dari redaksi
BERSAMA KITA MAJU
Tidak terasa umur setengah abad telah dijalani oleh Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU). Tahun ini genap 54 tahun FK USU turut larut dalam percaturan pendidikan calon dokter dan calon dokter ahli di tanah air. Sebagai fakultas kedokteran tertua dari belahan paling barat Indonesia, sejarah panjang telah ditorehkan kampus kebanggaan Sumatera Utara ini. Berbagai onak dan duri yang menghadang telah dilalui dengan selamat, hingga hari ini FK USU makin kokoh berdiri dan siap mengejar cita-cita menjadi kampus terdepan dalam pendidikan kedokteran. Di usia yang sangat matang, FK USU memang telah memperlihatkan kematangannya. Berbagai perubahan dan pemantapan arah perkembangan pendidikan telah dilakukan oleh pemimpin fakultas tertua di Universitas Sumatera Utara ini, terbukti dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai. Berbekal pengalaman yang telah diperoleh melalui perjalanan hidup yang panjang yaitu lebih dari setengah abad, manajemen fakultas telah melakukan banyak perubahan sesuai tuntutan zaman. Salah satu yang paling anyar adalah perubahan kurikulum dan strategi pembelajaran sesuai Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia III (KIPDI III) yang menuntut semua sivitas akademika melakukan perubahan dan reorientasi metode pembelajaran. Keinginan untuk maju tercermin dari kekompakan dan semangat para staf pengajar untuk melakukan upaya terbaik bagi FK USU. Dies natalis yang diperingati setiap tahun selalu mengajak semua sivitas akademika untuk sejenak merenung perjalanan yang telah dilalui, yang belum sempurna diupayakan agar sempurna, yang belum utuh diupayakan untuk dilengkapi, dan yang belum ada diupayakan untuk dihadirkan. Dengan semangat Bersama Kita Maju kita songsong masa depan yang lebih baik. Selamat Ulang Tahun!
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
ii
petunjuk untuk penulis Majalah Kedokteran Nusantara (MKN) adalah publikasi bulanan yang menggunakan sistem peer-review untuk seleksi makalah. MKN menerima artikel penelitian yang original yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran dan ilmu kedokteran dasar di Indonesia. MKN juga menerima tinjauan pustaka, laporan kasus, penyegar ilmu kedokteran, universitas, ceramah dan surat kepada redaksi. 1. Artikel Penelitian: Berisi artikel mengenai hasil penelitian original dalam ilmu kedokteran dasar maupun terapan, serta ilmu kesehatan pada umumnya. Format terdiri dari: Pendahuluan; berisi latar belakang, masalah dan tujuan penelitian. Bahan dan Cara; berisi desain penelitian, tempat dan waktu, populasi dan sampel, cara pengukuran data, dan analisa data. Hasil; dapat disajikan dalam bentuk tekstular, tabular, atau grafika. Berikan kalimat pengantar untuk menerangkan tabel dan atau gambar terapi jangan mengulang apa yang telah disajikan dalam tabel/gambar. Diskusi; Berisi pembahasan mengenai hasil penelitian yang ditemukan. Bandingkan Hasil teresbut dengan Hasil penelitian lain. Jangan mengulang apa yang telah ditulis pada bab. Hasil Kesimpulan: Berisi pendapat penulis berdasarkan hasil penelitiannya. Ditulis ringkas, padat dan relevan dengan hasil. 2. Tinjauan Pustaka: Merupakan artikel review dari jurnal dan atau buku mengenai ilmu kedokteran dan kesehatan yang mutakhir. 3. Laporan Kasus: Berisi artikel tentang kasus di klinik yang cukup menarik dan baik untuk disebarluaskan di kalangan sejawat lainnya. Format terdiri atas: Pendahuluan, Laporan Kasus, Pembahasan. 4. Penyegar Ilmu Kedokteran: berisi artikel yang mengulas berbagai hal lama tetapi masih up to date dan perlu disebarluaskan. 5. Ceramah: tulisan atau laporan yang menyangkut dunia kedokteran dan kesehatan yang perlu disebarluaskan. 6. Editorial: berisi artikel yang membahas berbagai masalah ilmu kedokteran dan kesehatan yang dewasa ini sedang menjadi topik di kalangan kedokteran dan kesehatan. Petunjuk Umum Makalah yang dikirim adalah makalah yang belum pernah dipublikasikan. Untuk menghindari duplikasi, MKN tidak menerima makalah yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu yang bersamaan untuk publikasi. Penulis harus memastikan bahwa seluruh penulis pembantu telah membaca dan menyetujui makalah. Semua makalah yang dikirimkan pada MKN akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan tersebut (peerreview) dan redaksi. Makalah yang perlu perbaikan formata atau isinya akan dikembalikan pada penulis untuk diperbaiki. Makalah yang diterbitkan harus memiliki persetujuan komisi etik. Laporan tentang penelitian pada manusia harus memperoleh persetujuan tertulis (signed informed consent). Penulisan Makalah Makalah, termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar harus diketik 2 spasi pada kertas ukuran 21,5 x 28 cm (kertas A4) dengan jarak tepi minimal 2,5 cm jumlah halaman maksimum 20. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Kirimkan sebuah makalah asli dan 2 buah fotokopi seluruh makalah termasuk foto serta disket. Tulis nama file dan program yang digunakan pada label disket. Makalah dan gambar yang dikirim pada MKN tidak akan dikembalikan pada penulis. Makalah yang dikirim untuk MKN harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis. Halaman Judul Halaman judul berisi judul makalah, nama setiap penulis dengan gelar akademik tertinggi dan lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat e-mail. Judul singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk huruf spasi. Untuk laporan kasus, dianjurkan agar jumlah penulis dibawati sampai 4 orang. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk Artikel Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Laporan Kasus dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah maksimal 200 kata. Artikel penelitian harus berisi tujuan penelitian, metode, hasil utama dan kesimpulan utama. Abstrak dibuat ringkas dan jelas sehingga memungkinkan pembaca memahami tentang aspek baru atau penting tanpa harus membaca seluruh makalah. Teks Makalah Teks makalah disusun menurut subjudul yang sesuai yaitu Pendahuluan (Introduction), Metode (Methods), Hasil (Results) dan Diskusi (Discussion) atau format IMRAD. Majalah Kedokteran Kedokteran Nusantara Nusantara Volume Volume 39 39 yy No. No. 22 yy Juni Juni 2006 2006 Majalah
iv3
Cantumkan ukuran dalam unit/satuan System Internationale (SI units). Jangan menggunakan singkatan tidak baku. Buatlah singkatan sesuai anjuran Style Manual for Biological Sciences misal mm, kcal. Laporan satuan panjang, tinggi, berat dan isi dalam satuan metrik (meter, kilogram, atau liter). Jangan memulai kalimat dengan suatu bilangan numerik, untuk kalimat yang diawali dengan suatu angka, tetapi tuliskan dengan huruf. Tabel Setiap tabel harus diketik 2 spasi. Nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan penyebutan dalam teks. Setiap tabel diberi judul singkat. Setiap kolom diberi subjudul singkat. Tempatkan penjelasan pada catatan kaki, bukan pada judul. Jelaskan dalam catatan kaki semua singkatan tidak baku yang ada pada tabel, jumlah tabel maksimal 6 buah. Gambar Kirimkan gambar yang dibutuhkan bersama makalah asli. Gambar sebaiknya dibuat secara profesional dan di foto. Kirimkan cetakan foto yang tajam, di atas kertas kilap, hitam-putih, ukuran standar 127x173 mm, maksimal 203x254 mm. Setiap gambar harus memiliki label pada bagian belakang dan berisi nomor gambar, nama penulis, dan tanda penunjuk bagian “atas” gambar. Tandai juga bagian “depan”. Bila berupa gambar orang yang mungkin dapat dikenali, atau berupa illustrasi yang pernah dipublikasikan maka harus disertai izin tertulis. Gambar harus diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam teks, jumlah gambar maksimal 6 buah. Metode Statistik Jelaskan tentang metode statistik secara rinci pada bagian “Metode”. Metode yang tidak lazim, ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut. Ucapan Terimakasih Batasi ucapan terimakasih pada para profesional yang membantu penyusunan makalah, termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan umum dari suatu institusi. Rujukan Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Cantumkan semua nama penulis bila tidak lebih dari 6 orang; bila lebih dari 6 orang penulis pertama diikuti oleh et al. Jumlah rujukan sebaiknya dibatasi sampai 25 buah dan secara umum dibatasi pada tulisan yang terbit dalam satu dekade terakhir. Gunakan contoh yang sesuai dengan edisi ke-5 dari Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals yang disusun oleh International committee of Medical Journal Editors, 1997. Singkatan nama jurnal sesuai dengan Index Medicus. Hindari penggunaan abstrak sebagai rujukan. Untuk materi telah dikirim untuk publikasi tetapi belum diterbitkan harus dirujuk dengan menyebutkannya sebagai pengamatan yang belum dipublikasi (Unpublished observations) seizin sumber. Makalah yang telah diterima untuk publikasi tetapi belum terbit dapat digunakan sebagai rujukan dengan perkataan “in press”. Contoh: Leshner Al. Molecular mechaisms of cocine additiction. N Engl J Med. In press 1996. Hindari rujukan berupa komunikasi pribadi (personal communication) kecuali untuk informasi yang tidak mungkin diperoleh dari sumber umum. Sebutkan nama sumber dan tanggal/komunikasi, dapatkan izin tertulis dan konfirmasi ketepatan dari sumber komunikasi.
Makalah dikirimkan pada: Pemimpin Redaksi Majalah Kedokteran Nusantara Jl. dr. Mansur No. 5 Medan 20155 Indonesia
v
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
DAFTAR ISI Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006 ISSN: 0216-325X
y
Susunan Redaksi
i
Dari Redaksi
ii
Petunjuk untuk Penulis
iv
Daftar Isi
vi
KARANGAN ASLI
1. Perbandingan Lama Rawat Inap Penderita Peritonitis Pasca-laparotomi dengan dan Tanpa Pemberian Enteral Immunonutrisi
73
Bachtiar Surya
2. Polip Hidung dan Sinus Paranasal Durante Functional Endoscopic Sinus Surgery (Fess) di RS H. Adam Malik
77
Delfitri Munir
3. Pengaruh Latihan (Exercise) terhadap Perubahan Plasma Amonia dan Urea Setelah Pemberian Minuman Karbohidrat Berelektrolit
81
4. Correlation between Anxiety and Depression Symptoms with Seizure Severity in Epilepsy Patients at Neurology Department Haji Adam Malik Hospital Medan, North Sumatra, Indonesia
87
Gusbakti Rusip
Kiki Mohammad Iqbal, Aldy S. Rambe, Hasan Sjahrir
5. Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi tehadap Kadar Kortisol Plasma pada Tikus Jantan
97
Simon S. Marpaung
6. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular (Hepatoma) Abdul Rasyid
y
104
TINJAUAN PUSTAKA
7. Endometrial Ablation
109
Budi R. Hadibroto
8. Hysteroscopy for Metroplasty of Uterine Septa and Hypoplastic Uterus
114
9. Babesiosis (Piroplasmosis)
121
Budi R. Hadibroto
Faisal Yatim, Reni Herman
10. Pengobatan Kombinasi Dislipidemi Dharma Lindarto
y
125
LAPORAN KASUS
11. Retensi Janin Kembar Kedua Aterm Hidup 46 Jam
129
12. Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif
132
Daulat H. Sibuea Delfitri Munir
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
vi 5
KARANGAN ASLI
Perbandingan Lama Rawat Inap Penderita Peritonitis Pasca-laparotomi dengan dan Tanpa Pemberian Enteral Immunonutrisi Bachtiar Surya Departemen Ilmu Bedah/Subbagian Bedah Digestif FK USU – RSUP H. Adam Malik Medan
Abstrak: Lama rawat inap penderita pasca-laparotomi pada kasus peritonitis ditentukan oleh ketersediaan kebutuhan energi dan zat-zat yang diperlukan. Oleh karena itu dilakukan studi perbandingan lama rawat inap penderita peritonitis pascaoperasi laparotomi dengan tanpa pemberian Enteral Immunonutrisi (EIN). Tiga puluh satu (31) orang penderita peritonitis (15 penderita dengan EIN, 16 penderita tanpa EIN) diacak untuk pemberian EIN berdasarkan nomor rekaman medis; nomor ganjil mendapat EIN dan nomor genap tanpa EIN. Perbedaan lama hari rawat inap dianalisis dengan student t. test dengan batas kebermaknaan jika P < 0,05 atau H0 ditolak. Tidak diperoleh perbedaan rata-rata usia dan sebaran jenis kelamin dari penderita dengan dan tanpa EIN. Lama hari rawat inap penderita dengan EIN (8 ± 0,8 hari) lebih singkat (P < 0,001) dibandingkan lama rawat inap penderita tanpa EIN (13,38 ± 1,20 hari). Pemberian EIN pada penderita peritonitis pasca-laparotomi akan mempersingkat lama rawat inap penderita. Kata kunci: lama rawat inap, peritonitis pasca-laparotomi, enteral immunonutrisi
Abstract: The aim of this study is to investigate length of stay patient with peritonitis postlaparotomi depend on sources of energy demands and any material needs others. The objective of this study is to determine compare study length of stay patient with peritonitis postlaparotomi, support by immuno enteral nutrition (IEN) or not. 31 patients with peritonitis (15 patients support by IEN, with uneven Medical Record, and 16 patients without IEN with even medical record). The differences length of stay determine with ‘student t test’, significant with P ≤ 0,05 or Ho reject. Do not have differences age and gender patient support by IEN or without IEN or without IEN. Length of stay (LOS) with IEN (8 ± 0,8 days) shorter than without IEN (13,38 ± 1,20 days) with P <0.01. Keywords: length of stay, peritonitis post laparomi, immuno enteral nutrition
PENDAHULUAN Salah satu fungsi penting dari traktus gastroistestinal adalah fungsi epitel usus sebagai barrier terhadap invasi mikroorganik patogen. Fungsi barrier mukosa usus dipertahankan oleh intake dan proses digestif dari si nutrient sepanjang traktus gastrointestinal. Oleh karena itu, masuknya nutrient lewat rute enteral bukan hanya sebagai support nutrisi untuk organ vital saja, tetapi lebih dari itu sebagai support mekanisme pertahanan tubuh 1 terhadap invasi mikroba. Usus yang diistirahat-totalkan akan disertai dengan atrofi dan kerusakan mukosa
usus yang progresif. Efek ini akan terjadi sesudah beberapa hari dan tidak dapat dicegah dengan pemberian nutrisi parenteral. Dari percobaan 1 (satu) minggu protein – difficient diet, akan diikuti dengan perubahan 2,3 degenerasi pada mukosa usus. Pada pasien critically – ill translokasi bakteria ini terjadi pada periode usus yang diistirahatkan (periods of bowel rest), dan ini diakibatkan rusaknya mukosa usus oleh karena tidak adanya nutrient intraluminal. Alasan ini menyebabkan pentingnya pemberian nutrisi enteral pada 4,5 pasien- pasien critically – ill.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
73
Karangan Asli
Enteral immunonutrisi (IED) adalah sekumpulan bahan yang dibutuhkan tubuh untuk pengambilan fungsi fisiologis dan anatomis pada penderita pascaoperasi. Enteral immunonutrisi yang dimaksud adalah bahanbahan immunonutrisi yang terdiri dari: Arginin, Glutamin, Omega 3 Fatty acid, Ornithine, Alpha Ketoglutaral, dan 6,7 Nukleotida. Saat ini pemberian enteral immunonutrisi masih merupakan hal baru di Indonesia dan penelitian tentang enteral immunonutrisi tersebut belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas pemberian Enteral Immunonutrisi (IED) dengan tanpa Enteral Immunonutrisi pada penderita peritonitis yang mengalami laparotomi dengan menentukan lama hari rawat inap penderita. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan membandingkan kelompok penderita peritonitis pasca-laparotomi bedah digestif yang diberikan Enteral Immunonutrisi dengan tanpa pemberian Enteral Immunonutrisi. Penelitian dilakukan di Sub-Bagian Bedah di RSUP H. Adam Malik, RS Pirngadi Medan dan RS Pertamina P. Brandan selama 6 (enam) bulan mulai 1 Mei sampai 31 Oktober 2004. Sampel penelitian adalah seluruh penderita yang dilaporkan mengalami laparotomi pada kasus peritonitis di RS H. Adam Malik, RS Pirngadi Medan dan RS Pertamina P. Brandan. Sampel diambil secara acak (randomized), di mana: - Penderita dengan medical record ganjil diberi diet Enteral Immunonutrisi IED) dimulai 12 jam pascaoperasi laparotomi dengan jumlah 20 ml/jam, dinaikkan jumlahnya 2x lipat setiap 8 jam hingga tercapai kebutuhan 1500 – 2000 kkal/ hari. - Penderita dengan medical record genap tidak diberikan diet Enteral Immunonutrisi. Penentuan hasil dinilai berdasarkan lama rawat inap (length of stay), dengan menentukan keadaan umum penderita dan penyembuhan
74
luka (luka operasi kering ditandai dengan menempelkan dan sedikit menekannya dengan kasa steril tidak ditemukannya cairan eksudasi maupun cairan lain) dan tidak ada tanda-tanda inflamasi/ infeksi. Kriteria Sampel: 1. Kriteria Inklusi 8 - Usia > 18 tahun, - Laparotomi yang pertama selama 6 bulan terakhir. - Bersedia untuk diberi Enteral Immunonutrisi (IED) diet IED dan sebagian lagi tanpa Enteral Immunonutrisi (IED). 2. Kriteria Eksklusi - Penderita pernah mengalami laparotomi < 6 bulan terakhir - Penderita dengan riwayat IDDM (Insulin Dependent Diabetic Mellitus) dan NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetic Mellitus), tidak terkontrol 1 masif. - Penderita dengan komplikasi arterial 9 oklusi lainnya. Analisa data diambil berdasarkan lama rawat inap yang ditentukan berdasarkan keadaan umum dan penyembuhan luka operasi. Untuk data terukur, hari penyembuhan dinalisis dengan uji T, bermakna apabila P ≤ 10 0,05. HASIL PENELITIAN Karekteristik Penderita Selama periode 6 bulan mulai dari 1 Mei s.d. 31 Oktober 2004 diambil sampel secara acak (randomized) sebanyak 31 penderita. Dari 31 penderita didapat 15 penderita dengan medical record ganjil dan 16 medical record genap dengan usia penderita di atas 18 tahun. Sesuai dengan metodologi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya bahwa penderita yang menjadi sampel adalah penderita yang sesuai dengan kriteria Inklusi dan di luar dari kriteria eksklusi.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Bachtiar Surya
Perbandingan Lama Rawat Inap…
Tabel 1. Sampel Penelitian No
1 2 3
Rumah sakit Rawatan
Jumlah penderita peritonitis dirawat
RSUP HAM RSUD Pirngadi RSU Pertamina Jumlah
16 11 16 43
Jumlah penderita peritonitis sebagai sampel 13 8 10 31
Jumlah penderita peritonitis yang tidak masuk sampel 3 3 6 12
Keterangan: 12 orang penderita tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian oleh karena: Medical record tidak lengkap (2 orang) Penderita pulang paksa (3 orang) Masuk dalam kriteria ekslusi (7 orang)
Demografi Penderita Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Jenis kelamin
Enteral Immunonutrisi (+) IED 10 5 15
Total
(-) IED 6 10 16
Laki-laki 16 Perempuan 15 Total 31 X2 = 2,637 df = 1 P = 0,1044 (NS) Keterangan: Dengan P = 0,1044 berarti P > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan statistik untuk penentuan sampel berdasarkan distribusi jenis kelamin.
Tabel 3. Distribusi usia penderita peritonitis pasca-laparotomi yang dan tanpa diberikan diet enteral immunonutrisi. Usia X SD
(+) IED 30,47 8,14
(-) IED 26,81 8,87
Keterangan: df = 29 t = 1,1925 P = 0,01214 P> 0,05 tidak ada perbedaan secara statistik penentuan sampel berdasarkan distribusi usia.
Pada penelitian ini didapati perbedaan
hari rawat inap rata-rata X 1 − X 2 [(absolut )] > 5 hari. Standar deviasi (simpang baku) ± 1,0 [0,82 dan 1,20]. Nilai T yang didapat = 13,5498 yang berarti tidak terdapat di dalam daerah penerimaan tabel distribusi T yang berarti P<0,001 (lebih kecil dari yang diharapkan yaitu P ≤ 0,05, sehingga tampak jelas perbedaan yang sangat bermakna pada jumlah hari rawat inap penderita yang diberi diet Enteral Immunonutrisi (lebih kecil/ sedikit) dibandingkan dengan tanpa pemberian diet Enteral Immunoutrisi. t = (-) 13, 5498 df = 29 P = 0,0000 (NS) Diketahui bahwa rata-rata jumlah rawat inap penderita pasca-laparotomi yang
mendapatkan Enteral Immunonutrisi Diet (8,33 ± 0,82 hari ) secara statistik lebih singkat (P < 0,001), dibandingkan rata-rata jumlah hari rawat inap yang tidak mendapatkan Enteral Immunonutrisi Diet (13,38 ± 1,20 hari). DISKUSI Selama kurun waktu 6 bulan terdapat 43 kasus peritonitis yang dirawat di RSU Pusat Haji Adam Malik Medan, RSU Daerah Pirngadi Medan, dan RS Pendidikan lainnya (RSU Pertamina Pangkalan Brandan). Dari 43 penderita peritonitis yang dilakukan tindakan laparotomi tersebut, jumlah penderita yang dapat diikutsertakan dalam penelitian hanya sebanyak 31 orang (penentuan besar sampel berdasarkan metode sampsice). Sesuai dengan kriteria sampel
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
75
Karangan Asli
(inklusi dan eksklusi) dengan perincian 15 orang penderita dengan medical record ganjil diberi diet Immunonutrisi dan 16 orang penderita dengan medical record genap tidak diberi diet immonunutrisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penderita dengan medical record ganjil menunjukkan jumlah hari rawatan yang ≤ 10 hari dan penderita medical record genap menujukkan jumlah hari ≥ 12 hari. Hipotesa awal yang dibuat ternyata sesuai dengan hasil penelitian di mana penderita peritonitis pasca-laparotomi yang diberikan Enteral Immunonutrisi (IED) memberikan hasil yang lebih baik dengan yang tanpa Enteral Immunonutrisi dengan adanya penurunan lama rawat inap penderita (jumlah hari lebih sedikit). Kegagalan perawatan pascabedah laparotomi terutama dalam pemberian nutrisi bukan saja memperpanjang lama rawat inap tetapi juga meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) 8,11 dan kematian (mortalitas).
DAFTAR PUSTAKA 1. Cornelia S., Randomized Trial of Safety and Efficacy of Immediate Post Operative Enteral Immunonutrition Feeding in Patients Undergoing Gastrointestinal Resection. British Medical Journal 1996, 312: 869-871.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pemberian diet Enteral Immunonutrisi (IED) ternyata penting dan menunjukkan efektivitas yang baik dan berarti pada penderita peritonitis yang mengalami tindakan laparotomi. 2. Perlu dipertimbangkan untuk pemberian Enteral Immunonutrisi Diet (IED) untuk penderita dengan tindakan operasi lain yang memerlukan energi pascaoperasi yang besar seperti: tumor abdomen, fraktur.
7. Warko Kamadiharja, Perioperative Care of the Critically III Surgical Patient, 2005, 1 - 9.
Efektivitas pemberian Enteral Immunonutrisi Diet (IED) ternyata lebih baik sehingga diharapkan Enteral Immunonutrisi Diet (IED) pada penderita peritonitis dapat menjadi protocal di bagian bedah sebagai pilihan diet penderita peritonitis pascaoperasi laporatomi untuk menurunkan angka kesakitan serta meningkatkan kualitas hidup.
10. Tjokronegoro P., dkk, Metodologi Penelitian Kedokteran, Balai Penerbit fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 1999, halaman: 49-1147.
76
2. Grotz MRW et al, Intestinal Cytokine Response After Gut Ischaemia, Annual Surgery 1999, 229, 479 – 486. 3. Moore, et al, Evaluating of the Glutamine and Omega-3 acid Effect in Critical ill Patient, Annual Surgery, 2003, 172 – 183. 4. Cerna F., Critical Care in Postiperative, J. Am. Diet Assoc., 2005, 424 – 429. 5. Richard JB. Randomized Controlled Trial Evaluating the Use Enteral Immunonutrition Supplements PostOperative in Malnourished Surgical Patient. Critical Care Medicine 1997 46: 813-818. 6. Hasnul Arifin, Nurtrisi Enteral, Konsensus Terapi Nutrisi di Bandung 1996, 1-10.
8. Atkinson S, Prospective, Randomzed, Double Blind, Controlled of Enteral Immunonutrision in the Critically III, Critical care Medicine 1998, 26: 11641172, 1174-1183. 9. Beir H., Influence Post Operative Enteral Immunonutrition on Post Surgical Infection, Critcal Care Medicine 1996, 39:833-835.
