Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
KEDUDUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN DI BPSK KOTA MEDAN Mahyudanil Muaz Zul
[email protected] [email protected] ABSTRAK
Sengketa tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Sepanjang kehidupannya, hubungan antar manusia selalu diwarnai oleh sengketa. Bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan inti permasalahan, yang mana setiap permasalahan memiliki sekian banyak liku-liku, akan tetapi pada akhirnya akan muncul ke permukaan. Proses dan mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK Kota Medan masih belum sesuai dengan kaidahkaidah, norma-norma atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pengambilan Keputusan, Penyelesaian masalah, Perwasitan I.
Pendahuluan Lahirnya Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dilatarbelakangi oleh adanya globalisasi dan perdagangan bebas, yang didukung dengan kemajuan teknologi dan informatika sehingga memperluas ruang gerak transportasi barang dan / atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Setiap manusia yang hidup di dunia memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Terlepas dari kewajibannya, manusia juga mempunyai hak-hak dasar yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hak-hak tersebut menimbulkan berbagai kepentingan yang diharapkan dapat dipenuhi. Setiap manusia adalah 1 penyandang kepentingan. Salah satu bentuk kepentingan dalam diri manusia adalah pemenuhan kebutuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia mengkonsumsi atau mengunakan barang dan /atau jasa yang berasal dari manusia lainnya. Oleh karena itu setiap manusia yang hidup merupakan konsumen atau pemakai dari barang dan/atau jasa tertentu yang disediakan oleh manusia lain yang menyediakan barang 1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (yogyakarta: Liberty, 2003), hal.1
dan/atau jasa yang disebut produsen, oleh karena itu setiap manusia yang hidup tidak akan terlepas dari kebutuhannya. Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggitingginya, produsen juga harus bersaing antara sesama mereka dengan perilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan konsumen.2 Oleh karena itu secara mendasar konsumen membutuhkan perlindungan hukum mengingat lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan kedudukan produsen yang relatif kuat dalam banyak hal.3 Shidarta menyatakan karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan, pengayoman kepada masyarakat .4 Pada usaha pemenuhan kepentingan tersebut, maka manusia harus berinteraksi satu dengan yang lainnya. Ada kalanya
2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, , (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006) hlm.2 3 Sri Rezeki Hartono, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas, (Bandung: Bandar Maju, 2002) hlm.33 4 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,(Jakarta: Grasindo, 2000) hlm. 48
80
kepentingan mereka itu saling bertentangan, hal mana dapat menimbulkan suatu sengketa atau konflik. Untuk menghindari gejala tersebut, mereka mencari jalan mengadakan tata tertib, yaitu dengan membuat ketentuan atau kaedah hukum, yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat agar dapat mempertahankan hidup bermasyarakat.5 Sengketa tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Sepanjang kehidupannya, hubungan antar manusia selalu diwarnai oleh sengketa. Bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan inti permasalahan, yang mana setiap permasalahan memiliki sekian banyak likuliku, akan tetapi pada akhirnya akan muncul ke permukaan.6 Sementara itu dalam setiap sengketa salah satu pihak mungkin berada di pihak yang benar, juga ada kemungkinan memiliki elemen hak hukum, satu pihak mungkin benar dalam masalah-masalah tertentu dan pihak lainnya benar dalam masalahmasalah lainnya; atau adanya pembagian tanggung jawab antara para pihak; atau satu pihak mungkin secara moral benar; atau perbedaan mendasar menyangkut suatu persepsi atau interprestasi yang membuat kedua belah pihak benar bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dalam kehidupan masyarakat yang masih primitif, kekerasan merupakan suatu jalan yang tidak asing lagi dalam menyelesaikan sengketa. Sementara masyarakat modern menyelesaikan sengketa tanpa kekerasan dengan memanfaatkan pihak ketiga yang dianggap netral.7 Semakin lama, penyelesaian sengketa kemudian mulai diatur dengan menggunakan cara-cara 5
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm.1 6 H.Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Alternatif Peneyelesaian Sengketa suatu Pengantar, (Jakarta: Fikahati Aneska dan BANI, 2002), hlm.1 7 Hikmahanto Juwana, Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam Undang-undang Pasar Modal, dalam Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, cet I, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), hlm.1
