudah berkembang dengan sempurna, dengan persediaan kuning telur yang cukup untuk
TEKNOLOGI BUDIDAYA KIMA
Teknologi budidaya kima cukup seder hana. Pakan hanya diberikan selama pemeliharaan burayak kima, sedangkan kima mu-
124
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Induksi dengan ekstrak jaringan kelamin dilakukan penyemprotan suspensi tersebut kedalam sifon inhalent kima, sedang induksi dengan serotonin dilakukan dengan penyuntikan 1 mM serotonin dalam air laut saring sebanyak 1 — 2 mL ke dalam jaringan kelamin kima. Pemijahan akan terjadi beberapa menit kemudian. Telurtelur yang dipijahkan dapat ditampung langsung ke dalam kantung plastik atau kedalam ember melalui tabung pemijahan. Tabung pemijahan adalah tabung PVC berbentuk L yang ditempatkan diatas sifon ekshelent kima pada waktu memijah sedemikian rupa sehingga telur-telur kima dapat disalurkan melalui tabung tersebut dan ditampung dalam ember.
kebutuhan energi selama perkembangan embrional kima. Disamping kematangan telur, ukuran telur juga menentukan kelulus hidupan burayak kima. Telur yang besar dengan persediaan kuning telur yang cukup banyak menghasilkan burayak dengan kelulus hidupan yang tinggi (FITT et al. 1984). Pemijahan kima dapat dilakukan seca-ra spontan maupun induksi. Pemijahan spontan terjadi apabila beberapa induk matang telur dipelihara di dalam bak air mengalir (HESLINGA et al 1984). Sedangkan pemijahan induksi dapat terjadi dengan rangsangan suspensi dari jaringan kelamin kima yang sejenis (GWYTHER dan MUNRO 1981); atau serotonin (BRALEY 1985 dan CRAWFORD et al. 1986). Telah diketahui bahwa kima bersifat hemafrodit (WADA 1954) dan memijah sepanjang tahun (HESLINGA et al. 1984). Namun pemijahan kima tidak selalu menghasilkan telur dan sperma pada waktu yang sama. Beberapa induk lebih banyak memijahkan sperma dari pada telur. Oleh karena itu perlu disediakan beberapa induk kima yang benar-benar mengandung telur-telur dan sperma yang sudah matang kelamin. Kima yang tua baik dijadikan induk karena lebih banyak mengandung telur dan cenderung menjadi betina (CRAWFORD et al. 1986). Sedangkan tingkat kematangan kelamin dari induk kima dapat diperiksa dengan teknik biopsi, yaitu pemeriksaan sampel jaringan kelamin kima yang diambil dengan jarum biopsi (BRALEY 1984, SHELEY dan REID 1988). Dengan teknik ini, induk yang benar-benar matang kelamin dapat diseleksi dan dirangsang untuk memijah dengan ekstrak jaringan kelamin atau serotonin (5-hydroxytriptamin ne creatinine sulfate complex).
Pembuahan dan pemeliharaan larva/burayak kima
Pembuahan dilakukan dengan mencampurkan sedikit sperma ke dalam telurtelur yang sudah dipilah dari beberapa ekor induk. Zigote (telur yang sudah dibuahi) kemudian disiram keatas saringan untuk membersihakan sisa-sisa sperma, lalu diinkubasi dalam air laut saring dengan aerasi kecil. Sesudah inkubasi selama 40 — 48 jam, zygote akan berkembang menjadi veliger yang dilengkapi dengan cangkang transparan berbentuk huruf D (Gambar 1A). Sebelum pemeliharaan veliger selanjutnya, BRALEY at al. (1988) menganjurkan untuk memilah D-veliger. Hanya burayak yang berenang dipermukaan yang diciduk dengan saringan dan dipindahkan kedalam air saring yang bersih. Cara ini dapat menghindari kematian burayak karena kontaminasi oleh bakteri yang berkembang dengan baik.
