BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Latar Historis Perubahan Penguasaan Ruang Kawasan Konservasi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).56 Babakan sejarah penguasaan ruang kawasan TNUK, langsung maupun tidak memiliki pengaruh signifikan bagi mekanisme pengelolaan kawasan konservasi dan bagaimana persepsi dan pengelolaan masyarakat di pinggiran kawasan hutan. Secara kronologis periodesasi tersebut dapat dipaparkan dalam beberapa tahapan historis. Periode awal era penguasaan Kolonial Belanda. Upaya perlindungan kawasan pertama kali ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 83 tahun 1919 tanggal 11 Juli 1919 dengan memberikan status perlindungan sebagai Suaka Alam pada Kawasan Krakatau.
Kemudian
pada
tahun
1921,
berdasarkan
rekomendasi
dari
perhimpunan The Netherlands Indies Society for The Protection of Nature, semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan dimasukkan juga sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblaad Van Netherlands CH-Indie No. 60 tanggal 16 November 1921. Selanjutnya, pada tahun 1937, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda (Staatblaad Van Netherlands CH-Indie) No. 17 tanggal 24 Juni 1937, status Cagar Alam diubah menjadi Suaka Margasatwa dengan tambahan wilayah Pulau Peucang dan Handeuleum –sehingga menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan. Dari sejarah pemukiman masyarakat di sekitar kawasan dapat disebutkan bahwa sejak periode awal kekuasaan Belanda ini kawasan Ujung Kulon telah dihuni oleh warga 6 desa (Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya) di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. 56
Data ini diolah dari berbagai sumber, selain dari Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon, Laporan Advokasi Hukum PBHI, LSM Pendamping warga (Sajogyo Institute, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, LATIN) juga hasil wawancara penulis dengan petugas TNUK dan warga di desa Ujungjaya, pada periode tahun 2008, dan 2010.
67
Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Cigorondong pada tahun 1977. Keberadaan masyarakat Desa Ujung Jaya yang terdiri dari 5 kampung: Cikawung Sabrang, Legon Pakis, Cikawung Girang, Sempur, Taman Jaya Girang. Mayoritas dari penduduknya bermata-pencaharian petani telah berlangsung turun temurun dengan mengandalkan penghidupannya dari mengolah lahan pertanian (sawah dan kebun). Dari penuturan masyarakat, Kampung Cikawung Girang, Legon Pakis, Cikawung Sabrang merupakan hadiah (upah kerja) dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah masyarakat melaksanakan kerja pembuatan Lapangan Banteng dan jalan. Secara administratif, Desa Ujung Jaya merupakan hasil dari pemekaran Desa Taman Jaya pada tahun 1982. terdiri dari 3.641 jiwa dengan 869 kepala keluarga, luas desa mencapai 900 Ha, termasuk tanah yang diserobot oleh TNUK. Ujung Kulon diakui memiliki keanekaragaman hayati flora dan fauna. Atas dasar itu kemudian pada tahun 1921, Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Cagar Alam Ujung Kulon-Panaitan Melalui SK. Pemerintah Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921.
Pada tahun 1932,
diadakan pengukuran tanah oleh Belanda di Ujung Kulon yang dibuktikan melalui Peta Tanah Milik (PTM) tahun 1935. Kepada warga yang menempati lahan di Desa Ujung Jaya pada saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berbentuk Girik (cap singa) bagi masyarakat. Pada tahun 1937, Status Cagar Alam Ujung KulonPanaitan diubah menjadi Suaka Margasatwa Ujung Kulon-Panaitan oleh Pemerintah Kolonial Belanda melalui Keputusan No. 17 Juni 1937. Tahun 1958, oleh Kantor Tjabang Pendaftaran Tanah Milik Serang dikeluarkan Surat Tanda Pendaftaran Tanah Milik Indonesia yang dibuktikan melalui sertifikat cap Garuda. Periode kedua, era Suaka Alam dan Cagar`Alam berlangsung sejak tahun 1965 hingga 1984. Pada periode ini masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status Kawasan berubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 48/UM/1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau
68
Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum (Pulau Boboko, Pulau Pamanggan). Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16/KPTS/UM/3/1967 tanggal 16 Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas dengan memasukkan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Perluasan areal tersebut juga membuat pemukiman warga sejumlah desa menjadi bagian dari Kecamatan Sumur. Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas. SK. Menteri Pertanian No. 39/KPTS/UM/1979 tanggal 11 Januari 1979 memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang didiami penduduk yang terbagi beberapa desa di kecamatan Cimanggu kedalam kawasan Cagar Alam. Periode ketiga era Taman Nasional, sejak 1984 hingga sekarang. Sejak tahun 1984, Cagar Alam Ujung Kulon yang tadinya dikelola oleh Kehutanan (biasa disebut masyarakat sebagai Bohir) berubah dengan dibentuknya Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha. Pada Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409. Sejak penetapan batas TNUK mulai berlaku, yang mengklaim wilayah pemukiman beberapa lahan garapan sawah dan kebun campuran warga mulai meningkat eskalasi ketegangan antara masyarakat di sekitar batas kawasan dengan BTNUK. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunan/sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan pemukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman nasional menjadi pemukiman yang mula-mula akan direlokasi. Perubahan tapal batas taman nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang
69
awalnya berada di Cilintang, dan di sana telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, namun telah ikut dipindahkan. Menurut masyarakat Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah selatan: Cihujan. Masyarakat Legon Pakis sejak itu dipaksa pindah ke Kampung Pamatang Laja. Namun masyarakat tidak bersedia pindah, karena objek relokasi sangat jauh dari tempat asal, tidak terdapat areal pertanian/sawah untuk penghidupan masyarakat dan tanah tidak dapat ditanami. Sejak saat itu, masyarakat yang berdiam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan taman nasional mengalami intimidasi, kekerasan dari petugas Taman Nasional. Pengadaan listrik secara swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk kebutuhan sehari-hari, pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian, saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap. Kampung Legon Pakis, dari 155 KK, jumlah penduduknya menyusut menjadi 85 KK akibat masyarakat dilarang menebang pohon yang ditanamnya, dilarang membangun rumah (jumlah rumah dilarang bertambah), sekolah madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah berdiri sejak tahun 1950an harus melalui perundingan yang alot. Tahun 1984 saat program relokasi warga, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim berkunjung ke Legon Pakis. Emil Salim menjanjikan kepada warga untuk tidak langsung menjalankan relokasi sebelum adanya jaminan hidup yang memadai bagi warga (rumah, tanah pertanian, sekolah dsb). Emil Salim menjanjikan akan melindungi warga sebelum jaminan relokasi dipenuhi. Namun, hingga saat ini janji Emil Salim belum terwujud, sementara pembatasan hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan di TNUK, semakin meningkat. Kebijakan penetapan batas baru pengelolaan TNUK, tahun 1984 dan diperbarui pada tahun 1992, telah menciptakan sumbu konflik yang berlarut, antara pihak negara yang diwakili oleh pengelola Taman Nasional atau Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) dengan masyarakat yang telah hidup sangat lama di sekitar hutan TNUK. Simpul konflik yang terjadi bukan hanya
70
pada persoalan ketidakpastian sistem penguasaan pada pembagian batas wilayah mana yang menjadi milik TNUK dan mana yang menjadi milik warga, tetapi juga terkait dengan peruntukan lahan TNUK yang terbagi dalam zonasi-zonasi, yang meliputi wilayah pemukiman, lahan dan kebun warga setempat. Yang pada gilirannya berakibat pada ketidakjelasan pada hak atas tanah dan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang tidak tepat. Perubahan rejim pengelola TNUK juga memiliki arti penting bagi terciptanya situasi-situasi yang mendorong proses sengketa agraria di TNUK yang masih terus berlangsung. Seiring terjadinya perubahan rejim pengelola kawasan TNUK, terjadi pula perubahan terhadap hak-hak agraria masyarakat setempat dalam mengakses sumberdaya hutan di TNUK. Jika sejarah penetapan TNUK ini ditelusuri, akan ditemukan bahwa proses penetapan kawasan yang kini menjadi TNUK, selain kerap tidak ‘partisipatif’ (tidak melibatkan suara warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan) --kawasan konservasi ini tidaklah berlangsung sekali jadi, tetapi bertahap. Sebagian wilayahnya sejak masa Kolonial ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam dan Cagar Alam sebelum kemudian ditetapkan menjadi kawasan Konservasi. Namun ada sebagian wilayahnya yang status awalnya adalah kawasan hutan produksi, baru jauh belakang waktu kemudian ditetapkan sebagai kawasan Suaka Alam, dan terakhir baru ditetapkan sebagai kawasan konservasi Taman Nasional. Perubahan ini dapat dilihat pada gambar berikut; (Gambar 5)57
Gambar 5. Perubahan Status Kawasan dan Rejim Penguasaan di TNUK
57
Tabel dikutip dari, Soeryo Adi Wibowo dkk, Isu Pemukiman....Op.Cit., hlm. 23.
71
Rejim konservasi TNUK dengan segenap peraturan legal formal yang dimiliki (sebagaimana diuraikan di atas), telah sukses menempatkan satuan species flora dan fauna di dalam TNUK jauh lebih bermartabat daripada manusiamanusia yang hidup di sekitarnya. Pembatasan akses, teror hingga program relokasi (baca: pengusiran paksa) telah beberapa kali diprogramkan untuk menjauhan atau memisahkan masyarakat dari ekosistem hutan Ujung Kulon. Akibatnya, masyarakat di sekitar TNUK (khususnya di tiga kampung; Legon pakis, Cikaung Sabrang dan Ciakung Girang, ketiganya berada di desa Ujung Jaya) terbatasi jalur akses pemenuhan kebutuhan dasarnya. Baik infrastruktur; air, jalan, kesehatan, pendidikan, sanitasi dan pemukiman yang layak. Di sisi lain, belum selesainya pemetaan zonasi dan batas wilayah peruntukan berakibat pula pada ketidaknyamanan dan ketakutan warga saat menggarap lahan sawah, kebun yang sebagaian besar telah ada sebelum Taman Nasional di tetapkan. Dengan demikian, sengketa agraria yang terjadi di TNUK telah menyumbangkan proses pemiskinan masyarakat di sekitar kawasan, khususnya yang terkait dengan akses ruang hidup, akses pengetahuan dan sumber keuangan, yang oleh Friedman (1992) disebut sebagai faktor-faktor yang ikut menentukan pemiskinan masyarakat.58 Jika sumber agraria yang dikuasai secara tidak adil itu adalah kawasan sumberdaya alam di dalam Taman Nasional, maka ketimpangan agraria yang terjadi akan dialami oleh masyarakat di dusun dan desa di sekitar kawasan. Saat konflik agraria terjadi akibat incompabilities yang belum teratasi sampai ke akar masalahnya, maka yang merasakan dampak kemiskinannya pertama kali adalah masyarakat lemah yang tak punya kuasa di sekitar TNUK. Gejala semacam inilah yang menjadi gambaran umum pengelolaan sumberdaya alam di di dunia ketiga. Peluso (2006) menggarisbawahi bahwa kebanyakan sistem pengelolan hutan di Dunia Ketiga telah gagal mengatasi kemerosotan hutan maupun kemiskinan pedesaan di sekitarnya. Beberapa sistem negara bahkan memperparah 58
Friedman menyebut delapan faktor akses yang menentukan pemiskinan masyarakat yaitu; akses informasi yang tepat, pengetahuan dan ketrampilan, ruang hidup, jaringan sosial, surplus waktu, sumberdaya keuangan, organisasi sosial, instrumen kerja dan livelihood. Friedmann, John, Empeworment; The Politics of Alternative Development, Cambridge MA & Oxford UK: Blackwell, 1992.