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
hukum dan melalui institusi yang formal yaitu pengadilan. Ada berbagai macam sengketa yang dapat dilihat terjadi dalam masyarakat. Suatu analisa dan pengelompokan akan dapat memberikan pemahaman yang mendekati ketepatan mengenai persoalan yang dihadapi seseorang atau pihak dalam suatu sengketa dan sekaligus menentukan rencana proses pemecahan yang dapat digunakan.8 Salah satu pengelompokan dasar sengketa menurut Henry Brown dan Arthur Marriot dalam bukunya Alternatif Dispute Resolutin (ADR) Principle and Practise adalah perselisihan antara para konsumen, antara pemasok dan konsumen. Keunggulan Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar pengadilan (non- litigasi) atau Alternatif Dispute Resolutin (ADR) antara lain : Cepat, sederhana, efisien, bebas memilih cara penyelesaian, kasus tertutup (confidential), tidak mengeskalasi konflik, didasarkan asas sukarela, tidak ada kalah dan yang menang, serta harmonisasi para pihak bersengketa terpelihara.9 Hubungan hukum dan masalah antara konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa, umumnya terjadi melalui suatu perikatan, baik karena perjanjian atau karena undang-undang.10 Dalam kenyataan yang ada konsumen berada dalam posisi yang lebih lemah dari pelaku usaha. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya para pelaku usaha berlindung dibalik Standard Contract atau Perjanjian Baku (klausula baku) yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (antara pelaku usaha dan kosumen), ataupun melalui berbagai informasi ”semu”
8
H.Priyatna Abdurrasyid, op. cit.,hlm. 3 Purba Deni, bahan Hukum Penyelesian Sengketa (ADR) pada kuliah klasikal, (Medan : MIH-UMA, 2010). 10 A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet.III (Jakarta : Diadit Media, 2007), hlm. 89 9
81
yang diberikan oleh pelaku usaha kepada konsumen.11 Hans W. Misklitz, menyatakan bahwa dalam perlindungan konsumen secara garis besarnya dapat ditempuh 2 (dua) model) kebijakan, yaitu : Pertama, kebijakan yang bersifat komplementer yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen (hak atas informasi). Kedua, kebijakan kompensatoris yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap kepentingan ekonomi konsumen (hak atas kesehatan dan keamanan ).12 Pada perkembangannya, melalui jalur pengadilan kemudian dinilai tidak lagi memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Banyak pihak-pihak yang menilai justru semakin dirugikan baik dari segi waktu, biaya, pemikiran dan permusuhan berlanjut, sementara hasil yang diinginkan masih jauh dari harapan untuk mendapatkan penyelesaian yang adil dan benar. Seiring dengan itu, kehidupan manusia juga mengalami perubahan terutama dalam bidang perekonomian dan teknologi informasi. Interaksi masyarakat tidak lagi harus dilakukan dengan bertatap muka (face to face), dan jarak tidak lagi menjadi hambatan dalam berhubungan. Semakin terbukannya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi, serta kepastian akan mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.13 Penyelesaian Sengketa Konsumen melalui BPSK akan menghasilkan putusan, yang mana putusan tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding) dalam makna tidak ada upaya banding dan kasasi dalam Badan Penyelesaian Sengketa 11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, cet.III (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 1 12 Hans W. Micklitz, Rencana UndangUndang Perlindungan Konsumen di Mata Pakar Jerman, (Warta Konsumen Tahun XXIV No.12 Desember), hlm. 3-4. 13 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.7
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
Konsumen.14 Pada Dasarnya suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dapat dijalankan, terdapat pengecualian terhadap hal ini, yaitu apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR, dan putusan/penetapan bersifat deklarator.15 Oleh karena itu, putusan tersebut haruslah memiliki kekuatan eksekutorial. Terhadap suatu putusan yang dikeluarkan harus dilaksanakan oleh pihak yang tereksekusi. Pelaksanaan putusan BPSK ini mengacu pada berbagai peraturan yang ada baik pendekatan melalui perlindungan konsumen, maupun hukum acara perdata. Masih banyak persoalan yang belum tuntas mengenai eksekusi terhadap putusan suatu lembaga penyelesaian sengketa seperti BPSK. Ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi tidak diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK, hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu : Pasal 57 UUPK. Tulisan ini akan melakukan analisis terhadap “ Kedudukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan Sengketa Konsumen di BPSK Kota Medan ”. II.
