PERBEDAAN KONSEP SEX DAN GENDER PADA PERAN SHEN TE DAN SHUI TA DALAM DRAMA “DER GUTE MENSCH VON SEZUAN (THE GOOD PERSON OF SZECHWAN)” KARYA BERTOLT BRECHT Maya Ardianingtyas dan Lily Tjahjandari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia E-Mail:
[email protected]
Abstrak Di dalam jurnal ini akan dibahas perbedaan konsep seks dan gender perempuan, melihat bahwa banyak kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat dalam membedakan makna seks dan gender khususnya dalam perempuan. Teori yang dipakai adalah teori performatifitas gender yang dikemukakan oleh Judith Butler. Performatifitas gender menilai gender dari tindakan dan sikap seseorang di dalam memilih gendernya di dalam masyarakat, sementara seks adalah Selain membahas tentang perbedaan konsep seks dan gender, akan dianalisis pula bagaimana Shen Te, di dalam drama karya Bertolt Brecht, “Der gute Mensch von Sezuan“ keluar dari stereotipenya sebagai perempuan yang lemah.
The Difference between Sex and Gender Concepts of Women on the Role of Shen Te and Shui Ta in the Drama "Der gute Mensch von Sezuan” by Bertolt Brecht Abstract The difference between sex and gender concepts of women remains unclear, since we often mistinterpret the definition between sex and gender. The theory which will explain this topic, is gender performativity expressed by Judith Butler. Gender performativity assess gender of one's actions and attitude in selecting his/her own gender within the community. In addition to discuss about the concept of sex and gender differences, will be also analysed how Shen Te, in the works of Bertolt Brecht's drama "Der gute Mensch von Sezuan" out of her stereotype as a weak woman. Shen Te is a woman who is seen weak by her family and relatives but apparently she will show them how great she is in doing a disguise as a man which will furtherly explained as the difference between sex and gender concepts Keywords: Bertolt Brecht, Der gute Mensch von Sezuan, Gender performativity, Stereotype, Sex, Gender.
Pendahuluan Drama merupakan salah satu karya sastra yang terbilang klasik, jika dibandingkan dengan genre-genre baru yang bermunculan di dalam dunia kesustraan seperti cyber literature. Layaknya film, drama menyuguhkan lakon dan cerita yang dapat dinikmati orang secara visual, sehingga pesan yang terkandung di dalam sebuah pementasan drama dapat tersampaikan. Seringkali penonton terlarut di dalam sebuah drama, itulah sebabnya banyak
1
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
seniman yang menyalurkan pemikiran maupun kritiknya melalui drama. Hal ini yang membuat drama tidak pernah kehilangan peminatnya. Kata drama sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti lakon. Salah satu dramatur yang terkenal di dalam dunia sastra adalah Bertolt Brecht. Eugen Berthold Friedrich Brecht lahir di Augsburg, Jerman, 10 Februari 1898 dan meninggal di Berlin, 14 Agustus 1956. Semasa hidupnya, Brecht telah menciptakan sedikitnya 50 karya drama, yang tidak hanya populer di Jerman, melainkan juga di seluruh dunia. Beberapa karya Brecht yang amat terkenal antara lain, Die Dreigroschenoper, Mutter Courage und ihre Kinder, Das Leben des Galilei serta Der gute Mensch von Sezuan. Judul yang terakhir disebutkan, Der gute Mensch von Sezuan atau dalam bahasa Inggris The Good Person of Szechwan, merupakan korpus data yang akan digunakan di dalam makalah ini. Dalam beberapa karya sastra, khususnya drama, perempuan jarang diberi peran khusus. Biasanya mereka cenderung diberi label atau stereotipe, misalnya dalam drama tentang keluarga, perempuan identik dengan peran ibu rumah tangga, atau terkadang ibu tiri yang identik dengan sifatnya yang culas. Selalu peran perempuan ditempeli peran sosial yang menandakan bahwa mereka adalah perempuan yang harus bertindak layaknya seorang “perempuan”. Hal ini diperkuat dengan adanya norma masyarakat, adat istiadat dan bahkan agama yang cenderung melanggengkan budaya patriarkal. Masyarakat pun cenderung mencampuradukkan konsep seks dan gender. Khususnya terhadap perempuan. Perempuan “diciptakan” untuk memiliki rambut panjang, menjadi ibu, memakai rok, patuh dan hanya dijadikan pendengar di masyarakat. Sehingga jika ada seorang perempuan yang keluar dari pakem-pakem tersebut, maka perempuan tersebut akan menuai cemoohan dari masyarakat. Akan tetapi Brecht, yang beberapa karyanya mengangkat perempuan sebagai figur utama, berusaha melucuti peran pasif perempuan, yang digambarkan selalu menurut, mengalah, dan hanya bisa menerima kenyataan. Khususnya di dalam Der gute Mensch von Sezuan yang sarat kritik terhadap kapitalisme yang secara tidak langsung mengopresi peran perempuan sebagai makhluk yang tidak berdaya dan memiliki kelas di bawah laki-laki. Di Jerman yang pada saat itu dikuasai oleh NSDAP (Nazi) misalnya, membuat sebuah propaganda terhadap perempuan, bahwa perempuan dididik untuk menjadi seorang ibu yang baik, yang harus mengerti bagaimana cara melakukan pekerjaan rumah dengan baik, bahkan tata cara di dalam melakukan pekerjaan rumah tersebut diujikan bagi para pelajar perempuan yang ingin lulus dari sekolah keputrian. Domestifikasi pada perempuan tak hanya berhenti sampai pada 2
