18
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Surat Keterangan Asal Usul Kayu di Desa Jugalajaya Dalam rangka mendorong bergeraknya sektor kehutanan dengan dukungan ekonomi rakyat, diperlukan pengakuan, perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan dari hutan hak atau lahan masyarakat atau kebun masyarakat oleh Kementerian Kehutanan RI mengenai Tata Usaha Kayu Rakyat, untuk itu diterbitkan dokumen berupa Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) yang pada dasarnya untuk memudahkan masyarakat saat menjual kayunya, karena jika sesuai dengan peraturan, masyarakat akan lebih mudah dan dilindungi privatisasinya dalam memiliki, mengangkut dan memperniagakan kayu rakyat. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan sahnya hasil hutan yang digunakan untuk dokumen pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Hutan hak dapat dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah berupa : sertifikat hak milik, Letter C, dan girik untuk tanah milik, serta sertifikat untuk Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. SKAU diterbitkan oleh kepala desa/lurah atau pejabat yang setara dengan kepala desa/lurah di wilayah dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut. pejabat penerbit SKAU ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan usulan kepala dinas kehutanan kabupaten/kota. Keadaan di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa SKAU dikeluarkan oleh kepala desa yang ditunjuk oleh Bupati Kabupaten Bogor berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pertanian Dan Kehutanan Kabupaten Bogor Nomor 522/530 SK-Kehut tentang penetapan pejabat penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) kayu di Kabupaten Bogor. Setiap calon pejabat penerbit SKAU wajib mengikuti pelatihan tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak/rakyat yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Saat dilakukan survey ke beberapa desa, ternyata tidak semua pejabat penerbit SKAU adalah kepala desa misalnya Desa Wangunjaya Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor pejabat penerbit SKAU adalah sekretaris desa yang telah mengikuti pelatihan dan terdaftar sebagai pejabat penerbit SKAU dengan No Reg
19
30/1101/SKAU/Spn/KB/KO. Hal ini terjadi, dikarenakan kepala desa yang berkaitan tidak dapat mengikuti pelatihan pada waktu yang telah ditentukan, sehingga kepala desa menyerahkan mandat kepada sekretaris desa. 5.2. Tata Cara Penerbitan Blanko SKAU Menurut Pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, tata cara untuk mendapatkan izin pemanfaatan kayu di tanah milik menyaratkan fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah, jenis tegakan, jumlah dan potensi tegakan. Sebelum menerbitkan SKAU, Kepala Desa wajib melakukan pemeriksaan atas kebenaran asal usul kayu dan kepemilikannya serta melakukan pengujian dan pengukuran untuk mengetahui jenis dan volume kayu. Kemudian dibuat Daftar Hasil Hutan (DHH) sesuai dengan hasil pengukuran tersebut, selanjutnya diterbitkan SKAU. Tata cara alur penerbitan dokumen SKAU dan pelaporan diatur lebih lanjut oleh masing-masing kepala dinas provinsi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.33/Menhut-II/2007 (Pasal 9, ayat 4). Untuk lebih jelas mengenai tata cara penerbitan dokumen SKAU dapat dilihat pada Gambar 2. Terbitkan Dokumen SKAU
Hutan Hak Tidak Lengkap /Tidak Sah Permohonan SKAU Pemilik Hutan Hak
Lengkap dan Sah
Cek Lokasi & Bukti Kepemilikan
Pengukuran & Penetapan Jenis Dokumen SKAU Pengangkutan Kayu
Kades/Lurah (Penerbit SKAU)
Gambar 2 Alur penerbitan dokumen SKAU (Dephut 2011). Adapun tata cara penerbitan SKAU menurut pejabat desa, yaitu pemohon/pengusaha hanya membawa daftar kayu bulat/kayu olahan saja dan SKAU langsung dapat segera diterbitkan tanpa dilakukannya pemeriksaan
20
