BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hak Ulayat Laut 5.1.1 Dasar Hak Ulayat Murtabat Tujuh adalah Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yang menjadi sumber adat istiadat di semua kadie dan barata. Keseultanan Buton memiliki 72 kadie (daerah otonom) dan 4 barata (kerajaan bagian). Murtabat Tujuh berarti tujuh perwujudan sebagai pancaran Tuhan melalui ciptaanya di muka bumi disusun dengan empat pertimbangan dasar yang harus menjadi sifat manusia Buton atau sara pata anguna (adab yang empat) yakni; saling menyayangani atau menghormati (pomae-maeaka), saling peduli (popia-piara), saling menyayangi (pomaa-maasiaka), saling memuliakan dan memuji (poangka-angkataka) (Schoorl 2003). Ideologi tersebut dipakai untuk mendorong golongan masyarakat kaomu dan walaka (dua golongan yang memperoleh kedudukan atau pangka dalam sara kesultanan, kadie dan barata) untuk mengabdi demi kepentingan kerajaan dan penduduk (golongan papara). Sebagaimana diuraikan sebelumnya masyarakat Buton mengenal tiga golongan masyarakat yakni kaomu, walaka dan papara. Rakyat juga dianjurkan untuk patuh pada sara (Schoorl 2003) yang artinya patuh pada adat sebagai hukum dan nilai kehidupan. Stimulus kepatuhan itu adalah nilai perlindungan, kemakmuran dan kemuliaan hidup yang diterima jika seseorang berkelakuan baik (hoto sara) sebaliknya berperilaku tidak baik akan dianggap tidak memiliki adat (tapa sara). Murtabat Tujuh dibuat pada masa Sultan Dayanu Iksanuddin (1578 – 1615) diundangkan tahun 1610 dan untuk pertama kali disampaikan kepada publik oleh Sapati La Singga atas nama sara langsung di depan rakyat banyak di halaman Masjid Keraton Buton (Saidi 2000). Selain undang-undang dasar, juga diundangkan Pitu Pulu Rua Kadiena (Tujuh Puluh Dua Kadie) yang mengatur pembagian wilayah kadie dan keagrariaan. Tiap kadie memiliki harta bersama (communal property) 44
berupa kebun, hutan tutupan (kaombo) yang tidak bisa diganggu kecuali untuk kebutuhan kampung seperti untuk pembangunan masjid. Kadie juga memiliki kolam ikan (namo atau laguna dan disebut monea’a nu sara). Luas wilayah dan jumlah penduduk menjadi pertimbangan sara kesultanan dalam penentuan, pengesahan jumlah keanggotaan dan bentuk jabatan dalam sara kadie. Perwujudan Murtabat Tujuh dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah. : a.
Konsep pemilikan bersama (communal property right) sumberdaya alam dalam wilayah hukum adat kadie.
b.
Pelembagaan pemilikan bersama sebagai milik sara kadie.
Hukum kepemilikan sumberdaya alam memuat sifat-sifat yang wajib dimiliki (atau ketentuan yang tidak boleh dilanggar) setiap penduduk kadie dalam konstitusi Murtabat Tujuh adalah adalah : a.
Limpagi atau melewati batas, mengambil milik orang.
b.
Sabaragau atau berbuat sembarang, merusak, tidak mengikuti adat.
Konsep sumberdaya milik bersama masyarakat kadie yang secara formal dimiliki sara kadie merupakan dasar hak ulayat laut, tanah dan hutan. Sara kadie adalah dewan rakyat, merupakan kesatuan fungsi eksekutif, legislasi dan penegakan hukum. Anggotanya adalah representasi rakyat dalam kadie dari golongan kaomu dan walaka dengan masing-masing jabatan dan fungsi yang tidak bisa dipertukarkan. Artinya ada jabatan anggota sara khusus untuk golongan kaomu dan ada yang khusus untuk golongan walaka. Anggota sara juga bisa berasal dari golongan papara (rakyat biasa) untuk posisi dan peran yang tidak bisa diganti kaomu atau walaka. Jika seseorang melanggar hukum, etika atau berperilaku tidak santun dalam kehidupan sehari-hari maka akan disebut dengan istilah tapa sara dan tapa adati yang artinya bahwa yang bersangkutan tidak beradab dan tidak beretika atau tidak tahu aturan. Mengacu pada definisi masyarakat hukum adat sebagai suatu komunitas yang teratur, bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri, serta kekayaan berupa benda yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, maka hak ulayat laut masyarakat kadie di kepulauan Wakatobi memenuhi tiga unsur pokok hak ulayat yakni : (1) masyarakat 45
hukum sebagai subyek hak ulayat, (2) institusi kepemimpinan yang memiliki otoritas publik dan perdata atas wilayah hak ulayat, dan (3) wilayah sebagai obyek hak ulayat baik tanah, perairan dan sumberdaya alam di dalamnya (Saad 2009). Hak ulayat laut sebagaimana ditulis oleh Solihin et al (2005), adalah bentuk desentralisasi pengelolaan untuk menanggulangi kerusakan sumberdaya pesisir dan kelautan. sara kadie oleh sara kesultanan diberi kebebasan membuat turunan aturan untuk mengatur rumah tangga sendiri sesuai dengan kebutuan dan kondisi lokal sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan desentralistik pada kadie. Saat ini contoh pengelolaan berbasis sistem lokal adalah penerapan awig-awig pada komunitas lokal suku Sasak di Lombok Barat, membuktikan sistem lokal mampu mengurangi konflik internal nelayan karena pelanggaran wilayah larang tangkap dan konflik nelayan lokal dengan nelayan luar (Satria et al 2003). Dua sampai tiga tahun pertama pengelolaan TNW sejak ditetapkan tahun 1996, aksi konservasi keanekaragaman hayati seperti tindakan swieping biota kima yang diperjual-belikan di pasar tradisional Waha Kecamatan Tomia menjadi justifikasi konservasi dan taman nasional yang membekas pada pengetahuan masyarakat. Contoh kasus tersebut menunjukkan adanya jarak antara kebudayaan dan pengetahuan masyarakat dengan pengelolaan TNW. Kesenjangan yang tidak terkelola dengan baik selalu menjadi awal timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam.
5.1.2 Pembagian Wilayah Adat Kadie Kelompok masyarakat adat pemilik hak ulayat laut di Kepulauan Wakatobi adalah Kadie Liya, Mandati, Wanci, Kapota di Wangi-Wangi. Barata Kaedupa mencakup wilayah yurisdiksi Pulau Kaledupa, Hoga, Lente’a, Darawa dengan wilayah yang terbagi dalam sembilan Limbo (Kadie) yakni Limbo Langge, Tampara, Tapa’a, Kiwolu, Tomboloruha, La Olu’a, Liwuto, Ollo, Watole. Di Pulau Tomia terdapat Kawati (Kadie) Timu, Tongano, Waha. Sedangkan di Pulau Binongko terdapat Kadie Wali (Binongko Cia-Cia) dan Kaluku (Binongko Kaumbeda) (La 46
Beloro ketua Forum Kaledupa Toudani, La Arabu tokoh adat Wali, La Ode Abdul Hamid tokoh adat Wakatobi, komunikasi pribadi Desember 2009). Berdasarkan zonasi TNW, wilayah adat wilayah-wilayah kadie mayoritas masuk dalam ZPL, ZPB dan ZPr. Sebanyak 100 % wilayah Kadie Liya, Kapota dan Wanci menjadi ZPL. Pada wilayah adat Kadie Mandati yakni 2,29 % Karang Matahora menjadi ZPB dan 3,44 % Karang Sousu menjadi ZPr. Pengelolaan ZPL ditujukan untuk kegiatan mata pencaharian masyarakat lokal. Nelayan luar kawasan tidak diperkenankan masuk dalam ZPL. Namun demikian baik TNW maupun pemerintah Kabupaten Wakatobi belum memiliki pengertian baku tentang batasan istilah lokal (apakah kriterianya desa, pulau atau Wakatobi). Karena itu penegakan peraturan zonasi di lapangan oleh TNW baru mengacu pada administrasi kependudukan nelayan dan asal kampung secara tradisional (pribumi). Definisi lokal dalam sistem kadie adalah komunal yakni masyarakat kadie. Posisi wilayah kadie dan zonasi di Pulau Wangi-Wangi ditunjukkan dengan gambar 3.
Gambar 3 : Posisi wilayah adat kadie dalam zonasi TNW Sumber : Dioleh dari Peta Zonasi TNW
47
5.1.3 Tanda Batas Wilayah Adat Batas-batas wilayah adat kadie biasanya ditandai dengan kampung (kampo), nama pantai (oa), tumbuhan (kau), tanjung (untu), teluk (kolo), nama karang (watu rumbu), nama batu (watu) atau ciri tertentu di tengah kampung yang memungkinkan klaim bahwa laut depan kampung tersebut masuk dalam wilayah adat. Petunjuk arah yang merupakan titik proyeksi batas menggunakan arah mata angin. Penggunaan tanda dan mata angin dapat dilihat pada batas wilayah adat Wanci dan Mandati di pantai timur pulau Wangi-Wangi yakni di kampung Longa yang masyarakatnya campuran kelompok adat Mandati dan Wanci. Tanda batas ditentukan melalui penamaan ayam dalam masyarakat kampung. Belahan kampung yang masyarakatnya menyebut ayam dengan nama manu adalah Longa Mandati menjadi wilayah adat Mandati sedangkan yang menyebut ayam dengan nama kadola adalah Longa Wanse menjadi wilayah adat Wanci. Batas laut depan kampung berpatokan pada arah mata angin. Titik batas wilayah di pantai lurus ke arah mata angin timur di laut adalah tapal batas. Arah mata angin ke tenggara adalah wilayah Mandati dan ke arah timur laut adalah milik Wanci. Batas wilayah kelompok adat Liya dan Mandati di sebelah timur Pulau Wangi-Wangi adalah batu yang disebut Watu Wakara di Teluk Ponta sebelah selatan desa Matahora. Batas pada perairan sebelah barat Pulau Wangi-Wangi adalah ollo (laut dalam) La Kapala sampai batas pantai Numana (Mandati) dan Patinggu (Liya) yang dikenal dengan nama Oa (pantai) La Hudu. Konon di oa inilah pendaratan Sara Wolio (sara pemerintah pusat Kesultanan Buton) untuk menentukan tapal batas Kadie Liya dan Mandati. Selain di Pulau Wangi-Wangi, wilayah ulayat kelompok adat Liya juga berada di Pulau dan Perairan Pulau Kapota. Batas Liya dan Kapota sebelah timur adalah Pantai Wa Toruntoru. Laut depan Pantai Wa Toruntoru milik Sara Mandati sampai ou (laguna) didepan kampung Kolo. Ou masih berada di dalam wilayah adat Liya sedangkan wilayah Mandati berada di timur ou kampung Kolo yakni nokoi (gosong pasir) Melanga sampai Oa La Hudu diperbatasan Patinggu dan Numana. Disebelah tenggara ou yaitu daerah pasang surut masuk wilayah Mandati 48
sampai pantai Kaluku Ina Wa Turi (kaluku berarti pohon kelapa, ina berarti seorang ibu, Wa Turi adalah nama orang). Laut di pesisir pantai dari kaluku Ina Waturi kearah selatan sampai pantai barat yakni Pantai Ondaria tepatnya disalah satu bagian pantai yakni Uju Melanga adalah milik Sara Liya. Selepas Uju Melanga ke arah utara adalah milik Sara Kapota. Sebelumnya, diantara kaluku Ina Waturi dengan pantai Ondaria terdapat Nokoi Koyambako yang bersambung dengan daratan. Nokoi Koyambako yang tidak kering pada saat pasang surut adalah laut Mandati sedangkan bagian yang kering, ekosistem mangrove sampai daratan adalah wilayah Liya. Batas hak ulayat laut kelompok adat Kapota dengan kelompok adat Mandati dan Wanci adalah laut dalam (ollo) yang terletak di antara Pulau Kapota dan Pulau Wangi-Wangi. Penggunaan nama dan tanda batas dengan nama kampung, pantai, pohon, batu dan lain-lain yang berada di alam serta petunjuk arah proyeksi batas di laut menggunakan mata angin memudahkan masyarakat mengenali batas wilayah, karena merupakan istilah, nama, ataupun benda yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Selain itu penggunaan tanda-tanda pada alam akan membuat manusia tidak dengan mudah melakukan perubahan bentang alam seperti menimbun dan menggerus pantai atau merambah pepohonan. Secara tidak langsung kearifan tersebut merupakan aksi konservasi sumberdaya alam. Tanda batas dalam kearifan masyarakat juga tidak sesulit memahami tanda batas zona dalam TNW. Penggunaan titik koordinat untuk menandai batas zonasi menyulitkan masyarakat untuk mengetahuinya karena harus membutuhkan alat dan pengetahuan baru tentang alat ukur titik koordinat (GPS), selain itu tanda secara fisik tidak dapat dikenali karena laut tidak bisa diberi tanda garis seperti halnya daratan. Sebenarnya setiap bagian karang baik karang atol yang jauh dari pulau maupun wilayah pesisir memiliki nama-nama lokal. Karang Atol Kaledupa misalnya memiliki lebih dari 10 bagian (titik) dengan nama-nama yang diberikan masyarakat dari dulu. Demikian juga dengan atol lainnya. Penggunaan nama-nama lokal sebagai titik batas zonasi dapat menjadi acuan diikuti titik koordinat dari lokasi yang memiliki nama lokal. 49
Batas lokasi ke laut dalam yang tidak memiliki nama lokal khusus dapat dilakukan dengan menyebut arah mata angin dari lokasi titik acuan yang memiliki nama lokal.