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
pekerjaan rumah saja. Ketika krisis keuangan di Jerman makin memburuk, perempuan pun diharuskan untuk ikut memberikan andil dalam bidang industri. Mereka dijadikan buruh perempuan dengan gaji yang sangat minim dan pekerjaan yang sangat tidak terhormat, dengan dalih pengabdian kepada negara dan figur sebagai ibu yang berbakti. Rahim mereka juga dieksploitasi karena harus melahirkan anak-anak yang memiliki ras Aria murni. Para ibu yang keguguran atau tidak memiliki anak akan dihukum, bahkan sampai hukuman mati, sedangkan para ibu dengan ras campuran dan/atau penyakit bawaan dari keluarganya, harus disterilisasi rahimnya karena hidupnya dianggap tidak berharga dibanding manusia-manusia normal dan agar tidak melahirkan anak yang nantinya akan dianggap mencoreng kemurnian ras Aria. Bertolt Brecht mencoba menyelipkan unsur feminisme di dalam karya ini melalui peran Shen Te. Di dalam Der gute Mensch von Sezuan, tokoh Shen Te, seorang pelacur, secara tiba-tiba dihadiahi uang lebih dari 1000 Silberdollar oleh tiga dewa yang sedang turun ke bumi untuk mencari orang baik. Ketiga dewa ini berpesan agar Shen Te selalu menjadi pribadi yang baik, secara perilaku maupun cara hidupnya. Pada awalnya perjalanan Shen Te menjadi orang baik terbilang mulus, hingga pada akhirnya ia menjadi jengah karena kebaikannya ternyata dimanfaatkan oleh orang-orang sekitarnya. Ia ingin sekali melawan, tetapi setiap ia melawan, ia selalu teringat pesan ketiga dewa kepadanya, selain itu kedudukannya sebagai perempuan membuatnya merasa dipinggirkan. Masyarakat lebih mengandalkan hadirnya seorang laki-laki, di dalam cerita ini disebut sebagai sepupu Shen Te, untuk datang menyelamatkan nasib Shen Te. Hingga pada suatu ketika, Shen Te terpaksa harus mengeluarkan alter ego-nya, seorang laki-laki bernama Shui Ta yang menyebut dirinya sebagai sepupu Shen Te. Di tangan Shui Ta, kios tembakau Shen Te berhasil disulap menjadi pabrik tembakau, dan saudara-saudara yang memeras Shen Te dipekerjakan Shui Ta sebagai buruh di pabrik tembakau itu. Sosok Shen Te yang lemah, dan pasif secara mengejutkan menjelma menjadi sosok Shui Ta yang dingin dan tegas. Sayangnya penyamaran ini tidak bisa bertahan lama, karena pada suatu hari, salah satu kerabat Shen Te mendengar suara Shen Te sedang menangis, namun setelah dilihat, hanya ada sesosok Shui Ta, dan beberapa potong baju Shen Te. Ia kemudian berspekulasi bahwa Shui Ta telah membunuh Shen Te. Shui Ta lantas diseret ke pengadilan, yang dihakimi oleh tiga dewa. Shui Ta berkata kepada tiga dewa, ia akan mengaku jika di dalam ruang pengadilan tersebut hanya ada dirinya dan ketiga dewa. Setelah orang-orang keluar dari ruang pengadilan, Shui Ta mengaku kepada tiga dewa bahwa ia adalah Shen Te. Ia mengaku, untuk hidup tidak hanya sebagai orang baik kepada dirinya sendiri, akan tetapi kepada sesama manusia, menurutnya hanyalah hal yang utopis, mustahil. Namun ketiga dewa tersebut menjelaskan 3
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
bahwa Shen Te harus tetap bisa bertahan hidup, apapun yang terjadi, karena sesungguhnya ia adalah orang baik. Setelah membaca drama Der gute Mensch von Sezuan ini, ada hal menarik yang membuat saya ingin membahas lebih dalam mengenai perbedaan konsep seks dan gender perempuan. Yang pertama adalah keberanian Brecht untuk menampilkan tokoh Shen Te sebagai tokoh utama, padahal jika ditilik dari tahun penulisannya, saat itu merupakan Perang Dunia II. Propaganda yang marak terjadi bagi kaum perempuan khususnya di Amerika Serikat dan Jerman di kala Perang Dunia II adalah A Happy American Housewife, bagi para perempuan Amerika Serikat serta Mutterkreuz bagi perempuan Jerman. Dengan tujuan yang kurang lebih sama, yaitu domestifikasi bagi kaum perempuan. Di tengah maraknya domestifikasi bagi perempuan, Brecht menciptakan sosok Shen Te yang digambarkan mampu berperilaku sebagai perempuan dan juga laki-laki. Yang terakhir adalah keterkaitan antara tokoh Shui Ta dengan kapitalisme. Ketika Shen Te berubah menjadi Shui Ta, mendadak usaha tembakaunya menjadi sukses. Para saudaranya yang saat itu memanfaatkan kelemahan Shen Te, dijadikan buruh oleh Shui Ta. Brecht yang merupakan seorang Marxis, berusaha menjelaskan sudut pandangnya mengenai kapitalisme yang dianggap hanya merugikan, karena manusia dibagi berdasarkan kelas sosialnya. Shen Te bertransformasi menjadi Shui Ta, karena masyarakat menganggap kelas sosial perempuan sangat jauh di bawah laki-laki, serta dianggap tidak seproduktif laki-laki. Lantas bagaimana dengan Shen Te dan Shui Ta? Mereka dua kepribadian yang berbeda tetapi satu. Satu raga dan jiwa, namun menjalankan peran sosial yang berbeda, yang satu bergender perempuan, yang satu lagi bergender laki-laki. Di sinilah konsep gender yang menurut masyarakat haruslah selaras dengan seks (jenis kelamin), dipertanyakan. Shui Ta memang digambarkan sebagai seorang lelaki, akan tetapi apakah ia memang seorang lelaki? Di balik pakaian, suara, dan tingkah laku laki-laki yang ditampilkan Shui Ta, ada seorang perempuan bernama Shen Te yang sesungguhnya menjadi otak dan otot bagi tokoh Shui Ta. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa sesungguhnya konsep seks dan gender tidaklah identik. Sejatinya gender tidak bisa dilekatkan begitu saja dengan seks, dan seks tidak serta merta dapat dilihat dari gender seseorang. Dari uraian tersebut saya akan memakai teori performatifitas gender Judith Butler untuk mengaitkan perbedaan konsep seks dan gender, khususnya dalam stereotip perempuan di mata masyarakat, dengan peran Shen Te dan Shui Ta. 4
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
Tinjauan Teoritis Sesungguhnya perbedaan gender bukanlah permasalahan besar selama tidak menciptakan ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi yang menjadi persoalan, perbedaan gender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki dan perempuan yang termanifestasikan dalam bentuk marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi, subordinasi (anggapan tidak penting dalam keputusan politik), pembentukan stereotipe, kekerasan seksual serta beban kerja yang lebih banyak dan lebih panjang (Fakih, 2013: 13). Dalam konsep nature (alami) dan nurture (sosial) ditekankan bahwa akar pangkal permasalahan ketidakadilan gender pada perempuan disebabkan oleh kebertubuhan perempuan itu sendiri. Charles Darwin secara ilmiah mengungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dari ukuran, kekuatan tubuh dan juga dalam pemikirannya. Kemudian seorang ilmuwan bernama M.A Hardaker dalam Sumiarni (2004) menambahkan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan berpikir dan kreativitas yang lebih rendah daripada laki-laki, tetapi unggul dari segi intuisi. Kromosom seksual pada perempuan yang sejenis pun juga ternyata dijadikan parameter dalam pembedaan perempuan dan laki-laki. Perempuan yang berkromosom XX dianggap pasif jika dibandingkan dengan kromosom laki-laki, XY, yang dapat menentukan jenis kelamin seorang bayi. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak dapat terbantahkan lagi karena sifatnya yang kodrati, tetapi efek dari perbedaan tersebut yang memunculkan ketimpangan dalam relasi gender di masyarakat. Subordinasi perempuan berkaitan dengan kebertubuhannya makin dilanggengkan, khususnya jika ditilik dari pendekatan psikologi. Banyak feminis psikoanalis yang menganggap subordinasi gender pada perempuan disebabkan oleh Determinisme Biologis yang dicetuskan Sigmund Freud dalam Three Contributions to the Theory of Sexuality (Tong, 2006). Saat itu ia mencoba mencari korelasi antara jenis kelamin dan gender seseorang. Dalam tulisannya tersebut, Freud menyebutkan adanya tahapan seksual pada masa bayi. Orang-orang pada zaman Freud sebelumnya selalu menyamakan kegiatan seksual dengan seksualitas genital reproduktif (hubungan seksual heteroseksual) dan menganggap anak-anak tidak berjenis kelamin. Berangkat dari pandangan orang-orang awam tersebut serta dengan menolak anggapan bahwa anak-anak adalah naif, Freud mengemukakan anak-anak sama sekali bukan manusia tanpa hasrat seksual. Ia membagi tahapan seksual pada anak-anak ke dalam 3 tahap. Tahapan pertama adalah tahapan oral. Selama tahapan oral, bayi menemukan kenikmatan dalam menghisap payudara ibunya maupun ibu jarinya sendiri. Tahapan kedua adalah tahapan anal, tahapan ini dimulai ketika anak merasakan sensasi yang menyenangkan pada saat proses 5
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
pelepasan kotoran dari tubuhnya, contohnya adalah ketika anak senang berlama-lama dengan shower yang diarahkan ke anusnya saat ia membersihkan diri. Kemudian tahapan terakhir adalah tahapan falik, ketika anak mulai memasuki masa pubertas dan menyadari bahwa alat kelaminnya berfungsi dan menimbulkan sensasi saat ejakulasi. Menurut Freud, apa yang membedakan perempuan dan laki-laki ada pada tahapan falik ini. Perempuan tidak memiliki penis dan tidak pernah memasuki tahapan falik dengan sempurna. Anak yang memasuki dua tahap pertama (oral dan anal) masih di bawah bimbingan ibunya, kemudian secara sadar harus terpisah dari ibunya dan mulai memposisikan diri mereka sebagai ibu maupun ayah. Kedekatan alamiah seorang anak laki-laki dengan ibunya membuat ia sadar bahwa selama ini ibunya “dikuasai” oleh ayahnya, sehingga kemudian anak laki-laki ini berusaha melebur pada otoritas ayahnya sambil menunggu giliran untuk mendapatkan perempuannya sendiri. Sementara itu, anak perempuan yang masuk pada tahapan falik akan merasa teralienasi dengan tubuhnya. Contohnya adalah ketika anak perempuan mulai mengalami menstruasi. Ada saat di mana ibunya mulai mengingatkan anaknya untuk menjaga dirinya baik-baik, karena kalau tidak, ia akan hamil. Hal ini yang membuat anak perempuan kemudian merasa asing dan lantas malu dengan tubuhnya dan juga tubuh ibunya