BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENEGAKAN HAK KONSUMEN DI INDONESIA Oleh : Puryanto NPM : 5205220017 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian Konsumen menurut UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.1 Perlindungan konsumen merupakan hal yang cukup baru dalam dunia peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perlindungan konsumen telah meletakkan konsumen dalam posisi terendah dalam menghadapi para pelaku usaha. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di balik perjanjian baku yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Tidak adanya alternatif yang diambil oleh konsumen telah menjadi satu rahasia umum dalam dunia industri usaha di Indonesia.2 Dalam situasi dan kondisi yang demikian diperlukan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Berdasarkan kondisi tersebut perlu diupayakan pemberdayaan konsumen dan pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen yang dapat diterapkan dalam masyarakat. Piranti hukum dimaksudkan untuk mendorong iklim usaha yang sehat melalui pelayanan dan penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas. Sikap keprihatinan kepada konsumen juga dimaksudkan sebagai wujud kepedulian yang tinggi terhadap konsumen. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang yang dikemukaan di atas, masalah konsumen tidak akan terlepas dari masyarakat sebagai pengguna akhir. Sebab risiko kerugian konsumen dengan sistem industri dan perdagangan yang demikian telah menimpa beberapa konsumen, dan beban untuk membuktikan haknya tidak mudah, karena konsumen pada umumnya memiliki keterbatasan kemampuan dalam membuktikan kesalahan produsen3. Maka masalah pokok penelitian ini adalah Bagaimanakah Penyelesaian Sengketa Konsumen Antara Pelaku Usaha dan Konsumen di BPSK Jakarta Barat? Permasalahan tersebut diatas adalah sangat mendasar, karena menyangkut kepastian hukum, keadilan hukum, dan tidak hanya bagi konsumen tetapi pelaku usahapun terlindungi oleh hukum. Dikatakan mendasar karena konsumen adalah dalam posisi yang lemah. Maka kehadiran Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan perlindungan konsumen. 1
Shidarta, Hukum Peerlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Revisi 2006, hal.2. 2 Gunawan Wijaya Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen. (Bandung: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000). Hal.3 3 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, FH UI.2004. hal.18.
Undang-undang ini mengatur tentang kebijakan perlindungan konsumen4, baik materiil, maupun hukum formil mengenai penyelesaian sengketa konsumen5. Berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, apakah hukum itu dapat melindungi serta telah memberikan rasa keadilan, dan dapat memberikan kepastian hukum bagi konsumen. Untuk mewujudkan hal tersebut diatas diperlukan lembaga-lembaga penegak hukum beserta aparatur maupun pencari keadilan berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1999.
4 5
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19. Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 2
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENURUT UNDANGUNDANG PERLINDUNGAN KNSUMEN NO.8 TAHUN 1999 A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan Musibah yang menimpa konsumen Indonesia tidaklah jarang terjadi. Selama beberapa dasawarsa sejumlah peristiwa penting yang menyangkut keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa mencuat ke permukaan sebagai keprihatinan nasional yang tidak kunjung mendapat perhatian dari sisi hukum bagi para konsumen. Padahal, saat ini lebih dari 200 juta penduduk Indonesia tidak akan mungkin dapat menanggalkan predikat “konsumen”. Abdul Hakim GN mengemukakan keheranannya mengapa masalah perlindungan konsumen yang jelas menyangkut hajat hidup orang banyak kurang mendapatkan perhatian.6 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999 oleh Pemerintahan Transisi (Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiden B.J. Habibie dengan harapan terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor, pengecer, pengusaha/perusahaan dan sebagainya) yang harmonis dan saling menghargai. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), konsumen dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan hukumnya dengan memanfaatkan instrumen-instrumen hukum pokok yang ada, meskipun secara empirik tidak begitu meningkatkan martabat konsumen apalagi mengayomi konsumen. Konsumen masih tetap berada pada posis tawar (bargaining position) yang lemah. Akan tetapi itu tidak berarti konsumen tidak dilindungi sama sekali, betapa pun lemahnya instrumeninstrumen hukum pokok.7 Berikut ini adalah beberapa gugatan konsumen terhadap produsen di Indonesia yang dilakukan melalui peradilan umum : 1. Gugatan Individual. Dalam gugatan individual dapat dilihat dalam kasus Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan vs PT. Securindo Packatama Indonesia (secure Parking)8. 2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Class Action merupakan suatu mekanisme atau prosedur gugatan dimana pihak wakil kelompok bertindak tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga sekaligus mewakili wakil kelompok yang jumlahnya banyak dengan menderita kerugian yang sama.9
6
Abdul Hakim GN, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,1988, hal. 41 7 Setiawan, Produsen atau Konsumen: Siapa Dilindungi Hukum, makalah pada seminar “Damai Pemasaran antara Pengusaha dan Konsumen, diselenggarakan Asosiasi Manajer Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Ilmu Kepolisian Indonesia (ISIK), di Jakarta, 27 Juni 1992. Pada uraiannya, Setiawan sepertinya ingin mengatakan bahwa konsumen dapat dilindungi dengan instrumen hukum pokok, dalam hal ini instrumen hukum perdata betapa pun minimnya. 8 Lihat, Putusan Pengadilan No. 551/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Ps. 9 Andy A. Azhar, dalam situs internet http://hukumonline.com/ 3
Peraturan yang mengatur tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Peraturan-peraturan yang ada class action dalam hukum Indonesia terdapat dalam : 1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. 4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 5) PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Gugatan class action di Indonesia dapat dilihat pada contoh kasus berikut ini. Gugatan 15 warga DKI Jakarta vs Presiden Megawati Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R Nuriana atas peristiwa banjir yang terjadi pada akhir Januari hingga awal Februari 2002 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Maret 200210. 3. Gugatan Legal Standing. Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.11 Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”.12 Berikut ini adalah contoh gugatan legal standing, yaitu dalam kasus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Menanggulangi Masalah Merokok, Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Kanker Indonesia vs PT. Djarum Kudus Tbk., PT. HM. Sampoerna Tbk., PT. Perada Swara Production, PT. Citra Lintas Indonesia, PT. Metro Perdana Indonesia Advertising, PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT. Surya Citra Televisi (SCTV), PT. Jurnalindo Aksara Grafika, PT. Era Media Informasi13. 4. Gugatan Pemerintah. Sejauh ini gugatan Pemerintah sebagai konsumen terhadap pihak produsen belum pernah terjadi.
B. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Dalam Undang10
Lihat Putusan Perkara No.83/PDT.G/2002.PN.JKT.PST Mas Achmad Santosa, dkk., Petunjuk Pelaksanaan Gugatan Perwakilan, Jakarta, ICEL, 1997, hal. 53. 12 Proyek Pembinaan Teknis Yustisial MARI, 1998, hal. 75. 13 Lihat, Putusan Pengadilan No. 278/Pdt.G/2002/PN.Jak.Sel. 4 11
Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen”. Konsumen dalam terminologi konsumen akhir inilah yang dilindungi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Sedangkan konsumen antara adalah dipersamakan dengan pelaku usaha. Dengan telah disyahkan dan diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tidak serta merta secara langsung dapat menjamin terwujudnya penyelenggaraan perlindungan konsumen, karena dalam pelaksanaan di lapangan penerapan beberapa pasal dari Undang-undang ini diperlukan adanya dukungan pembentukan kelembagaan antara lain Badan Pernyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten atau Daerah Kota yang berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan melalui cara Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase. Pembentukan BPSK ini dimaksudkan untuk membantu penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha diluar pengadilan. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diharapkan mampu memberikan konsultasi perlindungan konsumen, menjembatani terhadap setiap sengketa konsumen didaerahnya serta dapat malaksanakan tugas-tugas lain yang telah menjadi kewenangannya dalam menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa konsumen baik secara Konsiliasi, Mediasi maupun Arbitrase. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian sengketa konsumen diselesaikan melalui pengadilan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ataupun penyelesaian sendiri melalui jalan damai antara konsumen dan pelaku usaha. Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hakhak konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen ternyata memiliki kekhasan tersendiri. Sejak semula, para pihak yaang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa tersebut mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan (secara damai). Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan (secara damai) berdasarkan pilihan sukarela diantara pihak yang bersengketa.14 Setiap sengketa konsumen pada umumnya dapat diselesaikan setidak-tidaknya melalui dua cara penyelesaian tersebut. Kedua kelompok cara penyelesaian itu terdiri dari : 1. Penyelesaian sengketa secara damai. Dengan penyelesaian sengketa secara damai dimaksudkan penyelesaian sengketa antara para pihak atau dengan atau tanpa kuasa atau pendamping bagi masing-masing pihak melalui cara damai. Perundingan secara musyawarah mufakat antara para pihak yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undangundang. 14
http://digilib.usu.ac.id/ 5
Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut cara kekeluargaan. Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya yang paling diinginkan.diusahakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah dan relatif lebih cepat. Berdasarkan UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan secara sukarela melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan sesuai pilihan para pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (2). Khususnya untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen (UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 47). 2. Penyelesaian melalui peradilan atau instansi yang berwenang. Penyelesaian sengketa ini melalui peradilan umum atau melalui lembaga yang khusus dibentuk undang-undang, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Badan ini dibentuk di setiap Daerah Tingkat II (Pasal 49) dan badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Setiap unsur berjumlah tiga orang atau sebanyak-banyaknya lima orang, untuk konsumen diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaannya terdiri dari ketua merangkap anggota, wakil ketua merangkap anggota dan anggota dibantu oleh sebuah sekretariat. Dalam penyelesaian sengketa konsumen dibentuk majelis yang terdiri dari sedikitnya tiga orang dan dibantu oleh seorang panitera (Pasal 54 ayat (1) dan (2)). Putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat (3)). BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 hari sejak gugatan diterima (Pasal 55). Keputusan BPSK wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 hari setelah putusan diterima, atau apabila ada keberatan maka mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 hari. Pengadilan Negeri yang menerima keberatan penuntut umum memutuskan perkara tersebut (Pasal 58).