kebenaran lokasi dan volume kayu yang akan diangkut. Beberapa pejabat penerbit SKAU mengatakan bahwa hal ini terjadi karena kendala waktu dan lokasi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya pemeriksaan. Pemohon/pengusaha mengatakan bahwa setiap izin penerbitan SKAU dikenakan administrasi sebesar Rp. 30.000 untuk sekali penerbitan. Hal ini dikarenakan mengacu pada Peraturan Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Nomor 01 Tahun 2010 tentang anggaran pendapatan dan belanja desa tahun anggaran 2010. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurus penerbitan blanko SKAU tersebut kurang lebih 20 menit. Alur penerbitan SKAU di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Pemohon/pemilik kayu membawa daftar kayu bulat/olahan
Pengesahan Oleh Kepala Desa (Penerbit SKAU)
Administrasi Rp. 30.000
Penerbitan SKAU
Pengangkutan kayu Gambar 3 Tata cara penerbitan dokumen SKAU di lapangan. 5.3. Kesesuaian Peraturan Dengan Pelaksanaan di Desa Jugalajaya Penerapan penerbitan dokumen SKAU di lapangan tidak sesuai dengan tata cara yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat penerbit SKAU, kegiatan cek lokasi dan bukti kepemilikan, serta pengukuran dan penetapan jenis tidak dilakukan. Hal ini terjadi karena alasan kendala waktu yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan tersebut. Pada kenyataannya, pejabat penerbit tidak melakukan pemeriksaan dan pengukuran bukan karena kendala waktu, tetapi karena tidak adanya biaya yang diberikan sehingga mereka tidak berinisiatif untuk melakukan kegiatan tersebut. Penjelasan
lebih
lanjut
mengenai
kesesuaian
pelaksanaan di lapangan dapat dilihat pada Tabel 7.
peraturan
dengan
21
Tabel 7 Kesesuaian peraturan dengan pelaksanaan di Desa Jugalajaya Aspek Kajian Permenhut No.P.51/2006 Pasal 6 Ayat (1)
Permenhut No.P.51/2006 Pasal 7 Ayat (1)
Ketentuan Permenhut Dalam penerbitan SKAU, Kepala Desa wajib melakukan pemeriksaan atas kebenaran asal usul hasil hutan kayu dan kepemilikannya yaitu dengan mengecek dan memastikan bahwa hasil hutan kayu tersebut berasal dari lokasi yang benar yang dibuktikan dengan adanya alas titel/hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 2. Sebelum menerbitkan SKAU, Kepala Desa melakukan pengukuran atas kayu yang akan diangkut, dan dalam pelaksanaannya dapat menunjuk salah satu aparatnya. Penerbitan SKAU dilakukan dengan menggunakan blanko SKAU sesuai dengan format yang telah ditetapkan.
Permenhut No.P.51/2006 Pasal 9 Ayat (1)
Kepala Desa setiap bulannya wajib melaporkan penerbitan SKAU kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Permenhut No.P.33/2007 Pasal 4 Ayat (2)
Jenis-jenis kayu bulat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU adalah sebagaimana yang tercantum dalam lampiran Peraturan ini.
Permenhut No.P.33/2007 Pasal 5 Ayat (1)
SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.
Permenhut No.P.51/2006 Pasal 6 Ayat (2)
Fakta di Lapangan Kegiatan cek lokasi, bukti kepemilikan, dan penetapan jenis tidak dilakukan karena tidak adanya biaya untuk kegiatan tersebut.
Kegiatan pengukuran tidak dilakukan, karena tidak adanya biaya untuk kegiatan tersebut.
Blanko SKAU tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan, desa membuat blanko SKAU sendiri karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke dinas kehutanan. Kepala Desa tidak melaporkan penerbitan SKAU, karena desa tidak menggunakan blanko SKAU provinsi.
Jenis kayu rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan, misalnya: jenis kayu yang dalam pengangkutannya hanya cukup dengan menggunakan nota yang diterbitkan penjual seperti kayu afrika, nangka, mangga, kecapi, kelapa, pulai gading, kemang, bambu, jengkol, dan kapuk pada kenyataannya di lapangan tetap dimasukkan ke dalam dokumen SKAU. Masih ditemukan SKAU yang diterbitkan oleh kepala desa yang bukan desa dimana kayu tersebut berasal.
