28
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP 5.1.1 Latar belakang mekanisme pembayaran jasa lingkungan air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki potensi untuk pengembangan jasa lingkungan air. Berdasarkan penelitian Darusman (1993), nilai manfaat air yang disediakan TNGGP sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. USAID (2009) menyatakan pengembangan potensi TNGGP harus segera dilakukan. Hal ini dikarenakan tingginya laju pertumbuhan penduduk di sekitar taman nasional. Selain itu, di bagian hilir membutuhkan air dalam volume yang lebih banyak dengan kualitas yang sesuai untuk air minum. Kecenderungan permintaan air yang lebih tinggi ini berdampak bagi kelestarian ekosistem hutan sebagai sumber airnya. Pemanfaatan jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP masih belum memberikan kontribusi bagi kawasan. USAID (2006) menyatakan pada kenyataannya, upaya memelihara kawasan hutan sebagai penghasil jasa lingkungan air akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan konstruksi air. Selain itu, belum ada kebijakan, strategi dan aksi nyata dalam pengelolaan air yang lebih menghargai peran kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (USAID 2006). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan persepsi diantara para pihak. Para pemanfaat jasa (air) beranggapan telah memberikan kontribusi kepada pemerintah melalui pajak daerah. Berdasarkan PP Nomor 65 tahun 2001, pasal 34 (1) dan (2), disebutkan bahwa subyek dan wajib pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan (DPR RI 2001). Pemanfaatan air yang dilakukan di kawasan konservasi seharusnya tidak termasuk pada kontribusi pajak daerah, melainkan kontribusi untuk kegiatan konservasi.
29
Jasa lingkungan air juga belum dinilai secara bijak oleh para pemanfaat air yang ada di sekitar TNGGP. Hal-hal tersebut kemudian mendasari adanya pertemuan yang difasilitasi oleh dinas PSDA. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pemanfaat air dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, diambil kesimpulan bahwa Pemerintah Daerah akan mengambil kontribusi berupa pajak ketika pemanfaat air mengambil air melalui sumur bor dan berada di luar kawasan konservasi. Pembangunan komitmen para pemanfaat air di sekitar kawasan TNGGP dimulai dengan kegiatan inventarisasi pemanfaat air. Selanjutnya, dilakukan pertemuan-pertemuan untuk membangun komitmen para pemanfaat. Namun, hal tersebut belum sampai pada rancangan mekanisme insentif. Balai Besar TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP memiliki harapan dan keinginan untuk mengajak peran serta pemanfaat jasa lingkungan untuk melakukan upaya konservasi kawasan TNGGP. Sesuai dengan surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008 tentang pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi, bahwa UPT taman nasional dapat melakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air dari dalam kawasan melalui kerjasama dengan mitra kerja (Dirjen PHKA 2008). Selain itu, Balai Besar TNGGP tidak dapat mengelola insentif dari para pemanfaat air. Hal-hal tersebut kemudian mendasari pembentukan suatu badan atau lembaga independen. Badan atau lembaga ini nantinya akan mengelola insentif dari para pemanfaat jasa lingkungan TNGGP khususnya air. Proses pembentukan badan atau lembaga ini difasilitasi oleh USAID dan RCS.
USAID
melalui
Environmental
Services
Programme
(ESP)
mengembangkan program watershed management. Salah satu program watershed management tersebut adalah membangun sebuah kelembagaan dalam pengelolaan jasa lingkungan air. Proses pembentukan lembaga independen tersebut diawali dengan menginventarisasi ulang para pemanfaat air di sekitar TNGGP. Selanjutnya, dilakukan pertemuan dengan para pemanfaat jasa lingkungan air yang berada di sekitar kawasan TNGGP. Pada tahap ini, dilakukan sosialisasi mengenai rencana pembangunan insentif pengembangan jasa lingkungan air di kawasan TNGGP.
30
Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa masukan dari para pemanfaat air untuk Balai Besar TNGGP (Lampiran 7). Pertemuan ini juga menghasilkan komitmen dari para pemanfaat air untuk membentuk sebuah forum. Forum ini diharapkan dapat menjadi media koordinasi dan komunikasi antara para pemanfaat air dan Balai Besar TNGGP. Tahap selanjutnya adalah pembentukan kelompok kerja di masing-masing wilayah administrasi TNGGP. Setelah kelompok kerja dibentuk, dilakukan pemetaan terhadap bak penampungan air dan perusahaan pemanfaat air. Setelah peta penyebaran pemanfaat air dibuat, para pemanfaat air TNGGP membentuk Forum Peduli Air (Forpela) TNGGP. Keanggotaan Forpela TNGGP terdiri dari beberapa unsur. Pasal 12 dalam AD/ART Forpela TNGGP menyebutkan bahwa anggota Forpela TNGGP adalah pemanfaat air yang terdiri dari lembaga/perusahaan/lapisan masyarakat yang berkepentingan terhadap pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. Selain itu, anggota Forpela TNGGP juga dapat berasal dari kalangan profesional, pemerhati, dan pihak lain yang peduli terhadap pemanfaatan jasa lingkungan air. 5.1.2 Penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan air Nilai pembayaran jasa lingkungan air dapat ditetapkan melalui beberapa cara. Pada umumnya, nilai pembayaran jasa lingkungan air ditetapkan berdasarkan nilai ekonomi air. Penghitungan nilai air dapat dilakukan melalui pendekatan valuasi air atau perhitungan debit. Fauzi (2006) menyatakan, pendekatan yang biasa digunakan untuk menghitung nilai air bersih atau irigasi adalah metode kontingensi. Lebih lanjut lagi, Fauzi (2006) menjelaskan, metode kontingensi menghitung nilai air dengan mengukur kesediaan konsumen untuk membayar (Willingness to Pay). Willingness to Pay (WTP) adalah jumlah maksimal seseorang bersedia membayar untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Sisi lain dari WTP adalah Willingness to Accept (WTA). Willingness to Accept adalah jumlah minimum pendapatan seseorang bersedia menerima penurunan kualitas lingkungan. Besaran WTA dapat mencapai 2-5 kali lebih besar dibandingkan WTP.
31
Selain metode kontingensi, nilai air dapat dihitung berdasarkan debit dan tarif air permukaan. Berdasarkan Perda Jawa Barat Nomor 6 tahun 2002, nilai perolehan air permukaan ditetapkan sebesar Rp 500/m3. Nilai tersebut jika dikalikan dengan jumlah air yang mengalir, akan menghasilkan nilai ekonomi air. Sutopo (2011) menyebutkan perusahaan-peusahaan AMDK di sekitar Tangkil dan Cinagara bersedia untuk membayar jasa lingkungan (WTP) sebesar Rp 1.538,65/m3 dan kesediaan masyarakat menerima PJL sebesar Rp 1.589,29/m3. Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97/m3. Nilai rataan tersebut dapat digunakan sebagai dasar perhitungan pembayaran jasa lingkungan. Forpela TNGGP dengan BB TNGGP tidak memakai metode valuasi ekonomi dikarenakan ingin membuat sebuah konsep partisipatif. Konsep ini mendorong anggota khususnya untuk mau memberikan kontribusi. Jika Forpela TNGGP memakai konsep perhitungan debit dan nilai ekonomi air dengan memaksakan pembayaran kepada para pemanfaat, dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan sumberdaya air. Para pemanfaat akan menekan jumlah air yang seharusnya disediakan kawasan untuk pemenuhan kebutuhan usaha maupun rumah tangga. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, maka proses partisipasi yang diharapkan tidak akan terjadi. Nilai pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota Forpela TNGGP. Forpela TNGGP mencoba membangun inisiatif para pemanfaat untuk memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Nilai kontribusi tersebut kemudian ditetapkan sebagai iuran pokok dan iuran wajib anggota. Besaran nilai iuran tersebut tersaji pada Tabel 11.
Tabel 11 Nilai iuran pokok dan iuran wajib keanggotaan Forpela TNGGP Pemanfaat Air Iuran Pokok*) Iuran Wajib**) Komersial Rp 500.000-5.000.000,Rp 50.000-200.000,Non-Komersial Rp 50.000-200.000,Rp 20.000-100.000,Keterangan : Tanda *) menyatakan bahwa iuran ini dibayarkan satu bulan setelah menjadi anggota Forpela TNGGP; tanda **) menyatakan bahwa iuran dibayarkan anggota setiap bulan (USAID 2009).
Besarnya nilai kontribusi yang diberikan para pemanfaat tergantung pada kondisi, sifat pemanfaatan, dan kebijakan perusahaan/instansi. Pemanfaat
32
komersial
merupakan
perusahaan-perusahaan
maupun
instansi
yang
memanfaatkan air untuk keperluan usaha (Lampiran 8). Pemanfaat non komersial merupakan masyarakat desa yang memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian. Kontribusi dari masing-masing pemanfaat dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah kontribusi dari masing-masing pemanfaat air No. 1
Pemanfaat Air PT Rejosari Bumi
Iuran Pokok Rp 6.000.000
2 3 4
PT Pacul Mas Tani BPKH Cinagara STPP Cinagara
-
5 Pusdiklat Karya Nyata Sumber: Data diolah (2011)
-
Iuran Wajib Rp 6.000.000/ tahun Rp 600.000/ tahun Rp 200.000500.000/tahun -
Keterangan Sampai tahun 2011 Belum berpartisipasi Tahun 2007-2009 Tahun 2007- 2009 Belum berpartisipasi
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa pemanfaat air yang belum memberikan kontribusi. Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan. Sebagai contoh, STPP Cinagara merasakan kesulitan untuk memberikan kontribusi karena tidak memiliki anggaran khusus untuk pembayaran iuran keanggotaan. STTP Cinagara menggunakan air dari kawasan TNGGP untuk keperluan rumah tangga instansi. PT Pacul Mas Tani menolak memberikan kontribusi selama tidak ada kegiatan dan upaya konservasi yang jelas dari Forpela TNGGP. Selain pemanfaat komersial, terdapat pula pemanfaat non komersial yang berasal dari masyarakat. Masyarakat melakukan pembayaran iuran melalui kelompok tani atau perangkat desa. Besarnya iuran dari masyarakat dan peruntukannya tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Besaran, pengelolaan serta peruntukan iuran yang ada di masyarakat Pemanfaat
Masyarakat desa Tangkil
Besarnya Iuran Rp 15.000,-/bulan Rp 15.000,- atau 5 kg gabah atau 2,5 kg beras/4 bulan (pasca panen) Rp 5.000,-/bulan
Masyarakat Rp 1.000,-/bulan desa Cinagara Sumber: Data diolah (2011)
Pengelola KT Garuda Ngupuk KT Garuda Ngupuk
Perangkat desa (ulu-ulu) Kelompok sanitasi
Peruntukan Pengelolaan mikro hidro Pengelolaan saluran air Bojong, Cioray, dan Jogjogan Perawatan saluran air Pemeliharaan WC umum
33
Pada umumnya masyarakat membayarkan iuran seperti yang ada pada Tabel 13. Iuran-iuran tersebut kemudian dikelola untuk masing-masing peruntukan. Pengelolaan iuran seperti yang terdapat di Tabel 13 tidak dilakukan oleh Forpela TNGGP melainkan langsung dikelola masyarakat melalui kelompok tani/lainnya. Berdasarkan pernyataan keuangan Forpela (2010) menyebutkan bahwa jumlah dana kompensasi yang terkumpul sampai tahun 2010, tercatat Rp 8.000.000. Pernyataan keuangan Forpela tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Pemasukan dan pengeluaran Forpela TNGGP Tahun Pemasukan Pengeluaran 2009 40.000.000 18.500.000 2010 8.000.000 12.000.000 Sumber: Pernyataan keuangan Forpela TNGGP tahun 2009 dan 2010
Saldo 21.500.000 17.000.000
Tabel 14 menunjukkan pemasukan dan pengeluaran Forpela TNGGP antara tahun 2009-2010. Dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. 5.1.3 Skema pembayaran jasa lingkungan air Pada tahun 2006, ESP-USAID bekerjasama dengan BB TNGP dan RCS melakukan inisiatif pengembangan program skema jasa lingkungan (PES) di kawasan TNGGP. Skema ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya air melalui pengembangan kemitraan dengan para pemanfaat jasa lingkungan air disekitar kawasan konservasi untuk mendukung konservasi berkelanjutan (Forpela 2009). Skema pembayaran jasa lingkungan air diawali dengan pengumpulan dana kompensasi dari para pemanfaat air oleh Forpela TNGGP. Pemanfaat-pemanfaat air berperan sebagai pembeli jasa lingkungan air (buyer). Forpela TNGGP berperan sebagai perantara (intermediary) dalam mekanisme ini. Forpela TNGGP mencari informasi, bernegosiasi dengan pihak lainnya dan menyelesaikan proses transaksi dengan pihak-pihak terkait. Skema pendanaan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan di kawasan TNGGP tersaji pada Gambar 6.
