67
BAB V KEBERADAAN AHMADIYAH DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NASIONAL 5.1
Latar Belakang Historis Munculnya Ahmadiyah
5.1.1 Konteks Sosial-Politik Masa Penjajahan Inggris Menurut Bosworth (1980), anak Benua Asia, India, yang dulu di dalamnya termasuk negara Bangladesh dan Pakistan, mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha pernah dikuasai oleh sebelas dinasti Islam selama lebih kurang delapan setengah abad, mulai dari Dinasti Ghaznawiyah (997-1186 M) sampai dengan Dinasti Mughal (1526-1858 M). Selama kekuasaan dinasti Islam, India mengalami persaingan dan peperangan untuk merebut kekuasaan sehingga terjadi pergantian kekuasaan secara silih berganti. Ada tiga kerajaan besar Islam yang sangat berpengaruh dan menguasai belahan dunia pada saat itu, yaitu Kerajaan Safawi (1501-1732 M) di Persia, Kerajaan Mughal (1526-1858 M) di India dan Kerajaan Turki Utsmani (13001922 M) di Istanbul. Kerajaan Mughal merupakan salah satu kerajaan besar Islam yang sempat menguasai anak benua India pada awal abad ketujuh belas. Kerajaan ini didirikan oleh salah seorang keturunan Timur Lenk, Zahiruddin Babur. Sebelum menguasai India (Nasution 1978), Babur lebih dahulu menundukkan Kabul. Pada tahun 1523 M Babur dengan segala kegigihan dan pasukannya dapat merebut Lahore, dan kemudian India Tengah pada 1527 M. Sejak kekalahan Dinasti Turki Utsmani dalam serangan ke benteng Wina pada tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang kerajaan Turki Utsmani. Pada abad kedelapan belas, didorong oleh semangat revolusi industri dan ditunjang oleh berbagai
persenjataan modern, Barat
mulai
melakukan
kolonialisme di penjuru dunia termasuk ke dunia Islam. Secara agresif mereka dapat mengusai daerah-daerah Islam di satu pihak, sedangkan di pihak lain umat Islam sendiri masih tenggelam dalam kebodohan dan sikap apatis dan fatalistis. Akhirnya, Inggris dapat mengusai India dan Mesir, Perancis dapat menguasai Afrika Utara, sedangkan bangsa Eropa lainnya dapat mengusai daerah-daerah Islam lainnya, termasuk Indonesia (Fathoni 1994).
68
Setelah India menjadi negara jajahan Inggris, kondisi umat Islam masih tradisional, fatalistis, jauh dari pendidikan, serta diselimuti semangat antipati dan fanatisme keagamaan yang berlebihan dalam menghadapi tradisi Barat. Keadaan umat Islam India ini semakin buruk terutama setelah terjadinya pemberontakan Mutiny pada tahun 1857, sebuah pemberontakan besar yang banyak menelan korban akibat, salah satunya, diskriminasi yang berlebihan dari Inggris terhadap umat Islam dibandingkan dengan kaum Sikh (Alhadar 1977). Sebagai akibat pemberontakan tersebut (Ali 1980), pihak Inggris menjadi lebih curiga dan bersikap reaksioner terhadap umat Islam. Inggris berkeyakinan bahwa umat Islamlah yang menjadi pemicu terjadinya pemberontakan tersebut, dan oleh karena itu harus bertanggung jawab. Selain itu, Inggris menuduh umat Islam ingin mengembalikan hak-hak dan kejayaan kerajaan Mughal. Kolonialisme Inggris menganggap oposisi umat Islam disebabkan oleh semangat nasionalisme yang menyala-nyala, tidak seperti kaum Hindu yang dapat menyembunyikannya sehingga mereka dapat diajak bekerja sama dengan pemerintah Inggris. Dengan demikian, posisi kaum Hindu jauh lebih baik bila dibandingkan dengan posisi umat Islam, misalnya dalam pendidikan. Dalam segala hal, jelas Sir Sayid Ahmad Khan (dalam Donohue & Esposito 1995), memang pendidikan yang diberikan pada saat itu hanya kepada suku Benggali yang beragama Hindu, orang-orang Parsi di Bombay dan orang-orang Brahmana dan Mahratta di Bombay dan Poona. Mukti Ali (1998) menulis bahwa sejarah pemikiran Islam India pada waktu penjajahan Inggris menggambarkan beberapa aspek, yang setiap aspek berada sejajar dengan perkembangan baru dalam lingkungan sosial India. Aspek pertama adalah reaksi, dalam beberapa hal sangat keras, terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan di India. Aspek kedua adalah adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial yang sedang terjadi. Gerakan pertama yang reaksioner yang menentang terhadap perubahan sosial yang ada dimulai pada permulaan abad kesembilan belas, berkembang terutama di antara kelas bawah dari umat Islam, dan protes yang keras terhadap pemerintahan Inggris, tetapi tanpa program yang konstruktif melawan kerendahan tingkat sosial masyarakat yang dihadapi. Gerakan reaksioner ini kerapkali
69
dinamakan Gerakan Wahabi, karena dianggap berhubungan dengan gerakan purifikasi Islam yang dilancarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab di jazirah Arabia. Menurut Ali (1998) ada dua fase penting yang perlu menjadi perhatian di India modern, yaitu fase kapitalisme dagang dan kapitalisme industri Inggris. Fase pertama (kapitalisme dagang), yaitu sejak permulaan dari pemerintahan East-India Company hingga permulaan abad kesembilan belas, telah menimbulkan kekacauan politik dimana pedagang-pedagang Barat menguras kekayaan India dan berangsur-angsur menjadikan India negara yang sangat miskin. Dalam kondisi seperti ini, kebudayaan mulai hancur, agama menjadi rusak, dan kehidupan sosial-politik jadi kacau. Protes gerakan Wahabi pada saat itu sebagai bentuk serangan terhadap kerusakan agama, dan mengambil bentuk penolakan terhadap penyimpangan dari Islam yang murni serta menginginkan kembali kepada keserdahanaan seperti yang dicontohkan pada masa awal pembentukan Islam (zaman Nabi Muhammad). Namun, tidak lama kemudian, gerakan Wahabi ini berubah menjadi gerakan yang bersifat sosial dan politis yang melawan penguasa-penguasa yang dianggap kafir dan disertai dengan pemberontakan para petani melawan tuan tanah di seluruh India. Fase kedua imperialisme Inggris di India adalah periode abad kesembilan belas, yaitu abad kapitalisme Inggris, yang pada waktu itu Inggris menjual barangbarang dagangannya yang dibikin sendiri setelah Revolusi Industri. Fase ini menimbulkan suatu kelas menengah baru di India disertai dengan infiltrasi kebudayaan liberal Inggris. Ali (1998) menjelaskan bahwa perkembangan yang pokok dari modernisme Islam di India adalah perkembangan Islam liberal yang sejalan dengan kebudayaan Barat abad kesembilan belas, yaitu serasi dengan sains Barat, rasional dan humanitarianisme ala Barat. Tokoh yang paling menonjol dalam gerakan Islam liberal di India pada saat itu adalah Sir Sayid Ahmad Khan dengan Muhammadan Anglo-Oriental College, sebuah perguruan tinggi Islam yang mencontoh pendidikan barat dengan pengantar bahasa Inggris, di Aligarh yang bangkit pada bagian akhir abad kesembilan belas. Dia mulai menulis tafsir
70
Al-Quran dalam bahasa Urdu dengan interpretasi yang sama sekali baru tentang Islam dan Al-Quran dalam pandangan rasionalisme abad kesembilan belas. Aspek adaptasi yang konstruktif dari Islam terhadap proses sosial yang sedang terjadi lahir di kalangan muslim liberal yang, secara langsung dan tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Barat umumnya dan kolonialisme Inggris khususnya. Seperti yang dijelaskan di atas, Sir Sayid Ahmad Khan adalah sosok muslim liberal yang tidak bisa diabaikan dalam proses pembentukan pemikiran modern Islam India dan sikap adaptasinya terhadap kebudayaan Barat yang sedang diperkenalkan di India. Selama beberapa dasawarsa dia menjadi anggota Pemerintah Sipil India dan tetap
setia kepada pemerintahan Inggris
selama pemberontakan Mutiny pada 1857 (Donohue & Esposito 1995). Di samping Sir Sayid Ahmad Khan, menyebut diantaranya, orang yang mengambil
jalan
adaptif
terhadap
perkembangan
kondisi
sosial
masa
pemerintahan dan penjajahan Inggris adalah seorang aristokrat bernama Nawab Abdul Latif. Pada tahun 1863 dia mendirikan Muhammadan Literary Society di Calcutta. Dalam organisasi itu kalangan menengah dan atas dari umat Islam berkumpul dan membahas pelbagai macam masalah politik, sosial, agama sambil mengaitkannya dengan ide dan ukuran Barat. Secara kultural (Ali, 1998), dengan perantaraan organisasi ini, bahasa dan literatur Inggris diajarkan di Husting Calcutta Madrasah, suatu perguruan tinggi tempat orang-orang kaya membantu memberikan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswanya yang memerlukannya. Secara politis, gerakan ini adalah pro-Inggris dan sangat adaptif dengan kebudayaan Barat. Dalam kehidupan dan pemikiran keagamaan, pertentangan kedua kelompok ini (reaksioner dan adaptif) tidak dapat dihindari dimana kelompok yang satu menyalahkan kelompok yang lain. Bagi kelompok reaksioner, kelompok adaptif sangat tidak bisa dibenarkan dengan alasan mereka sudah pro-Inggris dan meliberalkan doktrin agama, jika tidak dikatakan sudah menggunakan motode pemikiran Barat dalam menafsirkan ajaran agama Islam. Sebaliknya, bagi kelompok adaptif, menghimbau dan sangat menyayangkan kelompok reaksioner yang selalu mempertahankan pemikiran dan cara-cara keberagamaan lama di tengah kemunduran Islam dalam berbagai aspek, jika berkaca pada kemajuan
71
Barat. Kelompok adaptif ini menginginkan dan berharap kepada umat Islam agar tidak membenci Barat (Inggris) karena kita bisa mengadopsi apa yang telah dilakukan Barat demi kemajuan umat Islam itu sendiri. Di kalangan muslim tradisional juga terjadi pertentangan yang cukup kuat antara satu aliran atau mazhab yang mereka anut. Misalnya, antara kelompok Syi`ah dengan Sunni, antara Mu`tazilah dengan Asy`ariyah dan Maturidiyah, antara Sufi dengan Syari`ah dan antara mazhab hukum Islam (fiqh) yang satu dengan hukum Islam yang lain. Perbedaan-perbedaan itu semakin kentara ketika satu kelompok saling mengklaim (truth claims) bahwa aliran atau mazhabnyalah yang paling benar. Polemik aliran semakin tidak mengambil bentuknya yang konstruktif ketika India sudah dimasuki dan berkembangnya paham wahabiyah yang sangat puritan. Paham ini sangat tidak toleran dengan berbagai praktek dan pemikiran keagamaan yang bersifat modern apalagi liberal. Sikap kelompok muslim tradisional yang cenderung menerima begitu saja (taken for granted) ajaran Islam hasil penafsiran para ulama klasik tanpa mau melakukan reinterpretasi ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan zamannya berpengaruh pada sikap keberagamaan mereka. Sebut misalnya, sikap statis membawa mereka taklid kepada pendapat dan penafsiran ulama-ulama sebelumnya, sikap konservatif membawa mereka menentang penerjemahan AlQuran ke dalam bahasa selain Arab, seperti bahasa Persia dan Urdu dan sikap eksklusif mereka yang tidak mau menerima hal-hal baru di luar Islam seperti peradaban Barat yang nyata mereka saksikan di tanah air mereka sendiri, sehingga berakibat pada sulitnya mereka berkembang dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam. Dalam keadaan demikian, jelas Maulana Muhammad Ali (1959), kehidupan intelektual di kalangan umat Islam saat itu telah tenggelam sampai pada tingkat yang paling bawah. Pertarungan antarkelompok Islam yang bersumber dari perbedaan paham dipandang sebagai pengabdian terhadap Islam yang paling besar, dan pada akhirnya menghukum muslim lainnya sebagi kafir. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi perkembangkan Islam di India ini sesungguhnya menyadarkan kaum intelektual sehingga pembaruan dalam pemikiran Islam menjadi sebuah keharusan (sine qua non), baik melalui jalur
72
politik maupun jalur non politik. Mereka itu adalah, diantaranya, Syah Waliyullah, Muhammad Ali Jinnah, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali dan Muhammad Iqbal. Syah Waliyullah (Nasution 1975), misalnya, berupa mengusung ide-ide pembaharuan dalam bidang politik dan ajaran Islam. Menurutnya, diantara penyebab kemunduran Islam dalam bidang politik adalah perubahan sistem pemerintahan dari sistem kekhalifahan yang demokratis menjadi sistem kerajaan yang otokratis. Syah Waliyullah mencoba mendamaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam berbagai aliran dalam Islam, terutama antara Syiah dan Sunni. Di saat kebanyakan umat Islam mengklaim Syiah keluar dari Islam, Syah Waliyullah mengatakan bahwa Syiah sama halnya dengan kaum Sunni, yaitu masih tetap orang Islam dan ajaran-ajaran yang mereka anut tidak membuat mereka keluar dari Islam. Sadar akan kondisi yang dialami umat Islam di India, Syah Waliyullah juga berupaya menegakkan kembali ajaran Islam yang lebih murni, yaitu hanya bersumber pada al-Quran dan Hadis. Syah Waliyullah menilai bahwa banyak ajaran Islam yang berkembang di India tidak lagi mencerminkan Islam yang sebenarnya, yaitu sudah bercampur dengan adat istiadat dan ajaran non Islam (Hindu). Tak hanya itu, Syah Waliyullah juga memperkenalkan cara berpikir rasional dan tidak setuju dengan sikap mengikut dan patuh pada penafsiran ulamaulama masa lalu yang menyebabkan umat Islam menjadi statis di tengah kondisi sosial yang terus berubah. Oleh karena itu, Syah Waliyullah menghimbau agar umat Islam harus dinamis menghadapi zaman dan para ulama jangan takut dalam berijtihad.