Blanko dokumen SKAU di Desa Jugalajaya tidak sesuai dengan blanko dokumen SKAU yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Alasan pejabat desa menggunakan blanko SKAU desa adalah karena akses desa yang jauh dengan dinas kehutanan kabupaten, sehingga pejabat desa enggan untuk meminta blanko SKAU dari dinas kehutanan. Selain akses desa yang jauh ke kota, jaringan komunikasi agak sulit sehingga desa membuat blanko SKAU sendiri. Pada
22
kenyataannya, pejabat desa membuat blanko SKAU sendiri karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke dinas kehutanan. Dalam Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2007 Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa jenis-jenis kayu bulat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU ada 21 jenis, tetapi pada kenyataanya di lapangan, jenis kayu yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU menjadi tidak sesuai. Hal ini dikarenakan dokumen SKAU yang diterbitkan oleh desa, berbeda dengan dokumen SKAU dari dinas kehutanan provinsi. Selain itu, dalam Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2007 Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut. Namun, kenyataan yang ditemukan di lapangan, tidak jarang SKAU diterbitkan oleh kepala desa yang bukan desa dimana kayu tersebut berasal. Hal ini biasanya terjadi bila blanko SKAU di desa bersangkutan sudah habis dan kepala desa sedang berhalangan, sehingga untuk penerbitan SKAU dilimpahkan pada kepala desa lain. Selain itu tengkulak juga biasanya ketika dalam pengangkutan kayu yang akan diangkut belum memenuhi target muatan, tengkulak tidak mengurus SKAU di desa tersebut, dan melanjutkan pembelian kayu di desa lainnya dan ketika target muatan telah tercapai, maka barulah tengkulak mengurus SKAU. Dampak dari permasalahan tersebut yaitu, data dan informasi mengenai produksi kayu rakyat dan potensi kayu rakyat dari desa dimana SKAU tersebut diterbitkan menjadi tidak relevan. 5.4. Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Jugalajaya 5.4.1. Kelompok Tani Hutan Kelompok Tani Hutan (KTH) di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat terbentuk atas keinginan masyarakat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi melalui usaha tani. Keadaan ini didukung dengan potensi hutan rakyat di Desa Jugalajaya yang mayoritas petaninya menanam kayu sengon dan karet. Hutan Rakyat di Desa Jugalajaya dikelola oleh KTH Mandiri yang berdiri sejak tahun 2007. KTH Mandiri terdiri dari 50 orang anggota. KTH Mandiri mendapatkan kepercayaan dari Balai Pengelolaan Das Citarum Ciliwung untuk melaksanakan program Penanaman One Man One Tree
23
(OMOT) pada tahun 2009 (Anonim 2009). Dari kegiatan tersebut, KTH Mandiri mendapatkan bantuan bibit. Adapun jenis bibit yang diberikan, beserta jumlahnya dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8 Kegiatan OMOT di KTH Mandiri No Jenis Bibit 1 Sengon (Paraserianthes falcataria) 2 Durian (Durio zibetinus) 3 Manggis (Gacinia mangostana) 4 Suren (Toona sureni) Jumlah
Jumlah Bibit 2.500 15 15 500 3.030
Sumber: Data OMOT BPDas Citarum Ciliwung (2009)
Banyak hal yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok tani. Menurut Sentot (2010) secara garis besar latar belakang atau dasar berdirinya kelompok tani dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Pertama, kelompok yang berdiri karena ada dorongan dari luar, baik karena ada program bantuan atau proyek. Kedua, kelompok tani yang terbentuk karena dorongan dari dalam, yaitu masyarakat atau petani itu sendiri. Usia atau lama berdirinya kelompok tidak menjamin tercapainya peningkatan kelas kelompok. Sebaliknya, kelompok yang didirikan dari bawah atau inisiatif masyarakat sendiri dapat menjadi modal dasar bagi berkembangnya kelompok secara lebih baik. 5.4.2. Potensi Hutan Rakyat Potensi hasil hutan di lahan yang dibudidayakan petani hutan rakyat adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu berupa getah karet, tanaman buah, dan palawija. Jenis