72
kemerosotan hutan karena makin merunyamkan kemiskinan penduduk desa yang tinggal di pinggiran hutan59. Begitulah gambaran umum yang juga terjadi pada masyarakat di beberapa dusun pinggiran kawasan TNUK. Sejak konflik agraria meletus secara terbuka tahun 2006--kesinambungan dari konflik-konflik kecil, individual, dan diam-diam yang telah terjadi sejak penetapan kawasan TNUK--, masyarakat di sekitar TNUK hidup dalam keterbatasan-keterbatasan akses ruang hidupnya. Dapat dikatakan letupan konflik tersebut hanyalah puncak gunung es yang kelihatan dari hamparan persoalan yang lebih luas yang tidak kelihatan60. Kasus-kasus sengketa kecil masih banyak terjadi di lapangan, baik antar pribadi warga dengan Petugas BTNUK, maupun kelompok masyarakat di sekitar kawasan yang tersimpan mengendap dalam batin dan menjadi catatan pribadi-pribadi yang menunggu akumulasi dan momentum untuk keluar; berontak di balik berbagai dimensi kemiskinan yang dialami warga.61 Tentu saja lintasan sengketa agraria di atas hanyalah sebagian kecil saja dari potret episode panjang kompleksitas sengketa agraria di sekitar kawasan TNUK yang masih terus berlangsung dan ikut menyumbangkan proses kemiskinan warga di sekitarnya hingga kini.
5.2 Dinamika Konflik dalam Politik Penataan dan Penguasaan Ruang di Kawasan Konservasi TNUK Persoalan utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang ikut meningkatkan eskalasi sengketa agraria di sekitar kawasan Taman Nasional adalah benturan klaim atas identitas sumber-sumber agraria yang dimiliki masyarakat dan batas wilayah kelola BTNUK beserta sistem tenurial dan paradigma pengelolaan sumberdaya kawasan hutan yang masih mengabaikan 59
Nancy Lee Peluso, “Hutan Kaya…Op.Cit., hlm.8. Penulis berkesempatan tinggal bersama (live in) selama tiga minggu lebih di beberapa dusun (Legon Pakis, Cikawung Girang dan Cikawung Sebrang) dan di sekitar kawasan TNUK dalam rangka “Riset Mandiri dan Pendampingan Konflik Agraria”Masyarakat sekitar Taman Nasional, di prakasai oleh lembaga Sajogyo Institute (SAINS) Bogor dan atas undangan tokoh masyarakat di Legon Pakis, Juni-Juli 2007. Melakukan revisiting beberapa kali dan masih berlanjut hingga sekarang dalam upaya advokasi dan mengawal proses mediasi konflik warga berbasis Zonasi Khusus untuk dinegosiasikan dengan pihak BTNUK. (Sejak November 2009, hingga sekarang). 61 Untuk memahami lebih jauh multidimensinya kemiskinan ini, dapat menelusuri buah pikir Prof. Sajogyo dalam buku Mukhtar Sarman (Ed), “Dimensi Kemiskinan; Agenda Pemikiran Sajogyo”, Pusat P3R-YAE, 1998. 60
73
kesejahteraan manusia pinggiran hutan. Menurut Afiff (2005), masalah tenurial mencuat ketika terjadi dominasi dalam relasi-relasi agraria menyangkut klaim penguasaan atas sumberdaya tertentu. Hal ini terjadi karena kebijakan dan aturan hukum yang dikeluarkan negara beserta birokrasi (dan ‘wakil-wakil’nya) dalam menetapkan hak atas sebidang tanah dan sumber-sumber alam lainnya seringkali tidak mengadopsi atau bahkan bertolak belakang dengan praktik-praktik sehari-hari dan kebiasaan yang telah turun temurun berlaku dalam sebuah masyarakat. Di sinilah terjadi persoalan legitimasi penguasaan, yaitu antara yang berdasarkan de jure dan de facto. Legitimasi secara de jure mendasarkan pada kepemilikan formal menurut aturan hukum yang dianggap sah oleh negara atau pemerintah. Sedangkan legitimasi secara de facto mengacu pada cara-cara kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan yang dipercayai, digunakan, dikenal dan berlaku berdasarkan hukum atau aturan yang dipraktikkan masyarakat selama ini, misalnya berdasarkan praktik-praktik adat setempat. Persoalan peminggiran masyarakat kampung dan desa di pinggiran kawasan TNUK selaras dengan lensa pandang ini. Historisitas keberadaan masyarakat Legon Pakis di kawasan pinggiran hutan Ujung Kulon dengan wilayah pemukiman, sawah dan kebun campuran mereka yang telah hidup secara turun menurun sejak zaman kolonial Belanda hingga kini, hanya dilihat sebagai ancaman masalah bagi kelestarian ekologi hutan. Sehingga sewaktu-waktu dapat dihilangkan atas nama konservasi dan aturan legal kehutanan lainnya. Tanah mereka dianggap wilayah hutan negara, sehingga jika sewaktu-waktu Negara memintanya kembali, maka mereka tidak boleh menolaknya dan harus menyerahkan kembali. Begitulah seharusnya menjadi warga Negara yang baik. 62. Atas nama “kewajiban warga Negara” masyarakat Legon Pakis dijauhkan dari “Hak Warga Negaranya” untuk hidup layak dan terpenuhi hak-hak dasarnya yang dijamin secara konstitusional.
62
Argumen seperti ini sering menjadi jurus pamungkas Petugas BTNUK ketika menghadapi tuntutan masyarakat pinggiran hutan atas hak hidup mereka atas kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran yangmereka garap selama ini. Hasil wawancara dan diskusi diskusi dengan masyarakat dan petugas BTNUK, akhir 2010.
74
Akar dari persoalan lainnya adalah pada bagaimana konsep konservasi kawasan hutan hendak difahami dan letakkan dalam pengelolaan ekosistem hutan. Merujuk pandangan Escobar (1998) bahwa wacana konservasi bukanlah wacana netral dan muncul dari ruang hampa. Membincangkan persoalan konservasi tak bisa dilepaskan dari aspek yang melekat di dalamnya yakni aspek kekuasaan, produksi dan makna, baik ditingkat global maupun lokal (Brosius, 1997). Bagi sekelompok orang, konservasi adalah daftar jenis satwa atau tumbuhan langka. Bagi aktor lain, konservasi adalah upaya menjamin sumber ekonomi dan devisa negara. Sementara, aktor lain mengartikulasikan sebagai cara untuk memperbaiki kehidupan ekonomi. Artikulasi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa konservasi adalah ruang terciptanya relasi sosial. Hubungan sosial ini memuat kepentingan berbeda dari pihak yang terlibat. Kepentingan yang berbeda memberi peluang bagi pihak-pihak itu menggunakan kekuasaannya (power). Dalam pandangan yang lebih kritis, wacana konservasi sering menuai kritik sebagai bias kepentingan negara maju, kepentingan kelas tertentu, dan dapat digunakan untuk memarjinalkan rakyat pedesaan (Blaike, 1985; Escobar, 1996; Li 2002). Konservasi bisa menjadi alat hegemoni baru, dimana berbagai aktivis, donor, wakil pemerintah bisa bersepakat bersama (Li, 2001). Namun, platform konservasi belum tentu disetujui masyarakat yang hidup langsung dengan keragaman hayati. Dalam pemahaman semacam ini maka membincangkan persoalan konservasi sumberdaya alam tidak bisa dipisahkan dari relasi sosial, kekuasaan dan dinamika ditingkat lokal berlangsung. Di sisi lain, ketimpangan struktur agraria menjadi penyumbang lain dari merebaknya konflik. Sejarah penguasaan kawasan konservasi di TNUK telah menunjukkan bahwa atas nama pemeliharaan dan pelestarian Badak Jawa, perluasan batas kelola dilakukan sepihak mengambil paksa wilayah life space masyarakat pinggiran kawasan hutan. Sejak kawasan hutan Cagar Alam Ujung Kulon ditetapan sebagai kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, pada tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992 dengan luas kawasan total 122.956 Ha, telah menelan seluruh area kawasan kampung Legon Pakis --salah satu kampung di pinggiran hutan dengan luas 261, 6 ha, terdiri dari kawasan pemukiman (di huni 99 KK), pekarangan rumah,
75
pertanian/lahan sawah dan kebun campuran, masuk menjadi wilayah konservasi TNUK, termasuk beberapa kampung lainnya yaitu kampung Cikaung Sabrang dan Cikaung Girang, kedua kampung ini berada di desa yang sama yaitu desa Ujung Jaya—meski kedua kampung terakhir hanya sebahagian saja wilayahnya yang terkena klaim batas baru penetapan kawasan TNUK--63. Proses evolutif eksklusi masyarakat atas nama konservasi di kawasan TNUK langsung maupun tidak telah berdampak besar pada akses masyarakat terhadap wilayah hutan. Sebab, dengan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, maka sesuai ketentuan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (beserta peraturan pelaksanaannya) berlakulah sejumlah larangan kegiatan di dalam kawasan taman nasional sebagai berikut; Tabel 9. Larangan Perbuatan atau Kegiatan di dalam Zona Kawasan Taman Nasional.64
63
Untuk kawasan hutan Ujung Kulon, mulai ditetapkan sebagai Taman Nasional, dari status sebelumnya sebagai kawasan Cagar alam, sejak tahun 1984 dan perluasan wilayahnya di tetapkan pada 1992. Evolusi kebijakan dan perubahan tata kelolan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini bisa dilihat lebih jauh dalam Adi Wibowo, Isu Pemukiman...Op. Cit., hlm. 23. 64 Ibid, hlm. 13
76
Tabel di atas menjelaskan bahwa Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai yang diberlakukan untuk kawasan konservasi sangat terbatas sifatnya. Kedua Hak tersebut dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi integritas ekosistem konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut larangan perbuatan sebagaimana tertera dalam tabel tersebut, telah merubah struktur dan relasi agraria masyarakat sekitar hutan. Perubahan ini membawa akibat besar pada kehidupan masyarakat di sekitar hutan yang turun temurun antar generasi telah membangun hubungan yang intim, harmoni dan ‘integratif’ dengan ekosistem hutan.65 Meski jauh sebelum penetapan kawasan TNUK, proses pembatasan akses dan kontrol masyarakat Legon Pakis sudah terjadi66, namun tidak seketat dan sekuat ketika Cagar Alam Ujung Kulon berubah menjadi kawasan Taman Nasional tahun 1984 dan diperbaharui tahun 1992, termasuk di dalamnya bentukbentuk koersi, kekerasan, intimidasi dan teror (fisik dan psikis) oleh polisi hutan dan Pam Swakarsa bentukan dari BTNUK. Klaim pengambilalihan dan perluasan kawasan konservasi ini berbenturan langsung dengan klaim masyarakat atas ruang wilayah yang telah dihuni dan menghidupi mereka jauh sebelum kawasan TNUK ditetapkan.67 65
Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh BOHER (Badan Perhutani milik Belanda), lahan yang kemudian menjadi kampung tersebut adalah bentuk hadiah pemerintah Belanda kepada warga karena telah membantu proyek kehutanan Belanda di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus (Setelah dikuasai RI). Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra) diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS (termasuk Penulis), 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 66 Di antaranya, larangan membuat rumah permanen, infrastruktur jalan, MCK, tempat ibadah, menebang pohon di pekarangan sendiri, terror dan pembabatan tanaman warga dan larangan lainnya terkait dengan budidaya hutan dll. Hasil wawancara dengan warga, 2008. 67 Sejarah pemukiman warga, disebutkan telah ada sejak zaman Kolonial Belanda. Menurut cerita lisan yang berkembang di Legon Pakis, pembukaan lahan warga ini dimulai saat Ujung Kulon masih dikuasai oleh Badan Perhutani milik Belanda, sebagai hadiah atas bantuan warga terhadap usaha pengelolaan hutan, yang waktu itu terakhir di pimpin oleh Markus. Urutan kepemimpinan kepala Taman Nasional Ujung Kulon di Zaman Pemerintahan Belanda hingga Kemerdekaan RI adalah : Tuan Hitam, Tuan Dekok, Tuan Junel, Tuan Farida, Tuan Sengkel, Tuan Markus (Setelah dikuasai RI). Berdasarkan keterangan dari beberapa sesepuh dan pengikut Abah Pelen yang masih hidup (Abah Suhaya, Abah Zaman, Ki Misra) diketahui bahwa mayoritas penduduk Legon Pakis adalah berasal dari anak turun Abah Pelen dan para pengikutnya dari daerah Tugu dan Cibadak
77
Kondisi semcam ini mejadi sumbu ketegangan dan konflik agraria dilahirkan yang masih terjadi hingga kini. Persoalan agraria adalah persoalan politik. Siapa yang menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan, maka ia menguasai manusia!68 (Cristodoulou, 1990, M. Tauchid, 2009, Wiradi, 2009) yang membutuhkan tindakan mendasar secara politik, yakni perombakan ketimpangan struktur agraria. Tanpa memahami dasar masalah ini, maka penyelesaian masalah-masalah sengketa agraria akan terjebak menjadi parsial, teknis administratif, dan formalistik69. Tak mengherankan jika persoalan kembali muncul secara fluktuatif
timbul tenggelam menunggu
momenum, seringkali membawa serta masalah turunan yang tak kalah rumit, seperti pengangguran dan kemiskinan. Kondisi sengketa agraria dan proses kemiskinan adalah satu bandul kausalitas yang berkelindan; saling terkait erat satu dengan lainnya. Menurut A.K Ghose (1983: 3), sebagaiamana dikutip Wiradi (2009), masalah pertanahan atau agraria secara umum) adalah masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi, dan masalah herarki sosial. Mengungkap persoalan masalah agraria tidak bisa dilepaskan dari masalah turunan yang ditimbulkannya, yakni sengketa agraria, kemiskinan, dan pengangguran.
