Jubir MHTI:Kasus Manohara Bukan untuk Konsumsi Publik! Thursday, 04 June 2009 18:20
{mosimage}Tiba-tiba Kasus Manohara kembali menghangat paska kepulangannya ke Indonesia beberapa waktu lalu. Berita, infotainment, masyarakat luas trerutama ibu-ibu rumah tangga banyak membahasnya. Namun sayang apa yang mereka bicarakan lebih keunsur ghibah, menggunjing kejelekan orang lain. Bahkan ada yang sampai berpendapat bahwa kasus Manohara ini korban dari keluarga yang menerapkan Islam karena melihat bahwa suami Manohara adalah seorang pangeran dari ‘kerajaan Islam’ di Malaysia karena Islam membolehkan suami memukul istrinya seperti yang tertulis dalam Alquran Surat An Nisa ayat 34. Terkait dengan itu Wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Febrianti Abassuni Rabu (3/6) malam di Jakarta . Berikut petikannya.
Bolehkah istri diperlakukan sebagai properti, seperti yang diakui oleh Manohara?
Cara pandang yang menganggap istri sebagai properti sehingga bebas diperlakukan apa saja oleh suami, adalah cara pandang yang tidak sesuai dengan Alquran dan Hadist, sehingga bukan berasal dari Islam dan bertentangan dengan Islam.
Jadi apa yang dilakukan Pangeran Tengku Temenggong Muhammad Fakhry, seperti yang diekspos oleh pihak Manohara, bukan representasi dari ajaran Islam?
Ya. Kita harus bisa membedakan tindakan umat beragama dengan ajaran agama. Tindakan umat beragama ada yang sesuai dengan ajaran agama, ada juga yang menyimpang dari ajaran agama. Ajaran Islam tidak seharusnya diambil dari fakta yang berkembang, tapi diambil dari Alquran dan Hadits.
Bagaimana Alquran dan Hadits mengajarkannya? Bukankah dalam An Nisa ayat 34 suami dibolehkan memukul istri?
Ayat tersebut konteksnya adalah apabila istri membangkang untuk melakukan kewajiban atau membangkang karena tidak mau meninggalkan keharaman, sebagaimana panduan dalam Alquran Surat Nisa ayat 34 itu, untuk mendidik istri namun tidak tiba-tiba main pukul. Bila difahami dengan baik ayat tersebut maka terlihat jelas ada tahapan yang harus ditempuh
1/6
Jubir MHTI:Kasus Manohara Bukan untuk Konsumsi Publik! Thursday, 04 June 2009 18:20
seorang suami. Pertama ia akan menasehati istrinya, kalau istri masih tidak taat suami akan memisahkan istri di tempat tidur, dan jika masih membangkang suami dibolehkan memukul istrinya. Ibnu Katsir menjelaskan pukulan di sini adalah pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak berbekas yang tidak lain tujuannya sema-mata demi kebaikan. Jadi bukan memukul tanpa sebab yang dibolehkan Islam, atau memukul dengan cara yang menyakitkan atau berbekas.
Islam memberikan amanah tanggung jawab terhadap istri atau kepemimpinan keluarga kepada kepada suami sebagaimana yang tertulis dalam Alquran Surat An Nisa ayat 34. Sedangkan pada ayat 19-nya suami diperintahkan Allah untuk memimpin istrinya dalam suasana persahabatan dan memperlakukan istrinya dengan ma’ruf.
Dalam Haditspun Rasulullah SAW bersabda dalam khutbahnya pada saat haji Wada’: “Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dalam urusan kaum perempuan, karena kalian telah mengambilnya sebagai amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kehormatan mereka halal dengan kalimat Allah...”
Sabda Beliau SAW yang lainya, “ Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.”