125
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Burayak kima mempunyai persediaan lipid yang tinggi untuk perkembangannya (SOUTHGATE 1988). HESLINGA (1989) berpendapat bahwa burayak kima bersifat lecitotroph dan tidak perlu diberi makan. Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian makan sejak dini dapat meningkatkan kelulus hidupan hingga 80 % sesudah metaforfosa menjadi spat (BRALEY et al 1988). Walaupun 6 bulan kemudian kelulus hidupannya turun menjadi 2,44 %, namun masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh HESLINGA et al. (1984) dengan perlakuan tanpa makanan yaitu 0,1 %. Jadi pemberian pakan dapat meningkatkan kelulus hidupan kima. Pakan dapat berupa ganggang satu sel yang mempunyai kandungan lipid tinggi yang termasuk kelompok Diatomae; dapat pula berupa pakan buatan "micro-encapsulated diet" yang banyak dijual dipasaran. Pakan yang terdiri dari Isochrysis galbana atau Pavlona salina dapat diberikan sebanyak 1 0 - 1 0 0 ribu sel/ml (CRAWFORD et al 1986, BRALEY et al. 1988) atau 20.000/ml untuk pakan buatan. Pemeliharaan burayak sebaiknya menggunakan air laut saring dengan penyaringan hingga 1 mikron dengan kepadatan 2 — 10 burayak/ml. Penggantian air dilakukan sebanyak 40 — 100% setiap hari. Pemberian pakan dapat dihentikan sesudah mencapai pediveliger (Gambar IB dalam Panggabean, 1991) pada umur 7 — 1 hari. Pediveliger adalah masa peralihan dari kehidupan planktonik menuju kehidupan bentik menjadi spat. Spat kima mempunyai cara hidup menempel di dasar dan bersimbiose dengan zooxanthella. Metamorfosis dari pediveliger menjadi spat (Gambar 1C dalam PANGGABEAN 1991) adalah masa krisis dalam perkembangan burayak kima. Ada tiga hal yang hams diperhatikan dalam proses metamorfosis:
1. Pediveliger berpuasa selama metamorfo sis, jadi pediveliger harus cukup menyimpan cadangan lemak untuk kebutuhan energinya yang besar. 2. Harus tersedia substrat yang memadai sehingga pediveliger tidak menghabiskan energinya dalam mencari-cari substrat yang cocok untuk menempelkan diri. 3. Tersedia ganggang simbion, zooxanthella, di jaringan mantelnya yang diperlukan untuk kehidupan selanjutnya secara simbiosis. Maka sesuai dengan tingkat perkembangannya, pemberian pakan dihentikan pada fase pediveliger, digantikan dengan pemberian zooxanthella sebanyak kira-kira 26 sel/ml. Ganggang simbion ini dapat diperoleh dengan memotong jaringan mantel kima dan menyiram jaringan tersebut dengan air saring melalui saringan 25 mikron. Bersama-sama dengan pemberian zooxanthella, disediakan pula kepingan-kepingan dengan permukaan kasar seperti batu karang atau ampelas ke dalam kolam pemeliharaan (BRALEY et al 1988. Hasil penelitian BRALEY et al 1988) menyatakan bahwa permukaan yang kasar baik dijadikan substrat penempel bagi spat kima. Asuhan (nursery). a. Asuhan dalam akuarium Biasanya persentase burayak yang berhasil melewati metamorfosis sangat rendah. Hanya spat kima yang berhasil memperoleh substrat yang sesuai, menangkap zooxanthella dan memperoleh kebutuhan energi untuk metamorfosis (dari hasil fotosintesa zooxanthella) yang dapat melanjutkan kehidupannya. Sesudah pasca metamorfosis, spat kima yang "sehat" dapat dipindahkan kedalam air mengalir di bawah sinar matahari. Spat kima dapat ditebar di dalam ko-
126
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
menggunakan mata jaring 26 mm (Gambar 2). Untuk kima berumur 2 tahun dapat dipelihara dengan kurungan lebih sederhana dengan mata jaring lebih besar, misalnya 40 x 60 mm (Gambar 3).
lam tersebut dengan kepadatan 1000 - 2000 spat/m2 (HESLINGA et al. 1984). Air masuk pada kolam air mengalir disaring melalui saringan 25 milimikron. Debit air diatur sedemikian rupa sehingga air dalam kolam asuhan dapat berganti seluruhnya dalam waktu 36 jam. Menu rut perkembangan terakhir (GERVIS 1990) sedang diuji model kolam berbentuk lingkaran (Gambar 1). Kelebihan dari kolam seperti ini adalah : - besaran arus lebih merata di semua titik. - kotoran dapat terpusat di tengah dan terbuang sendiri - cahaya yang diperlukan untuk fotosintesa lebih merata.