6
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) A. Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) BPSK dibentuk untuk menindaklanjuti terbitnya UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif sejak tanggal 21 April 2000. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sedangkan operasionalnya dibantu oleh pemerintah daerah setempat. Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.15 Adapun tata cara pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sebagai berikut : 1. Proses Pembentukan Kelembagaan BPSK. a. Adanya kesanggupan Kabupaten atau Kotamadya untuk pendanaan pembentukan BPSK, mulai dari perekrutan sampai dengan operasional BPSK16 yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota setempat kepada Menteri Perdagangan dan Perindustrian c.q. Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. b. Usulan pembentukan BPSK yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota diproses lebih lanjut di Direktorat Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Depperindag, untuk disusun Keppres tentang pembentukan BPSK bagi daerah Kabupaten atau Kota yang telah menyanggupi pembentukan BPSK. c. Draft Keppres tentang pembentukan BPSK disampaikan Depperindag kepada Sekretaris Negara untuk disyahkan Presiden. d. Keppres tentang pembentukan BPSK yang telah disyahkan Presiden disampaikan Depperindag kepada Bupati atau Walikota berikut permintaan calon anggota dan sekretariat BPSK yang akan diusulkan oleh Bupati atau Walikota daerah setempat. 2. Urutan Pemilihan dan Pengangkatan Anggota BPSK. a. Bupati atau Walikota membentuk Tim Pemilihan Anggota BPSK dengan Surat Keputusan Bupati (SKB) atau Walikota b. Anggota Tim Pemilihan dilarang untuk diusulkan menjadi anggota BPSK. c. Tim Pemilihan. d. Bupati atau Walikota mengajukan nama calon anggota BPSK yang berasal dari daftar calon anggota yang telah dinyatakan lulus oleh Tim Pemilih Calon Anggota BPSK Daerah kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri disertai dengan persyaratan administrasi, dokumen penunjang dan berita acara pemilihan calon anggota BPSK. 15
www.bappenas.go.id/ Menurut As’ad Nugroho, Direktur Program Lembaga Kosnumen Jakarta, beberapa BPSK yang sudah dibentuk diberbagai kota tidak atau belum berbuat apa-apa karena kelemahan mekanisme pembentukan BPSK tersebut. Agar BPSK dapat berperan aktif, As’ad Nugroho menyarankan beberapa hal diantaranya, (1) menggalang komitmen dan dukungan Pemda pada pembentukan BPSK, baik dukungan fasilitas maupun politis, (2) lebih transparan dan demokratis, (3) melakukan saringan anggota BPSK yang lebih kompetitif dan jujur. 7 16
e. Nama calon anggota BPSK yang diajukan tersebut sekurangkurangnya 18 (delapan belas) orang dan sebanyak-banyaknya 30 (tiga puluh) orang dengan ketentuan seurang-kurangnya 1/3 (sepertiga) dari jumlah calon anggota tersebut berpengalaman dan berpendidikan di bidang hukum. f. Menteri menetapkan dan mengangkat anggota BPSK dari calon anggota BPSK yang diajukan, dengan memperhatikan beban kerja dan keseimbangan dari setiap unsur yang diwakilinya. g. Dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak diterimanya usulan nama calon anggota BPSK secara lengkap dan benar, Menteri menetapkan nama-nama anggota BPSK dengan Surat Keputusan. 3. Susunan dan Kedudukan BPSK. Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan demikian, di setiap daerah tingkat II (kabupaten atau kotamadya) di Indonesia nantinya akan dibentuk dan didirikan BPSK, guna menyelesaikan sengketa konsumen di samping badan peradilan. Oleh karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diundangkan terlebih dahulu mendahului Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU Pemda)17 maka dalam kerangka sistem hukum nasional sesuai asas les pasietori derograt legi priori (ketentuan yang berlaku kemudian menghapus ketentuan terdahulu), maka penyebutan Daerah Tingkat II pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diubah menjadi Daerah Kota atau Daerah Kabupaten. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang meliputi bidang perdagangan. Sedangkan mengenai anggaran untuk pelaksanaan kegiatan BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta sumber-sumber lainnya yang sesuai dengan peraturanperaturan yang berlaku. Adapun susunan anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UUPK, terdiri atas : a. Ketua merangkap anggota. b. Wakil ketua merangkap anggota. c. Anggota. Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), keanggotan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) terdiri dari tiga unsur :18 a. Unsur pemerintahan (3 orang – 5 orang). b. Unsur konsumen (3 orang – 5 orang). c. Unsur pelaku usaha (3 orang – 5 orang). 17
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diundangkan tanggal 20 April 1999 dan mulai berlaku efektif 1 tahun kemudian (20 April 2000), sedangkan Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU Pemda) diundangkan dan mulai berlaku efektif 7 Mei 1999 (pada tanggal diundangkannya). 18 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menerut UUPK (Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 29. 8
a. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Untuk dapat diangkat sebagai anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) harus dipenuhi peryaratan sesuai dengan (Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen) B. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam melaksanakan fungsinya untuk menjamin dan menegakkan hakhak konsumen, BPSK diberi tugas dan wewenang sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 20, 25 dan Pasal 26, jadi tidak secara keseluruhan pasal-pasal dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 yang dilanggar oleh pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif. Tugas-tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pasal 52 butir (e), butir (f), butir (g), butir (h), butir (i), butir (j), butir (k), dan butir (m) dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebenarnya telah diserap dalam fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dengan membandingkan bobot tugas dan wewenang yang demikian luas, serta syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK patut dipertanyakan apakah ada orang-orang yang berkompeten untuk itu di setiap wilayah Kabupaten/Kota. Terlebih-lebih lagi untuk anggota yang berasal dari unsur konsumen, harus dilakukan seleksi yang benar-benar matang. Jika pemerintah diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan wakil-wakil konsumen dalam keanggotan BPSK, dikhawatirkan ada kecenderungan untuk tidak lagi mempercayai objektifitas mereka dalam memperjuangkan kepentingan konsumen tatkala bersengketa di BPSK. Kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditanganinya mencakup pelanggaran Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. pengertian sanksi administratif disini telah mendapat pengaruh dari sistem common law, sehingga dapat berupa penetapan ganti rugi (lihat Pasal 60 UUPK). Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang bernuansa pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. Termasuk kategori ini adalah pelanggaran terhadap pencantuman klausula baku (Pasal 18 UUPK), sekalipun pengawasan terhadap pencantuman klausula baku adalah bagian tugas BPSK (Pasal 15 UUPK). C. Ketentuan Berproses di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sesungguhnya kesederajatan untuk mendapatkan akses dalam perlakuan hukum bagi konsumen telah diatur secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam kitab tersebut pada intinya dikatakan bahwa siapa saja yang melakukan perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian maka wajib memberikan ganti kerugian. Namun khusus bagi kosumen yang dirugikan dirasakan belum cukup, maka dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ini, konsumen mendapatkan perlindungan yang komprehensif di dalam tatanan hukum Indonesia. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak dan kewajiban yang masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain tingkat pendidikan konsumen yang belum memadai, 9
sikap atau kebudayaan konsumen yang lebih suka menghindari konflik (pasrah) yang sudah lama terpatri. Sehingga apabila konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, sebagian konsumen enggan memperkarakannya ke pengadilan, karena memakan waktu, biaya yang mahal dan kompleks. Namun melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), budaya atau kebiasaan itulah yang secara perlahan-lahan akan berubah. 1. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen. a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun tidak tertulis atau lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen dapat juga diajukan ahli waris atau kuasanya, apabila konsumen yang bersangkutan dalam hal : 1) Meninggal dunia. 2) Sakit atau berusia lanjut (manula). 3) Belum dewasa. 4) Orang asing (Warga Negara Asing). b. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tertulis diberikan bukti tanda terima kepada pemohon oleh sekretariat BPSK. Sedangkan permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tidak tertulis atau lisan oleh sekretariat BPSK dicatat dalam format yang disediakan untuk itu dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen yang bersangkutan atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima. c. Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik yang diajukan secara tertulis maupun tidak tertulis atau lisan dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi. Secara teknis peradilan semu, permohonan penyelesaian sengketa konsumen (PSK) diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17 SK Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. 2. Persyaratan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK pada prinsipnya merupakan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen akhir tanpa melibatkan pihak lain.19 Namun demikian penyelesaian sengketa konsumen20 harus diajukan secara tertulis dengan melampirkan dokumen mengenai :21 a. Nama dan alamat lengkap dokumen atau ahli warisnya atau kuasanya yang disertai dengan bukti diri, 19
Dsampaikan pada Temu Wicara Nasional Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di Hotel Cempaka Jakarta pada tanggal 15 Desember 2003 oleh Drs. H. Suherdi Sukandi (Ketua BPSK Kota Bandung). 20 Lihat Ketentuan Pasal 46 UUPK, pihak yang dapat mengajukan gugatan : (a) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya (non litigation melalui BPSK atau litigation melalui peradilan), (b) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama, (c) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), (d) pemerintah atau instansi terkait (ketiganya melalui litigation). 21 Isi permohonan penyelesaian sengketa konsumen (PSK)memuat secara benar dan lengkap (Pasal 16 SK Menperindag 350/MPP/Kep/12/2001) : identitas konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri, nama dan alamat pelaku usaha, barang atau jasa yang diadukan, bukti perolehan, keterangan tempat, waktu dan tanggal perolehan barang dan jasa yang diadukan, saksi-saksi yang mengetahui perolehan barang atau jasa. 10
b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha, c. Barang dan/atau jasa yang diadukan, d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain) bila ada, e. Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang dan/atau jasa tersebut. f. Saksi yang mengetahui barang dan/atau jasa tersebut diperoleh. g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa (bila ada). 3. Praktek Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK. Penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dibagi dalam 2 bagian, yaitu : a. Persidangan. 1) Ketua BPSK melalui Panitera22 memanggil pelaku usaha secara tertulis setelah pengaduan konsumen dinyatakan benar dan lengkap dengan melampirkan copy salinan permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang telah memenuhi persyaratan Pasal 16 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 secara formal. Dalam surat panggilan tersebut dicantumkan : - hari, tanggal, waktu dan tempat persidangan dengan jelas. - kewajiban pelaku usaha untuk memberikan jawaban terhadap permohonan penyelesaian sengketa konsumen. 2) Para pihak menghadap Ketua BPSK untuk diberikan penjelasan tentang penyelesaian sengketa berdasarkan pilihan sukarela (Pasal 46 ayat (2). 3) Setelah para pihak sepakat, penyelesaian sengketa konsumen ditempuh melalui BPSK, maka Ketua BPSK menjelaskan tentang tata cara persidangan (arbitrase, konsiliasi, mediasi) untuk dipilih dan disepakati. 4) Apabila para pihak memilih konsiliasi atau mediasi, Ketua BPSK membentuk majelis dan mempersiapkan waktu persidangan. Bila arbitrase yang dipilih, maka para pihak dipersilahkan untuk memilih arbitor dari anggota BPSK (unsur pelaku usaha dan/atau konsumen). Setelah arbitor terpilih oleh para pihak, arbitor terpilih meminta Ketua BPSK menetapkan majelis. 5) Dan apabila para pihak bersengketa tidak ada kesepakatan dalam memilih cara atau metode persidangan, hal ini belum ada peraturan yang mengatur. Namun demikian untuk kasus semacam ini di beberapa kota, Ketua BPSK akan memprioritaskan pada pilihan dari konsumen. b. Persidangan Mejelis. Pada prinsip persidangan sesuai dengan petunjuk yang tercantum pada SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001. hanya 22
Lihat Yusuf Shofie dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Panitera BPSK berasal dari anggota dan ditetapkan dengan Surat Penetapan Ketua BPSK (Pasal 54 ayat (2) UUPK jo. Pasal 1 ayat (1) SK Menperindag 350/MPP/Kep/12/2001). Tugas Panitera meliputi : a) mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa, b) menyimpan berkas laporan, c) menjaga barang bukti, d) membantu majelis menyusun putusan, e) membantu menyampaikan putusan kepada konsumen dan pelaku usaha, f) membuat berita acara persidangan, h) membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa konsumen. 11