5.1.4 Kelembagaan dan Sanksi Sara merupakan lembaga representasi dari masyarakat hukum adat, kewenangannya menyusun, menetapkan dan menegakkan hukum adat. Jumlah dan struktur sara di keempat kadie penelitian ini beragam, pada Kadie Liya sara beranggota laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama, disebut sara mo ane (laki-laki) dan sara wowine (perempuan). Anggota sara yang menjalankan fungsi sara mengawasi pengelolaan sumberdaya laut adalah pangalasa untuk kelompok adat Liya, serta jurubasa untuk kelompok adat Mandati, Kapota dan Wanci. Bobato dan bonto yang memimpin kadie disebut meantu’u. Disamping memimpin kadie, bobato dan bonto kadie merupakan anggota sara kesultanan. Kedudukannya dalam kadie adalah tunggu-tunggu yang mewakili sara kesultanan serta memutuskan perkara (urusan) yang tidak dapat diputuskan anggota sara kadie. Namun demikian bobato atau bonto kadie tidak dapat ikut campur dalam musyawarah sara kadie kecuali diminta pendapatnya. Kewajiban bobato dan bonto kadie adalah menjalankan hasil musyawarah sara kadie dan mengkonsultasikan perkara yang tidak dapat diputuskan sara kadie kepada sara kesultanan dan (Saidi 2000). Pelanggaran atas hukum-hukum adat merupakan pelanggaran terhadap sara karena seluruh sumberdaya alam adalah milik sara. Pelanggaran yang terjadi dapat berupa pengambilan hasil perikanan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh sara sebagai wilayah larang tangkap seperti lokasi wehai, tampora atau pelanggaran dalam penggunaan alat tangkap sanksinya disebut hoko da o ke te sara
(pengertian
harfiahnya pelaku dirusakkan oleh sara). Tidak dirinci apa saja bentuk sanksi yang dimaksud dengan hoko da o tersebut tetapi, tetapi merujuk pada Undang-Undang Dasar Murtabat Tujuh maka setiap pelanggaran dapat menimbulkan konsekuensi tadosa ake (yang membuat berutang), ta mate akea (yang membuat mati) dan ta sala akea (yang membuat kita salah). Konsekuensi hukumnya adalah sanksi sosial seperti 50
penurunan status yang menjadi seseorang sebagai budak. Dengan demikian masyarakat takut dan tidak punya pilihan kecuali patuh. Bentuk-bentuk sanksi lainnya dari sara dapat berupa hukuman fisik seperti siasa (siksa), denda materi (berhubungan dengan patudu’a ketika seseorang tidak mampu membayar denda), ampo ako’e te togo (dikucilkan dalam bentuk tidak didatangi warga jika melaksanakan kegiatan hajatan (hidup) maupun duka (kematian). Sanksi paling ringan adalah ndou-ndou atau a-dari (ditegur dan dinasehati) sara dalam sebuah majelis yang dibuat untuk tujuan tersebut. Kepatuhan pada sesuatu yang disebut no angka e te sara (dilarang oleh sara) tersebut juga distimulus oleh ketakutan masyarakat atas sebutan tapa sara yang berarti tidak beradat atau tidak bermoral ketika melakukan perbuatan yang melanggar norma bersama, sebab vonis tapa sara tidak hanya berimplikasi individual (hanya untuk pelaku) tetapi memiliki arti yang lebih luas dengan subjek mencakup satu lingkaran keluarga individu pelaku. Seseorang yang dikatakan tapa sara dimaknai bahwa pelaku adalah turunan keluarga yang tidak memiliki pengetahuan po’adati atau tidak mengajarkan adat. Jadi secara umum masyarakat sangat menghindari apa yang disebut dengan tapa sara karena hal tersebut mempertaruhkan nama keluarga. Sejak campur tangan Belanda (1906) ditandai dengan pembentukan lembaga distrik yang mengkoordinir beberapa kadie (Schoorl 2003) sampai tahun terakhir Kesultanan masih berfungsi (1959) pelaksanaan sanksi atas pelanggaran adat yang disebut sala pake atau berperilaku tidak sesuai adat pelaksanaan sanksi tetap oleh sara, tetapi pelanggaran yang sifatnya pidana seperti tindakan merusak atau mencuri hasil laut pelaksanaan sanksi dilakukan oleh Pemerintah Distrik. Dalam pengelolaan wilayah, setiap sara kadie hanya bertanggung jawab atas pengelolaan wilayahnya. Berbeda dengan kelembagaan taman nasional (Balai TNW) yang mengurus kawasan seluas 1,3 juta Ha. Dengan mandat desentralistik dari sara kesultanan untuk membuat peraturan adat dan bertanggung jawab penegakannya maka sara kadie secara efektif mampu mengelola sumberdaya. Meskipun secara teknis kewenangan BTNW menjadi tanggung jawab Seksi Pengelolaan Taman 51
Nasional (SPTN) yang berkedudukan di setiap pulau utama (Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), namun tugas yang diberikan pada SPTN hanya melaksanakan fungsi pengelolaan taman nasional dalam wilayah SPTN, mewakili kepala balai, melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam lingkup kerja tanpa kewenangan membuat aturan sebagaimanan kewenangan sara kadie.
5.2 Pengelolaan Laut oleh Adat dengan Pendekatan Ruang 5.2.1 Hak Pengambilan Hasil Perikanan (Fishing Right) Wilayah Adat Laut Wakatobi dikelola dalam unit terkecil yaitu satuan wilayah kadie. Undang-undang kesultanan menetapkan peraturan khusus yang disebut “Pitu pulu rua kadiena” yang pengertian hukumnya adalah tujuh puluh dua bagian tanah untuk rakyat. Inti peraturan khusus itu adalah memberikan kewenangan desentarilisasi pada kadie untuk mengatur rumah tangga sendiri. Isinya mengatur ketentuan pemilikan tanah sebagai milik kadie yang dipergunakan rakyat. Pemilikan perorangan yang diperoleh dari kekuasaan dan kekuatan (disimbolkan dengan keberadaan golongan bangsawan kaomu dan walaka dalam kadie) tidak dibenarkan. Pengolahan hanya diijinkan dengan persetujuan sara kadie tetapi sumberdaya tanah tetap menjadi milik kadie. Ketentuan ini berlaku sampai ke laut karena laut dalam konsep teritorial use right adat disebut sebagai te sinai nu togo artinya milik kampung, itulah sebabnya perbatasan teritorial antara kadie dihitung secara detail sampai ke laut. Misalnya batas Kadie Liya dan Kadie Mandati adalah ditengah-tengah ollo (laut dalam) La Kapala. Bukti kewenangan sara sampai ke laut diantaranya dapat dilihat pada pengelolaan wilayah laut te mone’a nu sara, adat istiadat dalam menggunakan alat tangkap, pembatasan input nelayan luar atau penetapan lokasi-lokasi perlindungan (wehai) dan homali. Hal terpokok dari pengelolaan di darat maupun laut dalam adat sara kadie menggariskan bahwa sumberdaya adalah milik bersama. Sara kadie mengatur pengelolaan baik pemanfaatan maupun pengamanan sehingga menghindarkan laut sebagai wilayah open access. Bentuk pengelolaan ini menurut Satria (2009b) 52
melindungi nelayan kecil yang memiliki jangkauan operasi hanya pada daerah pesisir. Pengelolaan dalam unit wilayah terkecil seperti dalam sistem kadie dimasa lalu mendekatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, efisien dan efektif karena pengelolaan menjadi bagian dari hak ulayat dalam sistem adat mereka (Satria 2009b). Pembatasan input berupa alat tangkap dalam ZPL juga diatur dalam zonasi TNW. Alat tangkap yang diperbolehkan dalam ZPL adalah peralatan tradisional tetapi fishing right tidak secara ekslusif diberikan pada masyarakat kampung. Sehingga sebagai konsekuensinya, laut kampung tetap menjadi area persaingan lokasi tangkap sesama nelayan tradisional, serta persaingan penggunaan alat yang menentukan jenis hasil yang akan diambil. Pada sistem tradisional, fishing right penduduk kampung bukan hanya berkenaan dengan wilayah tetapi perlindungan dari alat tangkap nelayan luar kampung yang berarti proteksi atas nelayan kecil dalam kampung dan perlindungan atas hasil laut selain ikan. Hal tersebut disebabkan adanya ketentuan yang hanya membolehkan penggunaan alat pancing bagi nelayan yang berasal dari luar kampung (kadie).
5.2.2 Wehai Wehai adalah sistem pengelolaan sumberdaya laut pada kelompok masyarakat adat Liya di Pulau Wangi-Wangi, bentuknya berupa kawasan perlindungan laut (marine protected area) atau memberlakukan larang tangkap pada wilayah tertentu dengan tujuan membuat ikan lebih banyak berkumpul dan jinak. Umumnya wehai diberlakukan pada wilayah pesisir yang memiliki teluk (kolo) atau diapit dua tanjung sebagai batas lokasi perlindungan. Arti wehai secara etimologi adalah menandai, menyisihkan atau memesan susuatu supaya tidak diambil orang lain. Pada kelompok adat Wanci wehai yang melindungi sebuah tempat dari pemanfaatan juga dikenal namun hanya berlaku pada 1 lokasi di darat yang banyak dittanami pohon kelapa terletak di sebelah utara Pantai Te’e Bangka Wanci.
53
Hasil observasi pada ekosistem wehai perairan Liya menunjukkan bahwa tempat tersebut merupakan habitat ikan dumu-dumu atau surey (Gerrer oyena), koakoa (Caranya sp), ikan-ikan herbivor, lamun, siput, kepiting, tiram, karang tepi, pasir dan pada saat terisi dengan air pasang merupakan tempat favorit bagi ikan jenis Caranya sp dewasa yang merupakan predator bagi ikan-ikan kecil yang memiliki area sosial di pesisir. Memperhatikan hal tersebut, sistem wehai adalah bentuk pengelolaan dengan pendekatan ekosistem sebagaimana yang dimaksud Widodo dan Suardi (2006) sebagai pendekatan yang mengikutsertakan keseluruhan komponen ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam mendukung perikanan berkelanjutan. Dalam ekosistem wehai terdapat rantai dan jaring makanan yang dapat menjelaskan dinamika pada ekosistem perairan (Widodo dan Suardi 2006). Melihat fungsi, kondisi, potensi dan dukungan yang diberikan sistem terhadap ekosistem perairan dan perikanan, maka wehai dan ZPB memiliki kesamaan. Ekosistem wehai memberi kontribusi pada jejaring rantai makanan perairan sekitarnya dibuktikan dengan keberadaan ekosistem sebagai areal sosial bagi ikanikan predator. Sama dengan ZPB, terutama fungsi zona perlindungan sebagai penyangga perairan zona pemanfaatan, membuktikan kontribusi zona ini terhadap perairan sekitarnya. Dari segi lokasi, pola pemanfaatan dan lembaga pengelola, wehai dan zona perlindungan bahari berbeda. Wehai hanya terdapat di daerah pesisir dan berlaku untuk waktu tertentu atau sistem buka tutup, berbeda dengan zona perlindungan bahari yang wilayahnya berada pada karang atol dan hanya sebagian kecil berada di pesisir yakni pesisir Desa Matahora (Kadie Mandati)
dan beberapa tempat di
perairan timur dan selatan Pulau Kaledupa dimana sistem wehai tidak dikenal masyarakat. Lokasi wehai ditentukan berdasarkan pengalaman masyarakat akan lokasilokasi yang terdapat banyak ikan (sering dikunjungi ikan). Jika dikaitkan dengan produktifitas perikanan dalam perairan sekitarnya, maka penetapan lokasi berdasarkan kearifan masayarakat ini mengarahkan pada kesesuaian perhitungan 54
struktur sistem jaringan makanan yang menjamin keseimbangan antara yang ditangkap dan stok yang tertinggal (Widodo dan Suadi 2006). Sistem wehai diberlakukan untuk waktu yang ditentukan lamanya oleh sara kadie. Untuk memberikan tanda kepada masyarakat umum bahwa wehai sudah diberlakukan, sara mengutus pangalasa (salah satu unsur dalam anggota sara) untuk memasang janur pada ujung ranting kayu yang bersilangan dimana 3 kaki ranting menancap membentuk segitiga diatas tanah. Ranting kayu berjanur tersebut diletakkan pada dua tanjung sebagai batas wilayah lindung. Pembukaan wehai akan diumumkan oleh sara diikuti pembukaan tanda janur pada kedua tanjung. Sepanjang wehai belum dibuka, maka janur yang telah kering akan diganti dengan janur segar. Meskipun wehai merupakan sistem perlindungan tidak permanen (buka-tutup) tetapi lokasi pemberlakukan sistem tersebut bersifat permanen atau tetap pada tempat yang terdapat di perairan pesisir Liya yaitu Pantai Loponi, Hu Uno, Kolo Nu Pimpi, Hora, Bantea Yi Tonga. Di selatan pesisir Liya yakni Pulau Simpora lokasi, wehai adalah di Pantai One Tooge dan Kolo Nu Sori, dan di Pulau Kompona One (Oroho) lokasi wehai berada di pantai utara yakni di pesisir Wawosio. Anggota masyarakat yang melanggar lokasi wehai diberikan hukuman oleh sara yaitu hoko da’o ke te sara (diri dan status yang bersangkutan dirusakkan oleh sara). Kelompok adat Wanci, Mandati dan Kapota tidak mengenal sistem wehai di laut. Wehai dalam masyarakat adat Wanci dan Mandati berlaku di darat pada kebun kelapa milik sara dan milik kaomu (sebuah rumpun keluarga). Manfaat wehai laut adalah memberikan kesempatan kepada ikan untuk tumbuh besar dalam satu ekosistem alami, sehingga sangat membantu bagi konservasi sumberdaya alam hayati perairan. Melihat praktek dan properti yang digunakan seperti janur maka sistem ini mirip dengan sistem sasi yang dikenal masyarakat Maluku.