11. Beatle A.H., Early Enteral Immunonutrition Administrastion of A Formula Impact Supplemented With Argine, Nucleotides, and Fish oil ini Intensive Care Unit. Result of Muticenter Prospective, Randomized and Clinical Trial. Critical Care Medicine 1996, 24: 1734 – 1745.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Polip Hidung dan Sinus Paranasal Durante Functional Endoscopic Sinus Surgery (Fess) di RS H. Adam Malik Delfitri Munir Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstrak: Polip merupakan tumor jinak yang disebabkan oleh peradangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita polip di RS H. Adam Malik Medan. Dari 26 pasien, 8 pasien (30 %) pada kelompok umur 34 – 44. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan (1,8: 1), asal polip yang paling banyak adalah dari konka media (45%) dan keluhan yang paling sering adalah hidung tersumbat (54%). Kata kunci: polip, konka media, meatus media
Abstract: Polyposis is benign tumor caused by inflamation. A prospective study was evaluated polyposis caracteristic in H. Adam Malik Hospital. Out of 26 subjects, 8 patients (30%) were between the age of 34 - 44. Male patients more than female (1,8: 1). The most common original of polyposis from middle turbinate and block nose is more complain. Keywords: polyposis, middle turbinate, middle meatus
PENDAHULUAN Polip hidung adalah peradangan mukosa hidung yang berisi cairan interseluler dan berupa massa lunak. Bentuk polip bulat atau lonjong dan berwarna putih keabu-abuan atau 1,2 Bermacam-macam teori mengenai pucat. penyebab timbulnya polip hidung telah sering diajukan, tetapi belum ada teori yang dapat diterima dengan mutlak. Mungkin juga timbulnya polip disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Yang pasti polip tidak timbul secara kongenital. Teori tersebut antara lain teori alergi, teori peradangan dan infeksi, teori obstruksi mekanik, teori gangguan saraf, teori supurasi sinus, teori pembuluh darah dan 3,4 Pada penelitian akhir-akhir ini limfe. dikatakan bahwa polip berasal dari adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps.5 Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang
sempit di kompleks osteo meatal di meatus media. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan sering kali bilateral atau 2 multipel. Angka kejadian polip hidung secara pasti belum diketahui. Penelitian di Eropa Timur melaporkan prevalensi polip hidung dengan sinusitis maksilaris 1,3%, sedangkan Amerika 6 Utara diperkirakan 1 – 4%. Polip hidung dapat timbul pada semua umur tetapi umumnya dijumpai pada penderita dewasa muda berusia antara 30 – 60 tahun, sedangkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2 – 4 : 1 dan tidak ada kekhususan ras pada kejadian 7,8 polip hidung. Gejala utama polip hidung adalah sumbatan hidung dan hilangnya sensasi bau. Berat ringannya tergantung besar kecilnya polip, atau pada saat mendapat serangan radang atau alergi. Rinore biasanya encer atau mukopurulen bila ada infeksi, dan dapat menetes ke belakang sebagai post nasal drip. Keluhan sering disertai bersin-bersin bila latar belakang alergi yang mendasarinya. Infeksi sinus paranasal dapat terjadi bersamaan 3,4 dengan polip hidung. Polip hidung sangat mengganggu pada kebanyakan pasien dan pengobatannya pun
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
77
Karangan Asli
masih kontroversial. Penyakit ini sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau menghilangkan polip supaya aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernapas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali 9 normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip hidung mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan 10 sejumlah operasi ulang. BAHAN DAN CARA Penelitian yang dilakukan ini adalah studi kasus cross sectional dan bersifat deskriptif yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel penelitian adalah semua penderita yang berobat ke Bagian THT RSUP H. Adam Malik yang didiagnosis dengan polip hidung dan sinus paranasal yang dilakukan operasi functional endoscopic sinus surgery (FEES) sejak Maret 2004 sampai Februari 2005. HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini didapatkan 26 penderita polip hidung dan sinus paranasal yang berobat ke bagian THT RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi syarat dalam penelitian ini, dengan hasil seperti pada tabel berikut ini: Tabel 1. Distribusi polip hidung berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah penderita 17 9 26
% 65 35 00
Dari tabel di atas terlihat bahwa penderita polip hidung berdasarkan jenis kelamin didapatkan 17 laki-laki (65%) dan 9 perempuan (35%) dengan perbandingan rasio 1,8 : 1.
78
Tabel 2. Distribusi polip hidung berdasarkan umur Kelompok Umur 5 - 14
Polip Hidung 3
15 - 24 25 - 34 35 - 44 45 - 54 Jumlah
% 12
6 2 8 7 26
23 8 30 27 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa persentase tertinggi penderita polip hidung terdapat pada kelompok umur 35 – 44 tahun (30%) sedangkan terendah kelompok umur 25 – 34 tahun (8%). Tabel 3. Distribusi berdasarkan asal polip hidung dan sinus paranasal Asal polip Konka Media Sinus Maksila Sinus etmoid Sinus Frontal Jumlah
Jumlah 14 12
% 45 39
4 1 31
13 3 100
Dari tabel di atas terlihat polip hidung terbanyak berasal dari konka media 14 penderita (45%). Tabel 4. Distribusi berdasarkan keluhan utama Keluhan Utama Hidung Sumbat Sakit Kepala Jumlah
Jumlah 14 12 26
% 54 46 100
Dari tabel terlihat bahwa keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung tersumbat 14 penderita (54%) sedangkan sakit kepala 12 penderita (46%). PEMBAHASAN Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 26 orang penderita polip hidung dan sinus paranasal yang terdiri dari laki-laki 17 (65%), perempuan 9 (35%) dengan perbandingan 1,8 : 1. Dowel (1992) pada penelitiannya menjumpai perbandingan laki-laki 3 dan perempuan 2,5 : 1. Wang (2005) di Singapura mendapatkan perbandingan polip hidung pada laki-laki dan perempuan berkisar 211 3 : 1, dan Mangunkusumo (2004) mendapatkan 12 perbandingan laki-laki dan perempuan 2 : 1. Sedangkan Siregar (1995) mendapatkan 13 penderita polip laki-laki dan perempuan 1 : 1. Adanya perbedaan perbandingan mungkin
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Delfitri Munir
disebabkan oleh pengambilan sampel yang berbeda pada masing-masing penelitian. Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini 35 – 44 tahun (30%). Umur termuda 10 tahun dan tertua 54 tahun. Penelitian kami sesuai dengan beberapa penelitian di mana insiden polip hidung 7 banyak dijumpai pada usia 30 – 60 tahun. Henrikson (2001) mendapatkan penderita polip hidung pada usia di atas 30 tahun 14 sebanyak 35 orang (97%). Dowel (1992) mendapatkan umur termuda 14 tahun dan 3 tertua 78 tahun. Siregar (1995) mendapatkan usia termuda adalah 17 tahun dan tertua 50 13 tahun sedangkan Mangunkusumo (2004) mendapatkan usia termuda 8 tahun dan tertua 12 74 tahun. Pada penelitian ini polip hidung sebagian besar berasal dari konka media 14 (45%). Hal ini sesuai dengan penelitian lain di mana polip hidung sering kali terlihat di bagian atas dinding lateral hidung mengelilingi konka 15 media. Ramalingam (1990) mendapatkan polip hidung sebagian besar berasal dari 16 Demikian juga dinding konka media. Collman (1992) mengatakan bahwa sebagian besar polip hidung berasal dari konka media, disebabkan oleh karena letak konka media yang sempit sehingga memudahkan terjadinya perubahan mukosa pada dinding 17 konka media dan terbentuklah polip. Keluhan utama pada penelitian ini adalah hidung tersumbat 14 (54%) dan keluhan sakit kepala 12 (46%). Malcolm (1997) dan Soriano (2004) mengatakan gejala yang paling sering pada polip hidung adalah sumbatan 15,18 Demikian juga Suheryanto (1999) hidung. mendapatkan penderita polip dengan keluhan hidung tersumbat yang paling banyak 8 (94,4%).
DAFTAR PUSTAKA 1. Bucholtz GA, Ejercito VS, Burmester JK.
The Cystic Fibrosis Conductance Regulator Gene Exon Sequence is Normal in Patient With Edematous Eosinophilic Nasal Polyps. American Journal of Rhinology. 1999, Vol. 13(4): 221-3.
Polip Hidung dan Sinus Paranasal…
NW, Mangunkusumo E. Polip Hidung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke 5. FKUI. Jakarta 2001: 96-8.
2. Nizar
3. Dowell M. Ahmess L. Nasal Polypectomy: Should Antral Washout be a Routine ? The Journal of Laryngology and Otology. 1992. Vol.106: 695-6. 4. Dhaeng S, Mulyadi U, Saroso S. Rekurensi
Poilp hidung Di Bagian THT RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Periode Januari 1993 – Desember 1995. Kumpulan Naskah Ilmiah PIT. PERHATI. Batu -Malang. Oktober 1996: 736-42. 5. King CH. Allergic and Polyps. In: Allergic ENT Practice A Basic Guide. Thieme, New York. Stutgart 1998: 370-1. 6. Bert van der Baan. Epidemiology and natural history, in: Nasal Polyposis an st inflamatory disease and its treatment, 1 ed, Munksgaard. Copenhagen. 1997: 1315. 7. Drake- lee AB. Nasal Polyps. In: Allergic and Non Allergic Rhinitis Clinical Aspects. Munksgaard 1993: 167-73. 8. Suheryanto R. Efektivitas Pengobatan Polip Hidung dengan Menggunakan Kortikosteroid. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang, Oktober 1999: 57890. 9. Lildholdt T, Rundcrantz H, Bende M . Glucocorticoid Treatment for nasal Polyps. Journal Arch Otolaryngology Head and Neck Surgery. 1997 Vol.123: 595-600. 10. Soetjipto.D, Nasal Poliposis: The Importance of Post – Operative Care. Indonesian Journal Of OtorhinolaryngologyHead and Neck Surgery. 2005 Vol. 35(2): 46-50. 11. Wang DY. Pattern Of Mocosal th Inflammation In Nasal Polyps. The 11 ASEAN ORL Head and Neck Congress. Bali. Indonesia. Agustus 2005: 79-80. 12. Mangunkusumo E. Hamadi F. Kurniawan.
Histopathologic Characteristics of Nasal Polyps in Jakarta,Indonesia.The Medical Journal Of Malaysia 2004 Vol. 99: 224.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
79
Karangan Asli
13. Siregar.A. Hubungan total Ig E Dengan Histopatologi Polip Hidung Di Bagian THT FK. USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis. 1995: 1-74.
16. Ramalingam KK. Sree Ramamoorthy. Nasal Polyp. In: A Short Practices of Otorhinology. Royal Infirmary. Madras. 1990: 183-7.
14. Henriksson G, Norlander T, Forsgren J. .
17. Collman BH. In: Disease of the Nose,Throat and Ear, Head and Neck. Longman th Singapore Publishers. 14 ed. Singapore 1993: 29-34.
Effects of Topical Budesonide Treatment on Glucocorticoid Receptor mRNA DownRegulation and Cytokine Patterns in Nasal Polyps. American Journal of Rhinology. 2001, Vol.15(1): 1-8. 15. Malcolm N. Rinitis Alergika, Polip Hidung dan Sinusitis. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok.Edisi 6.EGC.Jakarta 1997:196-7.
80
18. Soriano DB, Arrieta JR,
Calleros HP.
Infections after Endoscopic Polypectomy using Nasal Steroids. Journal OtolaryngologyHead and Neck Surgery.2004 Vol. 130(3): 319 –21.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Pengaruh Latihan ( Exercise) terhadap Perubahan Plasma Amonia dan Urea Setelah Pemberian Minuman Karbohidrat Berelektrolit Gusbakti Rusip Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran UISU Medan
diberi beban VO2max 60% dengan kecepatan 60 rpm sampai terjadi kelelahan. Setiap naracoba diberi minuman karbohidrat berelelektrolit dengan konsentrasi 12%, 6% dan placebo volumenya 3ml/kg/bb setiap 20 menit, dalam waktu yang sama diambil darah sebanyak 5 ml untuk pemeriksaan plasma amonia dan urea. Hasil penelitian menunjukan bahwa plasma amonia dan urea bagi ketiga minuman ini tidak ada perbedaan, akan tetapi bila dibandingkan sebelum dengan selama latihan terdapat peningkatan yang signifikan. Disimpulkan bahwa dengan peningkatan plasma amonia selama latihan dapat menjadi indikator untuk intensitas latihan, jadi jelaslah bahwa untuk kriteria intensitas latihan sampai lelah penentuan hasilnya lebih baik daripada plasma laktat. Kata kunci: latihan bersepeda, kelelahan, plasma amonia, dan urea
Abstract: Ingestion beverage of carbohydrate electrolyte during exercise can assist to mount the achievement by slowing fatigue. Fatigue of because decreasing deposit of source of glycogen and indefensible reproduced ATP result the improvement of IMP and ammonia of during fatigue. The aim this research the change of plasma ammonia and urea of before, during and after exercise, after ingestion beverage of carbohydrate - electrolyte. Ten male subjects (age 18-30 years) were subjected to cycle ergometer at 60% of maximal O2 consumption (VO2max) with a pedal speed of 60 rpm until they become fatigued. They were given d drink of carbohydrateelectrolyte at a concentration of 6%, 12% and a flavored water placebo (W) to consume at a volume of 3 ml/kg bw every 20 minutes. Blood samples were taken at rest and during at every 20 minutes for analyzing plasma ammonia and urea. Mean exercise until the on set of fatigue in subjects this research is discovered that no difference for given three beverages. However, plasma ammonia and urea was to be significantly increase compared before and after exercise. Thereby that increase of plasma ammonia of during fatigue, and can become an criteria of increase ammonia with intensity exercise until fatigue. Possibility seems better than the increase of acid lactate. Keywords: exercise cycling ergometer, fatigue, plasma ammonia, urea
PENDAHULUAN Pemberian suplemen minuman karbohidrat berelektrolit selama latihan dapat membantu meningkatkan prestasi. Penambahan suplemen ini tidak mencegah kelelahan akan tetapi memperlambat terjadinya kelelahan. Mutch dan Banister (1983) menyatakan bahwa kelelahan selama latihan ada kaitannya dengan
peningkatan kadar amonia yang merupakan 1 salah satu hasil metabolisme protein . Kelelahan terjadi biasanya oleh karena kadar glikogen otot yang menurun bagi latihan dengan intensitas yang moderat sedangkan latihan dengan intensitas rendah penggunaan glikogen otot sedikit oleh karena itu penghematan glikogen otot tidak diperlukan.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
81
Karangan Asli
Pada latihan yang berkepanjangan, dapat menyebabkan pengurangan sumber glikogen otot dan kegagalan refosforilasi ADP. Hubungan yang jelas antara pengurangan sumber glikogen dan kelelahan. Pengurangan sumber glikogen selama kelelahan tidak dapat mempertahankan resistensa ATP dan menyebabkan peningkatan inosin monofosfat (IMP) serta amonia. Beberapa peneliti mengatakan bahwa dengan melakukan akivitas fisik produksi amonia meningkat di dalam otot yang bersamaan dengan penambahan 2,3 intensitas latihan. Selanjutnya Meyer (1979) dan Terjung (1980) mendemonstrasikan bahwa terjadi penumpukan inosin monofosfat di dalam otot selama latihan, dan akan menunjukkan reaksi kembali dari inosin 4,5 monofosfat selama waktu pemulihan. Selama latihan dengan intensitas submaksimal pada waktu jangka pendek dan panjang, keduanya mengakibatkan peningkatan kadar 6 ammonia dalam plasma dan otot. Tampaknya bahwa sumber amonia adalah hasil dari siklus nukleotida purin di dalam otot rangka selama latihan. Paling dominan adalah reaksi dari deaminasi AMP (adeno monofosfat) menjadi IMP (inosin 5 monofosfat) dan NH3 (amonia). Hal ini juga telah dilakukan pada 4 7 percobaan binatang (rodent) dan manusia yang menunjukkan bahwa aktivitas siklus nukleotida purin lebih besar pada otot cepat daripada otot lambat dalam jaringan otot dengan intensitas latihan jangka pendek. Katabolisme asam amino juga menunjukkan peningkatan selama latihan, oksidasi asam amino dapat membantu lebih dari 10% total energi yang diperlukan selama 8 latihan. Selama latihan jangka panjang dengan intensitas submaksimal, serabut otot lambat lebih diutamakan daripada serabut otot cepat sewaktu mencapai masa kelelahan, oleh karena selama latihan berat, akivitas AMP lebih sedikit dan aktivitas enzim dua kali lipat lebih rendah pada serabut otot lambat dari 9 pada otot serabut cepat. Dengan alasan inilah bahwa sebagian besar komponen amonia di
82
dalam otot selama latihan dengan intensitas submaksimal dalam jangka panjang didapat dari derivat katabolisme asam amino dan 6 bukan dari siklus nukleotida purin. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk meneliti perubahan plasma amonia dan urea sebelum dan sesudah latihan setelah pemberian minuman karbohidrat berelektrolit. BAHAN DAN CARA Subyek Sepuluh naracoba laki-laki sehat telah mengambil bagian dalam penelitian ini. Data-data naracoba: No 1 2 3 4 5 6
Parameter Umur Berat badan Tinggi badan Vital kapasiti VO2max Denyut jantung maks.
Nilai rata-rata (SE) 24.6± 0.3 tahun 60.7± 2.3 kg 166.3 ± 0.5 cm 4.0 ± 0.0 liter 44.6 ± 0.5 ml.kg-1.men-1 173.6 ± 1.1 denyut.men-1
Peralatan: sepeda ergometer (Lode NVL-77) spektrofotometer kateter infus (buterfly needle) Protokol penelitian Sebelum penelitian dilakukan naracoba berpuasa 10 – 12 jam. Kateter infus dimasukkan ke vena lengan bawah bagian dorsal dan tetap dipertahankan dengan heparin saline (10 unit/ml), darah diambil sebelum, selama, dan akhir percobaan sebanyak 5 ml setiap 20 menit sampai terjadi kelelahan. Sebelum pemanasan dan selama latihan subjek diberi minuman 3 ml/kg berat badan. Latihan pemanasan 5 menit pada VO2max 50%, sesudah pemanasan beban kerja ditingkatkan dengan VO2max 60% sampai terjadi kelelahan.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Gusbakti Rusip
Pengaruh Latihan (Exercise)…
Protokol penelitian pemberian minuman 3 ml/kg berat badan Rest waktu (menit) ↑
↓
↓ VO2max 50% pemanasan -5 0 10 ↑
↑
↓ 20
↓ 30
40
↓ ↓ VO2max 60% selama latihan 50 60 70 80
↑ ↑ ↑ pengambilan sample darah
Cara penelitian: Setiap naracoba mengayuh sepeda ergometer dalam tiga waktu yang berbeda dengan jarak 2-3 minggu. Setiap naracoba dibagi tiga kali percobaan, di mana sepuluh naracoba diberi minuman salah satu jenis minuman dari karbohidrat berelektrolit (MC), 12% (HC) dan plasebo tanpa karbohidrat (P), diberikan secara double blind dengan rasa dan warna yang sama sebanyak 3 ml/kg berat badan setiap 20 menit sampai terjadi kelelahan. Sewaktu percobaan dijalankan, naracoba mengayuh sepeda ergometer pada beban kerja VO2max 60% dengan kecepatan dipertahankan pada 60 rpm sampai kelelahan yaitu apabila naracoba tidak dapat mempertahankan kecepatan antara 30 - 60 rpm. Setiap naracoba yang mengambil bagian dalam penelitian ini dianjurkan tidak melakukan kegiatan olahraga berat selama tiga hari sebelum percobaan dilakukan. Untuk memastikan tahap kebugaran yang sama semasa percobaan, naracoba dianjurkan untuk mempertahankan latihan antara waktu 2-3 minggu sebelum percobaan berikutnya. Analisa biokimia darah Setiap sampel darah vena (5 ml) yang diambil dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan litium heparin, tabung tersebut kemudian disentrifuge selama 5 0 menit pada 6000 rpm dan suhu 4 C, plasma 0 yang diperoleh disimpan pada suhu -70 C untuk analisa amonia dan urea. Untuk pemeriksaan amonia dianalisa dengan memakai kit komersial (Bohringher M.G,bh, ammonia) dan urea juga memakai kit testkomersial (Bohringher M.G,bh,
↑
↓ akhir ↑
combination urea S). Kedua hasil penyerapan plasma diukur dengan spektrofotometer. Analisa statistik Perubahan amonia dan urea selama latihan bersepeda terhadap ketiga jenis minuman dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) dan test-t. Uji statistik dijalankan dengan menggunakan program SPSS. Pada tahap probabilitas kurang dari 0.05 (p<0.05) dianggap mempunyai perbedaan yang signifikan secara statistik. Data yang diperoleh dalam bentuk rata-rata ± SE. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Perubahan kadar plasma amonia Selama menjalankan latihan terjadi peningkatan kadar plasma amonia secara signifikan terhadap ketiga minuman yang diberikan, apabila dibandingkan sebelum latihan, selama latihan, dan akhir latihan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p< 0.001). Di mana kadar plasma amonia sebelum latihan bagi minuman karbohidrat 12% (HC) 31.86 ± 1.93 μml/liter dan akhir latihan 86.50 ± 5.13 μml/liter dan minuman 6% (MC) sebelum latihan 33.08 ± 1.43 μml/liter dan akhir latihan 90.68 ± 3.41 μml/liter sedangkan minuman placebo tanpa karbohidrat (P) 33.64 ± 1.93 μml/liter dan akhir latihan 93.12 ± 2.91 μml/liter. Dari ketiga jenis minuman ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan tetapi apabila dibandingkan sebelum latihan dan akhir latihan terlihat perbedaan yang signifikan (p<0.001).