Nabi saw mencontohkan bagaimana bergaul dengan keluarganya: suka bersenda gurau, senantiasa bersikap lemah lembut, sering membuat istri-istrinya tertawa, dan menunjukkan kasih sayangnya terhadap keluarganya. Beliau tidak mencontohkan kepemimpinan yang otoriter dalam keluarga. Walaupun beliau yang mengambil keputusan, beliau memberikan kesempatan kepada istri-istrinya untuk menyampaikan keinginan dan pemikiran mereka, menjawab, membahas dan mendiskusikan perkataan-perkataan beliau kepada keluarganya. Hal ini misalnya terlihat dari penuturan Umar bin Khattab ra:
“Demi Allah, sesungguhnya kami pada masa jahiliah tidak memperdulikan urusan kaun perempuan, sampai Allah menurunkan ketentuan tentang mereka dan memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Sementara aku, ketika ada dalam satu urusan, tiba-tiba istriku
2/6
Jubir MHTI:Kasus Manohara Bukan untuk Konsumsi Publik! Thursday, 04 June 2009 18:20
berkata,”Seandainya engkau barbuat begini dan begitu’ Aku pun menjawabnya: Ada apa denganmu, apa perlunya engkau dengan urusan yang kulakukan? Ia menukas,”Sungguh aneh engkai ini, wahai anak al Khattab. Engkau menghendaki agar tidak dibantah, padahal putrimu (salah seorang istri Rasul SAW) sering mendebat Rasulullah SAW hingga pernah membuat beliau gusar sepanjang hari...”
Berdasarkan Al Qur’an dan Hadist di atas, tepatlah apa yang dinyatakan Ibnu Abbas, “Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka”.
Jadi jelaslah memperlakukan istri sebagai properti atau sebagai barang yang tidak punya kehendak dan perasaan, bertentangan dengan perintah memperlakukan istri dengan ma’ruf. D emikian juga, seorang suami yang memimpin istrinya dengan baik tidak akan membiarkan istrinya berperilaku bebas melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya karena seperti yang diamanahkan Allah SWT kepada suami dalam Alquran Surat At Tahrim ayat 6 agar menjaga dirinya dan keluarga dari api neraka.
Bagaimana kalau kasusnya begini, suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena suami dianggap memiliki ‘penyakit’ penyimpangan seksual yang hanya mendapatkan k epuasan seksual bila menganiaya istrinya. Apakah Islam membolehkan?
Tidak.
Bagaimana mencegah lahirnya ‘penyakit’ seperti itu? Bagaimana agar mendapatkan suami yang tidak menyimpang?
Islam mencegah terjadinya tindak kekerasan suami terhadap istri dengan penanaman akidah dan ketundukan terhadap syariah Islam, penentuan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar kepada setiap Muslim, termasuk nahi munkar yang dilakukan oleh negara.
Dengan akidah yang kokoh, perempuan atau wali perempuan akan memilih suami dengan
3/6
Jubir MHTI:Kasus Manohara Bukan untuk Konsumsi Publik! Thursday, 04 June 2009 18:20
alasan utama ketakwaan seorang laki-laki. Islam menganjurkan untuk mengenali dan mendapatkan informasi tentang agama dan ketakwaan seorang laki-laki dari orang yang mengenal keseharian laki-laki tersebut , tidak hanya dari lisan laki-laki tersebut saja. Dengan landasan ketakwaan dan pemahaman Alquran dan Hadist , seorang suami tidak akan melakukan tindak kekerasan yang dilarang Allah terhadap istri. Suami akan takut kepada Allah, sehingga tidak akan berkata-kata kasar, melampiaskan kemarahan dengan tamparan atau pukulan yang berbekas/membahayakan, atau pun meninggalkan kewajibannya menafkahi istri.
Dengan adanya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, jika ada seorang suami tidak memperlakukan istrinya dengan ma’ruf maka yang menasehatinya pertama kali adalah istrinya, kemudian anggota keluarga lain yang mengetahui perbuatan tersebut. Apabila tidak ada keluarga lain yang menasehatinya, atau sudah dinasehati dia masih tetap melakukan pelanggaran tersebut, maka seorang istri bisa mengadukan perbuatan suaminya kepada polisi atau hakim yang ditunjuk oleh negara.
Apa sanksi bagi suami yang melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya?
