BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Karakteristik Data Pengamatan karakteristik tegakan hutan seumur puspa dilakukan pada dua
plot di Hutan Pendidikan Gunung Walat dengan luas masing-masing plot berukuran 100 m x 100 m (1 ha). Di dalamnya terdapat petak-petak kecil berukuran 20 m x 20 m. Letak petak pengukuran diambil secara acak untuk mewakili keterwakilan data karakteristik berupa diameter, tinggi, serta luas bidang dasar dari tegakan hutan seumur jenis puspa (Schima wallichii). Berdasarkan data yang diambil dari tegakan puspa didapatkan karakteristik tegakan hutan seumur puspa seperti tercantum pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut ini. Tabel 2 Data nilai karakteristik tegakan hutan seumur puspa pada plot A berdasarkan variabel yang diukur Puspa Plot A
Diameter
Tinggi
LBDS
Min Max Rata-rata Simpangan baku Ragam Jumlah Modus Median Rentang kelas Interval kelas Sturges Interval kelas I Interval kelas II
21 cm 70 cm 43.1 cm 11.2 cm 126.3 cm 187 38 cm 43 cm 49 cm 5.767 cm 4 cm 8 cm
10 m 35 m 23.1 m 3.6 m 13.3 m 187 21 m 23 m 25 m 2.942 m 2m 4m
0.03 m2 0.39 m2 0.155 m2 0.079 m2 0.006 m2 187 0.12 m2 0.14 m2 0.36 m2 0.0424 m2 0.025 m2 0.05 m2
Tabel 3 Data nilai karakteristik tegakan hutan seumur puspa pada plot B berdasarkan variabel yang diukur Puspa Plot B
Diameter
Tinggi
LBDS
Min Max Rata-rata Simpangan baku Ragam Jumlah Modus Median Rentang kelas Interval kelas Sturges Interval kelas I Interval kelas II
24 cm 75 cm 40.4 cm 9.6 cm 92.1 cm 149 42 cm 39 cm 51 cm 6.241 cm 4 cm 8 cm
14 m 31 m 22.8 m 3.4 m 11.6 m 149 23 m 23 m 17 m 2.080 m 2m 4m
0.05 m2 0.44 m2 0.135 m2 0.068 m2 0.004 m2 149 0.1 m2 0.12 m2 0.39 m2 0.048 m2 0.025 m2 0.05 m2
5.2.
Penyusunan Data Dari data yang telah diambil disusun dalam tally-sheet pada tabel data
pengamatan sesuai dengan kelas-kelasnya, yaitu : diameter, tinggi, luas bidang dasar pohon. Penentuan kelas-kelas data baik kelas diameter, kelas tinggi, dan kelas luas bidang dasar berdasarkan interval kelas yang ditentukan melalui kaidah Sturges. Kelas pada plot A yang dibentuk berdasarkan kaidah Sturges untuk peubah diameter sebesar 5.767, peubah tinggi sebesar 2.942, dan peubah luas bidang dasar sebesar 0.0424. Sedangkan pada plot B kelas yang dibentuk berdasarkan kaidah Sturges untuk peubah diameter sebesar 6.241, peubah tinggi sebesar 2.080, dan peubah luas bidang dasar sebesar 0.0480. Dari interval kelas yang didapat melalui kaidah Sturges dibuat satu kelas dibawah kaidah Sturges dan satu kelas diatas kaidah Sturges dalam penyusunan data. Pada Tabel 2 dan Tabel 3 yang masuk kedalam masing-masing kelas serta total dari jumlah pohon puspa pada masing-masing plotnya. Untuk kelas diameter ditentukan satu kelas dibawah dengan interval kelas sebesar 4 cm dan satu kelas diatas dengan interval kelas sebesar 8 cm pada plot A dan plot B. Untuk peubah tinggi ditentukan satu kelas dibawah dengan interval kelas sebesar 2 m dan satu kelas diatas dengan interval kelas 4 m pada plot A dan plot B. Sedangkan untuk peubah luas bidang dasar ditentukan satu kelas dibawah dengan interval kelas
sebesar 0.025 cm2 dan satu kelas diatas dengan interval kelas sebesar 0.05 cm2. Penentuan kelas ini dilakukan untuk membandingkan data tegakan puspa hasil pengamatan pada masing-masing kelas dengan data tegakan puspa berdasarkan sebaran normal.
