BERSATU KITA KUAT, BERSAMA KITA BISA: Konsep Mengembangkan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Oleh : Bambang Uripno Widyaiwara Utama Pusat Diklat Kehutanan
Cuplikan berikut ini adalah bagian atas dari artikel tunggal di Kolom Karier harian Kompas edisi Sabtu 26 Februari 2011, yang mengupas perbedaan antara bekerja atau berkarya. Elleen R. dan Sylvina S. menulis sebagai berikut: Saat diminta bantuan untuk lembur, beberapa orang di suatu bagian secara spontan nyeletuk, “Yah …………...., tergantung imbalannya.” Mendengar hal itu, sang atasan berkomentar agar orang-orang yang menolak lembur mengundurkan diri saja; karena ia melihat mereka sungguh-sungguh tidak memikirkan kepentingan perusahaan, hanya memikirkan kepentingan diri pribadi. Meskipun loyalitas pada perusahaan oleh beberapa pihak dianggap sudah kuno, akan tetapi hitung-hitungan pekerjaan tentu sudah lebih ketinggalan jaman. Apabila kontribusi yang bersedia kita berikan selalu dihitung dengan apa yang diberikan oleh perusahaan, bukankah kita sendiri yang rugi, karena tidak bisa secara utuh menghasilkan karya terbaik kita? Apakah kita masih bisa happy
apabila bekerja dengan separuh hati saja?
Bayangkan juga apa jadinya apabila para prajurit tidak sepenuh hati
1
membela negara karena hitung-hitungan dengan imbalan yang diterima dari negara. Seorang teman yang dikenal sukses dalam menerapkan perbaikan sistem dan pencapaian target perusahaan, baru menyadari bahwa sudah tiga
tahun
terakhir
semua
usulan
perbaikannya
tidak
mendapat
persetujuan. Ia menjadi kehilangan “purpose” dalam pekerjaan, dan mulai mempertanyakan apa “makna” bekerjanya. Pertanyaan menggelitik bagi perusahaan, bisakah kita mengandalkan karyawan yang hanya datang bekerja dengan mental dan sikap kerja tanpa gairah? Pertanyaan bagi individunya, apakah kita ingin meneruskan hidup tanpa gairah seperti itu? Pelajaran berikut datang dari luar negeri. Pada 15 Juli 1982, Don Bennett, seorang pengusaha asal Seattle, USA; menjadi orang cacat pertama (satu kakinya diamputasi) yang berhasil mendaki Gunung Rainier (dilaporkan Kouzer dan Posner, 1987). Dia mendaki setinggi 14.410 feet dengan satu kaki dan dua kruk. Dia membutuhkan waktu selama lima hari untuk
sampai
ke
puncak.
Ketika
diminta
menyebutkan
pelajaran
terpenting apa yang ia didapatkan dari pendakian tersebut, tanpa raguragu Bennett mengatakan, “Anda tidak bisa melakukannya sendirian.” (Johnson D, 2010). Pelajaran yang diberikan oleh Ellen dan Sylvina maupun yang didapat Bennett adalah sesuatu yang harusnya kita hayati dengan sungguh-sungguh; apabila kita menginginkan jiwa korsa rimbawan menjadi roh pemersatu para rimbawan dalam menunaikan tugas dan fungsi. Sudahlah tentu, upaya pengembangan sumber daya manusia kehutanan dapat dan harus dilakukan secara terus-menerus dengan 2
sadar, sampai menjadi sebuah cara alamiah dalam bertindak dan berinteraksi. Rimbawan perlu bersatupadu dalam korp rimbawan yang kuat, sekaligus bekerja dan berkarya dengan bergairah, profesional dan berakhlak mulia di bidang tugas masing-masing (big is powerfull and
small is beautiful). Hutan tropis di Indonesia yang sangat luas (kurang lebih 136,88 juta hektar termasuk kawasan konservasi perairan) merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan warisan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya. Karunia Tuhan YME dan kekayaan alam yang luar biasa tersebut perlu dikelola secara bijak, terencana, optimal dan bertanggung jawab, sesuai dengan daya dukungnya; serta dengan selalu memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna menjamin pemanfaatan hutan yang berkelanjutan (lestari), untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan, baik di masa kini maupun yang akan datang. Menurut Kepala Badan Litbang Kehutanan (2011) terdapat enam tantangan pembangunan kehutanan masa kini, yaitu: 1) degradasi hutan, 2) bencana alam dan lingkungan, 3) pemanasan global, 4) share sektor kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, 5) desentralisasi sektor kehutanan, dan 6) kontribusi kehutanan dalam hal food, water
