BAB VI STRATEGI NAFKAH PEDAGANG MAKANAN Usaha berdagang makanan merupakan sektor informal yang selalu dinamis, yang penghasilannya tidak menentu dan siapa saja bisa memasuki sektor tersebut. Hart (1985) menyatakan bahwa pendapatan pada sektor informal didasarkan pada usaha sendiri bukan berdasarkan gaji. Usaha berdagang makanan ini dilakukan dengan memanfaatkan sumber-sumber nafkah. Sumber-sumber nafkah ini menjadi basis nafkah dalam membangun strategi nafkah. Dharmawan (2007) menyatakan bahwa basis nafkah adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian, di mana setiap individu atau rumah tangga dapat memanfaatkan peluang nafkah dengan “memainkan” kombinasi “modal-keras” (tanah, finansial, dan fisik) dan “modal-lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan sumber daya manusia (SDM) yang tersedia, untuk menghasilkan sejumlah strategi-penghidupan (livelihoods strategies). Pada usaha berdagang makanan yang memiliki pendapatan yang tidak menentu dan basis nafkah terbatas mengakibatkan pedagang makanan melakukan strategi nafkah. Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Kemudian dalam penelitian Iqbal (2004) menjelaskan bahwa strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa individu atau rumah tangga. Untuk menjelaskan strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan, maka subbab berikut ini menjelaskan secara rinci sistem penghidupan rumah tangga pedagang makanan. Setelah penjelasan sistem penghidupan rumah tangga pedagang makanan, maka disusul dengan penjelasan strategi-strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan. Sistem Penghidupan Rumah Tangga Pedagang Makanan Sistem Usaha Berdagang Makanan Berdasarkan observasi usaha berdagang makanan di Jalan Babakan, menunjukkan bahwa pengelolaan usaha berdagang makanan dengan manajemen usaha yang sederhana dengan cara tradisional. Usaha berdagang makanan ini juga belum terakomodir secara teratur sehingga banyak pedagang makanan yang berdagang di pinggir jalan, trotoar dan bangunan-bangunan yang berada di permukinan padat penduduk. Usaha berdagang makanan yang bertempat di trotoar dan pinggir jalan pada umumnya menjalankan usaha berdagang dengan menggunakan gerobak atau tenda, bertempat di public area seperti trotoar dan pinggir jalan, dan menggunakan air sumur dalam ember. Sementara itu, usaha berdagang yang berada di permukiman padat penduduk pada umumnya menjalankan usaha berdagang di bangunan tembok permanen melalui sewa atau bangunan milik sendiri yang bangunannya bergabung dengan bangunan rumah
50 tempat tinggal. Berikut ini terdapat tabel matriks yang menjelaskan lokasi, teknologi, pengadaan bahan baku dan resiko berdagang yang dialami oleh contoh kasus dari responden. Tabel 12. Matriks perbedaan sistem usaha berdagang makanan contoh kasus pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Contoh kasus Hasil obervasi Ibu EP (28 (1) Detail lokasi Di trotoar depan telkom Babakan. tahun), tergolong pada (2) Detail teknologi a) Ketika berdagang Ibu EP meletakkan satu gerobak kayu dorong jenis usaha sewaan di pinggir jalan. Di samping gerobak terdapat tiga ember yang yang berisi air untuk mencuci piring, mangkok, sendok, dan mempekerjakan gelas yang telah digunakan konsumen. Di belakang gerobak pegawai yaitu yaitu tepatnya di trotoar terdapat juga enam kursi plastik dan mempekerjakan satu meja kayu berukuran kurang lebih 60 cm x 2 m. Di atas suaminya. trotoar tersebut dipasang terpal kurang lebih seluas emam meter persegi untuk mengayomi kursi dan meja. Terpal yang digunakan dalam berdagang tersebut sudah sobek. b) Tidak ada gaji untuk pegawai karena pegawai adalah suami sendiri. (3) Detail pengadaan bahan baku Dengan cara membeli bahan-bahan berdagang pada pedagang langgananya. (4) Detail resiko berdagang Penipuan yang dilakukan oleh konsumen, relokasi atau penggusuran, dan biaya retribusi. Ibu SKS (48 (1) Detail lokasi Di bangunan sewa yang terletak di Babakan Tengah. tahun), tergolong pada (2) Detail teknologi a) Warung makan ini terkenal dengan tempe mendoannya. Tempe jenis usaha mendoan dibuat oleh Ibu SKS dan pegawainya sendiri setelah yang warung tutup. Di dalam warung terdapat satu buah etalase mempekerjakan ukurannya kurang lebih 1 m x 40 cm, tiga meja berukuran pegawai yaitu kurang lebih 1,5 m x 60 cm, satu meja berukuran kurang lebih 2 mempekerjakan m x 0,5 m, tiga kursi kayu yang berukuran kurang lebih 1 m x suaminya dan 20 cm, dua belas kursi plastik, piring, gelas, teko air, sendok, satu pegawai. garpu, kompor, ricecooker, cobek, panci, penggorengan, dan rak piring. Sementara itu, di warung terdapat kran air yang mengalirkan air tampungan dari sumur. b) Pegawai digaji sebesar Rp500.000 per bulan dan suami tidak digaji. (3) Detail pengadaan bahan baku Dengan cara pergi ke pasar untuk membeli bumbu masak, kedelai, daun pisang, ayam dan sayur pada satu pedagang langganannya, sedangkan Ibu SKS membeli ikan pada pedagang yang memberi harga termurah. Sementara itu, telur, beras, gas, dan air galon diantarkan oleh toko langganannya. (4) Detail resiko berdagang Banyaknya jenis tarikan dana yang diminta oleh pihak desa seperti uang sampah, pengajian akbar, dan santunan anak yatim. Sumber: data primer
51 Pada tabel matriks 12 menunjukkan bahwa sistem usaha berdagang makanan yang bertempat di public area berbeda dengan sistem usaha berdagang makanan yang bertempat di area permukiman pada penduduk, walaupun teknologi yang digunakan sama yaitu teknologi yang tergolong sederhana. Berdasarkan observasi, penggunaan teknologi sederhana pada usaha dagang makanan di public area yaitu berupa digunakannya gerobak kayu dorong, air yang ditempatkan pada ember, satu jenis pisau dapur, dan berbelanja di pasar tradisional. Resiko yang dihadapi dalam berdagang makanan di public area berupa penipuan oleh konsumen, relokasi, penggusuran dan uang retribusi. Sementara itu, teknologi yang digunakan oleh pedagang makanan yang berdagang di permukiman padat penduduk Jalan Babakan juga tergolong sederhana. Teknologi sederhana ini ditunjukkan oleh pemakaian air sumur, belanja di pasar tradisional, penggunaan cobek, dan jenis panci masak yang masih biasa. Resiko yang dialami oleh pedagang makanan yang berdagang di permukiman adalah banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa. Berdasarkan tabel matriks 12 juga menunjukkan bahwa walaupun terdapat perbedaan sistem usaha berdagang makanan yang bertempat di public area dan di permukiman padat penduduk, tetapi pada intinya sama yaitu sistem usaha yang mereka kerjakan masih menggunakan teknologi sederhana. Sementara itu, terdapat perbandingan resiko yang dialami oleh pedagang makanan di public area dan di permukiman padat penduduk. Resiko yang dihadapi oleh pedagang makanan di public area adalah penipuan oleh konsumen, relokasi, penggusuran dan uang retribusi. Resiko yang dihadapi oleh pedagang makanan di permukiman padat penduduk adalah banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa dan libur akademik mahasiswa. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa resiko pedagang makanan di public area lebih tinggi dari pada resiko pedagang makanan di permukiman padat penduduk, karena pedagang makanan di public area beresiko terhadap penggusuran sehingga dapat mengakibatkan hilangnya sumber nafkah. Hal ini diperkuat dengan contoh kasus Ibu NAR. “Katanya IPB akan menggusur pedagang-pedagang seperti saya Mbak. Ya, saya harus bagaimana jika nanti itu benar-benar terjadi. Saya berfikir bagaimana keadaan saya nanti. Saya mencari makan dari berdagang seperti ini Mbak. Malah akhir-akhir ini pegawai desa semakin menekan pedagang seperti saya dengan alasan katanya pedagang seperti saya itu bisa berjualan berkat pertolongan dari desa. Makanya Mbak pegawai desa mau menaikan uang retribusi dari Rp3500 per hari Rp10.000 per hari jika tidak membayar katanya saya disuruh tidak berjualan di sini” (NAR, 41 tahun).
Contoh kasus Ibu NAR yang merupakan pedagang makanan yang berdagang di trotoar, menunjukkan bahwa Ibu NAR sangat khawatir dengan adanya resiko penggusuran dan naiknya tarif retribusi. Bagi Ibu NAR trotoar adalah sumber nafkah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan kehidupan agar bisa bertahan hidup. Maka dari itu, resiko penggusuran sangat mengancam sumber penghidupannya. Selain itu, terdapat juga ancaman yang datang dari preman dan aparat IPB, hal ini sesuai dengan penuturan Ibu NEN dan Bapak AHS. “Dulu ketika saya masih bekerja di warung-warung milik keluarga saya, saya sering melihat preman dan anak buahnya yang makan tanpa membayar. Kemudian untuk mendapatkan tempat berdagang di trotoar maka harus membeli pada orang yang sebelumnya menempati lahan tersebut dan juga harus tetap bayar ke desa serta orang yang berkuasa di situ Mbak, yang biasa disebut preman sanalah. Belum lagi
52 jika ada isu penggusuran dan relokasi maka pedagang-pedagang yang ada di sana iuran untuk menyuap seorang oknum dari pihak IPB atau desa agar usaha berdagang makanan tidak di bongkar ” (NEN, 25 tahun).
Berdasarkan penuturan Ibu NEN menunjukkan bahwa dalam usaha memperoleh ijin tempat berdagang maka pedagang yang berdagang di trotoar Jalan Babakan harus membayar sejumlah uang kepada pedagang yang sebelumnya menempati trotoar tersebut, kemudian juga harus membayar sejumlah uang pada aparat desa dan preman yang menguasai area tersebut. Selain itu, para preman dan anak buahnya juga memeras para pedagang makanan dengan cara makan makanan dagangan tanpa membayarkan sejumlah uang kepada pedagang makanan. Penggunaan public area seperti trotoar ini sebagai tempat berdagang, sangat rawan terjadi penggusuran atau penertiban. Oleh karena itu, terdapat celah bagi oknum dari beberapa instansi untuk melakukan pemungutan liar. Penuturan Ibu NEN ini diperkuat oleh penuturan Bapak AHS. “Penarikan uang retribusi dari para pedagang itu di bawahi oleh dua pihak yaitu pihak desa yang mengambil uang retribusi di auning (pedagang yang berjualan di trotoar dan pinggir jalan) dan pihak IPB yang mengambil uang hak guna usaha dari para pedagang berkios di Babakan Raya. Dulu sekitar dua tahun ada oknum IPB yang juga memungut uang retribusi dari auning, akibatnya para pedagang merasa aman berdagang di auning itu. Pada tahun 2013 ada rencana dari IPB untuk mentata ulang pedagang yang ada di Babakan Raya. Ya, kalau saya sebagai ketua paguyuban pedagang sih mendukung kebijakan yang positif saja dan saya akan memperjuangkan agar tidak ada kapitalisme yang bermodal untuk menguasai kioskios tersebut nantinya. Menurut saya, pihak Bisnis dan Kemitraan IPB cenderung frontal dalam upaya pengusiran para pedagang kaki lima yang berada di trotoar, karena pihak dari IPB ini mengambil kebijakan yang tidak terlebih dulu disosialisasikan kepada para pedagang. Ya, kalau para pedagang diusir nanti bagaimana keadaan keluarga pedagang. Seharusnya, pihak IPB mendekati masyarakat menggunakan hati bukan otak” (AHS, ketua paguyuban pedagang di kios Babakan Raya).