yang telah lama tinggal secara turun temurun di sekitar kawasan hutan Ujung Kulon sejak zaman Kolonial Belanda; . Lebih Jauh lihat, Hasil Riset dan Advokasi Konflik Agraria Tim SAINS (termasuk Penulis), 2007 dan Hasil Penelitian Tim SAINS, tentang Analisis Pemukiman di Tiga Taman Naisional Indonesia, SAINS Press, 2009. 68 Lihat Wiradi, Seluk Beluk ......Op.Cit., hlm. 1. 69 BTNUK pernah mencoba menyelesaikan konflik dan memadamkan tuntutan pengakuan life space warga Legon Pakis dengan cara memindahkan masyarakat (transmigrasi lokal/relokasi), misalnya pemindahan warga Legon Pakis pada tahun 1979 ke Kampung Pematanglaja, Desa Karangbolong, Kecamatan Cigeulis. Tetapi pada tahun 1983 mereka kembali ke Legon Pakis lagi karena lahan dan fasilitas yang diberikan tidak seperti yang dijanjikan, sehingga tidak layak untuk hidup dari pertanian sebagaimana dilakukan di Legon Pakis. (Hasil wawancara dengan waraga Legon pakis, akhir 2007). Menurut data yang diperoleh di lapangan, proses relokasi hanya dilakukan pada belasan keluarga dari Legon Pakis, khususnya para warga yang merupakan pendatang baru, berasal dari luar Banten. Sementara penduduk yang telah lama tinggal di Legon Pakis tetap bertahan di kampung. Sebagaian besar kelompok keluarga yang relokasi tidak kerasan tinggal di tempat baru, selain lahan nya tidak sesubur di Legon Pakis, fasilitas infrastruktur yang dijanjikan pemerintah tak kunjung datang. Namun, mereka meresa malu untuk kembali ke Legon Pakis. Meskipun ketika masa panen tiba, mereka tetap bersilaturrahmi, sebagian menjadi buruh panen ke Legon Pakis. Dalam proses Relokasi ini, warga yang pindah tidak lagi memiliki lahan di tempat semula. Ketika mereka tidak tahan dan kembali ke daerahnya sendiri, lahan di tempat relokasi yang ditinggalkan statusnya hanya dibiarkan saja. (hasil wawancara dengan warga dan aparat desa di Legon Pakis, tahun 2009)
78
Pada dasarnya sengketa agraria adalah suatu situasi proses dari interaksi antara dua atau lebih individu atu kelompok dalam memperebutkan objek yang sama demi kepentingannya. Dalam konteks agraria objek yang diperebutkan adalah tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air, tanaman, tambang dan udara yang berada di tanah yang bersangkutan. Mengacu pada batasan definisi di atas, pada dasarnya semua jenis konflik agraria timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria, khususnya empat bentuk kesenjangan utama yaitu, kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan kebijakan yang saling bertentangan (Wiradi, 2009). Namun, faktor pemicunya bisa beragam, di antaranya, pembangunan yang tidak seimbang,
kelemahan sistem hukum,
dampak industrialisasi, hak atas tanah yang tidak jelas, kesenjangan ekonomi antar daerah, penguasaan kekuatan ekonomi oleh suatu kelompok etnis tertentu dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak tepat70. Proses politik tata ruang TNUK dengan beragam kebijakan dan aturan pembatasan akses dan kontrol masyarakat pinggiran atas ruang hidup (live space) masyarakat pinggiran hutan atas kekayaan sumberdaya sekitar hutan yang berjalan terus menerus berimplikasi pada penyuburan proses kemiskinan yang bersifat relasional. Dalam pandangan relasional, maka kemiskinan dilihat bukan pertamatama sebagai kondisi melainkan konsekuensi. Sebagai suatu konsekuensi, maka ia merupakan efek dari relasi-relasi sosial, yang tidak terbatas dalam pengertian koneksi atau jaringan semata, melainkan dalam pengertian hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang (Mosse 2007). Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan dapat terjadi berulang dan terwariskan. Kenyataan kemiskinan relasional akibat dari penciptaan politik tata kuasa ruang di kawasan konservasi Taman Nasional berkontribusi pada penciptaan ketimpangan struktur agraria yang menjadi embrio dari bentuk-bentuk persoalan sengketa agraria. Masih banyaknya, anak-anak yang kurang gizi di masyarakat akibat akses kesehatan yang minim, tingkat pendidikan yang rendah akibat akses pendidikan yang kurang, sarana air bersih, listrik, rumah yang tidak layak serta akses sumber-sumber matapencaharian yang masih tidak stabil akibat 70
Wiradi, Seluk Beluk… hlm. 194-195.
79
identitas lahan yang belum diakui menjadi realitas faktual yang ditemukan dalam keseharain masayarakat di Legon Pakis. Sifat evolutif petani dan daya adaptasi masyarakat petani pinggiran kawasan memungkinkan mereka tetap mampu survival, dalam kondisi secara ekonomi. Namun ketika kemerosotan ekononomi yang bersifat mengejutkan dan drastis serta tindakan kekerasan yang bersifat massif yang dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat di Legon Pakis telah menjadi pemicu perlawanan mereka atas penguasa TNUK. Perubahan tata batas kelola TNUK yang memakan 100% wilayah life space mereka, teror, kekerasan dan ketidakamanan yang semakin intens menjadi sumber bara perlawanan masyarakat Legon Pakis. Yang berpuncak pada amok massa oktober 2007. Sejak peristiwa kelabu oktober 2007, hubungan disharmoni warga pinggiran hutan khususnya di kawasan Legon Pakis) dengan Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) semakin tajam. Konflik tersebut telah menciptakan teror baru, ketakutan dan ketidakamanan warga, baik dalam kehidupan sehari-hari dalam aktivitas bersawah dan berkebun maupun dalam aktivitas keseharian lainnya. Sehingga disadari atau tidak juga berpengaruh pada terhambatnya akses kebutuhan dasar mereka; dalam beragam dimensinya. Kondisi ketidaknyamanan dan ketidakamanan warga Legon Pakis semakin parah karena ketiadan kelembagaan dan organisasi sosial yang menopang dan mampu manjadi disementasi sosial sekaligus wadah untuk ikatan bersama secara kolektif “ke dalam” (antar warga) di satu sisi, dan organisasi/ kelembagaan sosial sebagai wadah dan pusat “ideologisasi”, pubikasi, kampanye perlawanan dan perjuangan mereka ‘keluar’. Sampai hari ini realitas konflik dalam skala yang lebih kecil; penangkapan paksa dan penahanan warga dengan dugaan ‘illegal logging’ dan perambahan hutan masih berulang.71 71
Pada 10 April 2009, tiga orang dari Ujung Jaya ditangkap oleh aparat Kepolisian Sektor SumurPandeglang, Banten, Desa Ujung Jaya, Sumur-Pandeglang. Penangkapan tersebut atas tuduhan warga menebang kayu di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), padahal menurut warga, kayu yang ditebang berasal dari lahan garapan milik warga yang telah dikelolanya secara turun-temurun. Hal yang sama juga terjadi pada Agustus 2009, 5 orang warga kampung Ujung Jaya ditangkap dengan tuduhan perambahan hutan. Lebih jauh lihat, laporan Advokasi Hukum Konflik TNUK, IHCS dan KOMNAS HAM Jakarta, 2009. Pada akhir 2009, 3 orang warga Legon Pakis di panggil dan diinterogasi Polsek Cibaliung dengan dugaan menggarap lahan yang sudah ditinggalkan. Januari-Februari 2011, pembabatan tanaman warga terjadi untuk kepentingan pemagaran proyek dari Yayasan Badak Indonesia (YABI), beserta bentuk-bentuk pemaksaan, teror dan intimidasi guna mencari persetujuan warga untuk proyek ini, termasuk pada jaringan LSM/NGO yang mendampingi warga. Hasil kunjungan lapang penulis, Februari 2011.
80
Bisa difahami jika masyarakat Legon Pakis terus melakukan perlawanan untuk menuntut pengakuan hak hidup mereka di pinggiran kawasan TNUK. Selaian klaim sosio-historis mereka yang tinggal jauh lebih lama daripada penetapan TNUK, secara ekonomi sumber mata pencaharian mereka yang mengandalkan hidup dari pertanian sawah dan kebun campuran semakin hari semakin membaik dan mampu menjamin subsistensi mereka. Sebagaimana diuraikan dalam Bab sebelumnya.72. Kini, tantangan dan ancaman terbaru bagi kehidupan masyarakat di Legon Pakis adalah poyek bernama Javan Rhino Sanctuary (JRS) adalah gagasan dan upaya sekelompok konservasionis untuk melestarikan species badak jawa (Rhinoceros Sondaicus) yang hingga kini hanya berjumlah 28 – 64 individu di dunia; tidak lebih dari 8 individu di Vietnam1 dan 28 – 56 individu di Indonesia.73 Badak Vietnam hidup di Cagar Alam Cat Loc, berdekatan dengan Taman Nasional Cat Tien, sedangkan di Indonesia, badak jawa hidup di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang, Banten. Menurut Kepala Balai TNUK, lokasi penangkaran badak Jawa dipusatkan di area 3.000 hektare dari luas habitat populasi badak Jawa di TNUK sekitar 38 ribu hektare. Lokasi penangkaran tersebut berada di kawasan Gungung Honje bagian Selatan, yakni dengan cara dilakukan pemagaran beraliran listrik setinggi 2 meter sepanjang 24 kilo meter. Tujuan ekowisata Badak Jawa ini akan menjadi awalan bagi pembangunan sarana infrastruktur lainnya di sekitar Banten, seperti Bandar Udara dan tambahan pelabuhan laut bagi wisatawan yang akan ke TNUK. Sebagimana diungkapkan oleh Gubernur Banten, dalam acara peresmian penangkaran badak Jawa (Rhinocerus Sondaicus) di Pulau Peucang di Kawasan TNUK, 22 Juni 2010. Dengan adanya daerah tujuan objek wisata tersebut, juga akan memberikan dampak manfaat bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan untuk mendorong perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan. Selain
72
Lihat Bab IV, Kondisi Sosial Ekonomi DusunLegon Pakis, Tabel hasil sensus Sajogyo Institute, 2007. 73 Sensus berbasis pengamatan jejak mendata 40-60 individu Badak Banten di TNUK, akan tetapi pengamatan dengan kamera dan video secara sistematis hanya bisa mengidentifikasi 28 individu Badak Banten (WWF Indonesia, unplished data).
