BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Keberdayaan petani termasuk juga petani tebu tidak hanya ditentukan oleh kemampuan adopsi inovasi usahatani yang berbasis teknologi. Adopsi inovasi kelembagaan juga merupakan hal yang cukup penting untuk menunjang keberdayaan petani. Berikut adalah beberapa kesimpulan penelitian mengenai pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan di Kecamatan Dukusheti, Kabupaten Pati: 1. Petani tebu lahan marginal mengalami polarisasi menjadi dua kelompok utama yaitu kelompok petani tebu dengan kapasitas usaha besar (kelompok petani pedagang dan petani besar kemitraan) serta kelompok petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil (petani perantara, petani kecil pemilik lahan dan petani kecil penyewa lahan). Petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil (petani perantara, petani kecil penyewa lahan, dan petani kecil pemilik lahan) tidak berdaya untuk melakukan adopsi inovasi kelembagaan kemitraan. Petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil berada pada tahap transisi dari pertanian subsisten menuju pertanian komersial. Petani tebu lahan marginal dengan kapasitas besar bertahan dengan ekstensifikasi luasan lahan sehingga tercapai tujuan keuntungan komersial sedangkan pada petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil bertahan dengan ikatan patronasi pada petani pedagang. Fakor pendorong adopsi inovasi kelembagaan kemitraan pada petani tebu lahan marginal dengan kapasitas besar adalah adopsi inovasi kelembagaan kemitraan yang seiring dengan kondisi sebelumnya, sifat adopsi inovasi kelembagaan kemitraan yang sesuai kondisi petani, adopsi inovasi kelembagaan kemitraan yang kompatible, rendahnya kompleksitas adopsi inovasi kelembagaan kemitraan, kemudahan untuk melakukan adopsi inovasi kelembagaan kemitraan, serta tingginya observabilitas inovasi kelembagaan kemitraan. Faktor pendorong adopsi inovasi kelembagaan kemitraan pada
petani tebu dengan kapasitas usaha kecil adalah sifat ekonomi dan efek insentif dari adopsi inovasi kelembagaan kemitraan serta observabilitas adopsi inovasi kelembagaan kemitraan. Faktor penghambat adopsi inovasi kelembagaan pada petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil adalah jenis inovasi kelembagaan yang tidak seiring dengan kondisinya, aspek status dan keuntungan relatif yang rendah, kompatibilitas adopsi inovasi kelembagaan
kemitraan
yang
rendah,
kompleksitas
adopsi
inovasi
kelembagaan yang tinggi dan tingginya kesulitan untuk melakukan adopsi inovasi kelembagaan. Faktor penghambat adopsi inovasi kelembagaan kemitraan pada petani tebu lahan marginal dengan kapasitas tinggi tidak ditemukan, sehingga mereka lebih mudah melakukan adopsi inovasi kelembagaan. 2. Tingkat adopsi inovasi petani tebu lahan marginal rendah dalam adopsi inovasi kelembagaan kemitraan. Petani tebu lahan marginal belum mampu melakukan adopsi inovasi kelembagaan sebesar 75% dari seluruh populasi. Sedangkan petani tebu yang sudah melakukan adopsi inovasi kelembagaan kemitraan adalah sebesar 25% dari seluruh populasi. Petani tebu lahan marginal dengan kapasitas besar (petani pedagang dan petani besar kemitraan) berhasil melakukan adopsi inovasi kelembagaan kemitraan. Kelompok petani ini merupakan 25 % dari seluruh populasi petani. Terdapat satu orang yang merupakan innovator dalam adopsi inovasi kelembagaan kemitraan dan merupakan petani pedagang. Kelompok early adopter dan early majority diisi oleh para petani pedagang yang memang lebih kosmopolit dibanding kelompok lain. Kelompok petani besar kemitraan dengan tingkat kekosmopolitian yang lebih rendah menjadi kelompok late majority. Petani tebu dengan kapasitas usaha kecil dan merupakan 75 % dari seluruh populasi merupakan kelompok petani laggards. Mereka tidak mampu melakukan adopsi inovasi kelembagaan kemitraan dengan berbagai macam sebab. Terdhap tiga penyebab utama, yaitu (1) ketimpangan luas lahan yang mereka kelola dengan petani dengan kapasitas besar, (2) kondisi lahan yang