5.1.2 Ahmadiyah di Tengah Kemunduran Umat Islam Abad sembilan belas merupakan sebuah era yang sangat penting dalam sejarah modern, suatu era dimana kegelisahan intelektual dan berbagai macam konflik di Dunia Islam mulai memuncak, dan India adalah salah satu pusat dari konflik itu. Di belahan dunia ini, konflik antara peradaban Barat dan Timur, sistem pendidikan tradisional dan modern, bahkan antara Islam dan Kristen telah
73
mencapai puncaknya. Menurut Ali Nadwi (2005), di satu sisi, Inggris pada saat itu mulai gencar-gencarnya kampanye untuk menyebarkan peradaban dan kultur baru di India. Sementara di sisi lain, para misionaris Kristen telah bergerak ke seluruh pelosok India untuk menyebarkan kristenisasi. Peristiwa paling penting yang tidak bisa dianggap enteng oleh ahli sejarah adalah penjajahan bangsa Eropa terhadap Dunia Islam, terutama India. Ali Nadwi (2005) mencatat bahwa sistem pendidikan yang diusung dan diperkenalkan Eropa tidak memiliki jiwa kesadaran beragama, dan budaya yang muncul dari pandangan hidup baru ini membuat orang menjauhi Tuhan. Dunia Islam telah menjadi korban dari kekuatan asing yang unggul dalam bidang militer (serta ekonomi dan ilmu pengetahuan). Ini adalah masa meletusnya konflik antara Islam dan budaya materialistik Eropa yang menimbulkan masalah besar; sosial, politik, budaya dan intelektual yang bisa diselesaikan dengan keimanan yang kuat, ilmu pengetahuan dan percaya diri. Di samping itu, kondisi internal umat Islam India makin parah dalam hal polemik antarkelompok paham keagamaan. Setiap kelompok saling serang dan menghujat kelompok lain. Polemik antarkelompok ini umum terjadi pada saat itu sehingga memicu kerusuhan dan bahkan pertumpahan darah. Hal ini berdampak pada kegelisahan mental yang menyebabkan perpecahan dalam komunitas muslim serta menurunnya wibawa para ulama. Demikianlah situasi umat Islam India dan menjadi latar belakang munculnya gerakan Ahmadiyah, sebuah situasi dimana umat Islam terancam dari sisi eksternal dan internal. Ahmadiyah, meminjam istilah Spencer Lavan (1974), adalah sebuah gerakan reformasi keagamaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 1889 dengan latar belakang kemunduran umat Islam India baik di bidang agama, politik, sosial, ekonomi maupun kehidupan lainnya. Wilfred Cantwell Smith (1979) menggambarkan bahwa Ahmadiyah muncul sebagai bentuk protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen yang memperoleh pengikutpengikut baru dan juga protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan dengan Universitas Aligarh-nya. Selain itu, demikian Smith menambahkan, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada umumnya.
74
Di sini Mirza Ghulam Ahmad, yang mengaku telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Mahdi dan al-Masih, merasa mempunyai tanggung jawab moral untuk memajukan Islam dengan jalan menginterpretasikan al-Quran sesuai dengan tuntutan zaman yang kian hari kian berubah. Dalam konteks ini, seperti tulis Fathoni (1994), kehadiran Ahmadiyah lebih bermotif pada pembaharuan pemikiran Islam, terutama dalam menghadapi bahaya kristenisasi sebagai akibat penjajahan Inggris di India. A.R. Dard (1948) menjelaskan bahwa misi-misi Kristen mulai bergerak dengan gencarnya di seluruh dunia semenjak tahun 1804, khususnya ketika British and Foreign Bible Society terbentuk. Bahkan kurun waktu antara tahun 1815 hingga 1914 telah ditetapkan oleh kelompok Kristen sebagai The Great Century of World Evangelization atau Abad Agung Penginjilan Dunia. Anak-benua India merupakan salah satu sasaran yang dijadikan sebagai proyek besar bagi gerakan penginjilan atau kristenisasi itu (Purwanto 2008). Mengutip pendapat C.A. Bayly (1990) dan Kenneth W. Jones (1976), Purwanto (2008) menjelaskan bahwa pada saat yang bersamaan di India pun bermunculan
kelompok-kelompok
Neo-Hindu
yang
gencar
menghadapi
perkembangan zaman. Di antara kelompok yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj yang didirikan pertama kali pada tahun 1875 di Bombay oleh Swami Dayananda Saraswati (1824-1883). Ini adalah gerakan yang ingin mengembalikan
kemurnian
Hindu
dan
menampilkannya
sebagai
suatu
kebanggaan nasional India. Di samping itu, aliran ini banyak menentang pemahaman-pemahaman Hindu Brahma ortodoks serta melancarkan serangan besar-besaran terhadap Kristen dan Islam. Kondisi inilah yang banyak mewarnai kehidupan awal Mirza Ghulam Ahmad. Ia banyak menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan agamaagama tersebut. Secara personal ia banyak terlibat dalam upaya-upaya untuk membela Islam dari serangan-serangan Kristen dan Hindu. Salah satu upaya pembelaannya dilakukan dengan cara menulis secara aktif di berbagai media massa, antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang terbit dari Bangalore, Mysore, India Selatan, setiap 10 hari sekali. Menurut Muhammad Zafrullah Khan (1978) dan Dard (1948), ia juga aktif menulis di beberapa surat kabar yang terbit
75
dari Amritsar, antara lain, Wakil, Safir Hind, Widya Prakash dan Riaz Hind, surat kabar dari Lahore (Brother Hind dan Aftab Punjab), Sialkot (Wazir Hind), Ludhiana (Noor Afshan). Mirza Ghulam Ahmad pun mulai menulis buku Baraahin Ahmadiyyah (Bukti-bukti Nyata Kebenaran Nabi Muhammad) yang terdiri dari lima jilid. Di dalam karyanya itu, Mirza Ghulam Ahmad memaparkan bukti-bukti keunggulan dan hidupnya agama Islam serta kemuliaan al-Quran dan Nabi Muhammad SAW, sebagai perbandingan dengan agama Hindu, Kristen dan agama-agama lainnya. Pada awalnya Mirza Ghulam Ahmad tidak begitu dikenal di kalangan masyarakat di India, khususnya dalam Islam. Dia tidak mengambil tempat dalam sebuah organisasi dan berjuang sendirian. Namun, keadaan menjadi berubah dan dirinya mulai dikenal serta kerapkali tampil di depan umum setelah ia menulis buku Baraahin Ahmadiyyah. Buku Baraahin Ahmadiyyah mendapat sambutan positif di kalangan umat Islam. Para pemuka Islam seolah menemukan seorang pembela Islam yang ulung, sehingga mereka bersama Mirza Ghulam Ahmad mendukung menghadapi serangan-serangan pihak non Islam. Purwanto (2008) menulis beberapa respon baik dari tokoh-tokoh Islam India pada masa itu. Pertama, respon dari Muhammad Hussein Batalvi, seorang tokoh terkemuka dan pakar Hadits di India, banyak memberikan sanjungan terhadap buku Baraahin Ahmadiyyah maupun terhadap penulisnya. Batalvi, pada awalnya, adalah tokoh yang sangat mendukung perjuangan Mirza Ghulam Ahmad, meski kemudian menentang keras Mirza Ghulam Ahmad. Batalvi (dalam Purwanto, 2008) menulis kesaksian tentang buku Baraahin Ahmadiyyah: “Menurut pendapat saya pada zaman sekarang dan sesuai kondisi yang berlaku buku ini adalah sedemikian rupa, yang mana sampai saat ini di dalam Islam tidak ada bandingannya yang telah ditulis, dan tidak ada pula khabar di masa mendatang…. Penulisnya pun dalam hal memberikan bantuan kepada Islam dari segi harta, jiwa, tulisan, maupun lisan sangat teguh dan kukuh pada langkah-langkahnya sehingga sangat sedikit ditemukan contoh yang seperti beliau, walau dari kalangan umat Islam terdahulu sekali pun….” Di samping Batalvi, seorang sufi terkenal India yang berasal dari Ludhiana yang melahirkan tokoh-tokoh agama di tangannya, yaitu Sufi Ahmad Jaan, juga memberikan respon terhadap buku Baraahin Ahmadiyyah. Jaan menulis ulasan