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
83
Karangan Asli
Perubahan kadar plasma amonia selama latihan Kadar plasma amonia
100
ANH3 BNH3 CNH3
75
50
25
0
Rest
WP
20
40
60
End
Waktu
Keterangan: Rest = masa istirahat WP = masa pemanasan End = akhir latihan ANH3 = minuman karbohidrat berelektrolit 12 % BNH3 = minuman karbohidrat berelektrolit 6% CNH3 = placebo Dalam penelitian tampak jelas bahwa terjadi peningkatan plasma amonia yang didapati selama latihan dengan intensitas submaksimal jangka waktu yang panjang. Salah satu sumber plasma amonia dalam darah adalah aktivitas dari deaminasi AMP dalam sel otot. Bromberg dan Sahlin, 1989 mengemukakan bahwa pecahan nukleotida adenin mungkin disebabkan oleh karena 10 glikogen otot yang rendah. Brouns et al. (1990), juga menyatakan bahwa kadar amonia di dalam otot tinggi kemungkinan berkaitan dengan terjadinya kelelahan otot selama 11 latihan jangka panjang. Walaupun kadar amonia otot tinggi merupakan sekunder dari penurunan kadar glikogen, tetapi tidak jelas apakah peningkatan amonia atau cadangan karbohidrat yang rendah ini mempercepat kelelahan. Dalam penelitian ini peningkatan kadar plasma amonia terhadap ketiga jenis minuman tersebut hampir sama, walaupun rendah sedikit pada pemberian minuman karbohidrat 12% (Gambar 1). Dari hasil penelitian ini didapati peningkatan kadar plasma amonia disebabkan deaminasi AMP yang kemungkinan lebih tergantung pada persediaan oksigen. Dalam keadaan normal 47-65 μml/liter, selama latihan dapat meningkat sampai 20 kali lipat. Dalam suatu penelitian yang dijalankan oleh Babij et al. (1983) menunjukkan bahwa pada keadaan istirahat kadar amonia darah arteri 84
50% diambil oleh otot rangka, di samping itu Babij juga memperkirakan hanya 28% total amonia diproduksi oleh deaminasi adenin nukleotida yang menyebabkan penumpukan amonia dalam darah dan di dalam otot amonia sebagai bufer yang disintesa sari alanine, 2 glutamat dan glutamin. Aktivitas siklus glukosa-alanin, di dalam derivat piruvat dari glukosa membentuk alanin juga didapati meningkat selama latihan. Alfa ketoglutarat dan piruvat pada otot rangka merupakan prekusor juga menunjukkan peningkatan selama latihan dan cenderung menjadikan amonia sebagai bufer. Peningkatan amonia darah bersamaan dengan penambahan intensitas latihan, dapat merupakan suatu hubungan timbal balik terhadap perubahan amonia melalui jalur sintesa glutamat, glutamin, dan alanin. Produksi glutamin dan alanin pada otot rangka dipengaruhi oleh pH di dalam otot selama pembentukannya. Walau bagaimanapun, pengeluaran alanin dan glutamin oleh otot lebih besar sedikit daripada pengeluaran asam laktat, yang kontribusi asam amino ini dikontrol oleh pH. Pada masa pemulihan dari intensitas latihan akan mengakibatkan peningkatan yang cepat, berikutnya terjadi penurunan baik amonia darah maupun asam laktat darah. Keadaan ini mempunyai hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan peningkatan amonia dan asam laktat darah. Peningkatan ini merupakan hubungan timbal balik antara produksi substrat di dalam otot, difusi masuk ke dalam darah dan perubahan substrat ini melalui beberapa jalur metabolisme. 2. Perubahan kadar plasma urea Selama menjalankan latihan terjadi peningkatan kadar plasma urea secara signifikan terhadap ketiga jenis minuman yang diberikan apabila dibandingkan sebelum latihan dengan akhir latihan (p<0.001). Di mana kadar urea sebelum latihan bagi minuman HC 4.75 ± 0.12 mmol/liter dan akhir latihan 5.44 ± 0.10 mmol/liter, dan bagi minuman MC sebelum latihan 4.88 ± 0.20 mmol/liter dan akhir latihan 5.22 ± 0.10 mmol/liter sedangkan bagi placebo sebelum latihan 4.88 ± 0.20 mmol/liter dan akhir latihan 5.54 ± 0.24 mmol/liter. Dari gambaran berikut ini tidak memperlihatkan perbedaan signifikan bagi ketiga jenis minuman yang
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Gusbakti Rusip
Pengaruh Latihan (Exercise)…
diberikan dan terlihat jelas perbedaan pada sebelum dan akhir latihan (Gambar 2). Perubahan kadar plasma urea selama latihan
kadar plasma urea
7.5
AUREA BUREA CUREA
5.0
2.5
0.0
Rest
WP
20
40
60
End
Waktu
Keterangan: Rest = semasa istirahat WP = semasa pemanasan End = akhir latihan Aurea = minuman karbohidrat berelektrolit 12 % Burea = minuman karbohidrat berelektrolit 6% Curea = plasebo Dalam penelitian ini kadar plasma urea meningkat terhadap ketiga jenis minuman, peningkatan yang secara signifikan jelas terlihat bila dibandingkan sebelum dan akhir latihan, hasil yang sama juga didapati pada penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Fallowfied & William (1993). Mereka juga mendapati peningkatan kadar plasma urea selama latihan dan peningkatan kadar plasma urea ini merupakan suatu pertanda 11 Dengan kadar metabolisme protein. demikian, peningkatan kadar plasma urea dapat memperkirakan kelelahan selama menjalankan latihan. Pemberian suplemen karbohidrat tidak dapat terhindar dari penggunaan asam amino. Ini menunjukkan bahwa peranan protein membantu metabolisme tenaga akhir, dengan demikian dapat diketahui bahwa perubahan plasma urea tidak ada hubungannya dengan pemberian karbohidrat selama latihan. KESIMPULAN Hasil produksi amonia selama merupakan suatu indikator intensitas Pada keadaan latihan dapat peningkatan kapasitas otot-otot, perubahan kadar amonia dikaitkan
latihan latihan. terjadi adanya dengan
peningkatan sintesa glutamin. Metabolisme amonia dan asam amino di perifer dan sistem saraf pusat, merupakan integrasi dari aktivitas fisik, penting diketahui bahwa peningkatan ini dapat dipengaruhi melalui jalur metabolisme selama latihan. Dalam penelitian ini tidak didapati perubahan yang signifikan kadar plasma amonia dan urea setelah pemberian ketiga jenis minuman, akan tetapi perubahan signifikan yang jelas peningkatannya selama latihan apabila dibandingkan sebelum dan akhir latihan. Kadar asam laktat darah tidak mencapai puncak akibat intensitas latihan sampai beberapa menit akhir dari latihan, dan berbeda dengan kadar amonia darah yang akan mencapai tahap maksimum pada akhir latihan dan menurun secara perlahan-lahan bila latihan dihentikan. Oleh karena itu peningkatan kadar amonia darah jelaslah dapat dipersamakan terhadap titik akhir yaitu kelelahan. Jadi tampaklah bahwa untuk kriteria metabolis protein dengan intensitas latihan sampai terjadi kelelahan lebih baik daripada asam laktat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Match BJC, Banister EW. Ammonia metabolism in exercise and fatigue: A review. Med Sci Sport and Exerc. 1983; 15 (1): 41 – 50. 2. Babij P, Matthews SM, Rennie MJ. Changes in blood ammonia, lactate and amino acids in relation to workload during bicycle ergometer exercise in man. Eur.J.Appl.Physiol. 1983; 15 (1): 41 – 50. 3. Meyer RA, Dudley RL, Terjung RL. Ammonia and IMP reamination in working skeletal muscle. Am.J.Physiol. 1980; 239: C32-38. 4. Meyer RA, Terjung RL. Differences in ammonia and adenylate metabolism in contracting fast and slow muscle. Am.J.Pysiol. 1979; 137 (3): C111-C118. 5. Dundley GA, Staron RS, Muuray TF, Hagerman FC, Luginbuhl A. Muscle fibers composition and blood ammonia levels after intense exercise in humans. J. Appl.Pysiol. 1983; 54 (2): 582-586.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
85
Karangan Asli
6. Sahlin KS, Bromberg S, Saltin B, Luginbuhl A. Formation of inosine monophosphate (IMP) in human skeletal muscle during incremental dynamic exercise . Acta.Pysiol.Sacnd. 1989; 136: 193-198. 7. Brooks GA. Aminno acid and protein metabolism during exercise and recovery. Med. Sci.Sport.Exerc. 1987; 19: S150S156. 8. Gollnick PD, Piehl K, Saltin B. Selective glucogen depletion pattern in human muscle fibers after exercise of varying intense and at varying pedal rates J. Pysiol.Lond. 1974; 241: 45-58.
86
9. Bromberg S, Saltin B. Adenine nucleotide degradation in human skeletal muscle during prolonged exercise. J. Appl.Pysiol. 1989; 67(1): 116-122. 10. Brouns F, Beckers E. Wagenmakers, A.J.M. & Saris, W.H.M. Ammonia accumulation during higly intensive long lasting cycling: individual observations. Int.J. Sport Med. 11(Suppl 2), S78-S84, 1990. 11. Fallowfield JL, William C. Carbohydrate intake and recovery from prolonged exercise. Int.J. Sport Med. 1993;3(2): 150-164.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Correlation between Anxiety and Depression Symptoms with Seizure Severity in Epilepsy Patients at Neurology Department Haji Adam Malik Hospital Medan, North Sumatra, Indonesia Kiki Mohammad Iqbal, Aldy S. Rambe, Hasan Sjahrir Department of Neurology, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara Haji Adam Malik Hospital Medan, North Sumatra, Indonesia
Abstract: Background and objectives: patients with epilepsy often suffer psychiatric illness, most commonly depression or anxiety but sometimes psychotic disorders. The objective of this study was to find out the correlation between anxiety and depression symptoms with seizure severity in epilepsy patients. Materials and methods: a cross sectional study with subjects consisted of epilepsy patients from Neurology Department H. Adam Malik Hospital Medan, Indonesia during the period of December 2004 - April 2005. The inclusion criteria (idiopathic epilepsy, age 15-55 years) completed the National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3) questionnaire to assess seizure severity and the Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) questionnaire to detect anxiety and depression symptoms. Results: of 42 patients, 22 males (52.4%), we found 88.1% generalized tonic clonic seizure (GTCS), 7.1% complex partial seizure (CPS); and 4.8% simple partial seizure (SPS). The mean NHS3 score in GTCS patients was 11.30; in CPS patients were 4.33 and in SPS patients were 3.00. (p<0,05) The mean NHS3 score for normal HADS anxiety subscale was 10.22; borderline was 7.00 and abnormal was 15.00 (p<0,05). The mean NHS3 score for normal HADS depression subscale was 10.65 and borderline was 5.50 (p>0,05). Conclusions: the GTCS had the worst seizure severity. There was a correlation between seizure severity level with the arising anxiety symptoms. On this study, epilepsy patients with depression symptoms were not found. Keywords: generalized tonic clonic seizure, complex partial seizure, simple partial seizure, National Hospital Seizure Severity Scale, Hospital Anxiety and Depression Scale
Abstrak: Latar belakang dan tujuan: penderita dengan epilepsi seringkali menderita kelainan psikiatri, yang tersering yaitu depresi (prevalensi 30%) atau cemas (15%) bahkan kadangkala gangguan psikotik (2-10%). Depresi lebih lazim ditemukan pada penderita epilepsi dibandingkan pada penderita dengan penyakit kronis lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara gejala cemas dan depresi dengan derajat keparahan seizure penderita epilepsi. Bahan dan cara: penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan terhadap pasien epilepsi yang datang berobat ke Poliklinik Epilepsi Bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, periode 1 Desember 2004 sampai 30 April 2005. Dilakukan pemeriksaan dan pengisian kuesioner National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3) untuk menilai keparahan seizure dan Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) untuk mendeteksi keberadaan gejala cemas dan depresi terhadap 42 penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian (penderita epilepsi idiopatik / primer berusia 15-55 tahun, kooperatif, dan setuju ikut penelitian). Hasil: dari 42 penderita, pria 22 (52,4%) dan wanita 20 (47,6%) dijumpai penderita Generalized Seizure (GS) 37 (88,1%), Complex Partial Seizure (CPS) 3 (7,1%) dan Simple Partial Seizure (SPS) 2 (4,8%). Pada GS dijumpai rerata skor NHS3 11,30 dengan skor cemas dan depresi HADS terbanyak (89,2% dan 97,3%) normal; 8,1% cemas dan 2,7% depresi borderline dan 2,7% abnormal cemas. Pada CPS rerata skore NHS3 4,33 dengan skore HADS semuanya normal. Pada SPS rerata skore NHS3 3,00 dengan skore cemas HADS 50% normal dan 50% abnormal cemas; dan depresi 50% normal dan 50% borderline. Rerata skore NHS3 untuk skore cemas HADS normal sebesar 10,22; borderline sebesar 7,00 dan abnormal sebesar 15,00; yang secara uji Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
87
Karangan Asli
statistik dijumpai perbedaan bermakna (p<0,05). Sedang rerata skore NHS3 untuk skore depresi HADS normal sebesar 10,65 dan borderline sebesar 5,50; yang pada uji statistik ternyata tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05). Kesimpulan: generalized seizure memiliki derajat keparahan yang paling berat (skor NHS3 paling tinggi) dibanding dengan tipe Complex partial seizure dan Simple partial seizure. Terdapat hubungan antara derajat keparahan seizure dengan munculnya gejala cemas, di mana penderita yang memiliki gejala cemas ternyata memiliki derajat keparahan seizure yang lebih tinggi. Pada penelitian ini tidak dijumpai gejala depresi pada penderita. Kata kunci: generalized seizure, complex partial seizure, simple partial seizure, National Hospital Seizure Severity Scale, Hospital Anxiety and Depression Scale
INTRODUCTION Epilepsy, anxiety and depression are all 1 common disorders. Patients with epilepsy often suffer psychiatric illness, most commonly depression (prevalence 30%), and anxiety (15%) or sometimes psychotic 2 disorders (2-10%). Depression is the most frequent comorbid psychiatric disorder in 3 epilepsy. In general, depression is more common and/or more severe in patients with epilepsy than in patients with other 2,4 neurologic and chronic medical conditions. Patients with epilepsy have a higher prevalence of depression than does the general population. It’s prevalence has been estimated 3 to range between 20% and 50% of patients. The other authors estimate the lifetime prevalence of depression with epilepsy to be 1 as high as 55%. All age groups including 2 children and both sexes are affected. Both hospital based and community studies of epilepsy have found the prevalence of an inter-ictal anxiety disorder to be between 1025% and, in the majority, this is a generalised 1 anxiety disorder. Depressive symptoms can occur as a manifestation of an ictal event, during the postictal phase of a seizure, as a medication effect, and probably as a manifestation of 5 brain injury. Depression in epilepsy may be linked temporally to seizures, but the most common disorder is that of interictal 1 depression. Interictal depression is believed to be much more common than peri-ictal depression. However, the prevalence is not 4 known. Patients with seizure disorders and comorbid depression show high levels of hostility, guilt, and self-criticism as well as 5 greater impairment of function.
88
The relationship to type of epilepsy or epilepsy syndrome is unclear and some have noted a preponderance of depressive symptoms with left-sided lesions. In a large epilepsy care center, Blumer (1997) found that half of all patients with chronic epilepsy experience an intermittent and polysymptomatic affective disorder. (cit. 5 Pincus, Tucker, 2003) Risk factors for depression include epilepsy severity; focal epilepsy rather than Idiopathic Generalized Epilepsy (some studies) and left hemisphere epilepsy rather 2 than right (some studies). Other studies suggested an epilepsy factors as an etiology of depression in people with epilepsy, included age at onset of epilepsy, duration of epilepsy, seizure type, seizure frequency, seizure severity, seizure control, localization of focus, lateralization of focus, secondary 4 generalization of seizure. Most anti epileptic drugs (OAEs) may trigger depressive reactions although some do so more frequently, (including Topiramate, Vigabatrin, Benzodiazepines, Phenobarbital, Tiagabine and 2 Zonisamide). Mendez et al (1993) concluded that interictal depression in epilepsy may result from the use of more anticonvulsant drugs resulting in the prevention of secondary 6 generalization from a seizure focus. Psychosocial factors are important in 2 depression. Patients with epilepsy commonly report anxiety. Seizure disorders can produce an anxiety that is almost indistinguishable from psychiatric disorders. Anxiety and related disorders may manifest as simple partial seizures (auras), psychological reactions to symptoms that alert the patients to a coming seizure, postictal states, and interictal 7 behavioral and panic attacks. As with
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Kiki Mohammad Iqbal dkk.
depression, anxiety can be seizure related or 1 interictal. Fear is a common manifestation of partial seizures originating in the temporal lobe and it can sometimes be difficult to distinguish 1 between these and panic attacks. Among partial seizure patients, fear is reported as an aura by 10 to 15%. Interictal anxiety symptoms are reported by as many as 66% of 7 patients with epilepsy. Seizure disorders and anxiety disorders have many similarities, particularly panic attacks. In epidemiological studies, Neubgebauer et al (1993) noted a suggestive overlap between seizures and anxiety disorders. Spitz (1991) found no relation between complex partial seizure (CPS) and 5 anxiety disorders. (cit. Pincus, Tucker, 2003). Investigators recognize that change in seizure severity would be an important outcome to assess. Seizure type and seizure frequency have been the outcome assessment variables for most evaluations of therapy, because end points are readily measured. Quantitative assessment of seizure severity has been approached using a 8 variety of systems. A review of the literature on methods of seizure assessments resulted in tabulation of the seizure rating scales known as VA, Chalfont-National Hospital, Liverpool, Hague and the Occupational Hazard Scale. Each of the scales had advantages and disadvantages. Most scales share core components: seizure frequency, seizure type, seizure duration, postictal events, postictal duration, automatisms, seizure clusters, known pattern, warning, tongue biting, incontinence, injury, and impaired function. All scales suffer from a limited number of questions that may or may 8 not cover seizure severity for an individual. The objective of this study was to find out the correlation between anxiety and depression symptoms with seizure severity in epilepsy patients. MATERIALS AND METHODS This is a cross sectional study, the subjects were epilepsy patients who come to outpatients clinic of Neurology Department Haji Adam Malik Hospital Medan (North Sumatera, Indonesia) during the period between December 2004 and April 2005.
Correlation between Anxiety and…
The patients, who match to the inclusion criteria, are asked to complete the National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3) questionnaire to assess seizure severity and the Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) questionnaire to detect presence of anxiety and depression symptoms. There are 42 patients who match to the inclusion criteria: idiopathic / primary epilepsy patients, the age between 15-55 years old, informed consent was obtained from all patients and cooperative patients. Exclusion criteria for this study are: secondary epilepsy patients, patients with loss consciousness, auditory disturbance, visual disturbance, aphasia, another psychiatry symptoms except anxiety and depression symptoms, and mental retardation. Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) is an instrument designed to detect the presence and severity of mild degrees of 9 mood disorder, anxiety and depression. It was developed to detect anxiety and depression in a non-psychiatric hospital setting. The scale originated in the work of Zigmond and Snaith 10 (1983). The anxiety and depression subscale are valid measure of severity of the emotional 11 disorder. There are 14 questions in HADS. Questions relating to anxiety are indicated by an ‘A’ (7 questions) while those relating to depression are shown by a ‘D’ (7 questions). Scores of 0-7 in respective subscale are considered normal, with 8-10 borderline and 9 11-21 indicating clinical ‘caseness’. The Chalfont Seizure Severity Scale was described in 1990 and developed as measure of clinical events. It was update and renamed the National Hospital Seizure Severity Scale (NHS3). These scales were used for assessment 8 of institutionalized patients. The principal advantages of the new version are that it is quicker and simpler to apply, the limits of reliability are now clearly defined, and construct 12 The validity for the scale is available. questionnaire is administered by a clinician who interviewed the patient and by people who witnessed typical seizures. Items were created from patient interviews, and the anchors for a 5point response were derived from patients and 8 clinicians. The NHS3 contains seven items assessing different aspects of seizure severity and generates a score with a possible range of 1 to 27; higher
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
89
Karangan Asli
12,13
scores mean more severe seizures. The seven items of questions include: how often fall to ground, how often have convulsions, injuries during seizures, incontinence during seizures, warning before seizures, recovery time after 8,13 seizures, and automatisms during seizures. For two items (how often fall to the ground with seizures and how often incontinent during seizures), response choices specifically incorporated percentage of the time, using time frames described in the instructions to the interviewer for the NHS3: “always, > 75% of the time,” “often, 25-75%,” “occasionally, < 25%,” and “never.” A time frame of the past 6 months 13 was specified for these baseline assessments. The questionnaire concludes with the addition of 1 point to the total score for each seizure type, as a modification to avoid assigning a score 8 of zero severity to any seizure. Anova test was used to find out the correlation between seizure severity (NHS3) and anxiety depression symptoms feature (HADS). To know the correlation between patients characteristic, type of epilepsy and seizure frequency with seizure severity and anxiety depression symptoms, we used chi square with significance level is α 5%. RESULTS Of 42 patients, 22 male (52.4%) and 20 female (47.6%), we found 88.1% Generalized Tonic Clonic Seizure (GTCS), 7.1% Complex Partial Seizure (CPS), and Simple Partial Seizure (SPS). Mostly, the distribution of age are 20-40 years old (54.8%), mean of age is 21.67 years old. Ethnic groups are dominated by Batak Toba ethnic (35.7%) and Javanese (23.8%). Mostly, patients’s education levels are senior high school students (47.6%) and university students (57.1%). Most of the patients are suffering epilepsy for 1-5 years (61.9%), and frequency of seizure is seizure free in the last year (64.3%). Mean duration of epilepsy is 5.90 years (Table 1).
90
Table 2 shows the HADS anxiety and depression subscale value distribution of epilepsy patients. We found that most of epilepsy patients have normal HADS value (0-7) while anxiety subscale (88.1%) and depression subscale (95.2%). There are 7.1% patients having borderline HADS anxiety subscale value and 4.8% having borderline HADS depression subscale value (8-10). There are only 4.8% patients having abnormal HADS anxiety subscale value (11-21) which is 2.4% GTCS patients and 2.4% SPS patients. This study did not find epilepsy patients with abnormal HADS depression subscale value. In statistical analysis, there was a significant correlation between epilepsy types and the HADS anxiety and depression subscale value (p<0.05). Table 3 shows the mean of NHS3 score of epilepsy patients is 10.40 (9.86 male and 11.00 female), the mean of HADS score of each anxiety subscale and depression subscale are 4.81 (normal) and 2.67 (normal). The mean of NHS3 score between patients’ age less than 20 years old and between 20-40 years old are not much different, they are 10.16 and 10.61. GTCS type epilepsy has higher mean of NHS3 score (11.30) than CPS type (4.33) and SPS type (3.00). Each epilepsy type has normal mean of HADS score (both of anxiety and depression subscale), and only SPS type has borderline mean of HADS anxiety subscale score. Concerning duration of suffering epilepsy and seizure frequency, the highest mean of NHS3 score was found on patients with duration of suffering epilepsy for 11-20 years and seizure frequency less than 1 time per month (11.38). (Table 3) In statistical analysis, there was a significant differences between epilepsy types and the mean of NHS3 score (p<0.05).
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Kiki Mohammad Iqbal dkk.