Berdasarkan penuturan Pak AHS menunjukkan bahwa berdagang di trotoar mempunyai resiko penggusuran dan relokasi yang dilakukan oleh pihak berwenang yaitu IPB. Dari kewenangan IPB ini terdapat oknum IPB yang melakukan penarikan uang retribusi pada pedagang makanan yang berdagang di trotoar Jalan Babakan, sehingga para pedagang makanan merasa aman dari penggusuran atau relokasi. Resiko-resiko yang dihadapi oleh pedagang makanan di Jalan Babakan adalah penipuan oleh konsumen, pemerasan oleh preman, adanya penggusuran atau relokasi, banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa. Atas dasar adanya resiko-resiko tersebut maka rumah tangga pedagang makanan tidak bisa menggantungkan hidupnya pada usaha berdagang makanan, melainkan harus melakukan income diversity berupa adanya pekerjaan sampingan seperti buruh cuci baju, tukang pijit, dan mempekerjakan anggota rumah tangga. Sumber Nafkah Rumah Tangga Pedagang Makanan Ellis (2000) menyatakan bahwa terdapat lima jenis modal yang diidentifikasi sebagai basis sumber nafkah untuk membangun strategi nafkah. Kelima modal tersebut adalah modal alam, fisik, sumber daya manusia, finansial dan sosial. Modal alam mengacu pada sumber daya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk kelangsungan
53 hidup mereka. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan individu dan populasi. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi, dan akses pada kredit. Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka. Sementara itu, Dharmawan (2007) menyatakan bahwa keberadaan struktur sosial-ekonomi sebagai faktor tunggal penentu sebuah strategi nafkah, sehingga sistem nafkah (kumpulan strategi nafkah) merupakan respon adaptif-reaktif masyarakat atas tekanan perubahan struktur ekonomi dan institusional yang membelenggu sistem penghidupan mereka. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa strategi nafkah dibentuk oleh lima basis sumber nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia, finansial dan sosial) yang dipengaruhi oleh keberadaan struktur sosial-ekonomi. Setiap sistem penghidupan yang dibangun oleh rumah tangga selalu berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh lima basis nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia, finansial dan sosial) yang telah mengalami tekanan akibat perbedaan struktur sosial-ekonomi. “Pada Mazhab Bogor, strategi penghidupan dan nafkah pedesaan dibangun selalu menunjuk ke sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sistem nafkah yang denikian, basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktifitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian. Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya setempat. Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya. Ketiga elemen tersebut adalah: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku), (2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agararia, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) supra-struktur sosial (setting ideologi, etikamoral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku)” (Dhramawan 2007: 179).
Berdasarkan beberapa penelitian-penelitian sebelumnya dapat dibandingkan sistem nafkah yang dibangun oleh rumah tangga pedesaan, daerah suburban, dan perkotaan dalam mengeksistensikan kehidupan. Pemilihan lokasi yang berjenjang ini dimaksudkan untuk melihat dampak perbedaan struktur sosial-ekonomi pada sistem nafkah yang dibangun oleh masing-masing rumah tangga pada lokasilokasi tersebut. Berdasarkan tabel matriks 13 menunjukkan bahwa sistem nafkah yang dibangun pada masing-masing rumah tangga di masing-masing lokasi mempunyai perbedaan. Dari lokasi pedesaan, daerah suburban, sampai daerah perkotaan menunjukkan semakin beragam strategi nafkah yang dibangun untuk mempertahankan hidup. Hal ini karena dari lokasi pedesaan, daerah suburban, sampai daerah perkotaan menunjukkan ketersediaan sumber nafkah yang semakin berkurang akibat perbedaan struktur sosial-ekonomi. Berkurangnya sumber nafkah dan tekanan struktur sosial-ekonomi inilah yang kemudian mendorong rumah tangga memanipulasi dan mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa diakses.
54 Tabel 13. Matriks perbandingan strategi nafkah rumah tangga berdasarkan subyek penelitian. Judul Penelitian Sistem nafkah rumah tangga petani kentang di dataran tinggi Dieng 3
Subyek Penelitian Rumah tangga petani kentang
Strategi nafkah sektor informal di daerah subburban
Rumah tangga pedagang makan
Strategi nafkah rumah tangga miskin perkotaan 5
Rumah tangga miskin perkotaan
Lokasi Penelitian Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Jalan Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Strategi Nafkah yang Dibangun (1) strategi intensifikasi lahan pertanian (on farm), (2) strategi mendiversifikasi sumber nafkah (on farm dan non farm) yaitu migrasi dan berdagang.
(1) pola nafkah ganda, (2) strategi mengeksploitasi diri, (3) strategi menekan biaya berdagang, (4) strategi pemanfaatan lahan, (5) strategi mempekerjakan anggota keluarga, (6) strategi pembagian kerja, (7) strategi ekspansi usaha, serta (8) strategi berhutang dan pencairan investasi 4 . (1) pola nafkah ganda, (2) Kampung pemanfaatan kelembagaan Sawah, ekonomi, (3) pemanfaatan Kelurahan Semper Timur, jaringan sosial, (4) nafkah berbasis perdagangan, (5) Kecamatan mengganti jenis makanan, (6) Cilincing, nafkah berbasis rumah Jakarta Utara kontrakan, (7) nafkah berbasis peluang kerja di sektor industri, (8) berhutang, dan (9) mencairkan aset rumah tangga.
Berdasarkan tabel matriks 13, menunjukkan bahwa berkurangnya sumber nafkah dan tekanan struktur sosial-ekonomi yang mendorong rumah tangga memanipulasi dan mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa diakses. Basis nafkah rumah tangga pedagang makanan untuk membangun sistem nafkah terdiri dari lima sumber nafkah yaitu modal alam, fisik, sumber daya manusia, finansial dan sosial. Pertama, modal alam berupa pemanfaatan lahan yang digunakan dalam menjalankan usaha berdagang makanan seperti public area, lahan sewa atau lahan miliki sendiri. Kedua, modal fisik berupa wujud fisik bangunan yang digunakan dalam berdagang seperti mendirikan tenda atau bangunan tembok. Ketiga, modal sumber daya manusia berupa pendidikan terakhir yang ditempuh pedagang makanan dan jumlah pegawai yang dipekerjakan dalam menjalankan usaha 3
Sumber: skripsi yang ditulis oleh Turasih pada tahun 2011 Sumber: data primer tahun 2012 yang sudah dianalisis 5 Sumber: skripsi yang ditulis oleh Siti Anis Musyarofah pada tahun 2006 4
55 berdagang. Keempat, modal finansial berupa uang yang digunakan dalam menjalankan usaha berdagang dalam kurun waktu satu hari, Kelima, modal sosial berupa jumlah mitra kerja yang membantu mengeksistensikan usaha berdagang seperti pemasok bahan, pemodal usaha berdagang dan mitra usaha. Modal sosial ini membantu pedagang makanan ketika mengalami masa sulit secara finansial seperti contoh kasus Ibu NAR (41 tahun) menyatakan bahwa “Setelah lebaran, saya mengalami kekurangan modal karena selama satu bulan dagangan tutup, untuk berdagang lagi biasanya saya mengambil dahulu barangbarang keperluan saya di pedagang langganan saya". Sementara itu, terdapat contoh kasus Ibu OY(51 tahun). “Berjualan itu hasilnya tidak tentu Neng, tetapi yang jelas penghasilan malam hari itu lebih banyak dari pada siang hari seperti ini. Jika kami kekurangan modal, maka kami berhutang barang belanjaan dari toko dahulu, baru besoknya kami membayar barang belanjaan tersebut, kadang-kadang kami juga mencicil belanjaan tersebut Neng” (Ibu Oy, 51 tahun)
Berdasarkan penuturan Ibu NAR dan OY menunjukkan bahwa mereka memanfaatkan modal sosial yaitu berupa bantuan pemasok bahan untuk bangkit dari masa sulit dari kekurangan modal finansial. Mereka memilih untuk memanfaatkan modal sosial berupa bantuan dari pemasok bahan karena mereka merupakan pendatang dari luar Kecamatan Dramaga, sehingga mereka tidak bisa meminta bantuan saudara-saudara mereka. Berbeda dengan contoh kasus Pak SHD yang memanfaatkan modal sosial yang berupa bantuan modal dari pemodal usaha, pemodal usaha ini tidak lain adalah saudaranya sendiri. “Dulu ketika awal saya mendirikan warung di sini, saya bayar untuk dapat lahan sebesar Rp 12.000.000 ke orang yang awalnya berjualan di sini, sedangkan sekarang saya masih ditarik uang kebersihan dan keamanan sebesar Rp 6000,00 per hari pada aparat desa. Saya berdagang bersama istri tetapi istri melayani cabang warung ini yang diberi nama LS. LS terletak di seberang jalan Mbak bahkan sudah punya bangunan tetap walaupun menyewa. Kalau MRS ini ya masih beginilah selalu dibongkar jika jualannya sudah habis, tetapi penghasilan kotor dari MRS lebih banyak daripada LS mbak. Saya dan istri berjualan ini diberi modal oleh kakak saya makanya keuntungannya itu dibagi sama kakak saya” (SHD, 31 tahun).