76
tentang Baraahin Ahmadiyyah di dalam sebuah selebaran beliau yang berjudul “Isytihar Wajibul Izhar”: “Di zaman abad keempat belas telah berkecamuk topan kebobrokan dalam setiap agama. Tidak diragukan lagi, diperlukan sebuah buku dan seorang mujaddid seperti Baraahin Ahmadiyyah serta penulisnya Maulana Mirza Ghulam Ahmad yang berbagai cara siap untuk membuktikan dakwah Islam atas para penentangnya….. sang penulis adalah mujaddid, mujtahid, muhaddats bagi abad keempat belas ini, dan merupakan seorang yang sepurna dari kalangan umat Islam”. Banyak dari kalangan umat Islam yang berkeinginan untuk menjadi murid Mirza Ghulam Ahmad dan meminta agar dia mau menerima bai`at7 mereka. Di sisi lain, Baraahin Ahmadiyyah telah membangkitkan reaksi keras dari kalangan non islam, terutama Hindu Arya Samaj, yang kemudian diikuti oleh kelompok Kristen. Mirza Ghulam Ahmad mulai menghadapi mereka langsung dengan mengadakan perdebatan-perdebatan. Mirza Ghulam Ahmad mulai mendapat tantangan dari kalangan Islam setelah dia mendakwakan dirinya sebagai al-Masih yang dijanjikan (Masih Mau`ud) dan Imam Mahdi pada tahun 1891. Sejak itu gelombang penentangan marak terjadi di kalangan Islam dan Kristen, dan kerapkali terjadi perdebatanperdebatan seputar hidup matinya Nabi Isa. Di kalangan Islam yang menentang justru bekas sahabatnya yang memberikan dukungan sepenuhnya terhadap karya Baraahin Ahmadiyyah, yaitu Muhammad Hussein Batalvi. Penentang ini bermula dari keyakinan yang berbeda dimana Batalvi masih berkeyakinan bahwa Nabi Isa masih hidup di langit dan akan turun ke bumi suatu saat nanti. Perdebatan juga terjadi, tulis Purwanto (2008), dengan Henry Martin Clark, seorang tokoh Kristen yang mendirikan missi kesehatan dari Church Missionary Society di Amritsar pada tahun 1892. Pada tahun 1891 Mirza menulis buku Izalah Auham, dimana beliau memaparkan sebanyak 30 dalil al-Quran berkenaan telah wafatnya Nabi Isa. Pada tahun 1898 diperoleh informasi bahwasanya kuburan Nabi Isa ada di Srinagar, Kashmir, India. Pada 1899 beliau menulis buku Masih Hindustan (al-Masih di India) dimana dia menjelaskan kesaksian-kesaksian Bibel bahwa Nabi Isa itu 7
Bai`at (Arab) yang dimaksud di sini adalah janji seseorang yang menyatakan kepatuhan dan kesetiaan kepada Islam, Imam dan sistem dalam organisasi Ahmadiyah ketika seseorang akan masuk Ahmadiyah
77
tidak mati di tiang salib, melainkan selamat dari kematian di tiang salib. Dari bukti-bukti sejarah Mirza memaparkan bahwa setelah peristiwa penyaliban itu Nabi Isa pergi mencari domba-domba Bani Israil yang hilang ke kawasan Asia Tengah; Syiria, Irak, Iran, Afganistan, sampai ke India. Akhirnya wafat dan dikebumikan di Srinagar, Kashmir, India. Selain terlibat dengan polemik-polemik dengan berbagai kalangan tokoh agama, Mirza Ghulam Ahmad sangat aktif menulis buku-buku. Tercatat sebanyak 88 judul buku yang dia tulis di dalam beberapa bahasa, antara lain bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Kumpulan karya tulis ini kini diterbitkan dalam satu set dengan nama Rohani Khazain yang terdiri dari 23 volume8. Pada tahun 1905, berdasarkan petunjuk Allah SWT, Mirza mencanangkan suatu gerakan yang dinamakan al-Wasiyyat9, yaitu suatu gerakan pengorbanan harta dalam bentuk wasiat untuk memajukan dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Mirza Ghulam Ahmad membentuk sebuah badan utama yang dinamakan Sadr Anjuman, yaitu yang akan mengelola segala permasalahan missi tersebut. Beliau mewasiatkan tentang akan adanya silsilah khilafah yang akan menggantikan beliau dan akan memimpin misi tersebut. Mirza Ghulam Ahmad wafat di Lahore pada tanggal 26 Mei 1908. Jenazahnya dibawa ke Qadian dan dikebumikan di sana. Setelah wafat ia digantikan oleh Khalifah Masih I yaitu Hafiz Hakim Nuruddin (1908-1914). Penyebaran dakwah Islam dan pengembangan misi Ahmadiyah ke Eropa sudah dimulai pada khalifah ini. Nuruddin wafat pada 1914 dan digantikan oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965) sebagai khalifah kedua. Mirza Bashirud-Din Mahmud Ahmad merupakan anak Mirza Ghulam Ahmad. Penyebaran dakwah Islam dan pengembangan misi Ahmadiyah lebih terorganisir di tangannya ketika dia membentuk suatu gerakan pada 1935 yang dikenal dengan Tahrik Jadid (Gerakan Baru). Dalam gerakan ini dia menghimpun dana dan tenaga-tenaga 8
Selain itu Mirza juga menerbitkan media-media massa untuk meyebarluaskan misi dakwah Islam, seperti Mingguan al-Hakam (Urdu) yang mulai diterbitkan sejak tahun 1897. Kemudian alBadr (Urdu) mulai terbit sejak tahun 1902 dan The Review of Religions (Inggris) yang mulai terbit pada tahun 1902 (Purwanto 2008). 9 Gerakan al-Wasiyyat pertama sekali sangat menekankan masalah ketakwaan dan pengorbanan harta yang harus melebihi dari orang lain, yaitu minimal 1/10 dari penghasilan. Dikatakan minimal 1/10 karena ada juga pengorbanan sebesar 1/16 yang diperuntukkan bagi pemula Ahmadi (hasil wawancara dengan Muballigh ZAP, 2 Juli 2012).
78
sukarela dari anggota Ahmadiyah yang mewakafkan diri mereka untuk pengembangan Islam ke seluruh dunia. Pada masa khalifah kedua ini Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Setelah memimpin selama lebih dari 50 tahun Khalifah Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad meninggal pada 1965 dan digantikan oleh khalifah Masih III, yaitu Mirza Nashir Ahmad (1965-1982). Wafat pada 1982, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad digantikan oleh Mirza Tahir Ahmad sebagai Khalifah Masih IV. Setelah wafat pada 2003 Mirza Tahir Ahmad digantikan oleh Mirza Masroor Ahmad sebagai khalifah V yang memimpin Jemaat Ahmadiyah seluruh di dunia menjabat dari tahun 2003 hingga sekarang.
5.1.3 Ahmadiyah dan Perannya di Dunia Internasional Jemaat Ahmadiyah sekarang sudah menyebar ke 198 negara dengan jumlah 20 juta orang. Populasi terbesar, tulis Purwanto (2011), berada di Pakistan dengan perkiraan jumlah Ahmadi sebanyak empat juta orang. Sedangkan di India mencapai satu juta orang. Sementara di negara-negara lain jumlahnya lebih kecil, misalnya di Indonesia 200 ribu orang, Bangladesh (100 ribu), Inggris (30 ribu), Jerman (30 ribu), Kanada (25 ribu), Amerika Serikat (15 ribu) dan di Israel mencapai 2000 orang. Perkembangan Ahmadiyah di seluruh dunia sangat bergantung pada paham keagamaan tradisional, situasi politik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara tertentu. Misalnya, jika di sebuah negara ada paham Wahabi, maka Jemaat Ahmadiyah seringkali mengalami tantangan. Sebaliknya, jika suatu negara menganut kebebasan beragama, menghormati HAM dan pluralisme, Jemaat Ahmadiyah hampir tidak ada menghadapi tantangan. Penentangan terhadap Jemaat Ahmadiyah bisa juga terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di Indonesia, misalnya, Jemaat Ahmadiyah tidak mengalami perkembangan yang signifikan jika dilihat lamanya gerakan keagamaan ini berada di Indonesia dan jika dibandingkan dengan organisasi keagamaan lain, seperti NU dan Muhammadiyah, yang sama-sama lahir di awal abad kedua puluh. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar ajaran yang mereka yakini berbeda dengan keyakinan mayoritas umat Islam.