34
Pemanfaat Air dari kawasan TNGGP
Perusahaan Swasta Instansi Pemerintah
Iuran Pokok dan Iuran Wajib; In-kind CSR
Masyarakat
Forum Peduli Air TNGGP (Dewan Eksekutif dan Korwil)
ESP, RCS, BB TNGGP
Program Kerja
Kegiatan Rehabilitasi dan Konservasi kawasan
BB TNGGP
Kolaborasi Program
Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
ESP, RCS, YBUL, Mapala UI
Keterangan: Alur Pendanaan - Fasilitasi
KT Garuda Nupuk, KT Saluyu, KSM Cinagara Asri
Gambar 6 Skema pendanaan jasa lingkungan air di TNGGP. Gambar 6 menunjukkan dana kompensasi berasal dari iuran pokok, iuran wajib, dan in-kind CSR dari para pemanfaat air yang dikumpulkan melalui Forpela. Dana kompensasi tersebut kemudian digunakan untuk menjalankan program kerja yang telah disepakati. Program kerja yang disepakati terbagi menjadi tiga komponen pokok. Komponen-komponen tersebut adalah kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan taman nasional, kolaborasi program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa penyangga. Selain itu, dana tersebut juga digunakan untuk administrasi dan manajemen Forpela TNGGP. Secara
bertahap,
BB
TNGGP
dan
ESP-USAID
mengembangkan
mekanisme pembayaran jasa lingkungan untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan TNGGP (USAID 2006). Skema pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di kawasan TNGGP ditunjukkan pada Gambar 7.
35
Hutan dan lahan masyarakat
Memperbaiki kualitas air, mengurangi sedimentasi
PDAM, perkebunan, pabrik, hotel, masyarakat hilir, wisatawan
user fee, in-kind/ Rehabilitasi, restorasi, praktek pertanian ramah lingkungan
MoU, Perda, Perbup,
pengurangan pajak, donor ($$)
Perdes
Kegiatan : kepastian Pemilik/pengelola hutan/BB TNGGP/jaringan masyarakat DAS/LSM
CSR,
hak kelola masyarakat, pelatihan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
Fund raising
M&E
Komite Para Pihak TNGP, Forum DAS administrasi
TA
kampanye, patroli
Sumber: RCS (2008)
Gambar 7 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP. Gambar 7 menunjukkan bahwa skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP dimulai dari adanya peranan dari lahan masyarakat hulu dan hutan (kawasan TNGGP) untuk memperbaiki kualitas air dan mengurangi sedimentasi. Jasa air tersebut dimanfaatkan oleh para pemanfaat air. Selanjutnya, dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk melakukan kegiatan maupun program kerja seperti pada Gambar 6. Para pihak seperti BB TNGGP dan masyarakat yang berada di wilayah hulu melakukan upaya rehabilitasi, restorasi dan praktik pertanian ramah lingkungan. Hal ini dilakukan untuk menjaga peranan dari lahan masyarakat hulu dam hutan (kawasan TNGGP). Hubungan dan kesepakatan para pihak terhadap pembayaran jasa lingkungan air diatur dalam MoU dan kesepakatan lainnya. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan taman nasional meliputi kegiatan seperti pengamanan kawasan patroli dan penanaman. Kegiatan ini merupakan penerapan rencana kerja yang disepakati. Selain itu, dibuat juga pembibitan tanaman-tanaman endemik yang ada di TNGGP, seperti rasamala
36
(Altingia excelsa) dan puspa (Schima walichii). Pusat pembibitan ini berada di desa Pancawati. Taman pengembangan
Nasional skema
Gunung
Gede
pembayaran
jasa
Pangrango lingkungan
(TNGGP) air
yang
memiliki berbeda.
Pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan air dilakukan pada tingkat taman nasional. Pengembangan tersebut belum mencapai pada tingkatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Empat DAS yang berhulu di kawasan TNGGP masih tergabung dalam satu skema pembayaran jasa lingkungan air yang sama. Hal ini dapat menimbulkan dampak berbeda jika dilihat dari karakteristik dan urgentitas pengelolaan masing-masing DAS. Selain itu, hubungan yang dibangun dari skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP belum mencakup hubungan hulu-hilir dalam arti luas. Hal ini dikarenakan penyedia maupun pemanfaat air dari kawasan TNGGP masih berada dalam ruang lingkup wilayah hulu dari suatu DAS. Pemanfaat air merupakan para pihak yang memanfaatkan air secara langsung dari kawasan taman nasional. Di lokasi lain, pembayaran jasa lingkungan air di DAS Cidanau misalnya, pemanfaat air berada di wilayah hilir yaitu kota Cilegon. Leimona et al. (2010) menyebutkan DAS Cidanau merupakan satu-satunya penyedia air untuk rumah tangga dan hampir 100 industri yang beroperasi di Cilegon. Salah satu industri tersebut adalah PT KTI yang merupakan satu-satunya pembeli jasa lingkungan air DAS Cidanau. Pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP, pada dasarnya bertujuan untuk mendukung upaya konservasi taman nasional oleh berbagai pihak. Tujuan tersebut diturunkan pada tujuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air TNGGP. Tujuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan di TNGGP adalah untuk membangun kemitraan untuk mendukung upaya konservasi kawasan TNGGP dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga melalui inkubasi usaha terpadu. Berdasarkan proses dan skema yang dijalankan di TNGGP, mekanisme tersebut termasuk kedalam intermediary-based transaction. Landell-Mills dan Porras (2002) menyebutkan, dalam proses intermediary-based transaction, fasilitator berperan mengurangi biaya transaksi dengan mencari informasi,
37
bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada. 5.1.4 Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara Penerapan pembayaran jasa lingkungan air dilakukan secara kolaborasi oleh Forpela TNGGP dan pihak lainnya. Kolaborasi tersebut antara lain dilakukan Forpela TNGGP dengan ESP-USAID, RCS, Mapala UI, dan YBUL. Berdasarkan Forpela TNGGP (2009) terdapat beberapa program kerja Forpela, antara lain: Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit), Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat, Progam peningkatan kapasitas kelembagaan Forpela TNGGP, Program peningkatan kerjasama kemitraan pengelolaan sumberdaya air, Program pemberian susu pasteurisasi dan gemar menanam untuk siswa-siswi Sekolah Dasar di desa penyangga, dan Program studi banding dalam penerapan pembiayaan jasa lingkungan. Beberapa program Forpela TNGGP dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Desa Tangkil dan Cinagara merupakan dua dari enam MDK (Model Desa Konservasi) yang dicanangkan taman nasional. Program yang dilakukan di dua desa tersebut yaitu Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit) dan Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkann hasil identifikasi di lapangan, program yang dijalankan di kedua desa meliputi kegiatan pelatihan-pelatihan usaha dan sekolah lapang serta pemberian bantuan untuk inkubasi usaha masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan melalui kelompok-kelompok tani yang ada di kedua desa. Kegiatan pelatihan dan pemberian bantuan di kedua desa tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 No. 1
Jenis kegiatan dan bantuan dalam penerapan pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara
Pelaksana kegiatan KT Garuda Ngupuk desa Tangkil
Kegiatan Pelatihan pembuatan pupuk, sumur resapan, sanitasi lingkungan, PLTMH (pelatihan mikrohidro), budidaya jamur, tumbuhan obat, serta beternak kelinci dan domba
Bantuan yang diberikan 30 ekor domba dan dana sebesar Rp 800.000,-; PLTMH; kelinci; benih sengon dan gmelina.
38
Tabel 15 (Lanjutan) No. 2
Pelaksana kegiatan KT Saluyu desa Tangkil KSM Cinagara Asri desa Cinagara
Kegiatan
Sekolah lapang dan pelatihan pembuatan kripik wortel 3 Pelatihan usaha perikanan, peternakan kambing, kelinci, dan tanaman hias. Selain itu, dilakukan pelatihan sanitasi lingkungan di kampung Pojok. Sumber: Data diolah (2011)
Bantuan yang diberikan Domba dan kelinci bantuan pembuatan 2 unit WC umum
Pelatihan-pelatihan seperti pada Tabel 15 bertujuan untuk mengembangkan kapasitas SDM di kedua desa. Selain itu, diharapkan pelatihan tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah usaha bagi anggota kelompok tani di kedua desa. Apabila usaha ini berjalan, maka diharapkan akan menjadi mata pencaharian tambahan dan meningkatkan tingkat kesejahteraan anggota kelompok tani di kedua desa. Bantuan mesin mikrohidro diberikan kepada masyarakat kampung Gunung Batu. Bantuan tersebut diberikan oleh YBUL atas inisiasi dari Mapala UI, ESP, dan Forpela TNGGP. Mapala UI menyampaikan kebutuhan masyarakat tersebut kepada ESP. Berdasarkan hasil pembicaraan dengan ESP, informasi tersebut kemudian disampaikan ke YBUL. Bantuan ini bertujuan untuk mengembangkan sarana listrik berbasis komunitas. Pengembangan listrik berbasis komunitas ini diharapkan dapat membantu masyarakat kampung Gunung batu yang keadaannya masih belum memiliki sarana listrik. Mesin mikrohidro tersebut diletakkan di saluran air jogjogan dengan ketinggian 2,5 meter. Mesin tersebut kemudian dikelola oleh anggota kelompok tani Garuda Ngupuk sesuai dengan naskah kesepahaman. Bantuan yang diberikan kepada masyarakat tersaji pada Gambar 8.
(a) (b) Gambar 8 Bantuan yang diberikan kepada masyarakat kampung Gunung Batu, desa Tangkil. Ket: (a) Domba; (b) Mesin mikrohidro.