c. Pembesaran kima
Kima berumur 2,5 tahun cangkangnya sudah cukup tebal dan kebal terhadap predator. Kima selanjutnya dibesarkan tanpa kurungan di tempat yang sama sampai panen atau sebagian ditebar kembali di beberapa terumbu karang untuk tujuan peremajaan dan pelestarian kima. BEBERAPA KENDALA DALAM BUDIDAYA KIMA DAN PENANGGULANGANNYA
b. Asuhan di Laut (Ocean Ranching)
Menurut perkembangan terakhir, asuhan tidak perlu dilakukan dalam kolam air mengalir selama 2,5 tahun, melainkan sebagian waktu asuhan dilakukan di laut. Kima muda berumur sekitar 9 bulan (panjang cangkang sekitar 2 cm) dipindahkan dari kolam air mengalir dan ditempatkan dalam kurungan supaya kima muda terhindar dari gangguan predator. Kima dipelihara dalam kurungan hingga mencapai ukuran lebih dari 15 cm. Untuk kemudahan kerja dan efisiensi biaya,maka konstruksi kurungan dan lokasi asuhan harus dipertimbangkan sedemikian rupa sehingga kima tumbuh optimal dengan angka kematian yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah intertidal (CRAWFORD et al 1988) atau substidal (HESLINGA et al 1986) cukup ideal sebagai tempat asuhan kima. Kurungan dapat dibuat dari plastik anyaman memanjang (30 x 1,1 m) dan diberi sekat setiap 2 m. Untuk sisi dan dasar kurungan menggunakan mata jaring selebar 12 mm, sedangkan tutup yang dapat dibuka
Beberapa kendala yang sering mengganggu dalam usaha budidaya kima antara lain adalah kontaminasi oleh bakteri oleh bakteri , kompetitor dan predator. Kontaminasi oleh bakteri
Kontaminasi oleh bakteri dapat terjadi sesudah pembuahan dan pemberian pakan yang kurang diperhatikan. Sisa-sisa telur, sperma dan pakan adalah media/nutrien yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga cepat membusuk dan dapat menyebabkan kematian burayak kima. Sisa-sisa sperma dapat dibersihkan dengan pembilasan telur-telur yang sudah dibuahi dengan menggunakan mata jaring 25 mikron. Sedangkan sisa-sisa telur yang tidak berkembang hanya dapat dibersihkan sesudah perkembangan embrional kima mencapai veliger berumur 2 hari sesudah pembuahan. Veliger yang berenang dipermukaan dapat ditangkap dengan jaring plankton yang bermata jaring 80 mikron, dibilas dan dipindahkan ke dalam media baru yang bersih.
127
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Kolam asuhan untuk spat kima. A : tampak atas. B : tampak samping. (Sumber: GERVIS 1990).
128
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 2. Kurungan pembesaran kima (sumber : BARKER et al 1988)
Gambar 3. Kurungan untuk kima berumur 2 tahun (sumber BARKER et al 1988)
129
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Kompetitor
Predator umumnya berukuran lebih besar dari mengsanya. Predator dapat menghancurkan cangkang kima muda yang tipis dan mengkonsumsi jaringan lunaknya. Mengatasi predator dapat dilakukan dengan teknik perlindungan (telah diterangkan di atas: asuhan di laut). Hama termasuk kendala penting dan perlu diperhatikan karena mengatasinya lebih sulit. Burayak C. muricinum dapat melewati mata jaring dan memasuki kurungan dan menyerang kima muda. Spat dari siput tersebut kemudian menempel di selasela antara cangkang dan mantel, kemudian dapat tumbuh menjadi dewasa dalam waktu 1 tahun. Siput dewasa berukuran 3 cm dapat mematikan kima T. derasa yang panjangnya 15 cm dan T. gigas yang panjangnya 17 cm. Gejala kima "sakit" adalah cangkang yang selalu terbuka dan mantel yang turun kebawah didalam cangkangnya. Mengatasi kima ini hanya dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan berkala dan pembersihan setiap minggu. Yang penting harus diperhatikan adalah "waktu tebar". Waktu tebar untuk kima muda sebaiknya diluar musim pemijahan C muricinum. Di pulau YAP C. muricinum muda banyak diketemukan pada bulan April 1984 (PERON et al 1985). Hama siput yang lain adalah Pyrgirus sp. Siput ini hidup mengelompok diantara ganggang benang yang menempel pada cangkang kima waktu masih berada di kolam asuhan. Masuknya hama ini tidak terbawa oleh air masuk, tetapi mungkin terbawa masuk bersama induk. Oleh karena itu sebaiknya induk kima diperiksa dengan teliti dan dibersihkan dengan baik sebelum dipijahkan. Daur hidup hama ini sangat singkat. Dalam waktu 4 bulan Pyrgisus sp. yang semula berjumlah 6 ekor dapat