5.2.3 Monea’a Nu Sara Monea’a nu sara bukanlah istilah baku untuk sebuah sistem pengelolaan. Kalimat tersebut diberikan untuk suatu tradisi pengelolaan ruang tertentu sebagai 55
tempat menangkap ikan jika kampung memiliki keperluan misalnya pada saat hajatan kampung. Istilah yang berbeda dengan arti yang sama yaitu te pake-peke’a nu sara, namo nu sara (laguna yang digunakan sara). Lokasi monea’a nu sara biasanya berada pada laguna pesisir kampung. Motif perikanan pada sistem monea’a nu sara sama dengan wehai yakni penetapan wilayah tertentu sebagi daerah stokcing tetapi penerapannya berbeda pada mekanime terbuka dan tertutup. Pada hari biasa monea’a nu sara dapat dimanfaatkan masyarakat dengan peralatan tradisional seperti sarampa (tombak yang lebih dari dua mata), pontu (tombak yang memiliki 1 mata), panah, pancing tetapi tidak diperkenankan menggunakan bahan beracun dan jaring yang memungkinkan penangkapan ikan dalam jumlah besar. Dalam kelompok adat Kapota hasil tangkapan pada lokasi monea’a nu sara dibagi 3 bagian yaitu 1 bagian untuk nelayan, 1 bagian untuk pemilik sarana tangkap dan 1 bagian untuk sara. Bagian untuk sara biasanya dijual dan uangnya digunakan untuk kas masjid dan keperluan sara. Bentuk pengelolaan perikanan pada sistem monea’a ditekankan pada pembatasan alat tangkap, bukan kawasan perlindungan sebagaimana pada sistem wehai. Namun demikian urgensi sistem tradisional monea’a nu sara adalah meneguhkan pengelolaan sumberdaya yang tidak terbuka yang bermanfaat memberi perlindungan pada nelayan kecil yang peralatan dan armada tangkapnya hanya dapat menjangkau tempat terbatas dan pelestarian lingkungan. Pengaturan wilayah berdasarkan alat tangkap merupakan salah satu solusi untuk menata nelayan yang dipandang sangat penting, mengatasi konflik antar nelayan, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan melestarikan sumberdaya alam (Solihin et al 2005). Dalam wilayah Kadie Mandati, lokasi monea’a nu sara yang saat ini dikelola masyarakat kampung adalah namo Bontu di desa Matahora. Disamping itu pesisir Kampung Sousu tepatnya di Perairan Pulau Matahora dan Pulau Nua Ponda desa Matahora di kelola dengan pembatasan alat tangkap masal untuk nelayan luar kampung. Sistem tersebut dibangun untuk mempertahankan ketersediaan ikan,
56
sebagai antisipasi atas cuaca buruk yang menyebabkan nelayan kampung tidak dapat melaut ke tempat lain. Sebagian pesisir kampung Sousu dalam sistem zonasi menjadi ZPr dan sebagian pesisir Desa Matahora yakni namo Bontu menjadi ZPr. Pemerintah daerah melalui Coremap-DKP menjadikan wilayah tersebut Daerah Perlindungan Laut (DPL). Pada wilayah Kadie Kapota monea’a nu sara tersebut berada di pesisir Kampung Padangkuku di sebelah utara Pulau Kapota, dan di pesisir Singgaleta, pantai timur yang berbatasan dengan kampung Kolo (Liya).
5.2.4
Batoo dan Kota Pada
kelompok adat Wanci dikenal sistem pengelolaan perikanan
yang
disebut kota yaitu perairan pesisir yang ditandai dengan batoo atau pagar batu melingkar dari daerah tubir ke pesisir. Pagar batu tersebut memiliki ketinggian sekitar 1 meter yang tenggelam pada saat air pasang dan muncul pada permukaan saat air surut sehingga berfungsi menjebak ikan yang bergerak ke pesisir untuk tidak kembali ke perairan laut dalam atau daerah karang. Batoo Wanse berada di depan kampung Te’e Bangka kelurahan Wanci dimana pada wilayah daratnya terdapat lahan dan kebun kelapa milik sara yang termasuk lahan wehai. Kota sebenarnya adalah tumpukan batu yang berada di tengah batoo yang tidak boleh dipindahkan. Selain bemakna simbolik yang menandakan lokasi peruntukan sara untuk perikanan masyarakat yang memiliki keterbatasan sarana, juga jika dilihat fungsinya merupakan karang buatan yang akan menjebak ikan-ikan karang untuk naik ke arah pesisir pada saat air pasang dan berlindung saat air surut sehingga penangkapan tidak perlu di lakukan di lokasi karang asli yang berada di belakang batoo. Konsep Kawasan Perlindungan Laut (KPL) melalui zoansi TNW dan DPL Coremap-DKP Kabupaten Wakatobi menekankan daerah-daerah perlindungan laut untuk melindungi ekosistem alami dari aktivitas penangkapan. Hasil yang diharapkan dari sistem ini adalah limpahan ikan dari daerah lindung menyebar ke daerah tangkap diluar kawasan lindung sehingga bisa memberikan keberlanjutan perikanan. 57
Dalam sistem kota dan batoo penangkapan dilakukan pada daerah pasang surut diluar ekosisitem alami terumbu karang diperuntukkan bagi nelayan kampung yang memiliki sarana terbatas. Sistem ini merupakan bentuk pelayanan sara terhadap nelayan tardisional dari kampung dari persaingan dengan nelayan luar yang hanya boleh melakukan penangkapan pada daerah batoo dan kota jika mendapat izin sara, meskipun demikian nelayan luar tidak masuk kawasan tersebut.
5.2.5 Sistem Huma Secara harfia huma adalah penamaan rumah bertiang kayu tancap pada daerah pasang surut baik di pesisir maupun di daerah karang atol (pasi) yang jauh dari kampung. Huma juga dikenal dengan nama loma. Secara fisik huma yang berada di pasi adalah tempat istirahat, tempat menyimpan peralatan dan logistik, tempat memasak, menambatkan sampan selama berada di karang, dimiliki secara berkelompok atau perorangan. Selain fungsi-fungsi fisik huma sebagai rumah di daerah karang, huma juga merupakan sistem po’adati yi pasi atau memiliki fungsi pelembagaan adat pengelolaan sumberdaya laut di pasi. Sistem huma berlaku di Karang Kaledupa, Koromaha, Kapota. Masyarakat Wangi-Wangi menyebutnya Karang Kapota dengan nama Pasi Togonto artinya pasi milik kampung se-Wanci, Mandati, Kapota dan Liya, sedangkan masyarakat Kaledupa, Tomia dan Binongko menyebutnya pasi Koba merujuk pada nama Pulau Koba sebelum diganti oleh Belanda menjadi Pulau Wangi-Wang. Sistem huma sangat unik karena pasi sebagai habitat huma bukan merupakan daerah coastal dimana biasanya berkembang sistem tradisional. Jika pasi yang terletak jauh dari pulau pemukiman penduduk dibiarkan tanpa aturan, maka akan memudahkan eksploitasi sumber daya secara terbuka (open access) tanpa pemilikan dan melahirkan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi nelayan sebagaimana dikemukakan Widodo dan Suadi (2006) hanya akan mengundang perhatian nelayan baru untuk masuk kawasan hingga sampai pada suatu titik maksimum eksploitasi
58
dimana terjadi overcapacity kemampuan wilayah dalam menampung user. Pada akhirnya kondisi tersebut melahirkan overfishing (penangkapan berlebihan). Meskipun pengelolaan sumberdaya dalam sistem huma menegaskan adanya kekuatan peran beberapa orang atau kelompok atas pengaturan sumberdaya tetapi hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pemilikan pribadi atas sumber daya (private property right) karena tidak adanya unsur pemilikan pribadi atas bendabenda dalam wilayah kelola kelompok itu. Pendefinisian yang lebih mendekati ialah res communes (kepemilikan komunal). Hal ini dapat dilihat dari sifat sistem huma yang merupakan bentuk penegakan peraturan bersama untuk barang milik bersama (community property right). Secara historis sistem huma pertama diperkenalkan nelayan bubu Kampung Kahyanga dari kelompok adat Kawati Tongano di Pulau Tomia. Sistem huma dipraktekan nelayan-nelayan Pulau Tomia yang dikenal dari dulu menjadi pengelola perikanan kawasan Pasi Kaledupa, juga dipraktekan nelayannelayan Wangi-Wangi yang mengelola Pasi Kapota. Meskipun bukan territorial right salah satu kadie tetapi nilai-nilai adat pengelolaan sumberdaya laut dan perikanan di pasi menjadi nilai pada seluruh kadie. Dengan demikian pelaku (subjek) pelanggaran po’adati yi pasi dapat menjadi domain hukum kadie asal nelayan yang berada di pasi. Hasil penelitian pada nelayan-nelayan dari Liya, Mandati, Kapota dan Wanci dan dikonfirmasikan pada nelayan Pulau Tomia menegaskan bahwa laut di sekitar huma menjadi wilayah kelola pemilik huma. Pemilikan huma biasanya adalah kelompok, turun-temurun dan pada satu wilayah yang tetap sehingga dalam prakteknya sehari-hari selain menangkap ikan pemilik huma juga menjaga keamanan sumber daya alam dengan cara menegakkan norma pengelolaan sumberdaya laut di perairan pasi yang disebut dalam setiap kadie sebagai te pake yi pasi (adab manusia di karang) atau po’adati yi pasi, (adat istiadat di karang) yaitu : Setiap nelayan yang baru tiba di pasi harus menyampaikan tujuannya kepada salah satu huma terdekat sebelum melakukan kegiatan penangkapan ikan. Nelayan yang melapor ke huma harus menaikkan seluruh bekal makanan dan air minum (logistik), kayu bakar, parang (senjata lainnya), toba (tempat rokok) ke dalam huma 59
sebagai simbol dari kesediaan mengikuti adati yi pasi (adat di karang). Pemilik huma akan menunjukkan lokasi tempat menangkap ikan agar tidak mengganggu lokasi tangkap nelayan lainnya. Po adati yi pasi mengikat setiap orang untuk tidak lempagi (melewati batas) dan sabaragau (sembarangan), suatu nilai rasa (moral) dari manusia suku Buton yakni “Binchi-binchiki kuli”, artinya mencubit diri sendiri jika terasa sakit maka sakit pula dirasakan orang lain (Saidi 2000). Perwujudannya adalah sikap saling menghargai (poangga-angga) dan tolong-menolong (pohamba-hamba). Relevansinya dengan pengelolaan huma adalah kepatuhan pihak yang berinteraksi dalam ekosistem tersebut melewati batas teritorial dari kadie masing-masing. Nelayan yang tidak mematuhi po adati yi pasi dan langsung melakukan penangkapan ikan dianggap melakukan kegiatan pencurian (illegal fishing) sehingga pemilik huma wajib memberikan peringatan dan mengusirnya. Alat tangkap yang digunakan dalam sistem huma adalah bubu (polo). Satu kelompok pemilik huma dapat memiliki 100–200 polo yang dipasang pada bagian dasar laut datar, berpasir dan ditumbuhi lamun di sekitar ekosistem terumbu karang. Sebagian lokasi huma di atol Kaledupa bagian barat saat ini menjadi ZPB TNW. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan dalam ZPB adalah pemancingan tradisional, pancing dasar, pancing tonda, budidaya, jaring dasar, bubu, sero, menyelam teripang, lobster dan kerang, memanah ikan, meti-meti, memasang rumpon, perahu pelingkar dan bagan. Dalam sistem huma lokasi tersebut hanya dikelola dengan alat tangkap bubu dan target tangkapan ikan, pengambilan biota seperti kima tidak dilakukan. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat lain seperti pancing oleh nelayan lain hanya dapat dilakukan bila mendapat izin pengelola huma.