81
itu juga, objek tersebut akan mendukung pengembangan objek wisata lainnya di Provinsi Banten di antaranya Tanjung Lesung dan Pantai Anyer.74 Argumen “eko-wisata” demi kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakat ini pada praktiknya, ternyata mengabaikan hak hidup dan sumber mata pencaharian utama masyarakat pinggiran kawasan hutan yang menjadi korban utama rencana pemagaran yang memakan sebagian lahan garapan sawah, kebun campuran dan menghilangkan akses masyarakat atas sumberdaya hutan75. Selain pengabaian hak hidup dan kesejahteraan masyarakat pinggiran kawasan hutan, secara konsep konservasi proyek ini masih menjadi polemik di kalangan rimbawan. Pertanyaan kritis yang diajukan adalah apakah program JRS ini menjadi langkah maju ataukah justru langkah mundur bagi konservasi?. Apakah proyek ini tindakan Konservasi ataukah Pidana Konservasi?
76
Rencana proyek
JRS ini telah menjadi simpul konflik baru bukan hanya masyarakat pinggiran hutan dengan pihak BTNUK, tetapi sudah melibatkan multipihak dari “pendukung” masing-masing yang berkonflik. Berikut gambar rencana pemagaran JRSCA dan rencana Pengelolaan Zona Khusus ebagai tawaran penyelesaian konflik, yang tertabrak rencana proyek kurang lebih, 110 ha terdiri dari awah dan kebun campuran warga.
74
Acara peresmian ini juga di dihadiri dan di tanda-tangani oleh Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan. Metrotvnews.com, Serang, 22 Juni 2010. 75 Dari hasil Kajian Tim SAINS, JKPP dan Latin di lapangan dengan melakukan pemetaan partisipatif dan FGD (Forum Groups Discussion) , tidak kurang 110 ha, lahan warga di Legon Pakis Terkena rencana proyek JRS ini. (Laporan Tim Kajian, 2010). Selain memakan ratusan hektar sawah masyarakat Legon Pakis, penebangan dan pengrusakan kebun campuran milik masyarakat Legon Pakis banyak yang ditebang untuk rencana pemagaran JRS. 76 Tulisan kritis tentang persoalan ini bisa dilihat dalam Timmer Manurung dan Retno Styaningrum, Analisis Hukum Proyek Javan Rhino Sanctuary (JRS): Tindakan Konservasi atau Pidana Konservasi?. (2011) Selain menyoroti argumen konservasi dan ekologi proyek JRS, tulisan ini juga mempertakan secara kritis legalitas hukum yang banyak dilanggar oleh proyek ini. (Makalah belum diterbitkan).
82
Gambar 6. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS/ JRSCA (Tim Era, 2010) Keterangan: 1.Garis warna “merah tua”menunjukkan garis batas Peta Zona Khusus (Warga) 2.Garis warna “ungu muda”menunjukkan jalur pemagaran JRCA. 3.Luasan Zona Khusus (warga)yangterkena rencana pemagaran seluas :110ha(dari 261,611ha)
Gambar 7. Peta Rencana Proyek Pemagaran JRS/ JRSCA yang menabrak wilayah Zona Khusus yang ditawarkan masyarakat Legon Pakis (JKPP, SAINS, LATIN, 2010)
83
5.3 Kontestasi antar Aktor dan Kepentingan dalam Kawasan TNUK Untuk memotret kontestasi beragam aktor dan kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan di wilayah konservasi Ujung Kulon setidaknya dapat ditelusuri dari dua babak momentum penting yang terjadi, yakni; Pertama, momen penetapan kawasan hutan Ujung Kulon menjadi Taman Nasional tahun 1984 dan diperbaharuhi tahun 1992 dan turunan masalah yang mengikutinya. Kedua, masuknya program Pemagaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia (YABI) atau yang popular dengan Javan Rhino Sunctuary (JRS) tahun 2010 dengan segenap persoalan yang mengikutinya hingga sekarang. Di kedua momen ini nampak bagaimana beragam pihak yang berkepentingan dengan wilayah kawasan konservasi Ujung Kulon saling mempertarungkan kepentingan masing-masing. Sebagian besar turunan masalah yang ditimbulkan dari kedua momen ini menjadi tonggak penting bagi perubahan tata kelola dan kebijakan penataan ruang di kawasan TNUK hingga sekarang. Babak pertama yang menjadi simpul dari kontestasi adalah momen penetapan hutan lindung Ujung Kulon menjadi Taman Nasional pada tahun 1984 dan perbaharui tahun 1992. Penetapan ini di dasarkan oleh SK Menteri Kehutanan No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha. Pada Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha. Dan pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409. Di satu sisi penetapan kawasan ini membawa kekuatan legal tersendiri yang berujung pada peningkatan kekuatan pengelola kawasan TNUK untuk menguasai wilayah tenurial yang lebih luas dan otoritas yang lebih tinggi. Selain itu cakupan wilayah yang dimiliki juga semakin luas. Termasuk di dalamnya kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran warga di beberapa kampung di desa Ujung Jaya, dan dusun Legon Pakis sejak saat itu 100 % seluruh kawasan pemukiman, sawah dan kebun campurannya masuk dalam kawasan TNUK. 84
Selain perubahan tata zonasi baru, penetapan ini juga diikuti perubahan tata batas wilayah kawasan TNUK. Batas lama yang sebelumnya disepakati bersama warga berbatasan langsung dengan sungai Cihujan dan Cilintang berubah lebih lebar hingga kurang lebih 10 km ke arah selatan menuju desa Ujung Jaya. Perubahan zonasi dan tapal batas ini menjadi simpul utama persoalan yang muncul antara kelompok masyarakat sekitar dan di dalam kawasan TNUK. Tak terkecuali masyarakat di dusun Legon Pakis yang kini separoh wilayahnya dianggap masuk di wilayah zona inti dan sebagian adalah zona penyangga. Ketidakpuasan dan ketidakterimaan warga masyarakat di Legon Pakis khususnya dan dusun-dusun di sekitar batas bari kawasan TNUK, misalnya kampung Cikaung Sabrang, Ciakung Girang dan sebagian kecil Tanjung Lame, pada awalnya tidak muncul menjadi perlawanan terbuka. Kuatnya para pengaman hutan hasil kolaborasi Pam Swakarsa, Ranger dan Polisi Hutan yang dibentuk oleh BTNUK dan sebagian besar adalah anggota masyarakat juga, dan sebagian tetap tinggal membaur dengan masyarakat lokal menjadi faktor penting mengapa masyarakat tidak melakukan perlawanan terbuka.
Model-model perlawanan
diam-diam atau terselubung menjadi pilihan bagi masyarakat untuk meluapkan ketiadakterimaan atas perubahan kebijakan zonasi dan kebijakan tapal batas baru. Mulai dari ketidak patuhan diam-diam atas aturan konservasi yang telah ditetapkan, mencuri kayu di zona inti, memburu beberapa jenis burung untuk dijual, menangkap penyu dan kepiting secara diam-diam, mematikan tunas pohon di sekitar pemukiman, dan menggosipkan keburukan-keburukan BTNUK. Perang mulut dan bentrok fisik ringan antar pribadi kerap terjadi antara warga dengan petugas BTNUK di lapangan. Namun, saat itu kebanyakan para petugas masih bersenjata parang. Sehingga masyarakat yang juga terbiasa membawa parang untuk kepentingan keseharian mereka dalam bekerja di ladang sawah dan hutan tidak takut untuk berhadap-hadapan secara fisik. Namun tidak lama kemudian, setelah penetapan tahun 1984 terdapat kebijakan untuk memberikan senjata api sebagai perangkat utama bagi para petugas hutan, khususnya Ranger dan Polisi Hutan. Persoalan senjata api yang dimiliki para petugas BTNUK ini menjadi tonggak penting bagi meningkatnya resistensi masyarakat atas BTNUK dan
85
sebaliknya meningkat pula represi petugas BTNUK terhadap warga. Kondisi ketegangan ini semakin hari semakin meningkat. Beberapa masalah pribadi yang sudah ada sebelumnya dan belum sempat terselesaikan kadang menemukan momentum kembali untuk dipertarungkan. ‘Kegagahan’ petugas dengan senjata api-nya juga memantik respon yang negatif dari warga. Sebab para petugas juga berubah perilaku semakin menekan dan menteror tidak langsung kepada warga dengan mempertontonkan senjata api tersebut dalam banyak kesempatan. Puncak dari akumulasi bara dalam sekam antar warga dan petugas meletus ketika salah seorang warga bernama Komar dari dusun Cikaung tertembak senjata api dadanya oleh salah seorang petugas BTNUK bernama Untung. Yang kemudian disusul amok massa dari beberapa desa sekitar kawasan TNUK di sekitar desa Ujung Jaya (sebagaimana diceriakan pada Bab sebelumnya). Bisa dikatakan pada babak ini, pertarungan yang terjadi melibatkan aktor-aktor yang diwakili oleh kelompok warga dan petugas BTNUK yang banyak dilapangan. Pada tahap ini belum ada intervensi dari pihak luar (NGO/LSM, aktivis mahasiswa, dll) secara intens. Kalaupun masuk tokoh-tokoh tertentu yang berperan lebih karena kedekatan hubungan pribadi dengan para warga. Seperti Haji A yang banyak membantu secara finansial dan advokasional hukum bagi para warga yang ditahan dan diproses hukum karena dituding provokator dalam peristiwa amok massa bulan oktober tahun 2007 itu. Pertarungan yang terjadi lebih bersifat horizontal dan lebih banyak individual. Dengan model perlawanan terselubung. Namun sejak peristiwa tewasnya warga tersebut, masyarakat mulai bergerak secara kolektif meski masih belum memiliki kelembagaan formal dan belum melakukan perlawanan terbuka, kecuali amok massa tersebut. Hal ini dilatari beberapa hal; 1) ketiadaan akar budaya lokal yang dapat dijadikan pemersatu secara historis dan budaya bagi masyarakat di sekitar Ujung Jaya, sehingga dapat memanggil perasaan senasib dan sependeritaan dengan lebih utuh. 2) ketiadaan ketokohan atau pemimpin yang bisa dianut dan dihormati bersama oleh semua warga di beberapa desa. Jikapun ada, tokoh tersebut hanya berlaku dan mengikat hanya pada satu dusun atau desa saja, dan tidak berlaku pada desa dan dusun lainnya. 3) ancaman represifitas petugas dan jaringan keamanan
86
BTNUK yang semakin meningkat, bergandengan dengan petugas Kepolisian sebagai ujung tombaknya. 4) belum adanya kelembagaan sosial yang menjadi sandaran bersama untuk melawan, seperti serikat tani, paguyuban warga, dll. Akibatnya pasca penembakan dan amok massa, justru masyarakat semakin traumatik dan terancam akibat tindakan represif aparat keamanan yang merasa memiliki legitimasi melakukan tidakan keamanan pada warga. Perasaan traumatik berhadapan dengan pihak Kepolisian dan di dalam penjara masih terekam kuat hingga sekarang bagi sebagian warga, lebih-lebih yang terlibat. Sehingga mereka tidak ingin berurusan lagi dengan pihak kepolisian dalam bentuk apapun,kecuali terpaksa. Namun demikian, momentum konflik terbuka ini juga menjadi tonggak penting masuknya pihak luar ke dusun Legon Pakis dan Desa Ujung Jaya. Beberapa aktivis mahasiswa dan LSM/NGO baik yang mendengar dari berita mass media muapun yang di undang warga sendiri umumnya mulai masuk setelah peristiwa oktober kelabu ini terjadi. Setelah itu, mulailah babak baru masyarakat mengenal pergerakan dan perlawanan dengan tahapan-tahapan secara sistematis dan membangun jaringan luar. Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) ikut membuka jaringan untuk advokasi konflik ini hingga ke Jakarta, baik melalui aksi ke Parlemen, Kementrian Kehutanan, KONTRAS hingga ke KOMNAS HAM. Sejak itulah warga mulai memahami sedikit demi sedikit pentingan berjejaring dan akses informasi. Pada tahap yang tidak lama, beberapa LSM yang diundang untuk ikut membantu warga untuk penyelesaian konflik ini mulai masuk. Sajogyo Institute (SAINS) yang bekantor di Bogor yang pada tahun 2006 telah melakukan riset tentang pemukiman di wilayah TNUK, dundang datang untuk membantu advokasi konflik dengan bekerja bersama aktifis FPPI. Pembagian tugas yang disepakati adalah pihak FPPI untuk meneruskan advokasi hukum dan pihak SAINS mempertebal argumentasi sosial-ekonomi-agraria berbasis riset untuk negosiasi dan menuntut pengakuan hak dasar masyarakat atas sumber agraria yang telah dimilikinya. Selang satu tahun dari peristiwa oktober kelabu 2007. Untuk sebuah advokasi, penguatan masyarakat dan penyelesaian konflik agraria Jaringan Kerja
