BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut beberapa kesimpulan mengenai Sistem Rekrutmen Hakim Konstitusi yang Transparan, Partisipatif, Obyektif dan Akuntabel oleh Presiden: 1. Pengaturan sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam UU MK belum sesuai dengan kehendak UUD 1945 atau dengan kata lain sistem rekrutmen hakim konstitusi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 belum diatur secara jelas, rinci dan komprehensif di dalam UU MK. Berdasarkan pembahasan melalui pasal-pasal dalam UU MK, hal-hal yang belum sesuai dengan kehendak UUD 1945 adalah: a. Seleksi Hakim Konstitusi Dalam
hal
seleksi
hakim
konstitusi,
UU
MK
tidak
menindaklanjuti amanat dari Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 yang mengamanatkan untuk mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK dalam UU MK. UU MK justru menyerahkan sepenuhnya kepada lembaga yang berwenang (MA, DPR, dan Presiden) untuk mengatur tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi.
113
114
UU MK hanya menekankan bahwa proses pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif dan proses pemilihan hakim konstitusi harus dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Pada prakteknya, masing-masing lembaga menggunakan caranya sendiri-sendiri dalam menentukan calon hakim konstitusi yang diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dan hal ini jelas mereduksi prinsip transparan, partisipatif, obyektif dan akuntabel. b. Syarat Hakim Konstitusi Syarat calon hakim konstitusi dalam UU MK secara keseluruhan belum mencerminkan kualifikasi persyaratan ideal hakim konstitusi sebagaimana diinginkan oleh UUD 1945. Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dalam UU MK, perihal persyaratan ini kemudian dibedakan menjadi syarat untuk hakim konstitusi (Pasal 15 ayat 1) dan syarat calon hakim konstitusi (Pasal 15 ayat 2). Pengaturan dalam UU MK seperti memisahkan antara syarat atau keharusan hakim konstitusi dengan syarat calon hakim konstitusi, sehingga seolah-olah syarat pencalonan hakim konstitusi adalah sesuatu yang berbeda dengan keharusan ketika seseorang sudah menjabat sebagai hakim konstitusi. UU MK tidak menjelaskan lebih lanjut perihal syarat hakim konstitusi yang telah ditentukan oleh UUD 1945. Syarat calon hakim konstitusi
115
pada Pasal 15 ayat (2) UU MK belum cukup tepat dan representatif untuk menjelaskan persyaratan menjadi hakim konstitusi pada Pasal 15 ayat (1). Selain itu, persyaratan hakim konstitusi yang diatur pada Pasal 15 ayat (1) UU MK, rumusannya kurang sesuai dan tidak konsisten dengan rumusan ketentuan Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, terutama dalam poin tidak merangkap sebagai pejabat negara diletakkan tersendiri di Pasal 17 UU MK. c. Masa Jabatan Hakim Konstitusi Pasal 22 UU MK menentukan masa jabatan hakim konstitusi adalah 5 (lima) tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Terdapat kelemahan terhadap adanya periodisasi masa jabatan hakim konstitusi, yaitu mempengaruhi independensi MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, mendorong terjadinya penyimpangan, dan menganggu kinerja MK dalam menangani dan memutus perkara. 2. Terdapat inkonsistensi dalam proses rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Inkonsistensi ini mempengaruhi terpenuhi atau tidak terpenuhinya prinsip transparan, partisipatif, obyektif dan akuntabel dalam perekrutan hakim konstitusi. Pada periode 2008-2013 dan tahun 2014, prinsip-prinsip dalam perekrutan hakim konstitusi dapat terpenuhi. Presiden membentuk panitia seleksi hakim konstitusi masing-masing di
116
Wantimpres dan Setneg serta ada tahapan-tahapan dalam seleksi hakim konstitusi yang mencerminkan prinsip-prinsip sebagaimana disebut dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK. Sebaliknya pada periode 20032008, tahun 2010, dan periode 2013-2018, prinsip-prinsip dalam perekrutan hakim konstitusi tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan selain tidak ada panitia seleksi hakim konstitusi, juga karena tidak ada proses seleksi hakim konstitusi pada ketiga periode tersebut. Untuk periode 2003-2008, keterbatasan waktu yang hanya tersisa 3 (tiga) hari sejak disahkannya UU MK menjadi kendala utama tidak terlaksananya prinsip transparan, partisipatif, obyektif dan akuntabel. Meskipun Presiden telah mengumumkan nama-nama calon hakim konstitusi, bahkan beberapa nama merupakan usulan dari masyarakat, namun proses penilaian terhadap calon hakim konstitusi dilakukan secara tertutup. Sedangkan untuk tahun 2010 dan periode 2013-2018, Presiden menunjuk langsung calon hakim konstitusi sehingga tidak ada proses seleksi hakim konstitusi karena hanya ada satu dan dua calon tunggal. Secara otomatis, prinsip transparan, partisipatif, obyektif dan akuntabel menjadi tidak terpenuhi dan hal ini jelas melanggar UU MK.
B. Saran Terdapat beberapa rekomendasi agar sistem rekrutmen hakim konstitusi berjalan dengan transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel, yakni:
117
1. Harus ada revisi terhadap UU MK yaitu UU Nomor 24 Tahun 2003 Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, khususnya dalam hal sistem rekrutmen hakim konstitusi, antara lain: a. Tata cara seleksi berikut tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh MA, DPR dan Presiden, seharusnya tidak diserahkan kepada masingmasing lembaga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) tetapi diperjelas dan dipertegas dalam UU MK, sehingga terdapat standar yang sama terhadap hakim konstitusi yang dihasilkan oleh masing-masing lembaga untuk diajukan ke Presiden dan ditetapkan. Dengan cara seperti itu, proses seleksi menjadi transparan, partisipatif, obyektif dan akuntabel sebagaimana diharapkan dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK. b. UU MK harus bisa menindaklanjuti amanat UUD 1945 dengan menjabarkan secara lebih dalam persyaratan hakim konstitusi yaitu memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Keempat persyaratan selama ini masih abstrak dalam UUD 1945. Hal tersebut harus dikonkritkan dalam UU MK melalui penentuan syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Jadi, UU MK perlu merumuskan kriteria-kriteria yang terukur yang bisa menunjukkan seseorang mendekati atau berperilaku sesuai persyaratan tersebut.
118
c. Pengaturan masa jabatan hakim konstitusi dalam UU MK sebaiknya ditentukan hanya untuk sekali menjabat dengan masa jabatan misalnya 9 (sembilan) atau 10 (sepuluh) tahun. 2. Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan revisi terhadap UU MK maka hendaknya 3 (tiga) lembaga yang berwenang mengajukan hakim konstitusi yaitu MA, DPR, dan Presiden harus segera membuat peraturan terkait dengan proses rekrutmen hakim konstitusi di masing-masing lembaga sesuai dengan amanat UU MK sehingga prinsip transparan, partisipatif, obyektif, dan akuntabel dapat tercapai. 3. Bahkan jika diperlukan, dapat pula dilakukan amandemen kembali terhadap UUD 1945 yang menempatkan peranan Komisi Yudisial (KY) dalam proses seleksi hakim konstitusi.