yang tidak sesuperior laki-laki dengan penisnya. Freud menamai fenomena ini dengan sebutan penis envy (Tong, 2006: 197). Hal ini mendorong perempuan bahwa mereka dipinggirkan karena ketiadaan penis pada tubuh mereka saja, bukan karena status sosial ekonomi dan budaya yang lebih menguntungkan lakilaki. Determinisme Biologis Freud ini kemudian dikecam para feminis psikoanalis yang menganggap bahwa letak ketidakadilan gender terhadap kaum perempuan bukan hanya sebatas ketiadaan penis pada perempuan. Pada era postmodern, Jacques Lacan, seorang filsuf Prancis mendekonstruksi kembali pemaknaan dari determinisme biologis Sigmund Freud. Lacan dalam Arivia (2003: 128) mengajukan argumentasinya, bahwa tatanan masyarakat diatur oleh aturan-aturan simbolis (The Simbolic Order) yang maskulin. Lacan berpendapat, untuk dapat berfungsi secara optimal di dalam masyarakat, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan simbolis, yang oleh Lacan disebut sebagai “The Law of the Father” (aturan Bapak). Aturan-aturan inilah yang mengatur masyarakat. Ada tiga tahap di dalam aturan Bapak yang membentuk sebuah individu. Tahap pertama merupakan tahapan imajinasi, tahap ketika bayi tidak memiliki kesadaran atas batasan dirinya dengan ibunya dan cenderung menganggap ia merupakan satu kesatuan dengan ibunya. Tahapan kedua adalah tahap kaca (mirror stage). Dalam tahapan ini, si bayi melihat refleksi dirinya pada ibunya. Kemudian yang terakhir adalah tahap Oedipal. Tahap Oedipal adalah tahap penjarakan yang dilakukan si 6
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
anak terhadap ibunya. Memasuki tahap Oedipal, anak tidak lagi melihat si Ibu sebagai bagian darinya, akan tetapi sebagai liyan atau other. Dalam tahap Oedipal inilah, hubungan ibu dan anak melemah dan dimulailah intervensi dari ayah (Lacan dalam Arivia, 2003: 129). Anak laki-laki mulai meniru ayahnya dan mulai mengerti bahwa ia akan diterima di masyarakat bila memakai “bahasa” ayahnya, sehingga ia terlahir lagi dengan bahasa yang baru. Sementara anak perempuan tidak mengalami proses yang sama. Karena ciri biologis atau seksnya berbeda dengan ayahnya, anak perempuan tidak dapat menginternalisasikan aturan simbolis dengan baik. Bila Freud menyimpulkan bahwa perempuan menjadi inferior karena ketidakmampuan dirinya untuk beradaptasi yang disebabkan oleh ketiadaan penis dan disfungsi seksual, Lacan memiliki argumentasi yang berbeda. Bagi Lacan, aturan simbolis sangat sarat dengan “aturan laki-laki”. Inilah yang menyudutkan posisi perempuan di masyarakat, karena aturan-aturan tersebut dikendalikan dengan bahasa-bahasa dan cara berpikir yang maskulin. Pada titik inilah sebetulnya letak penindasan terhadap perempuan berlangsung secara terus menerus. Seringkali masyarakat mencampuradukkan pemaknaan dari seks dan gender. Padahal terdapat perbedaan makna diantara keduanya. Akan tetapi, pengaruh dari agama, wacana yang dikeluarkan di dalam suatu negara serta adat istiadat membuat perbedaan di antara keduanya menjadi bias. Mansour Fakih, mengemukakan: [“Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini: […] memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi (sel) telur, memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui (payudara)”]. Perbedaan tersebut secara biologis melekat erat pada perempuan dan laki-laki, permanen dan tidak dapat dipertukarkan kecuali jika ada di antara mereka yang melakukan operasi untuk mengganti jenis kelamin. Karena sifatnya yang permanen dan merupakan ketentuan biologis manusia, seks seringkali dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Sementara itu gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki serta perempuan dan dikonstruksi baik secara sosial maupun kultural. Contohnya, perempuan biasanya dikenal lemah-lembut, cantik, emosional atau keibuan dan seringkali berurusan dengan urusan domestik di dalam rumah tangga. Sementara laki-laki dipandang sebagai sosok yang kuat, rasional, jantan, perkasa serta dianggap sebagai kepala keluarga yang menafkahi 7
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
istri dan anak-anaknya. Adanya perubahan sifat maupun ciri-ciri tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu dari satu tempat ke tempat yang lain. Misalnya seperti yang terjadi di negaranegara Skandinavia dalam satu dekade belakangan ini, banyak kaum laki-laki di sana yang memilih untuk menyibukkan diri di ranah domestik dan mulai memberi ruang bagi kaum perempuan sebagai yang bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang dapat berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Apa yang dikemukakan oleh Judith Butler, seorang feminis postmodern Amerika Serikat, kurang lebih bernada sama dengan apa yang dijabarkan oleh Mansour Fakih. Di dalam bukunya, Gender Trouble [1999 : 9,10], Butler berpendapat: [“Originally intended to dispute the biology-is-destiny formulation, the distinction between sex and gender serves the argument that whatever biological intractability sex appears to have, gender is