5.3.
Sebaran Normal Tegakan Puspa Untuk mengetahui data tegakan puspa berdasarkan sebaran normal
dilakukan perhitungan frekuensi berdasarkan nilai peluang sebaran normal terhadap selang-selang kelas pada masing-masing kelas untuk peubah diameter, tinggi, dan luas bidang dasar. Kemudian karakteristik tegakan puspa berupa nilai tengah (μ), standar deviasi (σ), dan varians (σ²) digunakan untuk menentukan sebaran normal dari diameter, tinggi, serta luas bidang dasar tegakan puspa pada masing–masing plotnya. Data frekuensi sebaran normal tegakan puspa yang telah didapat dibandingkan dengan data sebenarnya hasil pengamatan. Hasil pengukuran frekuensi sebaran normal tegakan puspa dan frekuensi data hasil pengamatan pada kelas berdasarkan kaidah Sturge, kelas dibawah kaidah Sturge (interval kelas I), dan kelas diatas kaidah Sturges (interval kelas II) dapat dilihat pada Gambar 3 hingga Gambar 8.
Data Pengamatan Sebaran Normal Diameter (cm) 18.1 23.9 29.7 35.4 41.2 47.0 52.7 58.5 64.3 70.0 75.8
Jumlah Pohon
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Diameter (cm)
(a) Diameter 70 Jumlah Pohon
60 50 40 Data Pengamatan
30 20
Sebaran Normal Tinggi (m)
10 8.5 11.5 14.4 17.4 20.3 23.2 26.2 29.1 32.1 35.0 37.9
0
Tinggi (m)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Data Pengamatan
0.403
0.360
0.318
0.276
0.233
0.191
0.148
0.106
0.064
Sebaran Normal LBDS (m2) 0.021
Jumlah Pohon
(b) Tinggi
Luas Bidang Dasar (m2)
(c) Luas bidang dasar Gambar 3 Histogram data pengamatan dan kurva sebaran normal berdasarkan kelas kaidah Sturge tegakan puspa : (a) diameter, (b) tinggi, dan (c) luas bidang dasar tegakan puspa pada Plot A.
Data Pengamatan
77.0
70.8
64.6
58.3
52.1
45.8
39.6
33.4
27.1
Kelas Stugers
20.9
Jumlah Pohon
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Diameter (cm)
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Data Pengamatan Kelas Stugers
13.0 15.0 17.1 19.2 21.3 23.4 25.4 27.5 29.6 31.7 33.8
Jumlah Pohon
(a) Diameter
Tinggi (m)
(b) Tinggi 60 Jumlah Pohon
50 40 30 20
Data Pengamatan
10
Kelas Stugers 0.456
0.408
0.360
0.312
0.264
0.216
0.168
0.120
0.072
0.024
0
Luas Bidang Dasar (m2)
(c) Luas bidang dasar Gambar 4 Histogram data pengamatan dan kurva sebaran normal berdasarkan kelas kaidah Sturge tegakan puspa : (a) diameter, (b) tinggi, dan (c) luas bidang dasar tegakan puspa pada Plot B.
