61
BAB III KEKUATAN MENGIKAT PUTUSAN BPSK DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Suatu pranata alternatif penyelesaian sengketa merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa dan sebagai konsekuensi dari kesepakatan pihak yang bersengketa tersebut, maka penyelesaiannya akan lebih bersifat sukarela dan tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya. Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui forum di luar pengadilan adalah bersifat final dan mengikat (final and binding) serta wajib ditaati oleh para pihak yang membuatnya. Perihal pelaksanaan dari hasil kesepakatan yang dilakukan di luar forum pengadilan tersebut, diperlukanlah suatu perintah eksekusi dari pengadilan yang memerintahkan kepada para pihak untuk melaksanakan isi dari hasil kesepakatan yang dibuat tersebut. 3.1. Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
Melalui
BPSK
Dan
Kekuatan
Mengikatnya. Penyelesaiaan sengketa konsumen sudah diatur didalam Pasal 45 ayat (1) UUPK yang menyebutkan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui 2 (dua) cara, yakni melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam hal ini BPSK atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum dalam hal ini
62
Pengadilan Negeri dengan cara mengajukan gugatan perdata, baik atas dasar Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum. Terhadap kekuatan mengikat putusan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen, pada prinsipnya diserahkan kepada pilihan para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya. 3.1.1. Konsep Kesepakatan Sebagai Undang-Undang Dalam Perspektif Hukum Perjanjian. Perjanjian yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen terjadi karena adanya kesepakatan, apabila dikaitkan dengan teori dalam perjanjian yang diungkapkan oleh Munir Fuady maka untuk menentukan kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi dapat digunakan sebagai suatu patokan untuk menentukan keterikatan seseorang pada perjanjian tertutup sehingga perjanjian dianggap telah mulai berlaku.54 Perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakaan sesuatu hal.55 Dari perjanjian tersebut maka timbulah perikatan.
54
Munir Fuady, 1999, Hukum Kontrak Dari Sudut Hukum Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 45 55 R. Subekti, 2002, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal 1
63
Perikatan menurut Subekti adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.56 Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, perjanjian atau verbintenis adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.57 Perjanjian dalam KUHPerdata terdapat pada Pasal 1313 yang disebutkan bahwa suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut pendapat ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan mentaati apa yang ada dalam persetujuan. Unsur dari wujud pengertian perjanjian tersebut di atas adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum harta kekayaan antara dua orang (person) atau lebih, yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kontrak dapat disamaartikan dengan perjanjian, hal mendasar perbedaan pengertian kontrak dan perjanjian, yaitu kontrak merupakan suatu perjanjian
56
57
Ibid M Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal 6
64
yang dibuat secara tertulis, sedangkan perjanjian merupakan semua bentuk hubungan antara dua pihak dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian tidak membedakan apakah perjanjian tersebut dibuat tertulis maupun tidak, sehingga kontrak dapat diartikan sebagai perjanjian secara sempit, yaitu hanya yang berbentuk tertulis. Hal ini memberikan arti bahwa kontrak dapat disamakan dengan perjanjian. Perjanjian terjadi antara kedua belah pihak yang saling berjanji, kemudian timbul kesepakatan yang mengakibatkan adanya suatu perikatan diantara kedua belah pihak tersebut Pengaturan mengenai perjanjian di Indonesia hanya mengatur pada perjanjian pada umumnya, hal tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan mengenai syarat sah suatu perjanjian yang mengikat para pihaknya. Suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif. Pemenuhan atas syarat tersebut berakibat pada perjanjian yang telah dibuat menjadi sah. Perjanjian juga mengikat bagi para pihak mengenai hak dan kewajibannya, sehingga pemenuhan syarat sahnya suatu perjanjian mutlak untuk dipenuhi. Hal ini kelak apabila dikemudian hari terjadi suatu permasalahan atau sengketa maka penyelesaiannya dapat didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Terkait dengan konsep kesepakatan dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK diserahkan kepada pilihan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai
65
kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mentaatinya. Hasil penyelesaian sengketa dengan cara mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak. Berbeda halnya jika para pihak memilih penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, dimana para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral yaitu BPSK dan memberinya wewenang untuk memberikan putusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa. Di dalam penjelasan Pasal 47 UUPK disebutkan bahwa kesepakatan yang terdapat dalam penyelesaian sengketa konsumen di BPSK diselenggarakan semata-mata untuk mencapai bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. 3.1.2. Kekuatan Mengikat Putusan BPSK Berkaitan Dengan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, asas kekuatan mengikat adalah terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa
66
yang diperjanjikan, akan tetapi juga beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.58 Asas kekuatan mengikat atau asas Pucta Sunt Servanda dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Isi pasal tersebut dapat menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian saja, bukan pihak lain yang tidak terkait dalam perjanjian tersebut. Dengan adanya perjanjian yang telah disepakati maka tidak ada alasan para pihak untuk tidak melakukan prestasi. Jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak melakukan kewajibannya, maka dapat menimbulkan kerugian di pihak lain dan hal tersebut disebut wanprestasi. Bila ketentuan asas tersebut diatas dihubungkan dengan kesepakatan yang termuat didalam ketentuan Pasal 52 butir (a) UUPK yang disebutkan bahwa, BPSK dalam melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, melalui 3 (tiga) cara alternatif penyelesaian sengketa yaitu konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Dalam hal ini konsumen dan pelaku usaha membuat kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen yang ada di BPSK tersebut, selanjutnya majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah disepakati dan para pihak wajib untuk mengikutinya.
58
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Hukum Perdata Buku III dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, hal 108
67
Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak. Putusan BPSK hanya memberikan kekuatan hukum bagi kesepakatan yang telah disetujui oleh para pihak untuk kemudian dipatuhi. Putusan yang dikeluarkan oleh BPSK berbentuk penetapan dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha. Jika para pihak sudah sepakat memilih salah satu mekanisme penyelesaian sengketa mengalami kegagalan dalam membuat kesepakatan, maka para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih. Penyelesaian selanjutnya hanya dapat dilanjutkan melalui badan peradilan umum, hal mana menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK tidak berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kepmen No. 350 / 2001. Berbeda halnya bila para pihak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase di BPSK, para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah mereka kepada BPSK dan memberinya wewenang untuk memberikan putusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa. Jika para pihak tidak menerima atas putusan yang telah dikeluarkan oleh BPSK, maka para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri
68
dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak putusan tersebut diucapkan oleh majelis BPSK. Konsep dasar penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase di BPSK mirip dengan proses di Pengadilan Negeri, dimana arbiter memberikan putusan yang menurutnya paling adil, dan putusan arbiter adalah mengikat sebagaimana putusan hakim karena BPSK adalah pilihan yang telah dipilih oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha. Perbedaan utamanya adalah bahwa arbiter bukanlah lembaga peradilan yang dimiliki Negara, melainkan orang-orang yang biasanya dipilih oleh para pihak yang bersengketa, atas dasar reputasi dan keahlian mereka. Jadi konsep dasar putusan arbitrase BPSK, mirip dengan putusan Pengadilan Negeri yaitu memiliki kekuatan memaksa, meskipun kedua belah pihak sama-sama tidak dapat menyetujuinya dan putusan arbitrase BPSK tidak memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 3.1.3. Kekuatan Mengikat Putusan BPSK Dalam Kasus-Kasus Sengketa Konsumen Di Indonesia Yang Diselesaikan Melalui BPSK. Sejak diberlakukannya UUPK, ada beberapa perkara sengketa konsumen yang secara konkrit telah diselesaikan oleh beberapa BPSK yang ada di Indonesia melalui putusannya terhadap pihak-pihak yang terlibat pada perkara sengketa konsumen yang bersangkutan antara lain: 1. Perkara sengketa konsumen Nomor 01 / BPSK / MDN / 2003 antara P. Silalahi melawan Pasar Swalayan Macan Yaohan Merak Jingga, Medan
69
yang telah diputus oleh BPSK Medan dengan cara Arbitrase pada tahun 2003.59 2. Perkara sengketa konsumen Nomor 18 / BPSK.Plg / II / 2003 antara Syamsurizon melawan PT. Coca Cola Distribution Indonesia yang telah diputus oleh BPSK Palembang yang juga melalui cara Arbitrase pada tahun 2003.60 3. Perkara sengketa konsumen Nomor 02 / P3K / BPSK / IV / 2003 antara Dadang Rukmana melawan PT. Telkom yang telah diselesaikan melalui BPSK Bandung melalui cara Mediasi pada tahun 2003.61 4. Perkara sengketa konsumen Nomor 03 / P3K / BPSK / IV / 2003 antara Didi melawan Mochamad Sidik, Direktur PT. Gunungjati Nusantara Abadi yang telah diselesaikan melalui BPSK Bandung melalui cara Perdamaian pada tahun 2003.62 5. Perkara sengketa konsumen Nomor 04 / P3K / BPSK/ IV/ 2003 antara Tomson Panjaitan, SH. melawan Rudi Sanjaya, Pemilik Toko Mas “Jelita” yang telah diselesaikan melalui BPSK Bandung melalui cara Konsiliasi pada tahun 2003.63 59
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan. Putusan Perkara antara P. Silalahi vs. Pasar Swalayan Macan Yaohan, 24 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No. 01/BPSK/ MDN/2003. 60 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Palembang. Putusan Perkara antara Syamsurizon vs. PT. Coca Cola Distribution Indonesia, 06 Februari 2003, Putusan BPSK Kota Medan No.18 /BPSK.Plg./2003. 61 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan antara Dadang Rukmana vs. PT. Telkom Indonesia Terbuka, 08 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 02/P3K/BPSK /IV/ 2003. 62 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Drs. Didi vs. Mochhamad Sidik, 02 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 03/P3K /BPSK/IV/2003. 63 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung. Putusan Perkara antara Tomson Panjaitan vs. Rudi Sanjaya, 1 Mei 2003, Putusan BPSK Kota Bandung No. 04 / P3K / BPSK / IV / 2003.