39
Masyarakat kampung Gunung Batu diberikan benih sengon (Paraserienthes falcataria) dan gmelina (Gmelina arborea) untuk ditanam disekitar rumah dan daerah penyangga kawasan. Pemberian bantuan benih dilakukan pada November 2009. Program Bank Bibit tidak terlihat di kedua desa selama pengambilan data. Adanya beberapa kendala di kedua desa yang menyebabkan program ini tidak berjalan. Selain bantuan dan pelatihan tersebut, masyarakat diberikan uang sebesar Rp 25.000/kegiatan yang diikuti. Pemberian imbalan melalui penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan tersebut tergolong pemberian imbalan non finansial. Hal ini dikarenakan imbalan yang diberikan berupa kegiatan pelatihan dan bantuan bukan berupa dana. Sependapat dengan Gouyon (2004), bahwa pemberian imbalan non finansial dilakukan melalui penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan. 5.1.5 Perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air Forpela TNGGP menerapkan perioditas kegiatan 3 tahunan dan periode terakhir berakhir di tahun 2009 (Forpela TNGGP 2009). Kegiatan tiga tahunan berikutnya disusun dalam sebuah Rencana Strategis (Renstra) Forpela TNGGP 2010-2013. Kegiatan pemberian bantuan dan pelatihan-pelatihan di desa Tangkil dan Cinagara berlangsung antara tahun 2007-2009. Tidak ada kurun waktu perjanjian secara khusus untuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan air itu sendiri. Kurun waktu perjanjian yang diacu merujuk pada MoU antara pemanfaat air dengan Forpela TNGGP, dan antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP. Antara rentang tahun 2009-2011, belum ada kegiatan yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Saat ini, Forpela TNGGP masih melakukan pengumpulan dana dari para pemanfaat air. Dana tersebut belum disalurkan untuk program di desa Tangkil dan Cinagara. Dana tersebut lebih banyak dialokasikan untuk membantu kegiatan taman nasional seperti pengamanan kawasan dan program kerja Forpela TNGGP lainnya. Forpela TNGGP (2010) menyebutkan, di tahun 2010, sebagian besar penerapan kegiatan Forpela TNGGP merupakan lanjutan dari tahun-tahun sebelumnya. Program-program tersebut antara lain: penguatan kapasitas keanggotaan Forpela TNGGP wilayah Cianjur, sosialisasi
40
program susunisasi dan bibit pohon, serta peningkatan kapasitas SDM pengelola pemberdayaan masyarakat melalui TOT petugas kehutanan. Proses pengumpulan dana dari para pemanfaat hingga saat ini masih sulit dilakukan. Sebanyak dua dari lima pemanfaat air yang diwawancarai belum bersedia memberikan kontribusi. Pemanfaat-pemanfaat bersedia membayarkan kontribusi apabila Forpela TNGGP melakukan kegiatan-kegiatan lingkungan atau pemberdayaan masyarakat secara nyata. Selain itu, beberapa pemanfaat juga merasa kesulitan memberikan kotribusi dikarenakan belum adanya anggaran khusus untuk pembayaran iuran keanggotaan. Pemanfaat-pemanfaat juga mempertanyakan transparansi keuangan Forpela TNGGP. Pemanfaat yang telah memberikan kontribusi berupa iuran keanggotaan, tidak diberikan kwitansi pembayaran. Selain itu, pemanfaat (khususnya yang memberikan kontribusi) tidak diberikan salinan laporan keuangan Forpela TNGGP. Dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab pemanfaat pada akhirnya enggan memberikan kontribusi. Kelompok tani yang dibentuk ketika penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air hampir bubar. Mereka tidak melakukan kegiatan terkait pembayaran jasa lingkungan. Hal ini berdampak bagi pengelolaan bantuanbantuan yang diberikan. Bantuan domba yang diberikan di lokasi tersebut masih terkelola dengan baik. Domba-domba tersebut dititipkan pada beberapa warga. Akan tetapi, terdapat pengelolaan bantuan yang tidak berjalan sesuai naskah kesepahaman. Contohnya pada pengelolaan PLTMH di kampung Gunung Batu desa Tangkil. Sebagian besar anggota kelompok tani tidak bersedia membayar iuran untuk pengelolaan PLTMH dikarenakan alat pembangkit listrik tersebut tidak berfungsi. PLTMH diberikan oleh YBUL pada November 2009 untuk digunakan sebagai pembangkit listrik untuk kebutuhan masyarakat kampung Gunung Batu. Hal ini dikarenakan warga kampung Gunung Batu hidup tanpa adanya aliran listrik. Namun, yang terjadi, PLTMH tersebut tidak mampu mengaliri listrik ke 80 KK yang ada di kampung Gunung Batu. Hal ini terjadi karena penempatan
41
PLTMH di lokasi tersebut dianggap kurang tepat, debit yang digunakan untuk memutar turbin sudah cukup. Namun, ketinggian tempat tidak memadai untuk mengoperasikan PLTMH. Ketinggian tempat hanya 2,5 meter, sedangkan ketinggian minimal untuk pengoperasian PLTMH adalah 6 meter. Hal tersebut membuat PLTMH hanya mampu mengaliri kebutuhan listrik untuk 20 KK. Adanya konflik yang terjadi di masyarakat kampung gunung batu sendiri, pada akhirnya menyebabkan PLTMH tersebut tidak digunakan. Kondisi masyarakat kampung gunung batu berpendidikan rendah sehingga sering terjadi kecemburuan sosial. Selain itu, masyarakat kampung gunung batu juga kurang memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok. Kondisi yang demikian menyulitkan kelompok untuk mensosialisasikan program bantuan yang datang termasuk dari Forpela TNGGP/ESP-USAID. Bantuan yang diterima masyarakat kampung Pojok desa Cinagara berupa dua unit WC umum juga tidak digunakan. Iuran yang diperuntukkan untuk pengelolaan bantuan tersebut tidak dijalankan warga. Hal ini mengakibatkan fasilitas umum tersebut tidak bisa difungsikan lagi untuk keperluan MCK masyarakat. Masyarakat kampung Pojok pada akhirnya kembali melakukan kegiatan MCK di aliran sungai Cinagara.
Gambar 9 Bantuan berupa WC umum di desa Cinagara. Program Bank Bibit tidak terlihat di kedua desa selama pengambilan data. Adanya beberapa kendala di kedua desa yang menyebabkan program ini tidak berjalan. Berdasarkan hasil wawancara, anggota kelompok tani di kampung Gunung Batu hanya diberikan benih untuk kemudian ditanam di sekitar rumah dan daerah penyangga taman nasional. Namun, sampai saat ini, hanya beberapa warga yang kemudian menjadikan benih tersebut menjadi bibit tanaman. Bibit tanaman tersebut pada saat ini belum mencapai hasil (panen).
42
Rencana peraturan mengenai pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi tidak jadi disusun oleh Dirjen PJLKKHL. Hal ini menyebabkan, sampai saat ini aturan yang diacu dalam pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP hanya berdasarkan surat edaran Dirjen PHKA, perjanjian-perjanjian
kerjasama,
naskah
kesepahaman
serta
peraturan
perundangan lain terkait pemanfaatan air secara umum. 5.2 Keterlibatan Para Pihak 5.2.1 Identifikasi para pihak Para pihak didefinisikan sebagai semua pihak baik individu maupun suatu kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan dan penerapan dari suatu mekanisme (Groenendjik 2003). Proses indentifikasi para pihak merupakan proses awal dalam analisis para pihak. Proses identifikasi dimulai dengan mendaftar semua pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP antara lain: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara, BB TNGGP, Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, Mapala UI, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (Dirjen PJLKKHL), Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (Dinas PSDA) Kab. Bogor, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (Dinas ESDM) Kab. Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, YBUL, dan pemanfaat-pemanfaat air (PT Rejosari Bumi, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara dan Pusdiklat Karya Nyata). Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian para pihak menjadi pihak primer dan sekunder. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan para pihak dengan mekanisme yang ada. Pihak primer didefinisikan sebagai pihak yang terlibat langsung dan mengharapkan manfaat dari suatu mekanisme. Pihak lain di luar stakeholder primer yang masih terlibat dalam mekanisme disebut pihak sekunder (Groenendjik 2003). Berdasarkan hasil identifikasi, pihak-pihak yang termasuk dalam pihak primer dan sekunder tersaji pada Gambar 10.
43
Pihak sekunder
Pihak Primer
• KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara; para pemanfaat air; perusahaan AMDK; dan BB TNGGP
• Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, YBUL, Mapala UI, Dirjen PJLKKHL, Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan BPDAS Citarum-Ciliwung
Gambar 10 Klasifikasi para pihak. Gambar 10 menunjukkan pihak primer pada umumnya merupakan pembeli dan penyedia jasa lingkungan. Sesuai dengan definisi pembayaran jasa lingkungan menurut Wunder (2005), transaksi pembayaran jasa lingkungan dilakukan oleh minimum satu penyedia jasa dan minimum satu pembeli jasa lingkungan. Selain itu, terdapat pula perusahaan-perusahaan AMDK di sekitar lokasi penelitian (Lampiran 9). Namun, pihak ini belum terlibat dalam mekanisme. Pihak sekunder yang teridentifikasi merupakan pihak yang terlibat selain pihak primer dalam mekanisme. Gambar 10 menunjukkan, pada umumnya, pihak sekunder merupakan lembaga pemerintahan maupun LSM. Berdasarkan identifikasi hasil wawancara, pihak yang menjadi pihak sekunder dalam mekanisme ini adalah Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, YBUL, Mapala UI. Selain pihak-pihak tersebut, Direktorat Jenderal PJLKKHL dan Dinas PSDA, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (Dinas ESDM) Kab. Bogor, dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor juga termasuk ke dalam pihak sekunder dalam mekanisme. BPDAS Citarum-Ciliwung termasuk kedalam pihak sekunder, tetapi pihak ini belum terlibat dalam mekanisme. 5.2.2 Peranan para pihak Peranan masing-masing pihak yang terlibat dilihat berdasarkan tingkatan para pihak seperti pihak primer dan sekunder. Secara umum, berdasarkan hasil identifikasi, para pihak terbagi menjadi menjadi empat kategori utama yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan, pembeli jasa lingkungan, perantara, dan pembuat kebijakan. Peranan masing-masing pihak tersaji pada Tabel 16.
44
Tabel 16 Peranan masing-masing pihak No. 1
Peranan Penyedia jasa lingkungan air
2
Pembeli jasa lingkungan air
3
Perantara
4
Pembuat kebijakan
Para Pihak KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara, dan BB TNGGP Pemanfaat-pemanfaat air dari kawasan TNGGP (yang tergabung dalam Forpela TNGGP) Pembeli potensial: perusahaan AMDK di sekitar lokasi penelitian Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, Mapala UI Perantara potensial: BPDAS Citarum-Ciliwung BB TNGGP, Dirjen PJLKKHL, Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Kehutanan
Sumber: Data diolah (2011)
Penyedia jasa lingkungan berperan untuk menjaga kelestarian daerah hulu agar jasa lingkungan yang ditransaksikan dapat tersedia secara berkelanjutan. Pembeli jasa lingkungan berperan sebagai pihak yang memberikan insentif kepada penyedia jasa dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Secara khusus, peranan sebagai perantara tersebut terbagi lagi menjadi peranan yang lebih spesifik. Hal ini terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan. Forpela TNGGP berperan sebagai wadah mediasi dan fasilitasi proses yang ada. Forpela TNGGP sebagai sebagai wadah yang berperan untuk mengumpulkan dana kompensasi dari para pemanfaat. Selain itu, Forpela TNGGP juga berperan sebagai inisiator. Forpela TNGGP menginisiasi upaya-upaya yang mungkin bisa dikembangkan khususnya bagi masyarakat untuk mendorong kelestarian kawasan konservasi. ESP-USAID berperan sebagai fasilitator ke kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara melalui kegiatan penguatan kapasitas. RCS berperan memfasilitasi pendistribusian dana Forpela TNGGP untuk diterapkan di tingkat kawasan dan masyarakat daerah penyangga. Kedua lembaga ini juga berperan dalam inisiasi pembentukan Forpela TNGGP. Mapala UI berperan untuk memfasilitasi kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara. Mapala UI memfasilitasi kebutuhan anggota KT dengan pihak-pihak yang bersedia mendukung. YBUL berperan untuk menyalurkan bantuan infrakstuktur (pengembangan PLTMH) kepada masyarakat kampung Gunung Batu desa Tangkil.
45
Direktorat Jenderal PJLKKHL, BB TNGGP, serta dinas terkait memiliki peranan untuk mengatur jalannya mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada di kawasan TNGGP melalui kebijakan yang dibuat. Selain itu, BB TNGGP berperan mengawasi berjalannya kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di kawasan taman nasional. Dinas PSDA juga mendorong untuk mensinergiskan pengelolaan sumber daya air di luar dan di dalam kawasan konservasi. Pihak yang berpotensi untuk terlibat secara langsung belum memiliki peranan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada. Namun, pihak-pihak ini memiliki potensi peran yang kemudian dapat dikembangkan dalam pelaksanaan mekanisme ini. Perusahaan-perusahaan AMDK yang terdapat di sekitar lokasi penelitian berpotensi untuk berperan sebagai pembeli jasa lingkungan air. BPDAS Citarum-Ciliwung berpotensi untuk berperan sebagai fasilitator dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS. Namun, potensi peranan ini juga harus dipertimbangkan dengan tingkat ketertarikan pihak ini terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berlangsung. 5.2.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari para pihak. Kepentingan ini mendukung tujuan (para pihak juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme) atau kebalikannya (Groenendjik 2003). Kepentingan dari masing-masing pihak kemudian diidentifikasi dan dianalisis. Kepentingan (interest) dari tiap para pihak yang diidentifikasi tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Kepentingan (interest) masing-masing pihak Para Pihak
KT Saluyu
KT Garuda Ngupuk
Kepentingan (Interest) Pihak primer Pendampingan kepada KT Peningkatan kesejahteraan Hutan tetap lestari Pemilihan sub usaha yang sesuai dengan masyarakat 1. Peningkatan kesejahteraan 2. Kepercayaan untuk mengelola bantuan 3. Program baru yang dijalankan sebagai penerapan mekanisme 1. 2. 3. 4.