87
Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan LATIN yang juga berpusat di Bogor ikut serta bergabung dalam pendampingan masyarakat di desa Ujung Jaya, dan lebih khusus di dusun Legon pakis. Pendampingan masyarakat untuk penyelesaian konflik kemudian mengembang pada upaya mencari titik temu dan win-win solution selaras dengan keinginan warga menyudahi kondisi ketegangan, ketidakamanan, keresahan dan teror terus menerus atas kehidupan keseharian mereka dengan beragam cara. Yang kesemuanya berlandasakan pada atauran legal penetapan batas baru TNUK dan pengaturan zonasi baru atas kawasan yang telah menajdi TNUK. Pelarangan dan pengurangan akses masyarakat atas sumberdaya hutan semakin dikikis, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat atas sumber pangan, tempat tinggal, air bersih, kesehatan, pendidikan, tempat ibadah, penerangan, jalan dst, yang selalu dihambat atas nama kekuatiran mengganggu kawasan konservasi. Singkatnya atas nama demi konservasi Taman Nasional, masyarakat sekitar dan di dalam kawasan TNUK, termasuk di dalamnya masyarakat dusun Legon Pakis secara sistematis dijauhkan dan hendak dipisahkan dari kawasan TNUK. Usaha relokasi pun pernah dilakukan sekitar tahun 1987. Namun akhirnya gagal akibat tidak tersedianya sumber kehidupan sebagaimana pernah dirasakan di tempat sebelumnya. Kekerasan, teror, pembatasan akses, peminggiran dan proses pemiskinan struktural masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan atas nama konservasi inilah yang menjadi dasar argumen beberapa lembaga dan aktivis yang akhirnya ikut mengawal dan membantu warga hingga peran-peran intermediary role dengan beragam pihak di sekitar BTNUK. Gagasan Zona Khusus yang disusun dan disepakati bersama warga secara partisipatif menjadi ujung bagi proses negosiasi untuk penyelesaian konflik menuju kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi yang menguntungkan kedua belah pihak dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Ditengah usaha negosiasi multi pihak, gagasan ini berbenturan dengan proyek besar YABI untuk membuat eko-wisata badak dengan pembangunan pagar berlistrik yang popular dengan nama JRS atau JRSCA.
88
Babak kedua adalah masuknya program Pemagaran Badak atau dikenal dengan JRS dan belakangan berubah menjadi JRSCA77. Atas nama “langkah konservasi” Kementrian Kehutanan (Kemhut) beserta jajaran lembaga di bawah koordinasinya dan Yayasan Badak Indonesia (YABI) mendukung proyek Javan Rhino Sanctuary (JRS) di TNUK (Kompas, 21/07). Dalam dokumen Analisis Risiko Lingkungan (ERA) Rencana Pembangunan JRS/JRSCA (November 2010) dipaparkan, pemagaran berlistrik akan dilakukan di sisi timur (20 kilometer/km) dan sisi barat (2 km). Pemagaran di kedua sisi menempatkan JRS di tengah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan luasan 3.000-4.000 hektar, dibatasi laut di sisi utara dan selatan. Dengan dana sebasar 6 milyar berasal dari beberapa lembaga konservasi Badak internasional, proyek ini telah dijalankan sejak 20 Juni 2011, dengan cara membelah dan membuldozer kawasan Taman Nasional sepanjang 5 kilometer dengan lebar 30 meter. Siaran pers Koalisi Penyelamatan Konservasi Ujung Kulon yang menolak rencana pemagaran ini menyebutkan bahwa pembangunan JRSCA yang dilakukan dengan membuka hutan akan mengakibatkan Taman Nasional Ujung Kulon terbelah dan terfragmentasi. Akibatnya, kondisi ekologis rusak dan berpotensi memicu pembalakan liar. Pro-kontrapun muncul. Benarkah ini semata-mata demi alasan konservasi? Atau demi kepentingan lain yang tersembunyi dibalik proyek konservasi? Proyek JRS resmi ditandatangani Menteri Kehuatanan Zulkifli Hasan, Gubernur Banten Ratu Atut, dan kepala TNUK Agus Priambudi pada 21 Juni 2011. Proyek ini telah disosialisasikan dalam banyak kesempatan sebagai tiang pancang eko-wisata unggulan di Ujung Kulon dengan ikon Badak Jawa. Karena itu proyek ini sejak awal sudah dilengkapi dengan agenda pembangunan ‘infrastruktur’ pendukunganya. Seperti rencana pembangunan Bandara, Pelabuhan Wisata, jalan raya dan perbaikan infrastruktur lainnya. Singkatnya, proyek JRS adalah bagian dari domain kepentingan pembangunan pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten Pandegalang dan Provinsi Banten. Klaim pembangunan dengan watak pertumbuhan ekonomi melalui proyek JRS merupakan pengejawantahan model kebijakan yang mengandalkan model ekonomi “ujung pipa” (end pipe 77
Penjelasan tentang babak kedua ini diolah ulang dari tulisan Eko Cahyono, Dilema Konservasi Ujung Kulon, dimula dalam koran Kontan, tanggal 1 Agustus 2011.
89
policies). Atas dasar proyek besar konservasi Badak Jawa dan masuknya invenstor ekonomi diharapkan akan otomatis meningkatkan pendapatan daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rakyat. Artinya, kesuksesan proyek JRS diyakini para pendukungnya dapat menciptakan peluang kerja yang lebih besar yang nantinya dapat meningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di sekiar kawasan proyek dan masyarakat Pandeglang secara umum. Sebab ekowisata merupakan daya tarik ekonomis yang dianggap terbukti ampuh mendatangkan inverstor dan injeksi ekonomi ke daerah. Namun, praktiknya sebagaimana juga banyak terjadi di dalam proyek pembangunanisme di negara dunia ketiga lainnya, asumsi kesejahteraan dengan mengandalkan ‘tetesan dari ujung pipa’ ini ternyata hanya menguntungkan segelintir atau kelompok elit yang berada di “pangkal pipa”, dan kerap menciptaan korban dan penderitaan bagi kelompok masyarakat di ujung pipa. Elite pemilik kuasa (politik-ekonomi) selalu memiliki power yang lebih besar di bandingkan masyarakat untuk menentukan kepada dan ke arah mana aliran modal yang dialirkan melalui pipa tersebut? Sekaligus mampu menciptakan beragam hambatan-hambatan ‘rasional’ agar aliran tersebut tidak/tetap berada di sekitar pangkal pipa. Atau kalaupun bisa mengalir, disusunlah strategi agar tetap dalam kendali jaringan kelompok mereka sendiri. Inilah barangkali penjelasan sederhana dari “kartel ekonomi” yang pernah ‘dipopulerkan’ mantan menteri keuangan Sri Mulyani sebelum akhirnya ‘dialih tugaskan’. Beragam bentuk kebijakan dan program ekonomi pemerintah pusat dan daerah, sejak Orde baru hingga era Reformasi ini disusun dan dilaksanakan dalam warisan watak demi kesejahteraan yang diasumsikan bisa turun dari atas (lapisan elit ekonomi) kepada masyarakat umum. Maka, ada koherensi yang jelas antara proyek JRS dengan klaim untuk kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi TNUK dengan watak paradikmatik ekonomi yang dijalankan, yakni sama-sama percaya kesejahteraan melalui model ujung pipa. Di masa Orde Baru kartel ekonomi ini berpusat di kekuasaan birokrasi yang lambat laun membentuk oligarki ekonomi pengendali penuh kekuasaan negara. Bahkan ada periode kelompok oligarki ekonomi ini mengambil alih dan menundukkan birokrasi negara. Jika dalam era Orde Baru kekuatan yang di susun
90
panjang sejak awal-awal naiknya kekuatan Orde Baru, berpusat pada kekuasaan di sekitar Soeharto dan Cendana, maka pasca era reformasi dan desentralisasi kekuatan ini menyebar dan membangun oligarki, bahkan lebih kuat di daerah. (Vedi Hadiz, 2009). Semangat Reformasi hanya mampu membuka kran politik dan demokrasi dengan cara pelengseran Soeharto secara politik. Akan tetapi sebenarnya pemilik kekuatan ekonomi politik Orba tidak serta merta ikut runtuh, tetapi mampu merestorasi kekuatannya dan menyebar di dearah-daerah. Dalam makna ini, maka bisa difahami jika banyak persoalan di daerah saat ini selalu berpusat pada perebutan sumberdaya alam dan aset-aset ekonomi lainnya, yang dulunya sempat disandera elit penguasa Orba di Jakarta. Proyek-proyek pembangunan di daerah hari ini tidak bisa dilepaskan dari jejaring kekuatan ekonomi politik yang terwarisi dari masa-masa Orba. Aset daerah berupa laut, tambang, mineral, emas, hutan dan seterusnya menjadi arena pertarungan kepentingan di daerah yangtak lagi terlalu tunduk pada kekuatan pusat. Proyek JRS yang merupakan perkawinan kepentingan pusat (Kementrian Kehuatanan) dan Pemerintah Daerah yang dikemas dalam agenda konservasi Badak Jawa dan Eko-Wisata (eco-tourism) telah menarik 6 milyar modal ke daerah. Satu pintu ekonomi yang dapat membuka pintu modal ekonomi lainnya. Dana Corporate Social Responsibility dari Asia Pulp Paper (APP) kelompok Sinar Mas Groups yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat juga dimasukkan menjadi “salah satu pendukung” program JRS di Ujung Kulon. Namun, undangan masuknya modal ekonomi dari luar ini tidak pernah mempertimbangkan “potensi” ekonomi yang sudah ada dan berjalan dalam masyarakat secara turun temurun. Masyarakat di kampung-kampung sekitar TNUK telah lama hidup dalam kehidupan agraris mereka jauh sebelum Taman Nasonal disahkan tahun 1984. Menurut satu kajian sosial-ekonomi tahun 2007, ditunjukkan aset yang berputar dari pertanian dan kebun campuran warga di salah satu kampung desa Ujung Jaya bisa mencapai 1,2 milyar/tahun (Sajogyo Instutute, 2007). Sumber ekonomi berbasis pertanian agraris dan kebun campuran ini adalah sumber utama gantungan hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK. Atas nama konservasi
91
Badak Jawa berwatak ekonomi ‘ujung pipa’ kurang lebih 110 ha kawasan tersebut akan terampas proyek JRS/JRSCA. Klaim sepihak pemerintah atas kawasan pemukiman dan garapan warga sebagai “tanah negara” menjadikan masyarakat tak punya daya dan terlucuti hak-hak kewarganegarannnya. Momen ini menjadi potret pertarungan dan kontestasi beragam pihak beserta aneka kepentingan, baik dari kalangan pemerintah daerah, Hingga kini persoalan JRS/JRSCA ini masih menjadi pro kontra banyak kalangan dan mengundang semakin banyak aktor dan kepentingan baru yang terlibat, baik lokal maupun nasional. Perdebatan wacana yang dimunculkan berkisar setidaknya pada tiga wlayah; argumen hukum, argumen ekologiskonservasionis, dan argumen sosial-ekonomi. Masing-masing kelompok baik pro maupun kontra memiliki pendukung hingga ke basis masyarakat. Mendekati PILKADA Banten, kasus ini menjadi lebih hangat dan terbuka masuk pada agenda politik masing-masing kandidat yang bertarung. Pada perkembangannya secara garis besar pertarungan wacana mengarah pada perpaduan ideologi pengelolaan kawasan korservasi berwatak konservasionis-developmentalistik menjadi mengental di satu sisi yang diusung BTNUK, Pemerintah Daerah, YABI, JRF dan para pendukungnya berhadapan dengan gerakan eko-populis yang diusung kalangan LSM/NGO pendamping masyarakat, aktivis mahasiswa dan jaringannya di sisi lain.