70
Dipilihnya kelima kasus-kasus tersebut diatas, karena memiliki beberapa keistimewaan. Perkara antara P. Silalahi melawan Pasar Swalayan Macan Yaohan Merak Jingga Medan dengan cara arbitrase adalah karena di dalam penyelesaian perkara ini BPSK bertindak sebagai Arbiter yang tentunya menarik untuk dikaji. Sementara untuk kasus antara Syamsurizon melawan PT. Coca Cola Distribution Indonesia alasannya adalah karena kasus ini melibatkan salah satu perusahaan minuman terkemuka di dunia yang tentunya sangat menarik untuk dikaji juga. Sebagaimana diketahui bersama bahwa dalam suatu penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK dapat ditempuh dengan 3 (tiga) cara, yaitu: Perdamaian, Mediasi dan Arbitrase, dan untuk kedua kasus tersebut diatas diselesaikan melalui mekanisme Arbitrase. Dalam kajian tentang kekuatan mengikat putusan BPSK Medan Nomor 01 / BPSK / MDN / 2003, akan dikaji dan dianalisis sengketa konsumen yang diputus oleh BPSK Medan dengan cara Arbitrase adalah perkara antara P. SILALAHI yang selanjutnya disebut sebagai Konsumen melawan Pasar Swalayan MACAN YAOHAN Merak Jingga Medan yang kemudian disebut sebagai Pelaku Usaha. Perkara ini bermula dengan adanya surat pengaduan dari P. Silalahi (Konsumen) pada tanggal 23 Januari 2003 yang pada pokoknya menyatakan bahwa selaku konsumen ia telah membeli makanan berupa biscuit dengan merk Sweet Home dalam bentuk parcel yang dibeli pada tanggal 4 Desember 2002, pukul 19.30 WIB di Pasar Swalayan Macan Yaohan Merak Jingga yang akan
71
dipergunakan untuk Tahun Baru 2003. Saat konsumen hendak membuka isi parcel tersebut dirumah, ternyata Konsumen menemukan tanda atau label daluarsa (exploit) salah satu biscuit dengan merk Sweet Home yang diproduksi oleh PT. Garuda Teladan telah tertutup dengan coretan berupa spidol warna hitam yang ditukar dengan tulisan atau label yang baru dan ditempelkan dengan merk yang sama dengan masa berlaku sampai tanggal 25 Desember 2004. Dengan
adanya
kejanggalan
tersebut,
maka
Konsumen
tidak
mau
mengkonsumsinya dan Konsumen meminta pertanggungjawaban langsung kepada Pelaku Usaha, namun Pelaku Usaha menyatakan tidak pernah menjual makanan (biscuit) yang daluarsa tersebut. Oleh karena Pelaku Usaha tetap menyatakan bahwa perusahaannya tidak menjual biscuit atau makanan daluarsa sebagaimana yang telah dibeli oleh Konsumen, maka Konsumen mengadukan permasalahannya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Medan. Berangkat dari kasus tersebut, konsumen memohon agar BPSK Kota Medan, menyelesaikan pengaduannya, yaitu dengan memerintahkan: 1. Agar pengusaha mengembalikan uang Konsumen sebesar biaya pembelian, yaitu Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) 2. Agar pengusaha ditegor untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. 3. Agar pengusaha memberikan ganti rugi berupa moril, yaitu membuat pernyataan maaf atas kesalahannya yang menjual makanan daluarsa pada media masa.
72
Selanjutnya, terhadap gugatan Konsumen tersebut Pelaku Usaha dalam eksepsinya mendalilkan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pelaku Usaha menolak seluruhnya gugatan Konsumen dengan alasan bahwa makanan (biscuit) yang dibeli bukanlah milik atau bukan dijual oleh Pelaku Usaha tersebut karena di dalam label makanan yang bersangkutan tidak ada tertulis atau dinyatakan bahwa makanan (biscuit) tersebut dibeli oleh Konsumen dari Pelaku Usaha. Pelaku Usaha juga menolak seluruhnya gugatan Konsumen dengan alasan-alasan barang yang dibeli konsumen bukanlah berdiri sendiri atau bukan terdiri dari biscuit kaleng saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang terdiri dari banyak makanan dan minuman dalam bentuk parcel, sedangkan yang digugat oleh Konsumen hanya satu jenis makanan saja. Pelaku Usaha menolak dan tidak mengakui bahwa makanan tersebut telah melampaui batas beredarnya atau daluarsa, karena pada label jelas tertulis bahwa Daluarsanya adalah tanggal 25 Desember 2004. Pelaku Usaha juga tidak mengetahui tentang adanya coretan lain dibawah label daluarsa pada makanan atau biscuit tersebut karena tidak pernah membukanya. Pelaku Usaha menyatakan bahwa label tersebut yang membuat bukanlah Pelaku Usaha Macan Yaohan Merak Jingga, melainkan adalah Distributor atau Pabriknya; Selanjutnya majelis BPSK mempertimbangkan mengenai dapat atau tidaknya Pelaku Usaha dimintakan pertanggung jawaban sebagaimana yang telah diterangkan diatas, Majelis BPSK memberikan pertimbangan bahwa walaupun Pelaku Usaha membantah gugatan Konsumen yang mengatakan bahwa Pelaku Usaha telah menjual makanan atau biscuit yang dimaksud kepada Konsumen,
73
tetapi berdasarkan bukti kwitansi pembayaran tertanggal 4 Desember 2002 dari Pasar Swalayan Macan Yaohan Merak Jingga yang terletak dijalan Gudang, Medan beserta keterangan 2 (dua) orang Saksi dari Konsumen yang mengatakan bahwa makanan tersebut dibeli dari Pelaku Usaha, maka terbuktilah bahwa makanan atau biscuit yang menjadi perkara sekarang ini adalah dijual oleh Pelaku Usaha Kepada Konsumen pada tanggal 4 Desember 2002 dengan harga Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah). Akan tetapi, selanjutnya Majelis BPSK berpendapat bahwa oleh karena belum dikonsumsinya makanan tersebut oleh Konsumen, maka makanan yang dijual oleh Pelaku Usaha pada tanggal 4 Desember 2002 kepada Konsumen belum dapat dikatakan daluarsa. Disamping itu pula perihal pelabelan kembali yang terdapat pada kemasan makanan termaksud, Majelis BPSK berpendapat bahwa hal tersebut dilakukan oleh “Produsen”, sedangkan Pelaku Usaha sama sekali tidak mengetahuinya. Atas putusan yang telah di keluarkan oleh majelis BPSK kota Medan tersebut diatas, baik Konsumen maupun Pelaku Usaha tidak melakukan upaya hukum berupa keberatan ke Pengadilan Negeri. Dari uraian kasus tersebut diatas, dapat dianalisa bahwa BPSK telah membedakan antara istilah “Produsen” dan “Pelaku Usaha”. Pihak Tergugat yaitu Pasar Swalayan Macan Yaohan yang menjual biscuit tersebut disebut sebagai “Pelaku Usaha”, sedangkan pembuat biscuit disebut sebagai “Produsen”. Sesungguhnya penafsiran dengan cara membedakan kedua istilah tersebut akan cenderung mengaburkan istilah “Pelaku Usaha” di masa yang akan datang karena
74