dalam ruang sidang tata letak tempat duduk penggugat, tergugat, panitera, majelis dan sistimatika persidangan diatur dengan Surat Keputusan Ka. BPSK tentang Tata Cara Persidangan. Isi putusan Majelis BPSK tidak berupa penjatuhan sanksi administratif (Pasal 37 ayat (3) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Jika ternyata hasil penyelesaian sengketa konsumen baik dengan cara konsiliasi atau mediasi telah dibuat dalam perjanjian tersebut dan dikuatkan dengan keputusan Majelis BPSK yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis (Pasal 37 ayat (1) dan (2) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). Jika ternyata hasil penyelesaian sengketa konsumen dicapai melalui arbitrase, maka hasilnya dituangkan dalam bentuk Putusan Majelis BPSK yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis BPSK dimana didalamnya diperkenankan penjatuhan sanksi administratif (Pasal 37 ayat (4), dan (5) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). 4. Tata Cara Persidangan di BPSK. BPSK sebagai instrumen penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah:23 a. Pemanggilan pelaku usaha untuk hadir di persidangan BPSK dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap dan telah memenuhi persyaratan. (Pasal 16 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) b. Jawaban disampaikan selambat-lambatnya pada persidangan pertama, yaitu hari ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. 5. Alat Bukti dan Pembuktian. Pasal 21 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 mengenai alat-alat bukti yang digunakan24 oleh BPSK, yaitu : a. Barang dan/atau jasa. b. Keterangan para pihak. c. Keterangan saksi dan/atau saksi ahli. d. Surat dan/atau dokumen. e. Bukti-bukti lain yang mendukung. Sistem pembuktian25 yang digunakan dalam gugatan ganti rugi yaitu dengan menggunakan pendekatan sistem Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka sistem pembuktian yang digunakan di BPSK juga sistem pembuktian terbalik.26 Di dalam melakukan pemeriksaan dan penelitian sengketa konsumen terdapat 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan Majelis BPSK, yaitu : 23
Ibid, hal. 35. Pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha atau disebut pembuktian terbalik. 25 Alat bukti dalam perkara perdata menurut Pasal 164 HIR/Herziens Indonesisch Reglement (Pasal 283 RBg/Reglement Buitengewesten), yaitu a) bukti tertulis, b) bukti dengan saksi-saksi, c) persangkaan-persangkaan, d) pengakuan, e) sumpah. 26 Lihat Pasal 52 butir f jo pasal 3 butis f dan Pasal 10 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 12 24
a. Penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji instrumen, dan alat bukti lain yang diajukan, baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha. b. Pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) 6. Putusan BPSK. Menurut UUPK isi putusan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Kata final adalah bahwa tidak ada upaya hukum banding dan kasasi atas putusan Majelis BPSK.27 Proses dikeluarkannya putusan BPSK dilakukan dengan tahap, yaitu Pasal 39 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 : a. Didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat. b. Maksimal jika hal itu telah diusahakan (dengan sungguh-sungguh), ternyata tidak tercapai mufakat maka putusan dilakukan dengan cara voting atau suara terbanyak. Amar putusan BPSK terbatas pada 3 (tiga) alternatif, yaitu (Pasal 40 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) : a. Perdamaian. b. Gugatan ditolak. c. Gugatan dikabulkan. Jika gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa sebagai berikut : a. Ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa yang dapat berupa :28 1) Pengembalian uang. 2) Pengganti barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya. 3) Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan (Pasal 10 ayat (1) dan (2) UUPK, SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). b. Sanksi administrasi berupa penetapan ganti rugi maksimal Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) (Pasal 60 ayat (2) UUPK jo Pasal 3 huruf l, dan Pasal 40 ayat (3) butir b SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001). UUPK tidak mengatur dalam waktu beberapa lama putusan BPSK diberitahukan kepada para pihak29 (bila disepakatinya tidak diatur), hal itu
27
Aman Sinaga, Apakah Putusan BPSK Dapat Dibanding?, Media Indonesia, 29 Agustus 2004. Kesulitan menafsirkan pengertian pengajajuan keberatan putusan BPSK, ternyata dialami oleh hakin pada Pengadilan Medan. Hakim pada pengadilan negeri tersebut berpendapat bahwa pengajuan keberatan ditafsirkan sebagai gugatan baru. Jika penafsiran ini dianut, maka konsekuensi hukumnya BPSK sebagai suatu institusi atau lembaga menjadi tergugat di pengadilan negeri. Tetapi hakim pada pengadilan negeri lain tempat dimana ada pengajuan keberatan atas putusan BPSK berpendapat bahwa pengajuan keberatan adalah upaya hokum banding, jika pendapat ini dianut maka konsukuensinya BPSK sebagai suatu lembaga tidak menjadi tergugat di pengadilan, melainkan putusan BPSK yang diperiksa di pengadilan. 28 Yusuf Shofie dan Soni Awan, op. cit, hal. 26. BPSK tidak mengenal ganti rugi yang bersifat hilangnya kesempatan untuk medapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya. Namun BPSK diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk dibayarkan kepada konsumen. 13
karena menyangkut salah satu ketentuan teknis lebih lanjut tentang pelaksanaan tugas majelis, maka Pasal 54 ayat (4) UUPK30 memberi kewenangan Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mengeluarkan surat keputusan menteri. 7. Upaya Hukum. Pada penjelasan Pasal 54 ayat (4) UUPK ditegaskan bahwa tata cara bersifat final31 berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun kenyataannya UUPK mengenal pengajuan keberatan kepada Pengadilan Negeri32 dalam waktu 14 (empatbelas) hari kerja setelah pihak berkepentingan menerima pemberitahuan putusan tersebut.33 Untuk mengatasi masalah dalam pelaksanaan tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), akan disusun sebuah Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Aturan tersebut mengatur tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK dan tata cara permohonan eksekusi. Tim perumus Perma sendiri akan segera dibentuk.34 Penerbitan Perma tersebut dirasa mendesak karena selama ini terdapat pasal yang saling bertentangan dalam UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Antara lain Pasal 54 ayat (3) yang menyatakan putusan BPSK bersifat final dan mengikat, sementara Pasal 56 ayat (2) yang menyatakan para pihak dapat mengajukan keberatan paling lambat 14 hari setelah putusan diterima. 8. Eksekusi Putusan. Jika pelaku usaha tidak menggunakan keberatan, maka putusan BPSK menjadi berkekuatan tetap. Tidak dilaksanakan hukuman tersebut, apalagi setelah diajukan eksekusi berdasarkan Pasal 57 UUPK merupakan tindakan pidana di bidang perlindungan konsumen.