5.2.6 Homali Lokasi homali atau pemali di darat disebut kaombo. Sebenarnya asal dari istilah kaombo adalah sistem pengelolaan hutan yang merupakan kewajiban setiap kadie yang tertulis dalam Undang-Undang Murtabat Tujuh. Karena sifatnya yang dilindungi adat, maka kaombo tidak dapat dijamah, homali atau terlarang. Tempat60
tempat seperti itu kemudian berkembang pada masyarakat sebagai lokasi sakral atau keramat dengan berbagai peristiwa historis yang menyertainya. Menurut Zuhud dalam Soedjito et al (2009) menjelaskan tiga stimulus sebagai pendorong sikap konservasi yakni stimulus alamiah, manfaat dan religius. Sinyal dari situs sakral atau keramat homali sebagaimana dijelaskan di atas adalah stimulus religius yang mempengaruhi sikap konservasi masyarakat atas kawasan homali. Kawasan homali yang tidak dapat diakses sembarang bertahan dalam kondisi alamiah, bertahan dari degradasi lingkungan karena menyatu dengan sistem kepercayaan dan kebudayaa masyarakat setempat (Soedjito et al 2009). Selain karena kepercayaan terdapat lokasi-lokasi lindung karena fungsi ekosistem sebagai batas wilayah kadie, contohnya ekosistem mangrove yang membatasi wilayah kelompok adat Kaumbeda dan Cia-Cia di sekitar desa Oihu pulau Binongko. Tetapi di lokasi penelitian ini umumnya lokasi homali terjadi karena faktor kepercayaan seperti larangan untuk melakukan aktivitas pengambilan hasil mulai dari daratan sampai daerah pasang surut pesisir homali atau ketentuan yang hanya membolehkan kegiatan terbatas (tidak berbuat sembarangan). Pelanggaran atas homali diyakini membawa dampak negatif seperti bencana alam, wabah penyakit yang menimpa manusia dan kampung. Larangan untuk eksploitasi bukan hanya bagi komunitas setempat (pemilik keyakinan) tetapi juga terhadap orang diluar komunitas. Oleh sebab itu setiap ada yang melakukan aktivitas dalam wilayah tersebut akan ditindak oleh komunitas setempat. Lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral dalam lokasi penelitian ini umumnya berada pada sebuah tanjung (untu), meliputi ekosistem pantai dan pesisir, seperti Untu Wa Ode, Untu Melambi, Oguu Dua Hu’u, Saru-Sarua, Untuno, Liyantande, Untu Moori, Kansira, Bungi dan Watu Towengka. Perlakuan non eksploitatif bukan dilatarbelakangi oleh pengetahuan terhadap nilai penting ekosistem tetapi keyakinan turun-temurun, yang menjadi suatu bentuk aksi konservasi masyarakat. Kepatuhan pada situs keramat menjadi bagian penting konservasi kawasan, meskipun dari aspek
61
luas tidak begitu besar, tetapi dampaknya sangat penting dalam menjamin konservasi keanekaragaman hayati dan pelestarian budaya (Soedjito et al 2009). Semua lokasi situs keramat (homali) merupakan bagian dari ZPL dalam zonasi TNW yang berarti terbuka untuk segala bentuk penggunaan peralatan tangkap tradisional ramah lingkungan. Pada lokasi homali Untu Waode aktivitas penangkapan ikan dari perairan pantai sampai daerah tubir tidak dapat dilakukan, sementara pada lokasi homali lainnya dapat dilakukan mengambil hasil laut tetapi dengan ketentuan yang dsebut mbeaka to sabaragau (kita tidak boleh berbuat sembarang atau bebas,, dilarang berkata-kata yang tidak sopan dan harus bersikap berhati-hati). Pada situs Saru-Sarua yang terletak di tanjung barat laut Pulau Kapota terdapat kepercayaan bahwa jika ikan berwarna merah tertangkap pancing pada areal karang perairan Saru-Sarua merupakan sinyal musibah. Jadi ketika menangkap ikan merah nelayan bersangkutan sudah harus meninggalkan lokasi tersebut. Sinyal ikan merah menjadi stimulus bagi aksi konservasi atas jenis ikan karang berwarna merah seperti ikan kakap (family Lutjanidae) dan sunu (Plectropomus Leopardus) untuk tidak tertangkap secara berlebih atau tidak menjadi target tangkapan, yang berarti secara langsung merupakan bentuk konservasi ekosisitem karang yang merupakan tempat sosialisasi ikan merah jenis kakap atau sunu.
5.2.7 Ika nu Sara Kelompok masyarakat adat Liya mengenal tradisi ikan nu sara (ikan milik sara). Ikan-ikan yang masuk dalam kategori tersebut tidak dapat ditangkap bebas. Jika ikan tersebut tertangkap oleh nelayan, maka harus dipersembahkan (sampe akone) kepada sara dan pemimpin kadie. Ikan napoleon (Cheilinus undulatus) diserahkan kepada Meantu’u Kontabitara (Kepala Sara), alu (Sphyraena barracuda) diserahkan kepada Meantu’u Liya (Bobato Kadie atau Lakina Liya). Tradisi itu merujuk pada karnaval adat hasil kebun dan laut yang disebut sampe’a pada musim panen. Sampe’a dilaksanakan di balai adat baruga, tempat yang biasanya dipakai 62
untuk musyawarah sara. Pesertanya para petani dan nelayan. Setiap peserta berlomba membawa hasil terbaik dari laut dan kebun untuk dipersandingkan dan diperbandingkan dengan hasil peserta lainnya. Peserta yang hasilnya sedikit harus membawa semua hasil tersebut kepada peserta yang hasilnya banyak. Event ini disaksikan oleh seluruh Sara Liya dan Meantu’u Liya. Ikan-ikan yang digunakan dalam tradisi sampe’a biasanya ikan-ikan yang disebut sebagai ika nu sara, dan langsung dipersembahkan kepada pembesar kadie meantu’u konta bitara dan lakina. Ika nu sara jarang tertangkap oleh nelayan karena populasinya yang kurang dibanding ikan-ikan lainnya seperti simba (Caranya sp). Nelayan tidak dapat menghindari kewajiban sampe’a (mempersembahkan) jika ika nu sara tertangkap alat tangkapnya tetapi karena kewajiban itu pulalah yang menyebabkan tidak seorangpun nelayan sengaja menjadikan napoleon (Cheilinus undulatus) dan alu (Sphyraena barracuda) sebagai ikan target tangkapan. Ikan napoleon sebagai ikan karang dilindungi dalam kawasan TNW karena tingkat ancaman kepunahannya tinggi (TNW 2008). Aktifitas penangkapan dan budidayanya tidak diizinkan dalam kawasan TNW. Sedangkan ikan alu ( Spyraena barracuda) adalah ikan pelagis yang berasosiasi dengan karang dan tidak dilindungi.
5.2.8 Pembatasan Alat Tangkap Nelayan Luar Nelayan luar kadie dapat melakukan kegiatan penagkapan ikan di laut kadie dengan pembatasan alat tangkap. Nelayan luar hanya boleh menggunakan alat pancing dan tidak dibolehkan menggunakan alat tangkap yang sifatnya menguasai suatu kawasan, bertahan lama dan memungkinkan pemilik senantiasa kembali ke lokasi tersebut untuk mengelola alat tangkapnya. Dengan demikian nelayan luar kadie tidak dapat memasang bubu dan ompo dan katondo pada laut kadie. Ini membuktikan apa yang disebut Satria (2009b) bahwa laut ada yang memiliki dan mengelolanya sekecil apapun tingkat pengelolaannya. Pengelolaan sumberdaya laut dengan sistem pembatasan input dari luar akan mengurangi persaingan dan konflik dalam wilayah kelola tradisional. 63
Meskipun pengertian nelayan lokal dan nelayan luar dalam sistem tradisional berbeda dengan terminologi nelayan luar dalam sistem zonasi TNW tetapi tujuan pemanfaatanya sama yakni untuk melindungi nelayan kecil. Nelayan luar dalam sistem tradisional adalah nelayan dari luar kadie sedangkan dalam sistem zonasi TNW yang dimaksud nelayan luar adalah yang tidak tinggal dalam kawasan Wakatobi atau bukan orang Wakatobi.
5.3 Pengelolaan oleh Adat dengan Pendekatan Alat Tangkap 5.3.1 Jenis Alat Tangkap Alat tangkap yang umum digunakan dalam masyarakat dan memiliki peraturan penggunaan adalah ompo (sero), polo (bubu), katondo, buani (jala), lamba dan kulu-kulu. Peraturan tersebut berhubungan dengan penggunaan wilayah yang mengikat pemilik alat dan nelayan lain. Disamping itu terdapat kepercayaankeparcayaan mulai dari pemilihan bahan, pembuatan, pemasangan yang berhubungan dengan waktu, sikap dan perilaku pemiliknya. Penggunaan akar tuba pada beberapa tempat dilarang karena bahan tersebut mengeluarkan racun yang membunuh ikan tanpa seleksi. Selain membunuh ikan, racun tuba dianggap membunuh aneka kehidupan biota mikro (siu-siu). Sarana bantu penangkapan ikan yang juga tidak diperbolehkan adalah penggunaan karung. Menurut kepercayaan masyarakat penggunaan karung akan membuat isi laut (biota) menjadi panta (terdegradasi) baik kualitas maupun kuantitas. Alat yang biasa digunakan untuk menampung hasil tangkapan atau menampung kerang-kerangan yang dipungut saat meti-meti adalah keranjang. Perbandingan peraturan penggunaan alat tangkap dalam sistem tradisional maupun yang diatur dalam zonasi TNW serta peraturan darah Kabupaten Wakatobi dapat dilihat pada tabel 4.