Correlation between Anxiety and…
Table 1. Demographic characteristic of patients GTCS
CPS
SPS
Total
n (%)
n (%)
n (%)
n (%)
● Male
20 (47.6)
-
2 (4.7)
22 (52.4)
● Female
17 (40.5)
3 (7.1)
-
20 (47.6)
● < 20 years old
16 (38.1)
2 (4.7)
1 (2.4)
19 (45.2)
● 20 - 40 years old
21 (50.0)
1 (2.4)
1 (2.4)
23 (54.8)
3 (7.1)
-
-
3 (7.1)
14 (33.3)
-
1 (2.4)
15 (35.7)
● Mandailing
1 (2.4)
-
-
1 (2.4)
● Acehnese
2 (4.7)
-
-
2 (4.8)
● Minang
6 (14.3)
-
-
6 (14.3)
● Melayu
4 (9.5)
1 (2.4)
-
5 (11.9)
● Javanese
7 (16.7)
2 (4.7)
1 (2.4)
10 (23.8)
● Primary school
4 (9.5)
-
-
4 (9.5)
● Junior high school
8 (19.0)
-
-
8 (19.0)
● Senior high school
16 (38.1)
2 (4.7)
2 (4.7)
20 (47.6)
● Academic / University
9 (21.4)
1 (2.4)
-
10 (23.8)
6 (14.3)
-
1 (2.4)
7 (16.7)
Sex:
Age:
Ethnic group: ● Karo ● Batak (Toba)
Education:
Occupation: ● Entrepreneur ● Private employee
2 (4.7)
-
-
2 (4.8)
● Government employee
4 (9.5)
-
-
4 (9.5)
● Student / University student
20 (47.6)
3 (7.1)
1 (4.7)
24 (57.1)
● Others
5 (11.9)
-
-
5 (11.9)
● < 1 year
2 (4.7)
1 (2.4)
-
3 (7.1)
● 1-5 years
23 (54.8)
2 (4.7)
1 (2.4)
26 (61.9)
● 6-10 years
5 (11.9)
-
1 (2.4)
6 (14.3)
● 11-20 years
6 (14.3)
-
-
6 (14.3)
● > 20 years
1 (2.4)
-
-
1 (2.4)
● Seizure free in the last year
24 (57.1)
1 (2.4)
2 (4.7)
27 (64.3)
● < 1 seizure per month
7 (16.7)
1 (2.4)
-
8 (19.0)
● ≥ 1 seizure per month
6 (14.3)
1 (2.4)
-
7 (16.7)
37 (88.1%)
3 (7.1%)
2 (4.8%)
42 (100%)
Duration of epilepsy:
Seizure frequency:
Total
GTCS = Generalized Tonic Clonic Seizure, CPS = Complex Partial Seizure, SPS = Simple Partial Seizure
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
91
Table 2. Distribution of HADS anxiety and depression subscale value HADS value Anxiety subscale 0-7
8-10
11-21
n (%)
n (%)
n (%)
● Male
20 (47.6)
1 (2.4)
1 (2.4)
● Female
17 (40.5)
2 (4.8)
1 (2.4)
● < 20 years old
17 (40.5)
1 (2.4)
1 (2.4)
● 20 - 40 years old
20 (47.6)
2 (4.8)
1 (2.4)
33 (78.6)
3 (7.1)
1 (2.4)
● CPS
3 (7.1)
-
● SPS
1 (2.4)
● < 1 year
Depression subscale p
0-7
8-10
11-21
n (%)
n (%)
n (%)
20 (47.6)
2 (4.8)
-
20 (47.6)
-
-
19 (45.2)
-
-
21 (50.0)
2 (4.8)
-
36 (85.7)
1 (2.4)
-
-
3 (7.1)
-
-
-
1 (2.4)
1 (2.4)
1 (2.4)
-
3 (7.1)
-
-
3 (7.1)
-
-
● 1-5 years
23 (54.7)
2 (4.8)
1 (2.4)
24 (57.1)
2 (4.8)
-
● 6-10 years
5 (11.9)
-
1 (2.4)
6 (14.3)
-
-
● 11-20 years
5 (11.9)
1 (2.4)
-
6 (14.3)
-
-
● > 20 years
1 (2.4)
-
-
1 (2.4)
-
-
● Seizure free in last year
23 (54.7)
2 (4.8)
2 (4.8)
25 (59.5)
2 (4.8)
-
● < 1 seizure per month
7 (16.7)
1 (2.4)
-
8 (19.1)
-
-
● ≥ 1 seizure per month
7 (16.7)
-
-
7 (16.7)
-
-
Total
37 (88.1)
3 (7.1)
2 (4.8)
40 (95.2)
2 (4.8)
-
p
Sex: 0.768
0.167
Age: 0.906
0.188
Epilepsi type: ● GTCS
0.043 *
0.009 *
Duration of epilepsy: 0.867
0.863
Seizure frequency: 0.722
0.558
HADS = Hospital Anxiety and Depression Scale, GTCS = Generalized Tonic Clonic Seizure, CPS = Complex Partial Seizure, SPS = Simple Partial Seizure, * p < 0.05
92
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Table 3. Mean of NHS3 score and HADS score Mean of NHS3 (SD)
Mean of HADS score (SD) p
Anxiety
p
subscale
Depression
p
subscale
Sex: ● Male
9.86 (3.72)
● Female
11.00 (3.99)
0.345
4.36 (2.46)
0.294
5.30 (3.23)
2.95 (2.55)
0.377
2.35 (1.69)
Age: ● < 20 years old
10.16 (4.51)
● 20 - 40 years old
10.61 (3.29)
0.710
5.00 (3.13)
0.700
4.65 (2,67)
2.53 (1.74)
0.710
2.78 (2.52)
Epilepsi type: ● GTCS
11.30 (3.12)
0.0001*
4.59 (2.81)
0.251
2.54 (1.99)
● CPS
4.33 (1.53)
5.33 (2.08)
2.67 (2.08)
● SPS
3.00 (1.41)
8.00 (4.24)
5.00 (5.66)
0.307
Duration of epilepsy: ● < 1 year
9.00 (5.57)
0.498
5.33 (1.53)
0.746
4.33 (2.08)
● 1-5 years
10.08 (3.80)
4.54 (2.73)
2.54 (2.23)
● 6-10 years
9.83 (3.97)
5.67 (4.46)
2.17 (1.60)
● 11-20 years
13.00 (3.22)
5.33 (2.34)
3.33 (2.42)
● > 20 years
11.00 (-)
2.00 (-)
0.00 (-)
0.391
Seizure frequency: ● Seizure free in last year
10.44 (4.14)
0.542
5.52 (2.86)
0.074
2.70 (2.22)
● < 1 seizure a month
11.38 (2.83)
4.00 (2.39)
2.25 (2.31)
● ≥ 1 seizure a month
9.14 (3.76)
3.00 (2.58)
3.00 (2.16)
Total
10.40 (3.84)
4.81 (2.86)
2.67 (2.18)
0.802
NHS3 = National Hospital Seizure Severity Scale, HADS = Hospital Anxiety and Depression Scale GTCS = Generalized Tonic Clonic Seizure, CPS = Complex Partial Seizure, SPS = Simple Partial Seizure * p < 0.05
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
93
Table 4. Correlation between HADS value and NHS3 score HADS value
Mean ± SD
Mean ± SD
of HADS score
of NHS3 score
● Normal (0-7)
4.08 ± 2.01
10.22 ± 3.68
● Borderline (8-10)
8.67 ± 1.15
7.00 ± 4.24
● Abnormal (11-21)
12.50 ± 2.12
15.00 ± 2.65
● Normal (0-7)
2.37 ± 1.78
10.65 ± 3.76
● Borderline (8-10)
8.50 ± 0.71
5.50 ± 2.12
p
Anxiety subscale: 0.047 *
Depression subscale: 0.064
HADS = Hospital Anxiety and Depression Scale, NHS3 = National Hospital Seizure Severity Scale * p < 0.05
94
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
95
96
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi terhadap Kadar Kortisol Plasma pada Tikus Jantan Simon S. Marpaung Bagian Kimia Fakultas Kedokteran – Universitas Sumatera Utara
Abstrak: Pertambahan penduduk, peningkatan iptek, dan pengotoran lingkungan menyebabkan pertambahan kebisingan. Pengaruh kebisingan ini terhadap kesehatan manusia memberikan efek pada pendengaran dan bukan pendengaran. Pengaruh pada bukan pendengaran menyebabkan stres dan ketegangan tinggi yang mengakibatkan kelainan psikosomatik. Jika berlangsung lama mengakibatkan kelainan fisik. Oleh karena itu, penelitian efek kebisingan intensitas tinggi pada tikus jantan menyebabkan pengaruh pada kadar kortisol plasma, berat badan, dan berat kelenjar adrenal. Penelitian eksperimental secara random meneliti tikus jantan (Rattus novergicus) berumur 40-60 hari dengan berat 250 – 350 g yang belum pernah diteliti. Selama 21 hari, 10 tikus jantan adalah group kontrol, 10 tikus jantan lainnya mendapat kebisingan dengan intensitas 90 dB(A)-95 dB(A), dan 10 ekor lagi dengan kebisingan 100 dB(A)-105 dB(A). Berat badan ditimbang setiap minggu dan pada hari ke-21 kebisingan dihentikan. Dilakukan penelitian pada kadar kortisol di dalam darah, berat badan, dan berat kelenjar adrenal. Data-data ini dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA), menunjukkan perbedaan yang sangat berarti p < 0.05. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kebisingan menambah kadar kortisol dalam darah, mengurangi pertambahan berat badan tikus jantan, tetapi tidak mengakibatkan pertambahan berat kelenjar adrenal. Hubungan antara pertambahan kadar kortisol dan pertambahan berat badan dengan berat kelenjar adrenal dilakukan dengan analisa regresi dan hasilnya tidak berarti (p > 0.05). Kata kunci: kebisingan, kortisol, adrenal, berat badan
Abstract: The world population, the improvement of science and technology, and environmental pollution caused by noise are increasing day by day. The influence of the noise on people’s health brings an effect on both auditory and nonauditory senses. The influence on the nonauditory causes stress and high temper which result in psychosomatic weaknesses. If this condition lasts longer, it will be result physical disorder. Therefore, this study on the effect of noise with high intensity was done for male rats to in order to determine the change they experience in their cortisol level, body weight, and adrenal weight. This laboratory experimental study employed the Randomized Complete Block Design (RCBD) to examine 40-60 days old healthy male rats (Rattus novergicus) with body weight of 250 g – 350 g. In addition never be used in any experiment. For 21 days, 10 male rats are the control group, 10 male rats were heard the noise produced by using electric alarm with the intensity of 90 dB(A) – 95 dB(A). In the other 10 male rats were heard the noise with the intensity of 100 dB(A) – 105 dB(A). Their body weight was observed every week. On the 21st day, this treatment was stopped. Moreover their body weight, adrenal weight, and level of cortisol in their blood were studied. The data obtained were statistically analyzed by using the Analysis of Variance (ANOVA). In addition, the difference existing is significant if p < 0.05. The finding of this study reveals that the noise significantly increase the cortisol level in blood of the male rats [p = 0.0000 (p < 0.05)], significant reduce the increase of the male rats body weight [p = 0.0000 (p<0.05)], while the increase of adrenal weight is not significant [p = 0.353 (p>0.05)]. Correlation, regession analyse between the increase of cortisol level and the increase of body weight and adrenal weight are not significant (p > 0.05). This study proves that noise with high intensity is very influential on the cortisol level with the change in body weight of male Rattus novergicus, but is not influential on their adrenal weight. Keywords: noise, cortisol, adrenal, body weight
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
97
Karangan Asli
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebisingan adalah suatu bunyi intensitas tinggi, merupakan pencemaran yang mengganggu dan tidak disukai, dapat mengganggu percakapan, dan merusak alat 1 pendengaran (Albert, 1979). Anak-anak di daerah kebisingan intensitas tinggi lebih banyak menderita tekanan darah tinggi daripada anak-anak di daerah kebisingan intensitas lebih rendah (Cohen, Krantz, 2,3 1982). Dalam penelitian Noise Exposure and Public Health (Passchier – Vermeer, 1933),4 kebisingan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yang meliputi kelainan pada kardiovaskuler, sistem hormonal, dan 4,5 Kadar kortisol dan kolesterol kekebalan. serum darah meningkat pada tikus percobaan yang terpapar kebisingan dengan intensitas 85 dB(A) selama 30 hari (Abel, 1990). Efek ini menetap selama beberapa hari setelah 6,7 kebisingan dihilangkan. Pengaruh kebisingan pada binatang percobaan akan menimbulkan stres ringan, menaikkan kadar kortikosteroid plasma 0 – 35 ng/ml setelah 10 – 20 jam 8, 9,10 Efek keramaian pemaparan (Riley, 1981). dengan menambah tikus dalam satu kandang 6-40 ekor pada periode 6 jam/hari selama 8 hari, juga meningkatkan kadar kortikosteroid 11,12 Kebisingan pada suatu (Capel et al., 1980). lingkungan, baik secara terus-menerus maupun tidak yang dikenakan pada tikus akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan kelenjar endokrin. Keadaan ini disebabkan oleh adanya stimulus yang berasal dari kebisingan yang mempengaruhi kerja 13 saraf otonom. Salah satu kelenjar endokrin yang terpengaruh oleh adanya suara bising adalah kelenjar korteks adrenal (Leake, 13 1985). Produksi akhir pada pembentukan kortikosteroid yang sangat penting adalah kortisol. Kortisol disekresi oleh korteks adrenal akibat pengaruh dari ACTH, stres, 14 dan suatu ritme diurnal. Fungsi utama glukokortikoidsteroid adalah dalam metabolisme karbohidrat dan protein, mengatur sistem imun dan mekanisme adaptasi respons terhadap stres. Kadar kortisol diukur untuk evaluasi pituitary adrenal activity atau fungsi korteks 15,16 adrenal. 98
Aktivitas kelenjar korteks adrenal dapat dilihat dengan berbagai macam indikator meliputi kadar kortisol plasma dan pertambahan 17 berat kelenjar adrenal (suprarenal gland). Perumusan Masalah Bagaimana pengaruh kebisingan intensitas tinggi pada kadar kortisol plasma tikus jantan? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kebisingan intensitas tinggi terhadap kadar kortisol dalam darah tikus jantan dan untuk mengetahui perbedaan pengaruh berbagai intensitas kebisingan terhadap kadar kortisol dalam darah tikus jantan. CARA PENELITIAN Kegiatan penelitian dibagi 2 tahap, yaitu: 1. Tahap persiapan penelitian Meliputi 30 ekor tikus jantan dewasa umur 40 - 60 hari, berat badan 250 g – 350 g. Pengelompokan dan pemberian perlakuan terhadap hewan percobaan dilaksanakan mengikuti pola Randomized Block Design (RBD). Di dalam pengelompokan hewan percobaan yang terdiri dari kelompok kontrol 10 ekor, kelompok eksperimental 10 ekor dengan kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) dan 10 ekor dengan kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A). Masing-masing 1 ekor tikus percobaan dalam kandang yang berukuran 900 cm². Selama penelitian hewan percobaan diberikan makanan pelet yang mengandung komponenkomponen nutrisi yang cukup untuk tikus laboratorium dan minum secara ad libitum yang diganti setiap hari selama penelitian 17,23 Pengukuran berat badan berlangsung. hewan percobaan dilakukan sebelum dan sesudah penelitian, yakni minggu 0, minggu I, minggu II, dan minggu III. Pengukuran suhu dan kelembapan udara selama penelitian o o berkisar 20 C – 25 C dengan kelembaban 18 50% - 60% (Smith, 1988) . 2. Tahap pelaksanaan Dilakukan selama 21 hari dengan ketentuan sebagai berikut: Sebelum perlakuan bising, semua hewan uji ditimbang berat badannya, masing-masing ditempatkan dalam ruang kontrol, ruang kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) dan 100 dB(A) – 105 dB(A). Kebisingan ruang perlakuan bersumber dari
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Simon S. Marpaung
alat sirene elektrik yang sebelumnya telah diukur intensitasnya sesuai dengan yang dikehendaki. Perlakuan ini dilakukan selama 21 hari dan tiap harinya selama 8 jam. Setelah 19 hari ke-21, kebisingan dihentikan . Cara memperoleh sampel adalah membunuh tikus dengan cara guillotine, darah ditampung dan langsung dimasukkan ke dalam tabung steril, ditutup, dan dibekukan selama ½ - 1 jam, kemudian sentrifuge dan serum 20 diambil dengan pipet eppendorf. Setelah itu hewan uji di-incisie dan diambil kelenjar adrenal (suprarenal) kanan dan kiri, dan dimasukkan ke dalam pengawet larutan formalin 10% untuk selanjutnya ditimbang 21,22 berat kelenjar adrenal tersebut. ANALISA DATA Data yang diperoleh akan dipergunakan untuk menghitung nilai rata-rata berat badan, berat kelenjar adrenal, dan kadar kortisol plasma tikus laboratorium jantan. Untuk melihat pengaruh kebisingan intensitas tinggi terhadap kortisol dipergunakan uji statistik ANOVA (Analysis of Variance).22,23 Untuk melihat hubungan parameter pengaruh kebisingan intensitas tinggi terhadap kadar kortisol plasma dengan parameter lainnya, seperti pertambahan berat kelenjar adrenal dan berkurangnya pertambahan berat badan tikus jantan dilakukan analisis regresi 24 dan korelasi. HASIL PENELITIAN Kadar Kortisol Hasil pengukuran kadar kortisol plasma tikus jantan menunjukkan kadar hormon yang bervariasi. Kadar hormon kortisol plasma pada -1 kelompok kontrol tertinggi 18.10 ng/dl dan -1 ng/dl. Rata-rata kadar terendah 12.10 kortisol plasma kelompok kontrol adalah -2 -3 152.10 ± 215.10 ng/dl. Kadar hormon kortisol plasma kelompok hewan uji dengan kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) tertinggi -1 adalah 26.10 ng/dl dan terendah adalah -1 18.10 ng/dl. Rata-rata kadar hormon kortisol -2 plasma pada kelompok ini adalah 220.10 ± -3 249.10 ng/dl. Hasil pengukuran kadar hormon kortisol plasma tertinggi pada kelompok kebisingan -1 100 dB(A) – 105 dB(A) adalah 37.10 ng/dl
Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi …
-1
dan terendah adalah 27.10 ng/dl. Rata-rata kadar hormon kortisol plasma kelompok -2 -3 kebisingan ini adalah 325.10 ± 389.10 ng/dl. Berat Kelenjar Adrenal Pengukuran berat kelenjar adrenal tikus jantan kanan dan kiri, pada berbagai kelompok menunjukkan jumlah yang bervariasi. Pada kelompok kontrol, berat kelenjar adrenal -4 kanan tertinggi adalah 299.10 g dan terendah -4 adalah 151.10 g. Rata-rata berat kelenjar -4 -4 adrenal kanan adalah 236.10 ± 50.10 g. Berat kelenjar adrenal kiri tertinggi adalah -4 -4 334.10 dan terendah adalah 198.10 g. Rata-4 rata berat kelenjar adrenal kiri adalah 274.10 -4 ± 79.10 g. Rata-rata berat kelenjar adrenal tikus jantan pada kelompok kontrol adalah -4 -4 255.10 ± 53.10 g. Pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A), berat kelenjar adrenal kanan tertinggi -4 g dan terendah adalah adalah 322.10 -4 g. Rata-rata berat kelenjar adrenal 230.10 -4 -4 kanan adalah 265.10 ± 33.10 g. Berat kelenjar adrenal kiri tertinggi pada kelompok -4 ini adalah 347.10 g dan terendah adalah -4 244.10 g. Rata-rata berat kelenjar adrenal kiri -4 -4 adalah 497.10 ± 68.10 g. Rata-rata berat kelenjar adrenal tikus jantan pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) adalah -4 -4 381.10 ± 34.10 g. Pada kelompok kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A), berat kelenjar adrenal kanan -4 tertinggi adalah 321.10 g dan terendah -4 adalah 246.10 g. Rata-rata berat kelenjar -4 -4 adrenal kanan adalah 288.10 ± 31.10 g. Berat kelenjar adrenal kiri tertinggi adalah -4 -4 396.10 dan terendah 234.10 g. Rata-rata -4 berat kelenjar adrenal kiri adalah 295.10 ± -4 50.10 g. Rata-rata berat kelenjar adrenal tikus jantan pada kelompok kebisingan 100 -4 dB(A) – 105 dB(A) adalah 291.10 -4 ± 38.10 g. Berat Badan Tikus Jantan Pengukuran berat badan tikus jantan pada berbagai kelompok dilakukan sebelum dan pengukuran berat badan kelompok kontrol mulai minggu 0, minggu I, minggu II, dan minggu III terjadi peningkatan. Rata-rata berat -2 badan pada kelompok ini adalah 31152.10 g. Rata-rata berat badan tikus jantan pada minggu -2 0 adalah 28958.10 g dan pada minggu III
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
99
Karangan Asli
-2
adalah 32986.10 g. Rata-rata pertambahan berat badan tikus jantan pada kelompok ini -2 -4 adalah 4028.10 ± 276261.10 g. Hasil pengukuran berat badan tikus jantan pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) terjadi peningkatan. Rata-rata berat badan tikus jantan pada minggu 0 adalah -2 32184.10 g dan rata-rata berat badan tikus -2 jantan pada minggu III adalah 33062.10 g. Rata-rata pertambahan berat badan tikus
-3
jantan pada kelompok ini adalah 8158.10 ± -4 35879.10 g. Hasil pengukuran berat badan kelompok kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A) terjadi peningkatan rata-rata berat badan pada -2 minggu 0 adalah 30007.10 g dan pada -2 minggu III adalah 30577.10 g. Rata-rata pertambahan berat badan tikus jantan pada -2 -4 kelompok ini adalah 498.10 ± 24254.10 g.
Tabel 1. Kadar hormon kortisol plasma tikus jantan Kelompok Kontrol Kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) Kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A)
N 10 10 10
X ± SD (ng/dl) 152.10-2 ± 215.10-3 220.10-2 ± 249.10-3 325.10-2 ± 389.10-3
P 0,000
Analisis variansi kadar hormon kortisol antara ketiga kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna p < 0,05.
Tabel 2 Berat kelenjar adrenal tikus jantan Kelompok Kontrol Kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) Kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A)
N 10 10 10
X ± SD (g) 255.10-4 ± 53.10-4 381.10-4 ± 34.10-4 291.10-4 ± 38.10-4
P 0,353
Analisis variansi berat kelenjar adrenal tikus jantan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) dan kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, di mana p > 0,05. Pengukuran berat kelenjar adrenal ini cenderung menunjukkan pertambahan berat kelenjar adrenal, tetapi secara statistik tidak bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Tabel 3 Berat badan tikus jantan Rata-Rata Berat Badan (g) pada Minggu keKelompok
N
Kontrol Kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) Kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A)
0
I
II
III
10
28958.10-2
30826.10-2
31835.10-2
32986.10-2
10
32184.10-2
32303.10-2
32536.10-2
33062.10-2
10
30067.10-2
30170.10-2
30354.10-2
30577.10-2
Laju Pertambahan Berat Badan X ± SD (g) 4028.10-2 ± 276261.10-4 8158.10-3 ± 35879.10-4 498.10-2 ± 2425.10
P
0,000
Analisis variansi pertambahan berat badan tikus jantan pada ketiga kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna, di mana p < 0,05.
Tabel 4. Korelasi peningkatan kadar kortisol plasma dengan berat kelenjar adrenal Kelompok Kontrol Kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) Kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A)
Peningkatan Kadar Kortisol Plasma X ± SD (g) 152.10-2 ± 215.10-3 220.10-2 ± 249.10-3 325.10-2 ± 289.10-3
Peningkatan Berat Kelenjar X ± SD (g) 255.10-4 ± 53.10-4 381.10-4 ± 34.10-4 291.10-4 ± 38.10-4
P 0,507 0,434 0,547
Analisis regresi dan korelasi antara peningkatan kadar kortisol plasma dengan berat kelenjar adrenal pada semua kelompok tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, di mana p > 0,05.
100
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Simon S. Marpaung
Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi …
Tabel 5. Korelasi peningkatan kadar kortisol plasma dengan laju pertambahan berat badan Kelompok Kontrol Kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) Kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A)
Peningkatan Kadar Kortisol Plasma X ± SD (g) 152.10-2 ± 215.10-3 220.10-2 ± 249.10-3 325.10-2 ± 389.10-3
Laju Pertambahan Berat Badan X ± SD (g) 4028.10-2 ± 276261.10-4 8158.10-4 ± 35879.10-4 498.10-2 ± 2425.10-3
P 0,747 0,905 0,932
Analisis regresi dan korelasi antara peningkatan kadar kortisol plasma dengan berat badan pada semua kelompok tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, di mana p > 0,05.
PEMBAHASAN Kenaikan kadar kortisol plasma disebabkan oleh kebisingan intensitas tinggi (stressor) mempengaruhi otak sekaligus menghasilkan CRH → ACTH ↑ → korteks adrenal → glukokortikoid (kortisol) ↑ (14, 16). Uji statistik ini menggambarkan adanya perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 90 dB(A) – 95 dB(A) dan 100 dB(A) – 105 dB(A). Hasil analisis ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Riley (1981) dengan perlakuan yang berbeda penyebab stres. Penelitian terdahulu menggunakan hewan uji (tikus percobaan) dengan sumber kebisingan pada berbagai keadaan pengelompokan dan waktu yang berbeda. Tingginya kadar hormon kortisol pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) dan kelompok kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A) dibanding kelompok kontrol ini sesuai dengan konsep kesadaran nonrefleks 5 yang dikemukakan oleh Kryter (1985). Salah satu bagian teori tersebut menyatakan bahwa respons pada sistem nonauditorik pada dasarnya adalah berupa pengenalan kebisingan yang ada di lingkungannya. Besarnya respons yang diberikan oleh individu tergantung pada kemampuan dan pengetahuan individu serta oleh keadaan ketika terjadi terus menerus akan menyebabkan efek yang merugikan terhadap 25 kesehatan, baik fisiologis maupun psikologis. Kebisingan secara terus-menerus maupun terputus-putus yang dikenakan pada tikus akan mempengaruhi kerja otak yang berhubungan dengan fungsi kelenjar endokrin (Leake, 1985). Keadaan ini disebabkan oleh adanya stimulus berupa suara bising yang mempengaruhi kerja sistem saraf otonom. Armario (1984) menyatakan bahwa hubungan pituitary-adrenal dan pituitary-thyroid diaktifkan juga oleh 9 adanya stimulus kebisingan yang akut. Peningkatan kadar glukokortikoid (kortisol) plasma pada hewan normal menyebabkan
korteks adrenal mengalami regresi sehingga berat kelenjar tidak bertambah akibat kebisingan. Adrenal tikus liar dan piaraan sangat berbeda. Apabila tikus-tikus liar dijinakkan, adrenal lambat laun menyusut ukurannya 15 (Turner C.D., Bagnara J.T., 1988). Berkurangnya laju pertambahan berat badan pada kelompok pemaparan kebisingan intensitas tinggi diduga karena pada kelompok pemaparan bising kadar hormon tiroksin (T4) yang tinggi menyebabkan meningkatnya kecepatan metabolisme dan ekskresi nitrogen yang mengakibatkan protein endogen dan cadangan lemak di dalam tubuh akan dibongkar. Keadaan tersebut akan mengakibatkan turunnya berat badan. Meningkatnya kecepatan metabolisme diduga juga akan meningkatkan konsumsi oksigen (Greenspan dan Rapoport, 1983; Devin, 1982). Konsumsi oksigen akan meningkatkan pula penggunaan substrat energi seperti glukosa, asam lemak, dan 19 protein (Con dan Stumps, 1976). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pengaruh kebisingan terhadap kadar kortisol plasma pada tikus jantan dapat disimpulkan sebagai berikut: Pengaruh kebisingan selama tiga minggu terhadap kadar kortisol tikus jantan: ¾ Pada kelompok kontrol meningkat kadar kortisol plasma rata-rata sebanyak 1,5 ng/dl. Pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) meningkat kadar kortisol plasma ratarata sebanyak 2,2 ng/dl. Pada kelompok kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A) meningkat kadar kortisol plasma rata-rata sebanyak 3,3 ng/dl. ¾ Pengaruh kebisingan terhadap kadar kortisol plasma tersebut di atas adalah bermakna (p < 0,05).