29
Pasal 41 ayat (1) SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan : “Ketua Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan.” 30 Pasal 54 ayat (4) UUPK berbunyi :”Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat kepeutusan menteri.” 31 Aman Sinaga, putusan yang bersifat final dan mengikat, adalah putusan yang menurut pengertian Doktrin Hukum yang diajarkan di perguran tinggi, maupun menurut pengertian yang baku di Badan Peradilan Umum, adalah putusan yang terhadapnya tidak dapat dilakukan upaya hokum apapun, sehinggaperlu ada pengkajian dan evaluasi terhadap UUPK. 32 Aman Sinaga, ibid, sebutan pengajuan keberatan hanya dikenal dalam UUPK dan tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di pengadilan umum, sehingga hakim dalam pengadilan negeri tempat dimana ada pengajuan keberatan atas keputusan BPSK memperoleh kesulitan untuk penafsiran apakah pengajuan keberatan tersebut semacam banding atau ditafsirkan sebagai gugatan, karena dalam hal ini belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana yang dimaksud dengan pengajuan keberatan atas putusan BPSK di pengadilan negeri. 33 Yusuf Shofie, ibid, hal. 48. 34 http://hukumonline.com/, diakses tanggal 18 April 2008. 14
BAB IV PRAKTEK PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DKI JAKARTA A. BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Sejumlah masalah yang bersifat teoritik dari eksistensi BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen belum semuanya teridentifikasi dalam masa sosialisasi dan masa transisi pemberlakuan UUPK. Konsumen lebih mengenal YLKI daripada BPSK. Hal ini tentunya dapat dimaklumi, ketidak populeran BPSK akibat dari kurangnya sosialisasi oleh pemerintah. BPSK yang sudah terbentuk sangat sulit bergerak karena keterbatasan dana yang dialokasikan dari masing-masing pemerintah kabupaten atau kota. BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki anggota yang terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Dasar penyusunan anggota BPSK menganut azas keseimbangan, sehingga anggota berjumlah sama dari setiap unsur yang ada dengan harapan badan ini dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara adil dan obyektif. Pengangkatan Anggota BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan pada Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 589/M-DAG/KEP/7/2006 tanggal 4 Juli 2006. Para Anggota BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilantik oleh Gubernur DKI Jakarta. Adapun susunan anggota BPSK Provinsi DKI Jakarta adalah :35 1. Unsur Pemerintah terdiri dari 3 orang yaitu ketua merangkap anggota. 2. Unsur Konsumen terdiri dari 3 orang yaitu wakil ketua merangkap anggota. 3. Unsur Pelaku Usaha Konsumen terdiri dari 3 orang yaitu sebagai anggota. Sekretariat BPSK adalah bagian dari susunan organisasi BPSK yang berstatus sebagai pembantu tugas yang bekerja penuh pada Sekretariat BPSK dan berfungsi untuk membantu kelancaran tugas BPSK. Anggota Sekretariat adalah bukan Anggota BPSK. Sedangkan untuk pengangkatan Kepada Sekretariat dan Anggota Sekretariat BPSK Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilantik dan disumpah oleh Ketua BPSK berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 86/M-DAG/KEP/3/2007 tanggal 26 Maret 2007 dan dipertegas oleh surat dari Direktorat Jendral Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Republik Indonesia Nomor 88/PDN 4.5/3/2007 tertanggal 29 Maret 2007. Adapun susunan anggota sekretariat BPSK Provinsi DKI Jakarta terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 35
Kepala Sekretariat. Sekretariat Bidang Tata Usaha. Sekretariat Bidang Pelayanan Pengaduan. Sekretariat Bidang Penyajian dan Pengolahan Data. Sekretariat Bidang Konsultasi.