Potensi dampak terhadap proyek *
Prioritas kepentingan relatif*
-/+ -/+ + -
1
-/+ -/+ -
1
46
Tabel 17 (Lanjutan) Para Pihak
Kepentingan (Interest)
KSM Cinagara Asri
1. Pemahaman mengenai program yang dijalankan 2. Kompensasi untuk masyarakat yang melakukan penanaman 3. Peningkatan kualitas SDM 1. Kebutuhan air terpenuhi 2. Pelestarian kawasan TNGGP 3. Peninjauan pemanfaaat lain 4. Ikut serta dalam usaha penyelamatan lingkungan 1. Kebutuhan air terpenuhi 2. Ikut serta dalam mekanisme 1. Monitoring secara berkala 2. Kontribusi para pemanfaat 3. Kelestarian kawasan TNGGP 4. Kesejahteraan masyarakat desa penyangga Pihak sekunder 1. Pemahaman menyeluruh terhadap mekanisme 2. Kesejahteraan masyarakat desa penyangga 3. Bantuan sosialisasi mekanisme dari BB TNGGP 4. Kontribusi dari pemanfaat 5. Kejelasan peran masing-masing pihak 1. Lembaga independent yang mengatur mekanisme 2. Program berjalan baik 1. Payung hukum yang jelas terkait mekanisme 2. Dukungan program yang sinergis dengan visi misi RCS 1. Aplikasi energi terbarukan untuk masyarakat pedesaan 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui energi terbarukan 1. Penguatan KT di kedua desa 2. Kesejahteraan masyarakat meningkat 1. Optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi 1. Memfasilitasi pengelolaan sumberdaya air 2. Mengembalikan kondisi dan fungsi sungai sebagai sumber air untuk menunjang daya dukung lingkungan 3. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran swasta 1. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan energi 2. Peningkatan upaya konservasi lingkungan dan perlindungan masyarakat
Pemanfaatpemanfaat air
Perusahaan AMDK BB TNGGP
Forpela TNGGP
ESP-USAID
RCS
YBUL
Mapala UI Dirjen PJLKKHL Dinas PSDA Kab. Bogor
Dinas ESDM Kab. Bogor
Potensi dampak terhadap proyek * -
Prioritas kepentingan relatif* 1
? ? + + -/+ +
1
+ -/+ -/+ + -/+
1
-
2
1
-/+ ? + -/+ +
3
+ -/+
3
+ +
4
-/+ -/+ +
4
+
3
2
?
+ -/+
+
5
47
Tabel 17 (Lanjutan) Para Pihak
Potensi dampak terhadap proyek * +
Kepentingan (Interest)
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor BPDAS CitarumCiliwung
Prioritas kepentingan relatif*
1. Optimalisasi perlindungan dan 3 pemanfaatan sumberdaya alam 2. Peningkatan pengetahuan, sikap, ? keterampilan SDM 1. Pengembangan kelembagaan dan + 3 kemitraan pengelolaan DAS 2. Pengembangan model pengelolaan ? DAS Keterangan : Tanda positif (+), negatif (-), tidak jelas (-/+), dan tidak diketahui (?) diisi pada kolom potensi dampak, sedangkan kolom tingkat kepentingan relatif diisi dengan skala 0-5 berdasarkan kebijakan dan tujuan mekanisme (Groenendjik 2003).
Tabel 17 menunjukkan bahwa terdapat banyak kepentingan para pihak yang belum diakomodasi oleh mekanisme yang ada. Kepentingan para pihak yang dapat terakomodasi oleh mekanisme yang ada umumnya berkaitan kesesuaian antara program kerja para pihak dan mekanisme yang ada. Kepentingan yang berkaitan dengan hasil yang diharapkan dari mekanisme, seperti peningkatan kesejahteraan
masyarakat,
belum
terakomodasi
secara
jelas.
Hal
ini
mengindikasikan hasil dari mekanisme yang berjalan belum terukur secara jelas. Selanjutnya, dimasukkan pula atribut lainnya yaitu pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance). Masing-masing pihak memiliki atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis. Groenendjik
(2003)
mendefinisikan
pengaruh
(influence)
sebagai
kewenangan para pihak untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi
penerapannya
atau
untuk
menggunakan
tekanan
yang
mempengaruhi mekanisme secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan. Tingkat kepentingan (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan para pihak pada mekanisme (Groenendjik 2003). Oleh karena itu, tingkat kepentingan merujuk pada masalah, kebutuhan, dan kepentingan para pihak yang merupakan prioritas dari mekanisme. Tingkat pengaruh dan kepentingan dari masing-masing pihak tersaji pada Gambar 11.
48
Gambar 11 Diagram matriks tingkat kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak. Gambar 11 merupakan pemetaan para pihak berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan. Pemetaan tersebut didasarkan pada hasil skoring (Lampiran 10). Groenendjik (2003) menyatakan bahwa kuadran A, B, dan C merupakan pihak kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi masingmasing kuadran pada Gambar 12 yaitu: 1. Kuadran A mengimplikasikan para pihak dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Pihak-pihak yang terdapat dalam kuadran ini adalah KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri, para pemanfaat air, perusahaan AMDK, ESPUSAID, dan RCS. Penyedia jasa (KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri) dan pembeli jasa (pemanfaat air dan perusahaan AMDK), memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap mekanisme. Hal ini dikarenakan pihak-pihak tersebut merupakan subyek dari mekanisme yang ada. Selain itu, mekanisme ini merupakan cara untuk mengakomodasi kebutuhan
49
(kepentingan) mereka. Namun, di sisi lain, pihak-pihak tersebut tidak memiliki pengaruh yang tinggi terhadap mekanisme. Pihak-pihak ini bukan merupakan pengatur regulasi mekanisme. Mereka tidak dapat mengupayakan tindakan apapun apabila mekanisme ini mengalami gangguan dalam pelaksanaannya. ESP-USAID dan RCS memiliki kepentingan tinggi karena pihak ini merupakan inisiator dalam pembentukan mekanisme yang ada. Sama halnya dengan penyedia dan pembeli jasa, pihak ini memiliki tingkat pengaruh yang rendah. Walaupun pihak ini merupakan inisiator pembentukan mekanisme, tetapi pihak ini bukan merupakan pengatur regulasi mekanisme. Groenendjik (2003) menyebutkan pihak-pihak dalam kuadran ini memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan mereka. 2. Kuadran B mengimplikasikan para pihak dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan mekanisme. Pihak-pihak yang terdapat pada kuadran ini adalah BB TNGGP, Forpela TNGGP, Dirjen PJLKKHL, Dinas PSDA, Distanhut, dan BPDAS CitarumCiliwung. Pihak-pihak dalam kuadran ini merupakan pembuat dan pengatur regulasi terhadap mekanisme yang ada. Regulasi merupakan titik awal dari penerapan mekanisme. Tingkat kepentingan pihak yang berada di kuadran ini juga tergolong tinggi terhadap mekanisme. Kepentingan pihak yang berada di kuadran ini secara umum berkaitan dengan program pelestarian lingkungan (DAS maupun kawasan taman nasional) dan pemberdayaan masyarakat yang terakomodasi dari mekanisme ini. Untuk membentuk kerjasama efektif dalam mendukung mekanisme, sebaiknya pihak yang terlibat langsung dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan pihak-pihak ini (Groenendjik 2003). 3. Kuadran C mengimplikasikan para pihak yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak yang terdapat pada kuadran ini adalah Dinas ESDM. Pihak ini memiliki tingkat pengaruh yang tinggi tetapi memiliki tingkat kepentingan yang rendah. Dalam kaitannya dengan tingkat kepentingan, pihak ini tidak memiliki hubungan langsung dengan mekanisme. Namun, kedudukan dinas ini sebagai lembaga pemerintahan, memiliki kewenangan untuk membuat dan mengatur regulasi. Apabila kepentingan pihak ini tidak sejalan dengan mekanisme yang ada, pihak
50
ini dapat menjadi sumber resiko yang signifikan (Groenendjik 2003). Oleh karena itu, dibutuhkan monitoring dan manajemen terhadap pihak ini. 4. Para pihak pada kuadran D memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap mekanisme. Pihak yang terdapat pada kuadran ini adalah YBUL dan Mapala UI. Pihak ini bukanlah subyek dari mekanisme yang berlangsung. Pihak ini hanya berperan sebagai fasilitator dan donor serta tidak memiliki kepentingan khusus terhadap mekanisme. Pihak ini juga tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap mekanisme. Dapat dikatakan, pihak ini berada di luar mekanisme yang berjalan. Pihak ini mungkin memerlukan monitoring dan evaluasi namun dengan prioritas yang rendah (Groenendjik 2003). 5.2.4 Hak dan kewajiban para pihak Hak dan kewajiban para pihak dilihat berdasarkan dokumen terkait dan hasil wawancara terhadap para pihak. Dokumen terkait yang diacu antara lain Naskah Kesepahaman Pengelolaan PLTMH, rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan secara terpadu dan berkelanjutan, AD/ART Forpela TNGGP, MoU Pemanfaat air dengan TNGGP, dan MoU kemitraan pemanfaatan air antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP. Pengacuan terhadap dokumen-dokumen tersebut dikarenakan dalam mekanisme ini, belum terdapat perjanjian langsung antara anggota kelompok-kelompok tani dengan pemanfaat-pemanfaat air. Berdasarkan Naskah Kesepahaman Pengelolaan PLTMH, masyarakat desa Tangkil menyepakati hal-hal berikut: 1. Mendukung dan menjadikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebagai upaya mendorong upaya konservasi sumberdaya air yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat lokal. 2. Menyepakati nilai iuran/kontribusi/kompensasi dari hasil pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro sebesar Rp 15.000,-/bulan masingmasing pintu (rumah). Dana tersebut akan diperuntukkan untuk kegiatan pengelolaan dan perawatan perangkat PLTMH (turbin, dinamo) dan bangunan fisik pendukungnya (bendungan, saluran air, bak penampungan, jaringan listrik, dan rumah turbin).
51
3. Menunjuk dua orang warga masyarakat kampung Gunung Batu yang diperuntukkan untuk pengelolaan dan perawatan perangkat PLTMH yang ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan dan musyawarah bersama. Selain berdasarkan naskah kesepahaman pengelolaan PLTMH, anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara juga menyepakati untuk mendukung dan menjadikan rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan secara terpadu dan berkelanjutan sebagaimana terlampir sebagai salah satu acuan dalam penyusunan, perencanaan, pengembangan dan pembangunan daerah yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Kesepakatan ini tercantum dalam MoU antara Forpela TNGGP dengan enam MDK tentang Pengembangan Desa Produktif Unggulan Bagi Peningkatan Ekonomi Masyarakat. Melalui kedua kesepakatan tersebut anggota KT Saluyu dan KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, serta KSM Cinagara Asri desa Cinagara berkewajiban untuk mengelola bantuan yang diberikan dan mendukung pembangunan MDK. Hak masyarakat memang tidak secara langsung terungkap dari kedua kesepakatan tersebut. Namun, jika dilihat dari kedua kesepakatan tersebut, anggota ketiga KT tersebut memiliki hak untuk menerima bantuan PLTMH dan mengembangkan desa Tangkil dan Cinagara sebagai desa produktif unggulan untuk peningkatan ekonomi mereka. Selain anggota kelompok tani, pemanfaat-pemanfaat air baik yang sudah terdaftar menjadi anggota Forpela TNGGP ataupun belum terdaftar memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan AD/ART Forpela TNGGP dan MoU Pemanfaat air dengan TNGGP. Hak dan kewajiban para pemanfaat air tersebut tersaji pada Tabel 18.