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
101
Karangan Asli
Pengaruh kebisingan selama tiga minggu terhadap berat kelenjar adrenal tikus jantan: ¾ Pada kelompok kontrol berat kelenjar adrenal rata-rata 0,0267 g. Pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A) berat kelenjar adrenal rata-rata sebanyak 0,0268 g. Pada kelompok kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A) berat kelenjar adrenal rata-rata sebanyak 0,0291 g. ¾ Pengaruh kebisingan terhadap berat kelenjar adrenal di atas tidak bermakna (p > 0,05). Pengaruh kebisingan selama tiga minggu terhadap laju pertambahan berat badan tikus jantan: ¾ Pada kelompok kontrol, laju -2 pertambahan berat badan 4028.10 ± -4 276261.10 g. ¾ Pada kelompok kebisingan 90 dB(A) – 95 dB(A), laju peningkatan berat -3 badan tikus sebanyak 8158.10 ± -4 35879.10 g. ¾ Pada kelompok kebisingan 100 dB(A) – 105 dB(A), laju peningkatan berat -2 ± badan tikus sebanyak 498.10 -3 2425.10 g. ¾ Pengaruh kebisingan terhadap laju pertambahan berat badan tikus jantan di atas bermakna (p < 0,05). Analisa regresi dan korelasi antara peningkatan kadar kortisol plasma dengan peningkatan berat kelenjar adrenal tikus jantan pada semua kelompok menunjukkan hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05). Analisa regresi dan korelasi antara peningkatan kadar kortisol plasma dengan laju peningkatan berat badan tikus jantan pada semua kelompok menunjukkan hubungan yang tidak bermakna (p > 0,05). SARAN Dari hasil penelitian ini, dapat dilanjutkan penelitian pada tikus betina untuk dapat melihat perbedaan pengaruh kebisingan terhadap kadar kortisol plasma dan perbandingan ketahanan fisik antara tikus jantan dan tikus betina. Dapat dilanjutkan penelitian pengaruh kebisingan intensitas tinggi terhadap organ lain seperti pankreas, hati, atau lambung. 102
DAFTAR PUSTAKA 1. Sumakmur PK (1992). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Cetakan ke-8 CV. Haji Masagung Jakarta 57-68. 2. Saenz LA, Stephenz RWB, Noise Pollution. New York: John Wiley and Sons, 1986. 201-246. 3. Wilda. 1999. Pengaruh Kebisingan Terhadap Tekanan Darah Pekerja Masa Dewasa Dini Industri Karet Deli Medan, Tesis 1-67. 4. Willy Passchier-Vermeer and Wim F. Passchier. 2000. Noise Exposure and Public Health, Environmental Health Perspectives Volume 108, Suplement. 5. Kryter KD. 1985. The Effects of Noises nd on Man, 2 , Tokyo, Academic Press, 1985, 399-405. 6. G Brandenberger, M Follnius, and C Trimolires. 1977. Failure of noise exposure to modify temporal patterns of plasma cortisol in man, Eur J Appl Physiol Occup Physiol May 10; 36 (4): 239-246. 7. Juwairiyah Nasution. 2004. Uji Pengaruh Intensitas Kebisingan Tinggi Terhadap Kadar Kortisol Pada Tikus Betina, Tesis 136. 8. Slaby AE, Tancreal LR, Lieb J. 1981. Clinical Psychiatric Medicine. Philadelphia Harper Row, Publisher: 6869. 9. Ann O’Leary. 1990. Stress, Emotion, and Human Immune Function, Rutgers – The State University of New Jersey, Psychological Bulletin, Vol. 108, No. 3, 365. 10. Sally French. 1992. Physiotherapy a Psychosocial Approach Linacre House, Jordan Hill, Oxford: 185-188. 11. Brannon L, Feist J. 1992. Health Psychology, Brooke/Cole Publishing Company Pacific Grove, California, second ed: 48-57. 12. Frazetor TM. 1992. Human Stress, Wirk and Job Satistaction, Penterjemah Ny. Muliana, Jakarta, PT. Pustaka Binaman Pressindo, 3-10, 25-28.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Simon S. Marpaung
13. Vick RL. 1984. Contemporary Medical Physiology California: Addison Wesley Publishing Company: 327-332. 14. Ganong, WF. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Text Book of Medical Physiology), Jakarta, EGC, ed. 9;4-5. 15. Turner C.D., Bagnara J.T. 1988. Endokrinologi Umum, Edisi VI. Penerbit Airlangga University Press, 425-430. 16. Robert K Murray, [et al.], Biokimia Harper, Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta Edisi 24, 1999;562-574. 17. Naiborhu A. 1997. Dampak Kebisingan, Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 7-12. 18. John B. Smith B. V. Sc. Soesanto Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan, Percobaan Di Daerah Tropis, Penerbit Universitas Indonesia, (VI-Press). 19. Tri Pitara M. Abdy Choliq C, Sri Kardarsih S. 2001. Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi Terhadap Aktivitas Kelenjar Tiroid Mencit (Mus Musculus) Betina, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 223-224.
Pengaruh Kebiasaan Intensitas Tinggi …
20. Gary P. Carlson. 1987. Factor Modifying Toxicity, Toxic, Toxic Subatances and Human Risk, Plenum Press, New York and London, 57-65. 21. Smith JB, dan Mangkoewidjojo (1988). Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Indonesia. 19, 37-57. 22. Mitruka, BM; Rawnsley, HM; Vandhera, DV, (1976). Animals for Medical Research, Models for The Study of Human Disease. A Wiley Medical Publication. Jhon Wiley and Son. New York. 23-27. 23. Kryter KD. 1994. Non Auditory Effect of Environmental Noise, American Journal of Epidemiology, Vol. 139, No. 4;380389. 24. Sarwono SW. 1994. Psikologi Lingkungan. Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan PT. Gramedia Indonesia: 92-97. 25. Robert WA, Michael DE, Andre WH, Industrial Hygiene, Prentice Hall Inc., New Jersey, 1976, 206.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
103
Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Selular (Hepatoma) Abdul Rasyid Laboratorium Radiologi FK USU/RS H. Adam Malik Medan
have hepatitis C.
PENDAHULUAN Kanker hati hepato selular yang berasal dari sel hati merupakan kanker nomor lima tersering di Indonesia. Dalam kelompok penyakit hati, kanker ini menduduki tempat terbanyak ketiga setelah sirrhosis hati dan hepatitis virus. Di Indonesia, kanker ini mematikan lebih dari satu juta orang per tahun. Penyebab pasti belum diketahui tetapi penyakit ini paling banyak ditemukan pada penderita sirrhosis hati (pengerasan hati), hepatitis virus B aktif, hepatitis virus B carrier, dan pada penderita hepatitis virus C, sehingga mereka dimasukkan dalam kelompok berisiko 1,2 tinggi mendapatkan kanker hati ini. Hal yang 3 sama ditemukan oleh Zhou dkk. di Cina. Sedangkan di Eropa hanya 20% yang berhubungan dengan ketiga penyakit ini dan sisanya 80% berhubungan dengan kebiasaan konsumsi alkohol yang berlebihan, faktor 4 kimia industri, dan faktor lainnya. Angka kejadian dan kematian dari kanker ini masih tinggi di Indonesia disebabkan
104
penderita datang pada stadium lanjut. Sebenarnya angka kematian ini dapat ditekan 5 bila diagnosa dini dapat ditegakkan. Penderita kanker hati stadium dini masih punya harapan hidup lama dan diselamatkan dengan pengobatan cara radiologi diikuti 6 Tindakan bedah dengan cara bedah. melakukan reseksi hati yaitu membuang bagian hati yang terkena kanker yang didahului dengan tindakan radiologi TransArterial Embolisasi yaitu menutup aliran darah yang mensuplai makanan ke sel-sel 7,8 kanker. Sedangkan pada penderita kanker hati stadium lanjut yang tak memungkinkan lagi dilakukan bedah reseksi maka tindakan radiologi digabung dengan tindakan kemoterapi dan tindakan medis lainnya ternyata juga masih dapat memberikan harapan hidup penderita walaupun tidak dapat hidup lama seperti halnya pada stadium 9 dini. Cara-cara diagnostik yang dikenal untuk mendeteksi kanker hati ganas ini adalah cara radiologi, laboratorium, dan patologi. Cara
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Abdul Rasyid
radiologi dengan ultrasonografi (USG), CT Scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiografi, Positron Emission Tomografi 10 (PET), Skintigrafi. Cara laboratorium dengan pemeriksaan pertanda tumor dalam darah 11,12 Sedangkan yang disebut Alphafetoprotein. patologi dengan cara aspirasi biopsi memakai jarum halus. Dengan ultrasonografi konvensional (grey scale) atau dikenal dengan nama ultrasonografi hitam putih yang sederhana saja pun sudah dapat mendeteksi hepatoma noduler berdiameter kecil dari 2cm. USG merupakan sarana diagnostik yang tidak invasif, tanpa efek samping, biaya murah, mudah dilakukan, dan alat USG hitam putih ini sudah tersedia di pusat-pusat kesehatan di Indonesia dan lagi 13,14 biaya murah. BAHAN DAN CARA Data-data kasus hepatoma sejak 1 Januari 2000 – 31 Desember 2000 yang dikumpulkan di Rumah Sakit Adam Malik Medan, Klinik Spesialis Bunda, dan Rumah Sakit PTPN II Medan yang terdeteksi dengan USG dengan positif Alphafetoprotein dikumpulkan, diteliti ulang, dan dicatat apakah penderita secara bersamaan menderita hepatitis viral B (HBV), hepatitis viral C (HCV) atau juga penderita sirrhosis hati, dengan atau tanpa HBV atau HCV. HASIL Selama kurun waktu 5 tahun sejak Januari 2000 - Desember 2005 ditemukan 483 penderita hepatoma positif dengan USG dan Alphafetoprotein. Dari jumlah ini ditemukan 232 orang penderita (63%) bersamaan dengan sirrhosis hati dan 91 orang bersamaan dengan hepatitis B (25%) dan 44 orang (12%) dengan hepatitis C yang semuanya berjumlah 367 orang (76%). Sedangkan 116 orang lagi (24%) tidak berhubungan sama sekali dengan sirrhosis hati, HBV ataupun HCV. Gambaran USG yang dijumpai pada penelitian-penelitian ini adalah noduler, massive ataupun diffuse dan ada juga massa yang besar berdiameter sampai 10 cm. Hampir 75% penderita sudah dalam stadium lanjut. DISKUSI Dari 483 kasus ternyata 367 orang (76%) berhubungan erat dengan ketiga penyakit ini
Temuan Ultrasonografi Kanker Hati …
dan sisanya 116 orang (24%) tidak ada hubungannya. Dari 367 orang penderita hepatoma ternyata 232 orang penderita (63%) bersamaan dengan sirrhosis hati dan 91 orang bersamaan dengan hepatitis B (25%) dan 44 orang (12%) dengan hepatitis C yang kesemuanya berjumlah 367 orang (76%). Sedangkan 116 orang lagi (24%) tidak berhubungan sama sekali dengan sirrhosis hati, HBV, ataupun HCV. Data yang hampir bersamaan didapati di negara Cina yang mendapati bahwa pada 70% penderita hepatoma juga didapati menderita salah satu dari sirhosis hati atau hepatitis B atau hepatitis 5 C. Di Eropa, menurut penelitian Anzol dkk. hanya 20% yang berhubungan dengan ketiga penyakit ini dan sisanya 80% berhubungan dengan kebiasaan konsumsi alkohol yang berlebihan, faktor kimia industri, dan faktor 4 lainnya. Dari kajian epidemiologi dan biologi molekuler di Indonesia sudah terbukti bahwa penyakit ini berhubungan erat dengan sirrhosis hati, hepatitis virus B aktif ataupun hepatitis B carrier, dan hepatitis C dan semua mereka ini termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berisiko tinggi untuk 5 mendapatkan kanker hati ini. Secara epidemiologi, Indonesia dikelompokkan sebagai daerah endemi sedang sampai tinggi hepatitis B di dunia. Hal ini diungkapkan oleh Achmad Sujudi waktu itu sebagai Menteri Kesehatan dalam jumpa pers “Pekan Peduli Hepatitis B di Indonesia” tahun 2003, dan dikatakannya jumlah penderita hepatitis B adalah 15 - 20 juta penduduk, sedangkan jumlah penderita hepatitis C adalah 7 – 8 juta orang dan pada masa ini jumlah ini terus meningkat. Data statistik menunjukkan bahwa pada 12.5% kasus sirrhosis hati akan ditemukan 4 kanker jenis ini dalam kurun waktu 3 tahun. Orang dengan hepatitis B kronis dan hepatitis C kronis berpotensi berkembang menjadi sirrhosis hati dan selanjutnya mendapatkan kanker hati selular. Kira-kira 50% dari hepatitis B dan 60% - 80% hepatitis C berkembang menjadi hepatitis kronis dan dalam waktu 20 – 30 tahun kemudian 2 hepatitis tersebut menjadi sirrhosis akhirnya. Dengan demikian diperhitungkan 4% penderita hepatitis B dan 37% hepatitis C
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
105
Karangan Asli
pada akhirnya akan mendapatkan komplikasi kanker ini. Penularan hepatis B dari ibu ke anak umumnya terjadi sewaktu proses persalinan dan ini terutama terjadi pada daerah endemik. Umumnya ini terjadi dari ibu yang darahnya dijumpai HbeAg positif, tapi hal ini bisa juga terjadi pada keadaan e antigen tidak dijumpai umumnya bayi yang terinfeksi akan menjadi carriers dengan insiden yang tinggi dari HbeAg positip dan biasanya asimptomatik (tanpa gejala) dan sebagian dari bayi berlanjut menjadi hepatitis kronis dengan risiko pada usia dewasa terbentuk sirrhosis hati dan kanker hati hepato selular. Dan satu di antara 15 5 orang akan meninggal oleh kanker hati ini. Maka dapatlah diperhitungkan berapa banyak penduduk Indonesia yang terancam mendapatkan kanker hepato selular yang mematikan ini yaitu dari faktor sirrhosis hati, hepatitis B, dan hepatitis C, belum lagi dari 5 faktor lainnya. Dari data epidemiologi yang ada, tampak adanya satu kelompok bahan kimia yaitu Aflatoksin B1 yang tak kalah pentingnya sebagai penyebab terjadinya kanker hati pada manusia. Aflatoksin B1 ini dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus yang terkontaminasi dan melekat pada permukaan makanan seperti beras, kacang, gandum, jagung, dan kacang kedelai yang disimpan pada tempat yang panas dan lembap. Bagi Indonesia, pemeriksaan yang dilakukan beberapa tahun lalu menunjukkan pencemaran Aflatoksin B1 itu cukup tinggi pada beberapa jenis makanan. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati. Pasalnya, iklim Indonesia yang lembap memudahkan tumbuhnya jamur ini pada bahan makanan yang tersimpan lama. Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan ada 20% kasus kanker hati tak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C. Sayangnya tak dilakukan pemeriksaan Aflatoksin. Hanya disebutkan dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan virus lain atau karsinogen termasuk Aflatoksin B1. Faktor lain lagi yaitu haemochromatosis yaitu penumpukan zat besi di dalam hati, dan nyatanya pada 30% pasien haemochromatosis ini timbul kanker hati. Masih ada lagi 106
sederetan panjang nama-nama zat-zat kimia yang juga disebut-sebut dapat menimbulkan kanker hati ini. Walaupun dengan peralatan USG hitam putih (grey scale) konvensional dapat dideteksi kanker berdiameter 2cm – 3cm dan dengan USG hitam putih yang diperlengkapi dengan perangkat lunak baru yang dikenal 16 dapat dengan nama harmonik sistem mendeteksi kanker berdiameter 1cm – 2cm, namun nilai akurasi diagnosanya hanya 70% karena dengan alat ini hanya dapat melihat adanya gambaran nodule (tumor berbentuk bulat) berwarna kehitaman padat batas jelas dikelilingi oleh bayangan garis hitam yang melingkar yang terletak di bayangan hati yang 14 keabu-abuan. Dengan peralatan USG color doppler yang sudah dapat memberikan warna dan melihat pembuluh darah yang ada di sekeliling nodule sehingga jadi jelas bahwa garis warna hitam yang melingkari nodule itu adalah pembuluh darah sehingga dengan demikian akurasi diagnosa meningkat jadi 80%. Lebih canggih lagi kini alat USG dengan perangkat lunak lengkap Color Doppler Flow Imaging (CDFI) USG yang dapat melihat kecepatan dan arah aliran darah di dalam pembuluh darah yang terlihat dengan color doppler itu sehingga dapat ditentukan resistensi index dan pulsatily index dengan demikian dapat memastikan apakah pembuluh darah yang mengelilingi nodule itu adalah neovascularisasi (pembuluh darah baru). Dengan begitu dapat dipastikan keberadaan neovascularisasi ini maka akurasi diagnosa kanker meningkat jadi 90%. Dan bila sewaktu pemeriksaan dengan CDFI USG ini diberikan suntikan zat kontras pada penderita maka alat ini mampu mendeteksi neovascularisasi yang menyusup di dalam nodule yang belum terlihat di dalam nodule tersebut sehingga akurasi diagnosa meningkat jadi 95% dan lebih-lebih lagi dapat mendeteksi 16,17 kanker berukuran lebih kecil dari 1cm. Dengan Color Doppler Flow Imaging USG ini memungkinkan kita melihat tumor trombus di dalam vena porta sekalipun kecil dan apakah trombus tersebut menimbulkan oklusi total atau partial dan apakah ada kanalisasi di dalam trombus yang memungkinkan darah masih bisa mengalir melalui trombus tersebut. Dari hasil USG ini sudah bisa diarahkan dengan tepat tindakan apa yang paling tepat dan sesuai untuk
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Abdul Rasyid
penderita yaitu apakah pada penderita dilakukan reseksi hepatektomi partial atau tidak, apakah bisa di-embolisasi atau tidak, ataukah hanya dilakukan infus sitostatik intraarterial saja. Bila sudah jelas terdapat tumor trombus di dalam vena porta yang besar pada penderita, maka tindakan operatif dan embolisasi sudah hampir tidak berarti lagi dan 2.18 satu-satunya cara adalah transplantasi hati. KESIMPULAN Walaupun penyebab pasti dari hepatoma belum diketahui tetapi sudah dapat diprediksi adanya faktor pemicu terjadinya kanker hati yang merupakan kanker nomor lima tersering di Indonesia dengan angka kematian yang tinggi ini yaitu faktor sirrhosis hati, hepatitis B, dan hepattis C dan mereka dimasukkan ke dalam kelompok komunitas berisiko tinggi. SARAN 1. Perlu penyuluhan pada penduduk mengenai bahaya kanker hati dan penyuluhan bahaya penyakit hepatitis B dan C serta sirrhosis hati yang dianggap bertanggung jawab dalam terjadinya kanker hati ini. 2. Perlu diteruskan usaha-usaha pencegahan timbulnya hepatitis B dan hepatitis C dengan usaha imunisasi terhadap bayi dan orang dewasa yang dapat menurunkan jumlah kasus hepatitis yang berarti juga menurunkan dan mencegah timbulnya kanker hati ini. 3. Perlu dilakukan skrining (penapisan) secara USG dan pemeriksaan AFP tiap 6 bulan terhadap penderita hepatitis B dan C, juga penderita sirrhosis hati untuk menemukan adanya kanker hati selular dalam stadium dini. 4. Perlu digalakkan kerja sama yang baik antara para dokter ahli radiologi, ahli penyakit dalam, ahli anak, ahli patologi klinik, ahli patologi anatomi, dan dokter ahli bedah untuk menyusun program terpadu penanganan pengobatan dan pencegahan terjadinya kanker hati ini. Peralatan-peralatan yang diperlukan pun sudah banyak tersedia di hampir semua rumah sakit yang menunggu para dokter untuk bekerja keras demi usaha menurunkan angka kematian dan penderitaan dari pasien-pasien kanker hati ini.
Temuan Ultrasonografi Kanker Hati …
DAFTAR PUSTAKA 1. Rasyid A. Peran USG pada Keganasan Hati. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol XX no 3,September 1990;166-171. 2. Agus Waspodo. Buletin Dinas Kesehatan Jawa Timur 6 Januari 2005. 3. Zhou X D, Tang Z Y, Yang B H et al. Hepatocellular Carcinoma: The Role of Screening.Asian Pacific Journal of Cancer Prevention 2000; Vol. 1:121-126. 4. M. Anzola. Hepatocellular Carcinoma: role of hepatitis B and hepatitis C viruses protein in hepatocarcinogenesis. Journal of Viral Hepatitis September 2004 Vol 11 (5): 383 – 389. 5. Ali Sulaiman. Tinggi, penderita Hepatitis di Indonesia. Media Indonesia 16 juni 2004. 6. S D Ryder. Guidelines for the diagnosis and treatment of hepatocellular carcinoma (HCC) in adults. Gut 2003; 52:iii-1 7. Koteish A, Paul J, T. Screening of Hepatocellular carcinoma. Journal of vascular and interventional Radiology.2002; 13; 185- 190. 8. Usatoff V, Habib N. Hepatic malignancy challenges and oppurtunitties for the surgeon. J.R.Coll.Surg. Edinb., 2000;45; 99 – 109. 9. Bruix J, Sherman M, Llovet JM, et al. Clinical management of hepatocellular carcinoma. Conclusions of the Barcelona2000 EASL conference. European Association for the Study of the Liver. J Hepatol 2001; 35: 421-430. 10. Richard L. Baron, MD and Mark S. Peterson MD. Screening the Cirrhotic Liver for Hepatocellular Carcinoma with CT and MR Imaging: Opportunities and Pitfalls. RSNA 2001 Volume 21: 117 – 132. 11. Soresi M,Maglirisi C,Campgna P, et al. Usefulness of alpha-fetoprotein in the diagnosis o hepatocellular carcinoma. Anticancer Research.2003; 23; 1747-53.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
107
Karangan Asli
12. Gupta S,Be nt S,Kohlwes J. Test characteristics of alphafetoprotein for detecting heptocellular carcinoma in patients with hepatitis C. A systemic review and critical analysis.Annals of Internal medicine.2005;139(1):46-50. 13. Tariq Parvez., Babar Parvez., and Khurram Parvaiz et al. Screening For Hepatocellular Carcinoma. Jounal JCPSP September 2004 Volume 14 No. 09. 14. Wun YT, Dickinson JA. Alphafetoprotein and/or liver ultrasonography for liver cancer screening in patients with chronic hepatitis B. The Cochrane Database of Systematic Reviews 2005 Issue 2 John Wiley & Sons.
15. Chairuddin P.Lubis. Imunisasi Hepatitis B Manfaat dan Kegunaannya dalam Keluarga: e-USU Repository@2004 universitas Sumatera Utara. 16. Ding H,Kudo M,Onda H, et al. Evaluation of Posttreatment Response of He patocellular Casrcinoma with Contrast-enhancement coded PhaseInversion Harmonic US:Comparison with Dynamic CT.Radiology RSNA .2001; 221: 721-730. 17. Bolondi L, Gaiani S, Celli N, Golfieri R, et al. Characterization of small nodules in cirrhosis by assessment of vascularity: The problem of Hypovascular Hepatocellular Carcinoma. HEPATOLOGY 2005; 42: 27-34. 18. Badvie S. Hepatocellular Carcinoma. Postgrad med J 2000;76:4-1.