marginal, dan (3) pola patronasi sehingga mereka menjadi tergantung dengan petani pedagang. Jumlah petani laggards yang cukup besar ini menjadi bukti bahwa proses adopsi inovasi kelembagaan kemitraan tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Rogers di mana laggard proporsinya hanya sebesar 16% dari seluruh populasi petani (1999). Beberapa kondisi petani laggard dalam penelitian ini tidak sesuai dengan temuan Rogers (1999), karena ternyata petani laggards dalam penelitian ini bukan kelompok yang lokalit dan terisolasi dari jejaring sosial, tidak tradisional serta tidak tertinggal dari ide-ide perubahan sebagaimana yang dijelaskan oleh Rogers. Kondisi laggard dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa mereka melakukan suatu pilihan rasional untuk tidak melakukan adopsi inovasi kelembagaan. Tiga alasan dalam melakukan pilihan rasional tersebut meliputi alasan untuk peningkatan pendapatan, pengurangan risiko kegagalan dan penyesuaian kapasitas ekonomi. Kemunculan pilihan rasional tersebut sebagai respon dari ketidak mampuan mereka untuk melakukan adopsi inovasi kelembagaan kemitraan sebagai konsekuensi kondisi objektif yang melekat padanya. 3. Model pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan
kemitraan
disesuaikan
dengan
kondisi
masing-masing
kelompok petani sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan tujuan pencapaian pada masing-masing kelompok petani. Model kelembagaan tersebut terdiri dari empat hal yang harus dilakukan dan satu tujuan capaian, yaitu: pengondisian menuju inovasi kelembagaan, proses inovasi kelembagaan, pengondisian menuju adopsi inovasi kelembagaan, dan proses adopsi inovasi kelembagaan serta tujuan capaian petani sejahtera. Model kelembagaan juga terdiri dari sepuluh masukan, yaitu kredit multi tahun, kredit kebutuhan hidup, kredit perluasan lahan, perubahan kelembagaan penyuluh, perbuahan kelembagaan KKPE, perubahan kelembagaan layanan pabrik gula, pelatihan PPL, partisipasi adopsi kelembagaan kemitraan, FGD penyadaran akan kerugian
tebasan
APTRI/KPTR,
dan
tempuran,
peningkatan
perubahan
partisipasi
petani
syarat
keanggotaan
pada
keanggotaan
APTRI/KPTR, pelatihan petani, pendampingan oleh pemerintah, dan pendampingan oleh APTRI/KPTR. Pelatihan juga penting untuk mempercepat tercapainya adopsi inovasi kelembagaan
yang
dilakukan
dengan
identifikasi
kebutuhan
dan
pengembangan materi pelatihan. Pelatihan dengan materi yang sesuai diharapkan akan menunjang model pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan. Petani akan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melakukan adopsi inovasi kelembagaan. B. IMPLIKASI Hasil penelitian pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan menghasilkan beberapa implikasi teoretik, metodologis, dan praktis, sebagai berikut: 1. Implikasi Teoretik a.
Poporsi laggards dalam proses adopsi inovasi di penelitian ini tidak sepenuhnya sesuai dengan temuan Rogers (1999), memperlihatkan bahwa terdapat hal yang berbeda antara adopsi inovasi teknologi dengan adopsi inovasi kelembagaan. Implikasi lain yang tidak kalah penting adalah ketimpangan karena kapasitas ekonomi, ketergantungan petani dengan kapasitas usaha kecil terhadap petani pedagang dan sifat lahan marginal berpengaruh pada jumlah petani laggards.
b. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan hal yang berbeda karena kebertahanan petani tebu dengan kapasitas usaha kecil pada posisi laggards merupakan pilihan yang rasional dengan landasan objektif sengaja untuk tidak melakukan adopsi inovasi kelembagaan. Implikasi teoritik dari penelitian, ternyata petani laggards merupakan kelompok yang rasional dan objektif. Petani laggards dalam kasus ini tidak melakukan adopsi inovasi kelembagaan bukan karena tidak mau, akan tetapi karena memang secara sadar memilih untuk tidak melakukan adopsi inovasi kelembagaan sebagai akibat kondisi objektif dan keterbatasan mereka sebagai wujud “tahu diri”.