www.bpsk-jakarta.blogspot.com 15
6. Sekretariat Kepaniteraan. B. Prosedur dan Tahapan Penyelesaian Sengketa di BPSK Provinsi DKI Jakarta Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak secara terperinci mengatur tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Hanya beberapa ketentuan pokok yang dianggap penting atau mendasar saja yang dijelaskan dalam undang-undang tersebut. Salah satu ketentuan pokok tersebut adalah ketentuan yang tercantum dalam Pasal 52 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang pada intinya menyatakan bahwa BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Penjelasan selanjutnya tentang penyelesaian sengketa dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase (lebih dikenal dengan istilah alternatif penyelesaian sengketa) tidak ditemukan dalam undang-undang. Hanya dalam Pasal 53 dan Pasal 54 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK serta Majelis BPSK akan diatur dalam Surat Keputusan Menteri terkait. 1. Penyelesaian sengketa dengan cara Konsiliasi. BPSK adalah badan yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Prinsip dalam menyelesaikan sengketa di badan ini adalah mudah, murah, cepat dan sederhana. Konsiliasi adalan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya kepada para pihak. Persidangan secara konsiliasi dilakukan secara sendiri oleh pihak yang bersengketa didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator.36 Dari kedua ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa konsiliasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan di BPSK atas kesepakatan para pihak yang bersengketa37 dalam proses dengan dibantu konsiliator38 sebagai penengah dan bersifat pasif. 1. Konsiliasi (penyelesaian sengketa secara kekeluargaan dan kompromi) adalah penyelesaian sengketa melalui jalan tengah cenderung lebih 36
Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 52. Menurutnya, konsiliator hanya melakukan tindakan-tindaan seperti mengatur watu dan tempat pertemuan para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung atau tidak mau bertemu muka langsung, dan lain-lain. 37 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Seri Bisnis; Hukum Arbirase, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal 37. Berbeda dengan konsiliasi menurut pengertian Black’s Law Dictionary, yang merupakan langkah awal erdamaian sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan dan ketentuan mengenai perdamaian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak hanya dapat dilakukan dengan konsiliasi. 38 Bandingkan dengan kewenangan mediator, dimana mediator berwenang untuk mengusulkan solusi penyelesaian sengketa atau menyarankan jalan keluar atas proposal penyelesaian sengketa yang bersangkutan. Akan tetapi kedua-duanya tidak berwenang memutuskan perkaram keputusan dan persetujuan terhadap keputusan perkaran tetap terletak penuh di tangan para pihak yang bersengketa itu sendiri. 16
ditekankan pada satuan masyarakat yang kecil-kecil yang didalamnya hubungan tatap muka lebih menonjol.39 Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dapat dilihat pada kasus Linni Nurliana ( Konsumen ) selaku PEMOHON vs Koperasi Karyawan (KOPKAR) BII ( Pengurus ) ( Pelaku Usaha ) selaku TERMOHON dalam kasus Gugatan Standar Mutu Bangunan Rumah.40 2. Penyelesaian sengketa dengan cara Mediasi. Mediasi adalan proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasehat (mediator)41 dan penyelesaiannya diserahkan kepada kedua belah pihak. Persidangan mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator.42 1) Dari kedua ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh BPSK atas kesepakatan para pihak yang bersengketa sebagai mediator.43 Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ketiga, suatu pihak luar yang netral terhadap sengketa,44 mengajak pihak yang
39
Konsiliasi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sering berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 40 Lihat Putusan BPSK Provinsi DKI Jakarta No. 094/BPSK-DKI/SK/VII/08 tanggal 14 Juli 2008. 41 Bandingkan Munir Fuady, Ibid, hal. 47. Pihak mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan putusan terhadap sengketa para pihak yang dimediatori, melainkan hanya berfungsi untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang bersengketa tersebut. Menurutnya kemampuan dan integritas dari pihak mediator diharapkan dapat mengefektifkan proses negosiasi diantara para pihak yang bersengketa. 42 AAI, Mediasi di Pengadilan Hanya Basa Basi, Koran Media Indonesia, 17 Juli 2004, hal. 1. Mediasi di pengadilan terkesan basa basi dan belum maksimal, mediator kurang berani memberikan dukungan kontributif dan memberikan masukan bersifat teknis maupun argumentasi hukum dalam penyelesaian suatu sengketa, apalagi menyangkut perkara bisnis. 43 Bandingkan proses penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi oleh YLKI, Warta Konsumen, Mei, 2003, hampir serupa dengan mediasi pada BPSK. Pada YLKI proses mediasi dimulai dengan, 1) YLKI sebagai mediator menanyakan para pihak yang berperkara (baik identitas, alamat, dll), 2) khusus pelaku usaha, YLKI menanyakan berkapasitas atau tidak perwakilan dari pelaku usaha untuk mengambil keputusan terhadap kasus tersebut, 3) YLKI memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya tanpa boleh dipotong oleh pihak lain sebelum pihak pertama selesai memberikan penjelasan dan seterusnya, 4)YLKI memberikan waktu untuk klarifikasi dan koreksi tentang apa yang disampaikan masing-masing pihak, 5) setelah permasalahan diketahui, masing-masing pihak menyampaikan opsi atau tuntutan yang dinginkan sekaligus melakukan negosiasi untuk mencapai kesepakatan, 6) apabila telah tercapai kesepakatan, maka isi kesepakatan tersebut seanjutnya dituangkan dalam berita acara ksepakatan, tahap akhir dari proses mediasi adalah mengimplementasikan hasil kesepakatan. 44 Munir Fuady, Ibid, hal. 47. Jika pihak ketiga yang netral (mediator) tidak ikut dilibatkan, maka diantara pihak akan terjadi saling mencurigai, salah pengertian, salah persepsi, kurang komunikasi, bersikap emosi, bersikap menang – kalah, dan lain-lain. Oleh karena itu, mediator yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa haruslah orang atau lembaga yang netral yang mampu menjembatani kinginan para pihak. Karena peran mediator sangat penting, maka mediator haruslah 17
bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati. 45 Sesuai dengan batasan ini, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.46 Sesuai dengan sifatnya, mediasi tidak dapat diwajibkan tetapi hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak secara sukarela berpartisipasi. Peran utama mediator adalah menetapkan garisgaris komunikasi diantara kedua belah pihak yang akan mengantarkan pemahaman bersama yang lebih benar.47 Pada akhirnya, suatu kesepakatan akan tercipta tanpa cara-cara merugikan setidaknya hubungan baik tanpa adanya konflik.48 Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat dilihat pada kasus Drs. Nurul Huda, M.Ag selaku PEMOHON vs PT. Swadaya Ridatama ( Ir. Budi Setiawan ) ( Pelaku Usaha ) selaku TERMOHON dalam kasus gugatan serah terima rumah.49 3. Penyelesaian sengketa dengan cara Arbitrase. Arbitrase adalah suatu proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, yang dalam hal ini para pihak yang bersengeta menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada Badan Penyelesaian Sengeta Konsumen (BPSK). Persidangan secara arbitrase dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.50 Dari kedua keputusan tersebut dapat diartikan bahwa arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan sepenuhnya oleh BPSK atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. BPSK sendiri akan membentuk majelis sebagai sarana penyelesaian sengketa selaku proses dalam penyelesaian sengketa,51
mempunyai keahlian dibidangnya masing-masing dan harus mendapatkan pelatihan dari suatu lembaga yang khusus untuk mempersiapkan tenaga ahli sebagai mediator. 45 Sularsi, Mengupas Proses Penyelesaian Pengaduan Konsumen, Warta Konsumen, YLKI, Mei 2003, hal. 26. Menurutnya dalam melakukan penyelesaian kasus secara mediasi ada 2 (dua) kemungkinan yang bisa terjadi yaitu 1) kesepakatan tercapai artinya selesai, 2) tidak terjadi kesepakatan artinya deadlock, artinya kasus selesai dalam tingkat non litigasi. 46 Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Upaya Mengurangi Penumpukan Perkara, dikutip oleh Yusuf Shofie dan Somi Awan. Dalam melaksanakan fungsinya, mediator wajib menaati kode etik mediator. Juga tidak diperbolehkan seorang mediator merangkap sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ketentuan ini dapat disimpulkan dari pasal yang menyatakan bahwa hakim memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau anggota majelis dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan. 47 Berbagai peran mediator dalam proses mediasi adalah 1) mengontrol proses dan menegaskan aturan dasar, 2) mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi, 3) menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diantara para pihak, 4) menerangkan proses dan mendidik para pihak dalam hal komunikasi yang baik, 5) menguatkan suasana komunikasi, 6) membantu para pihak untuk menghadapi situasi dan kenyataan, 7) memfasilitasi creative problem solving diantara para pihak, 8) mengakhiri proses bilamana sudah tidak produktif lagi. 48 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakkan Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 23. 49 Lihat BPSK DKI Surat Perjanjian Perdamaian Dengan Cara Mediasi No. 049/BPSKDKI/PPM/VI/08 tanggal 25 Juni 2008. 50 Lihat Pasal 12 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 51 Lihat Ketentuan Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 18
Arbitrase merupakan institusi penyelesaian sengketa alternatif yang paling populer dan paling luas digunakan dibandingkan dengan institusi penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya kelebihan yang dimiliki oleh institusi ini.52 Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilihat pada kasus R.P. Soebagyo Tjondronegoro ( Konsumen ) selaku PEMOHON vs PT. Teh Sosro ( Bapak Suwanto selaku Direksi ) selaku TERMOHON dalam kasus gugatan minuman botol. C. Analisa Eksekusi Putusan BPSK Oleh Pengadilan Negeri Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak mencantumkan siapa yang meminta penetapan eksekusi, apakah konsumen sebagai pihak yang dirugikan dan memenangkan sengketa dan pihak lain.53 Ternyata Pasal 42 ayat (2) KepMen No. 350/MPP/Kep/12/2001 menentukan bahwa terhadap putusan BPSK sebagaimana dimaksud ayat (1) putusan BPSK merupakan putusan final dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimintakan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen dirugikan.54 Ketentuan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim dalam suatu proses penyelesaian sengketa oleh suatu badan yang bertugas menyelesaikan sengketa dan ketentuan ini meminimalisir fungsi dan kedudukan BPSK sebagai suatu badan yang memeriksa dan memutuskan suatu sengketa sebagai peradilan semu (quasi yudikatif) dan putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan final. Jika terhadap putusan BPSK tidak diajukan keberatan dan tidak pula dilaksanakan, maka yang seharusnya meminta eksekusi ke pengadilan negeri adalah pihak yang telah menang dalam sengketa yang diperiksa oleh BPSK yaitu konsumen sebagaimana yang berlaku pada penyelesaian sengketa pada pengadilan negeri dimana pihak yang menang dan putusan perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri karena tergugat kalah tidak mau memenuhi bunyi putusan tersebut secara sukarela.
52
Jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain untuk menyelesaikan sengketa, maka institusi arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang paling mirip dengan pengadilan, terutama jika ditinjau dari prosedur yang berlaku, kekuatan putusannya, keterkaitan dengan hukum yang berlaku atau dengan aturan main yang ada. 53 Lihat Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 59 UU No. 8 Tahun 1999. 54 Suparno, Kesiapan Badan Peradilan Umum dalam Melaksanakan Penetapan Eksekusi Putusan BPSK serta Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, h. 3. 19