108
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
TINJAUAN PUSTAKA
Budi R. Hadibroto Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik – RSUD Dr. Pirngadi Medan
Abstract: Although we lack precise figure regarding the prevalence of abnormal uterine bleeding, it is estimated that 9 to 30 percent of reproductive-age women have menstrual irregularities requiring medical evaluation. 25 to 50 percent of gynecologic surgical procedures are performed to address menstrual disfunction. Endometrial ablation was first performed in the 1980’s as an alternative procedure to treat abnormal uterine bleeding. DeCherney performed the first successful endomyometrial resection (EMR) ablation with monopolar cauerazation. Currently, due to costs, and ease of technique, most operative hysteroscopic ablation rollerball therapies are performed utilizing a 3 mm rollerball device. The hysteroscope is reusable, whereas the roller ball device and irrigation tubing is disposable. Keywords: endometrial ablation, hysteroscopy
Abstrak: Sekitar 9 – 30% wanita usia reproduksi mengalami ketidak-teraturan haid dan 25 – 50% dilakukan prosedur bedah ginekologi untuk penanganan disfungsi haid. Ablasi endometrium merupakan salah satu prosedur untuk penanganan perdarahan uterus yang abnormal. Dengan perkembangan alat-alat bedah untuk ablasi. DeCherney pertama sekali melakukan reseksi endometrial menggunakan kauterisasi monopolar. Saat ini dengan semakin berkembangnya histeroskopi, digunakan alat seperti rollerball ukuran 3 mm untuk prosedur ablasi endometrium. Tulisan ini akan membahas mengenai prosedur ablasi endometrium. Kata kunci: ablasi endometrium, histeroskopi
INTRODUCTION Although we lack precise figure regarding the prevalence of abnormal uterine bleeding, it is estimated that 9 to 30 percent of reproductive-age women have menstrual irregularities requiring medical evaluation. Approximately 15 to 20 percent of office gynecologic visits are scheduled for the evaluation of abnormal uterine bleeding, which is exceeded only by vaginitis as a chide complaint. In addition, 25 to 50 percent of gynecologic surgical procedures are performed to address menstrual dysfunction. Each year approximately 600.000 hysterectomies are performed in the USA. Luckily, only 10 percent are performed for genital malignancy. The vast majority is performed to improve quality of life for women. Intractable bleeding from uterine fibroids, polyps, adenomyosis, and
dysfunctional uterine bleeding are the primary indications for hysterectomies in reproductive aged women. Many women with abnormal bleeding will have a normal sized uterine cavity without pathology that responds minimally to medical therapy. It is specifically, these women (normal uterine cavity and failed medical therapy) that are the ideal candidates for endometrial ablation. Endometrial ablation was first performed in the 1980’s as an alternative procedure to treat abnormal uterine bleeding. The first endometrial ablation procedures performed using hysteroscopic guidance used a neodymium: yttrium-aluminum: garnet (Nd: 1 YAG) laser photo vaporization. Popularity of this method waned, due to costs. Latter, Vancaillie performed the first operative 2 hysteroscopic rollerball ablation. DeCherney performed the first successful endomyometrial
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
109
Tinjauan Pustaka
resection (EMR) ablation with monopolar 3 cauerazation. The goal of all of these methods is to destroy the basalis layer of the endometrium. These three techniques are collectively referred to as “first generation ablation techniques”. Currently, due to costs, and ease of technique, most operative hysteroscopic ablation rollerball therapies are performed utilizing a 3 mm rollerball device. The hysteroscope is reusable, whereas the roller ball device and irrigation tubing is disposable. Currently, there are several methods available to perform endometrial ablation. First generation procedures include rollerball and endomyometrial resection ablation techniques. Performance of these procedures require expert operative hysteroscopic skills; complete understanding of fluid management systems, expert preoperative management and complete understanding of the topography of the endometrium. Second generation or “global” endometrial ablation involves destruction of the endometrium with devices placed blindly into the endometrial cavity. Little or no hysteroscopic skills are required with secondgeneration technology. Currently, FDA approved devices available in the USA that are classified as second generation procedures include: Thermachoice Balloon (Gynecare), Novacept (Novasure), hot water saline irrigation (HTA), and cryogen (cryoproce device). Pending approval at this writing is the microwave (Microsulis) device. While second generation technology theoretically offers quick procedure times and similar long-term outcomes, there are clear advantages for gynecologists to embrace traditional operative hysteroscopy and master the art of performing endometrial ablation hysteroscopically. Gynecologists who master operative hysteroscopy, and all of the nuances involved, can provide full service to a wider range of patients, including the remocal of endometrial polyps, submucosal and intramural fibroids, metroplasty, and treatment of intrauterine synechiae. If gynecologists only embrace the secondgeneration devices, which do not require any hysteroscopic knowledge, then many potential candidates with intracavitary pathology will not be treated. 110
While some second-generation ablation technology claim quicker and shorter operative times, a skilled gynecologic surgeon can perform operative endometrial ablation with a hysteroscope in 10 to 12 minutes. Additionally, despite expert preoperative evaluation, on occasion, previously unrecognized intracavitary pathology may be encountered, necessitating an operative hysteroscopic approach. Having hysteroscopic skills, therefore, permits removal of polyps and fibroids and ablation simultaneously. Additionally, if there is malfunction or inability to deploy a “global” probe, then a standard operative hysteroscopic endometrial ablation could still be performed. Of note, I do not advocate endometrial ablation and polypectomy or myomectomy concomitantly, unless the patient is desirous of the greatest degree of hyspomenorrhea. Most women with polyps and fibroids removes hysteroscopically resume normal menstruation. INDICATION FOR ENDOMETRIAL ABLATION Endometrial ablation is not meant to replace hysterectomy; however, it is quite attractive to many women for several reasons including: - Some women wish to avoid major surgery and prolonged recovery - Patient’s who wish preservation of the uterus (despite no desire for pregnancy) - Patients at high-risk for surgery - Women willing to accept cyclic menses (hypomenorrhea or eumenorrhea as an outcome) - Women desiring outpatient surgery with minimal morbidity CANDIDATES FOR ENDOMETRIAL ABLATION Currently, endometrial ablation is offered to women who have intractable heavy menses who have failed medical therapy and do not desire childbearing. Normal menstruation is triggered by fluctuations in the hypothalamixpituitary-ovarian axis that lead to denudation and sloughing of the endometrium. This hemorrhage is followed by prompt hemostasis and repair. Low physiologic levels of estrogen prime the endometrium, while the normal
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Budi R. Hadibroto
secretion of progesterone from the corpus luteum stabilized it, decreasing vascular fragility and supporting the endometrial stroma. Platelets and fibrin are necessary for endometrial hemostasis. Deficiencies in either factor may result in heavier menstruation. Patients with menorrhagia need a thorough preoperative evaluation to exclude hypothyroidism, bleeding diathesis, intracavity lesions, or systemic causes of menorrhagia. Minimal laboratory testing is mandatory including; CBC with platelets, TSHbleeding time, coagulation panel, and evaluation for possible von Willenbrand's disease is recommended based on clinical history. Women over 40 should have an endometrial biopsy to exclude hyperplasia or malignancy. Liberal use of endometrial biopsy is encouraged in women over 35 years of age with risk factors for endometrial hyperplasia and cancer. Risk factors include diabetes, prolonged steroid use, obesity, a long history of irregular cycles, unopposed estrogen therapy, and suspected polycystic ovary syndrome (PCOS). Currently, women who have endometrial hyperplasia with atypia or adenomatous hyperplasia are not candidates for endometrial ablation. Finally, endometrial ablation is not currently offered to women for "cosmetic" reasons-to minimize menstrual bleeding in women having normal flow. After the initial history, physical examination, and laboratory evaluation, the factors involved in abnormal uterine bleeding usually are well defined. Medical management is the standard unless uterine pathology is present. Most patients respond favorably to hormonal manipulation with OCs or progesterone. Another effective option, particularly for women who cannot tolerate traditional medical therapy, is the levonogesterol-releasing IUD. Endometrial ablation offers 90 percent success for the treatment of menorrhagia and dysfunctional bleeding in women with a normal uterine cavity and negative workup. Patients with intrauterine polyps and submucosal fibroids have excellent relief of symptoms following operative hysteroscopy. Fortunately, in this era of many alternative medical and surgical treatments, hysterectomy
Endometrial Ablation
is the last resort for abnormal uterine bleeding. Women, who meet the criteria for endometrial ablation, must be willing to accept cyclical bleeding as an outcome. While, over 90 percent of women will experience a reduction in bleeding, 8-15 percent experience failure. ENDOMETRIAL PREPARATION The basalis layer of the endometrium must be destroyed for endometrial ablation to be effective. Due to marked hormonal fluctuations, the endometrium varies in thickness throughout the menstrual cycle. The endometrium is thinnest (< 4 mm) during menses, gradually increases in the proliferative phase (410 mm), and is thickest during the secretary phase (1015 mm). The amount of stromal edema and debris also increases during the secretary phase. Many gynecologic surgeons who perform endometrial ablation note the ease of performing the procedure when the endometrium is thinnest. Ideally, the patient could be scheduled during the early proliferative phase. Otherwise medical suppression of the endometrial cavity can be considered with Depo Lupron, Danazol, oral contraceptive pills, or progesterone only pills. REOPERATIVE EVALUATION Careful preoperative evaluation should be undertaken to evaluate women with excessive menstrual bleeding. Since intractable, heavy menses may be associated with a number of conditions including systemic and hormonal dysfunction-gynecologists must consider all possibilities and medical therapy before resorting to endometrial ablation. The differential diagnosis of menorrhagia can include-thrombocytopenia, von Willebrand's disease, hypothyroidism, endometritis, medications (heparin and coumarin), and liver disease. Therefore, prudent selection of laboratory testing is important in the work up. Intracavitary and intramural pathology can be associated with abnormal bleeding. Office hysteroscopy and saline infusion sonography (SIS) are excellent office based tools useful in evaluating uterine health. Office hysteroscopy has revolutionized the practice .of gynecology. Thin operative hysteroscopes with outer diameters ranging from 3 to 5 mm can be
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
111
Tinjauan Pustaka
utilized comfortably in an office setting. Hysteroscopy permits full visualization of the endometrial cavity. In addition, office hysteroscopy accurately diagnoses many conditions associated with abnormal bleeding, such as endometrial atrophy, endometrial hyperplasia, polyps, fibroids, and endometrial cancer. Directed endometrial biopsies are possible with some hysteroscopes. When the endometrial cavity appears normal at hysteroscopy, aggressive medical therapy should be considered. Some physicians do not have an office hysteroscope, however, do have a transvaginal ultrasound in the office. Saline infusion sonography (SIS) augments the images performed during TVUS by infusing saline into the endometrial cavity during TVUS. SIS allows for more accurate evaluation of the uterus and detection of intracavitary lesions than TVS, and makes it easier to differentiate 4 the causes of increased endometrial thickness. TECHNIQUE The general concept of hysteroscopic endometrial ablation involves visualization of the endocervix, endometrial cavity, and tubal ostia. All landmarks should be clearly delineated. Once a panoramic view of the endometrium is accomplished, the surgeon should determine if there is any previously unrecognized pathology. If a subtle lesion is discovered, then a directed biopsy with wire loop is possible. Once the surgeon visualizes all of the landmarks, then the lower uterine segment should be cauterized circumferentially to mark the endpoint of the endometrial ablation procedure. The endocervix should not be cauterized for several reasons. Primarily because there are no endometrial glands present and therefore this area does not need treatment. Secondly, if there is residual endometrial tissue after the ablation, and the endocervix becomes stenotic, a resulting hematometra, cyclic pain and dysmenorrhea occur. Additionally, obstruction of the cervix can be associated with intermittent menstrual staining. Endometrial ablation with hysteroscopy employs a 3 mm rollerball probe, and systematic desiccation of the entire endometrium (to the level of the internal os) and cornual region. Endometrial ablation is 112
performed under direct and constant view of the symptoms following operative hysteroscopy. Fortunately, in this era of many alternative medical and surgical treatments, hysterectomy is the last resort for abnormal uterine bleeding. Women, who meet the criteria for endometrial ablation, must be willing to accept cyclical bleeding as an outcome. While, over 90 percent of women will experience a reduction in bleeding, 8-15 percent experience failure. BRIEF WORK-UP ESSENTIAL TO MENORRHAGIA EVALUATION The diagnosis of menorrhagia involves three main components: - A detailed medical history and review of systems. This should alert the physician to systemic and medical conditions that mimic menstrual dysfunction. Inherited and acquired disorders of coagulation, as well as liver and renal diseases, frequently present with symptoms of abnormal uterine bleeding. - A physical examination. The examination must be comprehensive, even in the presence of heavy bleeding, focusing on the vagina, cervix, uterus, and adnexa to exclude pathology. - Appropriate laboratory studies based on the focused clinical history and any physical findings. Pregnancy testing is necessary in all sexually active premenopausal women. In addition, women with profuse menorrhagia and a normal uterine size should be screened for von Willebrand's disease, since 13 to 20 percent of women offered surgical intervention have the subtle form of type I disease. In women, von Willebrand's disease most commonly presents as DUB. Specifically, reproductive aged patients should be evaluated for von Willebrand's disease with the Ristocetin cofactor assay, the single best screening test for the disease. This prevents false-negative results. Other laboratory tests should include: - Serum human chorionic gonadotropin (hCG) - Bleeding time
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Budi R. Hadibroto
Partial time (PT) and partial thromboplastin time (PTT) - Complete blood count (CBC) with platelets. Obviously, medical therapy is paramount for women with von Willebrand's disease; hysterectomy or other surgical treatment should not be the first option. Successful medical therapies for von Willebrand's disease include oral contraceptives (OCs), which have an 80 to 90 percent success rate; desmopressin acetate; antifibrinolytic agents; and plasma-derived concentrates rich in the high-molecularweight multimers of von Willebrand factor (vWf). Patients with renal and liver disease may also have abnormal uterine bleeding. For instance, patients with liver disease may have higher circulating levels of estrogen, due to hepatic dysfunction and inability to metabolize estrogen. Coagulapathies can also occur with liver disease. Renal failure is associated with hypothalamic-pituitary axis irregularities, due to gonadal resistance to hormones, platelet dysfunction, and abnormal factor VIII activity. CAUSES OF ENDOMETRIAL ABLATION FAILURE Fortunately, the majority of patients who undergo endometrial ablation are satisfied with their clinical outcome. In fact, 90 to 95 percent will notice symptomatic improvements. However, 5 to 10 percent of patients may ultimately undergo additional intervention, including hysterectomy. The most frequently associated factors noted with endometrial ablation failures include: - Inadequate preoperative work-up - Co-existing intramural fibroids > 3 cm - Failure to treat intracavitary endometrial polyps or submucosal fibroids - Uterine cavity length > 12 cm - Diffuse adenomyosis - Curettage performed immediately prior to surgery may worsen outcome - Lack of hysteroscopic skill
Endometrial Ablation
-
Endometrial ablation outcomes can be improved, if: - Scheduling patient immediately after menses, or early proliferative phase yields better results than operating during secretary phase. - Pharmacological pretreatment with Danazol or GNRH analogs.
CONCLUSION Hysteroscopic endometrial ablation is an outpatient procedure associated with a rapid return to work, minimal complications, and high patient satisfaction. Approximately 20 to 30 percent of patients are undergoing endometrial ablation will become amenorrheic, 65 to 70 percent will become hypomenorrheic, and 5 to 10 percent will fail. Approximately 30 percent of patients treated by endometrial ablation will require a 5 subsequent operation. Women receiving appropriate preoperative counseling may find this attractive in treating menstrual disorders.
REFERENCES 1. Goldrath MH, Fuller TA, Segal S. Laser photovaporization of the endometrium in the treatment of menorrhagia. Am J Obstet Gynecol 1981; 140: 14-19. 2. Vancaillie TG. Electrocoagulation of the endometrium with the ball-end resectosope. Obstet Gynecol 1989; 74: 425-27. 3. DeCherney A, Polan ML. Hysteroscopic management of intrauterine lesions and intractable uterine bleeding. Obstet Gynecol 1983; 61: 392-97. 4. Widrich T, Bradley L, Mitchinson AR, Collins R. Comparison of saline infusion sonography with office hysteroscopy for the evaluation of the endometrium. Am j Obstet Gynecol 1996; 174: 1327-34. 5. Stabinsky S, Einstein M, Breen J. Modem treatments of menorrhagia attributable to dysfunctional uterine bleeding. Obstet Gynecol Surv 1999; 54(11):251-62.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
113
Hysteroscopy for Metroplasty of Uterine Septa and Hypoplastic Uterus Budi R. Hadibroto Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik – RSUD Dr. Pirngadi Medan
Abstract: A septate uterus is the most frequent congenital malformation of the female reproductive tract. It is a Müllerian anomaly resulting from incomplete resorption of the paramesonephric ducts during the 11th week of fetal development. The incidence of septate uterus is difficult to determine because of the different classification methods. We estimate the incidence to be 5 percent among the genteral population: it accounts for 9 to 23 percent of genital malformations and 30 percent of uterine malformations. The development of surgical hysteroscopy has simplified the treatment of these malformations, which used to be treated by laparotomy. Surgical hysteroscopy using rigid scissors attached to a channel is no longer performed. Today, these metroplasties are treated using monopolar electrosurgery. Bipolar electrosurgery, which was introduced more recently, seems to be as effective and results in less morbidity. Keywords: metroplasty, hysteroscopy
Abstrak: Septum uterus merupakan malformasi kongenital yang paling sering terjadi pada saluran reproduksi wanita. Anomali Müllerian terjadi akibat resopsi yang inkomplit dari duktus paramesonefrik pada minggu ke-11 dari perkembangan janin. Insidennya sekitar 5% dari populasi di mana 9 – 23% terjadi malformasi genital dan 30% malformasi uterus. Perkembangan alat histeroskopi memudahkan penanganan operatif terhadap kelainan ini. Histeroskopi surgikal yang menggunakan gunting kaku tidak lagi digunakan. Dewasa ini prosedur metroplasti menggunakan elektrosurgikal monopolar. Alat elektrosurgikal bipolar akhir-akhir ini sering digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif dan aman. Kata kunci: metroplasti, histeroskopi
INTRODUCTION A septate uterus is the most frequent congenital malformation of the female reproductive tract. It is a Müllerian anomaly resulting from incomplete resorption of the th paramesonephric ducts during the 11 week of fetal development. The incidence of septate uterus is difficult to determine because of the 1,2 different classification methods. We estimate the incidence to be 5 percent among the genteral population: it accounts for 9 to 23 percent of genital malformations and 30 1,3-5 This percent of uterine malformations. anomaly is associated with various types of reproductive failure, including recurrent miscarriage, late abortion and preterm 5-9 delivery. No relation has so far been shown, however, between infertility and septate uterus. A hypoplastic uterus is a rare uterine malformation, except in exposure to 114
10
The diethylstilbestrol (DES) in utero. pathogenesis remains unclear and its cause is still unknown. Several studies showed very poor reproductive performances when the 11,12 uterine malformation was not treated. Reproductive performance after hysteroscopic metroplasty in women with a hypoplastic uterus has not been well established, 13-15 in contrast concerning only three reports, 16 to women with a septate uterus. In the past, metroplasty was offered to women with reproductive failure, in particular, recurrent or missed abortions. The development of surgical hysteroscopy has simplified the treatment of these malformations, which used to be treated by 8 laparotomy. Surgical hysteroscopy using rigid scissors attached to a channel is no longer performed. Today, these metroplasties are treated using monopolar electrosurgery. Bipolar electrosurgery, which was introduced
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Budi R. Hadibroto
9
Hysteroscopy for Metroplasty …
more recently, seems to be as effective and results in less morbidity.
INDICATIONS AND CONTRAINDICATIONS OF UTERINE METROPLASTY
CLASSIFICATIONS OF UTERINE MALFORMATION BY MUSSET AND THE AFS In France, the classification of Musset is 1 most commonly used. Elsewhere, the 1988 classification of the American Fertility Society 2 (AFS) is most widely accepted. These classifications may be summarized as follows.
For Septate Uterus - Formal Indications Pregnancy complications such as secondtrimester loss or preterm delivery. - Possible Indications Recurrent first-trimester spontaneous abortion. - Controversial Indications Before in vitro fertilization (as preventative treatment). - Contraindications * Contraindications to anesthesia * Genitourinary infections * Pregnancy * Bicornuate uterus.
Müllerian Aplasias The Musset classification lists Müllerian aplasias as: - Bilateral: Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome. - Unilateral: unicornuate uterus (without rudimentary horn), pseudounicornuafe uterus (with rudimentary horn). The AFS classification lists Müllerian aplasias as: - Class I: Hypoplasia, agenesis - Class II: Unicornuate uterus Fusion Defects The Musset classification lists fusion defects as: - Didelphys uterus (complete or partial duplication of the vagina, cervix and uterus). - Bicornuate uterus: complete (septum from fundus to cervical os), partial (septum to body of uterus), partial (septum confined to the fundus). The AFS classification lists fusion defects as: - Class III: Didelphys uterus - Class IV: Bicornuate uterus Resorption Defects The Musset classification lists resorption defects as: - Septateuterus: complete, partial, tobodyofuterus, confined to the fundus The AFS classification lists resorption defects as: - Class V: Septate uterus - Class Vb: Complete - Class Va: Partial
For Hypoplastic Uterus Hypoplastic uterus with cylindrical uterine cavity and a bulging of the uterine side walls in combination with a history of primary infertility, recurrent abortion and/or preterm delivery before 30 weeks with or without live birth. PREOPERATIVE WORK-UP The preoperative work-up is important and includes hysterography, diagnostic hysteroscopy and pelvic sonography. Vaginal sonography with accentuated contrast may be added. These examinations should confirm that the patient has a septate uterus and not a bicornuate uterus or hypoplastic uterus and check for other causes of infertility. During the sonography, it is essential to measure the thickness of bulging of the uterine side walls or of the uterine septum, its height and the depth of the healthy myometrium above the septum up to the serosa. If the ultrasound reveals a groove in the corner facing the posterior surface of the bladder between two half-uteri, the malformation is diagnosed as a bicornuate uterus. Surgery was scheduled to be done early in the follicular phase or a 1 month preoperative progestogen treatment (e.g. pregnane) or the administration of GnRH analogs (gonadotropin releasing hormone) can be prescribed to prepare the endometrium. The procedure
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
115
Tinjauan Pustaka
should then be performed about 28 days after starting the treatment. OPERATING ROOM SETUP Patient - Genteral anesthesia, local-regional anesthesia or paracervical block anesthesia - Lithotomy position: legs spread at a 45° angle, thighs at a 90° angle from the surface of the table and knees bent at a 90° angle - Perineal and cervicovaginal preparation - Prophylactic antibiotics when anesthesia is induced to prevent endometritis - Urinary catheter (optional). Team 1. The surgeon is seated between the patient's legs. 2. The assistant stands to the right of the surgeon. 3. The anesthesiologist is at the patient's head. Equipment The equipment is on the surgeon's left: 1. Endocamera and monitor. 2. Devices to control pressure and flow of distension media: a constant uterine distension must be maintained. The pressure is controlled continually by suction and irrigation pumps. 3. Distension medium: hyperosmolar glycine solution with monopolar cautery (Glycocolle 1.5%, Aguettant laboratory, Lyon, France), saline with bipolar cautery. 4. Light source: the same type of xenon light source is used for diagnostic hysteroscopy, surgical hysteroscopy and laparoscopy. 5. High-frequency electrosurgical generator: a. Unipolar electrosurgery: highfrequency current is used (> 300 000 Hz). Division of tissues is done with an unmodulated current that produces a rapid rise in temperature. b. Bipolar electrosurgery with Versapoint® bipolar vaporization system (Gynecare laboratory, Issy-Les-Moulineaux, France): saline is used as the distension medium to decrease the risk of metabolic complications. The operating channel is 5 French. 116
INSTRUMENTS Usual Equipment 1. Hegar's dilators (No. 1 to No. 10, diameter increasing from 0.5 to 1 mm). 2. Speculum with detachable valves. 3. Rigid endoscope between 2.7 and 4 mm in diameter; the direction of view normally used in hysteroscopy is 12°. 4. Resectoscope: from 7 to 9 mm with two channels, one internal (irrigation) and one external (suction) for monopolar hysteroscopy or from 5 to 9 mm with two channels and a double current operation channel for bipolar hysteroscopy. In all cases it has an operative handle: passive (electrode in) or active (electrode out) (Resectoscope 26F, optical lens 2.9 mm, Ref. 260020FA; Iglesias's jacket, Ref. 26055 SL; monopolar hook, Ref. 26055 L, Karl Storz, Tuttlingen, Germany). 5. Hysteroscope. 6. Irrigation and suction channels. 7. Two pozzi graspers. 8. Hysterometer. ADJUSTMENT OF THE SYSTEM Monopolar System The resection techniques described use monopolar current. The suction-irrigation pump must be preset to maintain an intrauterine pressure < 100 mm Hg, a 250 mL/s flow rate, a 0.2 bar suction pressure and 45 watts of power. The procedure must not last longer than 45 minutes. The total volume of glycocele used must be limited to 6 liters. Precise monitoring of the distension liquid inflow and outflow must be done, and the procedure must be stopped immediately if there is a difference between the irrigation and suction flow rates (a 500 mL difference can be allowed). If there is too much of a difference, or if the procedure lasts too long, a chemistry panel must be performed immediately after the procedure to check for metabolic complications (hyponatremia). Bipolar System Bipolar spray electrosurgery is a more recent system. Its efficacy seems to be equivalent to monopolar electrosurgery, with
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Budi R. Hadibroto
a decrease in morbidity. The suction-irrigation pump should be preset to maintain a flow of 150 mL/s, a pressure of 80 mm Hg and 100 watts or less of power. There are no limits to the duration of the procedure. Bipolar systems have the advantage of being safer, because they can be used with saline, thereby decreasing metabolic complications. In contrast to the monopolar system, which penetrates into the tissues and can be partly obscured at certain points, the bipolar system is constantly visible. This lowers the risk of uterine perforation.
Hysteroscopy for Metroplasty …
halfway between its anterior and posterior surfaces, causing it to retract and become a part of the corresponding surfaces of the uterus. Distension of the uterus is progressively achieved as the septum is divided (the cavity opens like a book), and the cavity gradually acquires a normal aspect. The tissue of the septum is fibrous and does not bleed. The septum ends where healthy myometrium is revealed by the occurrence of minimal bleeding. When this bleeding occurs, the division should be stopped, because it indicates that the septum has been completely divided.
OPERATIVE STEPS Dilation of the Cervix Biannual examination is carried out to evaluate the position of the uterus before dilation. A speculum is inserted and the cervix is grasped with 2 pozzi graspers placed in a 3 o'clock and 9 o'clock position to exert traction on the uterus in order to bring it into an intermediary position and to rectify an anteversion or a major retroversion. Hysterometry is routinely performed before beginning the dilation. The cervix is then dilated with Hegar's dilators, using progressively larger dilators. Dilation of the cervix must be done carefully to avoid a uterine perforation. Inserting the Rectoscope The endocamera, the resectoscope and the electrode are assembled and connected to the xenon light source, the hysteroscopic unit, the electrosurgical generator and the suctionirrigation tubing. Care must be taken to remove all air bubbles from the tubing. The resectoscope is then introduced under videoscopic guidance. Landmarks Thorough visual exploration of the uterine cavity is essential. The two tubal ostia must be perfectly discerned to locate the base of the septum. DIVISION OF THE SEPTATE UTERUS The division is performed in a progressive manner using repetitive contact between the electrode and the septum. The uterine septum is divided transversely starting at its apex,
Major Principles Cutting current is used for dissection. The septum should be divided but not removed, to avoid destroying the endometrium. The procedure is performed under constant visual guidance and consists of transversely dividing the uterine septum halfway between the two uterine surfaces, until the two tubal ostia can be visualized in the same hysteroscopic field. SPECIAL CASES
Special Case 1 When the septum extends down to the cervix, it is first divided with cold scissors or with a cutting electrosurgical probe. The resection begins at the level of the cervix, and extends from the external os towards the uterus. The division of the uterine septum is continued, with care taken to preserve the plane of the tubal ostia.