Ganggang laut, terutama dari jenis algas benang merupakan kompetitor utama di dalam kolam asuhan kima. Spora-spora algae dapat terbawa melalui air mengalir dan tumbuh sangat cepat hingga menutupi spat kima di dasar dan dinding kolam asuhan. Tidak seperti ganggang dari jenis lain, alga benang menempel sangat kuat pada dasar dan dinding kolam sehingga sulit dibersihkan dengan car a sifonisasi. HESLINGA et al (1984) memasukkan lola (Trochus nibticus), sejenis siput pemakan ganggang untuk mengontrol pertumbuhan algae tersebut. Namun cara ini ternyata kurang efektif karena siput laut tersebut mengeluarkan kotoran yang menganggu kesehatan kima. Cara penanggulangan ganggang menurut BRALEY et al (1988) yaitu pengurangan intensitas cahaya dengan menggunakan tirai peneduh. Tirai dari kain dapat mengurangi intensitas cahaya matahari pada panas terik hingga menjadi 400 uE/m2/ detik. Perlakuan ini dapat diberikan pada tiga bulan pertama pertumbuhan kima. Pada intensitas cahaya rendah, pertumbuhan ganggang benang dibatasi,tetapi pertumbuhan spat kima tidak terganggu karena cangkangnya masih transparan, sehingga zooxanthella cukup memperoleh sinar untuk fotosintesa (FISHER et al 1985). Predator dan hama
Kima muda dibawah umur 2,5 tahun (panjang cangkangnya 15 cm) amat rawan terhadap hewan-hewan pemangsa (predator) termasuk kepiting, ikan pemakan moluska, siput laut Chriroreusromosus dan sotong serta hama yang termasuk Cymatium muricinum (HESLINGA and WATSON 1985; PERON et al 1985) dan Pyrgisus sp. (CUMMING1988).
130
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
produksi otot adduktor/tahun dapat bernilai 15 % x 22 x $ 33.000 (hargaini belum dikurangi biaya produksi). Biaya produksi hanyalah berupa konstruksi kolam-kolam asuhan, kurungan-kurungan dan tenaga lokal. Biaya ini tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Maka dapat dipastikan bahwa usaha budidaya kima cukup menguntungkan. Dalam perhitungan nilai ekonomis dari usaha ini, pilihan jenis dan waktu panen perlu dipertimbangkan. Dalam pilihan jenis, laju pertumbuhan dan kelulus hidupan harus diperhitungkan. Dua jenis kima terbesar, yaitu T. gigas dan T. derasa dipilih untuk dibudidayakan karena T. gigas pertumbuhannya paling cepat dari kima lainnya, sedangkan T. derasa pertumbuhannya lebih lambat, naniun kelulus hidupannya lebih tinggi dari
berlipat ganda menjadi 1700 ekor. Hasil penelitian CUMMING (1988) menunjukkan bahwa T.gigas berumur 13 bulan dapat terbunuh hanya oleh 2 ekor Pyrgisus sp. setelah 3 bulan kemudian. TINJAUAN EKONOMI UNTUK BUDIDAYA KIMA
Waktu pemeliharaan kima hingga panen cukup lama namun cukup menguntungkan karena pembesaran kima tidak memerlukan biaya untuk pakan. Produksi biomassa kima per satuan luas cukup tinggi; untuk T. derasa, produksi daging dalam 3 tahun pertama adalah 13 ton/ha/tahun (HESLINGA et al. 1984). Dua tahun kemudian, yaitu antara tahun ketiga dan kelima, berat daging meningkat menjadi empat kali lipat. Menurut perhitungan teoritis untuk 5 tahun panen, maka perolehan petani rata-rata adalah daging kima sebanyak 22 ton/ha/tahun dengan hasil sampingan berupa cangkang kima sebanyak 140 ton (HESLINGA and WATSON 1985). Daging tersebut termasuk mantel, gonad dan jarohan sebanyak 85 % dan otot adduktor sebanyak 15 % (Tabel 1). Otot inilah yang merupakan komoditi ekspor. Apabila dihitung nilainya berdasarkan harga berat basah ditempat, yaitu 10 US dolar (MUNRO 1985), maka