5.3.2 Ompo dan Tampora Ompo disebut secara umum sebagai sero, terbuat dari anyaman bambu dalam potongan bilah-bilah kecil seperti tirai, kira-kira memiliki lingkaran 2 cm tiap bilah. 64
Tabel 4 : Jenis dan Penggunaan Alat tangkap Nama Alat ompo (sero)/daerah pasang surut di daerah pesisir
polo (bubu)
Sistem Formal
Wilayah Penggunaan
Zonasi
Perda
Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie
pasang surut pesisir
alat tangkap yang diperbolehkan dalam zona pemnfaatan umum dan zona pemanfaatan local
Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)
pasang surut pesisir dan karang atol
hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata
Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)
Berhubungan dengan hak kelola atas wilayah pada nelayan atau kelompok nelayan lokal kadie
buani (jala buang)
pengait (kaikai/puria), suku (penusuk), tombak hulu besi (sakajoro), pontu (tombak hulu bambu, sarampa (tombak mata 2 atau lebih), sipada
Sistem Tradisional
pasang surut pesisir
tidak disebutkan
tidak disebutkan
Memiliki aturan penggunaan, penegakan oleh parika Pada wilayah tertentu tidak dapat digunakan kecuali musim ikan yang disebut lalo'a (musim boronang pada 12 13 bulan dilangit)
pasang surut pesisir
peralatan meti-meti
tidak disebutkan
peralatan meti-meti (siang dan menyuluh malam hari)
65
(parang ), jerat udang, kadepe (alat dari bambu untuk menyaring ikan)
alat pancing berbagai jenis
pesisir, karang atol dan laut dalam
hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata
Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)
Tidak dapat digunakan disekitar mulut (bagian depan) polo, ompo
Alat yang dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain Jaring Jaring dasar, perahu pelingkar
pesisir, karang atol dan laut dalam
hanya digunakan pada zona pemanfaatan lokal, zona pemanfaatan umum, tidak dapat digunakan dalam zona perlindungan bahari, zona pariwisata
jaring insang lingkar, gondrong, insang hanyut, insang tetap, lingkar ikan hias
Alat tangkap perairan laut kabupaten (4 mil dari daratan)
Tidak dapat digunakan disekitar mulut (bagian depan) polo, ompo, katondo dan lokasi buani
66
Penggunaan alat tangkap ompo adalah pada daerah pasang surut berpasir atau daerah padang lamun yang terpasang menyerupai pagar dari bilah atau tirai bambu, diikatkan pada tiang-tiang pancang kayu (bale) yang tertancap pada dasar laut untuk menguatkan posisi tegak anyaman bilah bambu. Lokasi pemasangan ompo disebut tampora di atur sara. Pengelolaan tampora diberikan kepada masyarakat. Ompo terbagi menjadi 4 bagian atau kamar dengan fungsi yang berbeda-beda. Ketinggian pagar bagian depan sebagai pintu masuk ikan diukur sebatas dada dari parika (pimpinan kelompok), pada bagian bunua besar yang berfungsi mengurung ikan dan pada bagian bunua kecil yang berfungsi membatasi ruang gerak ikan, ketinggian bilah bambu diukur sejajar mulut parika. Sedangkan pada bagian wutu (arti kata wutu adalah mengikat) berbentuk lingkaran berdiameter 1,5 – 2 meter dan berfungsi sebagai lokasi penangkapan ikan memiliki ketinggian bilah bambu satu jengkal melebihi tinggi badan parika. Panjang keliling ompo berkisar 250 – 300 meter. Bagian yang terbuka menghadap daratan (menganga) dengan jarak dari kaki kanan ke kiri sebagai pintu masuk ikan sekitar 90 meter. Makin ke arah laut (ke kamar bunua dan wutu) makin menyempit, sehingga ikan makin terkurung masuk. Jika ditarik garis lurus dari kaki kiri dan kanan bagian mulut (depan) ompo sampai ke pantai, daerah tersebut disebut lansano. Zona lansano kegiatan penangkapan ikan tidak diperkenankan baik menggunakan jaring, pancing, bubu atau kegiatan lainnya yang ditujukan untuk menangkap ikan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya tunga-tunga (meti-meti) yaitu memungut kerang-kerangan atau hasil yang bukan merupakan target alat tangkap ompo. Bagian wutu dari alat ompo berada pada bagian laut yang tetap tergenang meskipun laut surut. Ompo dikerjakan dan dimiliki oleh kelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang dipimpin seorang parika, seseorang yang memiliki keahlian teknis dan mistik yang biasanya diwarisi turun-temurun. Parika bagi anggota kelompok adalah henangkara artinya seseorang yang diikuti (panutan). Parika dengan kemampuannya menentukan kapan waktunya memasang ompo, ukuran pemotongan bambu yang akan dibuat bilah-bilah kecil dan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat melaut. Bilah bambu dianyam 67
menggunakan tali hutan hao yang diperoleh dari hutan kampung. Tempat menganyam biasanya halaman bante atau oa (pantai, pantai pelabuhan sampan). Bantea adalah rumah milik kampung dipinggir pantai yang berfungsi sebagai tempat bercengkerama para nelayan, tempat menyulam jaring, menganyam bubu dan menyimpan peralatan seperti layar, dayung dan tokong. Bentuk bantea seperti rumah biasa pada umumnya yakni memiliki atap miring berbentuk segitiga. Yang membedakan adalah lantai bantea terbuat dari bilah bambu atau papan menyerupai bangku yang berhadap-hadapan karena bagian tengah yang kosong langsung berlantai tanah berguna sebagai tempat menganyam bubu, mengiris kopra dan tempat lalu lalang dalam bantea. Pada masa menganyam ompo warga kampung atau orang-orang yang sedang berada dalam bantea sering ikut membantu. Oleh sebab itu ikan hasil panen pertama ketika ompo terpasang di laut tidak langsung dibagi oleh anggota kelompok pemiliknya tetapi dibagikan kepada masyarakat kampung yang membantu pembuatan, juga kepada pemangku adat, pimpinan kampung dan atau orang-orang tidak mampu. Ikan hasil tangkapan pertama disebut ika nu hao (ikan milik tali) maksudnya adalah ikan untuk mengganti jasa penggunaan tali utan hao pengikat bilah-bilah bambu ompo dimana tali tersebut diperoleh dari tumbuhan pada alam bebas (tanpa seorangpun menanamnya) yang ditemukan di wilayah kampung sehingga dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama. Wilayah tempat memasang ompo dikuasakan oleh sara sebagai wilayah kelola kelompok pemilik ompo atau tampora. Adat akan melindungi pengelolaan wilayah tersebut dari pemanfaatan pihak lain.Jika dalam jangka waktu lebih dari satu tahun,
pemilik ompo tidak lagi menggunakan tampora maka pengelolaan dapat
beralih ke tangan kelompok lain dengan lebih dulu memberitahu pengguna sebelumnya. Pemberian hak kelola oleh sara ditandai dengan prosesi pamanga te sara (jamuan makan untuk sara) dari ikan-ikan hasil tangkapan ompo. Prosesi jamuan makan dilakukan di sekitar laiga nu ompo (huma milik pemasang ompo) yang didirikan pada pantai (oa) terdekat dengan tempat pemasangan ompo. 68
Kewajiban pemilik ompo yang melekat pada pemberian hak kelola oleh sara adalah tanggung jawab menjaga adat (po’adati) yang melekat pada ompo misalnya larangan menangkap ikan oleh masyarakat umum pada zona lansano, menjaga wilayah dari kegiatan pencurian hasil laut oleh nelayan luar dan perusakan ekosistem. Anggota masyarakat lainnya tetap bisa mengakses wilayah sekitar ompo untuk mencari hasil laut dengan ketentuan po’adati dan tidak memasang alat yang sama secara berdekatan. Ukuran jauh atau dekat secara tradisional adalah mengikuti nama pantai atau nama lokasi. Misalnya jika seseorang telah diberikan hak untuk memasang ompo pada pesisir pantai Usuno maka orang lainnya hanya boleh memasang alat yang sama pada pesisir pantai lainnya. Ompo dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yaitu perairan pesisir dan karang atol, dan dalam ZPU, tetapi melihat kondisi dimana ZPU berada di perairan laut dalam maka alat tangkap ini tidak dapat digunakan pada ZPU. Penggunaan alat ini dalam sistem tradisional hanya digunakan pada daerah pasang surut perairan pesisir pulau, tidak digunakan pada daerah karang atol meskipun bagian-bagian atol memiliki kesamaan fisik dengan pesisir. Hal ini menegaskan keterkaitan ompo dengan pengelolaan ruang adat di pesisir kampung. Pola penggunaan alat berhubungan dengan hak pengambilan hasil perikanan atas wilayah penggunaan alat maka dalam sistem tradisional alat tersebut tidak dapat digunakan nelayan luar kampung dalam wilayah kampung lain.
5.3.3 Katondo Katondo sama dengan fungsi ompo tetapi terbuat dari batu yang disusun seperti benteng dan wilayah pemasangan alat tersebut jauh dari pantai yakni dekat tubir atau yi wiwi (wilayah pasang surut yang sudah berdekatan dengan laut dalam). Ikan-ikan kecil (awu) yang terperangkap dalam ompo harus dilepaskan. Katondo juga sering disebut bala watu (ompo dari batu). Bahan yang digunakan yakni batu karang sehingga tergolong yang tidak ramah lingkungan.
69
5.3.4 Lamba Lamba dalam kebudayaan masyarakat Wakatobi terbuat dari tali hutan yang sepanjang bentangannya digantungkan daun-daunan dengan fungsi membatasi pergerakan ikan. Penggunaannya dengan cara melingkari laut yang telah dipastikan sebagai tempat ikan berkerumun. Lalu kedua ujung tali digerak-gerakan sehingga ikan takut untuk keluar dari dalam lingkaran. Ika-ikan dalam lingkaran ditangkap dengan tombak. Saat ini lamba lokal sudah tidak ditemukan lagi, beberapa nelayan dari Bajo Lamanggau Kecamatan Tomia dan nelayan Bajo Sapuka dari Sulawesi Selatan menggunakan alat tangkap jaring redi dan menyebutnya sebagai lamba. Dalam Perda Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap, lamba termasuk alat tangkap yang dapat digunakan sedangkan jaring redi tidak diperkenankan. Jaring redi termasuk alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang dan dalam operasinya menangkap ikan tanpa seleksi. Dalam sistem tradisional lamba hanya dapat digunakan penduduk kadie dalam wilayah kadie sendiri, tetapi bahan, bentuk dan prinsip kerjanya berbeda dengan lamba yang dikenal saat ini. Lamba dalam sistem tradisional tidak digunakan dalam wilayah dimana sistem huma beroperasi.
5.3.5 Bubu Bubu merupakan alat tangkap tradisional dengan beragam adat pembuatan dan penggunaan yang tidak bisa dilanggar pembuatnya, mulai dari pemilihan bahan, pengukuran, pemotongan, pembuatan sampai pemasangan alat di laut. Bubu terbuat dari bambu yang dianyam seperti basket dengan mata paling kecil 2 jari dan paling besar 4 jari pemiliknya, dimaksudkan untuk menyeleksi ukuran ikan yang akan ditangkap. Bubu adalah alat tangkap utama pada sistem huma dan digunakan secara luas nelayan lokal di perairan pesisir kampung. Bubu juga menjadi indikator untuk membedakan nelayan lokal kadie dan bukan. Misalnya nelayan Bajo tidak memiliki tradisi pasang bubu. Secara ekonomi bubu merupakan alat penangkap ikan untuk konsumsi rumah tangga maupun dijual. Pengguna bubu adalah laki-laki, tetapi para janda yang 70
menanggung anak biasanya juga memiliki bubu. Untuk memasangnya di laut bubu milik para janda tersebut biasanya dititipkan pada nelayan para polo (pemasang bubu) laki-laki. Sebagai imbalannya pemilik bubu memberikan bekal makanan untuk nelayan tempatnya menitip. Dengan demikian fungsi sosial bubu adalah saling bantumembantu sesama masyarakat terlebih kepada yang tidak mampu seperti para janda yang merawat anak sebatang kara (single parent). Sumbangsih alat tangkap bubu terhadap konservasi terletak pada desain alatnya yang dapat menyeleksi ukuran ikan sehingga memberi kesempatan ikan-ikan kecil untuk berkembang biak dan penggunaannya sangat tergantung pada terumbu karang tetapi alat harus diletakkan di dasar laut yang rata, berpasir atau lamun dan tidak boleh menyentuh terumbu karang. Aspek pengaturan pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada alat ini adalah larangan bagi pengguna alat pancing dan jaring untuk melakukan kegiatan perikanan pada area depan bubu yang disebut sebagai mulut bubu, yakni pintu masuk ikan. Bubu juga tidak dapat dipasang pada laut disekitar ompo. Pengaturan pengelolaan perikanan seperti ini merupakan bentuk pengelolaan sumber daya laut yang melekat pada kearifan alat tangkap. Hal mana merupakan bentuk hak pengambilan hasil perairan pada nelayan yang bermanfaat bagi konservasi sumber daya hayati sebagaimana dijelaskan Satria (2009b) yakni mengurangi konflik karena adanya kejelasan batas ruang kelola, peningkatan pendapatan nelayan, adanya tanggung jawab nelayan untuk menjaga kelestarian area kelolanya dengan tidak melakukan penangkapan ikan secara berlebihan dan nelayan merasa menjadi subyek dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Bubu dalam sistem zonasi TNW dapat digunakan dalam ZPL yakni di daerah pesisir dan karang atol dan ZPU, tetapi ZPU berada pada laut dalam dimana penggunaan bubu tidak dimungkinkan. Dalam sistem tradisional, bubu hanya dapat digunakan oleh nelayan lokal kampung pada wilayah kampungnya karena alat ini termasuk kategori alat yang memungkinkan penggunanya mengelola suatu tempat dalam waktu lama dan berarti pengguna selalu akan kembali ke tempat pemasangan bubu. Alat tersebut juga dapat digunakan pada karang atol sebagai alat tangkap utama 71
dalam sistem hum. Dalam sistem zonasi TNW sebagian karang atol menjadi ZPB yang terlindungi dari berbagai jenis pemanfaatan karena fungsinya yang menjadi zona penyangga atau melindungi sumber daya hayati yang akan mendukung zona inti (ZI) dan zona pemanfaatan.