Special Case 2 When the uterine septum is wide, division must be stopped as soon as any bleeding occurs. The procedure is then performed in 2 phases with a second operation scheduled 2 months later to complete the procedure.
Special Case 3 The operative step begins by dividing the vaginal septum using monopolar electrosurgery, with resection of the septum up to the anterior and posterior cul-de-sacs, and suture of the anterior and posterior surfaces of the vagina with interrupted absorbable suture. The procedure is then continued as for septate uterus.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
117
Tinjauan Pustaka
End of Procedure At the end of the procedure, it is preferable to leave a fundic spur of less than I cm in place, to avoid weakening the fundic myometrium. The procedure is ended when both tubal ostia are visible under the same hysteroscopic view. This is important, because the risk of perforation increases if the resection is carried out too far. Some surgeons recommend follow-up sonography to make sure that there has been no perforation. Postoperative Management No intrauterine device is needed. Estrogen therapy is administered for 2 months to facilitate the follow-up hysteroscopy (its therapeutic advantages have not been demonstrated, however). During the immediate postoperative period: - If the inflow-outflow assessment is more than 500 mL, a chemistry panel must be performed.
performed under direct vision from the fundus to the isthmus, perpendicularly to the lateral wall of the uterus and decreasing the depth of the incision as the section advanced. Two incisions in the same groove were performed, until a normal uterine triangular and symmetric cavity was achieved. The same incisions were repeated on the other lateral wall. The depth of incision did not exceed 5 to 7 mm. All women were discharged on the day of surgery with postoperative medication including sequential estroprogestative medication for two months (50 pg of ethinylestradiol). In all cases, diagnostic hysteroscopy was repeated two months postoperatively, to identify a marginal synechia and to evaluate the configuration of the uterine cavity. The criterion for second procedure was the presence of synechia observed during the diagnostic hysteroscopy. COMPLICATIONS OF HYSTEROPLASTIC METROPLASTY
After 2 months A
follow-up diagnostic hysteroscopy is performed: - To check for possible adhesions. It is usually easy to remove these new, fine adhesions during the diagnostic procedure with the pointed tip of the hysteroscope. - If the remaining fundic spur is larger, than 1 cm, a second procedure is indicated and can be performed immediately if we use bipolar electrosurgery under local anesthesia or without anesthesia. The only criterion of success is a subsequent pregnancy resulting in a viable birth.
PROCEDURE FOR HYPOPLASTIC UTERUS The surgical procedure was performed under genteral or locoregional anesthesia by a senior surgeon after cervical dilatation, with an operative hysteroscope (fitted with a monopolar hook). The uterine cavity was distended using a glycocele solution, the flow of which was controlled electronically. Also, we used the Versapoint® bipolar vaporization system effective in saline solution, through the 5F operating channel of a 5.5 mm hysteroscope, as previously described by Fernandez et al.11 The hook was introduced into the uterine horn and the incision was 118
Mechanical Complications Uterine perforation is the most common complication. It occurs either during dilation of the cervix or during the resection of the septum. There is a risk of visceral bums if the perforation is not detected. For this reason, some authors recommend intraoperative sonography or laparoscopy. Postoperative Infection Post-hysteroscopic endometritis occurs in 1 percent to 5 percent of cases, justifying the systematic use of intraoperative prophylactic antibiotics (cephalosporin). Metabolic Complications The intravascular passage of a significant quantity of irrigation fluid can lead to hemodilution. This "transurethral resection syndrome" was first described by urologists. Preventative measures are dependent on adherence to procedural protocol, the most important of which is a meticulous monitoring of the inflow and outflow of fluids.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Budi R. Hadibroto
CONCLUSION The hysteroscopic metroplasty seems to be an operation that improves the rate of live births for women with a hypoplastic uterus and a history of primary infertility and/or recurrent abortion and/or preterm delivery. In the past, however, correction of these uterine abnormalities was not undertaken. Ideally, in order to evaluate the efficiency of this new technique, a randomized study ought to be undertaken, in multiple centers, taking into account a larger number of women suffering from this type of abnormality. Endoscopic metroplasty should be proposed to patients with recurrent abortions as soon as septate uterus is diagnosed, to increase the live birth rate and to improve the obstetrical outcome. We propose endoscopic transactions to this group despite the lack of significant change in the live birth rate. For patients with primary infertility, the endoscopic metroplasty seems to increase fertility. This is particularly true when the infertility is idiopathic and requires treatment by in vitro fertilization. Moreover no abortions occurred in this group. Only randomized controlled trial can reach a definitive conclusion on this issue. Obstetrical complications were nearly the same except in the late abortion group, where 70 percent of the patients had a cervical cerclage. The question of systematic cervical cerclage remains open. Perhaps the coaxial bipolar electrode should be a good alternative. It thus seems clear that waiting for an abortion or other obstetrical complication in infertile patients with a septate uterus is not a good management strategy, especially since endoscopic surgery reduces morbidity and postoperative adhesions, restores the normal size of the uterine cavity, and does not require systematic cesarean section.
REFERENCES 1. Musset R, Muller P, Netter A, Solal R. N6cessit6 d'une classification globale des malformations utérines. Les malformations urinaires associées. Intérét de certaines particularités á la lumiére de 141 cas. Gynecol Obstet 1967;66(2):14566.
Hysteroscopy for Metroplasty …
2. The American Fertility Society Classification of adnexal, tubal occlusion secondary to tubal ligation, tubal pregnancies, Müllerian anomalies and intrauterine adhesions. Fertil Steril 1988;49:944-55. 3. Greiss FC, Mauzy CH. Genital anomalies in women: an evaluation of diagnosis, incidence and obstetric performance. Am J Obstet Gynecol 1961; 82: 330-39. 4. Nagele F, O'Connor H, Davies A, Badawy A, Mohamed H, Magos A. 2500 outpatient diagnostic hysteroscopies. Obstet Gynecol 1996; 88: 87-92. 5. Cian P Incidence of Müllerian defects in fertile and infertile women. Hum Reprod 1997; 12: 1372-76. 6. Stein AL, March CM. Pregnancy outcome in women with Müllerian duct anomalies. J Reprod Med 1990; 35(4):411-14. 7. Heinonen KP, Saarikoski S, Postynen P Reproductive performance of women with uterine anomalies. Acta Obstet Gynecol Scand 1982; 61:157-62. 8. Valle RE Hysteroscopic treatment of partial and complete uterine septum. Int j Fertil 1996; 41: 310-15. 9. Fernandez H, Gervaise A, de Tayrac R. Operative hysteroscopy for infertility using normal saline solution and a coaxial bipolar electrode: a pilot study Hum Reprod 2000;15(8):1773-75. 10. Kaufman RH, Binder GL, Gray PM Jr, Adam E. Upper genital tract changes associated with exposure in utero to diethylstilbestrol. Am j Obstet Gynecol 1977; 128: 51-59. 11. Berger Mj, Goldstein DE Impaired reproductive performance in DESexposed women. Obstet Gynecol 1980; 55: 25-27. 12. HerbstAL, Hubby MM, Azizi F, Makii MM. Reproductive and gynecologic surgical experience in diethylstilbestrolexposed daughters. AmJ Obstet Gynecol 1981; 141: 1019-28.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
119
Tinjauan Pustaka
13. Nagel TC, Malo JW Hysteroscopic metroplasty in the diethylstilbestrolexposed uterus and similar non fusion anomalies: effects on subsequent reproductive performance: a preliminary report. Fertil. Steril 1993; 59: 502-06. 14. Katz Z, Ben-Arie A, Lurie S, Manor M, Insler V Beneficial effect of hysteroscopic metroplasty on the reproductive outcome in a 'T-shaped' uterus. Gynecol Obstet Invest 1996; 41:41-43.
120
15. Garbin O, Ohl J, Bettahar-Lebugle K, Dellenbach P Hysteroscopic metroplasty in diethylstilboestrol-exposed and hypoplastic uterus: a report on 24 cases. Hum Reprod 1998; 13: 2751-55. 16. Homer HA, Li TC, Cooke ID. The septate uterus: a review of management and reproductive outcome. Fertil Steril 2000; 73: 1-14.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Babesiosis (Piroplasmosis) Faisal Yatim, Reni Herman Puslit Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan, Depkes
Abstrak: Tujuan penulisan artikel ini mengharapkan para ahli klinik menaruh perhatian terhadap penyakit ini, karena sangat mungkin penyakit ini berjangkit di kota-kota besar. Penulis menganggap penting penyakit ini karena gejalanya mirip malaria, yaitu anemi hemolitik, dan gambaran eritrosit darah perifer menyerupai gambaran darah malaria. Padahal selama ini kita beranggapan kecil kemungkinan penularan malaria sangat jarang di kota besar. Dalam artikel ini dikemukakan epidemiologi, diagnosa dan pengobatan penyakit babesiosis, serta siklus hidup parasit Babesia microti. Kata kunci: babesia, siklus hidup, pengobatan, pencegahan, komplikasi
Abstract: The aim of this article is hoping that the clinicians will pay attention to this disease, since a big possibility of this disease spread in big cities. Author’s opinion the disease is important to recognize due to the similiar sympton with malaria, such as anemia haemolitic, and the feature of peripheral eritrosit blood. Even though, all this time we believe that spread of malaria is rare in big cities. In this article explain the epidemilogy, diagnosis, treatment of babesiosis, and life cycle of Babesia microti. Keywords: babesia, life cycle, treatment, prevention, complication
PENDAHULUAN Suatu penyakit yang berat dan mematikan, akibat infeksi sel darah merah oleh prasit bersel satu (protozoa). Gejala klinik: • demam, menggigil • nyeri otot, lemah, dan • selaput putih mata kuning ( jaundice) akibat dari anemi hemolitik. Anemi berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tetapi bisa saja penderita lain tidak mengeluh dan tanpa gejala.
mengerat. Tungau hewan-hewan tersebut menularkan parasit kepada manusia melalui gigitan tungau (tick). Babesia microti dan Babesia divergen. termasuk parasit yang berada di dalam sel darah merah (intraeritrosit). Bentuk parasit, 1 bervariasi, antara bulat, sampai lonjong. Penularan penyakit Penularan penyakit babesia dari binatang, menimbulkan gejala yang bervariasi, mulai dari tanpa gejala, sakit berat, sampai kadangkadang menimbulkan kematian.
Parasit penyebab: Babesia microti. Penyakit ini ditularkan oleh tungau hewan peliharaan dan binatang liar, dan bisa terjadi di seluruh dunia. Istilah lain babesiosis: • mexican fever, • red water, splenic fever, • bloody murrain, dan sebagainya. Parasit Babesia Hidup parasit pada hewan peliharaan, seperti sapi, kuda, domba, kucing, anjing, binatang liar seperti rubah, rusa dan binatang
Gambar 1. Eritrosit darah tepi
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
121
Tinjauan Pustaka
Gejala dan keluhan klinis: Mulai dari tanpa keluhan dan gejala, sampai yang berat dan penyakit berlangsung berhari-hari. Kebanyakan penderita babesiosis: • mengeluhkan demam menggigil, • nyeri otot seluruh badan, • badan terasa lemah, • anemi hemolitik, • jumlah sel darah putih menurun, • kadang-kadang hemoglobonuria, • kadar serum alkalin pospatase agak naik, pada setengah penderita, • kadar glitamik – oksaloasetic acid transaminase juga sedikit meningkat, • parasitemia paling tinggi sekitar 10%, • gejala akut, bisa berlangsung dalam beberapa minggu sampai bulanan, • penyakit kambuh kembali seperti pada malaria. Jarang terlihat pada penyakit babesiosis, • parasitemia bisa berangsur menurun tanpa menunjukkan keluhan dan gejala sampai 4 bulan setelah gejala-gejala di atas berlangsung, • pengangkatan limpa (splenectomi) kelihatannya lebih memperburuk kondisi penderita dibanding bila limpa tetap dipertahankan. Meskipun gejala anemi hemolitik umumnya lebih berat pada . 2 penderita dengan splenomegali . Infeksi oleh Babesia .divergen, seringnya pada penderita yang mengalami pengangkatan limpa. Pada penderita yang diangkat limpa biasanya kejadian penyakit lebih cepat, menderita demam menggigil, mual dan muntah-muntah, serta anemi hemolitik lebih berat serta dengan cepat kelihatan tanda tanda jaundice, hemoglobinuria, hemoglobinemia dan gangguan ginjal dibanding dengan infeksi Babesia microti..3 EPIDEMIOLOGI Penyakit babesiosis menulari hewan peliharaan dan binatang liar terdapat di seluruh dunia tetapi lebih banyak di negara tropis dan subtropis. Beberapa negara menganggap penyakit ini berdampak serius pada anggaran belanja dan industri tekstil.
122
Penyakit ini sebetulnya suatu penyakit zoonosis dan manusia tertular sebetulnya sebagai kecelakaan , digigit tick (tungau) yang memerlukan darah dalam siklus kehidupannya. Tungau (tick) secara alamiah hidup pada binatang peliharaan dan binatang liar sedangkan manusia sendiri tidak berperan dalam penularan penyakit babesiosis. Infeksi parasit Babesia divergen, banyak dilaporkan dari Yugoslavia, Irlandia, Prancis, Britania Raya, Spanyol dan Rusia. Umumnya vektor tungau berasal dari sapi dan umumnya penderita terjadi pada yang sudah diangkat limpanya. Agaknya mereka yang diangkat limpanya lebih rentan terhadap infeksi parasit babesia. Penularan babesia juga bisa terjadi melalui transfusi darah atau preparat darah. Penularan melalui transdifusi darah lebih mungkin pada parasit Babesia microti, karena infeksi Babesia microti menimbulkan parasitemia yang lebih 4 lama tanpa menimbulkan keluhan dan gejala. DIAGNOSA Perkiraan babesiosis, perlu dipikirkan pada penderita demam menggigil, dan ada riwayat kemungkinan digigit tick atau kontak dengan tick (misalnya merambah semak belukar). Pemeriksaan mikroskopis preparat apus darah tipis atau tebal: dengan pewarnaan Gram atau Wright,terlihat parasit B. microti. Pada penderita dengan parasitemia rendah, mungkin perlu pemeriksaan ulang preparat apus darah. Gambaran parasit di dalam sel darah merah, berbentuk ring mirip dengan tropozoit parasit Plasmodium malaria. Tetapi berbeda dengan infeksi Plasmodium malaria, tidak terlihat pigmen pada infeksi Babesia. Pemeriksaan imunofluoresen indirect, untuk antibodi, digunakan untuk memperkirakan terjadi infeksi parasit babesia. Tetapi tetap hasil pemeriksaan mikroskopis preparat apus 5 darah yang lebih meyakinkan. Titer antibodi terhadap babesia dapat dideteksi setelah 2-4 minggu terlihat keluhan dan gejala klinik. Kemudian berangsur menurun, setelah 6-12 bulan. Reaksi silang pemeriksaan serum, terjadi antara infeksi babesia dan plasmodium malaria. Meskipun titer tetap tinggi pada salah satu infeksi.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Faisal Yatim dkk.
Babesiosis (Piroplasmosis)
Gambar 2. Siklus hidup parasit babesia
Pada infeksi Babesia microti, di mana parasit tidak berhasil diidentifikasi pada pemeriksaan preparat aspus darah, dilakukan penyuntikan vena pritioneal pada binatang percobaan. Setelah 2-4 minggu diinokulasi, baru terjadi parasitemia pada hewan percobaan. PENGOBATAN Obat spesifik untuk babesiosis, gabungan clindamycin dan quinine, terutama bila pengobatan dengan chloroquine kurang berhasil. Azithromycine boleh diberikan sendiri atau digabung dengan quinine. Pentamidine bisa diberikan gabungan dengan trimatokzazole. Pada anemi berat diberikan pengobatan tukar darah (exchange transfusion). Cuci darah (dialisa) bila penderita mengalami gagal 6 ginjal. PENCEGAHAN Pencegahan paling efektif, menghindari kemungkinan digigit/kontak dengan tungau hewan (tick). Misalnya menggunakan obat insektisida gosok (repelant).
Beberapa jam setelah digigit tungau, terjadi penularan babesia hingga seseorang yang curiga digigit tick, harus segera memeriksa bagian tubuhnya yang digigit, 7 untuk mengambil/menemukan tick. Menyaring donor darah dari penderita babesiosis yang parasitemia rendah, seperti melakukan pemeriksaan zat anti untuk menghindari 8 penularan melalui transfusi darah. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penyakit babesiosis agaknya tidak jarang terdapat di negeri kita. Maklum, negeri kita masih banyak semak belukar, hewan peliharaan, dan hewan liar. 2. Penyakit babesiosis perlu menjadi pemikiran terutama di daerah malaria. 3. Para ahli klinik hendaknya mempublikasi temuannya/keberadaan penyakit ini di negara kita. Karena belum ada penulis yang menemukan publikasi ahli kita mengenai penyakit ini.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
123
Tinjauan Pustaka
DAFTAR PUSTAKA 1. James, Chin, MD,MPH,editor Control of Communicable Diseases Manual, APHA report Edisi 17, 62-3, 2000.
5. Elefthrios Mylonakis MD, When to suspect and How Monitor babesiosis,http//www/20010515/1969.ht m.tgl 4 januari 2005,
2. The tick Research Laboratory, Human Babesiosis (Piroplasmosis ).
6. Jeffrey A.Gelfand, Babesia, Principle Of Infectious Diseases, ed 3, 2119-22,1989.
3. C. Thomas Strickland, Hunters Tropical Medicine, ed 7, WB Sauders Company 1991.
7. Manson’s Tropical Diseases 19 th edition, FEC Manson-Bahrand DR Bell )48, 1987.
4. Trenton K Ruebush intropical and Geographical Medicine ed 2, editor Kenneth S. Warren MD, Adel A.F. Mahmoud MD, PhD,264-5, 1990.
124
8. Mark H.Beers MD And Robert Berkow MD, editors The Merck Manual Of Diagnosis And Therapy,edisi 17, 12478,1999.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Dharma Lindarto Div. Endokrin-Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Abstrak: Risiko penyakit kardiovaskular terjadi karena peningkatan kolesterol LDL, trigliserid, penurunan HDL, dan kebanyakan pasien mempunyai lebih dari satu kelainan lipid. Terapi kombinasi berbagai obat yang memodifikasi lipid merupakan pilihan untuk memperbaiki profil lipid tersebut. Terapi kombinasi akan menambah efikasi dan secara signifikan menurunkan kejadian koroner. Pengetahuan terapi kombinasi terhadap berbagai dislipidemi merupakan pilihan yang penting terhadap pengobatan dislipidemi. Kata kunci: dislipidemi kombinasi, terapi kombinasi
Abstract: Cardiovascular risk is independently increased by abnormalities in low-density and high-density lipoprotein-cholesterol and triglycerides. Many patients have more than one lipid abnormality. Combination therapy with lipid-modifying agents offers an important therapeutic option for improving the overall lipid profile. Combinations have demonstrated additive efficacy and significant reductions in coronary events. Healthcare providers who understand combination therapy can play an important role in the effective use of these treatment options for dyslipidemia. Keywords: combined dyslipidemia, combination therapy
PENDAHULUAN Pengobatan kombinasi untuk dislipidemia adalah salah satu cara penatalaksanaan lipid yang optimal dengan menggunakan dua macam obat lipid yang mekanisme kerjanya berbeda, bersifat efektif, ditoleransi baik dan aman terhadap pasien, namun kebanyakan Dokter tidak menggunakannya sehingga target lipid yang diharapkan tidak tercapai. Penggunaan kombinasi dua obat juga terbukti efektif untuk yang gagal dengan monoterapi, karena kombinasi dengan dosis kecil mempunyai efek penurun lipid lebih besar dibandingkan terapi dosis yang ditingkatkan. Secara umum menurunkan dosis dari tiap obat yang digunakan akan memperkecil risiko efek samping, sebagai contoh kombinasi dengan statin akan menurunkan 10% LDL, sedangkan dengan meningkatkan dosis statin hanya 1 menurunkan 6% LDL. Kombinasi obat yang menghambat jalurjalur metabolisme lipid tertentu berpotensi meningkatkan efikasi dan berefek terhadap kelainan lipid tertentu, sehingga secara keseluruhan para klinisi dapat mencapai target lipid yang diharapkan dan memperbaiki profil 2 lipid.
JENIS-JENIS KOMBINASI OBAT 1. Statin – Niacin Kombinasi statin – niacin mempunyai efek terhadap semua unsur profil lipid. Pada penelitian statin–niacin menurunkan kolesterol 3 LDL 29% - 44% trigliserid 15% - 39% dan 4 meningkatkan HDL 14% - 36%. Tahun 2002, digunakan kombinasi statin –niacin pertama untuk terapi dislipidemia, sama seperti obat antihipertensi dan antidiabetik. Kombinasi extended-release (ER) niacin - lovastatin (Mevacor®, Merck, Sharpe & Dohme), formulasi untuk sekali sehari sebelum tidur, pada penelitian jika dikombinasi menunjukkan efikasi additif dibanding obat tunggal. Pada penelitian jangka waktu setahun terhadap 814 pasien dislipidemia, ER niacin–lovastatin menurunkan kolesterol LDL 47%, trigliserid 41%, dan 5 Dibanding meningkatkan HDL 41%. monoterapi statin, ER niacin–lovastatin 1.000/40 mg sama menurunkan kolesterol LDL dengan atorvastatin calcium (Lipitor®, Pfizer) 10 mg (38% ) dan lebih besar dari simvastatin (Zocor®, Merck) 20 mg (42% vs 35%; P ≤ 0,05). Pada Advicor Versus Other Cholesterol-
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
125
Tinjauan Pustaka
modulating Agents Trial Evaluation (ADVOCATE) obat ini meningkatkan kolesterol HDL secara signifikan lebih besar 6 dari hanya statin saja. Terapi statin-niacin juga memperbaiki keadaan klinik, regressi proximal stenosis koroner (0.4%); sedangkan plasebo terjadi progresi 3.9%. Kejadian klinik seperti kematian, infark miokard, strok, dan 7 revaskularisasi menurun 90% (P = 0,03). Kombinasi statin–niacin ditoleransi dengan baik dan pada percobaan klinik ER niacin–lovastatin, dan tidak terdapat kasus miopati (5`6). Dari 871 laporan U.S. Food and Drug Administration (FDA) kasus rhabdomiolisis statin terdapat hanya 4 kasus (0.46%) yang berhubungan dengan 8 penggunaan niacin. Efek samping di hati juga berhubungan dengan terapi statin, tetapi dengan kombinasi risiko tidak meningkat. Studi klinik 263 pasien yang diobati kombinasi niacin–statin peningkatan enzim hati bukan alasan 2 Peningkatan menghentikan pengobatan. enzim hati tiga kali dari batas atas normal terdapat kurang dari 1% pasien yang 5 mendapat ER niacin–lovastatin. 2. Statin – Fibrat Pada beberapa penelitian telah terbukti efikasi terapi statin–fibrat. Kombinasi pengobatan menurunkan kolesterol LDL 23%9 46%, trigliserid 36% - 57% dan menaikan 10 HDL 12% - 22%. Walaupun belum diteliti efek terapi statin–fibrat, atorvastatinfenofibrate (Tricor®, Abbott) secara signifikan menurunkan kemungkinan infark miokard 10 tahun dari 21,6% menjadi 12 4,2%. Risiko miopati pasien yang diterapi statin–fibrat lebih tinggi dibanding terapi statin–niacin. Dari 871 kasus rhabdomiolisis, kombinasi statin-fibrat terdapat 80 kasus 12 (9.2%). Studi klinik terapi statin–fibrat, 1% pasien mengalami peningkatan kreatine kinase lebih tiga kali batas atas tanpa mialgia dan 1% 11 keluar dari penelitian karena gangguan otot. Penelitian 120 pasien diabetes tipe 2 dengan dislipidemia campuran, kombinasi atorvastatinfenofibrate menurunkan kolesterol total 37%, LDL 46%, TG 50%, fibrinogen plasma 20%, dan meningkatkan HDL 22% (semua P < 0,0001). Terdapat target LDL <100 mg/dl (97,5%), Trigliserid <200 mg/dl (100%) dan 126
HDL >45 mg/dl (60%). Juga menurunkan probabilitas hidup 10 tahun dari 21,6 menjadi 4,2%. Perubahan ini signifikan lebih baik dari 13 Penelitian 44 pasien pada monoterapi. diabetes tipe 2 dengan 10 mg atorvastatin and 900 mg gemfibrozil selama 12 minggu, kombinasi kedua obat menurunkan LDL, trigliserid, non-HDL, dan apoB: 26,5%, 24,1%, 30,4%, dan 21,8%; meningkatkan 14 HDL 4,8% dan ukuran LDL 0.1 nm. 3. Statin - Bile Acid Sequestrant (BAS) Kombinasi statin dan BAS merupakan pilihan jika tidak tercapai target LDL dengan monoterapi statin. Penelitian cholestyramine Questran® + pravastatin sodium (Pravachol®, Bristol-Myers Squibb) atau lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL 36% dan 46%, trigliserid 0.5% dan 8%, meningkatkan HDL 15,16 Pengobatan colesevelam 3% dan 15%. (Welchol®), Sankyo Pharma), BAS baru dengan salah satu atorvastatin atau lovastatin, menurunkan kolesterol LDL 48% dan 34%, meningkatkan HDL 11% dan 3%, dan 17 menurunkan trigliserid 1.0% dan 9%. Karena BAS tidak diabsorbsi di usus maka efek samping dan berinteraksi dengan obat-obat lain sedikit. BAS lain seperti cholestyramine dan colestipol (e.g., Colestid®, Pharmacia & Upjohn) mempunyai potensi berinteraksi dengan berbagai obat yang menyebabkan 18 penurunan absorbsi dan farmakokinetik. Familial Atherosclerosis Treatment Study (FATS) mengevaluasi kombinasi lovastatin– colestipol. Setelah pengobatan 2,5 tahun, lebih sedikit pasien yang mengalami progresi lesi koroner dibanding terapi konvensional (21% vs 46% ), lebih regresi (32% vs. 11%; P < 0,005), dan menurunkan insiden koroner (kematian , infark miokard, atau revaskularisasi 16 (6,5% vs 19,2%). 4. Statin – Ezetimibe Kombinasi terapi statin–ezetimibe menyebabkan penurunan 25% LDL, 14% trigliserid, dan peningkatan 2,7% HDL. Terapi kombinasi ini aman dan ditoleransi seperti 19 Kombinasi statin– monoterapi statin. ezetimibe merupakan pilihan untuk LDL yang meningkat ekstrim atau refrakter. 5. Niacin - Bile Acid Sequestrant (BAS) Kombinasi niacin - BAS adalah pilihan untuk pasien yang tidak toleransi terhadap
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Dharma Lindarto
Pengobatan Kombinasi Dislipidemi
statin, untuk lebih menurunkan LDL yang tidak tercapai dengan monoterapi atau kelainan lipid yang multipel. Pada penelitian klinik kombinasi ini menurunkan LDL 43%, trigliserid 29% dan meningkatkan HDL 43%. Pada Cholesterol Lowering Atherosclerosis Study untuk membandingkan immediaterelease niacin dan colestipol dengan placebo terhadap 162 pasien bypass koroner, setelah dua tahun terapi niacin/colestipol menurunkan kolesterol total 26%, LDL 43% dan memperbaiki HDL 37% (semua P<0,001).20
5. Kashyap ML, McGovern ME, Berra K, et al. Long-term safety and efficacy of a once-daily niacin/lovastatin formulation in patients with dyslipidemia. Am J Cardiol 2002;89:672–678.