52
Tabel 18 Pihak yang terlibat Pemanfa at air*
Pemanfa at air*
Hak dan kewajiban pemanfaat air berdasarkan AD/ART Forpela TNGGP dan MoU dengan BB TNGGP Hak**
Kewajiban**
Keterangan
- Hak mendapatkan fasilitas dari dewan pengurus - Hak memilih dan dipilih sebagai pengurus - Hak menyampaikan pendapat - Hak mengikuti rapat tahunan Forpela TNGGP
- Membayar iuran anggota - Menjaga citra Forpela TNGGP - Mematuhi AD/ART Forpela TNGGP - Mendukung pelaksanaan program Forpela TNGGP
*Sudah terdaftar menjadi anggota Forpela TNGGP **Tercantum dalam Anggaran Dasar Forpela TNGGP *Belum terdaftar menjadi anggota Forpela TNGGP dan memiliki MoU dengan BB TNGGP **Tercantum dalam MoU antara Pemanfaat Air dengan BB TNGGP
- Memanfaatkan air yang bersumber dari kawasan TNGGP - Memasang dan memelihara instalasi air - Memperoleh dukungan administrasi dan perizinan untuk pelaksanaan kegiatan yang telah dirancang bersama - Bersama-sama BB TNGGP melakukan pengamanan instalasi air yang dipasang di dalam kawasan
- Menyusun rencana kerja - Melaksanakan rencana kerja yang telah ditetapkan - Memberikan sebagian air yang dimanfaatkan kepada masyarakat sekitarnya - Membantu secara partisipatif dalam upaya perlindungan dan pelestarian kawasan TNGGP dalam bentuk: 1) melaporkan setiap pelanggaran/gangguan terhadap kawasan TNGGP yang ditemui, dilihat, dan/atau didengar kepada petugas TNGGP; 2) bersama-sama petugas TNGGP ikut serta melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap gangguan kawasan TNGGP; 3) menyebarluaskan informasi tentang upaya konservasi; 4) menanam pohon jenis lokal TNGGP dalam rangka perlindungan tata air di kawasan TNGGP - Melaporkan hasil kegiatan secara tertulis tiap enam bulan kepada BB TNGGP - Wajib menjadi anggota Forpela TNGGP Sumber: AD/ART Forpela TNGGP (2006) dan MoU antara BB TNGGP dengan desa Pasir Buncir (2008).
Tabel 18 menggambarkan adanya perbedaan hak dan kewajiban pemanfaat air dikarenakan status keanggotaan dalam Forpela TNGGP yang berbeda. Pemanfaat yang telah menjadi anggota Forpela TNGGP memiliki hak dan kewajiban sebagai anggota sebuah organisasi. Pemanfaat air yang belum menjadi anggota Forpela TNGGP memiliki hak dan kewajiban terhadap BB TNGGP
53
selaku pihak yang memberikan izin pemanfaatan air. BB TNGGP dan Forpela TNGGP memiliki hak dan kewajiban yang tercantum dalam MoU kemitraan pemanfaatan air. Hak dan kewajiban tersebut tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Hak dan kewajiban BB TNGGP dan Forpela TNGGP berdasarkan MoU kemitraan tentang pemanfaatan air dari kawasan TNGGP No.
Pihak yang terlibat
1
BB TNGGP
2
Forpela TNGGP
Hak
Kewajiban
- Mendapat dukungan dari Forpela TNGGP dalam rangka kegiatan: 1) Pengkajian dan pengembangan pemanfaatan air dari kawasan TNGGP; 2) Pengamanan, rehabilitasi, dan konservasi, di kawasan TNGGP; 3) Pelaksanaan kegiatan yang menunjang pelestarian TNGGP dan peningkatan peran serta masyarakat; 4) Sosialisasi dan penyuluhan KSDAE kepada masyarakat di daerah penyangga TNGGP; 5) Memperkuat kapasitas para pemanfaat air yang berasal dari kawasan TNGGP dalam rangka mendukung program pelestarian kawasan. - Memanfaatkan hasil kegiatan kemitraan ini - Dapat memberi rekomendasi bagi calon pemanfaat air kepada BB TNGGP - Dapat menggunakan iuran anggota dan sumber pendanaan lainnya yang tidak mengikat dalam rangka pelaksanaan RKL dan RKT
- Menilai dan mengesahkan RKL dan RKT - Memfasilitasi kegiatan pengembangan pemanfaatan air dari kawasan TNGGP - Melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap kegiatan Forpela TNGGP
- Menyusun RKL dan RKT - Melaksanakan RKL dan RKT yang telah disahkan - Mengkoordinir dan memungut iuran dari anggota Forpela TNGGP - Memberikan dukungan kepada BB TNGGP dalam setiap program yang tercantum pada hak BB TNGGP - Berkoordinasi dengan BB TNGGP dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan program yang tercantum pada hak BB TNGGP - Melaporkan secara tertulis setiap hasil kegiatan Forpela TNGGP
Sumber: MoU kemitraan BB TNGGP dan Forpela TNGGP (2008)
Selain berdasarkan MoU dan Naskah kesepahaman yang dibuat, hak dan kewajiban masing-masing pihak juga dilihat berdasarkan hasil wawancara. Hasil wawancara mendifinisikan para pihak beserta hak dan kewajiban masing-masing
54
pihak yang tidak tercantum dalam MoU. Tabel 20 menjelaskan hak dan kewajiban para pihak berdasarkan hasil wawancara. Tabel 20 Hak dan kewajiban para pihak berdasarkan hasil wawancara No. 1
2
Pihak yang terlibat Anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri Pemanfaat air
Hak Mendapatkan dan mengelola bantuan
3
BB TNGGP
4
Forpela TNGGP
5
ESP-USAID
6
RCS
-
7
Mapala UI
-
Mendapatkan pasokan air untuk kebutuhan mereka Mendapatkan bantuan dari berbagai pihak untuk menjaga kelestarian kawasan TNGGP Forpela TNGGP dapat memanfaatkan potensi sumberdaya air yang ada di kawasan TNGGP, dengan aturan main yang telah disepakati. -
Kewajiban Membayar iuran air yang telah disapakati, memelihara bantuan yang diberikan, menjaga kelestarian kawasan TNGGP. Membayar iuran, menjaga jaringan air, melakukan upaya konservasi dan menjaga kelestarian sumber air. Mengawasi serta memberikan monitoring dan evaluasi kepada para pihak khususnya pemanfaat air
Memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian dan perlindungan kawasan TNGGP dengan berbagai pogram.
Memfasilitasi mekanisme yang berlangsung tetapi tidak langsung berhubungan dengan mekanisme yang ada. Mensosialisasikan peran Forpela TNGGP kepada para pihak serta fundraising untuk sinergitas program RCS dengan Forpela TNGGP. Mendampingi dan memberikan motivasi kepada masyarakat di saat ada program yang datang kepada masyarakat.
Sumber: Data diolah (2011)
Berdasarkan MoU dan hasil wawancara, terdapat beberapa perbedaan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Berdasarkan hasil wawancara, para pihak mendefinisikan hak dan kewajiban masing secara luas. Berbeda dengan hasil wawancara, MoU menjelaskan hak dan kewajiban para pihak dengan lebih rinci. Disamping itu, terdapat beberapa pihak yang tidak tercantum pada MoU maupun naskah kesepahaman. Pihak-pihak tersebut merupakan pihak-pihak yang berperan sebagai perantara dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air. Para pihak tersebut mendefinisikan hak dan kewajiban mereka melalui wawancara.
55
Proses pemenuhan hak dan kewajiban tersebut dilihat dari keterlibatan masing-masing pihak dan apa yang terjadi selama mekanisme ini berjalan. Secara umum, pemenuhan hak masing-masing pihak sudah terpenuhi. Anggota kelompok tani telah menerima bantuan; para pemanfaat (anggota Forpela TNGGP dan bukan anggota) dapat memanfaatkan air dari kawasan TNGGP sesuai dengan ketentuan yang ada; dan BB TNGGP mendapat bantuan pengamanan dan konservasi kawasan dari masyarakat, pemanfaat, dan Forpela TNGGP. Berbeda dengan pemenuhan hak, pemenuhan kewajiban para pihak tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan. Pembayaran iuran dari para pemanfaat dan masyarakat tidak berjalan lancar. Dua dari lima pemanfaat yang diwawancarai, belum memberikan kontribusi berupa iuran kepada Forpela TNGGP. Selain itu, anggota KT Garuda Ngupuk, desa Tangkil juga tidak lagi menjalankan iuran pengelolaan PLTMH. Pihak lainnya yang menjadi perantara dalam mekanisme ini juga dirasa kurang memberikan fasilitasi maupun monitoring kepada pihak lainnya sebagai salah satu dari kewajiban mereka. Proses pemenuhan kewajiban para pihak tersebut kemudian menjadikan mekanisme ini kurang berjalan dengan baik. 5.3 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP Forpela TNGGP menginginkan masyarakat diberdayakan melalui penguatan peran agar dapat berpartisipasi dengan tidak selalu reaktif, khususnya menyangkut kebijakan pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan (USAID 2009). USAID (2009) juga menyebutkan Forpela TNGGP berupaya menciptakan peluang dan terobosan baru, khususnya dalam menciptakan keseimbangan baru dalam sistem ekonomi pedesaan yang kondusif bagi tumbuhnya usaha mikro, kecil dan menengah yang mandiri. Forpela TNGGP mencoba mengembangkan dan menerapkan pendekatan PJL secara menyeluruh yang sesuai untuk pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) dan menekankan pada keseimbangan upaya pengentasan kemiskinan dengan konservasi, serta mempertimbangkan keadilan sosial dan kesetaraan. USAID (2009) menyatakan bahwa Forpela TNGGP memiliki skema PJL yang berbeda, yaitu skema yang melakukan upaya konservasi taman nasional
56
serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. Skema ini dijalankan melalui pengembangan potensi lokal desa penyangga dengan menekankan adanya manfaat berkelanjutan yang diperoleh masyarakat desa penyangga. Salah satu caranya adalah dengan membangun pusat pembibitan tanaman atau usaha produktif unggulan yang bisa menunjang peningkatan perekonomian masyarakat. Hal ini dilakukan dengan harapan pada masa mendatang masyarakat sejahtera dan hutan tetap lestari. Kegiatan pembayaran jasa lingkungan dapat diberikan secara langsung melalui pemberdayaan atau penguatan masyarakat, keamanan kepemilikan tanah (land tenure security), dan konservasi ekosistem alam tempat masyarakat miskin di daerah penyangga bergantung. Forpela
(2009)
menyebutkan,
secara
singkat,
skema
PJL
yang
dikembangkan untuk (1) membantu menunjukkan nilai konservasi vs konversi; pengaruh kebijakan-kebijakan terhadap perencanaan dan proyek-proyek yang ada; (2) sebagai dana konservasi; (3) membantu menciptakan pasar yang mendukung tumbuhnya permintaan atas jasa-jasa yang ada; dan (3) pengurangan kemiskinan; kesetaraan (Forpela 2009). Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa ingkungan air dilakukan secara kualitatif. Kerr dan Jindal (2007) menyatakan metode kualitatif menyediakan pengertian yang mana konteks ini dapat dipahami dan digunakan untuk mengungkap aspek penting dari sebuah proyek. Peneliti kualitatif biasanya kurang menempatkan penekanan pada pengukuran dan lebih kepada proses dan pemahaman secara tajam serta faktor-faktor penentu keberhasilan proyek, biasanya dengan menekankan perspektif yang beragam dari berbagai pihak. Sebuah analisis kualitatif cenderung kurang memikirkan tentang penerapan hasil yang spesifik untuk lokasi proyek lainnya, tetapi lebih memfokuskan pada generalisasi pelajaran yang dapat diterapkan untuk proyek lainnya. Evaluasi terhadap mekanisme PJL dilakukan berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya serta perkembangan yang terjadi pada mekanisme itu sendiri.