c. Faktor utama keberdayaan petani bukan lagi diukur dari tercapainya adopsi inovasi teknologi usahatani. Faktor yang lebih penting dalam keberdayaan petani lahan marginal adalah adopsi inovasi kelembagaan. Kegagalan adopsi inovasi kelembagaan berakibat lebih nyata pada petani dibandingkan adopsi inovasi teknologi. d. Diperlukan perubahan paradigma dalam memahami konsep petani laggards yang selama ini dianggap sebagai kelompok yang tidak mau berubah, menjadi paradigma bahwa petani laggards merupakan petani yang tidak mampu berubah. Perubahan paradigma ini akan menempatkan petani laggards sebagai kelompok petani yang harus didorong dan diberdayakan agar menjadi mampu untuk berubah serta melakukan adopsi inovasi. 2. Implikasi Metodologis Model pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan merupakan model yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pemberdayaan petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil. Model pemberdayaan tersebut mampu mendorong petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil untuk mampu melakukan adopsi inovasi kelembagaan. Model pemberdayaan tersebut juga dapat menjadikan petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil untuk tidak lagi bergantung dengan petani pedagang. 3. Implikasi Praktis Beberapa implikasi praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Petani laggards akan mudah diajak untuk melakukan adopsi inovasi apabila ditingkatkan kemampuannya untuk melakukan adopsi inovasi kelembagaan. Petani laggards yang memiliki stigma sebagai kelompok tradisional yang sulit berubah harus diubah karena pada dasarnya mereka memiliki alasan rasional dan objektif untuk tidak melakukan adopsi inovasi. Oleh karena itulah, pemerintah, penyuluh dan seluruh pemangku kepentingan menjadi penting untuk melakukan pemberdayaan agar petani menjadi mampu untuk melakukan adopsi inovasi.
b. Penerapan model pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan dapat diterapkan untuk mendukung pencapaian swasembada gula nasional. Model ini menjadi solusi bagi keterbatasan lahan untuk komoditas tebu dan menjadi solusi bagi ketidakberdayaan petani tebu dengan kapasitas usaha kecil di lahan marginal. Penerapan model ini akan menjadikan termanfaatkannya lahan-lahan marginal di seluruh Indonesia pada satu sisi dan pemberdayaan petani tebu dengan kapasitas usaha kecil pada sisi yang lain. Termanfaatkannya lahan marginal dan berdayanya petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil akan mendorong peningkatan dan swasembada gula nasional. C. SARAN Hasil penelitian pemberdayaan petani tebu lahan marginal berbasis adopsi inovasi kelembagaan menghasilkan beberapa saran sebagai berikut. 1. Diperlukan upaya penguatan faktor-faktor pendorong adopsi inovasi kelembagaan dan pengurangan faktor-faktor penghambat adopsi inovasi kelembagaan baik oleh pemerintah maupun pemangku kepentingan yang lain. Hal ini menjadi penting, agar semua kelompok petani tebu dengan kapasitas usaha kecil dapat melakukan adopsi inovasi kelembagaan dengan lebih mudah. 2. Diperlukan implementasi model pemberdayaan berbasis adopsi inovasi kelembagaan oleh pemerintah bagi petani tebu lahan marginal yang salinitasnya tinggi di seluruh Indonesia. Diperlukan perubahan dari yang selama ini fasilitas dari pemerintah hanya dapat diakses oleh petani dengan kapasitas besar menjadi petani dengan kapasitas kecil juga mampu melakukan akses fasilitas dari pemerintah. 3. Asosiasi petani tebu dan koperasi petani tebu penting untuk melakukan pendampingan petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil agar mereka menjadi mampu melakukan adopsi inovasi kelembagaan. Pendampingan dari asosiasi dan koperasi akan mempercepat proses adopsi inovasi kelembagaan pada petani tebu lahan marginal dengan kapasitas kecil.
4. Diperlukan pendampingan pada petani tebu agar dapat mengaktifkan kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Diharapkan dengan kelompok tani dan gabungan kelompok tani, pemberian kredit dari pemerintah dapat dilakukan secara tanggung renteng dan tidak menjadikan ketergantungan petani. Pendampingan juga akan memastikan kredit pemerintah bermanfaat dalam peningkatan kapasitas petani. 5. Pemerintah maupun pabrik gula diharapkan dapat melakukan program pelatihan dengan materi yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini. Diharapkan petani tebu dengan kapasitas usaha kecil dengan pelatihan yang materinya sesuai dengan kebutuhan akan dapat meningkatkan kemampuan untuk melakukan adopsi inovasi kelembagaan dan menjadi petani sejahtera.