5.4 Aksi Petani; Bentuk dan Strategi Perlawanan Meskipun ketegangan, teror dan konflik terus dialami masyarakat Legon Pakis, berangsur-angsur warga berinisiatif untuk melakukan tindakan bersama guna memperjuangkan nasib dan hak atas kawasan live space mereka di kawasan TNUK yang hendak terampas paksa, khususnya program JRS/JRSCA yang di dukung oleh Yayasan Badak Indonesia (YABI), BTNUK, Kementrian Kehutanan dan Pemerintah Daerah. Sejak konflik terbuka 2007, masyarakat Legon Pakis berjuang dengan beragam bentuk dan strategi perlawanan yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi internal dan ekternal para lembaga pendamping serta kondisi semangat dan ketebalan kesolidan dan persatuan warga. Setidaknya terdapat tiga periode bentuk aksi perlawanan masyarakat Petani Legon Pakis yang
92
di dukung oleh sebagian warga disekitarnya dalam memperjuangkan hak dan nasib mereka selama ini sebagai masyarakat yang berada di dalam dan pinggiran kawasan hutan konservasi TNUK, yakni aksi perlawanan diam-diam/terselubung, aksi perlawanan konfrontataif dan aksi perlawanan yang negosiatif/kolaboratif. Pertama, periode perlawanan terselubung/diam-diam. Aksi perlawanaan pada periode ini dilakukan lebih banyak sendiri-sendiri atau bersifat individual. Kalaupun berkelompok bukanlah disebabkan karena ikatan ideologi dan strategi yang sistemik tertentu tetapi lebih banyak karena kesepakatan yangbersifat sementara. Aksi diam-diam ini lebih banyak dilakukan masyarakat petani Legon Pakis jauh sebelum hutan Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional pada tahun 1984, hingga akhir Orde Baru. Pada saat itu, para petugas TNUK masih bersenjata parang, belum senjata api. Sehingga tingkat “wibawa” dan kegalakannya tidak seperti ketika bersenjata api pasca penetapan kawasan hutan Ujung Kulon menjadi Taman nasional. Banyak ditemukan dari cerita warga yang tinggal di dalam dan pinggiran kawasan bahwa sebagian besar pernah bahkan sering secra personal sering bertengkar mulut, bahkan beberapa kali kotak fisik dengan petugas, meski tidak sampai adakorban jiwa, dan jarang terekspose keluar. Pertengkaran biasanya menyangkut larangan batasan garapan, pengambilan sumberdaya non-hutan (madu, rotan), kadang juga pertengkaran akibat pengambilan binatang tertentu seperti burung, kepiting, ikan, penyu dan lain-lain di laut sekitar kawasan TNUK, dan juga pengambilan dan penebangan kayu (untuk kepentingan sendiri, tidak komersil). Konflik-konflik kecil semacam itu dianggap warga untuk menunjukkan eksistensi dan hak mereka sebagai masyarakat yang hidup bertahun-tahun di sekitar/dalam hutan. meskipun mereka tidak tahu-menahu persisnya hak-hak legal normatifnya. Selain itu, aksi perlawan atas pelarangan dan tekanan dari beragam aturan normatif TNUK yang harus mereka taati sehari-hari mereka ekpresikan dengan mbalelo (ketidak patuhan) secara diam-diam atas aturan yang telah ditetapkan. Misalnya, membangun pondasi rumah dan bangunan rumah secara semi permanen, membangun tempat ibadah permanen, memasukkan penerangan dengan listrik dari dusun/desa sebelah, memperbaiki jalan utama, membangun sumur permanen dan sejenisnya. Hal-hal tersebut adalah sesuatu yang selam ini
93
menjadi larangan. Dengan larangan tersebut otoritas TNUK mengharapka agar masyarakat lambat laun akan pindah dan gampang direlokasi dari wilayah tersebut sewaktu-waktu. Dalam hal lain, masyarakat juga punya strategi sendiri untuk menolak program penanaman bibit tanaman di pekaranga sekitar rumah dan lahan garapan mereka, yang dipersepsi sebagai upaya terselubng untuk mempersempit ruanghidup mereka. Cara yang dipakai adalah memelihara ternak ayam dan kambing dan di biarkan untuk memakan bibit tanaman muda yang diberikan pihak TNUK, atau kadang memotong akar tanaman agar lambat laun menjadi mati da banyak lagi bentuk sejenisnya untuk menggagalkan secara diam-diam program dan agenda pihak otoritas TNUK. Dalam kehidupan sehari-hari ketidaksetujuan mereka atas aturan-aturan pelarangan akses atas sumberdaya hutan mereka ekspresikan dengan cara menggosip miring pribadi-pribadi kelakukan para petugas TNUK, dan membincangkannya dalam guyonan dan obrolan sehar-hari. Dalam beberapa kasus, masyarakat kadang bersikap diam atau acuh tak acuh atas kedatangan petugas
di dusun mereka, atau bahkan lebih baik menghindari atau tidak
menjumpainya. Termasuk ketidakpatuhan diam-diam dalam kegiatan dan aktifitas yang ditetapkan baik mingguan atau bulanan oleh TNUK. Ketidak hadiran masyarakat dalam beragam kegiatan tersebut adalah bagian dari sikap mbalelo atas kebijakan TNUK. Pada periode ini,bentuk perlawanan diam-diam atau terselubung ini dilakukan disebabkan oleh beberapa faktor; 1) belum adanya pendamping dari luar masyarakat baik aktivis gerakan mahasiswa, maupuan LSM/NGO lokal maupun nasioal yang masuk ke dusun mereka. 2) lokasi pemukinan masyaraat masih terpencar dan isolative dari dunia luar mereka, termasuk dengan desa tetangga. 3) adanya hubungan yang masih cukup harmonis dengan otoritas TNUK waktu itu. Pada saat itu masih banyak petugas TNUK yang dekat dan dihormati masyarakat karena mau mendengar dan mengayomi kebutuhan masyarakat. Sehingga dianggap belum perlu untuk perlawanan langsung. 3) belum adanya kelembagaan sosial kolektif sebagai media perlawanan. Aksi perlawanan lebih bersifat individual atau paling besar adalah satu keluarga.
5) tekanan dan
ancaman yang diterima masyarakat dianggap belum mengancam batas subsistensi
94
mereka.78 Dengan kondisi dan situasi sebagimana diuraikan di atas, maka pada periode ini masyarakat lebih banyak memilih aksi perlawanan diam-diam atau terselubung daripada terbuka atau konfrontatif. Apa yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh warga Legon pakis berikut barangkai dapat mewakili sikap masyarakat terhadap pertugas TNUK: “…kami ini orang kecil mas, tidak tahu apa-apa soal hukum dan aturan di hutan ini. Tapi kami tahu bahwa kami harus tetap bisa hidup disini. Khan kami juga orang Indonesia? Dan wilayah ini khan masih wilayah Indonesia? Tapi kami takut kalau melawan langsung. Banyak teman kami warga di Legon dan Cikaung, dipenjara polisi dua hari dua malam, hanya karena potong kayu untuk perbaiki rumah. Padahal kayu yang dipotong itu ada di pekarangannya sendiri. Makanya, kami disini ya diam-diam saja kalau ndak suka sama aturan dan petugas dari balai. Yang penting mereka tidak tahu saja, dan kami tetap diperbolehkan tinggal disini..(Kang JR)
Kedua, periode perlawanan konfrontatif. Periode perlawanan langsung ini muncul setelah masuknya pendamping dari organisasi mahasiswa berideologi kiri yang memiliki afiliasi gerakan secara nasional, dari wilayah Pandeglang. Yang dimulai sejak pasca konflik terbuka tahun 2007. Bentuk konfrontasi yang dilakukan adalah dengan cara gerakan aksi massa atau demonstrasi, kampanye politik di beberapa organisasai lingkungan dan HAM serta pengaduan hukum di tingkat nasional
pernah dilakukan pada saat awal pasca konflik 2006. Dalam
periode ini suara perlawanan masyarakat dalam bentuk tekanan dan penolakan dilakukaan dengan tekanan langsung dengan mendatangi lembaga-lembaga pemerintah pendukung BTNUK, hingga ke kementrian kehutanan dan meminta dukungan kepada KOMNAS HAM dan lembaga perbantuan hukum lainnya. Pada periode ini konsolidasi dan mobilisasi massa berlangung intensif. Namun, karena di internal masyarakat masih belum terbangun solidaritas komunal yang kuat, dan intensitas para pendamping yang juga makin berkurang selepas upaya keras untuk penyelesaian hukum, aksi-aksi konfrontasi dianggap sudah selesai. Selain itu, masyarakat juga sudah mersa lelah terkuras tenaga, pikiran dan waktu mereka untuk aksi-aksi konfrontasi.
Maka, setelah kasus
hukum penangkapan warga diselesaiakan aksi perlawanan masyarakat petani
78
Hasil wawancara dan Focus Discussion Group (FGD) dengan sesepuh Legon Pakis dan sekitarnya, 2009, dan akhir 2010.