scarcity, energy dan medicine. Keberhasilan pembangunan kehutanan memerlukan dan ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia dalam jumlah cukup dan kualitas yang diperlukan. Menghadapi tantangan bersama dan sekaligus untuk dapat mewujudkan visi Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014 dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan, yaitu: Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat yang 3
Berkeadilan; penulis berpendapat bahwa sebaiknya seluruh rimbawan, baik
rimbawan
mengembangkan
aparatur dan
maupun
rimbawan
dikembangkan
non
aparatur,
kemampuannya
perlu dalam
berkomunikasi efektif. Keterlibatan rimbawan non aparatur (masyarakat: komunitas dan pengusaha kehutanan) merupakan suatu keniscayaan; karena tanpa partisipasi aktif mereka setidaknya dapat menimbulkan tiga hambatan pembangunan yaitu: (1) masyarakat kurang dilibatkan sehingga merasa kurang ikut memiliki; (2) masyarakat cenderung mengharapkan kegiatan kehutanan dilakukan oleh pemerintah sepenuhnya; dan (3) umur teknis kegiatan menjadi lebih pendek, tidak sesuai harapan. Sinergitas bekerja dan berkarya antara rimbawan aparatur dengan rimbawan non aparatur, sudah tentu membuat korp rimbawan menjadi besar, kompak dan kuat (B. Uripno, 2010). Mari kita belajar lagi dari gaya khas kepemimpinan Presiden Soekarno dan Presiden Suharto. Presiden Soekarno mempunyai gaya kepemimpinan dan talenta mirip dengan Presiden Obama, yaitu seorang orator ulung yang berkemampuan berkomunikasi efektif. Penjelasan mereka tentang topik bahasan tertentu yang sebenarnya sulit, majemuk dan sensitif; dapat diterjemahkannya menjadi bahasa yang dapat dimengerti oleh sebagian besar warga negara. Dilain pihak, gaya khas memimpin Presiden Suharto, lebih dikenal dengan bahasa tubuh selalu tersenyum (smilling generale) dan sangat jarang berkata tidak, sehingga sering membuat menteri-menteri pusing menafsirkan apakah maksudnya. Akan
tetapi
komunikasi
pak
Suharto
sangatlah
efektif.
Ternyata, 4
keberhasilan komunikasi politik pak Suharto didukung oleh ketersediaan
ghost writers dan juru bicara yang mumpuni. S. Adiwibowo (2007) mengingatkan kita bahwa komunikasi bukanlah hanya sekedar bahasa tubuh dan teknik penyampaian kata. Komunikasi yang
efektif
dapat
membentuk
dan
merefleksikan
adab
individu,
kelompok, organisasi, bahkan suatu masyarakat. Dengan mengetahui bagaimana individu, kelompok, organisasi dan komunitas masyarakat saling
berkomunikasi;
kita
dapat
mengetahui
bagaimana
mereka
bersikap, berperilaku dan membangun tata kehidupan mereka, termasuk dalam hal ini membangun kehutanan. Pemahaman situasi, menjadi landasan
penting
untuk
memberdayakan
masyarakat,
penguatan
kelompok kerja, penyebaran inovasi dan teknologi baru, serta untuk memperkuat kelembagaan kementerian kehutanan. Merumuskan strategi komunikasi efektif dan dialog bermutu antar dan inter rimbawan untuk mencapai sukses bersama, merupakan bagian tugas dan fungsi dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Pada era tahun 70-an, Diklat Kehutanan membentuk satuan tugas (satgas) pengembangan jiwa korsa rimbawan, yang anggotanya rimbawan senior terpilih. Tugas satgas adalah menjadi jembatan komunikasi; yaitu memberikan informasi pencerahan jiwa korsa di daerah-daerah, mengkomunikasikan keinginan pusat dan mencari masukan dari daerah (top down + bottom up). Mengembangkan teknik berdialog efektif pernah diselenggarakan oleh Badan Litbang Kehutanan. Pada Gelar Teknologi tahun lalu, di Lobby Manggala Wanabakti, Litbang menampilkan acara talk show tentang 5