T. gigas.
Waktu panen yang paling ideal adalah waktu panen yang menghasilkan pertambahan berat otot adduktor paling besar, namun kelestarian kima tetap terpelihara. Waktu panen yang ideal berbeda-beda untuk jenis yang berbeda. T. derasa mencapai kedewasaan pada umur 5 tahun, sedangkan pertambahan berat maksimal untuk otot adduktor dicapai pada umur 6 tahun sesudah penebaran. Maka WATSON and HESLINGA (1988) menganjurkan waktu panen untuk jenis tersebut adalah 6 tahun.
131
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Bagian-bagian badan kima menurut panjang cangkangnya.
Sumber: MUNRO (1985).
BRALEY, R.D. 1985. Serotonin-induced spawning in giant clams (Bivalvia : Tridacnidae). Aquaculture 47 : 321 - 325. BRALEY, R.D., W.J. NASH, J.S. LUCAS and CM. CRAWFORD 1988. Comparison of different hatchery and nursery culture methods for the giant clam Tridacna gigas. In : Giant clams in Aisa and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds.). ACIAR Monograph 6. CRAWFORD, CM. W.J. NASH and J.A. LUCAS 1986. Spawning induction, and larval and juvenile rearing of the giant clam, Tridacna gigas. Aquaculture 58 : 281 - 295. CRAWFORD, CM., R.D. BRALEY and W.J. NASH 1988. Interspecific growth rates of cultured giant clams on the Great Barrier Reef. In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds). ACIAR Monograph 6: 1 1 5 - 1 1 9 .
DAFTAR PUSTAKA
BARKER’ J.R., CM. CRAWFORD, C.C. SHELEY, R.D. BRALEY, J.S. LUCAS, W.J. NASH and S. LINDSAY 1988. Ocean nursery technology and production data for the giant clam Tridacna gigas. In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds). ACIAR Monograph 6 : 225 - 228. BECKVAR, N. 1981. Cultivation, spawning and growth in the giant clams Tridacna gigas, Tridacna derasa and Tridacna squamosa in Palau, Carolina Islands. Aquaculture 24 (1) : 11 -20. BRALEY, R.D. 1984. Reproduction in the giant clams Tridacna gigas and Tridacna derasa in situ on the North Central Great Barrier Reef and Papua New Guinea. Coral reef, 3 : 221 - 227.
132
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
CRAWFORD, CM., J.S. LUCAS and WJ. NASH 1986. Growth and survival during the nursery rearing of giant clams, Tridacna gigas. 1. Assesment of tour culture methods. Aquaculture 68 : 103 — 113. CUMMING, R.L. 1988. Pyramidellid Parasites in giant clams mariculture systems. In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds). ACIAR Monograph 6 : 231 - 236. ESTACION, J.S. 1988. Ocean-nursery phase for giant clams in the Central Visayas, Philippines. In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds) ACIAR Monograph 6: 1 1 5 - 1 1 9 .