pada dasarnya UUPK memasukan “Produsen” sebagai bagian dari kelompok “Pelaku Usaha”.64 Penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK menyebutkan bahwa yang termasuk Pelaku Usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Dalam hal ini Pasar Swalayan Macan Yaohan termasuk Pelaku Usaha dalam kategori sebagai pedagang atau importir apabila memang sekiranya makanan (biscuit) dengan merk Sweet Home memang diimport dari luar negeri, sementara “Produsen” dari makanan itu sendiri dapat dikategorikan sebagai perusahaan atau korporasi yang mana keduanya adalah Pelaku Usaha dalam pengertian UUPK. Oleh karena itu, kurang tepatlah kiranya apabila di dalam perkara ini Majelis BPSK membedakan antara istilah “Pelaku Usaha” dengan “Produsen”. Dalam pertimbangannya Majelis BPSK mendasarkan kepada Pasal 8 butir (a) UUPK yang menyatakan bahwa Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Pasal 32 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang menyebutkan bahwa setiap orang dilarang mengganti, melebel kembali atau menukar tanggal, bulan dan tahun kedaluarsa pangan yang diedarkan. Lebih jauh lagi, berdasarkan Pasal 7 butir b UUPK menentukan bahwa Pelaku Usaha berkewajiban memberikan informasi yang jelas dan benar serta 64
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal 204
75
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan, sedangkan di dalam kasus ini Pelaku Usaha telah menjual makanan (biscuit) yang memiliki 2 (dua) label kedaluarsa yang dapat menimbulkan rasa curiga dan keragu-raguan bagi Konsumen sehingga dalam hal ini Majelis BPSK berpendapat bahwa Pelaku Usaha tidak memberikan informasi yang jelas, benar dan jujur tehadap Konsumen sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 7 butir b UUPK tersebut diatas. Atas dasar itulah, Majelis mengabulkan sebagian gugatan konsumen dengan mewajibkan Pelaku Usaha membayar ganti kerugian kepada Konsumen sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah), suatu jumlah yang jauh diatas harga produk itu sendiri, yaitu sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah). Sementara untuk tuntutan ganti rugi moril yang diajukan Konsumen Terhadap Pelaku Usaha berupa permohonan maaf yang dimuat di mass media, Majelis BPSK berpendapat bahwa hal semacam itu tidak diatur di dalam UUPK ataupun Peraturan lainnya yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, sehingga oleh karenanya haruslah ditolak. Pada dasarnya berdasarkan Pasal 54 ayat (3) UUPK setiap putusan Majelis BPSK Kota Medan ini bersifat final dan mengikat (final and binding) dan dalam rangka pelaksanaannya berdasarkan Pasal 57 UUPK, terhadap putusan BPSK tersebut dimintakan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri di tempat Konsumen yang dirugikan, dalam hal ini Pengadilan Negeri Medan. Akan
76
tetapi, berdasarkan Pasal 56 ayat (2) UUPK memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan upaya hukum “Keberatan” kepada Pengadilan Negeri Kota Medan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan putusan BPSK tersebut yang kemudian berdasarkan Pasal 58 ayat (2) UUPK masih dapat dilanjutkan dengan mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan dimungkinkannya untuk melakukan kedua upaya hukum terhadap Putusan BPSK ini, tampaknya pembuat undang-undang telah bersikap inkonsisten, dimana ketentuan yang terdapat pada Pasal 54 ayat (3) UUPK tidak sejalan dengan rumusan Pasal 58 UUPK. Tentunya hal ini sangatlah disayangkan karena ketentuan beracara yang seharusnya merupakan hukum formil atau “aturan main” (rule of the game) dalam rangka penegakan hukum materiil, tidak memenuhi asas kepastian hukum (legal certainity). Dari uraian kasus tersebut diatas, menunjukkan bahwa peran BPSK masih efektif dalam penyelesaian sengketa konsumen, dimana putusannya dapat diterima oleh para pihak secara sukarela tanpa mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri. Disamping contoh kasus tersebut diatas, selanjutnya akan dikaji lagi Putusan BPSK Kota Palembang Nomor 18 / BPSK.Plg / II / 2003 yaitu Perkara sengketa konsumen yang telah diputus dengan cara Arbitrase adalah perkara antara SYAMSURIZON yang kemudian disebut Konsumen melawan PT. COCA COLA DISTRIBUTION INDONESIA yang kemudian disebut sebagai Pelaku Usaha.
77
Perkara ini berawal pada hari Senin pada tanggal 6 Januari 2003, Syamsurizon (Konsumen) mengkonsumsi minuman teh botol merek Hi-C yang diproduksi oleh PT. Coca Cola yang telah bercampur dengan racun nyamuk padat bakar di Kantin Ibu Ayong, Samsat, Ditlantas Polda Sumsel, Jln. Kampus POM IX, Palembang. Sesaat setelah meminum teh botol tersebut Syamsurizon langsung mual-mual dan muntah-muntah, lalu kemudian ia pergi berobat ke Rumah Sakit RK Charitas Palembang bersama istrinya. Setelah itu, Konsumen menghubungi pihak Pelaku Usaha yang beralamat di Gedung PT. Bandha Graha Reksa, Jln. Mayor Zen Palembang dan Pelaku Usaha telah berupaya untuk membelikan obat dan mendatangi rumah Konsumen. Menurut Konsumen, staf Pelaku Usaha memberikan respon yang kurang simpatik, sehingga Konsumen membuat pengaduan ke POLTABES Palembang yang kemudian hal ini diberitakan oleh harian lokal Sriwijaya Post Palembang pada hari Rabu, tanggal 8 Januari 2003 dengan judul “Teh Botol Dicampur Obat Nyamuk”. Pada hari Rabu, tanggal 15 Februari 2003, Konsumen mengadukan kasusnya ke BPSK Kota Palembang. Berdasarkan pengaduan tersebut BPSK Kota Palembang mengadakan rapat dan berusaha mencari informasi secara lengkap, baik melalui Konsumen, kantin Ibu Ayong di Samsat maupun mendatangi Satserse Poltabes Palembang. Melalui surat panggilannya tanggal 20 Januari 2003, BPSK memanggil Pelaku Usaha, Ibu Ayong selaku pemilik kantin dan Konsumen untuk memberikan keterangannya dan pada tanggal 22 Januari 2003, Ketua BPSK Kota
78
Palembang membentuk Majelis yang dituangkan dalam Surat Keputusan No. 013/BPSK.Plg/I/2003, yang terdiri dari: 1. Drs. Rianum Syamsuddin yang mewakili unsur Pemerintah sebagai Ketua Majelis; 2. Hibzon Firdaus, SH. yang mewakili unsur Konsumen dan juga merupakan Ketua YLK Palembang; 3. Drs. H. Hassanuri AR yang mewakili unsur Pelaku Usaha; 4. Benny Irwan, SH yang berasal dari unsur konsumen dan juga merupakan Ketua YLK Sriwijaya; dan 5. Dra. Halimah Yasmin yang mewakili unsur Pelaku Usaha, yang masingmasing sebagai anggota Majelis serta pengangkatan Panitera untuk membantu tugas-tugas Majelis BPSK melalui keputusan No. 014/BPSK.Plg/I/2003, yaitu: Darwin Hasan, SE. MSi. Berdasarkan keputusan tersebut, BPSK Kota Palembang pada tanggal 23 Januari 2003 melakukan sidang ke-I, dimana dalam sidang ini masih dalam tahap mendengarkan keterangan masing-masing pihak, dimana pihak Pelaku Usaha yang dihadiri oleh staffnya sehingga belum dapat menunjukkan Surat Kuasa. Kemudian pada sidang ke-II, pihak Pelaku Usaha diwakili oleh saudara Hamro Simanjuntak, namun masih belum memiliki Surat Kuasa sehingga BPSK tidak dapat mengambil keputusan. Pada tanggal 03 Februari 2003 BPSK mengadakan sidang ke-III yang dihadiri oleh semua pihak, namun dalam sidang ke III ini pihak-pihak yang bersengketa belum dapat menemukan formula damai, dimana Konsumen
mengajukan
tuntutan
material
dan
inmaterial
sebesar
Rp.