tanaman palawija yang ditanam adalah Singkong (Manihot utilissima) dan Kacang Tanah (Arachis hypogea). Jenis tanaman buah yang ditanam, yaitu : Manggis (Garcinia mangostana), Durian (Durio zibetinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Petai (Parkia speciosa), Kopi (Coffea arabica), Mentimun (Cucumis sativus), dan Pisang (Musa paradisiaca). Pola tanam yang digunakan adalah sistem tumpangsari. Jenis tanaman kayu yang dibudidayakan, yaitu : Sengon (Paraserianthes falcataria), Kayu Karet (Hevea brasiliensis), Mangium (Acacia mangium), Afrika (Maeopsis emanii), dan Jabon (Anthocephalus cadamba). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa
24
jenis tanaman yang selalu ada/ditanam di lahan hutan rakyat adalah jenis Sengon dan Karet yang selalu ditanam oleh masyarakat secara bersamaan (tumpangsari). Adapun kondisi tegakan dan potensi hutan rakyat di desa jugalajaya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini :
Gambar 4 Kondisi tegakan dan potensi hutan rakyat di Desa Jugalajaya. Menurut hasil penelitian Andi (2010) tujuan masyarakat menanam sengon dan karet secara bersamaan pada lahan miliknya yaitu ketika pohon sengon dipanen pada umur 5 tahun, maka pada tahun berikutnya pohon karet sudah dapat disadap dan langsung dapat menghasilkan pendapatan setiap harinya sampai masa produktifnya habis (25 tahun), sehingga pendapatan masyarakat akan terusmenerus
(kontinyu/diperoleh).
Begitu
halnya
dengan
lahan
yang
ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian, sambil menunggu masa panen sengon atau kayu karet, maka setiap tahun masyarakat juga mendapatkan penghasilan. 5.4.3. Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Hasil hutan kayu dari hutan rakyat di Desa Jugalajaya dipasarkan ke wilayah Kecamatan Jasinga, Kecamatan Cigudeg dan bahkan sampai ke Provinsi Banten. Menurut salah satu anggota Kelompok Tani Mandiri menjelaskan bahwa pemasaran hasil hutan kayu dari hutan rakyat di Desa Jugalajaya relatif mudah, karena para pembeli (tengkulak) kayu yang langsung datang ke kelompok tani dan bertemu dengan pemilik kayu. Pembeli ada yang berasal dari Desa Jugalajaya sendiri ataupun dari luar Desa Jugalajaya. Penentuan harga pun berada di musyawarah antara pembeli dan pemilik pohon. Berdasarkan hasil wawancara dengan pembeli kayu/tengkulak menjelaskan bahwa sistem jual beli yang biasa
25
dilaksanakan di hutan rakyat adalah pembeli yang menebang dan menentukan pohon yang memenuhi kriteria dengan diawasi pemilik pohon. Tengkulak melakukan transaksi jual beli dengan petani dengan sistem borongan per hamparan. Dalam sekali panen, biasanya jumlah kayu yang dapat diangkut mencapai 4-5 truk dengan kapasitas 4-5 m3/truk untuk ukuran kayu berdiameter > 18 cm dan 3 m3/truk untuk diameter < 18 cm. Waktu rata-rata yang diperlukan dalam satu kali panen untuk luasan tertentu adalah selama 2 hari dengan produktivitas mencapai 2 truk/hari. Jumlah pekerja yang dibutuhkan tergantung letak lokasi dan jumlah pohon pada luasan areal yang akan ditebang. Untuk lokasi penebangan yang dekat dengan akses jalan, jumlah pekerja yang diperlukan untuk menyarad kayu adalah 6-7 orang dengan upah sebesar Rp 35.000/hari/orang, sedangkan untuk lokasi penebangan yang jauh dari akses jalan bisa mencapai 12 orang dengan upah sebesar Rp 40.000/hari/orang. Dalam kegiatan penebangan biasanya dibutuhkan 2 orang penebang pohon (chainsawman) dengan upah sebesar Rp 100.000/hari/orang. Dari hasil wawancara dengan industri penggergajian (sawmill), hasil produk kayu olahan yang dihasilkan dari log kayu sengon berupa papan, balok, kaso dan reng dengan ukuran-ukuran tertentu. Produk kayu yang dihasilkan dari satu log kayu sengon dengan ukuran diameter > 20 cm adalah balok (10 cm x 10 cm x 3 m), papan (3 cm x 20 cm x 3 m), kaso (4 cm x 6 cm x 3 m) dan reng (2 cm x 5 cm x 3 m). Adapun produk olahan kayu hutan rakyat, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Papan
Kaso
Gambar 5 Produk olahan kayu hutan rakyat.