Berdasarkan penuturan Pak SHD menunjukkan bahwa modal sosial yang diakses merupakan modal sosial yang dekat dengan dirinya, karena Pak SHD merupakan penduduk asli Babakan Lebak. Tabel 14. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tingkat sumber nafkah dan strategi nafkah, tahun 2012 Tingkat strategi nafkah Rendah (< 6 strategi) Sedang (= 6 strategi) Tinggi (> 6 strategi) Total
Tingkat sumber nafkah Tinggi Sedang Rendah 0 3 1 2 6 5 2 10 6 4 19 12
total 4 13 18 35
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa semakin tinggi sumber nafkah yang dimanfaatkan maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun. Hal ini
56 ditunjukkan pada responden yang memiliki sumber nafkah yang sedang dan tinggi membangun strategi nafkah yang semakin beragam dibanding dengan responden yang memiliki sumber nafkah yang rendah. Hal ini diperkuat dengan contoh kasus dalam matrik 15 menunjukkan bahwa semakin secure modal alam yang dapat diakses maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin besar modal finansial untuk berdagang maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin permanen bangunan atau modal fisik yang dimanfaatkan untuk berdagang maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin banyak pegawai yang dipekerjakan maka semakin tinggi tingkat pendapatan; sementara itu, tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka belum tentu tingkat pendapatan akan tinggi atau rendah. Tabel 15. Matriks perbandingan sumber nafkah rumah tangga contoh kasus responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan tingkat pendapatan rumah tangga, tahun 2012 Contoh kasus EP
Modal alam Lahan umum
Modal finansial Rp220.000 per hari
Sumber nafkah Modal Modal fisik sumberdaya manusia Mendiri(1). Tamat SMA kan tenda (2). Usaha sementara berdagang dibantu oleh suami
Modal sosial empat orang pemasok bahan
Strategi nafkah yang dibangun 1) 2) 3) 4) 5) 6)
OY
Lahan umum
Rp350.000 per hari
Mendirikan tenda di pinggir jalan secara permanen
(1). Tamat SD (2). Mempekerjakan suami dan anak
dua orang pemasok bahan dan satu mitra usaha
7) 1) 2) 3) 4) 5)
RSL
Lahan sewa
Rp2.000.00 0 per hari
Mendirikan bangunan tembok permanen
(1). Tamat perguruan tinggi (2). Mempekerjakan tujuh pegawai
enam pemasok bahan dan satu mitra usaha
6) 1) 2) 3) 4) 5)
Pola nafkah ganda Strategi mengeksploitasi diri Strategi menekan biaya berdagang Strategi mempekerjakan anggota keluarga Strategi memanfaatkan lahan umum Strategi ekspansi usaha Strategi berhutang Pola nafkah ganda Strategi mengeksploitasi diri Strategi menekan biaya berdagang Strategi mempekerjakan anggota keluarga Strategi memanfaatkan lahan umum Strategi berhutang Pola nafkah ganda Strategi menekan biaya berdagang Strategi pembagian kerja Strategi ekspansi usaha Strategi berhutang
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel matriks 15 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka
57 belum tentu tingkat pendapatan akan tinggi atau rendah. Hal ini disebabkan bahwa keterampilan dalam berdagang makanan itu ditentukan dari pengalaman bukan dari pendidikan formal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suwartika (2003) menyatakan bahwa yang terpenting untuk berusaha di sektor informal adalah memiliki pengetahuan dan ketrampilan bukan melalui pendidikan formal akan tetapi melalui pengalaman kerja. Sumber nafkah yang dimanfaatkan dapat mempengaruhi variasi strategi nafkah rumah tangga. Berdasarkan tabel matriks di atas telah menunjukkan bahwa terbatasnya sumber nafkah yang dapat diakses oleh rumah tangga pada masingmasing tingkat pendapatan, mengakibatkan banyaknya variasi strategi nafkah yang dibangun. Banyaknya variasi strategi nafkah ini bertujuan mengoptimalkan sumber nafkah yang bisa mereka akses agar dapat membantu mereka untuk bertahan hidup. Berikut ini tabel matriks strategi nafkah rumah tangga pedagang makanan. Berdasarkan tabel 14 dan tabel matriks 15 menunjukkan bahwa tingkat sumber nafkah yang dapat diakses menentukan banyak strategi yang dibangun oleh rumah tangga. Variasi strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga pedagang makanan yang tergolong dalam tingkat pendapatan tinggi bertujuan untuk akumulasi kekayaan, sedangkan Variasi strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga pedagang makanan yang tergolong dalam tingkat pendapatan rendah, bertujuan untuk mencapai tingkat keamanan dalam kehidupan secara ekonomi. Hasil ini sejalan dengan penelitian strategi nafkah rumah tangga petani perkebunan rakyat yang dilakukan Mashitoh (2005) yang menyatakan bahwa bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh petani lapisan bawah lebih beragam daripada bentuk strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga petani pada lapisan atas. Rumah tangga petani lapisan bawah memiliki keterbatasan dalam penguasaan sumber nafkah sehingga mereka menerapkan kombinasi dari berbagai bentuk strategi nafkah. Perbedaan keberagaman strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga petani pada setiap lapisan disebabkan oleh perbedaan keberadaan dimensi strategi nafkah dan sumber nafkah. Berdasarkan tabel 14 menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat sumber nafkah maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga. Beragamnya strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah disebabkan adanya untuk mencapai tingkat keamanan dalam kehidupan secara ekonomi. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tabel 14 menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa diduga semakin banyak sumber nafkah yang dimanfaatkan maka semakin banyak bentuk strategi yang dilakukan oleh pekerja sektor informal khususnya pedagang makanan untuk mempertahankan kehidupan, dapat diterima. Alasan Pedagang Makanan Bertahan di Lahan Umum Berdasarkan data primer menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 17,1% jenis usaha dagang makanannya mempekerjakan diri sendiri dan 82,9% jenis usaha dagang makanannya mempekerjaka pegawai. Sementara itu dalam berdagang, pedagang dapat memanfaatkan lahan milik sendiri, sewa atau public area seperti trotoar dan pinggir jalan. Berikut ini adalah tabel 16 yang
58 menunjukkan jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan berdasarkan tenaga kerja dan pemanfaatan lahan berdagang. Tabel 16. Jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tenaga kerja yang dipekerjakan dan pemanfaatan lahan berdagang, tahun 2012 Tenaga Kerja
Mempekerjakan diri sendiri Mempekerjakan pegawai Total Sumber: data primer
Pemanfaatan lahan Berdagang Milik Lahan sewa Public area sendiri (trotoar dan pinggir jalan) ∑ % ∑ % ∑ % 1 2,8 2 5,7 3 8,6 3 8,6 17 48,6 9 25,7 4 11,4 19 54,3 12 34,3
Total
∑ 6 29 35
% 17,1 82,9 100,0
Berdasarkan tabel 16 menunjukkan bahwa dari 17,1% pedagang makanan yang mempekerjakan diri sendiri terdapat 8,6% pedagang makanan yang memanfaatkan public area. Sementara itu dari 82,9% pedagang makanan yang mempekerjakan pegawai terdapat 25,7% pedagang makanan yang memanfaatkan public area. Dari data pedagang makanan yang memanfaatkan public area tersebut jika dijumlahkan, maka dapat disimpulkan bahwa walaupun hanya terdapat 34,3% pedagang makanan yang memanfaatkan public area, namun baik pedagang makanan yang mempekerjakan diri sendiri atau mempekerjakan pegawai yang memanfaatkan public area tetap bertahan berdagang makanan di public area. Dari kesimpulan tabel 16 maka perlu diketahui alasan mengapa pada pedagang makanan yang mempekerjakan diri sendiri atau mempekerjakan pegawai tetap bertahan berdagang makanan di public area. Tabel 17. Jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut alasan bernafkah dan status penguasaan lahan, tahun 2012 Status Penguasaan Lahan
Milik sendiri Lahan sewa Area publik (trotoar, pinggir jalan) Total Sumber: data primer
Alasan bernafkah Menambah kekayaan Tuntutan hidup ∑ % ∑ % 1 2,8 3 8,6 6 17,2 13 37,4 0 0 12 34,4 7 20,0 28 80,0
Total
∑ 4 19 12 35
% 11,4 54,3 34,4 100,0
Berdasarkan data primer tabel 17 menunjukkan bahwa dari 35 responden yang berdagang makanan terdapat 20% pedagang yang mempunyai alasan ingin menambah kekayaan dan 80% pedagang yang mempunyai alasan adanya tuntutan kehidupan. Tabel 17 menunjukkan jumlah dan persentase responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut alasan bernafkah dan pemanfaatan lahan berdagang.
59 Berdasarkan tabel 17 menunjukkan bahwa dari 34,4% pedagang yang berdagang di area publik yaitu pinggir jalan dan trotoar, terdapat 34,4% pedagang yang mempunyai alasan bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup. Sementara itu, tabel di atas juga menunjukkan bahwa dari 35 responden pedagang makanan di Jalan Babakan, terdapat 80% pedagang makanan yang bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup. Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar pedagang makanaan bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup, sedangkan semua pedagang makanan yang berdagang di public area mempunyai alasan tetap bertahan berdagang makanan karena adanya tuntutan hidup. Hasil dari analisis data kuantitaif ini diperkuat dengan contoh kasus Ibu NAR (41 tahun). “Katanya IPB akan menggusur pedagang-pedagang seperti saya Mbak. Ya, saya harus bagaimana jika nanti itu benar-benar terjadi. Saya berfikir bagaimana keadaan saya nanti. Saya mencari makan dari berdagang seperti ini Mbak. Malah akhir-akhir ini pegawai desa semakin menekan pedagang seperti saya dengan 59ias59an katanya pedagang seperti saya itu 59 ias berjualan berkat pertolongan dari desa. Makanya Mbak pegawai desa mau menaikan uang retribusi dari Rp3500 per hari Rp10.000 per hari jika tidak membayar katanya saya disuruh tidak berjualan di sini. Berjualan seperti ini dengan beban menghidupi dua anak yang baru masuk SMK itu sangatlah sulit, makanya Mbak, saya menggadaikan surat rumah dan menjual perhiasan untuk biaya sekolah anak saya dan juga digunakan sebagai modal usaha berdagang. Akibat dari itu, hingga sampai saat ini saya masih harus menyicil Rp600.000 per bulan pada penggadaian”(NAR, 41 tahun).
Contoh kasus Ibu NAR yang merupakan pedagang makanan yang berdagang di trotoar, penuturan Ibu NAR menunjukkan bahwa Ibu NAR masih bertahan berdagang makanan di trotoar walaupun adanya resiko penggusuran, karena adanya tuntutan hidup untuk menafkahi kedua anaknya. Bagi Ibu NAR trotoar adalah sumber nafkah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi tuntutan kehidupan agar bisa bertahan hidup. Berdasarkan penjelasan tabel 17 di atas maka hipotesis yang menyatakan diduga karena alasan bertahan hidup maka pekerja informal melanjutkan usaha berdagang makanan sekalipun di area publik, dapat diterima. Alasan tuntutan hidup ini dapat diartikan juga sebagai alasan bertahan hidup. Alasan bertahan hidup inilah yang membuat pekerja informal melanjutkan usaha berdagang makanan sekalipun di public area. Berdagang makanan di public area seperti pinggir jalan dan trotoar ini mempunyai banyak resiko seperti penipuan yang dilakukan oleh konsumen, pemerasan oleh preman, adanya penggusuran atau relokasi, dan banyaknya penarikan jenis-jenis dana yang dilakukan oleh aparat desa. Atas dasar adanya resiko-resiko tersebut maka rumah tangga pedagang makanan tidak bisa menggantungkan hidupnya pada usaha berdagang makanan, melainkan harus melakukan income diversity. Income diversity ini dapat diperoleh dengan cara melakukan banyak strategi nafkah seperti buruh cuci baju, tukang pijit, dan mempekerjakan anggota rumah tangga. Contoh kasus Bapak IBR yang melakukan income diversity. “Saya berdagang sudah lama Neng, tetapi dulu saya berjualan es, baru kemudian pada tahun 2000 saya mulai jualan soto mie ini. Saya setiap hari berjualan soto mie Neng, tetapi pada bulan puasa saya beralih berjualan es campur. Saya tidak hanya berdagang Neng, tetapi saya juga menjadi tukang pijit panggilan untuk menambah penghasilan. Biasanya saya mendapat panggilan untuk disuruh memijit itu rata-rata dua kali dalam sebulan. Selain itu, istri saya juga bekerja menjadi buruh cuci baju anak-anak kos untuk membantu saya dalam mencari uang. Jika saya mengalami
60 kekurangan modal untuk berjualan paling caranya mengurangi barang belanja dagangan. Jika dagangan masih sisa biasanya bahan yang masih 60ias digunakan maka besoknya akan dijual lagi” (IBR, 72 tahun).