35 Jumlah pohon
30 25 20
Data Pengamatan
15 10
Sebaran Normal Diameter (cm)
5 0 18.5 26.5 34.5 42.5 50.5 58.5 66.5 74.5 Diameter (cm)
(a) Diameter 50 Jumlah pohon
40 30 Data Pengamatan 20 Sebaran Normal Tinggi (m)
10 0 8.5 12.5 16.5 20.5 24.5 28.5 32.5 36.5 Tinggi (m)
Jumlah pohon
(b) Tinggi 35 30 25 20 15 10 5 0
Data Pengamatan Sebaran Normal LBDS (m2)
LBDS (m2)
(c) Luas bidang dasar Gambar 5 Histogram data pengamatan dan kurva sebaran normal berdasarkan interval kelas I tegakan puspa : (a) diameter, (b) tinggi, dan (c) luas bidang dasar tegakan puspa pada Plot A.
30 Jumlah pohon
25 20 15
Data Pengamatan
10 Sebaran Normal Diameter (cm)
5 0 21.5 29.5 37.5 45.5 53.5 61.5 69.5 77.5 Diameter (cm)
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Data Pengamatan Sebaran Normal Tinggi (m) 12.5 14.5 16.5 18.5 20.5 22.5 24.5 26.5 28.5 30.5 32.5
Jumlah pohon
(a) Diameter
Tinggi (m)
(b) Tinggi 35 Jumlah pohon
30 25
Data Pengamatan
20 15
Sebaran Normal LBDS (m2)
10 5 0
Diameter (m)
(c) Luas bidang dasar Gambar 6 Histogram data pengamatan dan kurva sebaran normal berdasarkan interval kelas I tegakan puspa : (a) diameter, (b) tinggi, dan (c) luas bidang dasar tegakan puspa pada Plot B.
60 Jumlah pohon
50 40 30
Data Pengamatan
20 Sebaran Normal Diameter (cm)
10 80.5
72.5
64.5
56.5
48.5
40.5
32.5
24.5
16.5
0
Diameter (cm)
(a) Diameter 100
Jumlah pohon
80 60 Data Pengamatan 40 Sebaran Normal Tinggi (m)
20
39.5
35.5
31.5
27.5
23.5
19.5
15.5
11.5
-20
7.5
0
Tinggi (m)
(b) Tinggi 60 Jumlah pohon
50 40 30
Data Pengamatan
20 Sebaran Normal LBDS (m2)
10 0.42
0.37
0.32
0.27
0.22
0.17
0.12
0.07
0.02
0
LBDS (m2)
(c) Luas bidang dasar Gambar 7 Histogram data pengamatan dan kurva sebaran normal berdasarkan interval kelas II tegakan puspa : (a) diameter, (b) tinggi, dan (c) luas bidang dasar tegakan puspa pada Plot A.
60
Jumlah pohon
50 40 30
Data pengamatan
20 Sebaran Normal Diameter (cm)
10 83.5
75.5
67.5
59.5
51.5
43.5
35.5
27.5
-10
19.5
0
Diameter (cm)
(a) Diameter 70 Jumlah pohon
60 50 40
Data pengamatan
30 20
Sebaran Normal Tinggi (m)
10 0 13.5 17.5 21.5 25.5 29.5 33.5 Tinggi (m)
(b) Tinggi 60
Jumlah pohon
50 40
30
Data pengamatan
20 Sebaran Normal LBDS (m2)
10
-10
0.02 0.07 0.12 0.17 0.22 0.27 0.32 0.37 0.42 0.47
0
LBDS (m2)
(c) Luas bidang dasar Gambar 8 Histogram data pengamatan dan kurva sebaran normal berdasarkan interval kelas II tegakan puspa : (a) diameter, (b) tinggi, dan (c) luas bidang dasar tegakan puspa pada Plot B.