Apabila seorang polisi atau hakim mendapatkan pengaduan dari seorang istri mengenai tindak kekerasan suami terhadapnya, maka polisi harus mendapatkan bukti. Bukti bisa berupa pengakuan sukarela suami, sumpah dari istri korban kekerasan, atau kesaksian, atau kombinasi dari ketiganya. Apabila terbukti terjadi tindak kekerasan, maka kasus tersebut harus ditelaah. Apabila kasus tersebut terjadi karena kekhilafan semata, maka polisi atau hakim akan memberikan nasehat dan peringatan kepadanya untuk bertakwa kepada Allah dan mengawasi perkembangan kasus dalam jangka waktu tertentu untuk menjaga agar kasus tersebut tidak terulang.
Apabila kasusnya terjadi karena orang tersebut suka minum minuman keras, maka hakim akan menjatuhkan sanksi bagi peminum minuman keras dan diwajibkan mengikuti program rehabilitasi dari ketergantungan minuman keras. Demikian juga kalau kasusnya karena penyimpangan psikologis, maka hakim akan mewajibkannya mengikuti
4/6
Jubir MHTI:Kasus Manohara Bukan untuk Konsumsi Publik! Thursday, 04 June 2009 18:20
rehabilitasi kejiwaan. Selama proses tersebut seorang istri bisa memilih ingin tetap mempertahankan pernikahannya atau menggugat cerai.
Dalam banyak kasus kekerasan suami terhadap istri, setelah sadar tidak melakukan tindak kekerasan dan dimaafkan oleh istri, tindak kekerasan kemudian berulang lagi setelah jangka waktu tertentu, dan kejadian ini bisa berulang selama beberapa kali. Untuk kasus seperti ini, perceraian tentu merupakan solusi, dan hakim bisa mengumumkan keburukan suami ini kepada khalayak agar tidak ada perempuan lain yang akan menjadi korban berikutnya. Apabila ia terus melakukan tindak kekerasan kepada mantan istrinya, maka ia dikenakan hukum qishash sebagaimana kasus pidana dalam kehidupan publik, misalnya kalau ia menampar mantan istrinya maka istrinya akan balas menampar wajahnya dihadapan hakim.
Bagaimana kalau sang istri mengalami kesulitan untuk mengadukan tindak kekerasan suaminya kepada polisi atau hakim?
Kalau ada hambatan untuk mengadukan kepada polisi atau hakim, maka istri harus mencari cara melapor secara tertulis, atau dengan rekaman suara menyampaikan pengaduannya melalui orang lain agar sampai kepada polisi atau hakim. Pendek kata, tindak kekerasan suami yang tidak sesuai syariah tidak bisa dibenarkan dan harus dihentikan dengan cara-cara yang sesuai dengan tuntunan syariah juga,
Dalam kasus Mano, apakah sudah diselesaikan sesuai dengan tuntunan syariah Islam?
Jelas belum. Pertama dari sisi pengaduan. Harusnya pengaduan dilakukan oleh Mano sendiri, bukan oleh ibunya, karena ia sudah baligh dalam hukum Islam. Kecuali kalau ia belum baligh, maka walinya yang bisa membuat pengaduan. Harus seperti itu, karena Islam tidak membolehkan negara campur tangan dalam urusan privat rumah tangga, kecuali apabila suami atau istri dalam rumah tangga itu yang meminta negara
5/6
Jubir MHTI:Kasus Manohara Bukan untuk Konsumsi Publik! Thursday, 04 June 2009 18:20
untuk turut campur.
Yang kedua, dalam Islam, kasus Manohara dan semacamnya bukan untuk komsumsi publik! seharusnya penanganan kasus harus secara tertutup, tidak terbuka untuk publik, karena Islam mengajarkan untuk menutupi aib individu, sampai ada sebab yang dibolehkan Allah untuk membuka aib itu kepada publik. Kalau saja kasus Mano diselesaikan sesuai tuntunan Islam, peluang suaminya sadar kemudian keluarganya bisa berjalan baik dan mengubur kesalahan-kesalahan yang telah lalu tentu akan lebih besar.[mediaumat.com]
6/6