Berdasarkan penuturan Bapak IBR menunjukkan bahwa Bapak IBR membangun beragam strategi nafkah agar pendapatan rumah tangganya bisa tercukupi. Income diversity dilakukan oleh Bapak IBR karena pendapatan dari berdagang makanan tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Berikut ini, tabel yang menunjukkan hubungan antara alasan bernafkah dan banyakknya strategi nafkah yang dibangun oleh responden. Tabel 18. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tingkat alasan bernafkah dan tingkat strategi nafkah, tahun 2012 Tingkat strategi nafkah Rendah Sedang Tinggi Total Sumber: data primer
Tingkat alasan bernafkah Tinggi Rendah (tuntutan hidup) (menambah kekayaan) 4 0 10 3 14 4 28 7
Total 4 13 18 35
Pada tabel 18 menunjukkan bahwa semakin tinggi alasan bertahan hidup maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun. Hal ini sejalan dengan contoh kasus tabel matriks yang menggambarkan perbandingan alasan bernafkah, pemanfaatan lahan, dan strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga pedagang makanan di Jalan Babakan. Tabel 19. Matriks perbandingan strategi nafkah contoh kasus rumah tangga responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Contoh kasus RSL
Alasan Benafkah
NA
Menambah kekayaan
EP
Menambah kekayaan
Adanya tuntutan hidup
Pemanfaatan Lahan Lahan sewa
Lahan milik sendiri
Public area
Strategi nafkah yang dibangun 1) 2) 3) 4) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Sumber: data primer
Pola nafkah ganda Strategi menekan biaya berdagang Strategi pembagian kerja Strategi berhutang Pola nafkah ganda Strategi menekan biaya berdagang Strategi mempekerjakan anggota keluarga Strategi pembagian kerja Strategi ekspansi usaha Strategi berhutang Pola nafkah ganda Strategi mengeksploitasi diri Strategi menekan biaya berdagang Strategi mempekerjakan anggota keluarga Strategi memanfaatkan lahan umum Strategi ekspansi usaha Strategi berhutang
61 Berdasarkan tabel 18 menunjukkan bahwa karena alasan adanya tuntutan kehidupan atau bertahan hidup maka semakin beragam strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga pedagang makanan di Jalan Babakan. Hal ini disebabkan keterbatasan sumber nafkah yang digunakan sebagai basis nafkah. Keterbatasan sumber nafkah ini memaksa pedagang makanan harus memanipulasi pemanfaatan sumber nafkah yang ada sampai batas maksimal pemanfaatan sebagai basis strategi nafkah. Berdasarkan penjelasan contoh kasus Ibu NAR serta tabel 18 dan 19 di atas maka hipotesis yang menyatakan diduga karena alasan bertahan hidup maka semakin banyak strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan, dapat diterima. Strategi nafkah yang dibangun oleh pedagang makanan terdiri atas: pola nafkah ganda, strategi mengeksploitasi diri, strategi menekan biaya berdagang, strategi pemanfaatan lahan, strategi mempekerjakan anggota keluarga, strategi pembagian kerja, strategi ekspansi usaha, serta strategi berhutang dan mencairkan investasi serta strategi mengamankan usaha bisnis makanan. Strategi nafkah yang dilakukan oleh pedagang makanan dijelaskan secara rinci pada subbab-subbab berikut. Strategi Pola Nafkah Ganda Musyarofah (2006) menyatakan bahwa strategi nafkah pola nafkah ganda dipilih sebagai upaya menambah kekurangan pendapatan dari aktivitas tunggal. Sumber nafkah tunggal ini dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga diperlukan kombinasi aktivitas nafkah untuk mencapai posisi keuangan paling aman. Rumah tangga pedagang makanan melakukan strategi pola nafkah ganda karena pendapatan berdagang tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari atau pekerjaan menjadi pedagang tidak dapat memberikan pendapatan yang stabil dan aman. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga rendah pekerjaan berdagang makanan dilakukan dengan cara berdagang menggunakan gerobak atau tenda yang dibongkar setelah dagangannya habis serta melakukan usaha sampingan berupa menjual jamu gendong, tukang pijit, atau menjual es. Pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga sedang pekerjaan berdagang makanan dilakukan dengan cara berdagang menggunakan lahan sewa dengan bangunan permanen serta melakukan usaha sampingan menjadi sopir, pegawai IPB, atau menjual pulsa. Sementara itu, pada kategori tingkat pendapatan rumah tangga tinggi pekerjaan berdagang dilakukan dengan cara berdagang menggunakan lahan sendiri atau sewa dengan bangunan permanen serta melakukan usaha sampingan menjadi distributor ayam potong, mendirikan usaha salon, atau menyewakan kamar kos. Pola nafkah ganda yang berlangsung pada rumah tangga pedagang makanan adalah sebagai berikut. Pertama, suami-istri bekerja di sektor informal namun berlainan jenis sektor informal yang diusahakan, contoh kasus Bapak ALK.
62 Box 1. Kisah kehidupan kasus Bapak ALK, 49 tahun Bapak ALK merupakan pedagang baso yang tidak taman SD. Bapak ALK ini merupakan pendatang dari Jawa Tengah. Awalnya Bapak ALK merupakan pedagang baso keliling di dalam kampus IPB, tetapi semenjak satu bulan yang lalu Bapak ALK mengelilingkan basonya di luar pinggir Jalan Babakan. Hal ini dilakukan karena Pak ALK tidak boleh lagi berdagang di dalam kampus IPB. Akibat tidak bolehnya, Pak ALK masuk ke dalam kampus IPB untuk berdagang menjadikan pendapatannya menurun. Menurunnya pendapatan yang diperoleh Pak ALK mengharuskannya untuk mengurangi belanjaan bahan berdagang. Sementara itu, istri Pak ALK merupakan penjual jamu gendong keliling yang penghasilan dari berjualan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Pak ALK memiliki dua anak, yang keduanya bekerja di sebuah pabrik garmen. Kedua anaknya tersebut, selalu memberikan uang kepada Pak ALK. Uang tersebut digunakan oleh Pak ALK untuk modal usaha dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan kisah kehidupan Pak ALK, menunjukkan bahwa pola nafkah ganda dilakukan karena pendapatan dari berdagang makanan tidak dapat mencukupi biaya kehidupan. Lokasi tempat Pak ALK berdagang adalah di pinggir-pinggir jalan karena Pak ALK tidak mempunyai modal untuk menyewa lahan dan tidak mempunyai akses untuk berdagang di trotoar pinggir Jalan Babakan. Kurangnya akses untuk berdagang di trotoar pinggir Jalan Babakan karena Pak ALK merupakan pendatang, sehingga Pak ALK tidak mempunyai modal sosial yang memadai. Kedua, suami-istri yang masing-masing bekerja dalam satu sektor informal yaitu berdagang makanan, contoh kasus Bapak SHD. Box 2. Kisah kehidupan kasus Bapak SHD, 31 tahun. Bapak SHD, merupakan pedagang makanan lulusan SMP yang berasal dari Desa Babakan Lebak, Dramaga. Pak SHD merupakan penduduk lokal yang masih mempunyai sawah. Sawah ini merupakan warisan dari orang tua yang belum dibagi dengan saudaranya, sehingga dalam proses pengelolaannya dilakukan bergantian. Awalnya sebelum menjadi pedagang selama tujuh tahun Pak SHD bekerja di kantin IPB. Kemudian selama empat tahun Pak SHD menjadi penjaga penyewaan komik di Babakan Raya, tetapi karena usaha penyewaan komik ditutup maka Pak SHD berdagang makanan. Pak SHD berdagang makanan karena ajakan teman dan dukungan modal dari kakaknya. Usaha berdagang makanan yang diusahakan oleh Pak SHD dikelola juga oleh istrinya, karena Pak SHD membuka dua usaha makanan di dua lokasi yang berbeda yaitu lahan sewa dan trotoar. Walaupun usaha makanan yang diusahan pada kedua lokasi tersebut sama, tetapi pendapatan dari dua lokasi tersebut berbeda. Pendapatan warung yang terletak di lahan trotoar jalan lebih banyak dari pada lahan sewa. Jika Pak SHD mengalami kekurangan modal maka Pak SHD meminjam uang pada saudaranya. Warung MRS yang ditempati Pak SHD terletak di trotoar Jalan Babakan. MRS ini buka mulai jam 16.00-23.00 Wib. Pak SHD mendapatkan lokasi berdagang di trotoar Jalan Babakan karena mendapat ijin dari aparat desa dan memberi uang pada pedagang yang sebelunya berdagang di lokasi tersebut. Hal ini sesuai penuturan Pak SHD yang menyatakan bahwa, “Dulu ketika awal saya mendirikan warung di sini, saya membayar Rp 12.000.000 kepada orang yang awalnya berjualan di sini, sedangkan sekarang saya masih ditarik uang kebersihan dan keamanan sebesar Rp 6000,00 per hari oleh aparat desa”.