Berdasarkan histogram perbandingan antara data pengamatan dengan sebaran normal didapatkan untuk peubah diameter dan luas bidang dasar pohon bahwa frekuensi data pengamatan lebih banyak pada kelas yang lebih kecil dibandingkan frekuensi pada sebaran normal. Sedangkan untuk peubah tinggi pohon frekuensi data pengamatan lebih banyak pada kelas yang lebih besar dibandingkan frekuensi pada sebaran normal. Dari histogram tersebut dapat disimpulkan bahwa tegakan puspa hasil pengamatan memiliki diameter dan luas bidang dasar yang kecil dengan tinggi pohon yang besar. Hal ini dapat disebabkan oleh pola penanaman tegakan puspa yang cenderung rapat sehingga menyebabkan pertumbuhan diameter yang kecil dan persaingan pertumbuhan tinggi untuk mendapatkan sinar matahari. Apabila pola penanaman tegakan tidak rapat serta nutrisi tanah tempat tumbuh cukup maka pertumbuhan diameter dan luas bidang dasar pohon akan besar dan pertumbuhan tinggi pohon akan normal karena kecenderungan pohon mendapatkan sinar matahari yang cukup akibat persaingan yang tidak tinggi.
5.4.
Kemencengan Sebaran Peubah Tegakan Puspa Berdasarkan data hasil pengamatan tegakan puspa di Hutan Pendidikan
Gunung Walat, didapatkan ketidaksimetrisan (kemiringan) data pengamatan terhadap sebaran normal dari data tersebut. Kemiringan data tersebut dapat diketahui melalui perhitungan analisis nilai koefisien skewness (SK). Apabila nilai koefisien skewness tersebut bernilai positif (+) maka data pengamatan memiliki sebaran lebih banyak pada kelas yang lebih kecil daripada sebaran normal data tersebut, sedangkan jika data tersebut memiliki nilai koefisien skewness negatif (-) maka data pengamatan memiliki sebaran lebih banyak pada kelas yang lebih besar daripada sebaran normal data tersebut. Sedangkan untuk data yang memiliki nilai koefisien skewness (SK) mendekati nol (SK ≈ 0) maka data tersebut menyebar secara simeteris. Hal ini disebutkan dalam Prihanto dan Muhdin (2006) bahwa penyebaran data disekitar ukuran pemusatannya dapat membentuk bermacam-macam pola, yakni simetris, miring ke kiri, dan miring ke kanan. Data yang penyebarannya simetris dicirikan oleh nilai median dan nilai tengah yang berimpit. Jika SK ≈ 0,
maka data dikatakan menyebar secara simetris. Jika SK > 0 dikatakan miring positif atau ke kiri dimana sebagian besar data mengumpul di ekor sebelah kiri sehingga di ekor sebelah kanan data tidak terlalu banyak. Kondisi sebaliknya jika SK < 0 dikatakan miring negatif atau ke kanan. Pada Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukan hasil perhitungan nilai skewness pada plot A dan plot B, baik pada kelas berdasarkan kaidah Sturges serta pada kelas berdasarkan interval kelas I dan II.
Tabel 4 Hasil perhitungan nilai skewness pada plot A Peubah tegakan Diameter
Tinggi
Lbds
Nilai statistik Modus Median Rata-rata Skewness Modus Median Rata-rata Skewness Modus Median Rata-rata Skewness
Interval I 40.0 42.5 43.2 0.289 24.2 23.4 23.2 -0.273 0.112 0.149 0.157 0.578
Interval kelas Kaidah Sturges 40.8 42.1 43.0 0.199 23.6 23.4 23.4 -0.105 0.112 0.145 0.157 0.559
Interval II 41.2 42.6 43.5 0.192 23.3 23.1 23.1 -0.048 0.127 0.144 0.156 0.370
Tabel 5 Hasil perhitungan nilai skewness pada plot B Peubah tegakan Diameter
Tinggi
Lbds
Nilai statistik Modus Median Rata-rata Skewness Modus Median Rata-rata Skewness Modus Median Rata-rata Skewness
Interval I 34.4 39.4 40.4 0.633 24.1 23.0 22.8 -0.370 0.108 0.124 0.138 0.433
Interval kelas Kaidah Sturges 35.1 39.1 40.4 0.522 23.4 22.9 22.7 -0.180 0.107 0.124 0.136 0.428