79
100.000.000.- (seratus juta rupiah) dan pihak Pelaku Usaha merasa keberatan atas tuntutan tersebut. Oleh karena tidak ditemukannya jalan damai, secara lisan masing-masing pihak menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Majelis BPSK Kota
Palembang,
dengan
berdasarkan
hal-hal
yang
meringankan
dan
memberatkan serta berazaskan keadilan, kewajaran, logis dan dapat diterima kedua belah pihak. Pada tanggal 06 Februari 2003 BPSK mengadakan sidang ke-IV yang dihadiri oleh seluruh Anggota Majelis BPSK, Konsumen dan pihak Pelaku Usaha dihadiri oleh saudara Djachri Surachman (Senior Officer-National Consumer Response) dari Jakarta dan saudara Hallaj (Human Resources Manager PT. Coca Cola Distribution Indonesia – Southern Sumatera), dimana dalam sidang ini BPSK Kota Palembang melalui Majelis BPSK Kota Palembang mengeluarkan Putusan No.18/BPSK.Plg/II/2003 tentang Arbitrase, dengan amar putusan yang menyatakan PT. Coca Cola Distribution Indonesia, sebagai Produsen dan saudari Ayong sebagai pengusaha retail lalai sehingga mengakibatkan kerugian material dan inmaterial bagi Konsumen, dalam hal ini saudara Syamsurizon. Mewajibkan PT. Coca Cola Distribution Indonesia, membayar ganti rugi kepada konsumen, yaitu saudara Syamsurizon sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). Kemudian PT. Coca Cola Distribution Indonesia dan saudari Ayong dibebankan denda / sanksi Administratif sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk PT. Coca Cola Distribution Indonesia dan Saudari Ayong sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
80
Atas putusan yang telah di keluarkan oleh majelis BPSK kota Palembang tersebut diatas, baik Konsumen maupun Pelaku Usaha tidak melakukan upaya hukum berupa keberatan ke Pengadilan Negeri. Dari uraian kasus tersebut diatas, dapat dianalisa bahwa dalam kasus sengketa konsumen ini kembali BPSK, dalam hal ini BPSK Kota Palembang, telah kembali menjalankan perannya sebagai Arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa konsumen antara Syamsurizon selaku Konsumen melawan PT. Coca Cola Distribution Indonesia selaku Pelaku Usaha. Seperti halnya pada pembahasan kasus sebelumnya di dalam tesis ini yang diputus oleh BPSK Medan, yaitu perkara antara P. Silalahi melawan Pasar Swalayan Macan Yaohan Merak Jingga Medan, maka dalam sengketa antara Syamsurizon melawan PT. Coca Cola Distribution Indonesia, Majelis BPSK Kota Palembang dalam pertimbangannya berpendapat bahwa Pelaku Usaha telah melanggar Pasal Pasal 8 butir (a) UUPK yang menyatakan bahwa Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini Pasal 19 ayat (1) UUPK yang mewajibkan Pelaku Usaha untuk bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi akan kerusakan, pencemaran dan atau kerugian Konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Pada kasus ini Pelaku Usaha telah terbukti lalai dengan menjual satu botol minuman teh merk Hi-C hasil produksi Pelaku Usaha kepada Konsumen yang terdapat potongan racun nyamuk padat di dalamnya, sehingga oleh
81
karenanya berdasarkan Pasal 60 UUPK, Majelis BPSK Kota Palembang berpendapat bahwa Pelaku Usaha wajib dikenakan Sanksi Administratif, yaitu berupa ganti rugi sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada konsumen. Disamping itu pula mewajibkan saudari Ayong selaku pemilik kantin untuk membayar ganti rugi kepada Konsumen sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Apabila dilihat secara yuridis normatif (legal justice), Majelis BPSK telah memutuskan kasus ini dengan baik karena telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 60 ayat (2) UUPK, dimana penetapan ganti rugi yang dikenakan terhadap Pelaku Usaha paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Akan tetapi apabila kita melihat dari sisi keadilan lainnya, yaitu social justice dan moral justice, maka Putusan BPSK Kota Palembang tersebut belum dapat dikatakan memenuhi kedua sisi keadilan tersebut, mengingat terlalu kecilnya jumlah ganti rugi yang diterima oleh Konsumen, putusan BPSK semacam inilah yang memicu diajukannya upaya hukum keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dan kasasi ke Mahkamah Agung yang pada gilirannya akan menyebabkan bertambahnya tumpukan perkara di lembaga tertinggi peradilan tersebut. Dari uraian kasus tersebut diatas, terlepas dari jumlah ganti kerugian yang dijatuhkan oleh majelis BPSK kota Palembang, menunjukkan bahwa peran BPSK masih efektif dalam penyelesaian sengketa konsumen, dimana putusannya dapat diterima oleh para pihak secara sukarela tanpa mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri.
82
Disamping kedua perkara sengketa konsumen yang telah diuraikan diatas, masih terdapat beberapa kasus lainnya diantaranya perkara sengketa konsumen yang diselesaikan oleh BPSK Kota Bandung, seperti perkara sengketa konsumen antara Dadang Rukmana melawan PT. Telkom yang telah diselesaikan melalui BPSK Bandung melalui cara Mediasi pada tahun 2003 dalam perkara Nomor 02 / P3K / BPSK / IV / 2003. Dalam perkara ini telah terjadi kesepakatan diantara Penggugat dan Tergugat untuk mengakhiri sengketa diantara mereka dan dalam hal ini pihak Penggugat telah menerima jawaban pihak Tergugat dengan saran agar pihak Penggugat melakukan pengkajian terhadap sistem pencatatan atau perekaman pulsa, saran mana dapat diterima oleh Tergugat. Peran BPSK dalam menyelesaikan perkara ini adalah sebagai Mediator dan sebagaimana diketahui bersama bahwa di dalam suatu mediasi, pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator tidak berwenang untuk mengambil suatu keputusan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, maka masing-masing pihak yang telah mencapai usaha perdamaian tersebut wajib mematuhi isi dari perjanjian yang terdapat pada akta perdamaian tersebut. Dari uraian kasus tersebut diatas, menunjukkan bahwa peran BPSK masih efektif dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi, dimana hasil mediasi tersebut dapat diterima oleh para pihak secara sukarela. Selanjutnya, BPSK Kota Bandung menyelesaiakan perkara sengketa konsumen Nomor 03 / P3K / BPSK / IV / 2003 antara Didi melawan Mochamad Sidik, Direktur PT. Gunungjati Nusantara Abadi yang melalui cara Perdamaian pada tahun 2003. Dalam perkara ini pula telah tercapai persetujuan dan
83
kesepakatan diantara para pihak, dimana pihak Tergugat bersedia mengembalikan uang muka (down payment) yang telah diserahkan oleh Pihak Tergugat sejumlah Rp. 3.900.000,- (tiga juta sembilan ratus ribu rupiah) yang akan dibayarkan dalam 4 (empat) kali angsuran dengan perincian sebagai berikut: -
Angsuran I dibayarkan pada tanggal 9 Mei 2003 sebesar Rp. 900.000,(sembilan ratus ribu rupiah) di Kantor BPSK Kota Bandung, Jalan Labuan No. 23, Bandung.