Proses dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK A. Sejarah Berdirinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.16 Eksekusi atau pelaksanaan putusan adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.17 14 Republik Indonesia, UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, penjelesan pasal 54 ayat (3) 15 Pasal 180 HIR. 16 Pasal 1 butir 1 No.30 Tahun 1999 tentang Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 17 Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi, cet. IV, (Jakarta : Sinar Grafika, 1988), hal.5.
82
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.18 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.19 Alternatif Penyelesaian Sengketa pada umumnya dapat diartikan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa nonlitigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan para pihak yang bersengketa.20 Alternatif penyelesaian sengketa jika dilihat berdasarkan kata “alternatif” menunjukkan bahwa, alternatif dapat diartikan para pihak yang bersengketa itu bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara apa yang terdapat didalam alternatif penyelesaian sengketa dan akan diterapkan pada penyelesaian sengketanya.21 Keberadaan badan penyelesaian sengketa konsumen adalah merupakan amanat dari UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang kemudian dipertegas oleh Keputusan Presiden No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK di 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota yang salah satunya adalah Kota Medan. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan yang dibentuk oleh Pemerintah Kota 18
UU No. 8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 11 Yusuf Shofie 2002, Penyelesaian Sengekta Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU-PK), Teori dan Peraktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm.39 20 Suyud Margono, 2000, APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.13 saduran dari Basuki rekso Widodo, Studi Perbandingan Beberapa Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Projustitia No.4, Tahun 16, Oktober 1996. 21 H. Priyatna Abdulrrasyid; 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. FIKAHATI ANESKA & BANI, Jakarta, hlm.12 19
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
Medan telah dirintis sejak ditetapkannya UU No.8 Tahun 1999. Masa Bhakti Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Pemerintah Kota Medan untuk periode tahun 2002-2007 diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan sudah berakhir setelah diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 430/M-DAG/8/2008 tanggal 19 Agustus 2008 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan periode tahun 2008-2013, dilantik pada tanggal 9 September 2008 oleh Pejabat Walikota Medan Drs. H. AFIFUDDIN LUBIS, M.Si. Keanggotaan BPSK Kota Medan periode 2002-2007 berjumlah 9 (sembilan) orang sedangkan periode tahun 2008-2013 keanggotaannya menjadi 15 (lima belas) orang. 22 B. Dasar Hukum Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan Untuk mendukung kelembagaan BPSK Kota Medan dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pembentukan BPSK Kota Medan yaitu: a. Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2001 tentang pembentukan BPSK; b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republin Indonesia No.301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.350/ MPP/Kep/12/2001 22 Abd Rohim, wawancara di Kota Medan, pada 15 April 2011.
83
tanggal 10 Desember 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK; d. Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.430/MDAG/Kep/8/2008 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan; e. Berita Acara Pelantikan BPSK Kota Medan tanggal 9 September 2008 oleh Pejabat Walikota Medan.
C. Struktur Organisasi Keanggotaan dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan Perkembangan lebih lanjut seiring berkembangnya pembangunan penyelesaian sengketa alternatif dapat juga diartikan sebagai segala upaya mediator, arbiter menggali, menemukan, menciptakan alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase diluar pengadilan yang praktis, efisien, cepat, murah, sederhana, dalam menghadapi dan memasuki perdagangan bebas, pasar bebas, persaingan bebas dalam satu wilayah ekonomi dunia atau ekonomi menjadi satu atau wilayah ekonomi dunia global.23 Penyelesaian sengketa alternatif dapat terjadi jika ada sebuah sengketa antara konsumen dan pelaku usaha ketika sama-sama saling membutuhkan akan adanya barang dan/ atau jasa. Pranata Penyelesaian Sengketa Alternatif pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang berdasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagai konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut, Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat sukarela dan 23
Drs. S. Suryono, 2002, Himpunan Yurisprudensi Hukum Perpajakan Dan Arbitrase, arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengket, Oleh: Zacharias Omawele, S.H., C.N., Peranan Lembaga Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Diluar Pengadilan dan Istitusi Pendidikan Mediator dan Arbitrase, hlm.230.