63 Berdasarkan kisah kehidupan kasus Bapak SHD, pola nafkah ganda dilakukan karena sumber nafkah yang dapat diakses dan dimanfaatkan adalah lahan sewa dan trotoar pinggir Jalan Babakan. Selain itu, pola nafkah ganda ini bertujuan untuk menekan biaya berdagang yaitu dengan mempekerjakan istrinya, sehingga rumah tangga Bapak SHD dapat memperoleh pendapatan berdagang yang lebih banyak. Ketiga, suami-istri bekerja di sektor yang berlainan yaitu antara sektor informal dan formal, contoh kasus Ibu RSL. Box 3. Kisah kehidupan kasus Ibu RSL, 35 tahun Ibu RSL merupakan pedagang makanan lulusan IPB. Ibu RSL ini pendatang dari Tasikmalaya, dia berdagang sejak masih duduk di bangku perkuliahan. Awalnya usaha berdagang makanan dikelola oleh Ibu RSL dan beberapa temannya, karena teman-temannya sudah menikah maka hanya Ibu RSL yang bertahan mengelola usaha makanan tersebut. Dalam menjalankan usaha berdagang, Ibu RSL mempekerjakan tujuh orang pegawai yaitu empat orang bertugas memasak dan tiga orang bertugas melayani konsumen. Ibu RSL menjalankan usaha berdagang menggunakan modal Rp4.000.000 per hari. Jika mengalami kekurangan modal, biasanya Ibu RSL meminjam uang dari bank, karena suami Ibu RSL bekerja di Bank. Berdasarkan kisah kehidupan kasus Ibu RSL menunjukkan bahwa Ibu RSL melakukan pola nafkah ganda karena sejak awal Ibu RSL telah berdagang makanan. walaupun Ibu RSL pendatang seperti Pak ALK, tetapi pola nafkah ganda yang dilakukan Ibu RSL didukung oleh pendidikan yang tinggi dari dirinya, sementara itu suaminya juga lulusan perguruan tinggi sehingga memungkinkan dapat mengakses pekerjaan formal. Selain itu, Ibu RSL juga dapat mengakses hutang pada bank karena suami Ibu RSL merupakan pegawai bank. Tabel 20. Matriks perbandingan strategi nafkah ganda yang dilakukan contoh kasus responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Contoh kasus
Strategi nafkah
Alokasi sumber daya
SHD (sedang)
pola nafkah ganda dengan bentuk suami-istri yang masingmasing bekerja sebagai pedagang makanan
ALK (rendah)
Pola nafkah ganda dengan bentuk suami-istri bekerja di sektor informal namun berlainan jenis sektor informal yang diusahakan Pola nafkah ganda dengan bentuk suami-istri bekerja di sektor yang berlainan yaitu antara sektor informal dan formal
Suami: berdagang makanan istri: berdagang makanan Suami: berdagang baso Istri: berdagang jamu gendong
RSL (tinggi)
Sumber: data primer
Suami: bekerja di bank Istri: berdagang makanan
Strategi menghadapi krisis Hutang kepada saudara
Mengurangi barang belanjaan Hutang ke bank
64 Berdasarkan ketiga bentuk strategi nafkah pola nafkah ganda tersebut menunjukkan perbedaan akses untuk mendapatkan pekerjaan formal antara rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah, dan sedang mempunyai keterbatasan untuk melakukan usaha di luar sektor informal, sehingga pola nafkah ganda dilakukan tetap berada di jenis-jenis sektor informal. Sementara itu, rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan tinggi dapat mengakses sektor-sektor formal sehingga pola nafkah ganda dilakukan di sektor formal. Sementara itu, dari ketiga contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa mereka membangun strategi nafkah pola nafkah ganda karena adanya tuntutan kehidupan, walaupun melalui aktivitas nafkah dan proses menjadi pekerja sektor informal yang berbeda-beda. Strategi Mengeksploitasi Diri Strategi mengeksploitasi diri merupakan strategi yang dilakukan pedagang makanan melalui pemerasan tenaga dari tubuh agar pendapatan yang mereka peroleh bertambah. Strategi mengeksploitasi diri ini dilakukan dengan cara memaksimalkan waktu produksi dan mengurangi waktu reproduksi. Tabel 21 menunjukkan waktu yang digunakan untuk berdagang para pedagang makanan di Jalan Babakan. Tabel 21. Frekuensi dan persentase waktu produksi yang dilakukan pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Waktu Produksi Dua puluh empat jam nonstop Pagi-malam (05.30-23.00) Pagi-siang (05.30-14.00) Siang-malam (12.00-24.00) Pagi saja (05.30-11.00) Malam saja (15.00-24.00) Total
Frekuensi 2 17 5 4 3 4 35
Persentase 5,7 48,6 14,3 11,4 8,6 11,4 100,0
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel 21 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 54,3% pedagang mengeksploitasi diri mereka dengan cara berdagang pada dua puluh empat jam nonstop (5,7%) dan berdagang pada pagi-malam (48,6%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pedagang makanan yang mengeksploitasi diri mereka lebih banyak dari pada pedagang makanan yang tidak mengeksploitasi diri. Strategi mengeksploitasi diri ini diiringi dengan pengaturan waktu reproduksi. Pengaturan waktu reproduksi ini dilakukan dengan cara mengurangi waktu tidur, tidur secara bergantian atau tidur pada malam hari. Strategi mengeksploitasi diri ini dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan di Jalan Babakan untuk mendapatkan pendapatan maksimal.
65 Tabel 22. Jumlah responden pedagang makanan di Jalan Babakan menurut tingkat pendapatan dan waktu produksi, tahun 2012 Waktu produksi Dua puluh empat jam nonstop Pagi-malam (5.30-23.00) Pagi-siang (05.30-14.00) Siang-malam (12.00-24.00) Pagi saja (05.30-11.00) Malam saja (15.00-24.00) Total
Tingkat pendapatan rendah sedang tinggi 1 1 5 7 2 2 1 3 1 2 2 2 11 18
Total 0 5 1 0 0 0 6
2 17 5 4 3 4 35
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel 22 menunjukkan bahwa rumah tangga pedagang makanan yang melakukan strategi mengeksploitasi diri adalah kategori tingkat pendapatan rumah tangga rendah, sedang dan tinggi. Para pedagang makanan yang memilih strategi ini karena ingin mendapatkan pendapatan berdagang yang maksimal. Meskipun begitu, pada rumah tangga yang tergolong tingkat pendapatan rendah mempunyai alasan adanya desakan ekonomi yaitu adanya basis nafkahnya sangat lemah seperti tidak adanya lahan, rendahnya pendidikan formal, kurangnya modal finansial, dan lemahnya modal sosial. Akibat dari ini, maka satu-satu yang sumber nafkah yang bisa dimanipulasi secara maksimal adalah tenaga diri sendiri dan anggota rumah tangga. Contoh kasus Ibu IMS (28 tahun). Box 4. Kasus kehidupan Ibu IMS, 28 tahun Ibu IMS merupakan pedagang makanan lulusan SMP, dia merupakan pendatang dari Sumedang. Sebelum berdagang, Ibu IMS membantu orang tuanya berdagang makanan. warung yang digunakan berdagang Ibu IMS ini merupakan warung yang disewa oleh orang tuanya. Tetapi warung tersebut dikelola oleh Ibu IMS selam enam bulan, kemudian enam bulan selanjutnya dikelola oleh orang tuanya. Dapat dikatakan bahwa proses pengelolaan warung makanan Ibu IMS dikelola secara bergantian. Jika masa mengelola Ibu IMS habis, maka Ibu IMS pulang ke kampung. Di kampung Ibu IMS bekerja sebagai penjual pulsa karena Ibu IMS tidak mempunyai sawah untuk menggantungkan hidupnya. Ibu IMS berdagang bersama suaminya. Dalam berdagang makanan Ibu IMS dan suaminya saling bekerja sama, karena warung ini buka dari jam 06.00-02.00 Wib. Ibu IMS memilih untuk berdagang pada pukul 06.00-02.00 Wib karena ingin mendapatkan banyak konsumen. Sementara itu, kerja sama yang dilakukan Ibu IMS dan suaminya ini berbentuk pengaturan pergantian waktu tidur. Jika kekurangan modal maka Ibu IMS berhutang pada pedagang langganan tempat dia berbelanja bahan baku untuk warungnya. Berdasarkan kisah kehidupan Ibu IMS, menunjukkan bahwa Ibu IMS mengeksploitasi tenaga diri sendiri dan anggota rumah tangga bertujuan untuk
66 mendapatkan banyak konsumen, di mana konsumen akan banyak berdatangan pada malam hari sehingga pendapatan pada malam hari lebih tinggi pada pagi atau siang. Selain itu, Ibu IMS melakukan eksploitasi diri karena sumber nafkah yang dimanfaatkan terbatas yaitu terbatasnya jangka waktu untuk mengelola warung makan dan ketika di kampung halaman Ibu IMS juga tidak mempunyai sawah untuk menggantungkan hidupnya Strategi Menekan Biaya Berdagang Terbatasnya modal yang digunakan oleh pedagang makanan membuat para pedagang melakukan strategi untuk menekan biaya berdagang. Penekanan biaya berdagang ini dimaksudkan agar biaya yang dikeluarkan untuk berdagang menjadi berkurang. Berikut ini tabel sebaran tempat tinggal responden pedagang makanan di Jalan Babakan. Berdasarkan tabel 23 di bawah ini menunjukkan bahwa dari 35 responden terdapat 28,6% pedagang makanan yang tinggal di Babakan Tengah; 22,9% pedagang makanan yang tinggal di Babakan Raya; 11,4% pedagang makanan yang tinggal di Babakan Lebak; dan 8,6% pedagang makanan yang tinggal di Babakan Lio. Sementara itu 28,5% pedagang makanan yang tinggal di sekitar Kecamatan Dramaga. Lokasi Babakan Raya, Babakan Lebak, Babakan Lio dan Babakan Tengah merupakan lokasi yang dilewati oleh Jalan Babakan, sehingga wajar jika dua lokasi ini banyak dipilih pedagang makanan untuk digunakan sebagai tempat tinggal, dengan bertempat tinggal antara dua lokasi tersebut maka antara tempat tinggal dan tempat berdagang berjarak dekat. Kedekatan jarak antara tempat tinggal dan tempat berdagang memberikan keuntungan yaitu biaya transporatasi bisa ditekan. Tabel 23. Sebaran tempat tinggal responden pedagang makan di Jalan Babakan, tahun 2012 Alamat Tempat Tinggal Babakan Lebak Babakan Lio Babakan Raya Babakan Tengah Bubulak Ciampea Cibanteng Cilebut Ciomas Laladon Pasar Anyar Total
Frekuensi 4 3 8 10 1 1 4 1 1 1 1 35
Persentase 11,4 8,6 22,9 28,6 2,9 2,9 11,4 2,9 2,9 2,9 2,9 100,0
Sumber: data primer
Penekanan biaya berdagang yang dilakukan sebagai berikut. Pertama, pedagang menekan biaya transportasi yaitu dengan cara tinggal di tempat yang dekat dengan tempat berdagang. Pedagang makanan di Jalan Babakan berasal dari kota-kota yang jauh dari tempat mereka berdagang. Oleh karena itu, mereka berstrategi mendekatkan tempat tinggal mereka dengan tempat usaha mereka. Berdasarkan tabel 21 di bawah ini menunjukkan bahwa 28,6% pedagang makanan