culturally constructed: hence, gender is neither the causal result of sex nor as seemingly fixed as sex”] Pembedaan makna antara seks dan gender dimaksudkan untuk menyangkal anggapan bahwa kodrat adalah takdir. Apapun ciri-ciri biologis yang dimiliki oleh sebuah seks atau jenis kelamin, sesungguhnya gender merupakan hasil dari konstruksi budaya, sehingga gender bukanlah hasil dari adanya seks dan bukan sesuatu yang sama pastinya dengan seks. Dengan adanya pembedaan seks dan gender, maka akan terjadi diskontinuitas antara tubuh yang memiliki jenis kelamin (sexed body) dengan konstruksi budaya yang telah dilekatkan dengan tubuh dan jenis kelamin tersebut. Jika seks dianggap sebagai sesuatu yang biner, bukan berarti sifat “laki-laki” hanya bisa ditemukan pada tubuh “laki-laki” dan sifat “perempuan” hanya pada tubuh “perempuan” dan kalaupun memang seks dilihat sebagai sesuatu yang biner, tidak dapat dikatakan bahwa gender pun harus biner, karena itu akan semakin memperkuat anggapan bahwa hubungan antara seks dan gender adalah hubungan yang mimesis atau saling meniru. Judith Butler adalah seorang filsuf postmodern yang berasal dari Amerika Serikat. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh teori psikoanalisis Jacques Lacan, fenomenologi (Edmund Husserl, Maurice Merleau-Ponty, dll) serta tindak tutur yang dikemukakan oleh John Searle. Ketiga teori ini menyatakan bahwa realita sosial yang ada di masyarakat bukan terjadi begitu saja, melainkan dikonstruksi sedemikian rupa melalui bahasa, gestur, dan simbol-simbol 8
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
sosial yang sifatnya maskulin. Sebagai contoh, menurut Butler, adalah teori tindak tutur yang dikemukakan John Searle. [“A good example in speech-act theory is what John Searle terms illocutionary speech acts, those speech acts that actually do something rather than merely represent something. The classic example is the “I pronounce you man and wife” of the marriage ceremony. In making that statement, a person of authority changes the status of a couple within an intersubjective community; those words actively changes the status of a couple by establishing a new marital reality: the words do what they say”] Di dalam contoh yang disebutkan di atas, bahkan sebuah kalimat yang biasa digunakan pada upacara pernikahan secara tidak langsung mengkonstruksi dan menindakkan suami dan istri ke dalam peran mereka di mata masyarakat. Contoh lainnya adalah ketika seorang dokter atau perawat memberitahu jenis kelamin sang bayi kepada seorang ibu yang baru saja melahirkan, “Selamat, Bu, anak Ibu perempuan/laki-laki.” Kata tersebut tentu saja terlontar tidak hanya untuk sekadar menjelaskan apa yang dokter atau perawat ini lihat, melainkan secara tidak langsung mereka telah melabeli tubuh bayi yang belum memiliki eksistensi dengan gender dan jenis kelamin yang diterima secara heteronormatif (Tong: 2009, 282). Mengutip pernyataan terkenal dari feminis eksistensialis Prancis, Simone de Beauvoir, yang menyatakan bahwa “one is not born, but, rather, becomes a woman”, Butler mengungkapkan dalam esainya, Performative Acts and Gender Constitution: An Essay in Phenomenology and Feminist Theory (1990: 272), bahwa gender merupakan tatanan kebertubuhan yang tidak memiliki hubungan dengan tubuh dan jenis kelamin itu sendiri, melainkan bersifat ideologis. Ada latar belakang historis yang sudah tercipta bahkan sebelum manusia sempat memilih gender yang ingin ia mainkan: [“A corporeal style, an ‘act’, as it were. That style has no relation to essential “truths” about the body but is strictly ideological. It has a history that exists beyond the subject who enacts those conventions.”] Lebih lanjut, Butler menganalogikan gender sebagai sebuah naskah drama yang sudah tercipta, yang membutuhkan kehadiran seorang aktor untuk dapat memerankannya dengan baik agar naskah tersebut dapat selalu teraktualisasi sebagai realita di masyarakat: [“The act that one does, the act that one performs ,is, in a sense, an act that has been going on before one arrived on the scene. Hence, gender is an act which has been rehearsed, much as a script survives the particular actors who make use of it, but which requires individual actors in order to be actualized and reproduced as reality once again.”] 9
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
Apa yang membuat gender menjadi layaknya sebuah naskah drama yang membutuhkan aktor untuk menghidupkan peran di dalam naskah tersebut adalah bentuk dari hegemoni konsep heteroseksual yang normatif dan dianggap sebagai pembentuk identitas. Butler menyebut bahwa gender seharusnya bersifat performatif, alih-alih sebagai performa. Jika kita mengibaratkan gender sebagai performa, maka aktor (atau manusia, di dalam konteks masyarakat) hanya mengikuti apa yang telah tertera di dalam naskah, sedangkan performatif berarti aktor lah yang menentukan suatu gender atau perannya melalui tindakan dan perilakunya,
dan
kemudian
membuat
pengulangan-pengulangan
perannya
tersebut.