GWYTHER, J. and J.L. MUNRO 1981. Spawning induction and rearing of larvae of tridacnid clams (Bivalvia : Tridacnidae). Aquaculture 24 : 197 — 217. GOREAU, T.F., N.I. GOREAU and CM. yonge 1973. On the utilization of photosynthetic products from zooxanthella and of a dissolved amino acid in Tridacna maxima f. elongata (Mollusca : Bivalvia).J. Zool (London) 169 : 417 454. HARDY, J.T. and S.A. HARDY 1969. Ecology of Tridacna in Palau. Pac. Sci. 23 : 467 -472. HESLINGA, G.A. 1989. Lecithotropy in Tridacna derasa Good news for hacheries. MMDC Bulletin 4 (1): 1 HESLINGA, G.A. and T.C WATSON 1985. Recent advances in giant clam mariculture. Proc. Int. Congres Coral Reefs 5: 531 -537. HESLINGA, G.A., T.C WAATSON and T. ISAMU 1986. Cultivation of giant clams: beyond the hatchery. Paper presented to the first Asian Fisheries Forum, Manila, Philippines, 14 pp. HESLINGA, G.A.. F.E. PERRON and 0. ORAK 1984. Mass culture of giant clams (f. Tridacnidae) in Palau. Aquaculture 39 : 197 -215. JAMESON, S.C 1976. Early life history of the giant clams Tridacna crocea (Lamarck) T. maxima (Roding) and Hippopus hippopus (Linnaeus). Pas. Sci. 30: 219-233. LA BARBER A, M. 1975. Larvae and post larvae development of the giant clams Tridacna squamosa (Bivalvia Tridacnidae). Malacologia 15 : 69 — 79.
FISHER, C.R., W.K. FITT and R.K. TRENCH 1985. Photosyntesis and respiration in Tridacna gigas a functions of irradiance and size. Biol Bull. 169 : 230-245. FITT, W.K. 1985. The effect of different strains of the zooxanthella S. microadriaticum on growth and survival of their coelenterate and mollusca hosts. Proc. Congres Coral Reefs. 6 : 131 136. FITT, W.K. and TRENCH 1981. Spawning development and acquisition of zooxanthellae by Tridacna squamosa (Mollusca : Bivalvia). Biol Bull 161 : 213 235. FITT, W.K., C.R. FISHER and R.K. TRENCH 1984. Larval biologi of tridacnid clams. Aquaculture 39 : 181 — 192. GERVIS, M. 1990. Is there an optimum design for the rearing of giant clams. ClamlinesS : 7 - 10.
133
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MC MICHAEL, D.F. 1975. Growth rate, population size and mantle cooloratioon in the small giant clam, Tridacna maxima (Rooding), at One Tree Island, Capricorn Group, Queensland. Proc. 2nd. Int. Coral Reef Symp. 1 : 241 - 254. MINGOA, S.S.M. 1988. Photoadaptation in Juvenile Tridacna gigas In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS ads). ACIAR Monograph 6: 145-150. MUNRO, J. 1985. Economic and social aspects of the development of mariculture systems for giant clams (Tridacnidae : Bivalvia) in the Australian region and the Western Pacific. I. Production parameters and calculated harvests. Int. Giant Clam Mariculture Project Discussion Paper 2, 9 pp. PANGGABEAN, L.M.G. 1990. Rahasia kehidupan kima : I. Swasembada pangan. Oseana 15 (3): 157-163. PANGGABEAN, L.M.G. 1991. Rahasia kehidupan kima : III. Kelangsungan hidup. Oseana 16 (2): 35-45. PEARSON, R.G. 1977. Impact of foreign vessels poaching giant clams. Aut. Fish. J. 36(7): 8-11.
PERRON, F.E., G.A. HESLINGA and J.O. FAGOLIMUL 1985, The gastropod Cymatium muricinum, a predator on juvenile tridacnid clams. Aquaculture 48 : 211 -221. SHELEY, C.C and R.G.B. REID 1988. An improoved gonad biopsy technique for Hippopus hippopus. In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds) ACIAR Monograph 6: 95-97. SOUTHGATE, P.C. 1988. Biochemical development and energetics of Hippopus hippopus larvae. In : Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds.). ACIAR Monograph 6 : 155 -166. TISDELL, C. and K. MENZ 1988. Socioeconomic considerations in giant clams mariculture. In Giant clams in Asia and the Pacific 6 : 246 - 249. WADA, S.K. 1954. Spawning in the tridacnid clams. Jap. J. Zool 11 : 273 — 285. WATSON, T.C. and G.A. HESLINGA 1988. Optimal harvest age for Tridacna derasa : maximizing biological production. In Giant clams in Asia and the Pacific (J.W. COPLAND and J.S. LUCAS eds.). ACIAR Monograph 6 : 221 - 224.
134
Oseana, Volume XVII No. 3, 1992