67 tinggal di Babakan Tengah dan 22,9% pedagang makanan tinggal di Babakan Raya. Kedua, menekan biaya sewa rumah dan tempat berdagang. Pedagang makan berfikir secara rasional bahwa jika menyewa sepetak bangunan yang digunakan untuk berdagang dan menyekat petakan tersebut untuk dijadikan tempat tidur maka pedagang akan menghemat sejumlah uang yang seharusnya digunakan untuk menyewa rumah. Contoh Bapak CC (63 tahun) menyatakan bahwa “Saya itu Neng kalau tidur ya di warung ini juga, karena warung ini buka dua puluh empat jam. Malah enak tidak usah menyewa kontrakan atau kosan lagi, toh juga tidurnya gantian sama anak saya”. Berdasarkan pernyataan Pak CC menunjukkan bahwa dengan tidur di warung secara bergantian dengan anaknya maka dapat menghemat biaya hidup di Kecamatan Dramaga. Strategi ini dipilih Pak CC karena modal finansial yang dimilikinya kurang mencukupi kebutuhan keluarganya, sehingga uang yang seharusnya digunakan untuk menyewa tempat tinggal bisa dikirimkan ke kampung halaman. Ketiga, pedagang juga menekan biaya transportasi yaitu dengan cara tinggal di satu bangunan yang sama dengan tempat berdagang. Contoh Mbak MM (34 tahun) menyatakan bahwa “Dulu Saya pernah tinggal di pakuan regency tapi karena jauh dari tempat berjualan makanya saya pindah kos di atas warung ini agar tidak menghabiskan uang untuk transportasi”. Berdasarkan pernyataan Mbak MM menunjukkan bahwa mendekatkan tempat tinggal dengan tempat usaha berdagangnya maka Mbak MM dapat menekan biaya transportasi. Keempat, pedagang menekan biaya dengan menjual makanan dagangang sisa sebelumnya. Contoh Bapak IBR (72 tahun) menyatakan bahwa, “Jika dagangan ini masih sisa biasanya bahan yang masih bisa digunakan tersebut besoknya akan saya dijual lagi”. Sementara itu, terdapat contoh kasus dari Ibu YTI (54 tahun) menyatakan bahwa, “Sekarang mah dagangan ibu sepi karena banyak yang pada jualan, makanya jika dagangan masih sisa biasanya ditaruh di kulkas biar besoknya bisa dijual lagi”. Berdasarkan contoh kasus Bapak IBR dan Ibu YTI menunjukkan bahwa penekanan modal finansial untuk berdagang dilakukan dengan cara memanfaatkan barang berdagang sisa dari barang dagangan yang dijual sebelumnya. Strategi Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan yang digunakan untuk berdagang makanan dikategorikan menjadi tiga yaitu area publik lahan sewa, dan lahan milik sendiri. Area publik ini berupa trotoar dan pinggir jalan. Tabel 24. Frekuensi dan persentase status penguasaan lahan responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Status Penguasaan Lahan Area publik (trotoar, pinggir jalan) Lahan sewa Milik sendiri Total Sumber: data primer
Frekuensi 12 19 4 35
Persentase 34,3 54,3 11,4 100,0
68 Berdasarkan tabel 24 menunjukkan bahwa lahan yang dimanfaatkan oleh pedagang makanan di Jalan Babakan adalah 54,3% menyewa lahan; 34,3% menggunakan lahan umum (trotoar, pinggir jalan); dan 11,4% memiliki lahan sendiri. Terdapat 34,3% pedagang makanan yang menggunakan area publik (trotoar dan pinggir jalan) sebagai lahan berdagang. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyewaan lahan agar pendapatan yang dihasilkan bertambah. Contoh Ibu YAT. Box 5. Kasus kehidupan Ibu YAT, 30 tahun Ibu YAT merupakan pedagang mie ayam lulusan SD. Ibu YAT ini merupakan penduduk lokal Babakarn Tengah, Dramaga. Ibu YAT sudah berdagang mie ayam selam tiga belas tahun, yang mana sebelumnya Ibu YAT magang di tempat jualan mie milik kakaknya. Ibu YAT menjual mie ayam dengan cara bekerja sama dengan suaminya, di mana suaminya bertugas mengelilingkan mie ayamnya dari jalan ke jalan agar terhindar dari biaya sewa lahan atau retribusi. Biasanya dari berdagang Ibu YAT dapat menyisihkan keuntungan untuk biaya sekolah anaknya dan juga untuk dijadikan modal ketika dalam masa sulit. Berdasarkan kisah kehidupan Ibu YAT menunjukkan bahwa ibu YAT memanfaatkan public area karena menghindari biaya retribusi dan biaya sewa lahan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan keuntungan yang didapatkan dari berdagang. Strategi pemanfaatan lahan umum yaitu di pinggir jalan ini dilakukan oleh pedagang makanan yang tidak mempunyai bangunan berdagang permanen dan modal finansial yang terbatas. Berdasarkan observasi di lapang biasanya pedagang yang berdagang di lahan umum (trotoar dan pinggir jalan) ini adalah pedagang yang berdagang menggunakan gerobak atau mendirikan tenda sementara. Strategi Mempekerjakan Anggota Keluarga Berdasarkan tabel 25 bahwa dari 35 responden terdapat 68,8% pedagang makanan yang mempekerjakan anggota keluarga yaitu secara rinci yang hanya mempekerjakan anggota keluarga (42,9%) serta yang mempekerjakan anggota keluarga dan selain anggota keluarga (25,7%). Secara rinci ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 25. Frekuensi dan persentase pemanfaatan tenaga kerja oleh responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Pemanfaatan Tenaga Kerja Mempekerjakan anggota keluarga Mempekerjakan anggota keluarga dan orang selain anggota keluarga Mempekerjakan selain anggota keluarga Tidak mempekerjakan pegawai Total Sumber: data primer
Frekuensi 15
Persentase 42,9
9
25,7
5 6 35
14,3 17,1 100,0
69 Mempekerjakan anggota keluarga bukan berarti tidak mengeluarkan uang untuk mengupah tenaga yang dikeluarkan anggota keluarga tersebut. Mempekerjakan anggota keluarga juga bukan berarti tanpa pertimbangan rasionalitas. Contoh Ibu NA dan Ibu NEN. “Saya mempekerjakan sembilan belas karyawan, karyawan yang saya pekerjakan adalah saudara-saudara dekat saya. Saya lebih memilih saudara saya untuk menjadi karyawan karena attitude mereka yang lebih bisa saya percaya” (NA, 38 tahun). “Saya mempekerjakan empat karyawan, dari empat karyawan tersebut dua diantaranya adalah adik saya. Saya menyuruh mereka bantu-bantu di sini agar mereka mempunyai uang jajan sekolah sehingga tidak minta lagi ke orang tua” (NEN, 25 tahun).
Berdasarkan penuturan Ibu NA tersebut menunjukkan bahwa mempekerjakan anggota keluarga dimaksudkan untuk mengamankan usaha berdagangnya karena ada aspek dari pegawai yang bisa dipercaya yaitu tentang sikap dan moral pegawai tersebut. Sementara itu, berdasarkan penuturan Ibu NEN menunjukkan bahwa upah diberikan kepada anggota keluarga yang dipekerjakan dalam usaha berdagang makanan untuk membantu orang tuanya, di mana dengan menggaji adiknya maka adiknya tidak lagi meminta uang kepada orang tua. Strategi ini dipilih oleh Ibu NA dan Ibu NEN karena ada motivasi berupa ingin mengamankan usaha berdagang dan membantu keluarga mereka. Strategi Pembagian Kerja Strategi pembagian kerja yang dilakukan dalam usaha berdagang makanan dimaksudkan agar pendapatan yang diperoleh menjadi lebih banyak karena semakin cepat pelayanana maka semakin banyak konsumen yang dapat dilayani. Tabel 26 di bawah ini menunjukkan pembagian kerja yang dilakukan oleh pedagang makanan. Tabel 26. Frekuensi dan persentase pembagian kerja responden dalam usaha berdagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Pembagian Kerja Tidak ada pembagian kerja (satu orang mengerjakan semua pekerjaan) Fleksibel (pegawai bisa mengerjakan pekerjaan secara bergantian tergantung situasi) Ada yang bertugas memasak dan melayani konsumen Ada yang bertugas memasak, melayani konsumen dan bagian kasir Total
Frekuensi
Persentase
9
25,7
8
22,9
15
42,9
3
8,6
35
100,0
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel 26 menunjukkan bahwa terdapat 51,4% pedagang yang melakukan pembagian kerja untuk melayani konsumen yaitu terdapat pegawai
70 yang bertugas memasak, melayani konsumen dan bagian pembayaran atau kasir. Sebagai contoh Ibu ERN (40 tahun) yang berdagang dengan mempekerjakan tiga pegawai sebagai orang yang melayani konsumen dan Ibu ERN sebagai penjaga kasir menyatakan bahwa “Saya mempekerjakan tiga orang agar kerjaan bisa teratasi, sehingga cepat mendapatkan uang. Kadang-kadang suami saya juga membantu untuk melayani konsumen”. Berdasarkan pernyataan Ibu ERN menunjukkan bahwa pembagian kerja dalam menjalankan usaha berdagang dapat memberi keuntungan yaitu bertambahnya pendapatan. Ibu ERN memilih strategi ini karena Ibu ERN mempunyai modal finansial yang cukup untuk membayar jasa tenaga kerja. Berdasarkan tabel 26 dan pernyataan Ibu ERN dapat disimpulkan bahwa semakin jelas pembagian kerja maka pegawai yang dipekerjakan pun semakin banyak. Semakin banyak pegawai yang dipekerjakan maka semakin cepat pelayanan konsumen sehingga konsumen yang bisa dilayani semakin banyak. Semakin banyak konsumen yang dapat dilayani maka pendapatan yang diperoleh juga semakin banyak. Strategi Ekspansi Usaha Strategi Ekspansi usaha berdagang ini dilakukan oleh pedagang yang mempunyai tingkat pendapatan rumah tangga tergolong sedang dan tinggi, sehingga modal finansial mereka mencukupi untuk mengekspansi usaha berdagang mereka. Ekspansi usaha dimaksudkan untuk menambah pendapatan berdagang dan sebagai sarana investasi. Ekspansi usaha dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekspansi usaha berdagang makanan dan ekspansi usaha dalam bentuk lain selain usaha berdagang. Contoh Ibu NA (38 tahun). Box 6. Kasus kehidupan Ibu NA, 38 tahun Ibu NA merupakan pedagang makanan lulusan perguruan tinggi, dia merupakan penduduk asli Lampung yang tinggal di Jakarta. Ibu NA ini biasanya pergi mengkontrol unit-unit usahanya dengan mengendarai mobil pribadi. Ibu NA ini berdagang makanan sejak dia berada di bangku perkuliahan. Ibu NA mempunyai tiga unit usaha makanan, satu usaha salon, dan satu usaha sewa kamar kosan. Modal finansial yang digunakan Ibu NA dalam menjalankan usaha berdagang makanannya sebesar Rp2.992.000 per hari. Jumlah pegawai yang dipekerjakan Ibu NA sebanyak dua puluh empat orang. Dari dua puluh empat orang ini mempunyai tugas berbeda-beda yaitu mengelola kosan, mengelola, salon dan mengelola unit-unit usaha makanan Ibu NA. Upah yang diberikan Ibu NA kepada masing-masing pegawainya adalah Rp600.000 per bulan. Pegawai Ibu NA sebagian besar adalah anggota keluarganya karena Ibu NA lebih percaya attide mereka. Jika Ibu NA mengalami kekurangan modal maka Ibu NA meminjam uang ke Bank. Ibu NA mempunyai dua anak, satu anak berumur dua tahun dan yang lain sudah bersekolah di TK favorit. TK favorit tempat anaknya bersekolah menarif uang SPP sebesar Rp750.000 per bulan. Sementara itu, suami ibu NA bekerja di perusahaan.