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa. Walau demikian, sebagai suatu bentuk perjanjian (Alternatif Penyelesaian Sengketa), kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum diluar pengadilan harus ditaati oleh para pihak. Sampai seberapa jauh kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan ini mengikat dalam sistem hukum positif yang berlaku, ternyata tidak dapat kita temukan suatu persamaan yang berlaku secara universal untuk semua aturan hukum yang berlaku.24 Pada BPSK Kota Medan stuktur organisasi sesungguhnya sesuai dengan bagan tersebut diatas dapat dijelaskan, bahwa untuk jabatan Ketua BPSK sebagai pemimpin oleh dari Unsur Pemerintah adalah : Drs. H.T.Basyrul Kamal, MM (merangkap anggota), sedangkan Wakil Ketua BPSK berasal dari luar unsur pemerintah yaitu : Drs. H. Dharma Bakti Nst, SH, MH (merangkap anggota) dari Unsur Konsumen yaitu : Lembaga Advokasi Konsumen Konsumen (L.A.K.I) memangku jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri.25 Anggota BPSK lainnya berasal dari 3 (tiga) unsur yaitu Unsur Pemerintah; Unsur Pelaku Usaha; Unsur Konsumen yang masing-masing unsur terdiri dari 5 (lima) orang anggota. Sedangkan secara administratif dipimpin oleh Kepala Sekretariat BPSK yaitu T. Sofin Azhar, SH dengan anggota sekretariat yang lain berjumlah 6 (enam) orang, dan Susunan Keanggotaan Sekretariat BPSK adalah kepala sekeretariat serta anggota sekretariat ini berasal dari Unsur Pemerintah.26 Untuk menjadi anggota BPSK 24
Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Bisnis, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Rja Graindo Persada, Jakarta, hlm..1-2 25 Pasal 6 ayat (1),(2) dan ayat (3) Kep.Menperindag R.I No.13/M-DAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 26 Pasal 13 Ayat (1),(3) Kep.Menperindag R.I No.13/M-DAG/PER/3/2010 tentang
84
tersebut harus memenuhi persyaratan antara lain sebagai berikut:27 1. Warga Negara Indonesia (WNI); 2. Berbadan Sehat; 3. Berkelakuan baik; 4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan; 5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang Perlindungan Konsumen; 6. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. Anggota BPSK berjumlah paling sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.28
D. Tugas dan Wewenang serta Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Sengketa salah satu penyebabnya adalah dari adanya wanprestasi dari salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang disepakati bersama atau ada faktor eksternal diluar para pihak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian.29 Sedangkan sengketa konsumen diartikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau yang mendapat kerugian akibat
Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 27 Pasal 49 Ayat (2) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 7 Ayat (1) Kep.Menperindag R.I No.13/MDAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 28 Pasal 49 Ayat (4) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen & Pasal 3 ayat (6) Kep.Menperindag R.I No.13/MDAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 29 Ade Maman Suherman, 2004, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.46.
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
mengkonsumsi barang dan/ atau manfaat jasa.30 Undang-undang perlindungan konsumen (UU Nomor 8 Tahun 1999) tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen.31 Tugas dan wewenang BPSK dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai badan yang menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan sebagai berikut:32 a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrse; b. Memberikan konsultasi perindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; i. Minta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, 30
Kep.Menperindag. No.350/MPP/Kep./12/2001, Pasal 1 angka 8 31 Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.12. 32 Pasal 52 UUPK; Pasal 3 Kep. Menperindag R.I No.350/MPP/Kep/12/2001
85
saksi ahli atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada poin G dan H yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sangsi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undangundang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
E. Fungsi Keberadaan BPSK Kota Medan Saat ini sudah sangat banyak sengketa yang telah berhasil diselesaikan oleh BPSK Kota Medan. Berdasarkan data diperoleh penulis di Kantor Sekretariat BPSK Kota Medan pada Tahun 2009 sebanyak 38 (tiga puluh delapan) kasus sengketa konsumen, terdiri dari 26 (dua puluh enam) kasus sengketa barang dan 12 (dua belas) kasus sengketa jasa. Pada Tahun 2010 pengaduan sengketa konsumen yang ditangani BPSK Kota Medan semakin meningkat menjadi 56 (lima puluh enam) kasus, terdiri dari 32 (tiga puluh dua) kasus sengketa barang dan 24 (dua puluh empat) kasus sengketa jasa, jenis pengaduan baik jasa maupun barang yang dapat diselesaikan oleh BPSK dengan proses penyelesaian secara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, sesuai dengan prosedur penyelesaian yang ada di BPSK berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001 Tanggal 10 Desember 2001 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK.33 33 Abd. Rahim, wawancara di Sekretariat BPSK Kota Medan, 25 Februari 2008.