-
Angsuran II, III dan IV akan dibayarkan setiap tanggal 9 mulai bulan Juni, Juli dan Agustus 2003 masing-masing angsuran sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) yang akan dilakukan di Kantor PT. Gunungjati Nusantara Abadi. Dalam perkara ini BPSK telah melakukan perannya sebagai juru damai
sehingga segala sesuatunya dalam perkara ini diserahkan kembali kepada para pihak dan oleh karenanya para pihak yang telah membuat kesepakatan tersebut demi hukum wajib memenuhi segala ketentuan yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1851 KUHPerdata yang dimaksud dengan perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, megakhiri suatu perkara.65 Meskipun salah satu pihak diwajibkan untuk menanggung ganti rugi, akan tetapi penyelesaian suatu sengketa secara damai merupakan jalan yang terbaik karena suatu sengketa yang terjadi di antara para pihak dalam masyarakat pastilah 65
Victor Situmorang, 1993, Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata, PT.Rineka Cipta, Jakarta, hal 3
84
akan menimbulkan ketegangan dan merubah kondisi tatanan masyarakat yang semula harmonis menjadi konflik sebagai konsekuensi dari persengketaan yang terjadi tersebut dan pada gilirannya akan menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian yang lebih banyak didasari oleh emosi daripada akal pikiran yang sehat. Disamping itu tentunya apabila dilihat dari segi biaya, waktu maupun tenaga menyelesaikan suatu sengketa melalui cara perdamaian akan jauh lebih murah apabila harus diselesaikan dengan suatu Putusan Pengadilan atau Hakim. Perkara sengketa konsumen lainnya yang telah diputus oleh BPSK Kota Bandung adalah perkara sengketa konsumen Nomor 04 / P3K / BPSK/ IV/ 2003 antara Tomson Panjaitan, SH. melawan Rudi Sanjaya, Pemilik Toko Mas “Jelita” yang telah diselesaikan melalui BPSK Bandung melalui cara Konsiliasi pada tahun 2003. Dalam perkara ini tidak tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak, akan tetapi BPSK Kota Bandung telah membebaskan Pelaku Usaha dari gugatan Konsumen dengan alasan bahwa tuntutan Penggugat yang terdapat di dalam gugatannya telah melampaui jangka waktu penuntutan, yaitu 4 (empat) tahun sejak barang yang bersangkutan dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan, dalam hal ini adalah masa garansi dari suatu barang sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 huruf e Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Terdapat satu hal yang menarik didalam pertimbangan putusan Majelis BPSK dalam memutuskan perkara Tomson Panjaitan, SH. melawan Rudi Sanjaya, Pemilik Toko Mas “Jelita” tesrebut diatas, yaitu mengenai lewatnya
85
“jangka waktu penuntutan” (daluwarsa) yang diberikan oleh UUPK kepada pihak Konsumen. Pada konstalasi hukum keperdataan nasional kita, aturan mengenai lembaga “Daluarsa” atau Verjaring ini dapat ditemukan di dalam KUHPerdata Buku ke-IV Tentang Pembuktian dan Daluarsa. Pasal 1946 KUHPerdata memberikan pengertian tentang daluarsa atau lewat waktu, yaitu suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang.66 Dalam praktek peradilan, daluarsa ini sangat penting peranannya, karena daluarsa dapat menjadi dasar ditolaknya suatu gugatan atau tuntutan yang diajukan oleh Penggugat atau dengan kata lain Tergugat dapat menggunakan alasan daluarsa guna mempertahankan haknya. Tampaknya hal ini pula yang telah diterapkan oleh BPSK Kota Bandung sebagai suatu lembaga yang bersifat quasi rechspraak dalam menyelesaikan perkara sengketa konsumen antara Tomson Panjaitan, SH. melawan Rudi Sanjaya, Pemilik Toko Mas “Jelita” tersebut diatas dengan menolak tuntutan Konsumen terhadap Pihak Pelaku Usaha dengan alasan telah lampaunya jangka waktu penuntutan sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 27 huruf e UUPK. Dalam Perkara ini, kembali BPSK telah menunjukkan peran lainnya dalam menyelesaikan suatu sengketa konsumen, yakni bertindak sebagai 66
Darwan Prinst, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 67
86
konsiliator dengan mengeluarkan putusan yang amarnya menolak gugatan Konsumen. Mengenai pelaksanaan suatu Putusan BPSK Kota Bandung ini, maka seperti telah diketahui bersama bahwa pada asasnya berdasarkan Pasal 54 ayat (3) UUPK setiap putusan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat (final and binding) dan dalam rangka pelaksanaannya berdasarkan Pasal 57 UUPK dimintakan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri di tempat Konsumen yang dirugikan, dalam hal ini Pengadilan Negeri Kota Bandung. Akan tetapi berdasarkan Pasal 56 ayat (2) UUPK, maka sebagai pihak yang dirugikan, apabila pihak Konsumen yang dalam hal ini adalah Tomson Panjaitan, SH. merasa tidak puas terhadap putusan Majelis BPSK Kota Bandung tersebut, pihak yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum “Keberatan” kepada Pengadilan Negeri setempat yang dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Kota Bandung, untuk kemudian yang terhadapnya masih dapat dilakukan lagi upaya hukum “Kasasi” kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dari uraian kasus tersebut diatas, menunjukkan bahwa peran BPSK masih efektif dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi, dimana putusannya dapat diterima oleh para pihak secara sukarela tanpa mengajukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri. 3.2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan Negeri Dan Kekuatan Mengikatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUPK yang menyebutkan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha baik melalui lembaga
87
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam hal ini lembaga BPSK atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum dalam hal ini Pengadilan Negeri. 3.2.1 Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan Negeri. Disamping BPSK, Penyelesaian sengketa konsumen dapat juga ditempuh melalui Pengadilan Negeri dengan cara mengajukan gugatan perdata, baik atas dasar Wanprestasi maupun Perbuatan Melawan Hukum (PMH), tergantung dari hubungan
hukum
antara
Konsumen
dengan
Pelaku
perbuatan
yang
merugikannya. Syarat utama bagi pihak yang ingin mengajukan gugatan adalah orang tersebut haruslah mempunyai kepentingan. Apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang dikenal dengan asas point d’interest, point d’action atau tiada gugatan tanpa kepentingan hukum. Selain itu, sesuai ketentuan dalam hukum acara perdata (HIR), dalam Pasal 123 yang menentukan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang bersangkutan, atau yang berkepentingan, dan bukan oleh orang lain. Seandainya gugatan diajukan oleh orang lain, maka harus ada surat kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri. Dalam hukum perdata, tuntutan hak dengan mengajukan gugatan dapat terjadi karena adanya perbuatan Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum atau adanya peristiwa lain sehingga merugikan pihak tertentu, oleh karenanya gugatan hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan bilamana ada hubungan hukum.