79
Sebaliknya, negara-negara yang minoritas Islam dan menjunjung tinggi kebebasan
beragama,
HAM,
pluralisme
relatif
gampang diterima
dan
berkembang. Hal ini dapat terlihat di Eropa dan Amerika yang menjunjung tinggi kebebasan beragama, HAM, pluralisme. Kalau pun ada penentangan terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiah, kebanyakan dari kelompok Muslim Sunni. Penentangan masyarakat barat lebih kepada kebenciannya terhadap Islam karena mereka menganggap Jemaat Ahmadiyah adalah Islam. Respon masyarakat di barat biasa-biasa saja dan menganggap Ahmadiyah seperti Islam yang mereka pahami, yaitu agama ekstrim dan teroris. Namun, berkat dakwah yang disampaikan secara rasional, lambat laun mereka mulai memahami Islam dan pada akhirnya tidak sedikit yang masuk Islam. Metode dakwah yang selama ini dikembankan adalah melalui dialog, brosur, majalah, buku, dan TV. Dalam konteks ini, seorang mubaligh nasional (SA) berkata: “Kami (Jemaat Ahmadiyah) sangat gencar mendirikan mesjid di Eropa, Afrika dan Amerika sehingga para diplomat Indonesia tidak asing lagi dengan mesjid Ahmadiyah. Di luar negeri yang paling tertarik dengan Ahmadiyah adalah kaum intelektual. Di barat, Ahmadi banyak berkiprah di lembaga bergengsi seperti bank dunia, pengadilan internasional di Den Hag, kalangan teknokrat, anggota senat di Inggris, duta besar dan menteri di beberapa negara di Afrika” (Wawancara, 27 Juni 2012). Ketertarikan mereka masuk Ahmadiyah, lanjut SA, tidak lepas dari: 1) kebebasan berpikir yang diusung Ahmadiyah; 2) memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang ramah bukan teroris dan memperbolehkan tindakan ekstrimisme sebagaimana yang dipahami oleh barat selama ini; 3) al-Quran tidak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan. Poin ketiga ini sangat penting bagi Ahmadiyah karena, mengikuti pandangan barat, jika Ahmadiyah tidak memperlihatkan kepada barat bahwa Islam tidak bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan, maka bagi mereka (barat) Islam sama saja dengan agama lain dimana ajarannya banyak yang tidak masuk akal, dan tidak ada bedanya Islam dengan agama-agama lain. Program-program penyebaran Islam ke seluruh dunia dan pengkhidmatan kepada umat manusia dalam bentuk penghimbauan kepada Allah (da`wah ilallah), dijadikan sebagai prioritas utama. Program-program ini diwujudkan dalam bentuk pengiriman mubaligh-mubaligh (ustadz) ke mancanegara, mendirikan rumah sakit
80
dan universitas, penerjemahan al-Quran dan tafsirnya yang sekarang sudah mencapai dalam 100 bahasa dunia, pembangunan mesjid, pembangunan sarana dakwah Islam melalui satelit dalam program Muslim Television Ahmadiyya (MTA) yang berdiri sejak tahun 1994. Tabel 7 Sebaran Perkembangan Ahmadiyah di Dunia Benua Amerika Eropa
Asia
Afrika Australia
Negara Kanada, USA, Guatemala, Trinidad & Tobago, Suriname, Brazil, dll Inggris, Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Prancis, Switzerland, Portugal, Spanyol, Italia, Belgia, New Zealand, Rusia, dll Pakistan, India, Indonesia, Jepang, Thailand, Malaysia, Singapura, Sri Lanka, Fiji, Mesir, Iran, Yordania, Syiria, Palestina, Dll Zambia, Ghana, Uganda, Mauritius, Sierra Leone, Burkina Faso, Kenya, Tanzania, Nigeria, Liberia, dll Australia
Sumber: Diolah dari berbagai sumber sekunder Jemaat Ahmadiyah yang bermarkas di London Selatan dan dipimpin oleh Khalifah Mirza Masroor Ahmad ini sangat gencar membangun mesjid di belahan dunia seiring dengan makin bertambahnya anggota Jemaat Ahmadiyah. Setelah berhasil membangun Mesjid Nashr di Oslo, Norwegia, yang merupakan mesjid terbesar di kawasan Skandinavia pada September 2011 yang lalu, Februari yang lalu Jemaat Ahmadiyah berhasil membangun dua buah mesjid sekaligus dalam satu bulan di Catford dan Feltham, London, Inggris (Darsus, 2012). Dalam peresmian Mesjid Tahir yang terletak di kawasan Catford ini dihadiri oleh sejumlah pejabat dan tamu kehormatan, termasuk Heidi Alexander MP, anggota parlemen untuk Lewisham Timur dan Sir Steve Bullock, Walikota Lewisham. Mereka menyambut baik atas dibangunnya mesjid tersebut, bahkan Sir Steve Bullock mengungkapkan bahwa tempat ibadah merupakan hak bagi setiap komunitas mana pun. Maria Macleod, anggota parlemen untuk Brentford dan Isleworth, Inggris, memuji peran Ahmadiyah dalam memperjuangkan perdamaian saat peresmian Mesjid Baitul Wahid yang terletak di Feltham, London. Tak hanya Macleod,
81
anggota parlemen untuk Feltham dan Heston, Seema Malhotra, juga menilai bahwa Jemaat Ahmadiyah merupakan sebuah contoh komunitas (keagamaan) yang berjuang demi perdamaian dan sangat baik untuk dijadikan contoh.
Gambar 12 Perkembangan Mesjid Ahmadiyah di seluruh Dunia. Jemaat Ahmadiyah, melalui Khalifah V, aktif menyuarakan perdamaian dunia. Misalnya, baru-baru ini, Mirza Masroor Ahmad mengirim surat kepada Presiden Iran, Mahmood Ahmadinejad, dan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, terkait semakin memanasnya hubungan kedua negara. Melalui surat tersebut Mirza Masroor Ahmad mengingatkan konflik kedua negara akan memberikan konsekuensi mengerikan bagi seluruh dunia karena akan melibatkan banyak negara dan pemakaian senjata pemusnah massa (nuklir). Mirza Masroor Ahmad mengingatkan agar kedua negara menginvestasikan segala kemampuan untuk menghindari perang melaui jalur negosiasi. Mirza Masroor Ahmad sangat menyadari pentingnya peran AS sebagai negara adikuasa. Baginya, AS harus bisa menjaga perdamaian dunia melalui pengaruh besarnya di kancah internasional. Sadar akan peran AS Mirza Masroor Ahmad juga menyurati Presiden AS, Barack Obama, terkait dengan konflik antarnegara yang mengarah pada ancaman perang nuklir. Khalifah kelima ini mengingatkan Obama akan pecahnya perang dunia ketiga karena memiliki gejala yang sama dengan Perang Dunia II. Menurutnya, penyebab utama terjadinya
82
Perang Dunia II adalah kegagalan Liga Bangsa-bangsa (sekarang PBB) dan krisis ekonomi yang dimulai pada 1932. Dia berharap krisis ekonomi global dan tidak stabilnya politik dunia tidak menjadi penyebab munculnya perang skala besar (Darsus, 2012). Kegiatan-kegiatan sosial Jemaat Ahmadiyah juga mendapat respon yang baik di kalangan masyarakat di Inggris. Menteri Bidang Kemasyarakatan Inggris, Andrew Stunnell, memuji program Muslim for Life dengan salah satu agendanya donor darah. Stunnell berpendapat bahwa apa yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah adalah salah satu komitmen dan bentuk pengabdian kepada negara. Bagi Jemaat Ahmadiyah, dengan slogan Love for All Hatred for None, menyumbangkan darah merupakan salah satu upaya dan komitmen menyelamatkan nyawa manusia, dan kegiatan ini merupakan bagian dari realisasi iman. Menyumbangkan darah adalah simbol dari memberikan sumber kehidupan bagi kemanusiaan. Sementara itu di Afrika, kegiatan Jemaat Ahmadiyah mendapatkan tempat di hati masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan Presiden Sierra Leone, Ernest Bai Koroma, kepada Jemaat Ahmadiyah atas kontribusinya dalam membantu masyarakat setempat dalam mengembangkan dan membangun sektor pendidikan dan kesehatan. Kontribusi yang lain juga diperlihatkan Jemaat Ahmadiyah di Burkina Faso. Di negara yang terletak di Afrika ini para relawan Jemaat Ahmadiyah yang terdiri dari insinyur, dokter dan para pemuda membangun rumah sakit, sekolah, pembangkit listrik dan pompa air minum yang tersebar di berbagai daerah. Para insinyur Jemaat Ahmadiyah juga membangun “model village” atau desa percontohan di Burkina Faso yang dilengkapi dengan sarana listrik, air pam, pusat kegiatan masyarakat (community center), green house yang ditanami berbagai tanaman sayuran, sistem irigasi dan pompa air tangan untuk pertanian. Mereka bekerja tanpa pamrih melainkan atas sikap ketakwaan dan keikhlasan sebagaimana yang diajarkan agama (Khutbah Jumat, Februari 2012). Peran yang tidak kalah penting yang dilakukan Jemaat Ahmadiyah adalah meluruskan stigma negatif masyarakat barat atas Islam. Sebagaimana diketahui, barat memandang Islam tidak lebih dari agama teroris dan membolehkan tindakan kekerasan. Bahkan di barat saat ini, terutama pasca penyerangan gedung WTC
83
pada 11 September 2001, agama yang paling banyak disalahpahami dan menjadi sorotan publik adalah agama Islam. Di Jerman hampir setiap hari media massa memberitakan seputar dunia Islam yang sebagian besar pemberitaannya adalah mengkritik ajaran Islam yang dianggap bar-bar dan primitif. Jemaat Ahmadiyah mencoba meluruskan pemahaman yang keliru tersebut dengan cara, diantaranya, menyebarkan spanduk yang berisi ajaran Islam yang sebenarnya di tempat-tempat strategis, seperti di halte bis, stasiun, telepon umum dan lain-lain. Aksi ini cukup menarik perhatian masyarakat dan media massa setempat dan mampu merubah opini Jerman terhadap Islam. Upaya memperkenalkan pemahaman Islam yang sebenarnya kepada masyarakat barat juga terlihat ketika Jemaat Ahmadiyah Kanada meluncurkan sebuah program Tour Dakwah berskala nasional yang berjudul “Qur`an Open House”. Hingga saat ini program ini telah menjangkau 254 kota di Kanada dan telah dikunjungi lebih dari 1,3 juta orang. Dalam acara tersebut masyarakat Kanada banyak tercerahkan dari penjelasan-penjelasan Jemaat Ahmadiyah tentang apa itu Islam, terutama masalah hukum Islam yang mereka anggap tidak manusiawi dan ketinggalan zaman, dan masalah jihad. Selama ini masyarakat barat memahami jihad adalah perang suci ala Islam untuk meraih surga yang dilakukan dengan segala macam cara, termasuk bom bunuh diri.