Interval II 38.4 39.4 40.4 0.211 23.1 23.0 22.9 -0.045 0.107 0.125 0.137 0.431
Pada tabel 4 dan 5 perhitungan nilai koefisien skewness dihitung berdasarkan nilai modus. Pada tabel 4 dapat dilihat untuk peubah tegakan berupa diameter dan luas bidang dasar pohon pada plot A baik pada semua interval kelas memiliki nilai koefisien skewness diatas nol atau positif (+). Hal ini disebabkan karena diameter dan luas bidang dasar pohon pada plot A memiliki nilai modus lebih kecil daripada nilai rata-ratanya. Selain itu diameter dan luas bidang dasar pohon tersebut memiliki nilai median lebih kecil dari nilai rata-ratanya. Untuk peubah tegakan berupa tinggi pohon pada plot A baik pada interval kelas I, II, dan kaidah Sturges memiliki nilai koefisien skewness lebih kecil dari nol atau negatif (-). Hal ini disebabkan karena tinggi pohon memiliki nilai modus yang lebih tinggi daripada nilai rata-ratanya, walaupun ada nilai median yang sama dengan nilai rata-ratanya. Pada Tabel 5 plot B peubah tegakan berupa diameter dan luas bidang dasar pohon memiliki nilai koefisien skewness diatas nol atau positif (+). Hal ini berlaku untuk interval kelas I, II, dan kaidah Sturges. Nilai tersebut bisa bernilai positif (+) karena nilai modus diameter dan luas bidang dasar pada tiap kelas lebih kecil dari nilai rata-ratanya. Begitu pula untuk nilai mediannya yang lebih kecil dari nilai rata-ratanya. Sedangkan untuk tinggi pohon pada semua interval kelas memiliki nilai koefisien skewness dibawah nol atau negatif (-). Hal ini disebabkan oleh nilai modus tinggi pohon lebih besar dari nilai rata-ratanya. Begitu pula dengan nilai median tinggi pohon yang lebih besar dari nilai rata-ratanya. Dari tabel hasil perhitungan skewness diatas diketahui bahwa jika suatu peubah tegakan baik diameter, tinggi, serta luas bidang dasar pohon memiliki nilai modus yang lebih kecil dari nilai rata-ratanya (modus < rata-rata) maka nilai koefisien skewness akan bernilai positif (+). Hal ini menunjukan bahwa tegakan didominasi oleh peubah tegakan yang lebih kecil dari rata-ratanya Sedangkan jika suatu peubah tegakan baik diameter, tinggi, serta luas bidang dasar pohon memiliki nilai modus yang lebih besar dari nilai rata-ratanya (modus > rata-rata) maka nilai koefisien skewness akan bernilai negatif (-). Hal ini menunjukan bahwa tegakan didominasi oleh peubah tegakan yang lebih besar dari rata-ratanya.
Selain itu didapatkan bahwa interval kelas berpengaruh pada besarnya nilai koefisien skewnessnya. Semakin besar interval kelasnya maka semakin kecil nilai koefisen skewnessnya. Buktinya pada Tabel 4 dan Tabel 5 dari interval kelas I ke kaidah Sturges lalu interval kelas II yang makin besar interval kelasnya memiliki nilai koefisien skewness yang semakin kecil atau semakin mendekati nol
5.5.
Tindakan Silvikultur Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tegakan puspa di Hutan
Pendidikan Gunung Walat memiliki sebaran diameter yang kecil dengan sebaran tinggi yang besar. Hal ini berarti bahwa tegakan puspa didominasi oleh pohonpohon berdiameter kecil dengan tinggi pohon yang besar sehingga dalam pengelolaannya membutuhkan tindakan penjarangan. Kegiatan penjarangan tersebut dilakukan agar tegakan puspa mendapatkan ruang tumbuh agar tegakan puspa memiliki diameter yang seimbang dengan tinggi pohon tersebut. Dengan mendapatkan ruang tumbuh tegakan puspa dapat tumbuh secara optimal, tidak terbatasi oleh tegakan lain yang menutupi ruang tumbuh dari tegakan puspa tersebut.