88
HIR tidak mengatur dengan tegas syarat-syarat dan bentuk suatu gugatan, tetapi untuk tercapainya maksud dari suatu gugatan, di samping adanya alasan hukum yang kuat serta kebenaran, adanya tuntutan metode penyampaian serta susunan surat gugatan sangat penting untuk menentukan diterima atau ditolaknya gugatan. Secara umum beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Negeri adalah mengenai uraian duduk perkara atau posita yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar dan alasan diajukannya tuntutan hak, selanjutnya tuntutan/petitum yang merupakan kesimpulan gugatan berupa tuntutan-tuntutan yang dimohonkan oleh Penggugat. Petitum dapat terdiri dari Tuntutan Pokok dan Tuntutan Tambahan. Apabila
peristiwa-peristiwa
hukum
yang
diuraikan
pada
posita
bertentangan dengan apa yang dimohon dalam petitum akan menyebabkan surat gugatan menjadi kabur dan tidak jelas sehingga gugatan tidak dapat diteirma oleh Pengadilan. Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut dapat diajukan Banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung dan upaya hukum yang terakhir adalah Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. 3.2.2 Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan Negeri Dalam Kasus-Kasus Sengketa Konsumen Di Indonesia Yang Diselesaikan Melalui Pengadilan Negeri. Disamping kelima kasus-kasus sengketa konsumen yang telah diuraikan diatas yang diselesaikan oleh BPSK, melalui kajian penelitian ini juga
89
dikemukakan beberapa perkara sengketa konsumen yang secara konkrit telah diselesaikan oleh beberapa Pengadilan Negeri yang ada di Indonesia melalui putusannya terhadap pihak-pihak yang terlibat pada perkara sengketa konsumen yang bersangkutan antara lain: 1.
Gugatan perdata biasa (konvensional) yaitu perkara antara Leo Junatan dan isterinya, Ny.Trianawati selaku para Penggugat melawan produsen mobil merek BMW, yaitu BMW AG (Tergugat I), BMW Group Indonesia (Tergugat II) dan PT. Astra Internasional Tbk (Tergugat III) yang diajukan melalui gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 11 Oktober 2002 dan terdaftar dalam perkara No. 385/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.67 Alasan utama gugatan para Penggugat adalah karena selaku Konsumen pengguna mobil BMW yang dibeli dari Tergugat III, ternyata Penggugat terkunci dalam mobil dan tidak dapat dibuka karena seluruh system elektroniknya mati. Akibat terkunci dalam mobil Penggugat hampir mati lemas dan terpaksa menghancurkan kaca yang menyebabkan luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit. Oleh karenanya penggugat meminta pertanggung jawaban para tergugat untuk memberi pertanggung jawaban produk (product responsibility). Majelis Hakim dalam putusannya tanggal 30 Juli 2003, telah memutuskan bahwa gugatan para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima karena berdasarkan Pasal 23 UUPK, gugatan seharusnya diajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen, dalam hal ini Pengadilan Negeri 67
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara Leo Junatan, dkk vs. BMW AG. dkk, 30 Juli 2003, Putusan PN JakPus. No. 385/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst.
90
Jakarta Utara, karena penggugat selaku konsumen berdomisili di wilayah Jakarta Utara.68 2.
Gugatan class action sebelum UUPK ada ketika pada tanggal 30 April 1997, yaitu perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), selaku pengguna (konsumen) tenaga listrik yang selain bertindak untuk dirinya sendiri, juga sekaligus mewakili masyarakat konsumen listrik lainnya sebagai penggugat, mengajukan gugatan terhadap PT. PLN (Persero) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan terdaftar di bawah Register Nomor 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel. Alasan gugatan adalah karena penggugat menjadi korban dan mengalami kerugian karena padamnya aliran tenaga listrik di sebagian besar Jawa – Bali pada tanggal 13 April 1997. Gugatan class action tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya tanggal 15 Januari 1998. Pertimbangan Majelis Hakim, antara lain karena saat gugatan diajukan Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen, yang menyatakan bahwa suatu organisasi atau kelompok organisasi dapat mengatas-namakan kepentingan umum/orang banyak, mengajukan gugatan class action di pengadilan mewakili konsumen.69 Terhadap Putusan tersebut penggugat telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, akan tetapi Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam Putusannya Nomor 221/Pdt/1998/PT.DKI pada tanggal 21 68
Inosentius Samsul, Op.Cit., hal 209 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 15 Januari 1998, Putusan PN Jaksel No. 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel. 69
91
Juli 1998, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 134/Pdt.G/1997/PN.Jak.Sel.70 Terhadap putusan tersebut diatas, baik pihak penggugat maupun pihak tergugat tidak mengajukan upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. 3.
Gugatan class action setelah UUPK ada ketika pada tanggal 15 Desember 2000, yaitu perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo dan kawankawan yang merupakan konsumen Elpiji (LPG) selain bertindak untuk dirinya sendiri juga sekaligus mewakili konsumen LPG lainnya di Jabotabek sebagai Penggugat yang mengalami kerugian karena dinaikkannya harga jual LPG sebesar 40% berdasarkan SK No. Kpts-097/C0000/2000-S3 tanggal 2 November 2000, mengajukan gugatan terhadap perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi negara (Pertamina) sebagai Tergugat I dan Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina sebagai Tergugat II di Pengadilan Negeri
Jakarta
Pusat
terdaftar
di
bawah
Register
Perkara
No.:550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.71 Alasan utama gugatan adalah karena tergugat I tanpa pemberitahuan sebelumnya baik lisan maupun tertulis dan tanpa proses sosialisasi serta tanpa melibatkan para penggugat berikut konsumen Gas Elpiji (LPG) lainnya telah secara sepihak berdasarkan SK No.: Kpts/097/C0000-2003-S3 tanggal 2 70 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Putusan Perkara antara YLKI vs. PT. PLN (Persero), 21 Juli 1998, Putusan PT DKI Jakarta No. Nomor 221/Pdt/1998/PT. DKI. 71 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Putusan Perkara antara RM Waskito Adiri Wibowo vs. Pertamina, 09 Oktober 2001, Putusan PN Jakpus No. 550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pst.
92
November 2000, setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan dari Tergugat II dalam suratnya No. 47/K/DKPP/2000 telah menaikkan harga jual Gas Elpiji (LPG) sebesar 40% dari harga jual lama Rp. 1.500/Kg sehingga terhitung sejak tanggal 3 November 2000 harga jual gas Elpiji menjadi Rp. 2.100/Kg. Setelah melalui proses persidangan yang panjang dengan memeriksa saksi-saksi ahli yang diajukan para pihak dan bukti-bukti, Majelis Hakim menilai bahwa Tergugat I dan Tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum
karena
kenaikan
harga
jual
beli
Elpiji
tersebut
haruslah
disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat, khususnya konsumen karena konsumen mempunyai hak-hak dasar tertentu, terlepas dari kaya, miskin ataupun status sosialnya. Hak-hak dasar itu, antara lain: hak untuk memilih dan hak untuk didengar, sebagaimana Guidelines for Consumer Protection of 1985 yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Berdasarkan hal tersebut Majelis Hakim memberi putusan yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:72 - Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk sebagian; - Menetapkan Para Penggugat bertindak dan berkedudukan hukum untuk mewakili kepentingan hukum masyarakat konsumen elpiji di Jabotabek; - Menerima gugatan masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh Para Penggugat;
72
Ibid.
93
- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum; - Menyatakan Surat Keputusan tanggal 2 November 2000 No. Kpts097/C0000/2003-S3 adalah tidak sah dan cacat hukum; - Memerintahkan Tergugat I untuk mencabut Surat Keputusan tanggal 2 November 2000 No. Kpts-097/C0000/2000-S3; - Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi kepada Para Penggugat masing-masing sebesar Rp. 144.000,- per bulannya hingga adanya putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap; - Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat konsumen elpiji yang diwakili oleh Para Penggugat masingmasing sebesar
Rp. 16.000,- per bulannya hinggga adanya putusan
Hakim yang berkekuatan hukum tetap; - Memerintahkan pembentukan Komisi Pembayaran Ganti Rugi yang anggotanya terdiri dari 3 (tiga) orang wakil dari Para Penggugat dalam perkara ini, dan 2 (dua) orang wakil dari Tergugat I yang mekanisme tugasnya adalah sebagai berikut: - Komisi dalam waktu sekurang-kurangnya 7 hari kerja, Komisi harus sudah melakukan pemberitahuan kepada para anggota kelompok (class member) untuk mendaftarkan diri membawa bukti-bukti tersebut, selama paling lambat 30 hari kerja. Setelah itu komisi menjumlahkan seluruh para anggota kelompok (class member) yang telah diverifikasi dan
94
memerintahkan Tergugat untuk melakukan pembayaran ganti rugi selambat-lambatnya selama 14 hari kerja setelah diajukan oleh Komisi; - Menolak gugatan selain dan selebihnya; Pihak Tergugat I dan tergugat II mengajukan Banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam perkara Nomor 94/Pdt/2002/PT.DKI pada tanggal 4 Juni 2002 menerima permohonan banding dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Alasan pertimbangan Majelis Hakim Banding adalah karena pokok gugatan adalah dasar kenaikan elpiji berdasarkan adanya 2 (dua) surat keputusan yang dikeluarkan oleh Tergugat I dan Tergugat II masing-masing Surat Keputusan No. Kpts-097/C0000/2002-S3 tanggal 2 November 2000, dan surat Nomor 47/K/DKPP/2000, dan mengingat Tergugat I adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tunduk pada Peradilan Tata Usaha Negara, maka kewenangan mengadili perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta.73 4.