57
5.3.1 Berdasarkan definisi Wunder (2005) Konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP dievaluasi berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya. Wunder (2005), mengklasifikasikan lima kriteria untuk mendeskripsikan prinsip-prinsip pembayaran jasa lingkungan, yaitu transaksi secara sukarela; jasa lingkungan yang terdefinisi secara baik; pembeli jasa lingkungan; penyedia jasa lingkungan; serta jaminan ketersediaan jasa lingkungan oleh penyedia. Berdasarkan lima kriteria tersebut, perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP dapat terdefinisi sebagai berikut: 1.
Transaksi secara sukarela Transaksi secara sukarela didefinisikan sebagai perjanjian tanpa tekanan,
yang dibedakan melalui “command and control” (Prasetyo et al. 2009). Dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP, transaksi antara penyedia dan pembeli jasa dapat dikatakan sebagai transaksi yang bersifat sukarela. Belum terdapat aturan yang secara jelas mengikat para pemanfaat air dari kawasan taman nasional untuk memberikan kontribusi berupa iuran maupun retribusi. Aturan yang dijadikan acuan hanya berupa MoU kerjasama kemitraan antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP serta AD/ART Forpela TNGGP. Pemanfaat air yang tergabung dalam keanggotaan Forpela TNGGP memberikan kontribusi secara sukarela. Walaupun terdapat beberapa kesepakatan yang diacu dalam mekanisme ini, dalam pelaksanaannya tetap menggunakan prinsip sukarela. Transaksi yang dilakukan antara pemanfaat dan penyedia jasa didasarkan pada kesadaran para pemanfaat akan kebutuhan sumberdaya air. Pemanfaat air memberikan apresiasi terhadap penyedia jasa dengan memberikan kontribusi melalui keanggotaan Forpela TNGGP. Transaksi dilakukan dengan memberikan bantuan berupa kebutuhan masyarakat dan inkubasi usaha untuk masyarakat. Transaksi tersebut diatur dalam naskah kesepahaman dan rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan antara MDK dan Forpela TNGGP. 2.
Jasa lingkungan yang terdefinisi secara baik Jasa lingkungan yang didefinisikan dalam mekanisme ini adalah nilai dan jasa
ekosistem
hutan
untuk
menghasilkan
air.
Kawasan
TNGGP
berperan
58
menghasilkan air bagi 103 pemanfaat air baik komersial maupun non komersial (USAID 2009). Pemanfaat air mengambil air langsung dari kawasan ini untuk kebutuhan usaha mereka. Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima pemanfaat air, empat dari lima pemanfaat telah mengetahui peran kawasan TNGGP untuk menghasilkan air. Sebanyak empat pemanfaat dapat menjelaskan manfaat air tersebut bagi perusahaan/instansi mereka. Selain para pemanfaat, anggota kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara secara umum telah mengetahui peranan hutan dalam menghasilkan air. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 19 dari 24 orang responden mengetahui dan dapat menyebutkan manfaat hutan untuk menghasilkan air. Responden juga dapat menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga ketersediaan air. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, sebagian masyarakat belum merubah perilaku mereka terhadap sumber air yang berasal dari kawasan TNGGP. Sebagian masyarakat kampung Pojok desa Cinagara khususnya masih melakukan kegiatan MCK di sungai Cinagara. Disamping itu, dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan, belum dilakukan pengukuran secara pasti terhadap debit air yang diterima oleh para pemanfaat. Mereka berpendapat bahwa air yang disediakan oleh alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, dua pemanfaat juga menganggap mereka memasang instalasi air sendiri untuk memperoleh air. Hal ini menyebabkan dua dari lima pemanfaat yang diwawancarai pada akhirnya belum mengambil inisiatif untuk memberikan kontribusi terhadap jasa air yang dihasilkan hutan. Sejalan dengan pendapat Chomitz dan Kumari (1998) bahwa meskipun diketahui hutan mampu menyediakan jasa lingkungan air, tetapi hubungan antara hutan dan jasa lingkungan air baik secara kualitatif maupun kuantitatif seringkali tidak dipahami. 3.
Pembeli jasa lingkungan Pembeli dan penjual jasa lingkungan merupakan yang memiliki kontrol
terhadap sumberdaya yang menghasilkan jasa (Prasetyo et al. 2009). Menurut Leimona et al. (2011), pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan
59
potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pembeli jasa yang terdefinisi dalam mekanisme ini adalah para pemanfaat air dari kawasan TNGGP. Pembeli jasa yang terdefinisi merupakan pemanfaat yang telah bergabung dengan Forpela TNGGP atau pemanfaat lain yang memiliki MoU kemitraan dengan pihak BB TNGGP. Pemanfaat lainnya yang berada di luar kedua hal tersebut belum menjadi pembeli jasa. Dalam mekanisme ini, pembeli jasa belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontribusi dana untuk penerapan mekanisme. Ada pihak lain seperti ESP-USAID dan YBUL yang menjadi donor dalam penerapan mekanisme ini. Hal ini sependapat dengan Wunder (2005) yang menyebutkan bahwa kontribusi dana seringkali berasal dari donor daripada pemanfaat jasa lingkungan. 4. Penyedia jasa lingkungan Penyedia jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki ijin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang (Leimona et al. 2011). Penyedia jasa yang terdefinisi dalam mekanisme ini adalah ekosistem hutan TNGGP yang berperan dalam menghasilkan jasa air. BB TNGGP selaku pengelola kawasan seharusnya menjadi merupakan penyedia jasa lingkungan dalam mekanisme ini. Namun, BB TNGGP tidak dapat mengelola dana kontribusi dari pemanfaat-pemanfaat air. Penyedia jasa seringkali terlihat tidak jelas (Wunder 2005). Kemudian, dilakukan pendekatan lain oleh Forpela TNGGP. Forpela TNGGP dan BB TNGGP mencoba menfasilitasi daerah penyangga kawasan untuk mendukung perlindungan dan pelestarian kawasan konservasi. Hal ini kemudian menempatkan anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk dan KSM Cinagara Asri dan MDK lainnya sebagai penyedia jasa. Ketua maupun anggota kelompok-kelompok tani tersebut belum memahami tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut. Responden yang terdiri dari anggota KT hanya mengetahui sebatas iuran yang harus dijalankan dan program
60
pelatihan-pelatihan usaha yang telah dijalankan. Sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini. Mayoritas anggota KT di kedua desa merupakan petani sawah dan ladang. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan. Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dilakukan melalui inkubasi usaha. 5.
Jaminan ketersediaan jasa lingkungan oleh penyedia Wunder (2005) menyebutkan bahwa kriteria yang paling sulit untuk
dilaksanakan adalah adalah persayaratan: banyak mekanisme yang kurang monitoring atau tidak termonitor sama sekali, pembayaran dilakukan di awal perjanjian, para pihak dibuat percaya terhadap mekanisme daripada benar-benar melakukan monitoring terhadap ketersediaan jasa. Forpela TNGGP menerapkan perioditas kegiatan 3 tahunan dan periode terakhir berakhir di tahun 2009 (Forpela TNGGP 2009). Selama kurun waktu tersebut penyedia jasa seharusnya dapat memberikan jaminan ketersediaan jasa kepada para pemanfaat. Prasetyo et al. (2009) menyatakan, pembayaran jasa lingkungan dapat terus berlangsung, jika dan hanya jika penyedia jasa menyediakan jasa secara terus menerus. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para pemanfaat, jasa lingkungan air tersebut masih tersedia dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pemanfaat. Namun, baik penyedia dan pemanfaat kurang melakukan kontribusi terhadap mekanisme itu sendiri. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan tersebut berjalan dengan sendirinya tanpa adanya penegakan mekanisme, seperti disinsentif pembayaran. Wunder (2008) menyebutkan, beberapa skema pembayaran jasa lingkungan berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM). Hal ini dikarenakan pendekatan yang dilakukan saat penerapan mekanisme ini adalah melalui pemberian bantuan kepada anggota kelompok tani. Pendekatan yang dilakukan belum pada tingkat reward and punishment. Penyedia jasa belum dituntut untuk menyediakan jasa terlebih dahulu sebelum jasa itu dibayarkan. Selain itu, pembayaran (pemberian bantuan) dilakukan pada masa awal mekanisme.