5.3.6 Buani Buani atau jala digunakan untuk menangkap ikan-ikan di pinggir pantai. Norma yang yang disepakati dan berkembang dalam komunitas nelayan pada alat tangkap ini adalah ketentuan yang berlaku pada tempat-tempat yang sudah menjadi kesepakatan untuk tidak dapat langsung menjala ikan meskipun pada saat tersebut ikan sudah berkumpul sebelum parika yang khusus bertanggung jawab atas wilayah tersebut memberikan aba-aba haa. Jika dilihat dari segi pengelolaan wilayah sumberdaya maka hal tersebut akan melindungi nelayan dari persaingan wilayah tangkap. Pada tabel 6 tentang jenis alat tangkap berdasarkan zoanasi TNW buani tidak tercantum, demikian juga dalam peraturan daerah Kabupaten Wakatobi tentang alat tangkap.
5.4 Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi 5.4.1 Pengelolaan dengan Sistem Zonasi Kesepakatan Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi dan Balai TNW dalam pengelolaan kawasan seluas 1,3 juta hektar tersebut mencakup dua fokus yakni : (1) zonasi sebagai bagian dari sistem tata ruang kabupaten, (2) pengelolaan ruang pada daerah peisisir dan laut untuk pembangunan daerah mengacu pada tata zonasi TNW. Sehubungan dengan hal tersebut Pemkab Wakatobi telah menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) yang memasukkan zonasi sebagai bagian dari sistem pengaturan ruang kabupaten. Demikian juga dalam Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor 149/V-KK tahun 2007 tentang revisi zonasi TNW memasukkan daratan pulau-pulau se-Wakatobi sebagai zona khusus daratan (ZK) dengan luas ± 46.370 Ha atau 3% luas kawasan. 72
Zonasi TNW hasil revisi terdiri dari ZI dengan luas ± 1.300 Ha, ZPB dengan luas ± 36.460 Ha, ZPr dengan luas ± 6.180 Ha , ZPL luas ± 804.000 Ha, ZPU dengan luas ± 495.700 Ha. Pengertian masing-masing zona adalah : a. Zona inti (ZI) adalah bagian taman nasional yang mutlak dilindungi. Berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati asli dan khas. b. Zona perlindungan bahari (ZPB) adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung ZI dan ZPL. c. Zona pemanfaatan lokal (ZPL) adalah zona yang dapat dimanfaatakan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyrakat sekitarnya atau hanya untuk masyarakat lokal. d. Zona pemanfaatan umum (ZPU) adalah zona yang diperuntukan untuk perikanan laut dalam dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara umum. e. Zona pariwisata adalah bagian taman nasional yang dimanfaatkan untuk pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya (TNW 2007). Pembagian wilayah dalam zonasi hasil revisi ditunjukkan gambar 4. Bagian yang diberi warna merah adalah ZI, ZPB ditunjukkan dengan bagian yang berwarna biru tua, ZPr ditunjukkan dengan bagian yang berwarna hijau. ZPL ditunjukkan dengan bagian yang berwarna coklat, dominan meliputi 62 % wilayah, sedangkan ZPU ditunjukkan dengan bagian yang berwarna hijau muda (meliputi ruang diluar warna coklat). Luas daerah larang tangkap yang ditunjukkan dengan warna merah (ZI), biru (ZPB), hijau (ZPr) meliputi 37% dan zona pemanfatan 64%. Pembagian wilayah dalam zona lama sesuai SK Dirjen PHPA Nomor. 198/Kpts/DJ/1997 tanggal 31 Desember 1997 ditunjukkan dalam gambar 5. Luas daerah larang ambil yang ditunjukkan dengan warna merah (ZI), biru (ZPB), hijau (ZPr) mencapai 78.38 %, sedangkan daerah pemanfaatan masyarakat (warna coklat) hanya 21.62 % dari luas kawasan.
73
Gambar 4 : Peta Zonasi baru TNW Sumber : Balai Taman Nasional Wakatobi
Gambar 5 : Peta zonasi lama TNW Sumber : Diolah dari Balai Taman Nasional Wakatobi
74
5.4.2 Proses Revisi Zonasi TNW Revisi zonasi yang dsepakati Direktorat PHKA dan Pemda Kabupaten Wakatobi tahun 2007 merupakan hasil dari proses panjang mulai dari penggalian gagasan pengelolaan TNW, monitoring dan survey sumberdaya alam, penggalian gagasan sumberdaya penting, konsultasi publik tentang pengertian dan manfaat zonasi, konsultasi publik menata ruang zonasi, konsultasi publik tingkat nasional dan sosialisasi hasil konsultasi nasional, yang berlangsung Maret 2004 – Desember 2006. Rekaman proses, materi, aspirasi dan hasil dapat dilihat pada Tabel 5. Dari proses ini dapat dilihat bahwa masyarakat berbicara dalam sudut pandang rasa memiliki sumberdaya alam, pengetahuan mereka akan manfaat kelestarian sumberdaya dan kepentingan hidup yang harus dilindungi. Hal ini sesuai dengan tujuan revisi yakni untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, melindungi sumber daya penting bagi kelestarian sumberdaya hayati dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (TNW 2008). Proses revisi zonasi TNW dilakukan melalui tahapan membangun presepsi pengelolaan taman nasional, monitoring sumberdaya, pengkajian efektivitas TNW yang dilakukan tim independen dari pemerintah, LIPI dan perguruan tinggi (IPB dan Unhalu). Tahapan berikutnya adalah kompilasi hasil survey monitoring sumberdaya biofisik kawasan dengan informasi dari pengalaman masyarakat yang menghasilkan peta lokasi sumberdaya hayati penting dan peta lokasi pemanfaatan kawasan (resource use). Informasi dari masyarakat tentang lokasi penting yang mereka ketahui berdasarkan pengalaman mereka dan lokasi pemanfaatan sumberdaya yang mencakup jenis pemanfaatan, pihak yang memanfaatkan didapatkan melalui dua kegiatan yakni monitoring langsung di laut dan diskusi mulai dari rumah, kelompok, kampung, desa, kecamatan, pulau dan kabupaten fokus mulai tahun 2005 – 2007. Peta sumberdaya penting dan lokasi pemanfaatan kemudian dikembalikan kedalam diskusi masyarakat mulai dari rumah, kelompok, kampung, desa, kecamatan, pulau dan kabupaten untuk mengkonsultasikan mana dari informasi dalam peta yang menurut masyarakat penting untuk dilindungi. 75
Tabel 5 : Proses Revisi Zonasi TNW Waktu dan Tempat
Maret 2004 Juli 2004, 5 kecamatan, 64 desa se Wakatobi, pada sekitar 190 titik tempat diskusi
Agustus Desember 2004
Proses
Diskusi kampung
FGD pengguna sumber daya di 64 desa
Materi
Pengelolaan kawasan dengan alat bantu lembar jurnal diskusi
Pengguna sumber daya, jenis penggunaan, lokasi dan hasil yang diperoleh
Peserta
Kelompok-kelompok masyarakat dalam unit kelompok lingkungan perumahan, dusun (peserta mulai dari 2 5 orang) tiap tempat
4 - 8 nelayan, pemerintah desa
Aspirasi
Hasil
Masyarakat lebih duluan/turun temutun mengelola kawasan, pemerintah berantasa bom, bius.
Jurnal pertemuan kampung berisi gambaran isu dominan dalam mayarakat kawasan dan informasi pihak (individu) yang selalu dominan dalam diskusi setiap kampong
Tidak mengetahui zonasi, tidak mengetahui pengelolaan taman nasional tetapi mengenal jagawana (polhut), mayoritas masyarakat tidak bisa membedakan taman nasional, perusahaan pariwisata laut (PMA) yang beroperasi di pulau Tomia bersamaan dengan pembentukan TNW tahun 1996 dan Operation Wallace di pulau Hoga
Peningkatan hasil, bantuan permodalan, peningkatan kapasitas
List name tokoh kampung untuk diskusi tingkat desa
Data pengguna sumber daya laut 64 desa, wilayah tangkap, jenis alat
76
List name berdasarkan penggunaan sumber daya laut untuk diskusi tingkat desa
Pelibatan kelompok/lembagalembaga kampung
Pertemuan desa
Penyebarluasan pengelolaan kawasan, pelestarian terumbu karang melalui kegiatan sekolah, kelompok nelayan, papan informasi
Isu bersama pengelolaan sumber daya laut di desa,
10 ksm di 4 pulau
Perlu pengetahuan biota yang dilindungi, kegiatan apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan masyarakat
Gambaran pola berkelompok, isu yang sering menjadi pembahasan (konsen) dan pengetahuan yang perlu ditingkatkan
Kepala desa dan aparatnya, dan nelayan, peserta 10 20 orang/tiap desa
Petugas taman nasional harus sering turun lapangan melakuka pengaman dan sosialisasi kepada masyarakat, bantuan untuk pemberdayaan nelayan, pengamanan melibatkan masyarakat
Rekomendasi untuk TN, sistem perwakilan, daftar nama wakil desa pada pertemuan pulau, daftar nama wakil pengamanan kawasan dari masyarakat desa
Sistem perwakilan pertemuan tingkat pulau, Agenda pertemuan tingkat pulau
77
Lokakarya pulau (kecamatan)
Prosentase isu-isu hasil kompilasi dikusi kampung, FGD, hasil monitoring survey biofisik dan resources use kawasan dan pengelolaan TN
3 orang tiap desa (kades, wakil pengaman, wakil nelayan)
Penanggulangan bom, bius, nelayan luar, taman nasional akan mengambil alih hak masyarakat, zonasi tidak diperlukan, masyarakat harus terlibat dalam pengelolaan dan pengamanan, kegiatan pemberdayaan
Lokakarya kabupaten
Pembahasan isu tiap pulau, program pemerintah daerah dan TN
Tiap pulau diwakili, camat, polsek, TNI, 5 - 6 wakil nelayan/perempuan, wakil kepala desa 3 tiap pulau, wakil DKP (pemda), Bappeda, AL, TNW masyarakat yang datang sukarela
Pegelolaan TN perlu melibatkan masyarakat, patroli bersama pemda, asyarakat dan TNW Revisi zonasi sehingga tidak merugikan masyarakat, pembentukan forum konsultasi ditiap pulau yang beranggotakan wakil nelayan tiap desa
Pembentukan fasilitator pulau
Kriteria fasilitator, kerangka acuan kegiatan
2 orang pulau Binongko, 3 orang pulau Tomia, 2 orang pulau kaledupa, 2 orang pulau WangiWangi
fasilitator berasal dari warga pulau bersangkutan
Januari 2005
Isu-isu yang akan diperjuangkan pulau pada pertemuan tingkat kabupaten, sistem perwakilan dalam pertemuan kabupaten terdidi dari wakil pemerintah kecamatan, perwakilan kepala desa, perwakilan nelayan/masyarakat (biasanya langsung menunjuk tokoh nelayan) Perencanaan pengelolaan kolaboratif, rencana peningkatan kapasitas wakil masyarakat nelayan, rencana revisi zonasi, rencana patroli bersama, rekomendasi pemberdayaan ekonomi masyarakat, rencana pembentukan forum konsultasi ditingkat pulau dan kabupaten Fasilitator pulau 2 orang dari Binongko, 3 orang Tomia, 2 orang Kaledupa, 2 orang Wangi-Wangi. Tugas fasilitator memfasilitasi pertemuan-pertemuan forum konsultasi, memasilitasi peningkatan kapasitas wakil nelayan dalam forum konsultasi, memfasilitasi dengan mitra peningkatakan kapasitas dari TNC/WWF
78
Februari Juli
Diskusi desa
lokakarya pulau (kecamatan)
Agustus Desember 2005
Pembentukan forum konsutasi, kegunaan dan tujuan
5-10 orang
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan
Anggota forum tingkat pulau wakil pulau dalam forum kabupaten 4 orang nelayan Binongko, 6 nelayan Tomia, 6 nelayan Kedupa, 6 nekayan Wangi-wangi, wakil pemerintah kecamatan, rancangan mekanisme forum
Pembentukan forum konsutasi pulau, mekanisme forum
Perception Monitoring
Penelitian sosial ekonomi, persepsi tentang TN, pengelolaan, pengamanan
Pertemuan Regular Forum Konsultasi kabupaten
pembuatan mekanisme forum, agenda kegiatan