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
Keberadaan BPSK Kota Medan berfungsi sebagai:34 1. Menjadi salah satu alternatif penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan; 2. Memberi kepastian hukum bagi seluruh lapisan masyarakat baik sebagai konsumen maupun sebagai pelaku usaha; 3. Menjaga keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen dalam menjamin kelangsungan usaha produk barang dan/ atau jasa, juga menjamin kesehatan, kenyamanan, keamanaan dan keselamatan konsumen; 4. Menjadi asset berharga bagi pemerintah Kota Medan dalam menjalankan visi dan misinya.
F. Prosedur dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa melalui BPSK Persidangan penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ada 3 (tiga) cara, yaitu :. 1. Cara Konsiliasi 2. Cara Mediasi 3. Cara Arbitrase Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan Anggota Majelis. Keputusan Majleis sebagaimana dimaksud dapat memuat sanksi administratif.35 Putusan BPSK dapat berupa : a. Perdamaian; b. Gugatan ditolak; atau c. Gugatan dikabulkan.36 34
Op.cit., H.M Dharma Bakti Nst, Prosedure dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen, (Makalah BPSK Kota Medan), 2008. 35
Pasal 37 ayat No.350/MPP/Kep/12/2001 Tugas dan Wewenang Sengketa Konsumen 36 Pasal 37 ayat No.350/MPP/Kep/12/2001 Tugas dan Wewenang Sengketa Konsumen
(4), Permendag R.I tentang Pelaksanaan Badan Penyelesaian (5), Permendag R.I tentang Pelaksanaan Badan Penyelesaian
86
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.37
III.
Faktor Pendukung dan Penghambat Penyelesaian Sengketa Konsumen di BPSK Kota Medan A. Faktor Pendukung 1) Merupakan kewenangan BPSK untuk menyelesaikan suatu sengketa, yang dimaksud bahwa yang dapat mengajukan permohonan gugatan sengketa di BPSK adalah konsumen akhir. 2) Adanya kelengkapan alat bukti, dengan maksud bahwa adanya kelengkapan alat bukti seperti: barang dan/ atau jasa, keterangan para pihak yang bersengketa, keterangan saksi dan/ saksi ahli, adanya surat atau dokumen, yang lengkap sehingga mempercepat pula dalam pemerikasaan sengketa. 3) Para pihak memenuhi panggilan sidang, bahwa para pihak memenuhi panggilan persidangan selama proses penyelesaian sengketa, dengan maksud para pihak tepat waktu dan tidak perlu BPSK berkali-kali memanggil untuk hadir ke persidangan. 4) Wakil atau yang diberi kuasa memahami permasalahan, yang diberi kuasa/ wakil pihak yang tidak hadir dan diwakilkan maka penerima kuasa tersebut memahami benar permasalahaan yang disengketakan. 5) Adanya kesepakatan metode penyelesaian, dengan maksud dalam pemilihan metode penyelesaian sengketa harus sesuai dengan keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa. 37
Pasal 40 ayat (1), Permendag R.I No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
6) Adanya ketepatan waktu mengenai putusan majelis, bahwa putusan BPSK dapat diputus sesuai ketentuan, dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja. 7) Majelis BPSK memahami Undangundang dan alternatif penyelesaian sengketa. 8) Para pihak yang bersengketa menerima dan melaksanakan putusan majelis dengan suka rela. 9) Keputusan yang menjadi kesepakatan para pihak tidak perlu berlanjut ke pengadilan, bahwa keputusan BPSK dengan metode mediasi dan konsiliasi ini para pihak tidak dapat mengajukan keberatan ke pengadilan, sehingga keputusannya bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa.