Gugatan Legal Standing dalam kasus “menanggulangi masalah merokok”, dimana yang berkedudukan sebagai para penggugat adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Kanker Indonesia melawan PT Djarum Kudus Tbk, PT HM. Sampoerna., PT Perada Swara Production, PT Citra Lintas Indonesia, PT Metro Perdana Indonesia 73
Ibid.
95
Advertising, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), PT Surya Citra Televisi (SCTV), PT Jurnalindo Aksara Grafika, PT Era Media Informasi, selaku para tergugat.74 Para penggugat menilai bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja dan bertentangan dengan undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah, kepatutan, kesusilaan, dan memohon kepada hakim agar menyatakan para penggugat sah secara hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat didalam penanggulangan bahaya rokok di Indonesia, dan menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh para tergugat yang dimaksudkan oleh para penggugat adalah: a. Melanggar Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 1999 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Dalam penjelasan Pasal 17 Ayat (2) menentukan bahwa: Iklan rokok pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada jam 21.30 sampai dengan jam 05.00 waktu setempat. b. Melanggar tata krama dan tata cara periklanan Indonesia yang disempurnakan Komisi Periklanan Indonesia (KPI), yang menentukan
74
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan , Putusan Perkara antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dkk vs PT Djarum Kudus Tbk.dkk, 22 Oktober 2002, No. 278/Pdt/G/2002/PN.Jak-Sel
96
bahwa iklan rokok tidak boleh mempengaruhi dan merangsang orang untuk merokok. c. Melanggar Pasal 17 ayat (1) UUPK, yang menentukan bahwa “pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. d. Melanggar Undang-Undang No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran, yang dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c menentukan bahwa “siaran iklan niaga dilarang memuat iklan minuman keras dan sejenisnya, bahan/zat adiktif serta iklan yang menggambarkan penggunaan rokok”. e. Melanggar Pasal 13 huruf c UU. No. 40 Tahun 1999, perusahaan pers dilarang memuat iklan peragaan wujud rokok dan/atau penggunaan rokok f. Tindakan para tergugat juga bertentangan dengan prinsip ketelitian, kepatutan dan kehati-hatian. Dalam kasus tersebut hakim mengakui keberadaan dari semua penggugat dapat mengajukan gugatan legal standing walaupun belum terdaftar. Majelis hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian dan menyatakan bahwa para penggugat sah secara hukum untuk mewakili kepentingan masyarakat di dalam penanggulangan bahaya merokok di Indonesia. Dalam hal ini hakim mengakui keberadaan penggugat berdasarkan kenyataan bahwa kegiatan para penggugat adalah berkaitan dengan kepentingan konsumen. Dari uraian keempat perkara sengketa konsumen tersebut diatas yang telah diputus oleh beberapa Pengadilan Negeri melalui gugatan perdata biasa,
97
gugatan perwakilan kelompok (class action) dan gugatan legal standing sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu 14 (empat belas) hari sejak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak, selanjutnya para pihak tidak mengajukan upaya hukum berupa banding ke Pengadilan Tinggi. Sehingga putusan majelis hakim Pengadilan Negeri tersebut sudah berkekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. 3.3. Komparasi Putusan BPSK Dan Putusan Pengadilan Negeri Berkaitan Dengan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Putusan Majelis BPSK dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis putusan, yaitu: 1)
Putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi
Putusan dengan cara konsiliasi atau mediasi pada dasarnya hanya mengukuhkan isi perjanjian perdamaian, yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa. 2)
Putusan BPSK dengan cara arbitrase
Putusan BPSK dengan cara arbitrase seperti halnya putusan perkara perdata, memuat duduknya perkara dan pertimbangan hukumnya.75 Sama halnya dalam sidang di Pengadilan Negeri, dalam sidang arbitrase di BPSK juga terlebih dahulu diusahakan perdamaian antara kedua belah pihak oleh para arbiter. Jika usaha perdamaian ini berhasil, dalam arti para pihak mau berdamai didepan arbitrase, maka majelis arbitrase akan membuat suatu akta perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk mematuhi isi perdamaian tersebut. Jika perdamaian tersebut tidak berhasil dicapai oleh para pihak, maka 75
Aman Sinaga, 2004, Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah, hal 6
98
majelis arbitrase akan meneruskan pemeriksaan terhadap materi sengketa tersebut. Berdasarkan Pasal 39 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa putusan majelis BPSK sedapat mungkin didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika telah diusahakan sungguh-sungguh ternyata tidak berhasil kata mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak (voting). Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha, selanjutnya dikuatkan dengan putusan BPSK. Hal ini sama dengan dasar putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri dalam pengambilan putusan yang mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat. Bila dilihat dari sistematika putusan hakim di pengadilan negeri yang terdiri atas 5 (lima) bagian, yaitu kepala putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, amar putusan dan penutup putusan. Kepala putusan terdiri atas judul dan nomor putusan serta titel eksekutorial. Berbeda halnya dengan putusan arbitrase BPSK yang tidak memuat title eksekutorial yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ditulis ditengah halaman pertama dengan huruf kapital. Titel eksekutorial merupakan salah satu kunci agar putusan dapat dieksekusi. Tanpa titel eksekutorial maka putusan tidak dapat dieksekusi.76 Menurut Pasal 37 ayat (5) Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa keputusan majelis dalam konsiliasi dan mediasi tidak memuat sanksi administratif, sedangkan hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara 76
Hasan Bisri, 2008, Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor, hal 2
99
arbitrase dibuat dengan putusan majelis yang ditandatangani oleh ketua dan anggota majelis. Keputusan majelis dalam arbitrase dapat memuat sanksi administratif. Putusan BPSK dapat berupa: 1) Perdamaian, 2) Gugatan ditolak, atau 3) Gugatan dikabulkan. Bila dibandingkan dengan putusan Pengadilan Negeri dari segi isinya, maka putusan hakim Pengadilan Negeri dapat di bedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu hakim menolak gugatan, atau hakim mengabulkan gugatan, atau hakim tidak menerima gugatan. 1) Gugatan dikabulkan Putusan hakim akan mengabulkan gugatan penggugat apabila dalam persidangan ternyata penggugat dapat membuktikan dalil-dalil yang diajukannya dan gugatan tersebut sesuai dengan hukum dan rasa keadilan. 2) Gugatan ditolak Hakim akan menjatuhkan putusan menolak gugatan apabila dalam persidangan ternyata penggugat tidak dapat membuktikan gugatannya. 3) Gugatan tidak diterima (niet onvankelijk verklaard/NO) Hakim akan menjatuhkan putusan tidak menerima gugatan apabila terdapat cacat formal dalam gugatan. Perbedaan pokok antara gugatan ditolak dengan gugatan tidak diterima adalah dalam gugatan tidak
100
diterima, hakim sama sekali tidak mengadili pokok perkara. Sedangkan dalam gugatan ditolak, hakim telah mengadili pokok perkara. Menurut
Pasal
19
ayat
(1)
UUPK
berbunyi
pelaku
usaha
bertanggungjawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran akibat mengkonsumsi barang yang diperdagangkan, dan/atau kerugian konsumen atas jasa yang dihasilkan. Manakala gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, dapat berupa pemenuhan: 1) Menurut Pasal 19 ayat (2) UUPK, ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam putusan bentuk ganti kerugian tersebut dapat berupa: a. Pengembalian uang atau atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan. b. Pemberian santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. c. Ganti kerugian tersebut dapat pula ditujukan sebagai penggantian kerugian terhadap keuntungan yang akan diperoleh apabila tidak terjadi kecelakaan, atau kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita, dan sebagainya. 2) Berdasarkan Pasal 40 Kepmen No. 350/2001, ditentukan bahwa sanksi administratif