Wakil desa dalam forum konsultasi
30 KK dan 10 desa
Pengamanan kawasan oleh TN, polisi dan pemerintah desa, peningkatan mata pencaharian,
35 orang wakil nelayan, pemerintah
Pelatihan-pelaihan peningkatan kapasitas, revisi zonasi forum harus berperan, SK (legitimasi) anggota forum dari TNW
60 % mengatakan perlu pengaman intensif TN, semua menginginkan pemerintah meningkatkan mata pencahrian masyarakat, memahami manfaat pelestarian tetapi sulit berperan langsung. Mekanisme forum, kegiatan forum dalam mebingkatkan kapasitas nelayan, mendorong pengelolaan kolaborasi, revisi zonasi yang melibatkan masyarakat, pertemuan regular forum pulau 3 bulan 1 kali, forum kabupaten 1 tahun 3 kali, forum independen sehingga tidak perlu SK
79
Pulau Hoga Kaledupa
Community Organizing, Analisis sosial, Marine protected area
25 orang tiap pelatihan utusan wakil-wakil nelayan dalam forum konsultasi tiap pulau
Pembentukan organisasi nelayan tiap pulau untuk memperkuat perjuangan nelayan
Peserta membentuk kelompok nelayan/revitalisasi kelompok dengan tiga indikator : aturan bersama, aset bersama dan cita-cita dan aktivitas yang seprofesi
Pengkajian efektivitas pengelolaan TNKW oleh tim independen PHKA, LIPI, IPB, UNHALU, PEMDA WAKATOBI, BTNW
Pengelolaan TNKW
Dilakukan tiap pulau dan kabupaten, peserta wakil masyarakat, pemerintah desa, camat, koramil, polsek, instansi terkait, DPRD
revisi zonasi, pemberdayaan masyarakat
Arahan revisi zonasi
Januari Maret 2006
Sosialisasi sumber daya penting kawasan hasil monitoring dan survey
Peta sumberdaya penting hasil monitoring survey dan informasi dari masyarakat
10 respondensetiap desa pada 64 desa
Perlindungan sumber daya penting
Perlu zona-zona perlindungan yang tidak diganggu
April September di 64 desa
Pengumpulan Pendapat Masyarakat dalam dokumen hasil Marxan tentang sumber daya penting
Peta hasil marxan, nilai penting sumber daya dan daftar pertanyaan sumber daya mana yang penting dilndungi
Titik-titik yang perlu dilindungi dan tidak
Cara melindungi adalah dengan zona perlindungan yang tidak diganggu, cara melindungi dengan membuat pos jaga, cara melindungi dengan membatasi alat tangkap tetapi tidak perlu ditutup
Pelatihan peningkatan kapasitas
10 respondensetiap desa pada 64 desa
80
Oktober November di empat pulau dimulai dari Binongko, Tomia, Kaledupa, WangiWangi
Desember di ibukota WangiWangi
2007, Februari
2007, MaretApril
Konsultasi publik zonasi tingkat pulau (gabungan kecamatan karena tiap pulau sudah mekar jadi 2 kecamatan)
Prosentase hasil sosialisasi sumber daya penting, hasil marxan, prosentase penegrtian zonasi, prosentase rencana pengembangan daerah oleh pemda
Wakil nelayan dalam forum konsultasi tiap desa, wakil pengamanan masyarakat, ketua BPD, kepala desa, forum nelayan tiap pulau
Zonasi harus disertai peningkatan kesejahteraan, jangan diterapkan sebelum dipahami, perlu tanda batas yang jelas, tdak mengorbankan hak-hak masyarakat yang ada turuntemurun
Sepakat belum membuat peta tetapi membuat kriteria zona : perlestarian sumber daya dan tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Memilih utusan untuk lokakarya kabupaten
Konsultasi publik tingkat kabupaten
Hasil lokakarya kabupaten, hasil sosialisasi sumber daya penting, hasil marxan
Wakil nelayan dalam forum konsultasi, kades, Camat, TNI, Polres, Bappeda, BTNW DKP, Dispar, Dishub, Sekretariat daerah
Dapat memahami manfaat zonasi tetapi sayaratnya tidak mengganggu kehidupan masyarakat nelayan
Draf peta zonasi hasil pleno
Konsultasi nasional
Peta hasil pleno kabupaten, aspirasi hasil pleno kabupaten
Pemda, BTNW PHKA, Tokoh masyarakat Wakatobi, Mahasiswa Wakatobi Jabodetabek
Pemerintah pusat menganggap zona inti terlalu sedikit (),3 %), pemerintah daerah dan BTNW mengatakan itulah hasil aspirasi masyarakat
Peta zonasi hasil revisi
Konsultasi publik tahap 2 tingkat desa/kampung
Hasil konsultasi BTNW dan Pemda dengan PHKA
Masyarakat, BPD, pemerintah desa
Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas.
Persetujuan peta dan perencanaan pemasangan tanda
Konsultasi publik tahap 2 tingkat pulau/kecamatan
Hasil konsultasi publik tingkat desa
Wakil nelayan dalam forum konsultasi tiap desa, wakil pengamanan masyarakat, ketua BPD, kepala desa, forum nelayan tiap pulau
Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas.
Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas.
81
Konsultasi publik 2 tingkat kabupaten
Juli 2007
Konsultasi publik tingkat nasional 2
Hasil revisi perlu disebarluaskan, pemasangan tanda-tanda batas.
Wakil nelayan dalam forum konsultasi, kades, Camat, TNI, Polres, Bappeda, BTNW DKP, Dispar, Dishub, Sekretariat daerah
Pelibatan masyarakat dalam pemasangan tanda-tanda batas
Pembentukan pos informasi zonasi ditingkat desa/kampung
Hasil konsultasi publik tingkat kabupaten
Pemda, BTNW PHKA
Zonasi menjadi bagian dari perda tata ruang kabupaten
Penanda tanganan revisi zonasi oleh Bupati Wakatobi dan Dirjen PHKA
82
Hasil diskusi peta dibahas dalam konsultasi publik tingkat pulau yang dihadiri perwakilan nelayan desa, tokoh masyarakat, kepala desa, BPD, pemerintah kecamatan, instanasi Pemda terkait yakni Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan, BAPPEDA dan unsur BTNW, Koramil dan Polsek. Hasil konsultasi berupa rancangan peta zonasi berdasarkan aspirasi tiap pulau dibawa dalam forum konsultasi tingkat kabupaten untuk didiskusikan.
Disamping
hasil
berupa
dokument,
konsultasi
pulau
juga
merekomendasikan orang-orang yang akan menjadi perwakilan pulau dalam konsultasi kabupaten terdiri dari unsur Muspika, perwakilan pemerintah desa dan nelayan. Draft peta hasil konsultasi publik kabupaten kemudian diberikan kepada BTNW dan Pemda Kabupaten untuk dikonsultasikan kepada stakeholders tingkat nasional. Hasil konsultasi nasional dikembalikan lagi ke daerah dan dilakukan konsultasi tahap 2 mulai dari desa, pulau dan kabupaten. Hasil akhir dibawa kedalam konsultasi nasional yang kemudian melahirkan kesepakatan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi yang ditanda tangani kedua belah pihak. Selain peta zonasi, hasil konsultasi nasional juga menguraikan kegiatan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan sesuai karakter masing-masing zonasi. Kesesuaian kegiatan berdasarkan zonasi ditunjukkan pada Tabel 6. Seperti diuraikan sebelumnya kegiatan-kegiatan sesuai zoanasi TNW banyak yang tidak tepat dengan kegiatan yang lazim dilakukan dalam sistem tradisional, misalnya penggunaan alat tangkap yang sesuai bentuk dan cara beroperasinya hanya memungkinkan dipergunakan pada perairan dangkap tetapi dalam sistem zonasi dicantumkan bahwa alat tersebut juga dapat digunakan pada ZPU yang secara fisik merupakan perairan laut dalam. Alat tangkap ompo, bubu, kegiatan meti-meti, memanah ikan secara umum hanya dapat dilakukan di perairan dangkal terutama pesisir kampung dan karang atol namun dalam sistem zonasi juga dicantumkan sebagai alat tangkap dan kegiatan dalam ZPU.
83
Tabel 6 : Kesesuain Kegiatan Berdasarkan Zonasi TNW Zona Inti
Zona
Zona
Zona
Perlindungan
Pemanfaatan
Pemanfaatan
Bahari
Lokal
Umum
Zona Pariwisata
Kegiatan
F
T
F
T
F
T
F
T
F
T
Mancing tradisional
x
ijin
x
v
v
v
v
v
x
v
Pancing dasar
x
ijin
x
v
v
v
v
x
x
v
Budidaya
x
x
x
v
v
ijin
v
x
x
v
Polo (bubu)
x
v
x
v
v
v
v
x
x
v
Ompo (sero)
x
x
x
v
v
ijin
v
x
x
v
kerang
x
x
x
v
v
x
v
x
x
v
Memanah ikan
x
x
x
v
v
v
v
x
x
v
laut)
x
ijin
x
v
v
v
v
x
x
x
Pemasangan rumpon
x
x
x
x
v
x
v
x
x
v
Perahu pelingkar
x
x
x
x
v
x
v
x
x
x
Bagan
x
x
x
x
v
x
v
x
x
x
Penelitian
ijin
ijin
ijin
v
ijin
ijin
ijin
v
ijin
v
Berlayar melintas
x
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Berlayar dan berlabuh
x
ijin
v
v
v
v
v
v
v
v
Wisata
x
ijin
ijin
v
ijin
ijin
ijin
v
ijin
v
Restorasi
x
ijin
v
v
v
v
v
v
v
v
Pendidikan
ijin
ijin
ijin
v
v
v
v
v
v
v
ijin
v
ijin
v
v
v
v
v
v
v
Menyelam
Meti-meti
teripang,
(mengambil
lobster,
biota
Upacara adat, ritual agama, situs sejarah dan budaya
Keterangan : F peraturan secara forma sesuai peruntukan zona T peraturan dalam sistem tradisional a. sistem formal X kegiatan yang tidak boleh dilakukan V kegiatan yang boleh dilakukan Ijin adalah kegiatan yang boleh dilakukan dengan mengajukan ijin ke Balai TNW.
84
b. Tradisi X kegiatan yang tidak pernah dilakukan selama ini, V kegiatan yang biasa dilakukan Ijin adalah kegiatan yang dapat dilakukan nelayan luar atas ijin pemilik fishery right adat .
5.5 Perbandingan Prinsip Pengelolaan Formal dan Tradisional Antara sistem tradisional dengan sistem formal TNW terdapat kesamaankesamaan baik bentuk dan tujuan pengelolaan meskipun juga terdapat perbedaanperbedaan. Prinsip-prinsip yang sama dan berbeda dalam pengelolaan dapat dilihat pada tabel 7.
5.6 Strategi Pengelolaan oleh Masyarakat Adat 5.6.1 Pemetaan Wilayah Kelompok Adat Pada saat ini kadie telah berkembang menjadi beberapa desa bahkan ada yang merupakan gabungan dari potongan-potongan kadie, contoh Desa Te’e Moane di Pulau Tomia wilayahnya berada dalam wilayah Kawati Tongano dan Waha. Dengan demikian tahapan pertama dalam merekonstruksi kearifan masyarakat harus dimulai dengan pemetaan wilayah kadie untuk tujuan mengetahui bentang wilayah dan batas kadie serta mengangkat pengetahuan masyarakat tentang potensi wilayah baik sosial maupun sumberdaya alam. Pemetaan dapat menjadi media untuk menyebarluaskan tujuan dan manfaat pengelolaan dengan sistem tradisional. Pencapaian misi komunikasi ini penting mengingat struktur masyarakat yang saat ini sudah merupakan percampuran generasi tua dengan pengetahuan tradisional dan generasi baru.
5.6.2 Peningkatan Pemahaman Pemerintah Tahapan setelah pemetaan adalah outreach dan awarenes pengetahuan tradisional tentang wilayah kepada pihak pemerintah. Kegiatan ini penting untuk meningkatkan pemahaman dan menghindarkan salah pengertian mengingat peran pemerintah sangat penting dalam proses pemulihan sistem tradisional. 85
Tabel 7 : Perbandingan Prinsip Pengelolaan Aspek Pengelolaan Regulasi
Sistem Formal
Sistem Tradisional
Analisis Persamaan
Analisis perbedaan
Pengaturan melalui SK Dirjen
Pengaturan melalui hukum adat
Prinsip pengaturan
Sistem formal pengambilan
PHKA tentang znasi, Perda
yang dikeluarkan sara
pemanfaatan
keputusan pengaturan berada di
Kabupaten dan Perdes DPL
luar komunitas, kecuali perdes DPL yang
Kelembagaan
Balai Taman Nasinal Wakatobi,
Sara Kadie
Pengelolaan terlebagakan
Pemerintah Daerah Wakatobi
Lembaga pengelola berada diluar kuasa komunitas pada sisitem formal tetapi pada sistem tradisional lembaga pengelola merupakan bagian dari komunitas.