B. Faktor Penghambat 1) Sengketa yang masuk bukan merupakan kewenangan BPSK, yaitu pihak penggugat (konsumen) bukan konsumen akhir. 2) Tidak lengkap alat bukti ketika proses pemeriksaan sengketa, seperti tidak: adanya barang dan/ jasa, keterangan para pihak yang bersengketa, keterangan saksi dan/ saksi ahli, adanya surat atau dokumen, sehingga tidak dapat mempercepat proses pemerikasaan sengketa. 3) Para pihak tidak memenuhi panggilan BPSK selama proses penyelesaian sengketa. 4) Pihak yang mewakili atau penerima kuasa dari salah satu pihak yang bersengketa tidak memahami permasalahan yang disengketakan. 5) Tidak adanya kata kesepakatan, metode penyelesaian untuk menyelesaikan sengketa dari para pihak yang bersengketa, sehingga penyelesaian tidak dapat berjalan dengan baik. 6) Sudah dalam proses persidangan tetapi tidak segera mendapatkan putusan padahal waktu terbatas sesuai ketentuan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja. 87
7) Anggota BPSK terutama Majelis tidak menguasai pemasalahan dan / atau memahami sepenuhnya tentang Perlindungan Konsumen dan alternatif penyelesaian sengketa; 8) Salah satu pihak yang bersengketa tidak menerima keputusan majelis sehingga tidak menjalankan keputusan atas kesepakatan bersama yang telah dibuatnya (wanprestasi). 9) Proses hukum berlanjut ke peradilan umum dari Pengadilan Negeri sampai ke Mahkamah Agung sehingga memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang cukup besar.
C. Kekuatan Hukum dari Putusan BPSK dalam Contoh Kasus Inkonkrito Hilangnya Kartu ATM dari Mesin ATM serta Uang sebesar Rp.60.000.000,Berdasar permasalahan yang disengketakan tersebut diatas, maka Keputusan Majelis BPSK Kota Medan: 1. Mengabulkan gugatan Konsumen sebahagian; 2. Menyatakan adanya kerugian Konsumen sebesar Rp.60.000.000.-; 3. Menghukum / mewajibkan Pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut sebesar Rp.60.000.000,kepada Konsumen;Menolak gugatan Konsumen lain dan selebihnya. Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Jo. Pasal 42 ayat (1) SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 menentukaan bahwa Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat final dan mengikat. Pada penjelesan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditegaskan bahwa kata berisat final itu berarti tidak ada upaya banding dan kasasi. Namun ternyata Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenal pengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan kata “ dapat “ pada Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Pelindungan Konsumen (UUPK) ternyata ditafsirkan sebagai “wajib” pada Pasal 41 ayat (2) Kep.Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001.38 Menurut Pasal 41 ayat (2) Kep.Menperindag ini, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mestinya kata “dapat” di situ tidak dapat ditingkatkan menjadi “wajib”. Substansi Pasal 41 ayat (2) Kep.Menperindag ini melampaui ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Padahal, Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) itu sendiri sudah menentukan bahwa tidak diajukan keberatan oleh Pelaku usaha dalam jangka waktu yang telah ditetapkan UndangUndang, membawa pelaku usaha dianggap menerima putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Atas pengajuan keberatan dimaksud, Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu)39 hari sejak diterimanya keberatan (Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut, para pihak dapat menajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan (vonis) dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi (Pasal 58 ayat (3) 38
Pasal 14 ayat (2) Kep.Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan “dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan Pelaku Usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. 39 Kata “21 (dua puluh satu) pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), termasuk hari sabtu, minggu, dan hari libur nasional. Jadi tidak terbatas pada hari kerja saja.