KESIMPULAN Terapi kombinasi diperlukan untuk pengelolaan lipid yang optimal. Kombinasi menggunakan berbagai golongan obat lipid adalah bersifat efektif, ditoleransi baik dan aman untuk sebahagian besar pasien. Kombinasi yang digunakan sebaiknya menggunakan kombinasi pathways endogen dengan eksogen sintesa kolesterol, kombinasi tersebut adalah statin–niacin, statin–fibrat, statin-bile acid sequestrant (BAS), statin– ezetimibe, dan niacin-bile acid sequestrant (BAS).
7. Brown BG, Zhao XQ, Chait A, et al. Simvastatin and niacin, antioxidant vitamins, or the combination for the prevention of coronary disease. N Engl J Med 2001;345:1583–1592.
DAFTAR PUSTAKA 1. Spellman. Combination therapy for dyslipidemia. JAOA. Supplement 1. Vol 103, 1,January 2003. 2. McKenney JM. Dyslipidemias. In: Young LY, Koda-Kimble M, eds. Applied Therapeutics. The Clinical Use of Drugs, 6th ed. Vancouver, WA: Applied Therapeutics, Inc.; 1995:9-1–9-26. 3. Pasternak RC, Brown LE, Stone PH, et al. Effect of combination therapy with lipidreducing drugs in patients with coronary heart disease and “normal” cholesterol levels: A randomized, placebocontrolled trial. Ann Intern Med 1996;125:529–540. 4. Tsalamandris C, Panagiotopoulos S, Sinha A, et al. Complementary effects of pravastatin and nicotinic acid in the treatment of combined hyperlipidaemia in diabetic and non-diabetic patients.J Cardiovasc Risk 1994;1:231–239.
6. Bays HE, Dujovne CA, McGovern ME, et al. Comparison of oncedaily, niacin extended-release/lovastatin with standard doses of atorvastatin and simvastatin (the Advicor Versus Other Cholesterolmodulating Agents Trial Evaluation Am J Cardiol [ADVOCATE]). 2003;91:667–672.
8. Omar MA, Wilson JP. FDA adverse event reports on statinassociated rhabdomyolysis. Ann Pharmacother 2002; 36:288–295. 9. Papadakis JA, Ganotakis ES, Jagroop IA, et al. Statin + fibrate combination therapy: Fluvastatin with bezafibrate or ciprofibrate in high-risk patients with vascular disease. Int J Cardiol 1999;71: 237–244. 10. Athyros VG, Papageorgiou AA, Hatzikonstandinou HA, et al. Safety and efficacy of long-term statin–fibrate combinations in patients with refractory familial combined hyperlipidemia. Am J Cardiol 1997;80:608–613. 11. Athyros VG, Papageorgiou AA, Athyrou VV, et al. Atorvastatin and micronized fenofibrate alone and in combination in type 2 diabetes with combined Diabetes Care hyperlipidemia. 2002;25:1198–1202. 12. Pasternak RC, Smith SC Jr, Bairey-Merz CN, et al. ACC/AHA/ NHLBI clinical advisory on the use and safety of statins. Circulation 2002;106:1024–1028; and J Am Coll Cardiol 2002;40:567–572.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
127
Tinjauan Pustaka
13. Wägner AM, Jorba O, Bonet R, Llanos JO nd Pérez A. Efficacy of Atorvastatin and Gemfibrozil, Alone and in Low Dose Combination, in the Treatment of Diabetic Dyslipidemia. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 88, No. 7 3212-3217 14. Eriksson M, Hadell K, Holme I, Walldius G, Kjellström T. Compliance with and efficacy of treatment with pravastatin and cholestyramine: A randomized study on lipid-lowering in primary care. J Intern Med 1998;243:373–380. 15. Brown G, Albers JJ, Fisher LD, et al. Regression of coronary artery disease as a result of intensive lipid-lowering therapy in men with high levels of apolipoprotein B. N Engl J Med 1990;323: 1289–1298. 16. Hunninghake D, Insull W Jr, Toth P, et al. Coadministration of colesevelam hydrochloride with atorvastatin lowers LDL cholesterol additively. Atherosclerosis 2001;158:407–416.
128
17. Donovan JM, Stypinski D, Stiles MR, et al. Drug interactions with colesevelam hydrochloride, a novel, potent lipidlowering agent. Cardiovasc Drugs Ther 2000;14:681–690. 18. Gagne C, Bays HE, Weiss SR, et al. The Ezetimibe Study Group. Efficacy and safety of ezetimibe added to ongoing statin therapy for treatment of patients with primary hypercholesterolemia. Am J Cardiol 2002;90:1084–1091. 19. Blankenhorn DH, Nessim SA, Johnson RL, et al. Beneficial effects of combined colestipol–niacin therapy on coronary atherosclerosis and coronary venous bypass grafts. JAMA 1987;257: 3233– 3240. 20. MILLER M. Review Niacin as a Component of Combination Therapy for Mayo Clin Proc. Dyslipidemia 2003;78:735 – 742.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
LAPORAN KASUS
Retensi Janin Kembar Kedua Aterm Hidup 46 Jam Daulat H. Sibuea Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik, Medan
nsi janin kembar kedua, penanganan
Abstract: The patient is a grandemultigravid and multipara woman of 33 years old. This woman have twin pregnancy, with the first fetus have succesfully living birth by vaginal delivery handled by tradisional birth attendant. The second aterm living fetus is transverse lie, and has retention for 46 hours. The second aterm living fetus has cesarean section birth in Haji Adam Malik Genteral Hospital Medan. The second infant is a healthy boy of 3800 gram weight. Retention of second aterm living infant should not occur if handle by modern Obstetric. Postponement of delivery of the second aterm living fetus able to be accepted only if continuous fetal monitoring is employed. Keywords: second twin retention, management
PENDAHULUAN Retensi janin kembar kedua tidak jarang 1 terjadi di negara berkembang. Kejadian seperti ini erat kaitannya dengan kurangnya fasilitas kesehatan dan rendahnya mutu 1 asuhan obstetrik modern. Tulisan ini melaporkan kejadian retensi janin kembar kedua aterm dan hasil penanganannya yang dirujuk ke Unit Gawat Darurat – Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan (UGD – RSHAM). LAPORAN KASUS Pasien Nyonya M, umur 33 tahun, pekerjaan petani, pendidikan sekolah dasar. Tiba di UGD – RSHAM tanggal 7 Maret 2003 jam 17.00 wib. Nyonya M mengeluh janin kembar kedua belum lahir. Bayi kembar pertama perempuan lahir spontan dan hidup tanggal 5 Maret 2003 jam 21.00 WIB. Persalinan bayi kembar pertama ini ditangani oleh seorang dukun beranak di desa yang
jaraknya sekitar 160 km arah selatan kota Medan. Hamil kembar yang dialami Nyonya M ini adalah hamil ketujuh, partus pervaginam sudah 5 kali sebelum kelahiran bayi kembar pertama ini, dan pernah mengalami sekali abortus spontan. Sewaktu tiba di UGD – RSHAM keadaan umum baik, tekanan darah 130/70 mmHg, frekuensi nadi 92 kali per menit, frekuensi pernapasan 22 0 kali per menit, suhu tubuh 37,5 C, anemia positif dengan kadar Hb 8,5 gr%, dan ikterus negatif. Dari pemeriksaan abdomen diperoleh tinggi fundus uteri 4 jari di atas pusat, janin letak lintang, dan frekuensi denyut jantung janin 146 kali per menit. Kontraksi uterus sesekali dan intensitasnya tidak bermakna. Pembukaan servik uteri 3 cm, selaput ketuban utuh, teraba bagian terdepan tangan janin dan tali pusat bayi kembar pertama. Tanggal 7 Maret 2003 janin 19.00 wib dengan anestesia umum dilakukan seksiosesarea korporal dan sterilisasi pomeroy tuba fallopi
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
129
Laporan Kasus
kanan dan kiri. Lahir bayi kembar kedua lakilaki, berat badan 3800 gram, skor Apgar 7/9/10, tanpa kelainan kongenital. Uri dilahirkan lengkap, mempunyai dua selaput amnion, dua selaput khorion, dan dua tali pusat. Tanggal 12 Maret 2003 jam 13.00 WIB. Nyonya M bersama bayi kembar kedua pulang sehat. DISKUSI Persalinan pada hamil kembar dengan bayi kembar kedua dilahirkan dengan seksiosesarea setelah bayi kembar pertama 2 lahir pervaginam disebut persalinan kombinasi. 3 Wen et al. , melaporkan dari 61.845 janin kembar kedua 9,5% lahir perabdominal setelah bayi kembar pertama lahir 4 pervaginam. Yang et al. melaporkan dari 42.417 janin kembar kedua hidup persentasi kepala di antaranya 6,3% lahir perabdominal setelah bayi kembar pertama lahir normal. Indikasi seksiosesarea untuk janin kembar kedua dengan presentasi kepala adalah: prolapsus tali pusat, disproporsi sefalo pelvik, gawat janin, partus tak maju, taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram atau taksiran berat badan janin lebih berat 25% dari berat badan bayi kembar pertama yang lahir pervaginam, atau adanya komplikasi kehamilan (seperti diabetes mellitus, hipertensi dalam kehamilan dan eklampsia, 4 solusio plasenta, atau plasenta previa). Seksiosesarea yang dialami Ny. M indikasi adalah: interval persalinan bayi kembar memanjang (lebih 1 jam) dan janin letak lintang menetap (persisten). Pada hamil kembar aterm hidup, jarak kelahiran bayi kembar kedua dari bayi kembar pertama 5 sebaiknya tidak lebih 30 menit. Interval kelahiran bayi kembar kedua aterm hidup dari bayi kembar pertama aterm yang melebihi 30 menit hanya dapat dibenarkan jika kondisi janin kembar kedua 6 dapat dimonitor ketat. Janin kembar kedua yang interval kelahirannya melebihi 30 menit dari kelahiran pervaginam bayi kembar pertama disebut 7 retensi janin kembar kedua . Etiologi retensi janin kembar kedua adalah malpresentasi, kontraksi uterus yang melemah (inersia uteri) setelah persalinan pervaginam bayi kembar pertama, dan atau penolong persalinan yang tidak profesional. Retensi janin kembar kedua sering mengalami 130
morbiditas dan mortalitas perinatal yang 8 tinggi. Retensi janin kembar kedua aterm hidup yang dialami Ny. M erat kaitannya dengan penolong persalinan yang tidak profesional. Kejadian seperti ini pada hamil kembar aterm hidup tidak dapat dibenarkan dalam pelayanan obstetrik modern. Persalinan janin kembar kedua hanya boleh ditunda jika bayi kembar pertama yang lahir pervaginam 5 immatur atau prematur berat. 9 Abrams. berhasil menunda persalinan janin kembar kedua immatur hidup selama 35 hari setelah persalinan pervaginam bayi kembar pertama immatur, dan Drucker et al.10, berhasil menunda persalinan janin kembar kedua immatur hidup selama 65 hari. KESIMPULAN DAN SARAN Diagnosa hamil kembar sebaiknya sudah ditegakkan sebelum inpartu, dan setiap persalinan kembar harus ditangani di rumah sakit yang mempunyai fasilitas seksiosesarea termasuk fasilitas transfusi darah, dan dokter spesialis obstetri ginekologi, perinatologi dan anestesia.
DAFTAR PUSTAKA 1. Adeleye JA. Retained Second twin in Ibadan; its fate and management. Am J Obstet Gynecol 1972; 114: 2044 – 2047. 2. Rattan PK, Knuppel RA, O’Brien WF, Scerbo JC. Cesarean delivery of the
second twin after vaginal delivery of the first twin. Am J Obstet – Gynecol 1986 ; 154: 936 – 939. 3. Wen SW, Fung KF, Oppenhelmer L, Demissie LK, Yang Q, Walker M.
Occurrence and predictors of cesarean delivery for the second born twin after vaginal delivery of the first twin. Obstet – Gynecol 2004 ; 103: 413 –419. 4. Yang Q, Wen SW, Chen Y, Kreweski D, Fung KFK, Walker M. Occurrence and
clinical predictors of operative delivery for the vertex second twin after normal vaginal delivery of the first twin. Am J Obstet–Gynecol 2005 ; 192: 178 – 184.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Daulat H. Sibuea
Retensi Janin Kembar Kedua …
5. Woolfson J, Fay T, Bates A. Twins with 54 days between deliveries, case report. Br J. Obstet Gynaecol 1983 ; 90: 685 – 686.
8. Kenny JP et al. Hyaline membrane disase and acidosis at birth in twins. Obstet – Gynecal 1977 ; 50: 710 – 712.
6. Rayburn WF, Lavin JP, Miodovnik M, Varner MW. Multiple gestation: Time
9. Abrams RH. Double pregnancy ; Report
interval between delivery of the first and second twins. Obstet – Gynecol 1984; 63: 502 – 505. 7. Aniebu UU, Ezegwui HU, Ozumba BC. Retained second twins in Enugu, Nigeria. Int J Gynecol Obst. 2003 ; 81: 281 – 285.
of a case with 35 days between deliveries. Obstet – Gyenecol 1957; 9: 435 – 438. 10. Druker P. Finkel J, Savel LE. Sixty five day interval between the birth of twins. Am J. Obstet – Gynecol 1960 ; 80: 761 – 762.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
131
Penatalaksanaan Rinitis Atrofi (Ozaena) Secara Konservatif Delfitri Munir Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstrak: Rinitis atrofi adalah infeksi kronis pada rongga hidung dengan atrofi mukosa yang progresif. Gejala khas penyakit ini adalah sekret purulen, krusta, dan hidung berbau busuk yang dapat menyebabkan gangguan kejiwaan. Penyakit ini biasanya mengenai wanita dan pada usia pubertas. Pengobatan dapat dilakukan dengan konservatif dan operasi. Kami laporkan sebuah kasus rinitis atrofi pada wanita usia 17 tahun yang diterapi dengan konservatif dengan hasil memuaskan. Abstract: Rhinitis atrophy is a chronic infection with progrecive mucos and bone atrophy. The spesific symptoms are purulen secret, crust and bad smell that can cause physicologic problem. More case affect young woman specially teenager or puberty period. The Treatment of rhinitis atrophy are conservative and operation. We report the case of rhinitis atrophy 17 years old woman are treated by medicine with good result.
PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai dengan atrofi progresif dari mukosa dan tulang konka disertai adanya sekret kental yang cepat mengering dan 1,2 pembentukan krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan di negara-negara berkembang dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah 3,4 dan lingkungan yang buruk. Data di SMF THT RSUP H. Adam Malik Medan dari 2002 sampai 2003 dijumpai 9 penderita rinitis atrofi yang terdiri dari 6 wanita dan 3 pria yang berumur antara 17 – 39 tahun. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan 5 dengan memuaskan. Penyakit ini sering dikelompokkan menjadi 2 bentuk yaitu rinitis atrofi primer (ozaena) dan rinitis atrofi sekunder akibat trauma operasi hidung, efek samping radiasi, atau penyakit infeksi hidung 6,7 kronik yang spesifik. Beberapa teori sebagai penyebab rinitis atrofi primer adalah teori infeksi, endokrin, defisiensi vitamin A dan D, serta gangguan pertumbuhan kavum nasi. Patogenesis terjadinya rinitis artropi adalah adanya metaplasia epitel dan fibrosis pada tunika propria. Patogenesis lain yang dicurigai 132
penyebab penyakit ini adalah adanya endarteritis pada arteriol terminal dan 8 terjadinya absorbsi pada tulang. Gejala klinis rinitis atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, epistaksis, sakit kepala, kebas pada wajah, hiposmia atau anosmia. Pasien tidak dapat mencium bau busuk tetapi 9 orang lain yang merasakannya. Tanda klinis adalah dijumpai rongga hidung yang dipenuhi krusta berwarna kuning kehijauan terutama pada dinding lateral hidung yang menimbulkan bau busuk. Bila krusta diangkat, kadang-kadang timbul pendarahan. Rongga hidung sangat lapang karena konka atrofi dan mukosa hidung tipis serta kering. Kadangkadang faring juga terlihat kering dan atrofi. Di samping itu bisa juga ditemukan ulat atau 6 telur larva karena bau busuk. Pengobatan rinitis atrofi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dan 9 pembedahan. Pengobatan secara konservatif dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg setiap hari selama 12
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
Delfitri Munir
1,7
minggu. Obat cuci hidung diberikan untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret serta menghilangkan bau busuk. Obat yang dipakai untuk mencuci adalah cairan Betadine dalam 100 ml air hangat atau larutan garam dapur. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat. Air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui 1,5 mulut dan dilakukan dua kali sehari. Setelah krusta diangkat diberikan obat tetes hidung seperti campuran streptomycin 1 gr dan Na Cl 0,9% 30 cc. Cairan ini diberikan tiga kali 1,7 sehari masing-masing tiga tetes. Sebagai obat tambahan dapat diberikan vitamin A 50.000 U dan preparat Fe selama 2 minggu. Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai 1-4 tuntas. Tujuan operasi pada rinitis atrofi adalah menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta, mengistirahatkan mukosa, dan 10 Teknik memungkinkan terjadinya regenerasi. operasi yang dilakukan adalah young’s operation yaitu dengan cara menutup total rongga hidung dengan flap. Teknik lain adalah lautenschlager operation yaitu dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. Di samping itu dapat juga dilakukan implantasi submukosa dan transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (wittmack’s operation) dengan tujuan 11 membasahi mukosa hidung. Kami laporkan satu kasus rinitis atrofi pada wanita 17 tahun yang diterapi dengan pengobatan konservatif dan memperoleh hasil yang baik. LAPORAN KASUS (MR. 24-15-75) Seorang wanita SM, berumur 17 tahun datang ke Poli THT RSUP H. Adam Malik, Medan pada tanggal 23 September 2004 dengan keluhan utama hidung tersumbat. Hal ini dialami sejak 1 tahun yang lalu disertai ingus kental dan kerak hidung bewarna kuning kehijauan, hidung berbau busuk yang dirasakan oleh keluarga dan teman-temannya sedangkan penderita sendiri tidak merasa bau. Kadang-kadang timbul sakit kepala dan terasa tersangkut ketika menelan.
Penatalaksanaan Rinitis Atrofi …
Pemeriksaan rinoskopi anterior dijumpai krusta hijau dan sekret hijau di dalam kedua kavum nasi. Setelah krusta diangkat tampak mukosa pucat, konka media dan inferior atrofi sehingga kavum nasi lapang. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior dijumpai postnasal drip. Diagnosa sementara adalah rinitis atrofi primer (ozaena). Diberikan terapi ciprofloksasin 2 x 500 mg, vitamin A 3 x 50.000 IU dan sulfas ferrosus 2 x 1. Di samping itu diberikan campuran tetes hidung yang mengandung streptomisin 1 gr dan NaCl 0,9% ad 30 cc. Pasien dianjurkan cuci hidung dengan NaCl 0,9% atau air garam dua kali sehari di rumah. Di samping itu juga dianjurkan menutup lubang hidung secara bergantian pada malam hari. Kontrol pada hari ke-15, keluhan telah berkurang seperti hidung tersumbat, hidung berbau dan ingus. Kerak hidung tidak dijumpai lagi dan penciuman mulai membaik. Pada pemeriksaan tidak dijumpai lagi krusta. Sekret hidung berubah menjadi warna kuning dan mukosa sudah merah muda. Konka media dan inferior masih atrofi sedangkan postnasal drip tidak ada lagi. Kepada pasien dianjurkan untuk meneruskan obat. Kontrol hari ke-29, keluhan hidung tersumbat tidak ada lagi dan penciuman sudah membaik. Di samping itu hidung berbau dan ingus sudah berkurang. Pada pemeriksaan, sekret hidung sudah berubah menjadi serous. Kavum nasi masih terlihat lapang, namun konka sudah merah muda dan hipotrofi. DISKUSI Rinitis atrofi yang terjadi pada kasus ini merupakan rinitis atrofi primer (ozaena) yaitu terjadi pada wanita usia pubertas dengan sosio-ekonomi yang rendah dan lingkungan yang buruk serta adanya infeksi hidung yang sudah lama. Pada kasus ini diberikan pengobatan secara konservatif dengan medikamentosa dan cuci hidung. Setelah 2 minggu penderita mengalami perbaikan dan pada minggu ke-4 terlihat konka tumbuh menjadi hipotrofi. Pasien dianjurkan untuk kontrol 2 minggu sekali selama 2 – 3 bulan. KESIMPULAN Telah dilaporkan satu kasus rinitis atrofi primer (ozaena) yang diterapi dengan cara konservatif dengan hasil yang baik.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006
133
Laporan Kasus
DAFTAR PUSTAKA 1. Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. In: Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol. 4, Sixth Edition. ButterworthHeinemann. 1997: 26-27. 2. Mangunkusumo E, Rifki N. Infeksi Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar H (Ed) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-5. Penerbit Fk. UI. Jakarta. 2001: 112-13. 3. Moore EJ, Kern EB. Atrophic Rhinitis: A Review of 242 Cases. In: American Journal of Rhinology. Vol. 15. 2001: 355-61.
7. Maqbool M. Chronic Rhinitis. In: Text Book of Ear, Nose and Throat Diseases. Sixth Edition. Jaypee Brothers Medical Publishers. New Delhi. 1993: 264-65. 8. Massegur H. Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. In: XVI World Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sydney. 1997: 1403-07. 9. Maran AGD. Chronic Rhinitis. In: Diseases of the Nose, Throat and Ear. Tenth Edition, PG Publishing. Singapore. 1990: 40-41.
4. Jiang R, Hsu C, Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Post Operative Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. In: American Journal of Rhinology. Vol 12. 1998: 325-33
10. Mewengkang N, Samsudin, Soetomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada penderita Ozaena anak. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional ke VIII Perhati. Juli 1986. Ujung Padang: 576-81.
5. Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofikans. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional Ke VIII Perhati. Juli 1986. Ujung Padang: 549-56.
11. Bertrand B, Dayen A, Eloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the treatment of Atrophic Rhinitis: Technique and results. In: The Laryngoscope. Vol. 106. 1996: 652-57.
6. Ramalingan KK, Sreeramamorthy B. Intections of the nose. In: A Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers. Madras. 1993: 202 – 03.
134
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 2 y Juni 2006