26
5.5. Respon Masing-Masing Pelaku Usaha Terhadap SKAU Respon merupakan reaksi atau jawaban yang diberikan terhadap sesuatu. Respon yang diberikan dapat berbentuk ucapan maupun tindakan. Respon yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbedabeda. Pebedaan respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dapat dilihat dari tahapan yang disebut proses adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) proses-proses adopsi tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu : awareness stage (tahap sadar), interest stage (tahap minat), evaluation stage (tahap evaluasi), trial stage (tahap percobaan), dan adoption stage (tahap adopsi). Berdasarkan pengamatan di lapangan, pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan SKAU secara langsung terdiri dari empat pelaku usaha, yaitu pejabat dinas kehutanan, pejabat desa, petani, dan tengkulak/pengusaha. Pejabat dinas merupakan pihak yang mengeluarkan petunjuk teknis (Juknis) dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan dan mengatur ketersediaan blanko SKAU, pejabat desa merupakan pejabat penerbit SKAU, sedangkan petani, tengkulak dan pengusaha merupakan pihak yang mengajukan permohonan blanko SKAU. Data hasil wawancara tentang respon responden terhadap SKAU disajikan berikut ini : 5.5.1. Respon Petani Hutan Rakyat Terhadap SKAU Petani hutan rakyat yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Petani di Desa Jugalajaya mengetahui keberadaan SKAU dengan informasi yang diperoleh dari : informasi dari kelompok tani (33,33%), informasi dari pejabat desa (23,33%), atau informasi dari tengkulak (43,33%). Pemahaman petani terhadap SKAU hanya sebatas fungsi SKAU sebagai dokumen pengangkutan hasil hutan dari hutan hak. Data hasil wawancara tentang respon petani hutan rakyat terhadap SKAU disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Respon petani terhadap SKAU No 1
Tahapan Adopsi Sadar
2
Minat
Pernyataan Mengetahui SKAU Mengetahui informasi tentang SKAU
Jawaban
Jumlah
%
a. informasi dari kelompok tani b. informasi dari Pejabat Desa c. informasi dari tengkulak a. mengetahui tata cara penerbitan SKAU b.mengetahui jenis kayu yang menggunakan blanko SKAU c. tidak mau tahu mengenai SKAU
10 7 13 3 7
33,33 23,33 43,33 10 23,33
20
66,67
27
Tabel 9 (lanjutan) No 3
Tahapan Adopsi Evaluasi
4
Percobaan
5
Adopsi
Pernyataan
Jawaban
Jumlah
%
Mulai mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU Mencoba menggunakan SKAU
SKAU penting untuk dokumen angkutan karena kewajiban
30
100
tidak mencoba menggunakan SKAU, karena petani ingin simpel dengan cara menjual kayu ke tengkulak.
30
100
Menggunakan SKAU pada periode berikutnya
tidak pernah menggunakan SKAU, karena sistem penjualan kayu melalui tengkulak.
30
100
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa petani hutan rakyat di Desa Jugalajaya hanya 3 orang yang mengetahui tata cara penerbitan dokumen SKAU (10%). Menurut ketua kelompok tani, hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi baik dari dinas pertanian dan kehutanan maupun dari pejabat desa setempat. Petani menganggap SKAU penting (100%) hanya sebatas kewajiban untuk dokumen dalam pengangkutan kayu agar tidak ditilang oleh polisi dan dinas perhubungan. Dari kelima tahapan adopsi, hanya tahap sadar, tahap minat, dan tahap evaluasi saja yang dilakukan oleh petani, sedangkan tahap percobaan dan tahap adopsi tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan sistem penjualan kayu di hutan rakyat biasanya melalui tengkulak, jadi tengkulaklah yang selama ini mengurus dokumen SKAU. Maka dapat dikatakan bahwa respon petani terhadap SKAU adalah negatif. 5.5.2. Respon Tengkulak/Pengusaha Hutan Rakyat Terhadap SKAU Tengkulak/Pengusaha hutan rakyat yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Semua Tengkulak/Pengusaha yang diwawancarai mengetahui SKAU. Tidak jauh berbeda dengan petani hutan rakyat, pemahaman tengkulak/pengusaha terhadap SKAU sama saja, yaitu hanya sebatas fungsi SKAU
sebagai
dokumen
pengangkutan
hasil
hutan
dari
hutan
hak.