Pengulangan-pengulangan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan sesuatu yang diskursif dan dapat mempengaruhi pemikiran orang lain untuk melakukan tindakan yang sama. Adanya garis perbedaan yang sangat tipis ini membuat pengertian gender di dalam masyarakatpun masih salah kaprah. Di dalam masyarakat, ada kecenderungan orang-orang untuk berperilaku sesuai dengan jenis kelamin mereka, karena jika manusia gagal menjalankan gendernya yang sesuai dengan tatanan masyarakat, maka ia akan diganjar oleh sanksi-sanksi sosial (Performative, 1990: 272). Pembagian gender yang berlaku di dalam tatanan masyarakat adalah sesuai dengan norma heteroseksual, sehingga yang dianggap normal dan bisa diterima oleh masyarakat hanya dua gender saja: perempuan dan laki-laki. Apa yang dibutuhkan oleh sistem heteronormatif dalam mewujudkan hegemoninya di masyarakat adalah dengan adanya pengulangan tindakan gender yang kita lakukan secara berulang-ulang di dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya di dalam cara kita berbicara, berbusana, bahasa tubuh kita, dll. Sehingga menurut Butler, gender dalam heteronormatif ini adalah fiksi, karena perilaku masyarakat di dalam ranah publik sepenuhnya diatur oleh hegemoni norma heteroseksual. Rosemarie Putnam Tong (2009: 282) menambahkan, sistem gender yang biner ini menyebabkan seorang transgender dan crossdresser merasa terpinggirkan karena di mata masyarakat, mereka berada di tengah-tengah batas perempuan dan laki-laki. Masyarakat belum mengenal gender di luar perempuan dan laki-laki karena norma yang berlaku adalah heteronormatif. Butler menitikberatkan fokusnya pada gender sebagai hasil suatu praktik diskursif demi memperjuangkan hak bagi mereka yang selama ini dipinggirkan oleh masyarakat, karena identitas mereka tidak berterima dengan norma heteroseksual di masyarakat. Jika terbukti bahwa aturan dalam norma heteroseksual tersebut bukanlah sesuatu yang alami, melainkan dikonstruksi berulang-ulang, maka seharusnya aturan tersebut tidak dijadikan sebagai suatu ketetapan yang harus selalu dipatuhi. Dan karena aturan-aturan itu berpegang 10
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
pada pengulangan tindakan gender yang dilakukan oleh subjek (manusia), sejatinya aturanaturan yang ada saat ini bisa didekonstruksi dan dimaknai kembali melalui tindakan-tindakan performatif. Jikalau sebenarnya gender berkaitan erat dengan tindakan seseorang, bukan kebertubuhan seseorang, maka seharusnya para kaum transgender dan transseksual juga dapat diterima layaknya manusia yang menjalankan gendernya sesuai dengan ekspektasi masyarakat dan tidak lantas dilabeli sebagai kaum banci yang posisinya ada di tengah-tengah perempuan dan laki-laki. Tidak hanya bagi kaum transseksual dan transgender, Butler dalam Salih (2002: 46) menambahkan, seharusnya tidak menjadi masalah juga jika ada perempuan maskulin dan laki-laki feminin: [“There is no necessary relationship between one’s body and one’s gender. In that case, it will be possible to have a designated ‘female’ body and not display traits generally considered ‘feminine’: in other words, one may be a ‘masculine’ female or a ‘feminine’ male.”] Di dalam Der gute Mensch von Sezuan karya Bertolt Brecht, tokoh Shen Te, yang berperan sebagai tokoh utama, digambarkan memiliki dua kepribadian yang berbeda. Selain sebagai Shen Te, seorang perempuan pelacur yang dilabeli berbagai stereotipe perempuan oleh masyarakat, ia juga berperan sebagai Shui Ta, seorang lelaki berwatak tegas. Dalam dua peran ini, Shen Te berhasil keluar dari stereotype perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat, meskipun ia harus menyamar dalam wujud laki-laki Pembahasan Sebelumnya telah dijelaskan tentang konsep seks dan gender yang seharusnya tidaklah mimesis (saling meniru), akan tetapi pada kenyataannya gender justru mengikat seseorang untuk bertindak sesuai dengan seks atau jenis kelaminnya yang menyebabkan subordinasi gender pada perempuan di dalam masyarakat. Konsep ini kemudian dibantah oleh Judith Butler, yang mengemukakan bahwa gender adalah performatif, ditentukan dari perilaku dan tindakan subjek, dan bukan sebaliknya. Sehingga nilai maskulinitas tidak harus selalu melekat pada diri laki-laki, dan begitu pula dengan nilai feminitas yang seharusnya tidaklah identik dengan tubuh perempuan. Dalam pembahasan ini saya akan membuktikan hipotesa saya bahwa konsep seks dan gender tidaklah identik. Melalui peran Shen Te dan Shui Ta akan dibuktikan, maskulinitas juga dapat dimiliki oleh seorang perempuan, yang sebelumnya bahkan mengalami diskriminasi gender di dalam masyarakat. Untuk menganalisis permasalahan terkait seks serta gender Shen Te dan 11
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
Shui Ta, akan dikontraskan stereoripe perempuan sebagai subordinat di masyarakat dalam peran Shen Te dan superioritas gender laki-laki dalam diri Shen Te sebagai Shui Ta. Ketiga dewa datang ke Sezuan dengan tujuan untuk mencari orang baik di tengah Sezuan yang saat itu sedang dilanda bencana kelaparan dan kemiskinan yang merajalela. Mereka kemudian meminta tolong kepada Wang, seorang penjual air, untuk mencarikan seseorang yang ingin menampung para dewa yang ingin bermalam. Wang mencari kesana kemari namun selalu ditolak, hingga pada akhirnya ia berkata pada ketiga dewa bahwa tinggal tersisa satu kemungkinan, yaitu Shen Te, seorang pelacur, yang tidak bisa berkata tidak. Dengan kata lain, Shen Te harus menerima kedatangan ketiga dewa. Stereotipe perempuan sebagai makhluk yang lemah digambarkan pada dialog di atas. Wang menyebut bahwa Shen Te tidak boleh berkata tidak, pada saat ia hendak meminta tolong pada Shen Te. Stigma yang kemudian terbentuk di dalam benak Wang adalah profesi Shen Te sebagai pelacur, yang memiliki strata sosial rendah di dalam masyarakat, dianggap hina dan kotor serta jenis kelamin atau seks Shen Te sebagai perempuan, yang aksesnya di dalam ruang publik masih terbatas sehingga perempuan cenderung dibungkam eksistensinya di dalam tatanan masyarakat. Hal serupa terjadi pada Shen Te, ketika ketiga dewa meminta Shen Te untuk hidup dengan baik, Shen Te pun bingung dan kemudian teralienasi karena ketiga dewa tidak menjelaskan sama sekali bagaimana Shen Te harus bertindak sebagai orang baik. Apalagi kemudian Shen Te berkata, bagaimana caranya ia harus berbuat baik di tengah kondisi yang tidak memungkinkan ini? Ini semakin membenamkan identitas Shen Te. Shen Te terpaksa harus menjadi orang baik. Seperti yang dikatakan oleh Judith Butler, konsep heteroseksual yang normatif di tengah-tengah masyarakat hanya menginginkan perempuan yang menampilkan tindakan gender yang menampilkan sisi feminitas seorang perempuan. Sehingga ada kecenderungan bahwa masyarakat hanya ingin menerima perempuan yang berlaku baik di dalam masyarakat. Perempuan