5.2
Masuknya Ahmadiyah ke Indonesia
5.2.1 Kemunculan Ahmadiyah Secara geografis Indonesia terletak di daerah yang sangat strategis menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang terbuka dan toleran terhadap akulturasi budaya luar. Hal ini dibuktikan oleh sejarah perkembangan agamaagama di Indonesia seperti Hindu, Budha, Islam (dari India) dan Kristen (dari Eropa). Semua agama ini punya pengaruh besar di Indonesia. Kedatangan Islam dan penyebarannya di Indonesia dilakukan secara damai tanpa kekerasan apalagi lewat penaklukan atau peperangan. Di antara saluran islamisasi di Indonesia pada taraf permulaannya ialah melalui perdagangan. Hal ini sesuai dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad ketujuh sampai abad
84
keenam belas, perdagangan antara negeri-negeri di bagian Barat, Tenggara dan Timur benua Asia dan dimana pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil bagiannya di Indonesia. Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat menguntungkan karena menjalin hubungan antara masyarakat Indonesia dan pedagang (Tjandrasasmita 1984). Islam yang masuk ke nusantara pada saat itu sangat mengakomodir nilainilai atau budaya bahkan agama lokal seperti Hindu. Tidak heran dalam menyiarkan agama Islam wali songo kerapkali menggunakan wayang atau tradisi lokal, yang notabene berasal dari Hindu, sebagai instrumen dakwahnya setelah dimodifikasi dengan ajaran-ajaran Islam. Sikap keterbukaan masyarakat Indonesia pada saat itu ditunjukkan dengan penerimaan Islam sebagai agama baru dengan tanpa resistensi yang berlebihan. Dalam perjalanannya juga Islam berkembang tanpa ada resistensi dari umat Islam Indonesia akan berbagai aliran dalam Islam seperti Syiah. Bahkan fase pertama kelahiran Islam di Indonesia tidak lepas dari kelompok sufistik yang notabene banyak berasal dari aliran Syiah (Persia). Begitu juga dengan masuknya Ahmadiyah di Indonesia, yang juga lahir dari India. Meski punya hubungan erat dengan India, namun cara masuk dan tersebarnya Ahmadiyah dengan agama-agama di atas tidaklah sama. Jika agamaagama tersebut tersebar berkat mereka yang datang melalui jalur perdagangan, Ahmadiyah datang justru diundang oleh putra-putra bangsa Indonesia yang ketika itu menuntut ilmu agama Islam di pusat Jemaat Ahmadiyah di Qadian, India. Kedatangan Ahmadiyah Qadian di Indonesia berawal dari tiga orang lulusan sekolah Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul) di Padang Panjang yang bermaksud melanjutkan studi ke luar negeri usai mereka lulus di sekolah tersebut. Dua orang diantaranya adalah Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin asal Parabek, Bukittinggi. Semula mereka memutuskan untuk melanjutkan studi ke Mesir yang dianggap sebagai pusat kajian Islam di dunia. Akan tetapi, sebelum berangkat, mereka dinasehati oleh Zainuddin El Yunusiah, bekas guru mereka di Diniyah School, dan juga atas nasehat Syekh Ibrahim Musa Parabek, seorang ulama terkenal di Bukittinggi, agar kedua pelajar itu sebaiknya menuntut ilmu ke
85
Hindustan (India) saja, dengan alasan orang sudah banyak belajar ke Mesir sehingga perlu mencari ilmu ke negara lain. Kedua ulama ini menganggap Hindustan punya tokoh-tokoh ulama dan perguruan tinggi yang berkualitas. Pada bulan Desember 1922, Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin berangkat dari Sumatera ke India melalui Medan dengan tujuan kota Lucknow. Di kota ini mereka menjadi tiga orang dengan kedatangan teman mereka Zaini Dahlan dari Padang Panjang. Di kota ini mereka mencari ulama, dan berkat bantuan tukang dilman, mereka dapat bertemu dengan seorang ulama besar bernama Abdul Bari al-Anshari. Mereka belajar di sekolah yang ia asuh, yaitu Madrasah Nizhamiyah, sebuah madrasah setingkat Aliyah (Zulkarnain 2006). Setelah dua bulan berada di kota Lucknow mereka berangkat ke kota Lahore, dan di kota inilah mereka pertama kali mengenal Jemaat Ahmadiyah. Kemudian mereka memutuskan meninggalkan Madrasah Nizhamiyah karena mengetahui guru mereka setiap pagi pergi menyembah kuburan seorang kyai. Di Lahore mereka didik oleh Maulana Abdus Satar, namun tidak puas dan meninggalkan kota tersebut pada tahun akhir 1923 menuju Qadian setelah tinggal selama enam bulan. Di Qadian mereka diterima oleh tokoh Jemaat ahmadiyah sekaligus adik ipar Mirza Ghulam Ahmad, yaitu Maulana Mir Muhammad Ishak. Sehari setelah tiba di Qadian mereka mendapat kesempatan bertemu dengan Imam dan Khalifah II Jemaat Ahmadiyah, yaitu Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dan dia mengizinkan ketiga pelajar itu melanjutkan studi di madrasah Ahmadiyah. Namun, mereka harus belajar bahasa Urdu lebih dahulu selama enam bulan. Setelah menamatkan madrasah Ahmadiyah mereka kemudian masuk Jamiah Ahmadiyah (setingkat perguruan tinggi), dan tidak lama setelah itu mereka dibai`at di tangan Khalifah II. Atas informasi ketiga pelajar itu, maka berdatanganlah para pemuda Indonesia lainnya asal sumatera ke Qadian untuk menuntut ilmu hingga jumlah mereka 19 orang, diantaranya adalah: Mahmud (Padang Panjang), Samsuddin Rao-rao (Batusangkar), Moh. Jusyak (Sampur), Moh. Ilyas (Padang Panjang), Hajiuddin (Rengat), Abdul Aziz Shreef (Padang), Moh. Idris dan Abdul Samik (Padang Panjang). Akhirnya, karena anggota sudah mulai banyak, merea mendirikan Perkumpulan Ahmadi Indonesia (Zulkarnain 2006).
86
Merasa perlu mengembangkan Jemaat Ahmadiyah ke Indonesia, dalam sebuah acara jamuan teh yang juga dihadiri oleh Khalifah II sekembalinya dari London, pelajar Indonesia minta kepada Khalifah berkunjung ke Indonesia seperti kunjungan-kunjungannya ke Eropa. Atas permintaan tersebut beliau menunjuk Maulana Rahmat Ali sebagai muballigh untuk Sumatera dan Jawa, yang ketika itu dia sebagai guru di Ta`limul Islam High School, Qadian. Di sinilah titik awal masuknya Ahmadiyah Qadian ke Indonesia, yaitu atas permintaan para pelajar Indonesia. Sebelum berangkat Rahmat Ali belajar bahasa Indonesia dari para pelajar Indonesia dengan menggunakan buku Empat Serangkai yang dipesan dari Sumatera. Rahmat Ali berangkat dari Qadian akhir Juli 1925 dan tiba di Tapaktuan (Aceh) pada 2 Oktober 1925, melalui Penang, Medan dan Pulau Weh (Sabang). Sebagaimana di tempat-tempat lain yang mempercayai akan datangnya Imam Mahdi, maka ratusan penduduk menunggu Rahmat Ali sesuai dengan pesan pelajar Indonesia kepada mereka lewat surat yang dikirim dari Qadian. Pada tahun 1926 Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju Padang, Sumatera Barat. Sesampainya di Padang, seperti ketika di Tapaktuan, dia melakukan tabligh (dakwah) dan menimulkan kehebohan kota Padang hingga ke daerah lain seperti Padangpanjang, Bukittinggi dan daerah lainnya. Dakwah Rahmat Ali mendapat tantangan dari para ulama Sumatera Barat termasuk ayah Hamka, Dr. H. Abdul Karim Amarullah yang menganggap Ahmadiyah berada di luar Islam, bahkan dikatakan kafir. Pada waktu itu juga berdiri Komite Mencari Hak dibawah pimpinan Tahar Sutan Marajo yang bertujuan mempertemukan mubaligh Ahmadiyah dengan ulama yang ada di Sumatera Barat. Reaksi dari para ulama bersumber dari doktrin-doktrin yang disampaikan Rahmat Ali yang berseberangan dengan keyakinan yang selama ini mereka yakini. Pada tahun 1931 Rahmat Ali meninggalkan kota Padang menuju Pulau Jawa untuk melanjutkan misinya, yang menurut Hamka (dalam Zulkarnain 2006) karena kuatnya tekanan dari ulama Sumatera Barat. Langkah awal yang dilakukan Rahmat Ali adalah mengadakan kursus bahasa Arab. Karena semakin bertambahnya jumlah pengikut Rahmat Ali, maka pada tahun 1932 mereka sepakat membentuk Ahmadiyah cabang Betawi dengan susunan kepengurusan
87
Abd. Razak (ketua), Simon Kahongia (sekretaris), kommissarissen (Th. Dengah, Ahmad Jupri, Murdan), dengan anggota 27 orang. Ahmadiyah cabang Betawi merupakan cabang pertama di pulau Jawa. Menurut Zulkarnain (2006), ada perbedaan tanggapan masyarakat Islam pada masa-masa awal gerakan Ahmadiyah Qadian (di Sumatera) dan Ahmadiyah Lahore (di Jawa) di Indonesia. Gerakan Ahmadiyah Lahore setahun lebih dahulu masuk Indonesia (tahun 1924) dan pertama kali berada di Yogyakarta. Aktivitas Ahmadiyah Qadian di Sumatera mendapat tantangan keras dari tokoh-tokoh Islam, sementara Ahmadiyah Lahore diterima dengan baik khususnya di Yogyakarta, bahkan direspon baik oleh Muhammadiyah (Deliar Noer 1996). Hal ini disebabkan oleh mubaligh Ahmadiyah Qadian sejak awal agak agresif menyampaikan secara terang-terangan ajaran Ahmadiyah dan siap melakukan perdebatan dengan tokoh agama. Sementara itu, mubaligh Ahmadiyah Lahore lebih menampakkan kerendahan hati dan sasaran awalnya adalah pemuda yang jumlahnya tidak banyak melalui pengajaran bahasa Inggris, sementara ajaran Ahmadiyah tidak ditampakkan dengan jelas. Dengan cara ini, tokoh-tokoh Islam merespon dengan baik tanpa menaruh kecurigaan, meski pada akhirnya mengambil jarak bahkan menentangnya. Di samping itu, ajaran Ahmadiyah Lahore tidak begitu kontroversial bila dibandingkan dengan ajaran Ahmadiyah Qadian. Peran Ahmadi dalam kemerdekaan juga tidak bisa dilupakan hingga Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Tidak sedikit kaum Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan. Misalnya, R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena menjadi salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Ada juga beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti Maulana Abdul Wahid dan Maulana Ahmad Nuruddin
yang berjuang sebagai
penyiar
radio;
menyampaikan
pesan
kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, mubaligh yang lain, Maulana Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga
88
Soekarno,
presiden
pertama
Republik
Indonesia,
di
kemudian
hari
menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasinya kepada negara. Tidak hanya itu pencipta lagu Indonesia Raya, W.R. Supratman, pernah bergabung dan menekuni ajaran Ahmadiyah selama beberapa bulan (Winarno tt) Pada tahun 1953, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya badan hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik pada masa itu berakhir dengan jatuhnya presiden Soekarno yang memakan banyak korban. Satu simbol era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain adalah seorang Ahmadi. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru. Ia pun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera. Era 1990-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Muslim Television Ahmadiyyaa (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia (setelah jajak pendapat) dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. 5.2.2 Doktrin Kenabian Doktrin kenabian merupakan salah satu doktrin pokok dalam Islam sehingga sangat sensitif jika ada kelompok atau golongan dalam Islam yang memperdebatkannya atau berbeda satu sama lainnya. Dalam ajaran Islam yang mapan, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan tidak ada lagi nabi sesudahnya. Namun demikian, di sini letak kenapa Ahmadiyah ditolak dan dihujat, Ahmadiyah (Qadian) berpendapat bahwa konsep kenabian itu terus menerus berlangsung hingga akhir zaman, dan tidak sependapat kalau setelah Nabi Muhammad itu tidak ada nabi lagi. Menurut Ahmadiyah (Hakim 2005), bahwa Nabi Muhammad adalah nabi penutup yang membawa syari`at, namun bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari`at. Dengan demikian, tetap terbuka diutusnya nabi yang tidak
89
membawa syari`at setelah Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, Mirza Ghulam Ahmad mengaku dirinya menerima wahyu yang diturunkan di India, kemudian wahyu-wahyu itu dikumpulkan sehingga menjadi sebuah kitab yang bernama Tazkirah. Ahmadiyah Qadian (Zulkarnain 2006) memberikan tiga klasifikasi mengenai konsep kenabian: Pertama, Nabi Shahib asy-Syari`ah dan Mustaqil. Shahib asy-Syari`ah adalah nabi pembawa syari`at (hukum-hukum) untuk manusia. Sementara Nabi Mustaqil adalah hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, seperti Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Nabi semacam ini lazim juga disebut sebagai Nabi Tasyri`i dan Mustaqil sekaligus. Kedua, Nabi Mustaqil Ghair at-Tasyri`i, yaitu hamba Tuhan yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi sebelumnya, hanya saja dia tidak membawa syari`at baru, namun dia ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan syari`at yang dibawa nabi sebelumnya. Para nabi yang masuk dalam golongan ini adalah Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Nabi Isa a.s. Mereka secara langsung dianggkat menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syari`at Nabi Musa yang ada dalam Kitab Taurat. Ketiga, Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri`i,yaitu hamba Tuhan yang mendapat anugerah dari Allah menjadi nabi semata-mata karena hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga karena mengikuti syari`atnya. Dengan demikian, tingkatannya berada di bawah nabi sebelumnya dan dia tidak membawa syari`at baru. Hamba Tuhan yang masuk ke dalam golongan ini adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari`at Nabi Muhammad. Berangkat dari penjelasan di atas, menurut Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari`at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa syari`at akan terus berlangsung. Lebih jauh Ahmadiyah berpendapat bahwa Nabi Zhilli Ghair at-Tasyri`i hanya muncul dari seorang ummati, yaitu seorang pengikut Nabi Muhammad, bukan dari umat lain. Bagi Ahmadi yang mengaku dirinya Islam (Ahmad 1996), mempercayai rukun iman dan rukun Islam, sangat tidak mungkin mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir (khaatama al-nabiyyiin) seperti yang tertera dalam al-Quran (al-Ahzab: 40).