71 Berdasarkan kisah kehidupan Ibu NA tersebut menunjukkan bahwa ekspansi yang dilakukan oleh Ibu NA merupakan ekspansi usaha berdagang dan usaha dalam bentuk lain selain usaha berdagang yaitu salon dan bangunan kosan. Ibu NA mempekerjakan anggota keluaraga besarnya karena berusaha mengamankan unit-unit usahanya dari resiko penipuan dan penghianatan. Sementara itu, contoh lain dari ekspansi usaha adalah ekspansi usaha yang dilakukan oleh Pak STN (29 tahun). “Setelah saya mendengar cerita sukses dari tetangga saya di bidang wirausaha maka saya mencobaberdagang soto ini. Ya, usaha pertama saya ini merupakan wahana untuk belajar. Belum tentu Mbak usaha pertama merupakan jalan sukses di masa depan, siapa tahu akan sukses di bidang lain gitu lo maksudnya. Tapi Alhamdulillah saya sudah mengekspansi soto ini ke Cikarang, soto yang di Cikarang dikelola oleh adik saya. Soto yang di Cikarang ini baru berdiri seminggu jadi belum tahu omset penjualannya Mbak. Saya memilih mengekspansi soto ini ke Cikarang karena karakteristik masyarakatnya cukup berpenghasilan tinggi karena di sana banyak industri, jadi di Cikarang Saya melihat segmen konsumennya adalah pekerja sudah berpenghasilan sehingga saya kira mereka akan loyal dalam mengeluarkan uang” (STN, 29 tahun).
Berdasarkan pernyataan Pak STN menunjukkan bahwa ekspansi yang dilakukan oleh Pak STN merupakan ekspansi usaha berdagang yang bertujuan untuk menambah pendapatan berdagang. Sementara itu berdasarkan contoh kasus Ibu NA dan Pak STN dapat disimpulkan bahwa mereka melakukan ekspansi usaha karena modal finansial yang mereka miliki mencukupi untuk ekspansi usaha. Strategi Berhutang dan Pencairan Investasi Strategi berhutang dan mencairkan investasi berkaitan dengan modal finansial yang dimiliki oleh pedagang makanan dalam menjalankan usaha berdagang makanannya. Strategi berhutang dan mencairkan investasi ini dilakukan ketika pedagang makanan menghadapi masa sangat sulit secara finansial. Tabel 27 menunjukkan strategi untuk menghadapi masa sangat sulit yang dilakukan oleh pedagang makanan. Tabel 27. Frekuensi dan persentase usaha yang dilakukan responden pedagang makanan di Jalan Babakan dalam menghadapi masa sulit, tahun 2012 Usaha Menghadapi Masa Sulit pencairan investasi Berhutang pada saudara/tetangga Berhutang pada mitra usaha Berhutang pada bank/lembaga formal Total
Frekuensi 14 11 7 3 35
Persentase 40,0 31,4 20,0 8,6 100,0
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel 27 di atas menunjukkan bahwa terdapat 40% pedagang mencairkan investasi dan 60% pedagang berusaha berhutang pada saudara/tetangga/mitra usaha/bank ketika menghadapi masa sulit. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pedagang lebih banyak memilih untuk
72 berhutang ketika menghadapi masa sulit. Sebagai contoh Ibu HN (31 tahun) menyatakan bahwa “ketika kekurangan modal saya meminjam uang pada PNPM di desa sebesar Rp1.000.000 dengan bunga 20%, sampai saat ini hutang Saya belum lunas sehingga setiap bulan saya harus mengangsur Rp120.000”. Berdasarkan penuturan Ibu HN menunjukkan bahwa ibu HN melakukan peminjaman uang pada PNPM karena kurangnya modal finasial dan adanya akses untuk meminjam uang pada PNPM desa. Selain itu, Ibu HN memilih meminjam uang ke PNPM karena modal sosial yang ibu HN miliki juga lemah yaitu saudara dan tetangganya yang juga kurang mempunyai modal finansial untuk dipinjamkan ke Ibu HN serta Ibu HN juga tidak mempunyai investasi yang cukup yaitu dibuktikan bahwa Ibu HN masih tinggal menumpang di rumah ibunya. Sementara itu, strategi pencairan investasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan untuk memperoleh modal finasial dalam berdagang makanan. Sebagai contoh Ibu NAR (41 tahun). Box 7. Kisah kehidupan kasus Ibu NAR, 41 tahun. Ibu NAR, merupakan seorang pedagang makanan lulusan SD yang datang dari Jawa Tengah. Ibu NAR mempunyai dua anak yang keduanya sekarang duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ibu NAR sudah berdagang makanan di Jalan Babakan selama tujuh tahun. Awalnya Ibu NAR merupakan seorang ibu rumah tangga biasa, tetapi karena adanya tuntutan hidup untuk mencukupi kebutuhan, maka Ibu NAR berdagang makanan. Ibu NAR bisa berdagang makanan di trotoar Jalan Babakan karena pada saat itu, pimpinan suaminya memberi ijin untuk berdagang di depan Telkom. Suatu saat, suaminya suaminya diPHK (Pemutusan Hubungan Kerja) oleh Telkom, maka akhirnya suaminya juga menjadi pedagang makanan. Lahan yang digunakan berdagang Ibu NAR merupakan public area sehingga Ibu NAR selalu khawatir pada eksistensi usaha dagangan makananya. Sementara itu, terdapat kendala yaitu kurangnya modal finansial, apalagi setelah lebaran (Idul Fitri). Ketika setelah lebaran biasanya Ibu NAR mengalami kekurangan modal karena selama dua bulan usaha berdagang makanannya ditutup, sehingga tidak ada pemasukan untuk kehidupan seharihari. Upaya untuk menghadapi kondisi tersebut ibu NAR biasanya berhutang bahan-bahan belanjaan pada pedagang langganannya, menjual perhiasan dan menggadaikan surat rumahnya. Berdasarkan kisah kehidupan Ibu NAR menunjukkan bahwa rumah tangga Ibu NAR sangat bergantung pada public area yaitu trotoar Jalan Babakan dan pinggir Jalan Cibanteng. Hal ini terjadi Ibu NAR merupakan pendatang yang memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga Ibu NAR tidak bisa memasuki pekerjaan sektor formal. Ketika menghadapi kekurangan modal finansial maka Ibu NAR berhutang bahan-bahan belanjaan pada pedagang langganannya, menjual perhiasan dan menggadaikan surat rumahnya, strategi tersebut dipilih Ibu NAR karena Ibu NAR merupakan pendatang yang kurang mempunyai modal sosial seperti saudara dan tetangga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibu NAR yang menyatakan bahwa, “saya sudah tujuh tahun tinggal di sini Mbak, tetapi saya masih merasa terancam karena ini bukan daerah saya asli. pernah saya ribut dengan tetangga atas kasus parkir motor di jalan depan rumah saya, sampai akhirnya saya didatangi orang tersebut sambil membawa golok”.
73 Berdasarkan tabel 27 serta pernyataan Ibu HN, dan kisah Ibu NAR, secara umum menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan dalam menghadapi masa sangat sulit dalam hal kekurangan modal finansial adalah strategi berhutang lebih banyak dilakukan dari pada mencairkan investasi. Hal ini disebabkan pedagang makanan tidak memiliki pilihan lain selain berhutang karena terbatasnya barang investasi dan lemahnya modal sosial yang mereka miliki. Terbatasnya barang investasi ini menurut Ibu HN akibat Ibu HN tidak memiliki tempat tinggal (menumpang di rumah ibunya). Keterbatasan kepemilikan barang investasi inilah yang menjadikan Ibu HN memilih strategi berhutang dalam menghadapi masa sulit modal finansial. Secara umum dapat disimpulkan bahwa strategi berhutang merupakan strategi terakhir yang dapat dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan untuk menghadapi masa sulit. Berbeda dengan penelitian Musyarofah (2006) yang meneliti strategi nafkah rumah tangga miskin perkotaan. “Strategi nafkah ‘mencairkan aset rumah tangga’ merupakan strategi yang dibangun dengan memanfaatkan aset (modal fisik) yang dimiliki rumah tangga. Aset-aset yang dimiliki seperti televisi dan kulkas akan dijual oleh rumah tangga Ibu Rs ketika mereka ada dalam kondisi sulit/krisis dan ketika tetangga maupun saudara tidak dapat memberi pinjaman uang” (Musyarofah, 2006: 118).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Musyarofah (2006) menunjukkan bahwa strategi berhutang yang dilakukan oleh rumah tangga miskin perkotaan merupakan suatu strategi pilihan antara mencairkan aset rumah tangga dan berhutang. Sementara itu, strategi berhutang yang dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan juga berbeda dengan strategi berhutang yang dilakukan oleh rumah tangga petani tembakau yang diteliti oleh Widiyanto (2009) yang menyatakan bahwa strategi berhutang berkaitan dengan akses petani terhadap modal finansial akibat kerentanan resiko gagal panen. Pada kondisi normal, strategi berhutang ini ditujukan untuk melakukan kegiatan reproduksi atau sebagai modal kegiatan usaha tani tembakau, sedangkan pada kondisi sulit strategi berhutang ditujukan untuk bertahan hidup. Strategi Mengamankan Usaha Bisnis Makan Strategi mengamankan usaha bisnis makanan ini dilakukan untuk mendapat perlindungan dari aparat desa atau instansi terkait lainnya agar usaha bisnis makanan yang para pekerja sektor informal dirikan terhindar dari penggusuran atau kendala lainnya. Tabel 28. Frekuensi pihak-pihak yang menjamin keamanan usaha bisnis responden pedagang makanan di Jalan Babakan, tahun 2012 Pihak penjamin keamanan usaha bisnis Aparat desa Pemilik lahan Penguasa lahan dan aparat desa Aparat desa dan aparat IPB Aparat desa dan pemilik lahan Tidak ada ijin Total Sumber: data primer
Frekuensi 11 1 1 3 16 3 35
Persentase 31,4 2,9 2,9 8,6 45,7 8,6 100,0
74 Berdasarkan data tabel 28, menunjukkan bahwa aparat desa berperan penting dalam menjaga keamanan usaha para pekerja sektor informal di Jalan Babakan. Contoh kasus Ibu NAR (41 tahun). “katanya IPB mau menggusur pedagang-pedagang seperti saya Mbak, ya Saya harus bagaimana jika nanti itu benar-benar terjadi. Saya berfikir bagaimana keadaan saya nanti, kan Saya nyari makan dari berdagang seperti ini Mbak. Malah akhir-akhir ini pegawai desa semakin menekan pedagang seperti saya dengan alasan katanya pedagang seperti saya itu bisa berjualan berkat pertolongan dari desa. Makanya Mbak pegawai desa mau menaikan uang retribusi dari Rp3500 per hari Rp10.000 per hari jika tidak membayar katanya saya disuruh tidak berjualan di sini” (Ibu NAR, 41 tahun).
Berdasarkan penuturan Ibu NAR menunjukkan bahwa aparat desa memiliki andil besar dalam mempengaruhi kebijakan IPB atas pedagang makanan di Jalan Babakan. Sementara itu, salah satu informan yaitu Ibu NEN (25 tahun) menyatakan bahwa: “Dulu ketika saya masih bekerja di warung-warung milik keluarga saya, saya sering melihat preman dan anak buahnya yang makan tanpa membayar. Kemudian untuk mendapatkan tempat berjualan di trotoar maka harus membeli pada orang yang sebelumnya menempati lahan dan harus tetap membayar ke desa serta orang yang berkuasa di sana Mbak, ya bisa disebut preman sanalah. Belum lagi jika ada isu penggusuran dan relokasi maka pedagang-pedagang yang ada di sana iuran untuk menyuap seseorang entah itu dari pihak IPB atau desa agar tidak di bongkar” (Ibu NEN, 25 tahun).