Tengkulak/Pengusaha mengetahui keberadaan SKAU dengan sumber informasi, yaitu : informasi dari pejabat desa (20%), informasi dari rekanan sesama tengkulak/pengusaha (40%), atau informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan (40%).
28
Data hasil wawancara tentang respon tengkulak/pengusaha terhadap SKAU disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut. Tabel 10 Respon tengkulak/pengusaha terhadap SKAU No 1
Tahapan Adopsi Sadar
Pernyataan Mengetahui SKAU
Jawaban
Jumlah
%
a.informasi dari Pejabat Desa b.informasi dari rekanan sesama tengkulak/pengusaha c.informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan tahu tata cara penerbitan SKAU dan mengetahui jenis kayu yang menggunakan SKAU
1 2
20 40
2
40
5
100
2
Minat
Mengetahui informasi tentang SKAU
3
Evaluasi
SKAU penting untuk dokumen angkutan karena kewajiban
5
100
4
Percobaan
Mulai mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU Mencoba menggunakan SKAU
menggunakan blanko SKAU desa untuk pengangkutan kayu
5
100
5
Adopsi
Menggunakan SKAU pada periode berikutnya
menggunakan blanko SKAU Desa dalam setiap kegiatan pengangkutan kayu
5
100
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)
Tengkulak/pengusaha mengetahui tata cara penerbitan SKAU dan mengetahui jenis kayu yang menggunakan SKAU (100%). Tetapi pengetahuan mereka hanya sebatas mengetahui tata cara penerbitan blanko SKAU format desa (Lampiran 7). Menurut salah satu tengkulak/pengusaha kayu, setiap kali mengurus blanko SKAU dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 30.000. Tengkulak/pengusaha menganggap SKAU penting untuk dokumen angkutan karena kewajiban (100%), karena selain untuk dokumen pengangkutan kayu, SKAU juga digunakan sebagai syarat untuk mengurus dokumen angkutan berikutnya setelah kayu bulat dari hutan rakyat diolah, yaitu Faktur Angkut Kayu Olahan (FA-KO). Tengkulak/pengusaha selama ini menggunakan SKAU untuk pengangkutan kayu (100%), tetapi blanko SKAU yang selama ini mereka gunakan adalah blanko SKAU dari desa (Lampiran 7). Seharusnya blanko SKAU diterbitkan oleh dinas propinsi (Lampiran 6). Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan serta sanksi dari dinas kehutanan setempat dalam pelaksanaan SKAU
29
di lapangan. Respon tengkulak/pengusaha dengan adanya SKAU adalah netral, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan isi Peraturan tentang SKAU. 5.5.3. Respon Pejabat Desa Terhadap SKAU Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, mulai menerbitkan SKAU pada tahun 2009. Pejabat penerbit SKAU adalah kepala desa yang ditetapkan oleh Bupati Bogor. Setelah sebelumnya mengikuti pelatihan tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak/rakyat yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Pejabat desa yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Data hasil wawancara tentang respon pejabat desa terhadap SKAU disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Respon pejabat desa terhadap SKAU No 1
Tahapan Adopsi Sadar
2
Minat
3
Evaluasi
4
Percobaan
5
Adopsi
Pernyataan Mengetahui SKAU Mengetahui informasi tentang SKAU Mulai mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU Mencoba menerapkan SKAU Menerapkan SKAU pada periode berikutnya
Jawaban
Jumlah
%
a.informasi dari Kepala Desa b.informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan a.mengetahui jenis kayu yang menggunakan blanko SKAU b.mengetahui tata cara penerbitan SKAU SKAU penting untuk dokumen angkutan agar tertib aturan
2 3
40 60
2
40
3 5
60 100
mencoba menerbitkan blanko SKAU Desa
5
100
menerbitkan blanko SKAU Desa secara kontinu
5
100
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)