61
Berdasarkan pengertian Wunder (2005) tersebut, mekanisme yang berjalan di kawasan TNGGP memenuhi empat dari lima kriteria. Lebih lanjut lagi, Wunder (2008) menyebutkan bahwa mekanisme yang memenuhi hampir semua kriteria termasuk pada mekanisme “PES-like”. Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Dalam mekanisme ini, terdapat dua instansi pemerintah yang berperan sebagai pembeli jasa lingkungan. Selain itu, ekosistem kawasan TNGGP juga dikelola oleh pemerintah (BB TNGGP). Wunder (2008) menyebutkan, skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini yang coba dijalankan di TNGGP. USAID (2009) menyatakan bahwa Forpela TNGGP memiliki skema yang berbeda, yaitu skema yang
melakukan
upaya
konservasi
taman
nasional
serta
memperbaiki
kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. Skema ini dijalankan melalui pengembangan potensi lokal desa penyangga dengan menekankan adanya manfaat berkelanjutan yang diperoleh masyarakat desa penyangga. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. 5.3.2 Berdasarkan perkembangan mekanisme Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP dilihat dari beberapa aspek berdasarkan perkembangannya. Aspek-aspek tersebut antara lain: kenggotaan Forpela, pendanaan, skema, program kerja, serta manfaat bagi masing-masing pihak. Keanggotaan Forpela terdiri dari pemanfaat-pemanfaat air yang mengambil air langsung dari kawasan TNGGP. Pasal 12 AD/ART Forpela menyebutkan bahwa pemanfaat-pemanfaat tersebut terdiri dari lembaga, perusahaan, lapisan masyarakat yang berkepentingan terhadap pemanfataan jasa lingkungan (air) di kawasan TNGGP (Forpela TNGGP 2006). Berdasarkan rekapitulasi anggota Forpela tahun 2009, di sekitar resort Tapos, Cimande, dan Bodogol terdapat 28
62
pemanfaat air (Forpela TNGGP 2009). Namun, ketika diambil sampel sebanyak lima pemanfaat dari 28 pemanfaat di ketiga lokasi tersebut, dua pemanfaat menyebutkan bahwa mereka belum menjadi anggota Forpela. Berdasarkan hasil wawancara, dua pemanfaat tersebut juga mengaku belum memberikan kontribusi berupa iuran kepada Forpela TNGGP. Rekapitulasi keanggotaan Forpela TNGGP seharusnya dapat dilakukan setiap tahun. Hal ini menyangkut kondisi para pemanfaat dan kontribusi yang diberikan. Pemanfaat air yang sudah bangkrut atau tidak mau memberikan kontribusi akan mempengaruhi manajemen dan pendanaan Forpela TNGGP itu sendiri. Pasal 12 AD/ART Forpela TNGGP juga menyebutkan bahwa pemanfaat air di wilayah TNGGP wajib menjadi anggota Forpela TNGGP. Pada pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut apakah pemanfaat air yang mengambil air melalui mata air di daerah penyangga TNGGP wajib menjadi anggota Forpela. Sutopo (2011) menyebutkan potensi air bersih yang bersumber dari mata air di daerah penyangga TNGGP, kuantitas dan kualitas airnya sangat dipengaruhi oleh curah hujan, morfologi, dan tumbuhan penutupnya. Oleh karena itu, pemanfaat-pemanfaat yang mengambil air dari mata air di daerah penyangga kawasan seharusnya berkontribusi dalam upaya konservasi kawasan. Berdasarkan penelitian Sutopo (2011), terdapat tujuh perusahaan AMDK yang memanfaatkan air dari mata air di sekitar kecamatan Caringin. Perusahaan-perusahaan ini bersedia memberikan kontribusi melalui mekanisme PJL. Pendanaan Forpela TNGGP berasal dari iuran pokok dan iuran wajib yang dibayarkan anggota Forpela. Selain itu, sumber dana juga dapat berasal dari sumbangan sukarela atau hibah. Berdasarkan pernyataan keuangan Forpela TNGGP (2010) disebutkan bahwa jumlah dana kompensasi yang terkumpul sampai tahun 2010, tercatat Rp 8.000.000 dan saldo keuangan Forpela TNGGP sebesar Rp 17.000.000. Apabila dikurangi dengan pengeluaran tahun sebelumnya seharusnya jumlah tersebut menjadi Rp 17.500.000. Tidak terdapat keterangan mengenai hal ini. Hal ini dikarenakan dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. Apabila dihitung berdasarkan bantuan yang diberikan kepada
63
kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, dana yang dikeluarkan menjadi lebih besar dibandingkan dengan apa yang tercantum pada pernyataan keuangan. Selain itu, tidak terdapat rincian cost-sharing dengan pihak lain seperti ESPUSAID dan YBUL dalam pemberian bantuan terkait PJL di desa Tangkil dan Cinagara. ESP-USAID selaku partner sharing Forpela TNGGP dalam pemberian bantuan, tidak menyebutkan besaran cost-sharing yang dikeluarkan untuk membiayai program tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa mereka memberikan sharing lebih kepada hal teknis. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk teknis seperti apa sharing tersebut diberikan. Hal-hal tersebut juga dipertanyakan para pemanfaat yang memberikan kontribusi kepada Forpela TNGGP. Mereka mengeluhkan transparansi keuangan Forpela TNGGP. Tidak terdapat catatan keuangan untuk para pemanfaat yang telah memberikan kontribusi maupun yang belum berkontribusi. Selain itu, bukti pembayaran tidak diberikan kepada para pemanfaat air yang telah berkontribusi. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila Forpela TNGGP merupakan lembaga/forum yang memiliki akuntabilitas yang baik. Skema pembayaran jasa lingkungan air yang dibuat dalam mekanisme ini masih menyangkut skema yang umum. Pada skema, hal-hal menyangkut teknis di lapang ketika penerapan belum terlihat. Misalnya: program rehabilitasi yang dilakukan sepeti apa, dilakukan dimana, berapa luasan tempat dilakukan rehabilitasi tersebut, dsb. Hak dan kewajiban para pihak khususnya pembeli, penyedia dan perantara diantara keduanya tidak terlihat dalam skema. Selain itu, aliran dana dari pemanfaat dan ditujukan untuk apa saja dana tersebut tidak terlihat pada skema. Skema juga tidak mengakomodasi aliran dana dari pemanfaat kepada pemerintah daerah, khususnya yang melalui pajak air. Pemanfaat air dari mata air (air permukaan) yang berada di luar kawasan tetapi berada di desa penyangga seharusnya membayarkan pajak air melalui pemerintah daerah. Aliran air tersebut pada dasarnya juga berasal dari fungsi ekosistem TNGGP. Skema tidak memperlihatkan aliran dana dari pemerintah daerah kepada BB TNGGP selaku pengelola kawasan maupun kepada masyarakat desa penyangga. Bersdasarkan PP 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah
64
daerah menerima 70% dari pajak air permukaan dan air tanah dari propinsi (DPR RI 2001). Pasal 78 menyebutkan bahwa desa (masyarakat) menerima 10% dari pemerintah kabupaten atas hasil penerimaan pajak kabupaten. Pajak air yang dibayarkan pemanfaat ke pemerintah daerah seharusnya dapat disalurkan ke masyarakat melalui Forpela. Forpela seharusnya dapat mengelola hasil penerimaan pajak air yang diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat desa penyangga kawasan yang menjadi mitra Forpela. Hal ini dilakukan agar aliran dana dari pemerintah daerah melalui pajak daerah (pajak air) dikelola dengan jelas. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan literatur yang ada, kelebihan dan kekurangan mekanisme tersebut tersaji pada Tabel 21. Tabel 21 Kelebihan dan kekurangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP Kelebihan Dapat mengajak lebih dari satu pemanfaat untuk berkontribusi dalam mekanisme Bertujuan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa penyangga melalui inkubasi usaha terpadu Bantuan yang diberikan bersifat non finansial dan tidak langsung berupa dana Dapat mengajak peran serta banyak pihak sebagai fasilitator serta donor untuk costsharing
Kekurangan Hanya mengajak pemanfaat yang mengambil air langsung dari kawasan Penerapan program di dua desa tidak berjalan baik Pembagian cost-sharing dari pemanfaat dan lembaga donor tidak jelas Peranan para pihak dalam mekanisme belum terlihat jelas pada penerapan mekanisme, peran Forpela terlihat dominan.
Sumber: Data diolah (2011)
Berdasarkan Forpela TNGGP (2009) terdapat beberapa program kerja Forpela, antara lain: Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit), Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat, Progam peningkatan kapasitas kelembagaan Forpela TNGGP, Program peningkatan kerjasama kemitraan pengelolaan sumberdaya air, Program pemberian susu pasteurisasi dan gemar menanam untuk siswa-siswi Sekolah Dasar di desa penyangga, dan Program studi banding dalam penerapan pembiayaan jasa lingkungan (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkan dokumen tahunan Forpela TNGGP (2009, 2010) maupun hasil wawancara, tidak terdapat penjelasan
65
mengenai program kerja apa saja yang terkait dengan mekanisme PJL di TNGGP. Evaluasi terhadap program kerja Forpela TNGGP hanya sebatas program yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Program yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara yaitu Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit) dan Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, program yang dijalankan di kedua desa meliputi kegiatan pelatihan-pelatihan usaha dan sekolah lapang serta pemberian bantuan untuk inkubasi usaha masyarakat. Pelatihan-pelatihan usaha bertujuan untuk mengembangkan kapasitas SDM di kedua desa. Bantuan mesin mikrohidro bertujuan untuk mengembangkan sarana listrik berbasis komunitas yang dikelola secara swadaya oleh warga. Pengembangan listrik berbasis komunitas ini diharapkan dapat membantu masyarakat kampung Gunung batu yang keadaannya masih belum memiliki sarana listrik. Pemberian bantuan berupa 2 unit WC umum di kapung Pojok bertujuan untuk mengurangi aktifitas MCK warga di sungai Cinagara. Namun, pada akhirnya, bantuan-bantuan tersebut tidak berjalan. Kinerja mekanisme PJL di TNGGP juga dilihat berdasarkan manfaat yang diterima masing-masing pihak, terutama penyedia dan pembeli jasa lingkungan air. Bagi para pemanfaat air, manfaat mekanisme PJL tidak terlalu dirasakan. Hal ini dikarenakan pemanfaat merasa debit air sebelum dan sesudah mekanisme PJL stabil, sehingga adanya mekanisme PJL tidak terlalu berpengaruh terhadap debit air yang disediakan. Debit air masih mencukupi kebutuhan para pemanfaat. Namun, manfaat lain yang dapat dirasakan para pemanfaat adalah dapat berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan (konservasi kawasan TNGGP) dan pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional. BB TNGGP selaku pengelola TNGGP belum merasakan manfaat langsung dari mekanisme PJL. BB TNGGP tidak berhak memungut iuran kepada para pengguna air dari dalam kawasan selama belum ada peraturan yang jelas. Oleh karena itu, selama pemanfaat air dari kawasan memberikan kontribusi untuk konservasi, hal itu yang kemudian menjadi manfaat bagi taman nasional. Melalui PJL, kontribusi hidrologis dari taman nasional agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu, mekanisme ini dapat membangun kesadaran masyarakat
66
untuk mendukung program-program pelestarian kawasan. BB TNGGP juga berharap, melalui mekanisme ini, gangguan terhadap hutan bisa diminimalisasi. Selain itu, diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dan kualitas masyarakat yang ada di sekitar taman nasional. Kelompok tani Garuda Ngupuk, Saluyu, dan Cinagara Asri selaku penerima bantuan dalam mekanisme ini mengakui bahwa manfaat yang dirasakan lebih kepada pengetahuan dan pengalaman tentang berorganisasi. Manfaat secara materi (peningkatan kesejahteraan) maupun modal usaha masih belum dirasakan. Dua dari tiga kelompok tani mengakui bahwa dalam pelaksanaan program di kedua desa banyak penyimpangan yang harus dibenahi, seperti adanya pengalihan bantuan ke kelompok lain, modal usaha yang tidak turun, dan lain sebagainya. Hal ini kemudian membuat manfaat dari mekanisme PJL itu sendiri tidak tampak oleh kelompok tani. Budhi et al. (2008) menjelaskan bahwa konsep PJL berbeda dengan pendekatan konservasi, yang bergantung pada peraturan untuk melindungi kelestarian lingkungan tanpa insentif ekonomi. PJL berbeda dengan pendekatan konservasi yang menggabungkan antara tujuan konservasi dengan tujuan pengembangan lainnya. Berdasarkan perkembangan mekanisme PJL yang terjadi di lapangan, hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme PJL itu sendiri seringkali tidak muncul. Penerapan (program kerja) yang dilakukan berbeda dengan penerapan konsep PJL di lokasi lain. Di beberapa lokasi penerapan PJL seperti Cidanau dan Sumberjaya, kelompok tani sebagi kelompok target diharuskan untuk melakukan penanaman (pada umumnya kopi multistrata) untuk mempertahankan kelestarian daerah hulu. Hal ini dilakukan karena suplai air bagi daerah hilir yang menjadi pembeli jasa tergantung dari kelestarian wilayah hulu. Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan aiur yang dilakukan di TNGGP terlihat sebagai upaya pengelolaan daerah penyangga. Bismark dan Sawitri (2007) menyatakan bahwa pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk meningkatkan potensi manfaat jasa lingkungan dan nilai ekonomi lahan masyarakat. Pengelolaan daerah penyangga di desa Tangkil dan Cinagara dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP
67
selaku pengelola kawasan TNGGP. Di lokasi penerapan PJL lainnya (misal: Cidanau dan Sumberjaya), kegiatan pemberdayaan masyarakat dan upaya konservasi wilayah hulu dilakukan secara bersamaan. Adanya kerjasama antara BB TNGGP dengan masyarakat desa penyangga dalam melakukan upaya konservasi akan membuat penerapan mekanisme ini lebih baik. Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu: jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya; informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel); kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel; selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau kritik. Apabila keempat hal tersebut dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam mekanisme ini, maka mekanisme ini akan berjalan lebih baik. 5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP 5.4.1 Permasalahan Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dijalankan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya: 1.
Payung hukum yang diacu Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP
mengacu pada surat edaran Dirjen PJLKKHL. Selain aturan tersebut, belum terdapat payung hukum yang jelas mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Selanjutnya, aturan yang dijadikan acuan dalam mekanisme ini adalah surat edaran dirjen PHKA, perjanjian-perjanian kerjasama, naskah kesepahaman, serta peraturan perundangan lain terkait pemanfaatan air secara umum. Terdapat beberapa hal yang saling bersinggungan dalam perjanjian kerjasama antara BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan BB TNGGP dengan pemanfaat air. BB TNGGP membuat MoU kerjasama pemanfaatan air dari kawasan kepada pemanfaat dengan proses tertentu. Di sisi lain, BB TNGGP juga membuat MoU
68
kemitraan dengan Forpela TNGGP. Hal ini kemudian menjadi masalah ketika pemanfaat air tersebut belum menjadi anggota Forpela TNGGP. Pemanfaat air harus membuat perjanjian kerjasama dengan BB TNGGP terlebih dahulu. Apabila pemanfaat kemudian menjadi anggota Forpela TNGGP, maka kesepakatan mana yang harus diacu oleh pemanfaat menjadi suatu hal yang saling bersinggungan. 2.