berupa
penetapan
ganti
Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
kerugian
paling
banyak
101
Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, sanksi administratif dapat dibebankan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap:77 1) Tidak dilaksanakannya pemberian ganti kerugian oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen. 2) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan. 3) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketentuan ini berlaku baik terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 19 ayat (4) UUPK bahwa gugatan ganti kerugian secara perdata, tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan dari pelaku usaha. Ganti kerugian yang dapat digugat oleh konsumen maupun yang dapat dikabulkan oleh majelis BPSK adalah ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami oleh konsumen. UUPK tidak mengenal gugatan inmateriil, yaitu gugatan ganti kerugian atas hilangnya kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, kenikmatan, nama baik dan sebagainya. Oleh sebab itu, majelis BPSK dilarang mengabulkan gugatan inmateriil yang diajukan oleh konsumen.78 Sebaliknya dalam upaya 77 78
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hal 84 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hal 121
102
melindungi konsumen, UUPK memberi wewenang kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk dibayarkan kepada konsumen. Ganti kerugian berupa sanksi administratif adalah berbeda dengan ganti kerugian yang nyata/riil yang dialami konsumen yang digugat melalui BPSK. Majelis BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian yang nyata, yang dialami konsumen juga berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif tersebut. Besarnya ganti kerugian tersebut tergantung pada nilai kerugian konsumen akibat memakai, menggunakan, atau memanfaatkan barang dan/atau jasa produsen atau pelaku usaha. Perlu diperhatikan bahwa sesuai dengan ketentuan Kepmen No.350/2001, BPSK berwenang menjatuhkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif kepada pelaku usaha jika penyelesaian sengketanya dilakukan dengan cara arbitrase saja. Hal ini dapat dimengerti karena putusan BPSK dengan cara konsiliasi atau mediasi semata-mata dijatuhkan berdasarkan surat perjanjian perdamaian yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif tidak diperlukan sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Kepmen No.350/2001. Menurut Pasal 38 Kepmen No. 350/2001 disebutkan majelis wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima BPSK. Setelah putusan BPSK diberitahukan, selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari kerja sejak putusan
103
dibacakan, konsumen dan atau pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK. Apabila konsumen dan atau pelaku usaha menolak putusan BPSK, maka mereka dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambatlambatnya dalam waktu 14 hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan. Sebaliknya apabila konsumen dan pelaku usaha menerima putusan BPSK, maka pelaku usaha wajib menjalankan putusan tersebut selambatlambatnya dalam waktu 7 hari sejak menyatakan menerima putusan tersebut. Putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha, dimintakan penetapan fiat eksekusinya kepada Pengadilan Negeri ditempat tinggal konsumen yang dirugikan. Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan setelah melampaui batas waktu untuk menjalankan putusan, maka dianggap menerima putusan. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) sampai ayat (6) Kepmen No. 350/2001, disebutkan bahwa apabila selambat-lambatnya 5 hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui, pelaku usaha tidak menjalankan kewajiban sebagaimana tertuang dalam putusan BPSK, maka BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan berlaku. Mengacu pada ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK maupun Pasal 42 ayat (1) Kepmen No. 350/2001 tersebut, putusan BPSK adalah final dan mengikat, dan tidak dimungkinkan lagi untuk mengajukan banding atau keberatan. Sebaliknya, dalam Pasal 56 ayat (2) UUPK, masih dibuka peluang untuk mengajukan
104
keberatan kepada Pengadilan Negeri, dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan BPSK diberitahukan. Permasalahan timbul karena UUPK tidak menegaskan secara limitatif luas lingkup adanya keberatan terhadap putusan BPSK. Memperhatikan praktik peradilan saat ini, implementasi intrumen hukum keberatan masih membingungkan dan menimbulkan berbagai persepsi, terutama para hakim, manakala tidak ada panduan yang jelas dan konsisten, terhadap penafsiran maksud suatu undang-undang, apalagi jika pedoman untuk melaksanakan undang-undang tersebut tidak tersedia di pengadilan. Oleh karena itu, timbul disparitas putusan terhadap suatu sengketa konsumen yang pada dasarnya merupakan suatu upaya keberatan terhadap putusan BPSK, yang mengakibatkan pada dewasa ini, dalam implementasinya tidak ada konsistensi dan kesatuan pendapat dari berbagai putusan pengadilan. Berikut ini ditampilkan tabel komparasi perbedaan putusan BPSK dan putusan Pengadilan Negeri (PN) berkaitan penyelesaian sengketa konsumen: No 1.
Bidang-Bidang Yang Di Komparasi Sanksi Administratif
2.
Gugatan Inmateriil
3.
Titel Eksekutorial Putusan
Putusan PN
Putusan BPSK
PN tidak mengenal sanksi administratif. Majelis Hakim tidak dapat mengabulkan gugatan administratif PN mengenal gugatan inmateriil. Majelis hakim dapat mengabulkan gugatan inmateriil PN
memakai
BPSK mengenal sanksi administratif. Majelis BPSK dapat mengabulkan gugatan administratif BPSK tidak mengenal gugatan inmateriil. Majelis BPSK tidak dapat mengabulkan gugatan inmateriil titel BPSK tidak
105
eksekutorial dalam bentuk irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME”. Bentuk Putusan dari segi isinya Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan Gugatan tidak diterima. Majelis yang menyidangkan. Majelis Hakim berasal dari hakim PN yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri. Para pihak tidak dapat memilih hakim yang menyidangkan.
4.
5.
memakai titel eksekutorial dalam bentuk irah-irah.
BPSK tidak dapat menjatuhkan putusan Gugatan tidak diterima. Majelis BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur (Unsur Pemerintah, Pelaku Usaha dan Konsumen). Para pihak dapat memilih anggota majelis BPSK.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh penulis
Berikut ini ditampilkan tabel komparasi persamaan putusan BPSK dan putusan Pengadilan Negeri (PN) berkaitan dengan penyelesaian sengketa konsumen: No 1.
2. 3. 4.
5
Bidang-Bidang Yang Di Komparasi Persidangan Pendahuluan
Putusan PN
Sebelum sidang I, didahului dengan perdamaian. Jangka waktu upaya hukum 14 (empat belas) hari Jangka waktu penyelesaian 21 (dua puluh satu sengketa kerja) Bentuk Putusan dari segi isinya Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan Perdamaian atau Gugatan ditolak atau Gugatan dikabulkan. Majelis yang menyidangkan. Jumlah anggota Majelis Hakim PN yang menyidangkan
Putusan BPSK Sebelum sidang I, didahului dengan perdamaian. 14 (empat belas) hari 21 (dua puluh satu kerja) BPSK dapat menjatuhkan putusan Perdamaian atau Gugatan ditolak atau Gugatan dikabulkan Jumlah anggota Majelis BPSK yang menyidang harus
106
6.
Sistematika Putusan
harus ganjil dan paling sedikit 3 (tiga) orang 1. Kepala Putusan (memuat judul, nomor putusan dan titel eksekutorial) 2. Duduk Perkara 3. Pertimbangan Hukum 4. Amar Putusan 5. Penutup Putusan
Sumber: Diolah dari berbagai sumber oleh penulis
ganjil dan paling sedikit 3 (tiga) orang 1. Kepala Putusan (hanya memuat judul dan nomor putusan saja) 2. Duduk Perkara 3. Pertimbangan Hukum 4. Amar Putusan 5. Penutup Putusan