Pejabat desa yang diwawancarai mengetahui SKAU dengan sumber informasi, yaitu : informasi dari Kepala Desa (40%) atau informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan (60%). Pejabat Desa menganggap SKAU penting untuk dokumen angkutan agar tertib aturan (100%) tetapi pada pelaksanaanya Desa Jugalajaya menggunakan blanko SKAU desa untuk pengangkutan kayu, bukan blanko SKAU dari Dinas Kehutanan provinsi karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke Dinas
30
Kehutanan. Dari kelima tahapan adopsi diatas, maka dapat dikatakan bahwa respon pejabat desa terhadap SKAU adalah netral, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan isi Peraturan tentang SKAU. 5.5.4. Respon Pejabat Dinas Kehutanan Terhadap SKAU Pejabat dinas kehutanan yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Pejabat dinas yang diwawancarai yaitu : pejabat Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor dan UPT Dinas Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Leuwiliang. Data hasil wawancara tentang respon pejabat dinas kehutanan terhadap SKAU disajikan pada Tabel 12 sebagai berikut. Tabel 12 Respon pejabat Dinas Kehutanan terhadap SKAU No 1
Tahapan Adopsi Sadar
2
Minat
3
Evaluasi
4
Percobaan
5
Adopsi
Pernyataan Mengetahui SKAU Mengetahui informasi tentang SKAU Mulai mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU Mencoba menerapkan SKAU Menerapkan SKAU pada periode berikutnya
Jawaban
Jumlah
%
Permenhut No. P.33/2007
5
100
a. tahu tata cara penerbitan SKAU b.mengetahui jenis kayu yang menggunakan blanko SKAU c. mengetahui tujuan SKAU SKAU penting untuk dokumen angkutan dan tertib aturan
3 1
60 20
1 5
20 100
Mencoba menyalurkan SKAU
5
100
Meyalurkan blanko SKAU secara kontinu
5
100
Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)
Pejabat dinas yang diwawancarai semuanya mengetahui SKAU dengan informasi yang diperoleh dari Permenhut No P.33/2007 (100%). Pejabat dinas juga mengetahui SKAU beserta tata cara penerbitannya. Hal ini dapat ditunjukkan dari pengetahuan mereka tentang isi Permenhut tersebut. Menurut salah satu pejabat dinas, tujuan Permenhut tersebut adalah untuk penertiban peredaran kayu yang berasal dari hutan hak. Selain itu, tujuan Permenhut tersebut adalah sebagai pedoman dalam peredaran hasil hutan di hutan hak. Dari hasil wawancara, pejabat dinas menyalurkan dokumen SKAU ke desa-desa melalui UPT Dinas Pertanian dan Kehutanan setempat jika ada permohonan dari pejabat desa. Dari kelima
31
tahapan adopsi diatas, maka dapat dikatakan bahwa respon pejabat Dinas Kehutanan terhadap SKAU adalah positif, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan dan sesuai dengan isi Permenhut Nomor P.33/2007 tentang SKAU. 5.6. Kendala Pelaksanaan SKAU Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak telah berlaku sejak dikeluarkannya Permenhut No.P.51/Menhut-II/2006 dan berlaku efektif sejak tanggal 18 Oktober 2006. Di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, SKAU mulai berlaku sejak tahun 2009, setelah ditetapkannya pejabat penerbit SKAU oleh Bupati Bogor. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala yang dihadapi. Adapun kendala yang ditemukan dilapangan diantaranya adalah sebagai berikut : 5.6.1. Dokumen SKAU Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, SKAU tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan terdapat blanko SKAU yang dikeluarkan oleh desa (Lampiran 7) sehingga blanko SKAU dari Dinas Kehutanan Provinsi tidak digunakan. Alasan pejabat desa menggunakan blanko SKAU desa adalah karena akses desa yang jauh dengan Dinas Kehutanan Kabupaten, sehingga pegawai desa tidak bersedia untuk meminta blanko SKAU dari Dinas Kehutanan. Selain akses desa yang jauh ke kota, jaringan komunikasi relatif sulit, sehingga desa membuat blanko SKAU sendiri. Pada kenyataannya, pejabat desa membuat blanko SKAU sendiri karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke Dinas Kehutanan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, penggunaan blanko SKAU desa (lampiran 7) selama ini tidak menjadi masalah dalam kegiatan pengangkutan. 