90
Jemaat Ahmadiyah (Ahmad 1996) mengartikan khaatama al-nabiyyin merujuk pada penggunaan umum dalam bahasa Arab seperti yang diperkuat oleh ucapan-ucapan Siti Aisyah, Ali dan para sahabat lainnya. Makna khaatama alnabiyyiin yang populer di kalangan umat Islam dewasa ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut karena tidak menampakkan kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad. Bagi Ahmadiyah, makna khaatam dalam al-Quran dan Hadits adalah cincin, stempel dan yang paling mulia, sehingga khatama al-nabiyyin berarti cincin para nabi, stempel para nabi atau Nabi Muhammad adalah nabi yang paling mulia, bukan penutup para nabi (yang tidak membawa syariat). Pemahaman ini didasarkan pada ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami yang mengutus para Nabi” (QS Ad-dukhan: 5). Menurut Ahmadiyah, hanya Allah yang mengutus para nabi dan rasul, sehingga hanya Allah jugalah yang berhak menutupnya. Oleh karena itu, adanya nabi dan rasul yang tidak membawa syariat sangat terbuka dan akan terus berlanjut untuk memperbaiki akidah manusia yang terus mengalami degradasi. Bagi Ahmadiyah (Ahmad 1996; IIP 2002), keyakinan akan Nabi Muhammad sebagai nabi penutup yang membawa syariat adalah harga mati. Mereka tidak menegasikan keimanan ini sebagaimana muslim lainnya. Ahmadiyah berbeda pendapat dengan kebanyakan muslim mengenai nabi yang tidak membawa syariat, dimana kebanyakan muslim berpendapat bahwa baik nabi yang membawa syariat maupun tidak sudah tidak ada lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan penamaan nabi ini, tokoh Ahmadiyah Qadian Syafi R. Batuan (dalam Zulkarnain 2006) mengatakan bahwa ahmadi lebih suka menggunakan istilah nabi zhilli atau buruzi yang berarti bayangan. Nabi ini menjadi nabi bayangan dari nabi sebelumnya karena dia tunduk, mengikuti, dan mencontoh sifat-sifat dan perintah-perintah nabi sebelumnya. Selain menyebut dengan istilah nabi zhilli atau buruzi, mereka juga menyebutnya dengan nabi ummati, nabi majazi, dan nabi kiasan. Bagi Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad dipandang sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya, sebagaimana nabi dan
91
rasul yang lain. Menurut paham golongan ini, seorang ahmadi tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan nabi yang lain. Meski demikian, Ahmadiyah Qadian dan Lahore memiliki kesamaan, yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi tasyri`i atau nabi mustaqil sesudah Nabi Muhammad. Mereka juga sepakat dengan penggunaan terma wahyu selain al-Quran yang diturunkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya sesudah Nabi Muhammad meninggal. Akan tetapi mereka tidak sepakat dengan penggunaan terma nabi bagi sesorang setelah Nabi Muhammad meskipun seseorang tersebut mendapat wahyu dari Tuhan (Zulkarnain 2006). Dengan pemahaman teologi semacam itu, kebanyakan umat Islam mainstream memposisikan pengikut Ahmadiyah Qadian itu sudah sesat dan menodai Islam. Dari persoalan teologi inilah muncul berbagai persoalan sosiologis di tengah masyarakat di tanah air dan beberapa negara lainnya di dunia. Kebanyakan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah sulit menemukan kata sepakat karena cara pandang dalam cara menginterpretasikan teks-teks keagamaan sudah berbeda sehingga perbedaan dalam memahami doktrin agama tidak terelakkan. Bagi sebagian kalangan, Ahmadiyah Qadian sudah tidak tergolong Islam lagi karena sudah menyalahi dan menyimpang dari sistem teologi yang dipercayai selama ini, yaitu bahwa nabi terakhir itu adalah Nabi Muhammad SAW dan tidak ada nabi setelah beliau. Bagi mereka yang mempercayai adanya nabi setelah Nabi Muhammad, berarti mereka sudah menyalahi teks-teks utama dalam Islam (AlQuran dan Hadits), dimana Nabi Muhammad adalah nabi penutup dari sekalian nabi (khatama al-nabiyyiin). Ketika sudah menyalahi teks-teks utama, maka pada saat itu, siapapun orangnya, sudah dianggap kafir. Bagi sebagian kalangan, persoalan Ahmadiyah ini masih bisa ditoleransi karena masalah ini berada pada tataran pemahaman dan penafsiran teks-teks agama. Filsuf asal Pakistan, Muhammad Iqbal, berpendapat (1991) bahwa paham Ahmadiyah Qadiani tidak lebih daripada sekedar penampilan ajaran agama menurut pandangan-pandangan (pemikiran) modern. Oleh sebab itu, lanjutnya, selama batasan-batasan teologi masih tetap terjaga, maka tidak ada salahnya memberikan ruang kebebasan dalam menginterpretasikan teks-teks agama.
92
Memang saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan (bid`ah) karena perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal-hal kecil (furu`) dalam bidang hukum (fikih) dan teologi (akidah) di kalangan beberapa mazhab dalam Islam agak umum terjadi. Menurut Iqbal, sejarah teologi Islam menunjukkan bahwa saling tuduh-menuduh melakukan penyimpangan mengenai perbedaan pendapat dalam hal-hal yang kecil, yang sama sekali tidak merupakan dorongan perpecahan, sebenarnya telah memberikan semangat untuk tampilnya pemikiran sintetik dalam teologi itu. Oleh sebab itu, perbedaan pendapat tentang penafsiran pemahaman agama yang dapat menimbulkan perpecahan dapat diminimalisir hanya dengan memberikan kepada para pengkaji teologi Islam (dan umat Islam) suatu pandangan mengenai adanya semangat sintetik dalam Islam. Iqbal menyebut semangat perbedaan dalam sejarah pemikiran Islam sebagai suatu prinsip gerak 10 dalam dialektika teologik. Problem utama dalam masalah Ahmadiyah terletak pada pemahaman (verstehen) dan bagaimana menginterpretasikan teks-teks agama. Pemahaman bahasa agama yang diyakini oleh umat Islam tidak lepas dari persoalan hermeneutik11 itu sendiri. Komaruddin Hidayat (1996) menulis bahwa tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda. Dalam tradisi hermeneutik, lanjutnya, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Sebuah teks, termasuk teks agama, akan dipahami oleh orang secara berbeda bergantung pada sudut pandang, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya tempat orang memahami teks itu sendiri. Dengan kata lain, makna teks atau bahasa agama yang dipahami orang merupakan konstruksi berdasarkan aspek sudut pandang, pendidikan, lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian, makna yang dikandung dari sebuah teks tidak tunggal melainkan plural. Di sini kita bisa paham kenapa pengikut Ahmadiyah dan non 10
Prinsip gerak (principle of movement) adalah istilah yang digunakan oleh Iqbal untuk istilah ijtihad. Uraian selengkapnya adapat dibaca dalam bukunya Reconstruction of Religious Thought in Islam. 11 Hermeneutik adalah sebuah teori yang berusaha mencapai pemahaman kaitannya dengan interpretasi teks (lihat Ricoeur 1995).
93
Ahmadiyah berbeda pendapat tentang beberapa masalah dalam doktrin Islam. Oleh sebab itu, hemat penulis, yang paling penting adalah biarkan saja pemaknaan-pemaknaan itu muncul berdasarkan, meminjam istilah Iqbal, sistem gerak dalam Islam (ijtihad) masing-masing orang yang memahaminya. Yang perlu kita hindari adalah memaksakan pemaknaan atau pemahaman kita kepada orang lain yang berbeda apalagi dengan jalan kekerasan dan sikap-sikap radikal. Persoalan apakah Ahmadiyah termasuk golongan Islam atau tidak kita serahkan saja kepada doktrin yang ada dalam Islam itu sendiri, dimana dalam sebuah hadis dikatakan, Diriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, beliau berkata: di kala kami sedang duduk di samping Nabi saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki di tengahtengah manusia, keadaannya seperti seorang musafir dan dia bukan termasuk penduduk negeri ini, lalu dia duduk tawarruk di depan kedua tangan Rasulullah SAW, sebagaimana salah seorang dari kita duduk dalam shalat, kemudian meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah SAW, sambil berkata: Wahai Muhammad, apakah Islam itu? Beliau menjawab, Islam itu jika kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan umrah, mandi karena junub, menyempurnakan wudhu dan puasa ramadhan. Laki-laki tersebut berkata: jika aku telah melaksanakan ini apakah aku menjadi seorang muslim? Nabi menjawab, ya. Laki-laki itu berkata: Engkau benar……(HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadis ini dinyatakan bahwa selama orang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan lain-lainnya, maka selama itu pula orang dinyatakan Islam. Kalaupun ada perbedaan penafsiran keagamaan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tidak menyebabkan kelompok tertentu keluar dari Islam selama kelompok tertentu itu menjalankan ajaran-ajaran yang disebutkan dalam hadis di atas. Jadi, hemat penulis, tidak proporsional dan tidak logis rasanya menyatakan kelompok tertentu sesat dan menodai agama tertentu jika hanya berawal dari masalah perbedaan penafsiran, sementara kelompok tertentu itu masih taat menjalankan prinsip-prinsip ajaran agama. Menjadi lebih runyam lagi kalau sebuah penafsiran tertentu, padahal ada banyak kemungkinan penafsiran lain sesuai dengan semangat dari prinsip gerak (ijtihad) dalam Islam, dibakukan dan diinstitusionalisasikan sehingga akan menutup penafsiran lainnya. Bahayanya
94
lagi, jika penafsiran yang sudah terinstitusionalisakan menjadi rujukan satusatunya, dan di sinilah sering muncul konflik seperti dalam Undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 Tentang Penodaan Agama dan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Sesungguhnya Ahmadiyah, dalam konteks yang lebih besar, adalah termasuk golongan Islam seperti golongan-golongan lainnya. Ahmadiyah adalah bagian kecil dari bangunan besar yang bernama Islam. Perbedaan penafsiran adalah hal yang wajar selama prinsip-prinsip ajaran masih terjaga, dan tidak menyebabkan harus sesat dan keluar dari Islam. Selama orang masih bersungguhsungguh mencari kebenaran selama itu pula orang akan mendapat reward dari Tuhan, bahkan Tuhan akan tetap memberikan reward meskipun pada akhirnya keliru dalam proses kesungguhan mencari kebenaran (ijtihad) tersebut, demikian Nabi Muhammad mengingatkan. 5.2.3 Menanggapi Ahmadiyah melalui Fatwa MUI Doktrin-doktrin agama yang diyakini Ahmadiyah, seperti pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan sekaligus penjelmaan Isa al-Masih yang menerima wahyu secara berulang-ulang, mendapat tantangan dan penolakan yang keras dari umat Islam mainstream (aliran utama) yang menamakan dirinya sebagai kelompok Sunni yang menjadi penganut mayoritas masyarakat Islam Indonesia. Kondisi ini menyebabkan kegelisahan sebagian umat Islam sehingga Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya dituduh sebagai pembawa ajaran baru (bid`ah) bahkan menodai ajaran Islam. Menurut Hasani & Naipospos (2011), ternyata menurut MUI, LPPI dan ormas-ormas Islam lainnya, Ahmadiyah dianggap melanggar 12 butir kesepakatan bersama. Atas dasar itu, sejumlah organisasi Islam kembali menuntut jemaat Ahmadiyah dibubarkan. Pada bulan Februari tahun 2008, FPI, Hizb At-Tahrir, Abu Bakar Ba’asyir dan lain-lain secara terbuka menyerukan perang terhadap Ahmadiyah. Tim pemantauan Bakorpakem juga kemudian mengumumkan bahwa Ahmadiyah telah mempraktekkan ajaran yang menyimpang dari 12 butir yang pernah disepakati.