Wilayah kelola
Pengaturan zonasi dalam skala luas
Pengaturan ruang dalam unit
Prinsip pengaturan
Pengaturan wilayah dalam unit
mengatur seluruh wilayah kepulauan
kecil yakni tiap kelompok
pemanfaatan
kuasa tiap kelompok adat yang
Wakatobi
wilayah adat kadie, berdasarkan
memiliki kewenangan
wilayah adat, zona penggunaan
mengatur sendiri.
alat tangkap. Memiliki zona inti (larang tangkap),
Memiliki zona pemanfaatan da
zona perlindungan bahari, zona
zona perlindungan (wehai, monea
memiliki hak kelola atas
pariwisata, zona pemanfaatan lokal,
nu sara dan pemali)
wilayah tertentu atas nama
zona pemanfaatan umum, zona
Pesisir kampung merupakan
adat. (2) zona pemanfaatan
khusus pulau
fishing right nelayan kadie, tetapi
yang hanya dikhususkan pada
nelayan luar diperbolehkan
nelayan lokal kampung dalam
dengan pembatasan alat tangkap
wilayah adat kampung pada
Pengaturan wilayah tangkap
(1) Nelayan/kelompok nelayan
86
Memiliki zona pemanfaatan
sistem tradisional sehingga ada
khusus kelompok pada jenis alat
perlindungan untuk nelayan
tangkap ompo, katondo.
dalam kampung yang memiliki
Memiliki zona pemanfaatan
kemampuan sarana perikanan
khusus dengan sistem huma atau
terbatas, sedangkan pada zona
loma untuk pengguna alat tangkap
pemanfaatan lokal TNW yang
polo (bubu)
dimaksud denga nelayan lokal adalah nelayan lokal seluruh Wakatobi.
Alat tangkap
Pelarangan alat tangkap yang
Pelarangan penggunaan tuba,
Pelarangan penggunaan
Alat bantu penangkapan seperti
merusak seperti bom, bius, dan
pandita (tidak pada semua
peralataan tangkap yang
wadah pengumpul diatur
kegiatan perusakan ekosistem
wilayah adat), bom dan
merusak
penggunaan alat bantu penangapan yang tertutup seperti karung. Penggunaan alat tangkap
Penggunaan alat tangkap
Pengatura alat tangkap
Pada sistem formal pengaturan
berdasarkan zonasi
berdasarkan zona kelompok
berdasarkan zonasi (wilayah)
berlaku umum dalam satuan
pengguna alat
wilayah seluruh Wakatobi, dalam sisitem tradisional berlaku setiap satuan wilayah adat dan kelompok pengguna misalnya penggunaan alat apapun disekitar alat tangkap ompo tidak dibenarkan.
87
Pemanfaatan biota laut
Tidak membolehkan pengambilan
Ikan napoleon, barakuda, kurapu
Pembatasan pengambilan
Pembatasan pengambilan biota
biota yang dilindungi undang-
dan ikan putih disebut ikan nu
biota laut tertentu
mengacu pada alat dan alat
undang.
sara sehingga nelayan tidak
bantu penangkapan
menangkap ikan tersebut sebagai target. Pengambilan biota laut tidak diperkenankan menggunakan wadah tertutup seperti karung Sanksi
Sanksi peringatan dan hukum
Sanksi sosial dan hoko da o
Terdapat sanksi berdasarkan
Sanksi sosial yang
hukum terhadap pelaku
diberlakukan masyarakat atas
pelanggaran
pelaku
88
5.6.3 Musyawarah Kadie dan Antar Kadie Musyawarah kadie dilakukan untuk menyamakan presepsi antara masyarakat yang sudah terbagi-bagi dalam wilayah administrasi pemerintahan desa yang berbeda-beda. Kemungkinan adanya nilai baru seperti ego desa bisa saja terjadi mengingat kuatnya kepentingan ekonomi dan politik aktor lokal dari masing-masing desa. Dengan demikian musyawarah kadie efektif untuk menyepakati nilai-nilai yang akan direvitalisasi dan pelembagaan yang tidak tumpang tindih dengan peran lembaga desa atau tidak mengganggu posisi politik pejabat-pejabat desa. Hasil musyawarah kadie akan menguatkan peta wilayah, narasi kearifan yang dituangkan dalam bentuk profil kearifan tradisional kadie. Kesepakatan kadie kemudian ditindak lanjuti dengan musyawarah antara wakil-wakil kadie yang akan berguna engidentifikasi dari awal persoalan-persoalan batas wilayah dan pembuatan agenda strategi perjuangan bersama.
5.6.4 Musyawarah Kolaboratif Pada level ini wakil kelompok masyarakat adat dan pemerintah duduk bersama untuk membangun persepsi yang sama mengenai persoalan substansi kolaborasi sebagaimana yang dimaksud Widodo dan Suadi (2005) sebagai pendekatan ruang pembagian tugas dan tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan. Melihat proses yang dikonstruksi dalam penelitian ini, model kolaborasi yang akan dibangun adalah kolanorasi sistem bukan kolaborasi aktor-aktor yang berada dalam kawasan. Kolaborasi sistem adalah penyelenggaraan pengelolaan kawasan yang mengakomodir sistem tradisional masyarakat lokal yang karena latar belakang historis dikenal pemilik property right atas kawasan berupa hak ulayat sesuai sistem adatnya. Musyawarah kolaborasi pada level ini penting mengingat masih adanya kesenjangan pengelolaan pada wilayah atol (pasi) Kaledupa dan Kapota dimana sebagian wilayah kelola tradisional sistem huma tersebut masuk dalam wilayah ZPB, wilayah Kadie Mandati yakni sebagian Karang Sousu menjadi ZPr dan sebagian 89
Karang Matahora menjadi ZPB. Hasil yang diharapkan dalam tahapan ini adalah kesepakatan konservasi yang dapat meliputi : a. Peengelolaan dalam wilayah kadie dilakukan dengan sistem adat kadie. b. Pembagian peran kelompok masyarakat adat dan pemerintah dalam pengelolaan wilayah tangkap tradisional yang dimanfaatkan masyarakat lintas kadie seperti di atol Kaledupa, Kapota, Moromaho sehubungan dengan karang atol tersebut sebagian menjadi ZPB dan ZPr. c. Legitimasi pengelolaan berdasarkan adat kadie oleh pemerintah. Melihat faktanya bahwa sebagian besar wilayah adat kadie adalah ZPL maka secara operasional pengaturan adat atas wilayah tersebut seharusnya dapat dilakukan. Teori-teori desentralisasi dan perundang-undangan seperti UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau keci, Undang-Undang Perikanan dan zonasi TNW sendiri merupakan justifikasi terhadap pengaturan dengan kearifan adat.
5.6.5 Proses Legalitas Status hukum kesepakatan pengelolaan dengan kearifan adat dalam kerangka kolaborasi pengelolaan TNW sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah agar menjadi kepatuhan bagi semua pihak termasuk pihak-pihak pengguna sumberdaya seperti nelayan luar dan pengusaha.
5.6.7 Strategi Pengelolaan Strategi pengelolaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah kolaborasi sistem formal dan sistem tradisional. Kolaborasi sistem yang dicapai melalui perpaduan sistem hukum adat dan hukum negara ialah apabila sumber daya tidak diatur dalam adat maka hukum negara dapat mengisi pengaturannya. Sebaliknya pada wilayah yang memiliki kearifan adat maka hukum adat yang mengaturnya. Apabila sistem formal dan sistem tradisional sama-sama dapat berfungsi maka pada operasionalnya mengutamakan hukum adat karena kearifan
90
lokal tersebut sesuai pengetahuan, kondisi, pengalaman dan sejarah masyarakat (Uluk et al 2001). Seperti dijelaskan pada bagian awal bahwa Kepulauan Wakatobi menjadi taman nasional sekaligus kabupaten dan secara historis merupkan wilayah adat dari kadie-kadie, pada saat ini secara kelembagaan pengurus kawasan adalah TNW dan Pemkab Wakatobi. Sedangkan peranan kelembagaan adat pudar seiring melemahnya peran lembaga sara kadie. Tetapi dalam praktek hidup sehari-hari sumber daya milik kadie seperti tanah, hutan dan laut tetap dianggap milik sara merupakan justifikasi pemilikan bersama masyarakat desa atau gabungan desa bekas wilayah kadie. Pada beberapa kasus pengurus atau penegak prinsip-prinsip sumberdaya milik sara adalah pemerintah desa atau gabungan pemerintah desa bekas kadie atas nama sara. Model pembuatan keputusan untuk kasus semacam itu adalah musyawarah bersama diwakili kepala desa, kepala kampung dan tokoh-tokoh masyarakat. Contohnya isu alih fungsi tanah adat untuk bangunan pemerintah pada bekas kadie Liya maka 5 kepala desa menfasilitasi pertemuan musyawarah adat yang dihadiri tokoh-tokoh adat dan masyarakat untuk membahasnya. Tempat musyawarah balai adat kadie yang disebut baruga, tempat yang pada masa sara kadie digunakan hanya untuk musyawarah sara. Kebiasaan representasi diri (dari pemerintah desa) dan tokoh-tokoh masyarakat sebagai sara seperti ini terjadi setelah secara kelembagaan sara kadie bubar tahun sekitar 1970. Keputusan musyawarah bersama tersebut disebut peraturan adat. Untuk mengetahui kondisi kelembagaan dalam kawasan TNW saat ini dapat dilihat dalam tabel 8 yang menguraikan peran penting tiga komponen institusi yang memiliki kewenangan dalam kawasan TNW saat ini yaitu Pemkab, TNW dan sara kadie. Batas yurisdiksi kadie, Pemkab (melalui desa) dan TNW (melaui SPTN) sebagai berbeda-beda baik wilayah maupun kewenangan.
91
Tabel 8 : Analisis Kelembagaan Lokal Aspek Kelembagaan
Wilayah
Batas yurisdiksi
Kadie 1 kadie sekarang terdiri dari desa dengan wilayah mulai dari darat, daerah coastal dan pulaupulau pendukung dan daerah coastalnya.
Pemerintah daerah (Desa) Wilayah desa terdiri dari darat dan pesisir
Wilayah desa terdiri dari wilayah darat saja
TNW (SPTN)
1 STPN mengelola pulau utama meliputi daerah coastal, laut dalam dan karang atol
Kewenangan
Menentukan aturan, mengeluarkan izin, menegakan sanksi
Menjalankan peraturan daerah, instruksi atasan, membuat perdes bersama BPD
Pengawasan, monitoring, penegakan hukum
Apa
Sumberdaya milik komunal
Sumberdaya milik negara dan milik mperorangan
Sumberdaya milik negara
Siapa
Secara formal dimiliki sara
Pemerintah dan perorangan
Pemerintah mewakili negara
Siapa
sara
Pemerintah desa
SPTN
Berwenang membuat hukum adat pengelolaan sumberdaya alam, patuh pada sara kerajaan
Layanan administrasi kegiatan warga, membuat perdes, menjalankan peraturan daerah dan instruksi atasan
Menjalankan peraturan pengelolaan TNW
Property right
Rule of game
Peran
Kadie yang saat ini terdiri dari beberapa desa memiliki kewenangan membuat aturan dan menegakkannya, sama dengan desa tetapi batas kewenangan desa hanya dalam wilayah desanya. Artinya jika desa tersebut hanya merupakan salah satu dari beberapa desa yang merupakan bekas wilayah kadie maka aturan desa tentu tidak berpengaruh pada desa lainnya. Kesulitannya adalah sangat mungkin akan terdapat aturan yang berbeda-beda untuk sumberdaya alam yang dimiliki bersama kelompok adat kadie akibat pembuat aturan adalah desa yang berbeda-beda.
92
Baik kadie, desa dan SPTN sebagai unit pengelola wilayah terkecil memiliki kewajiban menjalankan aturan dari instansi di atasnya, tetapi hal yang membedakan adalah SPTN tidak memiliki wewenang membuat aturan sebagaimana kadie dan desa. Selain gap yurisdiksi, secara nyata terdapat 3 pihak yang memiliki peranan dalam pengelolaan dengan tugas dan kewenangan-kewenangan yang berbeda. Gap ini tidak dapat diselesaikan dalam tingkat desa atau kadie. Kasepakatan yang harus dibangun pada level kabupaten adalah antara kadie (mewakili wilayah adat dan gabungan desa dalam wilayah kadie) dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi, BTNW/PHKA atau Menteri Kehutanan sebagai pihak yang membuat keputusan penetapan taman nasional. Isi kesepakatan adalah tentang prinsip pengelolan TNW yang diadopsi dari sistem formal dan sistem tradisional.
93