yang
baik
kemudian
diidentikkan
dengan
kebiasaannya
yang
lebih
mengedepankan sisi emosional ketimbang sisi rasional dirinya. Kita sering mendapati misalnya di sekitar kita, terdapat banyak anggapan bahwa letak perbedaan perempuan dan laki-laki salah satunya adalah perbedaan cara mereka dalam berpikir atau memutuskan sesuatu. Mereka percaya laki-laki lebih rasional bila dibandingkan dengan perempuan, dan perempuan biasanya sangat perasa. Jika kedua hal ini kita kombinasikan, contohnya di dalam sebuah hubungan antara perempuan dan laki-laki, maka seharusnya yang tercipta adalah keselarasan dalam berpikir dan bertindak, keseimbangan dalam menggunakan rasio dan emosi 12
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
di dalam sebuah hubungan. Akan tetapi nyatanya, anggapan-anggapan masyarakat mengenai perempuan dan laki-laki ini justru dipelihara dan terus ditampilkan sebagai suatu yang selalu aktual, sehingga menimbulkan ekspektasi di dalam masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat berekspektasi bahwa Shen Te akan selalu mengedepankan sisi emosional dan belas kasihannya, khususnya di dalam membantu rakyat Sezuan yang saat itu dilanda kelaparan dan kemiskinan. Mengetahui keadaan Shen Te yang selalu diperas setelah mendapatkan harta dari ketiga Dewa, para kerabat Shen Te menganjurkan agar Shen Te berbohong kepada nyonya Shin bahwa sepupu laki-lakinya lah yang akan memberinya uang dan membantu menutup hutang sewa rumah. Padahal sesunggunya Shen Te tidak memiliki sepupu laki-laki. Akan tetapi hal ini justru dianggap Shen Te sebagai ide cemerlang untuk menunjukkan eksistensinya di dalam ruang publik dan agar ia tidak lagi diperas. Dalam kapitalisme, kemanusiaan cenderung dipinggirkan karena orang-orang mengejar keuntungan semata. Selain itu, dalam dunia kapitalisme, terdapat pemisahan kelas sosial. Pemilik modal akan selalu berada pada strata paling atas dan pekerja akan selalu menjadi pekerja, kecuali jika ia tiba-tiba memiliki modal lalu mendirikan usaha sendiri. Akan tetapi usaha seperti itu jarang terjadi, karena pemilik modal akan selalu membuat pekerja menjadi tidak sadar dengan keadaannya sebagai pekerja. Mereka digerus oleh kesadaran palsu yang alih-alih membuat mereka sadar untuk naik strata malah membuat mereka merasa, mereka adalah pekerja dan harus giat agar menghasilkan banyak uang. Kapitalisme juga bersifat patriarki. Berawal pada pemikiran tradisional bahwa tempat perempuan hanya sebatas di ruang domestik, dan jikalau harus terjun ke ruang publik maka mereka akan menghuni strata paling bawah karena dianggap tidak seproduktif laki-laki, serta harus berbesar hati menerima upah yang jauh dari standar. Di dalam cerita Der gute Mensch von Sezuan ini, Bertolt Brecht mencoba mengungkapkan betapa perempuan amat terdesak kondisinya dalam kapitalisme dan patriarki, apalagi jika dikaitkan dengan kebertubuhannya. Semua orang tahu, perempuan berpotensi untuk menstruasi dan hamil, dan di dalam dunia kapitalisme, perempuan dianggap memiliki produktivitas rendah dikarenakan harus mengambil cuti hamil atau terkadang cuti haid. Shen Te, di dalam cerita ini, diceritakan mengandung anak dari Yang Sun. Oleh karena kondisinya tersebut, Shen Te dilemahkan. Terlebih ketika Shen Te menjadi Shui Ta. Shui Ta dianggap terlalu rakus dan makmur sehingga memiliki perut yang besar. Kondisi fisik Shen Te/Shui Ta pun melemah. Sehingga pada akhirnya masyarakat menuding Shui Ta telah membunuh Shen Te dan kemudian menyeret Shui Ta ke pengadilan, untuk diadili oleh ketiga dewa. 13
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
Shen Te menegaskan, bahwa keharusan untuk menjadi baik dan tetap dapat bertahan hidup, terasa seperti kilat yang menyambar dan membelah dirinya menjadi dua bagian. Brecht berupaya menyampaikan kritiknya di sini, berkaitan dengan kapitalisme yang menurutnya jahat, bersifat patriarki, dan bagaimanapun dan sampai kapanpun, hanya akan menguntungkan mereka yang memiliki modal saja. Yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin tenggelam dalam kemiskinannya. Dunia dikuasai oleh mereka yang memiliki modal berlimpah, dan kerakusan mereka akan membuat mereka mengesampingkan rasa kemanusiaan, demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Bagi perempuan, jika posisi mereka terus dilemahkan di dalam masyarakat yang kapitalis dan patriarkal, sesungguhnya kesetaraan gender merupakan hal yang hampir mustahil. Perempuan dituntut untuk bertindak seperti laki-laki di ruang publik, akan tetapi meskipun mereka berhasil keluar dari stereotipe perempuannya, mereka akan tetap dipandang rendah, oleh karena mereka tetap perempuan. Gender tidak bisa dilekatkan oleh seks. Gender itu performatif, dilihat dari bagaimana perilaku gender tersebut ditampilkan oleh subjeknya. Ketika Shen Te menjadi Shui Ta, dia memilih peran laki-laki, dan ketika ia menjadi Shen Te, ia kembali memainkan sisi feminitasnya. Sebuah perbedaan yang kontras memang, tetapi bukan berarti saling mematikan eksistensi satu dengan yang lain. Saat Shen Te menjadi Shui Ta, ada kalanya sisi feminitas Shen Te mempengaruhi Shui Ta, khususnya dalam hubungan Shui Ta dengan Yang Sun, yang dahulu keras dan tegas, kemudian perlahan melunak, tetapi perbuatannya itu tidak lantas membuat Shui Ta diganjar lunak oleh masyarakat Sezuan. Ia tetap dianggap sebagai persona yang tegas.