Berdasarkan penuturan Ibu NEN, menunjukkan adanya ketumpangtindihan antara pihak aparat desa dan aparat IPB sehingga terdapat celah terjadinya birokratism. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan ketua paguyuban kios di Jalan Babakan. “Penarikan uang retribusi dari para pedagang itu di bawahi oleh dua pihak yaitu pihak desa yang mengambil uang retribusi di auning (pedagang yang berjualan di trotoar dan pinggir jalan) dan pihak IPB yang mengambil uang hak guna usaha dari para pedagang berkios di Babakan Raya. Dulu sekitar dua tahunan ada oknum IPB yang juga memungut uang retribusi dari auning lo, kan akibatnya para pedagang merasa aman berdagang di auning itu” (AHS, 37 tahun).
Berdasarkan penuturan Pak AHS ini memperkuat bahwa jaminan keamanan dikuasai oleh dua pihak yaitu aparat desa dan aparat IPB, sehingga terdapat ruang celah bagi oknum untuk melakukan birokratism. Di samping itu, pekerja sektor informal juga mendapat jaminan keamanan usaha bisnis makanan dari preman (penguasa lahan) dan pemilik lahan. Ikhtisar Dharmawan (2007) menyatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Strategi yang dibangun oleh rumah tangga pekerja sektor informal khususnya pedagang makan adalah pola nafkah ganda, strategi mengeksploitasi diri, strategi menekan biaya berdagang, strategi pemanfaatan lahan, strategi mempekerjakan anggota keluarga, strategi pembagian kerja, strategi ekspansi usaha, serta strategi berhutang, mencairkan investasi dan strategi usaha mengamankan bisnis makanan.
75 Usaha berdagang makanan di Jalan Babakan, dikelola dengan manajemen usaha yang sederhana dengan cara tradisional. Usaha berdagang makanan ini juga belum terakomodir secara teratur sehingga banyak pedagang makanan yang berdagang di pinggir jalan, trotoar dan bangunan-bangunan yang berada di permukinan padat penduduk. Resiko pedagang makanan di public area lebih tinggi dari pada resiko pedagang makanan di permukiman padat penduduk, karena pedagang makanan di public area beresiko adanya penggusuran sehingga dapat mengakibatkan hilangnya sumber nafkah. Atas dasar adanya resiko tersebut maka rumah tangga pedagang makanan tidak bisa menggantungkan hidupnya pada usaha berdagang makanan, melainkan harus melakukan income diversity berupa adanya pekerjaan sampingan seperti buruh cuci baju, tukang pijit, dan mempekerjakan anggota rumah tangga. Sementara itu, strategi nafkah dibangun atas adanya alasan tuntutan hidup, dapat diartikan juga sebagai alasan bertahan hidup. Alasan bertahan hidup inilah yang membuat pekerja informal melanjutkan usaha berdagang makanan sekalipun di public area. Strategi nafkah dibentuk oleh lima basis sumber nafkah (modal alam, fisik, sumberdaya manusia, finansial dan sosial) yang dipengaruhi oleh keberadaan struktur sosial-ekonomi. Semakin secure modal alam yang dapat diakses maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin besar modal finansial untuk berdagang maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin permanen bangunan atau modal fisik yang dimanfaatkan untuk berdagang maka semakin tinggi tingkat pendapatan; semakin banyak pegawai yang dipekerjakan maka semakin tinggi tingkat pendapatan; sementara itu, tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan tingkat pendapatan. tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan pendapatan dari usaha berdagang makanan karena pada dasarnya dalam menjalankan usaha berdagang diperlukan pengalaman bukan pendidikan formal yang tinggi saja. Pola nafkah ganda yang berlangsung pada rumah tangga pedagang makanan adalah sebagai berikut. Pertama, suami-istri yang masing-masing bekerja dalam satu sektor informal yaitu berdagang makanan. Strategi nafkah pola nafkah ganda dengan bentuk ini dilakukan oleh rumah tangga yang anggota rumah tangga mempunyai tingkat pendidikan rendah dan sedang. Kedua, suami-istri bekerja di sektor informal namun berlainan jenis sektor informal yang diusahakan. Strategi nafkah pola nafkah ganda dengan bentuk ini dilakukan oleh rumah tangga yang anggota rumah tangga mempunyai tingkat pendidikan rendah dan sangat rendah. Ketiga, suami-istri bekerja di sektor yang berlainan yaitu antara sektor informal dan formal. Strategi nafkah pola nafkah ganda dengan bentuk ini dilakukan oleh rumah tangga yang anggota rumah tangga mempunyai tingkat pendidikan tinggi dan sangat tinggi. Bentuk strategi nafkah pola nafkah ganda tersebut menunjukkan perbedaan akses untuk mendapatkan pekerjaan formal antara rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah, dan sedang mempunyai keterbatasan untuk melakukan usaha di luar sektor informal, sehingga pola nafkah ganda dilakukan tetap berada di jenis-jenis sektor informal. Sementara itu, rumah tangga yang tergolong pada tingkat pendapatan tinggi dapat mengakses sektor-sektor formal sehingga pola nafkah ganda dilakukan di sektor formal. Sementara itu, dari ketiga contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa mereka membangun strategi nafkah pola nafkah ganda karena adanya tuntutan
76 kehidupan, walaupun melalui aktivitas nafkah dan proses menjadi pekerja sektor informal yang berbeda-beda Strategi mengeksploitasi diri merupakan strategi yang dilakukan pedagang makanan melalui pemerasan tenaga dari tubuh agar pendapatan yang mereka peroleh bertambah. Strategi mengeksploitasi diri ini dilakukan dengan cara memaksimalkan waktu produksi dan mengurangi waktu reproduksi. Jumlah pedagang makanan di Jalan Babakan yang mengeksploitasi diri mereka lebih banyak dari pada pedagang makanan yang tidak mengeksploitasi diri. Mengeksploitasi tenaga diri sendiri dan anggota rumah tangga bertujuan untuk mendapatkan konsumen, di mana konsumen akan banyak berdatangan maka pendapatan akan bertambah. Sementara itu, tujuan dari strategi mengeksploitasi diri dengan bekerja di dua jenis sektor informal berbeda ini, untuk mendapatkan pendapatan tambahan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Strategi mengeksploitasi diri ini dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah, sedang dan tinggi. Pada rumah tangga pedagang makanan yang tergolong pada tingkat pendapatan rendah mempunyai sumber nafkah berupa modal finansial dan tingkat pendidikannya rendah, sehingga rumah tangga tersebut hanya mampu memanipulasi secara maksimal sumber nafkah berupa kekuatan dalam diri untuk dieksploitasi agar bisa mendatangkan banyak pendapatan. Terbatasnya modal yang digunakan oleh pedagang makanan membuat para pedagang melakukan strategi untuk menekan biaya berdagang. Penekanan biaya berdagang ini dimaksudkan agar biaya yang dikeluarkan untuk berdagang menjadi berkurang. Penekanan biaya berdagang yang dilakukan sebagai berikut: pertama, pedagang juga menekan biaya transportasi yaitu dengan cara tinggal di tempat yang dekat dengan tempat berdagang; kedua, menekan biaya sewa rumah dan tempat berdagang; ketiga, pedagang menekan biaya transportasi yaitu dengan cara tinggal di satu bangunan yang sama dengan tempat berdagang; keempat, pedagang menekan biaya dengan menjual makanan dagangang sisa sebelumnya. Strategi pemanfaatan lahan, berjualan di lahan umum yaitu di trotoar dipilih karena berdagang di trotoar lebih mengguntungkan akibat tata letak yang dekat dengan konsumen, sedangkan berdagang di lahan umum yaitu di trotoar mempunyai banyak resiko. Sementara itu, berdasarkan observasi di lapang biasanya pedagang yang berdagang di lahan umum (trotoar dan pinggir jalan) ini adalah pedagang yang berdagang menggunakan gerobak atau mendirikan tenda sementara. Strategi memperjakan anggota keluarga, mempekerjakan anggota keluarga dimaksudkan untuk mengamankan usaha berdagangnya karena ada aspek dari pegawai yang bisa dipercaya yaitu tentang sikap dan moral pegawai tersebut. Sementara itu, upah diberikan kepada anggota keluarga yang dipekerjakan ditujukan untuk membantu orang tuanya, di mana dengan menggaji anggota keluarga maka anggota keluarga tidak lagi membebani keluarga dan rumah tangganya. Strategi pembagian kerja yang dilakukan dalam usaha berdagang makanan dimaksudkan agar pendapatan yang diperoleh menjadi lebih banyak karena semakin cepat pelayanana maka semakin banyak konsumen yang dapat dilayani. Semakin jelas pembagian kerja maka pegawai yang dipekerjakan pun semakin banyak. Semakin banyak pegawai yang dipekerjakan maka semakin cepat pelayanan konsumen sehingga konsumen yang bisa dilayani semakin banyak. Semakin banyak konsumen yang dapat dilayani maka pendapatan
77 semakin banyak juga. Strategi pembagian kerja ini dipilih oleh rumah tangga pedagang makanan yang mempunyai cukup modal finansial untuk membayar jasa tenaga kerja. Strategi Ekspansi usaha berdagang ini dilakukan oleh pedagang yang mempunyai tingkat pendapatan rumah tangga tergolong sedang dan tinggi, sehingga dapat dipastikan bahwa rumah tangga pedagang makanan yang melakukan strategi ekspansi usaha ini adalah mereka yang mempunyai modal finansial yang lebih dari cukup. Ekspansi usaha dimaksudkan untuk menambah pendapatan berdagang dan sebagai sarana investasi. Ekspansi usaha dapat dibedakan menjadi dua yaitu ekspansi usaha berdagang makanan dan ekspansi usaha dalam bentuk lain selain usaha berdagang. Strategi berhutang dan mencairkan investasi berkaitan dengan modal finansial yang dimiliki oleh pedagang makanan dalam menjalankan usaha berdagang makanannya. Strategi berhutang dan mencairkan investasi ini dilakukan ketika pedagang makanan menghadapi masa sangat sulit secara finansial. Sementara itu, strategi mengamankan usaha bisnis berdagang makanan yang dilakukan oleh pekerja sektor informal adalah jaminan keamanan usaha bisnis makanan dari aparat desa, IPB, preman (penguasa lahan) dan pemilik lahan. Strategi mengamankan usaha bisnis makanan ini dilakukan oleh rumah tangga pedagang makanan agar mereka terhindar dari penggusuran dan relokasi. Berdasarkan kisah strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh golongan tingkat pendapatan rumah tangga tinggi, sedang dan rendah menunjukkan perbedaan. Proses menjadi pekerja sektor informal pada golongan rumah tangga pendapatan rendah menunjukkan bahwa pada anggota rumah tangga tersebut melakukan pekerjaan sebagai pedagang makanan karena terlempar dari sektor informal yang sebelumnya mereka kerjakan. Sementara itu, Proses menjadi pekerja sektor informal pada golongan rumah tangga pendapatan sedang dan tinggi menunjukkan bahwa pada anggota rumah tangga tersebut melakukan pekerjaan sebagai pedagang makanan karena pilihan yang mereka buat sendiri, yang mana seharusnya mereka bisa memasuki pekerjaan formal tetapi mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor informal.