95
Legon pakis kembali mengalami masa surut. Sementara persoalan konflik keseharian tetap berlangsung. Ketiga, periode perlawanan negosiatif/kolaboratif. Pada kurun waktu 2008-2010, masyarakat kembali bergairah untuk mencari penyelesaian konflik yang lebih menyeluruh, terkait dengan tuntutan pengakuan kawasan pemukiman, garapan dan akses hak-hak dasar mereka yang masih terkatung-katung. Dengan cara mengundang dan belajar bersama dengan para aktivis lingkungan, hukum, lembaga riset dan LSM lainnya untuk mencari bentuk dan model resolusi konflik dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan yang lebih kolaboratif, partisipatif dan lebih adil bagi keberlangsungan hidup mereka sekarang dan akan datang sekaligus mampu membangun hubungan harmonis kembali dengan BTNUK yang sempat retak. Usaha-usaha aksi kolektif warga ini masih berlangsung hingga kini, salah satunya adalah usulan pengelolaan hutan konservasi partisipatif dengan memanfaatkan konsep Zona Khusus yang merujuk pada aturan Permenhut 2006.79 Dalam periode ini, dilakukan beberapa tahap dan proses fasilitasi; pertama; sosialisasi dan diskusi terkait materi Zona Khusus, sampai mana relevan dan diterima sebagai jalan penyelesaian yang mampu win-win solution. Hasil kajian atas persepsi dan fasilitas Tim Pendamping atas konsep Zona Khusus, dapat dipetakan lima keinginan masyarakat; 1) Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab tuntutan kejelasan batas garapan lahan sawah dan kebun yang telah mereka garap selama ini, dengan harapan untuk dapat diakses dan dimanfaatkan hasilnya seluas-luasnya dan dapat turun menurut pada keturunan mereka. Selain itu, hasil garapan mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari dan kebutuhan kayu untuk perbaikan tempat tinggal dari hasil tanam mereka sendiri. 2) Zonasi Khusus diharapkan dapat menjawab kebutuhan rasa aman menggarap lahan. Sesuatu yang tidak mereka miliki selama ini. Dengan adanya zonasi khusus yang dianggap memiliki ‘payung hukum’ akan dapat menyelesaiakan kondisi tidak aman mereka dalam mengerjakan dan menggarap lahan mereka. Ketiga, 79
Zona Khusus adalah salah dari beberapa Zonasi (Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, Zona Religi dll) untuk mengatur kawasan di Taman Nasional seluruh Indonesia. Secara normatif Zona Khusus berisi tentang pengakuan terhadap keberadaan kehidupan masyarakat beserta sarana dan prasarana penghidupannya sebelum Taman Nasioanl ditetapkan, sarana-prasarana tersebut antara lain infrastruktur jalan, listrik dan telekomunikasi. Lebih jauh lihat, Permenhut No. P. 26/Menhut/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
96
zonasi khusus diharapakan dapat menjawab kejelasan wilayah zonasi-zonasi dan batas wilayah BTNUK dan batas milik warga. Sesuatu yang masih belum disepakati bersama antar warga dan BTNUK. Warga Legon Pakis hingga sekarang masih meyakini batas lama (Cihujan dan Cilintang) sebagai batas wilayah hutan Titipan yang boleh mereka manfaatkan. Dan tidak akan mengusik hutan tutupan di luar sungai Cihujan dan Cilintang. Suatu keyakinan yang telah diturunkan oleh leluhur mereka sejak menetap di sekitar hutan Ujung Kulon. Namun kini, batas baru TNUK telah masuk ke wilayah yang menjadi lahan garap warga. Dengan tawaran penyelesaian zonasi khusus ini diharapakan dapat duduk bersama lagi guna membangun kesepakatan untuk mencari jalan terbaik bagi kejelasan batas BTNUK dan mana batas sawah, kebun, hutan inti dan pemukiman yang boleh ditinggali warga. 4) Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab kebutuhan warga guna meningkatkan kesejahteraan hidup dan peningkatan ekonomi mereka. Dengan kejelasan batas yang (nantinya) dapat disepakati, warga memiliki gagasan bahwa 50 meter dari batas kesepakatan akan diatandai dengan tanaman buah-buahan dan yang menghasilkan, seperti pete, jengkol dll yang akan diambil untuk menambah kebutuhan sehari-hari warga Lego Pakis secara kolektif. Sebab, warga sudah punya konsep untuk mengelola lahan 50 meter tersebut sebagai hutan desa yang dikelola bersama dan untuk kebutuhan lumbung kampung, mungkin juga desa, dan akan digunakan bersama sesuai kesepakatan bersama. Pada gilirannya nanti masyakakat diharapkan dapat menyusun sendiri mekanisme pengelolaan hutan rakyat tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. 5) Zonasi Khusus diharapakan dapat menjawab kebutuhan mereka untuk menemukan mekanisme membangun kesepakatan bersama sesama warga sekampung untuk membangun ruang dialogis yang setara, adil dan saling menguntungkan dengan pihak BTNUK yang selama ini kerap kandas di tengah jalan. Dengan kesepakatan yang kuat dan adil diharapkan selain dapat menyudahi konflik yang berkepenjangan juga dapat kembali membangun hubungan harmonis antara warga dan BTNUK yang pernah mereka rasakan pada periode akhir ‘90-an dan awal 2000-an, dan mulai rusak sejak dua periode sebelum sekarang. Suatu
97
hubungan dialogis dan saling mendukung yang sangat masyarakat Legon Pakis harapkan, juga pihak BTNUK sekarang. Kedua, tahap pelatihan secara partisipatif
berupa metode pemetaan
partisipatif, sekaligus praktik dilapangan. Tahap ini merupakan tonggak membangun kesadaran spasial masyarakat atas sumberdaya yang mereka miliki selama ini. Ketiga, belajar bersama materi-materi negosiasi guna rencana perundingan yang akan menjadi arena mempertarungkan gagasan Zona Khusus. Untuk tujuan ini maka dibentuk Tim Sepuluh oleh masyarakat sendiri yang berisi wakil-wakil dari warga yang nantinya mampu membawa suara masyarakat dalam perundingan. Melalui mekanisme inilah tahap awal penguatan argumenasi masyarakat untuk penyelesaian konflik secara kolaboratif diretas.80 Pilihan masyarakat Legon Pakis untuk menggunakan tawaran konsep Zona Khusus di dasarkan pada keinginan yang kuat untuk segera menyelesaikan dengan tuntas konflik mereka dengan BTNUK yang selama ini telah menguras energi, pikiran dan batin warga Legon Pakis. Selama pasca konflik terbuka tahun 2007, masyarakat Legon Pakis terus-menerus menjadi kuatir, tidak tenang, terteror dalam beragam aktifitas mereka sehari-hari. Masyarakat merindukan kehidupan yang lebih tenang dan tentunya mampu mewujudkan bersama Hutan Lestari Rakyat Sejahtera sebagaimana slogan BTNUK. Dinamika bentuk dan aksi perlawanan petani di Legon Pakis atas kekuasaan BTNUK, jika dilihat dari gaya sengketa (conflict style) menurut Isenhart dan Spangle (2000) sebagaimana dirujuk Pasya dan Sirait (2010) Nampak mengalami pergeseran dari bentuk saling menghindar, kompromis dan akhirnya lebih bercorak kolaboratif.81 Periode awal usaha-usaha menyelesaikan konflik sejak November kelabu 2007, lebih bercorak saling menghindar. Sebab, pasca kekerasan fisik para pihak yang bersengketa tidak ingin terjadi konflik 80
Disarikan dari Laporan Pendampingan Sosial-Ekonomi dan Pemetaan Partisipatif untuk Penyelesaian Konflik Masyarakat di Ujung Kulon. Dilaksanakan oleh Tim Pendampingyang terdiri dari Sajogyo Institute (SAINS), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Latin, 2009. 81 Terdapat empat gaya sengketa (conflict style); (1) saling menghindar, (2) akomodatif, (3) kompromis, (4) kompetitif, (5) kolaboratif. Gaya sengketa ini memiliki efektifitas nya sendirisendiri dalam penyelesaian konflik di dasarkan pada bagaimana kekuatan-kekuatan pihak yangbersengketa. Lebih jauh lihat, Gamal Pasya dan Martua T. Sirait, Analisis Gaya Sengketa (AGATA); Panduan Ringkas untuk membantu memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam, (Bogor; Shamdana Institute, 2011), hlm. 11-12.
98
kembali. Ketidak selesaian akar masalah konflik menjadi dasar utama masingmasing pihak untuk tidak mau membuat komitmen yang mengikat. Dalam situasi yang masih saling menyimpan dendam diam-diam, curiga, antipati dan jauh dari rasa saling percaya dan kerumitan-kerumitan hubungan anatar pihak, hampir tidak mungkin penyelesaian dilakukan dengan jalan kesepakatan damai. Jika pun dipaksakan akan mudah retak kembali. Setelah waktu berjalan cukup lama, dan masing-masing pihak yang berkonflik yakni, masyarakat Legon pakis semakin menyadari pentingnya membangun hubungan kembali dengan BTNUK, dan pihak BTNUK juga semakin meyakini pentingnya keseimbangan hubungan dengan masyarakat sekitar kawasan, mulai muncul keinginan untuk menawarkan gagasan kompromi mencari jalan tengah demi kebaikan bersama. Mulailah disusun usaha pertemuan multi pihak guna mencari kepentingan dan kesepemahaman dari masiang-masing. Masyarakat tetap menuntut bahwa perlu ada pengakuan wilayah pemukiman dan lahan garapan mereka berupa sawah dan kebun campuran, sementara BTNUK memeinta agar masyarakat terintegrasi dalam aturan kawasan konservasi yang sudah ada. Sebab kawasan mereka seluruhnya berada di wilayah konservasi. Terhitung dua kali usaha untuk menemukan ruang kompromi ini. Namun, karena belum adanya itikad dan konsep yang melandasi bagi kompromi masing-masing kepentingan dan tidak adanya jembatan bagi kedua pihak yang berkonflik. Tahap kompromi ini masih menemuai jalan buntu, dan masing-masing baru saling memahami kepentingan masing-masing. Sehingga meskipun sudah saling memberi demi kepentingan kompromi, namun sebenaranya belum ditemukan kepuasan bagi masing-masing pihak. Pada periode ketiga, yakni periode negosiatif atau kolaboratif masyarakat yang terus menginginkan bentuk penyelesaian win-win solution dengan cara belajar bersama dengan Tim Pendamping (LSM/NGO), mencoba strategi untuk melakukan negosiasi melalui perundingan multi pihak. Keberadaan Tim Sepuluh dan Tim Pendamping menambah rasa percaya diri masyarakat Legon Pakis untuk penyelesaian masalah secara terpadu. Maka disusunlah kerangka argumen dan konsep pengelolaan kawasan pemukiman, sawah dan kebun campuran berdimensi sosial, ekonomi dan ekologis dalam batas kawasan hasil pemetaan partisipatif
99
berlandaskan Zona Khusus. Konsep ini ditawarkan kepada BTNUK dengan difasilitasi oleh Tim Pendamping yang melakukan ‘diplomasi bolak-balik’. Setelah konsep tata kelola dan guna kawasan dalam Zona Khusus terbentuk maka tawaran perundingan dilakukan. Meski gagal dalam dua kali rencana, namun akhirnya dapat terwujud, dalam sebuah pertemuan besar melibatkan multi pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan TNUK.82 Pilihan jalan negosiasi dengan dasar konsep legal Zona Khusus ini merupakan tawaran “jalan tengah” bagi penyelesaian konflik warga dan BTNUK, sebab lintasan sejarah perlawanan warga sebelumnya lebih banyak mengandalkan aksi-aksi massa dan strategi “hitam-putih” atau “menang-kalah”, ternyata menemui jalan buntu, karena berbenturan langsung dengan politik kekuasaan BTNUK yang masyarakat tidak siap menerima akibat baliknya, yaitu beragam bentuk-bentuk tekanan, pembatasan dan teror yang lebih meningkat oleh petugas lapang BTNUK. Selaras dengan apa yang diungkapkan Peluso (2006), bahwa paksaan dan tekanan (koersi) bukanlah sesuatu yang selesai dan berdiri sendiri melainkan bagian dari proses yang terus berlangsung, ketika satu pihak berupaya menguasai sumberdaya yang diklaim oleh pihak lain. Tentu saja proses menuju penyelesaian kolaboratif ini bukanlah kesimpulan tunggal, tetapi lebih dikarenakan pilihan strategis bagi kondisi yang memungkinkan masyarakat saat ini memilih jalan tersebut. Bisa jadi dalam kondisi lain, masyarakat akan mengubah strategi perlawanannya sesuai dengan kondisi dan tantangan zamannya83. 82
Pertemuan dengan tema dan Proyek JRS/JRSCA terdiri dari; Tim 10 (wakil masayarakat), Tim Pendamping Warga (LSM/NGO), BTNUK, MUSPIDA, YABI, WWF, Aparat Keamanan, dan beberapa LSM yang terkait dengan lingkungan hidup dan konservasi Meski hasil pertemuan tersebut belum memenuhi keinginan masyarakat Legon Pakis, dan lebih menguntungkan pihak TNUK dan YABI. Namun, melihat kondisi internal masyarakat dan pertimbangan-pertimbangan jangka panjang dari akibat balik dari pertenmuan tersebut, kesepakatan multipihak tetap diterima oleh masyarakat Legon Pakis. Meskipun para Tim Pendamping merasa kesepakatan tersebut dirasa belum adil dan lebih memihak kepentingan proyek JRS dan konservasi Badak Jawa ketimbang niat untuk keseimbangan konservasi dan kesejahteraan masyarakat pinggiran kawasan hutan. (Hasil wawancara dengan Tim Sepuluh dan pengamatan langsung penulis dalam pertemuan di Hotel Kharisma Labuan, tanggal 21-22 Maret 2011) 83
Terima kasih mendalam pada Prof. Tania Li atas masukan dan kritiknya untuk tidak gampang percaya pada kemudahan-kemudahan memberi label, kategori dan “penunggalan” pilihan strategis perlawanan (masyarakat petani) yang tidak mempertimbangkan aspek dinamis, spasial ruang dan waktu beserta rasionalisasi resiko, untung rugi dari sebuah perlawanan masyarakat petani.