pengembangan inovasi teknologi bahan bakar nabati (BBN) berbasis Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Bagi penulis, acara talk show tersebut sangatlah bermanfaat dan menarik. Sayangnya, walaupun panitia sudah menyediakan cukup banyak hadiah, pesertanya sedikit. Mungkin perlu dicoba lagi di waktu yang akan datang, dengan dukungan dari forum Peneliti-Widyaiswara-Penyuluh Kehutanan. Pengembangan
kualitas
sumber
daya
manusia
kehutanan,
sebenarnya juga merupakan tugas dan tanggung jawab inheren setiap rimbawan, dimanapun dan sebagai apapun ia bertugas. Cara paling tepat dan mantap yang dapat oleh masing-masing kita lakukan ialah belajar terus
seumur
(lifelong
hidup
learning), termasuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi efektif dan berdialog yang bermutu, baik secara teori maupun pada praktiknya. Pada
unit-unit
kerja
kementerian
kehutanan,
yang
karena
karakteristiknya sangat spesifik lokalita, perlu kiranya merumuskan dan mengembangkan
teknik
pembelajaran
tertentu
terkait
dengan
pengembangan motivasi, materi, metoda dan media/alat bantu dalam berkomunikasi dan berdialog yang efektif di unit kerjanya secara bersama, untuk bekerjasama dengan mitra kerja (kelayan). Singkatnya, tidak tersedia cukup informasi terperinci ala resep masakan ayam goreng krispi siap saji; sehingga masing-masing unit kerja perlu mengembangkan pembelajaran
teknik
berkomunikasi
efektif
dan
berdialog
bermutu
bersama parapihak. Pada Kehutanan,
kelompok kami
keahlian
bersepakat
Widyaiswara untuk
lingkup
Pusat
mengembangkan
Diklat strategi 6
pembelajaran “Colaborative Learning”
Teaching
(saling
asih,
asah
dan
menggunakan teknik Team
asuh),
melaksanakan
berbagai
pertemuan, penelitian kediklatan, penyusunan pedoman, pengembangan alat
bantu,
dan
pengembangan
kemampuan
widyaiswara
lainnya
(magang, in house training, detasering). Dasar pertimbangannya sangat sederhana;
semakin
sering
kita
berinteraksi,
semakin
sering
berkomunikasi, akan membuat semakin mudah sama-sama bekerja dan bekerja bersama (the more we got together, the better will be). Kami sangat percaya bahwa dengan bekerjasama dan belajar bersama-sama, kita mampu meraih hasil kerja yang sangat luar biasa (with the right
partnership we can achive anything). Pra-kondisinya adalah semua komponen
pada
satuan
unit
kerja
sama-sama
berkomitmen
dan
menggalang kesatuan perasaan Care (saling peduli), Share (saling berbagi), dan Fair (berkeadilan). Tujuh kali tujuh empat puluh sembilan, setuju tak setuju yang penting sudah ditampilkan. Maaf kalau ada kata-kata pada tulisan kami yang kurang berkenan. Selamat bekerja dan berkarya saudara-saudaraku para rimbawan. Semoga Allah Yang Maha Kuasa, seru sekalian alam, senantiasa melimpahkan rakhmat dan hidayah-Nya kepada kita sekalian dalam menunaikan tugas. Amin.
Daftar Pustaka
Bambang Uripno, 2010. Peran Penyuluhan dalam Pembangunan Desa
Mandiri Energi: Nyamplung sebagai bahan bakar nabati. Bogor: Pusdiklat Kehutanan. 7
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2008. Nyamplung Sumber Energi
Biofuel yang potensial. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Djuara P. Lubis dkk. 2010. Dasar-dasar Komunikasi. Editor Aida Vitalaya S. Hubeis. Bogor: Penerbit Sains KPM IPB Press. JeDe Kuncoro. 2007. From Competing to Collaborating: Paradigma Baru untuk
Keberhasilan
Sejati
secara
Berkelanjutan.
Jakarta:
PT.Gramedia. JM Kouzes and BZ Posner, 1987. The Leadership Challenge: how to get
extraordinary
things in organizations. San Francisco: Jossey-Bass
Publishers. J. David et.al, 2010. The New Circle of Learning diterjemahkan menjadi
Colaborative
Learning:
strategi
pembelajaran
untuk
sukses
bersama. Penerjemah Narulita Yusron. Bandung: Penerbit Nusa Media. [Kemhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana Strategis 2010 -2014. Jakarta: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Soeryo Adiwibowo dkk. 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB.
8