Kesimpulan dan Saran Perbedaan perilaku yang mendasar ini merupakan bukti, bahwa peran sosial ataupun gender di dalam masyarakat sejatinya dilihat berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh masingmasing individu dan tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Saya melihat paradoks yang terjadi dalam diri Shen Te/Shui Ta sendiri merupakan kritik Brecht terhadap masyarakat. Khususnya masyarakat kapitalis yang patriarkal. Keputusan Shen Te menjadi Shui Ta agar mendapatkan akses menuju ruang maskulin atau ruang publik,bukan karena ia tidak sanggup menjalankan perannya sebagai perempuan. Ia melihat stereotipe yang sudah terbentuk di dalam masyarakat semacam tidak dapat lagi dibantah. Masyarakat tetap mengharapkan kehadiran seorang lelaki untuk menyelamatkan nasib Shen Te yang diperas oleh orang-orang sekitar. Alih-alih berubah menjadi perempuan yang tegas, ia memilih menjadi laki-laki (Shui 14
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
Ta), dengan tujuan agar gagasan-gagasannya didengar di ruang publik. Saya melihat paradoks yang terjadi dalam diri Shen Te/Shui Ta sendiri merupakan kritik Brecht terhadap masyarakat. Khususnya masyarakat kapitalis yang patriarkal. Brecht ingin menunjukkan bahwa meskipun berorientasi pada uang dan perkembangan teknologi, tidak selamanya kapitalisme itu menguntungkan. Kapitalisme justru membuat sisi kemanusiaan seseorang menjadi tergerus. Manusia hidup berdasarkan kesadaran palsu. Pekerja tidak akan pernah menyadari bahwa mereka adalah pekerja yang harus naik strata menjadi bos, misalnya. Para pemimpin tidak akan membiarkan para pekerjanya untuk mengambil alih tempat mereka, dan terus menerus memperkaya diri sendiri. Ada strata dan kelas-kelas sosial yang menjadi parameter yang berlaku di masyarakat. Perempuan dianggap tidak produktif dan lebih cocok berada di rumah saja. Shen Te terpaksa menjadi Shui Ta karena pengaruh dari desakan ekonomi. Ia terpaksa menjadi laki-laki agar mendapat pengakuan di mata masyarakat. Adalah sesuatu yang menyedihkan, jika manusia, yang sebetulnya sama satu dengan yang lainnya, harus dibedakan hanya karena kelas sosialnya saja. Tanpa kelas sosial dan tanpa diskriminasi terhadap kaum perempuan, seharusnya tidak membuat sistem ekonomi kapitalis hancur, hanya saja masyarakat cenderung memelihara anggapan tersebut secara turun-temurun. Bagaimanapun juga, pembagian kelas sosial dan ketidaksetaraan gender akan semakin bertumbuh subur dalam sistem ekonomi kapitalisme, jika tidak ada kesempatan bagi manusia untuk keluar dari pemikiran tersebut. Shen Te keluar dari pemikiran patriarki melalui perpindahan perannya menjadi Shui Ta. Hal ini bukan disebabkan karena ketidakberdayaan Shen Te sebagai perempuan. Sebagai perempuan justru Shen Te mampu membaca situasi masyarakat Sezuan yang selalu menggiring perempuan untuk masuk kembali ke ranah domestik dan hanya mengandalkan peran laki-laki sebagai solusi dari berbagai masalah yang ada. Shen Te melihat bahwa stigma masyarakat Sezuan yang patriarkal tidaklah sanggup ia bendung. Akhirnya, alih-alih menjadi perempuan yang pembangkang tetapi pada praktiknya belum tentu bisa mengontrol kondisi di dalam lingkungannya, ia lebih memilih untuk berubah langsung menjadi laki-laki. Gender tak ubahnya peran di dalam drama, seorang aktris maupun aktor boleh terus menerus memainkan peran yang sama dalam drama yang ia mainkan, mereka pun boleh memilih, apakah ingin memerankan peran yang sesuai dengan karakter mereka ataupun tidak, yang penting mereka memerankannya dengan apik dan membuat penonton menjadi bertanya-tanya apakah para aktor dan aktris tersebut hanya memerankan perannya tersebut atau memang peran tersebut betul-betul identik dengan karakter pemerannya. Untuk penulis selanjutnya yang hendak menulis topik yang sama, penulis menyarankan untuk lebih lagi memperdalam teori gender ataupun queer theory dan alangkah baik jika penulis 15
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014
selanjutnya juga berkenan untuk meneliti topik ini melalui pendekatan psikologi, agar pembahasan mengenai tokoh Shen Te dan perubahannya dirinya menjadi Shui Ta dapat diperdalam kembali. Daftar Referensi Buku: Brecht, Bertolt. (1955). Der gute Mensch von Sezuan. Suhrkamp Verlag, Berlin. Butler, Judith. (1990). Gender Trouble. Routledge, New York, London. Fakih, Mansour. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hervé, Florence. (1998). Geschichte der deutschen Frauenbewegung. PapyRossa Verlags GmbH & Co. KG, Köln. Salih, Sara. (2002). Judith Butler. Routledge, New York, London. Tong, Rosemarie Putnam. (2009). Feminist Thought. Westview Press, Colorado.
16
Perbedaan konsep sex dan..., Maya Ardianingtyas, FIB UI, 2014