100
Usaha ke arah upaya resolusi konflik dan negosiasi multi pihak masih terus dilakukan oleh warga dengan didampingi dan dijembatani oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat/NGO dengan tetap mengusung gagasan pengelolaan kolaboratif dengan konsep Zona Khusus. Di tengah usaha negosiasi yang belum terwujud, muncul tantangan baru berupa kolaborasi Proyek Penangkaran Badak dari Yayasan Badak Indonesia (YABI) yang di danai oleh Internasional Rhino Foundation (IRF), dan telah di tandatangai oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten dan TNUK pada Juni 2009 lalu84. Proyek yang ditargetkan berjalan tahun 2011-2015 ini ingin mengembangkan eko-wisata Badak Jawa sebagai ikonnya. Ironisnya, proyek besar yang praktiknya --telah dimulai awal tahun 2011 lalu-- berupa “pemagaran” wilayah kawasan TNUK di sebelah selatan Gunung Honje seluas 3000 ha, ini
justru mengklaim dan
menabrak ratusan lahan sawah dan kebun campuran yang telah bertahun-tahun menjadi sandaran ruang hidup warga di pinggiran hutan. Dan kawasan yang paling terbesar yang akan terkena proyek ini adalah kampung Legon Pakis dan sebagian kecil di wilayah kampung Cikaung Girang. Benturan kepentingan aksi-reaksi pihak-pihak yang lebih beragam meletup kembali, dengan kontestan yang lebih beragam, antara warga pinggiran hutan (Legon Pakis) dan LSM/NGO pendamping warga dengan BTNUK, YABI, PEMDA-Provinsi-Kabupaten, serta Otoritas Kehutanan yang terkait. Pertarungan dan kontestasi antar aktor dan kepentingan yang berlangsung didukung oleh jaring-jaring aktor di lapangan, orang-perorang, kelembagaan, komunitas, pemerintahan/birokrasi, yang melibatkan beragam situasi-situasi politik-sosialekonomi di tingkat global-nasional-lokal beserta kompleksitas strategi, ideologi, paradigma di masing-masing kepentingan dan aktor yang bertarung. Singkatnya proyek JRS/JRSCA menjadi salah satu arena besar --dari turunan arena-arena lain yang lebih kecil-- dari beragam kepentingan dan aktor bertemu dan bertarung di gelanggang alami yang berupa kawasan hutan konservasi TNUK. 84
http://alamendah.wordpress.com/2010/06/22/penangkaran-badak-jawa-di-gunung-honje/, dan lihat juga http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/06/22/21168/Penangkaran-BadakJawa-Objek-Wisata-Baru-TN-Ujung-Kulon/, diunduh tanggal 5 Februari 2011.
101
Di atas semua kontestasi pertarungan kepentingan dan aktor yang akan dan sedang berlangsung, masyarakat Legon Pakis telah menyepakati perlunya peluang dan jalan penyelesaian alternatif dalam tindakan kolektif mereka dengan mendasarkan pada kepentingan keselamatan, keamanan dan masa depan kehidupan mereka beserta aset-aset dan basis subsistensi ekonomi mereka di kawasan sekitar TNUK. Sehingga pilihan strategi yang ditempuh cenderung menghindari konfrontasi langsung dengan pihak lain yang bertentangan, dan mempertimbangkan efek balik resiko yang sekecil-kecilnya –belajar dari beberapa kejadian dan peristiwa sebelumnya--.Di sisi lain rejim BTNUK memiliki gaya koersi dan represifitas yang mendasarkan pada kemampuan konsolidasi kekuatan milisi sipil “Jawara” Banten (dengan istilah Pam Swakarsa) yang dikendalikan melalui perekrutan untuk petugas keamanan, dan sebagian dipelihara dengan baik oleh beberapa senior BTNUK sebagai kekuatan penekan “vertikal” dan “horizontal”. Kondisi semacam ini lebih jauh akan memperlihatkan situasi sosial lokal yang khas, baik tindakan kolektif warga pinggiran hutan maupun reaksi dari BTNUK. Pada titik inilah strategi kolaboratif dalam pengelolaan kawasan konservasi di kawasan TNUK diinginkan oleh masyarakat. Meski terdapat hal-hal yang spesifik terjadi di TNUK, namun pada irisan tertentu konflik dan cara penyelesaian yang muncul bisa jadi memiliki irisan yang sama dengan fenomena umum yang juga terjadi dalam konteks pertarungan kepentingan yang berujung konflik agraria di kawasan Taman Nasional Indonesia. Di satu sisi, tawaran pengelolaan Zona Khusus memiliki peluang untuk membuka dialog ke arah kolaborasi yang menguntungkan kedua belah pihak masyarakat sekitar/dalam kawasan dan BTNUK. Namun karena belum adanya kesetaraan pengetahuan dan kekuatan antara keduanya gagasan ini masih belum sampai pada kesetaraan. Sehingga dalam momen tertentu, sebagaimana pertemuan di Hotel Kharisma, tahun 2010, masyarakat dipaksa harus menurut dan mengalah pada kepentingan pihak BTNUK dan YABI untuk pemagaran Badak dan merelakan 110 ha lahan kebun campuran mereka masuk kawasan lagi. Dengan demikian proses menuju pengelolaan
102
kolaboratif
mesti
memenuhi
prasyarat
kesetaraan
(politik,
pengetahuan, tujuan), dialogis dan terbuka untuk saling dikritisi, sehingga dalam prosesnya ada take and give secara seimbang. Dengan kata lain kolaborasi mesti berorientasi problem-solving, mutual benefit. Mensyaratkan mutual-trust, open sharing of information, dan kreatifitas. Yang terjadi baru pada tahap akamodasi, sebab masih ada salah satu yang memiliki kekuasaan (power) lebih kuat dibanding lainnya. (Pasya dan Sirait, 2010). Dengan demikian, sulit diharapkan jika masih tahap akomodatif semacam itu mampu menghasilkan penyelesaian konflik yang konperhensif dan bisa diterima kedua belah pihak. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk pengulangan negosiasi dan membangun kembali ke arah idealisasi kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi, selama prasyarat-prasyarat di atas dapat dipenuhi. Pada titik inilah aksi kolektif warga mesti mampu meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pada upaya negosiasi dan dialog yang setara sekaligus mampu berjejaring lebih luas tidak hanya mampu sebagai preasure groups. Secara umum pasang surut aksi dan perlawanan petani di Legon Pakis khususnya dan masyarakat sekitar dan dalam kawasan TNUK dalam periode waktu bentuk aksi dan faktor pendukungnya dapat disingkat dalam tabel berikut;
Tabel 10. Bentuk, Periode, Faktor Pendukung/Pembentuk dan Aksi/Tindakan Perlawanan Petani N O 1.
Bentuk Perlawanan Petani Diam-diam/ Terselubung
Periode Perlawanan Sebelum Penetapan Kawasan TN (Era Kolonial-Akhir Orde Baru) Banyak terjadi di sepanjang era Kolonial sampai dengan masa akhir orde baru. Selain banyak lokasi desa yang cukup terisolasi dari dunia luar, juga menyebabkan belum masuknya kelompok LSM/NGO dan Aktivis pendamping lainnya ke desa-desa sekitar dan dalam kawasan TNUK
Faktor Pendukung dan Pembentuk
Aksi/ Tindakan Perlawanan
1. Ketiadaan intervensi dari luar 2. Lokasi-lokasi desa yang masih isolatif 3. Masih tersedianya akses dan harmonisasi hubungan antara masyarakat dan BTNUK yang masih bisa saling dinegosiasikan 4. Belum adanya kelembagaan sosial untuk media kolektif perlawanan. 5. Tekanan dan ancaman yang diterima masyarakat dianggap belum mengancam
1. Ketidakpatuhan atas aturan dan peraturan yang berlaku (seperti; tetap membangun rumah semi permanen, buat tempat ibadah, buat jalan, saluran listrik, dll) 2. Ketidaksingkronan antara yang dikatakan dan yang diperbuat 3. Gosip miring dan pemberian julukan miring bagi petugas BTNUK. 4. Mematikan tanaman di pekarangan rumah secara diam-diam
103
2.
Konfrontatif/ Terbuka
Awal Penetapan Kawasan TN- Puncak Konflik (sejak 1984, 1992-2007)
1.
2. Perlawanan bersifat konfrontatif mulai terjadi sejak ada pergeseran batas TNUK memakan sebagain dan seluruh dusun termasuk di dalamnya kebun dan sawah. Hingga terjadi korban penembakan warga oktober 2006.
3.
KolaboratifNegosiatif
Pasca Penetapan (Pasca Konflik Terbuka 2007- 2010) Fase ini dilakukan sejak ‘perlawanan konfrontatif’ dianggap kontraproduktif, menguras banyak energy, dana dan efek balik yang merugikan keseharian warga
104
3.
4.
batas subsistensi mereka. Semakin terhambatnya akses dan kontrol akibat penetapan kawasan TN dan pergeseran batas Mulai masuknya aktivis mahasiswa dan LSM (Advokasi Hukum dan Riset Partisipatoris) Mulai munculnya kesadaran kolektif dalam kelembagaan sosial Semakin represifnya tindakan penanganan BTNUK terhadap aktifitas masyarakat sekitar dan dalam kawasan
1. Masuknya kelomppok LSM/NGO yang mampu bermain dan memiliki kemampuan diplomasi dua belah pihak (Masyarakat dan BTNUK). 2. Terbitnya Permenhut no 5 2006 tentang pengaturan kembali Zonasi dalam kawasan TN. Lebih khusus menggunakan peluang Zona Khusus bagi pengakuan pemukiman dan sarana pendukungnya. 3. Terbukanya kesempatan politik yang lebih besar (akibat pergantian Kepala Balai TNUK) 4. Kesadaran untuk membangun hubungan harmoni kembalai dengan BTNUK demi kepentingan jangka panjang.
(memelihara ternak). 1. Melakukan aksi massa bersama Aktivis Mahasiswa di tinggkat lokal dan nasional 2. Kampanye (dan mengundang) ke beberapa lembaga LSM/NGO (Hukum dan Lingkungan) Lokal-Nasional 3. Audiensi dengan pemerintah daerah dan Pusat yang terkait 4. Pembentukan Serikat Tani 5. Pendidikan Advokasi dan Perlawanan 1. Pelatihan Pemetaan Partisipatif (untukmemetakan kembali wilayah masyarakat untuk kepentingan Zona Khusus) 2. Pembentukan Tim 10 sebagai negosiator perundingan dan pelatihan negosiasi 3. Penyusunan konsep tawaran Zona Khusus sebgai win-win solution 4. Mengundang untuk forum perundingan dan negosiasi multi pihak 5. Memperluas dukungan multi pihak (LSM/NGO, Aktivis Lingkungan, Pemda, dll) untuk negosiasi menemukan ‘jalan tengah; penyelesaian konflik.