95
Namun demikian, dilihat secara historis keindonesiaan, meskipun ada penentangan ajaran Ahmadiyah antara sejumlah ulama mainstream dengan tokoh Ahmadiyah, praktis tidak ada diskriminasi apalagi kekerasan yang berarti terhadap pengikut Ahmadiyah sampai menjelang berakhir kekuasaan Orde Baru. Ketika itu tradisi diskusi dan dialog masih menjadi wadah mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada tahun 1980 terkait ajaran Ahmadiyah, juga tidak ada protes atau kekerasan terbuka yang diarahkan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah. Kondisi ini menjadi berubah setelah jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998 seiring mulai terbukanya ruang kebebasan politik. Sikap intoleransi juga muncul dan terus menguat bahkan berujung pada kekerasan terbuka. Pada bulan Januari 2005, Kejaksaan Agung dan instansi pemerintah lainnya, seperti Kementerian Agama, MUI, BIN, mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa organisasi Ahmadiyah, kegiatan, ajaran dan kitab-kitab rujukannya agar dilarang dengan Keputusan Presiden. Menurut Hasani & Naipospos (2011), Amin Djamaluddin, pimpinan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) dan salah satu pengurus MUI, adalah aktor dan kekuatan pendorong di belakang rekomendasi ini. Selain MUI dan institusi pemerintah yang tergabung dalam Badan Koordinasi Pengawas Agama dan Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), organisasi besar Islam semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama juga menganggap ajaran Ahmadiyah sebagai sesat, namun dua organisasi ini selama ini memilih jalur dakwah dan dialog dalam menyikapi persoalan Ahmadiyah. Kedua Ormas Islam terbesar ini menghindari jalan kekerasan dalam menyikapi Ahmadiyah. Pada tahun 2005 adalah awal bagi persekusi-persekusi serius terhadap Ahmadiyah. Pada tahun ini, tepatnya pada tanggal 15 Juli, Kampus Mubarak Parung sekaligus pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia diserang oleh massa dari berbagai kelompok Islam. Persekusi yang awalnya dilakukan oleh kelompokkelompok tertentu seperti Front Pembela Islam (FPI) yang secara terbuka menentang Ahmadiyah, kemudian menyebar ke kelompok-kelompok lainnya dan bahkan menyebar ke sebagian masyarakat.
96
Pada Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia melalui Musyawarah Nasional MUI VII mengeluarkan fatwa yang berisi tentang penilaian Ahmadiyah yang berada di luar Islam serta sesat dan menyesatkan. MUI minta kepada pemerintah Indonesia untuk melarang penyebaran doktrin Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. Fatwa tersebut mengacu pada fatwa MUI tahun 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi pada Desember 1985. Fatwa ini juga menegaskan bahwa penerapan ajaran-ajaran Ahmadiyah telah mengakibatkan perpecahan di antara masyarakat Islam dan membahayakan stabilitas sosial dan keamanan negara. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2010 menyatakan bahwa mayoritas publik (66,9%) menyatakan persetujuan dengan fatwa MUI ini. Yang menarik, dibandingkan dengan survei tahun 2005, terjadi kenaikan sebesar 15%, yaitu mereka yang setuju terhadap fatwa MUI. Survei yang sama yang dilakukan oleh LSI pada Agustus 2005 memperlihatkan sebanyak 51,7% setuju dengan fatwa MUI. Pada Oktober 2010, angka ini naik menjadi 66,9%. Mereka yang tidak setuju dengan fatwa MUI itu juga mengalami penurunan dari 18,1% pada Agustus 2005 menjadi 5,4% pada Oktober 2010 (lihat Gambar 13). 80 70 60 50 40 Agustus 2005
30
Oktober 2010
20 10 0
Sangat Setuju/Setuju
Tidak Tidak Tahu/Tidak Setujua/Sangat Jawab Tidak Setuju
Gambar 13 Penilaian terhadap Fatwa MUI mengenai Ajaran Ahmadiyah.
97
Yang lebih penting adalah melihat bagaimana respon publik terhadap langkah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait fatwa MUI tersebut. Hingga saat ini, pemerintah belum memberikan ketegasan sikap terkait keberadaan Ahmadiyah ini. Mayoritas publik meminta agar pemerintah mengikuti fatwa MUI dan melarang keberadaan Ahmadiyah. Sebanyak 53,4% menyatakan pemerintah seharusnya ikut menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan 15,6% menyatakan pemerintah tidak perlu menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Hal yang menarik adalah terjadi kenaikan sikap dibandingkan dengan survei tahun 2005. Pada Oktober 2005, hanya 35,2% saja yang setuju kalau pemerintan melarang keberadaan Ahmadiyah. Pada Oktober 2010, angka ini naik menjadi 53,4%. Jumlah warga yang tidak setuju jika pemerintah tidak ikut menyatakan Ahmadiyah sesat juga mengalami penurunan dari 31,9% di tahun 2005 ke angka 15,6% di tahun 2010 (lihat Gambar 14).
60 50 40 30 20 10 0 Pemerintah ikut mengatakan Ahmadiyah sesat dan dilarang
Gambar 14
Pemerintah tdk perlu menyatakan Ahmadiyah sesat
Tidak tahu / tidak jawab Agustus 2005 Oktober 2005 Oktober 2010
Penilaian atas tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah mengenai Ahmadiyah.
Ada dua konteks yang harus dilihat untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, konteks meningkatnya suara penolakan terhadap Ahmadiyah di pentas dunia global, khususnya negara-negara berpenduduk Muslim. Terhitung sejak awal 70-an, suara kritis terhadap Ahmadiyah semakin terdengar keras dari
98
sejumlah negara berpenduduk Muslim yang berujung pada keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah oleh Robithah Alam Islamiy dan pelarangan kelompok ini di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kedua, konteks nasional terkait dengan menguatnya kelompok-kelompok fundamentalisme. Fatwa sesat Ahmadiyah 1980 bisa dijadikan sebagai cermin yang bisa memperlihatkan “retaknya” kerukunan antarumat beragama yang ditandai dengan munguatnya fundamentalisme di dalam kehidupan umat beragama. Itu sebabnya, tidak mengherankan bila keluarnya fatwa sesat Ahmadiyah tahun 1980 hampir bersamaan dengan keluarnya fatwa haram selamat Natal yang sama-sama berasal dari MUI. Pada tahap tertentu, fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI pada tahun 2005 terlahir dari konteks yang kurang lebih sama. Saat itu Ahmadiyah kerap
dijadikan
sebagai
musuh
bersama
oleh
kelompok-kelompok
fundamentalisme yang tersebar di dalam ormas-ormas keagamaan. Mulai dari ormas keagamaan yang hampir identik dengan aksi kekerasan, hingga ormas keagamaan yang selama ini dikenal moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Kelompok-kelompok ini kemudian bersatu dalam menghadapi musuh bersama dan berada di belakang fatwa MUI 2005. Inilah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa fatwa sesat Ahmadiyah yang dikeluarkan MUI pada tahun 2005 (untuk mengukuhkan fatwa MUI 1980) bersamaan dengan keluarnya fatwa haram terhadap pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Tak lain karena Ahmadiyah dan kelompok- kelompok pluralis dianggap sebagai musuh bersama. Di Indonesia, fatwa MUI tentang Ahmadiyah berdampak luas. Menurut Ahmad Subakir (2009) dan Platzdasch (2011) fatwa-fatwa MUI selama ini disinyalir telah menyulut aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai daerah di tanah air, seperti pengusiran, penutupan tempat ibadah dan kekerasan fisik lainnya. Dampak yang demikian telah mengundang perdebatan dari berbagai kelompok masyarakat dan perorangan. Paling tidak ada tiga kelompok yang merespon fatwa MUI terkait dengan Ahmadiyah. Pertama, mereka yang mendukung keluarnya fatwa yang beralasan bahwa ajaran Ahmadiyah telah menodai Islam. Kelompok-kelompok yang
99
mendukung fatwa, selain MUI, ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), alIrsyad al-Islamiyah, Forum Umat Islam Indonesia (FUII) dan Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI). Meski mereka sepakat dikeluarkannya fatwa bahwa Ahmadiyah sesat, namun mereka berbeda pendapat dalam hal sikap kelompok-kelompok yang melakukan aksi anarkis terhadap Ahmadiyah. Sebagian mereka menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut terjadi karena massa sudah tidak sabar lagi dengan kegiatan-kegiatan Ahmadiyah yang dianggap membahayakan akidah umat Islam. Sebagian lagi berpendapat bahwa tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan karena negara kita bukan negara agama (Islam), sehingga sekalipun sudah ada fatwa MUI, namun keputusan itu tidak mengikat. Kedua, mereka yang hanya menyetujui kesesatan Ahmadiyah Qadian saja. Mereka mempertanyakan label “sesat” yang ditetapkan oleh MUI. Menurut mereka tidak semua Ahmadiyah sesat, dan MUI belum melakukan kajian seksama dalam masalah ini. Menurut mereka harus dipisahkan antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. PP Muhammadiyah juga berpendapat bahwa Ahmadiyah Qadian adalah sesat. Meski demikian, Muhammadiyah secara tegas menolak aksi penyerangan terhadap Ahmadiyah. Ketiga, mereka yang menolak fatwa MUI tersebut. Selain JAI sendiri, kelompok yang menolak adalah Komnas HAM dan tokoh-tokoh yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani. Mereka berargumen bahwa Ahmadiyah di Indonesia sudah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial, sehingga tidak ada alasan untuk memutuskan kesesatan Ahmadiyah. Di samping itu, ditinjau dari segi hukum, fatwa tersebut batal demi hukum sebab dalam UUD 1945 pasal 29 secara tegas dinyatakan: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Negara menjamin kebebasan penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena itu, penetapan Ahmadiyah sebagai organisasi sesat dan menyesatkan bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya unsur pemaksaan kepada pihak lain untuk mengingkari pengakuan dan keyakinan seseorang sebagai pengikut Ahmadiyah.