88
Unang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dimungkinkanya upaya hukum banding, kasasi selanjutnya Peninjauan Kembali (PK) maka sebenarnya pembentukan Undang-Undang bersikap tidak konsisten. Penjelasan Pasal 54 ayat (3) tidak konsisten dengan rumusan-rumusan Pasal 58 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), kedanti demikian keadaan ini tidak boleh dijadikan alasan menunda pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPL). Pengadilan/hakim harus menunjuk sikap proaktifnya sebagai pembentukan hukum melalui metode penemuan hukum (ajaran interprestasi hermeneutic yuridis; metode yuridis)40 terhadap masalah ini, perlu dijelaskan mengikatnya ketentuan dalam Batang Tubuh suatu Undang-Undang karena normanya, sedangkan mengikatnya suatu penjelasan Undang-Undang adalah karena interprestasi otentiknya. Pasal 4 dan 2 Kep.Menprindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menegaskan bahwa penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Untuk mengajukan Penyelesaian Sengketa Konsumen ke Pengadilan Negeri tidak harus berproses terlebih dahulu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penegasan pada Kep.Mendag ini dapat membantu memberikan pemahaman soal upaya hukum, keberatan, banding, kasasi dan peninjauan kembali pada kasus sengketa konsumen yang diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) meskipun ditinjau dari hierarki (tataurutan) Perundang-undangan.41 Kep.Menperindag ini tidak memiliki kewenangan untuk 40
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar; Cetakan Pertama (Yogyakarta:Liberty, 1996), hlm.37-38.hlm.48 dan 55. 41 Tata urutan Peraturan Perundangundangan, yaitu : (1) UUD 1945: (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu); (3) Peraturan Pemerintah; (6) Peraturan Presiden; (7) Peraturan Daerah; (8) Peraturan Desa. Lihat: UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), (2),( 3),(4),dan ayat (5).
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
memberikan penjelasan materi undangundang kecuali dalam batas-batas kewenangan yang diberikan Undangundang. IV.
Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Medan dalam hal para pihak yang bersengketa sudah ada perjanjian / kesepakatan sebelumnya maka BPSK tetap menghormati perjanjian para pihak sebagai dasar dan atau pertimbangan dalam pengambilan keputusan Majelis. Proses dan mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK Kota Medan masih belum sesuai dengan kaidah-kaidah atau peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain waktu penyelesaian berbeda antara aturan dengan kenyataan, bahwa dalam Peraturan Perundang-undangan dan Keputusan Menteri Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK sebagaimana (Pasal 55 UUPK dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.359/MPP/Kep/12/2001). Sementara kasus inkonkrito Majelis BPSK Kota Medan baru mengeluarkan putusan Arbitrase Perkara No.5/PEN/BPSKMDN/2008, pada tanggal 12 Maret 2008, jadi Putusan BPSK Kota Medan sudah terlambat 8 (delapan) hari. 2. Faktor penghambat dilihat dari peran majelis yang bersifat pasif ketika menjadi konsiliator dan aktif ketika menjadi mediator atau arbitor dalam proses penyelesaian sengketa konsumen adalah sesuai dengan aturan pelaksanaan BPSK dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 89
yaitu Majelis BPSK sebagai konsiliator hanya menjawab pertanyaan pelaku usaha dan konsumen jika ada pertanyaan dari kedua belah pihak tentang peraturan dibidang perlindungan konsumen. Kondisi tersebut dapat menjadi penghambat dikarenakan ketidak aktifan para pihak yang bersengketa untuk bertanya, dan dapat menjadi pendukung apabila para pihak yang bersengketa dapat saling berkomunikasi. Sedangkan peranan mediator dan arbitor lebih aktif selama proses penyelesaian sengketa, seperti mendamaikan dengan memberi penjelasan, saran dan anjuran kepada para pihak. Sehingga mendukung terwujudnya perdamaian para pihak bersengketa, walaupun dalam arbitrase belum tentu selalu terjadi perdamaian karena kemudian para pihak melanjutkan dengan metode arbitrase. Menjadi penghambat juga karena majelis terlalu berperan sehingga kurang ada keaktifan pihak yang bersengketa dalam hal komunikasi antar para pihak yang bersengketa satu sama lain untuk metode mediasi dan konsiliasi. 3. Kekuatan hukum dari Keputusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) Kota Medan dalam kasus inkonkreto Nomor : 5/PEN/BPSK-MDN/2008, tanggal 12 Maret 2008 pada kenyataannya tumpul dikarenakan : a. Ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa “ Para pihak dapat mengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas ) hari kerja setelah menerima pemberitahuan Putusan BPSK ”, sedangkan kata “dapat” pada Pasal 56 ayat (2) UUPK ternyata tidak sinkron pada Pasal 41 ayat (2) pada Keputusan Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