5.6.2. Sistem Penjualan Kayu Hutan Rakyat Pada sub bab pemasaran hasil hutan, telah dijelaskan bahwa sistem pemasaran kayu hutan rakyat di Desa Jugalajaya adalah petani menjual kayu melalui tengkulak. Oleh karena itu seharusnya tengkulak ketika mengangkut kayu dari hutan rakyat, harus mengurus SKAU di desa asal kayu tersebut. Akan tetapi biasanya ketika kayu yang diangkut belum memenuhi target muatan, tengkulak tidak mengurus SKAU di desa tersebut, dan melanjutkan pembelian kayu di desa
32
lainnya dan ketika target muatan telah tercapai, maka barulah tengkulak mengurus SKAU. Padahal seharusnya tengkulak melapor ke desa setiap kali ada penebangan dan pengangkutan, agar data potensi kayu di desa yag bersangkutan terdata dengan rapi. Alasan tengkulak tidak mengurus SKAU karena jarak tempuh kayu yang akan diangkut tidak terlalu jauh dari desa asal kayu tersebut. 5.6.3. Jenis Kayu Angkutan Pada mulanya, penggunaan blanko SKAU hanya untuk pengangkutan 3 jenis kayu yang berasal dari hutan hak, yaitu : Kayu Karet (Hevea brasiliensis), Kayu Sengon (Paraserianthes falcataria), dan Kayu Kelapa (Cocos nucifera) (Permenhut
Nomor
P.51/2006).
Setelah dikeluarkan Permenhut
Nomor
P.33/2007, jenis kayu bertambah menjadi 21 jenis. Walaupun jenis kayu yang dicakup sudah lebih banyak, aktivitas atau kegiatan peredaran kayu yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat yang bukan termasuk ke dalam jenis kayu yang diatur dalam Permenhut tersebut akan menjadi masalah bagi petani/pengusaha hutan rakyat. Hal ini disebabkan karena dokumen yang diurus lebih dari satu sehingga waktu dan biaya yang dikeluarkan akan semakin bertambah. Sementara pengangkutan kayu antara lain : Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi, Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo, Sukun, Trembesi, dan Waru tidak menggunakan dokumen SKAU maupun SKSKB cap “KR”, tetapi cukup menggunakan Nota yang diterbitkan penjual. Pada kenyataannya,
jenis kayu rakyat
yang pengangkutannya
menggunakan dokumen SKAU tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan, misalnya: jenis kayu yang dalam pengangkutannya hanya cukup dengan menggunakan nota yang diterbitkan penjual, antara lain : Kayu Nangka, Mangga, Kecapi, Kelapa, Jengkol, dan Kapuk pada kenyataannya di lapangan tetap dimasukkan ke dalam dokumen SKAU. Menurut pejabat desa, hal ini dilakukan karena jenis kayu tersebut biasa ditanam oleh petani. Selain itu mempermudah petani dalam mengurus dokumen SKAU dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh petani.
33
5.6.4. Sosialisasi dan Pengawasan Dinas Kehutanan Kurangnya sosialisasi dari petugas Dinas Kehutanan Daerah kepada masyarakat, menyebabkan SKAU tidak berjalan efektif. Masyarakat juga banyak yang tidak mengetahui keberadaan blanko SKAU. Melihat sistem penjualan kayu hutan rakyat, maka sosialisasi sebaiknya tidak hanya dilakukan kepada petani, tetapi sosialisasi juga perlu dilakukan kepada tengkulak dan pengusaha industri penggergajian kayu. Selain itu, perlu dilakukan pengawasan oleh Dinas Kehutanan setempat agar tidak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan SKAU di lapangan, serta perlu adanya sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan SKAU.