100
5.2.4 Menanggapi Ahmadiyah melalui SKB 3 Menteri Keberadaan Jemaat Ahmadiyah semenjak tahun 1925 di Indonesia relatif aman dan tidak menimbulkan persoalan nasional, meskipun fatwa MUI sudah dua kali dikeluarkan (tahun 1980 dan 2005). Selama itu juga tidak ada respon dari pemerintah terhadap masalah Ahmadiyah hingga Juni 2008, dan kenapa respon pemerintah baru muncul belakangan? Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkannya (International Cricis Group 2008; bandingkan juga dengan Platzdasch 2011). Pertama, pengaruh sistematis (dari kelompok tertentu) yang berlangsung beberapa tahun belakangan terhadap pemerintah, terutama kepada Kementerian Agama untuk melakukan tindakan-tindakan melawan Ahmadiyah. Kedua, kelompok-kelompok garis keras, termasuk Hizbut Tahrir, yang menggunakan isuisu Ahmadiyah untuk mendapatkan simpati dan keanggotaan yang lebih banyak. Ketiga, dukungan penuh dari Presiden Yudhoyono kepada lembaga-lembaga seperti MUI dan Bakorpakem untuk memantau (aliran) kepercayaan dan sektesekte. Keempat, manuver politik yang dikaitkan dengan pemilu tingkat nasional dan lokal. Faktor kunci (International Cricis Group 2008) memahami kenapa pemerintah mengalah hingga merespon persoalan Ahmadiyah adalah keinginan Presiden Yudhoyono untuk mempertahankan koalisi dengan partai-partai Islam yang mendukungnya pada pemilu 2004, terutama mempererat koalisi pada pemilu 2009 yang sudah dekat. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari gaya pemerintahan Yudhoyono yang dianggap oleh lawan-lawan politiknya sebagai pemimpin yang lemah dan peragu. Pada tanggal 9 Juni 2008, seminggu setelah tragedi Monas, pemerintah melalui Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB), yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan ajaran Islam. SKB tiga menteri ini, oleh banyak kalangan, dianggap sebagai pemicu munculnya surat keputusan atau peraturan gubernur yang berisi pelarangan kegiatan keagamaan Ahmadiyah di daerahnya masing-masing. Bahkan Peraturan
101
Gubernur Sumatera Selatan sudah melampaui SKB tiga menteri yang melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia beraktifitas di daerahnya. SKB tersebut memuat tujuh poin, dua diantaranya adalah peringatan dan perintah kepada seluruh penganut/pengurus Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya serta peringatan dan perintah agar semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa dua item tersebut cukup adil sehingga diharapkan dapat menghentikan kekerasan demi kekerasan terhadap JAI. Namun sejumlah pihak, terutama dari kalangan pemerhati hak-hak asasi manusia menganggap SKB itu tidak adil, disamping melanggar hak-hak asasi manusia kaum Ahmadiyah, bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia dan tidak realistis sehingga tidak akan mengakhiri masalah. Sementara itu, keputusan ini ditentang oleh kelompok-kelompok radikal karena tidak secara tegas membubarkan Ahmadiyah. Dari tujuh poin tersebut tidak ada kata pembekuan dan pembubaran Ahmadiyah. JAI hanya diminta untuk menghentikan aktifitasnya. Aktifitas apa yang dimaksud juga tidak jelas, apakah aktifitas komunal atau aktifitas individu. Shalat di mesjid bagi JAI, yang menjadi permasalahan di lapangan, juga tidak jelas, apakah dibolehkan atau tidak. Kalau kita pahami poin kedua, sesungguhya tidak semua kegiatan JAI diminta untuk dihentikan, tapi hanya yang terkait dengan penafsiran yang dianggap tidak sesuai dengan Islam pada umumnya. Karena itu, warga Ahmadiyah sebenarnya tetap bisa ibadah sebagaimana biasa. Secara substansial SKB ini multitafsir dan rentan disalahpahami. Terlepas dari itu ada hal penting yang bisa dicatat dari munculnya SKB ini. Menurut The Wahid Institute (2008), munculnya SKB ini merupakan desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. SKB ini secara eksplisit mengakui bahwa persoalan Ahmadiyah adalah soal penafsiran doktrin agama. Di dalamnya poin kedua dari SKB tersebut terdapat kata-kata, “…menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
102
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”. Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Karena itu, dengan SKB itu sebenarnya pemerintah sudah terjebak pada pemihakan soal tafsir agama. Menurut Bagir (2011), SKB tiga menteri sangat berpengaruh pada interaksi masyarakat dengan Jemaat Ahmadiyah. Kekerasan terhadap Ahmadiyah berawal dari adanya klaim beberapa pihak bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melanggar SKB (atau keputusan bersama di masing-masing daerah). Beberapa daerah pada tingkat provinsi atau kabupaten telah bergerak lebih jauh dengan mengeluarkan SK atau peraturan gubernur yang memperkuat SKB yang terkadang lebih jauh dari SKB, atau usulan memperkuat SKB, baik dari segi status hukumnya maupun isinya, hingga ke tingkat melarang keberadaan Jemaat Ahmadiyah. SKB tiga menteri (dan keputusan bersama di masing-masing daerah) berakibat pada munculnya segregasi diantara kelompok keagamaan, yaitu antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Interaksi sosio-kemasyarakatan dan sosiokeagamaan yang terjalin selama berpuluh-puluh tahun berujung pada pembatasan interaksi masyarakat dengan Ahmadiyah. Akibatnya, secara sosial, sangat merugikan Jemaat Ahmadiyah itu sendiri karena terbatasnya akses yang diberikan. Sejak lahirnya SKB dan fatwa MUI, serangan terhadap masjid dan jemaat Ahmadiyah terus meningkat secara signifikan. Peningkatan ini sejalan juga dengan peningkatan kekerasan atas gereja-gereja yang dianggap tidak memiliki izin untuk berdiri. Serangan paling tidak manusiawi yang menimpa jemaat Ahmadiyah terjadi pada 6 Februari 2011 di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga orang anggota jemaat dianiaya secara kejam hingga meninggal dunia. Pasca serangan ini ketakutan luar biasa dialami oleh jemaat Ahmadiyah, apalagi sejumlah pemerintah daerah kemudian menerbitkan Peraturan Daerah berupa Peraturan Gubernur, Walikota dan Bupati, yang intinya adalah melarang aktivitas jemaat Ahmadiyah. Bahkan sebuah operasi khusus dilakukan oleh TNI di Jawa Barat dengan sandi Operasi Sajadah. Operasi ini menurut mereka bertujuan untuk mengajak Ahmadiyah mengikuti Islam mainstream dan memfungsikan
103
masjid-masjid milik Ahmadiyah menjadi fasilitas umum. Pemaksaan pindah keyakinan terhadap jemaat Ahmadiyah juga terjadi di banyak tempat (Hasani & Naipospos 2011). Dalam beberapa waktu terakhir, tuntutan pembubaran dan pelarangan Ahmadiyah Indonesia semakin menguat dengan menggunakan strategi yang lebih canggih. Bila selama ini mereka kerap menempuh jalur pemerintah pusat untuk mewujudkan tuntutannya, dalam beberapa waktu terakhir mereka justru menempuh jalur daerah. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya Perda yang melarang aktivitas Ahmadiyah, seperti Peraturan Gubernur Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan yang lainnya. Pelarangan Ahmadiyah melalui Pemerintah Daerah dianggap lebih realistis dibanding pelarangan
melalui
pemerintah
pusat.
Mengingat
pelarangan
Ahmadiyah melalui pemerintah pusat banyak mendapatkan tantangan dan rintangan. Sedangkan pelarangan Ahmadiyah melalui Pemda hampir tak mempunyai kendala yang berarti. Dalam menyikapi keberadaan Ahmadiyah, Indonesia tak seharusnya ikutikutan melakukan apa yang telah dilakukan oleh beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Pakitan, Malaysia, Brunai Darussalam dan yang lainnya. Mengingat ada perbedaan yang sangat mendasar anatara konteks keindonesiaan dengan konteks yang dihadapi oleh negara-negara berpenduduk Muslim tersebut. Setidaknya karena tiga alasan utama. Pertama, Indonesia adalah negara majemuk yang sarat dengan nilai-nilai toleransi. Kemajemukan yang ada telah hadir di Indonesia sebelum negara ini dilahirkan. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara-bangsa terlahir justru karena adanya komitmen kemajemukan untuk hidup bersama secara damai dan berdampingan. Dengan kata lain, kemajemukan adalah jati diri sejati bangsa Indonesia. Eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa sangat ditentukan oleh kesadaran dan semangat kemajemukan di kalangan segenap warganya. Indonesia tetap akan tegak selama semangat kemajemukan juga tegak. Pun demikian sebaliknya, Indonesia akan berakhir bersamaan dengan runtuhnya semangat kemajemukan.
104
Meminjam istilah yang digunakan oleh almarhum Nur Kholis Madjid (2004), kemajemukan Indonesia bisa menjadi keistimewaan, tapi juga bisa menjadi kerawanan. Menjadi keistimewaan tatkala semua kemajemukan yang ada bisa dipahami dan dikelola secara baik. Menjadi kerawanan tatkala kemajemukan yang ada tidak dipahami secara baik. Hingga kemajemukan menjadi bom waktu yang bisa menimbulkan konflik sosial di mana-mana. Inilah yang kerap terjadi belakangan dalam kehidupan berbangsa, terutama dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah. Kemajemukan tak lagi dipahami sebagai jati diri bangsa ini. Hingga terjadi pelbagai macam aksi kerusuhan dan konflik sosial yang justru berbasis pada kemajemukan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sejatinya kemajemukan adalah masa depan gemilang bagi bangsa ini. Karena bangsa ini mempunyai sejumlah undang-undang yang memberi jaminan bagi kebebasan beragama, seperti Amandemen UUD Negara RI 1945 Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2); UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); dan masih banyak lagi lainnya. Dan tentu saja semua ini memuncak pada Bhinneka Tunggal Ika sebagai filofosi berbangsa dan bernegara yang bahkan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Kedua, Ahmadiyah turut berperan dalam proses kemerdekaan dan kelahiran Indonesia. Tak sedikit dari pengikut Ahmadiyah yang turut berdarah-darah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagian dari mereka telah mengorbankan jiwa-raganya demi kemerdekaan bangsa Indonesia dari kekuatan penjajah. Realitas historis di atas menunjukan bahwa Ahmadiyah telah menjadi bagian dari semangat kemajemukan di bawah naungan bangsa Indonesia yang merdeka. Ketiga, Ahmadiyah tidak menjadi ancaman bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana telah disampaikan di atas, Ahmadiyah selama ini tidak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan yang harus ditindak oleh negara, walaupun mereka kerap menjadi sasaran aksi kekerasan dan diskriminasi.