Kinerja Forpela TNGGP Kinerja Forpela TNGGP dinilai beberapa pihak belum optimal. Forpela
TNGGP yang terdiri dari para pemanfaat air dirasakan kurang dapat merangkul komitmen dari para pemanfaat air untuk berkontribusi. Selain itu, sistem keuangan Forpela TNGGP juga menjadi suatu permasalahan dalam penerapannya. Beberapa pihak menilai belum adanya transparansi keuangan dari Forpela TNGGP itu sendiri. Hal ini berdampak pada pemanfaat yang berkomitmen memberikan kontribusi pada akhirnya mempertanyakan kinerja Forpela TNGGP. 3.
Peranan masing-masing pihak yang belum dijalankan Para pihak yang terlibat (langsung atau tidak langsung) belum sepenuhnya
menyadari peranannya dalam mekanisme yang ada. Hal ini kemudian berdampak bagi kinerja masing-masing pihak dalam mekanisme yang ada. Contohnya, anggota kelompok tani, mereka belum menyadari perannya sebagai penyedia jasa lingkungan yang kemudian seharusnya menjaga wilayah mereka agar jasa lingkungan air dapat terus tersedia. Mereka hanya mengetahui untuk tidak melakukan penebangan di dalam kawsan konservasi. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan seperti agroforestri atau kebun multistrata. Selain itu, peranan dari pihak yang seharusnya melakukan pendampingan terhadap anggota kelompok tani juga belum dijalankan dengan baik. Akibat yang terjadi adalah tidak berjalannya program maupun kelompok tani yang ada. Contohnya terjadi pada KT Saluyu antara tahun 2008-2009. Pendampingan terhadap kelompok dirasakan baru setengah perjalanan. Selanjutnya, kelompok ditinggal begitu saja tanpa pendampingan. Hal ini berdampak pada kehancuran kelompok dan program yang ada.
69
4.
Komitmen para pemanfaat Berdasarkan hasil wawancara, dua dari lima pemanfaat belum ingin
berkomitmen untuk mengikuti mekanisme PJL ini. Selain itu, para pemanfaat juga menganggap kontribusi yang dikeluarkan cukup pada awal mula keanggotaan Forpela TNGGP. 5.
Pemilihan lokasi penerapan mekanisme PJL Pemilihan lokasi penerapan seharusnya berkaitan dengan keadaan masyarakat
sebagai penyedia jasa dan jasa lingkungan yang didefinisikan itu sendiri. Lokasi penerapan seharusnya mampu mengakomodasi ketersediaan jasa lingkungan yang ada melalui pengelolaan dari kelompok tani. Pemilihan lokasi penerapan menjadi suatu permasalahan ketika penguatan kapasitas kelompok masyarakat di lokasi tersebut belum dilakukan. Kelompok tani dirasakan belum siap menerima bantuan dan menjalankan mekanisme yang ada. Selain itu, adanya konflik diantara masyarakat itu sendiri menjadi salah satu hambatan. Hal ini kemudian berdampak kepada pengelolaan bantuan yang diberikan dan pemahaman masyarakat mengenai program yang berjalan. 6.
Pemilihan bantuan yang diberikan kepada masyarakat Bantuan yang diberikan tepat sasaran apabila disesuaikan dengan kebutuhan
dan kondisi masyarakat. Anggota kelompok tani di kedua desa mayoritas merupakan petani sawah dan ladang. Bantuan yang diberikan seharusnya tidak jauh dari sektor pertanian sehingga mereka dapat mengelola bantuan tersebut dengan baik. Namun, bantuan yang diberikan berupa domba dan kelinci. Anggota kelompok tani banyak yang tidak mengetahui bagaimana beternak domba dan kelinci. Pada akhinyra domba-domba yang diberikan belum mencapai panen maksimal dan kelinci banyak yang terserang penyakit hingga mati. Selain itu, bantuan berupa mesin mikrohidro yang diberikan kepada warga kampung Gunung Batu (KT Garuda Ngupuk) juga menjadi permasalahan. Warga kampung Gunung Batu merasa bantuan mesin mikrohidro yang diberikan tidak dapat berfungsi untuk warga. Warga sebenarnya menginginkan untuk dibuatkan jaringan PLN saja daripada mengahabiskan dana yang besar untuk PLTMH tetapi alat tersebut tidak dapat digunakan warga. PLTMH hanya mampu mengaliri listrik untuk 20 KK sedangkan warga kampung Gunung Batu berjumlah 80 KK.
70
Pelatihan usaha yang diberikan kepada anggota kelompok tani juga dirasakan kurang sesuai. Anggota kelompok tani Saluyu diberikan pelatihan untuk membuat kerupuk wortel. Jika dilihat dari bahan baku, usaha ini nantinya tidak bisa dijalankan oleh warga. Warga cukup kesulitan untuk memperoleh bahan baku untuk usaha tersebut. Adanya hal-hal yang bertentangan antara pihak yang menerima bantuan dengan pihak yang menyalurkan bantuan menjadikan bantuan yang diberikan kurang tepat sasaran. Hal yang terjadi kemudian adalah pengelolaan bantuan yang kurang maksimal. 7.
Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak juga dinilai kurang
maksimal. Banyak pihak yang belum memahami mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP. BB TNGGP (2011), menyebutkan salah satu kendala yang dihadapi oleh BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan pemanfaat air sebagai mitra adalah kurangnya komunikasi antara BB TNGGP dengan para mitra. Penyampaian informasi mengenai mekanisme yang dijalankan juga tidak sampai ke masyarakat. Mayoritas anggota kelompok tani yang diwawancarai mayoritas asing dengan istilah pembayaran jasa lingkungan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok tani, sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini. Responden tidak mengetahui secara rinci mengenai mekanisme ini. Responden hanya mengetahui adanya bantuan yang diberikan dan kewajiban membayar iuran yang harus dijalankan. Konsep pembayaran jasa lingkungan air mulai dari awal proses hingga penerapan tidak dipahami responden. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai pun menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut. Proses penyampaian informasi yang kurang baik kemudian menjadikan konflik diantara para pihak. Hal ini kemudian membuat para pemanfaat belum ingin berkomitmen melakukan kontribusi, adanya konflik antar kelompok tani
71
karena adanya pelimpahan bantuan dan program ke kelompok lain, serta banyak pihak yang tidak mengetahui perkembangan mekanisme yang dijalankan. 8.
Monitoring dan evaluasi yang kurang berjalan baik Monitoring dan evaluasi (monev) yang kurang berjalan dengan baik menjadi
salah satu hambatan terhadap mekanisme itu sendiri. Adanya monev yang baik memungkinkan keberlanjutan mekanisme ke arah yang lebih baik. Melalui monev, keterlibatan para pihak dalam mekanisme serta perkembangan yang terjadi dapat terus terpantau. Dalam mekanisme ini, hal tersebut terlihat masih kurang dilakukan. Hal ini berdampak pada keterlibatan para pihak yang kurang terkontrol dan perkembangan mekanisme yang dipertanyakan banyak pihak. 5.3.4 Solusi yang ditawarkan Beberapa pihak menginginkan solusi untuk permasalahan-permasalahan tersebut dengan mengadakan pertemuan atau musyawarah besar (Mubes). Musyawarah ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi mekanisme yang ada. Pada kesempatan tersebut, para pihak yang terlibat dan berpotensi terlibat dalam mekanisme ini diundang. Mubes ini sebaiknya difasilitasi oleh pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pihak yang sudah terlibat, misalnya Dirjen PHKA. Hal ini dilakukan agar evaluasi dapat berjalan baik dan para pihak tunduk kepada hasil evaluasi. Selain itu, mubes tersebut dapat menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan perkembangan mekanisme, penguatan komitmen dari masing-masing pihak, menguatkan proses penyampaian informasi
kepada pihak terkait
serta
merumuskan strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di waktu mendatang. Musyawarah besar tersebut juga dapat menjadi dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi kinerja Forpela TNGGP sebagai perantara utama dalam mekanisme ini. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan pembenahan atau tindakan lain apabila para pihak menilai kinerja Forpela TNGGP kurang baik. Beberapa
pihak
juga
menginginkan
adanya
peraturan
mengenai
pemanfaatan jasa lingkungan air dan pengembangannya. Peraturan ini dibuat sebagai acuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan.
72
Peraturan ini nantinya diharapkan mampu menertibkan para pemanfaat air yang belum memberikan kontribusi. Solusi lain yang dapat dilakukan adalah dengan merekomendasikan skema serta program kerja baru dalam penerapan mekanisme PJL di TNGGP. Skema mekanisme PJL di TNGGP dibuat lebih spesifik (Lampiran 11) dengan menyertakan alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL dan cara lain untuk meningkatkat partisipasi masyarakat desa penyangga dalam upaya konservasi TNGGP. Selain itu, perjanjian kerjasama antar pihak dibuat dengan lebih rinci dengan menyertakan skema-skema pembayaran dan rincian pembiayaan untuk penerapan mekanisme PJL di desa penyangga. Program kerja yang dapat dilakukan sebagai alternatif solusi antara lain penguatan kapasitas kelompok tani dan pengajuan alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL. Penguatan kapasitas kelompok tani diawali dengan pendampingan secara intensif ke kelompok tani. Dalam pendampingan tersebut, anggota kelompok diberikan pengetahuan mengenai konsep PJL, peran dan fungsi kawasan TNGGP serta dampak yang akan terjadi jika upaya konservasi TNGGP tidak dilakukan secara bersama-sama. Selanjutnya, anggota kelompok tani diikutsertakan untuk memikirkan apa yang harus dilakukan anggota kelompok, alternatif bantuan atau usaha apa yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan sejalan dengan upaya konservasi kawasan TNGGP. Anggota kelompok tani diharapkan dapat menjadi subyek dan dilibatkan secara aktif dalam mekanisme ini. Hal ini akan memberikan dampak positif dalam penerapan mekanisme. Anggota kelompok tani yang diberikan pemahaman terhadap mekanisme ini akan bertanggungjawab terhadap jaminan ketersediaan jasa lingkungan air. Namun, hal ini juga harus diakomodasi dengan perjanjian kerjasama yang jelas antar pihak. Alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL dapat dilakukan dengan membuat kebun lindung atau kebun multistrata. Anggota kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, pada umumnya merupakan petani sawah atau petani ladang. Petani ladang menanam singkong di lahan pribadi atau lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang
73
berada pada kelerengan yang cukup. Hal ini jika dibiarkan terus menerus dapat membayahakan masyarakat yang bermukim di bawahnya. Kebun lindung didefinisikan sebagai sistem penggunaan lahan berbasis pohon yang dikelola oleh masyarakat yang dapat menambah pendapatan dan memberikan fungsi lindung atau layanan lingkungan yang sama dengan yang diberikan oleh hutan (Suyanto & Khususiyah 2006). Lebih lanjut lagi, Suyanto dan Khususiyah (2006) menjelaskan bahwa fungsi lindung hutan yang dapat diperoleh dari kebun lindung baik sebagian maupun keseluruhan. Fungsi tersebut adalah fungsi konservasi tanah dan air, mempertahankan cadangan karbon, dan keanekaragaman hayati. Kebun lindung pada umumnya menggabungkan antara tanaman yang memiliki nilai IDA rendah, sedang, dan tinggi. Nilai IDA digunakan untuk melihat seberapa dalam penyebaran akar suatu jenis tanaman (Buana et al. 2005). Contoh kasus penerapan kebun lindung ini berada di Sumberjaya, Lampung. Petani kopi di lokasi tersebut menanam kopi dengan menggabungkannya dengan tanaman lainnya. Kopi memiliki nilai IDA yang rendah, sedangkan jenis pohon buah-buahan dan pohon penghasil kayu atau pohon bermanfaat lainnya memiliki nilai IDA yang lebih tinggi. Apabila jenis pohon-pohon tersebut ditanam dengan kopi (kebun kopi multistrata), maka akan menghasilkan nilai IDA yang beragam. Dengan demikian, sistem tersebut memiliki nilai konservasi tanah dan air yang lebih besar dan dapat digunakan untuk pencegahan erosi permukaan tanah, jaring penyelamat hara, serta pencegahan longsor.