yang ditafsirkan sebagai “wajib” yang menyatakan bahwa “ Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. Mestinya kata “dapat" tidak dapat ditingkatkan menjadi “wajib”. Substansi Pasal 41 ayat (2) Kep.Menperindag ini telah melampaui batas ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK. Dari kata “dapat” menjadi kata “wajib” hal ini memberikan dorongan moral para kepada pihak yang kalah harus mengunakan haknya meskipun perbuatannya tersebut sudah terbukti melanggar hukum namun karena ada kesempatan yang dapat digunakan untuk mengajukan keberatan putusan BPSK dalam upaya pembatalan putusan BPSK kepada Pengadilan Negeri (PN). b. Pihak yang kalah dimungkinkan melakukan upaya hukum Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), maka sebenarnya pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) bersikap tidak konsisten. Hal ini dapat tercermin pada kententuan Pasal 54 ayat (3) tidak konsisten dengan rumusan Pasal 58 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) c. Para hakim seharusnya mempunyai moralitas yang tinggi yang menunjukan sikap proaktif, dan profesional sebagai penemuan hukum, terhadap kasus konkreto ini semestinya para hakim di Pengadilan Negeri tidak terpengaruh dengan pihak yang berpengaruh / pihak yang besar / pihak yang berkuasa sehingga pertimbangan hukumnya dangkal, mengabaikan fakta 90
hukum dan tidak menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan yang berakibat mahal dan sulitnya sipencari keadilan tercermin dalam putusannya yang membatalkan putusan BPSK Kota Medan. d. Pada kenyataan dilapangan dalam kasus inkonkreto, pihak yang menang dalam kasus di bidang perlindungan konsumen, sulitnya dilakukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung meskipun sudah inkrah yang menguatkan putusan BPSK Kota Medan sehingga sampai dengan tesis ini selesai ditulis oleh penulis, belum ada realisasi pengembalian dana nasabah (konsumen) sebesar Rp.60.0000.000,- (Enam puluh juta rupiah) dari pihak PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Cabang Kuala Tanjung.
Berdasarkan hal di atas, maka perlu disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan memaksimalkan fungsinya. 2. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan harus berupaya meningkatkan kemampuan, wawasan, pengetahuan anggota BPSK Kota Medan. 3. Perlunya merevisi UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DAFTAR PUSTAKA
A. Buku A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet.III Jakarta : Diadit Media, 2007
Mercatoria Vol. 5 No. 2 Tahun 2012
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, cet.III Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000 H.Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Alternatif Peneyelesaian Sengketa suatu Pengantar, Jakarta: Fikahati Aneska dan BANI, 2002. Hans W. Micklitz, Rencana Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Mata Pakar Jerman,( Warta Konsumen Tahun XXIV No.12 Desember) Harahap Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi, cet. IV, Jakarta: Sinar Grafika, 1988 Hikmahanto Juwana, ”Urgensi Pengaturan Arbitrase Dalam Undang-undang Pasar Modal”, dalam Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, cet I, Jakarta:Lentera Hati, 2002 H. Salim HS; H. Abdullah; Wiwiek Wahyuningsih, cetakan kedua, November 2007, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2007, Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2006 H.M. Dharmabakti Nasution, Prosedure dan Mekanismen Penyelesian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Makalah BPSK Kota Medan), 2008 Kartini, Muljadi & Gunawan Widjaja,“Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian”, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008 Mertokusumo Sudikno, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986 Purba Deni, bahan Hukum Penyelesian Sengketa (ADR) pada kuliah klasikal, Medan : MIH-UMA, 2010. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, cet. VIII, Bandung: Mandar Maju, 1997 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,Jakarta: Grasindo, 2000 91