BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Sesuai dengan putusan KPPU, proses pemilihan calon mitra melalui beauty contest dianggap sebagai sebuah persekongkolan. KPPU dianggap telah keliru dalam memberikan pertimbangan hukum dengan menyamakan proses beauty contest tersebut sebagai proses tender dalam lingkup pengertian Pasal 22 dan Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999. Karena secara jelas Pasal 22 dan Pasal 23 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur mengenai tender untuk pengadaan barang/ jasa dan tidak relevan jika diterapkan pada proses pemilihan calon mitra dalam proses beauty contest. Hal tersebut bertentangan dengan pengertian tender dan tidak sesuai dengan pengertian persekongkolan tender, selain itu proses pemilihan mitra dilakukan secara terbuka, dimana calon mitra mengikuti pemilihan sesuai dengan prosedur dan tidak ada kecenderungan mengarahkan Mitsubishi Corporation sebagai pemenang. KPPU dinilai menggunakan alat bukti berupa dugaan, penafsiran, dan asumsi yang dikategorikan sebagai alat bukti tidak langsung. Cara yang digunakan untuk pembuktikan kesalahan pelaku usaha tersebut dianggap tidak tepat dan penetapan bahwa proses beauty contest sebagai suatu penyediaan jasa dianggap telah menyimpang dari
91
makna pemilihan mitra yang melakukan pemilihan calon mitra kerja untuk pengembangan suatu proyek namun bukan terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/ jasa.
2.
Kurangnya penerapan pendekatan rule of reason secara normative dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010 tanggal 05 Januari 2011. Dimana keberadaan prinsip tersebut merupakan salah satu bentuk adopsi hukum sebagai konsekuensi dari “pencangkokan” terminologi-terminologi hukum persaingan AS (sherman Act) pada Undang-undang Persaingan Usaha. Dalam melakukan indentifikasi inisiatif dari KPPU telah menafsirkan secara sepihak yang hanya didasarkan pada pelaksanaan tugas wewenang yang diberikan KPPU untuk melakukan penilaian terhadap suatu perbuatan yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam prakteknya pendekatan rule of reason ketika diterapkan untuk melakukan analisa atas kasus proses beauty contest dalam proyek Donggi–Senoro tergantung dari pemahaman Hakim. Seharusnya selalu terdapat konsistensi dalam penerapan prinsip, sehingga dapat ditemukan prinsip per se illegal dan atau rule of reason yang khas dalam hukum persaingan di Indonesia.
3.
Proses beauty contest tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari tender. Beauty contest tidak termasuk dalam istilah UU No. 5 Tahun 1999, karena beauty contest merupakan istilah yang digunakan oleh negara common law
92
system. Hukum asing tidak dapat dipakai untuk menafsirkan Undangundang Indonesia berdasarkan azas kedaulatan (soveregnity), kecuali telah ditetapkan sebagai Undang-undang Indonesia oleh pembentuk Undangundang. Pemilihan mitra tidak termasuk ruang lingkup Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan pembuktian Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 seharusnya mengikuti pembuktian pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Pemilihan mitra melalui proses beauty contest tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari tender karena PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional, Tbk tidak mencari supplier atau pemasok barang dan jasa, namun mencari calon mitra yang memiliki kemampuan terhadap proyek terkait dan calon mitra kerja tersebut akan menanggung risiko kerugian usaha. KPPU dianggap telah melakukan perluasan pengertian “tender”, dimana sebenarnya KPPU tidak memiliki kewenangan untuk dapat memperluas ruang lingkup suatu Undangundang. Karena yang dapat melakukan perubahan penafsiran Undangundang adalah pembentuk Undang-undang dan Hakim, dalam hal ini KPPU bukanlah hakim sebagai organ yudikatif.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya maka terdapat beberapa saran, sebagai berikut: 1.
KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha di Indonesia hendaknya lebih hati-hati dalam memberikan pertimbangan hukum serta
93
menetapkan suatu putusan. Putusan yang ditetapkan sebaiknya sesuai dengan apa yang diatur dalam Undang-undang dan tidak melakukan perluasan ruang lingkup suatu Undang-undang yang hal tersebut bukanlah merupakan kewenangan dari KPPU. Perlunya revisi atau yudicial review atas UU No. 5 Tahun 1999, agar tidak terdapat kesan bahwa KPPU memiliki kewenangan yang tidak terbatas dan telah memberikan penafsiran yang tidak jelas, karena hal tersebut akan menimbulkan masalah yang berkepanjangan.
2.
Penggunaan pendekatan rule of reason diharapkan dapat diterapkan dengan efektif, hal ini bertujuan agar tidak terjadi dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha. Karena dengan penerapan pendekatan rule of reason yang efektif dapat menciptakan efisiensi dalam penanganan pemeriksaan perkara dimana dapat menggunakan analisa ekonomi guna memastikan apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi terhadap persaingan atau tidak. Dalam pendekatan rule of reason dimungkinkannya pengadilan melakukan interpretasi terhadap Undangundang, namun interpretasi atas Undang-undang tersebut tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang sesuai sehingga dapat terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
3.
Diperlukannya pengaturan yang jelas untuk pengertian dan ruang lingkup tender yang tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1999, hal tersebut
94
dilakukan agar tercapainya kepastian hukum dan keadilan bagi para pelaku usaha, aparat penegak hukum serta stakeholders lainnya. Dengan begitu diharapkannya terdapat keseragaman dalam memahami UU No. 5 Tahun 1999 sehingga tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
95